8.11.2008

Mengungkapkan Emosi Positive

GAYA bergaul, cara berkomunikasi, cara menyampaikan pendapat, berdebat, berargumentasi, cara makan, pilihan jenis makanan, bahkan cara berpakaian, serta gaya hidup tampak seolah hampir secara menyeluruh terlanda arus globalisasi yang memberi efek positif ataupun negatif.
Meski demikian, apabila diamati dan disimak secara cermat, masih ada aspek komunikasi yang seakan tidak tersentuh arus positif globalisasi itu sendiri, yaitu mengungkap reaksi emosi positif secara spontan dengan upaya tulus untuk menghargai orang lain yang telah menunjukkan prestasi dalam karya nyata, apalagi yang memberi perlakuan baik kepada kita. Terhambat dalam mengungkap emosi positif dapat menjadi sumber konflik perkawinan yang ternyata bisa berakibat fatal.
Kasus
”Dia orang yang tidak tahu terima kasih, tidak pernah mau minta maaf kalau salah. Saya sakit hati sekali karena kalau saya yang salah sedikit saja dia memaki saya dengan kata-kata kasar. Kata-kata goblok dan bodoh mengalir bagai air sehari-hari.
”Saya merasa tertekan dan hilang kepercayaan diri. Saya sebal sekali sama dia, rasanya sudah tidak tersisa lagi perasaan kasih terhadap dia. Yang ada saya ingin cerai dari dia, tetapi kalau saya bilang saya mau cerai, dia mengatakan, ’Silakan saja pergi dari rumah ini. Jangan harap saya kasih harta dan jangan harap kamu bisa lihat anakmu.’
”Kalau sudah diancam begitu, saya takut sekali karena walaupun peraturan menyatakan anak umur di bawah lima tahun hak asuhnya ada di pihak ibu apabila terjadi perceraian, tetapi dia banyak uang, Bu. Dia bisa menyewa pengacara mahal, mungkin saja dia bisa dapat hak asuh anak saya, Bu. Anak saya baru umur tiga tahun, saya tidak tega meninggalkannya, Bu.” Demikian U (34), dengan air mata di pelupuk.
Selanjutnya, U bercerita pertengkaran selalu bermula dari ”Saya tidak terima dimaki, saya melawan.” Biasanya setelah bertengkar, U akan mendiamkan suaminya selama 3-4 hari, tetapi kemudian tidak enak sendiri dan mulai menegur suami kembali.
”Mungkin terkadang timbul rasa salah, tetapi dia tidak akan pernah minta maaf kepada saya. Kebiasaannya yang lain yang sering membuat saya kesal adalah dia sering mengompensasikan rasa salahnya dengan membelikan saya macam-macam benda yang sebenarnya tidak saya inginkan.
”Di pikirannya, yang penting cuma uang dan barang, dia pikir kalau sudah kasih uang, kasih barang, masalah selesai. Sebal saya,” U melanjutkan keluhannya.
Konseling perkawinan
Konseling perkawinan tidak akan efektif bila dilakukan hanya dengan salah satu pasangan. Menghadirkan suami menjadikan konseling lebih efektif karena relasi kasar dari pihak suami, walaupun ada kontribusi dari masa kecilnya, akan semakin kuat bila pihak istri tanpa sadar dan terdorong kekesalan hatinya justru bereaksi yang bisa meningkatkan kadar kekasaran sikap suami.
Mengapa? Pengaruh unsur timbal balik antara pasangan dalam berkomunikasi akan menciptakan iklim keluarga. Tampaknya, sikap perlawanan U untuk menghentikan kekasaran suami justru membuat suami menjadi semakin kasar.
Dalam ungkapannya, suami U menyatakan, ”Bu, sebenarnya saya sangat mencintai istri saya, saya tidak ingin bercerai darinya. Hanya saya memang sangat emosional dan sering tidak mampu mengendalikan ucapan saya dan akhirnya keluar makian beruntun. Saya tambah kesal bila istri saya melawan dan dia mampu mendiamkan saya berlama-lama. Dia sangat sensitif, sedikit tersinggung perasaannya saja sudah dengan mudah minta cerai, Bu. Saya tidak ingin keluarga saya hancur. Saya sayang kepada anak dan istri saya.”
Hal yang kemudian diperoleh dalam sesi konseling tersebut adalah setelah U diberi kesempatan mengungkapkan unek-unek kekesalannya terhadap suami yang sering berucap kasar, terlihat ekspresi wajahnya berubah, mulai tersenyum dengan kemudian mengatakan, ”Bu, sebenarnya saya tahu suami saya baik hati karena saat dia santai dan kami sedang tidak bertengkar dia adalah kawan bercerita yang enak. Bisa diajak diskusi dan sering menemukan solusi masalah yang tepat.”
Mengungkap emosi positif
Hubungan perkawinan kedua pasangan tersebut di atas dapat diperbaiki. Bagaimana caranya? Caranya dengan meminta kedua pasangan berlatih untuk menghargai satu sama lain, bahkan untuk hal-hal kecil sekali pun.
Hendaknya U dan suami saling mencermati apa yang telah dilakukan masing-masing dan menyenangkan. Ucapkanlah terima kasih dan berlatihlah memberi pujian terhadap perlakuan baik pasangan.
Misalnya, masakan U enak, ungkapkanlah secara terbuka pujian terhadap U, dengan ”Seger banget sayur bening buatanmu ini.” Atau bila suami berpenampilan bersih dan serasi suatu pagi, ungkapkanlah penghargaan terhadap penampilannya dengan misalnya, ”Hari ini kamu keren banget.”
Pada awalnya pasti terasa janggal, tetapi alah bisa karena biasa. Yang penting, setiap perubahan sikap positif sedikit pun dari pasangan harus dihargai. Ketahuilah penghargaan terhadap pasangan yang tulus, dengan ungkapan disertai kontak mata penuh kasih, akan membuat iklim relasi keseharian dengan pasangan terasa nyaman.
Sesekali kesal dan marah adalah hal biasa, tetapi ungkapkan pula rasa kesal/marah dengan cara lebih bijaksana. Dengan demikian, U pun tidak akan merespons dengan gaya melawan yang justru membuat suaminya semakin

No comments: