12.22.2010

KEPAK SAYAP MERPATI

Pemilik sebuah galeri lukisan bernama Ralf meraba botol-botol sampanye dalam wadah perak, untuk memastikan apakah cairan berbusa tersebut cukup dingin untuk dihidangkan. Pria itu memandang sajian buffet di atas meja dengan puas. Ia dan asisten nya sudah menginvestasikan waktu dan tenaga untuk mempersiapkan perayaan satu dasawarsa galeri malam ini.

Ia tidak akan heran, jika malam ini hasil jerih payahnya akan memanen decak kagum pengunjung. Asistennya terlihat sedang berbincang-bincang dengan dua orang pengunjung pertama. Mereka mengamati lukisan gajah berwarna merah di tengah ruangan. Bila orang benar-benar memperhatikan, warna gajah itu dilukis dengan 24 warna merah yang berbeda.

Ralf berusaha mengingat daftar nama warna merah yang telah diberikan oleh pelukisnya. Merah magenta, merah fuchsia, merah maroon. Namun, selain ke-3 warna tersebut, tidak terlintas satu warna lain pun di pikirannya. Kehadiran seorang pengunjung yang baru memasuki ruangan telah mengganggu konsentrasinya.
Ralf meneliti gadis itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Ia yakin namanya tidak tercantum dalam daftar tamu undangan. Selain itu, penampilannya terlalu kasual untuk mengunjungi salah satu galeri lukisan bergengsi di pusat kota. Gadis itu mengenakan baju rajutan ketat selutut berwarna hijau tua. Kakinya dibungkus legging hitam dan sepatu boot seperti yang biasa dikenakan penunggang kuda. Rambutnya yang diikat ke belakang menonjolkan dahi dan tulang pipinya. Penampakannya mengingatkan Ralf pada boneka lilin di Museum Madam Tussaud.

Gadis itu mengitari ruangan seperti komidi putar. Langkahnya baru berhenti, ketika melihat jendela berbingkai kayu berwarna putih di salah satu sisi galeri. Ia mengamati pemandangan di luar, seperti layaknya seorang pengamat seni yang sedang menafsirkan makna sebuah objek lukisan. Bangunan dengan berbagai bentuk dan warna berdiri dilatarbelakangi langit senja. Sinar matahari yang meredup meninggalkan garis-garis cahaya berwarna merah dan oranye. Pemandangan itu mengingatkannya pada dekorasi perayaan ulang tahun anak-anak. Bulan yang mulai muncul tampak bersanding dengan matahari yang masih enggan terbenam.

Ralf membatalkan niatnya untuk mengikuti gadis itu, ketika mendengar pesawat telepon berdering. Belum sempat mengangkat gagang telepon, ia merasakan hawa dingin menyeruak di segala penjuru ruangan. Angin menerbangkan kertas-kertas di atas meja. Ralf bergegas menuju jendela yang sudah terbuka. Dari ambang jendela ia melihat gadis itu sudah berada di sisi luar tembok gedung, berdiri di atas balkon tanpa pagar selebar 30 sentimeter. Ia merapatkan tubuhnya di dinding.

Pemilik galeri itu tidak pernah menganggap balkon itu sebagai balkon. Ia lebih suka menyebutnya sebagai ornamen gedung bergaya baroque yang tidak ada gunanya selain menjadi toilet umum burung merpati. Sekarang Ralf tahu bahwa pendapatnya salah. “Nona apa yang kau lakukan di sana? Demi Tuhan, Dieter cepat hubungi polisi!” teriak Ralf kepada asistennya, sambil mengusap titik-titik keringat di dahinya.

Dengan perspektif seekor burung, gadis itu menatap pejalan kaki dan lalu lintas di bawah gedung. Ia mendengar suara sirene mobil polisi dan ambulans melengking silih berganti. Dari tempatnya berdiri, lampu sirene terlihat berkelap-kelip seperti bintang jatuh yang meluncur di jalan raya. Lalu lintas di depan gedung mulai merayap seperti aliran sungai yang tersumbat limbah. Orang-orang bergerombol di bawah gedung.

“Apa gadis itu tidak bisa memilih waktu lain untuk bunuh diri? Saat ini jamnya orang pulang kerja. Sedang ramai-ramainya. Mungkin sengaja untuk mencari perhatian,” kata seorang penumpang di dalam sebuah taksi. Ia mendengus tidak sabar.

“Menurut Anda begitu? Saya sudah hampir 25 tahun jadi sopir taksi di Dortmund. Kejadian seperti ini sudah biasa. Krisis bisa terjadi kapan saja, di mana saja. Tidak kenal tempat dan waktu,” jawab sopir taksi. Mulutnya terasa asam minta rokok. Ia mengambil kotak permen karet di dalam laci mobil dan menawarkannya ke penumpang yang duduk di belakangnya.

Suasana di jalan berubah menjadi gedung pertunjukan. Orang-orang yang tidak mengenal satu sama lain berkumpul dengan keinginan yang sama: mengetahui akhir sebuah cerita. Sekelompok anak muda ikut bergabung dengan orang yang berkumpul di badan trotoar. Suara mereka terdengar dominan.

“Aku bertaruh 50 euro, gadis itu bakal terjun bebas,” kata seseorang yang hidungnya bengkok pernah patah.

“Kamu tidak pernah punya uang sampai 50 euro, bagaimana mau bertaruh?” sahut yang lain. “Kalau taruhannya 1 malam dengan pacarmu, aku mau ikut.” Derai tawa mereka diikuti oleh tatapan tajam beberapa penonton setengah baya. Tatapan yang menyiratkan ketidakmengertian mengapa kemalangan orang lain bisa dijadikan bahan olokan.

“Hei, diam! Lihat, gadis itu kedatangan tamu. Pasti polisi preman,” kata seorang penonton.

“Mana ada polisi preman? Maksudmu polisi sipil?” komentar yang lain.

Malam sudah sepenuhnya menghampiri hari. Angin dingin akhir bulan Oktober masih membawa tetesan gerimis. Lampu-lampu neon penerang jalan mulai menyala. Terangnya tidak sampai ke atas gedung.

Gadis itu menggigil kedinginan. Tubuhnya gemetar dari kepala sampai ujung kaki. Ia lupa di mana terakhir kali meletakkan mantelnya. Ia sebenarnya merasa sayang, kalau mantel itu hilang. Ia membelinya dengan gaji pertamanya. Pasti tertinggal di kereta api bawah tanah, pikirnya. Ia berniat untuk mengecek di tempat penitipan barang yang hilang. Ia menertawakan kebodohannya. Mengapa harus merasa sayang dengan mantel itu dan bersusah payah mencarinya kembali? Bukankah mulai malam ini ia tidak lagi membutuhkan mantel atau pakaian?

Ia membayangkan bagaimana rasanya terjun dari gedung, ketika tubuhnya melayang di udara dan menghantam trotoar. Kehadiran seorang pria di ambang jendela galeri membuyarkan imajinasinya. Gadis itu merasa terganggu dengan kehadirannya. Ia sedang tidak ingin ditemani.

“Nona, tempat ini basah dan dingin. Apakah Anda menginginkan sesuatu yang hangat?” pria itu memegang sebuah jaket berwarna hitam. “Kalau Anda mau, saya bisa menyediakan secangkir susu cokelat hangat,“ katanya lagi, sambil menjulurkan tubuh.

”Jangan mendekat!“ desis gadis itu.

”Nama saya Ben. Saya akan tinggal di sini sampai Anda berubah pendapat. Saya tidak tahu persis apa yang sedang Anda hadapi. Yang pasti, Anda bisa bicara.”

Gadis itu makin merapatkan tubuhnya ke tembok. Pria itu berbicara dengan nada yang tenang, tapi membujuk. Ayahnya dulu sering berbicara dengan nada seperti itu.

“Nona, Anda kelihatan sangat kedinginan. Dengarkan baik-baik. Saya akan keluar dan menyerahkan jaket ini.” Tanpa memedulikan tatapan protes gadis itu, pria itu keluar dari jendela. Gadis itu ingin mengusirnya, tapi bibirnya sudah mati rasa karena kedinginan. Pria itu meletakkan jaket di sebelah kakinya. Ia melihat kerumunan orang-orang di bawah gedung.

“Lihat orang-orang di bawah situ. Mereka pasti penasaran mengapa Anda bisa sampai ke tempat ini. Masalahnya, tidak semua orang peduli apakah Anda memutuskan untuk melompat atau tidak. Kejadian malam ini, bagaimanapun akhirnya hanya akan dimuat satu hari di satu sudut koran kota, untuk dilupakan,” kata pria itu. Ia berusaha membuat kontak mata dengan gadis itu. Gadis itu menatap jaket yang tergeletak lemas di lantai balkon. Pria itu terus berbicara, seperti bisa membaca pikirannya.

“Suhu di luar hanya 5 derajat. Paling tidak, pakailah jaket itu sebelum basah. Kata orang, pria bukan pendengar yang baik. Cuma isapan jempol. Anda bisa bicara tentang apa saja. Saya tidak akan tertidur, paling akan sedikit mengantuk,” pria itu tersenyum. Seperti geli sendiri mendengar perkataannya.

“Nona, dari sejuta alasan untuk mati, tetap ada satu alasan untuk hidup. Tolong pikirkan sekali lagi. Bagaimana dengan orang-orang yang mencintai Anda? Kalau mereka melihat Anda bergelantungan di tempat ini, pasti mereka sangat cemas.”

“Tidak ada yang peduli,” sergah gadis itu.

“Anda yakin? Coba tolong pikirkan sekali lagi. Mungkin mereka salah satu dari kerumunan itu. Atau di tempat lain? Bagaimana dengan saya? Menurut Anda, saya juga tidak peduli? Percayalah, Nona, saya akan patah hati kalau Anda memutuskan terjun dari gedung ini. Kalau saya tidak sanggup menolong, pasti masih ada orang lain yang sanggup.” Ben yakin gadis itu mendengarkannya.

“Kau berjanji akan menolongku?” tanya gadis itu seperti bergumam pada dirinya sendiri.

“Ya, tentu saja. Tapi, bagaimana saya bisa menolong, kalau Anda masih berdiri di situ? Ulurkan tangan dan jangan lihat ke bawah,” kata Ben, sambil mengulurkan tangan.

Ben tidak menyangka gadis itu berubah pikiran secepat itu. Ia masih melihat keraguan di matanya, sebelum ia mengangkat lengannya. Jari-jemari mereka hampir bersentuhan, ketika seekor burung merpati melesat dari atas atap gedung melintasi mereka. Kepakan sayapnya membawa deru angin dan hawa dingin yang membangkitkan bulu kuduk. Gadis itu menjerit. Suaranya mengejutkan ratusan burung merpati yang bertengger di atap gedung. Mereka terbang berhamburan. Gadis itu berjongkok, sambil mendekap kepalanya dengan tangan. Ia tetap tidak mengubah posisinya, walaupun burung-burung merpati itu sudah kembali bertengger di atap gedung.

“Ayo, Nona, saya tidak mau melihat isi otak terburai di atas trotoar. Percayalah, di bawah sana bukan tempat yang baik untuk mengakhiri hidup,” kata Ben.

Gadis itu perlahan-lahan menurunkan tangannya dari atas kepala. Ben menatap sepasang bola mata yang bergerak liar ke sana-kemari. Seperti mata seekor anak kucing yang sedang ditenggelamkan ke dalam air. Ironis, gadis ini berniat mendatangi kematian, tetapi ketika maut menggoda, ia memberontak.

Pria itu mencari pegangan supaya bisa lebih menjangkau gadis itu. Ia meraih lengan yang kaku seperti sepotong kayu. Ketika menariknya untuk berdiri, tubuh gadis itu gemetar tidak terkontrol. Ia merengkuh dan mendekapnya erat. Gadis itu membenamkan kepalanya dalam-dalam di bahunya. Ben merasa jaketnya mulai basah. Ia tidak tahu apakah karena gerimis atau karena tetesan air mata.

Dari bawah gedung terdengar suara tepuk tangan. Orang-orang yang tadinya bergerombol seperti koloni lebah, mulai memisahkan diri. Satu per satu mereka meninggalkan tempat itu. Lalu lintas mulai bergerak. Semuanya berjalan kembali seperti semula, seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Ben menyerahkan gadis itu ke tenaga medis yang sudah menanti di dalam gedung. Ia menatap punggung dengan jaket hitam kebesaran, sampai bahunya ditepuk oleh seseorang.

“Pekerjaan yang baik, Ben,” kata Alex, partner kerjanya. Ben mengangguk. Satu malam yang panjang kembali berlalu.

Tanpa menyalakan lampu, Ben memasuki apartemen. Setelah melepas sepatu dan jaket, ia berbaring di atas sofa. Bau sisa makanan dari bawah sofa memaksanya kembali bangun. Ia meraih piring sisa kebab yang bagian atasnya sudah dilapisi bercak-bercak berbulu berwarna putih keabuan.

Ia berjalan ke dapur dan membuka kulkas. Tidak banyak pilihan di sana. Hanya beberapa buah tomat mini dan sebuah kotak susu. Ia meraih kotak susu dan membaca tanggal kedaluwarsa. Setelah mengendus isinya, ia yakin susu itu masih bisa diminum. Ia memutuskan untuk sedikit memanjakan dirinya dengan memesan pizza.

Pesawat telepon berkelap-kelip tanda ada pesan. Hanya ada satu pesan yang ditinggalkan oleh seorang direktur sebuah rumah panti jompo. Pesan kedua terdengar suara helaan napas. Ben menduga suara itu adalah suara ibunya. Ibunya ingin mengatakan sesuatu, tapi lupa untuk mengatakan apa yang ingin disampaikan. Bukan hal yang pertama sejak dua bulan terakhir ini.

Pesanan pizza-nya datang 13 menit lebih lambat dari yang dijanjikan di brosur, tapi masih hangat. Ben menyalakan pesawat televisi tanpa membesarkan suara. Ia suka menonton televisi, seperti menyaksikan film bisu. Ia bisa mengganti dialog sesuai dengan kata hatinya. Setelah perutnya kenyang, kelopak matanya kembali terasa berat. Ia meletakkan kardus pembungkus pizza di bawah sofa. Ia berniat memakan sisanya sebagai sarapan besok pagi.

Ben tertidur sampai merasakan hidungnya kemasukan air. Dengan napas tersengal-sengal, ia meraba pergelangan tangan untuk merasakan denyut nadi. Bibirnya masih terasa asin dengan sentuhan aroma daun basil dan oregano. Ia memaki dirinya sendiri. Beginilah akibatnya kalau orang tidur tanpa sikat gigi. Hanya membawa mimpi buruk. Ia menutup jendela yang terbuka. Tidak heran jika ia kedinginan.

Dengan langkah gontai, Ben berjalan ke kamar mandi dan mengamati wajahnya di depan kaca. Ia seperti melihat daging ayam utuh yang baru dikeluarkan dari kulkas. Ben membasuh muka dengan air dan menggosok gigi. Satu jam lagi ia harus memenuhi janji dengan seorang direktur sebuah panti jompo, sesuai dengan pesan yang ia dengar di pesawat telepon.

Dari pengalamannya setelah mengunjungi 5 panti jompo yang berbeda, Ben menyimpulkan, Sabtu pagi adalah hari sebuah panti jompo berubah menjadi tempat pertemuan keluarga. Tidak heran jika semua tempat parkir penuh. Ia memutari lapangan parkir sekali lagi dan mempercepat laju mobil, ketika melihat sebuah mobil bergerak keluar meninggalkan satu celah.

Setelah parkir, Ben mengamati gedung memanjang berlantai empat dengan jendela-jendela kayu bercat putih. Arsitekturnya lebih menyerupai arsitektur hotel berbintang daripada bangunan panti jompo yang pernah ia kunjungi. Ia berhenti sesaat di depan pintu otomatis dan mengibaskan tangan seperti seorang pesulap.
Memasuki gedung itu, Ben benar-benar merasa seperti berada di sebuah lobi hotel berbintang. Ia menghampiri meja penerima tamu dan mengatakan sudah mempunyai janji dengan direktur panti. Penerima tamu mengecek layar komputer dan mempersilakannya untuk menunggu.

Ben bangkit dari tempat duduknya, ketika dua orang pria menghampirinya. Pria berdasi setengah baya memperkenalkan dirinya sebagai pimpinan panti jompo, sementara pria yang berdiri di belakangnya adalah asistennya. Asisten itu yang akan memandu kunjungan Ben di panti jompo dan menjawab pertanyaan. Ben mengangguk. Pria berseragam putih seperti seorang perawat itu mempersilakan Ben untuk mengikutinya. “Kami tidak menamakan tempat ini panti jompo, melainkan kediaman ‘Vivaldi’, rumah untuk para senior. Kami menawarkan kamar dan apartemen pribadi. Setiap kamar dilengkap­i kamar mandi sendiri, balkon, pesawat telepon dan televisi.” Pria itu membuka satu kamar dan menunjukkan isinya.

“Beberapa unit apartemen dibangun menyerupai paviliun kecil. Lengkap dengan ruang tamu, meja makan dan dapur,” lanjutnya lagi, sambil menunjuk sederet paviliun yang dibangun di sisi gedung utama dari jendela. “Selain itu kami juga menyediakan fasilitas dapur umum, ruangan untuk acara keluarga, kapel, salon, ruang fitness dan rehabilitasi. Setelah ini, saya akan menunjukkan fasilitas yang lain,” katanya, sambil mempersilakan Ben masuk lift.

“Bagaimana dengan kegiatan di luar?” tanya Ben, sambil mengamati kolam renang berbentuk segi empat dari dinding kaca. Ukurannya cukup besar untuk menampung seluruh penghuni panti.

”Secara teratur kami menyediakan kegiatan di luar, seperti menonton konser, kursus dansa dan tur luar kota. Kami bahkan memiliki kendaraan bus sendiri untuk keperluan tersebut.” Sebuah melodi terdengar dari arah kantong celana perawat tersebut. Tergopoh-gopoh pria itu mengambil telepon genggam. Setelah mengatakan ‘ya’ dan ‘segera’, pria itu meminta maaf karena ada hal mendadak yang harus diselesaikan.

Ben melaju meninggalkan Kota Dortmund. Tanah yang tadinya datar dengan bangunan-bangunan tinggi, berganti dengan kawasan berbukit. Di sisi jalan hanya terlihat pohon-pohon yang tumbuh liar menyerupai hutan. Beberapa saat kemudian, ia berbelok menuju Ennepetal, tempat kelahirannya.

Di sisi jalan terdapat sederetan rumah berbentuk bujursangkar dengan atapnya yang lancip. Rumah-rumah itu semuanya berwarna abu-abu. Beberapa bekas pabrik sisa kejayaan zaman industri masih berdiri di sisi jalan. Memasuki pinggiran kota, terlihat beberapa rumah perternakan dengan padang rumput yang dibatasi oleh pagar kawat. Di musim panas orang bisa melihat sapi dan kuda di padang rumput tersebut.

Ben berbelok ke salah satu perternakan. Ia sudah tahu apa yang akan dikatakan ibunya. Ia harus mencuci tangan dan segera duduk di meja makan, sebelum masakannya dingin. Ia membuka pintu. Hari ini ia tidak mendengar apa pun. Ia hanya mencium bau masakan yang minyaknya sudah habis menguap. Ben bergegas menuju dapur. Asap dan bau gosong membuatnya terbatuk-batuk. Di atas wajan terdapat gumpalan daging yang sudah menyerupai batu bara. Ia tidak tahu berapa lama wajan itu sudah berada di atas kompor. Yang ia tahu gagang wajan itu sudah begitu panas, sehingga melemparkannya begitu saja ke tempat cucian piring.

Karena tidak menemukan seorang pun di rumah, Ben pergi ke kandang ternak. Semasa ayahnya masih hidup, perternakan itu menampung beberapa ekor kuda, dua lusin domba, dan sapi perah. Tidak terhitung ayam, bebek, dan kelinci. Di kandang ia menemukan ibunya sedang memberikan botol susu ke seekor anak sapi. Bau jerami yang berbaur dengan bau kotoran hewan menjadi ciri khas ruangan yang dinding dan atapnya terbuat dari kayu.

“Gitte, lihat, Ben sudah datang. Ben, perkenalkan ini Gitte, anggota keluarga kita yang terbaru,“ kata Nyonya Hiller.

“Ma, kau lupa mematikan kompor lagi,“ kata Ben. Ia heran dari mana ibunya mendapatkan anak sapi tersebut.

“Astaga, makan apa kita hari ini?“

“Bukan itu yang aku khawatirkan, Ma. Kalau rumahmu terbakar bagamana?“ jawab Ben. Ia melihat ibunya masih mengenakan gaun tidur. Ia menyesal mengapa ia tidak mengenakan jaketnya. Paling tidak ia bisa meletakkan di bahu ibunya.

“Dari mana kau dapatkan sapi ini?“ tanya Ben, sambil meneliti anak sapi itu dari belakang. “Ma, kau sudah menamai anak sapi jantan ini Gitte?“ ia mengambil botol susu dari tangan ibunya.

“Kenapa tidak Ben? Lihat matanya, bukankah seperti mata nenekmu. Makanya, aku namakan seperti nama nenekmu, Brigitte. Keluarga Weinberger tidak memerlukan anak sapi jantan. Daripada dijadikan steak, aku adopsi saja. Kau harus bertemu dengan Annika,“ nada suara ibunya terdengar bergairah.

“Siapa Annika?“ tanya Ben, menuntun ibunya ke rumah.

“Dokter hewan yang menolong kelahiran Gitte. Orangnya cantik sekali.“

“Ke mana Dokter Hildegard?“ tanya Ben.

“Apakah aku tidak mengatakan kepadamu, Ben? Ia sudah pensiun. Anak perempuannya menggantikan pekerjaan ibunya.“

“Aku tidak tahu kalau Dokter Hildegrad punya anak perempuan,”.

“Tentu saja kau tahu. Kalian pernah bertemu di ruang praktik dokter. Waktu itu kau membawa kelincimu yang sakit.“

“Ah, Annika yang itu? Aku sudah lupa. Lagi pula, saat itu umurku baru tujuh tahun.“ Ben melihat ibunya mengambil daging giling dari kulkas. “Ma, kau tidak perlu membuat perkedel daging lagi. Bagaimana kalau kita pergi ke restoran untuk makan siang? Aku tadi lewat restoran Blaue Ente. Aku jadi bernafsu untuk makan bebek panggang.“

“Blaue Ente? Bulan kemarin aku mengajak Gisela ke sana. Kau tahu anak itu sudah banyak membantuku mengurus perternakan. Rasa sausnya sudah berbeda. Aku yakin mereka memakai bumbu instan. Aku tidak menentang bumbu instan. Aku sendiri kadang memakainya. Tapi, kalau aku harus membayar 20 euro untuk satu piring, itu namanya penipuan,” sungut wanita itu. “Astaga, Ben, aku lupa kalau sudah memasukkan kentang panggang di oven!”

“Jangan khawatir, Ma, ovennya sudah aku matikan,“ kata Ben.

“Nah, apa salahnya kalau hari ini kita berpura-pura menjadi vegetarian?“ kata Nyonya Hiller.

Seperti biasa, selesai makan, Ben membawa piring dan gelas kotor ke tempat cucian. Sementara ibunya merebus air untuk menyeduh kopi, ia akan mencuci, mengelap, dan meletakkan piring dan gelas di lemari. Satu bulan setelah kematian ayahnya, ia mengunjungi ibunya setiap hari Sabtu untuk makan siang bersama. Kebiasaan mereka di hari Sabtu menjadi sebuah ritual yang tidak bisa diganggu gugat atau dibatalkan, karena alasan apa pun.

“Apakah kau sudah membaca brosur yang aku bawa?” tanya Ben.

“Kau masih mau mengirimku ke panti jompo?” sahut ibunya

“Ma, tempat itu bukan panti jompo. Mereka menyebutnya kediaman para senior. Pagi ini aku sudah melihat satu tempat lagi. Bagus sekali, seperti hotel berbintang lima,“ Ben mengeluarkan brosur dan meletakan di atas meja. “Bagaimana dengan rumah sosial? Kau bahkan bisa memiliki apartemen sendiri.“

“Maksudmu aku harus menjual rumah ini? Kalau ayahmu tahu, ia bisa bangkit dari kubur! Satu-satunya orang yang berhak menentukan hidupku adalah aku sendiri, Ben.“

“Ya, bagaimana kau menjelaskan pihak asuransi dan polisi, jika rumah ini terbakar atau kebanjiran karena kau lupa mematikan keran?“ nada suara Ben mulai tinggi.  “Maaf, Ma, aku hanya khawatir denganmu. Aku tidak bisa seharian di sini untuk mematikan kompor dan keran.“

“Kalau sudah waktunya nanti, kau hanya perlu mengantarkanku ke Swiss. Di sana aku bisa mati dengan harga diri. Aku tidak harus menjadi pikun. Aku bisa mati dengan tenang, tanpa rasa sakit lagi. Kalau perlu aku sendiri yang akan menghubungi organisasi kemanusiaan Dignitas. Mereka akan mencarikan dokter yang bersedia memberiku pil yang membawaku ke nirwana,“ kata wanita itu, sambil membuka lemari dan mengambil guntingan koran.

“Kau sudah memintaku untuk mengantarkanmu bunuh diri,“ Ben membaca sekilas judul artikel itu: dukungan terhadap kematian. Sementara orang-orang tua di negara Swiss berhak bahkan mendapat dukungan untuk mengakhiri hidup, di Jerman tema ini menjadi bahan perdebatan dari segi etik, moral, dan hukum.

“Tenang saja, Ben, di Jerman orang tidak bakalan dihukum kalau membantu orang bunuh diri.“

“Aku tahu itu, tapi tolong pikirkan lagi mengenai kediaman para senior. Paling tidak dilihat dulu,“ Ben harus mengakhiri percakapan mereka, sebelum perutnya mulas didera perasaaan bersalah, karena tidak mampu untuk terus-menerus mengawasi ibunya.

“Ah, aku baru ingat kalau masih ada pekerjaan. Aku harus kembali ke markas,“ kata Ben tiba-tiba.

“Sejak kapan kau bekerja di hari Sabtu, Ben?“ wanita itu mengan­tarnya sampai ke pintu. Sejak hari ini, pikir Ben. Ia menge­nakan jaketnya.

“Apakah Tim juga memiliki tahi lalat di lehernya sepertimu, Ben?“ ibunya mengamati tahi lalat di leher, seperti baru pertama kali melihatnya.

“Tidak, Ma, setahuku Tim tidak punya tahi lalat di leher. Aku datang lagi minggu depan, jam yang sama,“ jawab Ben.

“Kau harus bertemu dengan Annika. Da cantik sekali. Aku bisa membuatkan janji dengannya. Jangan mendekam terus di markas dan tempatmu yang bau jamur itu,“ sahut ibunya.

“Aku akan pikirkan, jangan lupa untuk meneleponku,“ kata Ben. sebelum menutup pintu. Sejak hubungan asmaranya dengan seorang dokter gawat darurat kandas, ibunya tidak berhenti mengatur pertemuan dengan wanita yang sama sekali tidak ia kenal. Setelah berpikir sejenak, Ben memutuskan untuk benar-benar pergi ke markas.

Setelah menyapa rekannya yang bertugas, Ben memasuki ruang arsip. Ia mencari berkas sesuai dengan nama pasien yang diberikan oleh pihak rumah sakit. Sommer, Katrin Ariana. Ben menemukan beberapa arsip dan menyusunnya secara kronologis. Setelah membuat secangkir kopi, ia menuju ke mejanya.  Arsip pertama berisi laporan pengaduan yang dibuat oleh ayah Katrin.

Herman Sommer melaporkan istrinya, Reny Silvana Sommer, dengan tuduhan telah menculik putri tunggal mereka. Sudah tujuh bulan istrinya telah membawa Katrin ke negaranya dan belum kembali ke Jerman sesuai dengan janji. Ben melihat selembar kliping yang digunting dari koran lokal, yang memuat Herman Sommer tengah menggendong anak perempuannya. Ia mengecek tanggal terbitan koran tersebut. Dibuat kira-kira satu tahun setelah aduannya diterima oleh pihak kepolisian. Seorang telah menempelkan kliping itu sebaga tanda bahwa kasus telah selesai.  

Menurut hasil penyelidikan, setiap tahun di Jerman terjadi 2000 kasus penculikan anak serupa. Anak-anak yang menghilang biasanya dibawa keluar negeri oleh salah satu pihak orang tua. Untuk mengatasi masalah tersebut, Jerman telah membuat kesepakatan Haager dengan 72 negara. Isinya mengatakan bahwa anak yang diculik harus secepat mungkin dikembalikan ke negara asalnya. Apakah Indonesia termasuk kepada 72 negara tersebut? pikir Ben.

Ia tahu benar bagaimana sulitnya pihak interpol melacak jejak anak-anak yang dibawa pergi. Ben membuka arsip berikut. Dibuat atas dasar tuduhan penganiayaan dan penelantaraan Herman Sommer terhadap Katrin Sommer. Saksi: Sabine Krass, guru sekolah dasar. Hasil visum dan foto-foto menunjukkan adanya trauma akibat pemukulan pada tubuh Katrin di bagian lengan dan punggung. Tidak ditemukan bukti tanda-tanda pelecehan dan penganiayaan secara seksual. Lembar berikutnya; pencabutan hak perwalian Herman Sommer oleh pihak pengadilan.

Membaca berkas-berkas kepolisian, bagi Ben seperti menjelajahi kisah hidup seseorang termasuk rahasianya yang paling dalam secara legal. Salah satu kegiatan yang paling ia sukai dari pekerjaannya sebagai polisi. Berkas yang ketiga dibuat oleh pihak kepolisian sehubungan dengan proses penyelidikan kematian Mathilde Sommer. Dibuat saat Katrin berusia 14 tahun.

Pihak kepolisian telah memintanya pulang dari kontes matematika junior se-Jerman di Stuttgart, untuk mengidentifikasi jenazah neneknya. Berdasarkan pengaduan tetangga tentang bau yang tidak sedap dari apartemen sebelah, polisi membuka paksa kediaman Mathilde Sommer. Mereka menemukannya sudah terbujur kaku di ranjang. Pihak kepolisian tidak menemukan adanya tanda kekerasan di apartemen tersebut. Hasil otopsi menunjukkan bahwa kematian Mathilde Sommer sudah tiga hari dan disebabkan oleh serangan jantung.

Bagaimana nasib Katrin setelah itu tidak diketahui. Ben menduga sudah pasti ia diserahkan ke orang tua asuh atau ke rumah yatim piatu. Ia meraih berkas terakhir. Pengaduan yang berisi tentang tuduhan pencurian yang dilakukan oleh Katrin Sommer di sebuah supermarket. Pengaduan itu sudah ditarik lagi. Ben sudah beratus kali membaca berkas-berkas serupa. Satu hal telah membuat gadis itu berbeda: tatapan mata­nya di atas gedung itu muncul dalam mimpi Ben yang terburuk.

Hari Senin, pukul 9. 12. Ben sadar, seharusnya ia sudah berada di markas. Ia mengetuk sebuah pintu kamar. Karena tidak ada jawaban, ia kembali ke resepsionis dan bertanya tentang pasien di kamar 17. “Kalau tidak di kamar, ya, di luar,” sahut petugas resepsionis rumah sakit.

Ben melihat gadis itu sedang duduk di atas bangku. Matanya terpejam, menikmati sinar matahari terakhir musim gugur. Ia masih mengenakan jaket hitam pemberian Ben.

“Selamat pagi,“ sapa Ben. Gadis itu membuka mata dan memandangnya beberapa saat seperti tidak mengenalinya. Ben tidak terganggu dengan situasi seperti itu. Malam itu bukan malam yang tepat untuk berkenalan.

“Hai, selamat pagi,“ suaranya serak, seperti ada gumpalan lendir di tenggorokannya.

“Aku berharap para staf di sini memperlakukan Anda dengan baik,“ kata Ben dengan nada perhatian. Gadis itu tersenyum tapi hanya dengan bibirnya.

“Jangan khawatir, Pak Detektif. Kalaupun mereka memperlakukanku dengan tidak baik, aku tidak akan melihat bedanya. Sudah biasa. Tolong berhenti memanggilku dengan sebutan ’Anda’. Membuatku merasa sudah tua,“ jawab gadis itu.

“Namaku juga bukan Pak Detektif, tapi Benhard Hiller. Kau bisa memanggilku Ben.“

“Katrin“

Tanpa dipersilakan, Ben duduk di sebelah gadis itu. Ia meneliti profilnya untuk mencari kesesuaian dengan laporan yang sudah dibacanya.

“Pihak kepolisian sudah berhasil menemukan siapa yang memfitnahmu,“ kata Ben, memecah keheningan. Usahanya untuk membuat gadis itu menyadari keberadaannya sepertinya berhasil.

“Peristiwa di supermarket tersebut?” tanya gadis itu. Wajahnya yang pucat seperti kapur masih terlihat tanpa ekspresi. Kelopak matanya setengah tertutup. Ben bertanya-tanya dalam hati, apakah ia berada di bawah pengaruh obat penenang.

“Aku sudah tidak peduli lagi. Lagi pula, aku sudah berhenti dari supermarket tersebut,“ kata gadis itu. Ia sebenarnya tidak yakin, apakah ia betul-betul tidak peduli dengan peristiwa itu.

Ia mengingat kembali kejadian di malam itu, sebelum ia memasuki ruang galeri. Berapa tahun ia sudah bekerja di supermarket tersebut? Hari-harinya selalu sama sampai pengawasnya menemukan beberapa barang milik supermarket di tasnya. Ia selalu menyimpan tas itu di lemari penyimpanan barang pekerja. Ia sendiri tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di dalam tasnya terdapat parfum, radio, makanan kecil, sampai sikat gigi. Ia tidak mengerti sama sekali bagaimana barang-barang itu sampai di tasnya.

“Saya selalu memperhatikan gerak-gerik Anda. Anda selalu datang lebih pagi dan pulang lebih lama dari pegawai yang lain,” cetus pengawasnya. “Apa yang Anda lakukan di ruang ganti pegawai sebelum dan sesudah jam kerja patut dicurigai. Akui saja, Nona Sommer. Kecuali, Anda menginginkan kesulitan dengan pihak kepolisian,” lanjut pengawasnya.

Bagaimana ia bisa menjelaskan bahwa ia merasa lebih baik menghabiskan waktunya di ruang ganti daripada di kamarnya sendiri? Katrin enggan berbicara tentang hal itu. Ia tidak mempunyai kewajiban untuk menceritakan hidupnya kepada orang asing, sekalipun itu pengawasnya.

”Anda tentu sibuk membereskan barang-barang yang Anda kutil dari supermarket di ruang ganti!” bentak detektif swasta ikut campur.

Saat itu Katrin merasa seperti seorang serdadu yang memutuskan untuk melakukan aksi disersi. Mogok bertempur dan memilih melarikan diri. Tanpa banyak berkata-kata, ia meminta surat pemberhentian diri. Ketika pengawasnya menyodorkan kertas pengakuan mencuri, ia melirik dan menandatanganinya. Ia hanya ingin sesegera mungkin keluar dari ruangan ini. Satu-satunya hal yang menganggu adalah pertanyaan apa yang ia harus lakukan esok hari. Bukankah selama ini pekerjaannya yang telah memaksanya untuk bangun di pagi hari? Tidak peduli yang ia inginkan hanyalah tetap tidur dan tidak pernah bangun lagi?

Tanpa melihat tujuan, Katrin naik kereta api bawah tanah sampai stasiun terakhir. Di sana ia melihat lampu-lampu reklame di salah satu gedung. Sinarnya yang berkelap-kelip mengundangnya untuk datang.

“Salah satu rekan Anda sudah mengakui perbuatannya. Ia tidak bisa mengelak lagi. Diam-diam, pemilik supermarket, tanpa sepengetahuan siapa pun, telah menginstalasi kamera di ruang ganti karyawan. Satu hal yang sebenarnya melanggar hak individu, tapi hal itu telah menolong membersihkan namamu,” suara Ben menyadarkannya kembali.

“Kapan boleh pulang?” tanya Ben.

“Hari ini,” jawab Katrin.

“Perlu diantar?” tanya Ben, sambil bangkit dari kursinya.

“Tidak. Bukankah kau seharusnya bekerja?” tanya gadis itu.

”Kalau perlu sesuatu, tolong hubungi aku. Apa saja,“ Ben mencoba menangkap emosi di kedua bola mata yang tertuju padanya.

Katrin memejamkan matanya kembali. Ia menikmati cahaya matahari terakhir, sebelum musim gugur menjarah habis sisa-sia kehangatan musim panas tahun ini. Ia masih ingat tempat ia bisa menikmati cahaya matahari sepanjang tahun. Satu tempat jauh di belahan bumi lain, di ekuator.

Untuk pertama kalinya ia benar-benar memperhatikan matahari dari jendela pesawat terbang. Ia terpesona dengan bola api berpigura warna emas dan perak yang menyala-nyala. Waktu itu ia ingin sekali membangunkan ibunya yang sedang tidur di sebelahnya. Ia sebenarnya juga mengantuk, tapi tidak bisa memejamkan matanya. Rasanya sudah lama sekali mereka duduk di dalam pesawat. Ia bahkan sudah mengarang kata-kata yang akan ia ucapkan, kalau bertemu dengan nenek, sepupu, paman, dan bibinya. Selama ini ia hanya mendengar cerita tentang keluarganya dari mulut ibunya. Ia tidak lagi merasa sendirian.

Menjadi anak tunggal sebenarnya tidak terlalu jelek. Ia tidak perlu membagi perhatian dan kasih sayang orang tuanya kepada orang lain. Sejak lahir sampai usia lima tahun, ia tinggal di sebuah apartemen dengan tiga kamar di Dortmund. Setelah mempertimbangan banyak hal, orang tuanya akhirnya memberanikan diri untuk membangun sebuah rumah. Tidak sebesar rumah walikota, tapi rumah sendiri, kata ayahnya.

Untuk itu, ayahnya mengambil kredit di beberapa bank. Waktu itu ayahnya sudah tiga tahun memulai usaha wiraswasta sebagai penasihat pajak. Usahanya sepertinya menjanjikan. Ia mempunyai klien tetap. Ibunya memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Setelah proyek pembangunan rumah dimulai, ibunya
memutuskan untuk bekerja sebagai tenaga bersih-bersih di sebuah kantor arsitek. Dengan modal tiga bulan kursus bahasa Jerman, ia sudah beruntung bisa mendapatkan pekerjaan tersebut.

Untuk menghemat biaya, mereka membeli sebidang tanah di luar kota dan berniat untuk membangun sendiri rumah tersebut. Ayahnya menghabiskan setiap menit dari waktu luangnya untuk membangun rumah. Katrin menganggap tumpukan batu, semen, dan kayu sebagai tempat bermain yang tidak terbatas. Waktu itu ia masih terlalu kecil untuk menyadari bahwa pembangunan rumah itu sudah menggerogoti syaraf kedua orang tuanya. Ia heran mengapa mereka satu sama lain mulai berteriak, seperti pada hari ulang tahunnya yang keempat.

“Aku tidak sanggup lagi, kalau aku harus mengerjakan semuanya sendiri,” kata ayahnya kepada ibunya.

“Oh, jadi maksudmu aku sama sekali tidak mengerjakan apa-apa, cuma menonton? Kau pikir pekerjaanku hanya bersih-bersih di kantor saja? Siapa yang mengerjakan pekerjaan rumah? Kau kira semuanya berjalan otomatis? Aku seharusnya mogok kerja sehari, biar kau sesekali bisa menghargai pekerjaan rumah tangga,” sahut ibunya pedas.

“Kalau saja kamu mau belajar bagaimana memasang lemari dapur yang kau pesan, aku akan sangat berterima kasih.”

“Her, mana bisa kau menyuruhku untuk mengebor tembok dan menggantung lemari-lemari dapur itu,” kata ibunya setengah terisak.

“Kenapa tidak? Yang kau perlukan cuma membaca dan mengikuti instruksinya saja. Makanya belajar kalau tidak mengerti bahasanya. Semua perencanaan keuangan meleset. Aku sudah tidak tahu lagi bagaimana menutupi biaya yang membengkak,” jawab ayahnya.

Percakapan seperti itu biasanya berakhir dengan teriakan ayahnya dan tangisan ibunya. Lama-kelamaan, ibunya tidak lagi menangis tapi membalas teriakan ayahnya dengan suara yang lebih keras. Ia mulai mengancam untuk meninggalkan ayahnya. Satu-satunya hal yang ia takutkan adalah berpisah dengan Katrin, tapi tidak dengan ayahnya. Ayahnya menjawab ia boleh pergi sesukanya, tapi jangan pernah berpikir untuk membawa Katrin.

Sewaktu mereka pindah ke rumah yang baru, rumah itu belum sepenuhnya jadi. Di sana-sini masih ada bagian yang harus diselesaikan. Teras yang belum dibangun, balkon yang masih dipulas semen. Rumah itu dibangun dengan fondasi hubungan orang tuanya yang sudah retak. Ayahnya dari hari ke hari makin menarik diri. Ia menghabiskan waktu dengan duduk berjam-jam di ruang kerjanya. Ia makin jarang menerima klien. Kadang-kadang ia menghilang di ruang bawah tanah. Katrin hanya melihat beberapa koleksi minuman keras mendiang kakeknya dalam botol-botol miniatur mulai kosong.

Sebagai kompensasi, ibunya terus menghias dan memenuhi rumah dengan barang-barang yang mengingatkannya pada kampung halamannya. Walaupun ia sudah mulai kehabisan tempat untuk meletakkan pot-pot bunga di dalam rumah, ia tetap mengumpulkan tanaman anggrek, pohon pisang, serai, cabai, tomat hijau, bahkan pohon avokad. Suatu hari ayahnya memutuskan untuk menjual rumah tersebut.

“Aku tadi pergi ke bank dengan maksud mengambil kredit baru. Kau tahu apa yang dikatakan pegawai bank? Kita lebih baik menjual rumah itu daripada mengambil kredit baru. Utang kita di bank sudah terlalu menumpuk, tidak bisa lagi mengambil kredit.

“Bagaimana kalau aku bekerja penuh, Her? tanya ibunya.

“Siapa yang akan mengurus Katrin? suara ayahnya mulai keras.

“Aku bisa titipkan di tempat penitipan anak. Ada ibu asuh di sekitar sini, aku sudah membacanya di koran.

“Dan membiarkan anakmu dididik oleh orang lain? Lagi pula, biaya penitipan anak tidak sedikit. Dengan gajimu yang tidak seberapa, kau hanya akan membuang uang dari jendela. Kita jual saja rumah ini. Aku sudah tidak sudi lagi membayar angsuran kredit. Berapa tahun aku baru bisa melunasi utang tersebut? Dua puluh, tiga puluh tahun? Sampai masuk liang kubur pun tidak akan lunas.

“Her, tolong dipikirkan lagi. Aku sudah membuat sepotong kampung halaman di tempat ini. Sayang kalau kita harus mulai dari awal lagi. Bagaimana dengan ibumu, mungkin ia bisa sedikit menolong.

“Ibuku jangan disangkut-pautkan dengan urusan rumah ini. Dari uang pensiunnya kau tidak bisa berharap banyak. Kau tahu sendiri, ayahku cuma mewariskan koleksi botol kecil minuman keras. Kalau kau punya utang segunung, hidup di kampung halamanmu sendiri pun tidak bakalan nyaman, sahut ayahnya. Ibunya terdiam.

Berbulan-bulan ibunya menolak usul ayahnya untuk menjual rumah itu. Ayahnya sama sekali sudah menggantungkan palu dan gergaji. Entah atas pertimbangan apa, ibunya akhirnya menyetujui usulan untuk menjual rumah. Ia mengatakan, untuk liburan musim panas kali ini, ia ingin sekali membawa Katrin pulang ke Indonesia. Sejak membangun rumah, keuangan memang selalu pas-pasan. Tapi, ia sudah tidak pulang selama empat tahun. Ia menyetujui untuk menjual rumah itu, dengan syarat ayahnya harus menunggu sampai mereka kembali. Hanya satu bulan, janji ibunya. Ayahnya menyetujui. Awal pelarian Katrin.

Setelah bertemu dengan kakek dan neneknya di Bogor, Katrin diajak ibunya hidup berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat lain. Hanya dalam hitungan minggu, mereka menetap dari keluarga satu ke keluarga lain. Katrin selalu bertanya tentang keberadaan ayahnya. Ibunya menjawab, ayahnya tidak bisa ikut karena harus bekerja. Mereka harus sedikit bersabar.

Lama-kelamaan ibunya membentaknya, setiap kali ia bertanya tentang ayahnya. Walaupun kerinduannya hampir tidak tertahankan, Katrin lagi-lagi berani bertanya. Akhirnya ibunya memilih tinggal di keluarga pamannya yang memiliki usaha penginapan terapung di Karimunjawa. Di tempat itu Katrin didaftarkan di salah satu taman kanak-kanak.

Katrin sudah menganggap tempat itu sebagai rumahnya, sampai suatu hari dua orang turis berjalan di depan taman kanak-kanaknya. Ia begitu senang, karena ia mengerti bahasa mereka. Ia berteriak selamat pagi dalam bahasa tersebut. Kedua turis itu menjawabnya. Sejak kedatangan mereka di Indonesia, ibunya tidak pernah mau berbicara dan mendengar bahasa itu lagi. Ia begitu senang bisa berbicara lagi dengan bahasa ayahnya, sampai ia tidak keberatan untuk difoto.

Satu tahun setelah peristiwa itu, ayahnya berdiri di depan pintu kelas. Ia tidak sendirian. Beberapa laki-laki berpakaian dinas menyertainya. Pertama melihat, Katrin hampir tidak mengenalinya lagi. Setelah keraguannya hilang, ia berteriak kegirangan dan berlari memeluk ayahnya. Laki-laki itu mengatakan, ia akan membawanya pulang. Tapi, tempat ini rumahku, jawabnya. Ayahnya menggeleng.

Tanpa mengemasi barang-barangnya, ayahnya membawanya pergi. Di rumah yang baru sudah menanti baju-baju dan mainan yang lebih bagus, bujuknya. Katrin hanya sempat melambaikan tangan kepada teman-temannya dan ibu guru Hermin yang berdiri di halaman. Ia ingat benar bagaimana ibunya memanggilnya di sepanjang pantai. Ia berlari mengejar kapal ferry yang membawa mereka pergi. “Ari... Ari...! teriak ibunya di dermaga. Hanya ibunya yang memanggilnya dengan nama tersebut.

“Nona Sommer!’’ Katrin mendongak. Ia melihat Dokter Klaus sudah berdiri di depannya. “Selamat pagi, Nona Sommer, bagaimana perasaanmu hari ini? tanya psikiater yang menangani Katrin di rumah sakit. Tanpa mengenakan jas panjang putih, Dokter Klaus terlihat seperti pensiunan yang biasa membeli telur atau sayur di supermarket atas suruhan istri mereka.

“Baik, jawab Katrin.

“Setelah pertemuan terakhir, aku tidak menemukan alasan untuk menahanmu di tempat ini. Asal berjanji untuk datang ke pertemuan berikut, hari ini kau boleh pulang. Kau bisa langsung berbicara dengan Nyonya Reuter untuk mengatur pertemuan berikut. Apakah aku sudah menulis resep untukmu? tanyanya

Katrin mengangguk. Ia seakan bisa mencium bau yang akan menyerbak dari pori-pori tubuhnya, setelah satu minggu meminum butiran pil. Bau kamar mandi rumah sakit setelah dibersihkan dengan karbol. Setelah membuat janji untuk pertemuan berikut, ia berjalan kaki menuju stasiun kereta api bawah tanah. Setelah melewati dua stasiun, Katrin turun di stasiun utama Dortmund. Di belakang stasiun itu terdapat kawasan Nordstadt, sebuah tempat bernama Borsigplatzviertel.

Ayahnya tidak membawanya kembali ke rumah yang dibangun dengan tangannya sendiri. Ia membawa Katrin ke Nordstadt. Enam bulan setelah kepergian istri dan anaknya, ayahnya memutuskan untuk mencari mereka dengan usaha sendiri. Ia sebenarnya keberatan dengan tawaran pertama yang jauh lebih rendah dari permintaannya. Tapi, ia memerlukan uang sesegera mungkin dan tidak punya banyak waktu untuk menunggu tawaran-tawaran berikutnya. Setelah melunasi sebagian utang di bank, ia menggunakan sisanya untuk mendanai pencarian anak dan istrinya.

Ia pergi ke Indonesia dengan harapan bisa membawa mereka pulang kembali. Usahanya untuk mendapatkan informasi dari keluarga istrinya, seperti membentur tembok. Mereka bahkan mengancam akan melapor ke polisi, jika melihatnya kembali di pintu rumah mereka. Setelah hampir kehilangan pengertian dan akal sehat, ia kembali ke Jerman dan memberanikan diri untuk pergi ke salah satu stasiun swasta di Koln. Ia meminta supaya usaha pencarian anaknya ditayangkan dalam acara ‘Mencari Kekasih yang Hilang’.

Jalan terakhir yang bisa ia pikirkan ternyata membuahkan hasil. Sepasang mahasiswa yang baru kembali dari perjalanan mengelilingi Indonesia menghubungi redaksi stasiun televisi. Mereka menunjukkan foto seorang gadis kecil yang mereka buat di Karimunjawa. Wajahnya sama dengan foto yang terpampang di layar televisi.

“Kalau Papa sudah punya pekerjaan lagi, kita pindah dari tempat ini,” kata ayahnya, saat mereka memasuki apartemen yang cat dindingnya sudah mengelupas. Dari uang hasil penjualan rumah, tidak banyak lagi yang tersisa. Hanya cukup untuk membayar beberapa bulan sewa di kawasan Nordstadt dan berlusin-lusin minuman keras. Katrin tidak pernah bisa menyalahkan ayahnya karena terlalu banyak minum. Ayahnya memerlukan sesuatu untuk menghibur diri dari hidup dan segala persoalannya.

Katrin melewati blok-blok bangunan terbuat dari beton. Sesekali ia melihat ke atas, kalau-kalau ada penghuni yang melempar ‘sesuatu’ dari atas. Kadang-kadang mereka melempar sampah plastik, bahkan sofa yang sudah lawas. Mobil sampah menyambangi wilayah itu tiga kali lebih sering dari wilayah lain. Dari jendela yang terbuka, terdengar musik dengan irama hip-hop dan oriental. Beberapa anak kecil tanpa pengawasan orang tua, bermain bola di halaman gedung. Mereka berbicara dengan semua bahasa, kecuali bahasa Jerman. Enam puluh persen penghuni tempat itu mempunyai latar belakang imigran. Imigran dari Turki, dari Eropa Timur, dari mantan negara-negara Uni Sovyet, yang menemukan tempat baru untuk beranak-pinak.

Seperti ayahnya, rata-rata penghuni Nordstadt menyandang stigma sebagai pencari kerja. Dengan predikat tidak berpendidikan dan miskin, mereka seperti ditulah untuk tetap menjadi pengangguran. Mereka hidup dari tunjangan sosial yang sebagian besar dihabiskan untuk konsumsi rokok dan minuman keras. Meskipun anak-anak mereka pergi ke sekolah dengan perut kosong, orang tua mereka tidak bisa melepaskan kenikmatan terakhir yang mereka bisa dapat.

Katrin sendiri tidak tahu alasan sebenarnya mengapa ia memilih untuk kembali ke tempat itu. Mungkin karena harga sewa kamar yang rendah dibanding dengan tempat lain, mungkin karena ia merasa senasib dengan anak-anak yang lahir dan besar di tempat itu. Mungkin juga karena ia rindu dengan sesuatu yang ia kenal, sesuatu yang tidak membuat dirinya harus beradaptasi. Di tempat itu ia belajar dari ayahnya untuk hidup mandiri.

Ketika memasuki sekolah dasar, ia sudah terbiasa untuk bangun pagi dan mempersiapkan sarapannya sendiri. Kalau persediaan roti masih cukup, ia akan membawanya untuk bekal di sekolah. Kalau ayahnya sudah terlalu mabuk, ia yang membeli makanan di supermarket. Ayahnya mengatakan, satu-satunya orang yang bisa ia andalkan adalah dirinya sendiri.

Masalahnya, dari hari ke hari ayahnya makin sering mabuk. Awalnya ia menganggap gurunya sebagai pengkhianat, karena mengadukan ayahnya ke departemen sosial. Ibu guru Sabine pasti tidak tahu, bagaimana rasanya harus berpisah dua kali dengan orang yang disayangi. Ketika pegawai sosial menjemputnya untuk dititipkan di rumah neneknya, ayahnya hanya menatapnya dengan pandangan kosong dari jendela. Sejak saat itu ia hanya sesekali bertemu dengan ayahnya, sampai kematiannya karena penyakit radang paru-paru.

Katrin merasa senang bisa melihat neneknya setiap hari. Dulu ia hanya mengunjunginya setiap bulan. Neneknya tinggal sendirian di sebuah apartemen lama di Kota Wuppertal. Baru saja ia merasa bahwa hidupnya berjalan sebagaimana mestinya, ia harus menguburkan neneknya. Ia tidak pernah mengutuki dan menghina dirinya sendiri, sampai ia mengidentifikasi jenazah neneknya di rumah sakit.

Sejak saat itu ia merasa tubuh dan pikirannya berubah menjadi lokasi bencana alam. Apakah karena neneknya pergi sambil membawa tawanya yang terakhir atau lebih karena masa pubertas, ia tidak pernah tahu. Ia tidak pernah bertanya pada orang tua asuhnya mengapa masa remajanya penuh jerawat, tindik dan depresi. Ia mulai kehilangan minatnya terhadap sekolah dan memilih berkeliaran dengan teman-temannya yang berpakaian hitam-hitam yang disebut sebagai gaya ‘gothic’ dan menganggapnya sebagai alternatif gaya hidup.

Setahun sebelum ujian akhir pendidikan menengah atas, Katrin keluar begitu saja dari sekolah. Dengan alasan ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan bekerja sama, orang tua asuh Katrin menyerahkannya kembali ke departemen sosial. Ibu asuhnya mengatakan, Katrin seperti terperangkap dalam bola kaca. Ia bisa melihat bagaimana gadis itu menyakiti dirinya sendiri, tapi tidak mampu meraihnya.

Dari hari ke hari tingkah laku Katrin hanya membuatnya agresif. Ia ingin memecahkan bola kaca itu dan menyeret Katrin keluar. Tapi, ia tahu benar, kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Hal itu membuat ibu asuhnya merasa gagal. Setelah itu Katrin ditempatkan di sebuah asrama khusus untuk remaja bermasalah.

Di tempat ia belajar banyak hal yang baik, yang membangun kepercayaan dirinya.

Tapi, ia sudah lupa bagaimana rasanya berbahagia, sampai ia mendapat panggilan kerja sebagai tenaga kasir di sebuah supermarket diskonan.

Katrin memasuki salah satu gedung yang setiap sudutnya berbau pesing. Apartemen nomor 305. Ruangan itu hanya terdiri dari tempat tidur, dapur kecil dan kamar mandi. Makanan di rumah sakit tidak jelek, bahkan lebih baik dari menunya sehari-hari. Ia merindukan sesuatu yang tidak disediakan di rumah sakit, sesuatu yang gurih dan renyah.

Ia membuka-buka laci dan lemari di atas kompor. Ia bernapas lega ketika menemukan beberapa bungkus keripik kentang. Ia duduk di lantai dan mulai membuka kantong pertama. Ia memasukkan keripik itu ke mulutnya seperti orang kelaparan. Ia terus mengunyah, walaupun sudut-sudut tajam keripik menyakiti gusi dan langit-langit mulutnya. Ia menatap satu-satunya foto yang tergantung di dinding. Ayahnya berpesan, supaya ia tidak pernah membuang atau menyimpan foto keberuntungan itu di laci.

Katrin menggulung bungkus-bungkus keripik yang berserakan di atas lantai. Ia tidak ingin membuangnya di tempat sampah. Ia tidak ingin ada orang yang mengetahui, bahwa ia sudah makan
keripik kentang sebanyak itu. Ia membuka laci lemari dan menyimpan bungkus itu di situ. Jantungnya berdebar, ketika mendengar pikirannya sendiri. Dari siapa

ia ingin menyembunyikan bungkus-bungkus itu?

Ia teringat ayahnya.

Ia bergegas ke kamar mandi. Keripik itu rasanya terlalu enak untuk dimuntahkan kembali. Katrin membatalkan niatnya. Ia duduk di lantai kamar mandi. Ia merasa seperti ayahnya, seperti seorang pecandu yang berusaha menyembunyikan botol-botol kosong minuman keras. Ia mengusap wajahnya yang basah dengan punggung tangan. Di bawah tempat tidur tergeletak pesawat telepon dengan kabel terputus. Ia tidak ingat lagi kapan ia menyilet kabel pesawat telepon itu. Ia tidak pernah mendaftarkan namanya di kantor telekom. Ia pergi keluar untuk mencari apakah masih ada telepon umum yang masih berfungsi di Nordstadt.

Sesampainya di markas, Alex sudah memberinya isyarat untuk masuk ke ruang pimpinan. ”Selamat pagi, Komisaris Reinhard,” sapanya, kepada pria yang sedang mengamati dua layar komputer.

“Silakan masuk, Ben, duduk. Ke mana saja kamu pagi ini? Kau bahkan tidak memberi tahu partnermu. Bukan tindakan bijaksana untuk melakukan hal-hal pribadi saat jam dinas.”

“Maaf, ada sesuatu yang harus aku selesaikan, tidak akan terjadi lagi,“ jawab Ben. Ia tidak bisa mengatakan bahwa ia mengunjungi Katrin di rumah sakit. Ia tahu atasannya tidak bisa bertoleransi pada keperluan pribadi yang dilakukan pada jam dinas.

“Kau terlihat kacau, kapan terakhir kali tidur?” tanya Reinhard.

“Jangan khawatir, Bos. Saya baik-baik saja. Boleh saya pergi?” tanya Ben. Dengan anggukan kepala ia mempersilakan Ben keluar dari ruangannya.

“Oh, ya Ben, pengacara cerai Schmidt sudah menghubungiku sejak tadi pagi. Ia memerlukan berkas kasus Homberg bulan lalu. Bisakah kau menyerahkannya hari ini?”

“Ya, tentu saja,” Ben menepuk keningnya. Kasus Homberg, kasus kekerasan dalam rumah tangga. Siapa yang bisa melupakan Anna Homberg? Wanita dengan buah dada berukuran minimum 38B itu telah memukuli suaminya dengan hak sepatu.

“Ben, ada yang mencarimu. Pesawat 2,” kata Alex. Ben bergegas kembali ke kursinya dan meraih gagang telpon.

“Benhard Hiller, markas besar kepolisian Dortmund. Ada yang bisa saya bantu?“

“Halo, Ben. Ini Katrin, maaf mengganggu,” suara gadis itu kedengaran seperti dari dunia lain.

“Ya, ehm, tentu saja tidak...,“ Ben berusaha supaya nada suaranya terdengar formal.

“Aku baru saja teringat ucapanmu di atas gedung itu. Persisnya aku sudah lupa. Kurang lebih kau mengatakan pasti ada orang yang cemas kalau melihatku bergelantungan di gedung itu. Gadis itu terdiam beberapa saat, seperti sedang mengumpulkan keberanian. “Ben, apakah kau bersedia menyertaiku menemui orang itu?” suaranya tersendat-sendat.

“Tentu saja, katakan siapa dan di mana alamatnya,“ jawab Ben cepat, sambil meletakan jemarinya di komputer untuk mencari data orang yang dicari.

“Ben, aku sendiri tidak yakin. Aku harap orang itu masih tinggal di Indonesia,“ kata gadis itu. Ben menopang dahi dengan tangannya. Alex menatapnya dan memberi isyarat apakah semuanya baik-baik saja. Ben mengangguk. Tentu saja orang yang dimaksudkan Katrin adalah ibunya, pikir Ben.

“Apakah kau masih ingat alamat kalian dulu pernah tinggal?” tanya Ben.

“Aku sudah lupa,” gadis itu baru sadar bahwa ia tidak pernah tahu alamat lengkap semasa ia tinggal di Karimunjawa. “Tunggu dulu, kalau tidak salah, pamanku memiliki penginapan terapung, namanya Karimun indah.”

Kalau tidak salah? pikir Ben. Ia membutuhkan informasi yang menyakinkan, bukan informasi yang kemungkinan salah. Ia meminta Katrin untuk kembali menghubunginya esok hari pada jam yang sama. Ben sudah meletakkan gagang telepon sebelum menyadari kebodohannya. Bukankah akan jauh lebih baik, jika ia yang menghubungi gadis itu? Ia mencari alamat dan nomor Katrin di komputer. Selain nomor pembayar pajak dan asuransi sosial, ia tidak menemukan informasi yang ia butuhkan. Ia harus melakukan sesuatu.

“Ada apa lagi, Ben?” tanya Komisaris Reinhard, ketika ia melihat Ben berdiri di depan pintu ruangannya.

“Saya mau minta izin untuk cuti,” kata Ben.

“Begitu mendadak?” tanya Reinhard.

“Mulai besok. Minggu ini saja. Hari Senin depan saya sudah berada di markas,” jawab Ben.

“Mulai besok? Apakah ada hal yang mendesak Ben?“

“Ya, bisa dikatakan begitu. Urusan keluarga. Lagi pula, saya tidak mau melewatkan pertandingan Borussia Dortmund hari Sabtu minggu depan. Sesuai permintaan, saya akan tetap menyerahkan laporan yang Anda minta hari ini juga,” kata Ben. Atasannya menatapnya dengan kening berkerut. Sebelum mendengar pertanyaan lebih lanjut, Ben sudah mengucapkan kata permisi dan berlalu dari hadapannya.

”Apakah semua baik-baik saja, Ben?” tanya Alex. Tidak ada jawaban.

“Ben!” panggil Alex sekali lagi. Kali ini dengan nada yang lebih keras. Ia melihat wajah partnernya yang setengah tersembunyi di balik layar komputer.

“Aku tidak mau ikut campur. Aku tidak bisa menganggap dirimu sebagai orang yang normal. Sejak kejadian Jumat malam kemarin, tingkah lakumu makin aneh. Kenapa tidak pulang saja, biar aku yang mengerjakan laporan itu. Oh, ya, istriku biasa memakai irisan timun. Coba saja, mungkin bisa membantu.”

“Irisan timun? Buat apa?” bisik Ben.

“Buat kantung dan lingkaran hitam di matamu. Kalau saat ini anakku melihat wajahmu, ia pasti tidak mengenal lagi Paman Ben,” jawab Alex. Ben tersenyum masam.

“Aku utang laporan berikut, oke?“

“Tidak usah dipikir, selamat berlibur,” sahut Alex.

Ben menghabiskan malam pertama liburannya dengan mencari jejak losmen paman Katrin di Karimunjawa. Setelah beberapa jam duduk di depan layar komputer, ia melihat di sebuah situs pribadi yang memuat sebuah nama penginapan terapung di Pulau Karimunjawa. Bilik-bilik terbuat dari kayu berjejer di atas permukaan air laut. Nama penginapan itu sama seperti yang disebutkan Katrin, lengkap dengan nomor telepon. Ia kemudian mencari informasi tentang transportasi dan akomodasi.

Di Karimunjawa, ia memilih untuk mereservasi sebuah resor bernama Kura-Kura yang terletak di Pulau Menyawakan. Alasannya praktis: resor itu menyediakan transportasi udara pulang-pergi ke Semarang. Ben tidak ingin naik ferry. Bukan pilihan yang mudah, apalagi setelah melihat harganya. Ia harus merogoh koceknya sebanyak sekitar 400 dolar untuk menginap empat hari tiga malam. Hanya empat hari setelah itu tamat riwayatnya, harapnya diam-diam.

Persoalan berikut adalah bagaimana mendapatkan tiket pesawat ke Indonesia dalam waktu kurang dari 36 jam. Ben memutuskan untuk pergi ke salah satu biro wisata dan menggunakan statusnya sebagai polisi untuk mempermudah jalannya transaksi. Ia sebenarnya agak menyesal karena telah menyalahgunakan nama kepolisian. Yang pasti, bukan kasus pertama di jajaran kepolisian Dortmund, hiburnya dalam hati. Hari berikutnya Ben sudah menyambangi markas kepolisian dari pukul delapan pagi. Ia tidak bergerak dari tempat duduknya sampai telepon di mejanya berdering.

“Selamat datang di Karimunjawa,“ sambut seorang staf hotel. Segelas cocktail tetap tidak mampu menyatukan jiwa dengan raganya. Hanya pasir putih dan deburan ombak yang menyadarkan bahwa ia tidak berada di Dortmund lagi.

Seorang staf hotel dan seorang pria setengah baya menghampiri mereka. Katrin masih bisa mengenali wajah salah satu pria. Walaupun berat badannya paling tidak sudah bertambah 30 kg, raut wajahnya masih sama. Tanpa sepengetahuan Ben, ia sebenarnya baru berani menelepon pamannya setelah mereka sampai di Jakarta. Setelah prolog yang tersendat-sendat karena disampaikan dengan rasa gugup dan bahasa yang campur aduk, ia berhasil mengatakan siapa dirinya dan maksud kedatangannya.

Pamannya mengatakan, ibunya sudah menikah lagi dan tinggal di Semarang. Ia akan datang sore ini, untuk itu ia meminta Katrin menginap di tempatnya, di Pulau Karimunjawa Besar.

“Ben, aku harus ikut pamanku,“ kata gadis itu, sambil mengikuti pamannya. Mereka berjalan menuju ke perahu boat yang ditambatkan di pantai. Ben mengangguk. Ia merasa lega, karena tidak harus menyaksikan secara pribadi pertemuan antara ibu dan anak tersebut. Setelah check in, Ben memutuskan untuk menghabiskan waktunya dengan mengenali resor dan mengitari pulau. Selain segelintir turis asing dan pegawai resor, pulau itu tidak berpenghuni.

Hari berikutnya Katrin tidak datang menemuinya. Ben berpikir mungkin ia tidak akan pernah melihatnya lagi. Ia tidak akan heran, jika gadis itu memilih menetap di tempat ini. Siapa yang mau meninggalkan surga dunia?
Di luar dugaan Ben, sehari sebelum jadwal pulang, Katrin datang menemuinya. Gadis itu mengenakan celana pendek dan kaus lengan panjang berwarna putih. Rambutnya yang panjang lurus tergerai ditiup angin. Untuk pertama kalinya Ben melihat senyum di matanya. Mereka berjalan menyusuri pantai. Waktu baru menunjukkan pukul sembilan pagi, tapi sinar matahari sudah menyengat kulit. Tidak ada seorang pun terlihat di pantai itu. Hanya suara debur ombak memecah pantai.

“Bagaimana pertemuan dengan ibumu?“

“Baik. Aku sudah meninggalkan negara ini selama 15 tahun tapi semuanya tidak menjadi asing. Ibuku menunjukkan ratusan surat yang ia kirim ke tempat nenekku. Semuanya dikembalikan lagi. Ia bahkan pernah menelepon nenekku dan memohon supaya boleh bicara denganku.“

Ben tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Ia teringat kata-kata Alex. Kalau seorang wanita sedang sedih, pria sebenarnya tidak perlu banyak berkomentar. Dengarkan saja, kalau perlu dipeluk. Metode yang dijamin bisa membuat wanita merasa bisa dimengerti. “Hmm... aku tidak ingin bertanya sesuatu yang tidak sopan. Dengan kaus lengan panjangmu itu, apakah tidak kepanasan?“ tanya Ben, mengalihkan pembicaraan. Gadis itu menatapnya sedikit terbelalak, memamerkan bola matanya yang berwarna cokelat. Ia pasti tidak mengira Ben akan mengomentari kaus lengan panjangnya.

Aku pernah membeli botol minuman keras di supermarket itu. Isinya sudah aku tuang di gelas, tapi tidak jadi diminum. Baunya mengingatkanku pada bau ayahku, setiap kali ia memukuliku.“ Jawaban gadis itu seperti tidak ada hubungannya dengan pertanyaan yang diajukan. Ia kemudian menggulung lengan baju dan menyodorkan kedua tangannya. Ben melihat bekas luka goresan yang sudah lama, tampak berjejer tidak beraturan di kedua lengan tersebut.

“Kalau tidak ada darah yang keluar, bagaimana rasa sakit di hatiku juga bisa keluar? Apakah kau pernah merasa bahwa kau tidak mempunyai emosi lagi, Ben? Kau tidak tahu lagi apakah harus marah, sedih, atau tertawa.“ Ben melihat sebuah benda tipis hitam mengilat di tangan Katrin. Ia heran di mana gadis itu menyembunyikan silet itu.

Katrin menggenggam erat jemari Ben. “Jangan bergerak,“ perintahnya. Ia menorehkan luka memanjang di pergelangan tangan Ben. Ben merasakan sesaat rasa panas dan perih menjalar sampai ke seluruh persendiannya.

Bagaimana rasanya?“ tanya gadis itu.

Sakit,“ jawab Ben.

“Itu karena engkau masih bisa merasa Ben. Aku berhenti melakukannya, saat aku diterima bekerja di supermarket. Waktu itu aku seperti mendapat undian berhadiah. Aku tidak mau jika pelanggan di supermarket itu berpikiran bahwa mereka berhubungan dengan orang yang sakit jiwa.“

Katrin berdiri dan melepaskan pakaiannya. Dengan sudut matanya, Ben melihat gadis itu memakai bikini yang ukurannya sudah kekecilan. Katrin berjalan menuju pesisir, menyentuh air dengan jari-jari kakinya yang telanjang. Ayo, Ben, berenang! serunya.

Ben menatap buih air laut. Ia berusaha keras mengingat nama penyakit jiwa yang pernah ia pelajari sekilas di sebuah seminar. Bukan penyakit jiwa atau gila, pikir Ben, tapi gangguan kepribadian. Orang-orang yang mempunyai kecenderungan untuk melukai dirinya sendiri, supaya bisa merasa, untuk melepaskan diri dari perasaan bersalah, untuk... Ben merasa mendengar otaknya bekerja. Apa namanya? Borderline syndrome? Sebuah bayangan masa lalu menghampiri pikirannya.
”Ben, bangun! Ada yang ingin kutunjukkan,“ bisik Tim, saudara kembarnya. Ia mengusap matanya untuk menghapus rasa kantuk. Ia berkata mengapa ia harus bangun, bukankah hari ini Sabtu? Mereka tidak harus pergi ke sekolah. Tim menarik selimut tebal yang menutupi tubuh Ben. Ben melihat kembarannya sudah berpakaian lengkap dengan jaket, topi, dan syal.

Saat itu Februari, bulan terdingin di musim dingin. Walaupun sudah pukul enam pagi, di luar kegelapan sama pekatnya seperti tengah malam. Tanpa banyak bersuara, mereka berjalan melewati padang rumput menuju pagar yang membatasi pekarangan tetangga. Ben melihat pagar pembatas kayu sudah roboh. “Pasti karena angin keras semalam,“ bisik Tim. Entah berapa lama mereka menunggu kesempatan untuk bisa melihat rumah sebelah. Seorang kontraktor jalan sudah membeli tanah itu dan membangun sebuah rumah berlantai empat. Pemilik beserta keluarganya sepertinya hanya tinggal di rumah itu selama musim panas.

Selama ini Ben dan Tim hanya bisa mendengar suara mereka, tanpa pernah melihat penghuninya. Tim menarik lengan Ben untuk memasuki halaman rumah tersebut. Mereka menempelkan wajah di dinding kaca untuk melihat isi rumah.

Di depan beranda rumah tersebut terdapat kolam ikan dengan jembatan kecil berwarna oranye.  Tim berlari menuju ke telaga buatan yang terletak di sudut halaman. Diameternya kurang-lebih 5 meter. Di salah satu sisinya terdapat dermaga kayu berukuran mini. Selama ini mereka hanya bisa mendengar penghuni rumah terjun dan berenang di di telaga itu. Permukaan telaga itu kini membeku. Tim mengeluarkan sepatu luncur es dari tas ranselnya.

“Tim, jangan,“ cegah Ben, ketika melihat saudaranya mengenakan sepatu itu. Ia memukul-mukul lapisan es dengan sebilah batang bambu yang ia temukan di kebun tersebut. Selain tepi telaga, Ben tidak yakin apakah seluruh permukaan telaga itu sudah sepenuhnya membeku untuk bermain luncur es.

“Ayo, Ben,“ Tim berbisik agak keras sambil meluncur. Ia berputar dua kali. Ben bertepuk tangan. Ia menahan napas, ketika melihat Tim mengambil ancang-ancang untuk melakukan putaran sekali lagi. Di kegelapan Ben melihat tubuh Tim melayang di udara, sebelum mendengar suara berderak dari lapisan es yang retak. Setelah itu, Ben tidak lagi melihat saudaranya.

Suara kecipak air menyadarkannya, bahwa Tim sudah berada di air. Ben menahan dirinya untuk tidak berjalan di atas es. Ia tahu nasibnya akan berakhir sama dengan Tim, jika ia melakukannya. Ia memilih merayap dengan perutnya di atas permukaan es. Ia menjulurkan batang bambu itu supaya Tim meraihnya. Usaha Tim untuk berpegangan pada lapisan es hanya membuat lapisan itu makin retak. 

Ben tahu, Tim sudah mulai kehabisan tenaga. Baju musim dingin Tim yang berat dan basah membuatnya makin sulit untuk tetap bergerak. Ia meminta Tim untuk melepaskan sepatu dan jaketnya. Tim menjawab ia tidak bisa lagi menggerakkan tangannya yang sudah membeku. Sambil terisak-isak, Ben memohon supaya Tim terus bertahan, sementara ia pergi mencari pertolongan. Dalam kegelapan, ia melihat tatapan mata Tim yang memohon untuk tidak ditinggalkan. Ben mulai berteriak. Ia terus berteriak sampai rahangnya terasa sakit. Ia tidak tahu berapa lama ia menjerit sampai kakinya ditarik oleh seseorang. Sekeras apa pun usaha tim gawat darurat dan para dokter di klinik universitas kota, Tim hanya bertahan 2 hari di rumah sakit. Ia pergi begitu saja tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun.

Ben melihat tubuh Katrin makin menjauhi pantai. Sesekali ia membalas lambaian tangan gadis itu. Sesudah itu Ben hanya melihat gelombang laut. Ia bergegas menuju ke pantai dan berjalan ke sana-kemari. Ketika ia tidak menemukan apa pun di air, ia mulai berteriak memanggil nama gadis itu. Ben mulai disergap rasa panik yang tak tertahankan. Tanpa melepas pakaian, ia memaksa diri untuk masuk ke air laut. Jantungnya berhenti berdetak, ketika sepasang tangan menutup matanya. Kegelapan membuat emosinya meledak. Ia mulai memaki dan memelintir tangan yang mendekapnya.

“Ben, ini aku!” jerit Katrin kesakitan.

“Jangan berani lagi melakukan perbuatan seperti itu!” teriak Ben.

“Ben, ini aku, Katrin, bukan Tim,“ teriak gadis itu, tak kalah keras.

Ben tidak mempercayai pendengarannya. Apakah ia menyebut nama adiknya ketika sedang mengumpat? pikir Ben. Ia berjalan menuju bungalo. Gadis itu mengikutinya. Luka di pergelangan tangannya berdenyut perih, setiap kali jantungnya memompa darah. Gadis itu masih berdiri mematung di ujung tempat tidur.
“Aku lelah sekali. Pulanglah ke ibumu. Bukankah karena itu engkau ada di sini?“

“Maaf, Ben, aku sama sekali tidak bermaksud menakutimu. Apakah ada yang bisa aku lakukan untuk membuatmu merasa lebih baik?“ tanya Katrin.

“Kau bicara apa? Kau pikir aku mau menolongmu untuk mengharapkan sesuatu darimu? Aku cuma ingin memenuhi janjiku. Itu saja,“ Ben memejamkan mata.

“Dengar baik-baik. Aku tidak tahu siapa Tim dan tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Kau pasti berharap dengan melakukan semuanya ini untukku, kau bisa menebus kesalahanmu kepada Tim. Bukankah begitu, Ben? Aku tidak tahu bagaimana kau bisa menebus sesuatu yang bukan kesalahanmu. Aku rasa, Tim juga tahu tentang hal itu.“

Ben terus memejamkan matanya sampai gadis itu pergi. Berapa lama sudah ia menunggu kata-kata seperti yang diucapkan oleh gadis itu tadi. Paling tidak, ia ingin sekali mendengar dari orang tuanya, bahwa kematian Tim bukan kesalahannya. Sejak pemakaman Tim, mereka tidak pernah membicarakan tentang hal itu lagi.

Ayahnya sama membisunya, ketika ia diterima di akademi kepolisian. Ben menerka pikiran ayahnya. Tidak usah repot-repot, Ben, sekalipun menjadi polisi, ia tidak bisa mengembalikan kembarannya.

Ah, kalau saja Tim masih hidup, ia tentu sudah mengatakan hal yang sebenarnya. Bukan ia yang sudah gagal menjaga kembarannya. Apa yang Tim lakukan adalah keputusannya sendiri. Keputusan seorang anak berusia 8 tahun. Apa yang didengarnya dari gadis itu lebih dari cukup. Ia tidak lagi merasa duduk di kursi terdakwa. Melalui kelopak mata yang tertutup, Ben melihat perasaan bersalahnya selama ini terbang menjauhi rongga dadanya.

“Aku kira, aku akan pulang sendirian,” kata Ben, ketika melihat Katrin sedang menanti pesawat yang membawa mereka kembali ke Semarang.

“Aku pikir juga begitu,“ sahut gadis itu.

Selama perjalanan pulang, mereka tidak banyak berbicara satu sama lain. Ben menganggap mereka adalah dua anak manusia yang saling mengerti rahasia yang paling gelap dan ingin menyimpannya di relung hati yang paling dalam. Gadis itu sepertinya mulai tidak tahan dengan kebisuan mereka. Pria itu bahkan sama sekali tidak bertanya apakah ia mau minum.

“Salahkah aku, jika aku memilih kembali ke Jerman, Ben?“ tanyanya. Ia kemudian tertawa sendiri. “Dokter Klaus benar. Aku selalu merasa bersalah dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di muka bumi. Ibuku mengatakan, saat ini tempat dan kesempatanku bukan dengan hidup bersamanya. Ia tidak ingin aku memulai segalanya dari nol lagi. Aku sendiri tidak yakin, apakah selama ini aku pernah memulai sesuatu. Ia menganjurkanku untuk menyelesaikan sekolah dulu. Aku pikir, ia ada benarnya juga. Sulit dipercaya, bahwa dulu aku jagonya matematika. Pernah mendengar biomolekul? Ya, tentu saja, beberapa bidang berhubungan erat dengan pekerjaan forensik. Aku dengar, di Jenewa ada fakultas terbaik biomolekular. Mungkin aku akan ke sana,“ kata Katrin, sambil mengambil penutup mata dan meletakkan di kepala seperti mengenakan bando.

“Sejauh itu? Bukankah di Universitas Dortmund juga ada? Belum pernah dengar? Kenalkan, dekan fakultas biomolekul terbaru,“ kata Ben, sambil mengulurkan tangannya. Gadis itu tergelak menyambut uluran tangan pria itu.

“Kau sudah mau tidur lagi?“ tanya Ben.

“Ben, kita masih harus terbang berjam-jam,“ sahut Katrin.

Kenapa harus tidur, Katrin, tanya Ben dalam hati. Bukankah kita baru mulai bicara? Ben mulai bercerita tentang anak sapi jantan yang diberi nama Briggite, tentang kebiasaannya mengendus sesuatu, walaupun tahu baunya tidak enak. Ia bahkan tidak bisa menahan diri untuk menceritakan perihal ibunya.

“Ibumu sepertinya termasuk orang yang bisa menikmati hidup. Ia sudah menguburkan suami dan anaknya, tapi tidak kehilangan semangat untuk mengadopsi anak sapi,“ sahut Katrin.

“Selain ibuku, tidak banyak orang yang tahu apa yang mereka benar-benar inginkan. Ibuku sudah mulai tua, mulai pelupa. Orang menyebutnya sebagai gejala pikun, alzheimer, dimensia, entah apa namanya. Tapi, ia sudah memutuskan. Ia memilih mati di Swiss daripada menjadi pikun di panti jompo,” Ben melirik gadis itu. “Bisakah kau bayangkan rombongan turis yang terdiri dari orang-orang tua pergi naik bus ke Swiss, tapi yang kembali hanya sopirnya saja?” tanya Ben.

“Paling tidak, hidupnya tidak harus berakhir seperti nenekku. Bayangan untuk mati kesepian lebih mengerikan daripada kematian itu sendiri. Kalau saja aku tidak pergi untuk mengikuti kontes matematika bodoh itu, ia tidak harus sendirian,” kata Katrin, sambil membuka penutup matanya.

Saat mereka berada kembali di bandar udara Dusseldorf, suasana tidak banyak berubah. Di luar terlihat musim gugur sudah meninggalkan jejaknya. Hanya satu-dua daun yang tersisa di ranting-ranting pohon. Cakrawala seperti ditutup kain kelabu.

“Tolong jaga dirimu baik-baik. Paling tidak lakukan itu untuk dirimu sendiri dan ibumu.” Walaupun ada banyak hal yang Ben ingin katakan, hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya. “Kalau perlu sesuatu, tolong hubungi aku, apa saja.”

“Tentu saja, Ben, terima kasih untuk segalanya,” gadis itu menjabat erat jemarinya. Ketika mereka berada di persimpangan, Katrin memilih arah lain. Ben menatap punggung itu. Ia memanggil namanya sekali lagi.

“Kau sudah lupa syalmu,” kata Ben sambil mengeluarkan syal hitam yang ia temukan di atas kursi pesawat dari ranselnya. Gadis itu mengalungkan syal di leher dan memeluknya. “Selamat jalan, Ben,” bisiknya, sebelum melangkah pergi.

Hanya sampai di sini saja? keluh Ben. Sesekali ia melihat ke belakang. Gadis itu berjalan tanpa menoleh sekali pun ke arahnya. Keningnya kembali berdenyut.

Ben merogoh isi kantong jaket untuk mencari sisa tablet aspirin. Senyumnya mengembang saat ia menemukan secarik kertas. Di atasnya tertera sebuah alamat di Nordstadt. Bukankah tempat itu tempat kelahiran tim sepak bola kesayangannya, Borussia Dortmund? Pasti gadis itu telah memasukkan diam-diam, saat memeluknya. Ben merapatkan kerah jaket. Senyumnya makin berkembang seperti dipinjamkan sepasang sayap. Selamat datang kembali di rumah, bisiknya pada diri sendiri.

No comments: