12.22.2010

Tanggul Kali Bedog

Aku adalah gerimis bulan Oktober
Kau spektrum ungu muda
Suatu pagi lebih indah saat terjaga
Melengkung di atas tanggul seribu sungai

Pria yang patah hati
Jalan raya Yogya-Bantul sore itu terasa muram, meski udara jernih dan segar. Hujan deras baru saja berhenti. Sisa-sisanya, yang berupa tetes-tetes air sehalus jaring laba-laba, melayang ringan terbawa angin sepoi. Saluran irigasi sepanjang tepi jalan diluapi air berwarna cokelat keruh yang menderu kencang, nyaris menggapai tepi-tepi tebingnya. Hujan yang baru turun benar-benar lebat. Sekarang, di atas aspal yang basah mengilat dan licin, berhati-hati karena tidak menguasai medan, Herumanto meluncur di atas sepeda motornya dengan kecepatan 40 kilometer per jam.

Dia ingin mengurangi tusukan hawa dingin yang menerobos ke balik jaket parasut birunya. Angin menampar dari muka, menyergap dari petak-petak sawah dan ladang jagung di kanan-kiri jalan. Sesekali, menyembul sendirian dan terpencil di tengah lautan hijau itu, tampak bangunan dari batako yang tak diplester. Heru melihatnya sepintas lalu saja.

Samar-samar dia merasakan kesepian dan keterasingan yang dibisikkan dinding-dinding bangunan itu. Namun, dia tak menoleh untuk meresapinya lebih lanjut. Motornya terus melaju. Telinganya menangkap suara mesin yang berputar datar bercampur desau angin. Dia akan sedikit melambatkan laju motor untuk mengurangi empasan angin yang tiba-tiba menerpa, sedikit minggir agar terhindar dari cipratan air dan memaki lirih bila terlambat melakukannya. Lalu, dia akan ganti dimaki oleh pengendara sepeda, yang kebetulan dilewatinya, saat motornya melintasi genangan dan menimbulkan cipratan besar yang memercikkan air kotor ke mana-mana. Tapi, memang beginilah cara melewatkan waktu seusai hujan di jalan raya, pikirnya tenang.

Suatu sore di akhir bulan Oktober 2000
Di jalan basah yang membelah tanah persawahan dan ladang tebu, di antara angin yang membawa bau air dan udara lengas, seorang pria berjaket parasut biru tua, menunggangi motornya, menuju masa depan yang tidak diketahui. Dengan acuh tak acuh, ia memikirkan, apakah pakaian dalam ransel besar di punggungnya basah atau tidak. Dia mulai menoleh ke kanan-kiri, mencari tanda-tanda yang dikenalnya. Kira-kira dia sudah menempuh beberapa belas kilometer dan sudah saatnya mulai mengenali daerah yang sedang dilalui. Nyatanya, dia terus berjalan dan tetap merasa asing dengan sekitarnya.

Barangkali, aku tersesat, pikirnya. Mungkin, seharusnya, berbelok di pertigaan tadi. Tapi, kelihatannya bukan belokan yang itu.
Motornya merayap terus dengan pelan, seakan enggan dan mulai bosan. Dia merasa lucu dengan pikiran tersesat tadi. Dia hanya harus menyusuri jalan raya, yang membentang nyaris lurus antara Yogya hingga Pantai Laut Selatan, melewati pusat kota yang kecil dan sunyi, terus mengikuti jalan utama, sampai di sebuah perempatan, berbelok untuk pertama kalinya, lalu sekali lagi memilih belokan yang tepat, membelah bulak persawahan panjang, lalu tiba di tujuan. Ide tentang tersesat benar-benar tak masuk akal. Dan, menanyakan hal itu pada seseorang hanya akan mengundang senyuman iba.

Namun, di manakah ‘belokan’ yang tepat itu?

Sementara dia mencari-cari dengan matanya, ingatannya tiba-tiba menghadirkan belokan lain. Belokan dan jalan raya lain. Tidak lurus, namun berliku-liku. Tidak di tengah hamparan sawah yang segar oleh hujan deras setengah jam lalu, serta ditunggui saluran irigasi yang airnya nyaris meluap. Jalan di kepalanya itu, dengan aspal yang sama mulusnya, meliuk-liuk menyusuri punggung bukit, yang jarang disinggahi hujan. Gersang dan terik. Namun, di kejauhan dia bisa melihat laut, yang birunya mengalahkan warna langit, dan yang membuat bukit-bukit tandus itu mendadak terlihat cantik.

Begitulah kesannya saat pertama menyusuri jalanan di luar kota Dili dalam sebuah angkutan umum yang penuh sesak. Kira-kira sepuluh atau sebelas tahun lalu. Kesan itu tak berubah dalam tahun-tahun berikutnya, ketika untuk kedua, ketiga, kesepuluh, dan entah keberapa kalinya, dia melewati jalan yang sama. Meski semua itu lalu menjadi rutinitas, dia tak pernah kekeringan ide untuk menerjemahkan keindahan yang dilihatnya melalui pigura berbeda.
Begitulah caranya melawan kejenuhan, yang dari waktu ke waktu terus mengintai, seperti singa lapar di tepi Padang Kalahari, diam menunggu lengahnya anak antilop (sejenis kijang), merunduk di belakang belukar, hati-hati dan sabar, lalu pada saat yang tepat, menerkam dengan kepastian mematikan.

Kadang-kadang, pada saat-saat terburuk, dia menyesali hari, ketika pak pos mengantar surat panggilan itu. Lalu, dia, tanpa pikir panjang, mabuk oleh kegembiraan seorang pengangguran, yang berhasil mendapat pekerjaan, setelah beberapa kali kegagalan, menerima penugasan di sebuah SLTP di luar kota Dili nyaris dengan sukacita. Tapi, sukacita itu adalah sisa-sisa pembawaan mahasiswa idealis yang naif dan sepenuhnya masih mentah.

Betapa mentah, pikir Heru bertahun-tahun kemudian, sambil mengingat-ingat perasaannya waktu itu. Seseorang yang datang ke dunia tak dikenal hanya dengan tangan kosong dan huruf-huruf besar terpahat di benak: BERJUANG.

Benar, dia membayangkan suatu perjuangan atau sesuatu yang se­rupa dengan itu. Dia memang menyiapkan diri. Namun, sebenarnya, dia tak betul-betul tahu, medan macam apa yang bakal dimasukinya, kecuali informasi dari mulut ke mulut dan sedikit berita dari koran.

Pada akhirnya, dia memang harus berjuang, tapi untuk sesuatu yang ternyata jauh lebih sulit daripada tugas mencerdaskan bangsa, yang kelihatan dan kedengaran (dan sesungguhnya) begitu mulia. Berjuang untuk hidup dan bertahan hidup di tengah masyarakat, lingkungan, situasi serta segala sesuatu yang asing, dan diam-diam juga menganggapnya asing.

Dia tiba di Dili dalam sebuah rombongan besar guru, perawat, dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap), pegawai entah apa, yang hampir semua masih muda, lulusan terakhir. Dan, sepasukan tentara.

Kemudian, hari-harinya sebagai pengabdi, pejuang, perantau, dan orang yang kesepian, dimulai. Ada kalanya, dia merasa, waktu yang dilewati begitu berat. Lalu, kejenuhan, kebencian akan rutinitas yang sering kali dipertanyakan manfaat dan kebaikannya, memangsanya tanpa belas kasihan. Kesunyian muncul dengan sempurna. Pada saat seperti itu, dia sering berpikir tidak sabar, kapan masa tugasnya akan mencukupi untuk mengajukan surat permohonan pindah. Persetan dengan pengabdian.

Lalu, datanglah Hesti. Seorang perawat dengan begitu banyak darah mengalir di tubuhnya. Jawa, Makassar, Timor, dan sedikit Portugis. Suatu hari Heru mengantar murid yang mendapat kecelakaan kecil pada pelajaran olahraga. Puskesmas penuh. Dia ingin luka muridnya segera ditangani. Tapi, petugas di pintu depan, yang lebih berbakat sebagai birokrat daripada perawat, berkeras agar dia mendaftar lebih dulu, dan antre.

Ketika pembuluh-pembuluh darahnya yang membengkak oleh kecemasan nyaris meledak dipicu rasa marah, seseorang menggamit lengannya. Dia berpaling, masih dengan amarah, siap memuntahkannya. Lalu, terbungkam. Seorang gadis berseragam putih tersenyum, tanpa kata-kata memberi isyarat untuk mengikutinya. Kejadian selanjutnya, yang dia ingat adalah luka muridnya dibersihkan, mendapat tiga jahitan, diperban, dan terakhir dokter menuliskan resep. Semuanya tak lebih dari sepuluh menit. Tapi, waktu sesingkat itu telah mengubah raut kesakitan dan ketakutan muridnya kembali normal.

Hesti berumur 22 tahun, pemilik senyum terindah di antara semua senyum yang pernah ditaburkan manusia di muka bumi ini.

Heru menghentikan motornya di ujung sebuah perkampungan, di depan kios bensin kecil yang sudah tutup. Tapi, dia melihat pintu kios itu separuh terbuka. Lagi pula, ada seorang pria sedang menata botol dan jerigen-jerigen kosong di rak depan kios, siap menentengnya ke dalam.

Dia memberi salam, minta maaf dalam bahasa Jawa halus, lalu menanyakan arah. Ternyata, jalan yang dicarinya telah lampau. Dia harus berbalik sekitar dua kilometer, kemudian pada pertigaan kedua berbelok ke kiri. Itulah belokan yang dicarinya. Dia mengucapkan terima kasih, lalu kembali ke motornya, diiringi tatapan pemilik kios bensin, yang pikirannya mengatakan, ”Tidak tampak seperti wisatawan, meski ransel besar di punggungnya memberi kesan demikian. Terlalu tua untuk seorang mahasiswa. Tamu dari jauh? Petualang? Jangan-jangan malah orang jahat? Zaman sekarang, wajah orang jahat kelihatan lebih baik dari orang yang benar-benar baik.”

Heru mengikuti rute yang ditunjukkan padanya. Motornya berjalan pelan. Dengan hati-hati dia memerhatikan jalan yang dilalui. Pertigaan pertama, sebuah jalan kecil beraspal yang muncul dari cakrawala membelah persawahan, lalu bergabung dengan jalan raya utama, dilewatinya. Sebentar kemudian dia melihat sebatang pohon asam besar di kejauhan. Di sebelah pohon itu ada jalan beraspal yang menjulur di antara petak-petak sawah menuju sebuah pulau hijau di kejauhan, yang sebenarnya adalah perkampungan yang dicarinya. Dia membelokkan motornya, lalu dengan lega mulai mengenali jalan yang pernah ditempuhnya seminggu lalu.

Mereka berpacaran setahun, lalu menikah secara sederhana. Orang tuanya tak bisa datang. Malam pertamanya diisi oleh ulangan kisah panjang masa kecilnya. Cerita tentang sawah keemasan di musim panen, tentang Kali Serayu di pinggir desa, musim layang-layang, saudara dan teman-temannya, dan banyak hal lain, yang pada saat itu hanya terasa seperti mimpi, yang takkan pernah terulang.

Hesti mengusap lengannya lembut, lalu berbisik, “Aku punya sedikit tabungan. Dulu, aku berharap, suatu ketika nanti dapat pergi ke Jawa dan melihat kota-kota di sana.”

Dia memiringkan tubuh. Dipeluknya Hesti penuh rasa syukur.

Tahun berikut dia membawa istrinya ke kampung halamannya di pedalaman Pulau Jawa. Dengan kebanggaan seorang pria yang sedang jatuh cinta, ia memperkenalkannya pada semua kerabat dan tetangga. Selanjutnya, dia merasa Dili tidaklah terlalu buruk dengan adanya seorang istri. Dia bahkan mulai menyukainya. Untuk pertama kali dia tidak lagi berpikir tentang pulang. Perasaan asing yang selama bertahun-tahun menghantuinya di Tanah Loro Sae itu, perlahan-lahan menghilang.

Hesti masih bekerja di puskesmas, kemudian dipindahkan ke sebuah rumah sakit, yang namanya tak ingin dia ingat. Di tempat itu pula dia meninggalkan bayi perempuan, yang tak pernah sempat mengingat wajah ibunya, juga seorang pria yang patah hati.

Suatu pagi Heru mendapati dirinya jatuh cinta pada seorang wanita dan pada pagi lain tiba-tiba dia menjadi pria paling getir di dunia, karena wanita yang sama. Sekarang, sambil mengendarai motor di jalan kecil yang membawanya ke suatu tempat baru, tugas baru, dan orang-orang baru, Heru masih pria yang sama seperti enam tahun lalu, ketika dia meninggalkan rumah sakit dengan predikat baru di pundaknya. Duda.

Dia mulai memasuki rimbunan pohon-pohon pertama perkampungan itu. Jalan yang dilaluinya menikung ke kanan, menyusuri pinggir lapangan bola, yang pada saat-saat tertentu kelihatannya dimanfaatkan sebagai tempat penggembalaan kambing. Menurut cerita yang didengarnya sepintas, pada mulanya daerah itu merupakan kompleks pabrik gula dari masa sebelum perang kemerdekaan. Setelah dibumihanguskan, saat ini nyaris tak bersisa apa pun, kecuali reruntuhan pagar yang pernah mengelilingi suatu kawasan. Sebagai gantinya, di bekas lokasi pabrik kini berdiri bangunan dua lantai berbentuk huruf U yang cukup megah. Gedung tempatnya mengajar nanti.

Dilewatinya pohon beringin raksasa, yang menunggui sebuah simpang empat, berbelok ke kanan, melintasi jembatan yang melintang di atas sungai berarus deras, lalu tiba di sebuah pertigaan.

Los-los pasar di seberang tampak sunyi pada pukul lima sore ini. Sebagian toko di sebelah kirinya telah menutup pintu. Jalan lurus di hadapannya akan sampai ke daerah perbukitan, menyusuri tepi-tepi ladang sunyi, dan setelah beberapa kilometer yang berliku-liku, akhirnya muncul kembali di jalan lingkar Yogya selatan. Dia memilih jalan yang mengarah ke kiri, meski sebenarnya bisa berjalan lurus. Pada gang pertama nanti, dia harus berbelok ke kanan, meneruskan perjalanan kira-kira 200 meter, sebelum akhirnya sampai di rumah pondokannya.

Sekonyong-konyong dia menginjak rem, menoleh ke belakang, melihat jalan lengang di belakangnya, lalu dengan gesit memutar motor kembali menyusuri jalan yang tadi dilewati. Tidak sampai 50 meter kemudian, dia berhenti. Sebuah papan putih panjang tergantung pada tiang besi di pinggir jalan, dengan huruf-huruf yang dicat warna biru mencolok: WARTEL.

Dia muncul dari tahun-tahun terlupakan
Ana mengangkat muka, ketika pintu wartelnya didorong dari luar. Udara dingin berhembus masuk dan dia melihat seorang pria berjaket biru, lebih biru dari kusen pintu dan jendela di sekitarnya, melangkah masuk. Pria itu tidak memandangnya. Matanya bergantian menjenguk pintu kaca, yang menyekat dua bilik kecil di ujung ruangan. Dengan cepat dia tahu kedua bilik itu kosong, memilih yang terdekat, lalu hilang di dalamnya. Pintu menutup tanpa suara.

Kembali mata Ana menyusuri baris demi baris artikel yang tengah dibacanya. Dia menyesali sore yang membosankan, ketika seharusnya dia sudah mandi dan berdandan rapi, duduk menemani anak-anak menonton televisi. Tapi, karena Eni minta izin pulang cepat, dia harus menggantikannya menjaga wartel. Cuaca sangat tak bersahabat. Pukul sekian biasanya ada beberapa remaja yang menghabiskan uang saku untuk ngobrol dengan teman atau pacar. Namun, sore ini agaknya mereka memilih tinggal di rumah, menonton televisi, ditemani teh dan pisang goreng buatan ibu.

Lima menit kemudian printer di mejanya berbunyi. Pintu kaca itu kembali membuka tanpa suara dan pria berjaket biru melangkah ke mejanya, juga tanpa suara. Ana menyobek bon (walau menurut suaminya itu merupakan pemborosan kertas), menyebut jumlah uang yang harus dibayar, lalu sambil tersenyum dia mendongak untuk memberikan kertas itu pada pengunjung wartel. Untuk pertama kalinya dia bisa mengamati pria itu dengan jelas.
Wajahnya yang tirus tengah menunduk ke arah dompet di tangannya. Rambut tidak rapinya melekat acak-acakan di kepalanya yang basah. Jaket yang membungkus tubuhnya terkancing hingga leher. Dia memakai jeans yang telah pudar warnanya dan menempel ketat pada pinggulnya. Sebuah ransel memberati punggungnya.

Pria itu menyodorkan selembar sepuluh ribuan. Tetap bisu. Ana menerimanya dengan segan, mencari-cari kembalian di laci, lalu dengan pelan mengulurkannya. Tangannya bersentuhan dengan ujung-ujung jari kurus panjang yang terasa keras dan dingin di ujung jarinya sendiri. Dia menghela napas panjang. “Heru?” tanyanya, sangsi.

Mata mereka bertemu. Ana tersenyum, hampir tersipu-sipu.

Pria itu jelas terkejut. Namun, Ana menemukan kembali keberanian dan kepastiannya. “Lupa padaku? Ana Murti. Kita ketemu di kegiatan pramuka.”

“Ana Murti...,” Heru memacu ingatannya. Pramuka. Sesuatu yang masih berbau kampus, sesuatu yang terletak lebih jauh dari sepuluh tahun. Sesuatu... dia menemukannya. “Ah, ya. Bahasa Indonesia, angkatan ’84, ’kan?”

Dia memerhatikan wanita di depannya. Dia dan Ana Murti tak pernah terlalu akrab. Beda jurusan, beda gaya dan lingkar pergaulan, jarang bersama di luar kegiatan yang merupakan satu-satunya titik temu mereka: pramuka. Seingatnya, Ana termasuk satu di antara mahasiswi populer di kampus. Sekarang pun masih tetap kelihatan cantik. Hanya sedikit lebih berisi.

Ketakpedulian perlahan meninggalkan dirinya. Hampir tanpa sadar tangannya terulur. Ana berdiri. Mereka berjabatan. Saling tersenyum.

“Hampir saja aku tak mengenalimu,” kata Ana.

“Apalagi aku,” balas Heru. “Sudah lama sekali kau menghilang.”

“Semester enam,” gumam Ana. Sejenak dia ingat undangan yang dialamatkan ke sanggar. Beberapa teman datang ke pesta perkawinannya, tak termasuk Heru. Ah, tapi itu sudah lama sekali.

Pada saat itu Heru teringat hal yang sama. Seketika itu pula dia berkata, “Maaf, aku tak dapat datang ke pernikahanmu.” Nadanya sungguh-sungguh, penuh permintaan maaf.

“Ah, tak apa. Sudah lama, ya? Sejak itu kita tak pernah ketemu lagi.”

“Ya,” sahut Heru, “Sudah lama.”

Dengan kata-kata itu mereka memasuki pembicaraan bertema nostalgia. Ada banyak kata ’ingatkah’ terlontar dan pertanyaan ‘bagaimana kabar’ terdengar. A dan B bekerja di sana. X tak ada beritanya. Ya betul, ujian Pancasila selalu sama tiap tiga tahun. Dosennya betul-betul pemalas. Kenangan-kenangan kecil diingat lagi dengan rasa geli. Beberapa rahasia konyol terbongkar. Mereka tertawa bersama.

Untuk pertama kali dalam lima tahun ini Heru melewatkan lima belas menit yang menyenangkan, bicara dengan orang yang mengenalnya sebagai Heru dan bukan Pak Heru, melupakan umurnya yang 35 lebih dan bahwa beberapa menit yang lalu dia masih merasa terdampar sendirian di dunia yang menjemukan.

“Kau tak meneruskan?” tanyanya kemudian, kembali ke masa kini.

Ana menggeleng. “Sibuk,” jawabnya. Klise dan tak meyakinkan. Lalu, dia tersenyum. “Aku punya dua anak yang menyibukkanku setiap saat, di samping seorang suami. Sekarang mereka sudah agak besar. Jadi, aku punya lebih banyak waktu untuk melakukan berbagai hal, misalnya menunggui wartel ini. Tapi, sewaktu anak-anak masih kecil, rasanya, untuk bernapas pun kekurangan waktu.”

Heru membalas senyumnya. “Aku mengerti.”

“Lalu, bagaimana denganmu? Kudengar kau dikirim ke luar Jawa. Kenapa tiba-tiba muncul di sini dalam cuaca seperti ini?”

“Aku akan mengajar di sini.” Dengan kepalanya Heru membuat suatu gerak isyarat.

“Oh, di SMP itu? Kebetulan sekali. Anak sulungku bersekolah di sana. Ngomong-ngomong, berapa anakmu sekarang? Kau sudah punya anak, ’kan? Jangan mengaku masih bujangan, sebab tak kan ada yang percaya,” Ana mengatakannya dengan nada bercanda.

Heru menanggapi dengan serius, “Anakku satu, perempuan.”

“Berapa umurnya sekarang?”

“Hampir enam tahun.”

“Sudah besar. Pasti cantik sekali.”

Heru tersenyum sekilas. “Aku ayahnya. Bagiku memang begitu.”

Ana tertawa kecil. “Lalu, bagaimana dengan ibunya?”

Heru punya tiga pilihan. Berpura-pura tidak mendengar pertanyaan itu, atau menjawab dengan nada santai bahwa ia sekarang menduda, atau... dia memilih jalan ketiga.

“Dia sudah meninggal.” Heru mengatakannya dengan tenang.

Sesaat Ana tertegun. “Maaf,” akhirnya dia bergumam, menyesal.

“Tidak apa-apa.”

Mereka terdiam dengan canggung.

Pria ini belum sembuh, pikir Ana, sambil menembuskan pandangannya melewati kaca jendela. Dia masih berkabung. Sudah berapa lamakah dia ditinggalkan? Ana jadi ingin tahu, seperti apa wanita yang pernah jadi istrinya. Di luar keinginannya, dia bertanya-tanya dalam hati, seandainya dia yang mati mendahului Soni, apakah suaminya itu juga akan patah hati?

Heru memperbaiki berpaling. “Sebaiknya aku pergi.”

Dari balik kaca, titik-titik air yang halus tampak berjatuhan dari langit di luar sana. Entah sejak kapan hari telah makin gelap. Daun-daun talok bergoyang lembut dipermainkan angin.

“Tunggu saja sampai hujan reda, Her.”

Heru menggeleng. “Aku bawa mantel. Lagi pula...,” dia menambahkan, sambil tersenyum menenangkan, “sudah dekat. Yuk....”

Diberinya Ana sebuah anggukan ringan, lalu berbalik.

Ana mengawasinya melintasi ruangan, membuka pintu, menutupnya tanpa suara, lalu menghampiri motornya yang diparkir di bawah naungan pohon talok. Masih melalui pintu dan jendela-jendela kaca, Ana melihatnya membenamkan helm ke kepala, menyalakan mesin motor dalam sekali tarikan. Lalu, dengan suara lembut, motor itu membawa pengendaranya menembus gerimis dalam kesuraman ujung senja. Dia tidak memakai jas hujan.

Tiba-tiba ruangan itu menjadi sangat sunyi. Perlahan Ana keluar dari balik meja. Baru disadarinya kakinya sangat pegal. Dia dan Heru bicara sekian lama, sambil berdiri. Dia menyesal. Seharusnya, dia mengajak Heru duduk. Seharusnya, dia menyuguhkan secangkir teh. Seharusnya, dia menahannya sampai hujan reda. Seharusnya.... Ada banyak ‘seharusnya’, sedangkan kenyataannya dia hanya mengajaknya ngobrol dengan kondisi seadanya, lalu membiarkannya pergi di tengah gerimis.

Ana merasa telah berlaku tidak patut, tapi dia tidak tahu apakah perlakuan tidak patutnya itu tertuju pada seorang kawan lama atau sepenuhnya pada Heru. Diam-diam dia berharap Heru datang lagi di lain waktu, agar bisa menghadapinya dengan lebih baik. Kalau memang benar Heru akan mengajar di SMP itu, harapannya tidak berlebihan. Lalu, diingatnya wajah Heru, ketika pria itu menyebut mendiang istrinya.

Dia sudah meninggal.

Dalam pendengaran Ana, wanita itu belum meninggal. Dia masih hidup dalam suara suaminya. Masih terus hidup dalam hati yang penuh mencintainya. Seperti itu pulakah Soni mencintainya?

Ingatan Ana melayang pada suaminya dan hal itu membuatnya menengok jam dinding. Setengah enam lewat. Mungkin, Soni pulang telat lagi.

Ana mengernyit. Dia sebetulnya berulang kali mengingatkan Soni agar tak usah memaksa diri dalam bekerja. Jangan sampai suaminya jatuh sakit karena kelelahan. Apa sebenarnya yang dikejar Soni? Toh, saat-saat sulit ketika Soni berkeras membangun rumah sendiri (dia tak suka membeli rumah dari pengembang kawasan pemukiman), menyambar setiap peluang untuk menghasilkan uang, menghemat serta memperhitungkan pengeluaran sampai ke sen-sen terakhirnya, hingga membuat Ana pulang ke rumah orang tuanya, ketika tak tahan lagi dengan ‘kekikiran’ suaminya, sudah lama berlalu.

Sekarang ini Ana bersyukur dengan semua yang mereka miliki, termasuk penghasilan tambahan dari dua usaha wartel dan pusat fotokopi dan penjilidan yang lumayan besar, serta gaji rutin suaminya sebagai pegawai negeri sipil. Yang terpenting, suami serta dua orang anak yang sangat berharga.

Tapi, pemikiran Soni lain. Dia sering mengatakan, ”Biaya pendidikan mahal. Begitu juga semua sarana penunjangnya. Jika ingin memberikan yang terbaik buat anak-anak, kita tak boleh bermalas-malasan.”

Memang benar, pikir Ana, mengalah. Soni selalu berpikir jauh mengenai segala hal. Kadang, dia bersusah hati, karena merasa tak bisa membantu meringankan beban suaminya. Untungnya, jika memang bisa dibilang untung, Soni tak menginginkan bantuannya. Dia masih mampu menangani. Selain itu, katanya, Ana tak punya bakat bisnis. Terlalu murah hati. Itu memang benar. Jadi, Ana di rumah saja mengurus rumah dan anak-anak. Hanya, sesekali, bila terpaksa, ia menangani wartel.

Sesaat dia mempertimbangkan dengan ragu untuk menceritakan pertemuannya dengan Heru. Soni tak kenal Heru. Mungkin, dia akan bertanya-tanya, kalau suatu ketika melihatnya ngobrol dengan pria itu. Ana tidak khawatir suaminya cemburu. Soni bukan pria seperti itu. Lagi pula, dia tersenyum sendiri, apa yang harus dibuat cemburu dengan Heru?

Sekali lagi, dia membayangkan wajahnya yang tirus, rambut kusut, tubuh ramping sedikit terbungkuk diberati ransel, matanya yang serius dan dalam, dan suaranya... dan tertawanya.

Ana menghela napas panjang, lalu sekali lagi melepas pandang ke jam dinding. Beberapa menit baru saja lewat. Dia memilih sebuah kursi, duduk dengan kaki diselonjorkan lurus-lurus, matanya terpaku pada ujung jempol, yang mencuat dari sandal jepit yang bagian tumitnya telah menipis.

Ketidaknyamanan itu teralihkan oleh perasaan ringan yang menyembul dari dalam dirinya, menyebar lembut dan hangat ke seluruh tubuh. Sudah lama dia tidak bercakap-cakap dengan begitu gembira. Percakapan biasa dan kegembiraan yang biasa-biasa pula. Tiba-tiba dia ingat bahwa dia pun pernah muda, bebas, masa bodoh, dan gila-gilaan. Sekarang dia 35 tahun, dengan dua anak yang beranjak remaja, seorang suami, pekerjaan rumah bertumpuk-tumpuk, dan dua pegawai wartel, yang harus diperhatikan dan tanpa seorang pembantu pun. Ditambah lagi, tetang­ga yang harus diberi senyum, sejelek apa pun suasana hati saat itu. Jadi, apakah 35 memang sudah terlalu tua?

Pelangi di Tanggul Kali Bedog
Ada ribuan kupu-kupu kuning beterbangan di atas petak-petak sawah pada suatu siang terik di antara hari-hari basah bulan November. Entah dari mana mereka datang. Keindahan itu lewat tanpa permisi, sekejap, menakjubkan. Ada wewangian tertinggal di udara. Masih tersisa saat untuk dikenang, bagi mereka yang bisa menangkapnya.

Suatu hari Ana terbangun dengan perasaan menunggu sesuatu. Bertahun-tahun sudah dia tak lagi membuka mata dengan kegelisahan itu. Sesuatu akan terjadi. Hatinya perih oleh kesedihan yang tak terjelaskan. Dia menyalangkan mata, merasakan gerimis turun tanpa suara di luar jendela. Soni masih pulas di sampingnya. Disingkapnya selimut.

Pukul lima lewat beberapa menit. Tugas pagi menunggu. Menjerang air, nasi di magic jar harus diganti, menyiapkan teh Soni, sarapan untuk semua.... Hari kemarin dia bangun dengan kecepatan pentium generasi terbaru. Pagi ini prosesornya rusak. Dia ingin bergelung di balik selimut, membenamkan muka di bawah bantal, dan mengalirkan air mata yang tak dimengerti kenapa atau untuk apa. Dia sungguh-sungguh ingin menangis. Ada yang diharapkannya, begitu kuat menggigit hingga sakit hatinya. Hanya, dia tak tahu apa itu. Kesedihannya terasa sia-sia. Di sisi lain timbul keengganan yang mendekati ketakutan mempermainkan angannya. Kali ini Ana mengerti penyebabnya.

Sebulan berlalu sejak Heru muncul di pintu wartelnya. Sekarang dia tahu, paling tidak dua kali dalam seminggu Heru menelepon seseorang. Entah siapa. Pada awalnya, dia memang melakukan apa yang ingin dilakukannya. Keluar untuk menemuinya, lalu mengobrol sebentar mengenai hal yang tak penting. Tentang cuaca, tentang rumah pondokannya, murid-murid barunya, juga Kali Bedog di belakang rumahnya, dan pelangi yang kadang-kadang tampak melengkung di atasnya. Ana belum pernah melihatnya.

Lalu, suatu hari dia merasa, tanpa alasan jelas, lebih baik tak usah keluar menemuinya. Keputusan itu diambil tiba-tiba dan bertahan sampai saaat ini. Namun, bukan berarti dia tak melakukan apa-apa. Diam-diam dia selalu melihat lewat kaca gelap jendela ruang tamu pada jam-jam yang telah dihafalnya kedatangan dan juga kepulangan Heru.

Sambil berpura-pura membaca koran dia mengawasi pria itu menyandarkan motor di bawah pohon talok, lalu dengan langkah yang sekarang sudah dikenalnya benar, berjalan ke pintu wartel. Dia bisa mendengar, lebih tepatnya merasakan, pintu terbuka tanpa suara, melihatnya memilih bilik yang sebelah mana, masuk, memutar nomor, bahkan mendengar suaranya berkata, ”Halo....” Semua itu terjadi dalam kepalanya sendiri.

Lebih dari sekali Ana merasakan dorongan kuat untuk keluar, lalu tersenyum padanya, menyapanya dengan ringan, seperti waktu-waktu yang lalu. Hanya, kali ini dia akan menambahkan, ”Bagaimana kalau masuk dulu, aku baru saja membuat sus enak.” Mungkin Heru mau, mungkin pula tidak. Hanya memikirkannya saja sudah membuat perut Ana nyeri.

Kegembiraan yang samar meliputi hatinya, mendatangkan firasat tidak enak. Jauh sekali, entah di mana, dia pernah merasakan kegembiraan serupa itu dan rindu untuk menemukannya kembali. Tapi, dia tak berkehendak merasakannya dengan seorang pria yang bukan Soni. Suaminya. Ingin ditepisnya jaring yang mulai menggapai dari kejauhan sana. Namun, dia telah telanjur melihat ujung jalan itu. Bagaimana harus berpaling dari sana? Bagaimana? Ketakutan menggerusnya tanpa belas kasihan.

Tiga puluh menit setelah membuka mata, Ana menurunkan kakinya dari ranjang. Lantai sedingin es membekukan air matanya, sebelum sempat tertumpah. Jarum jam weker di atas meja rias membuatnya terbangun dari mimpi. Setengah enam lebih. Kalau tidak bergegas, tak kan ada sarapan untuk suami dan anak-anak. Sementara, kegelisahannya rontok. Dia menyisir rambut cepat-cepat, lalu bergegas ke dapur, sambil menguncirnya jadi ekor kuda.

Seperti waktu-waktu lalu, Ana masih seorang ibu, istri, manajer, sekaligus pembantu rumah tangga yang efisien. Hari ini pun dia melewatkan pagi dengan selamat. Siang, dia memasak seperti biasa. Memanggang kue. Menyiapkan makan siang. Menyetrika pakaian. Johan pulang. Asa menyusul kemudian.

Rutinitas seperti kemarin. Asa mengunci diri di kamar, adiknya sibuk dengan games. Sekali lagi Ana menyadari perasaannya saat bangun pagi tadi. Sambil mencuci piring, dia memikirkannya. Lalu, dia melihat, lewat jendela dapur, seekor kupu-kupu kuning berputar-putar di antara semak hortensia yang tengah berbunga. Hujan tengah hari tadi menyisakan butir-butir air serupa kristal di pucuk-pucuk daun dan permukaan kuntum bunga berwarna ungu muda. Matahari mengintip enggan dari celah-celah awan. Kupu-kupu itu terus menari, rupanya mengagumi pelangi yang terlukis di antara seribu kristal yang berserakan di bawah kakinya. Ana terus menatapnya.

Bertahun-tahun yang lalu dia pernah mengagumi pelangi. Sekarang pun mungkin masih. Hanya jam demi jam yang bergulir tanpa jeda, tak lagi mengizinkannya memikirkan hal itu. Entah sejak kapan memandangi pelangi jadi terasa mengada-ada, atau paling tidak, kekanak-kanakan.

Ana menaruh piring terakhir di rak, mengelap tangan, lalu melirik jam dinding. Dua empat puluh. Irama kerjanya hari ini lebih lambat dari biasa. Dia menjenguk ke ruang tengah. Johan terti­dur di sofa. Asa tak kedengaran suaranya. Sekali lagi dia melihat jam, mengigit bibir, lalu memutuskan. Ekor kudanya dia rapikan. Dia tidak berbedak. Tidak berganti baju. Lalu, keluar lewat pintu belakang.

Dia melintasi pekarangan belakang yang luas, menerobos kebun tetangga untuk memintas jarak, lalu sampai di sebuah lorong kecil. Diikutinya lorong yang menurun itu hingga ke ujungnya, lalu dia mendapati dirinya ada di bawah rumpun-rumpun bambu ori, yang berjajar memagari desa dari serbuan angin dan kunang-kunang. Di depannya terhampar petak-petak sawah menjelujur sepanjang tepian Kali Bedog, yang mengalir berliku-liku, mencari jalan untuk bersatu dengan ibu kandungnya di selatan, Progo. Ana mendengar suaranya yang mengarus tenang, meski belum melihat aliran airnya, yang pada musim penghujan ini jadi keruh kecokelatan. Dia melihat ke barat. Tak ada lengkung pelangi yang dicarinya.

Hatinya sedikit kecewa. Untuk beberapa saat yang hening, dia membiarkan dirinya diombang-ambingkan angin dengan pikiran tak menentu, tak ingin beranjak pergi, tak pula tahu apa yang di­tunggunya di sini. Rumput menggatalkan kakinya. Di seberang ada pria bercaping membungkuk di antara batang-batang padi muda. Belum pernah Ana merasa demikian kesepian.

Tak pernah ada alasan untuk itu. Empat belas tahun usia pernikahannya berlalu begitu padat, tak menyisakan waktu untuk merasa kesepian. Tahun-tahun sibuk, ketika dia harus membagi hidupnya antara diri sendiri, suami, mertua, dan kuliah, seakan baru terjadi kemarin. Kegelisahan untuk cepat memiliki rumah, bukan karena orang tua Soni kurang baik, tapi semata dia merasa akan lebih tenteram tinggal di rumah milik sendiri, juga masih segar dalam ingatan.

Kejadian itu sudah sebelas tahun lewat, satu tahun setelah kelahiran Asa, ketika dia mengambil cuti satu semester, namun kemudian berlanjut hingga seterusnya. Saat itu dia merasa tak bisa lagi menyisihkan waktu untuk buku-buku teks dan persiapan ujian. Padahal, Soni tak pernah memintanya berhenti. Dia sendiri yang mau. Meski begitu, ada kalanya dia menuduh Soni mementingkan diri sendiri dan tak mau melihatnya jadi pintar, yaitu ketika mereka bertengkar karena satu atau lain sebab. Biasanya, setelah keributan itu, yang ditandai dengan air mata Ana dan membisunya Soni selama beberapa hari, dia akan kembali mengkaji semuanya.

Tidak adil menyalahkan Soni atas keputusan yang diambilnya sendiri. Soni tak memercayai pembantu, yang tak cukup berpendidikan maupun memiliki standar tertentu dalam mengasuh anak. Jika Ana memang mau kembali kuliah, dia menghendaki Asa diasuh ibunya. Itu berarti mereka harus kembali ke rumah orang tua Soni. Jadi, Ana memutuskan memperpanjang cutinya sampai Asa cukup besar untuk diajak bepergian dan dititipkan di rumah neneknya, tanpa terlalu merepotkan.

Saat itu tak pernah datang. Karena, dua tahun kemudian Johan lahir. Ruang kuliah sudah teramat jauh, namun dia tak lagi menyesal. Dengan dua anak seperti mereka, tak ada penyesalan apa pun yang patut dirasakan. Dan lagi, jauh di sudut hatinya, dia harus mengakui, minatnya untuk meneruskan belajar sudah telanjur melembek. Sekali lagi, dia tidak menyesal gagal menjadi doktoranda dan sebagai gantinya memperoleh seorang suami dan dua anak yang manis-manis dan predikat ibu rumah tangga.

Ana menghela napas, lalu berpaling. Pria itu sedang melangkah di atas pematang, beberapa belas meter dari tempatnya berdiri. Dia tidak mendengar suara langkahnya, hanya begitu saja menoleh, seolah bisikan gaib yang tak diketahui dari mana bermula, telah memanggilnya. Sekali lagi dia menghela napas, lalu berpaling ke arah lain, agar tak dikira sengaja menunggunya. Dia tak mau Heru berpikir begitu.

“Hai.” Heru berhenti beberapa langkah darinya.

“Hai,” balas Ana. Mereka bertukar pandang, tersenyum.

“Kau mencari sesuatu?”

Ana terperanjat. “Mencari sesuatu? Ah, tidak..., tidak.”

“Aku melihatmu lama berdiri di sini. Kupikir, mungkin ada yang kau cari, kalau-kalau ada yang bisa kubantu,” Heru menjelaskan.

“Aku mencari pelangi,” katanya, sekonyong-konyong, gugup.

Sesaat dia mengira Heru akan tertawa dan dia menyesal mengatakannya. Tapi, Heru tidak tertawa. Wajahnya biasa-biasa saja, seolah dia baru mendengar seseorang hendak mencari belut di sawah, atau ingin menemukan satu judul buku di perpustakaan, atau hal-hal lain semacam itu, dan bukannya sesuatu yang bagi kebanyakan orang lain bisa menimbulkan keheranan, bahkan juga Soni. Stop! Ana menghentikan pikirannya sampai di sini.
Heru mendongakkan kepalanya ke arah barat. “Cuacanya kurang cocok. Kurasa, agak terlalu mendung untuk bisa melihat pelangi.”

“Ya, mungkin. Aku hanya… hanya untung-untungan saja.”

“Aku mengerti. Dari tempat ini, pelangi memang terlihat indah sekali, benar-benar menakjubkan. Aku jadi paham, kenapa orang-orang zaman dulu beranggapan, pelangi adalah jembatan yang menghubungkan dunia ini dengan negeri tempat tinggal para dewa. Para bidadari turun untuk mandi di sebuah telaga, yang tak diketahui manusia. Walaupun waktu berlalu dan ilmu pengetahuan memetik banyak keajaiban, menelanjangi semua misteri, mengupas begitu banyak rahasia, dia tak berkuasa memenjarakan imajinasi kita. Syukurlah.”

“Iya, tampaknya begitu.” Ana tersenyum lega. Sesaat dia memikirkan kata-kata Heru. Pria yang bisa menikmati pelangi dengan perasaan demikian, pasti tak memandang seorang wanita yang ingin melihat pelangi sebagai fenomena ajaib. Kenyataan itu menenteramkan. Perasaan canggung memudar digantikan sedikit kehangatan. Dengan sudut matanya dia memerhatikan pria di sampingnya. Celananya basah, digulung sampai sebatas lutut. Mungkin dia turun ke sungai. “Kau sendiri, apa yang kau lakukan?”

Heru ikut menunduk, memandangi kakinya sendiri, mengangkat bahu.

“Aku sedang mencoba, mungkin bisa menemukan katak hijau.”

Ana diam, tak mengerti.

Heru menjelaskan, “Untuk bahan praktikum. Sebenarnya, lebih gampang mencarinya pada malam hari. Tapi, akhir-akhir ini hujan deras selalu turun. Aku belum dapat seekor pun, padahal besok kami memerlukannya.”
Ana tersenyum. “Aku pernah berpikir, bagaimana rasanya siuman dari kloroform di dalam tempat sampah dengan perut robek dan isi badan keluar. Lalu, aku ingat, tak ada makhluk yang bisa bertahan hidup dengan usus putus, ginjal pecah, jantung sobek, atau bahkan salah satunya saja. Jadi, binatang-bianatang itu tak usah merasa kesakitan sesudahnya, bukan?”

“Kau memelihara binatang?”

“Hanya seekor kucing. Kenapa?”

“Kau punya perasaan halus. Hanya karena rasa sayang, orang bisa memikirkan perasaan pihak lain dan memprihatinkannya, walau hanya terhadap binatang. Kadang-kadang, kita menyebut hal itu sebagai rasa kemanusiaan, tapi menurutku, itu adalah kasih sayang.”

Ana memikirkan hal itu beberapa saat, kemudian tersenyum lemah. “Aku tak pernah merasa diriku ini penyayang binatang. Bahkan, belum pernah memikirkannya. Dalam daftar menuku selalu tersedia daging dan ikan. Saat memasaknya, aku tak sempat memprihatinkan bagaimana perasaan mereka. Ketika memakannya, aku pun tidak merasa berdosa telah mengambil kehidupan mereka demi kelangsungan hidupku sendiri.”

“Begitu juga ketika aku membedahnya di laboratorium. Berdalih demi ilmu pengetahuan, yang pada akhirnya demi kesejahteraan umat manusia juga. Demi itu, apa pun tampak jadi benar dan layak dilakukan. Tidakkah menurutmu manusia itu makhluk yang mahasombong?”

Ana agak terkejut mendengar nada sarkastis dalam suaranya.

Heru berpaling padanya, menyadari keheningan yang sesaat dihadirkan Ana. Dia tersenyum sekilas. “Mungkin, itu hanya pemikiranku saja.”

Ana membalas senyumnya, juga hanya sekilas. Kakinya bergerak, memindah tumpuan berat badan, menimbulkan suara berkeresek lembut yang hanya tertangkap telinganya sendiri. “Aku tidak tahu, entahlah. Memang, aku pernah mendengar sesuatu. Tentang manusia dan tugasnya sebagai khalifah, yang harus menyejahterakan bumi. Jauh sebelumnya, Tuhan menawarkan amanah itu pada makhluk lain. Namun, hanya manusialah yang bersedia menerima, leng­kap dengan segala konsekuensinya. Sesungguhnya, aku tak tahu banyak tentang hal seperti itu. Jadi, mungkin kata-kataku kurang tepat.”

Sedikit mengernyit, Ana melanjutkan, “Pada kenyataannya, memang hanya manusia yang mampu dan harus bertanggung jawab terhadap kelangsungan kehidupan planet kecil kita ini. Jika kemudian hal itu dilakukan dengan cara manusia, ukuran manusia, dan pada ujungnya adalah mengutamakan kepentingan manusia, bukankah itu sangat masuk akal? Atau, apakah itu disebut kesombongan juga?”

“Jika itu dipakai sebagai dalih, menurutku, ya.”

“Tapi, kau tadi bilang, pembedahan itu demi ilmu pengetahuan.”

“Aku juga termasuk di dalamnya.”

Ana terdiam, memikirkan fakta kecil itu. Sulit baginya membayangkan kegiatan yang biasa-biasa saja di dapurnya sebagai wujud dari kesombongan manusia. Di lain pihak, jika memikirkan bahwa semua itu dilakukan dengan begitu santai, tanpa merisaukan berapa banyak yang telah diambil dari alam, dirusak, dimusnahkan, dan kemudian dibuang tanpa penyesalan, dia mengerti betapa remehnya manusia memandang sesuatu di luar dirinya sendiri.

Bahkan, sebutir nasi dalam rice cooker-nya telah melewati serangkaian proses itu, mulai dari pupuk kimia, pestisida, hutan-hutan yang makin berkurang, sampai pada menghilangnya entah berapa spesies tetumbuhan dan hewan lokal. Kenyataannya hal itu terasa layak dan wajar saja.

Heru menghela napas. “Sebetulnya, aku sering lupa bahwa katak atau kadal adalah makhluk hidup juga, bukan sekadar preparat. Makin lama di laboratorium, makin sering pula aku lupa. Mungkin, perasaanku jadi kebal. Bahkan, sesuatu yang paling sensasional sekalipun, akan menjadi biasa-biasa saja, bila terlalu sering ditemui, dan kita tak lagi tersentuh karenanya. Manusia mempunyai kemampuan luar biasa untuk beradaptasi. Menakjubkan memang. Tapi, terkadang juga menakutkan. Jadi, sesekali aku pergi ke luar, melihat bagaimana mereka hidup di rumahnya sendiri. Mungkin, dengan begitu aku bisa lebih menghargai mereka, sambil tetap memburunya untuk kepentinganku sendiri. Sombong sekali, ’kan?”

Ana membayangkan Heru di laboratorium sekolahnya dengan lab jas putih, berdiri di depan murid-muridnya, yang siap dengan pisau bedah dan seekor katak telentang di atas meja porselen. Dia pasti memulai acaranya dengan berdoa lebih dulu, dia yakin akan hal itu, lalu berkata dengan serius bahwa pembedahan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Sebab, yang mereka bedah bukan sekadar preparat tak berharga, namun makhluk hidup yang telah memberi andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan karena itu tidak pantas disia-siakan.

Tanpa terasa bibirnya mengulas senyum, “Kau tidak terdengar sombong.”

“Lalu, terdengar bagaimana? Sok?”

Terdengar menakjubkan, pikir Ana. Sedetik kemudian dia terkejut sendiri dengan pikirannya. Dia terperanjat mendapati dirinya dengan mudah menggunakan kata takjub untuk merefleksikan pendapatnya tentang Heru. Dengan spontan pula. Sesaat dia panik. Saat berikutnya barulah dia ingat bahwa pengakuan itu belum lagi keluar lewat mulutnya. Tapi, apalah bedanya? Dia telah mengakui bahwa seorang pria, yang bukan suaminya, ternyata bisa menakjubkan. Dipandanginya ujung jari kakinya yang terbenam di antara rumput pematang, ramping dan jernih. Namun, saat ini dia tak hendak mengagumi diri sendiri.

Sesaat kemudian barulah dia sanggup bicara. “Aku jadi mengerti, kenapa kau aktif di pramuka dan juga bersedia mengajar di Timor Timur.”

“Waktu itu aku masih muda.”

“Oh, jadi sekarang kau sudah tua?” Ana tertawa.

Heru membalas tawanya dengan ringan. “Setidaknya lebih tua daripada sepuluh tahun lalu.”

“Jadi, andai waktu itu kau lebih tua, atau lebih realistis mung­kin, kau takkan menerima penugasan ke sana?”

“Belum tentu juga. Pada kenyataannya, menjadi pengangguran adalah sesuatu yang sangat menakutkan. Hal yang tak begitu kurasakan waktu itu, tapi kusadari benar sekarang. Jadi, meski dengan alasan dan pertimbangan yang lebih praktis, kurasa aku tetap akan pergi. Sepertinya, itu sudah jadi takdirku.”

Suara Heru sedikit menurun di akhir kalimat.

Ana memandangnya, “Beratkah keadaan di sana?”

Heru tersenyum, “Tidak juga. Setidaknya, hanya tahun-tahun awal yang agak sulit. Selanjutnya berjalan lebih menyenangkan, sampai….” Sampai Hesti pergi. Dia mengangkat bahu, “Sampai aku pindah kemari.”

“Begitu? Kedengarannya tak seburuk yang pernah kudengar.”

“Apa yang pernah kau dengar?”

“Oh, tak sebagus ceritamu. Tapi, itu barangkali karena aku mendengarnya dari keluarga tentara yang pernah bertugas di sana. Dia gugur dalam sebuah patroli di pedalaman. Jadi, ceritanya mungkin lain dengan cerita pendatang dari kalangan sipil.”

“Aku pernah mengalami hal yang tak terlalu menyenangkan. Tentang perasaan tidak diterima dan tak disukai. Aku barangkali lebih beruntung, karena kemudian menikah dengan gadis setempat, dan tinggal di lingkungan yang kita menyebutnya pro integrasi. Namun, belakangan hal itu pun tidak menolong, kalau tak bisa disebut lebih buruk lagi. Baik bagi mereka, apalagi pendatang-pendatang sepertiku. Jadi, kami harus menyingkir bila masih ingin selamat. Aku dan putriku….”

Di kepala Heru gambar itu berulang lagi dengan jelas, seperti film lama yang diputar kembali dalam gerakan slow motion.

Hampir saja dia tak berhasil membawa putrinya pergi. Selama ini, gadis kecil itu diasuh oleh keluarga ibunya, menjadi kesayangan mereka. Diperlukan usaha, diplomasi, setumpuk argumentasi, hari-hari melelahkan, untuk meyakinkan keluarga mertuanya. Dalam hati Heru sudah memastikan tak akan meninggalkan Dili tanpa putrinya. Hingga akhirnya, semata-mata karena mereka sangat mengkhawatirkan keselamatannya di tengah situasi yang kian memanas dan nyaris tak terkendali itu, keluarga Hesti rela melepaskan cucu mereka, untuk pertama kali menginjakkan kaki di tanah kelahiran sang ayah.

Hari esoknya masih tanda tanya. Apakah dia akan kembali bekerja, atau sambil duduk mengkhayalkan masa lalu, yang kini serupa mimpi? Apakah dia akan menerima gaji buta, menjadi parasit tak berguna yang seharusnya memusnahkan diri sendiri? Atau, lebih buruk lagi, akhirnya menjadi salah satu di antara jutaan penganggur, tanpa penghasilan, tanpa kepastian, tanpa rasa percaya diri.

“Aku beruntung sudah mendapat penugasan lagi di sini. Banyak sekali di antara kami yang masih harus menunggu tanpa kepastian masa depan, entah sampai kapan,” Heru mengakhiri ceritanya dengan satu tarikan napas panjang. Sesaat dia memandang ke dalam dirinya, heran pada kesanggupannya menceritakan semua itu.

Di sampingnya, suara napas Ana terdengar halus menembus gemerisik batang-batang padi dan arus air yang mengalir tenang. Wanita itu tidak menyela ceritanya. Kediamannya saat menyimak kata-katanya, ketenangan sikapnya, memberi Heru keberanian untuk tidak berhenti. Lalu, dengan agak terkejut dia mendapati dirinya merasa lega. Seakan, sesuatu yang sudah sejak lama mencari-cari udara segar, tiba-tiba menemukan jalan keluar, mengalir dengan tenang dan lembut meninggalkan dirinya.

Anehnya, semua itu tidak terasa mengada-ada, atau membuatnya merasa canggung.

“Aku senang kau ditugaskan di sini,” kata Ana.

Sesungguhnya, dia ingin berkata, ”Kau telah melewati saat-saat yang berat.” Namun, karena suatu alasan yang ia sendiri tak mengetahuinya, dia merasa kata-kata itu tidak cocok diucapkan untuk Heru. Secara samar-samar dia pun bisa merasakan bahwa Heru tak menghendaki kata-kata semacam itu.

Entah kenapa, meski Ana yakin Heru telah menghadapi saat-saat sangat berat, dia tidak memandang pria itu sebagai orang yang patut dikasihani. Dia sama sekali tak kelihatan menderita. Dia kuat. Begitulah kesan Ana ketika berdiri di sebelahnya, mendengarkan suaranya yang tenang dan dalam, mengalir bersama arus Kali Bedog, pada suatu sore berawan di akhir bulan November.

Heru mengangguk. “Aku pun merasa begitu. Desa ini kecil dan sepi, tapi…,” dia memandang berkeliling, “punya kepribadian.”

Punya kepribadian. Ana memikirkan sejenak kata-kata Heru itu, sambil berusaha memahami artinya. Meski tak begitu jelas, dia seperti bisa menangkap maksudnya. Dia menghela napas.

“Terima kasih,” ucap Heru tiba-tiba.

Ana terkejut. “Untuk apa?”

“Untuk semuanya. Mendengarkan keluh-kesah orang asing dan omong kosong lainnya. Mungkin agak membosankan.”

“Tidak. Sungguh, tidak,” sahut Ana cepat. “Lagi pula, aku tidak mendengarmu berkeluh kesah atau omong kosong. Aku senang bisa bicara denganmu seperti ini. Sungguh.”

“Jika benar begitu, percayalah, aku lebih senang lagi. Membicarakan sesuatu dengan perasaan bebas, dengan cara yang paling kita sukai dan di tempat yang kita sukai, rasanya sangat nyaman.” Dia kelihatan agak malu, seperti kelepasan mengatakan sesuatu yang seharusnya tak usah dikatakan.

Nyaman? Itukah kata yang tepat? Ana mengembuskan napas.

Dengan agak lambat Heru melanjutkan, “Meski yang kita bicarakan hanyalah hal-hal yang tak penting sama sekali.”

“Aku tak pernah membicarakan hal seperti ini sebelumnya.”

“Hal seperti ini?” ada nada tak mengerti dalam suara Heru.

“Segalanya tentang pelangi, makhluk hidup yang bukan sekadar preparat, hal-hal yang kita bicarakan tadi. Apalagi, di tempat…,” dia memandang berkeliling, “di tepi sungai.”

Heru seperti diingatkan sesuatu. Dengan sedikit menoleh, dia memerhatikan wanita di sampingnya. Dia hampir lupa siapa Ana sebenarnya. Seseorang yang tak akrab pada masa lalu, yang kebetulan dijumpainya lagi sebulan lewat, yang sebetulnya sama sekali tak dia kenal. Hari ini tak sengaja mereka bertemu di tanggul Kali Bedog. Entah bagaimana, pembicaraan tak lagi seputar cuaca atau kabar para tetangga. Benarkah Ana datang untuk melihat pelangi? Dari tubuhnya samar-samar tercium aroma kue yang sedap. Bau rumah yang nyaman. Sesuatu yang... sulit diungkapkan.

Heru menggeser pandangannya ke seberang sungai. “Aku pernah, tapi memang bukan di tepi kali,” dia mengakui.

“Bukankah ini menyenangkan?” Dan, sekali lagi Ana terkejut oleh pendapatnya sendiri.

“Kurasa begitu.”

Keduanya menoleh. Lalu, tanpa pretensi apa pun, kecuali persetujuan atas kesimpulan yang telah mereka sepakati bersama, mereka saling melempar senyum.

Masih tersenyum, Ana menunduk. Dia ingin memberikan sebuah komentar. Namun, keheningan yang menyertai senyum mereka terlalu indah untuk dipecahkan. Saat itu dia melupakan apa pun, kecuali kenyataan bahwa dia ada di sini, bisa merasakan perasaan itu dan merasa bersyukur karenanya.

Heru memasukkan kedua tangannya dalam saku celana. Seperti biasa, kesunyian menenteramkan hatinya. “Lain kali, mungkin kau bisa menemukan pelangi,” katanya kemudian.

Ana sudah lupa sama sekali soal pelangi. Meski begitu, dia mengangguk. Tak soal apakah Heru melihat anggukannya atau tidak. Angin masih berembus. Dia ingin membuka ikatan rambutnya dan membiarkannya lepas seperti perasaannya. Roknya terasa menyapu menggelitik betis, rerumputan lembut dan arus Kali Bedog mengalir tenang seperti kemarin. Dia menghela napas panjang.

“Kenapa?” tanya Soni sekonyong-konyong.

Ana tersentak. “Kenapa?” ulangnya, bingung.

“Kau melamun.”

Ana memandangi apel di tangannya, yang baru separuh terkupas.

“Ah, cuma soal Mbak Indah,” dia berbohong. “Dia mengajakku ikut senam. Aku belum memutuskan ikut atau tidak. Padahal, besok latihan pertamanya.”

Soni melipat korannya. “Berapa biayanya?”

Ana menyebut angka yang samar-samar diingatnya. Sebenarnya, dia tak terlalu berminat. Lagi pula, kecil kemungkinan Soni setuju, mengingat jumlah yang harus dibayarkan. Dia sudah memutus­kan untuk berkata tidak, kalau Mbak Indah menanyakannya besok.

Reaksi Soni seperti yang diduga, “Mahal sekali.”

Ana mengangkat bahu. Dia bersiap kembali pada apelnya, namun kata-kata Soni kemudian membuatnya berhenti.

“Yah, kalau kau ingin, ikut saja, asal tidak mengganggu kegiatan sehari-hari. Zaman sekarang tak ada yang murah memang.”

“Kau tak keberatan aku ikut?” tanyanya, keheranan. Ini lain dari Soni yang biasanya. “Tapi, biayanya besar.”
“Nanti kutambah uang belanjamu.”

Korannya sudah terlipat rapi sekarang. Dia mulai meraba-raba, mencari rokok dan koreknya. Ana mengambilnya dari bawah meja, lalu mengangsurkan pada suaminya. Dia tak pernah berhasil mengir. Padahal, pekerjaan selalu menuntut pemikirannya. Jadi, kalau Ana masih mengharapkan uang belanjanya, biarkan dia merokok. Terpaksa Ana menyediakan sebuah asbak di rumahnya. Dia hanya dapat memerhatikan dengan kesal, melihat asap yang melingkar-lingkar keluar dari mulut suaminya.

Soni mengisap rokoknya pelan-pelan, lalu mengembuskannya menjauhi Ana. Dia tahu semua tentang bahaya merokok dan akibatnya bagi dirinya sendiri maupun orang-orang di sekelilingnya. Tapi, dia tak mau terjerumus dalam debat kusir itu lagi.

“Aku dikirim untuk mengikuti penataran di Bogor.”

Sekali lagi Ana tertegun. “Penataran? Kapan? Berapa lama?”

“Enam minggu. Senin depan mulai.”

“Mengapa mendadak sekali?”

“Sebenarnya, tidak. Aku lupa mengatakannya padamu.”

Ana menimbang-nimbang. Soni telah memutuskan. Pemberitahuan tadi hanya pengumuman, bukan permintaan persetujuan. Biasanya juga begitu. Biasanya dia pun tak mempermasalahkan. Paling dia akan mengomel, karena harus tergesa-gesa menyiapkan baju Soni. Selebihnya, dia bisa santai di rumah. Sesekali makan di luar bersama anak-anak. Memang, harus hati-hati menggunakan uang belanja. Tapi, biasanya Soni akan memaafkan sedikit pemborosan, setelah sekian lama tidak bertemu dengannya dan anak-anak.

Malam itu dia berbaring di samping suaminya dengan pikiran masih berputar-putar. Enam minggu tanpa Soni bisa berjalan lambat, bisa pula secepat kilat. Teringat olehnya bau air dan rerumputan di tanggul Kali Bedog, dan seorang pria yang mencari katak di tepiannya, yang merasa dirinya sombong, karena telah memandang binatang itu melulu sebagai preparat di laboratorium.

Dia duduk, lalu mengguncang bahu Soni. Dia tak berhenti mengguncang sampai pria itu membuka matanya yang mengantuk.

“Apa?”

“Jangan pergi,” pintanya sungguh-sungguh, “jangan ikut penataran.”

Soni memandangnya, menarik selimutnya, lalu membalikkan badan.

Ana merasa tak berdaya.

Dia tahu persis betapa tak masuk akal sikapnya barusan. Pasti Soni menganggapnya sedang ngelindur. Seandainya dia tahu seberapa besar keinginan Ana agar dia tetap tinggal dan betapa bersungguh-sungguhnya dia. Meskipun, Ana takkan sanggup menjawab bila Soni bertanya kenapa. Bahkan, pada dirinya sendiri Ana tak berani bertanya. Sebab, jawabannya mungkin akan sangat menakutkan.

Namun, dia tak kuasa menahan ingatannya, menghadirkan kembali film berwarna itu. Tentang sungai dan rerumputan dan angin... dan pria yang sama.

Tiga hari kemudian Soni berangkat.

Setelah memandang ujung jalan yang tadi menelan suaminya, Ana beranjak masuk. Dengan tangan gemetar dia menekan nomor telepon ibunya.

“Ibu? Ini aku. Bisakah Ibu datang dan menginap beberapa hari di sini? Tidak ada apa-apa. Hanya rasanya agak sepi, karena Mas Soni pergi, lagi pula anak-anak juga sudah kangen pada Ibu. Bisa kan, Bu? Bagaimana? Oh... syukurlah. Kami tunggu, ya, Bu.”

Dia meletakkan gagang telepon perlahan-lahan. Tangannya masih gemetar. Kemudian, tanpa dapat ditahan lagi, dia mulai menangis.

Migrasi kupu-kupu
Ada kejadian-kejadian yang tak ingin diingatnya, waktu-waktu yang tak hendak dikenang, nama-nama yang minta dilupakan. Lubang hitam itu menganga dalam dirinya, tak meloloskan sepercik cahaya pun, bahkan lama sesudahnya. Enam tahun cukup lama bagi kebanyakan pria. Baginya, jarak itu hampir tak ada. Hari ini dia tetap sama dengan kemarin, kemarinnya lagi, dan jauh sebelumnya. Meski begitu, bila sebatang pohon terlalu lama sembunyi dari matahari, dia akan mati. Pasti akan mati. Begitulah dia. Pria yang kesakitan, pohon yang tengah sekarat.

Heru tak melukiskan dirinya secara berlebihan. Sampai kemarin dia masih merasa kehidupan menjauhinya dan dia tengah bertanya-tanya, mengapa bisa bertahan sejauh ini dengan begitu sedikit alasan. Tentu dia harus bertahan, demi putrinya. Demi murid-muridnya yang ingin dia bagi sedikit rasa terima kasih. Demi orang tuanya. Lalu, demi dirinya sendiri? Heru bahkan tak peduli orang menyebutnya pria setia. Dia tak mengerti arti kata setia. Dia hanya tahu, sejak tiada Hesti, dirinya kosong sama sekali.

Lalu, pada suatu siang berawan di antara hari-hari yang penuh gerimis, hanya suatu hari yang tak tampak istimewa di antara ribuan hari yang telah dan akan silam, dia terdampar di tepian Kali Bedog, bersama wanita yang dikenalnya bernama Ana Murti. Sesuatu yang datang dari sekian belas tahun lalu, melewati masa-masa tak terdeteksi dan kemudian mengalir kembali padanya bersama arus Kali Bedog dan angin lengas bulan November.

Heru ingat perasaannya waktu itu. Sesuatu tentang rumah. Tentang ingatan yang nyaris musnah dari memorinya. Dan, katanya, dia datang untuk mencari pelangi.

Sekarang Heru bisa menggambarkan dengan cukup mudah setiap detailnya. Bagaimana angin mengibas roknya dan menerbangkan anak-anak rambut di keningnya. Ana tak mengenakan make up. Sandal jepitnya sudah tua, menopang sepasang kaki ramping yang terpetak jelas oleh jejak angin. Badannya segar.

Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun, Heru mendapati dirinya berpikir tentang badan wanita. Wanita yang nyata. Entah bagaimana, kehangatan yang sederhana namun lembut, mulai bergerak mengisi dirinya. Dia bisa melihat bungkah-bungkah tanah retak yang pucat berdebu mulai melembap dan merapat oleh jatuhnya gerimis. Hanya sesuatu yang sederhana memang. Hujan di penghujung kemarau, yang senantiasa kembali menghidupkan tetumbuhan sekarat dan sungai-sungai kering di bukit-bukit tandus Pegunungan Kidul. Demikianlah alur-alur tua dalam dirinya mulai bernapas lagi.

Pada saat yang sama, secara naluriah, dia mengerti, Ana juga merasakannya. Dia tak dapat menjelaskan prosesnya. Namun, begitulah. Naluri dalam dirinya seakan tahu saat tangannya terulur, dan dari seberang sepasang tangan lain bergerak menyambutnya. Pada saat yang singkat itu mereka berdampingan, bergandengan, bersentuhan, saling mencari dan menautkan. Tidak perlu kata-kata. Bahkan tak perlu apa-apa. Hanya keheningan yang menyusul dan menenteramkan.

Dia tidak tahu apakah sebuah kisah mesti ada kelanjutannya? Mestinya, ada. Kini waktu bergulir begitu cepat dan dia tak bisa menghentikannya atau menemukan alur lain, kecuali jalan itu. Dalam keliaran yang menakutkan maupun detik-detik lambat penuh siksaan, persimpangannya tetap saja mengarah ke sana. Kembali ke tepian itu. Dia membiarkan dirinya terbawa. Begitu lama sudah kekosongan membunuhnya, hingga ia tak punya kesanggupan mati sekali lagi dan membiarkan cahaya berlalu begitu saja melewatinya.

Lantas, dengan keyakinan yang hanya dapat dimengerti olehnya sendiri, dia tahu, cepat atau lambat Ana akan mencari jalan kembali padanya.

Entah sudah berapa lama dia menunggu. Siang-siang dan sore-sore, baik yang mendung ataupun bergerimis, lewat. Dia tidak berusaha menipu diri dengan pura-pura mencari sesuatu di sungai. Hanya menunggu. Menunggu di tanggul Kali Bedog, tempatnya bertemu dan berbincang dengan Ana tempo hari. Sudah dua kali dia melihat pelangi melengkung di ujung barat. Seandainya saja Ana tahu.

Kadang, dia berpikir Ana memang tahu. Tapi, dengan alasan tertentu yang sepenuhnya dia pahami dan maklumi, sengaja tak menghiraukannya. Kadang, dia pulang dalam guyuran hujan, merunduk di sela-sela kilat dan guntur yang bersahutan. Namun, dalam kedinginan itu tak pernah terlintas dalam pikirannya suatu pe­nyesalan atau perasaan sia-sia. Dia sudah cukup lama menanti untuk sampai ke sini.

Lalu, suatu hari, penantiannya terbayar. Ana berdiri di depannya. Berekor kuda, dengan sandal jepit yang sama dan rok yang terkebas angin, seperti waktu itu juga. Heru tak bisa berbuat lain, kecuali tersenyum kepadanya.
Ana menyilangkan tangan ke dada, merasakan gigilan badannya. Dia juga menatap Heru. Matanya agak berkaca-kaca.

“Kau melewatkan dua pelangi,” ucap Heru, lembut.

“Aku... sebetulnya tak ingin ke sini,” kata Ana tergagap. Dia tak mampu menahan dirinya untuk tidak mengatakan hal itu, seakan itulah hal terpenting yang harus atau ingin diketahui Heru. “Aku sungguh-sungguh tak ingin.”

“Aku tahu.”

“Suamiku tak di rumah. Aku sudah mencoba memintanya tidak pergi. Aku selalu mengingat anak-anak. Aku menyibukkan diri dengan mereka. Aku bahkan minta ibuku datang dan menemaniku. Aku membaca semua buku nasihat perkawinan, melihat album pernikahan kami, foto-foto lama kami, mendengarkan kaset ceramah pengajian, dan semua hal yang memungkinkan aku tetap tinggal di rumah. Tapi, lihatlah, aku ada di sini.”

Ana merasa begitu tak berdaya hingga meleleh air matanya.

Itu juga aku tahu, pikir Heru. Itulah yang membuatnya bersabar melewati hari-hari penuh ketidakpastian di tanggul Kali Bedog ini. Dimasukkannya kedua tangannya ke saku celana, semata-mata karena keinginan tak terkendali untuk mengusap air yang mengaliri pipi Ana, tak hendak diturutinya.

“Tidak layak wanita baik-baik menyelinap menemui pria asing selagi suaminya pergi. Tak pantas seorang istri mencari pria yang bukan suaminya. Seumur hidup, itulah keyakinanku. Sampai detik ini pun masih kuyakini, sambil aku berdiri di depanmu dan merasa diriku bukan lagi wanita baik seperti yang kuingini selama ini. Tapi, aku tetap datang dan tetap mencarimu. Mengapa?”

Heru memandang ke dalam matanya. “Ada kupu-kupu yang terlahir di suatu perjalanan. Di suatu persinggahan dalam salah satu musim, di antara siklus panjang migrasi nenek moyang. Merekalah yang tinggal dalam gulungan dedaunan di hutan-hutan tak bernama, di tempat-tempat tak dikenal, menjadi mimpi baru, ketika generasi terdahulu berguguran sebelum sampai tujuan. Mengapa mereka terbangun dan tumbuh, mengisi diri dan memenuhi, mengepakkan sayap-sayapnya dan memaksa pergi ke arah yang tak pernah mereka kenal atau pelajari, persis seperti jutaan generasi terdahulu melewati waktu, menelusuri rute yang sama, musim yang sama dalam ritual yang sama, untuk tiba di tempat yang sama. Mengapa mereka melakukannya? Aku hanya perlu katakan, mereka mengikuti arus migrasinya, seperti kau dan aku menjalani migrasi hingga sampai di sini.”

Ana membalas tatapannya, tersenyum gemetar, lalu menyeka pipi dengan ujung jari. Dia tahu, akan begitulah jawaban Heru. Sejak pria itu memasuki wartelnya pada suatu senja bergerimis dan dengan begitu saja menerobos kehidupannya sekaligus pikiran dan hatinya, dia telah membuka diri untuk tahu segala yang perlu diketahui tentang Heru, tanpa merasa terkejut atau terganggu. Pada kenyataannya, pengetahuan itu muncul begitu saja dalam dirinya, seakan memang sudah tersedia dari mula dan sengaja menunggu waktu agar dia bisa berkata, ”Ah, aku telah mengenalmu, bahkan jauh sebelum kita sadar telah terdampar di pulau yang sama dan mengarungi lautan ruang dan waktu tanpa saling menyapa.”

Dia tak menginginkan jawaban lain, bahkan sama sekali tak memerlukan jawaban. Tak setiap pertanyaan selalu harus dijawab, tak semua kejadian memerlukan alasan.

Kini mereka bersisian, membincangkan migrasi kupu-kupu. Begitulah Heru menyebut kedatangan Ana padanya, di tanggul Kali Bedog, yang menderukan arus deras kecokelatan pada suatu sore berawan di awal bulan Desember.
Ana teringat tahun-tahun yang telah berlalu dan mimpi-mimpi yang terlupakan. Umurnya tiga lima. Istri dan ibu yang bahagia. Memandang pelangi dan merasa jatuh cinta lagi adalah kombinasi yang selayaknya jadi milik anak remajanya.

Dalam salah satu perbincangan, yaitu saat-saat Heru usai menelepon putrinya dan dia menggantikan Eni menjaga wartel, Ana pernah menyinggungnya. “Karena baru sekarang kita saling jatuh cinta, dan bukannya dulu, meski kita pernah saling mengenal?”

“Itu juga kupikirkan.”

“Kau tak akan pernah bisa menjawabnya,” kata Heru saat itu. “Cinta datang dalam dua puluh detik atau harus merenangi waktu begitu lama, sebelum sadar bahwa kita nyaris dilewatinya. Tak peduli sebahagia atau sesedih apa pun, bahkan andai kita tak menghendakinya. Rasanya, tak masuk akal. Tapi, kenyataan bukan sesuatu yang bisa diperdebatkan masuk akal atau tidak. Barangkali, itu karena akal kita terlalu kecil, jika dibandingkan keseluruhan alam ini, hingga tak sanggup menampung semuanya, betapapun kita bergerak lebih cepat dari putaran waktu dan mendobrak keterbatasan ruang. Kurasa, hanya hatilah yang sanggup menerima beban itu, dan yang menjawab pertanyaanmu tadi. Sangat personal.”

“Kau tidak menganggapnya sesuatu yang aneh.”

“Tidak. Memang tidak. Aku merasa kita ini seperti dua pejalan yang memulai dari tempat dan waktu berbeda, menempuh jalur berlainan. Tanpa tahu bahwa jalur itu akan menuju suatu titik persilangan, yang membuat kita bertemu dan ternyata memutuskan menempuh rute yang sama. Lewat perjalanan yang tak direncanakan, kita tiba di satu pintu dan sama-sama takut membukanya. Kita tak tahu ke mana pintu itu hendak menuju atau apa yang akan kita temui di baliknya. Aku tak merasa ini suatu yang aneh, hanya kejadian mendadak yang sedikit membingungkan. Lewat beberapa waktu, saat ini, tak ada lagi kebimbangan. Tidak sedikit pun. Aku telah membuka pintu untuk berjalan ke arahmu, Ana.”

“Dan aku berjalan ke arahmu. Mungkin, sejak kau melangkah memasuki pintu wartelku sore itu, sebelum aku sempat menyadari apa yang sesungguhnya terjadi padaku. Itulah yang paling aneh, Her. Karena, sesungguhnya saat itu aku merasa dalam keadaan paling bahagia, paling tidak kekurangan. Sampai kau masuk, dan aku berpikir tentang diriku sendiri dan semua yang telah terjadi. Aku tidak merasa kecewa, menyesal atau perasaan-perasaan lain sejenis itu. Aku hanya merasa…,” Ana berhenti, memikirkan istilah yang tepat untuk menggambarkan perasaannya.

“Kosong?” Heru membantunya.

“Kosong. Ya, itu benar. Kosong. Seakan ada tempat besar yang tak pernah kusadari keberadaannya menganga dalam diriku. Kau membuatku melihatnya. Dengan cara yang cukup menyakitkan. Sesungguhnya aku tak ingin mengakui tempat itu ada. Setidaknya, sebelum kau datang, aku tak tahu ada tempat semacam itu dalam diriku. Ketika aku tahu, aku tak bisa berhenti berusaha untuk mengisinya. Sebenarnya, aku ingin menimbuninya saja, kalau bisa, tapi ternyata tak bisa.” Dia menatap Heru yang berjarak satu kursi darinya. “Kau bilang, aku terbang padamu untuk bermigrasi.”

“Begitu juga aku.”

“Apakah seekor kupu-kupu tahu bahwa dia akan bermigrasi?”

“Aku rasa dia tahu begitu saatnya tiba. Tak ada yang lebih pasti daripada takdir itu. Semesta bergerak dan berjalan untuk memung­kinkan terwujudnya kepastian itu. Tak peduli bagaimana cara atau berapa lama pun waktu mesti menunggu. Sungguh, aku tak pernah mempersoalkannya.”

Bagi Ana, hal itu selalu menjadi soal. Di suatu tempat, jauh dalam dirinya, selalu ada kata mengapa menggapai-gapai. Dia sadar, logikanya belum bisa dengan damai menerima kenyataan bahwa dia jatuh cinta. Heru menariknya begitu saja. Dia jatuh dari zona tak bertuan (begitulah Ana menyebut hatinya) ke dimensi tak bernama. Pun begitu saja.

“Mengapa kau menyebutnya jatuh?” tanya Heru.

“Sebab, seperti banyak peristiwa jatuh lainnya, aku kehilangan orientasi dan kendali. Bahkan atas diriku sendiri.”

“Aku juga. Hanya aku merasa diriku melesat, dari satu fase pertumbuhan ke puncak piramida perkembangan. Kau tahu, dari se­ekor ulat, entah bagaimana dalam satu detik terbangun dan mendapati diriku telah jadi kupu-kupu. Di mana fase kepompongku? Mungkin aku telah melewatinya tanpa kusadari, entahlah, hari ini aku merasa jadi makhluk baru dan sempurna.”

“Itu tidak berarti jatuh cintamu lebih hebat dariku, bukan?”

“Aku merasa begitu,” sahut Heru.

“Tak mungkin,” bantah Ana. “Tak ada yang bisa jatuh cinta lebih hebat daripada wanita, apalagi jika dia bersuami dan punya anak. Dia memberikan lebih dari sekadar hati atau hidupnya.”

Heru tersenyum. Sebenarnya dia ingin sekali memegang tangan Ana dan mengucapkan terima kasih, sambil menatap matanya. Namun, kemungkinan bahwa setiap saat dapat muncul seseorang dari balik pintu kaca dan melihat keintiman mereka, selalu menjagakan kesadarannya. Cinta ternyata telah menjelma jadi barang mewah baginya. Pada saat bersamaan, secara ironis mencintai hanyalah rongsokan buruk yang harus rapat disimpan dari penglihatan orang agar tidak memalukan. Tapi, dia pun tahu bahaya. Demi Ana dengan segenap ketenteraman hidupnya, dia bersedia bersabar.

Sampai suatu batas yang dia sendiri tidak tahu.

Tak lama, suami Ana pulang. Itu berarti hilangnya saat-saat berharga, ketika berbincang di wartel, sambil saling memandang dan tersenyum lembut. Bukan sesuatu yang sangat spesifik. Ana bicara tentang lagu-lagu kesukaannya dan dia menceritakan penga­lamannya di sekolah. Dari saat ke saat dia bisa merasakan Ana makin dekat padanya dan dia pada Ana.

Segala sesuatu pada diri Ana menariknya dengan kekuatan yang sulit dia ungkap. Namun, ada yang lebih berarti daripada sekadar hasrat lahiriah. Heru menyebutnya kemurnian remaja. Memang, suatu ketika, saat cinta telah diletakkan dengan segala kehormatannya di seputar ranjang, adalah absurd, bahkan munafik, segala kemungkinan untuk memberi tempat bagi cinta di luar area kamar tidur. Ketulusan pun merosot jadi semacam hal yang gombal.

Heru memikirkan dirinya dan kesanggupannya bersabar. Itu adalah hal biasa saja baginya, seperti telah terbukti selama beberapa tahun terakhir ini. Sampai saat ini pun dia tetap pria penyabar. Meski, dalam batas-batas tertentu, dia tetap menyadari bekerjanya dorongan-dorongan naluriah dalam tubuhnya. Dia membayangkan hal itu, seperti kecenderungan sebagian serangga pada nyala api. Ana adalah cahaya yang telah menarik rama-rama malam seperti dirinya, dalam nyala yang melumatkan segala. Bukankah Ana pun ingin terlumat di dalamnya? Dia bisa merasakan jauh ke dalam diri Ana, menembus segala kegamangan dan rintangan.

Lalu, ada kalanya dorongan itu demikian kuat menyerbunya. Dia hanya manusia biasa. Pria yang sedang jatuh cinta.

Untuk pertama kali, sejak bertahun-tahun lalu, dia meninggalkan sekolah sebelum jam pelajaran usai. Kerinduannya tak tertahan. Ana menyambutnya dengan terkejut, khawatir, sekaligus senang. Heru berdiri di muka pintu, gelisah. Dia tersenyum gugup.

“Aku hanya ingin bertemu denganmu,” katanya, setengah berbisik. “Sudah lama sekali kita tak ketemu.”

“Kemarin lusa kau ke wartel,” Ana mengingatkan, sambil tersenyum. Dia mundur, memberi jalan Heru masuk ruang tamunya.

Heru menyelinap antara Ana dan pintu. Tangannya menggapai daun pintu, lalu mendorongnya pelan. Celah yang menghubungkan mereka dengan dunia luar menutup habis. Jendela ruang tamu Ana terbuat dari kaca gelap. Cahaya siang Januari yang mendung menyisakan penerangan sekadarnya. Tangan Heru terulur. Ana membiarkan dirinya jatuh, atau menjatuhkan diri, ke pelukannya.

Mereka berciuman. Dia terbawa arus ke suatu arah yang tak diketahuinya. Dia bisa merasakan bibir Heru, dan bibirnya sendiri, saling melumat dan menggapai. Dia seperti melihat sesuatu di kejauhan memanggil-manggil, dan dia tergagap-gagap ingin meraihnya. Heru merengkuhnya erat, dia menekankan badannya pada Heru, seakan ingin merasukinya. Tubuhnya meleleh. Ana melingkarkan lengan. Dia merasakan Heru tersengal di lehernya, menciumi, dan membisikkan sesuatu yang terdengar serupa bait-bait puisi.

Aku adalah gerimis bulan Oktober…

Jangan, Her. Dia mendengar suaranya menyelinap dari suatu tempat di kejauhan dengan suara asing yang tak dikenalnya. Jangan….

Heru merenggangkan pelukannya. Kedua lengan Ana masih menumpang di bahunya, tapi kepalanya menunduk, menghindari tatapan Heru. Sisa napasnya terlihat dari pundak yang bergelombang naik-turun tak teratur. Sesaat kemudian, barulah Ana menguasai diri. Ketika menjatuhkan diri di kursi dia tahu tubuhnya gemetar. Heru berlutut. Badannya juga gemetar.

“Ana….” Tak ada kata-kata lain yang sanggup diucapkan Heru.

Jangan sekarang, pikir Ana dengan benak berputar-putar. Tidak di sini. Tidak di rumah tempat ia menjadi istri dan ibu. Pikiran itu menembus kepala Ana bagai kabut beracun, yang malayang dari suatu tempat tak dikehendaki. Barangkali, kabut itu berasal dari lapisan debu di jok-jok kursi, yang telah melihat banyak kejadian di ruang ini, atau dari lipatan gorden jendela, yang sering mendengar gelak tawa anak-anaknya, lalu menembuskannya, serupa panah-panah kecil tak berbentuk yang membuatnya tercekat kesakitan.

“Kenapa kau melepaskan aku?” bisik Ana, lirih.

Aku tak ingin melepasnya, pikir Heru dalam kekalutan. Dira­pikannya kancing baju wanita itu.

“Aku belum siap…,” ucap Ana. Dia merasakan isak kecil mengintip di ujung kerongkongannya, ketika keinginan menggebu dalam dirinya tertahan dalam kegugupan yang menyakitkan.

“Aku tahu.”

“Tidak, mungkin kau tidak tahu,” Ana mengangkat wajah agar bisa memandangnya dengan mata yang berkabut. “Aku bukan tidak siap menerima dirimu. Aku menginginkannya sebesar keingin­anmu padaku. Kau pasti bisa merasakannya. Tapi, tidak sekarang. Jangan sekarang, Her. Tidak di sini. Ini rumahku. Rumahku bersama suami dan anak-anak. Aku tidak bisa mengkhianati mereka di tengah semua kenangan yang kami bangun bersama. Itu terlalu kejam. Maaf, aku pakai kata mengkhianati. Meski perasaanku padamu tak bisa diperdebatkan lagi, meski sebesar apa pun hakku atas perasaan dan diriku sendiri, itu tidak menghapus kenyataan, bahwa aku adalah seorang istri dan ibu.”

Heru tidak menyela. Ana bersyukur. Dia memperoleh kembali kekuatan yang sempat tercerai-berai dari dirinya, merasakan wajah kulitnya kembali bernapas. Namun, tangannya masih gemetar.

“Terima kasih kau berhenti. Meski jika kau paksa, aku tidak akan menolak. Tapi, aku takut. Takut pada semua hal di luar dirimu.”

Heru menghela napas. Diambilnya tangan Ana, “Aku mengerti.”

Ana menatapnya. “Tetapi, sampai kapan?”

“Aku telah lama bersabar untuk sampai padamu, Ana. Aku tak akan merusak semuanya untuk sebuah keinginan kecil tak terkendali.”

“Itu bukan keinginan kecil, Her.”

“Kau benar. Itu bukan keinginan kecil.” Heru tersenyum. “Aku menginginkan dirimu seluruhnya. Tak ada keraguan sedikit pun. Bahkan, andai aku harus membawamu, sambil berlari dan melawan seluruh dunia. Tapi, aku akan melakukannya hanya dengan izinmu. Karena, aku tak akan tahan melihatmu menangis atau menderita.”

Ana tersenyum. “Ada hal yang tak bisa dihindari, yang memaksa kita menyerah pada waktu untuk memutuskannya. Yang kutahu, waktu itu bukan sekarang dan tidak di sini. Terlalu berat untuk memutuskannya dalam satu helaan napas, Her. Aku masih membutuhkan sedikit waktu.”

“Kau akan mendapatkannya, sebanyak yang kau butuhkan.”

Ana masih mengingat percakapan mereka, selagi dia menyusuri jalan setapak berkerikil, yang menghubungkan bangunan utama tempat penerimaan tamu dan pondok-pondok kecil, yang terpencar di antara tanaman dan semak-semak bunga. Dia mengetahui tempat ini dari majalah. Dia pernah berpikir, alangkah senangnya melewatkan akhir pekan di sini hanya berdua suaminya. Soni menolak. Ana merasakan satu ironi, ketika mengusulkan tempat ini pada Heru. Namun, toh, dia tidak menyesalinya. Kini, sambil berjalan di antara semak hortensia yang basah oleh gerimis, dia merasa tempat ini indah sekali.

Dia meneliti dandanannya berkali-kali. Gaun yang dikenakannya berikut kardigan dan syal membuatnya tampak feminin dan hangat. Make up tipis saja, dengan lipstik warna merah muda dan parfum beraroma lembut, membungkus dirinya. Tatapan Heru saat menyambutnya membuat pipinya terasa panas, dan merasa kembali menjadi anak remaja di kencan pertamanya.

Heru tersenyum, tanpa kata-kata, mengungkapkan ketakjubannya. Dia bergerak selangkah ke samping, dan Ana mengayunkan kaki melewati ambang pintu. Sekilas Ana melihat sebuah ranjang yang masih tertutup bed cover, sepasang kursi dari anyaman eceng gondok berlapis busa tebal, yang mengapit sebuah meja pendek, serta jendela yang gordennya terbuka, memamerkan pemandangan taman tropis di lereng gunung dan langit abu-abu.
Entah kenapa dia teringat pada jemuran yang ditinggalkannya di rumah, dan makan siang yang disiapkannya buat Asa dan Johan. Dia memejamkan mata, mengusir ingatan itu. Didengarnya pintu menutup. Dia tahu Heru memandanginya dari belakang.

“Heru menghela napas. “Aku merasa seperti murid SMA lagi, untuk pertama kalinya mengajak wanita yang kucintai berkencan. Aku takut akan mengacaukan segalanya dan membuatmu kecewa. Jangan mengira pria kebal dari perasaan semacam itu.”

Ana tertawa kecil. “Aku tidak meragukanmu, Her.”

Heru berdiri di belakangnya. Ana merasakan kehangatan napasnya di tengkuknya. Sesaat dia ingat malam-malam yang dilaluinya dengan perasaan tersiksa, setelah suaminya memejamkan mata. Ia berbaring di samping pria yang menemaninya selama 14 tahun dan memberinya 2 anak, menangis diam-diam, merasa lemah, karena tak mampu mencegah hati dan badannya yang setengah mati merindukan pria lain.

Sering ia bangun dengan mata bengkak, dan dengan gugup mencari alasan sekenanya dari rasa ingin tahu Soni. Alasan itu kian hari kian tak meyakinkan. Setiap kali memikirkan hal itu, sesuatu meleleh dalam dirinya, seperti bongkahan es batu dalam gelas berisi sirop. Meleleh dan perlahan menghilang.

Ana ingin menanyakan soal itu pada Heru. Namun, saat bersamanya, semua kekhawatiran tak lagi ia rasakan. Tak ada yang perlu diingat, kecuali bahwa ia dan Heru saling mencintai, dan bahwa mereka telah begitu lama menunggu, untuk sampai pada saat ini.

Ia berbalik. Mereka berciuman. Sesaat Ana bisa merasakan kasur di bawah tubuhnya melesak ketika mereka berguling di atasnya.

Ruang temaram tercipta karena cahaya lemah matahari dihalangi masuk oleh selapis gorden tebal yang dibentangkan menutup kaca jendela. Sebuah dunia tersendiri. Sebuah ranjang king size, sepasang kursi dan mejanya, lemari pakaian, dan sebuah pintu peng-hubung ke kamar mandi. Dua penghuninya, tanpa berjanji, sama-sama merasa diri mereka bagaikan makhluk planet tak dikenal, yang salah mendarat di suatu tempat yang sebaiknya tak pernah ada.

“Maaf,” bisik Ana, hampir tak terdengar.

“Jika harus ada permintaan maaf, akulah yang mesti mengucapkannya. Akulah yang gagal membuatmu merasa berada di tempat yang benar dengan orang yang benar pula.”

Heru memandang langit-langit kamar. Rasa frustrasinya jauh mengalir keluar. Yang tersisa sekarang hanyalah keletihan, atau lebih tepatnya lagi, kekosongan melelahkan. Dia menghitung detik-detik yang berlalu, sebelum memutuskan membuka mulut lagi.

“Aku pernah membaca, atau mungkin mendengar seseorang yang konyol berkata ‘tak perlu minta maaf, bila mencintai’. Kucoba memandang dari segala segi, yang paling harfiah sampai yang arif sekalipun, aku selalu gagal memahami artinya. Tapi, kali ini kurasa aku ingin mengatakan hal itu untukmu, dengan segala keterbatasan pemahamanku. Jangan minta maaf, Ana.”

Hanya tiga kata. Tiga kata yang diucapkan dengan sederhana di sebuah kamar yang sederhana pula. Tidak ada sarkasme, tanpa sinisme. Hanya ketulusan. Ana merasa hancur sepenuhnya. Dia tak mengerti kenapa bisa begitu, mengingat kehancuran demi kehancuran yang menggerogotinya akhir-akhir ini, membuatnya merasa tak bisa lebih hancur lagi.

Dia menelan isaknya, lalu berbalik. Mengintip pria di sampingnya melalui helai-helai rambut yang menutupi sebagian wajahnya. Heru masih telentang. Ana ingin menyentuhnya, namun takut.

“Kau tak kecewa?” tanyanya, merasa polos.

“Aku munafik, kalau berkata tidak. Aku bukan hanya kecewa. Aku frustrasi, seperti yang pasti kau ketahui. Secara fisik.”

Dia juga berbalik. Berbaring miring, berhadapan. Dalam keremangan, saling memandang, masing-masing berusaha menembus keterbatasan dengan cahaya lain yang jauh lebih benderang dari sekadar lampu sekian watt. Merasakan kehadiran masing-masing sepenuhnya. Kecanggungan dan kegamangan yang sempat menye­lip dan menyesatkan mereka dalam dimensi antah-berantah, perlahan terisap oleh pori-pori dinding yang tak tampak.

“Secara psikis, aku juga kecewa. Terpukul tepatnya. Sebagai pria, aku gagal membuatmu…, dalam bahasa halus sudah kukatakan, merasa di tempat yang tepat dengan orang yang tepat. Singkatnya, aku gagal membuatmu menerima diriku. Secara fisik. Ini bisa membuat pria normal merasa impoten. Kau pasti bisa memahami itu.”

Ana diam mendengarkan.

“Memang, itulah bagian yang kumaksud tadi, penuh dengan kekecewaan. Jika kita hanya membicarakan seks di sini, seks yang gagal.” Dengan hati-hati dia mengulurkan tangan, menyentuh sejumput rambut yang menutupi wajah wanita di hadapannya. Hidungnya membaui aroma sampo merek tertentu yang belakangan ini sangat intim dengan ingatannya. Disingkirkannya rambut itu perlahan, sehingga dia bisa menatap mata Ana yang masih mengaca.

“Apakah aku ke sini untuk seks? Yang kutahu, aku ke sini karena ingin bercinta denganmu. Lalu, apakah ada bedanya? Bagiku, ya. Aku tak perlu jauh-jauh ke suatu tempat di pedalaman Bantul, berjalan bertahun-tahun untuk menemukan seorang wanita, hanya demi aksi singkat sekian menit di tempat tidur, terpuaskan, lalu sudah. Bukan berarti aku tak ingin kepuas­an. Namun, secara teknis, sejujurnya, kepuasan itu bisa diperoleh dari nyaris semua wanita. Tapi, masalahnya, aku ingin mencintaimu. Bercinta denganmu, mungkin hanya salah satu caranya. Barangkali, cara yang paling menyenangkan, paling indah, intim sekaligus memuaskan.

Mendapatkan seluruhnya dalam satu paket. Aku pernah mendengar, ‘cinta tanpa seks adalah kebohongan’. Atau, sesuatu seperti itu. Kolaborasi seks dan cinta mungkin hanya mitos, yang telanjur dianggap sebagai fakta. Dugaan yang begitu masuk akal, sehingga diterima sebagai kebenaran tak terbantahkan. Adakah cinta bisa berjalan tanpa seks? Bila kau orang yang sinis, kau bisa menjawab, ‘ya, bagi para pecundang’. Bila optimistis, kau akan menjawab ‘mengapa tidak?’. Yang romantis mungkin berkata ‘cinta telah cukup untuk cinta’, seperti yang diajarkan Kahlil Gibran. Lalu, sebagian lagi akan menyahut ‘itu hanya bisa terjadi dalam buku’.”

“Lalu, kau?” tanya Ana.

Heru tersenyum lemah. “Apa pun yang kau inginkan. Apa pun bisa. Aku dalam posisi sulit. Apa pun yang kukatakan akan kedengaran seperti pembelaan diri, atau penghiburan ala pecundang. yang gagal membawa wanita idamannya bermain cinta. Meski sesungguhnya, aku tidak terlalu terluka, seperti yang mungkin kau kira. Aku sangat mencintaimu, Ana. Kuharap kau tidak bosan mendengarnya.”

Ana mulai menangis lagi.

Heru mengulurkan tangannya, dengan pelan menyusut butir-butir air yang mengaliri pipi kekasihnya. Tangan itu bergerak lembut sepanjang tulang pipi, menyusuri dagu, lalu naik perlahan. Dengan satu jarinya dia mengusap bibir Ana dan jari itu bisa merasakan tangis yang tak bersuara. Dia mendekatkan kepalanya, dengan lembut mencium dan menekankan bibirnya di kening wanita itu. Ana merangkulkan lengannya ke leher Heru, merapatkan tubuhnya dan membiarkan dirinya menangis dalam pelukannya.

Dalam ruang temaram yang digenangi kepedihan, mereka meringkuk, berpagutan erat. Seperti dua binatang luka, dengan tenaga yang tersisa, berusaha saling menyembuhkan.

Menuju metamorfosis sempurna
Bulan Januari dipenuhi awan dan langit abu-abu tua, yang setiap kali mencurahkan tetes air deras di atas kotak-kotak sawah dan punggung perbukitan kapur yang menjadi hijau dan lembap, jauh di pinggir selatan Pulau Jawa. Gerombolan kupu-kupu kuning telah menghilang. Di suatu tempat yang masih jadi misteri, seperti kata Heru, mereka meninggalkan generasi baru di bawah gulungan dedaunan. Tertidur, menunggu, dan berharap dengan sabar, hingga suatu ketika mereka terbangun oleh kehangatan cahaya matahari, melampaui masa pertapaan atau lompatan pertumbuhan, melangkah menyambut panggilan takdir mereka. Seperti ia dan Heru terbangun suatu pagi dan bertemu untuk saling mendatangi.

Aku adalah gerimis bulan Oktober

Kau spektrum ungu muda

Suatu pagi lebih indah saat terjaga

Melengkung di atas tanggul seribu sungai’

Itulah yang dibisikkan Heru, ketika menciuminya di ruang tamu rumahnya, lama berselang. Banyak malam berlalu dengan Ana memejamkan mata dan kata-kata itu berputar di kepalanya, di dadanya, di perutnya, di sekujur tubuhnya, dengan kehangatan dan kegairahan yang diembuskan pria itu.

Heru tak perlu membuka lipatan kertas itu untuk mengingat isinya. Ia telah hafal seluruhnya hingga ke titik komanya, seperti layaknya para pertapa menghafal mantra-mantra suci mereka. Dia ingat hari kedatangan surat itu, hingga ke detik-detiknya, dan bagaimana ia menelan air mata.

Aku menulis ini, karena tak berani mengatakannya langsung padamu. Aku takut, saat berhadapan denganmu, keberanian dan kemauanku akan memuai, karena sesungguhnya aku masih selalu ingin lari ke arahmu.
Aku tak pernah bertanya, mengapa aku pergi juga ke sana. Aku ingin berada di sana. Bersamamu. Tak peduli betapa keras pikiranku berusaha mencegah. Aku tahu masih ada kesempatan bagiku untuk tertidur, pura-pura lupa bahwa aku telah berjanji denganmu. Jika kutengok ke belakang, aku berjalan penuh kebimbangan. Separuh diriku berkata, ”Tinggallah di rumah!” Separuh lagi berjalan dengan tetap ke arahmu.

Itulah yang menguasai diriku, menggerakkan kakiku, menujukan aku padamu. Namun, suara kecil dalam diriku tak berhenti bicara, ”Tinggallah di rumah. Ingat anak-anakmu. Kasihan suamimu.” Seperti sebuah lagu lama di kaset tua yang berulang-ulang diputar, yang ingin kita matikan, namun gemanya terkadung merasuk dalam telinga bagai penyakit tak tersembuhkan.

Aku menginginkan dirimu, Her. Namun, wanita yang tumbuh dan hidup dengan cara sepertiku selama 35 tahun ini, berkata, ”Aku menginginkan sesuatu yang semestinya tak kuinginkan.” Kau adalah barang mewah dalam etalase yang tak terjangkau olehku, kecuali aku mencurinya. Dengan begitu, bukan saja aku jadi pencuri, kau pun akan berubah dari sesuatu yang berharga menjadi barang haram. Seluruh diriku tahu, bahwa aku tak sanggup meraihmu.

Seandainya kita biarkan semua itu, apa yang terjadi? Kenyataannya, aku menyesal, mengapa tak kubiarkan kau melakukannya. Namun, selebihnya, aku akan memandang diriku sebagai wanita lemah, tidak setia, tak bertanggung jawab, tak bisa dipercaya. Semua itu nilai menjadikan aku wanita yang kau lihat di pinggir Kali Bedog itu dan yang membuatmu jatuh cinta.

Yang terburuk, aku akan merasa diriku sesungguhnya tak berharga lagi untuk kau cintai. Sungguh, aku akan merasa rendah diri. Kau akan melihatku menderita, dan mulai menyalahkan dirimu sendiri. Lalu, kau akan ikut menderita. Artinya adalah kesia-siaan. Aku tak mau itu terjadi. Aku menolak menjadikan kita berdua sebagai sebuah kesia-siaan! Itu terlalu menyedihkan.

Jika mencintaimu adalah salah, aku akan membuatnya menjadi benar. Hanya dengan mencintaimu, keseluruhan diriku yang terbaik muncul dan kutemukan.

Orang menggunakan metamorfosis kupu-kupu untuk menggam­barkan kisah pertobatan yang indah. Melalui dirimu aku terlahir kembali ke dunia. Seperti kupu-kupu menemukan dirinya sebagai makhluk baru. Aku adalah wanita yang sama dengan yang kau jumpai waktu itu. Hanya kini aku memahami diriku dan arti keberadaanku di dunia. Aku berjalan dari satu fase ke fase berikutnya, dengan dirimu di sisiku. Tidak ada lagi ruang kosong dalam diriku. Kau telah mengisinya dan menjadikan metamorfosisku sempurna.

Sebab, tanpa dirimu, kupu-kupu itu takkan pernah terbang.

Ia telah berkata pada Ana, jika wanita itu menghendaki, ia akan minta pindah ke daerah lain. Ana mengangguk. Heru tahu, begitulah akhir hari-harinya di suatu tempat yang bukan sekadar titik tak bernama. Ia menyimpan setiap detik yang tersisa dari hari-harinya bersama Ana, saat-saat pendek yang berharga.

ISempat terpikir, bagaimana Ana mengatasi rasa sepi dan kehilangan oleh perpisahan. Mungkin, wanita itu akan sering berjalan-jalan di pinggir Kali Bedog, mencari pelangi, seperti ketika ia melihatnya waktu itu. Namun, Ana telah memutuskan. Dia menghormati apa pun keputusan Ana. Lagi pula, akan lebih menyakitkan bagi mereka berdua, jika ia terus berada di dekat wanita itu, saling memandang dan bersikap seolah tak ada apa-apa.

Baginya, perpisahan bukannya tidak berat. Ia memaksa dirinya, seperti orang mencabut paksa sebatang pohon lengkap dengan akar-akarnya, untuk kedua kalinya meninggalkan tempat yang sesungguhnya tak ingin dia tinggalkan. Dia tidak berpaling ketika melewati rumah Ana. Dia bertahan dengan semua kewaras­an yang masih dimilikinya, melawan dorongan tak terkendali, untuk berbalik dan memberi sebuah ciuman perpisahan. Dia tahu, jika melakukannya, dia tak akan punya kesanggupan untuk meneruskan niatnya. Suatu kegilaan pasti mendorongnya untuk memaksa Ana pergi bersamanya. Meski sambil menangis, Ana akan mengikutinya.

Sambil merapatkan jaket menembus kabut pagi, melewati jalanan berliku menuju gedung sederhana tempatnya mengajar, ia mengingat sebuah tempat dengan seorang wanita memesona, yang memiliki kegairahan tersembunyi dan keindahan sederhana, yang tak bisa terjemahkan dengan kata-kata.

No comments: