12.29.2010

Kejora Membunuh Cahaya

Duh, Gusti, aku tidak pernah protes ketika hidup selalu mendahulukan kepentingan para lelaki. Tetapi, benarkah semesta ini Kau ciptakan hanya untuk mereka, tanpa menyisakan secuil pun, bahkan seukuran rambut, bagi sebentuk mimpi wanita biasa, yang ingin mendapatkan sebentuk cinta sederhana. Di mana aku mencintainya dan dia mencintaiku. Tak perlu serumit jalinan satelit.

Wayang-wayang yang disentuhnya seperti menjelma hidup. Riwayatnya berkilau, geraknya bernapas dan suaranya detak jantung. Wanita itu menciptakan semesta mungil yang mengundangku untuk menjadi bagian elemennya. Mengagumi kegagahan Bima, terpesona ketampanan tanpa cacat Arjuna atau menyimpan amarah perih Drupadi. Kakiku tak berpijak, imajiku mengambil alih dan aku terbang seperti sihir.

Wayang-wayang itu bukan lagi selembar kulit sapi, melainkan potongan jiwa yang butuh penyatuan. Wanita itu menghidupkannya. Mencipta semestanya. Ia mampu membunuh kesatria sakti, menghentikan perang, membendung banjir darah dan menentukan nasib semua tokoh. Tapi, ia tak pernah bisa menuliskan nasib bagi dirinya sendiri.

Bu Dalang, demikian aku dan banyak orang di Kompleks Tanjung Palapa, salah satu ceruk Jakarta, memanggilnya. Ketika dalang identik sebagai profesi laki- laki, Bu Dalang membalikkan pendapat umum itu. Dia adalah sedikit dari wanita yang bertahan hingga kini, kukuh, tak riuh memperdebatkan gender. Kidungnya merdu, mengumandangkan kebersandingan tanpa menuntut slogan kesetaraan. Lakunya tetap menjadi ‘perawan’ para wayang.

Ya, secara fisik wanita itu memang telah  menikah. Punya anak dan cucu. Tetapi, secara jiwa, di masih selalu menyimpan keperawanannya. Untuk lelaki yang menambahkan satu kata dalam kamus hidupnya: asmara cipta. Asmara cipta adalah cinta yang paling tak terdefinisi. Dalam asmara cipta, pasangannya adalah sigaraning jiwa, soulmate yang sesungguhnya. Tak hanya nafsu dan sayang kadang bukan jodohnya. Orang yang saling jatuh cinta tidak harus bertemu, apalagi bersinggungan badan. Cukup masing-masing mengheningkan cipta, maka keduanya akan menyatu, saat itu juga.

Cinta platonis yang aku menyebutnya sebagai penyebab matinya kewarasan. Namun, dia mengatakan sebagai energi yang menjadikannya eksis, hingga detik ini. Sejak kecil, Bu Dalang selalu dianggap cadangan setelah kakak-kakaknya. Bukan karena nakal atau memalukan, tetapi karena dia anak perempuan.

Lalu ia mendapatkan energi dari cinta belianya untuk mendobrak semua itu. Cinta yang tak disangka bukan sekadar cinta monyet. Namun, begitu mendalam, hingga melebihi dalamnya harapan. Energi itulah yang membawanya tersesat dalam cinta. Wayang-wayang itu perwujudannya. Menobatkan dirinya menjadi wanita dalang ternama di negeri ini. Energi itu seperti matahari yang menghidupkan bumi. Menumbuhkan bayi biji tumbuh dan berpucuk. Kadang-kadang murkanya membakar bunga dan seratnya tanpa ampun. Mereka tak pernah bisa menyatu, tapi cukup saling ada.

Lakon 1. Pendhapa suwung 1)
Sungguh tak pernah kuduga, Jakarta yang mengangkat dagunya tinggi-tinggi sebagai kota megapolitan, masih menyisakan sebuah ruang sempit untuk napas kampung halaman. Seperangkat pagelaran wayang kulit! Aku bisa melihat pagelaran wayang lengkap dengan penontonnya, dengan dialek yang renyah khas Jawa Tengah di bangku penonton. Seperti sepotong tanah lahir yang dipaketkan, lantas ditumbuhkan di kota megapolitan. Ini bukanlah pagelaran di anjungan Jawa Tengah, TMII. Tetapi di sebuah rumah warga kebanyakan yang tengah mengadakan syukuran kenaikan jabatan.

Berlatar gedung tegak menyangga langit malam, kelir putih itu digelar. Di baliknya ratusan wayang tertata rapi di kanan dan kiri dengan menyisakan ruang kosong di tengahnya. Inti dari ruang kosong tertancap gunungan, segitiga sarat makna yang mengawali dan nantinya mengakhiri kisah yang digelar. Liukan blencong 2) menjadikan wayang-wayang yang tertancap di batang pisang bergerak, meliuk dan menari. Mereka hidup!

Di balik panggung, tak jauh dari wayang-wayang yang hidup itu, aku berdiri canggung. Keringat dingin mengalir di tengkuk, lalu melumer di dadaku. Jarum jam di pergelanganku sudah menunjuk angka 7.

“Setiap wanita itu punya jiwa seni, karena wanita adalah seni terindah yang pernah Tuhan ciptakan. Hanya tinggal kita memercayainya,” ujarnya, ketika aku menolak untuk mendandaninya tempo hari. Kini aku sedang berusaha keras menjelma menjadi perias. Padahal, aku sendiri jarang sekali berias diri. Di ruangan sempit, tanpa cermin dan pernik salon, kugoreskan satu demi satu peralatan make up ke wajahnya. Jelas menggoreskan eye shadow, blush on, beda dengan menorehkan cat air di kain kanvas. Ada pori-pori yang hidup. Bernapas. Itu membuatku mengerut. Mau tak mau tanganku bergetar.

 “Nduk, tolong lihat apakah sudah sama kanan dan kirinya,” kata Bu Dalang, sembari merapikan sanggulnya. Aku menggigil bukan karena malam yang  makin dingin. Tetapi hatiku kebas menerima tanggung jawab ini. Terlintas dalam benakku, malam ini akan muncul wanita yang akan menjadi poros di sebuah pertunjukan dengan dandanan yang mengerikan hasil karya perias jadi–jadian. Duh, Gusti, Engkau Maha Bisa, tunjukkan keindahan-Mu melalui jemariku, doaku, merapal mantra.

Tuhan mendengar doa hamba-Nya yang terdesak. Lihatlah, hasil goresan tanganku mampu memanggil kembali kecantikan masa silam yang terkubur usia. Kendati tak mampu melumerkan derita misterius yang bertakhta di pesona sepasang matanya. Atau karena derita misterius itu yang membuat parasnya mengundang rasa?  Tubuhnya seperti magnet, menarik siapa saja
untuk mendekat.

Dengan sedikit percaya diri, aku mulai melilitkan kain tepat pada posisinya. Hingga motif parang barong nyambung satu sisi dengan yang lainnya. Parang barong adalah motif yang hanya boleh dikenakan oleh bangsawan keraton. Benarkah Bu Dalang berdarah biru? Dia tak pernah mau memperbincangkan. Hanya saja, aku bisa merasakan aura kuat ketika berada di sisinya. Kini, dengan kebaya warna maroon, Bu Dalang menjelma menjadi ratu dari kerajaan malam. Bukan lagi nenek- nenek pemilik asrama.

Tinggal sentuhan terakhir, roncean melati yang aku sematkan di sanggulnya. Aromanya mengharumkan malam. Tiba-tiba menyentuh sarafku. Membangkitkan memori akan seseorang. Jasmin. Dulu seseorang kerap memetikkannya untukku.
Ah, sudahlah.

“Nanti tolong ambil gambarnya setiap adegan yang penting, ya, Nduk. Di sini nanti tidak akan ada perang dahsyat. Tapi, kamu pasti akan tahu mana adegan penting itu,” pesan Bu Dalang, sebelum menuju ke panggung. Kugenggam erat D300 yang bergantung manis di lenganku. Berhala hitam yang membuatku mampu mengalahkan keraguan. Aku mengangguk yakin.

Catatan:
1) Lambang dunia dan manusia semula diciptakan dari tiada oleh Tuhan.
2) Lampu minyak untuk pertunjukan wayang hingga menimbulkan bayangan di kelir (layar). Wayang pun menjadi hidup.

Ini kali pertama aku melihat pentas Bu Dalang secara langsung. Sebelumnya, pusing aku harus melihat rekaman pementasannya. Bayangkan, setiap kali Bu Dalang mengunjungi kamarku, dia akan membawa setumpuk DVD yang disetel di laptop-ku. Aku harus mengomentari setiap adegan penting. Terutama saat adegan perang.

“Bagaimana Mbak seblakan-nya? Mantap, ‘kan?” Atau terkadang, ”Coba dengarkan, ini jatuh di slendro-nya,” dan ini dan itu. Dan, aku pun pening.

Aku memang lahir di Klaten. Kota kecil pertemuan antara kebudayaan Keraton Yogya dan Solo. Banyak dalang kondang berasal dari sana. Tetapi, bukan berarti aku ahli wayang. Bahkan, penggemar pun tidak. Karena, bisa dikata, aku sudah pening dengan wayang kulit sejak ayahku kerap membiarkan radionya menyala hingga larut pagi. Mungkin irama itu kudengar semenjak aku bisa mendengar. Segala slogan hemat energi luluh lantak demi pentas wayang kulit semalam suntuk yang digelar tiap malam Minggu di RRI. Entah mengapa, tak secuil pun aku tertarik pada wayang. Terlihat jadul, kuno, dan tidak gaul. Ayahku bersikeras menjejalkannya dan aku tetap bergeming dengan ketidaktertarikanku.

Seperti karma yang menyeringai dengan taringnya, tak peduli sejauh apa aku melarikan diri. Justru di kota megapolitan ini, aku harus menyaksikan wayang- wayang itu. Yang masih tetap jadul, kuno, dan terjebak masa silam. Bahkan, aku ada di jantung udara, yang menyiarkan wayang kulit di seantero Nusantara.

Bu Dalang kerap mendalang di RRI, dan aku selalu diminta menungguinya. Dalam benakku, ratusan kilometer nun jauh di sana, ayahku pasti akan tersenyum di samping radio National-nya sembari berkata dengan mata bijaknya yang berkaca- kaca, “Aku bangga padamu, Nduk... estafet budaya negeri ini akan tegak berdiri.” Radio pun akan makin dibiarkan hidup hingga larut pagi. Slogan hemat energi luluh tak bertepi. Ups!

Sesungguhnya, bukan karena aku lantas sadar dengan budaya adiluhung ini. Kegigihanku untuk bergelut dengan wayang justru karena alasan yang sedemikian remeh. Aku salah satu
dari empat puluh penghuni asrama yang bernaung di rumah Bu Dalang.

Di antara sekian itu, akulah satu-satunya yang mengerti bahasa Jawa, punya laptop dan kamera. Modalku untuk menembus rimba Jakarta. Bu Dalang menawarkan imbalan yang menggiurkan. Pemotongan tarif sewa kamar sampai 75%. Itu pun aku bisa bayar kapan saja. Dengan catatan, aku bersedia mendokumentasikan pentas-pentasnya. Kadang-kadang mengetikkan naskah tembang yang dikarangnya. Sesekali memberikan satu edisi majalahku yang memuat tentang bunga dan hutan.

Sebagai wartawan baru dan masih shock dengan ‘materialisnya’ Jakarta, tawaran itu pun aku sanggupi. Memang risikonya tak mudah. Kerap bangun kesiangan dan berantakanlah hidup awak. Bahkan, yang paling parah, ketika aku harus ke luar kota esok harinya. Meliput salah satu pejabat yang menghibahkan tanahnya untuk membuat hutan kota.

Karena semalaman begadang hingga pagi, persiapan pun berantakan. Wawancara sukses, pemotretan terlihat lancar. Tapi, aku salah memasukkan memory card yang sudah rusak. Data hasil pemotretan seperti fiktif, tak bisa dipindahkan ke komputer. Sebagai konsekuensinya, aku harus mengulang. Sebuah konsekuensi yang disandang wanita nan pecicilan ini sebagai seorang ‘pemegang estafet budaya negeri’. Yang kelak justru akan menjadi awal pementasan, pendhapa suwung bagi lakon hidup Bu Dalang, di mana aku porosnya. Lantas karma itu menancapkan taringnya di leherku. Aku pun jatuh cinta pada wayang, gamelan, dan malam-malam larut!

Tepat pukul delapan malam, hening menyelimuti perhelatan. Pidato seremonial dari pejabat setempat, dilanjutkan panitia dan terakhir tuan rumah, usai sudah. Tibalah acara inti, yaitu pementasan lakon Putri Cina Gandrung. Sebenarnya, lakon ini kurang pas untuk syukuran kenaikan jabatan. Namun, si tuan rumah tak begitu mempermasalahkan. Cukup atasannya tahu, bahwa pejabat yang baru saja dilantik ini sangat peduli pada wayang. Penonton pun tak protes. Apa pun lakonnya, toh, Jakarta butuh hiburan.

Bagi Bu Dalang, pentas ini teramat penting. Hingga aku harus mendokumentasikan secara lengkap. Berbeda dari pentas-pentas sebelumnya, yang hanya disimpan di file memori otak dan beberapa DVD dokumentasi televisi. Bagi Bu Dalang, setiap pementasan tentu membekas hingga berhari, berbulan, bahkan bertahun. Bagiku, ingatan akan pentas-pentas itu segera lenyap, bahkan sebelum gong tanda akhir bergema.

“Mendalang bagiku seperti bernapas. Tak mungkin kan aku lupa akan napasku?” itu kata Bu Dalang ketika kutanya, kenapa hanya ada beberapa saja fotonya.

Kali ini beda. Dia butuh dokumentasi yang lengkap untuk menggalang dana besar. Agar bisa pentas di San Francisco, lengkap dengan para penabuh gamelannya. Katanya, akan ada World Culture Summit, pertemuan kebudayaan seluruh dunia, akhir tahun ini. Bu Dalang ingin pergi ke sana, mengenalkan wayang- wayangnya dengan Patung Liberty.

“Loh, Bu... Patung Liberty bukannya di New York ?” tanyaku, meyakinkan.

“Halah... apa pentingnya, sih, satu negara juga, ‘kan?” Ups. Memang satu negara, semacam antara Aceh dengan Papua lumayan juga jaraknya.

Lepas dari hitungan jarak itu, entahlah, aku merasakan hal beda. Sebagai jurnalis yang kerap bertemu dengan banyak orang, berbeda karakter, aku terbiasa melihat sesuatu yang tak tersurat. Benarkah kegigihan Bu Dalang ‘hanya’ demi pentasnya di San Francisco untuk mengharumkan Indonesia? Matanya mengatakan hal yang beda.

“Lakon Putri Cina Gandrung itu wayang menak, Rhe. Eranya sebelum Rama dan Shinta, dan itu artinya jauh sebelum Pandawa,” kata Bu Dalang. mengalihkan perhatian. Dia tak menjawab pertanyaan dan penasaranku. Hanya, tatkala menyebut Putri Cina, wajah itu menyalakan hasrat. Kerinduan yang dalam. Cinta yang tak terbantahkan. Aku bisa merasakannya.

Fragmen itu bergerak di genggaman lentik seorang wanita yang tak lagi muda, namun masih menyimpan kecantikan masa silam. Lakon Putri Cina Gandrung adalah salah satu dari ribuan kisah dalam wayang kulit. Cerita ini dulu kerap didendangkan oleh ayahku melalui radio National-nya. Tentunya beliau mempertajam rupa Wong Agung Jayengrana, seorang raja agung dari Kerajaan Kuparman, yang kini menjadi negeri Persia. Bukan Wong Agung yang memesonaku.

Aku terpesona pada kata, kidung, dan nada yang disampaikan Bu Dalang untuk melukiskan curahan sang Kwi Adaninggar, Putri Cina yang sedang gandrung kapiluyu1) dengan Wong Agung Jayengrana. Serasa tak masuk akal, tapi menggetarkan.

Cinta itu datang bukan karena Sang Putri bertemu dengan Wong Agung. Tapi, cinta itu datang hanya dari kabar angin dari para pedagang sutra Cina yang mengabarkan kegagahan Sang Raja. Mengagumi secara fisik di mana Wong Agung dilukiskan sebagai pria yang sempurna. Tidak hanya fisik, Sang Putri pun mengagumi kepandaiannya, pengetahuannya dan tutur katanya yang cerdas. Tanpa foto, tanpa pic mail, tanpa web cam, sang putri bisa jatuh hati. Saat itulah aku melihat roh Kuiadaninggar merasuk ke raga Bu Dalang.

Aduh babo, Tiyang Agung /Kasih Adaninggar iki/Kang kasrimpung ing katresnan/Kagubet ing raras ati/Kasrimpet sengseming nala/Katalikung kung kingkim/ Sumunar cahya Wong Agung2).

Sang Putri pun tak berdaya membendung beban cinta di hatinya. Kewarasannya luluh lantak seperti terhujam senjata. Tak ada yang bisa menyembuhkan, kecuali bertemu Wong Agung. Sang Putri pun berangkat ke negeri Kuparman untuk menemui sang penyembuh.

Sampailah di negeri di mana malaikat tanpa sayap itu bertakhta. Sayang, bukan berarti  masalah teratasi, tapi justru memasuki era bifurkasi. Antara nurani Sang Putri dan cinta yang harus diperjuangkan. Karena ternyata, Wong Agung sudah punya banyak istri. Jelas, Sang Putri tidak ingin menyakiti hati istri-istri Wong Agung.

Kembali cinta suci memberi kekuatan. Dari mesu budi dan kekuatan doa, Kuiadaninggar dianugrahi aji Tampang Sutra Jaya Kencana. Sebuah kekuatan welas asih, yang bisa menghilangkan rasa benci di hati istri-istri Wong Agung. Dengan segala kasih istri-istri Wong Agung salut akan ketulusan cinta Sang Putri. Sebuah cinta yang tidak mungkin diberikan oleh mereka.

Tapi ternyata, tidak cukup sampai di situ. Karena kelicikan Patih Bestak (Patih Wong Agung) yang tidak mengerti keagungan cinta suci. Otak licik yang hanya tahu takhta dan ambisi, meracuni hati Wong Agung. Tertutuplah rasa welas asih Wong Agung oleh benci dan angkara. Pertarungan ambisi, angkara, dan cinta menjadi puncak lakon.

Ada getar hebat ketika Bu Dalang menuntaskan akhir cerita. Demi cintanya, Sang Putri rela tewas karena tikaman senjata Wong Agung. Betapa terkejutnya Wong Agung ketika darah yang keluar dari raga Adaninggar adalah darah putih yang harum aromanya. Darah yang menggambarkan cinta  tanpa alasan, kecuali cinta itu sendiri. Berlututlah Wong Agung mengulurkan hatinya bersamaan dengan berakhirnya napas terakhir Sang Putri.

Kenapa cinta suci kalah dengan ambisi. Kenapa Yosodipuro, penulis serat Putri Cina Gandrung, tak punya perasaan untuk menghargai ketulusan hingga dimatikannya tokoh mulia itu? Kenapa Tampang Sutra Jaya Kencana tak cukup untuk melicinkan jalan cinta Sang Putri? Benarkah cinta berhak menghabisi hidup seseorang? Barangkali, mereka memang tidak benar-benar mati. Karena mereka pun tak benar-benar eksis dalam realitas. Hanya eksis dalam imaji. Wayang adalah pentas imaji bagi masing-masing penontonnya.

Lakon 2. Kehadirannya di Sepertiga Malam terakhir.
Aku masih menggenggam kameraku, jemariku bergetar melihat penghayatan yang demikian agung. Bahkan, Bu Dalang sendiri pun mungkin tak menduga, begitu dahsyat energi yang terajut malam ini. Untuk menghidupkan wayang-wayangnya. Untuk membentuk jalinan kisah Putri Cina Gandrung. Kisah itu, simfoni gamelan, gendhing itu, seperti terperangkap dalam fajar. Ia tetap menggema di sana.

Aku melihatnya duduk di seberang kelir. Lunglai. Wajahnya kacau, seperti baru saja terlempar dari pusaran arus. Pandangannya ke arah pekerja yang sedang memasukkan wayang ke kotak. Namun, pikirannya tampak sedang bertakhta di suatu tempat. Di jiwa yang bercahaya.

Aku mendekatinya, lantas kuulurkan tanganku untuk mengucapkan selamat atas pementasan yang spektakuler. Bu Dalang bergeming. Menatapku dalam-dalam. Lantas memelukku. Sunyi. Tak ada air mata, tak ada isak. Tapi. aku bisa merasakan, ia menangis.

“Dia hadir... dia datang... dia, ya, dia masih ada untukku. Penantian selama 50 tahun itu terjawab sudah. Dia masih sangat mencintaiku,” katanya lirih, di telingaku. Aku tak mengerti.

“Nduk, jika hari-hari lalu aku hanya merasakannya mengembara dalam pikiranku, malam ini dia membuka wujudnya... ya, dia ada di sepertiga malam terakhir... ketika putri Cina itu terbunuh. Tidakkah kau tahu? Wong Agung akhirnya menyadari, betapa cinta itu tak pernah salah. Tak pernah memilih. Tak pernah tak pasti?” bisiknya,  makin lemah. Waktu terburai, seperti ada satuan yang lebih kecil dari detik. Bergerak sedemikian lamban. Aku bisa merasakan sebuah kerinduan yang mendapatkan jawaban. Benarkah cinta Bu Dalang pada seseorang? Seseorang yang bukan mendiang suaminya!

Setelah Bu Dalang duduk kembali, aku bukakan botol air mineral yang kuambil dari tas punggungku. Ia menenggaknya, hingga sepertiganya. Menghela napas, kemudian tersenyum. Jarum jam di tanganku beranjak dari angka tiga.

“Nduk, kamu lahir tahun berapa?” tanya Bu Dalang tiba-tiba. Alisku mengerut.

“Tahun 1978. Ah, Ibu jadi mengingatkan usia, ha…ha...ha…,” jawabku.

“Tanggalnya?”

“Pada 18 Januari...  ada ramalan buruk, Bu? Saya sudah terbiasa, kok,” kataku, asal. Aku ingat cerita tukang ramal di beberapa tempat, yang tak pernah memberikanku ramalan berpengharapan. Mulai dari karier melangkah seperti siput, hidup sakit-sakitan, hingga jauh jodoh. Apa pun ramalannya, mereka tak pernah meramalkan bahwa aku bisa mengatasi semua itu. Kulepas tali kamera dari leherku. Kamera itu sedemikian dingin. Apa pun ramalannya, aku masih hidup utuh hingga detik ini.

“Sudah kuduga,” kata Bu Dalang.

“Ramalan itu?”

Bu Dalang menggeleng sembari tersenyum.

Ia menghela napas.

“Ini bukan ramalan, Nduk. Ini perhitungan. Sastra jendra hayuningrat 3). Aku dan kamu dilahirkan di weton dan neptu yang sama. Jarang terjadi. Tapi, aku sudah tahu sejak pertama, sejak kau datang ke asrama dengan tas gunungmu itu,” kata Bu Dalang.

Kepalaku mulai pening.

Catatan:
1) Jatuh cinta yang teramat sangat.
2) Salah satu suluk yang didendangkan Nyi Rumiati Ajang Mas artinya kurang lebih: Aduh Tuan, Tiyang Agung/Kasihanilah Adaninggar/Yang terjerat tali asmara/Terikat hingga ke jiwa/Hati pun terjerat pesona/Hingga terasa sakit di tubuh (lempeng badan)/Cahya Wong Agung begitu kemilau.
3) Mantra untuk membebaskan dari kejahatan dan meraih kebahagiaan.

Aku mulai jatuh cinta pada wayang, tapi bukan berarti aku harus tenggelam dalam primbon.
“Kau lelaki itu/ Yang masih setia memastikan pohon–pohon bumi/Tetap berpucuk di kala yang lain luruh/ Sesungguhnya aku tak perlu menemukanmu/ Karena kau tak pernah pergi, kata Bu Dalang.

Sebait puisi, ya, kukira puisi. Aku sudah lama tak menyapa keindahan kata-kata justru ketika menulis menjadi pekerjaanku. Keindahan memang akan pudar ketika menjadi keharusan. Kini kudengar, kata itu sedemikian merdu. Aku menggigit bibir keras-keras. Asin darah lumer di lidah. Aku kenal puisi itu. Karena aku yang menuliskannya. Sepuluh atau dua belas tahun lalu. Kenapa bisa tiba- tiba hadir di sini?

“Ha...ha...ha… bisa hafal begitu. Apa saya pernah menunjukkannya ke Ibu, ya? komentarku, sembari tertawa. Karena sering Bu Dalang membaca tulisanku, coretanku, ketika berkunjung ke kamarku. Bu Dalang tersenyum sambil menggeleng.

“Aku tidak menghafalkannya, Nduk. Aku membacanya di sana, katanya, sembari menatap mataku. Ya, mata adalah jendela hati. Kau bisa mengintip aktivitas hati dari kebeningan korneanya.

“Lelaki itu pasti bukan Yuan, ‘kan? tebak Bu Dalang. Bagaimana dia tahu.

“Ha...ha...ha… itu masa lalu, Bu. Lagi pula, saya menuliskan bait itu sebelum saya kenal Yuan. Sudah lama sekali.

“Kamu tahu dia sekarang ada di mana? Refleks aku menggeleng. Hanya saja, aku tak yakin. Pertanyaan itu seperti menuntunku ke jalan setapak itu. Di mana Merapi dan Merbabu berdampingan mesra. Kabut mengambang dalam bimbang. Kepedihan yang teramat dalam mendatangkan temaram. Kita pernah ada di sana, sebagai cahaya yang menjawab gelap.

“Mungkin masih jadi aktivis lingkungan di Jawa, atau Sumatra, atau entah mana.  Tapi, saya tak tahu pasti, Bu. Sudah lama tidak kontak.

“Hmm... sebenarnya kamu tahu kan dia di mana? Hanya tak mau mengakui.

 Aku menghela napas. Amora, nama itu. Ada harum jasmin ketika aku mengingatmu. Dulu, kau selalu membawakan melati yang baru saja mekar di pagi hari. Katanya melati itu tumbuh di depan rumahmu. Walau aku tak pernah tahu, di sisi mana melati itu tumbuh setiap kali aku ke rumahmu. Yang jelas, wanginya bertahan lama. Berminggu, berbulan, dan bertahun-tahun.

“Tujuh tahun saya memainkan peran itu, Bu. Peran sebagai padang Kurusetra mungil. Tempat bertarungnya cinta antar-anak manusia melawan pertaruhan sayang seorang ibu. Begitulah, ibu saya tak pernah setuju saya menjalin hubungan dengan aktivis macam dia. Keberadaannya memang dibutuhkan di negeri ini, namanya harum di banyak media, namun kehadirannya tak pernah diharapkan oleh calon mertua yang menginginkan anak gadisnya bahagia. Begitulah, Bu... saya mencoba menghapus cinta itu. Dengan logika sederhana dia terlalu santai untuk menjadi suami dan ayah dari anak-anak saya. Sialnya, walau begitu, saya pun masih tetap mencintainya kala itu. Lalu kami memutuskan berpisah dalam arti yang sebenarnya. Saya ke Jakarta, dan dia pergi tak pernah mau memberi alamat di mana ia tinggal. Tapi, dia selalu tahu di mana saya ada. Sesekali mengirimkan SMS dari banyak nomor. Menceritakan tentang alam. Aroma lumut basah, keperkasaan hutan, dan..., serak sekali rasanya.

Tiba-tiba aku merasa, dia hadir di sini. Di antara kami. Dua wanita dari dua generasi, yang bimbang di larut pagi.

“Yah, pernah suatu ketika saya menelepon satu di antara banyak nomor yang mengirimkan SMS itu. Semua menjelma nomor hantu. Dia lenyap seperti hutan. Lantas saya bertemu dengan Yuan, dan kami tunangan. Anehnya, setelah itu dia tak pernah ngirim SMS lagi. Saya rasa itu sudah cukup menjadi jawaban untuk saat ini. Mungkin dia masih tinggal di gunung-gunung itu. Dan bagi saya,  saya sudah cukup bahagia dengan pernah mencintainya, kataku.

Ada kekuatan yang menelusup. Damai sekali. Baru kali ini aku bisa mengatakan, aku sudah cukup bahagia hanya dengan mencintainya. Hah, mengapa aku bisa mendadak romantis begini?! Sekuat tenaga aku mencoba untuk tidak menangis. Aku mau hemat air, seperti pesannya di tengah isu global warming. Takkan kusia-siakan setetes air pun, bahkan untuk sekadar air mata. Bu Dalang mengelus rambutku yang mulai kusut oleh malam.

“Hei, kamu tidak usah menjawabnya. Aku tahu. Kudengar helaan napas berat. Kami sama-sama hening. Bulan pucat memanggil sebentuk memori. Bu Dalang mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Amplop putih sesuci Lucifer. Dari cara memegangnya, pastilah itu sangat berharga.

“Bukalah, katanya. Amplop itu terasa hangat, panas tubuh wanita yang terperangkap. Tiba-tiba panas itu menjadi asing yang membingungkan, begitu tahu apa yang ada dalam amplop itu. Aku mengenal kertas itu. Tapi, aku tak tahu apa maksudnya.

“Ini kan... Pak Bhisma? Ya, aku tahu karena sobekan kertas itu tak lain adalah artikel yang aku tulis. Profil Bhisma Bayu Wardana, seorang pejabat yang membuat hutan dan kebun bunga dari tanah tandus. Narasumber yang kupotret dua kali, karena pemotretan pertama gagal. Memori kena virus dan datanya tak bisa ditransfer. Kecerobohan yang membawa kenangan.

“Bu Dalang kenal beliau? Masih belum terjawab kebingunganku. Ada air mata yang menggenangi semestanya. Wajah serupa kangen. Kerinduan yang mendalam, semacam hasrat yang dikubur paksa. Mengapa aku pertanyakan? Jawaban itu sejelas kilau sendok di piring makan. Duh, Gusti...  pertanda apa ini.

“Dia, Ibu ? Lelaki itu...?

Kupandangi wajah yang tercetak di kertas itu. Seorang pria yang dua pertiga wajahnya ditutupi cambang. Senyumnya merangkum pesan. Kini aku mulai menerjemahkan pesan itu. Jalinan dirinya, hutan, kebun bunga, dan Bu Dalang! Aku pun tahu, pertautan antara pertemuan Patung Liberty dan wayang-wayang itu. Kulihat tanggal yang tertera di jam tanganku. Ya, benar, hari ini dia sedang menjalani perawatan medis. Kala itu, dia pernah mengatakan tentang negeri Paman Sam untuk menyembuhkan penyakitnya. Kadar gula yang melebihi kemampuan tubuh menampung, yang mulai menggerogoti harapan hidupnya. Aku yang menuliskannya di sobekan majalah ini. Seperti  jaring laba-laba, yang dirajut napas liur di setiap helainya. Berputar. Tak putus. Akhirnya bersumbu pada takhta di bagian tengahnya. Akulah poros itu.

Lakon 3. Sinden Alas Jati
Sungguh aku mau pingsan siang itu. Ketika Armin, editor foto majalahku, mengatakan bahwa aku salah mengambil memori kamera. Memori yang kuambil salah. Saat pemotretan berjalan lancar. Merekam dengan baik. Tapi, begitu ditransfer ke komputer, virus seperti menyembunyikan data-datanya. Tragedi salah ambil memory card itu masih jelas sekali kuingat.

“Masak, sih, Ar... enggak bisa digimanain, kek,” kataku, memohon. Apa pun penjelasan Armin yang sangat teknis nan rumit itu, terjemahannya begitu sederhana: ulang pemotretan. Tubuhku pun serasa tak berpijak di lantai.

Terbayang tokoh pahit yang aku harus meliputnya itu. Seorang pejabat teras yang tinggal di kaki Merbabu dan Merapi, jauh di sana. Wawancara kemarin saja bukanlah wawancara yang manis. Apalagi disuruh mengulang. Pening, sesal, hingga memicu keringat dingin deras mengalir. Berapa kali lagi aku harus menanggung risiko kecerobohanku? Tapi, pagi itu memang aku lelah sekali karena nungguin pentas Bu Dalang semalaman. Makanya, aku tak begitu teliti ketika mempersiapkan peralatan untuk dinas luar kota. Apa pun alasannya, tak ada pilihan. Segenap doa dan mantra kurapal sebelum aku meneleponnya. Berharap Tuhan memberi keajaiban.

“Selamat siang, Pak, saya Rhea yang kemarin wawancara. Mohon maaf mengganggu waktu Bapak,” segenap kalimat diplomatis kulancarkan, sementara di sana tetap mendengar, tapi tak
ada jawaban.

“Memang saya ceroboh salah ambil memori. Karena mungkin kecapekan, semalaman menunggui pentas wayang kulit,” kataku, setengah curhat dan lebih tepat memohon. Ada desah di seberang sana.

“Wayang kulit? Kamu suka wayang kulit?” tanyanya, di luar dugaanku. Dia tertarik! Kalau aku bisa sedikit diplomatis memanfaatkan ketertarikan itu.

“Tidak juga, Pak. Hanya karena pentas pemilik asrama, jadi saya ikuti,” jawabku gagal bohong, sama ketika aku ngobrol dengan ibuku.

“Dalang wanita? Siapa namanya?” tanyanya, semangat. Lho, kenapa begini.

“Kami panggil Bu Dalang. Nama aslinya sendiri saya tidak tahu,” kataku, jujur. Begitulah hebatnya Jakarta. Berapa orang kutemui tiap hari, berapa orang pula yang benar-benar kukenal selain urusan yang bersangkutan?

Ada desah panjang dan berat terdengar menyembur gagang telepon. Hening. Dadaku jungkir balik atas nama pertaruhan karier.

“Oke, kamu bisa datang kapan saja,” ujarnya, yang menjadikan duniaku tersenyum sedemikian lebar. Ajaib!

Rumah sama, tuan rumah yang sama, bisa menjadi sangat berbeda keindahannya jika dihiasi senyum dari si empunya. Begitulah, pemotretan kali ini hasilnya lebih bagus dari kemarin. Aku berhasil mendekati kehidupannya lebih utuh, dibandingkan pemotretan formalitas kemarin. Karena sesungguhnya, memotret bukan hanya sekadar merekam objek dengan kamera, tetapi harusnya bisa membidik sisi menarik dari objek. Bukankah setiap benda, setiap orang, punya detail menarik, yang hanya akan kita temukan ketika kita mengenalnya?

Seperti Pak Bhisma ini. Ternyata, dia bukan sekadar pejabat teras yang disegani di kota kecil ini. Lebih tepatnya, dia disegani bukan karena menjadi pejabat teras, tapi karena dirinya adalah Bhisma. Bhisma yang berhak memilih hari kematiannya atas keikhlasan yang dilakukan di luar batas manusia.

“Rhe, kamu pernah punya kenangan?” tanya Pak Bhisma, sembari mengarahkan mobilnya ke suatu tempat. Dia ingin menunjukkan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan liputanku.

“Kenangan?” jawabku, heran. Pastilah punya. Kalaupun aku lupa, ada diari yang rajin kuisi untuk jaga-jaga kalau aku bangun dan lupa siapa diriku. Duh.

“Kenangan yang sangat kuat. Mimpi yang tak terbantahkan. Hingga kau berniat mewujudkannya sepanjang hidupmu,” ujarnya. Terasa berat dan dalam. Kuperhatikan pria ini lebih detail. Dia seusia kakekku. Tapi, dulunya pastilah dia tampan dan otaknya cemerlang. Rahangnya kuat, matanya tajam, dan rambutnya lebat, walau kini helaian itu sudah menjadi perak. Bibir yang kerap melukis senyum itu pastilah mantra pemanggil kaum hawa untuk terjerembap dalam jurang pesona. Berapa banyak kekasihnya dulu? Sebelum akhirnya tertambat pada mendiang istrinya, Areni.

Mobil itu berhenti di jalan tanah di tengah hutan jati. Lalu dia mengajakku untuk menyusuri jalan setapak yang membawa aku masuk di tengah pusaran ranting-ranting meranggas. Kemarau merenggut daun-daunnya hingga licin tandas.

“Hutan ini milik Bapak?” tanyaku.

Pak Bhisma menggeleng. “Milik bumi dan Hujan itu.” Daun jati resah terinjak seakan ingin memanggil kembali bulir hujan untuk menumbuhkan pucuknya. Bukan hujan yang datang, tapi kenangan itu mengambang dalam ruang di antara kami.

“Dulu aku memanggilnya Hujan. Karena dia sejuk, indah, dan menjadikan bumiku berkilau. Kedatangannya sebagai penawar dahaga yang tak terjawab. Kehadirannya menjadikan warna-warna lebih terang. Suara-suara lebih bening. Cikal-cikal hidup tumbuh menyongsong harap. Aku pun jatuh cinta pada Hujan itu. Pada bulirnya yang jatuh beriringan. Pada geraknya yang lembut menyusup kulit bumi. Pada dingin yang meredam apiku.

Denting Hujan suka sekali berkisah. Tentang kebajikan purba yang terlupa. Laga cinta Rama, epik Pandawa dan lara Kurusetra. Juga kidung agung yang akhirnya aku pun terjerembap dalam kubangan pesona. Kau pernah mendengar Suluk Tembangraras?”

Aku terperanjat tak siap. Aduh, apa pula ini. Tiba-tiba sosok di depanku bukan lagi kakek renta. Namun, menjelma jejaka yang mabuk cinta. Masa silam, benar-benar datang mewujudkan dirinya. Di antara napasnya yang renta, ia mulai berkisah tentang suluk itu dan kenangan itu.

“Aku ingat, suatu siang di ujung desa, setelah usai upacara wiwit. Dia duduk di dangau, di tengah padi yang gemuk dan dewasa. Di kejauhan, tampak bayangan hutan jati yang meranggas. Entah
berapa lama lagi hutan ini memerankan bayangan kala gergaji dan ambisi nyaring terdengar. Kenyataan itu membuat parasnya mendung.

Dia dulu begitu belia, namun pemikirannya seperti meloncat meninggalkan raga. Padanya rasa ini menemukan rumahnya. Seperti hutan jati menemukan Tanah Jawa. Hutan itu mengingatkan pada suluk yang mengisahkan tentang Lurah Hutan. Yang tugasnya menjelaskan kepada para penebang, pohon mana yang bisa dirobohkan dan mana yang bila diambil rantingnya saja akan mendatangkan petaka bagi yang melakukan kesalahan itu dan lingkungannya. Lurah Hutan memberikan nasihat tentang seni memilih pohon jati yang cocok untuk pembuatan rumah atau masjid. Juga musim yang pas untuk menebangnya.

Hanya saja, ketika manusia  makin merasa pintar, Lurah Hutan pun kehilangan pengaruhnya. Nasihatnya luluh lantak di bawah angka uang dan keinginan yang tak pernah terpuaskan. Lalu katanya, “Kelak kalau aku sudah besar, aku akan membeli hutan yang luas.”

Entah mengapa, begitu selesai terucap, ada asap membubung tinggi sekali. Melenyapkan bayangan hutan jati di horison. Digantikan oleh kobaran api yang memenuhi horison. Kebakaran hebat itu menewaskan ratusan hektare lahan jati yang tersisa. Menyihir kayu mahal itu jadi abu. Tak tahukah, justru pemicu api adalah pembakaran semak untuk mengambil kayu-kayu yang masih belia. Hutan pun murka. Pontang-panting kami lari dari api. Tersandung, terperosok dan batu tajam melukai kaki telanjang kami. Api itu terlalu mengerikan bagi anak seusiaku waktu itu.

Di atas bukit, ia memandang lunglai hutan itu. “Aku akan punya hutan, kan? Hingga aku bisa mengambil kayunya yang dewasa, keras dan tegak. Untuk membangun kayu. Di tengah kebun yang luas penuh bunga. Di mana matahari terbenam bisa dilihat setiap senja. Tanpa terhalang mendung, apalagi gedung.”

Saat itu, disaksikan bukit kapur, hamparan padi di bayang api, aku berjanji untuk mewujudkannya. Janji heroik seorang lelaki kecil yang bahkan belum akil balik. Yang tak sadar bahwa dunia terkadang bukan lakon manis yang happy ending. Yang mengempaskannya di jurang kepedihan yang tak bisa dimengerti. Kenapa cinta hadir bukan untuk menghidupi? Kenapa keinginan mulia tak selalu dijawab Tuhan dengan kata iya saja?

Lelaki kecil itu mencoba merengkuh Hujan, namun tak pernah sadar bahwa Hujan tak pernah bisa tersentuh. Hujan hanya menyapa, tak pernah meninggalkan rasa. Dia berbagi untuk semua. Sungguh kecewa jikalau menambatkan diri pada Hujan. Hujan takkan pernah tahu kapan dia datang. Dan pergi tanpa perlu angin membawanya. Dan dia pun pergi, begitu saja. Walau sesungguhnya, bagiku dia tak pernah pergi. Hingga aku merasa menjadi dewasa bahkan renta. Janji lelaki kecil itu masih saja tumbuh dalam diriku. Aku harus mewujudkannya. Hutan ini tidak seluas hutan yang terbakar itu. Tapi, inilah tanah yang tersisa, untuk menjaga lereng akar tetap tegak. Menyelimuti tanah-tanah kapur agar tidak kabur. Kamu lihat, di bawah sana, banyak permukiman yang menengadah petaka. Jikalau bukit ini gundul, tebing-tebingnya bisa melenyapkan perkampungan. Hanya pohon jati yang bisa menyangga tanah sepahit ini. Menyangga hujan agar turun pelan. Tak merusak, dan selalu menyejukkan,” katanya, tanpa mampu aku sela.

Dan hujan pun datang. Kali ini memang hujan yang sesungguhnya. Seperti tiba–tiba tercurah dari langit. Riuh bulirnya menyapa dauh jati. Aroma tanah basah meruap di antara ranting dan dahan. Segar sekali. Hujan pertama di tahun ini. Katanya, hujan pertama selalu membawa berkah dan juga waktu mujarab untuk berdoa. Aku tak sempat memikirkan doa apa yang sebaiknya aku panjatkan. Buru–buru aku menyelimutkan penutup tas ransel. Kamera adalah barang pertama yang perlu diselamatkan. Bukan cerita seru ketika harus mengulang motret lagi, kali ini alasannya kamera basah kuyup.

“Ayo, tidak jauh lagi ada tempat berteduh,” kata Pak Bhisma, yang mencoba membawa tubuhnya ke ujung jalan setapak.

Jalan setapak itu berujung pada sebuah tanah impian yang menjadi kenyataan. Di tengah hutan jati, ada kebun luas. Mungkin satu hektare atau lebih, dan penuh bunga! Bagaimana mungkin di sekelilingnya kemarau begitu sadis menggigit, sementara di sini seperti punya candra musim sendiri. Mimpi itu menjadi  makin nyata, ketika di tengah kebun itu ada rumah kayu. Tidak sebesar rumah gadang, tapi aku bisa merasakan betapa besar artinya bagi sang pembangun. Sementara aku terkesima, buliran hujan mulai menyapa seluruh tubuhku. Ups. Pak Bhisma melambaikan tangannya untuk segera masuk ke rumah kayu itu. Rumah kayu dengan kebun bunga. Begitukah cinta bisa sedemikian kuat? Hingga membentuk energi yang demikian hebat. Bahkan ketika tak tahu lagi, di manakah cinta itu kini bertakhta.

“Wow!” hanya itu komentarku ketika aku duduk lesehan di dalam rumah itu. Interiornya khas Jawa Tengah. Ruangannya disekat dengan rana dengan lukisan kaca. Salah satunya, bergambar Bima yang terbelit ular. Lalu di dindingnya ada kain yang bergambar wayang juga. Kereta dengan penunggangnya sedang merentangkan gendewa.

“Itu Mahabarata?” tebakku.

“Salah satu episode Mahabarata. Di mana Kresna menjadi kusir Arjuna,” kata Pak Bhisma. Lalu ia meminta pembantunya untuk menyiapkan minum.

“Ini Yu Min, ahli kebun di sini,” kata Pak Bhisma, mengenalkan wanita senja yang mengenakan kebaya. Menunduk sembari tersenyum. Kulihat tangannya yang lentik, tapi tak mulus. Di sanalah lahir kuncup-kuncup bunga.

Untuk beberapa saat, aku masih mengedarkan pandangan ke setiap perabot yang ada di ruangan ini. Jikalau ini vila, atau semacam rumah peristirahatan, tapi mengapa tak ada satu pun foto keluarga. Mendiang istrinya, atau anaknya. Dari sini aku bermain-main dengan perkiraan. Jadi, rumah ini benar-benar perwujudan cinta platonis, seperti Gunongan yang didirikan dengan bait cinta oleh Sultan Iskandar Muda untuk Putri Pahang. Atau kemegahan Taj Mahal untuk sang permaisuri. Tapi, mereka semua adalah wujud kenangan dari cinta yang menyatu. Sementara rumah kayu ini… lebih menggetarkan dari semua itu. Seperti membangun Candi Seribu.

Teh hangat terhidang dengan poci dari tanah liat. Aromanya mengundang selera, mengusir linu tulang. Hangat. Apalagi ditambah  dengan gula batu yang berkilauan seperti kristal. Lalu Yu Min menghidangkan sesuatu, seperti jengkol dan berasap. Teh poci pastilah elegan, tapi makan jengkol? Oh, no... aku nanti harus melanjutkan perjalanan, naik pesawat ke Jakarta. Bagaimana mungkin perjalanan itu ditemani aroma jengkol.

“Ayo, minumlah. Kamu pasti jarang minum beginian,” kata Pak Bhisma.

“Momen yang tak akan terlupakan bagi saya, Pak,“ jawabku, menuang teh dari poci, sembari melirik makanan aneh itu. Agaknya ia menangkap isyarat ngeri di wajahku. Ia pun tergelak.

“Ah, aku lupa memperkenalkan. Ini namanya gayam. Cobalah,” tawarnya, sembari menyodorkan sepiring ‘jengkol’ itu. Demi kesopanan, aku pun mengambil satu keping. Memang teksturnya seperti jengkol, hanya

rasanya beda. Gurihnya klasik, menyapa lidah dengan akrab, tak ada aroma menusuk yang kutakutkan. Tanpa malu-malu, aku mengambil satu lagi, satu lagi, dan terus mengiringi obrolan kami. Pak Bhisma tergelak. Sebaris giginya tampak rapi, dan belum ada yang tanggal. Hmm, wanita, yang menjelma menjadi Hujan itu, yang meninggalkannya, pastilah
akan menyesal.

“Sebenarnya, kalau kamu memperhatikan, di Kebun Raya Bogor ada juga tanaman ini. Tumbuh besar, akarnya seperti lempeng yang timbul di permukaan tanah. Akarnya yang banyak inilah yang mampu menahan erosi dan menyimpan airnya di pori tanah. Makanya, gayam dijuluki sang pemanggil air.”

“Pemanggil Hujan?” tanyaku hati-hati. Pria itu tersenyum, lantas tergelak. Lalu diceritakannya, tentang gayam yang memanggil Hujan. Hujan dengan ’H’ kapital. Ketika subuh menjemput hari, Bhisma kecil bersuit panjang di ujung desa. Gelombang suara akan terdengar nyaring melebihi kemampuannya di siang hari. Udara masih hening dan padat, hingga memperluas jangkauan. Tak berapa lama, seorang gadis kecil yang membaca sasmita, buru-buru turun dari peraduan. Rambut yang tergerai digelung sekenanya. Kebaya dirapikan dan kain bermotif kukilo dikencangkan. Langkah kecilnya nyaris tanpa suara, membuka pintu gebyok sembari menjinjing bakul yang berisi pakaian kotor untuk dicuci di sungai.

Namun sebelum itu, ia akan menemui Bhisma terlebih dahulu. Untuk mengumpulkan buah gayam yang jatuh di sungai dan lumpur, yang bahkan jauh dari pohonnya. Menuntaskan kerja kelelawar semalaman. Yang telah memetik buah-buah gepeng, warna hijau kekuningan, tepat pada usia masaknya. Lantas memakan kulitnya yang manis, hingga menyisakan sabut–sabut menyelimuti batok bijinya yang keras. Biji–biji itu akan tersebar, sejauh kelelawar bisa membawanya. Dengan cara seperti itulah, sebatang pohon gayam mengirimkan bayi–bayi bijinya merantau ke negeri yang jauh.

“Berulang kali orang tua kami melarang untuk mencari gayam. Karena, itu makanan orang susah. Tapi, tetap saja kami melanggarnya,” kenang Pak Bhisma.

Berbekal  kaleng yang dilubangi, kemudian diberi gagang bambu panjang, mereka berdua mampu mengait gayam yang bahkan sudah terkubur lumpur. Satu demi satu hingga terkumpul seribu. Kemudian gayam diplanthong untuk membuka batoknya. Lembaga yang putih bersih bersusu itulah yang direbus. Dengan menambahkan sedikit garam, air mendidih akan mematangkannya. Mengubah putih susu menjadi kecokelatan. Menjadi matang dan gurih.

Keping–keping gayam itu ditata apik di atas daun lembong. Lantas dimakan di dangau sembari melindungi padi dari sergapan burung pipit. Hingga senja menjelang. Hingga pipit pulang ke sarang. Sepasang bocah belia itu rasanya enggan mengakhiri hari. Bahkan, sampai usia belasan, lembar romantisisme sebatang gayam, masih terus dituliskannya. Hingga akhirnya si perempuan melantunkan pupuh Asmaradana. Merdu, mengiris, dan tragis.

“Emm…. apakah Bapak tahu, di mana dia sekarang?” tanyaku. Dua warna rambut itu tersibak oleh angin yang menerobos melalu jendela. Di luar sana, hujan mulai reda. Hujan mulai pergi?

“Aku sudah katakan padamu, Rhe,..dia tidak pernah pergi, bukan? Dia ada di sini,” katanya, sembari meletakkan tangan di dadanya. Aku merinding, mulai pening. Di luar sana gedung tinggi sedemikian menjulang dengan arsitektur futuristis, arus informasi deras mengalir, facebook menyatukan orang–orang di berbagai belahan bumi, dunia seperti terlipat dan jarak itu musnah sudah. Di sini, aku seperti terperangkap pada zaman entah kapan. Di mana Shakespeare masih menuliskan huruf demi huruf dengan tinta celup. Untuk mereka adegan di mana Juliet mencecap sari terong beracun. Deathly nightshade, bunga cantik yang memekarkan sayap maut.

“Kapan terakhir kali bertemu dengannya?” Ah, kenapa juga aku menanyakannya. Bukankah ini akan mengaduk–aduk luka yang sudah mulai terajut oleh benang penyembuh? Tapi, ekspresi lelaki di hadapanku ini sedemikian tenang. Aku menduga, ia pasti akan menjawab, setiap hari ia selalu ketemu di pikirannya yang maaf saja kukatakan, sinting.

“Di suatu senja, saat Grebeg Mulud mengalun di kotaku,” jawabnya, dengan senyum yang agaknya sudah dipelajari selama puluhan tahun. Pelajaran sulit tentang bagaimana membuat senyum dari adonan sakit.  Saat dia mengalunkan kidung Asmaradana, yang ternyata itu terakhir kali aku mendengarnya. Lalu suitan panjang dini hari, hanya membangunkan matahari dan mengejutkan kelelawar. Melemparkan biji–biji gayam sekenanya. Terkadang memecah genteng, terkadang membenjolkan jidat para pemanjat nira.

“Kenapa dia tiba–tiba pergi? Bukan karena berantem atau...mungkin sudah dijodohkan dengan orang lain?” selaku. Pak Bhisma menggeleng.

“Selama ini, kedua orang tua kami tak pernah membicarakan atau tepatnya mempermasalahkan kedekatan kami. Awalnya sungguh sakit, kenapa dia pergi tanpa pesan. Ada dendam karena merasa tak dihargai. Lalu tiba–tiba aku khawatir, jangan–jangan sesuatu yang buruk menimpanya. Namun, melihat kedua orang tuanya yang tenang–tenang saja, aku yakin dia baik–baik saja. Tidak kena tifus, hanyut di sungai, atau ketimpa pohon.

Hanya saja dia lenyap, dan keluarganya tak pernah tahu atau mau tahu, bahwa aku sangat kehilangan separuh nyawaku. Bagaimana aku bisa berharap lebih, menceritakannya dengan benderang, ketika para orang dewasa itu sudah sibuk membangun dunianya. Tak lupa, duniaku pun dibangun atas desainnya, tak peduli aku setuju atau tidak. Seolah mereka paling tahu cara mendeskripsikan kata kebahagiaan dan masa depan bagi anak–anak mereka. Aku tak mendengar kabarnya lagi. Walaupun

aku masih selalu bisa memanggil alunan kidung itu, selagi aku mau,” jawabnya.

Aku mulai berpikir dengan kacamata awam. Benarkah ia juga akan mendengarkan kidung itu tatkala mengikrarkan janji pernikahan dengan istrinya? Apakah kidung itu juga tetap mengalun mengiringi setiap adegan percintaan yang mungkin tak didasarkan pada cinta romantis negeri dongeng? Apakah kidung itu juga akan meninabobokan anak–anaknya, dari istrinya yang sah? Lalu, apa fungsi sang istri dalam takhta hidupnya? Sebagai lebah ratu yang menghasilkan pekerja dan tentara untuk menjaga keperkasaan sarang. Memberi pancaran kewibawaan. Betapa cinta menjadi sedemikian kejam. Mereka lebih peduli apa kata orang daripada seperti apa hati berkata tentang keindahan hakiki.

Dari perenungan lama sekali, aku menyimpulkan sendiri. Dia tengah mengejar impiannya untuk menjadi dalang. Profesi yang sangat tabu untuk wanita pada masa itu. Sejenak sunyi. Angan kami menyeberang ke batas cakrawala.

“Sungguh, ini pelajaran yang takkan saya dapat dari buku mana pun,” komentarku, tanpa bisa memilih kalimat yang lebih bagus.

“Ah, kamu melebih–lebihkan. Sudah berapa tahun kamu jadi wartawan?”

“Belum lama, Pak. Belum ada satu tahun. Makanya, mohon maaf bila banyak kekurangan.”

“Hei, tak masalah… bukankah setiap perjalanan hebat yang tercatat dalam sejarah, selalu ada langah pertama. Nantinya kamu pasti akan bertemu dengan banyak orang. Dengan masing–masing ceritanya yang menakjubkan. Di sanalah inti dari perjalananmu?”

“Ada hikmahnya juga, kalau saya tidak mengulang motret, saya tidak akan sampai ke tempat indah ini. Menikmati gurihnya sang pemanggil air yang menyanyikan kidung Hujan. Di tengah hutan jati dan bunga–bunga,” kataku, sembari menyeruput kembali teh yang mulai dingin. Lama sekali Pak Bhisma menatapku. Wah, salah tingkah juga. Tak jelas di sini, siapa mewawancarai siapa. Lalu ia tergelak. Riang sekali.

“Kau akan menjadi jurnalis hebat, bila kau berhasil menggunakan seluruh indramu, Nak,” kata Pak Bhisma, kembali menjelma lelaki sesuai umurnya. Di luar sana, hujan benar–benar pergi. Ia berdiri untuk mengajak berkeliling ke kebunnya. Kulirik jam tanganku kembali. Hmm... masih ada waktu untuk menyelesaikan perjalanan romantisisme purba ini. Bahkan, aku merelakan jika harus ketinggalan pesawat!

Sampai di Jakarta, Armin melihat hasil pemotretan ulang itu dengan decak kagum. Foto hutan jati, rumah kayu, dan taman bunga itu seperti negeri dongeng. Yang uniknya dimiliki oleh seorang lelaki tua yang menyimpan rapat– rapat cintanya. Mungkinkah kamera juga mampu merekam sebentuk cinta?

Setelah artikel itu terbit, banyak surat pembaca yang masuk. Ada yang dari aktivis lingkungan, terpesona dengan cara reklamasi lahan tandus hingga menjadi hutan jati yang menghasilkan ratusan juta rupiah. Sebagian besar surat dari wanita, ibu–ibu yang terpesona oleh kisahnya. Sisi lain terpesona oleh sosoknya. Duda keren dan kaya! Ketika kukatakan pada Pak Bhisma, dia hanya tertawa. Katanya, secara resmi mengangkatku sebagai sekretarisnya untuk mengurusi surat penggemar.

“Rhe, kamu menuliskannya dengan bagus sekali. Banyak wartawan pernah menulis profilku, tapi kamu menyajikannya beda,” kata Pak Bhisma melalui telepon, setelah ia menerima bukti terbitnya.

“Terima kasih, Pak. Mungkin karena saya memang jatuh cinta pada kebun dan hutan Bapak,” kataku. Tentu saja, aku jatuh cinta pada kisah itu.

“Mainlah kapan saja, aku akan sangat senang. Oh, ya, melati yang aku bilang dari Afrika itu sekarang sudah mekar. Bunganya besar dan sangat wangi. Aku kirim, ya ?”

Oh, no! Apa kata teman-teman nanti. Tetapi, kiriman melati, terlalu abstrak kenangan tentang harum bunga suci itu. Amora-kah kau? Sejarah tak berulang, hanya berirama. Mereka tak sama persis. Hanya nadanya yang terdengar serupa.

“Emm… tidak usah repot–repot, Pak. Tentunya akan lebih bagus kalau saya melihatnya langsung,” tolakku halus, sembari mengembalikan angan yang tiba–tiba melayang. “Atau kalau memang saya harus menyampaikan pada Hujan?”

Sunyi di seberang sana. Hanya desah yang mengambang. Ya, bahkan ketika aku sudah menuliskan tentang perjalanan sebuah hutan pun, dia tak pernah mau menyebut siapa nama Hujan itu.

“Kamu sudah tahu jawabannya, ‘kan? Dalam hal ini, aku belum bisa berbagi pada siapa pun. Biar dia utuh tersimpan.”

“Siapa tahu saya menemukannya, Pak. Ketika saya jalan–jalan, nongkrong di TIM, atau di mana pun,” desakku.

“Bukankah sudah aku katakan, dia tak pernah pergi?” jawabnya, sambil mengucapkan salam. Ah, sudahlah. Dunia itu terkadang menjadi sangat sempit untuk satu hal. Dan memang, akhirnya aku menemukannya, tanpa Pak Bhisma mengatakannya. Wanita yang dipanggilnya Hujan. Yang memberiku naungan dari panas dan hujannya Jakarta.

Kubawa ragaku menempuh kemegahan Suluk, dan kamulah Tembang laras Suluk itu. Kau mengira aku pergi, padahal aku mengembara di dalam dirimu.

Lakon 4. Asmara Mencipta Hujan
Aku lipat kembali sobekan majalah itu dan kukembalikan pada Bu Dalang. Ia menyimpannya di tempat semula. Bening air itu tumpah sudah. Kembali ia menangis. Kembali ia mencipta Hujan. Dentingnya mengalun mengiri fajar yang menyala serupa pijar. Kehangatan api masa silam yang ingin dihadirkannya malam ini.

Dia kupanggil Api, api yang menjadikan blencong menyala, kelir menyala dan wayang hidup meliuk-liuk. Api mungil yang memberikan pijar di tapak mungilku. Kala itu kami masih sedemikian belia. Dua belas tahun umurku dan dia tujuh belas tahun. Kami bersahabat sejak kecil. Hingga tak sadar, ikatan kami melebihi seorang sahabat. Momen kesadaran itu sedemikian dramatis.

Aku masih ingat, di pakeliran pentas ayahku. Pada awal Muharam, Suroan di balai desa. Pentas yang sudah ditunggu oleh penduduk desa, yang jarang makan enak. Bahkan, makan cukup pun tak ada dalam kamus hidupnya. Setahun mereka menunggu. Tak hanya karena pamor ayahku sebagai dalang terkenal. Tapi, pada Suroan itu, banyak sekali makanan. Ingkung ayam utuh berderet, cara bikang yang manis, apem dan sebut saja semua makanan yang diimpikan orang–orang lapar, ada semua. Ibuku memimpin wanita desa untuk memasak dari subuh hingga terhidang megah di kala senja. Kami berpesta laksana surga. Semua warga menantikannya.

Ketika Nyai Wuning, sinden jelita sekaligus ibu Bhisma tengah mengalunkan tembang Maskumambang, dan ayahku memainkan wayang– wayangnya dengan riuh, aku sibuk di balik panggung. Mengincar segala bentuk makanan yang bisa tertampung di perutku. Tak peduli sudah berapa banyak. Aku makan dan terus makan seperti dendam. Itu lebih baik, daripada aku harus duduk bersama kakakku di samping niyaga.

Ya, wanita tak boleh pegang wayang. Wanita hanya boleh menyapa dapur dan makanan. Kalaupun boleh, cukup menjadi sinden saja. Tapi, tidak sekarang. Lebih baik aku menyelesaikan sekolah sampai kuliah. Agar tidak perlu ‘ngamen’ wayang dari kota ke kota seperti ayahku. Atau menjadi ibu rumah tangga, yang mengurus berandalan yang berwujud kakak-kakakku. Tingkahnya memang mempercepat putih rambut Ibu. Kata ibuku, aku harus menjadi dokter, yang pasiennya banyak, uangnya banyak. Tak perlu kelayapan hingga larut pagi dan terhormat. Ibu sengaja menekankan kata terhormat dengan melirik Nyai Wuning. Bukan untuk menyanjung, tapi lirikan tajam yang tak kenal ampun. Susah memahami kelakuan orang dewasa.

Suatu hari, Ibu akan membuatkan sulaman yang begitu megah, tekun untuk baju–baju Nyai Wuning yang disulamkan pada ibuku. Tapi, di sisi lain, mata Ibu selalu ingin membunuh Nyai Wuning. Walau akhirnya mata Ibu terpejam dan menunduk, jika di hadapan Ayah. Aku tidak pernah tahu, apa yang terjadi di antara mereka. Yang jelas, ibuku melarangku  untuk bersentuhan dengan wayang, walau aku selalu melanggar. Bahkan, rela menerobos jendela dan melompati pagar demi pertunjukan wayang. Gending itu, gamelan itu, liukan bayangan wayang yang terpahat di kelir, selalu memanggil hasratku. Seperti malam itu juga.

Cara bikang yang manis dan lembut berulang kali tak mampu meredakan rasa pahitku. Telinga ini masih memerah bekas Ibu menjewernya tadi, karena aku nekat menyusup di balik gong. Dan nyaris saja kepalaku terjepit logam yang ukurannya bisa menelan tubuhku. Kalau saja tak di muka pentas, Ibu pastilah sudah membunuhku. Dengan melesakkan tubuhku lebih dalam lagi ke kuningan berat itu. Lalu telingaku serasa mau putus. Sakit telinga tak seberapa, tapi makian ibuku sungguh melemahkan tulang–tulangku.

“Rumi, aku tidak pernah melahirkan wanita murahan! Kau tahu itu?!” bisik ibuku, sembari menjambak rambutku, lantas menggelandangnya jauh dari pakeliran. Tak ada satu pun yang peduli, bahkan melihat pun tidak. Ibuku melakukannya dengan akurat, karena sudah terbiasa. Yang menjadi tak biasa adalah makiannya. Ibu tak pernah memaki, apalagi sekasar itu. Bagaimana mungkin aku, anak perempuan satu–satunya, yang bahkan wajahnya mirip dia, dimaki sebagai perempuan murahan. Apakah menonton wayang, mencintai wayang sama halnya dengan melacurkan diri? Mengingat itu, perlahan aku menangis. Cara bikang pun terasa menjadi ampas kelapa.

Saat itu, ada jemari hangat yang menyentuh pundakku. Bukan sosok asing, tapi tiba–tiba ia hadir dalam wujud yang berbeda. Bukan karena beskap yang dikenakan mampu memanggil pesonanya, yang selama ini tak pernah tampak ketika ia hanya memakai kaus oblong. Dia hadir sebagai hujan yang menyiram bara dendam.

“Kau menangis lagi? Nyala api akan pudar, jika kau biarkan air matamu mengalir,” ujarnya, lembut. Lalu ia menghapus air mataku dengan jemarinya. Ini untuk pertama kalinya ia melakukan itu. Apakah karena alunan tembang Asmaradana menumbuhkan pucuk–pucuk asmara yang lelah melembaga. Aku merasakan kehadirannya sebagai Wong Agung Jayengrana.

“Suatu saat nanti, kau akan menjadi dalang terkenal. Aku akan menjadi penontonmu yang paling depan,” katanya, sambil menggenggam erat tanganku. Nada suara itu, kehangatan itu, menyelimuti hari–hari selanjutnya. Hari–hari yang kukira tak pernah ada kata akhir. Khayalan perempuan kecil yang baru pertama mengenal cinta. Hingga kau akan tertusuk tanpa bisa mengelak. Tusukan yang memutus nadi harap. Kau takkan pernah mengerti, mengapa Tuhan menghadirkan cinta tumbuh dalam diri kita. Sementara di seberang hati lain, cinta meregang nyawa tersiram air raksa.

Bu Dalang menatapku dengan pedih. “Aku mengerti, Nduk… bagaimana kamu bisa mencintai Amora. Dan hanya dengan mencintainya, kamu bisa bahagia dan hidup. Cinta tak bersyarat. Cinta membelah hanya untuk cinta itu sendiri. Seperti itulah cinta Putri Cina untuk Wong Agung. Aku tak menghidupkan Putri Cina, karena memang dia hidup dalam diriku.”  

Aku hanya bisa menghitung, berapa jumlah batu yang berserak di kakiku.

Lakon 5. Perawan Para Wayang
Bunga melati yang kusiram masih basah oleh senja Bulan Mulud, ketika wanita itu datang menemuiku. Langkahnya anggun seakan menghentikan waktu. Kebaya putih dengan manik-manik berkilauan menandaskan bahwa dirinya seorang priayi. Telinganya berhiaskan giwang berkilauan, yang walaupun tak besar tapi menunjukkan kasta murni berlian. Sanggulnya digelung cepol yang dihiasi bunga mandakaki. Sederhana, tapi memesona. Binar matanya membuat jantungku runtuh. Ada binar mata kekasihku di sana. Cahaya yang menguatkan diriku untuk melawan.

Cahaya itu memanggil kekuatan yang terpendam. Kemampuan yang tertelikung dalam kemelut aturan menjadi wanita Jawa yang ideal. Santun, lembut tutur kata, selalu menunduk di hadapan lelaki dan malam takkan pernah berani menyentuh kulitnya. Lebih banyak label kualat daripada sepakat. Tapi, bagaimana mungkin keidealan menjadi wanita, wani ditata, itu bisa membendung darah bergejolak.

Desir nadi ketika mendengar gamelan mengalun. Hasrat yang membakar tatkala bersentuhan dengan kulit para wayang. Rangkaian kata yang terjalin sarat makna, dengan bahasa Kawi yang bahkan aku tak pernah mempelajari, tapi bisa hafal begitu saja. Seperti roh Walmiki menuntunku untuk membacakan syair adiluhung yang ditulisnya beberapa abad silam. Aku tak mempelajari gending, tapi gending itu yang mengajariku untuk mendendangkannya. Aku tak mempelajari bagaimana memainkan wayang–wayang itu, tapi merekalah yang menuntun jemari dan lenganku berlenggang. Aku tak bisa menolaknya.

Hasilnya, aku menjadi sinden muda yang bersinar hanya dalam waktu dua tahun setelah Api membisikkan kehangatan itu. Ya, dia menepati janjinya, untuk menjadi penonton yang duduk di deretan paling depan. Dan kini, aku kerap mendampingi Nyai Wuning untuk nyinden, baik itu pentas ayahku dan dalang lain. Dalam hal ini, ibuku sudah membuangku dari catatan anaknya.

“Selamat sore, Nduk. Boleh Ibu bicara sebentar?” sapanya, anggun. Serta-merta kurapikan rambutku, kebayaku, dan kain yang kukenakan sekenanya. Kutinggalkan gembor penyemprot air dan kuntum melati yang masih kehausan. Buru–buru kupersilakan dia masuk. Kebetulan ayah dan ibuku sedang ke keraton untuk mempersiapkan pentas. Sementara kakakku ikut membangun tratag di alun–alun untuk pementasan nanti malam.

“Tidak usah masuk, aku duduk di sini saja,” katanya, memilih lincak yang ada di teras. “Kamu rajin sekali, ya. Ibu di rumah juga punya banyak jenis melati. Tapi, tak semuanya sebagus ini bunganya,” katanya. Ya, aku tahu, Bunda, putramu selalu membawakan untukku. Walau aku tak tahu persis, di sebelah mana dari halaman rumah gedong itu tumbuh melatimu. Mungkin aku akan merawatnya kelak, ketika wanita di hadapanku menjadi mertuaku. Membayangkan itu, bunga–bunga yang lebih harum dari melati bermekaran di hatiku. Mungkin wajahku memerah di hadapan mertuaku.

“Maaf, Ibu sedang ke keraton dengan Ayah untuk persiapan nanti malam,” kataku. Kedatangan Nyai Wuning biasanya berkaitan dengan sulaman baju yang tengah dikerjakan ibuku.

“Kali ini, kedatanganku memang akan menemuimu, Nduk,” katanya, lembut dan berwibawa. “Kamu menyayangi Bhisma, bukan?” tanyanya. Aku menunduk seperti gadis yang tengah dilamar. Harum bunga pengantin mengambang riuh.

“Aku memang tak butuh jawaban
dalam hal ini. Hanya aku ingin kau buktikan sejauh mana sayangmu pada anakku,” tambahnya. Harum kembang pengantin itu perlahan samar. Ada sesuatu dalam ucapannya.

“Kau kan tahu, Nduk…. Bhisma itu anak ibu satu-satunya. Besar sekali harapan yang kusematkan pada dirinya. Termasuk di kehidupannya kelak. Ibu ingin Bhisma hidup bahagia. Bukankah cinta juga mengajarimu untuk membahagiakannya?” tanyanya. Ada ruang yang tiba–tiba memisahkan antara aku dan wanita itu. Ruang itu begitu kokoh, dari nada suaranya.

“Intinya, lupakanlah anakku. Karena aku ingin, dia menyelesaikan sekolahnya hingga sarjana. Lalu menikah dengan wanita biasa yang kelak tinggal, merawat dirinya dan rumahnya. Kurasa kau akan menjadi terlalu sibuk nantinya, dengan pentas-pentasmu,” katanya, serupa desah. Tapi, mampu meruntuhkan gunung harapan yang sempat menjulang.

“Nduk, hanya kamu yang bisa menjadikan impian Ibu yang renta ini terlaksana. Bukankah kau juga ingin mewujudkan mimpi ibumu, Nyai Ratih Wangi?”

Aroma kembang pengantin menjelma menjadi kembang setaman. Kembangnya  para kuburan.

“Aku harus menjadi dalang! Aku akan memainkan lakon Drupadi di hadapan banyak lelaki. Aku akan membisikkan penyesalan Amba pada setiap lelaki yang memberikan cinta tulus. Aku harus!” tekadku melawan sakit yang tak terperi. Ditambah lagi kemelut antara aku dan ibuku, ditambah ibuku selalu perang bisu dengan ayahku membuat tekadku  makin bulat untuk minggat.

Ibuku tetap menunduk di depan Ayah sebagai jamaknya wanita santun yang ia cetakkan pada tubuhku. Tapi, hatinya mendongak penuh kesumat. Sudah saatnya aku meninggalkan semua itu. Aku akan datang ke dunia yang menerima wanita boleh menjadi siapa saja. Jika memang dunia itu ada.

Sebagai awalnya, aku berani menantang mata ibuku ketika ia melempar nampan tempat ingkung ayam jago yang baru saja aku patahkan pahanya.

“Sungguh, sejak kamu menjadi wanita malam, tingkahmu  makin tak tahu adat!” bisik ibuku, tajam.

“Ibu, aku sudah bosan menjadi nomor dua! Aku bisa menjadi nomor satu!”

“Jadi semenjak kau bisa pentas dengan ayahmu, itu berarti kamu sudah bisa menginjak kepala ayahmu?”

“Apa maksud Ibu? Hanya karena aku makan ayam sebelum Ayah memakannya? Sebelum kakak–kakakku menghabiskannya? Lalu aku hanya kebagian ceker yang bahkan tinggal kukunya?”

“Hushhh... berandalan!”

“Ibu, maafkan saya yang tak bisa lagi menjadi seperti Ibu. Menunduk, tapi sebenarnya tegak menantang dari belakang. Sampai berapa lama Ibu mampu menyimpan dendam yang tak terucap itu? Alam lebih luas untuk menampung serapah Ibu dibandingkan tubuh ringkih Ibu. Maka, tumpahkan dengan lantang dan itu akan membuat Ibu terbebas dari energi buruk yang Ibu tutupi selama ini,” kataku, tanpa beralih dari wajah wanita yang sangat aku sayangi, tapi sekaligus aku ingin membakarnya.

“Lancang sekali kau!” Sebuah tamparan keras sekali mendarat di pipiku. Perihnya terasa benar hingga ujung kaki. Mataku berair, bukan karena tak kuat menahan pipiku yang memanas, tapi lebih kepada menyusun kekuatan untuk meredakan darahku yang mendidih.

“Saya tak pernah tahu mengapa Ibu sangat benci pada Nyai Wuning, lalu pada seluruh sinden dan aku yang ingin menjadi dalang. Kalau tak ingin aku menjadi dalang, mengapa kau alirkan darah dalang dalam diriku? Mengapa dulu Ibu tak menikah saja dengan dokter, polisi, atau presiden? Hingga tak ada darah dalang yang mengalir deras dalam diri anakmu?” Itu kata–kataku mengakhiri pertengkaran itu. Aku berlari menuju kamar, meraup baju sekenanya. Kuletakkan di atas kain taplak warna merah, lalu kuikat membentuk bungkusan siap jinjing.

Ketika aku melangkah membuka pintu gebyog, jujur aku ragu dengan langkahku. Aku berharap Ibu memanggil namaku untuk kembali. Detik menggumpal, menit membentuk gunungan, hanya desir angin selamat tinggal yang kudengar. Kubulatkan tekad dan kakiku melangkah dengan pasti, keluar dari rumah joglo yang telah membesarkan aku. Walau penuh ironi, tetap saja indah ketika aku akan pergi. Rumah yang telah menaungi segenap mimpi muda dan cinta tak bertakhta. Seribu bintang di langit malam menerangi langkahku. Jauh di belakang sana, samar kudengar. Isak tangis seorang ibu.

Pagi sudah lama bangun. Sinar mentari menerobos gedung–gedung tinggi. Hangatnya menyelimuti kulit kami. Sementara tiang–tiang tratag satu per satu dirobohkan.

“Begitulah, Rhe... akhirnya aku berangkat ke Jakata naik kereta. Di sini aku menemui pamanku, adik dari ayahku. Pamanku, Ki Nata Carita, adalah dalang RRI. Walaupun aku punya bakat alami,  beliaulah yang mengasahku. Aku diberikan kesempatan pentas berbagai kesempatan. Awalnya hanya membantu, tapi lama-kelamaan aku bisa pentas sendiri. Di Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, lalu menjadi dalang untuk program televisi. Sampai kini,” kata Bu Dalang, sembari menghabiskan air mineral dari botol.

“Lalu, apakah ibu Bu Dalang sudah memaafkan?” tanyaku. Bu Dalang mendesah. Lalu tersenyum.

“Aku tidak tahu pasti. Ibuku masih sama, bahkan hingga beliau wafat. Selalu tampak tersenyum, menunduk, tapi penuh dendam menyala. Baru kuketahui kemudian... ketika ibuku wafat, pamanku menceritakan semuanya.” Sampai di sini, Bu Dalang menatap matahari yang mulai beranjak. Seakan ingin menantang panas yang sebentar lagi singgah.

“Ayahku jatuh cinta pada Nyai Wuning. Walau Ayah berusaha untuk menahannya,  cinta itu membuat hubungan antara ayah dan ibuku tak pernah sama lagi. Itu yang membuat Ibu terbakar dendam tanpa bisa menyalahkan Ayah, yang akhirnya menuntunnya menjadi dendam tak masuk akal. Dendam pada sinden dan semua wanita wayang yang berkeliaran di malam–malam dingin. Teramat pahit baginya ketika anak perempuan satu–satunya masuk dalam lingkaran malam. Sementara Ibu begitu mendewakan sopan santun wanita Jawa. Ha...ha...ha... bukankah sopan santun itu masih berlaku ketika semesta ini ideal untuk ditinggali?” Kami pun tergelak. Tawa yang renyah.

“Ayah Bu Dalang tahu kalau Ibu jatuh cinta pada anak kekasihnya?”

“Ha...ha...ha... entahlah. Ayahku tahu dua hal yang paling kuinginkan dalam hidupku. Kekasih dan wayang–wayang itu. Makanya, ketika kekasih membuatnya pusing untuk bersikap, beliau mendukungku untuk keinginanku yang lain, yaitu menjadi dalang. Lama sekali ayahku merahasiakan keberadaanku yang ngenger di rumah adiknya. Baru ketika aku akan menikah, Ayah memberi tahu ibuku.”

“Pasti menyakitkan bagi hati ibu Bu Dalang, ya?”

“Mungkin tidak lagi. Karena, saat pernikahanku, Nyai Wuning sudah meninggal karena sakit kanker otak.”

“Lalu Pak Bhisma... apakah Ibu pernah menemuinya?”

Mendengar nama itu disebut, Bu Dalang bergeming. Lama sekali seperti mengurai benang kusut.

“Sebelum Nyai Wuning meninggal, aku dengar kabar bahwa ia telah punya istri yang layak untuk Bhisma. Seorang dosen di Solo, yang pendidikannya sederajat. Yang pekerjaannya begitu sopan untuk seorang wanita,” ujarnya terasa pahit.

Suami Bu Dalang tewas ketika menjalankan misi pembebasan Irian Barat. Makanya, ada rasa yang demikian menusuk di hati Bu Dalang, ketika tanah paling timur Indonesia, yang sudah dipertahankan dengan darah orang–orang tercinta, dirusak oleh segelintir manusia yang tak tahu betapa jiwa–jiwa mulia menyelimutinya.

“Istri Pak Bhisma sudah meninggal juga,” kataku. Bu Dalang hanya angkat bahu sambil menunjuk dompet yang tadi ada sobekan majalahku. “Tidakkah Ibu ingin menemuinya? Dalam wujud nyata?” tanyaku. Untuk kesekian kali, ketika aku menyinggung lelaki itu, ada getar aneh yang kurasakan di raut wajah yang kini tampak letih. Ia menggeleng, tapi aku jelas membaca, jauh di sana, di palung hati yang paling dalam, ada  harap untuk mengatakan ‘ya’. Peran apa yang tengah dimainkan oleh wanita yang sudah melewati 65 pijar matahari ini?

Lakon 6.  Poros Jejaring Laba – Laba
Setelah pementasan lakon Putri Cina Gandrung itu, aku menjadi gelisah. Sebaliknya, Bu Dalang justru tampak cerah bila bertemu denganku. Dia pernah mengatakan sebagaimana Heinrich Harrer, si pendaki gunung itu, menemukan ketenangan yang melebihi puncak Everest.

“Kamu adalah jalan pembebasanku. Lima puluh tahun aku menyimpan kisah ini dalam kotak besi terkunci. Ketika aku berniat membuang kuncinya yang tak jua berkarat, justru kau menggunakan kunci lain untuk membongkarnya. Bagaimana mungkin kau bisa menghadirkannya datang di pintu kamarku,” kata Bu Dalang.

Aku ingat majalah edisi yang memuat Pak Bhisma. Tak biasanya aku memberinya dengan semangat ke Bu Dalang. Kala itu alasannya sederhana, ada artikel ragam rangkaian melati karya Ibu Entik Dewabrata, perangkai bunga istana khusus melati. Aku tak menyangka, justru artikel lain di halaman lain yang bisa mempertemukan dengan masa lalu itu. Membawanya ke depan pintunya.

“Sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu. Kau tahu maksudnya, Nduk?”

Tentu saja aku geragapan. Apa pula ini. Bahasa Jawa, sih, bahasa Jawa, kalau sudah beginian mana aku ngerti?

“Makna aslinya, ngelmu membebaskan kejahatan guna meraih kebahagiaan. Kalimat sederhana itu menjadi teramat luas. Inti dari hidup. Termasuk langkahmu mempertemukan masa laluku dengan masa kini, tanpa kau sadari. Itu sudah tersurat sebagai sastra semesta,” terang Bu Dalang. Tenang tanpa gejolak. Hening tanpa denting. Saat inilah, ada desir aneh yang membelai batin. Bisikan entah dari mana. Tapi aku tahu, aku harus melakukan sesuatu.

Apakah kau percaya bahwa semesta selalu memberi isyarat? Tanda itu akan menjadi bermakna ketika kita bisa membacanya. Malam ini, mobilku laju di Jalan Gatot Subroto. Lancar tanpa hambatan. Memang, warga Jakarta terlalu banyak keluhan. Begitu macet, memaki Jakarta yang membiarkan warganya tua di jalanan. Tapi begitu lancar, terheran–heran.

Jalanan yang lancar ini kuharap adalah pertanda bahwa niatanku mulia. Untuk mewujudkan mimpi menjadi bentuk nyata. Beberapa minggu setelah percakapanku di kantin dengan Zaka dan Mas Wahyu, majalahku mengadakan FGD (Focus Group Discussion).

Intinya mengundang pihak–pihak berkompeten untuk memberi masukan. Salah satu nama yang kuajukan dan langsung disetujui adalah Pak Bhisma. Aku pun tak mengira. Jelas ini bukan sebuah kebetulan. Tuhan telah membuat skenarionya. Lalu mengapa aku tak segera menuntaskannya?
Begitulah, akhirnya aku bisa mendatangkannya ke Jakarta. Kini tengah kuajak Pak Bhisma menuju Gedung Pewayangan, TMII (Taman Mini Indonesia Indah).

“Saya akan menunjukkan bunga melati paling besar dan paling indah yang pernah saya lihat, Pak. Yakinlah, ini melebihi melati Afrika yang Bapak punya,” kataku tadi, setelah FGD usai. Pak Bhisma pun berminat.

“Melati itu dari mana asalnya, Rhe?” tanyanya, sembari melihat gedung–gedung menjulang yang berlarian di kaca mobil.

“Dari Jawa, Pak,” jawabku tenang.

Baru kemudian, ada gelisah yang tak mampu tersembunyikan ketika aroma melati benar–benar datang bersama alunan gamelan. Kidung Ilir–Ilir yang  melukiskan sawah menghijau, riuh hutan jati yang terbakar dan semangkuk rebusan gayam hangat. Melati itu sedemikian megah, menyilaukan dan menikam hingga Pak Bhisma terpaku dalam diam. Dia masih tak bergerak, bahkan ketika aku membuka pintu mobil.

Kugenggam tangannya. Buluh renta itu memanggil kembali cahaya kejora yang sempat padam. Begitu memasuki arena penonton, kelir itu melukis seorang wanita yang terbuat dari cahaya. Kejora itu menjelma wujud nyata, hanya beberapa depa dari muka. Pak Bhisma seperti menemukan semestanya.

“Saya kira, itu lakon Putri Cina Gandrung, Pak. Geladi bersih untuk pemberangkatan ke San Francisco. Tapi, semoga Bu Dalang masih tetap punya energi untuk pergi ketika... ketika Bapak sudah hadir di sini,” kataku, mirip gumaman. Tepat ketika kami duduk di kursi paling depan, niyaga memukulkan gong seiring dengan Bu Dalang menancapkan gunungan. 

Kini aku percaya, sepasang mata bisa menjadi sedemikian buta ketika mata hati bisa membaca hati yang lain. Untuk sekian lama Bu Dalang hanya bisa menunduk, tak berpaling. Aku tahu, Bu Dalang tahu kehadiran sang Api. Separuh jiwa mengenali belahan jiwa yang sempat terserak. Hanya dengan menggunakan daya khayal tenangnya, mereka terbang dan dalam waktu yang lebih singkat dari waktu yang diperlukan untuk mengatakannya.

Aku berdiri, mendekati kelir. Sementara niyaga sudah beranjak dari tanggung jawabnya masing–masing. Riuh suara gelas dan denting piring beradu. Kuletakkan tanganku di pundak Bu Dalang.

“Ibu, saya menghadirkan Hujan dalam wujud nyata. Dingin, berbulir–bulir dan basah. Sementara Hujan tak lagi memanggil Api-nya lewat kidung yang samar. Ibu, ini nyata dan berdarah daging,” kataku.

Bu Dalang menoleh tepat ke arah Pak Bhisma duduk. Mata bertemu mata. Tanpa kata. Hanya senyum yang tergaris seperti semesta telah menciptakan garis fajar. Cahaya merajut kejora. Jaring laba–laba yang berputar, berhenti tepat di porosnya. Sungguh cinta bisa menjadi nyata tanpa kata.

Aku melangkah keluar Anjungan Jawa Tengah. Langit sedemikian megah dengan bintang yang riuh bergemerlap. Wangi bunga melati menyapa hidungku. Indah. Membangkitkan romantisisme yang terkubur di kerak bumi. HP-ku bergetar. Ada SMS masuk. Nomor tak dikenali.

Rhe, aku tahu, kamu sudah menemukan rumahmu untuk beristirahat. Aku bahagia untukmu, selalu. Pesawatku akan transit di Jakarta esok pagi. Bolehkah aku singgah sebentar? Amora
Kutengadahkan wajahku ke langit malam. Menghadap bintang. Menantang semesta. Sejarah tak berulang. Hanya seperti irama. Dan irama kali ini, sedemikian sumbang. Sungguh aku mau pingsan.

Dua Asa di Bumi Papua

Kirana
Pesawat yang kunaiki seperti seekor burung yang terbang menukik rendah dari atas langit. Di bawah, perairan teluk melingkar-lingkar berbentuk kurva banyak sisi menyusur kaki perbukitan dataran rendah Jayapura. Bayangan langit yang gelap terpantul di permukaan air. Pebukitan berwarna hijau tua, misterius sekaligus agung.

Gerimis menyambut pesawat yang mendarat di landasan. Mengikuti penumpang yang lain, aku berlari-lari menuju ruangan Bandara Sentani. Ada keinginan untuk menikmati gerimis sambil berjalan lambat, tetapi enggan juga mendapat perhatian sepagi begini. Aku juga sedang tidak begitu iseng. Ya, mungkin karena masih ada rasa duka di dalam hatiku. Gerimiskah yang menjadikan duka serasa menjadi-jadi?

Aku mendadak teringat Dias. Kurogoh saku celana kargoku, meraih ponsel dan mengaktifkannya. Tepat seperti dugaan, SMS Dias sudah menunggu untuk masuk rupanya. Pukul 7 waktu Jayapura, berarti Dias terjaga di Jakarta menjelang subuh. “Sudah sampai, Ki?” Saya balas: “Baru mendarat, gerimis di sini.”

Sekalian kuatur jam di ponsel sesuai dengan jam WIT. Matahari terlihat masih rendah di atas horizon timur. Kubayangkan secara khayali gasing Bumi sedang berputar, menyebabkan waktu di belahan dunia terbagi-bagi. Serasa diam, padahal bergerak. Batinku takjub sambil mengingat-ingat kecepatan berputar bumi adalah setengah kilometer per detik!

Rombonganku, tim relawan pengajar yang akan bertugas dalam program kerja sama sebuah lembaga donor dan sebuah institusi pendidikan swasta, langsung menuju teras luar bandara. Semua berjumlah 15 orang. Aku baru mengenal mereka selama sebulan ketika pelatihan materi pelajaran dan matrikulasi. Aku ditempatkann di Kabupaten Keerom, meski sebenarnya ingin mengambil Wamena atau Tolikara. Tetapi, tempat yang tersisa tinggal di Keerom, satu jam setengah ke arah timur Jayapura. Kurang menarik, karena cukup dekat dengan kota. Aku mungkin korban imajinasi potret di media-media tentang daerah pedalaman dan masyarakat di daerah terpencil.

Dunia baru tampak eksotis, terlebih jika dilekatkan dengan kemiskinan dan panggilan jiwa untuk sebuah pengabdian kemanusiaan. Seperti yang kubaca pada kisah-kisah dokter dan guru yang berani bertugas di tempat-tempat sukar.  Itulah bayanganku sejak kecil tentang apa yang seharusnya kulakukan di dunia ini. Tapi, aku malas ambil kuliah kedokteran atau pendidikan guru. Setelah bertahun-tahun ‘tersesat’ menjelajah bahasa kode-kode pemrograman komputer, aku berkata: cukup! Meskipun masih ada masa-masa aku mencoba menahan diri, masa-masa kegelisahan. Akhirnya, ketika kudapat e-mail tentang lowongan menjadi guru relawan di Papua, tanpa pikir panjang aku mendaftar. Setelah diterima, aku segera mundur dari kantor. Ibu dan kakakku tidak mempersoalkan. Hubunganku dengan Dias pun berakhir.

Ingatanku kepada Dias. Kepada percakapan yang tidak pernah bisa tuntas, kecuali oleh satu hal: perpisahan. Pahit sekali.

“Pergilah, Ki. Jangan sampai keberadaanku menghalangi mimpi-mimpimu. Mimpi-mimpi yang sudah ada jauh sebelum aku hadir, bukan?”

“Hanya dua tahun….”

“Dua tahunmu itu awal. Aku tahu kamu tidak akan kembali lagi. Pengembara sepertimu sulit dihentikan. Kamu sudah menahan diri terlalu lama, dan kamu sudah melawan alamiahmu dengan menetapkan jangkar pada hubungan kita. Aku sudah merasakan itu dari awal, Ki….”

“Dias, biar kamu menjadi satu-satunya tempat aku pulang....”

“Aku bukan tempatmu pulang, aku hanya akan menjadi sangkar kebebasanmu. Kita sudah mencoba menjadi satu. Tetapi hatimu, jiwamu, darahmu, berada di luar sana.”

“Aku cinta kamu, Dias.”

“Kamu akan mengalami perang batin terus, Ki.”

Kutangkupkan tangan kanan pada mulutku dan bernapas melalui sela-sela, menghirup udara berat. Bukit berbatu di depan yang kelam tampak seperti pertapa tua yang sudah mencapai kebijaksanaan. Lumut hijau tua seolah jenggot dan cambang sebagai pertanda waktu yang terlewati sudah sangat panjang.

Aku permisi untuk pergi ke toilet. Dari tiga kakus, semuanya terisi. Kudapati seorang wanita. juga sedang mengantre. Sebagai basa-basi aku senyumi dia. Ia mula-mula ragu membalas, lalu mencari mataku. Senyumku kulebarkan, sedikit canggung. Ia kemudian tersenyum, tipis sekali, seperti tak ada niat. Ketika salah satu pintu terbuka, tampak ia merasa terselamatkan dari keharusan membalas keramahan seorang asing.

Lega sekali setelah beban kemih dikeluarkan. Anggota rombongan bertanya, apakah toiletnya bersih dan enak. Kujawab lumayan. Ternyata beberapa orang menyusul buang hajat kecil. Aku bersandar di pilar dan memperhatikan ketua tim sibuk menelepon seseorang yang akan menjemput kami. Topi hoodie kukenakan, sehingga mukaku tersembunyi. Menurut Dias, penampilanku keren jika sedang memakai hoodie lalu menyakukan kedua tangan sambil bersandar di pilar mengawasi lalu-lalang.

Rombongan akan menginap semalam di Abepura. Kami diangkut dua mobil menuju hotel. Aku mendapat kursi di sisi kanan sehingga leluasa melihat permukaan Danau Sentani yang berkilat-kilat seperti cermin perak. Sumber ikan danau yang segar dan manis teman menyantap papeda. Pikiranku meloncat dari makanan ke bacaan. Seketika menyadari bahwa tas kertas jinjing dengan sablon merek batik terkenal tidak ada di tanganku. Tertinggal tentu.

“El, ada melihat tasku di toilet tadi?” kutanya Eliezer.

“Ditaruh di mana?”

“Seingatku, sih, di dekat wastafel. Aku taruh sewaktu mencuci muka. Kemudian lupa untuk dibawa,” ujarku, sambil garuk-garuk dagu.

“Apa isinya?”

“Beberapa buku, roti, dan minuman.”

“Apa perlu kita kembali? Siapa tahu masih ada.” Rahman Parengkuan, ketua rombongan, mengusulkan.

Aku bimbang. Lalu kutanya sopir mobil carteran, “Ini sudah sampai mana, Pak?”

“Sebentar lagi masuk kota,” jawabnya.

“Kalau begitu lanjut saja, Pak. Bukan buku-buku yang penting, hanya untuk dibaca supaya tidak bosan di perjalanan.”

Rahman tersenyum.”Yakin? Apa ada buku yang tidak penting untukmu?”

Aku tersipu-sipu merasa norak reputasi sebagai kutu buku dikenal luas. “Barangkali bermanfaat untuk orang yang menemukan.”

“Jadi bungkus gorengan,” Eliezer menyela. Seisi mobil tertawa.

Aku nyengir dan meringis. Eliezer mungkin benar, probabilitas terbesar nasib bukuku adalah menjadi bungkus gorengan. Tetapi, siapa tahu yang menemukannya berbeda dengan orang kebanyakan. Mungkin seorang pekerja sosial anggota misionaris asing, atau mahasiswa putra daerah yang cerdas dan kritis. Atau gerilyawan OPM juga boleh jadi haus buku. Semoga.

Aku bertanya-tanya tentang nasib bukuku itu. Kuberi tahu Dias lewat SMS: Serat Centhini hadiahmu ketinggalan di toilet :(Maafkan aku... Justru krn kuanggap penggantimu yg akan menemaniku. Tapi aku gak jaga baik2. Mau minta sopir balik, dah jauh dari bandara, jg gak enak sm temen2.

SMS balasan Dias membuatku tersenyum lebar: Gpp. Asal bukan kamu yg ketinggalan.

Ning
Kulihat bercak lembap di celana dalamku. Ah, barangkali karena mau datang bulan, pikirku menghalau kecemasan yang kembali menyerangku. Nanti periksakan ke klinik sebelum pekerjaan dimulai, perintahku pada diri sendiri. Bagaimana jika diketahui teman-teman? Lalu mereka menyebarkan berita yang tidak-tidak. Aku benci benar dengan gerombolan penggosip di kanan-kiri. Mengapa mereka tidak mengurus dirinya saja, tidak usah memedulikan orang lain.

Aku buru-buru menyudahi urusan kebeletku. Setelah merapatkan ritsleting celana jeans, aku keluar toilet. Dengan pikiran berkecamuk, kulihat wajahku di cermin. Sepasang mata lelah dan asing menatapku tajam. Lalu wajah di dalam cermin itu tampak berkedip, memejam dan menarik napas panjang. Kedua sudutnya basah. Kuseka dengan ujung jari dan telunjuk. Sesaat kemudian sorot matanya nanar, siap menantang apa pun yang berada di hadapannya. Lihat, ia seorang penakluk, bisikku seolah bergema dalam tulang dada.

Di dalam cermin sekelebat kulihat diriku menempuh ribuan kilo, dari Karawang ke Bandara Cengkareng, menumpang pesawat kelas ekonomi menjelang tengah malam. Kulihat jelas bayangan rumah yang kutinggalkan, jalanan tanah di tengah hamparan sawah, lampu-lampu mobil yang dipacu sepanjang jalan tol, kemudian tampak deretan kamar di belakang bar, ingar- bingar lagu-lagu dan lelehan keringat di leher tamu.

Kulihat orang di dalam cermin itu menghela napas. Lalu memutuskan untuk keluar dari toilet.
Namun, mataku menumbuk bayangan tas kertas di cermin bagian bawah. Ragu-ragu, kuulurkan tangan, menguak isinya: sebuah buku cukup tebal, sebotol air mineral, dan dua bungkus roti. Seingatku, tadi waktu masuk tidak ada benda itu. Pasti milik seseorang yang tadi tersenyum canggung kepadaku.

Beberapa orang masuk ke toilet. Aku lekas menyingkir sambil meraih tas jinjing kertas itu. Orangnya mungkin masih berada di seputar bandara, pikirku. Aku menyeleksi puluhan orang di dekat pintu masuk sambil mengandalkan ingatan yang seadanya untuk mencocokkan. Seperti apa, ya, orang tadi? Seingatku ia memakai baju hangat berlengan panjang. Kalau bukan merah darah, warnanya mungkin cokelat gelap. Tingginya tidak beda jauh denganku. Berambut lurus, ya! Tapi, tak ingat apakah kulitnya sawo matang atau kuning langsat. Tidak kutemukan juga setelah aku mondar-mandir menyerupai setrikaan dari ujung selasar timur ke barat. Ibarat mencari sebuah jarum di dalam tumpukan jerami, pikirku mengingat peribahasa yang diajarkan sewaktu SMP. Lalu kuapakan barang-barang ini? Aku tak memerlukannya. Baca buku? Wah, gaya si Devi sekarang. Makan apa di Jawa sampai jadi doyan baca? Kubayangkan gosip gerombolan menyebalkan itu dengan cekikikan bak kuntilanak kebelet melahirkan.

Aku duduk di kursi kayu. Kembali kuperiksa isi tas. Botol mineral masih tersegel. Mudah-mudahan jadi barang halal kalau kuminum, toh, harganya tidak seberapa. Kubaca tulisan di bungkus plastik roti. Hot chicken floss. Aku tahu, chicken artinya ayam. Sepertinya merujuk pada abon yang menyelimuti permukaan roti. Hot artinya panas. Mungkin cocoknya dimakan selagi panas. Floss aku tidak tahu apa. Enakkah  jika dimakan dingin?

Kubuka bungkusan roti dan menggigitnya pelan-pelan. Campuran rasa pedas, asin, dan samar-samar asam mengiringi kelezatan roti pilihan dan gurihnya abon ayam. Menghemat sarapan, pikirku senang. Aku kemudian baru teringat kalau pernah memakan roti serupa oleh-oleh Philip, satpam di Kuala Kencana. Kukunyah roti sambil melihat sekeliling. Sekarang aku benar-benar tidak berharap menemukan pemilik tas. Aku pasti akan dipergoki sebagai pencuri karena telah memakan rotinya. Tetapi sungguh, aku berniat untuk mengembalikan kepada yang punya. Bukankah tadi aku sudah mondar-mandir mencari?

Kulihat serombongan orang melintasi jalan menuju tempat parkir. Menjelang batas area parkir, seseorang membuka topi kuncungan yang dipakainya. Ia memakai bandana merah. Aku tersedak. Baru teringat bandana merah yang dikenakan orang yang berpapasan denganku di toilet tadi. Sisa roti tersangkut di kerongkongan, menyebabkan aku terbatuk-batuk. Lekas kuambil botol minum yang mendadak susah dibuka. Sialan, orang-orang banyak yang memperhatikanku, tapi tidak ada yang memberi bantuan. Setelah batukku reda, kuminum air banyak-banyak. Beginilah akibat makan barang tak halal, sergahku membatin.

Mau dikejar ke tempat parkir, Ning? Aku menimbang-nimbang. Roti dan air minumnya sudah tak utuh. Kuintip lagi isi tas. Tinggal buku. Aku tak tahu buku apa dan tidak berniat untuk tahu. Ah, hanya sebuah buku. Pasti bisa dibeli lagi, daripada aku malu menyerahkan isi tas yang berkurang dibanding semula.

Aku membiarkan orang itu berlalu dalam mobil bersama rombongannya. Lalu, kuapakan buku ini? Kemudian rasa sesal tidak menyerahkan kepada pemiliknya menguasaiku. Ah, bodoh. Ini kan hanya kertas. Kusimpan saja di kursi agar ditemukan orang lain. Tapi, pikiranku berubah kemudian. Baiklah, karena aku merasa tidak enak hati telah membiarkan dengan sengaja tas ini tidak kembali kepada pemiliknya, aku harus membuat buku ini bermanfaat. Yang pasti bukan untukku. Siapa tahu aku menemukan orang yang tepat untuk diberi buku ini. Siapa tahu.

Ha…ha…ha…. Aku tergelak sendiri dalam hati. Ee, ada apa kau Ning, kok, sekarang bisa-bisanya memikirkan buku? Kerasukan roh baik ‘kali. Syukur-syukur kalau kemudian dihampiri nasib baik. Mudah-mudahan, dalam kedatanganku kali ini rencanaku akan lancar. Bekerja di Timika setahun, menabung yang banyak, uangnya harus cukup jadi sawah barang beberapa petak, juga untuk membeli angkutan pedesaan, kalau bisa lebih dari satu. Sebetulnya aku sudah tidak berniat kembali ke tanah Papua. Tetapi, nasib membawaku kembali. Seperti kubilang tadi, mudah-mudahan kali ini nasib baik.

Kirana
Berlima dengan anggota rombongan lain, aku berada dalam mobil SUV yang cat dan interiornya masih kinclong. Disopiri orang dari organisasi sosial yang mendanai kegiatan relawan, kami menuju timur Kota Jayapura. Hari masih pagi. Anak-anak sekolah bergerombol menunggu angkutan. Rambut keriting mereka tersembunyi di balik topi. Sering juga terdapat anak-anak berambut lurus di antara mereka.

Kota kecil tempat kami transit semalam namanya Abepura. Hotelnya berada di daerah Cigombong. Nama yang berbau Sunda. Sewaktu kami mencari makan malam, malah terdampar di warung ayam lalapan milik orang Sukabumi. Pak Bertholomeus Krey, pendamping yang sekaligus menjadi sopir, memberi tahu jika tempat yang kami tuju di perbukitan Arso kebanyakan transmigran dari Jawa. Ribuan hektare tanah adat penduduk asli telah berubah jadi perkebunan sawit.

Dari Abepura ke arah timur, jalanan berkelok menyisir Teluk Youtefa yang dipagari tebing karang tinggi. Pemandangan kota dan perkampungan penduduk hanya terlewati sepanjang dua  puluh menit, sisanya perbukitan berpohon jarang mengapit jalan. Semak dan perdu tumbuh subur. Kuduga, perbukitan ini yang pertama-tama habis mengalami penebangan sebelum seluruh hutan Papua dirambah tanpa sisa. “Dahulu, sebelum ada jalan trans Irian, menuju Arso memerlukan waktu sampai sepekan melewati hutan rimba,” ujar Pak Bertho.

Mobil melaju dalam kecepatan sedang. Ketika ada sebuah bus menyalip, Pak Bertho memberi klakson. Lalu dibalas oleh bus itu. Pelatnya merah. “Itu pegawai pemda Kabupaten Keerom. Mereka setiap hari pulang pergi dengan bus dinas Jayapura-Arso. Sebagian besar pegawai memang tinggal di Jayapura.”

“Di sana tidak ada perumahan pemda, Pak?” tanya Ilham Abiyasa.

Pak Bertho menggeleng. “Pejabat eselon diberi kontrakan. Tapi, ya, karena anak istri mereka di kota, mereka pun tak betah. Ibu kota kabupaten secara resmi kan di Waris. Di Arso itu hanya transit menunggu persiapan infrastruktur Waris lengkap. Menurut Bapak, sih, kalau tidak dipaksakan, Waris sulit untuk berkembang. Alasan pemda Arso dipakai dulu karena fasilitas Arso lebih menunjang untuk kegiatan kabupaten baru. Juga lebih dekat dan mudah dijangkau dibanding Waris. Jadilah Waris ibu kota de jure, Arso ibu kota de facto.”

“Harusnya ibu kota Indonesia saja yang pindah ke sini, Pak. Jakarta itu sudah kelebihan beban,” timpal Mora Sinaga.

“Akurrrr!” seruku paling keras.

“Bukannya malah tidak efektif?” protes Pramita.

“Ada kemauan pasti ada jalan.”

“Bah. Sederhana sekali solusi kamu. Memangnya birokrasi itu tidak ruwet apa? Dipindah-pindah mudah, itu mah sandal jepit. Megapolitan saja belum tentu berhasil memecahkan persoalan Jakarta.”

Ilham tersenyum. “Wah, membicarakan kota kita dari jauh terasa romantis, ya. Membayangkan kemacetannya membuat kita kangen juga.”

“Aku jadi kepingin makan Bakso Lapangan Tembak.”

“Di sini juga banyak bakso enak. Kami menyebutnya pentolan. Si mas yang jualan bisa beli mobil baru setiap tahun,” Pak Bertho tidak pelit dengan informasi.

Sepanjang jalan bertukar cerita. Kami tergelak-gelak mendengarkan mop, lelucon orang Papua, dari Pak Bertho. Termasuk mulai mengenal kata-kata khas penduduk timur Indonesia ini. Dong untuk dia, tong untuk kita, tra artinya tidak, pu adalah punya, sa adalah saya. Kalau ada yang bilang ‘Sa pu mama su pergi belanja’ maksudnya ibu saya sudah pergi belanja.  

Sebuah plang di tepi jalan bertuliskan Koya Timur mengingatkanku pada pembunuhan Theys Eluay. Di tempat lain, pada mulut jalan bergapura, tampak pasar kecil sedang berlangsung. Dagangan dijajakan dalam meja-meja kayu sederhana, sebagian digelar begitu saja di tanah beralas goni atau terpal plastik. Ubi, pisang, kangkung, ikan, jagung, buah pinang, teronggok dalam ikatan-ikatan.  “Ini jalan menuju Muaratami, sentra penghasil beras di sini. Pemandangannya tidak jauh beda dengan sawah-sawah di Jawa,” Pak Bertho memberi tahu. Kami juga sempat bereaksi penuh semangat saat ditunjukkan persimpangan menuju perbatasan RI-Papua Nugini yang berjarak kurang dari satu jam.

Setelah melewati jembatan perbatasan kabupaten di atas Kali Tami, jalan menjadi tambah sempit dan beraspal tipis. Ilalang tinggi mengepung kiri kanan. sesekali tampak rumah kayu sederhana yang kesepian di tengah semak dan hutan.

Mulut ular berbadan putih panjang sesekali muncul di tepi jalan. Itu adalah jalan menuju areal transmigrasi di pedalaman Arso. Jalan karang putih itu tampak lurus lalu menghilang di kejauhan. Sebuah warung kecil dan gerombolan ojek motor berada di sekitar gapura. Ada angkutan kota yang melayani trayek Abepura-Arso.

Mobil berbelok di sebuah tikungan yang cukup ramai dengan ojek dan pengunjung sebuah warung. Rumah-rumah mulai agak rapat, berhalaman luas, beratap seng-seng yang masih berkilat. Inilah pusat kota Kabupaten Keerom. Keramaiannya seperti desa besar di Jawa. Arso II namanya, salah satu yang terbesar di antara 14 satuan permukiman transmigran di Arso. Kami turun di depan gedung sekolah dasar yang menjadi tempat pertemuan. Sebatang pohon randu tegak menjulang di tengah lapangan upacara, seolah menuding langit biru.

Ning
“Siska minggu lalu pergi ke Merauke,” ujar Lukas, centeng bar Aretha Pub, menjelaskan saat kutanyakan siapa saja kenalanku yang sudah tidak lagi bekerja di Kilo 10. Aku meninggalkan tempat ini kurang lebih tiga bulan. Dalam rentang waktu itu banyak penghuni yang datang dan pergi.

Beberapa saat lalu aku baru tiba di Timika dengan pesawat kecil. Lukas menjemputku di Bandara Mozes Kilangin. Kami berboncengan menuju Kadun Jaya, sepuluh kilometer dari Timika, sehingga disebut Kilo 10. Jika bertanya kepada penduduk Timika, mereka paham tempat apa itu Kilo 10.

Sebenarnya kemarin, sewaktu aku pulang kampung, itu usahaku untuk berbalik jalan. Seharusnya, setelah dua tahun bekerja sebagai ‘pramusaji restoran’ di Timika, ada tabungan cukup untuk modal hidupku. Tetapi, kakak laki-lakiku menyia-nyiakannya untuk modal pencalonan kepala desa.

Dia kalah, uangku ludes, padahal ia tidak pernah minta izinku memakainya. Sisa utang berpuluh-puluh juta. Dia memaksaku untuk kembali bekerja di Timika. Dengan pesan, “Ramahlah kepada setiap tamu restoran supaya mereka tak sungkan memberimu tip yang lumayan. Apalagi sama karyawan asing, pakai jurus kedip-kedip sedikit.”

“Kapan ko ke Merauke, Devi?”

“Bah. Kenapa?” aku mengernyitkan dahi dan memandangnya dengan pedas.

“Kupikir ko tidak kembali lagi ke sini.”

Aku tertawa. “Rezekiku masih di sini, Pace.”

Lukas tertawa. “Nanti malam tong pesta berdua, ya. Kuucapkan selamat datang kembali kepadamu, Devi.”

Aku tidak tahu apakah Lukas itu iblis atau malaikat.  Dia yang mensponsoriku untuk kembali di sini. Artinya, dia memberiku utang untuk ongkos perjwalanan, yang kuangsur tiga kali dengan bunga 50%. 

Selama dua tahun pertama aku menjadi anak buah Rio, pemilik bar dan panti pijat besar di Timika. Sekarang aku tidak punya bos alias usaha sendiri. Tetapi, sulit jika tidak ada pelindung khusus yang akan menjagaku dari razia aparat. Kukenal Lukas cukup baik. Ia menyewakan kamar-kamar kecil untuk orang-orang semacam aku. Kami hanya membayar harga sewa, meskipun sangat tinggi, tanpa perlu membagi hasil.

Hari masih siang, aku memutuskan untuk istirahat. Kubaringkan tubuh di atas kasur yang agak keras. Dulu di rumah penampungan Rio, kamar pribadiku cukup enak, meskipun sempit. Aku akan terbiasa sendiri, hiburku berusaha optimistis.

Tidak ada yang bisa diatasi dalam hidup ini, manusia hanya butuh membiasakan diri. Jika terbiasa dengan rasa pahit, lama-kelamaan kita akan bisa menikmatinya. Itulah prinsip yang kupegang, yang bisa membuatku bertahan dalam kehidupan seperti yang kujalani sekarang ini. Di wisma milik pengusaha hiburan memang lebih enak. Tetapi, potongan penghasilan juga besar. Kontrakan seadanya Lukas jadi pilihanku.

Beginilah perjalanan nasib. Sepuluh tahun lalu aku berada di Bandung. Lalu berkenalan dengan Hans, pelanggan yang mengajakku pindah ke Timika. Aku bekerja di bar milik saudaranya. Sudah kuniatkan itu akan jadi babak terakhir pekerjaan yang terpaksa kujalani seperti sekarang ini. Tetapi, takdir berkata lain. Mudah-mudahan aku tidak sampai harus ke Merauke.

Pintu diketuk menjelang malam. Lukas datang. Oke, satu jam dulu bersamanya. Lalu aku akan minta dia mengantarku ke pangkalan. Mengenakan topeng keceriaan kembali. Kali ini babak terakhir dari cerita kesedihan hidupku, kuharap.

Kirana
Yosefa, gadis hitam manis berambut kriwil itu berasal dari Flores. Ia mengajar matematika di SMP negeri. Sedangkan tugasku mendampingi pengajaran matematika di sekolah dasar. Karena aku dari Jawa, apalagi Jakarta yang seolah pusat jagat itu, maka metode matematika SD yang tim kami kembangkan dapat dipakai untuk pelajaran SMP. Menurut Yosefa, muridnya yang hanya beberapa gelintir itu masih berkutat dengan persoalan matematika yang sangat mendasar. Faktor kelipatan dan aljabar bilangan pecahan, masih belum dikuasai murid-murid SMP itu.

“Apalagi aku pun lulusan sekolah teologi. Mengajar matematika karena kebutuhan yang mendesak. Guru-guru yang ditugaskan dinas kabupaten tidak ada yang betah tinggal lama. Kami sendiri di sini karena misi gereja. Dan, tentunya panggilan hati,” ia tersenyum manis. Sore itu ia menyuguhkan secangkir kopi panas dalam cangkir keramik cokelat tua. “Ini kopi Wamena.”

“Apa keistimewaannya?” tanyaku. Aku buta tentang perkopian, hanya tahu menikmati. Itu pun seringnya kopi instan yang sudah ditakar dengan komposisi pabrik.

“Kopi Wamena ditanam secara organik. Kebunnya di Pegunungan Wamena, jadi mengandalkan pupuk dari abu vulkanis. Terkenal tidak hanya di Papua, lho, tapi sampai ke mancanegara.”

Wah, aku kagum, ternyata Yosefa yang berada di pedalaman paham hal-hal seperti itu. Di kompleks ini, terdapat enam rumah dan sebuah gereja. Ada dua orang guru dan keluarganya, satu rumah khusus untuk tamu, satu rumah untuk frater, dan satu rumah untuk tenaga medis. Satu rumah lain difungsikan sebagai asrama untuk murid-murid yang bersekolah di Waris.

Di luar kompleks, hanya terdapat rumah tak melebihi dua puluh bangunan. Rumah penduduk asli kebanyakan sederhana, berdinding papan dari kayu dan atap seng. Ada satu kios milik koperasi desa yang menjual beberapa barang kebutuhan sehari-hari. Sedangkan rumah dinas kepala distrik atau yang ditempati tentara, setengah tembok dengan cat putih seragam. Ada beberapa rumah yang memiliki parabola.

Sore ini aku sudah mengoleskan lotion antinyamuk. Malaria harus dihindari dengan ekstra hati-hati. Selain sudah menyiapkan dengan pil anti malaria, tip Yosefa kuikuti: pakailah baju berwarna terang karena nyamuk suka hinggap di tempat berwarna gelap. Di sore dan malam hari, kenakan baju berlengan panjang dan celana panjang.

Ditemani secangkir kopi, suasana sore jadi lengkap untuk menyegarkan pikiran. Nyanyian serangga dan kodok terdengar dari arah belukar dan hutan di belakang kompleks. Nikmat di jiwa. Suasana rimba yang kurindukan. Aku sudah lama pensiun dari pendakian gunung sejak lulus kuliah.

Sebentar lagi malam. Sunyi dan senyap hutan mendatangkan hening batin.

“Bagaimana hari pertama tadi?” tanya Yosefa.

“Di kelas saya masih mengamati. Anak-anak juga masih malu-malu. Saya memang perlu waktu untuk dekat, bahkan dengan anak-anak.”

“Lama-lama juga terbiasa. Pengalamanku pribadi, kita harus ekstra sabar mengajar anak di pedalaman. Tidak bisa kasih banyak materi langsung kepada mereka, ibarat mengunyah makanan harus pelan dan butuh waktu. Itulah tantangannya, bukan?”

Aku nyengir. Ingat Dias seketika kalau sudah mendengar kata ‘tantangan’. Dias memvonisku akan kesepian menghabiskan waktu. Aku optimistis punya banyak waktu untuk menamatkan buku yang bertahun-tahun hanya dibaca halaman awal. Tetapi, penerangan seadanya dari lampu yang watt-nya kecil pasti membuat mata lelah. Ah, aku bertanya-tanya, seberapa dalam kesepian yang akan menemaniku di tengah belantara.

“Mengapa Kakak tertarik untuk mengajar di sini?” tanya Yosefa. Ia memanggilku Kakak karena beda usia tiga tahun saja. Pertama ia memanggilku Ibu, tapi kuminta jika di rumah panggil saja namaku langsung, eh malah jadi Kakak. Aduh, feodal sekali rasanya. Tapi, rupanya sudah kebiasaan di tempat ini untuk menyebut yang lebih tua dengan ‘Kakak’.

“Kurasa beda tipis dengan alasanmu.”

“Beti, ya?” Yosefa tertawa. Wah, tahu juga ia istilah gaul, meskipun tinggal di pedalaman. Kulihat ada tumpukan majalah di meja belajarnya. “Padahal, setiap orang malah berlomba pindah ke kota. Apalagi Jakarta. Sa tidak bisa bayangkan seperti apa besarnya ibu kota. Selain hanya lihat
di televisi.”

“Itulah, saya juga heran. Ngapain, sih, pada berdesakan di sana?” Aku tertawa.

“Mungkin pohon uangnya di sana, Kak,” ujar Yosefa. “Sebelumnya Kakak kerja apa?”

“Programmer di perusahaan jasa telekomunikasi.”

“Wah, sa tra bisa bayangkan kerja macam apa itu.”

“Pokoknya mengutak-atik komputer supaya bisa digunakan untuk bermacam-macam kegunaan.”
Yosefa menggeleng-geleng. “Kalau sa tanya-tanya terus juga tetap akan bingung, ya. Yang sa tahu, pekerjaan itu, ya, guru, dokter, insinyur sipil, pejabat, anggota dewan, suster, pedagang, petani... Wah, sejenis itulah.”

Lagi Yosefa memperlihatkan giginya yang putih kontras dengan kulit gelapnya saat tertawa. “Nah, sekarang Kakak pegang komputer saja tidak.”

“Jauh lebih susah, kok, mengajar itu. Yang dihadapi manusia, apalagi anak-anak. Ibaratnya kita ini sedang menulisi selembar kertas yang masih bersih. Kalau berhadapan dengan benda mati, kita perlakukan seperti apa pun, tidak akan terbawa terus seumur-umur. Jadi, saya ini khawatir juga kalau salah langkah. Saya kerap tekankan pada diri sendiri, agar menghormati anak-anak itu sesuai budaya tumbuhnya. Saya tidak boleh menetapkan diri sendiri sebagai acuan. Justru saya yang akan belajar kepada mereka. Inilah salah satu alasan saya datang ke sini.”

Yosefa tersenyum. “Benar, sebetulnya kita sendiri yang akan belajar banyak.”

“Kamu sendiri, seringkah kangen berkumpul dengan keluarga?” Aku bertanya.

“Di sini ini juga keluarga, Kak.” Jawabannya membuatku diam sejenak.

“Berapa lama sekali pulang ke rumah orang tua?”

“Hampir tiga tahun di sini, sa baru pulang sekali pada saat Natal. Sekali pernah Natal di sini, sekali lagi di rumah matua yang menikah dengan orang Serui.”

“Wah, kuat juga, ya, menahan rindu.”

“Sa pu orang tua bilang, jika untuk kepentingan umat, keluarga boleh jadi nomor sekian. Lagi pula, ongkosnya mahal.”

Obrolan remeh-temeh tentang hal-hal pribadi pun terus mengalir. Kami cepat akrab. Yosefa ternyata masih sendiri, dan ia merencanakan akan menikah setelah lima tahun mengabdi sebagai pengajar di sini. Biar tidak harus berpindah-pindah mengikuti suami, begitu alasannya. Saat ia tanyakan statusku, kubilang aku single but it’s complicated. Kata yang mengingatkanku pada facebook. Sebelumnya facebook menu harianku, sekarang aku akan puasa panjang dengannya. Jika facebook bisa kuakses, akan ku-update statusku seperti ini: ‘Menikmati kopi Wamena di tengah belantara sambil diiringi nyanyian serangga menjelang senja’.

Ketika lampu-lampu sudah menyala, Yosefa pamit dari beranda rumah tamu. Dalam keremangan senja, kutatap jalan kerikil di depan pagar yang lurus membentang. Kedua ujungnya mendadak muncul dan menghilang di rerimbun daun.  Kelap-kelip nyala lampu dari barisan rumah seperti mata tentara penjaga kampung. Di rumah frater, Frater Hans tampak baru menarik gorden, kemudian membuka pintu. Ia melambai dan tersenyum saat melihatku. “Selamat malam, Nona.”

“Malam, Frater,” sahutku, membalas salam. Frater Hans kemudian masuk kembali tanpa lupa berpamitan.

Terdengar lagu dari radio milik keluarga Pak Jonas, petugas medis tim keuskupan. Berselang-seling dengan celoteh balita mereka, Azalea. Hanya sehari mengenalku, bocah itu langsung lengket. Rupanya ia senang dengan orang baru.

Aku masuk kamar yang diterangi lampu redup lima watt. Ini pun hanya berlangsung sama, pukul 9 malam. Setelah itu gelap gulita. Kecuali jika memasang lampu minyak. Yosefa minta maaf karena genset hanya dinyalakan penuh saat paroki menyelenggarakan acara. Selebihnya, bahan bakar harus dihemat benar.

Sebenarnya biaya penerangan ada dalam anggaran gereja, tetapi diputuskan untuk menghargai penduduk yang belum bisa menikmati listrik. Pemda masih terkendala infrastruktur untuk menjangkau distrik Waris dengan jaringan PLN. Meskipun jarak dari Abepura ke Waris hanya sekitar 130 kilometer, kurang lebih sama dengan Bandung - Jakarta.

Hasrat membaca lenyap karena penerangan yang kurang. Semoga lama-lama penglihatanku bisa beradaptasi. Sambil membuka-buka lembaran buku, kubayangkan pekerjaan berat para misionaris awal yang pertama menembus rimba belantara perawan. Dikepung nyamuk malaria juga ancaman suku-suku pedalaman. Tapi, mereka tampaknya adalah kelompok orang bersemangat baja.

Ingatan itu menghangatkan semangatku. Kupahami sejak awal di dalam hatiku seolah ada bara terembus setiap membaca kisah-kisah pengabdian yang dilakukan para tokoh kemanusiaan. Mereka berani mengorbankan kepentingannya sendiri untuk bepergian jauh dan menyerahkan kehidupannya di jalan sulit dan terjal, bahkan tak jarang penuh penderitaan.

Bertahun-tahun aku memelihara semangat mereka sebagai fantasi. Liar seperti ketika membayangkan petualangan Indiana Jones. Tetapi, kenyataannya aku menjalani hidup seperti kebanyakan. Kuliah lalu bekerja, normal layaknya yang lain. Bahkan, karena alasan-alasan praktis, aku memilih bekerja di Jakarta dengan pendapatan yang aman.

Tetapi, cita-cita itu terus hidup dalam mimpi-mimpiku. Seolah menjulur-julurkan lidah meledek. Makin ke sini  makin sulit mengelak. Terutama saat kusandarkan penatku di kursi kantorku yang lama. Aku tak hendak bergagah-gagah menjadi pahlawan. Hanya memiliki panggilan hati untuk pergi ke daerah tertinggal suatu saat.  Lalu, setelah itu aku bisa merasa hidupku lengkap sudah. Tidak ada semacam ‘utang’.

Mungkin hal itu memengaruhi caraku berhubungan dengan Dias. Bagiku, berlama-lama di tempat yang nyaman terasa bagai kesalahan. Padahal, aku harusnya punya kewajiban untuk menebusnya. Aku mungkin sejenis idealis menyebalkan, yang mengkritik ketaksempurnaan dunia terus-menerus. Tapi, tidak tahu harus berbuat apa. Aku berusaha melupakan dorongan semangatku dan fokus pada tujuanku bersama Dias. Lalu, pada akhirnya hubungan kami harus menyerah pada kegelisahan itu.

Mengingat keputusan itu membuat perasaanku jadi melankolis. Bunyi serangga menyelimuti malam. Aku duduk dalam posisi lotus. Meditasi akan menenangkan hati. Bersiap dan memantapkan hati hidup enam bulan ke depan di dunia yang betul-betul berbeda dengan yang selama ini kukenali.

Kutulis catatan untuk Dias pada laptop-ku.

Sore tadi aku bercakap dengan Yosefa, guru yang sekaligus menjalani tugas gereja. Aku baru sehari mengajar, tapi rasanya kewajibanku masih sepuluh tahun lagi di sini. Atau mungkin seumur hidup.

Ning
Di tempat tinggalku, jenis kendaraan itu disebut angkot alias angkutan kota. Di sini namanya taksi. Pagi-pagi aku sudah bersiap di pangkalan taksi. Hari Sabtu yang mendung. Tetapi, hatiku cerah. Tiap akhir pekan, meno-meno akan turun dari gunung menjual bijih emas yang berhasil mereka peroleh. Itulah sumber harapan kami terbesar.

Penampung emas yang kebanyakan pedagang Bugis, panen setoran. Meno panen uang, para sopir panen borongan. Penjual minuman beralkohol, penjual telepon seluler, pedagang pakaian,  semua panen.

Jangan tanya mereka yang langsung mengeruk bijih emas dari perut Gunung Grasberg, sepertinya tidak perlu bersusah-payah pun uang sudah mengucur. Kami yang berkerumun di kaki gunung, laksana pasukan semut memunguti remah-remah. Demikian juga aku, yang terbang beribu-ribu kilometer meninggalkan kampung halaman dan sanak keluarga, demi manis remah-remah emas. Hujan deras semalam menyisakan jalanan yang licin dan basah. Di Timika, hujan turun lebih deras daripada yang bisa kuingat di tempat lain. Menurut orang-orang, di Tembagapura malah hampir setiap hari selalu berkabut dan gerimis.

Aku belum pernah pergi ke sana, karena untuk masuk harus punya kartu tanda pengenal. Kalau mau, sebenarnya bisa ikut tentara penjaga. Tetapi, aku kurang suka bergaul dengan tentara. Padahal, seharusnya aku belajar menyukai tentara karena di tempat terasing seperti ini, sangatlah penting memiliki hubungan dengan pihak yang kuat dan bisa diandalkan.

Salah seorang kakak sepupuku bersuamikan tentara yang sering dikirim bertugas lama ke luar daerah. Bergaul rapat dengan tentara membuatku merasa mengkhianatinya yang sudah setia menunggu di rumah merawat anak-anak. Dari sekadar menjaga jarak, lalu tumbuh rasa tidak simpatiku, terutama karena aku tahu teman-teman yang pergi berburu cendana ke pedalaman Merauke harus membayar biaya keamanan kepada beberapa dari mereka.

Tapi, mungkin memang seperti itulah harga yang harus kami bayar. Apa lagi yang bisa kami lakukan, selain mengiyakan orang-orang yang sepertinya datang untuk menolong mengantarkan kami pada jalan yang penuh harapan.

Bagi kami, satu terang bintang di langit pun sudah menjadi puncak cemerlang. Dan aku, datang kembali ke kota asing ini demi asa terang yang ingin kuraih, agar segala mendung dan gelap tidak betah bergayut pada kehidupanku. Apakah bisa? Apakah mungkin? Aku hanya tahu satu cara: bekerja sekeras-kerasnya. Sebaik-baiknya.

Ning
Di saat sebagian orang masih bermalas-malasan, aku sudah bergerak menuju kota. Tujuanku adalah arah Jalan Bougenvile dan Jalan Gorong-gorong. Mengawasi apakah ada meno yang tampak menjual emasnya. Mereka harus bisa dicegat sebelum mendatangi para pengepul emas yang rata-rata berasal dari Bugis itu. Tentu, agar emas itu bisa masuk kantongku lebih dulu.
Pagi masih benar-benar berkabut. Aku memakai jaket rapat-rapat. Di balik jaket hanya kukenakan atasan kutung tanpa lengan, ketat dan berlekuk mengikuti bentuk tubuhku. Kurang menguntungkan memang, karena penampilanku tidak terlalu menarik perhatian. Tapi, aku tidak ingin masuk angin atau menggigil kedinginan karena cuaca yang menggigit. Umur sudah tidak muda lagi, badan mulai manja, lain dengan dulu.

Mungkin aku terlalu pagi datang kemari. Belum ada seorang pun meno yang tampak setelah hampir sejam menunggu. Kios-kios pengepul pun belum buka. Kota sudah mulai ramai. Anak-anak sekolah yang tadi kutemui di jalan-jalan sudah tidak tampak. Aduh, perutku mendadak keroncongan. Padahal, tadi sudah kuisi dengan dua lembar roti tawar dilapisi selai kacang dan susu kental manis, juga segelas kopi panas. Dingin membawa lapar!

Tentu saja di pagi sedingin ini setiap orang akan memilih bertahan di rumah, di balik selimut masing-masing. Bahkan, para meno yang kutunggu-tunggu, kurasa mereka masih meringkuk di dalam bivak. Teman-teman pun akan menertawakanku, jika mereka tahu aku sudah menjemput bola di luar waktu biasa.

Semua orang juga tahu, para meno baru akan turun ke kota pada sore hari, puncaknya biasanya pada hari Sabtu. Itulah saat-saat panen bagi kami. Tetapi, jika hanya mengandalkan waktu panen, mimpiku untuk tinggal sesebentar mungkin di sini tidak akan tercapai. Di akhir pekan, saingan juga banyak. Noni-noni muda berkulit langsat tidak kurang yang beralih profesi, dari penjaga bar menjadi seperti kami.

Wah, lihat segerombolan pria berkulit legam itu. Mereka memakai sepatu boot seperti pekerja tambang sungguhan. Noken kecil berisi ponsel jenis terbaru tergantung di dada. Topi gunung berwarna hijau, hitam, kuning dan merah meriah, warna rasta kebanggaan mereka. Mereka tertawa riang sambil meludahkan cairan merah sirih pinang. Anehnya, meskipun mereka keranjingan mengunyah sirih pinang, mereka tidak suka jika aku ikut menyirih. Mungkin mengingatkan mereka pada aroma istri-istri di rumah.

Sehabis menukar emas dengan rupiah, mereka akan pesta keliling kota dengan mobil sewaan. Tidak lupa mengajak teman dan saudara. Berkrat-krat minuman keras memenuhi mobil. Lalu, pesta diakhiri di Kilo Sepuluh. Aku akan mengajak salah satu dari mereka untuk berpesta terlebih dahulu di kamarku. Tetapi, jika rombongan itu semua berhasil kuajak, teman-temanku pasti senang sepagi ini sudah kedatangan tamu berkantong tebal.

Aku mencegat mereka di tepi trotoar. Pura-pura ada masalah dengan sepatuku, aku membungkuk sambil menggoyang-goyang pinggul sedikit. Benar, yang terdepan berhenti diikuti yang lain.

“Ah, ada apa Nona dengan ko pu kaki?”

“Menginjak paku, Pace,” sahutku, mengangkat wajah.

“Ah, sudah kasih obat cepat. Nanti infeksi jadi.” Ia mengulurkan tangan menarik tanganku supaya bangkit. Perangkapku berhasil. Sedikit kuremas-remas telapak tangan meno itu saat aku memegangi tangannya sebagai tumpuan. “Nona, apakah bisa paku-paku sekarang dengan kami?”

Aku mengedip penuh arti. Kuhitung ada enam orang dalam rombongan. Aku membuat kesepakatan dengan teman-temanku di kontrakan lewat ponsel.  Beginilah, jika rezeki dibagi rata, perasaan senabis sepenanggungan terasa kental. Tetapi, jika saatnya bersaing sengit, tak jarang di antara kami saling menjelek-jelekkan sampai ke hal sekecil-kecilnya. Batas antara hitam dan putih di dunia kami begitu tipis, atau bahkan tak ada. Semuanya kelabu, pekat dan pahit. Tapi, kami punya banyak cara untuk tertawa melupakan semua itu. Apalagi jika sepagi ini sudah masuk ke kantong ratusan ribu rupiah.

Aku akan tidur siang sebentar. Mungkin nanti Lukas datang. Perlu kusiapkan energi cukup, sebab malam Minggu adalah panen raya. Apalagi musim hujan seperti ini. Setan sepertinya turun bersama butiran-butiran air menyuruh manusia berpesta-pora sepanjang malam.

Lukas datang sore hari. Namun, kali ini ia tanpa aroma alkohol. Ia datang membaringkan tubuhnya yang berat di kasur sehingga terbentuk cekungan. Matanya menatap langit-langit kamar. “Ada orang hanyut terbawa air di Ajkwa. Itu saudara satu suku, anggota marga yang kuhormati.”

Oh, pantas, aku membatin. Lukas adalah anggota suku Kamoro, penduduk daerah lembah aliran Sungai Ajkwa. “Innalillahi…,” ucapku. Lukas paham itu ungkapan dukacita yang diucapkan seorang yang beragama Islam. Aku sering mengucapkan kalimat itu setiap mendengar anggota sukunya yang meninggal. Beberapa orang sebelumnya mati sekaligus sewaktu perang suku dengan suku Amungme. Beberapa orang mati karena AIDS. Sebagian hanyut terbawa arus deras saat mendulang emas.

“Tong pu laki-laki habis satu per satu,” ujarnya, bergumam.

Kami terdiam cukup lama. Aku tidak suka dengan suasana duka seperti sekarang. Seolah seseorang melemparkan kesedihan tepat di wajahku. Padahal, mati-matian kusembunyikan jauh di dalam. Kalau bisa, malah tidak usah muncul sejenak pun.

Kirana
Di dalam perjalanan menuju Arso II, tubuhku terguncang-guncang oleh gerakan mobil yang menerjang jalan lumpur berkerikil. Di beberapa tempat longsor dan basah oleh air membentuk kubangan dalam, menunjukkan jika pada lapisan bawah jalan terdapat sumber mata air. Sopirnya, pria muda asal Toraja, tampak sudah teruji di medan berat. “Jalan menuju Web jauh lebih parah, selain licin juga terjal dan curam. Entah kapan trans Irian bisa sampai tembus Wamena dan beraspal mulus.”

Menjelang masuk Arso Timur, jalan sudah dilapisi aspal. Setelah melewati rumah dinas bupati, sinyal ponsel pun muncul. Rumah dinas itu megah dan luas, bergenting biru, dengan pagar teralis kokoh tinggi. Bangunan di Arso, seperti umumnya di Papua, kebanyakan beratap seng. Pada bangunan lama, karat kecokelatan menimbulkan kesan tua.

Teman-teman dari Jakarta, yang hampir seluruhnya anak LSM atau aktivis kampus, ternyata riang gembira juga kembali sesaat ke keramaian. Dinar, Bobi, Rahman, Galih, dan Rendra seperti menyambut kedatangan tamu istimewa ketika aku datang.

“Tambah item, Mace,” itu sapaan Rahman sambil mengguncang tanganku ketika bersalaman.

“Langsingan, ya?” Dinar menggoda. Tentu saja, selama sebulan tinggal di Waris, pola makanku berubah jauh. Tidak ada kudapan berlemak atau aneka minuman berkalori tinggi yang gampang diperoleh di Jakarta. Selain itu, aku tertular Yosefa rajin lari pagi.

Kusapa mereka dengan bahasa Pidgin, bahasa Inggris dialek Papua Nugini yang banyak dipakai orang-orang di perbatasan seperti Waris. Bahasa Pidgin pertama-tama menggelikan karena penulisannya sama dengan pelafalan. Contohnya you ditulis yu. Komon, yu ken dudet (Come on, you can do that!).

Mereka pun mulai tertular bicara Melayu logat Papua. Asyik sekali jika untuk berbicara hal sederhana kita harus berpikir beberapa jenak mencari kata yang tepat. Rendra mengusulkan, jika setiap kumpul evaluasi, tong wajib bicara bahasa Papua.

Seharian kami berdiskusi tentang masalah-masalah di lapangan. Hampir semua memiliki persoalan dengan pemahaman murid yang rendah. Bukan hal aneh, jika murid kelas enam belum bisa operasi pembagian dan perkalian bilangan dua angka! Di sekolah-sekolah pedalaman sering kali kelas absen berhari-hari karena guru tidak ada di tempat. Atau murid pun membolos karena ada pekerjaan di hutan dan ladang. Sekolah bukan kebutuhan prioritas untuk kebanyakan penduduk asli. Kondisi berbeda di daerah transmigrasi seperti Arso, Skanto, dan Senggi. Sebagian besar murid adalah keturunan pendatang dari luar pulau.

Rahman sebagai pemimpin diskusi membuat kesimpulan: “Yang perlu kita tekankan di sini adalah kita tidak membawa apalagi menekankan standar pendidikan di Jawa terutama. Tujuan kita adalah bagaimana menyesuaikan kebutuhan anak didik di sekolah dengan metode yang kita sampaikan. Sebab, jika kita memaksakan metode, tapi tidak bisa diikuti mereka, sama saja bohong. Prinsip pedagogi yang kita pakai tidak untuk mengkhianati realitas mereka. Aku tidak habis pikir anak-anak sekolah di sini memakai buku-buku pelajaran yang isinya tentang mobil, kereta, nama-nama, istilah, sejarah dan budaya yang tidak mereka kenal. Alangkah baiknya jika otonomi khusus juga berlaku pada reformasi materi belajar, supaya lebih bermuatan lokal dan dekat dengan keseharian anak-anak.”

Obrolan kemudian masuk pada bisik-bisik gerakan separatis. Aku banyak ditanya teman-teman dengan situasi di Waris, tempat yang lama dijadikan perlintasan gerilyawan OPM yang melintasi negara Indonesia dan Papua New Guinea. Kuceritakan tentang posko tentara yang berada tak jauh dari rumah penampunganku. Aku sudah mengenal beberapa orang yang tidak sedang mendapat giliran patroli ke perbatasan. Pada dasarnya, mereka sama dengan kami, yaitu datang karena menjalankan sebuah misi. Sama-sama terpisah jauh dari keluarga di rumah, tapi ada semangat
yang menguatkan. Yang berbeda adalah sumber semangatnya.

Tiba-tiba, aku ingin bercerita kepada Dias. Maka kukirim pesan: Dias, ak pengen tlp.Tp pulsaku rupanya sudah habis masa aktifnya. Bisa tlg isi? 50rb aja, thx sebelumnya yah. Ohya, km dah ada pacar baru blm? Mdh2an sgera dpt yg asyik, ga jenis galau ;p

Dias, bekas kekasih yang kini menjadi sahabatku itu, tak lama membalas: Yes, Bos. Aamiin... Pulsa dah tkirim, smp blum?

Aku riang setelah mengecek saldo pulsa. Sedikit berdebar menanti sambungan ke nomor Dias. Ketika suaranya terdengar, sambil membayangkan jarak tiga ribu kilometer lebih membentang di antara kami, aku tersenyum lebar dan rasanya pipiku langsung merah dadu.

“Bagaimana di sana? Masih betah nggak tinggal di pedalaman?”

“Aku bahagia, Dias. Aku selalu merasakan getar haru setiap menatap sosok anak-anak di kelas. Mungkin aku telah jatuh cinta pada mereka, pada kehidupan yang berlangsung di tanah ini.”


Ning
Dari Lukas, aku dapat kabar tentang Intan, salah seorang bekas teman kerjaku di pub dulu, dikirim dari hutan pedalaman di Asgon ke Timika. Ia sekarang ada di Yayasan Santo Antonius. Aku tahu, Intan dulu gula-gula Lukas. Sekarang, setelah tahu Intan ada di yayasan, ia berkata tidak ingin menemui wanita itu lagi. “Nanti sa tertular moo.  Biar sa sudah dapat resep penangkal penyakit itu, sa harus berhati-hati, bukan?”

Aku termangu mendengar ucapannya. Lukas bercerita, Intan bertahan selama enam bulan di pedalaman mengejar rezeki gaharu. Ya, aku sudah hafal kisah serupa itu. Wanita seperti kami menjadi barter menarik bagi bapak-bapak penduduk asli yang mengumpulkan gaharu. Dimulai dengan perjalanan berat menaiki kapal long boat menyusuri sungai berarus deras selama berhari-hari. Tiba di permukiman Waganu menunggu gaharu diantar, ditukar dengan beberapa malam, tergantung pada berat dan kelasnya. Gaharu kelas satu, bisa bernilai sepuluh juta per kilogram, bisa menghasilkan malam sangat panjang hingga seminggu penuh.

Ketika gaharu  makin langka, pengusaha menyuruh wanita asuhannya masuk ke hutan untuk menjemput para pencari gaharu. Tujuannya, mengumpulkan gaharu sebanyak mungkin, mengeruk uang sebanyak-banyaknya. Di hutan, dengan kondisi yang sulit, banyak yang jatuh sakit. Obat-obatan antibiotik tidak akan mempan. Jika hanya sakit biasa, masih ada harapan sembuh. Tapi, jika sudah terkena virus kutukan itu, seperti Intan, kurasa dunia seakan runtuh. Aku tidak berharap kejadian itu menimpaku. Sudah kuusahakan untuk selalu merayu tamu-tamuku mengenakan pelindung, meski satu dua tamu selalu ada yang bandel. Artinya, tidak berarti aku aman seratus persen. Tidak.

“Jangan sampai ko bernasib sama sampai harus pergi ke pedalaman,” ujar Lukas.

Aku terharu oleh perhatiannya. Jika saja kalimat itu diucapkan kakakku…. “Jika terus terdesak oleh nona-nona muda, segar, dan cantik, ke mana lagi nasibku hanyut, Pace?” ujarku, sambil tersenyum.

“Ah, jangan ko pikirkan itu. Bekerjalah sebaik-baiknya, dan jangan ko hambur-hamburkan uang pendapatanmu.”

“Tetap tidak cukup juga.” Lalu aku mengeluh utang yang harus kubayar dan keinginanku menabung untuk bekal. “Aku mau bekerja sangat keras supaya aku tidak perlu lama di sini. Lalu pulang ke Jawa.”

“Ko mau apa di Jawa?”

“Membuka salon atau warung sembako.”

“Ah, apa hasilnya akan cukupkah?”

“Tidak apa-apa jika hasilnya sedikit. Yang penting aku bisa hidup tenang dan tenteram.”

Lukas tertawa. “Apa itu hidup tenang dan tenteram?”

Aku memandangnya heran. “Kau tidak tahu?”

“Yaaa... kalau mau tenang dan tenteram itu di kuburan. Selama ko hidup, pastilah harus bersusah payah mencari uang. Buat makan, bukan obat kalau ko sakit. Benar kan sa pu pendapat?”

Kata-kata Lukas terdengar kejam di telingaku. Masa untuk hidup tenang dan tenteram  tidak bisa diperoleh di dunia! Lukas tertawa makin keras menanggapi protesku. Lalu ia bertanya, apa rencanaku agar tujuan hidup tenang dan tenteram itu tercapai. Meskipun aku dongkol karena ia mengolok-olokku sedemikian rupa, kujelaskan, kalau bisa paling lama aku akan tinggal di Timika selama enam bulan saja. Jadi, aku harus memanfaatkan waktuku sebaik-baiknya selama enam bulan itu. Aku harus segera pulang ke Jawa membawa bekal cukup, jangan sampai malah tersingkir ke pedalaman.  Amit-amit!

“Dengan bekerja seperti ini, kurasa sulit sekali, Devi. Paling tidak ko butuh dua tahun untuk menabung sampai ko pu modal itu cukup. Itu sudah.”

Kusangga dagu dengan kedua tanganku. “Lalu aku harus apa, Pace?”

“Ko tadi bilang mau bekerja apa saja, bukan?”

“Ya. Apa saja.”

“Begini,” ujar Lukas, dengan gaya serius.

“Ko selama ini mencegat para meno di dekat pasar Swadaya sewaktu mereka turun untuk menukar emas, ‘kan? Di kota, sainganmu banyak.”

“Kau suruh aku ke hutan gaharu? Di sana juga saingan banyak, nyamuk malaria pun tidak kalah banyak.”

“Ah, ko dengar dululah sa bicara,” ujar Lukas. “Kalau ko benar-benar mau mengumpulkan banyak uang, mengapa tidak kau langsung datangi saja tempat mereka menambang?”

“Ke Sungai Ajkwa?”

Lukas mengangguk. Aku membelalakkan mata mendengar usulannya. Aku membayangkan diriku bagaikan perawan di sarang penyamun, jika memasuki kawasan penambang emas sisa limbah pabrik raksasa di pucuk Gunung Grasberg itu.

“Ko harus naik ke atas, bisa ke Arwanob atau Banti, karena di sana lebih dekat dengan pabrik. Penambang di atas mendapat emas lebih banyak.”

“Gimana cara aku ke sana? Sendirian jelas tidak mungkin.”

“Apa gunanya ko kenal pace Kamoro, heh?”

“Kau mau mengantarku, Lukas?”

Lukas menyeringai. “Ada hitungannya, Devi. Anggap saja sa ini manajermu.”

Aku mendelikkan mata padanya. Lukas memperlihatkan giginya yang kemerahan oleh sirih pinang. Ia mengangkat kedua telapak tangannya di depan wajahku. “Tenang, Devi. Aku tidak akan mengisap uangmu seperti bos-bos itu.”

“Lalu apa?” Aku menangkap isyarat licik pada wajahnya.

“Ah, ko ini tidak percaya sa pu usul rupanya. Padahal, kita sudah kenal bertahun-tahun. Tidak mungkin sa ada niat jahat padamu.”

Aku mengalihkan tatapan Lukas. Mataku memandangi foto seorang pemain sinetron tampan yang ada di lembaran kalender di dinding kamar. Lalu kutatap  lagi Lukas yang sedang bersila di hadapanku.

“Jadi, bagaimana perjanjian tong pu bisnis kali ini?”

Lukas tertawa sebelum menjawab. “Sa senang berurusan denganmu. Ini uji coba. Kalau berhasil, sa bisa ambil nona-nona lain, bukan? Ah, mengapa juga tidak sejak dulu sa pikirkan? Ko ini memberi ide untuk menjemput langsung ke penambangan. Sa pikir tra ada wanita yang mau repot-repot turun sampai sana. Selama ini cukup menunggu di kota saja. Tapi, ko memang selalu lain, Devi.”

Selalu lain? Lukas mengada-ada. Kurasa kata-kata selalu lain itu ditujukan padaku karena beberapa hari lalu Lukas menemukan sebuah buku cukup tebal di antara tumpukan barang-barangku. Kuberi tahu, buku itu bukan milikku, tapi kutemukan di toilet Bandara Sentani. Belum kubaca karena aku tidak suka membaca. Lukas bertanya, jadi untuk apa aku pungut buku itu. Kubilang, aku tidak tahu. Tapi, kalau dibuang, aku merasa berdosa, ia boleh mengambilnya jika mau. Lukas tertawa keras. Ia sempat membuka-buka sebentar. Seperti aku, ia juga merasa tidak tertarik. Menurut Lukas, aku ini aneh, memungut benda yang tidak bisa digunakan.

“Kau memang lain,” ujarnya.

“Lain apanya?”

“Hanya ko yang paling keras memaksa tamu mengenakan pelindung.”

Aku tertawa kecil. Ternyata, itu maksud kata ‘lain’. “Kalau tidak begitu, aku bisa kena. Lagi pula, aku tidak memaksa. Masa merayu disamakan dengan memaksa?”

“Ah, ko pandai putar lidah sudah,” ujar Lukas.

Kirana
Sabtu pagi ini aku ikut menumpang mobil keuskupan yang akan turun ke Jayapura untuk sebuah keperluan. Karena ada Yosefa yang bisa kubuntuti, maka kesempatan ini tidak kulewatkan. Tanpa mendapat tumpangan, perjalanan ke ibu kota sejauh kurang lebih seratus lima puluh kilometer membutuhkan biaya ratusan ribu rupiah naik mobil gardan ganda.

Jalan bertanah keras sepanjang puluhan kilo membuat tubuh penumpang terguncang-guncang, meski jok mobil cukup meredam. Aku dan Yosefa duduk di kursi paling belakang, bersama seorang pengajar sekolah menengah pertama milik yayasan. Di tengah diisi keluarga Pak Jonas yang membawa serta putri kecilnya.

Posisi dudukku persis di atas ban, sehingga guncangan kecil saja langsung terasa. Tapi, aku juga bisa menikmati pemandangan hutan-hutan yang, meskipun tak lagi lebat, cukup rimbun. Berkendara terasa nyaman saat mobil memasuki wilayah distrik Arso yang sudah beraspal mulus.

Melewati pertigaan Arso II, suasana cukup ramai. Mama-mama berjualan di pertigaan tempat ojek mangkal. Beberapa orang penduduk sedang menikmati waktu di warung kopi, sekaligus menunggu taksi. Sekelompok anak kecil bergaya dengan sepeda masing-masing di pinggir jalan. Andalan! Aku teringat kalimat khas murid-murid di kelas jika ada sesuatu yang bisa dibanggakan.

Hampir tiga jam perjalanan melewati hutan, semak dan lahan terbuka. Kini mobil memasuki jalan yang diapit tebing batuan yang cukup tinggi di sisi kiri, dan pemandangan terbuka ke arah Teluk Yos Sudarso di sisi kanan. Warna biru permukaannya cemerlang, dengan aksen daratan hijau meliuk-liuk membentuk fraktal alam, aku membayangkan pantai California di seberang sana yang akan menjadi tempat terdamparnya botol berisi surat jika kulemparkan dari sini. Dengan syarat, si botol mampu bergerak dalam garis lurus ke arah timur laut mengarungi Samudra Pasifik yang mahaluas.

Ide-ide khayali semacam ini hanya Dias yang menanggapi dengan antusias. Bahkan, ia pernah berpikir, mungkin sekali air yang pernah diminumnya di Surabaya ketika ia kecil, pernah terminum olehku di Banjarmasin saat remaja. Persis sama denganku yang juga berpikir serupa, karena berangkat dari fakta bahwa air di seluruh bumi ini melewati siklus yang berulang.

Air yang melewati seseorang, juga pasti pernah melewati tubuh musuh besarnya. Entah berapa tetes, ember, atau molekul. Jadi, mestinya tidak akan ada permusuhan, perang atau kebencian, jika semua orang berpikir tentang unsur-unsur dan senyawa yang kita bagi bersama di dunia ini. Itulah, salah satu mengapa Dias dan aku menemukan kecocokan. Tapi....

“Su hampir sampai kita,” ucap Yosefa.

Yosefa turun di Abepura. Aku turut Yosefa menginap di salah satu rumah saudaranya, jadi aku akan membebek ke mana-mana, yang penting bisa menikmati Kota Jayapura. Katanya, pemandangan malam hari di kota itu sangat cantik, juga ada warung-warung ikan bakar enak milik pedagang Bugis di sepanjang pelabuhan. “Juga nanti mama tuaku akan memasak ikan kuah kuning terlezat untuk kita,” ujar Yosefa. “Kepalanya boleh untuk ko seorang, Ki.”

Aku tertawa malu.

Rumah kerabat Yosefa berada di tepi lapangan bola, pepohonan rindang sepanjang jalan menghalangi sinar terik matahari. Belum tengah hari, tapi rasanya matahari seperti memanggang kepala. Di sisi barat, tampak bukit hijau menjulang yang ditumbuhi ilalang dan pohon-pohon perdu.

“Ini Kirana, Matua. Relawan pengajar di sekolah yang sa ceritakan itu,” ujar Yosefa, memperkenalkan pada tuan rumah, seorang guru taman kanak-kanak berpengalaman. Dari cerita Yosefa, aku tahu bahwa mereka keluarga terpelajar. Putri bungsunya kuliah di Jepang, mendapatkan beasiswa. Putri sulungnya sebentar lagi lulus dari Universitas Cenderawasih.

Aku mengangguk sambil mengulurkan tangan. Ibu itu berbadan tinggi besar, berambut keriting, bermata ramah. “Betahkah tinggal di Waris? Sering-sering saja main ke sini, menginaplah. Mau lamakah tinggal di Papua?”

“Untuk program pertama enam bulan. Tapi, diperpanjang hingga dua tahun. Dan saya ingin terus di sini, jika keadaannya mungkin.”

“Wah, sungguh?” Bu Bonay bertanya antusias. “Mengapa e sepertinya nona ini tertarik dengan Papua?”

“Saya dari dulu bercita-cita mengajar di Papua. Tapi, tidak pernah dipikirkan serius. Eh, kemarin tiba-tiba ada kesempatan. Sebelumnya saya banyak membaca di internet tentang situasi pendidikan di sini.”

“Nona harus bertemu sa pu keponakan kalau begitu.”

“Siapa?” kali ini Yosefa yang bertanya.

“Niko. Ko juga belum pernah ketemu.”

“Nicholas Rumainum-kah? Bukannya dong tinggal di Bandung?”

Kemudian aku mendengar tentang sosok Niko itu dari cerita si ibu. Ayah dan ibunya orang terpelajar, keduanya dosen perguruan tinggi di Bandung. Kakeknya yang berasal dari Biak merupakan generasi pertama yang menempuh pendidikan ke Pulau Jawa.

Sebenarnya, ia seperempat Papua, sisanya campuran. Mengambil kuliah teknik sipil, tapi waktunya sebagian besar habis untuk demo jalanan juga di ruang-ruang diskusi. Terakhir minat besarnya adalah menggerakkan generasi muda Papua di bagian bumi mana pun untuk bersatu merawat tanah tumpah darah mereka dengan memanfaatkan jaringan internet. Ia sendiri telah memutuskan akan berada di barisan depan, bergerak langsung di jantung tanah Mutiara Hitam. Aku tahu, keinginan, keahlian, dan kesempatan yang aku punya berjodoh dengan cita-cita anak muda bernama Nicholas itu. Mungkin aku bisa menawarkan diri untuk mengelola komunitas berbasis web. Tapi, hari itu Niko sedang berkunjung ke Sarmi bersama suami Bu Bonay. Besok mereka kembali.

Aku sempat mengirim SMS kepada Dias soal Niko, tapi tak kunjung ada jawaban. Mungkin sedang sibuk sahabat baikku itu. Beberapa kali aku SMS Dias, tetap tak ada jawaban. Ah, mengesalkan. Ketika kutelepon, nadanya aktif, tapi tidak diangkat. Padahal, mumpung ada sinyal, harusnya komunikasi lebih lancar. Tidak tahukah dia, aku kangen bercerita dengannya? Pikiran tentang Dias terlupakan waktu kami bertiga jalan-jalan ke Kota Jayapura. Makan ikan bakar di tepi laut, melihat kerlap-kerlip lampu kapal yang sedang berlabuh.

Menjelang tidur aku hubungi lagi nomor Dias. Malah sekarang mati. Kucoba nomor yang lain, ah, ketiganya juga mati. Tentu aku panik dan bertanya-tanya. Apa yang terjadi? Tapi… mungkin saja Dias sedang dalam perjalanan ke Jayapura, itu satu-satunya dugaan optimistis tentang matinya ketiga nomor Dias. Meski Dias bukan tipe orang yang suka memberi kejutan. Kemungkinan lain, ia telah kecopetan dan sang pencuri mencopoti semua kartunya untuk menghilangkan jejak.

Kasur yang kutiduri di rumah keluarga Bonay rasanya yang paling nyaman selama aku di Papua. Tapi, tidurku tidak nyenyak. Sekitar pukul satu telepon berbunyi. Di tengah tidur, dering ponsel sontak membuatku terjaga. Nama Dias di layar.

“Ki...  lagi tidur, ya?”

“Sudah bangun.”

“Maksudnya terbangun?”

“Hmm….”

“Marah, ya, SMS dan teleponmu nggak kurespons?”

“Enggak.”

“Dari nadanya iya.”

“Baru bangun tidur.”

“Iya, deh. Kamu tahu kan Ki... aku ini sulit menyimpan rahasia, daripada jadinya bocor, ya, sudah mending aku diemin. Tapi, aku nggak tahan lama-lama menahan diri.”

“Hmm, tunggu Dias… kamu mau kasih aku kejutan? Kamu ada di bandara, ‘kan? Masih di Cengkareng atau sudah di Sentani?”

“Enggak keduanya, Ki.”

“Jadi, kejutan apa kalau bukan kamu datang ke sini?”

“Ya, aku ke situ. Ini lagi tr ansit di Makassar.”

“Tapi, aku besok sudah kembali ke Waris.”

“Ya, aku cuti lima hari. Mau mencicipi paket jejak petualang ala Kirana.”

“Tapi, di sana pedalaman. Kamu akan terisolasi dari dunia luar.”

“Ya, paham.... Eh, aku harus segera boarding, nih. Ponsel kumatikan dulu, ya. Sampai ketemu nanti pagi, pukul tujuh waktu Indonesia Timur, Ki... Jangan lupa! Bye.”

Aku belum pernah merasakan malam seterang sekarang. Menerima kunjungan Dias setelah terpisah jarak dan keadaan adalah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Selain ongkos ke sini yang cukup mahal, Dias jarang sekali berlaku impulsif tanpa peduli pertimbangan ini-itu. Sekadar kangen? Lari dari masalah besar? Misterius! Besok akan kuinterogasi dia! Aduh, meski setengah mati dibuat penasaran, aku senang minta ampun. Juga membayangkan rencanaku dengan orang bernama Niko, menjadi gairah tersendiri. Semesta sedang berbaik hati, mempertemukanku dengan sebuah kebetulan yang bisa memperpanjang waktuku di Papua. Bahkan, rasanya aku tidak keberatan, jika suatu saat nanti tulang belulangku menyatu dengan tanah ini. Ada sihir yang tak kumengerti padanya, cintakah itu?

Ya, cinta yang mendesak hasrat agar menjadi bagian dari yang dicintai. Tetapi, pada Dias, Diasti, cinta itu adalah sepasang sayap yang membiarkannya bebas terbang.

Ning
Sejalur sungai berisi aliran lumpur keputihan terpampang di depanku. Di kampungku, sungai dengan air sedikit keruh terlihat mengalirkan kehidupan, diapit aneka pepohonan dan semak di sepanjang kedua tepinya. Batu-batu hitam abu-abu berukuran besar menambah kesan alami. Tapi, itu di kampungku. Di sini, yang kulihat hanya warna putih abu-abu, di tengah sungai, di bantaran kali, melebar ke tepiannya sampai beberapa meter.

Ada sebatang pohon tumbang yang akarnya mencuat di udara, jejak-jejak sepatu boot tercetak di atas lumpur, menuju deretan bivak yang warnanya biru seragam. Wajan-wajan menelengkup tergantung pada tiang-tiang pendek yang ditanam di depan bivak. Bukan untuk memasak, tapi untuk menyaring butiran emas dari tailing, lumpur putih abu-abu itu. Beberapa orang terlihat sudah mulai bersiap-siap untuk mendulang. Hari memang masih pagi, orang-orang yang tidur di dalam bivak mungkin masih berkelimun dalam kantong tidur. Apalagi bulan musim penghujan seperti ini, sampai siang pun matahari sering bersembunyi di balik awan.

 “Adakah ikan yang hidup di sungai ini?”

“Dulu, sewaktu sa kecil, di sini sa tangkap ikan-ikan lezat yang sekarang sudah lenyap. Dulu, kebun petatas di pinggir sungai ini tumbuh paling subur dibanding tempat lain. Dulu, pohon sagu berderet sepanjang mata melihat....”

Suara Lukas terdengar aneh. Mungkin ia sedang mengenang masa kecil yang membuatnya seperti menangis itu.

“Sekarang namanya Sungai Kapur. Ko lihat airnya yang kotor itu, itulah mengapa tong kasih nama Sungai Kapur.”

“Baru sekali ini aku lihat tempat orang menambang emas itu.”

“Ah, ko salah jadi. Orang menambang emas itu di Gunung Grasberg, tempatnya pabrik raksasa itu. Di sini, ko cuma lihat semut-semut kecil mengerubuti sisa-sisa makanan. Itu sudah.”

“Ooo…,” ujarku, pendek. Mengapa nada suara Lukas kembali aneh? Jika tadi terdengar ingin menangis, sekarang bernada geram.

“Dulu, Gunung Dugu-Dugu dan Puncak Nemangkawi Nenggok punya kami, sekarang tinggal lubang menganga. Dulu suku-suku di lembah ini baku perang berebut hutan, sekarang baku kelahi berebut daerah pendulangan tailing.”

“Devi hanya tahu baku sayang saja, Pace,” ujarku, berusaha agar Lukas tidak terus terbawa emosinya. Tapi, wajah Lukas telanjur mendung. Perasaanku tak enak. Bertahun-tahun kukenal Lukas, tidak pernah kulihat ia tampak emosional seperti ini.

Lalu kami kembali melangkahkan kaki di atas tanggul jalan sambil diam. Kulirik lagi Lukas, wajahnya tampak tegang dan serius. Ya, aku memang tahu jika Lukas punya trauma dengan tempat pendulangan. Itulah mengapa ia tidak menjadi penambang liar seperti kebanyakan orang-orang sukunya. Sahabatnya dulu tewas dalam perkelahian dengan sesama penambang, begitu ia pernah cerita.

“Pace, ko baik sekali kasih antar Devi selamat sampai di sini,” ujarku lembut.

Lukas mengangguk. Lalu menggeleng-geleng. “Sa pikir tidak akan sedih lihat kembali Sungai Kapur. Waktu ko bilang ingin melihat-lihat ke sini, sa seperti ditantang. Ko yang seorang wanita trada takut ke sini, mengapa sa tidak? Sudah lima tahun lebih sa tra pernah ke sini. Sa bilang sama diri sendiri, harus dilenyapkan kenangan buruk itu, tapi ternyata sulit. Sukar sa percaya.”

Ya, sukar kupercaya rasanya aku bisa berhasil sampai ke sungai ini. Dari ujung jalan di Kwamki Lama, tadi bersama Lukas aku harus naik-turun tanggul, menyeberangi kolam luas, melintasi daratan tandus, dan yang paling mengerikan menyeberangi Sungai Ajkwa yang mengalir deras. Untungnya, meski sudah lima tahun lebih tidak ke sini, Lukas masih hafal tempat cukup dangkal untuk diseberangi. Meskipun terhitung yang paling dangkal, tinggi air di tempat penyeberangan mencapai pertengahan dada. Aku terus komat-kamit berdoa, merasakan tenaga arus pada tubuhku, juga waswas jika hujan deras di hulu mendadak turun, yang bisa menyebabkan sungai meluap.

Lukas bercerita, di daerah yang lebih tinggi, mendekati Kota Tembagapura di atas, medan menuju sungai jauh lebih berat. Jadi, kalau aku tetap nekat ingin mengumpulkan uang emas langsung dari tangan pertama, risiko perjalanan lebih sulit. Ah, tapi, toh, ternyata aku pun bisa sampai juga ke Sungai Kapur. Kurasa ke daerah atas pun bisa.

“Eh, Pace... Aku jadi kepingin mendulang juga. Sepertinya gampang, cuma tinggal ambil wajan dan sekop. Tidak usah aku ke Banti, di sini saja. Aku mencari emas, sekaligus mendapat meno-meno juga. Jadi, sumber uangku jadi dobel.” Kubayangkan emas berkilau-kilau yang mungkin bisa dilihat orang lain memantul pada biji mataku.

“Hah?’ Lukas tidak menyembunyikan keterkejutannya. “Ko pu pikiran itu selalu lain saja, Devi.”

“Oh, mengapa tidak, Pace. Sewaktu di kampung aku bekerja di sawah. Aku bisa kerja keras.”

“Ko akan ditertawakan jadi.”

“Ah, Devi tra takut dengan tertawaan orang. Mumpung ada kesempatan. Kudengar kalau lagi beruntung bisa dapat emas sampai Rp70 juta. Wah, kalau keberuntungan semacam itu datang kepadaku, aku akan langsung pulang. Mumpung sekarang musim hujan, banyak emas hanyut di lumpur.”

Lukas tampak berpikir. Wajahnya jika sedang berpikir terlihat lucu. Mungkin ia sedang menghitung-hitung hilangnya kesempatan mendapat bagian empat puluh persen yang sudah kujanjikan untuk transaksi dengan para meno. Mungkin ia tidak mengira, aku punya usulan di luar dugaan. Wajahnya yang sedang berpikir itu berubah menjadi erangan bertepatan dengan melesatnya sebuah mata panah mengarah pada jantungnya.

Aku menjerit keras-keras. Kulihat sekelebat sosok berlari menuju dataran semak-semak di seberang jalan.

Seminggu sudah Lukas pergi. Seminggu ini juga aku bolak-balik ke kantor polisi untuk menjawab berbagai pertanyaan sebagai saksi. Berarti tidak ada pendapatan, blas. Hari ini aku akan pindah ke kamar sewa yang lebih murah. Barang-barangku kukemasi. Koran Cenderawasih Post yang memuat berita kematian Lukas, kubuang ke tempat sampah. Tapi, aku masih ingat isinya.
(Mimika-CP) Kematian Lukas Waisor (34) oleh pemanah tak dikenal diduga merupakan buntut peristiwa perkelahian di pendulangan Sungai Kapur pada akhir tahun 2003. Penyidik mengatakan, aksi balas dendam ini tampaknya akan memicu perang antar dua kampung yang pernah bertikai. Namun, fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa peristiwa ini bukan sekadar dendam lama.

Pada saat bersamaan, secara sporadis terjadi juga penyerangan terhadap karyawan sebuah perusahaan tambang emas di beberapa tempat. Dilaporkan dua orang tewas di tempat dan empat yang lain dilarikan ke rumah sakit. Diduga, peristiwa kekerasan yang berlangsung bersamaan itu memiliki kaitan satu sama lain, yaitu dengan motif untuk mengacaukan suasana. Polisi mengaitkannya dengan gerakan kelompok separatis yang berada di balik tuntutan pembubaran perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia itu.

Isu ini membuat suasana Kota Timika menjadi mencekam. Meskipun tidak diberlakukan jam malan, kegiatan penduduk langsung berhenti begitu malam tiba.

Ya, suasana kota sekarang terasa lesu. Menurut pengepul emas di Pasar Swadaya, keadaan ini hanya berlangsung sementara. Tidak lama lagi keadaan pasti normal. Di sini, peristiwa demikian sudah biasa terjadi. Mataku terasa hangat, dan kubiarkan air mata itu meleleh tumpah.

Oh, ya, buku itu, mungkin akan kubawa terus. Aku merasa tidak enak hati kepada pemiliknya, jika kubuang begitu saja. Mungkin, nanti aku punya waktu cukup untuk membacanya pelan-pelan, jika berada di tengah kesunyian hutan gaharu.