12.22.2010

Dua Sisi

Andari Maimar, seorang pemuda Jawa bertubuh jangkung dan berkulit sawo matang, berlari sekencang-kencangnya. Peluhnya mengucur dan merembes menembus sweater rajutan yang ia kenakan. Tubuhnya basah kuyup seperti orang kehujanan. Koper kerja yang ditentengnya mengayun seiring dengan gerak tangannya. Jantungnya berdetak keras, matanya menangkap asap hitam yang menembus gumpalan awan dari kejauhan, namun hatinya masih menolak untuk percaya.

Mungkinkah?

Sendi-sendinya ngilu, nyeri, ia terus berlari. Bagai orang yang sedang dikejar setan, ia melampaui blok demi blok di Manhattan dengan kecepatan tinggi, berkali-kali nyaris mati tertabrak sepeda motor yang lalu-lalang dan saling menyalip. Ia tidak peduli.

Kemacetan melanda jalur arteri, sementara klakson dibunyikan keras-keras, menimbulkan kegaduhan luar biasa. Gedung Empire State berdiri megah, menjulang mencakar langit di atas. Tapi, lain dari hari-hari biasanya, kali ini gedung itu tampak mati. Bermuram durja sepanjang pagi.

Di tengah kerumunan orang banyak, Andari terus menempuh jarak yang terbentang dari satu titik kota ke titik kota lain, tanpa sekali pun berhenti untuk mengistirahatkan sepasang kakinya yang kewalahan. Makin dekat dirinya ke tempat tujuan, lolongan tangis pilu yang merambat keluar dari tenggorokan para warga kota makin menjadi. Mereka yang biasanya acuh tak acuh terhadap sesamanya, sekarang justru terlihat saling menyandarkan kepala mereka di atas bahu orang-orang tak dikenal.

Sementara itu, langit yang merundungi tampak keabuan. Dunia yang tadinya semarak dengan warna, kini tersaji dalam bingkisan hitam-putih. Musim panas sudah sampai pada penghujungnya, dan begitu pula nasib sekian banyak penduduk di kota ini.

Diarahkan oleh kedua kakinya yang kini mengenyut tanpa belas kasihan, Andari sampai di bilangan Wall Street beberapa menit sebelum pukul sepuluh, menerawang dengan mata kepalanya sendiri ke sepanjang jalan protokol yang dipenuhi oleh debu dan arang.

Andari jatuh berlutut, napasnya terengah-engah. Dengan bulu kuduk merinding, ia menatap tanpa mengenali, mendengar tanpa mengerti apa yang sedang ia saksikan. Sekumpulan manusia berjalan di sekelilingnya seperti orang sekarat. Tubuh mereka berlapiskan darah dan luka. Jeritan tangis memekakkan telinganya, membuatnya meringis karena ngeri.

Pasukan kepolisian, paramedis, dan pemadam kebakaran berbondong-bondong datang dengan peralatan lengkap, sementara sirene kendaraan mereka terus berbunyi nyaring, mencemari udara kota. Debu teronggok di setiap sudut jalan, di setiap lipatan kulit, dan di balik sulaman baju. Wajah-wajah tanpa nama berseliweran di kiri-kanan. Hampa, buta, tuli, dan bisu.

Kru kamera televisi berkeliaran sepanjang mata memandang, menempelkan sebelah mata mereka ke corong lensa tanpa berkedip, mendokumentasikan ekspresi horor yang tebersit di muka semua orang. Juru foto berlarian mencari sudut yang tepat, yang bisa menyampaikan sebuah kisah pilu milik ribuan orang.

Petugas medis, dalam seragam biru-biru dan stetoskop yang melingkar di leher, mengamati dan dengan sigap membalut atau menjahit luka-luka yang diderita. Tetapi, tidak ada perban yang cukup tebal, tidak ada jarum ataupun benang yang cukup kuat. Cairan antibiotik yang disiram ke permukaan luka pun gagal menampung infeksi yang menyebar ke dalam relung jiwa para warga.

Lalu, suara itu. Gema besi, beton, dan semen yang runtuh ke bumi bersusulan seperti derap langkah raksasa, atau letusan meriam yang tak berkesudahan. Boom! Boom! Boom! Api menjalar bagai lidah-lidah ribuan ekor naga. Asap hitam mengepul ke udara seperti jamur besar, diiringi oleh lengkingan tinggi yang terlepas dari kerongkongan para korban dan saksi mata.

Episode yang takkan pernah terhapus dari lembaran memori Dalam dua jam, hidup jutaan manusia mendadak berkelok, mengarah pada sebuah tikungan tajam yang mustahil untuk mereka hindari.

Tidak lama, telinga Andari menangkap reaksi sekumpulan massa yang saling bersahutan. Ratusan pasang mata lain pun ikut melihat, tanpa berani berpaling dari kedua puncak gedung kembar itu. Rahang terbuka lebar, mata memerah terkena asap, seluruh tubuh mati rasa.

Andari mendongakkan kepalanya.

Di antara kepitan besi dan beton tampak ada yang bergulir dan terbang bebas di angkasa. Seperti kelereng, tapi dari ketinggian ribuan kaki. Satu per satu mereka berjatuhan, bertemu dengan nasib yang meratakan mereka dengan tanah. Bermandikan darah. Wajah mereka hilang bentuk, remuk, meninggalkan sisa-sisa, gabungan anggota tubuh yang tidak lagi memiliki aturan.

Andari bersimpuh dengan dagu menyentuh aspal yang kini sudah dilapisi oleh debu dan puing, dalam posisi layaknya orang yang sedang melakukan salat. Ya, Allah, bisiknya dalam hati.

Tiba-tiba tangan seseorang mencengkeram pundaknya, mengejutkannya. Andari berbalik, mendapati sosok wanita berusia tiga puluhan dalam seragam biru-biru dan lambang Palang Merah tersablon di lengannya. Wanita itu membungkuk penuh simpati. “Anda terluka?” tanyanya.

Andari menggelengkan kepalanya, di ambang air mata. “Apa yang sedang terjadi?” ia balas bertanya.

“Mereka sedang berusaha untuk menyelamatkan semua orang,” kata wanita itu dengan suara gemetar. “Mereka berusaha sebaik mungkin.”

Lalu, entah kenapa, atau untuk alasan apa, dengan lugu Andari menanyakan tanggal hari itu. Ia berpikir, kalau saja ia ingat tanggal berapa hari itu, maka mungkin ia masih bisa mengendalikan hidupnya seperti kemarin, berjalan kaki ke kantor, mampir di sebuah kedai kopi untuk sarapan, berkutat dengan angka seharian.

“Sebelas September,” sahut wanita Palang Merah itu, yang juga baru menyadari, dengan nada pahit. “Hari kiamat.”

Turunnya malam membuat dada Andari sesak. Seperti sejumlah warga lain yang bermukim di kota New York, Andari tidak beranjak pergi dari perimeter lokasi kejadian. Menanti, tanpa tahu apa yang dinanti, berharap, tanpa tahu apa yang diharapkan. Terperangkap di dalam dunia mimpi yang menyerupai neraka, mereka terjaga tanpa berani memejamkan mata, takut mentari tidak datang menjemput malam suram.

Saat ini, mereka hanya bisa menatap hampa ke langit hitam yang tidak lagi dihiasi oleh cahaya yang dulu berkilauan, layaknya butiran permata dari atas kedua menara kembar. Seharian penuh saluran televisi menayangkan berulang kali adegan mengenaskan yang dimulai pada pukul 08:48 waktu setempat. Stasiun radio yang tersebar di seluruh negeri menghentikan lantunan musik yang biasanya mampu mengguyur ketenteraman di hati para pendengarnya, diganti dengan rekaman suara segerombolan massa yang sedang berlari menyelamatkan diri.

Sejumlah fakta mulai diturunkan:
Sebuah pesawat komersil bermesin Boeing 757 menghantam puncak gedung Utara World Trade Center, disusul oleh pesawat kedua yang menghantam gedung Selatan. Bola api meledak di udara. Membelah langit. Dalam waktu 102 menit, kedua gedung yang menjadi kebanggaan masyarakat New York hancur berkeping-keping; 110 lantai berlantai marmer, amblas terurai seperti kepingan lego, melemparkan puing dan jelaga ke berbagai penjuru kota. Kertas-kertas beterbangan bagai konfeti. Darah menggenang menemani anggota tubuh yang berserakan tanpa tahu siapa yang punya.

Bahkan, saat berita diturunkan, belasan jam setelah kejadian naas itu, api masih berkobar di lokasi yang sekarang dijuluki sebagai Ground Zero. Nyawa yang hilang tidak lagi terhitung.

Duduk dengan posisi bersila di pinggir jalan, Andari mengeluarkan telepon selulernya yang seharian tersimpan di saku celana. Tidak ada sinyal. Ia membenamkan wajahnya di balik kedua telapak tangannya yang sarat akan debu, tidak tahu harus menangis atau berteriak penuh amarah. Kepada siapa ia harus marah?

Seorang wanita yang kehilangan suami dan anaknya bersandar di dalam pelukan seorang petugas kepolisian, histeris, memanggil nama-nama yang terdengar asing bagi orang-orang di sekitarnya.

Seorang pemuda yang kehilangan saudaranya berdiri di tengah jalan dengan mulut bungkam dan tangan mengepal. Wajahnya tercoreng hitam seperti tubuhnya yang juga dibalut oleh lapisan debu dan arang. Ia menolak untuk makan ataupun minum. Menunggu kabar baik yang tak kunjung datang.

Mereka yang terluka kini terbaring di rumah sakit, dihantui oleh kehidupan mereka pagi itu, sebelum kedua pesawat komersial lepas landas dari Bandara Logan di Boston dan menerjang puncak gedung tempat mereka mencari nafkah. Jam-jam ketika mereka bangun dari tidur, berbasuh di kamar mandi, menyiapkan sarapan pagi, dan berjalan keluar dari kediaman masing-masing. Seperti biasa, mereka berkendara di dalam subway, commuter rail, atau bis umum, menikmati bacaan baru atau memadati kepala mereka dengan rencana-rencana seru untuk akhir pekan. Namun, layaknya detik waktu yang bergegas meninggalkan hari, semua itu takkan kembali.

Menjelang malam, sang presiden dijadwalkan untuk memberi pidato kepada seluruh warga negeri. Semua orang menanti dengan mata nanar di depan televisi, menunggu pemimpin mereka mengucapkan apa yang ingin mereka dengar: balas dendam.

Dalam waktu dekat, sebagai tindakan retaliasi, Amerika akan mengecam bangsa-bangsa di seberang lautan, menciptakan suasana yang jauh lebih mencekam, yang akan mengorbankan ribuan nyawa tanpa ada pertanggungjawaban. Tapi, tentunya, belum ada yang bisa memprediksikan hal ini sekarang.

Bagi mereka yang telah kehilangan sanak saudara, yang terbaring di atas dipan dengan luka sayatan dan tubuh hangus terbakar, perang adalah satu-satunya jalan keluar. Siapa yang berani melempar batu harus berani menghadap. Amerika sudah menyiapkan jenderal-jenderal, pasukan, tank, dan peluru yang terbuat dari kulit, jiwa dan raga.

“Seharusnya kita membunuh pemimpin mereka, selagi kita punya kesempatan,” kata seorang wanita setengah baya, yang berdiri tidak jauh dari Andari, berbisik pada temannya. “Ini pasti hasil sekongkolan grup teroris,” lanjutnya, dengan nada sinis.

Padahal, di sekitar mereka, luka yang bersarang di tubuh para korban masih banyak yang belum tersentuh.

Andari termangu mendengar pembicaraan itu. Matanya terpejam sebentar, mengusir lelah. Otaknya tidak mau berhenti bekerja. Terorisme bukan hal baru. Mereka bukan manusia naif. Oplah media cetak selalu melonjak setiap tahun, dan program-program televisi pun makin mendidik dengan saluran-saluran baru yang khusus terfokus pada politik dunia. Rating selalu meroket, dan dari waktu ke waktu selalu ada pembahasan lengkap tentang konflik di dalam maupun luar negeri.

Mereka orang-orang terpelajar yang sudah terbiasa dengan teori konspirasi. Darah tidak lagi membuat mereka muntah. Kekejaman tidak membuat mereka bersembunyi di balik tembok beton seperti pengecut. Mereka adalah orang-orang yang mengadvokasi kebebasan setiap insan, yang takkan tinggal diam bila diserang.

“Permisi,” sapa seorang wanita muda yang mendadak muncul di samping Andari. Perawakannya tidak terlalu tinggi, dengan rambut hitam pekat dan sepasang mata lebar berbulu lentik. Caranya berbicara mengandung aksen yang belum bisa diperkirakan dari mana asalnya. “Boleh aku duduk bersamamu?” tanya wanita tersebut, yang berusia di awal dua puluhan.

“Sure,” jawab Andari singkat, seraya bergeser untuk menyisakan ruang duduk. “Maaf, tidak ada tempat yang lebih bersih,” ujar Andari, mengibaskan telapak tangannya ke atas permukaan jalan, menepis debu.

Wanita muda itu mengedikkan pundaknya, tidak keberatan. “Namaku Aysha,” katanya memperkenalkan diri.
Andari menjabat tangannya yang halus. “Andari,” balasnya.

“Aku berani bertaruh, kau bukan dari sekitar sini.”

Andari melepas senyum singkat. “Pendatang.”

“Aku juga,” Aysha ikut tersenyum. Sebentuk lesung tergores di masing-masing pipinya yang tirus. Wanita muda itu pun menatap sisa-sisa reruntuhan yang menumpuk seperti sampah. Di wajahnya tidak tersirat kengerian, atau rasa muak dan jengah akan rusaknya dunia yang mereka tinggali. Lain dari wajah-wajah yang ditemui Andari hari itu, Aysha memiliki ekspresi yang amat tenang. Seolah kejadian ini lumrah adanya.

“Tragis, ya,” ujarnya, datar.

Andari mengangguk. “Aku masih sulit memercayainya,” katanya.

“Kulihat kau terpuruk di tengah jalan pagi tadi,” tutur Aysha, menatap dengan iba. “Kau kehilangan seseorang?”
Andari menggeleng. “Untungnya tidak.”

“Dari mana asalmu?”

“Indonesia.”

“Keluargamu ada di sini?”

Andari menggeleng lagi. “Hanya aku,” jawabnya.

“Muslim?” tanya Aysha, bak seorang detektif.

Andari terkesiap mendengar pertanyaan Aysha. “Memangnya kenapa?”

“Kau pasti tahu bahwa semua ini kehendak Yang Di Atas,” tutur Aysha. Andari mengangkat kedua alisnya tinggi-tinggi. Aysha tersenyum, meregangkan tubuhnya yang ramping. “Sudah saatnya negeri ini mendapat hukuman setimpal atas perbuatannya terhadap orang lain.”

Andari merinding mendengar ucapan wanita di sampingnya. Ngeri. Tidakkah dilihatnya darah segar yang masih mengalir dari luka-luka yang diderita para korban? Tidakkah didengarnya erangan mereka yang terekam jelas di telinga Andari?

“Boleh, kan kupanggil dengan sebutan Andy?” bisik Aysha.

Andari tidak menjawab. Lidahnya kelu. Ototnya kaku. Beku.

Entah kenapa, beberapa hari berikutnya, Andari membiarkan wanita yang baru saja dikenalnya itu masuk ke dalam hidupnya. Karena diliburkan dari kantor selama satu minggu, Andari jadi terlampau sering menghabiskan waktu bersama Aysha.

Demi mengusir penat di kepala, Andari setuju menemani wanita itu melakukan berbagai kegiatan di seputar kota New York: nonton film mancanegara di teater klasik, menyaksikan pertunjukkan opera di Broadway, window shopping di Soho, ngopi di Times Square, makan hotdog di pinggir jalan, bersepeda di Central Park, menumpang sebuah kapal feri ke Ellis Island, dan berpose di dekat monumen Liberty, layaknya sepasang turis.

Aysha bercerita tentang masa kecilnya di kota Beirut, Lebanon, tentang ayahnya yang menjabat sebagai dosen ilmu alam di sebu­ah universitas di Beirut, tentang kakak perempuannya yang mati terbunuh di tengah amukan politik negara, tentang sahabatnya yang kini membelot menjadi kaki-tangan Israel, tentang boneka kesayangannya, Majnun, yang ia namakan dari karakter novel Persia berjudul sama.

Menatap lekat-lekat ke kedua bola matanya, Andari merasa seolah ia sedang tenggelam di dalam masa lalu wanita muda itu. Banyak luka menganga di sana, bermacam pertanyaan yang takkan pernah terjawab.

“Beirut pernah menjadi kota yang indah,” Aysha melanjutkan kisahnya di sebuah kursi taman di depan Museum Metropolitan, membelakangi display air mancur yang terkenal keindahannya. “Aku hanya menyesal tidak pernah melihatnya.”

Kesedihan mendalam masih menggantung di udara, masih sulit untuk dicerna, namun setidaknya kota ini sudah mulai bangkit, marak akan hiruk-pikuk warga yang hilir-mudik entah ke mana.

“Apa kau pernah pulang ke Lebanon sejak tiba di New York?” tanya Andari, menarik tepi jaketnya agar lebih erat menghangatkan tubuhnya.

Aysha menggeleng. “Baba (ayah) bilang, tidak ada satu hal pun di sana yang akan kami temukan, kecuali puing-puing masa lalu,” ujarnya, sedih. “Beliau juga berpesan bahwa Israel akan menghancurkan kota kelahiran kami.”

“Apa kau betah di sini?” Andari meneguk cairan minuman ringan dari kaleng dalam genggamannya.

“Entahlah,” jawab Aysha, menerawang jauh. “Tidak peduli di mana aku berada, kalau aku tidak ada di Beirut, tetap saja aku ‘menumpang’ di rumah orang, ‘kan?”

Terdorong oleh rasa simpati yang sering ia dapat dari sesama ‘perantauan’, Andari melarikan jemarinya ke atas jemari Aysha, menggenggamnya erat-erat. “Jangan putus asa,” katanya, memberi semangat.

Wanita itu melempar pandangan bersahabat pada kawan bicaranya.

“Aku ingin tahu lebih banyak tentang kau, Andy,” pinta Aysha. “Dari mana asalmu, seperti apa tempat kelahiranmu, siapa orang yang paling kau percayai.”

Andari menghela napas pendek, tersenyum. “Nanti kau bosan,” godanya.

“Aku janji tidak akan bosan,” kata Aysha, dengan sigap mengangkat tangan kanannya di udara sebagai simbol sumpah. “Ayolah, ceritakan padaku.”

Walau ia keberatan dipanggil dengan sebutan ‘Andy’, yang terkesan terlalu kebarat-baratan, Andari tidak menolak ketika diminta untuk bercerita. Ia mengawali dengan kota kelahirannya, Semarang, yang menurutnya sudah terlampau padat dan tidak teratur. Ia berlanjut menceritakan kepindahan keluarganya ke Jakarta, menggambarkan rumah tempat keluarganya bermukim, yang terletak di bilangan Kebayoran Lama, dan betapa asingnya hidup di kota besar, karena hidup bertetangga nyaris mustahil dipertahankan. Ia malu mengakui bahwa selama sekian tahun tinggal di Jakarta, ia tidak pernah sekali pun bertandang ke rumah tetangganya.

Andari bercerita tentang Puncak, Bogor, Bandung, dan tempat-tempat lain yang biasa dikunjungi keluarganya saat berlibur. Tentang pengalamannya bersepeda pertama kali, terjatuh ke dalam selokan yang membuatnya basah kuyup oleh air got. Aysha melepas cengir canda mendengarnya.

Andari juga bercerita tentang keluarganya: ayahnya yang punya bisnis percetakan di dalam kota, ibunya yang berjualan rantang, adiknya yang sekarang masih duduk di bangku SMA, tentang beasiswa yang didapatnya semasa kuliah, yang memungkinkannya untuk melanjutkan sekolah di salah satu kampus ternama di Boston, yang kemudian memberinya peluang untuk mencari pengalaman di New York sebagai konsultan keuangan sejak dua tahun yang lalu. Usianya 28 tahun.

Bibir Aysha tersungging mendengar cerita teman barunya. “Aku iri padamu,” tutur Ayshah jujur.

“Kenapa?” tanya Andari.

“Karena, hidupmu sempurna,” sahut Aysha. “Mungkin, bagimu itu tidak sempurna. Tapi, kalau dibandingkan dengan kami, kau sungguh harus bersyukur.”

“Bukankah semua itu relatif?” tukas Andari.

Aysha menggigit bibirnya sendiri, menyusun kalimat di dalam kepalanya. “Di masa lain, aku mungkin punya kesempatan yang sama seperti dirimu. Sekolah setinggi-tingginya, hidup layak dengan gaji memadai, mengkhawatirkan hal-hal kecil yang tak berarti. Aku sering tertawa melihat orang berjoging di sini. Karena di Beirut, orang berlari bukan untuk kesenangan ataupun kebugaran. Orang berlari menghindari kematian yang mengenaskan.”

“Aku tidak bisa membayangkan apa rasanya hidup seperti itu,” kata Andari, menawarkan simpatinya sekali lagi. “Dan aku tidak ingin berpura-pura mengerti apa rasanya hidup dalam teror berkepanjangan. Tapi....”

“Nah, ini dia,” putus Aysha, melirik penuh canda. “Selalu ada tapi.”

“Tapi, itu bukan berarti kau harus melepaskan harapanmu begitu saja,” lanjut Andari. “Iya, ‘kan?”

Aysha tersenyum, seolah ingin menertawai keluguan Andari. “Harapan kami tak lebih dari sekelumat mimpi. Semua yang berarti bagi kami sudah habis digerogoti perang. Hanya ini,” ia merentangkan kedua lengannya lebar-lebar di udara, “Tubuh yang tak ada artinya sama sekali.”

“Walau begitu, kau tetap menyetujui apa yang terjadi di kota ini beberapa hari yang lalu,” tegas Andari, melempar kaleng minuman yang telah kosong ke dalam tong sampah di sisinya.

“Kau tidak tahu apa yang sudah kami hadapi selama ini,” keluh Aysha.

“Kekerasan tetap bukan solusi, apa pun alasannya,” bantah Andari.

“Kau tidak tahu rasanya hidup seperti tahanan di dalam rumahmu sendiri, selalu dikecam rasa takut, selalu dibayangi maut,” serang Aysha, kukuh pada pendiriannya.

Andari ingin memeluknya, memastikan bahwa saat ini ia takkan mengizinkan apa pun melukainya, tapi ada jarak di antara mereka yang tidak berani ia seberangi.

“Orang-orang ini pantas mati, Andy,” tuduh Aysha, dengan mata berkaca-kaca. “Kami dibombardir dan tidak ada seorang pun yang mau memikirkan nasib kami. Mereka membiarkan kami hidup di dalam reruntuhan, mengais-ngais seperti anjing kelaparan.”

“Kurasa kau hanya membesar-besarkan masalah,” cetus Andari, enggan melanjutkan topik pembicaraan yang mulai membuatnya rikuh.

“Kau membela negeri ini?”

“Aku tidak membela siapa-siapa. Aku hanya tidak suka kekerasan,” balas Andari.

“Kau pikir aku berbohong?” pancaran mata Aysha berubah menantang.

“Aku tidak mau asal tunjuk jari,” tegas Andari.

“Ayo,” ajak Aysha, bangkit dari duduknya seraya menggenggam jemari Andari. “Aku mau kau bertemu seseorang.”

“Hari sudah sore,” Andari beralasan. “Mungkin lebih baik kita pulang.”

Aysha mendekatinya, mengecup bibirnya. Ciuman itu berlangsung amat singkat. Basah di bibir Aysha melekat di sudut bibir Andari. “Demi aku,” mohon Aysha. “Nanti kau bisa menilai sendiri. Aku janji.”

Duduk berimpitan di dalam gerbong kereta bawah tanah, menelusuri rel-rel besi yang dibangun untuk mengangkut penumpang ke tempat tujuan masing-masing, Andari merasakan jantungnya berdebar waswas. Aysha duduk di sebelah Andari, dengan kepala menekur, hingga dagunya nyaris bersentuh-an dengan dada. Kedua tangannya diletakkan di atas pangkuan dengan rapi.

Andari memerhatikan pemberhentian demi pemberhentian yang mereka lalui, ketika penumpang kereta satu per satu mulai mengosongkan gerbong tempat mereka berdiam diri. Setiap kali pintu kereta terbuka di salah satu pemberhentian, deru angin mendesak masuk ke dalam gerbong. Aysha menutup matanya, menahan udara dingin yang menyergap.

Mereka turun di bilangan Queens, perlahan-lahan mendaki anak tangga yang menuju ke permukaan jalan. Hari sudah lumayan gelap, lampu-lampu jalan mulai bersinar redup di tengah pekatnya malam.

Segerombol pejalan kaki menapak di atas trotoar dengan bahu membungkuk demi mengusir angin musim gugur yang berembus. Lusinan mobil terparkir di tepi jalan, ditemani meteran yang tertancap di atas kaki lima, menghitung setiap menit yang berlalu.

Aysha menarik lengan Andari dengan sigap, langkahnya tergesa-gesa menelusuri kompleks pertokoan yang sarat akan berbagai macam kedai restoran, toko kelontong, tempat penyewaan video, dan sejumlah bangunan yang tidak memiliki papan nama, ataupun warna, melainkan cuma sederetan gedung beratap rendah, yang pintunya dilindungi oleh teralis dan temboknya semarak oleh graffiti.

Wanita muda itu menggiring Andari masuk ke dalam sebuah toko kelontong, yang menjual berbagai macam keperluan rumah tangga. Lampu neon yang bertengger di langit-langit tampak sudah tidak kuat lagi memancarkan sinarnya, berkedip antara gelap dan terang, menyebabkan tegangan listrik di sekitarnya berdengung seperti suara sekumpulan lebah.

Tidak ada siapa-siapa di sana, kecuali timbunan perabotan usang yang dijual setengah harga pasaran. Andari menengok pada Aysha, penuh tanya.

“Lewat sini, tunjuk Aysha, membimbing Andari ke belakang counter, menghadap ke sebuah pintu.

“Tunggu, sanggah Andari, melepaskan tangannya dari genggam-an Aysha. “Toko siapa ini? Kita bisa bermasalah memasuki wilayah orang tanpa izin.

Aysha tersenyum. “Jangan khawatir. Ayo.

Di balik pintu yang tampaknya tidak mungkin menyimpan ruangan besar, ternyata masih ada koridor yang lumayan panjang, dibanjiri cahaya lampu minyak yang menempel di dinding. Andari mengikuti langkah Aysha dari belakang, menerka-nerka apa yang terdapat di ujung koridor itu: sebuah ruangan sempit tanpa jendela, yang dindingnya dihiasi oleh potongan-potongan kertas koran menyambut kedatangan mereka. Tiga meja kayu yang saling berdempetan memanjang terletak di satu sisi tembok. Di atasnya ada sebuah mesin tik usang, beberapa buku jurnal, dan lusinan kertas yang diremas menyerupai bola kasti. Di lantai, ratusan edisi koran harian yang sumbernya beragam tergeletak sembarangan.

Sebuah bohlam dua puluh lima watt terpasang di langit-langit ruangan, memancarkan sinar remang yang membuat Andari sulit menyesuaikan pandangannya. Asap rokok bertebaran di mana-mana, menyesakkan seisi ruangan seperti lapisan kabut tebal. Di salah satu sudut, Andari melihat setumpuk piring kotor yang ditemani beberapa pasang sendok garpu.

Seorang pria muda duduk di salah satu meja kayu tadi, badan membungkuk sedekat mungkin ke permukaan meja, memandangi selembar halaman surat kabar. Ia mengenakan kaus longgar dan sepasang celana jins belel yang penuh lubang.

Aysha berjingkat mendekati pemuda itu, menyergapnya dari belakang sambil menghujaninya dengan kecupan sayang. Mereka bertukar sapa dalam bahasa yang tidak dimengerti Andari.

“Siapa namamu? tanya Ahmed dengan suara serak, tanpa membalikkan tubuhnya untuk menghadap Andari.

“Andari, jawab Andari, menyesakkan kedua tangannya di dalam saku celana, enggan bersentuhan dengan benda-benda yang mengelilinginya. “Kau sendiri?

“Ini Ahmed, tukas Aysha cepat, bersandar di pundak pemuda tadi. “Ahmed, ini teman baruku, Andy.

Kontan Ahmed berbalik badan, memandangi Andari dari ujung kepala hingga kaki, disusul oleh tawa. “I see. Ahmed mengangguk, seolah menemukan sesuatu dalam diri Andari, yang bahkan Andari sendiri tidak mengetahui. “Kau mau minum? Anggur, soda, air putih?

Andari menggeleng.

“So, Andy, panggil Ahmed, beranjak dari duduknya, berdiri di samping Aysha dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Kulitnya kecokelatan, rambutnya ikal berwarna hitam. Hidungnya mancung, tulang pipinya tinggi dengan rahang menonjol. Bibirnya tipis, seperti wanita, dan pelafalan Inggris-nya kental akan aksen asing.

Walau terpaksa, Andari menurut. Ahmed mulai bercerita. Nadanya tidak diangkat tinggi, dan di wajahnya tidak tersirat apa-apa, kecuali isi cerita itu sendiri. Ia bertutur layaknya seorang ahli sejarah, membeberkan fakta demi fakta, yang entah kebenarannya bisa dipercaya atau tidak.

Tahun yang dipilihnya adalah 1968, saat Israel pertama kali menyerang Lebanon demi mengusir kekuatan Palestina dari Beirut. Ditunjuknya potongan surat kabar yang terpampang di dinding, direkatkan oleh potongan isolasi yang menguning termakan waktu.

Semuanya terasa seperti kursus sejarah negeri Lebanon yang dipaparkan dengan sistem kilat, hingga sekonyong-konyong kepala Andari dipenuhi oleh data-data baru yang tidak pernah ia pedulikan sebelumnya.

Takut ada waktu yang terbuang sia-sia, Ahmed beralih pada masa-masa kritis di Lebanon. Kudeta, pembunuhan massal, bombardir jet perang Israel yang terbang di langit Beirut, gedung-gedung yang runtuh, sekumpulan warga yang berlari ketakutan di tengah serangan udara, mayat-mayat yang bergelimpangan memenuhi seisi kota, mobil-mobil yang habis terbakar, dan atap rumah yang rata dengan tanah.

Di samping itu, masih ada potongan surat kabar lain yang menampakkan sejumlah masyarakat menangisi keluarga mereka yang tewas. Seorang bocah perempuan yang berdiri tidak jauh dari tubuh seorang wanita yang mati diledakkan granat, seorang pria yang sedang menggendong bayi sekarat di pelukannya, berteriak histeris entah kepada siapa.

Andari merasa mual melihat gambar-gambar itu. Perutnya keram. “Cukup,” katanya menyudahi. Bibirnya gemetar.
Ahmed menarik lengannya dari pundak Andari, mengambil sebatang rokok dari sakunya, dan menyulutnya dengan korek api. “Kalau begini saja kau sudah tidak tahan, kau takkan kuat melihat kenyataannya.”

“Aku tetap tidak mendukung kekerasan,” sanggah Andari. “Apa yang terjadi di negaramu, dan apa yang terjadi di kota ini beberapa hari yang lalu seharusnya tidak boleh terjadi.”

Mendengar ucapan Andari, Ahmed lekas melemparkan tatapan tajam pada lawan bicaranya. “Kau pernah merasakan peluru besi menembus permukaan kulitmu dan mematahkan tulang rusukmu?” tanya Ahmed dengan rahang terkatup rapat.

“Tidak,” jawab Andari.

“Pernah menyaksikan seluruh anggota keluargamu hangus terbakar dan kau hanya bisa terdiam, tanpa berani melakukan apa-apa untuk menyelamatkan mereka karena kau sendiri takut mati?” tanya Ahmed lagi.

“Tidak.”

“Pernah merasakan tikaman pisau di dadamu, oleh orang-orang yang pernah kau anggap teman?”

“Tidak.”

“Kalau begitu, jangan sok tahu!” bentak Ahmed, dengan nada jengkel. Ia mengurai napasnya dan melayangkan jari telunjuknya ke muka Andari. “Kamu tidak punya hak menghakimi kami. Tanganmu yang halus tidak pernah merasakan kasarnya tulang di dalam dagingmu. Kulitmu yang kecokelatan tidak pernah sekali pun bertemu dengan kobaran api menyala, yang mampu meng­hanguskan baja. Kukumu rapi terpangkas, sepatumu mengilap disemir, dan kau hidup di tengah manusia-manusia berpakaian jas dan gaun mewah. Jangan bandingkan kemanusiaanmu dengan kami. Jangan berpikir hanya karena kau sering membaca koran maka kau tahu segalanya. Kau tinggal di pusat dunia, kami tinggal di dalam bunker. Setiap hari kau bisa membeli makanan apa saja yang kau mau, sedangkan kami mengudap yang tersisa.”

Andari mundur selangkah, menjaga jarak, mendadak pengap.

“Kau tangisi nasib mereka sekarang, Andy,” sambung Ahmed, tanpa berkedip. Andari mulai membenci nama panggilan itu. “Kau pikir dunia begitu kejam kepada mereka. Tapi, kau harus bisa melihat sisi yang lain. Bagaimana dengan perlakuan mereka pada kami? Itukah keadilan? Itukah perdamaian? Saat kami jatuh terpuruk, tidak ada seorang pun yang peduli. Namun, ketika mereka yang jadi korban… seluruh dunia menangis sedih.”

Ahmed mengatur napasnya yang mulai memburu kesal, masih belum selesai dengan monolognya.

“Mereka ingin menghabisi semua peradaban di Timur Tengah, tidakkah kau tahu itu? Mereka ingin menghabisi kami!” kata Ahmed panjang lebar, matanya kini berkilat marah. “Kalau semua terserah padaku, aku ingin hancurkan setiap manusia yang menganggap dirinya superior!”

“Ahmed,” Aysha membuka mulutnya, hendak mengatakan sesuatu, tapi kobaran api dalam dada Ahmed sudah telanjur merajang setiap hati yang mengelilinginya.

“Kau mau membela pecundang ini, eh?” hardik Ahmed tiba-tiba, membuat wanita muda itu terkejut.

Kemudian, Andari merasa genggaman tangan Aysha, menyampaikan isyarat agar Andari tidak memulai perseteruan yang tidak perlu.

Aysha menghampiri Ahmed dengan senyum terpajang di wajah, bak seorang aktris Hollywood yang sedang menerima arahan sutradara. Suaranya lembut, berbisik di telinga Ahmed hingga Andari tidak bisa mendengar.

Kilat di mata Ahmed sekonyong-konyong sirna dan berubah menjadi pancaran sayang, ketika ia merangkul bahu wanita muda di sisinya. Seraya mengisap puntung rokoknya, Ahmed menunjuk ke sebuah potongan koran yang memperlihatkan seorang bocah perempuan berdiri di samping mayat wanita yang tubuhnya sarat akan serpihan granat.

“Lihat wajah malaikat kecil itu,” kata Ahmed, melirik pada figur bocah perempuan di dinding. “Tidakkah ia membuat hatimu hancur berkeping-keping?”

Andari merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia mengangguk.

“Lihatlah dia sekarang,” anjur Ahmed, meletakkan sebelah tangannya di bawah dagu Aysha.

Andari terkesiap, seolah terempas jatuh dari langit. Bisu.

Dalam perjalanan pulang, mereka tidak berbicara. Karena tidak dapat tempat duduk di dalam kereta, mereka berdiri dan berpegangan pada selongsong besi yang tersangkut memanjang di atas kepala. Andari memunggungi Aysha, dan begitu pula sebaliknya. Punggung mereka bersentuhan sesekali, bila kereta yang mereka tumpangi berhenti mendadak dan menggoyahkan posisi mereka.

Andari menatap wajah-wajah asing yang duduk di hadapannya. Seorang ibu-ibu berkebangsaan Latin, terbungkus dalam seragam kerjanya yang menampakkan logo sebuah restoran cepat saji di bagian dada, sedang membaca majalah. Seorang pria tunawisma, mengenakan jas overcoat lusuh, menatap kosong ke arah langit-langit kereta, mungkin membayangkan hidupnya di masa lain, saat dia tidak perlu berebut kursi taman untuk melewati malam. Seorang remaja berambut jabrik dengan anting-anting tertindik di hidung, telinga, bibir, melantunkan lagu singkat dari kedua bibirnya yang keunguan, karena kebiasaannya merokok. Seorang wanita muda berkulit hitam legam dengan rambut terkepang, memeluk sebuah tas ransel yang lusuh, mata terpejam, mencoba untuk mencuri-curi tidur sebelum tiba di tempat tujuan.

Andari bertanya-tanya, siapa di antara mereka yang menangis menyaksikan keruntuhan menara kembar di kota ini, siapa yang kehilangan sanak-saudara, siapa yang tidak peduli, siapa yang sempat menawarkan bantuan kepada paramedis yang bertugas, siapa yang ikut mendonorkan darah untuk para korban, dan siapa yang muak akan kekejian yang tak kunjung reda.

Andari mengeluarkan telepon genggamnya dari dalam saku, masih tidak ada sinyal. Ia menyelipkannya kembali ke dalam saku, seraya berpegangan erat pada batangan besi di atas kepalanya.

Menjelang pukul sebelas malam, Andari pamitan pada Aysha dan turun di pemberhentian di bilangan Brooklyn. Ia mampir ke sebuah toko serba ada di seberang apartemennya untuk membeli kartu telepon yang akan digunakannya untuk menelepon ke Jakarta.

Kunal Patel, pria kebangsaan India, si empunya toko, menegur Andari dengan ramah. Mereka bercengkerama selama beberapa menit, sebelum Andari menyampaikan niatnya untuk membeli kartu telepon internasional.

“Mau mengabari pada orang tuamu bahwa kau baik-baik saja, ya?” tanya Kunal, sambil membungkuk untuk mengambil segepok kartu telepon yang biasa dibeli pelanggannya. Ia menyisihkan selembar kartu untuk Andari. “Beberapa hari ini saluran telepon sedang terganggu. Untung saja masih ada e-mail. Ngomong-ngomong, apa kau juga akan kabur dari sini? Istriku sempat minta pulang ke Jaipur kemarin. Tidak tahan dengan situasi perang katanya.”

Kunal menggelengkan kepalanya, menyesali keputusan istrinya itu. “Menurutku, di mana pun kita tinggal, pasti ada saja perang yang timbul. Betul tidak?”

Andari tersenyum, tidak punya keinginan untuk berkomentar lebih jauh. Diambilnya kartu yang tergeletak di atas counter pembelian, dan diletakkannya di sana selembar uang bernilai lima dolar sebagai bayaran. Ia mengucapkan terima kasih pada si empunya toko, dan lekas memohon diri dari sana.

Di tengah jalan, melewati deretan toko lain yang sudah tutup, Andari mengamati telepon genggamnya lagi. Beberapa baris sinyal mulai terlihat di atas layar. Ia menggosok bagian kecil di belakang kartu telepon dengan ujung kuku untuk melihat nomor pin yang harus ia gunakan untuk menelepon ke luar negeri. Empat belas angka. Andari menekan setiap digit yang tertera di teleponnya, kemudian menekan serentetan digit lain yang dihafalnya luar kepala.

Nada tunggu. Tidak ada jawaban.

Andari mematikan telepon genggamnya, sambil terus melangkah menuju kompleks apartemen yang ia tinggali. Sendi-sendi tubuhnya meronta.

“Hei,” tiba-tiba suara itu mengejutkannya. Andari menoleh ke belakang, mendapati Aysha sedang berdiri dengan dua tangan tersembunyi di balik badan. “Maaf kalau aku membuatmu terkejut.”

Andari melirik ke kiri dan kanan, kalau-kalau saja wanita muda itu tidak datang sendirian. “Kukira tadi kau langsung pulang,” celetuk Andari.

Aysha menggeleng, tersenyum simpul. “Aku ingin tahu di mana kau tinggal.”

Andari menatap gedung apartemennya yang bertingkat tiga. “Di sini.”

Aysha menengadahkan kepalanya, menatap ke atap gedung. “Lumayan.”

Andari mengeluarkan sebuah kunci dari saku kemejanya, mendorongnya ke dalam lubang kunci. “Kau mau masuk?”

Aysha mengangkat bahu. “Mungkin,” bisiknya.

“Mungkin?”

“Kalau kau tidak keberatan,” lanjut Aysha.

Andari mendorong pintu dengan telapak tangannya dan mempersilakan wanita muda itu masuk. Apartemennya berukuran studio, tidak terlalu besar, hanya cukup untuk ditempati oleh single occupant dengan satu kamar tidur, satu kamar mandi, dan sepetak kecil dapur yang tergabung dengan ruang tamu. Andari bahkan tidak mempunyai perabotan memadai.

Di kamar tidurnya hanya ada sebuah ranjang dan meja tulis sederhana. Di dapurnya, sebuah kardus pindahan yang biasa ia gunakan sebagai tempat duduk. Di ruang tamunya, sebentuk kursi lipat dan selembar selimut sebagai alas berbaring. Tidak ada televisi, radio, atau media hiburan lainnya. Hanya seonggok buku, koran, dan laptop, yang kabelnya masih tercolok di dinding. Banyak barangnya yang masih tersimpan rapi di dalam kardus.

“Minimalis, ya?” goda Aysha.

Andari melepas jaket yang dikenakannya, lalu mengempasnya ke atas ranjang. Ia beranjak ke dapur, mengambil dua buah gelas yang digunakannya untuk menadah air ledeng. Salah satunya ditawarkan kepada Aysha.

“Maaf, hanya ini yang aku punya,” tutur Andari, pipinya merona merah karena malu. “Aku belum sempat belanja.”

Aysha meneguk air itu sampai habis, lalu meletakkan gelasnya ke dalam bak cuci piring. “Sudah berapa lama kau tinggal di sini?” ia bertanya.

“Oh, entahlah,” jawab Andari, menghitung bulan dan tahun di dalam kepala. “Sekitar dua tahun.”

“Dua tahun?” Aysha terbelalak. “Dan kau belum beli perabotan sama sekali?”

Andari terkekeh. “Biasanya aku sibuk bekerja sampai malam, lalu pulang untuk tidur. Aku selalu menunda untuk membeli perabotan, karena aku pikir bisa dilakukan besok, besok, dan besoknya lagi. Siapa yang tahu, ‘besok-besok’ itu berlangsung sampai dua tahun?” Andari tergelitik memikirkan kebiasaan buruknya. “Lagi pula, aku jarang ada di sini.”

“Bagaimana dengan pacar-pacarmu?” selidik Aysha, setengah bercanda. “Mereka tidak keberatan?”

“Oh, itu…,” Andari berusaha menjawab dengan lelucon, tapi tidak ada yang terlintas di kepalanya. “Entahlah. Kau sendiri bagaimana?”

Aysha menggedikkan pundaknya, seolah membiarkan topik itu berlalu. “Kau lapar?” tanya Aysha tiba-tiba, seraya membuka-buka kabinet di dapur Andari, mengecek bahan-bahan yang ada.

“Lapar juga, sih,” Andari mengangguk, menatap jam tangannya. Lewat tengah malam. “Mau pesan delivery?”

Sambil membelakangi Andari, Aysha menggeleng. “Tidak usah. Aku bisa menyiapkan sesuatu untukmu.”

“Jangan repot-repot,” tolak Andari dengan halus.

“Setelah apa yang kulakukan padamu hari ini, setidaknya aku bisa memasak untukmu,” bantah Aysha, diiringi tawa renyah.

Andari duduk berselonjor di atas selimut yang terhampar di ruang tamunya, mengawasi gerak-gerik Aysha dari belakang. Denting kuali dan spatula terdengar seperti musik di telinga Andari. Api tampak menjilat-jilat pantat kuali di atas kompor. Ia sendiri bukan orang yang suka memasak, tapi ia selalu mengagumi mereka yang suka memasak, yang bisa meracik bumbu-bumbu mentah menjadi sebuah hidangan istimewa. Seperti malam ini, Aysha menyajikan sepiring nasi cherry dan kebab ayam, meski Andari yakin kulkasnya kering kerontang.

Di atas lantai ruang tamu, mereka menyantap hidangan makan malam dengan lahap. Aysha terus menawarkan porsi lebih untuk Andari, dan jika Andari menolak, maka ia akan mengatakan bahwa Andari terlalu kurus, perlu diberi gizi cukup, supaya bisa bekerja dengan baik. Andari tertawa melihat kelakuannya.

Mereka bercakap-cakap tentang pengalaman mereka di New York, tentang impian mereka, tentang kepulangan mereka suatu hari ke tanah kelahiran masing-masing. Gelak tawa mereka mengisi malam senyap.

Selesai makan malam, mereka kembali duduk di atas hamparan selimut, ditemani segelas air putih. Aysha tidak mengatakan apa-apa tentang Ahmed yang mereka temui malam itu, tapi ia banyak bercerita tentang pengalamannya sebagai gadis kecil, menelusuri petak demi petak kota kelahirannya. Sesekali suaranya bergetar, seolah sedang memerangi air mata yang hendak tumpah, dan sesekali ia berhenti bicara, menyerapi kesunyian yang menyelimuti mereka.

Diam-diam, Andari meratapi nasib wanita muda yang sedang duduk di hadapannya. Diam-diam, ia berhasrat untuk merengkuhnya ke dalam pelukan, menciumi habis setiap jengkal tubuhnya. Ia ingin senantiasa menatap ke dalam sepasang mata Aysha yang dipayungi oleh bulu-bulu lentik yang mencuat dari tepi kelopak matanya. Merasakan bibirnya yang ranum. Mengubur wajahnya di lekuk leher Aysha yang jenjang. Membiarkan lidahnya menelusuri pori-pori kulit Aysha, seperti wanita muda itu pernah menelusuri jalan-jalan kota Beirut.

“Kau satu-satunya teman yang kumiliki sekarang,” Aysha mengerutkan dahi, nada bicaranya lirih, mengenyakkan Andari dari lamunan singkat.

“Maksudmu?” tanya Andari.

“Kau satu-satunya orang yang bisa aku ajak bicara, selain keluargaku, tentunya,” balas Aysha dengan berat.
Andari diam.

Aysha tersenyum. “Boleh, ‘kan?”

“Tentu,” bisik Andari. “Aku akan jadi temanmu selamanya.”

“Janji?” tuntut Aysha.

“Janji,” Andari mengiyakan.

Dari kisi-kisi jendela, Andari melihat rangkaian gugus bintang yang membentang di langit luas. Pikirannya melayang entah ke mana. Nalurinya terbang bebas, mencari rahasia kehidupan yang tersembunyi di balik awan.

Sejak bencana yang menimpa kota tempat tinggalnya beberapa hari lalu, ia jadi kerap kehilangan fokus. Jiwanya menolak untuk menetap, melainkan sibuk berlompat-lompat ke alam lain. Benarkah tragedi ini milik bangsa Amerika saja? Ataukah ia, sebagai warga dunia, seharusnya ikut merasa bertanggung jawab? Benarkah apa yang dikatakan Ahmed, bahwa ia telah mengkhianati imannya sendiri karena membela orang-orang yang menjadi korban bencana? Kepada siapakah ia sebenarnya mengabdi? Manusia, agama, atau negeri?

Jika ia termasuk dari sekian banyak korban yang berakhir di dalam kantong mayat, Andari bertanya-tanya pada dirinya sendiri, apakah yang akan paling ia sayangkan? Bahwa ia belum sempat keliling dunia? Bahwa ia belum menggapai cita-citanya untuk menjadi pengusaha muda sukses? Atau, bahwa ia tidak per­nah merasakan cinta tulus seorang wanita di usianya yang hampir menggapai tiga puluh?

Andari merebahkan tubuhnya, menatap langit-langit di atas kepalanya. Dadanya bergerak naik-turun, melawan setiap desakan nafsu yang tiba-tiba memenjarakannya.

“Apa yang kau pikirkan?” tanya Aysha, berbaring di sampingnya.

“Entahlah. Mungkin semuanya.”

“Aku minta maaf soal Ahmed,” ujar Aysha. “Seharusnya aku....”

“Dia punya alasan untuk berbicara begitu. Seandainya saja aku bisa mengerti apa yang kalian rasakan.”

“Kenapa?”

“Tidakkah itu akan membuatku menjadi seseorang yang lebih baik?” tanya Andari.

“Karena kau membenci apa yang kami benci?”

Andari menggedikkan bahunya. “Mungkin,” katanya.

“Jangan konyol,” sahut Aysha. “Perang kami bukan perangmu.”

“Benarkah begitu? Karena selama ini aku selalu berpikir bahwa di dunia ini, saat jati diri kita tercerai-berai dalam penggolongan suku, ras, status ekonomi, dan lainnya, satu-satunya hal yang bisa mempersatukan kita sebagai manusia adalah agama. Dan kalau kita tidak mampu membantu sesama kita yang....”

“Andy, Aysha melarikan jemarinya ke atas lengan Andari, meng-hentikan kalimatnya. “Apa kau benar-benar percaya semua itu?

“Maksudmu?”

“Kau percaya bahwa agama adalah penyebab kita saling memerangi satu sama lain?”

“Bukankah itu yang kau perjuangkan sekarang?”

Aysha menatapnya, lama. “Semua ini tidak ada hubungannya dengan agama. Hanya politik yang tak kenal manusia. Kau mungkin berpikir bahwa aku punya alasan untuk bersuka cita di atas penderitaan orang lain.” Wanita itu menghela napasnya sebelum melanjutkan, “Muslim macam apakah aku, bila aku menyimpan niat-niat buruk seperti itu? Kenyataannya adalah bahwa tidak ada satu hal pun yang dapat menghapus sejarah. Semua yang sudah terjadi tidak bisa kita batalkan. Aku tidak pernah berkata bahwa aku senang melihat menara kembar itu jatuh. Aku hanya berkata bahwa….”

“Mereka pantas mati. Itu yang kau katakan padaku,” celetuk Andari mengulangi pernyataan Aysha sebelumnya.
Aysha mengangguk. “Karena apa yang telah dilakukan negeri ini,” katanya blak-blakan. “Bukankah itu hukumnya? Mata dibayar mata, nyawa dibayar nyawa?”

“Dan itu keadilan yang kau pegang teguh?” tanya Andari.

“Aku tidak tahu apakah ada keadilan di dunia ini,” jawab Aysha, pasrah. Matanya menerawang jauh menembus langit-langit di atas mereka. “Mungkin, selama ini aku salah. Tapi....”

“Ah, ya. Tapi…,” Andari tersenyum menggodanya.

“Aku belum pernah melihat dunia ini seutuhnya, Andy,” bisik Aysha, seraya memandang Andari penuh makna. “Apa yang sudah kuutarakan padamu… aku tidak tahu apakah semua itu benar. Kalau kau sudah mengalami apa yang kami alami, kecil kemungkinannya kau akan berpendapat lain.” Aysha terdiam membisu selama beberapa menit, menimbang-nimbang perkataannya sendiri. “Kau harus mengerti bahwa dunia yang kau tinggali selama ini sangat asing bagi kami. Kau harus percaya bahwa aku tidak terlahir dengan niat untuk mencelakai orang lain. Bagaimanapun, jika kau melihat apa yang kami lihat....”

“Hasil akhirnya tetap sama,” Andari berkata, pelan. “Aku tahu.”

“Bukan,” sanggah Aysha. “Bukan itu.”

Andari mengerutkan dahinya, ingin tahu.

“Jika kau melihat apa yang kami lihat,” ulang Aysha. “Kau akan berlari seperti kami telah berlari. Menjerit seperti kami menjerit. Menangis seperti kami menangis, hingga tak ada air mata tersisa untuk ditumpahkan. Mungkin pada akhirnya kau juga akan membenci, seperti kami membenci semua yang kami anggap bertanggungjawab akan segala penderitaan dalam hidup kami.”

Aysha terdiam lagi, lalu berkata, “Suatu hari kebencian itu akan menelan kami hidup-hidup. Dan, aku tidak ingin hal itu terjadi padamu sebagaimana telah terjadi pada Ahmed.”

“Bukankah...,” Andari baru hendak bertanya, tapi Aysha mendahului, dengan cepat meletakkan jemarinya di atas bibir Andari.

“Tidakkah kau mengerti? Kau jauh lebih baik dari kami semua.” Aysha merendahkan kepalanya untuk mengecup tangan Andari, lalu menatapnya dengan serius. “Kau telah membebaskanku dari belenggu yang kukira takkan pernah lepas.”

“Memangnya aku sudah melakukan apa?” tanya Andari.

“Kau punya semangat,” jawab Aysha. “Kau punya mimpi dan harapan akan dunia yang lebih baik. Dunia tempat semua orang boleh hidup berdampingan bersama dengan perbedaan-perbedaan mereka. Suatu hari, aku berharap untuk tinggal di dunia seperti itu. Namun, saat ini kami hanya bisa berlari. Entah sampai kapan.”

“Kalau begitu berhentilah berlari,” kata Andari, lirih. “Toh, ada aku di sini. Aku takkan pergi ke mana-mana.”
Aysha tergelak manis, menyingkap sejuntai rambutnya ke balik telinga. “Kau bahkan tidak tahu siapa aku,” ucapnya.

“Kalau begitu biarkan aku mengenalmu lebih baik,” tukas Andari. “Bukalah duniamu untukku, dan persilakan aku masuk ke dalamnya. Merasakan semua yang pernah kau rasakan. Melihat semua yang kau lihat. Biarkan aku menangis seperti kau menangis.”

Aysha menggeleng sendu. “Sudah terlambat untuk itu,” katanya.

“Biarkan aku melindungimu,” lanjut Andari.

“Mungkin di masa lain.”

“Bukan di masa lain,” tegas Andari, menggenggam jemari Aysha seperti yang dilakukannya beberapa hari lalu di tengah peradaban Manhattan. “Sekarang dan selamanya.”

“Tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak ingin mengotori jiwamu,” jawab Aysha.

“Biarkan aku yang menilai,” sergah Andari.

Aysha mengulas senyum, diam seribu bahasa.

“Kau tahu, aku harus jujur padamu,” tutur Andari tiba-tiba, mengganti pokok pembicaraan mereka. “Aku sudah jarang beribadah. Aku juga tidak ingat ayat-ayat yang aku pelajari dulu di sekolah pengajian. Dan, karena jadwal kerjaku yang amat padat, aku menelantarkan banyak kewajibanku. Meski gajiku berkecukupan, aku tidak pernah memberi sedekah.”

Aysha tertawa mendengarnya. “Kau juga minum, merokok, dan bercinta sembarangan,” ledeknya.

“Tidak ketiganya,” sergah Andari, membela diri. “Aku benci efek alkohol pada kepalaku, dan aku tidak tahan bau tembakau. Tapi....”

Tawa Aysha berderai.

“Dosa abadiku untuk menginginkan...,” lanjut Andari.

Andari tidak berkata-kata lagi, melainkan hanya menyentuh wajah Aysha dengan jemarinya. Ia belum berani. Tubuhnya seperti disihir menjadi sebongkah batu mati.

Kemudian, seolah membaca pikiran Andari, Aysha meletakkan telapak tangannya di atas pipi Andari. “Kau pasti ingin menyentuhku,” katanya.

Andari terperangah.

“Aku bisa melihatnya di matamu,” lanjut Aysha.

“Aku....” Andari tergagap, tidak tahu harus berkata apa.

“Jangan takut,” bisik Aysha di telinganya, mendaratkan sebuah kecupan di pipinya yang ditumbuhi rambut-rambut halus. “Aku ingin kau menyentuhku.”

Andari tidak tahu apa yang merasuki dirinya, tubuhnya bergerak seolah di luar kendalinya. Bibirnya memagut bibir Aysha, seolah ia tidak pernah mengenal bibir lain. Kulitnya terbakar setiap kali ia bersentuhan dengan Aysha. Dan, dengan setiap ciuman yang ia tanam di tubuh wanita itu, dunia seakan berputar di luar porosnya, menciptakan ribuan dunia baru yang tidak ia kenal.

Bercinta dengan Aysha, Andari kehilangan keperjakaannya. Meski begitu, ia tidak merasakan apa yang seharusnya ia rasakan. Hasratnya dengan cepat berubah menjadi rasa takut, dan jiwanya penuh akan pahatan masa lalu yang bukan miliknya.

Andari seolah terbawa jauh ke dalam arus yang mengisap kemanusiaannya, mengubahnya menjadi seekor binatang buas yang tidak pernah mengenal emosi. Ia meladeni setiap tetes nafsu yang bergolak dalam dirinya, dan dengan napas memburu ia pun memburu kesucian Aysha.

Entah bagaimana, dunia itu terbuka untuknya. Menelusuri setiap milimeter tubuh Aysha, Andari seolah menapaki setiap jengkal kota Beirut yang sarat akan kehancuran. Menyaksikan kematian yang melimpah di sekitarnya, mencium amis darah yang tertumpah percuma, mendengar jerit tangis sesamanya. Kawah-kawah baru bermunculan di atas bumi, hasil dari bom yang menghujan dari langit.

Hangus kulit terpanggang, busuk tubuh manusia yang tergeletak tanpa nyawa, asap yang meluap ke angkasa, menandakan tragedi yang tidak bisa dimengerti akal sehat. Bayi-bayi terbaring mati di balik lembaran kain putih. Anak-anak berlarian mencari tempat berlindung, atau terbunuh di tengah jalan. Seorang gadis kecil berdiri menemani tubuh seorang wanita yang tergolek tewas dengan wajah hancur terkoyak oleh serpihan granat. Gadis itu tidak menangis, tidak juga berkata-kata. Andari tidak bisa mengenyahkan bayangan itu. Meski matanya terpejam rapat, sosok bocah perempuan itu terus menghantuinya.

Perlahan-lahan, misteri yang terkunci rapat terkuak dengan sendirinya. Gadis itu berharap matanya buta, telinganya tuli, ikut mati bersama wanita yang tidak lagi punya nyawa di sisinya. Gadis itu terdiam karena ia tahu hidupnya juga telah berakhir.

Andari menyadari kebenaran tentang potongan surat kabar yang dilihatnya di ruangan kecil milik Ahmed. Ia mendadak termenung. Andari nyaris tersedak oleh air matanya sendiri, mengingat rupa gadis kecil yang kini telah menjadi seorang wanita muda yang berbaring telentang di sampingnya. Dibelainya rambut Aysha yang tebal dan panjang, membayangkan rapuhnya tubuh yang ada dalam dekapannya.

“Wanita di dalam foto itu...,” Andari mulai angkat suara.

“Sssh,” Aysha mendaratkan telunjuknya ke atas bibir Andari. “Jangan.”

“Ibumu?”

Aysha terpejam, sementara air yang bermuara di sudut matanya mengalir bagai arus sungai kecil ke atas pipinya. Andari menghapus jejak air mata itu dengan jemarinya, mengecup kedua kelopak mata Aysha penuh iba. “Maafkan aku,” bisik Andari.

“Kami berlari menuju bunker seperti yang diperintahkan oleh Baba,” desah Aysha di tengah isak-tangisnya. “Kami mengendap-endap sepanjang jalan, memastikan bahwa kami tidak berpapasan dengan tentara Israel, ataupun pesawat jet mereka yang beterbangan di atas kami. Baba memanggil dari jauh, meminta kami untuk berlari lebih cepat. Tapi, aku merasakan kedua kakiku amat letih, tidak bisa bergerak cepat, jadi ibuku harus menungguku. Dan, sebelum aku sempat menoleh, beliau...,” suaranya hilang ditelan malam, berganti dengan hening yang berkepanjangan.

Andari sudah tahu akhir ceritanya.

“Jangan menangis,” Andari berbisik. “Kalau kau menangis, aku akan ikut menangis.”

Aysha menghapus air matanya yang masih bercucuran.

“Apa aku menyakitimu?” tanya Andari, hati-hati.

“Tidak,” jawab Aysha.

“Kau yakin?”

Aysha tidak membalas pertanyaannya.

“Andari,” panggil Aysha untuk pertama kalinya. “Bawa aku bersamamu.”

Berbagai bendera berkibar dalam dada Andari, kemudian gugur satu per satu bagai tungkai plastik yang diembus angin kencang. Ia menyesali apa yang telah mengisi hari-hari Aysha, menyesali apa yang sedang mengisi hari-hari warga New York, tapi penyesalan takkan bisa mendamaikan hatinya yang kini tercerai berai antara ribuan dunia. Imannya goyah, mencari-cari Tuhan yang selama ini diagungkannya.

Ia ingin kembali salat lima waktu seperti dulu, sebelum waktunya tersita oleh kesibukan kerja. Ia ingin diampuni karena telah menodai lembah kewanitaan Aysha dengan nafsu duniawi. Ia ingin mengampuni wajah-wajah asing yang bertanggung jawab atas penderitaan sekian banyak orang, yang membuat dada dan kepalanya sumpek akan sosok kemanusiaan yang makin tidak sempurna.

Andari mengerang di puncak hasratnya yang habis dibanjiri peluh, tapi erangan itu terdengar seperti amarah tak bertuan. Erangan iblis bertanduk dua. Erangan anak manusia yang lelah diuji. Erangan pria dewasa yang kehilangan arah tujuan, tidak tahu jalan pulang.

Terbaring di samping Aysha, tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya, Andari membayangkan skenario kematiannya sendiri. Apakah ia akan mati mengenaskan seperti jutaan korban perang di dunia? Apakah ia akan mati di tempat tidurnya dengan anggota keluarga menungguinya? Apakah ia akan mati di sini, di tengah apartemen kosong?

Malam itu mereka terlelap tanpa bertukar sepatah kata. Tubuh mereka tergolek layaknya sepasang mayat yang ditelantarkan dalam kegelapan. Mimpi mereka bervariasi: ada surga, ada neraka, ada prajurit berjubah hitam datang menjemput dari langit kelam, ada taman yang dihiasi berbagai jenis bunga, ada kolam api yang menyemburkan lahar panas, ada reruntuhan jiwa yang tertinggal berurai di atas aspal, ada tawa, ada tangis, ada angin, ada hujan, hingga tidak sedetik pun sampai matahari kembali bersinar, mereka tersentak dari tidur.

Menjelang pagi, Andari membuka matanya dan menatap ke silaunya sinar surya yang menembus jendela apartemennya. Ia me­nguap, meregangkan otot tubuhnya yang pegal karena semalaman tertidur di atas lantai kayu. Betapa terkejutnya ia mendapati dirinya tergeletak seorang diri di sana.

Andari segera mengenakan pakaiannya, mengambil kunci apartemen yang masih tersangkut di pintu, dan melesat menerobos kerumunan pejalan kaki yang bergumul di jalan-jalan. Sambil berlari kecil, matanya mencari dengan teliti, menyeleksi setiap sosok yang ia temui, dan dengan napas terengah-engah mengelilingi blok apartemennya tanpa hasil.

Ia mengutuk diri, karena tidak pernah menanyakan alamat atau nomor telepon Aysha, sehingga sekarang ia tidak tahu bagaimana harus mencarinya. Ia bertanya pada setiap penjaja makanan yang berdiri di sudut-sudut jalan bersama gerobak jualan mereka, mencoba menggambarkan perawakan Aysha sejelas mungkin, na­mun semua menggelengkan kepala. Tidak ada wanita dengan gambaran tersebut melewati jalan ini.

Andari menggaruk kepalanya, kesal. Dengan pakaian kotor tersangkut di badan, ia berdiri di tengah hiruk-pikuk warga kota yang tengah menyiapkan diri untuk kegiatan mereka masing-masing. Kakinya tidak beralas. Ujung kemejanya dibiarkan menjuntai keluar dari balik sabuknya. Udara dingin yang berembus membuatnya gemetar, tapi ia tidak peduli.

Ia harus menemukan Aysha.

Sepanjang pagi, Andari mendatangi tempat-tempat yang pernah ia kunjungi bersama Aysha, mengikuti jejaknya sendiri. Dari satu pemberhentian ke pemberhentian lain, Andari terus mencari. Ia mampir di setiap toko di kawasan Soho yang disukai Aysha, masuk ke dalam gedung teater tempat mereka menonton film, duduk di dalam teater tempat mereka menyaksikan pertunjukan opera, berlari melalui jalan-jalan setapak di Central Park, menumpangi kapal feri yang berlayar menuju Ellis Island, berdiri di samping Monumen Liberty. Tetap nihil.

Ia berusaha mengingat tempat yang mereka singgahi di Queens, namun ingatannya tidak mau bekerja sama. Membuatnya tersesat.

Dengan panduan buku telepon, ia mencari semua nama yang dimulai dengan Aysha dan menekan nomor-nomor mereka, berharap salah satunya akan membawa hasil. Nihil. Ia duduk di depan laptop dan mengetik nama Aysha di dalam internet search engine, namun yang keluar adalah nama-nama figur bersejarah yang tidak ada hubungannya dengan orang yang sedang ia cari.

Ia menghubungi salah seorang temannya di kepolisian dan memohon untuk dicarikan lewat database negara bagian seseorang bernama Aysha dengan ciri-ciri yang tergambar di kepalanya. Masih nihil.

Seharian Andari termangu di apartemennya yang mungil, menunggu di samping telepon, kalau-kalau Aysha mencoba mengÂ-hubunginya. Tapi, hanya sepi yang datang. Begitu malam turun, harapan Andari ikut sirna bersama senja yang memudar. Dan air mata yang selama ini ia tahan di dalam kerongkongan mulutnya akhirnya tumpah tak tertahankan.

Di bilik kantornya, di atas gedung perkantoran berlantai empat puluh, Andari duduk menatap layar komputer yang menampilkan sederet angka tanpa makna. Tragedi 11 September yang terjadi minggu lalu kini hanya tinggal cerita, dibiaskan oleh layar televisi di seluruh negeri, menjadi bahan pembicaraan yang masih hangat dan mengena, meski semua sudah berlalu bagai mimpi buruk.

Saat jam makan siang, Andari turun ke lantai dasar untuk membeli segelas kopi hangat dan sebuah bagel bertabur wijen, yang kemudian ia olesi dengan krim keju. Ia duduk di meja kayu yang terletak di belakang gedung, menghadap ke arah sebuah taman kecil yang sengaja dibangun sebagai dekorasi, menatap ke halaman gelanggang olahraga di koran New York Times, mencari skor playoffs antara tim baseball kesukaannya, The Red Sox, yang baru saja bermain melawan The New York Yankees semalam.

Pukul lima sore, ketika kebanyakan koleganya mulai membereskan tas kerja mereka dan bersiap untuk pulang, Andari tetap duduk di mejanya, di dalam kungkungan biliknya, memandangi angka-angka yang tampak berbaur dan membentuk wajah Aysha.

Dari jendela kantornya, ia bisa melihat sepasang cahaya putih yang mencuat dari dalam tanah menyambut bintang di langit, menembus gelapnya malam, di mana menara kembar dulu berada.

Niatnya untuk bisa menjalankan salat lima waktu kembali tertunda, dan hari-harinya berlalu makin cepat, mengikuti arus pekerÂ-jaan yang tak ada habisnya. Bagai mayat hidup ia naik-turun subway, menelusuri jalan-jalan kota New York yang selalu padat akan pejalan kaki, makan di kedai-kedai restoran yang sering didatanginya sejak dua tahun yang lalu, duduk di bar-bar malam menenggak dry martini sampai ia merasakan kepalanya berat, mengikuti ajakan rekan kerjanya untuk pergi berwisata ke Long Island dan bermukim di sebuah rumah sewaan, berbaring di depan perapian, tanpa merasakan hangat yang berlebihan.

Sesekali ia menghubungi kerabatnya di Jakarta, menanyakan kabar mereka, bersenda gurau dengan adiknya hanya sebagai basa-basi, bersopan-santun kepada orang tuanya, karena itu kewajibannya sebagai anak.

Menjelang awal musim dingin, ada desas-desus bahwa Amerika akan melancangkan perang melawan Irak. Ada desas-desus bahwa seorang gembong teroris menantangi Amerika akan sebuah perang biokimia yang takkan terlihat ujung pangkalnya. Berbagai macam upaya pencegahan dirancang oleh para jenderal berbintang lima, dikepalai oleh sang presiden yang sejak kejadian bulan September lalu jadi sering muncul di layar televisi.

Ada desas-desus bahwa kedua pesawat yang menabrak menara kembar di tengah kota New York, dan dua pesawat lain yang menghantam markas tentara Pentagon di Washington, D.C. dan yang tumbang di Pennsylvania, dibajak oleh sejumlah teroris yang sempat menuntut ilmu di sekolah penerbangan di Florida. Ada desas-desus bahwa rakyat Palestina bersorak-sorai menyambut jatuhnya pusat perdagangan di New York, mengundang caci-maki dari berbagai pihak yang bersangkutan.

Lalu, ada juga sejumlah fakta yang dipublikasikan berulang-ulang, sulit diterima oleh hati nurani: metode pembajakan, rekamÂ-an pembicaraan antara para penumpang pesawat dengan keluarga mereka, kesaksian para korban yang sempat menyelamatkan diri dari runtuhnya menara kembar, data-data kecepatan pesawat di udara saat terjadi tabrakan, sampai jumlah tubuh manusia yang diduga masih terperangkap di bawah reruntuhan.

Andari berhenti membaca koran. Lima tahun mendatang, saat ia mulai membaca koran lagi dan mulai membiasakan diri untuk salat lima waktu sebagaimana diwajibkan kepadanya, ia akan membaca serentetan kejadian yang menyerang ketenteraman kota Beirut. Israel dan jet-jet perangnya akan kembali memborbardir Lebanon demi mengusir kekuatan Palestina keluar dari sana. Ribuan nyawa hilang tanpa alasan.

Sekali lagi, pertumpahan darah menghiasi setiap media massa di dunia. Gambar-gambar mengerikan yang mengiris hati kembali tampil sebagai headline, dan selama beberapa minggu serangan itu akan terus berlanjut, menyulut perang baru yang menyedihkan. Tapi, itu nanti. Sekarang, Andari puasa membaca koran. Mencoba untuk tidak peduli.

Andari hanya ingin mencairkan hatinya yang makin membatu dengan jalannya waktu. Setiap malam ia pergi bersama rekan-rekan kerjanya untuk merayakan lajang mereka, berkaraoke di bar, menyanyikan lagu-lagu lama karya Frank Sinatra, Nat King Cole, Engelbert Humperdink, dan menyaksikan gadis-gadis penghibur berdansa di hadapan mereka. Mencoba menu restoran baru yang mulai bermunculan di seluruh pelosok kota, mencicipi masakan berbagai bangsa. Berjoging di tepi Sungai Hudson sebelum matahari terbit, memeras keringat, dan melahap sarapan di kedai kopi terdekat

Menerima tawaran kencan buta dan bercumbu di dalam bioskop, membiarkan penari telanjang berambut pirang dan bermata biru berdansa di atas pangkuannya di dalam klub eksotis, bercinta di kursi belakang mobil, dan bercinta lagi di kamar-kamar motel. Di akhir semua itu, ia kembali ke apartemennya yang kosong melompong seperti ruang dalam dadanya.

Suatu hari, saat salju mulai jatuh bertaburan dari langit, Andari berjalan bersama salah seorang rekan kerjanya di daerah Queens, hendak mencicipi sebuah restoran Padang yang terkenal masakannya di kalangan perkumpulan mahasiswa Indonesia.

Sambil menghindari genangan salju cair yang menitiki tepi-tepi jalan, Andari tidak sengaja melihat sebuah toko kelontong yang samar-samar ia kenal. Ia meminta izin pada rekan kerjanya untuk mampir sebentar, maka mereka pun masuk ke dalam toko tersebut.

Andari mengenali barang-barang keperluan rumah tangga yang menumpuk di sudut-sudut ruangan, di atas rak plastik yang sudah reyot, sama seperti ketika ia melihatnya dulu, untuk pertama kali, bersama Aysha. Mendadak harapannya tumbuh kembali.

Telinganya menangkap dengungan listrik yang merambat keluar dari balik lampu neon di atasnya, dan ia tersenyum. Tidak salah lagi, pikirnya.

“Permisi,” panggilnya. Ia menemukan sebentuk bel yang diletakkan di atas counter dengan secarik kertas bertuliskan: “bunyikan jika butuh bantuan” terpampang di sampingnya. Andari menekan bel itu berkali-kali, yang kemudian mengundang seorang pria Timur Tengah seusianya untuk keluar dari pintu yang dulu juga pernah dilewati Andari. Mulutnya penuh nasi.

“Maaf,” ujar si pria, sambil buru-buru mengunyah makanan dalam mulutnya. “Saya tidak mendengar Anda masuk.”?
Andari tersenyum kikuk. “Oh, maaf. Justru saya yang mengganggu makan malam Anda,” ujarnya menyesal.

Si pria mengibaskan tangannya di udara. “Ah, tidak,“? katanya. “Pelanggan selalu nomor satu. Ada yang bisa saya bantu?“

“Saya tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini,“? tutur Andari, malu-malu. “Tapi, beberapa bulan yang lalu saya sempat datang kemari bersama seorang teman, dan tampaknya ia kenal dengan orang yang bekerja di sini.”
Pria itu menatap Andari. Tidak mengerti.

“Well, teman saya itu tiba-tiba menghilang. Saya berharap Anda tahu di mana dia berada sekarang.”

“Siapa nama temanmu?” tanya pria itu.

“Aysha,” kata Andari, dadanya berdebar kencang menyebut nama itu.

“Aysha?” tanya pria itu, seraya mengusap kedua belah tangannya di atas selembar handuk kecil. “Anda sendiri siapa?”

Andari mengeluarkan kartu namanya dari dalam saku, meletakkannya di atas counter. “Nama saya Andari Maimar. Saya teman dekat Aysha,” kata Andari.

“Saya Khaled,” ujar pria itu, yang hanya melirik sekilas ke arah kartu nama Andari, tanpa mengulurkan tangannya untuk dijabat. “Saya sepupu Aysha.”

Andari bernapas lega, senyumnya mengembang lebar. “Oh, syukurlah, desah Andari. “Apa Anda tahu di mana dia sekarang?

“Anda belum tahu?”

“Tentang apa?” Harapan Andari mulai gugur seperti dedaunan pohon di luar sana dengan ranting yang bertengger kesepian.

“Aysha tewas saat tragedi September lalu,” kata Khaled, hati-hati. “Dia menerima panggilan kerja sebagai penjaga toko, dan....”

“Panggilan kerja?”

“Ya, beberapa hari sebelumnya ada seseorang yang mengabari bahwa ia diterima sebagai penjaga sebuah toko serba ada di sana.”

Andari tidak percaya apa yang didengarnya. “Maksudmu hari itu dia....”

“Tidak lama setelah kejadian itu, kami baru dipanggil oleh para petugas dan diminta untuk mengenali mayatnya,” jelas Khaled.

“Kapan tepatnya? Apa Anda ingat?” buru Andari.

Lawan bicaranya menengadahkan kepala, menyapu langit-langit di atas, menghitung hari dengan sepuluh jari tangannya. “Mung­kin dalam minggu pertama sejak itu, kau tahulah.”

Wajah Andari berubah pucat. Lidahnya kelu. Tubuhnya terasa begitu berat. Kakinya tidak mau beranjak pergi. Mungkinkah pagi itu pagi yang sama?

“Saya benar-benar minta maaf Anda harus mendengar semua ini sekarang,” kata Khaled, sembari menarik napas panjang. “Saya tidak tahu Aysha punya teman di sini. Biasanya dia sangat tertutup. Kami pikir hanya kami yang kehilangan dia.”

“Bagaimana dengan Ahmed?” tanya Andari.

“Ahmed?” Khaled mengangkat alisnya tinggi, terkejut mendengar nama itu. “Ahmed sudah lama meninggal.”

“Tapi, saya baru saja berjumpa dengannya,” tutur Andari, dengan suara terbata. “Dia bekerja di tempat ini.”

“Di mana?” tanya Khaled.

Andari menunjuk ke arah pintu yang ia lalui dulu, dari tempat tadi Khaled keluar menghampirinya. “Di dalam sana, di ujung koridor,” kata Andari.

“Koridor?” tanya Khaled mengulas senyum. “Anda yakin? Di balik pintu ini tidak ada apa-apa.” Khaled membuka pintu di belakangnya. “Lihat saja sendiri.”

Saat pintu dibuka, Andari mendapati sepetak ruangan kecil yang diisi oleh sebuah meja dan kursi. Di atas meja terdapat sepiring nasi dan lauk yang belum habis disantap dan segelas air putih yang sudah setengah diminum. Keringat dingin mengucur dari dahi Andari.

“Tapi, Anda kenal dengan orang bernama itu?” tanya Andari, menolak untuk menerima bahwa dua orang yang baru saja dikenalnya ternyata tak lebih dari sekadar bayangan imajinasinya.

Khaled mengangguk. “Semua orang pernah kenal dengan Ahmed,” tuturnya.

“Apa yang terjadi padanya?” desak Andari.

Khaled menutup pintu ruangan tadi, menggedikkan bahunya. “Perang,” jelasnya. “Beirut. Bersama teman-temannya ia duduk di sebuah mobil yang sudah dipasangi bom. Mereka berhenti di depan gedung kedutaan.”

“Bunuh diri?”

“Ceritanya sungguh simpang-siur. Saya sendiri tidak tahu jelas duduk perkaranya.”

“Dia juga kerabatmu?”

“Kerabat?” Khaled tertawa. “Bukan, Ahmed adalah pejuang bawah tanah yang menyelamatkan Aysha dari kepungan tentara Israel. Setelah keluarga Aysha terbunuh saat terjadi serangan udara besar-besaran, Ahmed menyembunyikan Aysha di sebuah bunker suram bersama pejuang ekstremis lain. Selama dua setengah tahun Aysha tersekap di sana, mencoba untuk kabur, tapi selalu gagal. Ahmed berniat menikahinya saat Aysha berusia 17 tahun, namun untungnya nasib berkata lain.”

“Menikah? Lalu....” Andari tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. “Lalu apa yang terjadi pada Aysha?”

“Kami menemukan dia secara tidak sengaja, tidak lama setelah pengeboman itu,” sahut Khaled. “Bersembunyi bersama anak-anak lain yang telah kehilangan sanak saudara mereka. Tubuhnya kurus kering. Matanya nanar. Termangu dalam posisi siap berlari ke mana saja kakinya hendak mengajaknya pergi. Ayahku menggendongnya sepanjang jalan menuju ke perbatasan kota. Kami pergi dari situ dengan bantuan seorang kenalan Baba di Kedutaan Inggris. Tapi, Aysha sudah kehilangan semangatnya, ia bahkan menolak untuk bicara selama bertahun-tahun. Baru belakangan ini ia mulai berbicara lagi kepada kami. Karena itu, kami tidak pernah menduga bahwa Aysha mempunyai teman.”

“Oh.” Andari menahan napasnya selama beberapa detik, dan mencoba tersenyum demi mengusir kebingungan dari wajah rekan kerjanya.

“Kau tidak apa, Andari?” tanya rekan kerjanya yang melihat wajah Andari mendadak berubah pucat pasi.

“Ya,” angguk Andari. Ia berusaha sekali lagi untuk tersenyum. “Ayo. Kau pasti sudah lapar, ‘kan?”
Mereka lantas pamitan pada Khaled, beranjak pergi.

“Tuan,” panggil Khaled, sesaat sebelum mereka melangkah keluar.

“Ya?” Andari menghentikan langkahnya.

“Kami sekeluarga akan mengadakan doa bersama di depan Ground Zero untuk memperingati kepergian Aysha besok pagi,” kata Khaled, menghampiri Andari. “Kalau Anda ingin datang, kami tidak keberatan.”

Jemari Andari melingkar di gagang besi yang tersangkut di pintu, tangannya seolah kehilangan tenaga untuk membuka pintu tersebut. Ia mengangguk, lalu menyusul langkah rekan kerjanya yang kini sudah berdiri di tengah salju tebal di luar. Lutut Andari lemas, dan mulutnya pahit. Belum lama mereka berjalan, Andari menepi ke sudut trotoar dan membungkuk seraya mengeluarkan isi perutnya ke tanah.

Pagi-pagi sekali keesokan harinya, Andari berdiri di hadapan Ground Zero. Sejumlah regu penyelamat masih bekerja keras untuk mencari sisa-sisa korban yang tertinggal di bawah reruntuhan gedung perdagangan dunia.

Di satu sisi terdapat lusinan karangan bunga dan surat-surat yang berisi ungkapan belasungkawa. Sejumlah foto hitam-putih yang terbingkai rapi juga ikut terpampang di antara memorabilia yang berserakan, kebanyakan milik kru dan penumpang pesawat yang menghantam kedua menara kembar di pusat kota New York beberapa bulan lalu.

Andari menaruh setangkai mawar merah di antara tumpukan bunga itu. Kemudian, ia tersentak ketika menemukan selembar potongan surat kabar yang tergeletak di tanah, halamannya basah oleh salju, menguning termakan waktu. Andari menatapnya lama-lama. Ingin menangis, namun tidak ada air mata yang keluar.

Dua tahun dari sekarang, Amerika akan mencanangkan perang melawan terorisme di seluruh pelosok dunia. Dua tahun dari sekarang, Amerika akan mengangkut putra-putri terbaiknya ke padang pasir di seberang lautan untuk memburu musuh-musuh lama. Gerakan militer dimobilisasi, jutaan massa dari berbagai belahan dunia melakukan demonstrasi tanpa mengindahkan perbedaan waktu demi mencegah jatuhnya korban sipil.

Presiden mereka akan dikecam karena tindakannya yang menye­babkan kerusuhan di negeri-negeri tetangga. Harga yang harus mereka bayar takkan murah, nyawa yang harus mereka tebus berlipat ganda. Dua tahun dari sekarang Saddam Hussein akan ditemukan dalam keadaan kotor di dalam lubang bawah tanah tempat ia bersembunyi. Tahun berikutnya, George W. Bush akan terpilih lagi sebagai Presiden Amerika Serikat mengalahkan Senator John Kerry dalam perlombaan yang menegangkan sekaligus tidak terduga.

Tapi, itu nanti. Sekarang....

Andari merendahkan tubuhnya ke tanah dalam posisi salat di tengah pagi yang cerah di musim dingin di kota New York. Meski mulutnya terasa getir dan ruang di dadanya hampa, setidaknya untuk saat ini ia boleh meratapi nasib para abdi negeri yang gugur tanpa harus mengambil sisi. Terus berharap bahwa suatu hari akan tercipta dunia baru, tempat mereka boleh hidup berdampingan tanpa harus saling membenci.

Musim akan terus berganti, malam datang dan pergi, tapi setidaknya untuk saat ini ia boleh bersimpuh di hadapan gadis kecil yang mencuri hatinya.

No comments: