12.29.2010

Dua Asa di Bumi Papua

Kirana
Pesawat yang kunaiki seperti seekor burung yang terbang menukik rendah dari atas langit. Di bawah, perairan teluk melingkar-lingkar berbentuk kurva banyak sisi menyusur kaki perbukitan dataran rendah Jayapura. Bayangan langit yang gelap terpantul di permukaan air. Pebukitan berwarna hijau tua, misterius sekaligus agung.

Gerimis menyambut pesawat yang mendarat di landasan. Mengikuti penumpang yang lain, aku berlari-lari menuju ruangan Bandara Sentani. Ada keinginan untuk menikmati gerimis sambil berjalan lambat, tetapi enggan juga mendapat perhatian sepagi begini. Aku juga sedang tidak begitu iseng. Ya, mungkin karena masih ada rasa duka di dalam hatiku. Gerimiskah yang menjadikan duka serasa menjadi-jadi?

Aku mendadak teringat Dias. Kurogoh saku celana kargoku, meraih ponsel dan mengaktifkannya. Tepat seperti dugaan, SMS Dias sudah menunggu untuk masuk rupanya. Pukul 7 waktu Jayapura, berarti Dias terjaga di Jakarta menjelang subuh. “Sudah sampai, Ki?” Saya balas: “Baru mendarat, gerimis di sini.”

Sekalian kuatur jam di ponsel sesuai dengan jam WIT. Matahari terlihat masih rendah di atas horizon timur. Kubayangkan secara khayali gasing Bumi sedang berputar, menyebabkan waktu di belahan dunia terbagi-bagi. Serasa diam, padahal bergerak. Batinku takjub sambil mengingat-ingat kecepatan berputar bumi adalah setengah kilometer per detik!

Rombonganku, tim relawan pengajar yang akan bertugas dalam program kerja sama sebuah lembaga donor dan sebuah institusi pendidikan swasta, langsung menuju teras luar bandara. Semua berjumlah 15 orang. Aku baru mengenal mereka selama sebulan ketika pelatihan materi pelajaran dan matrikulasi. Aku ditempatkann di Kabupaten Keerom, meski sebenarnya ingin mengambil Wamena atau Tolikara. Tetapi, tempat yang tersisa tinggal di Keerom, satu jam setengah ke arah timur Jayapura. Kurang menarik, karena cukup dekat dengan kota. Aku mungkin korban imajinasi potret di media-media tentang daerah pedalaman dan masyarakat di daerah terpencil.

Dunia baru tampak eksotis, terlebih jika dilekatkan dengan kemiskinan dan panggilan jiwa untuk sebuah pengabdian kemanusiaan. Seperti yang kubaca pada kisah-kisah dokter dan guru yang berani bertugas di tempat-tempat sukar.  Itulah bayanganku sejak kecil tentang apa yang seharusnya kulakukan di dunia ini. Tapi, aku malas ambil kuliah kedokteran atau pendidikan guru. Setelah bertahun-tahun ‘tersesat’ menjelajah bahasa kode-kode pemrograman komputer, aku berkata: cukup! Meskipun masih ada masa-masa aku mencoba menahan diri, masa-masa kegelisahan. Akhirnya, ketika kudapat e-mail tentang lowongan menjadi guru relawan di Papua, tanpa pikir panjang aku mendaftar. Setelah diterima, aku segera mundur dari kantor. Ibu dan kakakku tidak mempersoalkan. Hubunganku dengan Dias pun berakhir.

Ingatanku kepada Dias. Kepada percakapan yang tidak pernah bisa tuntas, kecuali oleh satu hal: perpisahan. Pahit sekali.

“Pergilah, Ki. Jangan sampai keberadaanku menghalangi mimpi-mimpimu. Mimpi-mimpi yang sudah ada jauh sebelum aku hadir, bukan?”

“Hanya dua tahun….”

“Dua tahunmu itu awal. Aku tahu kamu tidak akan kembali lagi. Pengembara sepertimu sulit dihentikan. Kamu sudah menahan diri terlalu lama, dan kamu sudah melawan alamiahmu dengan menetapkan jangkar pada hubungan kita. Aku sudah merasakan itu dari awal, Ki….”

“Dias, biar kamu menjadi satu-satunya tempat aku pulang....”

“Aku bukan tempatmu pulang, aku hanya akan menjadi sangkar kebebasanmu. Kita sudah mencoba menjadi satu. Tetapi hatimu, jiwamu, darahmu, berada di luar sana.”

“Aku cinta kamu, Dias.”

“Kamu akan mengalami perang batin terus, Ki.”

Kutangkupkan tangan kanan pada mulutku dan bernapas melalui sela-sela, menghirup udara berat. Bukit berbatu di depan yang kelam tampak seperti pertapa tua yang sudah mencapai kebijaksanaan. Lumut hijau tua seolah jenggot dan cambang sebagai pertanda waktu yang terlewati sudah sangat panjang.

Aku permisi untuk pergi ke toilet. Dari tiga kakus, semuanya terisi. Kudapati seorang wanita. juga sedang mengantre. Sebagai basa-basi aku senyumi dia. Ia mula-mula ragu membalas, lalu mencari mataku. Senyumku kulebarkan, sedikit canggung. Ia kemudian tersenyum, tipis sekali, seperti tak ada niat. Ketika salah satu pintu terbuka, tampak ia merasa terselamatkan dari keharusan membalas keramahan seorang asing.

Lega sekali setelah beban kemih dikeluarkan. Anggota rombongan bertanya, apakah toiletnya bersih dan enak. Kujawab lumayan. Ternyata beberapa orang menyusul buang hajat kecil. Aku bersandar di pilar dan memperhatikan ketua tim sibuk menelepon seseorang yang akan menjemput kami. Topi hoodie kukenakan, sehingga mukaku tersembunyi. Menurut Dias, penampilanku keren jika sedang memakai hoodie lalu menyakukan kedua tangan sambil bersandar di pilar mengawasi lalu-lalang.

Rombongan akan menginap semalam di Abepura. Kami diangkut dua mobil menuju hotel. Aku mendapat kursi di sisi kanan sehingga leluasa melihat permukaan Danau Sentani yang berkilat-kilat seperti cermin perak. Sumber ikan danau yang segar dan manis teman menyantap papeda. Pikiranku meloncat dari makanan ke bacaan. Seketika menyadari bahwa tas kertas jinjing dengan sablon merek batik terkenal tidak ada di tanganku. Tertinggal tentu.

“El, ada melihat tasku di toilet tadi?” kutanya Eliezer.

“Ditaruh di mana?”

“Seingatku, sih, di dekat wastafel. Aku taruh sewaktu mencuci muka. Kemudian lupa untuk dibawa,” ujarku, sambil garuk-garuk dagu.

“Apa isinya?”

“Beberapa buku, roti, dan minuman.”

“Apa perlu kita kembali? Siapa tahu masih ada.” Rahman Parengkuan, ketua rombongan, mengusulkan.

Aku bimbang. Lalu kutanya sopir mobil carteran, “Ini sudah sampai mana, Pak?”

“Sebentar lagi masuk kota,” jawabnya.

“Kalau begitu lanjut saja, Pak. Bukan buku-buku yang penting, hanya untuk dibaca supaya tidak bosan di perjalanan.”

Rahman tersenyum.”Yakin? Apa ada buku yang tidak penting untukmu?”

Aku tersipu-sipu merasa norak reputasi sebagai kutu buku dikenal luas. “Barangkali bermanfaat untuk orang yang menemukan.”

“Jadi bungkus gorengan,” Eliezer menyela. Seisi mobil tertawa.

Aku nyengir dan meringis. Eliezer mungkin benar, probabilitas terbesar nasib bukuku adalah menjadi bungkus gorengan. Tetapi, siapa tahu yang menemukannya berbeda dengan orang kebanyakan. Mungkin seorang pekerja sosial anggota misionaris asing, atau mahasiswa putra daerah yang cerdas dan kritis. Atau gerilyawan OPM juga boleh jadi haus buku. Semoga.

Aku bertanya-tanya tentang nasib bukuku itu. Kuberi tahu Dias lewat SMS: Serat Centhini hadiahmu ketinggalan di toilet :(Maafkan aku... Justru krn kuanggap penggantimu yg akan menemaniku. Tapi aku gak jaga baik2. Mau minta sopir balik, dah jauh dari bandara, jg gak enak sm temen2.

SMS balasan Dias membuatku tersenyum lebar: Gpp. Asal bukan kamu yg ketinggalan.

Ning
Kulihat bercak lembap di celana dalamku. Ah, barangkali karena mau datang bulan, pikirku menghalau kecemasan yang kembali menyerangku. Nanti periksakan ke klinik sebelum pekerjaan dimulai, perintahku pada diri sendiri. Bagaimana jika diketahui teman-teman? Lalu mereka menyebarkan berita yang tidak-tidak. Aku benci benar dengan gerombolan penggosip di kanan-kiri. Mengapa mereka tidak mengurus dirinya saja, tidak usah memedulikan orang lain.

Aku buru-buru menyudahi urusan kebeletku. Setelah merapatkan ritsleting celana jeans, aku keluar toilet. Dengan pikiran berkecamuk, kulihat wajahku di cermin. Sepasang mata lelah dan asing menatapku tajam. Lalu wajah di dalam cermin itu tampak berkedip, memejam dan menarik napas panjang. Kedua sudutnya basah. Kuseka dengan ujung jari dan telunjuk. Sesaat kemudian sorot matanya nanar, siap menantang apa pun yang berada di hadapannya. Lihat, ia seorang penakluk, bisikku seolah bergema dalam tulang dada.

Di dalam cermin sekelebat kulihat diriku menempuh ribuan kilo, dari Karawang ke Bandara Cengkareng, menumpang pesawat kelas ekonomi menjelang tengah malam. Kulihat jelas bayangan rumah yang kutinggalkan, jalanan tanah di tengah hamparan sawah, lampu-lampu mobil yang dipacu sepanjang jalan tol, kemudian tampak deretan kamar di belakang bar, ingar- bingar lagu-lagu dan lelehan keringat di leher tamu.

Kulihat orang di dalam cermin itu menghela napas. Lalu memutuskan untuk keluar dari toilet.
Namun, mataku menumbuk bayangan tas kertas di cermin bagian bawah. Ragu-ragu, kuulurkan tangan, menguak isinya: sebuah buku cukup tebal, sebotol air mineral, dan dua bungkus roti. Seingatku, tadi waktu masuk tidak ada benda itu. Pasti milik seseorang yang tadi tersenyum canggung kepadaku.

Beberapa orang masuk ke toilet. Aku lekas menyingkir sambil meraih tas jinjing kertas itu. Orangnya mungkin masih berada di seputar bandara, pikirku. Aku menyeleksi puluhan orang di dekat pintu masuk sambil mengandalkan ingatan yang seadanya untuk mencocokkan. Seperti apa, ya, orang tadi? Seingatku ia memakai baju hangat berlengan panjang. Kalau bukan merah darah, warnanya mungkin cokelat gelap. Tingginya tidak beda jauh denganku. Berambut lurus, ya! Tapi, tak ingat apakah kulitnya sawo matang atau kuning langsat. Tidak kutemukan juga setelah aku mondar-mandir menyerupai setrikaan dari ujung selasar timur ke barat. Ibarat mencari sebuah jarum di dalam tumpukan jerami, pikirku mengingat peribahasa yang diajarkan sewaktu SMP. Lalu kuapakan barang-barang ini? Aku tak memerlukannya. Baca buku? Wah, gaya si Devi sekarang. Makan apa di Jawa sampai jadi doyan baca? Kubayangkan gosip gerombolan menyebalkan itu dengan cekikikan bak kuntilanak kebelet melahirkan.

Aku duduk di kursi kayu. Kembali kuperiksa isi tas. Botol mineral masih tersegel. Mudah-mudahan jadi barang halal kalau kuminum, toh, harganya tidak seberapa. Kubaca tulisan di bungkus plastik roti. Hot chicken floss. Aku tahu, chicken artinya ayam. Sepertinya merujuk pada abon yang menyelimuti permukaan roti. Hot artinya panas. Mungkin cocoknya dimakan selagi panas. Floss aku tidak tahu apa. Enakkah  jika dimakan dingin?

Kubuka bungkusan roti dan menggigitnya pelan-pelan. Campuran rasa pedas, asin, dan samar-samar asam mengiringi kelezatan roti pilihan dan gurihnya abon ayam. Menghemat sarapan, pikirku senang. Aku kemudian baru teringat kalau pernah memakan roti serupa oleh-oleh Philip, satpam di Kuala Kencana. Kukunyah roti sambil melihat sekeliling. Sekarang aku benar-benar tidak berharap menemukan pemilik tas. Aku pasti akan dipergoki sebagai pencuri karena telah memakan rotinya. Tetapi sungguh, aku berniat untuk mengembalikan kepada yang punya. Bukankah tadi aku sudah mondar-mandir mencari?

Kulihat serombongan orang melintasi jalan menuju tempat parkir. Menjelang batas area parkir, seseorang membuka topi kuncungan yang dipakainya. Ia memakai bandana merah. Aku tersedak. Baru teringat bandana merah yang dikenakan orang yang berpapasan denganku di toilet tadi. Sisa roti tersangkut di kerongkongan, menyebabkan aku terbatuk-batuk. Lekas kuambil botol minum yang mendadak susah dibuka. Sialan, orang-orang banyak yang memperhatikanku, tapi tidak ada yang memberi bantuan. Setelah batukku reda, kuminum air banyak-banyak. Beginilah akibat makan barang tak halal, sergahku membatin.

Mau dikejar ke tempat parkir, Ning? Aku menimbang-nimbang. Roti dan air minumnya sudah tak utuh. Kuintip lagi isi tas. Tinggal buku. Aku tak tahu buku apa dan tidak berniat untuk tahu. Ah, hanya sebuah buku. Pasti bisa dibeli lagi, daripada aku malu menyerahkan isi tas yang berkurang dibanding semula.

Aku membiarkan orang itu berlalu dalam mobil bersama rombongannya. Lalu, kuapakan buku ini? Kemudian rasa sesal tidak menyerahkan kepada pemiliknya menguasaiku. Ah, bodoh. Ini kan hanya kertas. Kusimpan saja di kursi agar ditemukan orang lain. Tapi, pikiranku berubah kemudian. Baiklah, karena aku merasa tidak enak hati telah membiarkan dengan sengaja tas ini tidak kembali kepada pemiliknya, aku harus membuat buku ini bermanfaat. Yang pasti bukan untukku. Siapa tahu aku menemukan orang yang tepat untuk diberi buku ini. Siapa tahu.

Ha…ha…ha…. Aku tergelak sendiri dalam hati. Ee, ada apa kau Ning, kok, sekarang bisa-bisanya memikirkan buku? Kerasukan roh baik ‘kali. Syukur-syukur kalau kemudian dihampiri nasib baik. Mudah-mudahan, dalam kedatanganku kali ini rencanaku akan lancar. Bekerja di Timika setahun, menabung yang banyak, uangnya harus cukup jadi sawah barang beberapa petak, juga untuk membeli angkutan pedesaan, kalau bisa lebih dari satu. Sebetulnya aku sudah tidak berniat kembali ke tanah Papua. Tetapi, nasib membawaku kembali. Seperti kubilang tadi, mudah-mudahan kali ini nasib baik.

Kirana
Berlima dengan anggota rombongan lain, aku berada dalam mobil SUV yang cat dan interiornya masih kinclong. Disopiri orang dari organisasi sosial yang mendanai kegiatan relawan, kami menuju timur Kota Jayapura. Hari masih pagi. Anak-anak sekolah bergerombol menunggu angkutan. Rambut keriting mereka tersembunyi di balik topi. Sering juga terdapat anak-anak berambut lurus di antara mereka.

Kota kecil tempat kami transit semalam namanya Abepura. Hotelnya berada di daerah Cigombong. Nama yang berbau Sunda. Sewaktu kami mencari makan malam, malah terdampar di warung ayam lalapan milik orang Sukabumi. Pak Bertholomeus Krey, pendamping yang sekaligus menjadi sopir, memberi tahu jika tempat yang kami tuju di perbukitan Arso kebanyakan transmigran dari Jawa. Ribuan hektare tanah adat penduduk asli telah berubah jadi perkebunan sawit.

Dari Abepura ke arah timur, jalanan berkelok menyisir Teluk Youtefa yang dipagari tebing karang tinggi. Pemandangan kota dan perkampungan penduduk hanya terlewati sepanjang dua  puluh menit, sisanya perbukitan berpohon jarang mengapit jalan. Semak dan perdu tumbuh subur. Kuduga, perbukitan ini yang pertama-tama habis mengalami penebangan sebelum seluruh hutan Papua dirambah tanpa sisa. “Dahulu, sebelum ada jalan trans Irian, menuju Arso memerlukan waktu sampai sepekan melewati hutan rimba,” ujar Pak Bertho.

Mobil melaju dalam kecepatan sedang. Ketika ada sebuah bus menyalip, Pak Bertho memberi klakson. Lalu dibalas oleh bus itu. Pelatnya merah. “Itu pegawai pemda Kabupaten Keerom. Mereka setiap hari pulang pergi dengan bus dinas Jayapura-Arso. Sebagian besar pegawai memang tinggal di Jayapura.”

“Di sana tidak ada perumahan pemda, Pak?” tanya Ilham Abiyasa.

Pak Bertho menggeleng. “Pejabat eselon diberi kontrakan. Tapi, ya, karena anak istri mereka di kota, mereka pun tak betah. Ibu kota kabupaten secara resmi kan di Waris. Di Arso itu hanya transit menunggu persiapan infrastruktur Waris lengkap. Menurut Bapak, sih, kalau tidak dipaksakan, Waris sulit untuk berkembang. Alasan pemda Arso dipakai dulu karena fasilitas Arso lebih menunjang untuk kegiatan kabupaten baru. Juga lebih dekat dan mudah dijangkau dibanding Waris. Jadilah Waris ibu kota de jure, Arso ibu kota de facto.”

“Harusnya ibu kota Indonesia saja yang pindah ke sini, Pak. Jakarta itu sudah kelebihan beban,” timpal Mora Sinaga.

“Akurrrr!” seruku paling keras.

“Bukannya malah tidak efektif?” protes Pramita.

“Ada kemauan pasti ada jalan.”

“Bah. Sederhana sekali solusi kamu. Memangnya birokrasi itu tidak ruwet apa? Dipindah-pindah mudah, itu mah sandal jepit. Megapolitan saja belum tentu berhasil memecahkan persoalan Jakarta.”

Ilham tersenyum. “Wah, membicarakan kota kita dari jauh terasa romantis, ya. Membayangkan kemacetannya membuat kita kangen juga.”

“Aku jadi kepingin makan Bakso Lapangan Tembak.”

“Di sini juga banyak bakso enak. Kami menyebutnya pentolan. Si mas yang jualan bisa beli mobil baru setiap tahun,” Pak Bertho tidak pelit dengan informasi.

Sepanjang jalan bertukar cerita. Kami tergelak-gelak mendengarkan mop, lelucon orang Papua, dari Pak Bertho. Termasuk mulai mengenal kata-kata khas penduduk timur Indonesia ini. Dong untuk dia, tong untuk kita, tra artinya tidak, pu adalah punya, sa adalah saya. Kalau ada yang bilang ‘Sa pu mama su pergi belanja’ maksudnya ibu saya sudah pergi belanja.  

Sebuah plang di tepi jalan bertuliskan Koya Timur mengingatkanku pada pembunuhan Theys Eluay. Di tempat lain, pada mulut jalan bergapura, tampak pasar kecil sedang berlangsung. Dagangan dijajakan dalam meja-meja kayu sederhana, sebagian digelar begitu saja di tanah beralas goni atau terpal plastik. Ubi, pisang, kangkung, ikan, jagung, buah pinang, teronggok dalam ikatan-ikatan.  “Ini jalan menuju Muaratami, sentra penghasil beras di sini. Pemandangannya tidak jauh beda dengan sawah-sawah di Jawa,” Pak Bertho memberi tahu. Kami juga sempat bereaksi penuh semangat saat ditunjukkan persimpangan menuju perbatasan RI-Papua Nugini yang berjarak kurang dari satu jam.

Setelah melewati jembatan perbatasan kabupaten di atas Kali Tami, jalan menjadi tambah sempit dan beraspal tipis. Ilalang tinggi mengepung kiri kanan. sesekali tampak rumah kayu sederhana yang kesepian di tengah semak dan hutan.

Mulut ular berbadan putih panjang sesekali muncul di tepi jalan. Itu adalah jalan menuju areal transmigrasi di pedalaman Arso. Jalan karang putih itu tampak lurus lalu menghilang di kejauhan. Sebuah warung kecil dan gerombolan ojek motor berada di sekitar gapura. Ada angkutan kota yang melayani trayek Abepura-Arso.

Mobil berbelok di sebuah tikungan yang cukup ramai dengan ojek dan pengunjung sebuah warung. Rumah-rumah mulai agak rapat, berhalaman luas, beratap seng-seng yang masih berkilat. Inilah pusat kota Kabupaten Keerom. Keramaiannya seperti desa besar di Jawa. Arso II namanya, salah satu yang terbesar di antara 14 satuan permukiman transmigran di Arso. Kami turun di depan gedung sekolah dasar yang menjadi tempat pertemuan. Sebatang pohon randu tegak menjulang di tengah lapangan upacara, seolah menuding langit biru.

Ning
“Siska minggu lalu pergi ke Merauke,” ujar Lukas, centeng bar Aretha Pub, menjelaskan saat kutanyakan siapa saja kenalanku yang sudah tidak lagi bekerja di Kilo 10. Aku meninggalkan tempat ini kurang lebih tiga bulan. Dalam rentang waktu itu banyak penghuni yang datang dan pergi.

Beberapa saat lalu aku baru tiba di Timika dengan pesawat kecil. Lukas menjemputku di Bandara Mozes Kilangin. Kami berboncengan menuju Kadun Jaya, sepuluh kilometer dari Timika, sehingga disebut Kilo 10. Jika bertanya kepada penduduk Timika, mereka paham tempat apa itu Kilo 10.

Sebenarnya kemarin, sewaktu aku pulang kampung, itu usahaku untuk berbalik jalan. Seharusnya, setelah dua tahun bekerja sebagai ‘pramusaji restoran’ di Timika, ada tabungan cukup untuk modal hidupku. Tetapi, kakak laki-lakiku menyia-nyiakannya untuk modal pencalonan kepala desa.

Dia kalah, uangku ludes, padahal ia tidak pernah minta izinku memakainya. Sisa utang berpuluh-puluh juta. Dia memaksaku untuk kembali bekerja di Timika. Dengan pesan, “Ramahlah kepada setiap tamu restoran supaya mereka tak sungkan memberimu tip yang lumayan. Apalagi sama karyawan asing, pakai jurus kedip-kedip sedikit.”

“Kapan ko ke Merauke, Devi?”

“Bah. Kenapa?” aku mengernyitkan dahi dan memandangnya dengan pedas.

“Kupikir ko tidak kembali lagi ke sini.”

Aku tertawa. “Rezekiku masih di sini, Pace.”

Lukas tertawa. “Nanti malam tong pesta berdua, ya. Kuucapkan selamat datang kembali kepadamu, Devi.”

Aku tidak tahu apakah Lukas itu iblis atau malaikat.  Dia yang mensponsoriku untuk kembali di sini. Artinya, dia memberiku utang untuk ongkos perjwalanan, yang kuangsur tiga kali dengan bunga 50%. 

Selama dua tahun pertama aku menjadi anak buah Rio, pemilik bar dan panti pijat besar di Timika. Sekarang aku tidak punya bos alias usaha sendiri. Tetapi, sulit jika tidak ada pelindung khusus yang akan menjagaku dari razia aparat. Kukenal Lukas cukup baik. Ia menyewakan kamar-kamar kecil untuk orang-orang semacam aku. Kami hanya membayar harga sewa, meskipun sangat tinggi, tanpa perlu membagi hasil.

Hari masih siang, aku memutuskan untuk istirahat. Kubaringkan tubuh di atas kasur yang agak keras. Dulu di rumah penampungan Rio, kamar pribadiku cukup enak, meskipun sempit. Aku akan terbiasa sendiri, hiburku berusaha optimistis.

Tidak ada yang bisa diatasi dalam hidup ini, manusia hanya butuh membiasakan diri. Jika terbiasa dengan rasa pahit, lama-kelamaan kita akan bisa menikmatinya. Itulah prinsip yang kupegang, yang bisa membuatku bertahan dalam kehidupan seperti yang kujalani sekarang ini. Di wisma milik pengusaha hiburan memang lebih enak. Tetapi, potongan penghasilan juga besar. Kontrakan seadanya Lukas jadi pilihanku.

Beginilah perjalanan nasib. Sepuluh tahun lalu aku berada di Bandung. Lalu berkenalan dengan Hans, pelanggan yang mengajakku pindah ke Timika. Aku bekerja di bar milik saudaranya. Sudah kuniatkan itu akan jadi babak terakhir pekerjaan yang terpaksa kujalani seperti sekarang ini. Tetapi, takdir berkata lain. Mudah-mudahan aku tidak sampai harus ke Merauke.

Pintu diketuk menjelang malam. Lukas datang. Oke, satu jam dulu bersamanya. Lalu aku akan minta dia mengantarku ke pangkalan. Mengenakan topeng keceriaan kembali. Kali ini babak terakhir dari cerita kesedihan hidupku, kuharap.

Kirana
Yosefa, gadis hitam manis berambut kriwil itu berasal dari Flores. Ia mengajar matematika di SMP negeri. Sedangkan tugasku mendampingi pengajaran matematika di sekolah dasar. Karena aku dari Jawa, apalagi Jakarta yang seolah pusat jagat itu, maka metode matematika SD yang tim kami kembangkan dapat dipakai untuk pelajaran SMP. Menurut Yosefa, muridnya yang hanya beberapa gelintir itu masih berkutat dengan persoalan matematika yang sangat mendasar. Faktor kelipatan dan aljabar bilangan pecahan, masih belum dikuasai murid-murid SMP itu.

“Apalagi aku pun lulusan sekolah teologi. Mengajar matematika karena kebutuhan yang mendesak. Guru-guru yang ditugaskan dinas kabupaten tidak ada yang betah tinggal lama. Kami sendiri di sini karena misi gereja. Dan, tentunya panggilan hati,” ia tersenyum manis. Sore itu ia menyuguhkan secangkir kopi panas dalam cangkir keramik cokelat tua. “Ini kopi Wamena.”

“Apa keistimewaannya?” tanyaku. Aku buta tentang perkopian, hanya tahu menikmati. Itu pun seringnya kopi instan yang sudah ditakar dengan komposisi pabrik.

“Kopi Wamena ditanam secara organik. Kebunnya di Pegunungan Wamena, jadi mengandalkan pupuk dari abu vulkanis. Terkenal tidak hanya di Papua, lho, tapi sampai ke mancanegara.”

Wah, aku kagum, ternyata Yosefa yang berada di pedalaman paham hal-hal seperti itu. Di kompleks ini, terdapat enam rumah dan sebuah gereja. Ada dua orang guru dan keluarganya, satu rumah khusus untuk tamu, satu rumah untuk frater, dan satu rumah untuk tenaga medis. Satu rumah lain difungsikan sebagai asrama untuk murid-murid yang bersekolah di Waris.

Di luar kompleks, hanya terdapat rumah tak melebihi dua puluh bangunan. Rumah penduduk asli kebanyakan sederhana, berdinding papan dari kayu dan atap seng. Ada satu kios milik koperasi desa yang menjual beberapa barang kebutuhan sehari-hari. Sedangkan rumah dinas kepala distrik atau yang ditempati tentara, setengah tembok dengan cat putih seragam. Ada beberapa rumah yang memiliki parabola.

Sore ini aku sudah mengoleskan lotion antinyamuk. Malaria harus dihindari dengan ekstra hati-hati. Selain sudah menyiapkan dengan pil anti malaria, tip Yosefa kuikuti: pakailah baju berwarna terang karena nyamuk suka hinggap di tempat berwarna gelap. Di sore dan malam hari, kenakan baju berlengan panjang dan celana panjang.

Ditemani secangkir kopi, suasana sore jadi lengkap untuk menyegarkan pikiran. Nyanyian serangga dan kodok terdengar dari arah belukar dan hutan di belakang kompleks. Nikmat di jiwa. Suasana rimba yang kurindukan. Aku sudah lama pensiun dari pendakian gunung sejak lulus kuliah.

Sebentar lagi malam. Sunyi dan senyap hutan mendatangkan hening batin.

“Bagaimana hari pertama tadi?” tanya Yosefa.

“Di kelas saya masih mengamati. Anak-anak juga masih malu-malu. Saya memang perlu waktu untuk dekat, bahkan dengan anak-anak.”

“Lama-lama juga terbiasa. Pengalamanku pribadi, kita harus ekstra sabar mengajar anak di pedalaman. Tidak bisa kasih banyak materi langsung kepada mereka, ibarat mengunyah makanan harus pelan dan butuh waktu. Itulah tantangannya, bukan?”

Aku nyengir. Ingat Dias seketika kalau sudah mendengar kata ‘tantangan’. Dias memvonisku akan kesepian menghabiskan waktu. Aku optimistis punya banyak waktu untuk menamatkan buku yang bertahun-tahun hanya dibaca halaman awal. Tetapi, penerangan seadanya dari lampu yang watt-nya kecil pasti membuat mata lelah. Ah, aku bertanya-tanya, seberapa dalam kesepian yang akan menemaniku di tengah belantara.

“Mengapa Kakak tertarik untuk mengajar di sini?” tanya Yosefa. Ia memanggilku Kakak karena beda usia tiga tahun saja. Pertama ia memanggilku Ibu, tapi kuminta jika di rumah panggil saja namaku langsung, eh malah jadi Kakak. Aduh, feodal sekali rasanya. Tapi, rupanya sudah kebiasaan di tempat ini untuk menyebut yang lebih tua dengan ‘Kakak’.

“Kurasa beda tipis dengan alasanmu.”

“Beti, ya?” Yosefa tertawa. Wah, tahu juga ia istilah gaul, meskipun tinggal di pedalaman. Kulihat ada tumpukan majalah di meja belajarnya. “Padahal, setiap orang malah berlomba pindah ke kota. Apalagi Jakarta. Sa tidak bisa bayangkan seperti apa besarnya ibu kota. Selain hanya lihat
di televisi.”

“Itulah, saya juga heran. Ngapain, sih, pada berdesakan di sana?” Aku tertawa.

“Mungkin pohon uangnya di sana, Kak,” ujar Yosefa. “Sebelumnya Kakak kerja apa?”

“Programmer di perusahaan jasa telekomunikasi.”

“Wah, sa tra bisa bayangkan kerja macam apa itu.”

“Pokoknya mengutak-atik komputer supaya bisa digunakan untuk bermacam-macam kegunaan.”
Yosefa menggeleng-geleng. “Kalau sa tanya-tanya terus juga tetap akan bingung, ya. Yang sa tahu, pekerjaan itu, ya, guru, dokter, insinyur sipil, pejabat, anggota dewan, suster, pedagang, petani... Wah, sejenis itulah.”

Lagi Yosefa memperlihatkan giginya yang putih kontras dengan kulit gelapnya saat tertawa. “Nah, sekarang Kakak pegang komputer saja tidak.”

“Jauh lebih susah, kok, mengajar itu. Yang dihadapi manusia, apalagi anak-anak. Ibaratnya kita ini sedang menulisi selembar kertas yang masih bersih. Kalau berhadapan dengan benda mati, kita perlakukan seperti apa pun, tidak akan terbawa terus seumur-umur. Jadi, saya ini khawatir juga kalau salah langkah. Saya kerap tekankan pada diri sendiri, agar menghormati anak-anak itu sesuai budaya tumbuhnya. Saya tidak boleh menetapkan diri sendiri sebagai acuan. Justru saya yang akan belajar kepada mereka. Inilah salah satu alasan saya datang ke sini.”

Yosefa tersenyum. “Benar, sebetulnya kita sendiri yang akan belajar banyak.”

“Kamu sendiri, seringkah kangen berkumpul dengan keluarga?” Aku bertanya.

“Di sini ini juga keluarga, Kak.” Jawabannya membuatku diam sejenak.

“Berapa lama sekali pulang ke rumah orang tua?”

“Hampir tiga tahun di sini, sa baru pulang sekali pada saat Natal. Sekali pernah Natal di sini, sekali lagi di rumah matua yang menikah dengan orang Serui.”

“Wah, kuat juga, ya, menahan rindu.”

“Sa pu orang tua bilang, jika untuk kepentingan umat, keluarga boleh jadi nomor sekian. Lagi pula, ongkosnya mahal.”

Obrolan remeh-temeh tentang hal-hal pribadi pun terus mengalir. Kami cepat akrab. Yosefa ternyata masih sendiri, dan ia merencanakan akan menikah setelah lima tahun mengabdi sebagai pengajar di sini. Biar tidak harus berpindah-pindah mengikuti suami, begitu alasannya. Saat ia tanyakan statusku, kubilang aku single but it’s complicated. Kata yang mengingatkanku pada facebook. Sebelumnya facebook menu harianku, sekarang aku akan puasa panjang dengannya. Jika facebook bisa kuakses, akan ku-update statusku seperti ini: ‘Menikmati kopi Wamena di tengah belantara sambil diiringi nyanyian serangga menjelang senja’.

Ketika lampu-lampu sudah menyala, Yosefa pamit dari beranda rumah tamu. Dalam keremangan senja, kutatap jalan kerikil di depan pagar yang lurus membentang. Kedua ujungnya mendadak muncul dan menghilang di rerimbun daun.  Kelap-kelip nyala lampu dari barisan rumah seperti mata tentara penjaga kampung. Di rumah frater, Frater Hans tampak baru menarik gorden, kemudian membuka pintu. Ia melambai dan tersenyum saat melihatku. “Selamat malam, Nona.”

“Malam, Frater,” sahutku, membalas salam. Frater Hans kemudian masuk kembali tanpa lupa berpamitan.

Terdengar lagu dari radio milik keluarga Pak Jonas, petugas medis tim keuskupan. Berselang-seling dengan celoteh balita mereka, Azalea. Hanya sehari mengenalku, bocah itu langsung lengket. Rupanya ia senang dengan orang baru.

Aku masuk kamar yang diterangi lampu redup lima watt. Ini pun hanya berlangsung sama, pukul 9 malam. Setelah itu gelap gulita. Kecuali jika memasang lampu minyak. Yosefa minta maaf karena genset hanya dinyalakan penuh saat paroki menyelenggarakan acara. Selebihnya, bahan bakar harus dihemat benar.

Sebenarnya biaya penerangan ada dalam anggaran gereja, tetapi diputuskan untuk menghargai penduduk yang belum bisa menikmati listrik. Pemda masih terkendala infrastruktur untuk menjangkau distrik Waris dengan jaringan PLN. Meskipun jarak dari Abepura ke Waris hanya sekitar 130 kilometer, kurang lebih sama dengan Bandung - Jakarta.

Hasrat membaca lenyap karena penerangan yang kurang. Semoga lama-lama penglihatanku bisa beradaptasi. Sambil membuka-buka lembaran buku, kubayangkan pekerjaan berat para misionaris awal yang pertama menembus rimba belantara perawan. Dikepung nyamuk malaria juga ancaman suku-suku pedalaman. Tapi, mereka tampaknya adalah kelompok orang bersemangat baja.

Ingatan itu menghangatkan semangatku. Kupahami sejak awal di dalam hatiku seolah ada bara terembus setiap membaca kisah-kisah pengabdian yang dilakukan para tokoh kemanusiaan. Mereka berani mengorbankan kepentingannya sendiri untuk bepergian jauh dan menyerahkan kehidupannya di jalan sulit dan terjal, bahkan tak jarang penuh penderitaan.

Bertahun-tahun aku memelihara semangat mereka sebagai fantasi. Liar seperti ketika membayangkan petualangan Indiana Jones. Tetapi, kenyataannya aku menjalani hidup seperti kebanyakan. Kuliah lalu bekerja, normal layaknya yang lain. Bahkan, karena alasan-alasan praktis, aku memilih bekerja di Jakarta dengan pendapatan yang aman.

Tetapi, cita-cita itu terus hidup dalam mimpi-mimpiku. Seolah menjulur-julurkan lidah meledek. Makin ke sini  makin sulit mengelak. Terutama saat kusandarkan penatku di kursi kantorku yang lama. Aku tak hendak bergagah-gagah menjadi pahlawan. Hanya memiliki panggilan hati untuk pergi ke daerah tertinggal suatu saat.  Lalu, setelah itu aku bisa merasa hidupku lengkap sudah. Tidak ada semacam ‘utang’.

Mungkin hal itu memengaruhi caraku berhubungan dengan Dias. Bagiku, berlama-lama di tempat yang nyaman terasa bagai kesalahan. Padahal, aku harusnya punya kewajiban untuk menebusnya. Aku mungkin sejenis idealis menyebalkan, yang mengkritik ketaksempurnaan dunia terus-menerus. Tapi, tidak tahu harus berbuat apa. Aku berusaha melupakan dorongan semangatku dan fokus pada tujuanku bersama Dias. Lalu, pada akhirnya hubungan kami harus menyerah pada kegelisahan itu.

Mengingat keputusan itu membuat perasaanku jadi melankolis. Bunyi serangga menyelimuti malam. Aku duduk dalam posisi lotus. Meditasi akan menenangkan hati. Bersiap dan memantapkan hati hidup enam bulan ke depan di dunia yang betul-betul berbeda dengan yang selama ini kukenali.

Kutulis catatan untuk Dias pada laptop-ku.

Sore tadi aku bercakap dengan Yosefa, guru yang sekaligus menjalani tugas gereja. Aku baru sehari mengajar, tapi rasanya kewajibanku masih sepuluh tahun lagi di sini. Atau mungkin seumur hidup.

Ning
Di tempat tinggalku, jenis kendaraan itu disebut angkot alias angkutan kota. Di sini namanya taksi. Pagi-pagi aku sudah bersiap di pangkalan taksi. Hari Sabtu yang mendung. Tetapi, hatiku cerah. Tiap akhir pekan, meno-meno akan turun dari gunung menjual bijih emas yang berhasil mereka peroleh. Itulah sumber harapan kami terbesar.

Penampung emas yang kebanyakan pedagang Bugis, panen setoran. Meno panen uang, para sopir panen borongan. Penjual minuman beralkohol, penjual telepon seluler, pedagang pakaian,  semua panen.

Jangan tanya mereka yang langsung mengeruk bijih emas dari perut Gunung Grasberg, sepertinya tidak perlu bersusah-payah pun uang sudah mengucur. Kami yang berkerumun di kaki gunung, laksana pasukan semut memunguti remah-remah. Demikian juga aku, yang terbang beribu-ribu kilometer meninggalkan kampung halaman dan sanak keluarga, demi manis remah-remah emas. Hujan deras semalam menyisakan jalanan yang licin dan basah. Di Timika, hujan turun lebih deras daripada yang bisa kuingat di tempat lain. Menurut orang-orang, di Tembagapura malah hampir setiap hari selalu berkabut dan gerimis.

Aku belum pernah pergi ke sana, karena untuk masuk harus punya kartu tanda pengenal. Kalau mau, sebenarnya bisa ikut tentara penjaga. Tetapi, aku kurang suka bergaul dengan tentara. Padahal, seharusnya aku belajar menyukai tentara karena di tempat terasing seperti ini, sangatlah penting memiliki hubungan dengan pihak yang kuat dan bisa diandalkan.

Salah seorang kakak sepupuku bersuamikan tentara yang sering dikirim bertugas lama ke luar daerah. Bergaul rapat dengan tentara membuatku merasa mengkhianatinya yang sudah setia menunggu di rumah merawat anak-anak. Dari sekadar menjaga jarak, lalu tumbuh rasa tidak simpatiku, terutama karena aku tahu teman-teman yang pergi berburu cendana ke pedalaman Merauke harus membayar biaya keamanan kepada beberapa dari mereka.

Tapi, mungkin memang seperti itulah harga yang harus kami bayar. Apa lagi yang bisa kami lakukan, selain mengiyakan orang-orang yang sepertinya datang untuk menolong mengantarkan kami pada jalan yang penuh harapan.

Bagi kami, satu terang bintang di langit pun sudah menjadi puncak cemerlang. Dan aku, datang kembali ke kota asing ini demi asa terang yang ingin kuraih, agar segala mendung dan gelap tidak betah bergayut pada kehidupanku. Apakah bisa? Apakah mungkin? Aku hanya tahu satu cara: bekerja sekeras-kerasnya. Sebaik-baiknya.

Ning
Di saat sebagian orang masih bermalas-malasan, aku sudah bergerak menuju kota. Tujuanku adalah arah Jalan Bougenvile dan Jalan Gorong-gorong. Mengawasi apakah ada meno yang tampak menjual emasnya. Mereka harus bisa dicegat sebelum mendatangi para pengepul emas yang rata-rata berasal dari Bugis itu. Tentu, agar emas itu bisa masuk kantongku lebih dulu.
Pagi masih benar-benar berkabut. Aku memakai jaket rapat-rapat. Di balik jaket hanya kukenakan atasan kutung tanpa lengan, ketat dan berlekuk mengikuti bentuk tubuhku. Kurang menguntungkan memang, karena penampilanku tidak terlalu menarik perhatian. Tapi, aku tidak ingin masuk angin atau menggigil kedinginan karena cuaca yang menggigit. Umur sudah tidak muda lagi, badan mulai manja, lain dengan dulu.

Mungkin aku terlalu pagi datang kemari. Belum ada seorang pun meno yang tampak setelah hampir sejam menunggu. Kios-kios pengepul pun belum buka. Kota sudah mulai ramai. Anak-anak sekolah yang tadi kutemui di jalan-jalan sudah tidak tampak. Aduh, perutku mendadak keroncongan. Padahal, tadi sudah kuisi dengan dua lembar roti tawar dilapisi selai kacang dan susu kental manis, juga segelas kopi panas. Dingin membawa lapar!

Tentu saja di pagi sedingin ini setiap orang akan memilih bertahan di rumah, di balik selimut masing-masing. Bahkan, para meno yang kutunggu-tunggu, kurasa mereka masih meringkuk di dalam bivak. Teman-teman pun akan menertawakanku, jika mereka tahu aku sudah menjemput bola di luar waktu biasa.

Semua orang juga tahu, para meno baru akan turun ke kota pada sore hari, puncaknya biasanya pada hari Sabtu. Itulah saat-saat panen bagi kami. Tetapi, jika hanya mengandalkan waktu panen, mimpiku untuk tinggal sesebentar mungkin di sini tidak akan tercapai. Di akhir pekan, saingan juga banyak. Noni-noni muda berkulit langsat tidak kurang yang beralih profesi, dari penjaga bar menjadi seperti kami.

Wah, lihat segerombolan pria berkulit legam itu. Mereka memakai sepatu boot seperti pekerja tambang sungguhan. Noken kecil berisi ponsel jenis terbaru tergantung di dada. Topi gunung berwarna hijau, hitam, kuning dan merah meriah, warna rasta kebanggaan mereka. Mereka tertawa riang sambil meludahkan cairan merah sirih pinang. Anehnya, meskipun mereka keranjingan mengunyah sirih pinang, mereka tidak suka jika aku ikut menyirih. Mungkin mengingatkan mereka pada aroma istri-istri di rumah.

Sehabis menukar emas dengan rupiah, mereka akan pesta keliling kota dengan mobil sewaan. Tidak lupa mengajak teman dan saudara. Berkrat-krat minuman keras memenuhi mobil. Lalu, pesta diakhiri di Kilo Sepuluh. Aku akan mengajak salah satu dari mereka untuk berpesta terlebih dahulu di kamarku. Tetapi, jika rombongan itu semua berhasil kuajak, teman-temanku pasti senang sepagi ini sudah kedatangan tamu berkantong tebal.

Aku mencegat mereka di tepi trotoar. Pura-pura ada masalah dengan sepatuku, aku membungkuk sambil menggoyang-goyang pinggul sedikit. Benar, yang terdepan berhenti diikuti yang lain.

“Ah, ada apa Nona dengan ko pu kaki?”

“Menginjak paku, Pace,” sahutku, mengangkat wajah.

“Ah, sudah kasih obat cepat. Nanti infeksi jadi.” Ia mengulurkan tangan menarik tanganku supaya bangkit. Perangkapku berhasil. Sedikit kuremas-remas telapak tangan meno itu saat aku memegangi tangannya sebagai tumpuan. “Nona, apakah bisa paku-paku sekarang dengan kami?”

Aku mengedip penuh arti. Kuhitung ada enam orang dalam rombongan. Aku membuat kesepakatan dengan teman-temanku di kontrakan lewat ponsel.  Beginilah, jika rezeki dibagi rata, perasaan senabis sepenanggungan terasa kental. Tetapi, jika saatnya bersaing sengit, tak jarang di antara kami saling menjelek-jelekkan sampai ke hal sekecil-kecilnya. Batas antara hitam dan putih di dunia kami begitu tipis, atau bahkan tak ada. Semuanya kelabu, pekat dan pahit. Tapi, kami punya banyak cara untuk tertawa melupakan semua itu. Apalagi jika sepagi ini sudah masuk ke kantong ratusan ribu rupiah.

Aku akan tidur siang sebentar. Mungkin nanti Lukas datang. Perlu kusiapkan energi cukup, sebab malam Minggu adalah panen raya. Apalagi musim hujan seperti ini. Setan sepertinya turun bersama butiran-butiran air menyuruh manusia berpesta-pora sepanjang malam.

Lukas datang sore hari. Namun, kali ini ia tanpa aroma alkohol. Ia datang membaringkan tubuhnya yang berat di kasur sehingga terbentuk cekungan. Matanya menatap langit-langit kamar. “Ada orang hanyut terbawa air di Ajkwa. Itu saudara satu suku, anggota marga yang kuhormati.”

Oh, pantas, aku membatin. Lukas adalah anggota suku Kamoro, penduduk daerah lembah aliran Sungai Ajkwa. “Innalillahi…,” ucapku. Lukas paham itu ungkapan dukacita yang diucapkan seorang yang beragama Islam. Aku sering mengucapkan kalimat itu setiap mendengar anggota sukunya yang meninggal. Beberapa orang sebelumnya mati sekaligus sewaktu perang suku dengan suku Amungme. Beberapa orang mati karena AIDS. Sebagian hanyut terbawa arus deras saat mendulang emas.

“Tong pu laki-laki habis satu per satu,” ujarnya, bergumam.

Kami terdiam cukup lama. Aku tidak suka dengan suasana duka seperti sekarang. Seolah seseorang melemparkan kesedihan tepat di wajahku. Padahal, mati-matian kusembunyikan jauh di dalam. Kalau bisa, malah tidak usah muncul sejenak pun.

Kirana
Di dalam perjalanan menuju Arso II, tubuhku terguncang-guncang oleh gerakan mobil yang menerjang jalan lumpur berkerikil. Di beberapa tempat longsor dan basah oleh air membentuk kubangan dalam, menunjukkan jika pada lapisan bawah jalan terdapat sumber mata air. Sopirnya, pria muda asal Toraja, tampak sudah teruji di medan berat. “Jalan menuju Web jauh lebih parah, selain licin juga terjal dan curam. Entah kapan trans Irian bisa sampai tembus Wamena dan beraspal mulus.”

Menjelang masuk Arso Timur, jalan sudah dilapisi aspal. Setelah melewati rumah dinas bupati, sinyal ponsel pun muncul. Rumah dinas itu megah dan luas, bergenting biru, dengan pagar teralis kokoh tinggi. Bangunan di Arso, seperti umumnya di Papua, kebanyakan beratap seng. Pada bangunan lama, karat kecokelatan menimbulkan kesan tua.

Teman-teman dari Jakarta, yang hampir seluruhnya anak LSM atau aktivis kampus, ternyata riang gembira juga kembali sesaat ke keramaian. Dinar, Bobi, Rahman, Galih, dan Rendra seperti menyambut kedatangan tamu istimewa ketika aku datang.

“Tambah item, Mace,” itu sapaan Rahman sambil mengguncang tanganku ketika bersalaman.

“Langsingan, ya?” Dinar menggoda. Tentu saja, selama sebulan tinggal di Waris, pola makanku berubah jauh. Tidak ada kudapan berlemak atau aneka minuman berkalori tinggi yang gampang diperoleh di Jakarta. Selain itu, aku tertular Yosefa rajin lari pagi.

Kusapa mereka dengan bahasa Pidgin, bahasa Inggris dialek Papua Nugini yang banyak dipakai orang-orang di perbatasan seperti Waris. Bahasa Pidgin pertama-tama menggelikan karena penulisannya sama dengan pelafalan. Contohnya you ditulis yu. Komon, yu ken dudet (Come on, you can do that!).

Mereka pun mulai tertular bicara Melayu logat Papua. Asyik sekali jika untuk berbicara hal sederhana kita harus berpikir beberapa jenak mencari kata yang tepat. Rendra mengusulkan, jika setiap kumpul evaluasi, tong wajib bicara bahasa Papua.

Seharian kami berdiskusi tentang masalah-masalah di lapangan. Hampir semua memiliki persoalan dengan pemahaman murid yang rendah. Bukan hal aneh, jika murid kelas enam belum bisa operasi pembagian dan perkalian bilangan dua angka! Di sekolah-sekolah pedalaman sering kali kelas absen berhari-hari karena guru tidak ada di tempat. Atau murid pun membolos karena ada pekerjaan di hutan dan ladang. Sekolah bukan kebutuhan prioritas untuk kebanyakan penduduk asli. Kondisi berbeda di daerah transmigrasi seperti Arso, Skanto, dan Senggi. Sebagian besar murid adalah keturunan pendatang dari luar pulau.

Rahman sebagai pemimpin diskusi membuat kesimpulan: “Yang perlu kita tekankan di sini adalah kita tidak membawa apalagi menekankan standar pendidikan di Jawa terutama. Tujuan kita adalah bagaimana menyesuaikan kebutuhan anak didik di sekolah dengan metode yang kita sampaikan. Sebab, jika kita memaksakan metode, tapi tidak bisa diikuti mereka, sama saja bohong. Prinsip pedagogi yang kita pakai tidak untuk mengkhianati realitas mereka. Aku tidak habis pikir anak-anak sekolah di sini memakai buku-buku pelajaran yang isinya tentang mobil, kereta, nama-nama, istilah, sejarah dan budaya yang tidak mereka kenal. Alangkah baiknya jika otonomi khusus juga berlaku pada reformasi materi belajar, supaya lebih bermuatan lokal dan dekat dengan keseharian anak-anak.”

Obrolan kemudian masuk pada bisik-bisik gerakan separatis. Aku banyak ditanya teman-teman dengan situasi di Waris, tempat yang lama dijadikan perlintasan gerilyawan OPM yang melintasi negara Indonesia dan Papua New Guinea. Kuceritakan tentang posko tentara yang berada tak jauh dari rumah penampunganku. Aku sudah mengenal beberapa orang yang tidak sedang mendapat giliran patroli ke perbatasan. Pada dasarnya, mereka sama dengan kami, yaitu datang karena menjalankan sebuah misi. Sama-sama terpisah jauh dari keluarga di rumah, tapi ada semangat
yang menguatkan. Yang berbeda adalah sumber semangatnya.

Tiba-tiba, aku ingin bercerita kepada Dias. Maka kukirim pesan: Dias, ak pengen tlp.Tp pulsaku rupanya sudah habis masa aktifnya. Bisa tlg isi? 50rb aja, thx sebelumnya yah. Ohya, km dah ada pacar baru blm? Mdh2an sgera dpt yg asyik, ga jenis galau ;p

Dias, bekas kekasih yang kini menjadi sahabatku itu, tak lama membalas: Yes, Bos. Aamiin... Pulsa dah tkirim, smp blum?

Aku riang setelah mengecek saldo pulsa. Sedikit berdebar menanti sambungan ke nomor Dias. Ketika suaranya terdengar, sambil membayangkan jarak tiga ribu kilometer lebih membentang di antara kami, aku tersenyum lebar dan rasanya pipiku langsung merah dadu.

“Bagaimana di sana? Masih betah nggak tinggal di pedalaman?”

“Aku bahagia, Dias. Aku selalu merasakan getar haru setiap menatap sosok anak-anak di kelas. Mungkin aku telah jatuh cinta pada mereka, pada kehidupan yang berlangsung di tanah ini.”


Ning
Dari Lukas, aku dapat kabar tentang Intan, salah seorang bekas teman kerjaku di pub dulu, dikirim dari hutan pedalaman di Asgon ke Timika. Ia sekarang ada di Yayasan Santo Antonius. Aku tahu, Intan dulu gula-gula Lukas. Sekarang, setelah tahu Intan ada di yayasan, ia berkata tidak ingin menemui wanita itu lagi. “Nanti sa tertular moo.  Biar sa sudah dapat resep penangkal penyakit itu, sa harus berhati-hati, bukan?”

Aku termangu mendengar ucapannya. Lukas bercerita, Intan bertahan selama enam bulan di pedalaman mengejar rezeki gaharu. Ya, aku sudah hafal kisah serupa itu. Wanita seperti kami menjadi barter menarik bagi bapak-bapak penduduk asli yang mengumpulkan gaharu. Dimulai dengan perjalanan berat menaiki kapal long boat menyusuri sungai berarus deras selama berhari-hari. Tiba di permukiman Waganu menunggu gaharu diantar, ditukar dengan beberapa malam, tergantung pada berat dan kelasnya. Gaharu kelas satu, bisa bernilai sepuluh juta per kilogram, bisa menghasilkan malam sangat panjang hingga seminggu penuh.

Ketika gaharu  makin langka, pengusaha menyuruh wanita asuhannya masuk ke hutan untuk menjemput para pencari gaharu. Tujuannya, mengumpulkan gaharu sebanyak mungkin, mengeruk uang sebanyak-banyaknya. Di hutan, dengan kondisi yang sulit, banyak yang jatuh sakit. Obat-obatan antibiotik tidak akan mempan. Jika hanya sakit biasa, masih ada harapan sembuh. Tapi, jika sudah terkena virus kutukan itu, seperti Intan, kurasa dunia seakan runtuh. Aku tidak berharap kejadian itu menimpaku. Sudah kuusahakan untuk selalu merayu tamu-tamuku mengenakan pelindung, meski satu dua tamu selalu ada yang bandel. Artinya, tidak berarti aku aman seratus persen. Tidak.

“Jangan sampai ko bernasib sama sampai harus pergi ke pedalaman,” ujar Lukas.

Aku terharu oleh perhatiannya. Jika saja kalimat itu diucapkan kakakku…. “Jika terus terdesak oleh nona-nona muda, segar, dan cantik, ke mana lagi nasibku hanyut, Pace?” ujarku, sambil tersenyum.

“Ah, jangan ko pikirkan itu. Bekerjalah sebaik-baiknya, dan jangan ko hambur-hamburkan uang pendapatanmu.”

“Tetap tidak cukup juga.” Lalu aku mengeluh utang yang harus kubayar dan keinginanku menabung untuk bekal. “Aku mau bekerja sangat keras supaya aku tidak perlu lama di sini. Lalu pulang ke Jawa.”

“Ko mau apa di Jawa?”

“Membuka salon atau warung sembako.”

“Ah, apa hasilnya akan cukupkah?”

“Tidak apa-apa jika hasilnya sedikit. Yang penting aku bisa hidup tenang dan tenteram.”

Lukas tertawa. “Apa itu hidup tenang dan tenteram?”

Aku memandangnya heran. “Kau tidak tahu?”

“Yaaa... kalau mau tenang dan tenteram itu di kuburan. Selama ko hidup, pastilah harus bersusah payah mencari uang. Buat makan, bukan obat kalau ko sakit. Benar kan sa pu pendapat?”

Kata-kata Lukas terdengar kejam di telingaku. Masa untuk hidup tenang dan tenteram  tidak bisa diperoleh di dunia! Lukas tertawa makin keras menanggapi protesku. Lalu ia bertanya, apa rencanaku agar tujuan hidup tenang dan tenteram itu tercapai. Meskipun aku dongkol karena ia mengolok-olokku sedemikian rupa, kujelaskan, kalau bisa paling lama aku akan tinggal di Timika selama enam bulan saja. Jadi, aku harus memanfaatkan waktuku sebaik-baiknya selama enam bulan itu. Aku harus segera pulang ke Jawa membawa bekal cukup, jangan sampai malah tersingkir ke pedalaman.  Amit-amit!

“Dengan bekerja seperti ini, kurasa sulit sekali, Devi. Paling tidak ko butuh dua tahun untuk menabung sampai ko pu modal itu cukup. Itu sudah.”

Kusangga dagu dengan kedua tanganku. “Lalu aku harus apa, Pace?”

“Ko tadi bilang mau bekerja apa saja, bukan?”

“Ya. Apa saja.”

“Begini,” ujar Lukas, dengan gaya serius.

“Ko selama ini mencegat para meno di dekat pasar Swadaya sewaktu mereka turun untuk menukar emas, ‘kan? Di kota, sainganmu banyak.”

“Kau suruh aku ke hutan gaharu? Di sana juga saingan banyak, nyamuk malaria pun tidak kalah banyak.”

“Ah, ko dengar dululah sa bicara,” ujar Lukas. “Kalau ko benar-benar mau mengumpulkan banyak uang, mengapa tidak kau langsung datangi saja tempat mereka menambang?”

“Ke Sungai Ajkwa?”

Lukas mengangguk. Aku membelalakkan mata mendengar usulannya. Aku membayangkan diriku bagaikan perawan di sarang penyamun, jika memasuki kawasan penambang emas sisa limbah pabrik raksasa di pucuk Gunung Grasberg itu.

“Ko harus naik ke atas, bisa ke Arwanob atau Banti, karena di sana lebih dekat dengan pabrik. Penambang di atas mendapat emas lebih banyak.”

“Gimana cara aku ke sana? Sendirian jelas tidak mungkin.”

“Apa gunanya ko kenal pace Kamoro, heh?”

“Kau mau mengantarku, Lukas?”

Lukas menyeringai. “Ada hitungannya, Devi. Anggap saja sa ini manajermu.”

Aku mendelikkan mata padanya. Lukas memperlihatkan giginya yang kemerahan oleh sirih pinang. Ia mengangkat kedua telapak tangannya di depan wajahku. “Tenang, Devi. Aku tidak akan mengisap uangmu seperti bos-bos itu.”

“Lalu apa?” Aku menangkap isyarat licik pada wajahnya.

“Ah, ko ini tidak percaya sa pu usul rupanya. Padahal, kita sudah kenal bertahun-tahun. Tidak mungkin sa ada niat jahat padamu.”

Aku mengalihkan tatapan Lukas. Mataku memandangi foto seorang pemain sinetron tampan yang ada di lembaran kalender di dinding kamar. Lalu kutatap  lagi Lukas yang sedang bersila di hadapanku.

“Jadi, bagaimana perjanjian tong pu bisnis kali ini?”

Lukas tertawa sebelum menjawab. “Sa senang berurusan denganmu. Ini uji coba. Kalau berhasil, sa bisa ambil nona-nona lain, bukan? Ah, mengapa juga tidak sejak dulu sa pikirkan? Ko ini memberi ide untuk menjemput langsung ke penambangan. Sa pikir tra ada wanita yang mau repot-repot turun sampai sana. Selama ini cukup menunggu di kota saja. Tapi, ko memang selalu lain, Devi.”

Selalu lain? Lukas mengada-ada. Kurasa kata-kata selalu lain itu ditujukan padaku karena beberapa hari lalu Lukas menemukan sebuah buku cukup tebal di antara tumpukan barang-barangku. Kuberi tahu, buku itu bukan milikku, tapi kutemukan di toilet Bandara Sentani. Belum kubaca karena aku tidak suka membaca. Lukas bertanya, jadi untuk apa aku pungut buku itu. Kubilang, aku tidak tahu. Tapi, kalau dibuang, aku merasa berdosa, ia boleh mengambilnya jika mau. Lukas tertawa keras. Ia sempat membuka-buka sebentar. Seperti aku, ia juga merasa tidak tertarik. Menurut Lukas, aku ini aneh, memungut benda yang tidak bisa digunakan.

“Kau memang lain,” ujarnya.

“Lain apanya?”

“Hanya ko yang paling keras memaksa tamu mengenakan pelindung.”

Aku tertawa kecil. Ternyata, itu maksud kata ‘lain’. “Kalau tidak begitu, aku bisa kena. Lagi pula, aku tidak memaksa. Masa merayu disamakan dengan memaksa?”

“Ah, ko pandai putar lidah sudah,” ujar Lukas.

Kirana
Sabtu pagi ini aku ikut menumpang mobil keuskupan yang akan turun ke Jayapura untuk sebuah keperluan. Karena ada Yosefa yang bisa kubuntuti, maka kesempatan ini tidak kulewatkan. Tanpa mendapat tumpangan, perjalanan ke ibu kota sejauh kurang lebih seratus lima puluh kilometer membutuhkan biaya ratusan ribu rupiah naik mobil gardan ganda.

Jalan bertanah keras sepanjang puluhan kilo membuat tubuh penumpang terguncang-guncang, meski jok mobil cukup meredam. Aku dan Yosefa duduk di kursi paling belakang, bersama seorang pengajar sekolah menengah pertama milik yayasan. Di tengah diisi keluarga Pak Jonas yang membawa serta putri kecilnya.

Posisi dudukku persis di atas ban, sehingga guncangan kecil saja langsung terasa. Tapi, aku juga bisa menikmati pemandangan hutan-hutan yang, meskipun tak lagi lebat, cukup rimbun. Berkendara terasa nyaman saat mobil memasuki wilayah distrik Arso yang sudah beraspal mulus.

Melewati pertigaan Arso II, suasana cukup ramai. Mama-mama berjualan di pertigaan tempat ojek mangkal. Beberapa orang penduduk sedang menikmati waktu di warung kopi, sekaligus menunggu taksi. Sekelompok anak kecil bergaya dengan sepeda masing-masing di pinggir jalan. Andalan! Aku teringat kalimat khas murid-murid di kelas jika ada sesuatu yang bisa dibanggakan.

Hampir tiga jam perjalanan melewati hutan, semak dan lahan terbuka. Kini mobil memasuki jalan yang diapit tebing batuan yang cukup tinggi di sisi kiri, dan pemandangan terbuka ke arah Teluk Yos Sudarso di sisi kanan. Warna biru permukaannya cemerlang, dengan aksen daratan hijau meliuk-liuk membentuk fraktal alam, aku membayangkan pantai California di seberang sana yang akan menjadi tempat terdamparnya botol berisi surat jika kulemparkan dari sini. Dengan syarat, si botol mampu bergerak dalam garis lurus ke arah timur laut mengarungi Samudra Pasifik yang mahaluas.

Ide-ide khayali semacam ini hanya Dias yang menanggapi dengan antusias. Bahkan, ia pernah berpikir, mungkin sekali air yang pernah diminumnya di Surabaya ketika ia kecil, pernah terminum olehku di Banjarmasin saat remaja. Persis sama denganku yang juga berpikir serupa, karena berangkat dari fakta bahwa air di seluruh bumi ini melewati siklus yang berulang.

Air yang melewati seseorang, juga pasti pernah melewati tubuh musuh besarnya. Entah berapa tetes, ember, atau molekul. Jadi, mestinya tidak akan ada permusuhan, perang atau kebencian, jika semua orang berpikir tentang unsur-unsur dan senyawa yang kita bagi bersama di dunia ini. Itulah, salah satu mengapa Dias dan aku menemukan kecocokan. Tapi....

“Su hampir sampai kita,” ucap Yosefa.

Yosefa turun di Abepura. Aku turut Yosefa menginap di salah satu rumah saudaranya, jadi aku akan membebek ke mana-mana, yang penting bisa menikmati Kota Jayapura. Katanya, pemandangan malam hari di kota itu sangat cantik, juga ada warung-warung ikan bakar enak milik pedagang Bugis di sepanjang pelabuhan. “Juga nanti mama tuaku akan memasak ikan kuah kuning terlezat untuk kita,” ujar Yosefa. “Kepalanya boleh untuk ko seorang, Ki.”

Aku tertawa malu.

Rumah kerabat Yosefa berada di tepi lapangan bola, pepohonan rindang sepanjang jalan menghalangi sinar terik matahari. Belum tengah hari, tapi rasanya matahari seperti memanggang kepala. Di sisi barat, tampak bukit hijau menjulang yang ditumbuhi ilalang dan pohon-pohon perdu.

“Ini Kirana, Matua. Relawan pengajar di sekolah yang sa ceritakan itu,” ujar Yosefa, memperkenalkan pada tuan rumah, seorang guru taman kanak-kanak berpengalaman. Dari cerita Yosefa, aku tahu bahwa mereka keluarga terpelajar. Putri bungsunya kuliah di Jepang, mendapatkan beasiswa. Putri sulungnya sebentar lagi lulus dari Universitas Cenderawasih.

Aku mengangguk sambil mengulurkan tangan. Ibu itu berbadan tinggi besar, berambut keriting, bermata ramah. “Betahkah tinggal di Waris? Sering-sering saja main ke sini, menginaplah. Mau lamakah tinggal di Papua?”

“Untuk program pertama enam bulan. Tapi, diperpanjang hingga dua tahun. Dan saya ingin terus di sini, jika keadaannya mungkin.”

“Wah, sungguh?” Bu Bonay bertanya antusias. “Mengapa e sepertinya nona ini tertarik dengan Papua?”

“Saya dari dulu bercita-cita mengajar di Papua. Tapi, tidak pernah dipikirkan serius. Eh, kemarin tiba-tiba ada kesempatan. Sebelumnya saya banyak membaca di internet tentang situasi pendidikan di sini.”

“Nona harus bertemu sa pu keponakan kalau begitu.”

“Siapa?” kali ini Yosefa yang bertanya.

“Niko. Ko juga belum pernah ketemu.”

“Nicholas Rumainum-kah? Bukannya dong tinggal di Bandung?”

Kemudian aku mendengar tentang sosok Niko itu dari cerita si ibu. Ayah dan ibunya orang terpelajar, keduanya dosen perguruan tinggi di Bandung. Kakeknya yang berasal dari Biak merupakan generasi pertama yang menempuh pendidikan ke Pulau Jawa.

Sebenarnya, ia seperempat Papua, sisanya campuran. Mengambil kuliah teknik sipil, tapi waktunya sebagian besar habis untuk demo jalanan juga di ruang-ruang diskusi. Terakhir minat besarnya adalah menggerakkan generasi muda Papua di bagian bumi mana pun untuk bersatu merawat tanah tumpah darah mereka dengan memanfaatkan jaringan internet. Ia sendiri telah memutuskan akan berada di barisan depan, bergerak langsung di jantung tanah Mutiara Hitam. Aku tahu, keinginan, keahlian, dan kesempatan yang aku punya berjodoh dengan cita-cita anak muda bernama Nicholas itu. Mungkin aku bisa menawarkan diri untuk mengelola komunitas berbasis web. Tapi, hari itu Niko sedang berkunjung ke Sarmi bersama suami Bu Bonay. Besok mereka kembali.

Aku sempat mengirim SMS kepada Dias soal Niko, tapi tak kunjung ada jawaban. Mungkin sedang sibuk sahabat baikku itu. Beberapa kali aku SMS Dias, tetap tak ada jawaban. Ah, mengesalkan. Ketika kutelepon, nadanya aktif, tapi tidak diangkat. Padahal, mumpung ada sinyal, harusnya komunikasi lebih lancar. Tidak tahukah dia, aku kangen bercerita dengannya? Pikiran tentang Dias terlupakan waktu kami bertiga jalan-jalan ke Kota Jayapura. Makan ikan bakar di tepi laut, melihat kerlap-kerlip lampu kapal yang sedang berlabuh.

Menjelang tidur aku hubungi lagi nomor Dias. Malah sekarang mati. Kucoba nomor yang lain, ah, ketiganya juga mati. Tentu aku panik dan bertanya-tanya. Apa yang terjadi? Tapi… mungkin saja Dias sedang dalam perjalanan ke Jayapura, itu satu-satunya dugaan optimistis tentang matinya ketiga nomor Dias. Meski Dias bukan tipe orang yang suka memberi kejutan. Kemungkinan lain, ia telah kecopetan dan sang pencuri mencopoti semua kartunya untuk menghilangkan jejak.

Kasur yang kutiduri di rumah keluarga Bonay rasanya yang paling nyaman selama aku di Papua. Tapi, tidurku tidak nyenyak. Sekitar pukul satu telepon berbunyi. Di tengah tidur, dering ponsel sontak membuatku terjaga. Nama Dias di layar.

“Ki...  lagi tidur, ya?”

“Sudah bangun.”

“Maksudnya terbangun?”

“Hmm….”

“Marah, ya, SMS dan teleponmu nggak kurespons?”

“Enggak.”

“Dari nadanya iya.”

“Baru bangun tidur.”

“Iya, deh. Kamu tahu kan Ki... aku ini sulit menyimpan rahasia, daripada jadinya bocor, ya, sudah mending aku diemin. Tapi, aku nggak tahan lama-lama menahan diri.”

“Hmm, tunggu Dias… kamu mau kasih aku kejutan? Kamu ada di bandara, ‘kan? Masih di Cengkareng atau sudah di Sentani?”

“Enggak keduanya, Ki.”

“Jadi, kejutan apa kalau bukan kamu datang ke sini?”

“Ya, aku ke situ. Ini lagi tr ansit di Makassar.”

“Tapi, aku besok sudah kembali ke Waris.”

“Ya, aku cuti lima hari. Mau mencicipi paket jejak petualang ala Kirana.”

“Tapi, di sana pedalaman. Kamu akan terisolasi dari dunia luar.”

“Ya, paham.... Eh, aku harus segera boarding, nih. Ponsel kumatikan dulu, ya. Sampai ketemu nanti pagi, pukul tujuh waktu Indonesia Timur, Ki... Jangan lupa! Bye.”

Aku belum pernah merasakan malam seterang sekarang. Menerima kunjungan Dias setelah terpisah jarak dan keadaan adalah sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Selain ongkos ke sini yang cukup mahal, Dias jarang sekali berlaku impulsif tanpa peduli pertimbangan ini-itu. Sekadar kangen? Lari dari masalah besar? Misterius! Besok akan kuinterogasi dia! Aduh, meski setengah mati dibuat penasaran, aku senang minta ampun. Juga membayangkan rencanaku dengan orang bernama Niko, menjadi gairah tersendiri. Semesta sedang berbaik hati, mempertemukanku dengan sebuah kebetulan yang bisa memperpanjang waktuku di Papua. Bahkan, rasanya aku tidak keberatan, jika suatu saat nanti tulang belulangku menyatu dengan tanah ini. Ada sihir yang tak kumengerti padanya, cintakah itu?

Ya, cinta yang mendesak hasrat agar menjadi bagian dari yang dicintai. Tetapi, pada Dias, Diasti, cinta itu adalah sepasang sayap yang membiarkannya bebas terbang.

Ning
Sejalur sungai berisi aliran lumpur keputihan terpampang di depanku. Di kampungku, sungai dengan air sedikit keruh terlihat mengalirkan kehidupan, diapit aneka pepohonan dan semak di sepanjang kedua tepinya. Batu-batu hitam abu-abu berukuran besar menambah kesan alami. Tapi, itu di kampungku. Di sini, yang kulihat hanya warna putih abu-abu, di tengah sungai, di bantaran kali, melebar ke tepiannya sampai beberapa meter.

Ada sebatang pohon tumbang yang akarnya mencuat di udara, jejak-jejak sepatu boot tercetak di atas lumpur, menuju deretan bivak yang warnanya biru seragam. Wajan-wajan menelengkup tergantung pada tiang-tiang pendek yang ditanam di depan bivak. Bukan untuk memasak, tapi untuk menyaring butiran emas dari tailing, lumpur putih abu-abu itu. Beberapa orang terlihat sudah mulai bersiap-siap untuk mendulang. Hari memang masih pagi, orang-orang yang tidur di dalam bivak mungkin masih berkelimun dalam kantong tidur. Apalagi bulan musim penghujan seperti ini, sampai siang pun matahari sering bersembunyi di balik awan.

 “Adakah ikan yang hidup di sungai ini?”

“Dulu, sewaktu sa kecil, di sini sa tangkap ikan-ikan lezat yang sekarang sudah lenyap. Dulu, kebun petatas di pinggir sungai ini tumbuh paling subur dibanding tempat lain. Dulu, pohon sagu berderet sepanjang mata melihat....”

Suara Lukas terdengar aneh. Mungkin ia sedang mengenang masa kecil yang membuatnya seperti menangis itu.

“Sekarang namanya Sungai Kapur. Ko lihat airnya yang kotor itu, itulah mengapa tong kasih nama Sungai Kapur.”

“Baru sekali ini aku lihat tempat orang menambang emas itu.”

“Ah, ko salah jadi. Orang menambang emas itu di Gunung Grasberg, tempatnya pabrik raksasa itu. Di sini, ko cuma lihat semut-semut kecil mengerubuti sisa-sisa makanan. Itu sudah.”

“Ooo…,” ujarku, pendek. Mengapa nada suara Lukas kembali aneh? Jika tadi terdengar ingin menangis, sekarang bernada geram.

“Dulu, Gunung Dugu-Dugu dan Puncak Nemangkawi Nenggok punya kami, sekarang tinggal lubang menganga. Dulu suku-suku di lembah ini baku perang berebut hutan, sekarang baku kelahi berebut daerah pendulangan tailing.”

“Devi hanya tahu baku sayang saja, Pace,” ujarku, berusaha agar Lukas tidak terus terbawa emosinya. Tapi, wajah Lukas telanjur mendung. Perasaanku tak enak. Bertahun-tahun kukenal Lukas, tidak pernah kulihat ia tampak emosional seperti ini.

Lalu kami kembali melangkahkan kaki di atas tanggul jalan sambil diam. Kulirik lagi Lukas, wajahnya tampak tegang dan serius. Ya, aku memang tahu jika Lukas punya trauma dengan tempat pendulangan. Itulah mengapa ia tidak menjadi penambang liar seperti kebanyakan orang-orang sukunya. Sahabatnya dulu tewas dalam perkelahian dengan sesama penambang, begitu ia pernah cerita.

“Pace, ko baik sekali kasih antar Devi selamat sampai di sini,” ujarku lembut.

Lukas mengangguk. Lalu menggeleng-geleng. “Sa pikir tidak akan sedih lihat kembali Sungai Kapur. Waktu ko bilang ingin melihat-lihat ke sini, sa seperti ditantang. Ko yang seorang wanita trada takut ke sini, mengapa sa tidak? Sudah lima tahun lebih sa tra pernah ke sini. Sa bilang sama diri sendiri, harus dilenyapkan kenangan buruk itu, tapi ternyata sulit. Sukar sa percaya.”

Ya, sukar kupercaya rasanya aku bisa berhasil sampai ke sungai ini. Dari ujung jalan di Kwamki Lama, tadi bersama Lukas aku harus naik-turun tanggul, menyeberangi kolam luas, melintasi daratan tandus, dan yang paling mengerikan menyeberangi Sungai Ajkwa yang mengalir deras. Untungnya, meski sudah lima tahun lebih tidak ke sini, Lukas masih hafal tempat cukup dangkal untuk diseberangi. Meskipun terhitung yang paling dangkal, tinggi air di tempat penyeberangan mencapai pertengahan dada. Aku terus komat-kamit berdoa, merasakan tenaga arus pada tubuhku, juga waswas jika hujan deras di hulu mendadak turun, yang bisa menyebabkan sungai meluap.

Lukas bercerita, di daerah yang lebih tinggi, mendekati Kota Tembagapura di atas, medan menuju sungai jauh lebih berat. Jadi, kalau aku tetap nekat ingin mengumpulkan uang emas langsung dari tangan pertama, risiko perjalanan lebih sulit. Ah, tapi, toh, ternyata aku pun bisa sampai juga ke Sungai Kapur. Kurasa ke daerah atas pun bisa.

“Eh, Pace... Aku jadi kepingin mendulang juga. Sepertinya gampang, cuma tinggal ambil wajan dan sekop. Tidak usah aku ke Banti, di sini saja. Aku mencari emas, sekaligus mendapat meno-meno juga. Jadi, sumber uangku jadi dobel.” Kubayangkan emas berkilau-kilau yang mungkin bisa dilihat orang lain memantul pada biji mataku.

“Hah?’ Lukas tidak menyembunyikan keterkejutannya. “Ko pu pikiran itu selalu lain saja, Devi.”

“Oh, mengapa tidak, Pace. Sewaktu di kampung aku bekerja di sawah. Aku bisa kerja keras.”

“Ko akan ditertawakan jadi.”

“Ah, Devi tra takut dengan tertawaan orang. Mumpung ada kesempatan. Kudengar kalau lagi beruntung bisa dapat emas sampai Rp70 juta. Wah, kalau keberuntungan semacam itu datang kepadaku, aku akan langsung pulang. Mumpung sekarang musim hujan, banyak emas hanyut di lumpur.”

Lukas tampak berpikir. Wajahnya jika sedang berpikir terlihat lucu. Mungkin ia sedang menghitung-hitung hilangnya kesempatan mendapat bagian empat puluh persen yang sudah kujanjikan untuk transaksi dengan para meno. Mungkin ia tidak mengira, aku punya usulan di luar dugaan. Wajahnya yang sedang berpikir itu berubah menjadi erangan bertepatan dengan melesatnya sebuah mata panah mengarah pada jantungnya.

Aku menjerit keras-keras. Kulihat sekelebat sosok berlari menuju dataran semak-semak di seberang jalan.

Seminggu sudah Lukas pergi. Seminggu ini juga aku bolak-balik ke kantor polisi untuk menjawab berbagai pertanyaan sebagai saksi. Berarti tidak ada pendapatan, blas. Hari ini aku akan pindah ke kamar sewa yang lebih murah. Barang-barangku kukemasi. Koran Cenderawasih Post yang memuat berita kematian Lukas, kubuang ke tempat sampah. Tapi, aku masih ingat isinya.
(Mimika-CP) Kematian Lukas Waisor (34) oleh pemanah tak dikenal diduga merupakan buntut peristiwa perkelahian di pendulangan Sungai Kapur pada akhir tahun 2003. Penyidik mengatakan, aksi balas dendam ini tampaknya akan memicu perang antar dua kampung yang pernah bertikai. Namun, fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa peristiwa ini bukan sekadar dendam lama.

Pada saat bersamaan, secara sporadis terjadi juga penyerangan terhadap karyawan sebuah perusahaan tambang emas di beberapa tempat. Dilaporkan dua orang tewas di tempat dan empat yang lain dilarikan ke rumah sakit. Diduga, peristiwa kekerasan yang berlangsung bersamaan itu memiliki kaitan satu sama lain, yaitu dengan motif untuk mengacaukan suasana. Polisi mengaitkannya dengan gerakan kelompok separatis yang berada di balik tuntutan pembubaran perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia itu.

Isu ini membuat suasana Kota Timika menjadi mencekam. Meskipun tidak diberlakukan jam malan, kegiatan penduduk langsung berhenti begitu malam tiba.

Ya, suasana kota sekarang terasa lesu. Menurut pengepul emas di Pasar Swadaya, keadaan ini hanya berlangsung sementara. Tidak lama lagi keadaan pasti normal. Di sini, peristiwa demikian sudah biasa terjadi. Mataku terasa hangat, dan kubiarkan air mata itu meleleh tumpah.

Oh, ya, buku itu, mungkin akan kubawa terus. Aku merasa tidak enak hati kepada pemiliknya, jika kubuang begitu saja. Mungkin, nanti aku punya waktu cukup untuk membacanya pelan-pelan, jika berada di tengah kesunyian hutan gaharu.

2 comments:

Unknown said...

Mbaa blognya powerfull, numpang boleh gan, siapa tahu ada yang butuh rental mobil di Surabaya bisa menghubungi sawunggalingtrans.com
atau hubungi:
Address: Jl. Lidah Kulon No.3 Surabaya
Phone: 031-7962-3622 / HP: 0813-3516-7155
Email: sawunggalingtrans@gmail.com

Unknown said...

Mbaa blognya powerfull, numpang boleh gan, siapa tahu ada yang butuh rental mobil di Surabaya bisa menghubungi sawunggalingtrans.com
atau hubungi:
Address: Jl. Lidah Kulon No.3 Surabaya
Phone: 031-7962-3622 / HP: 0813-3516-7155
Email: sawunggalingtrans@gmail.com