7.03.2009

Terimakasih Yesus

Baiklah saya mulai dan ingin membagikan kesaksian ini kepada sahabat sekalian. Ketika saya masih SMA, saya kenal dengan seorang pemuda yang juga sangat aktif di gereja. Terus terang, saya sangat terpengaruh oleh karismanya sampai akhirnya gayung bersambut dan kami mulai pacaran sewaktu saya baru mulai kuliah. Singkat kata, kami telah menjalin kasih selama kurun waktu yang cukup lama, sekitar 7 tahun, sampai kami memutuskan untuk mengikat tali kasih kami dalam wadah perkawinan. Terus terang, selama kami pacaran, banyak hal yang kami alami bersama, saat2 senang dan tentu saja saat2 susah. Saya tahu pribadinya, begitu sebaliknya, kami tahu kekurangan2 kami sampai hal2 yang paling tidak menyenangkan sekalipun. Tetapi, tepat setahun sebelum perkawinan dilangsungkan, saya mendapat tawaran kesempatan beasiswa untuk sekolah di Jepang. Tapi, saya harus melewati ujian yang ternyata susahnya di luar perkiraan saya. Tapi memang Tuhan berkuasa atas jalan hidup saya sehingga saya lulus dan seminggu sebelum saya berangkat, saya menikah di gereja. Saya dan suami berjanji untuk tinggal bersama di sini, tapi karena terbentur masalah Visa dan juga orangtua suami yang tiba2 terserang kanker, saya dan suami tidak bertemu selama kurang lebih 1 tahun.

Sebenarnya, selama saya ada di Jepang, saya merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Pernah suatu malam saya bermimpi Yesus di atas salib yang dengan jelas menangis dan matanya terarah ke saya. Saya tidak tahu, tapi firasat saya tidak enak. Saya memang bersalah karena tidak mengurus Visa suami karena satu hal, dan ketika bertemu suami saya meminta maaf dan menyesal sedalam2nya. Suami memaafkan, dan singkat kata saya melanjutkan studi saya di Jepang, dengan kepastian suami menyusul setelah Visa keluar. Selama menunggu Visa keluar, saya tahu suami berubah. Dia menjadi dingin, dan karena tidak tahan (mungkin karena kesepian), di telp saya bilang mungkin sebaiknya untuk tidak meneruskan perkawinan, tetapi seketika itu juga saya sadar telah berkata salah, dan menelpnya seketika itu juga dan menangis minta maaf. Singkat kata, Visa keluar dan suami menyusul ke Jepang. Dan memang, dia berubah, dan saya tidak tahu mengapa, saya terus menyalahkan diri sendiri, dan puncaknya, kami bertengkar. Dia bilang saya tidak mengurus Visanya sehingga dia tidak bisa datang ke Jepang, dia bilang saya punya pacar di Jepang, dia bilang saya pencemburu, saya menuntut cerai, dsb, dsb. Saya hanya bisa minta maaf , benar2 dari hati yang paling dalam, dan saya mengakui semua itu, kecuali bahwa saya tidak pernah punya pacar di sini. Tetapi dia sangat dingin, dan selama di Jepang, kami tidak bercakap2, selalu kalau saya memulai percakapan, responsnya sangat dingin. Puncaknya, dia minta cerai dan saya shock. Kami pasangan Katolik, dan menurut saya cerai adalah tabu. Saya hanya bisa menangis terus selama dia di Jepang, karena tidak tahu apa yang harus saya perbuat. Dia terus meminta cerai, dengan alasan2 di atas, tapi saya tidak mau, dan saya terus meminta maaf. Tetapi dia keras pada pendiriannya. Setelah dia meninggalkan Jepang dan pulang ke Indonesia, saya shock berat. Saya terus menyalahkan diri, dan karena tidak tahan, pada saat liburan saya pulang ke Indonesia. Tetapi dia tetap ingin bercerai, dan saya disuruh menandatangani surat cerai. Kami telah berusaha lewat saksi perkawinan, tapi dia tetap bersikeras.

Pendek kata, saya kembali ke Jepang, dan semenjak kepulangan saya kembali ke Jepang hingga minggu lalu, saya tidak pernah menginjakkan kaki di gereja. Saya kecewa. Saya terus bertanya kepada diri sendiri apakah salah saya sedemikian besar sehingga pantas untuk diceraikan begitu saja. Yang jelas, saya tidak pernah menghianati perkawinan kami. Dalam benak saya, kami pacaran selama 7 tahun dan dia mestinya tahu semua sifat saya, dari yang baik sampai yang paling jelek sekalipun, tetapi kenapa tiba2 semuanya seperti tidak termaklumi ?

Ternyata, jawabannya saya dapatkan 2 hari yang lalu. Saya mengetahui dari saksi perkawinan, bahwa selama saya ada di Jepang, dia punya kekasih baru dan hubungan mereka kelihatannya dalam. Tetapi akhirnya mereka putus. Setelah putus, suami jatuh cinta dengan wanita lain, dan karena semua itu diceritakan oleh pacarnya yang sebelumnya ke saksi perkawinan kami. Suami ingin menikahi wanita ini, tetapi semua pihak menentang, termasuk pohak gereja. Saya sendiri tidak menentang, bukannya karena munafik, tapi karena kalau suami bahagia, mengapa semua harus menentang ? Memang dia punya banyak kesalahan, tapi saya juga punya kesalahan. Besar kecilnya kesalahan hanya Tuhan yang tahu. Toh mereka berdua saling mencintai, dan tidak ingin terpisahkan. Mereka hanya menginginkan tali pengikat supaya cinta kasih mereka sah. Hanya saja kadang2 saya merasa hidup ini aneh, di suatu saat kita merasa telah mengenal pasangan kita sedemikian dalam, tapi ternyata kita tidak tahu apa2.

Ketika saya tahu jawaban atas semua masalah saya sekarang ini, saya sangat bahagia, dan mulai minggu depan, saya akan ke Gereja, meminta maaf kepada Yesus karena meninggalkan dia beberapa saat, dan sekaligus berterimakasih kepadaNya.

No comments: