12.22.2010

Gadis Oriental

Sebuah sedan mewah meluncur mulus, memasuki jalan raya perumahan elite di kawasan Bukit Kencana, Bandar Lampung. Yang duduk di belakang kemudi adalah Mirah Delima. Wanita cantik bermata besar, berwajah manis dengan tahi lalat kecil di pipi kirinya. Baru menikah satu tahun.

Di sebelah Mirah, Devina Sari Dewi, masih lajang. Kecantikannya sedikit lebih menonjol dibanding Mirah. Selain memiliki hidung bangir, Devina punya bentuk bibir sangat bagus, sepasang mata indah.

Dua sahabat ini tampak sibuk dalam perbincangan akrab, sampai akhirnya mobil yang mereka tumpangi tiba di depan pintu gerbang sebuah rumah besar bertingkat. Rumah besar dan mewah itu dijaga seorang petugas keamanan, yang duduk di pos kecil dekat pintu gerbang.

Mirah membunyikan klakson mobilnya, membuat petugas keamanan itu menoleh. Ketika mengenali Mirah, si petugas keamanan segera berlari menghampiri, sambil menekan tombol remote control pembuka gerbang. Gerbang pun terbuka secara otomatis. “Mobilnya mau dimasukkan ke garasi, Non?” petugas keamanan bernama Parman itu bertanya.

“Tidak usah,” Mirah menggeleng. “Kami cuma sebentar.”

Mirah memarkir mobilnya tepat di depan pintu garasi. Setelah mematikan mesin, ia mengajak Devina masuk.

“Sepi sekali,” gumam Mirah, seakan bicara pada diri sendiri. “Jangan-jangan Mami dan Sultan sedang keluar.”

“Tidak, Non,” Parman menyahut. “Ibu Fatimah ada di dalam.”

Bu Fatimah ibu kandung Mirah, yang ditinggal meninggal ayahnya 10 tahun lalu, sedangkan Sultan satu-satunya kakak Mirah.

“Non Vivian juga ada di dalam, Non. Bersama Pak Romeo.”

“Dia lagi?” Mirah membelalak sebal, mendengar nama Vivian disebut. Ia tidak pernah menyukai Vivian, kekasih Sultan.

“Iya, Non. Mereka semua sedang berada di taman belakang,” Parman jadi agak gugup, melihat wajah Mirah berubah kecut.

“Rumahmu ini terlalu besar, Mir. Biarpun sedang kedatangan beberapa orang tamu sekaligus, tetap saja akan kelihatan sepi.” Devina sengaja memberi komentar, agar Mirah tidak terlalu cemberut. Padahal, ia sendiri sebenarnya agak berdebar, bercampur cemburu, mendengar nama Vivian Chung disebut.

“Harusnya, setelah menikah, kamu jangan pindah rumah,” kata Devina, lagi. “Kasihan mamimu. Pasti kesepian.”

“Aku, sih, maunya begitu,” Mirah berkata dengan nada setengah menyesal. “Tapi, kamu tahu sendiri adat suamiku. Dia tidak mau tinggal bareng Mami dan Sultan. Takut dikira mendompleng mertua. Makanya, Dev, cepat kamu gaet Sultan. Biar mamiku punya teman ngobrol,” Mirah menggoda.

Sepasang pipi halus Devina merona merah.

“Sejak dulu aku sudah berusaha menjodohkanmu dengan Sultan. Tapi, kamu terlalu pemalu, sih,” kata Mirah, kesal.

Devina menghela napas panjang. Ia mengerti, Mirah dan Nyonya Fatimah selalu berusaha menjodohkan dirinya dengan Sultan, setiap kali ia bertandang ke rumah megah milik Mirah ini. Sultan memang sempat memperlihatkan rasa suka terhadap dirinya. Kalau saja Devina tidak terlalu malu untuk menyambut perhatian Sultan....

Kini, segalanya sudah terlambat. Sejak setahun lalu, Sultan berpacaran dengan Vivian Chung, gadis keturunan Tionghoa, pu­tri pengusaha kayu kaya. Vivian merupakan teman sekolah Romeo Indrajaya Kusuma, mitra usaha Sultan.

“Aku cari Mami dulu,” kata Mirah, sambil mempersilakan Devina duduk, lalu berlari ke ruang dalam untuk menemui ibunya.

“Mami!” Mirah berseru, saat ibunya keluar dari ruang dalam.

“Mirah! Kamu, kok, tidak datang selama satu bulan ini?” Nyonya Fatimah melotot sayang, sambil mencubit pipi putri bungsunya.

“Sibuk, Mi,” Mirah menjawab, sambil menggelayut manja di bahu ibunya. Sesekali, ia mencium pipi ibunya, yang masih tetap terlihat cantik, meski telah berusia lebih dari setengah abad.

Devina kadang-kadang iri terhadap Mirah. Nasib Devina memang tidak seberuntung Mirah. Walau Devina juga merupakan keturunan dari keluarga intelek, orang tuanya tidak semapan orang tua Mirah. Ayah Devina pada mulanya pengusaha timah cukup berhasil. Tapi, usahanya bangkrut, ketika Devina lahir. Celakanya, kebangkrutan itu membuat ayah Devina jadi seperti orang linglung, yang tak lagi mau bekerja. Mau tak mau, ibu Devina yang kemudian membanting tulang untuk mencari nafkah. Beliau berdagang ketoprak untuk menghidupi suami dan ketiga anaknya.

Beruntung, adik laki-laki ibu Devina memiliki kehidupan cukup mapan. Paman Devina itu bersedia menyekolahkan Devina dan kakaknya sampai tamat SMA. Kini, Devina dan kakaknya sudah bekerja dan dapat memberikan bantuan materi pada orang tua mereka. Namun, tetap saja kehidupan masih terasa keras dan harus dipenuhi oleh perjuangan, jika dibandingkan kehidupan Mirah yang serba nyaman dan terjamin.

Mendiang ayah Mirah adalah pengusaha barang antik cukup sukses. Selain memperjualbelikan barang antik asli dengan harga sangat tinggi, beliau juga memiliki pabrik, yang memproduksi replika barang-barang antik tersebut. Ketika beliau meninggal, Nyonya Fatimahlah yang meneruskan usaha suaminya. Setelah Sultan dewasa, Sultan pun ikut membantu.

Hal itu membuat Mirah tak pernah harus merasa khawatir akan hidup kekurangan. Bahkan, gadis itu tidak mempersoalkan kuliahnya, yang terpaksa putus di tengah jalan karena keburu menikah. Hanya, ia kini tinggal bersama suaminya, yang tidak memiliki rumah semewah miliknya. Meski begitu, pasangan pengantin baru itu tak kekurangan, karena bisnis barang pecah belah milik David cukup berhasil dan mampu menyokong hidup mereka.
“Ah... kamu kan tidak kuliah, tidak kerja, sibuk apa?” Nyonya Fatimah berpura-pura mengomel.

“Aduh, Mami, kok, nggak percaya! Mirah memang sibuk, Mi. Sekarang Mirah ambil kursus masak, bikin kue, kursus menata rumah, macam-macam, deh, Mi. Mirah kan sudah jadi ibu rumah tangga.”

Devina tersenyum melihat perdebatan itu Ia baru berdiri dari kursinya, mengangguk sopan, saat Nyonya Fatimah melihatnya.

“Eh, Devina. Apa kabar? Duh, kok, tambah kurus?” Nyonya Fatimah menyentuh lengan Devina yang sedikit kurus. “Jangan-jangan, pekerjaanmu terlalu memeras energi, ya?”

“Nggak juga, Tante. Ini kurus dengan sendirinya, kok. Saya juga nggak tahu jelas penyebabnya,” Devina menjawab pelan.

“Dia mikirin Sultan, Mi. Soalnya, Sultan nggak buru-buru melamar, sih!” cetus Mirah, dengan suara nyaring. Wajah Devina merah padam.

“Ah, itu bisa-bisanya Mirah saja, kok,” bantah Devina.
“Mi, suruh Sultan melamar Devina, deh. Kalau Devina keburu dilamar orang, Mami bakal susah cari menantu sebaik Devina!”

Biasanya, Nyonya Fatimah akan menanggapi dengan bersema­ngat, jika Mirah menjodoh-jodohkan Devina dengan Sultan. Tapi, kali ini ia terduduk lesu. Ada kemurungan terlukis di wajahnya. Devina dan Mirah bertukar pandang.

“Kenapa, Mi?” tanya Mirah, bingung.

Nyonya Fatimah menghela napas panjang. Ia menatap Devina dengan tatapan penyesalan dan kasih sayang. “Dari dulu Tante sela­lu berharap kamu yang jadi menantu Tante. Tapi, sekarang....”

Jantung Devina berdebar. Hatinya meraba-raba maksud ucap­an ibu Mirah. Apakah kata-kata itu merupakan pertanda bahwa peluangnya untuk jadi kekasih Sultan telah berakhir? Ataukah…?

“Sekarang kenapa, Tante?” Devina akhirnya tak dapat menahan diri. Sesaat ia sadar bahwa pertanyaannya itu telah mengungkapkan perasaannya secara tak langsung. Tapi, ia tak peduli lagi. Ucapan Nyonya Fatimah yang terpotong itu, entah kenapa, dirasakannya seperti vonis yang menyatakan bahwa ia tak memiliki harapan lagi untuk menjadi istri Sultan.

“Sekarang semua sudah terlambat.” kata Nyonya Fatimah, dengan suara sesak. “Sebentar lagi Sultan akan menikah dengan Vivian.”

Sepasang mata Mirah membelalak. Nyonya Fatimah mengangkat alis, sambil membuang napas. Ia tampak enggan menganggukkan kepalanya dan membenarkan pertanyaan putrinya.

“Kapan rencana ini pertama kali tercetus, Mi?”

“Dua minggu lalu,” jawab Nyonya Fatimah. “Sepertinya, Sultan sudah merencanakan ini jauh-jauh hari, tanpa memberi tahu Mami. Tahu-tahu, dia sudah pesan tempat di hotel dan sekarang sibuk menyiapkan undangan.”

Devina terenyak lemas di kursi. Dugaannya tadi sangat tepat. Harap­annya untuk bersanding dengan Sultan di pelaminan sirna sudah.

“Sekarang Sultan di mana, Mi?” tanya Mirah.

“Kamu mau apa?” Nyonya Fatimah yang sudah kenal betul sifat putrinya itu, tak segera memberitahukan. Ia tidak ingin terjadi keributan di antara kedua anaknya.

“Ah, dia pasti di kebun belakang! Awas, akan kumaki-maki anak bodoh itu! Masa mau nikah dengan perempuan yang genitnya minta ampun! Coba Mami bayangkan, setiap hari dia ke sini, nyam­perin Sultan, tapi nggak segan-segan gelendotan sama Romeo!”

“Mirah, tunggu!” Nyonya Fatimah berusaha mencegah putrinya yang hendak melabrak Sultan. Tapi, Mirah sudah keburu ke ruang dalam, yang menembus ke taman belakang.

“Aduh, anak itu selalu saja bikin ribut!” Nyonya Fatimah panik. Dia menarik tangan Devina untuk mengejar Mirah.

“Ayo, Devina. Jangan biarkan dia membuat keributan dengan abangnya!”

“Sultan!” Mirah berkacak pinggang di beranda belakang rumahnya. Ia melotot galak melihat Sultan, yang tengah duduk santai bersama Vivian dan Romeo di patio (tempat bersantai, lengkap dengan meja dan kursi), yang dipagari oleh tanaman.

Sultan menoleh, terkejut. Tapi, ketika melihat sosok Mirah, ia tersenyum lebar. Vivian yang menggelayut manja di pundak Sultan juga ikut menoleh. Tapi, gadis cantik bermata sipit itu segera dihadiahi tatapan galak oleh Mirah.

“Halo, Mirah, sapa Romeo, sambil melemparkan senyum ramah. Tapi, Mirah malah melengos. Bagi Mirah, senyum Romeo lebih mirip seringai lapar seekor serigala rakus.

Romeo memang mata keranjang. Gonta-ganti kekasih, seperti membalikkan telapak tangan. Pernah, ia terang-terangan mendekati Mirah, padahal saat itu Mirah punya kekasih. Setelah Mirah menikah, Romeo ganti mengejar Devina, sampai Devina sebal.

“Kita harus bicara, Tan.” Mirah mendekati patio, menatap abangnya dengan pandangan tajam. Meski enam tahun lebih muda dari Sultan, ia terbiasa memanggil abangnya dengan sebutan nama.

Vivian melirik Sultan. Gadis berwajah oriental itu seakan sudah dapat menerka apa yang hendak dibicarakan Mirah.

“Kamu mau bicara apa, Sayang?” Sultan bertanya, sambil menatap adiknya dengan sinar mata menggoda.

“Tentang pikiranmu yang nggak beres,” jawab Mirah, galak.

“Nggak beres?” Sultan pura-pura mengerutkan kening.

“Jangan main-main, Tan! Aku betul-betul mau bicara!”

Sultan tertawa melihat Mirah mengentakkan kakinya. Ia menoleh ke arah Romeo. “Coba kamu lihat adikku ini, Rom. Sudah menikah, tapi manjanya nggak ketulungan. Untung bukan kamu yang mendapatkan dia. Kalau kamu menikah dengannya, pasti kamu akan kerepotan menjinakkannya.”

Romeo tertawa lebar.

“Sssh! Jangan diganggu terus,” Vivian menempelkan ujung jari telunjuknya di depan bibir Sultan. “Nanti dia marah!”

“Kalau marah kenapa?” Sultan meraih jari Vivian dan menciumnya dengan lembut.

“Nanti situasinya jadi nggak enak…,” jawab Vivian, manja. Wanita itu menyandarkan dagu runcingnya ke dahi Sultan, sambil matanya melirik Mirah. Meski ia melarang Sultan menggoda Mirah, sikapnya itu seakan diperlihatkan untuk membuat Mirah bertambah kesal. Sejak dulu memang begitu. Makin Mirah memperlihatkan rasa tidak sukanya, makin atraktif pula Vivian memperlihatkan kemesraannya dengan Sultan.

Devina yang baru tiba bersama Nyonya Fatimah, tertegun melihat kemanjaan Vivian. Hati Devina serasa dicabik-cabik melihat lengan kokoh Sultan melingkar nyaman di pinggang Vivian, yang duduk berpangku kaki di atas paha kiri Sultan.

“Halo, Devina,” sapa Romeo, genit.

Devina melengos melihat mata Romeo mengerlingnya dengan tatapa­n penuh arti. Sudah kesal melihat kemanjaan Vivian terhadap Sul­tan, kini ia bertambah kesal melihat ulah Romeo yang menggodanya.

“Apa kabar, Dev?” Sultan menyapa Devina ramah. “Hari ini kamu kelihatan cantik sekali.”

Devina tersenyum kikuk menanggapi sapaan Sultan. Dadanya sempat berdebar saat Sultan melontarkan pujian. Tapi, debar itu lenyap, ketika menyadari bahwa pujian Sultan hanyalah basa-basi.

Sultan tersenyum pada Davina, yang di matanya memang terlihat cantik. Blus sutra berwarna hijau lembut membuat Devina tampak anggun. Tanpa sadar, Sultan memandangi Davina.

“Sultan!” jerit Mirah, kesal. “Aku mau bicara!”

“Kamu mau bicara apa, sih?” Sultan menatap Mirah dengan mimik wajah mulai tak sabar. “Kamu kan sudah menikah. Kalau mau bermanja-manja, temui David saja.”

“Baik,” kata Mirah, sambil mendengus kesal. “Karena kamu nggak bisa diajak bicara baik-baik, aku akan mengutarakan maksudku di sini saja. Di depan kedua temanmu!”

“Silakan,” Sultan menjawab, enteng.

Mirah menggeretakkan gigi, menarik napas dalam-dalam, sambil matanya menatap Vivian dengan pandangan sangat tajam. “Aku nggak setuju kamu menikah dengan dia!”

Vivian terkejut bukan main. Wajahnya merah padam.

“Jaga mulut kamu, Mirah!” Sultan membentak marah. Pria itu lalu menepuk pinggang Vivian dengan lembut. Memberi tanda agar gadis itu bangkit dari pangkuannya.

“Aku sudah berusaha menjaga mulutku,” kata Mirah, ketus. “Kamu yang tidak pernah berusaha menjaga sikap.”

“Maksudmu apa?” suara Sultan tak terdengar main-main. Tampaknya, dia tidak suka melihat Mirah mempermalukan Vivian.

“Sudahlah, Mirah…,” Nyonya Fatimah menarik tangan Mirah. “Kamu tidak boleh bersikap kurang ajar terhadap abangmu.”

“Tapi, Sultan sudah bersikap kurang ajar pada Mami!”

“Jangan begitu, Mirah. Abangmu tak pernah kurang ajar pada Mami,” kata Nyonya Fatimah, mendinginkan hati Mirah.

“Dulu memang tidak pernah. Tapi, sekarang? Menyelenggarakan pernikahan tanpa minta izin Mami lebih dulu, apa itu bukan kurang ajar namanya? Kalau ia sampai menikah dengan wanita ini, nantinya Sultan pasti akan kurang ajar pada Mami. Belum menikah saja Sultan sudah melangkahi wibawa Mami, hanya karena ingin menikahi gadis pujaannya ini!”

Plak! Tamparan keras tangan Sultan mendarat di pipi Mirah!

Mirah mengaduh, sambil memegang pipinya yang merah. Sepa­sang mata besarnya menatap Sultan dengan pandangan berapi-api.

Sultan terkejut, menyadari dirinya telah memukul adik kesa­yangannya. Ia menatap Mirah dengan menye­sal. Tapi, sebelum ia mengutarakan permintaan maafnya, tangan Mirah melayang.

Plak! Ganti Sultan yang ditampar oleh Mirah!

“Aku tidak sudi jadi korban telapak tanganmu!” bentak Mirah, galak. Ia sama sekali tidak terlihat takut, apalagi menangis. Ia terlalu galak, dan terlalu periang untuk bersikap cengeng di hadap­an orang lain. Tapi, hatinya hancur karena tidak mengira abang kesayangannya akan memukulnya seperti itu.

“Ini semua gara-gara kamu!” desis Mirah, sambil matanya menusuk Vivian dengan pandangan tajam. Setelah itu, ia membalikkan tubuhnya untuk kembali masuk ke dalam rumah.

“Ayo, Dev, tidak ada gunanya kita di sini!” kata Mirah, sembari memberi tanda agar Devina mengikutinya. “Mirah pulang dulu, Mi!”

Devina bimbang sesaat. Matanya menatap Sultan, berharap agar Sultan mengejar Mirah, menyudahi pertengkaran mereka dengan permintaan maaf. Ia merasa tidak enak melihat pertengkaran kakak-beradik itu, yang baru kali ini terjadi. Tapi, sikap Sultan sama sekali tidak menunjukkan untuk mengejar Mirah. Dengan kecewa, Devina membalikkan tubuh, mengikuti Mirah keluar.

“Mirah…,” panggil Nyonya Fatimah, bingung. Di satu sisi, ia ingin mengejar Mirah dan mencegahnya pergi. Di sisi lain, ia ingin membujuk Sultan supaya jangan terlalu marah terhadap adiknya. Ia menghela napas kesal, lalu mengejar Mirah dan Devina. Namun, sesampainya di beranda depan rumah, bayangan Mirah dan Devina sudah tak kelihatan lagi. Ia hanya melihat Parman di posnya, tengah menutup gerbang dengan remote control.

Sepeninggal Nyonya Fatimah, Vivian segera memeluk lengan kokoh Sultan, menyandarkan kepalanya di bahu Sultan. “Tampaknya, adikmu masih tidak menyukai aku,” katanya, setengah mengeluh.

“Tidak, dia bukannya tidak menyukaimu. Hanya, dia memang agak sulit dimengerti,” Sultan mengelus kepala Vivian, mencium rambutnya dengan lembut. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Sayang. Tidak akan ada yang bisa menghalangi pernikahan kita.”

“Sungguh?” tanya Vivian, sambil menatap Sultan.

“Kamu tidak percaya padaku?”

“Tentu saja, aku percaya. Hanya, aku agak takut jika setelah menikah nanti, Mami dan adikmu akan memusuhi aku.”

“Mereka tidak akan melakukan itu padamu. Percayalah.”

Romeo melirik sepasang kekasih itu sekilas. Ada kilatan iri di bola matanya, tapi ia menyembunyikannya dengan baik, lalu buru-buru meneguk minumannya untuk menghilangkan perasaan canggung.

Seakan tidak peduli akan keberadaan Romeo, Sultan memeluk tubuh Vivian lembut. Tubuhnya terasa bergetar diguncang oleh perasaan yang luar biasa setiap kali ia mencium keharuman tubuh kekasihnya. Vivian pun menyandarkan kepalanya ke dada bidang Sultan dengan bibir tersenyum. Ia pun merasakan kenyamanan setiap kali berada di dalam rengkuhan Sultan.

“Ehm!” suara deheman Romeo menyadarkan mereka. Secara otomatis Sultan dan Vivian sama-sama melepaskan pe­lukan. “Kita mau jalan jam berapa, Vi?” tanya Romeo.

“Kalian mau ke mana?” Sultan bertanya, bingung.

“Ada reuni SMA nanti malam. Kami akan pergi bareng.”

“Wah, jangan bikin aku cemburu, ya,” kata Sultan, setengah berkelakar. Sebenarnya, ia sama sekali tidak cemburu pada Romeo. Ia percaya pada Vivian. Kekasihnya itu telah mengenal Romeo sebelum mengenal dirinya. Jika Vivian menyukai Romeo, ia pasti sudah menjalin hubungan asmara dengan Romeo sejak dulu. Lagi pula, Sultan tidak mudah cemburu gelap mata.

“Kalau terlalu sore, nanti kita terlambat,” kata Romeo.

Sultan tertawa dan meraih pinggang kekasihnya. “Tampaknya, kamu harus segera pergi, Sayang. Tuan Romeo sudah tidak sabar lagi ingin bertemu kekasih lamanya di reuni nanti.”

Vivian tersenyum kecil. “Okay, kita berangkat sekarang.” Vivian melepaskan pelukannya pada Sultan, mengecup pipinya sekilas.

“Kuantar kalian sampai ke gerbang,” kata Sultan, bangkit berdiri.

“Sampai nanti, Sayang!” Vivian melambaikan tangannya. Romeo langsung menginjak gas, dan meluncur pergi.
“Kamu keterlaluan, Rom,” Vivian menggerutu, setelah mobil mereka berbaur dengan kepadatan lalu lintas. “Seharusnya, kamu tidak mengajakku pulang secara mencolok di depan Sultan!”

“Mencolok bagaimana? Kukira, wajar saja kalau aku mengajakmu pulang buru-buru. Tidak salah kan kalau aku mengingatkanmu, supaya kita tidak sampai terlambat?”

“Tapi, aku tidak ingin Sultan tahu kalau kita pergi bersama!”

“Itu salahmu sendiri. Tadi aku kan cuma mengajakmu pulang. Sedikit pun aku tidak menyinggung soal reuni. Kamu sendiri yang mengatakan bahwa kita akan pergi ke pesta reuni berdua.”

“Itu sudah kepalang basah!” sergah Vivian, kesal.

“Ya, sudah. Yang penting dia tidak cemburu,” kata Romeo, tak ingin memperpanjang debat kecilnya dengan Vivian.

“Hmm… harum,” Vivian mencium kartu undangan pernikahan, yang baru selesai dicetak. ”Siapa yang pertama kali kita undang?”

“Yang pasti, aku akan mengundang Romeo terlebih dahulu. Soalnya, dia yang mempertemukan kita berdua,” jawab Sultan, menjawab kalem. “Tanpa dia, undangan ini nggak akan pernah ada.”

Vivian tertawa kecil. “Kasihan Romeo. Dia mirip anak kucing yang mengangsurkan ayam goreng miliknya ke moncong harimau.”

Sultan melirik curiga. “Maksudmu, dia menaruh hati padamu?”

Vivian tersadar bahwa ia telah salah bicara. “Aku hanya asal membuat perumpamaan saja, kok,” Vivian buru-buru membantah. “Jangan diambil hati, ya….”

“Kalau aku tahu dia naksir padamu, dia tidak akan kuberi kesempatan pergi denganmu. Kenapa baru bilang bahwa dia mendekati kamu? Apa kamu berencana menggaetnya jadi kekasih kedua?”

“Siapa bilang dia berusaha mendekati aku? Aku cuma membuat perumpamaan saja, kok. Memang, dia menaruh hati padaku. Tapi, sejak aku menjalin hubungan denganmu, dia tidak pernah coba-coba main gila denganku,” Vivian berbohong, takut Sultan marah. Ia lalu mengubah sikap duduknya, sambil mendaratkan ciuman-ciuman kecil di wajah Sultan.

Hati Sultan luluh. “Sudah, dong. Bahaya, nih!”

Tapi, Vivian malah menggelitik leher Sultan dengan ujung jarinya. Sultan kaget, bercampur geli. Mobil yang dibawanya melenceng dari jalur. Dari tikungan curam di depan mereka, muncul sebuah bus antarkota berukuran besar dengan kecepatan tinggi.

Refleks, Sultan membuang setirnya ke kiri, hingga mengeluarkan suara decit di aspal. Dan… braaak! Lolos dari bus, moncong mobil Sultan tak mampu menghindari pohon besar. Mobil itu rusak parah di bagian kanan. Sultan pingsan dengan dada menekan kemudi. Vivian, yang tak sempat menjerit, tak sadarkan diri.

“Apa? Sultan akan lumpuh?” Nyonya Fatimah terpekik dengan wajah pucat. Devina dan Mirah berpegangan tangan.

“Tidak, Sultan tidak akan lumpuh,” Dokter Harun menggeleng, sambil tersenyum. “Dia hanya harus menggunakan kursi roda, karena kakinya terjepit. Tapi, tidak akan permanen. Dengan terapi, dalam waktu singkat, Sultan sudah akan berjalan seperti biasa.”

Semua menarik napas lega. Diam-diam, Devina melirik tubuh Sultan yang terbaring di atas tempat tidur. Wajah pemuda itu tampak tampan, jika matanya terpejam seperti itu. Penuh kasih sayang, digenggamnya jemari Sultan.
Devina memejamkan mata. Getaran kasih sayang yang mengisi relung hatinya seolah disalurkan melalui genggaman tangannya pada jemari Sultan. Setelah beberapa menit, Devina membuka mata, mengamati wajah Sultan. Sepasang mata Sultan terpejam tak berdaya. Namun, garis keras di wajah itu masih memperlihatkan kecerdasan dan keteguhan tekad si empunya wajah.

Perlahan, dilepaskannya jemari Sultan. Dengan ujung jemarinya, ia membelai kulit lengan Sultan dari bahu hingga ke pergelangan tangan, lembut. Kulit pria itu halus, tapi berkesan jantan, karena ditumbuhi rambut halus. Dada Devina bergetar saat membayangkan dirinya dalam rengkuhan tangan itu.

Tapi, kemudian ia mendesah, kecewa. Ia sadar, impiannya itu tidak mungkin jadi kenyataan. Dalam waktu beberapa minggu, Sultan akan bersanding dengan wanita lain.

“Dev,” suara Mirah mengejutkan Devina. “Sebaiknya, kita keluar saja, cari angin. Biar Mami yang jaga Sultan di sini.”

Devina ragu sejenak. Matanya melirik Sultan yang terbaring diam.

“Kamu nggak usah khawatir. Sultan akan baik-baik saja.”

“Mirah benar, Devina. Kamu berada di sini sejak semalam. Lebih baik kamu pulang untuk istirahat. Sore nanti baru kembali lagi,” kata Nyonya Fatimah, sambil menepuk bahu Devina dengan lembut.

“Baiklah, Tante. Saya mungkin pulang untuk mandi dan mengisi perut saja,” kata Devina, tersenyum tipis. Ia mengikuti langkah Mirah yang keluar dari kamar rawat Sultan setelah berpamitan dengan Nyonya Fatimah. Dalam diam, mereka berjalan beriringan. Keduanya menunduk, menekuni kotak-kotak ubin di bangsal rumah sakit, sambil sesekali menghela napas panjang.

Mirah mendesis. “Sultan kecelakaan pasti karena dia. Sultan sa­ngat disiplin. Saat menyetir, ia pasti berhati-hati. Tidak mungkin ia mengalami kecelakaan begitu saja. Pasti ini karena ulahnya.”

“Bisa saja ada faktor lain yang membuat Sultan lengah.”

Mirah menggeleng, sambil menghela napas panjang. Tak mau percaya pada teori yang dikemukakan Devina. Ia tetap ngotot.

“Jangan menuduh sembarangan, Mir.”

“Kamu ini memang aneh. Kenapa kau membelanya?”

“Tidak adil rasanya kita menuduh orang secara sepihak.”

Mendadak, Mirah menyenggol lengan Devina, menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba, memonyongkan mulutnya, menunjuk ke depan koridor yang mereka lalui. “Lihat, tuh!”

Dari arah yang ditunjuk Mirah, Vivian dan Romeo berjalan mendatangi. Di tangan Vivian ada seikat mawar merah cantik.

“Sayang sekali, dia cuma memar.” Tiba-tiba Mirah menangis.

Vivian dan Romeo yang sudah tiba di hadapan mereka, berhenti dan menatap Mirah dengan heran. “Selamat siang,” Romeo menyapa dengan senyumnya yang khas. “Kenapa, Mir? Apa… Sultan baik-baik saja?”

“Baik-baik apanya?” Mirah menyentak. Air matanya merebak. Devina heran, bagaimana Mirah yang tadinya bersikap biasa-biasa saja, tiba-tiba menangis sedih seperti itu.

“Dia lumpuh seumur hidup!” suara Mirah menyentak.

Vivian dan Romeo kaget. Devina juga.

“Tapi…,” Devina hendak membantah, tapi Mirah menginjak kaki gadis itu dengan cepat. Hampir saja Devina menjerit,.

“Untung kamu datang,” Mirah menggenggam tangan Vivian. Tapi, dengan cepat Vivian menarik tangannya kembali. “Sultan seharian menanyakanmu. Sultan ingin bertanya padamu, apakah kamu masih tetap mau menikah dengannya setelah ia lumpuh?”

Wajah Vivian yang agak pucat, bertambah pucat. Ia kelihatan gugup dan terkejut. Tapi kemudian, dengan galak ia membantah ucapan Mirah. “Omong kosong!” katanya, ketus. “Semalam Sultan baik-baik saja. Bagaimana mungkin ia bisa mendadak lumpuh?”

“Kamu boleh melihatnya, kalau tidak percaya,” Mirah menarik tangan Vivian. “Ayo, dia sudah menunggumu di atas kursi roda.”

Vivian menepiskan tangan Mirah, melangkah mundur. “Dulu kamu terang-terangan menentang aku. Sekarang, setelah Sultan lumpuh, kamu malah menjodohkan aku dengannya.”

“Sultan hanya mencintaimu, Vi. Tolonglah… dia membutuhkan kehadiranmu…,” Mirah memohon dengan wajah memelas.

Sejenak Vivian berdiri bimbang. Entah apa yang ada di pikirannya. Tapi, ia tampak ragu memenuhi ajakan Mirah. Mendadak, ia membalikkan tubuh. Kaki jenjangnya melangkah terburu-buru. Bunga di tangannya dilempar ke tempat sampah di sisi bangsal. .

“Nah, kamu lihat sendiri, ‘kan…,” kata Mirah, dengan senyum kemenangan. “Dia bukan gadis yang tepat untuk Sultan.”

Ketika tiba di rumahnya, Vivian segera keluar dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah. Panggilan Romeo sama sekali tidak digubris olehnya. Tapi, dengan langkah kaki yang panjang, Romeo berhasil menangkap Vivian.

“Pulanglah, Rom!” Vivian melepaskan tangan Romeo. “Aku butuh waktu untuk menyendiri.”

Romeo menggeleng. “Aku akan di sini menemanimu. Aku bisa jadi teman bicaramu. Aku tahu bagaimana perasaanmu saat ini.”

“Kamu tahu?” Vivian mengangkat alis. “Kamu tidak memiliki kekasih yang mendadak lumpuh, bagaimana mungkin kamu bisa tahu perasaanku? Sudahlah, kamu jangan macam-macam. Aku sedang tidak ingin berdebat!”

“Aku bukan mau berdebat, Vi. Malah, aku menyediakan diriku untuk menjadi tempat berkeluh kesah bagimu.”

“Aku tidak perlu tempat untuk berkeluh kesah!”

Romeo meraih tubuh Vivian. Ia memegang kedua bahu gadis itu, hingga mereka berdua berdiri berhadapan dan saling tatap.

“Pandang aku, Vi,” Romeo berkata lembut. “Perhatikan diriku baik-baik.” Sejenak Romeo merasa bergetar. Dalam keadaan terguncang pun, Vivian terlihat cantik. Semua yang ada pada diri gadis itu membuat jantung Romeo melonjak-lonjak tak keruan.

“Aku ini teman baikmu,” kata Romeo, setengah berbisik. “Apa pun yang kamu rasakan, aku turut merasakannya. Jangan kamu sembunyikan kesedihanmu. Aku tahu kamu kecewa. Tapi, izinkan aku menghiburmu. Izinkan aku menjadi curahan hatimu.”

Vivian mendesah. Mata indahnya mengerjap lesu. Kebimbangan dan kesedihan yang menggayuti hatinya terlukis jelas di wajahnya. Beberapa detik lamanya, ia tak sanggup berkata apa-apa. Tapi, kemudian, ia menjatuhkan kepalanya ke dada Romeo. Tangisnya pecah seketika. Dadanya turun-naik karena sesak. Beberapa tetes air matanya membasahi baju Romeo.

“Aku tidak mengerti, kenapa Sultan harus lumpuh?”

Romeo membelai punggung Vivian untuk memberikan kekuat­an. “Tidak ada yang menduga akan terjadinya bencana ini.”

“Tapi… aku tidak mungkin memiliki suami berkaki lumpuh. Tidak mungkin, Romeo…,” keluh Vivian.

Seulas senyum tipis mengembang di bibir Romeo. Senyum yang tidak mungkin dapat dilihat oleh Vivian. Inilah yang diharapkan Romeo sejak dulu. Ini kesempatannya merebut cinta Vivian! Tapi, tentu saja, kegembiraan ini tidak diperlihatkan pada gadis yang tengah menangis di bahunya.

“Kenapa kamu berkata seperti itu?” kata Romeo, berpura-pura lembut. “Bukankah kamu mencintai Sultan?”

“Ya, tapi bukan berarti aku mau menikah dengan orang lumpuh!” sentak Vivian, kesal. Gadis itu melepaskan dirinya dari pelukan Romeo. “Sudahlah, lebih baik kamu pulang saja, Rom. Kamu tidak akan mengerti perasaanku!”

“Siapa bilang aku tidak mengerti? Kamu ingin membatalkan pernikahanmu dengannya. Iya, ’kan?”

“Bukan begitu, aku cuma…,” Vivian menggantung kalimatnya. Ia mendesah beberapa kali dengan wajah bimbang.
“Kenapa bingung? Kalau tidak mau menikah dengannya, katakan saja dengan jujur. Toh, tidak ada yang berhak memaksamu.”

Vivian menatap wajah Romeo. Ia lalu tercenung. Rasanya, sulit membayangkan ada pria lain yang lebih baik daripada Sultan. Vivian tidak dapat melupakan, betapa lembutnya Sultan memperlakukan dirinya. Betapa indah masa-masa bahagianya. Tapi, sekarang Sultan lumpuh. Vivian tidak dapat membayangkan dirinya bersanding di pelaminan bersama pria lumpuh. Ia bergidik, membayangkan harus mendorong kursi roda seumur hidup.

Vivian memejamkan matanya beberapa saat. Sentuhan tangan Romeo di bahu Vivian membuatnya membuka mata. “Kalau kamu tidak berani membatalkan pernikahanmu dengan Sultan, biar aku yang menyampaikannya kepada Sultan. Bagaimana?”

Vivian ingin menyetujui usul Romeo itu. Tapi, sebagian dari dirinya berat untuk mengucapkan selamat tinggal pada Sultan.

Setengah terisak, ia menjatuhkan dirinya ke pelukan Romeo. “Katakan padanya dengan lembut, Romeo. Katakan bahwa aku hanya manusia biasa. Aku tidak sanggup menerimanya, kalau… kalau… ia duduk di kursi roda.”
Romeo tersenyum puas. Ia memeluk tubuh Vivian, sambil meng­hela napas lega. Dengan lembut, ia membelai rambut Vivian. Bau harum yang keluar dari rambut gadis itu menggetarkan seluruh pembuluh nadinya. Darahnya berdesir, jantungnya berpacu cepat. Ia menundukkan kepalanya, mengecup kepala Vivian. Tangan kokohnya mempererat pelukannya.

Sepulang dari rumah sakit, Sultan hanya tersenyum kecil ketika disambut oleh para pembantu rumah itu. Ia memegang tangan Mirah dan Nyonya Fatimah, yang membantunya memindahkan tubuhnya dari mobil ke kursi roda.

“Bagaimana pabrik dan galeri kita, Mi? Semuanya lancar?”

“Baru kembali dari rumah sakit, kok, sudah bertanya soal pekerjaan. Nggak ada soal lain yang lebih menarik?” celetuk Mirah.

Sultan meringis. Tentu saja ia ingin bertanya soal lain. Terutama, soal Vivian yang tidak pernah menjenguknya. Tapi, apa ibu dan adiknya mau menjawab pertanyaannya itu? Rasanya, tidak. Ada sedikit kecurigaan di benak Sultan. Jangan-jangan, ibu dan adiknya menghalangi Vivian datang. Tapi, rasanya, kecurigaan itu sangat tak beralasan. Lagi pula, Vivian keras kepala. Kalaupun kedatangannya dihalangi, ia pasti akan tetap bisa menjenguknya.

“Kamu tahu nggak, selama kamu pingsan, ada seseorang yang sangat setia menunggumu?” bisik Mirah, di telinga abangnya.

“Siapa? Vivian?” tanya Sultan, bersemangat.

Mirah cemberut. “Aku nggak pernah lihat Vivian menjengukmu, apalagi menungguimu. Yang selalu di sisimu justru Devina!”

Sultan mengerutkan alis lebatnya. Di mata Sultan, Devina memang gadis yang menarik. Wajahnya cantik, tutur katanya sopan dan lembut, sangat cerdas, dan memiliki kesabaran luar biasa. Tak bisa dipungkiri bahwa ia sempat jatuh hati padanya. Tapi, sejak bertemu Vivian.... Bagi Sultan, dia sangat istimewa. Bahkan, pesona yang dipancarkan Vivian mampu memupus daya tarik Devina, yang nyaris berhasil menjerat cinta Sultan.

“Halo…,” sebuah suara menyapa lembut. Devina. “Apa kabar? Senang, ya, bisa kembali ke rumah?”

“Tentu,” jawab Sultan, ramah. Ia tidak melihat ibu dan adiknya di belakang kursi rodanya. Entah sudah kabur ke mana mereka.

Sultan menatap Devina dengan mata tajamnya. Tatapan yang penuh selidik, membuat rikuh yang ditatap. Pria itu heran mendengar Devina membuat puding cokelat untuknya. Rupanya, hubungan gadis itu dengan Nyonya Fatimah sudah sedemikian dekatnya, hingga ia bisa bebas memakai dapurnya.

“Mamimu mengizinkan aku meminjam dapurnya,” kata Devina, seakan bisa menerka pertanyaan di benak Sultan. “Mirah mengatakan bahwa kamu sangat suka puding cokelat.”

Lagi-lagi mereka, keluh Sultan dalam hati. Entah apa lagi yang akan dilakukan mereka untuk menjodohkan ia dan Devina.

“Kamu mau kan mencicipi puding buatanku?” tanya Devina.

Sultan mengembangkan senyumnya. Meski ia tidak setuju pada rencana ‘perjodohan’ ibu dan adiknya, ia merasa harus tetap bersikap ramah terhadap Devina. Tidak adil jika memperlakukan Devina dengan sikap dingin, hanya karena ingin menjaga jarak. Apalagi, sikap Devina selalu penuh perhatian.

“Boleh aku bantu mendorong kursi rodamu?” tanya Devina.

“Tidak usah,” kata Sultan, mencegah Devina yang sudah hendak mendorong kursi rodanya. “Ini otomatis. Aku cukup menekan satu tombol, kursi ini bisa berjalan sendiri. Bisa kukendalikan ke mana saja aku mau,” kata Sultan, sambil mempraktikkan kata-katanya. Sultan sengaja berputar-putar di ruang tamu, hingga Devina tertawa terpingkal-pingkal.

Mirah dan Nyonya Fatimah mengintip dari dapur, sambil tersenyum. “Sebaiknya, jangan kamu beri tahu Sultan tentang telepon Romeo tadi. Nanti dia kaget mendengar pembatalan sepihak dari Vivian. Kamu tahu, abangmu tergila-gila padanya. Biar saja Sultan lebih dekat pada Devina, melupakan Vivian sedikit demi sedikit.”

“Mudah-mudahan saja Devina bisa menggunakan peluang ini untuk merebut perhatian Sultan,” gumam Mirah.

“Kamu mau menolongku, Dev?” tanya Sultan. “Tolong panggilkan Parman dan Kemis untuk membantuku naik.”

“Baiklah. Kamu tunggu saja di ruang tengah. Dekat tangga.”

Devina segera mencari Parman di pos jaga, lalu memanggil Kemis yang masih asyik dengan rumput liarnya. Mereka lalu membantu Sultan naik ke lantai dua untuk masuk ke kamar barunya. Sebenarnya, ketika mengetahui bahwa Sultan akan memakai kursi roda selama beberapa lama, Nyonya Fatimah ingin memindahkan kamarnya ke lantai bawah, tapi Sultan menolak. Ia merasa sudah sangat nyaman dengan kamar barunya.

Kamar baru Sultan adalah dua kamar tidur yang digabung menjadi satu. Tadinya, kamar itu merupakan kamar tidur tamu. Tembok pemisah dua kamar itu lalu dibongkar menjadi satu kamar besar. Di kamar itu telah terdapat beberapa ’penghuni’ baru, seperti ranjang, meja rias untuk wanita, dan beberapa benda lain, yang baru dibeli Sultan untuk Vivian. Rencananya, setelah menikah, ia dan Vivian akan menempati kamar baru itu. Dekorasi di dalam kamar juga merupakan dekorasi pilihan Vivian, dengan dominasi warna jingga, warna kesukaan Vivian.

Setelah Parman dan Kemis me­nutup pintu kamar dari luar, Sultan merebahkan diri. Pikirannya menerawang dan jadi kacau karena selalu teringat pada Vivian. Seharusnya, pernikahan mereka akan berlangsung dua minggu lalu. Tapi, hingga kini, Sultan tidak dapat menghubungi Vivian. Selama di rumah sakit, Sultan beberapa kali berusaha meng­hubungi Vivian melalui ponselnya.

Sepasang mata Sultan tertumbuk pada setumpuk kartu undang­an pernikahannya di sudut meja kerja. Dari sekian banyak kartu undangan, belum ada satu pun yang disebar. Padahal, tempat pesta sudah dipesan. Sultan menarik kakinya ke atas tempat tidur, lalu meraih pesawat telepon di meja kecil dekat ranjang.

Sampai beberapa kali Sultan menelepon rumah Vivian, tapi tidak ada yang mengangkat pesawat telepon di seberang sana. Sultan menghubungi telepon di kamar Vivian. Juga tak ada yang mengangkat. Lesu, Sultan menutup teleponnya, kembali membanting kepalanya ke permukaan ranjang.

“Vivian?” suara Romeo terdengar, ketika pintu kamar Vivian terbuka. Isak tangisnya terhenti. Vivian mengangkat wajahnya dan memandang ke pintu dengan terkejut. Ia buru-buru menghapus air matanya, ketika wajah Romeo muncul dari balik pintu.

“Kenapa di sini?” Kesedihannya yang terpotong membuat Vivian marah. Tapi, Romeo tidak tersinggung. Ia kasihan melihat Vivian memakai gaun pengantin yang terkoyak, bersimbah air mata?

“Pergi! Aku benci melihatmu!” Vivian berteriak.

Romeo berdecak. Ia agak bingung melihat Vivian yang tampak seperti orang kehilangan akal itu. Tapi, ia tetap tidak pergi.

“Aku mencoba menghubungimu beberapa hari terakhir ini. Tapi, kamu tidak pernah mau mengangkat telepon dariku. Jadi, aku ingin menengokmu.”

Romeo memandang wajah Vivian, yang pucat seperti orang sakit. Mata gadis itu tidak bersinar tajam seperti biasa. Malah, kelopaknya sedikit bengkak, karena terlalu sering menangis. Rambutnya acak-acakan.

“Aku dengar dari pembantumu, kamu selalu mengurung diri,” kata Romeo, tanpa memedulikan bentakan Vivian. “Kupikir, kamu sedih karena rencana pernikahanmu gagal. Aku coba menghubungi ayah­mu. Tapi, beliau sedang ke Malaysia mengurus bisnis. Jadi, aku memberanikan diri masuk ke sini. Mudah-mudahan kamu tidak keberatan.”

“Aku tidak butuh perhatianmu. Pergi!” Vivian berusaha mendorong Romeo, tapi Romeo menangkap tangannya dengan sigap.

“Kamu panik, Sayang,” kata Romeo, lembut. “Kamu merasa tertekan karena situasi ini.”

Vivian berusaha melepaskan diri dari genggaman Romeo. Tapi, Romeo mencengkeram le­ngan­nya keras, hingga ia kesakitan. Vivian mendengus. Ia sangat marah karena keadaan telah membuat Sultan lumpuh dan tidak mungkin jadi suaminya. Ia juga marah pada dirinya karena tidak bisa melupakan Sultan.

Romeo menarik Vivian ke dalam pelukannya. Dengan lembut ia membelai punggung Vivian. Ketika tangannya menyentuh kulit yang halus dan lembut, darahnya berdesir. Jantungnya berdebar keras. Bulu kuduknya meremang. Vivian menjatuhkan diri ke pelukan Romeo.

“Aku bingung, Romeo…,” keluh Vivian. “Aku sangat mencintainya.”

Romeo gemas, merasa marah bercampur cemburu. “Kamu harus melupakan dia!” kata Romeo, dengan mata berapi-api. “Sesulit apa pun, kamu harus tetap berusaha melupakan dia!”

“Tapi, bagaimana aku bisa hidup tanpa dia?”

Vivian sama sekali tidak curiga bahwa belaian Romeo bukan lagi belaian simpati seorang sahabat. “Kamu memiliki aku, Vi….”

Vivian mengangguk. “Jangan tinggalkan aku sendirian.”

“Aku tidak akan meninggalkanmu, Vi,” bisik Romeo, seraya mempererat pelukannya. “Karena, aku mencintaimu.”

Vivian terperanjat. Ia melepaskan dirinya dari pelukan Romeo dan mundur beberapa langkah. “Tapi, bukan itu maksudku,” kata Vivian “Aku hanya menginginkan kamu sebagai teman.”

“Kenapa hanya sebagai teman?”

Vivian diam. Romeo tidak berlama-lama membiarkan Vivian bimbang. Ia mendaratkan sebuah ciuman.

“Vivian?” suara Romeo terdengar, ketika pintu kamar Vivian terbuka. Isak tangisnya terhenti. Vivian mengangkat wajahnya dan memandang ke pintu dengan terkejut. Ia buru-buru menghapus air matanya, ketika wajah Romeo muncul dari balik pintu.

“Kenapa di sini?” Kesedihannya yang terpotong membuat Vivian marah. Tapi, Romeo tidak tersinggung. Ia malah kasihan melihat Vivian memakai gaun pengantin yang terkoyak, sambil bersimbah air mata.

“Pergi! Aku benci melihatmu!” Vivian berteriak.

Romeo berdecak. Ia agak bingung melihat Vivian yang tampak seperti orang kehilangan akal. Tapi, ia tetap tidak keluar dari kamarnya.

“Aku mencoba menghubungimu beberapa hari terakhir ini. Tapi, kamu tidak pernah mau mengangkat telepon dariku. Jadi, aku ingin menengokmu.”

Romeo memandang wajah Vivian, yang pucat seperti orang sakit. Mata gadis itu tidak bersinar seperti biasa. Malah, kelopaknya sedikit bengkak, karena terlalu sering menangis. Rambutnya pun acak-acakan.

“Aku dengar dari pembantumu, kamu selalu mengurung diri,” kata Romeo, tanpa memedulikan bentakan Vivian. “Kupikir, kamu sedih karena rencana pernikahanmu gagal. Aku mencoba meng­hubungi ayahmu. Tapi, beliau sedang ke Malaysia mengurus bisnis. Jadi, aku memberanikan diri masuk ke sini. Mudah-mudahan kamu tidak keberatan.”

“Aku tidak butuh perhatianmu. Pergi!” Vivian berusaha mendorong Romeo, tapi Romeo menangkap tangannya dengan sigap.

“Kamu panik, Sayang,” kata Romeo, lembut. “Kamu merasa tertekan karena situasi ini.”

Vivian berusaha melepaskan dirinya dari genggaman Romeo. Tapi, Romeo mencengkeram lengannya keras, hingga ia merasa kesakitan. Vivian mendengus. Ia sangat marah, karena keadaan telah membuat Sultan lumpuh dan tidak mungkin jadi suaminya. Ia juga marah pada dirinya karena tidak bisa melupakan Sultan.

Romeo menarik tubuh Vivian ke dalam pelukannya. Dengan lembut ia membelai punggung Vivian. Ketika tangannya me­nyen­tuh kulit yang halus dan lembut, darahnya berdesir. Jantungnya berdebar keras. Bulu kuduknya meremang. Vivian menjatuhkan diri ke pelukan Romeo.

“Aku bingung, Romeo…,” keluh Vivian. “Aku mencintainya.”

Romeo gemas, merasa marah bercampur cemburu. “Kamu harus melupakan dia!” kata Romeo, dengan mata berapi-api. “Sesulit apa pun, kamu harus tetap berusaha melupakan dia!”

“Tapi, bagaimana aku bisa hidup tanpa dia?”

Vivian sama sekali tidak curiga bahwa belaian Romeo di tubuhnya bukan lagi belaian simpati seorang sahabat. “Kamu memiliki aku, Vi….”

Vivian mengangguk. “Jangan tinggalkan aku sendiri.”

“Aku tidak akan meninggalkanmu, Vi,” bisik Romeo, seraya mempererat pelukannya. “Karena, aku mencintaimu.”

Vivian terperanjat. Ia melepaskan dirinya dari pelukan Romeo dan mundur beberapa langkah. “Tapi, bukan itu maksudku,” kata Vivian, tergagap. “Aku hanya menginginkan kamu sebagai teman.”

“Kenapa hanya sebagai teman?”

Vivian terdiam. Romeo tidak berlama-lama membiarkan Vivian bimbang. Tiba-tiba ia mendaratkan sebuah ciuman.

Sultan menutup telepon dengan gelisah. Entah sudah berapa kali ia menghubungi Vivian, tapi tak juga berhasil. Kalau saja punya sayap, mau rasanya Sultan terbang tinggi dan pergi menemui Vivian. Namun, kakinya yang lumpuh tak lagi bisa membuatnya ’terbang’ sesuka hati.

Pernah terpikir oleh Sultan untuk meminta bantuan Nyonya Fatimah atau Mirah, untuk mencarikan kabar tentang Vivian. Tapi, ia sadar bahwa ibu dan adiknya itu tidak menyukai Vivian. Kalaupun mereka mau membantunya, pastilah karena terpaksa, hanya agar bisa menyenangkan pria yang duduk di kursi roda. Ia tidak ingin itu terjadi.
Sultan duduk tercenung di atas kursi roda, sambil menatap pesawat telepon dengan pandangan nanar. Pikirannya galau, dipenuhi rasa bingung dan khawatir atas sikap Vivian yang tidak pernah menemuinya lagi.

Ragu-ragu, Sultan kembali mengangkat gagang teleponnya, dan memutar nomor telepon rumah Romeo. Terdengar jawaban dari seberang sana.

“Rom!” seru Sultan. “Ini aku, Sultan! Aku mencoba menghubungimu dua hari terakhir ini, tapi kamu tidak pernah ada. Ke mana saja? Sibuk?”

“Begitulah,” jawab Romeo, sumbang. “Aku sedang mengurus beberapa paket barang yang baru tiba dari Rusia.”

“Wah, sedang panen order, ya?”

Romeo tertawa. “Bisa saja kamu, Tan.”

Sultan ikut tertawa. Tapi, ia merasakan kejanggalan pada percakap­annya dengan Romeo. Sepertinya, Romeo agak kaku, seakan ada sesuatu yang disembunyikan olehnya.

“Rom, aku ada perlu denganmu,” Sultan memutuskan untuk tak berpanjang lebar lagi. “Aku mau tanya soal Vivian.”

Diam sejenak. Tak terdengar jawaban apa-apa dari Romeo. Ini aneh, sebab biasanya Romeo selalu tertawa, bila Sultan menanyakan kabar Vivian padanya. Malah, terkadang Romeo melemparkan lelucon spontan untuk menggoda Sultan yang tergila-gila pada Vivian.

“Romeo?” Sultan memanggil namanya. Sayang, saat itu Sultan tidak bisa melihat reaksi Romeo. Kalau saja ia berhadapan dengan Romeo, ia pasti akan dapat melihat wajah Romeo yang mendadak pucat dan agak gugup.

“Apa yang mau kamu tanyakan?” beberapa detik kemudian, barulah suara Romeo terdengar. Kaku.

“Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Aku benar-benar khawatir dengan keadaannya, Rom. Aku dengar, keadaannya baik-baik saja dan hanya menderita sedikit memar saat kecelakaan. Tapi, aku belum puas kalau belum melihatnya sendiri.”

“Kamu tidak perlu khawatir. Memang dia agak memar, tapi sekarang sudah sembuh. Lebih baik kamu pikirkan saja kesehat­anmu sendiri.”

“Aku belum merasa sehat, kalau belum bertemu Vivian,” kata Sultan, setengah bergurau.

“Tapi, seharusnya kamu tahu, kalau kamu bertemu lagi dengan Vivian, segalanya akan kacau. Ia bisa sedih dan merasa canggung.”

“Maksudmu?” Sultan mengerutkan alis, tak mengerti.

“Maksudku jelas. Vivian tak mau bertemu denganmu lagi.”

“Jangan bercanda, Rom. Situasiku saat ini sedang tidak dalam suasana yang bisa diajak berkelakar seperti itu.”

“Aku tidak bercanda. Vivian memang tidak bisa menemuimu sementara ini. Mungkin juga dia tidak akan mau bertemu denganmu selamanya.”

“Aku tidak mengerti maksudmu,” Sultan jadi panik. “Pernikah­anku dengan Vivian hanya tinggal beberapa hari lagi. Banyak persiapan yang belum kami lakukan. Karena itu, aku harus segera bertemu dengannya!”

“Pernikahan? Kamu belum diberi tahu ibumu?”

“Diberi tahu apa?” Sultan jadi tegang.

“Vivian telah membatalkan rencana pernikahan kalian.”

Sultan terdiam, tak bisa berkata-kata.

“Sebaiknya, kamu tanyakan pada ibumu atau adikmu. Aku telah menyampaikan niat Vivian itu kepada mereka.” Suara Romeo terdengar tenang. Padahal, keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ia lebih suka jika Sultan mengetahui pembatalan ini dari Nyonya Fatimah atau Mirah. Meski ia senang pernikahan itu dibatalkan, ia merasa janggal menyampaikannya kepada Sultan.

“Vivian membatalkan pernikahan?” Sultan bergumam seperti orang linglung. Antara percaya dan tidak. “Tapi… apa alasannya?”

“Aku tidak dapat mengatakannya padamu.”

Klik! Romeo memutuskan sambungan telepon. Suara dengung dari pesawat telepon segera memenuhi ruang di telinga Sultan. Berkali-kali Sultan mencoba lagi menghubungi Romeo, tapi gagal.

Lemas, Sultan bersandar di kursi. Napasnya sesak. Dia kaget, panik, tak mengerti maksud Romeo tentang pembatalan pernikahan secara sepihak itu.

“Mamiii!” Sultan berseru keras, sambil memutar kursi rodanya. Ia ingin mencari ibunya untuk meminta penjelasan, tentang hal yang baru didengarnya dari Romeo. Tapi, ia terpaku melihat Devina berdiri di depannya.

“Hai,” Devina menyapa Sultan, lembut.

Tanpa membalas senyum gadis itu, Sultan kembali memacu kursi rodanya. “Mamiii!” panggil Sultan sekali lagi. Tapi, ia tidak mene­mukan ibunya di rumah mewah itu. Ruang tamu, ruang baca, kamar tidur, semua kosong.

“Sultan?” suara Devina mengejutkan Sultan. “Ini jam kerja,” kata Devina. “Ibumu sedang di kantor.”

Sultan tersenyum kecut. Ia tidak ingat bahwa ibunya tengah berada di kantor perusahaan mereka. Wanita itu menggantikan posisinya di kantor, sementara ia sibuk menjalani terapi untuk penyem­buhan kakinya.

“Kamu bisa meneleponnya, kalau kamu mau bicara dengan beliau,” kata Devina lagi. “Mau kusambungkan?”

“Tidak. Tidak usah, terima kasih,” Sultan buru-buru menggeleng. Ia tidak ingin Devina mendengarkan pembicaraan dengan ibunya nanti. Terutama, karena yang ingin dibicarakan adalah tentang Vivian. Sebuah pembicaraan yang sangat pribadi.

Devina juga mengerti, mengapa Sultan menolak tawarannya. Ia sudah menduga apa yang akan dibicarakan Sultan dengan Nyonya Fatimah, karena ia mendengar pembicaraan Sultan dengan Romeo di telepon tadi. Apalagi, ia juga sudah diceritakan Mirah tentang niat Vivian membatalkan pernikahan.

Rasa iba muncul di benak Devina melihat kekecewaan Sultan. Ia baru menyadari bahwa Sultan sangat mencintai Vivian. Tapi, di lain sisi, gadis itu juga senang, karena mendapat peluang merebut cinta Sultan.

“Kamu datang dengan siapa?” tanya Sultan.

“Sendiri,” sahut Devina.

“Tidak bersama Mirah?” pertanyaan Sultan bernada tajam. Tatapan matanya juga menusuk tepat di jantung Devina, membuat gadis itu merasa sedih dan tidak enak hati.

“Kamu tahu, Mirah tidak ada di sini. Mami juga berada di kantor setiap jam kerja seperti ini. Lalu, mengapa kamu datang sendirian ke sini?” tanya Sultan. Nada suaranya lebih mirip tuduhan ketimbang pertanyaan.

“Aku datang ke sini atas permintaan ibumu,” Devina berusaha bersikap setenang mungkin, meski ia gugup mendengar pertanyaan Sultan yang bernada menusuk. “Beliau memintaku untuk menemanimu ke tempat fisioterapi.”

“Mengantarku pergi terapi?” Sultan mengerutkan kening. “Apa kamu tidak punya kegiatan lain sehingga mau mengantarkan aku pergi terapi? Atau… apa kamu sengaja bolos kerja untuk meme­nuhi permintaan mamiku?”

Lagi-lagi pertanyaan yang bernada pedas. Devina mengeluh dalam hati. Tapi, ia memahami perasaan Sultan yang sedang kacau.

“Kebetulan, aku sedang cuti selama 2 minggu. Mirah juga sedang menghadiri suatu acara bersama suaminya. Karena itu, aku bisa memenuhi permintaan ibumu.”

Sultan mendehem. Matanya tidak lagi bersorot tajam. Ia tidak berniat terus mencecar Devina dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Apalagi, ia tahu bahwa Devina tidak dapat disalahkan hanya karena memberi perhatian padanya. Malah seharusnya ia berterima kasih pada gadis itu atas perhatian yang diterimanya.

“Jadi, kamu benar mau mengantarkanku?” tanya Sultan.

Devina mengangguk. Sultan tersenyum. Sebuah pikiran baru menyelinap, pikiran yang membuatnya bisa bertemu Vivian.

“Kamu baik sekali mau mengantar aku. Tentu kamu tidak keberatan jika aku meminta satu pertolongan lagi darimu. Pertolongan kecil saja,” kata Sultan, penuh taktik.

“Pertolongan apa?”

“Tolong temani aku ke rumah Vivian, sebelum ke rumah sakit.”

Mata Devina terbelalak. Mengantar Sultan ke rumah Vivian adalah hal yang tak pernah diinginkan Devina sepanjang hidupnya. Bagaimana mungkin ia sanggup mengabulkan permintaan Sultan?

“Kamu mau, ‘kan?” tanya Sultan, setengah membujuk.

Devina tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia menatap Sultan dengan pandangan setengah tak percaya. Mestinya, Sultan tahu bahwa ia menaruh hati padanya dan tidak dengan kejam menyuruhnya mengantar ke rumah Vivian.

“Aku tidak bisa.” Suara Devina terdengar datar. “Mami dan adikmu pasti marah jika mengetahui bahwa aku mengantarmu ke rumah Vivian.”

“Mereka tidak akan tahu, kalau tidak diberi tahu. Hanya kita berdua yang tahu soal ini. Yang jelas, aku tidak akan membocorkannya pada mereka.”

Devina diam. Perasaannya terluka. Ia benar-benar tak mengerti, mengapa Sultan melakukan ini padanya.

“Tolonglah....” Sultan menyentuh tangan Devina, mengejutkan gadis yang sedang bimbang, sekaligus kecewa. Sultan bukannya tidak tahu tentang perasaan Devina. Tapi, tak ada jalan lain baginya, selain melakukan itu. “Kamu mau kan menolongku?” desak Sultan lagi.

Devina menggeleng. “Maaf, kali ini aku tidak bisa menolongmu.”

“Memangnya kenapa, Dev?” Sultan kecewa. “Bukankah permintaanku ini tidak sulit dipenuhi?”

Tidak sulit dipenuhi? Devina tersenyum pahit dalam hatinya. Permintaan Sultan kali ini bukan hanya dirasa sulit, tetapi juga sangat menyakitkan.

Sultan menghela napas panjang. Meski Devina tidak menjawab pertanyaannya, sikap diam gadis itu sudah cukup jadi jawaban. Devina tak mungkin mau membantunya kali ini. Itu berarti, pupus sudah harapannya untuk dapat bertemu Vivian.

Kursi kurang ajar! Braaak! Dengan gemas, Sultan memukulkan tinjunya ke sandaran tangan kursi rodanya. Gara-gara kursi itu ia tak dapat menemui kekasih hatinya. Suara itu mengejutkan Devina. Sepasang mata indahnya mengerjap, menatap Sultan. Kekecewaan yang dalam tergambar jelas di wajah Sultan. Agaknya, pria itu betul-betul mengharapkannya.

Devina tak tahan melihat gurat kekecewaan di wajah tampan itu. Ia tak tahan melihat perasaan menderita di wajah Sultan. Sungguh, apa pun akan dilakukannya agar dapat menghapus kekecewaan dan kesedihan itu. Apa pun.

”Baiklah,” Devina akhirnya mendesah, “aku akan mengantarmu.”

Sultan menatapnya. Ia tidak mengira Devina akan berubah pikiran. Ia memandang wajah Devina beberapa saat, agar ia merasa yakin pada apa yang didengarnya. Ia melihat ketulusan di mata Devina. Ketulusan yang disertai cinta dan kasih sayang.

“Terima kasih, Devina,” suara Sultan jadi serak karena terharu.

Mata Devina mengerjap sesaat, ketika melihat kegembiraan di wajah Sultan. Biarlah, gumam gadis itu dalam hati. Biarlah ia mendapatkan sebuah kekecewaan, asalkan Sultan dapat merasa berbahagia.

Devina mengendarai mobil Sultan, memasuki Nusa Indah Permai, kawasan perumahan elite yang memiliki jalur pejalan kaki yang teratur. Pepohonan pun diatur sedemikian apik. Beberapa pohon perdu yang menyejukkan, diselingi beraneka pohon bunga yang terpangkas rapi, tampak menyejukkan mata.

Sultan duduk di sisi Devina dengan tenang. Kadang-kadang ia memberi tahu Devina, jalan mana saja yang harus dilalui. Tak berapa lama, mobil Sultan tiba di depan sebuah rumah besar berarsitektur modern.

“Ini rumah Vivian?” Devina bertanya, setengah takjub.

Sultan mengangguk, bangga. Ia selalu membanggakan apa pun yang dimiliki Vivian. Sementara mulut Devina terasa pahit seketika. Sekarang ia mengerti mengapa Sultan selalu memandang sebelah mata padanya. Ternyata, jika dibandingkan dengan Vivian yang hidup bak putri raja di negeri dongeng, ia memang bukan siapa-siapa.

“Aku harus membunyikan klakson, atau menekan bel pintu?” tanya Devina, dengan suara lemah.

“Kamu tidak usah melakukan keduanya,” kata Sultan, sambil tersenyum. “Kamera itu sudah merekam kedatangan kita. Sebentar lagi petugas keamanan akan membukakan pintu gerbang.”

Devina menoleh ke arah yang ditunjuk Sultan. Ia melihat kamera monitor yang dipasang tepat di sebelah kanan depan mereka. Kamera itu bisa merekam semua kendaraan yang berada di depan gerbang. Jadi, tanpa harus membunyikan bel, kedatangan tamu sudah diketahui penjaga rumah.

Benar saja, baru selesai Sultan berucap, gerbang rumah itu terbuka sendiri secara otomatis. “Mereka langsung membukakan pintu? Apa mereka tidak takut kedatangan perampok di dalam mobil ini?” tanya Devina, heran.

“Tentu tidak. Mereka tidak sembarangan membukakan pintu untuk tamu yang datang. Hanya, seluruh petugas keamanan Vivian, yang menangani kamera monitor dan pintu otomatis, sudah mengenali mobilku,” jawab Sultan. Lagi-lagi dengan nada bangga.

“Sekarang, apa kita langsung membawa mobil ini masuk?” tanya Devina, ragu-ragu. Kali ini Sultan tidak sempat menjawab, karena sebuah mobil sedan biru metalik datang menghampiri dan berhenti tepat di samping mobilnya dengan posisi menyerong.

Pengemudi mobil itu adalah seorang gadis cantik berambut lurus melebihi bahu, mengenakan kacamata hitam. Gadis itu membuka kaca jendela mobilnya, melongokkan kepalanya ke luar jendela.

“Itu dia Vivian!” Sultan begitu gembira melihat Vivian, hingga lupa pada kelumpuhannya.

“HALO, VI,” SULTAN MENYAPA KEKASIHNYA.

Vivian terperangah. Ia mengenali mobil Sultan sejak tadi. Tapi, ia tak yakin bahwa memang Sultan yang datang. Ia mengira, Sultan masih berada di rumah sakit. Sultan pun tampak banyak berubah dibanding saat terakhir mereka bertemu sebelum kecelakaan. Kali ini Sultan kelihatan agak kurus dan pucat. Rambutnya sedikit kusut, karena belum dipotong dan tidak disisir rapi.

“Kamu mau memrotes sikapku yang hendak membatalkan pernikahan kita?” tanya Vivian, tanpa tedeng aling-aling.

Kegembiraan di wajah Sultan lenyap seketika.

“Jangan bikin sulit aku, Sultan,” kata Vivian, dingin. Tapi, suaranya bergetar.

Pertanda isi hatinya tidak sama dinginnya dengan nada suaranya.

“Aku tidak mungkin mengubah keputusanku,” kata Vivian, sambil kembali mengenakan kacamatanya, sambil melirik sekilas pada Devina.

“Tapi, kenapa kamu melakukannya?” Sultan bingung.

Devina menatap Vivian tajam. Ingin rasanya ia meneriakkan dengan kencang bahwa Sultan tidak lumpuh selamanya, agar Vivian tidak membatalkan pernikahannya. Tapi, jika hal itu ia lakukan, Sultan pasti akan kembali ke pelukan Vivian. Ia kehilangan kesempatan merebut cintanya.

Segala macam pikiran berkecamuk di dalam benak Devina. Ia ingin Sultan bahagia, duduk di pelaminan bersama Vivian. Tapi, di sisi lain, ia tak ingin kehilangan Sultan.

“Aku akan menikah dengan Romeo,” kata Vivian, mengejutkan Devina dan Sultan. “Karenanya, kuminta kamu jangan menganggu aku lagi!” Lalu, dengan cepat Vivian memundurkan mobil, lalu memutar mobil itu kembali ke jalan raya, melesat meninggalkan Sultan.

“Vivian!” Sultan seperti orang hilang akal, berusaha mengejar.

“Vivian…,” suara Sultan terdengar parau dan putus asa.

“Kamu mau aku mengejarnya?” tanya Devina. Ia tak tega melihat Sultan seperti orang kehilangan separuh nyawanya. Diam-diam Devina mengutuk Vivian, yang tega menghancurkan perasaan Sultan.

Sultan menggeleng. “Tidak. Tidak usah dikejar,” kata Sultan.

“Meskipun kamu harus membantuku masuk ke dalam mobil dulu baru mengejarnya, mana mungkin bisa terkejar? Kita langsung saja ke tempat terapi.”

Devina menarik napas lega. Bukan hanya karena ia tidak harus mengejar Vivian, tapi juga karena melihat Sultan tetap punya semangat untuk sembuh. Sultan sebenarnya sangat terkejut, kecewa, melihat sikap Vivian yang sangat dingin. Juga tak mengerti mengapa Vivian akan menikah dengan Romeo. Tapi, karena itu, ia makin bertekad untuk sembuh.

Satu-satunya jalan yang masuk akal bagi Sultan adalah menyembuhkan kakinya secepat mungkin. Setelah itu, ia akan bicara pada Romeo dan Vivian untuk mengetahui yang sebenarnya terjadi.

“KAMI TIDAK INGIN KAMU KECEWA,” kata Nyonya Fatimah. “Mami, aku lebih terpukul ketika mendengar semua ini dari Romeo dan Vivian.

Kenapa hal penting ini harus disembunyikan?”

“Kamu tidak bisa menyalahkan aku dan Mami, Sultan! Kami merahasiakan ini justru untuk melindungi kamu!”

“Melindungi bagaimana?” sergah Sultan.

“Kamu kan baru keluar dari rumah sakit. Masa aku sampai hati menjejalimu dengan berita buruk? Lagipula, alasan Vivian membatalkan pernikahan itu sangat memuakkan!”

“Jadi, kamu tahu alasannya?”

“Tentu saja aku tahu. Romeo mengatakannya dengan cukup jelas di telingaku melalui telepon! Vivian tidak mau menikah denganmu, karena dia tidak mau punya suami lumpuh!” kata Mirah, ketus.

Sultan menatap adiknya dengan tajam. “Pasti telah terjadi salah paham.” Sultan mengarahkan kursi rodanya ke meja telepon. “Aku harus menjelaskan bahwa aku tidak selamanya lumpuh.”

Namun, Nyonya Fatimah telah lebih dulu meletakkan tangannya di pesawat telepon.

“Lupakan saja niatmu. Vivian bukan wanita yang tepat untukmu. Ia tega memutuskan hubungan, saat kamu sedang dalam kesulitan. Wanita seperti itukah yang akan kamu jadikan teman seumur hidupmu?”

“Aku akan meneleponnya dari kamarku,” Sultan tak menggubris ucapan ibunya. Tapi, sebelum Sultan memanggil Parman dan Kemis untuk membantunya naik ke kamarnya, telepon berdering keras.

Nyonya Fatimah mengangkat gagang teleponnya, lalu diam dengan wajah serius. “Romeo ingin bicara denganmu,” katanya, singkat.

Sultan dengan cepat menerima pesawat telepon itu.

“Sultan, ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu. Vivian ingin kamu tahu bahwa kami telah menikah di Catatan Sipil pagi tadi.”

Sultan terdiam. Jantungnya serasa berhenti berdetak seketika.

Kenapa Vivian tega melakukan semua ini?

SEGALA PERUBAHAN DIALAMI OLEH SULTAN. Kini ia mulai dapat berjalan, tidak bergantung pada kursi roda lagi, meski masih harus menggunakan tongkat. Lalu, atas desakan ibunya, Sultan akhirnya memperistri Devina yang selama ini tidak pernah lelah memperlihatkan cinta dan perhatiannya. Ia menerima desakan ibunya, bukan karena cinta pada Devina, tapi didorong oleh rasa kecewa pada Vivian. Ia lalu bertekad menyelenggarakan pesta pernikahannya, sebelum Vivian menggelar resepsi pernikahannya dengan Romeo.

Pesta pernikahan Sultan dan Devina dirancang sangat mewah. Tak lupa ia mengundang Romeo dan Vivian, yang kaget karena melihat Sultan tampak gagah dalam setelan jas pernikahannya. Tidak terlihat lumpuh sama sekali.

“Kamu tampak tidak senang, Sayang. Kenapa?” tanya Romeo.

“Bagaimana mungkin aku senang. Pesta ini seharusnya jadi pesta pernikahanku,” sentak Vivian.

Romeo tercekat. “Bukankah kamu yang membatalkan?”

“Memang. Tapi, aku sudah dijebak, hingga mengambil keputusan itu. Mirah telah membohongiku! Aku mau pulang sekarang,” kata Vivian, sambil berjalan keluar.

Sultan, yang mengamati raut wajah Vivian, tersenyum simpul. Pemandangan itu sudah cukup untuk jadi satu angka kemenangan untuknya. Ketika pesta usai, langkah Sultan menuju kamar pengantin terasa sangat ringan, tanpa beban.

Ia baru selesai mandi, saat melihat pengantin wanitanya duduk di tepi ranjang dengan wajah tertunduk. Kecantikan Devina yang mengagumkan dan luar biasa membuat Sultan tergoda untuk menyentuhnya.

Sentuhan Sultan pada tubuh Devina begitu lembut dan menghanyutkan. Mereka tenggelam dalam keindahan yang menghanyutkan. Mereka terbuai oleh kemesraan yang hampir mencapai puncaknya. Tapi, semua itu terputus saat sebuah bayangan menyeruak tirai ingatan di benak Sultan. Bayangan Vivian!

Mendadak Sultan kehilangan gairah. Bayangan itu membuatnya mati rasa seketika. Sepertinya, Vivian tengah berada di kamar pengan tin itu dan mengamati semua yang tengah dilakukan Sultan.

Ini membuat Sultan tak berdaya. Ia menggelosor jatuh di sisi Devina dengan wajah pucat pasi. Badannya basah karena keringat. Sultan marah. Marah sekali, karena ia belum dapat melupakan Vivian. Ia marah, karena ternyata masih menyimpan cinta untuk Vivian!

SEJAK MALAM PENGANTIN yang gagal itu, Sultan tak pernah lagi memberikan kemesraan terhadap Devina. Ia tetap tidur satu ranjang dengan istrinya. Di bawah selimut yang sama. Tapi, sedikit pun ia tak menyentuhnya. Malah, untuk menghindari pertemuan dengan Devina, Sultan lebih banyak bekerja lembur di perusahaannya. Ia pergi ke kantor pagi-pagi sekali.Baru pulang setelah malam menyelimuti permukaan bumi.

Sultan seperti mesin, yang hanya mampu menjalankan tugas di kantornya saja. Ia mati rasa terhadap wanita. Ia tak lagi mampu untuk mencintai. Selama bertahun-tahun menikah, hanya pekerjaan yang ada dalam pikirannya. Devina hanya seperti boneka cantik yang jadi penghias kamarnya.

Hingga suatu malam di sebuah club, tanpa sengaja Sultan bertemu kembali dengan Vivian. “Apa kabar? Boleh aku gabung di sini? Sendiri?”

“Romeo sibuk mengurusi pekerjaannya. Aku juga terlalu sibuk untuk membujuknya menemuiku ke tempat ini,” jawab Vivian, kalem.

Sultan tersenyum. Rupanya, pernikahan mereka juga tak berjalan dengan baik. “Tampaknya kamu tidak mendapatkan apa yang kamu harapkan.” Vivian tersenyum kecut. “Kamu sendiri? Apakah kamu mendapat kebahagiaan yang kamu harapkan?”

“Kebahagiaan tidak akan mudah diperoleh dari sebuah perkawinan yang dipaksakan oleh keadaan,” Sultan menjawab dengan taktis. ”Aku masih tak mengerti, kenapa kamu membatalkan pernikahan kita.”

Vivian mendesah. “Kenapa kamu masih mempertanyakan hal itu? Apakah kamu masih mencintaiku aku?”

Sulit bagi Sultan menjawab yang sebenarnya sangat sederhana itu. Barangkali, karena terlalu tenggelam dalam pekerjaan, Sultan jadi tidak yakin lagi akan perasaannya sendiri. Ia juga tidak yakin lagi akan mampu mencintai wanita, seperti waktu-waktu yang lalu. Ia memang merasa sangat kehilangan Vivian, tapi ia tidak yakin masih mencintai gadis itu seperti dulu.

“Kebahagiaan itu masih bisa kita raih, Sultan,” lanjut Vivian, sambil menggenggam tangan Sultan. “Kita dipertemukan kembali untuk meraih kesempatan yang dulu terlepas dari tangan kita. Kamu masih dapat menikahiku, kalau memang masih mencintaiku.”

Sultan tercengang. Dulu ia memang sangat ingin menikahi Vivian. Tapi, sekarang? Sekarang ia telah memiliki Devina sebagai istrinya. Meski ia tidak pernah menyentuhnya, sedikit pun tak pernah melintas untuk menceraikan Devina dan menikahi Vivian.

“Aku masih mencintaimu. Menginginkanmu jadi suamiku.”

Sultan mengangkat alisnya. “Aku mungkin masih memiliki harapan yang sama denganmu. Tapi, keadaan sudah tidak memungkinkan lagi.”
“Tapi, kamu tidak mencintai istrimu, seperti kamu mencintai aku, Tan. Aku tahu itu!”

Sultan mendesah. “Kamu benar. Aku memang tidak mencintainya seperti aku mencintaimu dulu. Tapi, banyak sekali hal yang membuatku tidak dapat menceraikannya begitu saja. Ia selalu setia mencintaiku, meski aku duduk di kursi roda. Satu hal yang tidak kudapatkan darimu. Jadi, bagaimana mungkin aku tega meninggalkannya untuk menikahimu?”

Wajah Vivian merah padam seketika. Ia merasakan kalimat Sultan sebagai suatu sindiran pedas untuknya.

“Vivian, perasaanku padamu sudah tidak sama seperti dulu lagi. Sikapmu membuatku terluka. Luka itu masih kurasakan, meski kerap tertutup oleh perasaan rinduku. Lalu, sekarang kamu dengan mudah mengatakan hendak meninggalkan suamimu untuk menikah denganku. Bagaimana aku yakin kalau kamu tidak akan meninggalkan aku kelak?”

Vivian terperangah.

“Kurasa, sampai di sini saja perbincangan kita. Aku senang sekali bertemu denganmu, Vi. Tapi, aku harus segera pulang, karena istriku sudah menungguku di rumah.”

Lalu, Sultan beranjak pergi. Suara panggilan Vivian tak dihiraukannya. Entah kenapa, langkah Sultan terasa ringan. Hatinya terasa lapang. Sultan juga tidak mengerti, mengapa tiba-tiba ia merasa lega, setelah menolak Vivian sedemikian rupa. Entahlah, sulit baginya untuk mendefi nisikan perasaannya sendiri terhadap Vivian. Yang jelas, ia merasa menjadi Sultan yang baru, setelah menyadari bahwa dirinya tidak terobsesi lagi pada Vivian.

“BARU PULANG?” SUARA LEMBUT Devina mengejutkan Sultan yang berjingkat-jingkat memasuki kamar tidurnya.

“Maaf. Aku membangunkanmu, ya?” tanya Sultan, rikuh.

“Aku bukan terbangun karena suaramu. Aku memang masih terjaga sejak sore tadi.” Devina bangkit dari tempat tidur.

“Mau kubuatkan kopi susu?” tanya Devina, sambil mengikat rambutnya.

Sultan menggeleng cepat. Ia lalu berjalan menuju meja kerjanya, mencoba menekuni beberapa sketsa barang antik yang berserakan. Tapi, konsentrasi Sultan benar tidak dapat tertuju pada pekerjaan. Ia mendekap wajahnya. Tiba-tiba saja ia merasa berdosa terhadap Devina, yang selalu memperlakukannya dengan lembut. Alangkah tidak adilnya ia selama ini.

Ia berdiri, menuju kamarnya. Ia merasa harus bicara pada istrinya dan meminta maaf atas sikapnya yang tidak bijaksana. Tapi, baru saja ia bangkit dari tempat duduk, wajah Devina muncul. “Sultan, kamu sudah makan?” Suara Devina lirih. Tapi, terdengar menggetarkan di telinga Sultan.

Sultan tertegun di tempatnya. Pertanyaan istrinya yang demikian sederhana itu terasa sangat menyentuh. Terbukti, meski ia tidak pernah memerhatikan Devina, istrinya tidak pernah lalai memerhatikan kebutuhannya. “Kamu sendiri, apakah sudah makan?” Sultan balik bertanya.

Devina menggeleng lemah. “Aku tidak bisa tidur. Jadi, aku menunggumu pulang supaya kita bisa makan malam bersama.”

“Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu?” Sultan menepukkan kedua tangannya. Lantas, dengan bersemangat, ia meraih pinggang Devina, dan membimbingnya menuju ruang makan.

Devina tersentak. Sentuhan tangan Sultan serasa mengaliri tubuhnya dengan getaran yang sangat aneh. Ia tambah tertegun ketika Sultan menyalakan beberapa batang lilin di atas meja makan. Menarikkan kursi untuk istrinya. Memutar lagu romantis untuk jadi musik pengiring makan malam.

Meski merasa heran atas sikap suaminya, Devina diam saja. Ia duduk di samping Sultan, menikmati makan malamnya. Ia biarkan tangan kokoh Sultan melingkari pinggangnya. Membiarkan desah napas Sultan mengembus di pipinya. Ia biarkan Sultan memeluknya.

DEVINA TERJAGA DI SAAT MATAHARI belum muncul dari ufuk timur. Wanita lemah lembut itu merasakan sebuah kesegaran yang aneh menyirami tubuhnya. Kesegaran yang diberikan oleh suaminya melalui sebuah kemesraan yang sakral. Perlahan, ia memalingkan wajahnya, tersenyum melihat tubuh suaminya terbaring di sisinya dengan sebuah kebahagiaan terukir di wajah tampannya. Dengan penuh cinta, ia mengecup suaminya.

Ia mendesah. Teringat pada malam yang baru saja dilaluinya. Masih terasa di tubuhnya pelukan hangat, sentuhan lembut Sultan. Tapi, tiba-tiba muncul sebuah tanda tanya di benak Devina. Ia mereka- reka, hal apa yang menyebabkan suaminya bersikap mesra.

Yang pertama melintas di benaknya adalah Vivian. Ia tiba-tiba merasa getir, saat membayangkan sebuah kemungkinan yang menghubungkan perlakuan mesra Sultan dengan Vivian. Devina menangis. Ia sudah cukup termakan perasaannya sendiri dengan membiarkan Sultan tetap mencintai Vivian. Kini haruskah ia menerima kenyataan bahwa Sultan bercinta dengannya sambil membayangkan bercinta dengan Vivian? Tidak!

Devina tidak mau membiarkan dirinya jadi jelmaan Vivian di mata Sultan. Sudah cukup lama dia hidup di bawah bayang-bayang wanita itu. Kini segalanya harus diakhiri! Dengan hati pedih, Devina bangkit. Ia mengemasi pakaian dan barang-barangnya dalam dua buah koper. Sebelum ia meninggalkan rumah mewah suaminya, ia meletakkan surat di atas bantalnya. Matahari masih mengintip malu, saat Devina melangkah pergi.

“DEVINA…,” DENGAN MATA MASIH TERTUTUP, Sultan meraba-raba sisi tempat tidur yang biasa ditiduri Devina. Tapi, tidak ditemukannya wanita yang telah setia mendampinginya selama 4 tahun itu. Tak disengaja tangannya menyentuh selembar kertas terlipat di atas bantal istrinya.

Mata Sultan langsung terbuka lebar, terkejut. Ia segera bangkit dan membuka lipatan kertas itu dengan terburu-buru. Matanya terbeliak membaca kata demi kata. Ketika seluruh isi surat telah selesai dibaca, Sultan tertawa. Lalu, ia mandi dengan santai. Sesudahnya, ia menemui ibunya yang sudah menunggu di ruang makan.

“Hmm… tumben bangun agak siang,” sapa Nyonya Fatimah.

Sultan hanya tersenyum.

“Mami tidak melihat Devina. Ke mana dia?” tanya ibunya lagi.

“Dia pulang, Mi,” kata Sultan. “Dia pulang ke rumahnya sendiri.”

“Apa?! Kalian bertengkar atau bagaimana?”

“Tidak, kok.” Sultan tersenyum.

“Tapi, kenapa Devina pulang ke rumahnya, Sultan? Kamu harus bicara yang jelas. Mami tidak ingin kamu memperlakukannya dengan semena-mena.”

Sultan tersenyum, sambil melahap sepotong roti isi selai stroberi ke dalam mulutnya. “Aku berniat menyusul ke rumahnya, setelah selesai sarapan. Ada kesalahpahaman antara aku dengan Devina.”

”Sekarang saja kamu susul dia,” kata Nyonya Fatimah tegas, sambil menggeret Sultan, agar bangkit dari tempat duduk.

SAAT SULTAN TIBA DI RUMAH DEVINA, ia melihat istrinya itu tengah membantu ibunya, melayani seorang pembeli ketoprak. Ia terkejut sekali melihat kedatangan suaminya yang tak terduga itu. Devina mengerutkan alisnya. Ia tak mengerti mengapa Sultan menyusulnya ke tempat ini. Padahal, lewat surat, ia telah mengutarakan semuanya, termasuk permintaan agar suaminya tidak mencarinya lagi.

“Devina…,” Sultan memanggil dengan lembut.

Devina sampai terkejut mendengar kelembutan suaranya. Apalagi, saat melihat tatapan mata yang begitu menyejukkan dari Sultan.

“Seharusnya, kamu jangan datang ke sini, Sultan…,” ujarnya lirih.

“Kamu lebih baik mencari Vivian, yang lebih pantas untuk jadi istrimu. Dia pasti akan menerimamu kembali, kalau tahu kamu tidak lum….”

“Sssh!” Sultan meletakkan telunjuknya di depan bibir Devina.

Tanpa berkata apa-apa, ia meraih wanita itu dalam pelukannya.

“Jangan sebut orang lain lagi, Devina. Aku hanya mencintaimu…,” bisik Sultan di telinga istrinya.

Devina terperangah. Rasanya, ia tengah berada dalam mimpi mendengar penyataan cinta dari suaminya itu. Selama bertahun-tahun suaminya mabuk oleh pesona Vivian. Ia hampir tak percaya apa yang didengarnya.

“Benarkah?” tanya Devina.

Sultan tak menjawab. Ia hanya mempererat pelukannya. Sebutir kristal bening turun di pipi Devina. Ia bahagia mendengar penyataan suaminya. Tak peduli bahwa adegan pelukan yang cukup hangat itu menjadi tontonan beberapa pembeli ketoprak ibunya….

No comments: