12.29.2010

Kejora Membunuh Cahaya

Duh, Gusti, aku tidak pernah protes ketika hidup selalu mendahulukan kepentingan para lelaki. Tetapi, benarkah semesta ini Kau ciptakan hanya untuk mereka, tanpa menyisakan secuil pun, bahkan seukuran rambut, bagi sebentuk mimpi wanita biasa, yang ingin mendapatkan sebentuk cinta sederhana. Di mana aku mencintainya dan dia mencintaiku. Tak perlu serumit jalinan satelit.

Wayang-wayang yang disentuhnya seperti menjelma hidup. Riwayatnya berkilau, geraknya bernapas dan suaranya detak jantung. Wanita itu menciptakan semesta mungil yang mengundangku untuk menjadi bagian elemennya. Mengagumi kegagahan Bima, terpesona ketampanan tanpa cacat Arjuna atau menyimpan amarah perih Drupadi. Kakiku tak berpijak, imajiku mengambil alih dan aku terbang seperti sihir.

Wayang-wayang itu bukan lagi selembar kulit sapi, melainkan potongan jiwa yang butuh penyatuan. Wanita itu menghidupkannya. Mencipta semestanya. Ia mampu membunuh kesatria sakti, menghentikan perang, membendung banjir darah dan menentukan nasib semua tokoh. Tapi, ia tak pernah bisa menuliskan nasib bagi dirinya sendiri.

Bu Dalang, demikian aku dan banyak orang di Kompleks Tanjung Palapa, salah satu ceruk Jakarta, memanggilnya. Ketika dalang identik sebagai profesi laki- laki, Bu Dalang membalikkan pendapat umum itu. Dia adalah sedikit dari wanita yang bertahan hingga kini, kukuh, tak riuh memperdebatkan gender. Kidungnya merdu, mengumandangkan kebersandingan tanpa menuntut slogan kesetaraan. Lakunya tetap menjadi ‘perawan’ para wayang.

Ya, secara fisik wanita itu memang telah  menikah. Punya anak dan cucu. Tetapi, secara jiwa, di masih selalu menyimpan keperawanannya. Untuk lelaki yang menambahkan satu kata dalam kamus hidupnya: asmara cipta. Asmara cipta adalah cinta yang paling tak terdefinisi. Dalam asmara cipta, pasangannya adalah sigaraning jiwa, soulmate yang sesungguhnya. Tak hanya nafsu dan sayang kadang bukan jodohnya. Orang yang saling jatuh cinta tidak harus bertemu, apalagi bersinggungan badan. Cukup masing-masing mengheningkan cipta, maka keduanya akan menyatu, saat itu juga.

Cinta platonis yang aku menyebutnya sebagai penyebab matinya kewarasan. Namun, dia mengatakan sebagai energi yang menjadikannya eksis, hingga detik ini. Sejak kecil, Bu Dalang selalu dianggap cadangan setelah kakak-kakaknya. Bukan karena nakal atau memalukan, tetapi karena dia anak perempuan.

Lalu ia mendapatkan energi dari cinta belianya untuk mendobrak semua itu. Cinta yang tak disangka bukan sekadar cinta monyet. Namun, begitu mendalam, hingga melebihi dalamnya harapan. Energi itulah yang membawanya tersesat dalam cinta. Wayang-wayang itu perwujudannya. Menobatkan dirinya menjadi wanita dalang ternama di negeri ini. Energi itu seperti matahari yang menghidupkan bumi. Menumbuhkan bayi biji tumbuh dan berpucuk. Kadang-kadang murkanya membakar bunga dan seratnya tanpa ampun. Mereka tak pernah bisa menyatu, tapi cukup saling ada.

Lakon 1. Pendhapa suwung 1)
Sungguh tak pernah kuduga, Jakarta yang mengangkat dagunya tinggi-tinggi sebagai kota megapolitan, masih menyisakan sebuah ruang sempit untuk napas kampung halaman. Seperangkat pagelaran wayang kulit! Aku bisa melihat pagelaran wayang lengkap dengan penontonnya, dengan dialek yang renyah khas Jawa Tengah di bangku penonton. Seperti sepotong tanah lahir yang dipaketkan, lantas ditumbuhkan di kota megapolitan. Ini bukanlah pagelaran di anjungan Jawa Tengah, TMII. Tetapi di sebuah rumah warga kebanyakan yang tengah mengadakan syukuran kenaikan jabatan.

Berlatar gedung tegak menyangga langit malam, kelir putih itu digelar. Di baliknya ratusan wayang tertata rapi di kanan dan kiri dengan menyisakan ruang kosong di tengahnya. Inti dari ruang kosong tertancap gunungan, segitiga sarat makna yang mengawali dan nantinya mengakhiri kisah yang digelar. Liukan blencong 2) menjadikan wayang-wayang yang tertancap di batang pisang bergerak, meliuk dan menari. Mereka hidup!

Di balik panggung, tak jauh dari wayang-wayang yang hidup itu, aku berdiri canggung. Keringat dingin mengalir di tengkuk, lalu melumer di dadaku. Jarum jam di pergelanganku sudah menunjuk angka 7.

“Setiap wanita itu punya jiwa seni, karena wanita adalah seni terindah yang pernah Tuhan ciptakan. Hanya tinggal kita memercayainya,” ujarnya, ketika aku menolak untuk mendandaninya tempo hari. Kini aku sedang berusaha keras menjelma menjadi perias. Padahal, aku sendiri jarang sekali berias diri. Di ruangan sempit, tanpa cermin dan pernik salon, kugoreskan satu demi satu peralatan make up ke wajahnya. Jelas menggoreskan eye shadow, blush on, beda dengan menorehkan cat air di kain kanvas. Ada pori-pori yang hidup. Bernapas. Itu membuatku mengerut. Mau tak mau tanganku bergetar.

 “Nduk, tolong lihat apakah sudah sama kanan dan kirinya,” kata Bu Dalang, sembari merapikan sanggulnya. Aku menggigil bukan karena malam yang  makin dingin. Tetapi hatiku kebas menerima tanggung jawab ini. Terlintas dalam benakku, malam ini akan muncul wanita yang akan menjadi poros di sebuah pertunjukan dengan dandanan yang mengerikan hasil karya perias jadi–jadian. Duh, Gusti, Engkau Maha Bisa, tunjukkan keindahan-Mu melalui jemariku, doaku, merapal mantra.

Tuhan mendengar doa hamba-Nya yang terdesak. Lihatlah, hasil goresan tanganku mampu memanggil kembali kecantikan masa silam yang terkubur usia. Kendati tak mampu melumerkan derita misterius yang bertakhta di pesona sepasang matanya. Atau karena derita misterius itu yang membuat parasnya mengundang rasa?  Tubuhnya seperti magnet, menarik siapa saja
untuk mendekat.

Dengan sedikit percaya diri, aku mulai melilitkan kain tepat pada posisinya. Hingga motif parang barong nyambung satu sisi dengan yang lainnya. Parang barong adalah motif yang hanya boleh dikenakan oleh bangsawan keraton. Benarkah Bu Dalang berdarah biru? Dia tak pernah mau memperbincangkan. Hanya saja, aku bisa merasakan aura kuat ketika berada di sisinya. Kini, dengan kebaya warna maroon, Bu Dalang menjelma menjadi ratu dari kerajaan malam. Bukan lagi nenek- nenek pemilik asrama.

Tinggal sentuhan terakhir, roncean melati yang aku sematkan di sanggulnya. Aromanya mengharumkan malam. Tiba-tiba menyentuh sarafku. Membangkitkan memori akan seseorang. Jasmin. Dulu seseorang kerap memetikkannya untukku.
Ah, sudahlah.

“Nanti tolong ambil gambarnya setiap adegan yang penting, ya, Nduk. Di sini nanti tidak akan ada perang dahsyat. Tapi, kamu pasti akan tahu mana adegan penting itu,” pesan Bu Dalang, sebelum menuju ke panggung. Kugenggam erat D300 yang bergantung manis di lenganku. Berhala hitam yang membuatku mampu mengalahkan keraguan. Aku mengangguk yakin.

Catatan:
1) Lambang dunia dan manusia semula diciptakan dari tiada oleh Tuhan.
2) Lampu minyak untuk pertunjukan wayang hingga menimbulkan bayangan di kelir (layar). Wayang pun menjadi hidup.

Ini kali pertama aku melihat pentas Bu Dalang secara langsung. Sebelumnya, pusing aku harus melihat rekaman pementasannya. Bayangkan, setiap kali Bu Dalang mengunjungi kamarku, dia akan membawa setumpuk DVD yang disetel di laptop-ku. Aku harus mengomentari setiap adegan penting. Terutama saat adegan perang.

“Bagaimana Mbak seblakan-nya? Mantap, ‘kan?” Atau terkadang, ”Coba dengarkan, ini jatuh di slendro-nya,” dan ini dan itu. Dan, aku pun pening.

Aku memang lahir di Klaten. Kota kecil pertemuan antara kebudayaan Keraton Yogya dan Solo. Banyak dalang kondang berasal dari sana. Tetapi, bukan berarti aku ahli wayang. Bahkan, penggemar pun tidak. Karena, bisa dikata, aku sudah pening dengan wayang kulit sejak ayahku kerap membiarkan radionya menyala hingga larut pagi. Mungkin irama itu kudengar semenjak aku bisa mendengar. Segala slogan hemat energi luluh lantak demi pentas wayang kulit semalam suntuk yang digelar tiap malam Minggu di RRI. Entah mengapa, tak secuil pun aku tertarik pada wayang. Terlihat jadul, kuno, dan tidak gaul. Ayahku bersikeras menjejalkannya dan aku tetap bergeming dengan ketidaktertarikanku.

Seperti karma yang menyeringai dengan taringnya, tak peduli sejauh apa aku melarikan diri. Justru di kota megapolitan ini, aku harus menyaksikan wayang- wayang itu. Yang masih tetap jadul, kuno, dan terjebak masa silam. Bahkan, aku ada di jantung udara, yang menyiarkan wayang kulit di seantero Nusantara.

Bu Dalang kerap mendalang di RRI, dan aku selalu diminta menungguinya. Dalam benakku, ratusan kilometer nun jauh di sana, ayahku pasti akan tersenyum di samping radio National-nya sembari berkata dengan mata bijaknya yang berkaca- kaca, “Aku bangga padamu, Nduk... estafet budaya negeri ini akan tegak berdiri.” Radio pun akan makin dibiarkan hidup hingga larut pagi. Slogan hemat energi luluh tak bertepi. Ups!

Sesungguhnya, bukan karena aku lantas sadar dengan budaya adiluhung ini. Kegigihanku untuk bergelut dengan wayang justru karena alasan yang sedemikian remeh. Aku salah satu
dari empat puluh penghuni asrama yang bernaung di rumah Bu Dalang.

Di antara sekian itu, akulah satu-satunya yang mengerti bahasa Jawa, punya laptop dan kamera. Modalku untuk menembus rimba Jakarta. Bu Dalang menawarkan imbalan yang menggiurkan. Pemotongan tarif sewa kamar sampai 75%. Itu pun aku bisa bayar kapan saja. Dengan catatan, aku bersedia mendokumentasikan pentas-pentasnya. Kadang-kadang mengetikkan naskah tembang yang dikarangnya. Sesekali memberikan satu edisi majalahku yang memuat tentang bunga dan hutan.

Sebagai wartawan baru dan masih shock dengan ‘materialisnya’ Jakarta, tawaran itu pun aku sanggupi. Memang risikonya tak mudah. Kerap bangun kesiangan dan berantakanlah hidup awak. Bahkan, yang paling parah, ketika aku harus ke luar kota esok harinya. Meliput salah satu pejabat yang menghibahkan tanahnya untuk membuat hutan kota.

Karena semalaman begadang hingga pagi, persiapan pun berantakan. Wawancara sukses, pemotretan terlihat lancar. Tapi, aku salah memasukkan memory card yang sudah rusak. Data hasil pemotretan seperti fiktif, tak bisa dipindahkan ke komputer. Sebagai konsekuensinya, aku harus mengulang. Sebuah konsekuensi yang disandang wanita nan pecicilan ini sebagai seorang ‘pemegang estafet budaya negeri’. Yang kelak justru akan menjadi awal pementasan, pendhapa suwung bagi lakon hidup Bu Dalang, di mana aku porosnya. Lantas karma itu menancapkan taringnya di leherku. Aku pun jatuh cinta pada wayang, gamelan, dan malam-malam larut!

Tepat pukul delapan malam, hening menyelimuti perhelatan. Pidato seremonial dari pejabat setempat, dilanjutkan panitia dan terakhir tuan rumah, usai sudah. Tibalah acara inti, yaitu pementasan lakon Putri Cina Gandrung. Sebenarnya, lakon ini kurang pas untuk syukuran kenaikan jabatan. Namun, si tuan rumah tak begitu mempermasalahkan. Cukup atasannya tahu, bahwa pejabat yang baru saja dilantik ini sangat peduli pada wayang. Penonton pun tak protes. Apa pun lakonnya, toh, Jakarta butuh hiburan.

Bagi Bu Dalang, pentas ini teramat penting. Hingga aku harus mendokumentasikan secara lengkap. Berbeda dari pentas-pentas sebelumnya, yang hanya disimpan di file memori otak dan beberapa DVD dokumentasi televisi. Bagi Bu Dalang, setiap pementasan tentu membekas hingga berhari, berbulan, bahkan bertahun. Bagiku, ingatan akan pentas-pentas itu segera lenyap, bahkan sebelum gong tanda akhir bergema.

“Mendalang bagiku seperti bernapas. Tak mungkin kan aku lupa akan napasku?” itu kata Bu Dalang ketika kutanya, kenapa hanya ada beberapa saja fotonya.

Kali ini beda. Dia butuh dokumentasi yang lengkap untuk menggalang dana besar. Agar bisa pentas di San Francisco, lengkap dengan para penabuh gamelannya. Katanya, akan ada World Culture Summit, pertemuan kebudayaan seluruh dunia, akhir tahun ini. Bu Dalang ingin pergi ke sana, mengenalkan wayang- wayangnya dengan Patung Liberty.

“Loh, Bu... Patung Liberty bukannya di New York ?” tanyaku, meyakinkan.

“Halah... apa pentingnya, sih, satu negara juga, ‘kan?” Ups. Memang satu negara, semacam antara Aceh dengan Papua lumayan juga jaraknya.

Lepas dari hitungan jarak itu, entahlah, aku merasakan hal beda. Sebagai jurnalis yang kerap bertemu dengan banyak orang, berbeda karakter, aku terbiasa melihat sesuatu yang tak tersurat. Benarkah kegigihan Bu Dalang ‘hanya’ demi pentasnya di San Francisco untuk mengharumkan Indonesia? Matanya mengatakan hal yang beda.

“Lakon Putri Cina Gandrung itu wayang menak, Rhe. Eranya sebelum Rama dan Shinta, dan itu artinya jauh sebelum Pandawa,” kata Bu Dalang. mengalihkan perhatian. Dia tak menjawab pertanyaan dan penasaranku. Hanya, tatkala menyebut Putri Cina, wajah itu menyalakan hasrat. Kerinduan yang dalam. Cinta yang tak terbantahkan. Aku bisa merasakannya.

Fragmen itu bergerak di genggaman lentik seorang wanita yang tak lagi muda, namun masih menyimpan kecantikan masa silam. Lakon Putri Cina Gandrung adalah salah satu dari ribuan kisah dalam wayang kulit. Cerita ini dulu kerap didendangkan oleh ayahku melalui radio National-nya. Tentunya beliau mempertajam rupa Wong Agung Jayengrana, seorang raja agung dari Kerajaan Kuparman, yang kini menjadi negeri Persia. Bukan Wong Agung yang memesonaku.

Aku terpesona pada kata, kidung, dan nada yang disampaikan Bu Dalang untuk melukiskan curahan sang Kwi Adaninggar, Putri Cina yang sedang gandrung kapiluyu1) dengan Wong Agung Jayengrana. Serasa tak masuk akal, tapi menggetarkan.

Cinta itu datang bukan karena Sang Putri bertemu dengan Wong Agung. Tapi, cinta itu datang hanya dari kabar angin dari para pedagang sutra Cina yang mengabarkan kegagahan Sang Raja. Mengagumi secara fisik di mana Wong Agung dilukiskan sebagai pria yang sempurna. Tidak hanya fisik, Sang Putri pun mengagumi kepandaiannya, pengetahuannya dan tutur katanya yang cerdas. Tanpa foto, tanpa pic mail, tanpa web cam, sang putri bisa jatuh hati. Saat itulah aku melihat roh Kuiadaninggar merasuk ke raga Bu Dalang.

Aduh babo, Tiyang Agung /Kasih Adaninggar iki/Kang kasrimpung ing katresnan/Kagubet ing raras ati/Kasrimpet sengseming nala/Katalikung kung kingkim/ Sumunar cahya Wong Agung2).

Sang Putri pun tak berdaya membendung beban cinta di hatinya. Kewarasannya luluh lantak seperti terhujam senjata. Tak ada yang bisa menyembuhkan, kecuali bertemu Wong Agung. Sang Putri pun berangkat ke negeri Kuparman untuk menemui sang penyembuh.

Sampailah di negeri di mana malaikat tanpa sayap itu bertakhta. Sayang, bukan berarti  masalah teratasi, tapi justru memasuki era bifurkasi. Antara nurani Sang Putri dan cinta yang harus diperjuangkan. Karena ternyata, Wong Agung sudah punya banyak istri. Jelas, Sang Putri tidak ingin menyakiti hati istri-istri Wong Agung.

Kembali cinta suci memberi kekuatan. Dari mesu budi dan kekuatan doa, Kuiadaninggar dianugrahi aji Tampang Sutra Jaya Kencana. Sebuah kekuatan welas asih, yang bisa menghilangkan rasa benci di hati istri-istri Wong Agung. Dengan segala kasih istri-istri Wong Agung salut akan ketulusan cinta Sang Putri. Sebuah cinta yang tidak mungkin diberikan oleh mereka.

Tapi ternyata, tidak cukup sampai di situ. Karena kelicikan Patih Bestak (Patih Wong Agung) yang tidak mengerti keagungan cinta suci. Otak licik yang hanya tahu takhta dan ambisi, meracuni hati Wong Agung. Tertutuplah rasa welas asih Wong Agung oleh benci dan angkara. Pertarungan ambisi, angkara, dan cinta menjadi puncak lakon.

Ada getar hebat ketika Bu Dalang menuntaskan akhir cerita. Demi cintanya, Sang Putri rela tewas karena tikaman senjata Wong Agung. Betapa terkejutnya Wong Agung ketika darah yang keluar dari raga Adaninggar adalah darah putih yang harum aromanya. Darah yang menggambarkan cinta  tanpa alasan, kecuali cinta itu sendiri. Berlututlah Wong Agung mengulurkan hatinya bersamaan dengan berakhirnya napas terakhir Sang Putri.

Kenapa cinta suci kalah dengan ambisi. Kenapa Yosodipuro, penulis serat Putri Cina Gandrung, tak punya perasaan untuk menghargai ketulusan hingga dimatikannya tokoh mulia itu? Kenapa Tampang Sutra Jaya Kencana tak cukup untuk melicinkan jalan cinta Sang Putri? Benarkah cinta berhak menghabisi hidup seseorang? Barangkali, mereka memang tidak benar-benar mati. Karena mereka pun tak benar-benar eksis dalam realitas. Hanya eksis dalam imaji. Wayang adalah pentas imaji bagi masing-masing penontonnya.

Lakon 2. Kehadirannya di Sepertiga Malam terakhir.
Aku masih menggenggam kameraku, jemariku bergetar melihat penghayatan yang demikian agung. Bahkan, Bu Dalang sendiri pun mungkin tak menduga, begitu dahsyat energi yang terajut malam ini. Untuk menghidupkan wayang-wayangnya. Untuk membentuk jalinan kisah Putri Cina Gandrung. Kisah itu, simfoni gamelan, gendhing itu, seperti terperangkap dalam fajar. Ia tetap menggema di sana.

Aku melihatnya duduk di seberang kelir. Lunglai. Wajahnya kacau, seperti baru saja terlempar dari pusaran arus. Pandangannya ke arah pekerja yang sedang memasukkan wayang ke kotak. Namun, pikirannya tampak sedang bertakhta di suatu tempat. Di jiwa yang bercahaya.

Aku mendekatinya, lantas kuulurkan tanganku untuk mengucapkan selamat atas pementasan yang spektakuler. Bu Dalang bergeming. Menatapku dalam-dalam. Lantas memelukku. Sunyi. Tak ada air mata, tak ada isak. Tapi. aku bisa merasakan, ia menangis.

“Dia hadir... dia datang... dia, ya, dia masih ada untukku. Penantian selama 50 tahun itu terjawab sudah. Dia masih sangat mencintaiku,” katanya lirih, di telingaku. Aku tak mengerti.

“Nduk, jika hari-hari lalu aku hanya merasakannya mengembara dalam pikiranku, malam ini dia membuka wujudnya... ya, dia ada di sepertiga malam terakhir... ketika putri Cina itu terbunuh. Tidakkah kau tahu? Wong Agung akhirnya menyadari, betapa cinta itu tak pernah salah. Tak pernah memilih. Tak pernah tak pasti?” bisiknya,  makin lemah. Waktu terburai, seperti ada satuan yang lebih kecil dari detik. Bergerak sedemikian lamban. Aku bisa merasakan sebuah kerinduan yang mendapatkan jawaban. Benarkah cinta Bu Dalang pada seseorang? Seseorang yang bukan mendiang suaminya!

Setelah Bu Dalang duduk kembali, aku bukakan botol air mineral yang kuambil dari tas punggungku. Ia menenggaknya, hingga sepertiganya. Menghela napas, kemudian tersenyum. Jarum jam di tanganku beranjak dari angka tiga.

“Nduk, kamu lahir tahun berapa?” tanya Bu Dalang tiba-tiba. Alisku mengerut.

“Tahun 1978. Ah, Ibu jadi mengingatkan usia, ha…ha...ha…,” jawabku.

“Tanggalnya?”

“Pada 18 Januari...  ada ramalan buruk, Bu? Saya sudah terbiasa, kok,” kataku, asal. Aku ingat cerita tukang ramal di beberapa tempat, yang tak pernah memberikanku ramalan berpengharapan. Mulai dari karier melangkah seperti siput, hidup sakit-sakitan, hingga jauh jodoh. Apa pun ramalannya, mereka tak pernah meramalkan bahwa aku bisa mengatasi semua itu. Kulepas tali kamera dari leherku. Kamera itu sedemikian dingin. Apa pun ramalannya, aku masih hidup utuh hingga detik ini.

“Sudah kuduga,” kata Bu Dalang.

“Ramalan itu?”

Bu Dalang menggeleng sembari tersenyum.

Ia menghela napas.

“Ini bukan ramalan, Nduk. Ini perhitungan. Sastra jendra hayuningrat 3). Aku dan kamu dilahirkan di weton dan neptu yang sama. Jarang terjadi. Tapi, aku sudah tahu sejak pertama, sejak kau datang ke asrama dengan tas gunungmu itu,” kata Bu Dalang.

Kepalaku mulai pening.

Catatan:
1) Jatuh cinta yang teramat sangat.
2) Salah satu suluk yang didendangkan Nyi Rumiati Ajang Mas artinya kurang lebih: Aduh Tuan, Tiyang Agung/Kasihanilah Adaninggar/Yang terjerat tali asmara/Terikat hingga ke jiwa/Hati pun terjerat pesona/Hingga terasa sakit di tubuh (lempeng badan)/Cahya Wong Agung begitu kemilau.
3) Mantra untuk membebaskan dari kejahatan dan meraih kebahagiaan.

Aku mulai jatuh cinta pada wayang, tapi bukan berarti aku harus tenggelam dalam primbon.
“Kau lelaki itu/ Yang masih setia memastikan pohon–pohon bumi/Tetap berpucuk di kala yang lain luruh/ Sesungguhnya aku tak perlu menemukanmu/ Karena kau tak pernah pergi, kata Bu Dalang.

Sebait puisi, ya, kukira puisi. Aku sudah lama tak menyapa keindahan kata-kata justru ketika menulis menjadi pekerjaanku. Keindahan memang akan pudar ketika menjadi keharusan. Kini kudengar, kata itu sedemikian merdu. Aku menggigit bibir keras-keras. Asin darah lumer di lidah. Aku kenal puisi itu. Karena aku yang menuliskannya. Sepuluh atau dua belas tahun lalu. Kenapa bisa tiba- tiba hadir di sini?

“Ha...ha...ha… bisa hafal begitu. Apa saya pernah menunjukkannya ke Ibu, ya? komentarku, sembari tertawa. Karena sering Bu Dalang membaca tulisanku, coretanku, ketika berkunjung ke kamarku. Bu Dalang tersenyum sambil menggeleng.

“Aku tidak menghafalkannya, Nduk. Aku membacanya di sana, katanya, sembari menatap mataku. Ya, mata adalah jendela hati. Kau bisa mengintip aktivitas hati dari kebeningan korneanya.

“Lelaki itu pasti bukan Yuan, ‘kan? tebak Bu Dalang. Bagaimana dia tahu.

“Ha...ha...ha… itu masa lalu, Bu. Lagi pula, saya menuliskan bait itu sebelum saya kenal Yuan. Sudah lama sekali.

“Kamu tahu dia sekarang ada di mana? Refleks aku menggeleng. Hanya saja, aku tak yakin. Pertanyaan itu seperti menuntunku ke jalan setapak itu. Di mana Merapi dan Merbabu berdampingan mesra. Kabut mengambang dalam bimbang. Kepedihan yang teramat dalam mendatangkan temaram. Kita pernah ada di sana, sebagai cahaya yang menjawab gelap.

“Mungkin masih jadi aktivis lingkungan di Jawa, atau Sumatra, atau entah mana.  Tapi, saya tak tahu pasti, Bu. Sudah lama tidak kontak.

“Hmm... sebenarnya kamu tahu kan dia di mana? Hanya tak mau mengakui.

 Aku menghela napas. Amora, nama itu. Ada harum jasmin ketika aku mengingatmu. Dulu, kau selalu membawakan melati yang baru saja mekar di pagi hari. Katanya melati itu tumbuh di depan rumahmu. Walau aku tak pernah tahu, di sisi mana melati itu tumbuh setiap kali aku ke rumahmu. Yang jelas, wanginya bertahan lama. Berminggu, berbulan, dan bertahun-tahun.

“Tujuh tahun saya memainkan peran itu, Bu. Peran sebagai padang Kurusetra mungil. Tempat bertarungnya cinta antar-anak manusia melawan pertaruhan sayang seorang ibu. Begitulah, ibu saya tak pernah setuju saya menjalin hubungan dengan aktivis macam dia. Keberadaannya memang dibutuhkan di negeri ini, namanya harum di banyak media, namun kehadirannya tak pernah diharapkan oleh calon mertua yang menginginkan anak gadisnya bahagia. Begitulah, Bu... saya mencoba menghapus cinta itu. Dengan logika sederhana dia terlalu santai untuk menjadi suami dan ayah dari anak-anak saya. Sialnya, walau begitu, saya pun masih tetap mencintainya kala itu. Lalu kami memutuskan berpisah dalam arti yang sebenarnya. Saya ke Jakarta, dan dia pergi tak pernah mau memberi alamat di mana ia tinggal. Tapi, dia selalu tahu di mana saya ada. Sesekali mengirimkan SMS dari banyak nomor. Menceritakan tentang alam. Aroma lumut basah, keperkasaan hutan, dan..., serak sekali rasanya.

Tiba-tiba aku merasa, dia hadir di sini. Di antara kami. Dua wanita dari dua generasi, yang bimbang di larut pagi.

“Yah, pernah suatu ketika saya menelepon satu di antara banyak nomor yang mengirimkan SMS itu. Semua menjelma nomor hantu. Dia lenyap seperti hutan. Lantas saya bertemu dengan Yuan, dan kami tunangan. Anehnya, setelah itu dia tak pernah ngirim SMS lagi. Saya rasa itu sudah cukup menjadi jawaban untuk saat ini. Mungkin dia masih tinggal di gunung-gunung itu. Dan bagi saya,  saya sudah cukup bahagia dengan pernah mencintainya, kataku.

Ada kekuatan yang menelusup. Damai sekali. Baru kali ini aku bisa mengatakan, aku sudah cukup bahagia hanya dengan mencintainya. Hah, mengapa aku bisa mendadak romantis begini?! Sekuat tenaga aku mencoba untuk tidak menangis. Aku mau hemat air, seperti pesannya di tengah isu global warming. Takkan kusia-siakan setetes air pun, bahkan untuk sekadar air mata. Bu Dalang mengelus rambutku yang mulai kusut oleh malam.

“Hei, kamu tidak usah menjawabnya. Aku tahu. Kudengar helaan napas berat. Kami sama-sama hening. Bulan pucat memanggil sebentuk memori. Bu Dalang mengeluarkan sesuatu dari dompetnya. Amplop putih sesuci Lucifer. Dari cara memegangnya, pastilah itu sangat berharga.

“Bukalah, katanya. Amplop itu terasa hangat, panas tubuh wanita yang terperangkap. Tiba-tiba panas itu menjadi asing yang membingungkan, begitu tahu apa yang ada dalam amplop itu. Aku mengenal kertas itu. Tapi, aku tak tahu apa maksudnya.

“Ini kan... Pak Bhisma? Ya, aku tahu karena sobekan kertas itu tak lain adalah artikel yang aku tulis. Profil Bhisma Bayu Wardana, seorang pejabat yang membuat hutan dan kebun bunga dari tanah tandus. Narasumber yang kupotret dua kali, karena pemotretan pertama gagal. Memori kena virus dan datanya tak bisa ditransfer. Kecerobohan yang membawa kenangan.

“Bu Dalang kenal beliau? Masih belum terjawab kebingunganku. Ada air mata yang menggenangi semestanya. Wajah serupa kangen. Kerinduan yang mendalam, semacam hasrat yang dikubur paksa. Mengapa aku pertanyakan? Jawaban itu sejelas kilau sendok di piring makan. Duh, Gusti...  pertanda apa ini.

“Dia, Ibu ? Lelaki itu...?

Kupandangi wajah yang tercetak di kertas itu. Seorang pria yang dua pertiga wajahnya ditutupi cambang. Senyumnya merangkum pesan. Kini aku mulai menerjemahkan pesan itu. Jalinan dirinya, hutan, kebun bunga, dan Bu Dalang! Aku pun tahu, pertautan antara pertemuan Patung Liberty dan wayang-wayang itu. Kulihat tanggal yang tertera di jam tanganku. Ya, benar, hari ini dia sedang menjalani perawatan medis. Kala itu, dia pernah mengatakan tentang negeri Paman Sam untuk menyembuhkan penyakitnya. Kadar gula yang melebihi kemampuan tubuh menampung, yang mulai menggerogoti harapan hidupnya. Aku yang menuliskannya di sobekan majalah ini. Seperti  jaring laba-laba, yang dirajut napas liur di setiap helainya. Berputar. Tak putus. Akhirnya bersumbu pada takhta di bagian tengahnya. Akulah poros itu.

Lakon 3. Sinden Alas Jati
Sungguh aku mau pingsan siang itu. Ketika Armin, editor foto majalahku, mengatakan bahwa aku salah mengambil memori kamera. Memori yang kuambil salah. Saat pemotretan berjalan lancar. Merekam dengan baik. Tapi, begitu ditransfer ke komputer, virus seperti menyembunyikan data-datanya. Tragedi salah ambil memory card itu masih jelas sekali kuingat.

“Masak, sih, Ar... enggak bisa digimanain, kek,” kataku, memohon. Apa pun penjelasan Armin yang sangat teknis nan rumit itu, terjemahannya begitu sederhana: ulang pemotretan. Tubuhku pun serasa tak berpijak di lantai.

Terbayang tokoh pahit yang aku harus meliputnya itu. Seorang pejabat teras yang tinggal di kaki Merbabu dan Merapi, jauh di sana. Wawancara kemarin saja bukanlah wawancara yang manis. Apalagi disuruh mengulang. Pening, sesal, hingga memicu keringat dingin deras mengalir. Berapa kali lagi aku harus menanggung risiko kecerobohanku? Tapi, pagi itu memang aku lelah sekali karena nungguin pentas Bu Dalang semalaman. Makanya, aku tak begitu teliti ketika mempersiapkan peralatan untuk dinas luar kota. Apa pun alasannya, tak ada pilihan. Segenap doa dan mantra kurapal sebelum aku meneleponnya. Berharap Tuhan memberi keajaiban.

“Selamat siang, Pak, saya Rhea yang kemarin wawancara. Mohon maaf mengganggu waktu Bapak,” segenap kalimat diplomatis kulancarkan, sementara di sana tetap mendengar, tapi tak
ada jawaban.

“Memang saya ceroboh salah ambil memori. Karena mungkin kecapekan, semalaman menunggui pentas wayang kulit,” kataku, setengah curhat dan lebih tepat memohon. Ada desah di seberang sana.

“Wayang kulit? Kamu suka wayang kulit?” tanyanya, di luar dugaanku. Dia tertarik! Kalau aku bisa sedikit diplomatis memanfaatkan ketertarikan itu.

“Tidak juga, Pak. Hanya karena pentas pemilik asrama, jadi saya ikuti,” jawabku gagal bohong, sama ketika aku ngobrol dengan ibuku.

“Dalang wanita? Siapa namanya?” tanyanya, semangat. Lho, kenapa begini.

“Kami panggil Bu Dalang. Nama aslinya sendiri saya tidak tahu,” kataku, jujur. Begitulah hebatnya Jakarta. Berapa orang kutemui tiap hari, berapa orang pula yang benar-benar kukenal selain urusan yang bersangkutan?

Ada desah panjang dan berat terdengar menyembur gagang telepon. Hening. Dadaku jungkir balik atas nama pertaruhan karier.

“Oke, kamu bisa datang kapan saja,” ujarnya, yang menjadikan duniaku tersenyum sedemikian lebar. Ajaib!

Rumah sama, tuan rumah yang sama, bisa menjadi sangat berbeda keindahannya jika dihiasi senyum dari si empunya. Begitulah, pemotretan kali ini hasilnya lebih bagus dari kemarin. Aku berhasil mendekati kehidupannya lebih utuh, dibandingkan pemotretan formalitas kemarin. Karena sesungguhnya, memotret bukan hanya sekadar merekam objek dengan kamera, tetapi harusnya bisa membidik sisi menarik dari objek. Bukankah setiap benda, setiap orang, punya detail menarik, yang hanya akan kita temukan ketika kita mengenalnya?

Seperti Pak Bhisma ini. Ternyata, dia bukan sekadar pejabat teras yang disegani di kota kecil ini. Lebih tepatnya, dia disegani bukan karena menjadi pejabat teras, tapi karena dirinya adalah Bhisma. Bhisma yang berhak memilih hari kematiannya atas keikhlasan yang dilakukan di luar batas manusia.

“Rhe, kamu pernah punya kenangan?” tanya Pak Bhisma, sembari mengarahkan mobilnya ke suatu tempat. Dia ingin menunjukkan sesuatu yang tak ada kaitannya dengan liputanku.

“Kenangan?” jawabku, heran. Pastilah punya. Kalaupun aku lupa, ada diari yang rajin kuisi untuk jaga-jaga kalau aku bangun dan lupa siapa diriku. Duh.

“Kenangan yang sangat kuat. Mimpi yang tak terbantahkan. Hingga kau berniat mewujudkannya sepanjang hidupmu,” ujarnya. Terasa berat dan dalam. Kuperhatikan pria ini lebih detail. Dia seusia kakekku. Tapi, dulunya pastilah dia tampan dan otaknya cemerlang. Rahangnya kuat, matanya tajam, dan rambutnya lebat, walau kini helaian itu sudah menjadi perak. Bibir yang kerap melukis senyum itu pastilah mantra pemanggil kaum hawa untuk terjerembap dalam jurang pesona. Berapa banyak kekasihnya dulu? Sebelum akhirnya tertambat pada mendiang istrinya, Areni.

Mobil itu berhenti di jalan tanah di tengah hutan jati. Lalu dia mengajakku untuk menyusuri jalan setapak yang membawa aku masuk di tengah pusaran ranting-ranting meranggas. Kemarau merenggut daun-daunnya hingga licin tandas.

“Hutan ini milik Bapak?” tanyaku.

Pak Bhisma menggeleng. “Milik bumi dan Hujan itu.” Daun jati resah terinjak seakan ingin memanggil kembali bulir hujan untuk menumbuhkan pucuknya. Bukan hujan yang datang, tapi kenangan itu mengambang dalam ruang di antara kami.

“Dulu aku memanggilnya Hujan. Karena dia sejuk, indah, dan menjadikan bumiku berkilau. Kedatangannya sebagai penawar dahaga yang tak terjawab. Kehadirannya menjadikan warna-warna lebih terang. Suara-suara lebih bening. Cikal-cikal hidup tumbuh menyongsong harap. Aku pun jatuh cinta pada Hujan itu. Pada bulirnya yang jatuh beriringan. Pada geraknya yang lembut menyusup kulit bumi. Pada dingin yang meredam apiku.

Denting Hujan suka sekali berkisah. Tentang kebajikan purba yang terlupa. Laga cinta Rama, epik Pandawa dan lara Kurusetra. Juga kidung agung yang akhirnya aku pun terjerembap dalam kubangan pesona. Kau pernah mendengar Suluk Tembangraras?”

Aku terperanjat tak siap. Aduh, apa pula ini. Tiba-tiba sosok di depanku bukan lagi kakek renta. Namun, menjelma jejaka yang mabuk cinta. Masa silam, benar-benar datang mewujudkan dirinya. Di antara napasnya yang renta, ia mulai berkisah tentang suluk itu dan kenangan itu.

“Aku ingat, suatu siang di ujung desa, setelah usai upacara wiwit. Dia duduk di dangau, di tengah padi yang gemuk dan dewasa. Di kejauhan, tampak bayangan hutan jati yang meranggas. Entah
berapa lama lagi hutan ini memerankan bayangan kala gergaji dan ambisi nyaring terdengar. Kenyataan itu membuat parasnya mendung.

Dia dulu begitu belia, namun pemikirannya seperti meloncat meninggalkan raga. Padanya rasa ini menemukan rumahnya. Seperti hutan jati menemukan Tanah Jawa. Hutan itu mengingatkan pada suluk yang mengisahkan tentang Lurah Hutan. Yang tugasnya menjelaskan kepada para penebang, pohon mana yang bisa dirobohkan dan mana yang bila diambil rantingnya saja akan mendatangkan petaka bagi yang melakukan kesalahan itu dan lingkungannya. Lurah Hutan memberikan nasihat tentang seni memilih pohon jati yang cocok untuk pembuatan rumah atau masjid. Juga musim yang pas untuk menebangnya.

Hanya saja, ketika manusia  makin merasa pintar, Lurah Hutan pun kehilangan pengaruhnya. Nasihatnya luluh lantak di bawah angka uang dan keinginan yang tak pernah terpuaskan. Lalu katanya, “Kelak kalau aku sudah besar, aku akan membeli hutan yang luas.”

Entah mengapa, begitu selesai terucap, ada asap membubung tinggi sekali. Melenyapkan bayangan hutan jati di horison. Digantikan oleh kobaran api yang memenuhi horison. Kebakaran hebat itu menewaskan ratusan hektare lahan jati yang tersisa. Menyihir kayu mahal itu jadi abu. Tak tahukah, justru pemicu api adalah pembakaran semak untuk mengambil kayu-kayu yang masih belia. Hutan pun murka. Pontang-panting kami lari dari api. Tersandung, terperosok dan batu tajam melukai kaki telanjang kami. Api itu terlalu mengerikan bagi anak seusiaku waktu itu.

Di atas bukit, ia memandang lunglai hutan itu. “Aku akan punya hutan, kan? Hingga aku bisa mengambil kayunya yang dewasa, keras dan tegak. Untuk membangun kayu. Di tengah kebun yang luas penuh bunga. Di mana matahari terbenam bisa dilihat setiap senja. Tanpa terhalang mendung, apalagi gedung.”

Saat itu, disaksikan bukit kapur, hamparan padi di bayang api, aku berjanji untuk mewujudkannya. Janji heroik seorang lelaki kecil yang bahkan belum akil balik. Yang tak sadar bahwa dunia terkadang bukan lakon manis yang happy ending. Yang mengempaskannya di jurang kepedihan yang tak bisa dimengerti. Kenapa cinta hadir bukan untuk menghidupi? Kenapa keinginan mulia tak selalu dijawab Tuhan dengan kata iya saja?

Lelaki kecil itu mencoba merengkuh Hujan, namun tak pernah sadar bahwa Hujan tak pernah bisa tersentuh. Hujan hanya menyapa, tak pernah meninggalkan rasa. Dia berbagi untuk semua. Sungguh kecewa jikalau menambatkan diri pada Hujan. Hujan takkan pernah tahu kapan dia datang. Dan pergi tanpa perlu angin membawanya. Dan dia pun pergi, begitu saja. Walau sesungguhnya, bagiku dia tak pernah pergi. Hingga aku merasa menjadi dewasa bahkan renta. Janji lelaki kecil itu masih saja tumbuh dalam diriku. Aku harus mewujudkannya. Hutan ini tidak seluas hutan yang terbakar itu. Tapi, inilah tanah yang tersisa, untuk menjaga lereng akar tetap tegak. Menyelimuti tanah-tanah kapur agar tidak kabur. Kamu lihat, di bawah sana, banyak permukiman yang menengadah petaka. Jikalau bukit ini gundul, tebing-tebingnya bisa melenyapkan perkampungan. Hanya pohon jati yang bisa menyangga tanah sepahit ini. Menyangga hujan agar turun pelan. Tak merusak, dan selalu menyejukkan,” katanya, tanpa mampu aku sela.

Dan hujan pun datang. Kali ini memang hujan yang sesungguhnya. Seperti tiba–tiba tercurah dari langit. Riuh bulirnya menyapa dauh jati. Aroma tanah basah meruap di antara ranting dan dahan. Segar sekali. Hujan pertama di tahun ini. Katanya, hujan pertama selalu membawa berkah dan juga waktu mujarab untuk berdoa. Aku tak sempat memikirkan doa apa yang sebaiknya aku panjatkan. Buru–buru aku menyelimutkan penutup tas ransel. Kamera adalah barang pertama yang perlu diselamatkan. Bukan cerita seru ketika harus mengulang motret lagi, kali ini alasannya kamera basah kuyup.

“Ayo, tidak jauh lagi ada tempat berteduh,” kata Pak Bhisma, yang mencoba membawa tubuhnya ke ujung jalan setapak.

Jalan setapak itu berujung pada sebuah tanah impian yang menjadi kenyataan. Di tengah hutan jati, ada kebun luas. Mungkin satu hektare atau lebih, dan penuh bunga! Bagaimana mungkin di sekelilingnya kemarau begitu sadis menggigit, sementara di sini seperti punya candra musim sendiri. Mimpi itu menjadi  makin nyata, ketika di tengah kebun itu ada rumah kayu. Tidak sebesar rumah gadang, tapi aku bisa merasakan betapa besar artinya bagi sang pembangun. Sementara aku terkesima, buliran hujan mulai menyapa seluruh tubuhku. Ups. Pak Bhisma melambaikan tangannya untuk segera masuk ke rumah kayu itu. Rumah kayu dengan kebun bunga. Begitukah cinta bisa sedemikian kuat? Hingga membentuk energi yang demikian hebat. Bahkan ketika tak tahu lagi, di manakah cinta itu kini bertakhta.

“Wow!” hanya itu komentarku ketika aku duduk lesehan di dalam rumah itu. Interiornya khas Jawa Tengah. Ruangannya disekat dengan rana dengan lukisan kaca. Salah satunya, bergambar Bima yang terbelit ular. Lalu di dindingnya ada kain yang bergambar wayang juga. Kereta dengan penunggangnya sedang merentangkan gendewa.

“Itu Mahabarata?” tebakku.

“Salah satu episode Mahabarata. Di mana Kresna menjadi kusir Arjuna,” kata Pak Bhisma. Lalu ia meminta pembantunya untuk menyiapkan minum.

“Ini Yu Min, ahli kebun di sini,” kata Pak Bhisma, mengenalkan wanita senja yang mengenakan kebaya. Menunduk sembari tersenyum. Kulihat tangannya yang lentik, tapi tak mulus. Di sanalah lahir kuncup-kuncup bunga.

Untuk beberapa saat, aku masih mengedarkan pandangan ke setiap perabot yang ada di ruangan ini. Jikalau ini vila, atau semacam rumah peristirahatan, tapi mengapa tak ada satu pun foto keluarga. Mendiang istrinya, atau anaknya. Dari sini aku bermain-main dengan perkiraan. Jadi, rumah ini benar-benar perwujudan cinta platonis, seperti Gunongan yang didirikan dengan bait cinta oleh Sultan Iskandar Muda untuk Putri Pahang. Atau kemegahan Taj Mahal untuk sang permaisuri. Tapi, mereka semua adalah wujud kenangan dari cinta yang menyatu. Sementara rumah kayu ini… lebih menggetarkan dari semua itu. Seperti membangun Candi Seribu.

Teh hangat terhidang dengan poci dari tanah liat. Aromanya mengundang selera, mengusir linu tulang. Hangat. Apalagi ditambah  dengan gula batu yang berkilauan seperti kristal. Lalu Yu Min menghidangkan sesuatu, seperti jengkol dan berasap. Teh poci pastilah elegan, tapi makan jengkol? Oh, no... aku nanti harus melanjutkan perjalanan, naik pesawat ke Jakarta. Bagaimana mungkin perjalanan itu ditemani aroma jengkol.

“Ayo, minumlah. Kamu pasti jarang minum beginian,” kata Pak Bhisma.

“Momen yang tak akan terlupakan bagi saya, Pak,“ jawabku, menuang teh dari poci, sembari melirik makanan aneh itu. Agaknya ia menangkap isyarat ngeri di wajahku. Ia pun tergelak.

“Ah, aku lupa memperkenalkan. Ini namanya gayam. Cobalah,” tawarnya, sembari menyodorkan sepiring ‘jengkol’ itu. Demi kesopanan, aku pun mengambil satu keping. Memang teksturnya seperti jengkol, hanya

rasanya beda. Gurihnya klasik, menyapa lidah dengan akrab, tak ada aroma menusuk yang kutakutkan. Tanpa malu-malu, aku mengambil satu lagi, satu lagi, dan terus mengiringi obrolan kami. Pak Bhisma tergelak. Sebaris giginya tampak rapi, dan belum ada yang tanggal. Hmm, wanita, yang menjelma menjadi Hujan itu, yang meninggalkannya, pastilah
akan menyesal.

“Sebenarnya, kalau kamu memperhatikan, di Kebun Raya Bogor ada juga tanaman ini. Tumbuh besar, akarnya seperti lempeng yang timbul di permukaan tanah. Akarnya yang banyak inilah yang mampu menahan erosi dan menyimpan airnya di pori tanah. Makanya, gayam dijuluki sang pemanggil air.”

“Pemanggil Hujan?” tanyaku hati-hati. Pria itu tersenyum, lantas tergelak. Lalu diceritakannya, tentang gayam yang memanggil Hujan. Hujan dengan ’H’ kapital. Ketika subuh menjemput hari, Bhisma kecil bersuit panjang di ujung desa. Gelombang suara akan terdengar nyaring melebihi kemampuannya di siang hari. Udara masih hening dan padat, hingga memperluas jangkauan. Tak berapa lama, seorang gadis kecil yang membaca sasmita, buru-buru turun dari peraduan. Rambut yang tergerai digelung sekenanya. Kebaya dirapikan dan kain bermotif kukilo dikencangkan. Langkah kecilnya nyaris tanpa suara, membuka pintu gebyok sembari menjinjing bakul yang berisi pakaian kotor untuk dicuci di sungai.

Namun sebelum itu, ia akan menemui Bhisma terlebih dahulu. Untuk mengumpulkan buah gayam yang jatuh di sungai dan lumpur, yang bahkan jauh dari pohonnya. Menuntaskan kerja kelelawar semalaman. Yang telah memetik buah-buah gepeng, warna hijau kekuningan, tepat pada usia masaknya. Lantas memakan kulitnya yang manis, hingga menyisakan sabut–sabut menyelimuti batok bijinya yang keras. Biji–biji itu akan tersebar, sejauh kelelawar bisa membawanya. Dengan cara seperti itulah, sebatang pohon gayam mengirimkan bayi–bayi bijinya merantau ke negeri yang jauh.

“Berulang kali orang tua kami melarang untuk mencari gayam. Karena, itu makanan orang susah. Tapi, tetap saja kami melanggarnya,” kenang Pak Bhisma.

Berbekal  kaleng yang dilubangi, kemudian diberi gagang bambu panjang, mereka berdua mampu mengait gayam yang bahkan sudah terkubur lumpur. Satu demi satu hingga terkumpul seribu. Kemudian gayam diplanthong untuk membuka batoknya. Lembaga yang putih bersih bersusu itulah yang direbus. Dengan menambahkan sedikit garam, air mendidih akan mematangkannya. Mengubah putih susu menjadi kecokelatan. Menjadi matang dan gurih.

Keping–keping gayam itu ditata apik di atas daun lembong. Lantas dimakan di dangau sembari melindungi padi dari sergapan burung pipit. Hingga senja menjelang. Hingga pipit pulang ke sarang. Sepasang bocah belia itu rasanya enggan mengakhiri hari. Bahkan, sampai usia belasan, lembar romantisisme sebatang gayam, masih terus dituliskannya. Hingga akhirnya si perempuan melantunkan pupuh Asmaradana. Merdu, mengiris, dan tragis.

“Emm…. apakah Bapak tahu, di mana dia sekarang?” tanyaku. Dua warna rambut itu tersibak oleh angin yang menerobos melalu jendela. Di luar sana, hujan mulai reda. Hujan mulai pergi?

“Aku sudah katakan padamu, Rhe,..dia tidak pernah pergi, bukan? Dia ada di sini,” katanya, sembari meletakkan tangan di dadanya. Aku merinding, mulai pening. Di luar sana gedung tinggi sedemikian menjulang dengan arsitektur futuristis, arus informasi deras mengalir, facebook menyatukan orang–orang di berbagai belahan bumi, dunia seperti terlipat dan jarak itu musnah sudah. Di sini, aku seperti terperangkap pada zaman entah kapan. Di mana Shakespeare masih menuliskan huruf demi huruf dengan tinta celup. Untuk mereka adegan di mana Juliet mencecap sari terong beracun. Deathly nightshade, bunga cantik yang memekarkan sayap maut.

“Kapan terakhir kali bertemu dengannya?” Ah, kenapa juga aku menanyakannya. Bukankah ini akan mengaduk–aduk luka yang sudah mulai terajut oleh benang penyembuh? Tapi, ekspresi lelaki di hadapanku ini sedemikian tenang. Aku menduga, ia pasti akan menjawab, setiap hari ia selalu ketemu di pikirannya yang maaf saja kukatakan, sinting.

“Di suatu senja, saat Grebeg Mulud mengalun di kotaku,” jawabnya, dengan senyum yang agaknya sudah dipelajari selama puluhan tahun. Pelajaran sulit tentang bagaimana membuat senyum dari adonan sakit.  Saat dia mengalunkan kidung Asmaradana, yang ternyata itu terakhir kali aku mendengarnya. Lalu suitan panjang dini hari, hanya membangunkan matahari dan mengejutkan kelelawar. Melemparkan biji–biji gayam sekenanya. Terkadang memecah genteng, terkadang membenjolkan jidat para pemanjat nira.

“Kenapa dia tiba–tiba pergi? Bukan karena berantem atau...mungkin sudah dijodohkan dengan orang lain?” selaku. Pak Bhisma menggeleng.

“Selama ini, kedua orang tua kami tak pernah membicarakan atau tepatnya mempermasalahkan kedekatan kami. Awalnya sungguh sakit, kenapa dia pergi tanpa pesan. Ada dendam karena merasa tak dihargai. Lalu tiba–tiba aku khawatir, jangan–jangan sesuatu yang buruk menimpanya. Namun, melihat kedua orang tuanya yang tenang–tenang saja, aku yakin dia baik–baik saja. Tidak kena tifus, hanyut di sungai, atau ketimpa pohon.

Hanya saja dia lenyap, dan keluarganya tak pernah tahu atau mau tahu, bahwa aku sangat kehilangan separuh nyawaku. Bagaimana aku bisa berharap lebih, menceritakannya dengan benderang, ketika para orang dewasa itu sudah sibuk membangun dunianya. Tak lupa, duniaku pun dibangun atas desainnya, tak peduli aku setuju atau tidak. Seolah mereka paling tahu cara mendeskripsikan kata kebahagiaan dan masa depan bagi anak–anak mereka. Aku tak mendengar kabarnya lagi. Walaupun

aku masih selalu bisa memanggil alunan kidung itu, selagi aku mau,” jawabnya.

Aku mulai berpikir dengan kacamata awam. Benarkah ia juga akan mendengarkan kidung itu tatkala mengikrarkan janji pernikahan dengan istrinya? Apakah kidung itu juga tetap mengalun mengiringi setiap adegan percintaan yang mungkin tak didasarkan pada cinta romantis negeri dongeng? Apakah kidung itu juga akan meninabobokan anak–anaknya, dari istrinya yang sah? Lalu, apa fungsi sang istri dalam takhta hidupnya? Sebagai lebah ratu yang menghasilkan pekerja dan tentara untuk menjaga keperkasaan sarang. Memberi pancaran kewibawaan. Betapa cinta menjadi sedemikian kejam. Mereka lebih peduli apa kata orang daripada seperti apa hati berkata tentang keindahan hakiki.

Dari perenungan lama sekali, aku menyimpulkan sendiri. Dia tengah mengejar impiannya untuk menjadi dalang. Profesi yang sangat tabu untuk wanita pada masa itu. Sejenak sunyi. Angan kami menyeberang ke batas cakrawala.

“Sungguh, ini pelajaran yang takkan saya dapat dari buku mana pun,” komentarku, tanpa bisa memilih kalimat yang lebih bagus.

“Ah, kamu melebih–lebihkan. Sudah berapa tahun kamu jadi wartawan?”

“Belum lama, Pak. Belum ada satu tahun. Makanya, mohon maaf bila banyak kekurangan.”

“Hei, tak masalah… bukankah setiap perjalanan hebat yang tercatat dalam sejarah, selalu ada langah pertama. Nantinya kamu pasti akan bertemu dengan banyak orang. Dengan masing–masing ceritanya yang menakjubkan. Di sanalah inti dari perjalananmu?”

“Ada hikmahnya juga, kalau saya tidak mengulang motret, saya tidak akan sampai ke tempat indah ini. Menikmati gurihnya sang pemanggil air yang menyanyikan kidung Hujan. Di tengah hutan jati dan bunga–bunga,” kataku, sembari menyeruput kembali teh yang mulai dingin. Lama sekali Pak Bhisma menatapku. Wah, salah tingkah juga. Tak jelas di sini, siapa mewawancarai siapa. Lalu ia tergelak. Riang sekali.

“Kau akan menjadi jurnalis hebat, bila kau berhasil menggunakan seluruh indramu, Nak,” kata Pak Bhisma, kembali menjelma lelaki sesuai umurnya. Di luar sana, hujan benar–benar pergi. Ia berdiri untuk mengajak berkeliling ke kebunnya. Kulirik jam tanganku kembali. Hmm... masih ada waktu untuk menyelesaikan perjalanan romantisisme purba ini. Bahkan, aku merelakan jika harus ketinggalan pesawat!

Sampai di Jakarta, Armin melihat hasil pemotretan ulang itu dengan decak kagum. Foto hutan jati, rumah kayu, dan taman bunga itu seperti negeri dongeng. Yang uniknya dimiliki oleh seorang lelaki tua yang menyimpan rapat– rapat cintanya. Mungkinkah kamera juga mampu merekam sebentuk cinta?

Setelah artikel itu terbit, banyak surat pembaca yang masuk. Ada yang dari aktivis lingkungan, terpesona dengan cara reklamasi lahan tandus hingga menjadi hutan jati yang menghasilkan ratusan juta rupiah. Sebagian besar surat dari wanita, ibu–ibu yang terpesona oleh kisahnya. Sisi lain terpesona oleh sosoknya. Duda keren dan kaya! Ketika kukatakan pada Pak Bhisma, dia hanya tertawa. Katanya, secara resmi mengangkatku sebagai sekretarisnya untuk mengurusi surat penggemar.

“Rhe, kamu menuliskannya dengan bagus sekali. Banyak wartawan pernah menulis profilku, tapi kamu menyajikannya beda,” kata Pak Bhisma melalui telepon, setelah ia menerima bukti terbitnya.

“Terima kasih, Pak. Mungkin karena saya memang jatuh cinta pada kebun dan hutan Bapak,” kataku. Tentu saja, aku jatuh cinta pada kisah itu.

“Mainlah kapan saja, aku akan sangat senang. Oh, ya, melati yang aku bilang dari Afrika itu sekarang sudah mekar. Bunganya besar dan sangat wangi. Aku kirim, ya ?”

Oh, no! Apa kata teman-teman nanti. Tetapi, kiriman melati, terlalu abstrak kenangan tentang harum bunga suci itu. Amora-kah kau? Sejarah tak berulang, hanya berirama. Mereka tak sama persis. Hanya nadanya yang terdengar serupa.

“Emm… tidak usah repot–repot, Pak. Tentunya akan lebih bagus kalau saya melihatnya langsung,” tolakku halus, sembari mengembalikan angan yang tiba–tiba melayang. “Atau kalau memang saya harus menyampaikan pada Hujan?”

Sunyi di seberang sana. Hanya desah yang mengambang. Ya, bahkan ketika aku sudah menuliskan tentang perjalanan sebuah hutan pun, dia tak pernah mau menyebut siapa nama Hujan itu.

“Kamu sudah tahu jawabannya, ‘kan? Dalam hal ini, aku belum bisa berbagi pada siapa pun. Biar dia utuh tersimpan.”

“Siapa tahu saya menemukannya, Pak. Ketika saya jalan–jalan, nongkrong di TIM, atau di mana pun,” desakku.

“Bukankah sudah aku katakan, dia tak pernah pergi?” jawabnya, sambil mengucapkan salam. Ah, sudahlah. Dunia itu terkadang menjadi sangat sempit untuk satu hal. Dan memang, akhirnya aku menemukannya, tanpa Pak Bhisma mengatakannya. Wanita yang dipanggilnya Hujan. Yang memberiku naungan dari panas dan hujannya Jakarta.

Kubawa ragaku menempuh kemegahan Suluk, dan kamulah Tembang laras Suluk itu. Kau mengira aku pergi, padahal aku mengembara di dalam dirimu.

Lakon 4. Asmara Mencipta Hujan
Aku lipat kembali sobekan majalah itu dan kukembalikan pada Bu Dalang. Ia menyimpannya di tempat semula. Bening air itu tumpah sudah. Kembali ia menangis. Kembali ia mencipta Hujan. Dentingnya mengalun mengiri fajar yang menyala serupa pijar. Kehangatan api masa silam yang ingin dihadirkannya malam ini.

Dia kupanggil Api, api yang menjadikan blencong menyala, kelir menyala dan wayang hidup meliuk-liuk. Api mungil yang memberikan pijar di tapak mungilku. Kala itu kami masih sedemikian belia. Dua belas tahun umurku dan dia tujuh belas tahun. Kami bersahabat sejak kecil. Hingga tak sadar, ikatan kami melebihi seorang sahabat. Momen kesadaran itu sedemikian dramatis.

Aku masih ingat, di pakeliran pentas ayahku. Pada awal Muharam, Suroan di balai desa. Pentas yang sudah ditunggu oleh penduduk desa, yang jarang makan enak. Bahkan, makan cukup pun tak ada dalam kamus hidupnya. Setahun mereka menunggu. Tak hanya karena pamor ayahku sebagai dalang terkenal. Tapi, pada Suroan itu, banyak sekali makanan. Ingkung ayam utuh berderet, cara bikang yang manis, apem dan sebut saja semua makanan yang diimpikan orang–orang lapar, ada semua. Ibuku memimpin wanita desa untuk memasak dari subuh hingga terhidang megah di kala senja. Kami berpesta laksana surga. Semua warga menantikannya.

Ketika Nyai Wuning, sinden jelita sekaligus ibu Bhisma tengah mengalunkan tembang Maskumambang, dan ayahku memainkan wayang– wayangnya dengan riuh, aku sibuk di balik panggung. Mengincar segala bentuk makanan yang bisa tertampung di perutku. Tak peduli sudah berapa banyak. Aku makan dan terus makan seperti dendam. Itu lebih baik, daripada aku harus duduk bersama kakakku di samping niyaga.

Ya, wanita tak boleh pegang wayang. Wanita hanya boleh menyapa dapur dan makanan. Kalaupun boleh, cukup menjadi sinden saja. Tapi, tidak sekarang. Lebih baik aku menyelesaikan sekolah sampai kuliah. Agar tidak perlu ‘ngamen’ wayang dari kota ke kota seperti ayahku. Atau menjadi ibu rumah tangga, yang mengurus berandalan yang berwujud kakak-kakakku. Tingkahnya memang mempercepat putih rambut Ibu. Kata ibuku, aku harus menjadi dokter, yang pasiennya banyak, uangnya banyak. Tak perlu kelayapan hingga larut pagi dan terhormat. Ibu sengaja menekankan kata terhormat dengan melirik Nyai Wuning. Bukan untuk menyanjung, tapi lirikan tajam yang tak kenal ampun. Susah memahami kelakuan orang dewasa.

Suatu hari, Ibu akan membuatkan sulaman yang begitu megah, tekun untuk baju–baju Nyai Wuning yang disulamkan pada ibuku. Tapi, di sisi lain, mata Ibu selalu ingin membunuh Nyai Wuning. Walau akhirnya mata Ibu terpejam dan menunduk, jika di hadapan Ayah. Aku tidak pernah tahu, apa yang terjadi di antara mereka. Yang jelas, ibuku melarangku  untuk bersentuhan dengan wayang, walau aku selalu melanggar. Bahkan, rela menerobos jendela dan melompati pagar demi pertunjukan wayang. Gending itu, gamelan itu, liukan bayangan wayang yang terpahat di kelir, selalu memanggil hasratku. Seperti malam itu juga.

Cara bikang yang manis dan lembut berulang kali tak mampu meredakan rasa pahitku. Telinga ini masih memerah bekas Ibu menjewernya tadi, karena aku nekat menyusup di balik gong. Dan nyaris saja kepalaku terjepit logam yang ukurannya bisa menelan tubuhku. Kalau saja tak di muka pentas, Ibu pastilah sudah membunuhku. Dengan melesakkan tubuhku lebih dalam lagi ke kuningan berat itu. Lalu telingaku serasa mau putus. Sakit telinga tak seberapa, tapi makian ibuku sungguh melemahkan tulang–tulangku.

“Rumi, aku tidak pernah melahirkan wanita murahan! Kau tahu itu?!” bisik ibuku, sembari menjambak rambutku, lantas menggelandangnya jauh dari pakeliran. Tak ada satu pun yang peduli, bahkan melihat pun tidak. Ibuku melakukannya dengan akurat, karena sudah terbiasa. Yang menjadi tak biasa adalah makiannya. Ibu tak pernah memaki, apalagi sekasar itu. Bagaimana mungkin aku, anak perempuan satu–satunya, yang bahkan wajahnya mirip dia, dimaki sebagai perempuan murahan. Apakah menonton wayang, mencintai wayang sama halnya dengan melacurkan diri? Mengingat itu, perlahan aku menangis. Cara bikang pun terasa menjadi ampas kelapa.

Saat itu, ada jemari hangat yang menyentuh pundakku. Bukan sosok asing, tapi tiba–tiba ia hadir dalam wujud yang berbeda. Bukan karena beskap yang dikenakan mampu memanggil pesonanya, yang selama ini tak pernah tampak ketika ia hanya memakai kaus oblong. Dia hadir sebagai hujan yang menyiram bara dendam.

“Kau menangis lagi? Nyala api akan pudar, jika kau biarkan air matamu mengalir,” ujarnya, lembut. Lalu ia menghapus air mataku dengan jemarinya. Ini untuk pertama kalinya ia melakukan itu. Apakah karena alunan tembang Asmaradana menumbuhkan pucuk–pucuk asmara yang lelah melembaga. Aku merasakan kehadirannya sebagai Wong Agung Jayengrana.

“Suatu saat nanti, kau akan menjadi dalang terkenal. Aku akan menjadi penontonmu yang paling depan,” katanya, sambil menggenggam erat tanganku. Nada suara itu, kehangatan itu, menyelimuti hari–hari selanjutnya. Hari–hari yang kukira tak pernah ada kata akhir. Khayalan perempuan kecil yang baru pertama mengenal cinta. Hingga kau akan tertusuk tanpa bisa mengelak. Tusukan yang memutus nadi harap. Kau takkan pernah mengerti, mengapa Tuhan menghadirkan cinta tumbuh dalam diri kita. Sementara di seberang hati lain, cinta meregang nyawa tersiram air raksa.

Bu Dalang menatapku dengan pedih. “Aku mengerti, Nduk… bagaimana kamu bisa mencintai Amora. Dan hanya dengan mencintainya, kamu bisa bahagia dan hidup. Cinta tak bersyarat. Cinta membelah hanya untuk cinta itu sendiri. Seperti itulah cinta Putri Cina untuk Wong Agung. Aku tak menghidupkan Putri Cina, karena memang dia hidup dalam diriku.”  

Aku hanya bisa menghitung, berapa jumlah batu yang berserak di kakiku.

Lakon 5. Perawan Para Wayang
Bunga melati yang kusiram masih basah oleh senja Bulan Mulud, ketika wanita itu datang menemuiku. Langkahnya anggun seakan menghentikan waktu. Kebaya putih dengan manik-manik berkilauan menandaskan bahwa dirinya seorang priayi. Telinganya berhiaskan giwang berkilauan, yang walaupun tak besar tapi menunjukkan kasta murni berlian. Sanggulnya digelung cepol yang dihiasi bunga mandakaki. Sederhana, tapi memesona. Binar matanya membuat jantungku runtuh. Ada binar mata kekasihku di sana. Cahaya yang menguatkan diriku untuk melawan.

Cahaya itu memanggil kekuatan yang terpendam. Kemampuan yang tertelikung dalam kemelut aturan menjadi wanita Jawa yang ideal. Santun, lembut tutur kata, selalu menunduk di hadapan lelaki dan malam takkan pernah berani menyentuh kulitnya. Lebih banyak label kualat daripada sepakat. Tapi, bagaimana mungkin keidealan menjadi wanita, wani ditata, itu bisa membendung darah bergejolak.

Desir nadi ketika mendengar gamelan mengalun. Hasrat yang membakar tatkala bersentuhan dengan kulit para wayang. Rangkaian kata yang terjalin sarat makna, dengan bahasa Kawi yang bahkan aku tak pernah mempelajari, tapi bisa hafal begitu saja. Seperti roh Walmiki menuntunku untuk membacakan syair adiluhung yang ditulisnya beberapa abad silam. Aku tak mempelajari gending, tapi gending itu yang mengajariku untuk mendendangkannya. Aku tak mempelajari bagaimana memainkan wayang–wayang itu, tapi merekalah yang menuntun jemari dan lenganku berlenggang. Aku tak bisa menolaknya.

Hasilnya, aku menjadi sinden muda yang bersinar hanya dalam waktu dua tahun setelah Api membisikkan kehangatan itu. Ya, dia menepati janjinya, untuk menjadi penonton yang duduk di deretan paling depan. Dan kini, aku kerap mendampingi Nyai Wuning untuk nyinden, baik itu pentas ayahku dan dalang lain. Dalam hal ini, ibuku sudah membuangku dari catatan anaknya.

“Selamat sore, Nduk. Boleh Ibu bicara sebentar?” sapanya, anggun. Serta-merta kurapikan rambutku, kebayaku, dan kain yang kukenakan sekenanya. Kutinggalkan gembor penyemprot air dan kuntum melati yang masih kehausan. Buru–buru kupersilakan dia masuk. Kebetulan ayah dan ibuku sedang ke keraton untuk mempersiapkan pentas. Sementara kakakku ikut membangun tratag di alun–alun untuk pementasan nanti malam.

“Tidak usah masuk, aku duduk di sini saja,” katanya, memilih lincak yang ada di teras. “Kamu rajin sekali, ya. Ibu di rumah juga punya banyak jenis melati. Tapi, tak semuanya sebagus ini bunganya,” katanya. Ya, aku tahu, Bunda, putramu selalu membawakan untukku. Walau aku tak tahu persis, di sebelah mana dari halaman rumah gedong itu tumbuh melatimu. Mungkin aku akan merawatnya kelak, ketika wanita di hadapanku menjadi mertuaku. Membayangkan itu, bunga–bunga yang lebih harum dari melati bermekaran di hatiku. Mungkin wajahku memerah di hadapan mertuaku.

“Maaf, Ibu sedang ke keraton dengan Ayah untuk persiapan nanti malam,” kataku. Kedatangan Nyai Wuning biasanya berkaitan dengan sulaman baju yang tengah dikerjakan ibuku.

“Kali ini, kedatanganku memang akan menemuimu, Nduk,” katanya, lembut dan berwibawa. “Kamu menyayangi Bhisma, bukan?” tanyanya. Aku menunduk seperti gadis yang tengah dilamar. Harum bunga pengantin mengambang riuh.

“Aku memang tak butuh jawaban
dalam hal ini. Hanya aku ingin kau buktikan sejauh mana sayangmu pada anakku,” tambahnya. Harum kembang pengantin itu perlahan samar. Ada sesuatu dalam ucapannya.

“Kau kan tahu, Nduk…. Bhisma itu anak ibu satu-satunya. Besar sekali harapan yang kusematkan pada dirinya. Termasuk di kehidupannya kelak. Ibu ingin Bhisma hidup bahagia. Bukankah cinta juga mengajarimu untuk membahagiakannya?” tanyanya. Ada ruang yang tiba–tiba memisahkan antara aku dan wanita itu. Ruang itu begitu kokoh, dari nada suaranya.

“Intinya, lupakanlah anakku. Karena aku ingin, dia menyelesaikan sekolahnya hingga sarjana. Lalu menikah dengan wanita biasa yang kelak tinggal, merawat dirinya dan rumahnya. Kurasa kau akan menjadi terlalu sibuk nantinya, dengan pentas-pentasmu,” katanya, serupa desah. Tapi, mampu meruntuhkan gunung harapan yang sempat menjulang.

“Nduk, hanya kamu yang bisa menjadikan impian Ibu yang renta ini terlaksana. Bukankah kau juga ingin mewujudkan mimpi ibumu, Nyai Ratih Wangi?”

Aroma kembang pengantin menjelma menjadi kembang setaman. Kembangnya  para kuburan.

“Aku harus menjadi dalang! Aku akan memainkan lakon Drupadi di hadapan banyak lelaki. Aku akan membisikkan penyesalan Amba pada setiap lelaki yang memberikan cinta tulus. Aku harus!” tekadku melawan sakit yang tak terperi. Ditambah lagi kemelut antara aku dan ibuku, ditambah ibuku selalu perang bisu dengan ayahku membuat tekadku  makin bulat untuk minggat.

Ibuku tetap menunduk di depan Ayah sebagai jamaknya wanita santun yang ia cetakkan pada tubuhku. Tapi, hatinya mendongak penuh kesumat. Sudah saatnya aku meninggalkan semua itu. Aku akan datang ke dunia yang menerima wanita boleh menjadi siapa saja. Jika memang dunia itu ada.

Sebagai awalnya, aku berani menantang mata ibuku ketika ia melempar nampan tempat ingkung ayam jago yang baru saja aku patahkan pahanya.

“Sungguh, sejak kamu menjadi wanita malam, tingkahmu  makin tak tahu adat!” bisik ibuku, tajam.

“Ibu, aku sudah bosan menjadi nomor dua! Aku bisa menjadi nomor satu!”

“Jadi semenjak kau bisa pentas dengan ayahmu, itu berarti kamu sudah bisa menginjak kepala ayahmu?”

“Apa maksud Ibu? Hanya karena aku makan ayam sebelum Ayah memakannya? Sebelum kakak–kakakku menghabiskannya? Lalu aku hanya kebagian ceker yang bahkan tinggal kukunya?”

“Hushhh... berandalan!”

“Ibu, maafkan saya yang tak bisa lagi menjadi seperti Ibu. Menunduk, tapi sebenarnya tegak menantang dari belakang. Sampai berapa lama Ibu mampu menyimpan dendam yang tak terucap itu? Alam lebih luas untuk menampung serapah Ibu dibandingkan tubuh ringkih Ibu. Maka, tumpahkan dengan lantang dan itu akan membuat Ibu terbebas dari energi buruk yang Ibu tutupi selama ini,” kataku, tanpa beralih dari wajah wanita yang sangat aku sayangi, tapi sekaligus aku ingin membakarnya.

“Lancang sekali kau!” Sebuah tamparan keras sekali mendarat di pipiku. Perihnya terasa benar hingga ujung kaki. Mataku berair, bukan karena tak kuat menahan pipiku yang memanas, tapi lebih kepada menyusun kekuatan untuk meredakan darahku yang mendidih.

“Saya tak pernah tahu mengapa Ibu sangat benci pada Nyai Wuning, lalu pada seluruh sinden dan aku yang ingin menjadi dalang. Kalau tak ingin aku menjadi dalang, mengapa kau alirkan darah dalang dalam diriku? Mengapa dulu Ibu tak menikah saja dengan dokter, polisi, atau presiden? Hingga tak ada darah dalang yang mengalir deras dalam diri anakmu?” Itu kata–kataku mengakhiri pertengkaran itu. Aku berlari menuju kamar, meraup baju sekenanya. Kuletakkan di atas kain taplak warna merah, lalu kuikat membentuk bungkusan siap jinjing.

Ketika aku melangkah membuka pintu gebyog, jujur aku ragu dengan langkahku. Aku berharap Ibu memanggil namaku untuk kembali. Detik menggumpal, menit membentuk gunungan, hanya desir angin selamat tinggal yang kudengar. Kubulatkan tekad dan kakiku melangkah dengan pasti, keluar dari rumah joglo yang telah membesarkan aku. Walau penuh ironi, tetap saja indah ketika aku akan pergi. Rumah yang telah menaungi segenap mimpi muda dan cinta tak bertakhta. Seribu bintang di langit malam menerangi langkahku. Jauh di belakang sana, samar kudengar. Isak tangis seorang ibu.

Pagi sudah lama bangun. Sinar mentari menerobos gedung–gedung tinggi. Hangatnya menyelimuti kulit kami. Sementara tiang–tiang tratag satu per satu dirobohkan.

“Begitulah, Rhe... akhirnya aku berangkat ke Jakata naik kereta. Di sini aku menemui pamanku, adik dari ayahku. Pamanku, Ki Nata Carita, adalah dalang RRI. Walaupun aku punya bakat alami,  beliaulah yang mengasahku. Aku diberikan kesempatan pentas berbagai kesempatan. Awalnya hanya membantu, tapi lama-kelamaan aku bisa pentas sendiri. Di Taman Ismail Marzuki, Gedung Kesenian Jakarta, lalu menjadi dalang untuk program televisi. Sampai kini,” kata Bu Dalang, sembari menghabiskan air mineral dari botol.

“Lalu, apakah ibu Bu Dalang sudah memaafkan?” tanyaku. Bu Dalang mendesah. Lalu tersenyum.

“Aku tidak tahu pasti. Ibuku masih sama, bahkan hingga beliau wafat. Selalu tampak tersenyum, menunduk, tapi penuh dendam menyala. Baru kuketahui kemudian... ketika ibuku wafat, pamanku menceritakan semuanya.” Sampai di sini, Bu Dalang menatap matahari yang mulai beranjak. Seakan ingin menantang panas yang sebentar lagi singgah.

“Ayahku jatuh cinta pada Nyai Wuning. Walau Ayah berusaha untuk menahannya,  cinta itu membuat hubungan antara ayah dan ibuku tak pernah sama lagi. Itu yang membuat Ibu terbakar dendam tanpa bisa menyalahkan Ayah, yang akhirnya menuntunnya menjadi dendam tak masuk akal. Dendam pada sinden dan semua wanita wayang yang berkeliaran di malam–malam dingin. Teramat pahit baginya ketika anak perempuan satu–satunya masuk dalam lingkaran malam. Sementara Ibu begitu mendewakan sopan santun wanita Jawa. Ha...ha...ha... bukankah sopan santun itu masih berlaku ketika semesta ini ideal untuk ditinggali?” Kami pun tergelak. Tawa yang renyah.

“Ayah Bu Dalang tahu kalau Ibu jatuh cinta pada anak kekasihnya?”

“Ha...ha...ha... entahlah. Ayahku tahu dua hal yang paling kuinginkan dalam hidupku. Kekasih dan wayang–wayang itu. Makanya, ketika kekasih membuatnya pusing untuk bersikap, beliau mendukungku untuk keinginanku yang lain, yaitu menjadi dalang. Lama sekali ayahku merahasiakan keberadaanku yang ngenger di rumah adiknya. Baru ketika aku akan menikah, Ayah memberi tahu ibuku.”

“Pasti menyakitkan bagi hati ibu Bu Dalang, ya?”

“Mungkin tidak lagi. Karena, saat pernikahanku, Nyai Wuning sudah meninggal karena sakit kanker otak.”

“Lalu Pak Bhisma... apakah Ibu pernah menemuinya?”

Mendengar nama itu disebut, Bu Dalang bergeming. Lama sekali seperti mengurai benang kusut.

“Sebelum Nyai Wuning meninggal, aku dengar kabar bahwa ia telah punya istri yang layak untuk Bhisma. Seorang dosen di Solo, yang pendidikannya sederajat. Yang pekerjaannya begitu sopan untuk seorang wanita,” ujarnya terasa pahit.

Suami Bu Dalang tewas ketika menjalankan misi pembebasan Irian Barat. Makanya, ada rasa yang demikian menusuk di hati Bu Dalang, ketika tanah paling timur Indonesia, yang sudah dipertahankan dengan darah orang–orang tercinta, dirusak oleh segelintir manusia yang tak tahu betapa jiwa–jiwa mulia menyelimutinya.

“Istri Pak Bhisma sudah meninggal juga,” kataku. Bu Dalang hanya angkat bahu sambil menunjuk dompet yang tadi ada sobekan majalahku. “Tidakkah Ibu ingin menemuinya? Dalam wujud nyata?” tanyaku. Untuk kesekian kali, ketika aku menyinggung lelaki itu, ada getar aneh yang kurasakan di raut wajah yang kini tampak letih. Ia menggeleng, tapi aku jelas membaca, jauh di sana, di palung hati yang paling dalam, ada  harap untuk mengatakan ‘ya’. Peran apa yang tengah dimainkan oleh wanita yang sudah melewati 65 pijar matahari ini?

Lakon 6.  Poros Jejaring Laba – Laba
Setelah pementasan lakon Putri Cina Gandrung itu, aku menjadi gelisah. Sebaliknya, Bu Dalang justru tampak cerah bila bertemu denganku. Dia pernah mengatakan sebagaimana Heinrich Harrer, si pendaki gunung itu, menemukan ketenangan yang melebihi puncak Everest.

“Kamu adalah jalan pembebasanku. Lima puluh tahun aku menyimpan kisah ini dalam kotak besi terkunci. Ketika aku berniat membuang kuncinya yang tak jua berkarat, justru kau menggunakan kunci lain untuk membongkarnya. Bagaimana mungkin kau bisa menghadirkannya datang di pintu kamarku,” kata Bu Dalang.

Aku ingat majalah edisi yang memuat Pak Bhisma. Tak biasanya aku memberinya dengan semangat ke Bu Dalang. Kala itu alasannya sederhana, ada artikel ragam rangkaian melati karya Ibu Entik Dewabrata, perangkai bunga istana khusus melati. Aku tak menyangka, justru artikel lain di halaman lain yang bisa mempertemukan dengan masa lalu itu. Membawanya ke depan pintunya.

“Sastra jendra hayuningrat pangruwating diyu. Kau tahu maksudnya, Nduk?”

Tentu saja aku geragapan. Apa pula ini. Bahasa Jawa, sih, bahasa Jawa, kalau sudah beginian mana aku ngerti?

“Makna aslinya, ngelmu membebaskan kejahatan guna meraih kebahagiaan. Kalimat sederhana itu menjadi teramat luas. Inti dari hidup. Termasuk langkahmu mempertemukan masa laluku dengan masa kini, tanpa kau sadari. Itu sudah tersurat sebagai sastra semesta,” terang Bu Dalang. Tenang tanpa gejolak. Hening tanpa denting. Saat inilah, ada desir aneh yang membelai batin. Bisikan entah dari mana. Tapi aku tahu, aku harus melakukan sesuatu.

Apakah kau percaya bahwa semesta selalu memberi isyarat? Tanda itu akan menjadi bermakna ketika kita bisa membacanya. Malam ini, mobilku laju di Jalan Gatot Subroto. Lancar tanpa hambatan. Memang, warga Jakarta terlalu banyak keluhan. Begitu macet, memaki Jakarta yang membiarkan warganya tua di jalanan. Tapi begitu lancar, terheran–heran.

Jalanan yang lancar ini kuharap adalah pertanda bahwa niatanku mulia. Untuk mewujudkan mimpi menjadi bentuk nyata. Beberapa minggu setelah percakapanku di kantin dengan Zaka dan Mas Wahyu, majalahku mengadakan FGD (Focus Group Discussion).

Intinya mengundang pihak–pihak berkompeten untuk memberi masukan. Salah satu nama yang kuajukan dan langsung disetujui adalah Pak Bhisma. Aku pun tak mengira. Jelas ini bukan sebuah kebetulan. Tuhan telah membuat skenarionya. Lalu mengapa aku tak segera menuntaskannya?
Begitulah, akhirnya aku bisa mendatangkannya ke Jakarta. Kini tengah kuajak Pak Bhisma menuju Gedung Pewayangan, TMII (Taman Mini Indonesia Indah).

“Saya akan menunjukkan bunga melati paling besar dan paling indah yang pernah saya lihat, Pak. Yakinlah, ini melebihi melati Afrika yang Bapak punya,” kataku tadi, setelah FGD usai. Pak Bhisma pun berminat.

“Melati itu dari mana asalnya, Rhe?” tanyanya, sembari melihat gedung–gedung menjulang yang berlarian di kaca mobil.

“Dari Jawa, Pak,” jawabku tenang.

Baru kemudian, ada gelisah yang tak mampu tersembunyikan ketika aroma melati benar–benar datang bersama alunan gamelan. Kidung Ilir–Ilir yang  melukiskan sawah menghijau, riuh hutan jati yang terbakar dan semangkuk rebusan gayam hangat. Melati itu sedemikian megah, menyilaukan dan menikam hingga Pak Bhisma terpaku dalam diam. Dia masih tak bergerak, bahkan ketika aku membuka pintu mobil.

Kugenggam tangannya. Buluh renta itu memanggil kembali cahaya kejora yang sempat padam. Begitu memasuki arena penonton, kelir itu melukis seorang wanita yang terbuat dari cahaya. Kejora itu menjelma wujud nyata, hanya beberapa depa dari muka. Pak Bhisma seperti menemukan semestanya.

“Saya kira, itu lakon Putri Cina Gandrung, Pak. Geladi bersih untuk pemberangkatan ke San Francisco. Tapi, semoga Bu Dalang masih tetap punya energi untuk pergi ketika... ketika Bapak sudah hadir di sini,” kataku, mirip gumaman. Tepat ketika kami duduk di kursi paling depan, niyaga memukulkan gong seiring dengan Bu Dalang menancapkan gunungan. 

Kini aku percaya, sepasang mata bisa menjadi sedemikian buta ketika mata hati bisa membaca hati yang lain. Untuk sekian lama Bu Dalang hanya bisa menunduk, tak berpaling. Aku tahu, Bu Dalang tahu kehadiran sang Api. Separuh jiwa mengenali belahan jiwa yang sempat terserak. Hanya dengan menggunakan daya khayal tenangnya, mereka terbang dan dalam waktu yang lebih singkat dari waktu yang diperlukan untuk mengatakannya.

Aku berdiri, mendekati kelir. Sementara niyaga sudah beranjak dari tanggung jawabnya masing–masing. Riuh suara gelas dan denting piring beradu. Kuletakkan tanganku di pundak Bu Dalang.

“Ibu, saya menghadirkan Hujan dalam wujud nyata. Dingin, berbulir–bulir dan basah. Sementara Hujan tak lagi memanggil Api-nya lewat kidung yang samar. Ibu, ini nyata dan berdarah daging,” kataku.

Bu Dalang menoleh tepat ke arah Pak Bhisma duduk. Mata bertemu mata. Tanpa kata. Hanya senyum yang tergaris seperti semesta telah menciptakan garis fajar. Cahaya merajut kejora. Jaring laba–laba yang berputar, berhenti tepat di porosnya. Sungguh cinta bisa menjadi nyata tanpa kata.

Aku melangkah keluar Anjungan Jawa Tengah. Langit sedemikian megah dengan bintang yang riuh bergemerlap. Wangi bunga melati menyapa hidungku. Indah. Membangkitkan romantisisme yang terkubur di kerak bumi. HP-ku bergetar. Ada SMS masuk. Nomor tak dikenali.

Rhe, aku tahu, kamu sudah menemukan rumahmu untuk beristirahat. Aku bahagia untukmu, selalu. Pesawatku akan transit di Jakarta esok pagi. Bolehkah aku singgah sebentar? Amora
Kutengadahkan wajahku ke langit malam. Menghadap bintang. Menantang semesta. Sejarah tak berulang. Hanya seperti irama. Dan irama kali ini, sedemikian sumbang. Sungguh aku mau pingsan.

No comments: