1.28.2009

Cinta Laki laki Biasa

MENJELANG hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan
alasan kenapa dia
mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke
belakang,
hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan
yang terjadi
bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak
orang, Papa dan
Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka
ternyata sama
herannya.

"Kenapa?" tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat
undangan.

Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin
menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana
sore di kampus sepi.
Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.

Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya
berpijar bagaikan
lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai
kata-kata yang
barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut
Nania terbuka.
Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana.
Ia hanya
menarik nafas, mencoba bicara dan menyadari, dia tak punya
kata-kata!

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban,
alasan detil
dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki
itu. Tapi kejadian
di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara
mendadak gagap.
Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania
menyampaikan keinginan
Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap
momen yang tepat
karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga,
sebab
kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut
mereka.

"Kamu pasti bercanda!" Nania kaget. Tapi melihat senyum
yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum
serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa
dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika
mengira Nania bercanda.

Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan
keponakan-keponakan Nania yang
balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua
menatap Nania.
"Nania serius!" tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya
jika Rafli
memang melamarnya.

"Tidak ada yang lucu," suara Papa tegas, "Papa hanya tidak
mengira Rafli
berani melamar anak Papa yang paling cantik!"

Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan
adalah pertanda
baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah
itu
berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti
tatapan mata penuh
selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk
layaknya
pesakitan.

"Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan?" Mama
mengambil inisiatif
bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa,
"Maksud Mama siapa
saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak
harus iya, toh?"

Nania terkesima. "Kenapa?"

Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu
paling berprestasi
dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba
beladiri. Kamu
juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi
seprovinsi. Suaramu
bagus! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih
gelar insinyur.
Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa
mendapatkan
laki-laki manapun yang kamu mau!

Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi,
Papa,
kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan
panjang uraian
mereka atau satu kata 'kenapa' yang barusan Nania
lontarkan.

"Nania Cuma mau Rafli," sahutnya pendek dengan airmata
mengambang di
kelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar
tidak suka,
melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang
mencapai stadium empat. Parah.

"Tapi kenapa?"

Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa,
dengan pendidikan
biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang
amat sangat
biasa.

Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
"Tak ada yang
bisa dilihat pada dia, Nania!"

Cukup! Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya
ukuran-ukuran duniawi
menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di
mana iman, di
mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan
seseorang dengan
melihat pencapaiannya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela
Rafli.
Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus
membelanya.
Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa
membuat Rafli tampak
'luar biasa'. Nania cuma punya idealisme berdasarkan
perasaan yang telah
menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga.
Dan nalurinya
menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.

Mereka akhirnya menikah.

***

Setahun pernikahan.

Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering
berbisik-bisik
di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari
Rafli. Jeleknya,
Nania masih belum mampu juga menjelaskan
kelebihan-kelebihan Rafli agar
tampak di mata mereka.

Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli,
begitu besar hingga
Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan,
tatapan mata, atau
cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat
perempuan itu
sangat bahagia. "Tidak ada lelaki yang bisa mencintai
sebesar cinta Rafli
pada Nania."

Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga
saudara Nania hanya
memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya. "Nia,
siapapun akan
mudah mencintai gadis secantikmu!" "Kamu adik kami yang
tak hanya cantik,
tapi juga pintar!" "Betul. Kamu adik kami yang cantik,
pintar, dan punya
kehidupan sukses!"

Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan
kali ini
dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan
Rafli. Beberapa
lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.

Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak! Betul. Tapi dia juga
tidak ganteng kan?
Rafli juga pintar! Tidak sepintarmu, Nania. Rafli juga
sukses,
pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses.
Tidak sepertimu.

Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya,
bahwa adik
mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli.
Lagi-lagi percuma.
"Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli! Kamu sukses,
mapan, kamu bahkan
tidak perlu lelaki untuk menghidupimu."

Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal
adik mereka sudah
menikah dan sebentar lagi punya anak. Ketika lima tahun
pernikahan
berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan
Rafli sudah
memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan.
Keduanya
menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka
memiliki anak-anak.
Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup
untuk hidup
senang.

"Tak apa," kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk
tidak terlalu
memforsir diri. "Gaji Nania cukup, maksud Nania jika
digabungkan dengan
gaji Abang."

Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia
tak perlu
khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa
menangkap hanya
maksud baik. "Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk
jaga-jaga. Ya?"

Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan
lembut. Saat itu
sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan
membuat pikiran
Nania cerah.

Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!

Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari
keluarga biasa,
dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan
pekerjaan dan gaji
yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania.
Sebab ketika
bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.

Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor
semakin
gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar,
anak-anak pintar
dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup
perempuan itu
berada di puncak!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli
melintas dan
bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik
tetangga kanan dan
kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.

Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik dan
kaya! Tak imbang!

Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun
masih, tapi Nania
belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup
dengan perasaan
bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum
bergeser dari puncak.
Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga.
Selama kurun waktu
itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat
Nania menangis.

***

Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar.. Sudah
lewat dua minggu
dari waktunya. "Plasenta kamu sudah berbintik-bintik.
Sudah tua, Nania.
Harus segera dikeluarkan!"

Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan
sejenis obat ke
dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi
hebat hingga
perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika
semuanya normal,
hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si
kecil.

Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah
sakit. Hanya
waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke
kamar mandi, dan
menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara
kakak-kakak serta
orangtua Nania belum satu pun yang datang.

Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam
setelah obat
pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan
melahirkan. Rasa sakit dan
melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga
menit. Tapi
pembukaan berjalan lambat sekali.

"Baru pembukaan satu."
"Belum ada perubahan, Bu."
"Sudah bertambah sedikit," kata seorang suster empat jam
kemudian
menyemaikan harapan.

"Sekarang pembukaan satu lebih sedikit."
Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster
terakhir yang
memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.

Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika
pembukaan pecah,
didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab
dulu-dulu
kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan
mereka meleset.

"Masih pembukaan dua, Pak!"
Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa dihibur karena
rasa sakit yang
sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan
itu makin payah.
Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.

"Bang?"
Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri
memperjuangkan dua kehidupan.

"Dokter?"
"Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar."

Mungkin?
Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau
begitu?
Bagaimana jika terlambat? Mereka berpandangan, Nania
berusaha mengusir
kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan
genggaman tangannya
hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri
lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba
putih. Sebuah sekat
ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan
ketrampilan
dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan.. Nania merasa
berada dalam perahu
yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya
naik-turun. Terakhir,
telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan
di sekitarnya,
dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian
dia tak sadarkan
diri.

Kepanikan ada di udara.. Bahkan dari luar Rafli bisa
menciumnya. Bibir
lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir dan doa.

Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
"Pendarahan hebat."
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna
merah. Ada
varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah
bagaimana pecah!

Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama
Nania yang baru
tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara
Nania menyimpan
isak, sambil menenangkan orangtua mereka.

Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki
itu tercenung
beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di
pembuluh-pembuluh darahnya
dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti
kanker. Setelah
itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli
bolak-balik dari
kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian
bagi Nania dan juga
anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si
kecil. Bayi itu
sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya
hisapnya. Tidak
sampai empat hari, mereka sudah boleh membawanya pulang.

Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut
menunggui Nania di
rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat
perkembangan si kecil.
Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak
keluarga Nania
dengan Rafli.

Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah
meninggalkan rumah
sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya
pihak
perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan
izin penuh. Toh,
dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya
sebuah Quran
kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di
ruang ICU.
Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan
menjenguk sanak famili
mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu
bercakap-cakap dan
bercanda mesra.

Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa
merasakan kehadirannya.
"Nania, bangun, Cinta?"
Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium
tangan, pipi dan
kening istrinya yang cantik.

Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai
pesimis dan berfikir
untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke
rumah sakit,
mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya
mesra. Kadang
lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah
sakit dan
membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di
bagian ini dan itu.
Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
"Nania, bangun, Cinta?"

Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan
permohonan. Asalkan
Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa
melihat lagi cahaya
di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang
menjadi sumber
semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.

Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak
merindukan ibunya.
Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak
wajahnya yang lama tak
bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering
lupa makan.

Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan
itu di mata,
gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil
lain di
wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania
sadar dan wajah
penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.

Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam
tangan Nania dan
mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur
berulang-ulang dengan
airmata yang meleleh. Asalkan Nania sadar, semua tak
penting lagi.

Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali
dalam doa.
Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama
sebelas tahun
terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar
anak-anak ke
sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor,
lelaki itu
cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras,
melihat senja
datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun
yang sedang
jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum
tidur.
Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu,
memakaikannya gaun tidur.
Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali
Nania mengatakan itu
tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan
lumpuh?

Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak
kenal lelah selalu
meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa
dialah perempuan
paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata
Rafli.

Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga
jalan-jalan keluar.
Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja,
makan di restoran,
nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut.
Anak-anak, seperti
juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan
Nania. Begitu
bertahun-tahun.

Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan
orang-orang di
sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih
pada Rafli yang
berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari.
Masih dengan senyum
hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.

Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang
ditemuinya di
jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman
Nania tak puas
hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari,
mengoceh, semua
berbisik-bisik.

"Baik banget suaminya!"
"Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!"
"Nania beruntung!"
"Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya."
"Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat
bagaimana suaminya
memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka
masam!"

Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga
orang, Papa dan
Mama. Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat
Nania makin
frustrasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu
kemudian. Orang-orang di
luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali
selamanya akan selalu
begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda
bunyi?

Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket
dengan ayah
mereka. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak
permainan.

Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung
semua,
anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka
tempati, kehidupan
yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak
berfungsi
sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia,
meski karir telah
direbut takdir dari tangannya.

Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari
laki-laki biasa
yang tak pernah berubah, untuk Nania.

No comments: