12.22.2010

Emak

Jenazah itu ibuku. Tapi, aku tak boleh mendekat. Aku hanya bisa menatap iring-iringan mobil jenazah yang makin jauh.

Bukit Keramat, Minas, 1982
Mobil jenazah itu datang menjelang senja, diiringi angin panas bulan Juli yang menerbangkan debu-debu di halaman. Aku berdiri di beranda, memeluk tiang rumah kami yang terbuat dari kayu dan memerhatikan mobil yang membawa jenazah Emak.

Ambulans itu berhenti. Asap tipis melayang keluar dari pipa knalpot ketika sopir menekan pedal gas dan kemudian mematikan mesinnya. Pertama-tama kulihat Paman Iqbal, adik Tante Elly, turun dari pintu sebelah kiri. Wajahnya kotor dan rambutnya kusut masai. Kemudian, disusul seorang warga kampung yang tidak begitu kukenal dan sopir mobil jenazah, yang begitu turun langsung mengeluarkan rokok dan mengisapnya.

Kericuhan segera terjadi. Para pelayat yang tidak seberapa banyak berhamburan keluar, disusul ratap tangis para kerabat yang telah menunggu sejak pagi. Lalu, kudengar suara orang jatuh dan teriakan panik. Nenek dari pihak Ibu jatuh pingsan.

“Kita harus menguburnya senja ini juga,” kudengar Paman Iqbal berkata. ”Kalau tidak, besok baunya akan menyebar ke mana-mana.”

“Kuburnya sudah digali!” suara tetangga lain menimpali.
|
“Sebaiknya, kita bergegas. Keburu malam! Mana Bang Mazrun?”

Aku menoleh, mengikuti suara terakhir. Di sudut rumah kulihat Abah terduduk dengan wajah pucat. Ia tidak sanggup berkata-kata dan hanya mengangguk berkali-kali ketika orang-orang membisikkan sesuatu. Di sampingnya Tante Elly menghibur, sambil menggosok kening Abah dengan balsem. Ia memakai rok motif bunga-bunga dipadu kemeja putih yang digulung sebatas lengan. Untuk wanita yang baru menamatkan pendidikannya di Jakarta, ia tampak terlalu resmi dan cantik untuk acara duka seperti ini.

Jenazah Emak dipindahkan ke dalam keranda. Para kerabat mencoba melihat wajah Emak untuk terakhir kalinya. Mereka menyingkap kain kafan, tapi tidak dapat melihat apa-apa. Bau jenazah bercampur bubuk kopi mengambang di udara. Aku mual. “Sebaiknya, jangan dilihat lagi,” kata Paman Iqbal. “Dia sudah tiga hari meninggal dan diberi bubuk kopi supaya tidak bau.”

Tidak ada kata-kata lagi. Keranda diangkat dan dipikul oleh beberapa orang secara bergantian. Rombongan itu berangkat diiringi tangisan Nenek yang menyayat hati. Ia mulai sadar dan menangisi anak tunggalnya, yang tidak akan mungkin kembali.

Aku masih berdiri di beranda. Kata Tante Elly, tidak baik anak kecil senja-senja ke kuburan. Nanti sakit seperti Emak. Jadi, aku yang ketika itu masih berusia delapan tahun, hanya terpaku menatap iring-iringan yang bergerak mendaki puncak bukit sebelah barat, melewati pohon beringin, dan hilang di balik rumpun bambu, di sebelah kali kecil yang sempit dan hampir kering.

Aku menangis. Tidak tahu apakah menangisi Emak yang dua tahun belakangan tidak pernah kulihat lagi atau karena aku merasa orang lain terlalu sibuk hingga aku terabaikan. Aku ingin lari mengejar rombongan itu, tapi takut Tante Elly marah.
Kulihat Paman Iqbal memberikan sejumlah uang kepada sopir mobil jenazah. Ia tidak ikut ke kuburan. Mungkin, ia terlalu letih mengawal jenazah Emak dari Sidikalang, Sumatera Utara. Paman Iqbal masuk ke rumahnya. Ia menghidupkan tape recorder keras-keras, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Dua minggu kemudian Abah menandatangani akta jual beli tanah kami yang dibeli oleh sebuah perusahaan minyak. Abah pindah ke Jakarta dan menikahi Tante Elly, anak seorang kerabat dari pihak Abah. Aku meninggalkan kampung halaman. Dan, sejak itu Tante Elly mengharuskan aku mengganti panggilanku menjadi Papa terhadap Abah dan Mama terhadap dirinya.

Manhattan, New York, Desember 1999
Ia seperti terbawa angin dengan kecepatan 50 mil per jam ketika dengan sangat tiba-tiba ia menabrakku dari arah samping. Bekal makan malamku berserakan di jalan Fifth Avenue yang sangat padat. Kertas kerjaku berhamburan. Aku berteriak-teriak, sambil menggapai beberapa kertas yang masih dapat kujangkau.

Namun, terlambat. Sebagian terlindas ban mobil, sebagian lagi terinjak pejalan kaki hingga terbenam dalam salju. Aku putus asa. Sketsa yang baru disetujui Mr. Tod Ringo-Ringo, atasanku, tersangkut di kepala Frosty, si manusia salju.

“I’m sorry… help me…,” sebuah suara beraksen Meksiko terdengar samar-samar.

Aku menoleh. Dia masih berdiri di sana. Wanita setengah baya, memakai mantel kumal, yang terlalu tipis untuk cuaca di bawah 14 derajat Celsius. Ia menatapku dengan pandangan minta maaf.

Aku mendekatinya. “Tidak apa-apa,” jawabku.

Tiba-tiba wanita itu memegang tanganku dan menariknya. Matanya menatapku tajam. Aku mengalihkan pandanganku. Tatapan matanya memantulkan kesepian dan keputusasaan yang dalam. Air mukanya seolah memohon.

Aku mengeluarkan satu dolar dari dalam dompetku dan mengulurkan padanya. Bekalku pun kuberikan kepadanya.

Aku berlari menyeberangi jalan dan masuk ke sebuah blok di samping toko mainan, menuju apartemenku di lantai sebelas. Aku menaiki tangga besi dengan perasaan campur-baur, tidak bisa melupakan rambutnya yang acak-acakan dan ratapannya saat minta tolong. Aku menangis. Berkali-kali kuyakinkan diriku bahwa dia bukan Emak. Emakku tidak gila.

Hanya kegelapan yang menyambutku di apartemen. Tanpa menghidupkan lampu, aku berlari ke jendela dan menyingkap gorden. Ia masih ada di situ. Duduk di sebuah kayu besi di kaki patung malaikat. Ia sedang menyantap makan malamku. Dalam biasan lampu Natal raksasa di depan toko, terlihat rambutnya yang kuning keemasan ditiup angin bulan Desember yang basah.

Aku meraih beberapa butir obat tidur dan meminumnya. Kubaringkan tubuhku, tanpa mengganti baju. Terdengar suara sirene yang mengingatkanku akan ambulans yang membawa jenazah Emak tujuh belas tahun lampau. Air mataku jatuh. Ingatanku melayang pada wajah Emak, yang kini entah di mana.

Sambil berurai air mata, aku tertidur dan bermimpi tentang suatu peristiwa pada suatu masa. Mimpi yang selalu datang dan berulang dalam tidurku….

Mula-mula aku melihat jembatan bambu itu. Terbentang lurus di atas sungai kecil yang memisahkan desa kami dari hutan besar di seberang kampung. Di hutan itu Emak sering mencari kayu bakar dan lebah hutan. Emak meniti di atasnya. Sebelah tangannya menggendongku dan tangan lainnya memegang ember berisi kain yang hendak dicuci di sungai.

Seingatku, kami punya sumur di rumah. Tapi, Emak suka sekali pergi ke sungai. Tepi sungai itu dangkal. Airnya pun jernih. Aku dapat melihat ikan-ikan yang berenang dan bersembunyi di sela-sela rumput air. Aku suka bermain-main dengan ikan-ikan kecil itu, sambil menunggu Emak selesai mencuci.

Slide mimpi itu berputar. Kami sedang berada di tengah sungai. Bukan di tepian lagi. Emak sedang mencuci, sambil duduk di atas batu besar, sedangkan aku bermain bersama ikan-ikan. Saat itu umurku lima tahun. Mata Emak memancarkan rasa sayang. Lalu, Tante Elly muncul. Tiba-tiba saja ia mengambil cucian Emak dan melemparkannya ke dalam sungai.

Emak menjerit dan berjalan ke tengah sungai, mengejar cuciannya. Sungai itu makin ke tengah makin dalam. Emak terus masuk. Mula-mula air sungai itu hanya sebatas betisnya, lalu bertambah dalam sampai ke pinggang. Aku takut Emak tenggelam. Aku berteriak memanggilnya. “Jangan masuk, Mak! Cepat kembali, Mak!”

Tante Elly terus saja melemparkan kain-kain lainnya ke dalam sungai. ”Balik, Mak!” teriakku, lagi.

Emak terus mengejar cuciannya. Air itu sekarang sudah setinggi dada. “Maaak!” aku berteriak sejadi-jadinya. Emakku hilang. Sesaat terlihat pusaran air di atas kepala Emak saat ia tenggelam.

Air sungai itu mengalir seperti biasa. Aku menangis memanggil-manggil Emak. Tante Elly tertawa-tawa di pinggir sungai, sambil terus melemparkan cucian Emak, seolah cucian itu tidak ada habisnya.

Lalu, aku mendengar suara Emak berteriak minta tolong. Aku panik. Aku tidak tahu Emak ada di mana. Aku memanggil-manggil Abah. Tapi, Abah tidak datang. Suara Emak masih terus terdengar. Begitu pilu, menyayat hati, dan sarat dengan keputusasaan.

“Tolong Emak, Laila. Tolong Emak!”

“Emaaak! Emak di mana?”

Tidak ada jawaban. Ikan-ikan tetap berenang. Tante Elly masih terus membuang cucian Emak. Suara Emak masih terus terdengar.

Aku terbangun dengan wajah dan punggung mandi keringat. Meraih jam kecil di sudut ranjang dan menghidupkan lampu kamar. Pukul 3 dini hari. Aku ke dapur dan meneguk segelas air putih. Dari jendela, kulihat kota New York masih sesibuk tadi. Malah, makin banyak bunyi sirene polisi yang aku dengar.

Sambil meraih gorden di sudut jendela, aku menatap ke bawah. Wanita itu sekarang tidur di emperan sebuah kios koran yang sudah tutup. Ia tidak memedulikan orang yang lalu-lalang. Bias lampu pohon terang, yang terkadang menerangi kafe dan kemudian berputar menerangi tubuhnya, menimbulkan kesan suram. Wanita itu tampak memprihatinkan. Ia meringkuk di atas hamparan semen kotor. Sementara salju musim dingin terus turun menutupi jalan yang saat ini hampir semuanya berwarna putih.

Aku meraih telepon. Aku diliputi kesedihan yang dalam akan nasib Emak. Di mana Emak sekarang? Benarkah Emak sudah meninggal dan dikuburkan? Kalau benar Emak sudah meninggal, mengapa dia terus datang meminta tolong, seolah masih hidup? Kalau Emak masih hidup, apakah nasibnya sama seperti wanita gila itu? Tidur kedinginan, tanpa seorang pun yang mau peduli.

Lalu, keraguan itu muncul lagi. Benarkah jenazah yang dikuburkan itu adalah Emak? Kalau benar, mengapa tidak ada yang bisa memastikannya? Berkali-kali aku minta penjelasan Abah. Tapi, jawabnya selalu sama: Emak sudah meninggal!
Telepon tersambung.

“Halo… Thomas, kau sudah tidur?”

“Kau tahu ini jam berapa?”

“Aku tahu,” jawabku, “tapi, aku perlu teman.”

Aku tahu, pemuda Finlandia itu pasti terganggu oleh dering teleponku. Thomas bekerja di sebuah penerbitan yang sangat maju di New York. Sepuluh tahun lalu ia pindah ke Amerika dan sudah menjadi warga negara negeri Paman Sam ini. Setahun lalu kami berkenalan. Beberapa bulan sesudahnya kami menjalin hubungan serius. Thomas tipe pria yang mempunyai hati selebar tempayan untuk menerima semua keluhanku dan telinga selebar piring untuk mendengarkan. Aku mencintainya.

Aku mendengar bunyi tempat tidur berdenting.

“Kau mau aku ke sana sekarang?”

“Tidak. Tapi, tolong dengarkan aku. Aku bermimpi tentang Emak lagi. Tadi aku berjumpa lagi dengannya.”

“Maksudmu, wanita Meksiko yang gila itu?”

“Ya. Aku heran, setiap kali berjumpa dengannya, aku pasti bermimpi tentang emak. Ia seolah mengingatkanku, bahwa Emak masih hidup dan sekarang sedang membutuhkan pertolonganku.”

“Ia bukan emakmu.”

“Tapi, ia mirip emakku. Usianya sama. Raut wajahnya pun mirip. Apakah ini pertanda bahwa emakku masih hidup?”

“Emakmu sudah meninggal dan tidak mungkin bangkit lagi.”

“Tapi, Emak selalu datang dalam mimpiku. Ia meminta tolong, tapi aku tidak tahu ia ada di mana.”

“Dia orang gila, Laila. Kau terlalu kasihan padanya. Karena itu, kau takut jika apa yang dialaminya terjadi pada diri emakmu.”

“Tidak. Sejak berjumpa dengannya, aku merasa dia ingin memberi tahu aku bahwa sesungguhnya emakku masih hidup dan sedang mengalami penderitaan yang sama dengan dirinya. Aku takut dan tidak bisa membayangkan jika di suatu tempat emakku saat ini sedang mengalami mimpi buruk yang sama dengan dirinya.”

“Apa kau yakin, aku tidak perlu datang untuk menemanimu?”

“Tidak usah, terima kasih. Aku baik-baik saja.”

Aku meletakkan telepon, lalu menyalakan televisi. Opera sabun Amerika sedang ditayangkan. Mataku menatap televisi, tapi pikiranku melompat-lompat, melintasi tahun-tahun kehidupanku, yang berujung pada satu sosok: Emak. Di mana dia sekarang?

Bunyi sirene terdengar lagi dan aku bangkit menuju jendela. Wanita itu masih tidur. Salju hampir menutupi boneka salju yang berdiri mematung, tidak jauh dari tempatnya berbaring. Air mataku turun, teringat emakku dan kenangan masa kecil yang muncul lewat mimpi-mimpi yang selalu menghantuiku belakangan ini. Aku merindukan suara azan, yang dulu selalu kudengar lewat corong surau tua di kampungku yang begitu jauh….

“Sepertinya, aku harus pulang ke Indonesia. Kebetulan, minggu depan kami presentasi di Pekanbaru,“ kataku, tiba-tiba.

“Kau tidak pernah membicarakannya denganku. Aku mempunyai firasat buruk. Sepertinya kau akan pergi jauh dan meninggalkanku sendiri. Benar begitu?” tutur Thomas.

Aku tersenyum mendengar penuturannya. Aku sedang berada di apartemen Thomas. Dari jendela tampak Jembatan Brooklyn basah diguyur hujan pagi hari. Di kiri-kanannya, Jembatan Manhattan dan Williamsburg padat oleh kendaraan yang bergegas.
“Dari atas sini Manhattan seperti gadis yang tertidur di pagi hari,” kataku, kagum pada pemandangan Manhattan.

“Kau belum menjawab pertanyaanku.”

“Thomas, ini satu-satunya kesempatan untuk mengunjungi makam emakku. Kau tahu, abahku tidak pernah membawaku ke sana. Aku sudah mati-matian membujuk Pak Tod agar aku yang pergi mewakili perusahaan. Sekarang, kalau dia memberi izin, kau harus mendukungku. Ayolah, jangan cemberut begitu.”

Ia tersenyum, membuat Manhattan jadi lebih indah di mataku.

“Kau ingin menyelidiki mamamu juga, ‘kan?” Ada keraguan di matanya. “Kau memikirkan hal-hal yang tak mungkin kau jangkau. Hal yang tidak masuk akal, yang hanya akan menghabiskan energimu,” lanjutnya.

“Thomas, kalau seandainya pada suatu senja orang-orang datang membawa jenazah mamamu dan langsung menguburkannya, tanpa memberimu kesempatan untuk memastikan apakah itu mamamu atau bukan, apakah kau tidak penasaran dan bertanya-tanya?”

Thomas tidak menjawab. Di Jembatan Brooklyn kulihat ada kesibukan yang luar biasa. Sepertinya, ada mobil yang tergelincir sehingga memacetkan lalu lintas. Aku memerhatikan wajah Thomas yang serius memerhatikan kejadian di bawah.

“Maaf kalau kata-kataku menyinggungmu. Tapi, mamaku selalu datang dalam mimpiku, seolah-olah dia masih hidup. Sejak aku bertemu dengan wanita gila itu, hidupku tidak tenteram. Ada yang mengejarku. Dia seperti memberi gambaran bahwa melalui dia misteri kematian emakku akan terungkap.”

Thomas membalikkan tubuhnya. Matanya dekat sekali dengan wajahku. Ia menatapku lama, seolah kami tidak akan berjumpa lagi.

“Aku mencintaimu, Laila. Aku tidak mau kehilangan dirimu.”

“Aku juga mencintaimu.”

“Kalau begitu, jangan pergi. Menikahlah denganku.”

Pipiku memerah. Ini surprise yang tidak kusangka-sangka.

“Kau melamarku di tempat yang salah. Kami orang Timur. Anak gadis harus dilamar di depan orang tua mereka.Emakku mungkin sudah meninggal, tapi kan masih ada abahku.”

“Aku akan meneleponnya. Tolong, beri aku nomornya!”

“Jangan sekarang! Beri aku kesempatan.”

“Sampai kapan?”

“Aku pasti kembali dan akan memberi jawaban.”

Thomas menciumku. Aku tidak dapat mengelak. Ketika aku melepaskan diri, Thomas berbisik di telingaku.

“Kumohon, aku tidak bisa hidup tanpa dirimu. Tolong, jangan kecewakan aku.”

Aku tidak menjawab, terbius oleh ciumannya. Aku hanya menunduk dan menatap kesibukan di atas Jembatan Manhattan. Ketika Thomas memelukku dari belakang dan membisikkan seribu, bahkan sejuta kata cinta. Aku tetap bergeming.
 
Jakarta, Februari 2000
Pria tua itu masih seperti dulu. Kokoh di luar, namun rapuh di dalam. Bersembunyi di balik setelan jas berwarna. Ia tampak seperti eksekutif yang sedang menunggu rekan bisnis. Kacamata bertangkai gading dan surat kabar yang sedang ia baca, tidak mampu membuat gambaran baru tentang dirinya. Bagiku, ia tetap seperti delapan belas tahun lalu, pria yang sedih atas kematian istrinya, sekaligus gembira karena mendapat istri baru.

“Abah!”

Ia menoleh. Melipat surat kabar dan menurunkan kacamatanya. Aku melihat mata itu lagi. Seperti telaga keruh yang sarat dengan beban. Bertahun-tahun aku mencoba menyelam ke dalamnya, namun sia-sia. Aku tidak pernah berhasil menjernihkan telaga itu. Tidak ketika aku hidup bersamanya. Tidak juga setelah aku sekolah dan bekerja di New York.

“Abah!” aku memanggilnya sekali lagi, seakan teriakan pertama belum cukup untuk menunjukkan kehadiranku di sini.

Ia berdiri, seraya membuka tangan lebar-lebar. Aku masuk ke dalamnya dan merasakan keteduhan yang lama kucari. Sejenak, aku terpesona. Kutatap matanya lekat-lekat. Mata itu berair. Ada binar kerinduan terpancar, seperti ingin menjenguk hari-hari yang telah lampau.

“Sepertinya, sudah lama sekali sejak terakhir kali aku menggendongmu,” katanya, seolah aku gadis kecil berusia lima tahun. Aku mempererat pelukan. Ada nada canggung dalam perkataan Abah. Ini memang bukan cara kami. Ini cara orang Barat. Sewaktu aku kecil, emakku selalu mengajari aku untuk mencium tangan Abah, jika akan berpamitan atau ketika aku baru pulang setelah bepergian. Bukan memeluknya. Lalu, Abah akan menggendongku, membawaku berputar-putar ke udara. Tapi, inilah yang diajarkan Tante Elly kepada kami. Karena, menurutnya, mencium tangan itu sudah terlalu kuno. Terlalu primitif.

“Abah tampak kurus,” kataku hampir menangis karena terharu mendengar perkataannya barusan.

Ia tersenyum.

“Abah baik-baik saja,” katanya. “Abah senang kau datang. Sudah lebih dari setahun kau tidak pulang.”

“Tapi, aku selalu memberi kabar, ‘kan?”

“Bukan itu yang aku mau. Aku rindu kau. Juga mamamu.”

“Ia ada di sini juga?”

Abah mengangguk. Dan, tiba-tiba saja, keakraban itu seperti hilang tertiup angin.

Jenazah itu ibuku. Tapi, aku tak boleh mendekat. Aku hanya bisa menatap iring-iringan mobil jenazah yang makin jauh.

Aku mendengar suara langkah mendekat. Aku tidak menoleh. Dari sudut mata kulihat dia memakai blue jeans, dikombinasikan dengan kemeja putih digulung sebatas lengan. Kuakui, ia sangat cantik.

“Hai, Cantik!” Ia melebarkan tangan, seperti yang selalu ia ajarkan.

Aku masuk ke dalam pelukannya. Seolah memasuki gua berlapis-lapis. Kami begitu dekat, tapi terasa begitu jauh.

“Kau tampak berantakan dan sedikit kurus. New York mengubahmu. Pengaruh kota besar?” tanyanya, masih dalam pelukannya.

Ada perasaan tidak nyaman. Seperti memasuki tempat yang salah.

“Aku baru saja mengatakan hal yang sama pada Papa,” kataku. Aku heran, mengapa kami tidak bisa mengucapkan hal yang jauh lebih baik. Sepertinya, aku dan Tante Elly berusaha saling melukai.

Ia mencium pipiku dengan kaku. Basa-basi yang hambar.

“Setiap hari papamu kehilangan satu sel tubuhnya. Aku khawatir, suatu hari ia akan ambruk. Tapi, percayalah, sebelum kamu pulang, ia tampak baik-baik saja. Mungkin, sekarang kaget dengan kedatanganmu yang tiba-tiba. Sudah setahun lebih kau tidak pulang, ‘kan?”

Wajahku memerah. ‘Tembakannya’ nyaris membuatku kalah angka. Apakah aku biang kesusahan mereka? Petugas bandara yang membawa enam travel bag menyelamatkan aku dari gua itu.

Aku melepaskan pelukan dan mendekat ke Abah.

“Bagaimana keadaan Papa?”

Abah tercekat. Kaget pada permainan yang selalu kuingat. Bukankah aku harus memanggilnya Papa di depan Tante Elly?

“Papa baik-baik saja! Selamat datang!” suaranya parau.

Penyambutan yang kaku itu berlangsung sampai ke dalam mobil. Aku memandang ke luar jendela ketika kami meninggalkan bandara. Sepanjang jalan kulihat orang-orang sedang membangun gedung baru. Kupikir, tidak lama lagi Jakarta akan seperti New York.

“Bisakah kita mampir ke Cikini?” tanyaku, ”aku ingin sekali melihat Taman Ismail Marzuki. Bagaimana rupanya sekarang?”

“Bukankah kita selalu melewati itu?” jawab Tante Elly, “kita belum pindah, masih di Menteng. Kau sudah lupa, ya?”

Tidak ada yang tertawa dan menanggapi guyonan itu. Namun, wajahku memerah. Tante Elly selalu ingin memojokkanku. Membuatku malu di depan orang-orang. Ketika mobil berbelok ke arah Cikini, aku tidak berkomentar. Begitu juga ketika kami melewati TIM.

Abah tahu, aku tidak ingin cepat-cepat tiba di rumah.

“Sebaiknya, kita makan siang dulu,” usul Abah. Lalu, ia menyuruh sopir berputar ke Sudirman dan mencari restoran.

“Berapa lama kamu di Jakarta?” Pertanyaan Tante Elly terdengar seperti pengusiran yang halus.

“Dua hari. Jumat aku akan presentasi di Pekanbaru.”

“Abahmu kan juga baru membuka cabang di Balikpapan. Sebaiknya, kau juga mendukung kami dengan produk barumu itu. Kau tahu kan, banyak sekali tumpahan minyak di sana.

“Aku kurang suka berbisnis dengan keluarga sendiri. Kurang profesional.”

“Aku tidak setuju. Banyak, kok, orang sukses yang bekerja sama dengan keluarga sendiri. Lagi pula, usahamu juga memerlukan kami, vendor lokal dan kita bergerak dalam bidang yang sama.”

Aku putus asa. Wanita ini tidak pernah menyerah.

“Ngomong-ngomong, siapa yang mengurus perusahaan baru itu? Papa kan sudah terlalu tua.”

“Kami berdua,” jawab Tante Elly.

“Jadi, Papa harus bolak-balik Jakarta-Balikpapan?”

“Bukan papamu. Aku. Aku direkturnya. Jadi, aku yang bolak-balik ke sana. Papa hanya komisaris, tidak terlibat langsung dengan operasional di lapangan.”

Pancinganku mengena. Wanita ambisius. Aku yakin, pembukaan cabang baru itu pasti ide Tante Elly.

“Sebaiknya, Mama jangan terlalu memaksakan diri. Tidak baik sering-sering pergi. Nanti tidak ada yang mengurus Papa. Atau, apakah sebaiknya Papa ikut saya saja ke Amerika?”

Tante Elly terdiam. Aku kaget dengan ucapanku sendiri. Mama. Suatu kata yang terlampau mahal aku ucapkan. Sejak kedatanganku, baru satu kali aku menyebut kata Mama. Satu kata yang dengan keras diajarkan Tante Elly kepadaku pada bulan-bulan pertama perkawinannya dengan Abah. Sesungguhnya, aku tidak suka panggilan itu. Aku biasa memanggil ibuku dengan sebutan Emak. Tapi, bagi Tante Elly, itu adalah panggilan orang kampung, yang tidak pantas diucapkan oleh orang kota.

“Dari Rumbai, rencananya aku akan langsung ke Minas, ziarah ke makam Emak. Papa mau ikut? Sejak kita pindah ke Jakarta, baru satu kali kita berziarah ke makam Emak. Bahkan, ketika nenek meninggal pun, kita tidak pulang kampung. Aku khawatir, makamnya sudah dipindahkan orang,” kataku.

Kulihat perubahan yang kentara di wajah Abah. Wajahnya tiba-tiba pucat, seperti tidak dialiri darah. Tante Elly tidak menjawab dan berpura-pura sibuk membaca majalah. Aku menoleh ke luar, melihat seorang anak jalanan yang menangis karena dipukuli oleh pengemis yang lebih besar. Uangnya dirampas dan dia menangis, sambil berguling-guling di aspal. Aku teringat saat terakhir kami mengunjungi makam Emak. Singkat dan hambar. Waktu itu aku juga menangis berguling-guling, meminta Abah agar pulang kampung dan menengok makam Emak.

Aku mendengar suara langkah kaki mendekat, ketika sedang mencium mawar putih yang tumbuh di taman depan rumah. Tante Elly tidak kulihat lagi setelah makan malam tadi. Ia mengucapkan selamat malam dan langsung masuk ke kamarnya. Katanya, besok pagi ada rapat penting. Jadi, ia harus cepat-cepat istirahat.

“Mawar itu masih kami rawat untukmu.” Aku menoleh. Abah berdiri tepat di belakangku. Ia memakai piama dan sandal kamar.

“Papa belum tidur?” Wajahnya memerah.

“Mengapa kau memanggilku begitu? Kalau tidak ada mamamu, bukankah kau biasa memanggilku Abah?”

“Di rumah ini apa pun bisa dia dengar. Aku tidak mau ribut lagi soal panggilan yang kampungan itu.”

Abah mengangkat bahu.

“Bik Sum merawat mawar ini dengan baik. Papa tahu, bibit bunga ini kubeli sewaktu pulang dari Cibodas,” kataku.

“Mamamu juga menyukainya.”

“Aku tidak begitu yakin. Biasanya, dia membenci setiap hal yang aku suka. Jangan-jangan, ini hanya akal-akalan Papa agar aku menyukainya?”

Papa tidak menjawab.

“Bagaimana pekerjaanmu di New York?” Ia mengalihkan topik.

“Baik. Aku bekerja pada Mr. Tod Ringo-Ringo, orang Samosir yang sudah lama di Amerika. Perusahaan kami bergerak di alat-alat pengeboran dan produksi untuk perusahaan perminyakan di seluruh dunia. Rasanya, aku sudah menceritakan hal ini berulang kali.”

Papa tersenyum masam. Malu pada pertanyaan basa-basi yang bisa kubaca.

“Bagaimana persiapanmu besok?”

“Papa tidak usah khawatir. Semua sudah beres.”

“Kau akan ke makam Emak juga?”

“Ya.”

Abah terdiam. Aku menjadi kasihan. Setiap kali kami bicara soal Emak, selalu ada mendung yang menggelayut di wajah Abah. Seolah ada beban teramat berat yang harus ia tanggung.

“Ceritakanlah padaku tentang Emak, supaya aku lebih siap untuk ziarah. Rasanya, sudah lama sekali sejak terakhir kita berziarah dulu.”

“Rasanya, aku juga telah berkali-kali bercerita tentang kematian emakmu itu,” Abah membalas sindiranku.

“Tapi, belum semua detailnya,” balasku.

“Bagian mana yang hendak kau ketahui?”

“Misalnya, bagaimana cara Emak meninggal.”

“Sudah kukatakan, dia sakit dan meninggal sewaktu berobat kepada salah seorang tabib di Sidikalang.”

“Siapa yang menjemput mayat Emak dan membawanya kembali ke Minas?”

“Paman Iqbal dan seorang penduduk kampung kita.”

“Papa kenal dengan dia? Di mana dia sekarang?”

“Namanya Ayar, teman dekat pamanmu. Aku tidak tahu dia tinggal di mana sekarang. Aku tidak yakin dia masih di kampung itu. Sudah lama sekali kampung itu sudah tidak ada. Tapi, mengapa kau menanyakan itu?”

“Untuk memastikan, apakah dia melihat wajah Emak.”

Abah pucat. “Itu pertanyaan lancang! Tidak baik mengungkit-ungkit orang yang sudah meninggal.”

“Apakah Papa melihat wajah Emak sebelum dikuburkan?”

“Kami tidak bisa melihatnya. Wajahnya tertutup kopi karena sudah empat hari dia meninggal. Kau tahu, jarak antara Minas dan Sidikalang jauh sekali, harus berputar lewat Bukittinggi. Jadi, agar tidak menimbulkan bau, tabib di Sidikalang memberi bubuk kopi di sekujur tubuhnya.”

 
“Jadi, Papa tidak melihat wajah Emak juga, ‘kan?”

“Dia langsung dikuburkan senja itu juga.”

“Papa yakin, yang dikubur itu adalah jenazah Emak?”

Abah bertambah pucat. “Kau keterlaluan. Masa berpikir seperti itu tentang Emak yang sudah meninggal.”

“Tidak. Aku merasa ada yang salah saat penguburan itu. Aku merasa, yang dikubur itu bukan Emak.”

“Jadi, siapa?” suara Abah meninggi.

“Aku tidak tahu. Tapi, aku yakin, suatu hari aku akan menemukan jawabannya.”

Kudengar ada langkah diseret di balik dinding ruang baca. Sepertinya, ada orang yang sedang mendengarkan percakapan kami.

Pekanbaru, Februari 2002
Ponselku berdering ketika aku sedang menunggu koperku datang. Yang meneleponku adalah Hery, pria yang ditugasi untuk menjemputku. Setelah ia menyebutkan ciri-cirinya, aku bergegas keluar. Tidak susah mencarinya dari sekian banyak penjemput yang berdesakan di pintu keluar. Ia seorang pria yang usianya sekitar tiga puluh tahun. Dahi lebarnya mengingatkan aku pada Thomas.

“Selamat datang di Pekanbaru, Bu!” ia mengulurkan tangan.

“Terima kasih,” aku menjabat tangannya. “Presentasinya pukul berapa?”

“Pukul sembilan di Rumbai, kemudian dilanjutkan dengan demo di Minas. Kami sudah mempersiapkan segalanya seperti yang Ibu instruksikan lewat e-mail beberapa hari lalu. Ibu mau ke hotel dulu?”

Aku melihat jam. Pukul delapan kurang sepuluh menit. Masih ada waktu. Aku mengangguk.

Kami menuju sebuah hotel berbintang empat. Pekanbaru banyak berubah sejak terakhir aku datang ke sini. Kotanya lebih hidup, lebih ramai. Ruko berjajar di kiri-kanan jalan yang kami lalui. Sepanjang perjalanan, Hery bercerita mengenai produk-produk yang kami jual. Aku memang harus mengetahui perkembangan dari vendor lokal. Sebab, merekalah yang turun langsung ke lapangan dan mengetahui benar keadaan pasar dan pesaing. Selebihnya, aku lebih banyak melamun.

Ketika mobil kami berhenti di lampu merah di depan Kantor Gubernur Riau, Hery membuyarkan lamunanku.

“Ibu pernah tinggal di Minas, ya?”

”Tahu dari mana?” aku balas bertanya.

“Sewaktu Pak Ringo-Ringo pulang ke Samosir, ia bercerita bahwa dia mempunyai seorang karyawan yang berasal dari Indonesia dan pernah tinggal di Minas. Saya pikir, orang itu adalah Ibu karena Ibu mirip orang Indonesia dan fasih berbahasa Indonesia.”

“Saya dulu tinggal di Bukit Keramat, Minas. Ayah saya pegawai sebuah perusahaan besar di bagian listrik. Sekarang beliau sudah pensiun dan menjadi vendor seperti Pak Hery.”

“Anak dan suami ibu juga tinggal di Amerika?”

Wajahku memerah mendengar pertanyaan itu. Apakah aku mirip dengan wanita yang sudah menikah dan memiliki anak? Aku tahu, pria ini hanya ingin memancing. Ia takut bertanya langsung, apakah aku sudah menikah atau belum. Aku terdiam sejenak, teringat pada Thomas. Kemarin malam dia mengirimiku SMS, masih menunggu kesediaanku menikah dengannya.

“Aku belum menikah,” kataku, singkat. Pak Mantri, sopir kantor Hery, memutar mobilnya ke arah Jalan Gajah Mada menuju Diponegoro. Lewat kaca spion yang sedikit miring, aku dapat melihat senyum Hery yang merekah.

Presentasiku berjalan sukses. Pukul setengah sebelas, kami sudah keluar dari ruang meeting dan langsung menuju Minas untuk mengadakan demo. Di Rumbai tidak ada sumur dan pit penampung minyak.

“Berapa lama dari sini ke Minas, Pak Hery?” tanyaku. Aku menahan gemuruh di dada sebab sebentar lagi aku tiba di tempat yang pernah aku tinggali, yang penuh dengan keindahan masa kecil.

“Kalau melalui jalan umum, sekitar empat puluh lima menit, Bu. Tapi, lewat jalan by pass, paling lama hanya lima belas menit.”

“Wah, bisa secepat itu?”

Hery tertawa melihat kekagetanku. Dalam hati aku kecewa kami tidak lewat jalan umum. Karena, aku akan kehilangan banyak kenangan yang ingin kuulang lagi. Dulu, beberapa kali Abah membawaku ke Pekanbaru melalui jalan umum yang dikatakan Hery itu. Ada banyak kenangan di sana. Salah satunya hutan besar sebelum memasuki Rumbai. Apakah hutan itu masih ada? Besok, kalau kegiatanku sudah beres, aku kembali lagi dan melihat hutan itu sepuasnya.

Aku memandang ke luar jendela. Deretan rumah bergaya Amerika menghiasi hampir seluruh area ini. Halaman-halaman yang luas, taman yang ditata rapi, jalan yang bersih, dan hutan lindung ada di daerah permukiman ini. Aku teringat daerah pinggiran kota di California. Bedanya, di sini tak kulihat seorang anak pun bermain di halaman. Semuanya tampak sunyi, seolah jauh dari kebisingan kota yang sumpek dan ribut dengan suara anak-anak. Padahal, tempat ini hanya berjarak sekitar lima kilometer saja dari pusat kota Pekanbaru.

Kami berbelok ke kiri, mengikuti iring-iringan mobil yang melaju di depan. Tidak jauh dari zebra cross yang melintang di tengah jalan, mobil kami diperiksa oleh security. Selanjutnya, kami melalui jalan lurus yang sebagian diapit oleh hutan dan ladang penduduk. Banyak penduduk setempat yang menjual hasil kebunnya di pinggir-pinggir jalan, di antaranya belimbing, sirsak, dan avokad yang segar-segar. Menurut Hery, harganya tidak mahal. Sebagian besar pelanggannya adalah pegawai dan kontraktor yang sering melalui jalan ini.

“Ini jalan teraman dan bebas macet di Pekanbaru,” kata Hery.

Aku mengangguk, sambil memandang deretan belimbing yang disusun di atas meja kayu yang hampir roboh.

“Belimbing itu segar-segar. Seharusnya, orang tidak boleh menawar kalau membeli. Kan kasihan petaninya.”

Hery tak menjawab, seolah tak mendengar. Pak Mantri melaju dengan kencang. Air mataku mengambang, teringat saat-saat susah dalam kehidupan kami di kampung bersama Emak.

Setibanya di tempat, kami mengenakan topi, sepatu, dan kacamata pelindung. Bau belerang bercampur zat kimia sisa-sisa pencucian tangki minyak menyengat hidung. Hery mengenalkan aku kepada beberapa pegawai yang tadi tidak ikut melihat presentasiku di Rumbai.

Ketika orang-orang sibuk dengan alat yang sempat aku demokan, aku berjalan keluar dari kerumunan orang dan menuju meja tempat minuman. Kesempatan itu kugunakan untuk memandang jauh ke sebelah utara, tempat tumbuhnya sebatang pohon yang tinggi menjulang. Aku terkesima. Sepertinya, aku begitu mengenal pohon itu. Aku begitu rindu untuk duduk dan tidur di bawah pohon yang rindang itu.

Tanpa kusadari, Hery sudah berada di sampingku.

“Pak Hery, bisakah saya pinjam mobil untuk besok pagi? Saya ingin kembali lagi ke sini besok.”

“Bisa, Bu. Nanti saya minta Pak Mantri yang menemani Ibu berkeliling. Sedang memandang apa? Sejak tadi saya perhatikan Ibu selalu memandang ke arah utara itu.”

“Melihat makam emakku. Aku ingin pergi berziarah ke sana.”

Aku kembali memandang pohon itu, yang seolah melambai, memanggil agar aku segera pulang untuk melihat kampung halaman dan makam emakku.
Aku merasa ada yang aneh ketika turun dari mobil yang dikemudikan Pak Mantri. Mobil itu berhenti di jalan menanjak, tidak jauh dari kompleks pemakaman. Hamparan luas batu-batu nisan terbentang di hadapanku, dibatasi pagar kayu, yang mengelilingi area pemakaman seluas lima hektar. Di luar pagar-pagar itu, yang terhampar di depanku hanyalah rumpun ilalang yang bergoyang tertiup angin bulan Februari yang lembap.

Hari masih pagi. Tapi, langit tampak mendung. Sinar matahari menembus awan kelabu, menghangatkan pucuk-pucuk kemboja yang basah oleh hujan dini hari tadi.

Aku berdiri di pintu pagar masuk dan memandang ke arah nisan yang tersembunyi di bawah pohon beringin, yang menjulur sampai ke tanah. Di situ terdapat makam Emak, diapit oleh dua kuburan lama yang tidak terurus. Nisannya tampak aneh, seperti makam zaman raja-raja. Tempat itu seolah sengaja dibangun agar orang enggan mengunjunginya.

Aku dan Abah hanya satu kali berkunjung ke sini selama kurun waktu delapan belas tahun. Tapi, kunjungan yang sekali itu tetap terpatri dalam benakku. Aku masih ingat betul letak makam Emak.

Aku berbalik mendekati Pak Mantri, yang kini sudah memutar mobilnya, mengitari sebuah pohon tidak berdaun, dan menuju ke arah kami mendaki tadi. Mesin mobil masih menyala. Ia duduk di luar mobil sambil menyalakan sebatang rokok.

“Pak Mantri punya kegiatan lain? Sepertinya, saya akan lama berada di sini.” Aku tidak ingin membuatnya menunggu.

Ia membuang puntung rokok dan melirik jam tangannya. “Saya harus menjemput staf perusahaan sesudah makan siang nanti. Berarti, saya masih mempunyai banyak waktu. Saya akan menunggu dan mengantar Ibu kembali ke Pekanbaru,” jawabnya.

“Kalau begitu, karena saya masih harus mengurus sesuatu sehabis ziarah ini, ada baiknya saya dijemput setelah urusan Bapak selesai. Itu pun kalau Bapak tidak keberatan.”

Pak Mantri bisa memahami keinginanku. Ia pun tak ingin mengganggu ketenanganku berziarah. Jadi, ia meninggalkanku seorang diri. Setelah ia pergi, aku langsung diliputi rasa sepi yang asing. Aku membuka pintu pagar kuburan dan pelan-pelan melangkah masuk. Beberapa makam terpaksa kuinjak karena beberapa dari mereka tidak ditandai dan rusak dimakan usia.

Di sebuah makam kecil aku berhenti, membaca nama mendiang yang ditulis kasar pada sebuah papan. Ia baru berumur lima tahun dan meninggal beberapa hari yang lalu. Aku diliputi rasa duka yang dalam, seperti ikut merasakan kedukaan yang dialami keluarga gadis kecil itu. Kembang dalam plastik yang aku bawa tiba-tiba terasa dingin. Aku ragu, haruskah kembang itu kutaburkan di makam emak?

Aku berdiri mematung di depan makam Emak. Tak tahu harus berbuat apa. Ingin berdoa, tapi ada perasaan aneh. Rasanya, yang aku doakan bukanlah Emak.

Pertanyaan itu muncul lagi. Benarkah jasad emakku yang terbaring di dalam kuburan itu? Kalau ya, mengapa aku selalu dihantui perasaan bahwa emakku masih hidup? Ataukah ini hanya sebuah paranoia, sehingga timbul pikiran aneh bahwa yang dikubur itu bukan jasad emakku? Kalau seandainya benar, ke mana Emak sekarang? Apakah dia masih hidup dan tinggal di suatu tempat? Atau, barangkali dia dibunuh dan mayatnya ditukar dengan mayat pasien lain, yang kebetulan meninggal pada hari yang sama?

Lalu, seperti ada sesuatu yang menggerakkan tanganku, aku menaburkan bunga di atas makam gadis kecil itu. Aku tahu, ia ada di bawah sana dan sedang kedinginan sekarang. Keharuan memenuhi hatiku, membuatku ingin menangis. Teringat bagaimana dulu aku begitu ingin pergi ke kuburan ini mengantar jenazah Emak, tapi dilarang oleh Tante Elly.

”Tidak baik anak-anak ikut ke kuburan. Nanti ditegur hantu dan bisa mati seperti Emak.” Waktu itu aku hanya diam, menangis, karena tidak bisa beramai-ramai ikut pergi ke kuburan. Sekarang terpikir olehku, apa yang menyebabkan gadis kecil ini meninggal? Sakit, kecelakaan, atau ditegur hantu kuburan? Pikiran rasionalku tidak bisa menerima hal yang terakhir. Di New York, orang-orang tidak mengenal hantu kuburan. Anak-anak bebas bermain di sana. Bahkan, beberapa kompleks pemakaman dijadikan tempat rekreasi bagi para wisatawan.

Aku meninggalkan kuburan kecil itu dan menuju makam Emak di bawah pohon beringin. Sesungguhnya, ada satu makam lagi yang ingin kuziarahi saat ini. Makam nenekku. Tapi, aku tidak tahu bagaimana mencari makamnya di antara ratusan, bahkan mungkin ribuan, jasad yang terkubur di tempat ini. Waktu nenekku meninggal, Abah dan Tante Elly tidak datang, Tidak juga mengurus pemakamannya. Jadi, kami tidak tahu bagaimana cara nenekku meninggal dan di mana ia dimakamkan.

Aku berdiri di depan makam Emak, di antara gerimis yang mulai jatuh. Rumput liar di sekitar makam sudah setinggi betis orang dewasa. Sebagian menutupi nisan, merambat di celah-celah semen yang retak dan membuat gambaran buram akan suatu makam yang tidak pernah diurus dan diziarahi.

Aku mematung. Rumpun beringin melindungiku dari rinai kecil dan angin yang lembap. Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Berdoa atau membersihkan makam terlebih dahulu? Untuk berdoa, ada rasa enggan di hatiku, seolah-olah aku berdiri di depan makam yang salah. Seakan berdoa untuk arwah orang lain. Entah siapa. Untuk hal kedua, aku merasa tidak sanggup melakukannya. Lagi pula, aku tidak membawa alat-alat yang diperlukan.

Aku mengalihkan pandangan ke sekeliling, tapi tidak tampak siapa-siapa. Aku berharap ada satu dua orang penjaga yang bisa kubayar untuk membersihkan makam Emak. Karena tidak ada yang dapat kulakukan, aku hanya duduk di situ, sambil mencabut beberapa rumput kecil, yang tidak begitu kuat akarnya. Aku merenung, membayangkan segala pikiran gila yang selama ini menghantuiku. Pertanyaan itu muncul lagi. Benarkah ini makam emakku? Siapa yang terbaring di dalam tanah ini? Kalau benar ia emakku, mengapa tidak seorang pun dapat meyakinkan aku? Tidak Abah, tidak Tante Elly, atau siapa pun….
Lama aku diam, sampai bunyi gemersik daun yang terinjak mengagetkanku. Aku menoleh. Dari balik rumpun ilalang yang berada dekat pohon kemboja tua, kulihat sepasang kaki tanpa sandal. Mungkin, penjaga kubur. Dan aku menunggu.

Seorang pria setengah baya muncul. Hampir semua rambutnya putih. Wajahnya muram, seolah telah menyimpan beban berat selama bertahun-tahun. Ia memakai celana kumal, kemeja compang-camping, yang tidak dikancingkan. Di tangannya ada sebuah cangkul dan ceret.

“Maaf, Bapak penjaga kuburan ini?” tanyaku, takut-takut.

Ia tidak menjawab. Pandangannya tertuju pada sebuah makam yang agak terpencil, tidak disemen, dan nisannya terbuat dari kayu. Tulisannya sudah terhapus dimakan usia. Aku segan bertanya lebih jauh.

“Aku mau ziarah!” katanya, akhirnya.

“Siapa yang meninggal?” tanyaku, yang kemudian kusesali. Pertanyaan itu terlalu lancang untuk seseorang yang baru kukenal.

“Anakku! Kuburannya yang tadi Nona kasih bunga.”

Aku kaget. ”Maaf, aku tidak bermaksud untuk…,” aku tidak menyelesaikan ucapanku.

“Nona siapa dan siapa yang meninggal?”

“Namaku Laila. Dua puluh tahun lalu aku tinggal di sini, di jalan menikung, tidak jauh dari surau yang miring itu. Ini emakku. Ia meninggal karena sakit jiwa. Aku anak Pak Mazrun. Kalau Bapak sudah lama tinggal di sini, mungkin Bapak kenal dengan ayahku.”

Ia menatap ke arahku dengan ekspresi wajah penuh tanda tanya. Matanya menyipit. Dahinya berkerut. Ia membuang muka, seolah merasa bersalah terhadapku.

“Nenekku juga orang sini. Mak Pia. Ia meninggal tak lama setelah emakku meninggal. Tapi, aku tidak tahu letak makamnya. Karena, sewaktu dia meninggal, aku dan Abah sudah pindah ke Jakarta.”

“Kalau itu, aku tahu makamnya,” katanya, tanpa menatap wajahku. ”Itu, yang di sana, nisan yang terbuat dari kayu keras itu.”

Aku menoleh ke arah yang ia tunjuk. Ternyata, makam nenekku adalah makam yang tidak bersemen itu, yang sejak tadi kuperhatikan.

“Aku yang menguburnya di situ,” katanya, kemudian diam.

“Kalau begitu, Bapak mungkin tahu tentang keluargaku,” kataku, gembira. Mungkin, dari orang ini aku mendapat keterangan tentang emakku yang sebenarnya. ”Aku sedang mencari Bang Ayar. Dia yang menjemput ibuku dari Sidikalang sewaktu dia meninggal. Dulu, ia suka mencari lebah di hutan. Entah sekarang. Bapak mengenalnya? Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan tentang emakku. Bapak bisa membantuku? Apakah orangnya masih tinggal di sini?”

Ia tidak menjawab dan melangkah menuju makam nenekku. Aku penasaran dan mengikutinya dari belakang.

“Sebaiknya, kau melihat makam nenekmu dulu,” katanya, pelan. ”Sepertinya, ia memerhatikan kita dan sudah menunggu kedatanganmu.”

Aku bergidik dan dicekam perasaan penuh misteri yang aneh.

Setelah tiba di makam Nenek, ia menyiramkan air yang dibawanya dan menaburkan bunga di atasnya. Aku heran, bukankah tadi dia bilang akan berziarah ke makam putrinya? Ia berdoa sebentar, kemudian mencabuti rumput, dan meninggikan tanah kuburan yang longsor karena hujan. Aku memerhatikan tingkah lakunya. Sepertinya, orang ini sering ke makam Nenek. Terbukti, keadaan makam Nenek selalu bersih dan terawat. Hanya nisannya saja yang menunjukkan bahwa makam ini sudah lama dibuat.

Aku tidak tahu, harus berbuat apa di makam Nenek. Kenangan tentang dirinya tidak begitu bisa kuingat. Tidak seperti Emak yang selalu datang dalam mimpiku. Seingatku, nenekku bertubuh kurus dan tinggi. Selebihnya, hanya samar-samar.

Kemudian, Bapak itu berdiri dan melangkah pergi, tanpa mengatakan apa-apa padaku. Aku menjejeri langkahnya. Sepertinya, dia tidak keberatan aku buntuti. Aku terus mengejar langkahnya, berharap bisa mendapat keterangan mengenai orang yang aku cari.

“Aku kurang pasti,” katanya, ketika kami hampir sampai di depan pintu kuburan. “Aku tidak tahu, apakah ini kutukan seperti yang ia katakan.”

“Maksud Bapak?”

“Aku adalah orang yang kau cari!” katanya, nyaris tak terdengar.

Angin dingin berembus di belakangku. Bulu kudukku berdiri.

“Jalan sempit terbentang lurus di hadapan kami,” kata Pak Ayar, memulai ceritanya. ”Di antara rimbunan pohon kopi yang mengapit kiri-kanan jalan, sesekali kami melihat monyet melintas. Jalanannya lengang. Hari sudah mulai sore dan aku merasa tidak akan pernah tiba di tempat tujuan. Pamanmu tertidur. Sopir mobil jenazah berkali-kali mengumpat dan mengingatkan kami akan ongkos yang harus dibayar ketika jenazah sampai di Minas.”

“Apakah Bapak tahu tempatnya?” tanyaku, sambil meminum air putih yang disediakan oleh Pak Ayar. Kami mengobrol di beranda rumahnya di ujung kampung. Pak Ayar tinggal seorang diri. Istrinya meninggal sewaktu melahirkan anak pertama, disusul kematian putrinya, yang makamnya baru saja aku taburi bunga.

“Aku tidak pernah ke sana sebelumnya. Tapi, aku ingat betul nama kampungnya. Kampung Sumbul, 5 km dari kota Sidikalang. Kami tiba menjelang malam di sebuah rumah lonjong mirip barak tentara. Ada banyak pohon sawo di halamannya yang luas. Di pelataran sebelah dalam yang merupakan ruang pasien, ada beberapa kamar yang disekat-sekat dengan anyaman bambu. Satu sekat untuk satu pasien. Ketika kami tiba, mayat emakmu sudah diselimuti kain kafan dan ditaburi bubuk kopi sebab sudah dua hari meninggal.”

“Apakah Bapak sempat melihat wajah Emak?”

“Tidak, sebab di sana gelap. Tidak ada listrik. Hanya ada lampu templok. Pamanmu yang masuk ke dalam dan mengurus semuanya. Kemudian, dia keluar, dibantu empat orang yang menggotong mayat emakmu. Aku menunggu di luar bersama sopir mobil jenazah.”

“Bapak yakin itu mayat emakku?”

“Yakin,” jawabnya, ragu-ragu.

“Bapak berani bersumpah? Demi nama Tuhan?”

Dia tidak menjawab, matanya menerawang jauh dengan raut wajah penuh keraguan. Aku makin penasaran, seolah ada misteri yang ditutup-tutupi selama ini. Aku mendesaknya untuk memastikan jawabannya.

“Bapak yakin itu mayat emakku?” aku bertanya sekali lagi.

“Mengapa kau mendesakku?” ia balik bertanya. “Bukankah kau sudah melihat sendiri pusara ibumu? Tidak baik selalu membicarakan arwah orang yang sudah meninggal.”

“Aku selalu dihantui bayangan emakku. Dalam mimpiku, ia datang mengapai-gapai minta tolong, seolah dia masih hidup dan perlu pertolonganku. Aku tahu, mungkin ini tidak benar. Bisa jadi aku hanya dihantui pikiran-pikiran buruk tentang Emak karena aku selalu merindukannya. Tapi, tolong beri aku kepastian agar aku tenang dan bisa menziarahi kubur emakku, sebagaimana mestinya. Bapak pernah kenal emakku, ‘kan? Tolong, apakah betul jenazah orang ini yang Bapak bawa dari Sidikalang?”

Dia meneliti satu-satunya foto yang aku bawa. Dalam foto itu emakku sedang membersihkan kayu bosi (sejenis kayu gaharu yang harum baunya). Ia memakai kebaya dan kain yang dililitkan di pinggangnya. Rambutnya tergerai panjang. Kulitnya hitam akibat tersengat matahari. Foto itu diambil jauh sebelum emakku menikah dengan Abah.

“Aku hanya diminta tolong Iqbal dan dibayar,” katanya, dengan suara berat. “Tapi, masalah yang aku terima tidak sebanding dengan apa yang aku dapat.”

“Bapak, apa pun yang telah terjadi, aku berjanji tidak akan menyalahkan Bapak atau menuntut apa pun. Tapi, kumohon sekali lagi, ceritakanlah apa yang Bapak ketahui tentang keluargaku. Setelah semuanya jernih, aku akan kembali ke Amerika dan melupakan semuanya. Kumohon, Pak, aku hampir gila memikirkannya. Aku selalu dihantui oleh keberadaan emakku. Hanya Bapak satu-satunya harapanku untuk bisa membuka misteri itu.” Aku hampir menangis. Rasanya, apa pun yang diminta orang ini akan kuberikan, asal ia bisa membuka misteri ini.

“Jadi, Nona sekarang tinggal di Amerika?” tanyanya, tidak percaya.

Aku mengangguk. “Mama memaksaku sekolah di sana agar bisa jauh dari abahku sendiri. Aku tahu, bukan supaya aku menjadi pintar. Tapi, baginya, aku adalah pengganggu ketenangannya. Karena itu, setamat sekolah, aku memutuskan untuk bekerja dan tinggal di Amerika. Sudah setahun lebih aku di sana dan tidak pernah pulang ke Jakarta. Tapi, dalam kurun waktu itu, Emak selalu datang dalam mimpiku dan memaksaku untuk segera pulang.”

Sekarang aku benar-benar menangis. Rasanya, aneh. Malah, di depan pria yang lugu ini, aku bisa terbuka dan mengatakan isi hatiku setulusnya. Selama ini aku selalu berpura-pura bangga tinggal di Amerika. Meskipun, dalam hati aku tahu, alasan satu-satunya aku berada di sana adalah karena Tante Elly membenciku. Tapi, sekarang aku tidak bisa menyimpannya lagi. Beban yang selama ini aku simpan, kutumpahkan pada Pak Ayar, yang baru beberapa menit lalu aku kenal.

“Tidak kusangka, kutukannya bisa sampai begitu jauh, melintasi pulau dan benua,” katanya, setelah tangisku mereda.

Aku bergidik. “Apa maksud Bapak?” tanyaku.

Ia tidak menjawab. Hanya menatapku dengan pandangan kosong. Suasana mendadak begitu sunyi. Di kejauhan terdengar suara ayam berkokok. Bulu kudukku tiba-tiba berdiri lagi.

“Kau lihat ladang minyak yang ada di bawah sana?” tanyanya. Kami sedang berada di luar rumah Pak Ayar, berdiri di bawah sebatang pohon jati yang meranggas, di ujung sebuah tebing yang tanahnya agak tinggi, menyerupai sebuah bukit kecil.

”Itu dulu adalah kampung kita. Rumah abahmu di sebelah kiri dari pompa minyak yang kau lihat itu. Persisnya, aku tidak tahu. Tapi, kukira, tidak terlalu jauh dari situ. Hampir semua perkampungan itu dikosongkan oleh sebuah perusahaan minyak untuk perluasan ladang minyak. Kami mendapat ganti rugi. Sebagian membeli tanah baru dan pindah di sekitar sini juga. Tapi, sebagian besar pindah ke Pekanbaru karena menganggap hidup di kota lebih enak. Penduduk asli daerah ini hanya tinggal beberapa orang. Selebihnya adalah pendatang.”

Aku mengikuti arah yang ditunjuknya. Beberapa detailnya masih kuingat. Salah satunya adalah jalan berdebu yang menuju perbukitan ke arah makam itu. Aku menatap jalan itu, membayangkan tiang rumahku yang terbuat dari kayu dan mobil jenazah yang membawa mayat Emak. Terbayang pula cerita masa kecilku yang hilang.

“Kami hidup rukun. Mata pencaharian kami adalah mencari kayu bosi dan mengambil madu dari pohon sialang. Hutan yang kau lihat itu, dulu sangat lebat dan banyak sekali rusa di dalamnya. Bila malam tiba, rusa-rusa itu suka menggesekkan badannya di sepanjang pipa minyak. Beberapa dari kami beruntung bisa bekerja di kontraktor. Salah satu yang beruntung adalah abahmu. Dia orang pintar dan berhasil menamatkan sekolahnya di STM (Sekolah Teknik Menengah) Jurusan Listrik di Pekanbaru. Penghasilannya jauh lebih besar daripada kami. Karena itu, dia tidak pernah ikut kami mencari kayu bosi atau madu lebah di hutan. Berburu rusa hanya sekadar iseng, bukan untuk mata pencaharian,” katanya, bercerita.

Setelah terdiam sesaat, ia melanjutkan ceritanya. “Ketika itu ada dua kembang desa yang sangat cantik di kampung kami. Abahmu sangat beruntung karena mendapatkan keduanya. Memang, selain tampan, abahmu pintar cari uang. Gadis mana yang tidak terpikat olehnya? Ketika itu banyak gadis menunggu untuk dilamar oleh abahmu. Tapi, pilihan jatuh pada mendiang emakmu, kembang desa yang aku ceritakan tadi.”

“Bagaimana dengan kembang desa yang lainnya?” tanyaku.

“Yang lainnya adalah Elly, mamamu sekarang. Dia masih ada hubungan kekerabatan dengan abahmu. Bahkan, mereka sudah dijodohkan sejak kecil. Sesungguhnya, abahmu juga menyukai mamamu ini. Bahkan, dia lebih dahulu berpacaran dengan mamamu daripada dengan mendiang emakmu. Hanya, cinta mereka terputus. Karena, selepas STM abahmu balik ke kampung dan bekerja, sementara mamamu melanjutkan sekolahnya. Ketika hubungan mereka terputus itulah, abahmu berkenalan dengan mendiang emakmu dan akhirnya menikah. Kudengar, kerabat abahmu dari pihak mamamu sakit hati sehingga membenci mendiang emakmu. Sebab, pernikahan itu berarti pembatalan perjodohan yang sudah diatur oleh orang-tua-tua dari kerabat abahmu. Emakmu sendiri tidak mempunyai keluarga lain, selain nenekmu. Sebenarnya, keluarga emakmu paling disegani di kampung, karena kakekmu menjabat sebagai batin (Kepala kampung) semasa hidupnya.”

“Lalu, bagaimana emakku bisa sampai sakit gila? Benarkah ia kesambet hantu sungai?”

Ceritanya kembali mengalir. Aku jadi tahu yang sebenarnya. Ketika itu sebuah perusahaan minyak sedang gencar mengadakan program eksplorasi sumber minyak untuk menemukan ladang-ladang minyak baru. Banyak tanah-tanah masyarakat yang dibeli oleh perusahaan itu. Tidak terkecuali kampung Abah. Tawaran yang tinggi membuat orang tergiur untuk melepas tanah mereka dan pindah ke tempat lain.

Keluarga Tante Elly adalah orang pertama yang menjual ladang mereka dan pindah ke Pekanbaru. Mula-mula, ladang mereka yang di sebelah timur kampung dijual. Kemudian, kerabat lain menyusul dan menjual tanah serta rumah mereka. Waktu itu hanya tinggal Paman Iqbal, adik Tante Elly, yang masih tinggal di situ. Paman Iqbal tidak bekerja di ladang karena ladang keluarga mereka sudah dijual ke perusahaan minyak tersebut. Waktu itu Paman Iqbal sudah mempunyai banyak uang. Sesekali, ia ikut Pak Ayar berburu rusa, hanya untuk bersenang-senang.

Sewaktu liburan semester di akhir-akhir masa kuliahnya, Tante Elly sering datang ke rumah Paman Iqbal. Rupanya, semua masyarakat tahu, kedatangannya adalah untuk membujuk Abah agar bersedia melepas tanahnya. Karena Tante Elly sangat cantik, cerdas, dan pintar ngomong. banyak orang terbujuk oleh rayuannya. Begitu juga dengan Abah. Selain karena Tante Elly adalah mantan kekasihnya, Abah juga tergiur oleh banyaknya uang yang ditawarkan.

Tapi, rupaya Emak tidak setuju. Dia sudah telanjur mencintai kampung itu dan tidak ingin menjual tanah mereka. Lagi pula, keluarga kakek dari pihak Emak merupakan salah satu penemu dan pendiri kampung tersebut. Menurut Emak, penghasilan Abah sudah cukup untuk menghidupi keluarga. Aku, Emak, dan nenekku.

Suatu senja, sewaktu Emak pulang dari sungai, ia pingsan. Orang bilang, ia kesambet hantu sungai karena mencuci sore-sore. Banyak orang pintar didatangkan, tapi tidak berhasil. Orang-orang di kampung itu tidak mengetahui apa yang dilihat Emak di sungai itu. Emak hanya berteriak dan berlari pulang dengan cucian yang berserakan. Ia tidak bisa berbicara sepatah kata pun.

Karena sakitnya bertambah parah dan sudah seperti orang gila, ia dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Tapi, tidak lama, Emak lari dari rumah sakit itu. Namun, ia kembali dibawa ke kampung. Beberapa kali ia dipasung karena menjerit-jerit dan menangis. Terakhir, ia dibawa Abah ke Sidikalang untuk mendapatkan pengobatan alternatif dari seorang paranormal, yang konon bisa menyembuhkan orang gila.

Aku ingat, itulah terakhir kali aku melihat wajah Emak. Beberapa bulan kemudian, ia dikabarkan meninggal dan aku tidak pernah melihatnya lagi. Tante Elly sering mengunjungi kami sewaktu Emak tidak ada. Dan, seingatku, setamat kuliah dia menetap di kampung kami, tinggal dengan Paman Iqbal, hingga ia menikah dengan Abah, dan kami pindah ke Jakarta.

“Bagaimana dengan nenekku?” tanyaku. Itu cerita yang tidak kuketahui sama sekali.

“Setelah emakmu dimakamkan dan abahmu menjual tanahnya, tidak ada lagi kerabatmu yang tinggal di kampung ini, selain nenekmu. Pihak keluarga abahmu sudah meninggalkan kampung ini jauh-jauh hari.

Setelah menjual tanah dan rumahnya, Iqbal pun pindah ke Pekanbaru. Terakhir, aku dengar ia hidup berfoya-foya dengan uang itu dan meninggal akibat overdosis obat terlarang.”

“Aku sudah tidak bisa mendapat cerita apa pun tentang apa pun dari Abah.”

“Sayang, padahal dia kawan baikku. Aku masih ingat bagaimana aku menemaninya pergi ke Sidikalang untuk menjemput jenazah emakmu. Uang membuatnya lupa diri….” Pak Ayar bergumam. Ada nada kecemasan dalam ucapannya.

“Bagaimana nasib nenekku setelah kami pergi?”

“Dia membenci abahmu. Dia merasa dikhianati. Setelah kematian emakmu, abahmu seolah tidak mempunyai hubungan apa pun dengan nenekmu. Sewaktu kalian pindah ke Jakarta, nenekmu pun tidak dipaksa untuk ikut. Kalaupun diajak, dia pasti tidak mau. Itu yang dikatakannya padaku sebelum dia meninggal. Ia tahu, mamamu pasti tidak akan suka padanya. Jadi, dia memilih tinggal di sini, di rumah kakekmu di ujung kampung. Sekarang, rumah itu tidak ada lagi, sudah digusur untuk pelebaran jalan. Ia mengurusi dirinya sendiri dan mengutuki orang-orang yang telah mengkhianati dirinya. Ia meninggal dua tahun setelah kalian pindah ke Jakarta. Aku dan warga setempat yang menguburnya.”

Aku menangis. ”Kasihan nenekku.”

“Dan, anehnya, beberapa waktu terakhir ini, nenekmu selalu muncul dalam mimpiku. Ia bilang, anak cucunya tidak akan tinggal diam. Kebenaran pasti menang. Aku berkali-kali menziarahi kuburannya dan berdoa di sana. Tapi, ia masih terus datang. Seolah-olah, aku mempunyai andil atas penderitaan yang dialaminya. Karena itu, sewaktu kulihat kau di kuburan itu, aku tahu, kau pasti akan bertanya soal emakmu.”

“Emak juga selalu muncul dalam mimpiku. Ia datang, menggapai-gapai minta pertolongan, seolah-olah masih hidup. Kalau ia masih hidup, di mana Emak sekarang? Apakah seseorang menyembunyikannya? Kadang-kadang, terlintas pikiran gila dalam benakku. Jangan-jangan emakku dibunuh.”

“Aku mengalami mimpi yang sama.”

Aku terkejut. Pak Ayar tidak berani menatapku. Pandangannya menerawang jauh, ke arah kampung kami dulu, tempat aku memeluk tiang rumah senja hari sambil memerhatikan mobil jenazah, yang datang membawa jasad emakku. Lalu, ketika seekor burung elang terbang tepat di depan kami, sebuah pikiran paling gila melintas dalam kepalaku.

  Jadi, selama ini yang aku ziarahi makam wanita lain. Ibuku masih hidup! Aku harus segera menemukan beliau!

Pohon beringin besar itu tidak mampu melindungi para pelayat yang mengantar jenazah Emak dari gerimis yang menetes dari celah-celah daunnya yang rapat. Aku berdiri di antara orang-orang dan mengamati bagaimana jasad Emak diturunkan ke liang lahat. Aku menangis di sebelah wanita yang jatuh pingsan berkali-kali. Kupikir, itu mungkin nenekku.

Abah berdiri di depanku, di sebelah liang kubur. Ia menunduk dengan wajah kusut, tapi tidak menangis. Sebelah tangannya memeluk pinggang Tante Elly, seolah dari pinggang itu mengalir suatu kekuatan yang membuat Abah tetap berdiri tegar, tanpa meneteskan air mata. Padahal, semua orang tahu bahwa yang sedang dikuburkan itu istrinya. Tante Elly tersenyum menyeringai, seakan prosesi penguburan ini merupakan acara yang paling menggembirakan hatinya. Ia memakai baju hitam serta kacamata lebar, yang menyembunyikan matanya yang berbinar senang melihat kematian emakku.

Aku berteriak, “Emak! Emak! Jangan pergi, Mak!” Orang-orang tidak ada yang memerhatikanku. Semua ikut memasukkan tanah ke liang lahat, agar jasad emakku cepat-cepat hilang dari pandangan mereka. Aku menjerit-jerit dan menangis, takut akan perpisahan yang mengerikan dan tidak sampai hati melihat emakku ditimbun tanah merah berlumpur.

Lalu, sebuah tangan yang lembut menyentuh pundakku. Aku menoleh ke belakang, ingin mengetahui siapa yang memegangku dengan begitu lembut. Di antara orang-orang yang berdesakan di tepi makam, kulihat Emak berdiri di belakang mereka dan tersenyum padaku. Ia memakai baju putih yang sangat bersih. Sebuah selendang terlilit di lehernya.

“Emak!” teriakku, takjub dan gembira.

Emak meletakkan telunjuknya di bibir dan memberi isyarat agar aku mengikutinya.

Aku menurut dan mengikuti Emak. Tidak ada pelayat yang memerhatikan kepergianku. Semua masih menampakkan ekspresi yang sama, wajah-wajah tanpa cahaya, yang terus memasukkan tanah merah itu ke dalam liang kubur.

Tidak jauh dari tempat emakku ditimbun, di bawah sebatang kemboja yang berdiri kokoh di atas sepasang kuburan tua berlapis porselen, kami berhenti.

“Siapa yang dikubur itu, Mak?” tanyaku pada Emak.

“Biarlah orang mati menguburkan orang mati,” kata Emak. Lalu, Emak menyematkan setangkai bunga trompet yang indah di telingaku dan memberiku buah jambu yang dipetiknya di hutan di dekat kuburan.

Aku melahap jambu itu, sambil tetap memegang tangan emakku erat-erat. Kami menonton orang-orang itu menimbun kuburan yang entah berisi jasad siapa. Aku tidak menangis lagi. Sebab, aku tahu bukan emakku yang mereka kubur. Emakku masih hidup. Dia sedang memelukku sekarang….

Aku terbangun karena bunyi rem dan mesin mobil yang dimatikan. Saat memandang ke luar jendela, kabut putih Danau Toba terpampang di hadapanku. Pemandangan yang menakjubkan.

“Kita berhenti sebentar, Bu,” kata sopir mobil yang aku carter tadi malam. ”Pemandangan di sini bagus. Sayang kalau tidak singgah. Lagi pula, kopinya enak sekali. Belum lagi jagung bakarnya. Saya yakin, Ibu pasti menyesal kalau tidak singgah.”

“Kita berada di mana, Pak?”

“Daerah ini namanya Penatapan. Dari atas sini kita bisa melihat Danau Toba dengan jelas, juga Pulau Samosir-nya. “

Aku turun. Pak Ayar yang bersedia menemani aku dan bersedia menjadi saksi, sudah bangun. Matanya merah karena kurang tidur. Tapi, ia tampak senang melihat pemandangan yang indah ini.

Bau hutan pinus yang disiram embun pagi, membuat perut kami terasa lapar dan begitu merindukan secangkir kopi.
“Kita minum kopi, ya, Pak!“ kataku pada Pak Ayar.

“Terserah kaulah, Tino,“ katanya, tersenyum. Aku terharu ketika Pak Ayar memanggil sebutan masa kecilku. Sudah terlalu lama orang tidak memanggilku dengan sebutan itu. Dulu, di kampung kami, setiap anak wanita memang selalu dipanggil dengan sebutan Tino, yang artinya anak perempuan. Dua hari bersamanya membuat kami cepat akrab dan tidak sungkan lagi.

Kami memesan kopi dan jagung bakar di sebuah pondok jagung, yang banyak terdapat di pinggir jalan itu. Sopir kami pergi ke belakang untuk cuci muka, dan mengambil air untuk mengisi tangki radiator. Ketika jagung bakar pesanan kami tiba, aku bercerita kepada Pak Ayar bahwa baru saja aku bermimpi tentang Emak lagi.

“Sepertinya,.yang dikubur itu bukan emakku. Aku merasa Emak masih hidup, meski aku tidak tahu di mana dia sekarang.”

“Jangan terlalu banyak berharap, Tino. Nanti kau kecewa. Ingat, kedatangan kita kemari hanya untuk memastikan bahwa yang meninggal itu adalah emakmu, bukan mengharapkannya hidup lagi.”

“Aku mengerti, Pak. Tapi, tadi Emak begitu jelas datang dalam mimpiku. Aku merasa, dia begitu dekat. Aku bahkan memegang tangannya. Tangan itu nyata sekali. Emak juga bilang bahwa dia belum mati. Yang dikubur itu orang lain, bukan dia.”

Pak Ayar menatap serius ke arahku. “Bulu kudukku berdiri. Sepertinya, emakmu berada dekat sekali dengan kita.”

“Bapak merasakannya juga?”

Pak Ayar tidak menjawab. Ia meminum kopinya lambat-lambat dan menggigit jagung bakar yang masih panas. Aku tidak berkata-kata lagi, takut membuatnya merasa bersalah. Aku tahu, dia hanya bertugas menjemput jenazah. Namun, dia sudah menjadi bagian dari kejadian itu. Aku menatapnya, lama. Aku merasa kasihan. Seorang pria kesepian, yang sepanjang hidupnya dihantui rasa bersalah, karena menjadi satu-satunya saksi dari kematian yang penuh misteri.

Ketika embun mulai mencair di pucuk-pucuk pinus, kami melanjutkan perjalanan. Melewati barisan kebun kopi yang berderet di sepanjang kanan-kiri jalan, kami terus mendaki, melewati lereng bukit menuju Sidikalang, Tarutung, Siborong-borong, Dolok Sanggul. Makin lama, dadaku makin berdebar, khawatir dengan cerita yang akan terjadi nanti.

Ketika mobil kami memasuki kota Sidikalang, sopir kami menanyakan sekali lagi tempat yang akan dituju oleh Pak Ayar.
“Sumbul. Sekitar lima kilometer dari Sidikalang. Aku masih ingat nama tempat itu.”

Sopir kami turun dan bertanya kepada salah seorang penduduk, kemudian memutar mobilnya ke arah barat.

“Kita harus mengambil jalan sebelah kiri. Jalan utama putus karena ada perbaikan jembatan.”

“Dari Sumbul kita ke Dusun Lombus. Nanti, tanya saja tentang tabib Lukman. Semua orang pasti tahu.”

Pak Edi mengurangi laju kendaraan karena jalan yang berbatu-batu. Kemudian, kami melewati sungai jernih di sebelah kiri jalan.

“Itu sungainya! Aku ingat sungai itu. Sungai Laeronuan. Dulu kami berhenti dan mencuci muka di situ.”

Sopir kami turun dan bertanya sekali lagi. Kami menyusuri jalan kecil yang sempit. Ilalang setinggi pinggang hampir menutupi badan jalan. Ketika kami berbelok memasuki pintu gerbang yang terbuat dari pohon kelapa yang tumbuh berdekatan, Pak Ayar berteriak, seolah teringat sesuatu.

“Itu rumahnya! Ya. Aku ingat betul. Di bawah pohon kelapa itu aku duduk merokok, sambil menunggu pamanmu menjemput jenazah.”

Aku seolah berhenti bernapas. Kami makin dekat. Namun, aku merasa takut menghadapi kenyataan yang mungkin mengecewakan. Aku hampir tidak sanggup berdiri.

Rumah itu sunyi. Halamannya tertata rapi. Di bagian samping ada barak, seperti bangsal rumah sakit.

Pak Ayar turun terlebih dahulu dan mengetuk pintu rumah beberapa kali. Kami menunggu. Pintu terbuka.

“Ya, Bapak ini orangnya!” Pak Ayar setengah berteriak.

Aku tercekat. Di depan kami berdiri seorang pria tua berwajah menyeramkan.

“Ibumu dibawa ke sini pada suatu pagi yang basah diguyur hujan. Tangan dan kakinya diikat. Mulutnya diplester agar tidak berteriak. Kata ayahmu, di kampung, ibumu terpaksa dipasung karena tidak bisa diam di rumah. Keadaannya sungguh mengenaskan. Kurasa, selama perjalanan dia tidak diberi makan apa-apa. Lalu, ayahmu menitipkannya di sini untuk diobati. Kukatakan, aku ini tabib, bukan dokter. Jadi, aku hanya bisa mengobati orang-orang yang sakit karena hal gaib, bukan karena alasan medis. Ayahmu bilang, ibumu kerasukan roh halus sehabis mencuci di sungai. Jadi, aku menerimanya untuk diobati,” kata Pak Lukman, tabib itu.

Ceritanya terus mengalir. Setelah berhari-hari di rumah tabib itu, tidak tampak tanda-tanda kondisi Emak akan membaik. Tabib itu mulai sadar bahwa Emak menjadi gila bukan karena kerasukan roh halus. Menurutnya, ada hal lain yang mengganggu jiwanya. Entah trauma, entah kekecewaan yang amat dalam. Tabib itu menghubungi Abah agar membawa Emak pulang, karena merasa tidak bisa menyembuhkannya. Tak lama Abah datang, bersama seorang wanita cantik. Abah mengaku, wanita itu adalah sepupu Emak.

  “Tapi, mereka kelihatan mesra sekali. Tidak seperti hubungan kakak-adik. Aku curiga, jangan-jangan wanita itu adalah pacar ayahmu. Tapi, aku tidak bisa membuktikannya.”

“Itu tanteku. Sekarang ia menjadi ibu tiriku.”

“Maaf, aku tidak tahu.”

“Tidak apa-apa, Pak. Sudah kukatakan, aku tidak akan marah, tidak menyalahkan siapa pun, dan tidak akan menuntut siapa pun. Aku hanya ingin tahu agar aku bisa tenang dan menikmati hidupku.”

“Mereka menawariku sesuatu hal yang aneh.”

“Maksud Bapak?”

Pak Lukman meminum kopi yang disediakan istrinya dan mempersilakan kami minum.

Aku meminum seteguk dan meminta Pak Lukman untuk melanjutkan ceritanya.

“Mereka meminta aku membunuh ibumu. Kata mereka, untuk menyelamatkan muka keluarga. Kalau ibumu mati, aib itu pun akan hilang dan gelar keluarga gila tidak akan ada lagi.”

Mataku membelalak dan nyaris pingsan. Tidak kusangka, Abah dan Tante Elly bisa setega itu.

“Jika tidak membunuh, aku disuruh membuang ibumu. Ke mana saja, asal tidak pulang lagi ke kampung kalian. Aku diberi uang banyak sekali, jika bersedia melakukannya. Menurut ayahmu, sebagai tabib, pasti aku dapat melakukannya dengan mudah. Toh, hampir selalu ada pasien yang meninggal di tempat ini. Bagi ayahmu, ibumu sudah mati.”

“Lalu?”

“Maaf, aku mengambil tawaran itu!”

Aku menangis. Kalau tidak ingat janjiku, ingin rasanya kubunuh pria tua di depanku ini.

“Jangan marah dulu. Walau wajahku buruk, aku bukan pembunuh!”

“Di mana Bapak membuang emakku?”

“Aku tidak membuangnya! Firasatku mengatakan, jika tidak melalui aku, ayahmu dan wanita itu pasti akan membunuh ibumu atau membuangnya. Aku melihat kelicikan di mata wanita itu. Karena itu, aku tidak yakin bahwa dia sepupu ibumu. Aku mengambil uang mereka dan menjalankan rencanaku sendiri,” kata Pak Lukman.

Beberapa hari setelah kepulangan Abah, Pak Lukman rupanya masih belum membuang emakku. Katanya, ia tidak akan membuangnya. Karena, ia dan istrinya sudah telanjur kasihan pada Emak. Di mata Pak Lukman, Emak seperti wanita kesepian yang butuh perlindungan. Emak mengingatkannya pada anak gadisnya yang mati di Sungai Laeronuan. Jadi, ia memutuskan untuk menyembunyikannya.

Berhari-hari Pak Lukman menyembunyikannya di atas bukit. Namun, selama itu pula ia diliputi ketakutan, kalau-kalau ayahku datang dan memastikan bahwa emakku sudah dibuang. Ia takut, Abah akan mengambil Emak dan akan membunuhnya dengan tangannya sendiri.

“Mengapa Bapak tidak lapor polisi?”

“Aku tidak punya bukti. Lagi pula, siapa yang peduli pada seorang wanita gila?”

Pak Lukman menggulung sebatang rokok dan menawarkannya kepada Pak Ayar.

“Hingga kemudian ide gila itu muncul. Kebetulan, waktu itu ada pasien yang meninggal dan sudah tidak diurus lagi oleh keluarganya. Berkali-kali aku menghubungi pihak keluarga wanita yang meninggal itu, tapi mereka malah meminta kami menguburkan gadis itu, karena tidak mungkin membawanya ke Gunung Sitoli.”

“Dan, Bapak menukar jenazahnya dengan ibuku?”

“Benar. Aku membuat kuburan palsu untuk gadis yang meninggal itu. Kemudian, aku menghubungi ayahmu dan mengatakan bahwa ibumu sudah meninggal. Kukatakan, ibumu meninggal karena sakit, bukan kubunuh. Bagaimanapun, aku takut jika ayahmu malah menuntutku. Di luar dugaan, ayahmu senang bukan main. Tapi, mereka ingin menjemput mayatnya, sebagai bukti bagi nenekmu dan orang kampung.”

“Bapak melumuri tubuh wanita itu dengan bubuk kopi supaya tidak ada yang bisa mengenalinya?”

Ia mengangguk. “Juga untuk menghindari bau busuk. Sudah dua hari dia meninggal sebelum utusan ayahmu datang.”

Aku hampir-hampir tidak percaya, bahwa yang aku ziarahi selama ini adalah jasad wanita lain.

“Kami merawat ibumu dan tetap menyembunyikannya. Sejak itu ayahmu tidak pernah datang lagi. Ia percaya, ibumu sudah mati. Kami membawa ibumu ke psikiater. Menurut dokter, ibumu tidak gila. Ia hanya shock karena trauma masa lalu.”

“Karena apa, Pak?”

“Ia melihat ayahmu berselingkuh dengan tantemu di sungai.”

Aku terperangah, teringat semua cerita Pak Ayar tentang Emak, yang seperti orang kesurupan sesudah mencuci di sungai.
Aku menangis, tidak tahan mendengar semua cerita yang menimpa Emak. Ternyata, Tante Elly berada di balik semua ini. Ia ingin menguasai uang hasil penjualan tanah kami, juga ingin merebut Abah dari tangan Emak.

“Aku ingin berjumpa dengan emakku sekarang,” kataku.

“Dia ada di atas bukit. Keadaannya sudah mulai pulih. Ada beberapa memorinya yang hilang. Tapi, aku yakin, dia selalu ingat padamu.”

“Aku mohon satu hal. Tolong simpan rahasia ini untukku. Aku akan membawa emakku pergi jauh. Biarlah Abah menganggap emakku sudah mati. Biarlah Abah hidup di dunianya sendiri. Aku tidak mau menambah persoalan lagi. Yang sudah berjalan biarlah berjalan sebagaimana adanya. Yang penting, emakku sudah kembali dan aku bisa bersama dengannya lagi.”

Pak Ayar dan Pak Lukman mengerti. Kami akan menyimpan rahasia ini. Tidak ada seorang pun yang tahu, emakku masih hidup. Tidak Abah, tidak juga Tante Elly. Biarlah waktu yang akan memberi tahu mereka.

Matahari makin tinggi dan kami beranjak menuju bukit kecil, tempat emakku bersembunyi.
Matahari hampir berada di atas kepala, ketika kami mencapai puncak bukit itu. Di antara rerimbunan pohon kopi, aku melihat rumah kecil berwarna putih. Halamannya ditumbuhi bunga warna-warni. Seorang wanita sedang menyapu di halaman. Aku menangis. Dia muncul dalam ingatan masa kecilku, dalam bayangan mimpi-mimpiku, yang seolah diputar kembali lewat proyektor waktu. Aku begitu rindu. Begitu ingin memeluknya. Dia adalah Emak.

“Ini adalah kebun kopi kami. Aku dan istriku menghabiskan hari-hari kami di sini, bersama Sari,” kata Pak Lukman.

“Sari?” aku menatap emakku.

“Dia sudah mempunyai identitas baru. Tapi, dia tetap ibumu. Kau tunggu di sini. Biar aku jelaskan kepadanya agar tidak terlalu terkejut.”

Aku membiarkan Pak Lukman mendekati rumah itu, meski aku ingin segera berlari dan memeluk emakku. Pak Ayar menahan tanganku.

“Biarkan Pak Lukman menjelaskan dulu.”

Kami menunggu di bawah pohon kopi dan melihat bagaimana Pak Lukman menjelaskan tentang kami pada Emak. Sesekali tangannya menunjuk ke arahku.

Kulihat Emak berkali-kali menoleh ke arah kami dengan ekspresi yang sulit digambarkan.

Aku tidak sabar lagi dan meraih ponselku. Syukurlah, ada sinyal di atas ketinggian ini. Aku menekan nomor Thomas, sambil meneteskan air mata kegembiraan.

Terdengar suara dari seberang sana.

“Thomas, aku akan kembali ke New York. Aku tidak akan tinggal di Indonesia lagi.”

“Hei, kau menangis. Ada apa, Laila?”

Aku tidak memberinya kesempatan untuk bertanya lebih jauh.

“Apakah apartemenmu cukup untuk menampung dua orang lagi?”

Dia tidak menjawab.

“Apakah pria Finlandia bisa menerima ibu mertuanya tinggal serumah dengannya?”

Tidak ada jawaban.

“Thomas, jawab aku!”

“Ya… ya…. Apartemenku cukup luas dan dengan senang hati aku menerima mertuaku untuk tinggal denganku.”

“Meski dia bekas wanita gila?”

“Laila, apakah kamu menemukan emakmu? Apa dia masih hidup?”

“Jawab aku, Thomas!”

“Ya, aku tidak keberatan!”

“Kalau begitu, menikahlah denganku.”

Kudengar suara teriakan gembira dan bunyi kaleng yang ditendang. Thomas sedang mabuk kepayang. Aku mematikan ponsel dan menoleh ke samping. Emakku sedang berdiri di hadapanku dengan berurai air mata. Dia tidak bisa bicara. Demikian pula denganku. Hanya keheningan yang bicara. Lalu, aku mengeluarkan satu-satunya foto yang kumiliki. Foto emakku sewaktu dia masih di kampung, sedang membersihkan kayu bosi. Aku memberikan foto itu kepadanya. Dia meneliti sebentar, lalu aliran air matanya makin deras. Dia menatapku lama. Kulihat senyum yang perlahan mengembang di sudut bibirnya.

Aku melakukan hal yang selalu ingin kulakukan terhadap ibu kandungku, tapi tidak pernah bisa kulakukan terhadap ibu tiriku. Aku memanggilnya ‘Emak’, dan menangis dalam pelukannya.

No comments: