12.22.2010

Gelang Giok

Aku tahu, menghidangkan teh adalah tes yang umum diberikan oleh para makcomblang untuk melihat keluwesan seorang gadis.

1935
A Sui
Aku melesat keluar dari sekolahku, bergegas pergi karena ingin cepat sampai di rumah. Biasanya, aku sengaja memperlambat perjalanan pulang ke desaku, Khai Ching, semenjak ibuku menyembelih dan memasak Si Hitam, ayam jago kesayanganku.

Tapi, hari ini aku ingin menyaksikan peristiwa penting. Ada makcomblang yang ingin melihat dua kakak perempuanku, A Cen dan A Pei. Kakiku lincah melangkah karena aku memakai sepatu boots kulit, hadiah dari Tek Eng, kakak lelaki angkatku yang merantau ke San Francisco, Amerika. Memakai sepatu model begini benar-benar sebuah kemewahan, jika dibandingkan dengan kawan-kawanku, yang bahkan terlalu miskin untuk bisa membeli alas kaki.

Sampai di depan rumah, aku mendengar suara-suara lantang orang berbicara. Itu memang sudah menjadi ciri khas suku kami. Aku hendak menuju pintu belakang untuk bersembunyi di balik tirai, seperti niatku semula, ketika kudengar ibuku memanggil.
“A Sui, kemari sebentar. Beri salam pada Bibi Mah. Tunjukkan bahwa tidak percuma aku menyekolahkanmu.“

“Salam hormat Bibi Mah,” kataku, sambil mengatupkan kedua belah tanganku di depan dada dan sedikit membungkuk. Aku begitu lega melihat ibuku mengibaskan tangannya, tanda aku boleh pergi ke belakang.

“Jangan pergi dulu, Moy. Biar kulihat dulu dirimu,” suara Bibi Mah terdengar serak. Matanya yang kecil berkilat seolah menembus kulitku.

“Kakak Mah, A Sui masih kecil dan masih bersekolah. Pikirannya masih kanak-kanak. Ia belum siap menikah.” Ibuku tampak salah tingkah. Jelas sekali bahwa dia tidak ingin aku mendapat perhatian lebih dibandingkan kedua kakakku.

“Tahun apa dia lahir?” tanya Bibi Mah. Sekarang dia sudah berdiri di sampingku dan mengangkat kedua lenganku.

“Tahun monyet. Karena itu, ia sok tahu dan selalu ingin tahu urusan orang lain, membuat kesal orang-orang di sekelilingnya,” sahut ibuku. Dengan gerakan yang tak terlalu jelas, ibuku melirik kedua kakakku agar lebih mendekat pada Bibi Mah.

Kakiku dan kedua kakakku gemetaran. Karena, di tangan wanita ini nasib kami akan ditentukan, apakah akan menikah dengan suami penyayang atau dengan penyiksa yang suka berjudi. Para gadis memandang Bibi Mah lebih tinggi daripada dewa. Karena suatu pernikahan lebih mirip seperti perpindahan keluarga, tidak ada yang lebih menakutkan daripada memiliki mertua perempuan yang sadis. Cerita mengenai mertua yang sadis sering membuat para gadis bunuh diri sebelum hari pernikahan mereka.

“Tahun monyet, ya?” Sambil duduk, Bibi Mah membuka buku perbintangan bersampul kulit. “Tuangkan aku teh, Nak.”

Aku tahu, ini adalah salah satu jenis tes paling umum dari makcomblang untuk melihat keluwesan seorang gadis. Pertama-tama, aku harus meraba perut dari poci teh dengan punggung tanganku untuk memeriksa apakah suhu teh tersebut masih layak dihidangkan. Lalu, tangan kananku mengangkat poci, sementara lengan kiriku menahan sedikit pipa lengan baju sebelah kanan yang menjuntai. Dengan hati-hati aku menuang teh ke mangkuk agar tidak ada daun teh yang ikut tertuang. Aku harus tahu ukuran yang pas. Tidak terlalu penuh, tapi juga tidak terlalu sedikit. Terakhir, aku mengangkat mangkuk dengan ujung jari-jari kedua tanganku hingga sejajar dengan keningku dan badan merunduk. “Semoga teh ini menambah kesehatan Bibi Mah.“

“Terima kasih.“ Bibi Mah mengambil mangkuk tersebut dengan kedua tangannya, tanda ia berkenan.

“Kakak Mah, A Cen dan A Pei sudah berumur lebih dari delapan belas tahun. Sebentar lagi tahun baru. Sanak keluargaku akan berkunjung dari Hong Kong. Di mana harus kutaruh mukaku jika mereka bertanya, kenapa A Cen dan A Pei belum menikah. Jika A Sui melangkahi kakaknya, bisa-bisa nanti mereka jadi perawan tua.”

Tapi, Bibi Mah tampaknya tidak memedulikan ocehan ibuku. “Adik Cui, adik tentunya tahu mengenai keluarga Coy, keluarga terpandang yang memiliki tanah berhektar-hektar. Dua orang putranya merantau ke Nanyang (Asia Tenggara). Entah apa yang mereka cari di sana, padahal mereka hidup lebih dari berkecukupan di sini. Putra sulungnya sedang ada di sini untuk beberapa bulan. Nyonya Coy adalah janda yang baik hati. Dia mendesak putranya itu untuk menikah sehingga ia memiliki menantu yang bisa mengurusnya di hari tua. Dan, mereka meminta bantuanku.”

Mendengar ini, ibuku benar-benar terdiam, tidak ingin membuyarkan prospek berbesan dengan keluarga kaya. Tiba-tiba, seperti tersadar sesuatu, ia bertanya, “Lalu, istrinya akan dibawa ke Nanyang?”

“Tidak, si istri akan ditinggal di sini untuk mengurus mertuanya. Saya lihat, putri bungsumu ini memiliki tahun lahir yang cocok dengan putra Nyonya Coy. Sama-sama monyet. Binatang yang sama dalam satu kandang akan mendatangkan hoki besar. Kita harapkan, putrimu ini akan melahirkan anak lelaki pada tahun monyet nanti sehingga peruntungan mereka berlipat-lipat ganda. Selain itu, perjodohan antara anak sulung dan anak bungsu adalah yang paling tepat. Aku dengar kau juga mempunyai putra yang merantau ke Amerika?”

“Ya, benar,” jawab ibuku, kikuk. Walau orang tuaku adalah penduduk asli daerah ini, baru beberapa tahun terakhir ini kami kembali ke sini setelah sekian lama merantau. Akibatnya, tidak ada yang tahu bahwa kakak lelakiku adalah anak angkat yang sengaja diselipkan menjadi anak nomor tiga, menggeser kedudukanku hingga jadi anak nomor empat. Konon, akan sial nasib seorang anak perempuan yang dilahirkan dalam urutan ketiga. Berhadapan dengan Bibi Mah yang akan menjodohkanku dengan keluarga kaya, tentu saja ibuku tidak akan berterus terang.

“Baiklah. Nyonya Coy pasti gembira mempunyai menantu anak dari Adik Cui, yang kecantikannya sudah tersohor.”

Ibuku tersipu-sipu. “Ah, wajah jelek dengan mata lebar seperti mata sapi sama sekali tidak cantik.” Ibuku menyangkal kecantikannya sendiri. Benar, ibuku memang sangat cantik. “Aduh, di mana tata kramaku? Bibi Mah, silakan cicipi hidangan kami yang sangat sederhana ini.” Ibuku mulai membuka beragam mangkuk yang ada di meja.

Aku benar-benar tercengang. Segera kukatupkan mulutku yang menganga. Hidangan yang tersedia benar-benar luar biasa. Tidak pernah kami memasak sebanyak dan sehebat itu.

Ketika malam tiba, aku tidak bisa memejamkan mata. Begitu cepatnya nasibku berubah. Sesaat, pada waktu pulang sekolah tadi, aku pikir aku akan mengetahui calon suami kakakku. Ternyata, justru aku yang akan menikah dalam waktu dekat. Dua minggu lagi, begitu kata Bibi Mah, jika Nyonya Coy setuju akan perjodohan ini dan hitungan tanggalnya cocok.

Seperti apakah putra sulung Nyonya Coy? Layaknya gadis remaja yang gemar membaca roman percintaan, aku membayangkan calon suamiku adalah pemuda terpelajar yang mengenakan setelan Eropa. Mungkin juga berkacamata seperti guru, tinggi, dan tampan. Tapi, tidak banyak yang kutahu tentangnya, kecuali bahwa usianya dua belas tahun lebih tua dariku. Umurnya 28 tahun dan ia tengah merantau ke Batavia, daerah koloni Belanda. Namanya Kian Li, yang artinya lelaki emas. Itu saja. Puf! Lampu minyak di kamarku padam, meninggalkanku menerawang dalam kegelapan.

A Lin
Byuuurrr! Kusiram lagi sudut kandang babi yang merangkap kamar tidurku, walaupun tahu bahwa perbuatanku sia-sia belaka. Bau kandang yang menyengat, yang datang dari kotoran babi dan sisa makanan, tetap akan ada, meski aku sudah menyiramnya siang dan malam. Punggungku seolah akan rontok karena terlalu sering menimba air sumur.

Sudah enam tahun aku berada di sini, menempati balai-balai di kandang babi sebagai kamar tidurku. Kupandangi telapak tanganku yang kasar dan pecah-pecah karena mengurusi ternak babi yang jumlahnya tidak kurang dari seratus ekor. Pakaianku hanya sepasang, yang kupakai setiap hari. Jika kucuci, pakaian itu harus kupakai lagi dalam keadaan basah.

Nyonya Mong, tempatku mengabdi, baru akan memberikan gantinya jika sudah benar-benar tidak bisa dibetulkan lagi. Kakiku juga sangat menyeramkan. Aku hanya memiliki sepasang bakiak yang jarang kupakai karena takut rusak. Akibatnya, berbagai macam kutu dan penyakit kulit menyerangku. Untuk pertama kalinya, selama enam tahun mengabdi, aku menangis.
Aku tidak menangisi keadaanku yang memprihatinkan. Aku hanya sangat merindukan ibuku. Mama, bagaimana keadaanmu di Cina sana? Tahukah kau bahwa anakmu ada di Batavia? Mereka memperlakukanku dengan sangat buruk di sini. Bahkan, babi saja mendapat makanan yang lebih baik agar cepat gemuk.

 
Setitik ingatan menyadarkanku. Ibuku, seperti juga diriku, tidak pernah bersekolah dan buta huruf. Tentu saja, dia tidak tahu letak kota Batavia. Yang ia tahu, aku dikirim ke arah selatan, ke negeri yang subur dengan cuaca yang bersahabat. Tidak seperti Cina, yang tanahnya sudah kelelahan karena menghidupi penduduk yang terlalu banyak. Belum lagi bahaya banjir yang selalu mengintip dari ujung langit, ingin menghanyutkan jerih payah para petani selama berbulan-bulan.

Mama, apakah Tai Tai masih menguras habis tenagamu? Tai Tai adalah ibu dari ayahku. Tai Tai berarti wanita yang paling dituakan dalam keluarga. Sebagai menantu perempuan yang berada dalam kekuasaannya, ibuku sangat menderita. Kami adalah petani miskin dari suku Hakka, hanya memiliki sebidang tanah kecil yang tidak selalu menghasilkan panen yang berlimpah.

Ketika hari masih gelap ibuku sudah harus bersiap-siap ke sawah dan membawa bekalnya sendiri, berupa dua bongkah ubi rebus. Di punggungnya, ia menggendong adikku yang belum bisa berjalan. Sepanjang hari adikku berada di punggung ibuku yang sibuk mencangkul tanah. Adikku akan tidur atau menangis karena bosan dan kepanasan. Ibuku tidak mau mengambil risiko membiarkannya main di tanah dan disantap ular atau binatang buas lain. Aku harus menjaga empat adikku yang lain di rumah. Ibuku baru akan memberikan adikku padaku jika dia sedang mengandung bayi lain di perutnya.

Ayahku jarang ada di rumah karena menjadi buruh tani di desa sebelah. Pada malam hari, ketika ayahku tidak ada di rumah, ibuku harus memijiti kaki Tai Tai. Dan, itu tidak hanya untuk sementara waktu. Ibuku harus memijitnya sampai pagi!

“Tak apa-apa,” katanya padaku, suatu kali. “Tai Tai-ku juga pernah menderita di bawah kuasa Tai Tai sebelumnya. Suatu hari nanti, aku juga bisa menjadi Tai Tai dan dimanja menantu perempuanku,” tambahnya, dengan nada kepahitan.

Aku masih ingat, saat aku berumur sembilan tahun, adikku yang masih bayi meninggal, entah karena penyakit apa. Panen gagal. Keluarga kami yang terlalu banyak pasti terancam bahaya kelaparan. Pagi-pagi sekali ibuku membangunkanku.

“A Lin, bangun. Ssst, pelan-pelan, jangan sampai adikmu yang lain bangun.”

Kepalaku masih berat karena kantuk. Tapi, ibuku sudah memakaikanku jaket jahitannya yang disumpal dengan kertas sehingga tebal dan hangat. Di depan pintu ibuku menyuruhku naik ke punggungnya. Aku terkesiap. Aku sudah berumur sembilan tahun, sudah terlalu berat untuk digendong.

“Cepat naik, kita tidak boleh terlambat.”

“Mama, bukankah lebih cepat jika aku berjalan saja?”

Ibuku tak mengacuhkan. “Jangan banyak tanya, cepat naik.”

Aku menurutinya. Ibuku melangkah dengan perlahan. Ia bercerita, aku akan dikirim ke negeri yang indah. Aku tidak perlu bekerja terlalu berat karena tanah di negeri itu sangat subur. Perjalanannya melalui sungai dan disambung dengan kapal laut. Aku akan mengabdi pada keluarga Cina yang merantau. Ibuku berulang kali mengingatkanku, dengan menjadi anak baik, tidak mustahil aku akan dijadikan menantunya.

Aku tidak berkata apa pun. Tidak bertanya apa pun. Hatiku begitu pedih karena harus berpisah dari ibu dan adik-adikku. Dari suara ibuku yang bergetar karena isak tangis, aku tahu dia juga sangat merana melepas kepergianku. Aku mempererat pelukan pada leher ibuku yang berkeringat. Perjalanan kaki itu sangat panjang. Hari sudah siang ketika kami sampai di tepi sungai. Ibuku terlihat lega karena sampan yang akan membawaku belum datang.

“A Lin, jangan membuatku malu dengan tangisan seperti itu. Aku menginginkan kehidupan yang lebih baik untukmu. Jika kau di sini, Tai Tai akan mengirimmu ke rumah pelacuran. Kamu akan mati sebelum umur dua puluh karena diracun germo atau penyakit kelamin. Lihat, aku sudah membuatkanmu bekal perjalanan.” Ibuku menunjukkan dua kepal nasi putih yang dibungkus daun bambu lebar.

Aku menggeleng. “Mama, makanlah nasi itu. Setiap hari Mama hanya makan ubi. Kita mungkin tidak akan berjumpa lagi dan aku tidak bisa membalas budi baik Mama. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu… dan… dan… tidak akan cengeng seperti ini,” kataku terisak, tak bisa menahan tangis.

Ibuku langsung memeluk dan menciumiku, membiarkan nasi itu jatuh ke tanah. Dia tidak melepaskanku dari pelukannya sampai sampan tersebut datang. Sampan itu sudah berisi selusin gadis lain yang sama-sama miskin. Mereka memandang dengan tatapan kosong. Ketika sampan itu mulai bergerak, aku masih tidak melepaskan pandanganku dari ibuku yang berdiri di tepi sungai.

A Sui
Duduk dalam kamar pengantin, aku bisa mendengar jantungku sendiri berdegub kencang. Upacara pernikahanku sangat meriah. Ibuku sangat senang. Ia mendapat banyak uang susu dari mertuaku sebagai balas jasa karena telah membesarkanku. Dengan tandu yang diangkat empat pemuda berbadan tegap, aku dibawa ke rumah mempelai pria tempat berlangsungnya upacara. Ketika upacara dan resepsi selesai, aku masih belum mengetahui rupa suamiku karena wajahku ditutupi kain merah besar.

Di luar kamar pengantin, suasananya terdengar sangat riuh. Ada anak-anak kecil yang penasaran, pemuda-pemuda jail, yang sepertinya lupa usia. Mereka semua ingin menyaksikan acara terakhir hari itu, yaitu ketika pengantin pria memasuki kamar pengantin dan membuka kain penutup wajahku.

Tiba-tiba aku bisa merasakan ada orang lain di dalam kamar. Teriakan di luar kamar makin iseng dan kurang ajar. Dia ada di sini! Kian Li, suamiku, sedang duduk di ranjang di sebelahku. Aku tahu, aku harus membuka sepatu dan kaus kakinya. Kakinya begitu halus untuk ukuran seorang pria. Telunjuk kakinya lebih panjang daripada ibu jari. Itu merupakan tanda bahwa ia memiliki jiwa kepemimpinan dan keberuntungan.

Ketika aku sudah duduk lagi di sampingnya, kulihat ujung jari tangannya yang panjang mulai membuka kerudungku. Sorakan penonton makin liar dan tidak terkendali. Aku masih belum memandang wajahnya. Tidak berani!

Dia memberiku telur rebus yang sudah dikupas. “Aku bawakan kau sesuatu. Makanlah.“

Ini masih bagian dari ritual. Aku mulai makan perlahan.

“Apakah masih mentah?” tanyanya.

Aku harus menjawab, “Ya, masih mentah.” Tapi, sebenarnya telur itu sudah matang sempurna. Perutku protes kelaparan, karena hanya makan telur goreng buatan ibuku tadi pagi. Pengantin wanita hanya boleh makan telur di hari pernikahannya. Semua kerabatku memarahi ibuku. Karena ibuku bukan ‘wanita sempurna’. Dia seorang janda. Janda dan wanita bersuami yang belum memiliki anak dilarang keras menyentuhku pada hari pernikahan. Mereka bisa membawa sial bagi rumah tanggaku nanti. Tapi, ibuku tetap bersikeras.

“Ini terakhir kalinya aku memasak untukmu, Anakku.”

Diiringi protes dari penonton, suamiku menutup kelambu kang (ranjang besar) untuk melindungi kami berdua dari tatapan orang banyak.

“A Sui, jangan ketakutan seperti itu. Tidakkah engkau bahagia dengan pernikahanmu?” Suaranya empuk dan menenangkan.

Oh, Dewa, aku masih belum berani mengangkat wajahku. Untuk pertama kalinya aku sadar, dia pasti sama penasarannya denganku. Apakah dia sedang kecewa setelah melihat wajahku?

Kian Li mulai berbicara sambil tiduran. “Ketika aku masih belasan tahun, aku dan teman-teman suka membicarakan wanita tercantik di desa ini. Beberapa nama gadis disebut. Tapi, hanya aku yang menyebutkan nama janda muda Cui, ibumu. Mereka meledekku habis-habisan. Mereka pikir, aku ingin menikahi janda Cui. Tidak, jawabku. Aku tidak menginginkan janda Cui. Tapi, suatu hari nanti aku pasti akan menikahi salah satu anak gadisnya.”

Aku terdiam, tidak tahu bagaimana harus bersikap. Apa maksud dari perkataannya? Pujian atau hinaan? Kian Li juga terdiam. Kuberanikan diri meliriknya dengan ujung mataku. Dia tertidur! Suamiku tertidur di malam pertamanya! Apakah aku begitu jelek dan membosankan sehingga dia tertidur?

Aku mengamati wajahnya. Ah, dia begitu tampan. Alisnya begitu lebat. Hidungnya lurus dan tinggi. Rahangnya halus. Bibirnya manis, seakan selalu menyunggingkan senyum. Rambutnya lebat dan hitam, dicukur rapi layaknya semua pria setelah nasionalisme Cina. Aku harus mengakui, aku belum pernah menemukan pria setampan dia, kecuali dalam imajinasiku. Dia adalah surga.


 
Aku tahu, menghidangkan teh adalah tes yang umum diberikan oleh para makcomblang untuk melihat keluwesan seorang gadis.


A Lin
Seminggu yang lalu aku mendapat haidku yang pertama. Aku begitu panik melihat darah keluar dari tubuhku. Nyonya Mong sampai menempelengku karena mendengar teriakanku.

“Anak bodoh, kamu cuma la ye’. Teriakanmu lebih keras daripada babi yang disembelih. Cepat cuci celanamu. Jangan pernah berteriak seperti itu lagi. Setiap bulan kamu akan berdarah seperti itu.”

Hari ini, untuk pertama kalinya, Nyonya Mong tiba-tiba memandikanku. Digosoknya badanku dengan sabun batang berwarna hijau dan serabut labu yang kasar hingga kulitku memerah kesakitan. Rambutku juga tidak lepas dari serangannya. Setelah dicuci, entah dengan cairan apa, kulit kepalaku terasa panas.

Selesai mandi, aku melihat seorang wanita yang penampilannya sangat aneh tengah menungguku. Aneh, menurutku, karena badannya langsing dan jangkung luar biasa, seperti wanita Barat, tapi kulitnya kuning dan matanya hitam sipit seperti orang Cina. Rambutnya yang kemerahan dikonde. Dia memakai kebaya encim yang sangat indah.

Setelah mengendus badanku dengan hidungnya yang mancung, disuruhnya aku mandi lagi. Aku harus mandi dua kali lagi sesudah itu. Lalu, ia membantuku memakai seperangkat pakaian yang sudah disiapkannya. Pakaian tersebut terdiri dari kain batik berwarna cerah, kebaya brokat kuning, yang sama indahnya dengan kebaya wanita itu, kutang putih dari katun, dan tiga peniti emas, yang dihubungkan satu sama lainnya dengan rantai tipis.

Aku belum pernah berpakaian model seperti ini. Seumur hidupku, aku juga belum pernah menyentuhkan jari-jariku pada keindahannya. Rambutku juga diberi minyak hingga hitam berkilat dan digelung ketat di atas tengkukku. Terakhir, dia memanaskan sebuah jarum di atas lilin. Aku sedang sibuk berpikir, untuk apa kira-kira jarum tersebut, ketika tiba-tiba dia menusukkannya dengan cepat ke kedua telingaku. Aku terlalu kaget untuk berteriak kesakitan. Dia terlihat sangat puas setelah memakaikan giwang emas di telingaku yang memerah.

“Kakak Mong, lihatlah ini. Kamu yakin, tidak ingin menjadikannya menantumu?” gumamnya, kepada Nyonya Mong.

Nyonya Mong tidak menjawab. Dia menyuruh kami cepat-cepat naik ke atas delman yang sudah menanti.

“Ke Pecah Kulit,” katanya pada sais, dalam bahasa Melayu. Belakangan, aku baru tahu, nama Pecah Kulit sangat mengerikan. Karena, daerah itu adalah tempat Belanda menghukum para pemberontak. Kulitnya pecah karena kedua kaki dan tangan si terhukum diikatkan pada empat ekor kuda yang dientak untuk berlari ke arah yang berbeda. Lalu, kepala tanpa anggota badan itu dipenggal dan ditancapkan pada sebilah kayu hingga membusuk, sebagai peringatan bagi siapa pun yang menentang Belanda.

Ketika sampai di tujuan, tidak diragukan lagi, kami mengunjungi seorang Belanda. Rumah itu terlihat sangat bersih. Aku sudah hendak mencopot selopku, takut mengotori lantainya yang bening mengilap, ketika Nyonya Ulrike berkata, “Jangan pernah mencopot alas kakimu di rumah Belanda, kecuali jika kamu ingin dianggap babu.”

Seorang pria Belanda keluar dan mulai bercakap-cakap riang dengan Nyonya Ulrike dalam bahasa Belanda. Penampilan pria itu tidak bisa dikatakan tampan, walaupun badannya tegap dan tinggi besar. Rambutnya pirang ikal. Matanya yang berwarna abu-abu sesekali melirik ke arahku.

Kesepakatan tercapai. Nyonya Ulrike membawaku ke sebuah kamar. Di situ terdapat ranjang tinggi berkelambu lebar untuk menghalangi nyamuk.

“A Lin, dengarkan aku,” Nyonya Ulrike memegang bahuku dan menatapku lekat-lekat. Dia begitu jangkung sehingga di hadapannya aku seperti bocah lima tahun yang sedang diberi nasihat. “Mulai sekarang engkau akan tidur di sini. Pria tadi adalah tuanmu. Dari Kakak Mong, aku tahu bahwa kau anak yang baik dan tidak pernah mengeluh. Maka, berlakulah dengan baik dan pria itu akan menyayangimu dan memberimu barang-barang yang indah. Tak ada gadisku yang pernah mengecewakanku. Kau harus menjaga reputasi itu. Walaupun kau tidur dengannya, dia bukanlah suamimu. Jadi, jangan pernah bertanya ke mana ia pergi pada malam hari ataupun menanyakan perihal istrinya di negeri Belanda. Kau tidak perlu bekerja berat. Ada babu yang akan membantumu. Pria itu bernama Cornell van de Creek. Bisakah kau menyebut Cornell?

“Kolnel,” kataku, cadel.

“Tak apa. Lama-kelamaan kau akan bisa menyebutnya. Kau juga harus belajar bahasa Belanda. Mulai besok aku datang setiap hari untuk mengajarimu berbahasa Belanda dan mengajarimu memasak hidangan Belanda. Tapi, yang paling penting adalah mengajarimu menjadi seorang nyonya, seorang nyai. Kamu sekarang adalah nyai. Bisakah kau menyebut ‘nyai’?”

“Nyai,” kataku, pelan.

1937
A Sui
Sudah diputuskan, aku akan menyusul Kian Li ke Batavia. Semua barangku sudah disiapkan dalam sebuah koper biru telur asin. Jepang mulai menyerang Cina. Tidak ada yang tahu kapan tentara mereka memasuki desa dan melakukan hal biadab.

Sudah dua tahun aku menjadi istri Kian Li. tapi kebersamaan kami dulu hanya berlangsung selama sebulan, sebelum dia kembali ke Batavia. Aku di sini tinggal bersama ibu mertua dan keluarga besarnya.

Tidak banyak yang kulakukan di rumah ini. Ibu mertua mengajariku menyulam serapi mungkin sehingga sulit membedakan bagian depan dan belakangnya. Aku juga diizinkan kembali bersekolah. Aku akan mengepang rambutku sebelum berangkat dan menggelungnya kembali setibanya di rumah. Beberapa kawanku tahu bahwa aku sudah menikah. Tapi, aku terlalu malu untuk menunjukkannya secara terang-terangan.

Aku sedang bermain dengan keponakanku ketika seorang pembantu memberi tahu bahwa aku ditunggu ibu mertua di ruang tamu. Ternyata, ibuku juga ada di sana.

“Mama,” kataku perlahan, sambil mendekat.

“Aduh… betul-betul tak tahu aturan! Ibu mertuamu adalah ibumu sekarang. Kakak Coy, maafkan saya. Saya pikir, saya sudah cukup mengajarinya. Saya malu jika dia sangat menyusahkan Kakak.”

“Tidak, A Sui gadis yang baik,” jawab ibu mertuaku.

“Saya baru diberi kabar oleh orang suruhan Kakak bahwa A Sui akan berangkat ke Nanyang besok. Saya langsung gelisah. Di negeri yang jauh itu, siapa yang akan mengajarinya tata krama dan melayani suami dengan baik. Karena itu, saya datang dan ingin menasihatinya untuk terakhir kali, sehingga saya tidak disalahkan nenek moyang saya di akhirat nanti. Kakak Coy tentu mengerti maksud saya.”

Mertuaku menangkap isyarat bahwa ibuku hanya ingin bicara berdua saja denganku. Dengan alasan hendak mengurus sesuatu di belakang, ia meninggalkan kami berdua.

“A Sui,” kata ibuku. Raut wajahnya berubah drastis. Nada suaranya tidak lagi berpura-pura riang. “Kamu terlihat sangat sehat. Mereka memperlakukanmu dengan baik di sini?”

Pertanyaan yang tidak usah dijawab karena keluarga Coy terkenal akan kebaikannya. “Mama juga terlihat sangat sehat,” kataku, berbasa-basi.

“Kamu akan pergi sangat jauh, persis tetangga kita Bin Lau yang pergi ke Ipoh. Aku akan menyuratinya agar dia bisa menjagamu jika kau mendapat kesulitan.” Tangis ibuku hampir pecah.

“Batavia lain dengan Ipoh, Ma. Lain kota, lain pulau, lain koloni. Ipoh di bawah koloni Inggris dan Batavia di bawah koloni Belanda,” kataku. Sebenarnya, aku tidak boleh mengonfrontasi orang tua dan memamerkan pengetahuanku.

“Sama-sama jauh,” katanya, tak menyadari kekurangajaranku. “Pohon baik akan berbuah baik. Aku tahu, putra Coy itu juga sama baik dengan kedua orang tuanya. Dia tidak akan menyia-nyiakanmu. Aku ingin memberimu sesuatu. Benda ini dimiliki keluarga kita selama puluhan tahun, Entah sudah berapa generasi dilewatinya. Konon, nenek moyangmu adalah seorang selir Kaisar Mancu. Meski nenekmu sangat cantik, Kaisar adalah seorang pembosan. Zaman itu masih belum ada pembatasan bahwa seorang kaisar hanya boleh memiliki seratus selir. Jadi, dia memiliki lebih dari 300 selir. Bisa kau bayangkan, ketika Kaisar tidak pernah mengunjunginya lagi, nenek moyangmu merasa sangat bosan dan merencanakan pelarian. Dia berhasil menyuap penjaga untuk menyelundupkannya ke luar istana dan lari ke daerah selatan. Kemudian dia menikah dengan lelaki setempat dan beranak pinak. Dengan demikian, si selir merasa tenang karena ada anak yang akan mendoakannya jika dia meninggal.”

Ibuku berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Dalam pelariannya, si selir juga membawa berbagai perhiasan yang dihadiahkan Kaisar ketika dia masih menjadi favoritnya. Gelang ini….” Ibuku mengeluarkan sepasang gelang giok dari balik kutangnya, “satu-satunya yang masih tersisa. Diturunkan dari generasi ke generasi dan selalu diberikan pada anak perempuan mereka. Sungguh berlawanan dengan adat kita yang selalu mengagungkan anak lelaki. Karena itu, aku ingin memberikannya padamu. Jagalah baik-baik.” Ibuku memasangkan gelang itu pada kedua lenganku.

“Mama, bagaimana dengan A Cen dan A Pei?” tanyaku, mengingat dua kakakku yang juga perempuan.

“Tak apa, mereka memiliki aku di sini. Gelang itu akan melindungimu di negeri jauh. Kamu tahu, giok bisa menangkal bahaya.”

Memang, aku pernah melihat ibuku memakai gelang ini pada kesempatan istimewa. Tapi, aku belum pernah mendengar sejarahnya. Sebelum aku sempat mengamati lilitan emasnya, ibuku memberikan kedua belah giwang yang sedang dipakainya.

“Giwang giok ini juga kuberikan padamu. Ini tidak memiliki sejarah apa pun. Ibuku yang memberikannya. Sekarang, copot gelang itu dan simpan semua dalam kutangmu. Aku tidak ingin ibu mertuamu tersinggung karena aku memberimu perhiasan.”

Tak lama kemudian ibu mertuaku datang dan mengundang ibuku makan malam bersama. Ibuku yang suaranya sudah kembali bernada riang sangat mahir memainkan perannya sebagai tamu yang sopan.

“Wah, benar-benar berkah dari langit diundang makan di rumah ini. Saya tidak yakin, apakah saya cukup layak menerimanya. Karena, hari hampir malam dan saya harus pulang.”

“Justru karena hampir malam, Adik harus makan di sini.”

Setelah tarik ulur yang sepertinya tidak akan selesai, ibu mertuaku setengah menyeret ibuku masuk ruang makan. Makan malam tersebut sebenarnya sangat istimewa, jika benakku tidak dipenuhi bayang-bayang kemungkinan bahwa ini adalah makan malamku terakhir di negeri Cina. Aku memasang muka pura-pura tertarik mendengar penjelasan ipar lelakiku mengenai taktik Perang Jepang.

Tibalah saatnya aku mengantar ibuku ke depan pintu. Seorang pembantu laki-laki sudah menunggu untuk mengantarnya pulang.

“A Sui…,” katanya pelan, sambil tersenyum.

“Ma…,” aku tercekat. Mataku panas.

”Sudahlah.” Dia berbalik, meraih lentera yang disodorkan pembantu.

Aku masih bisa melihat bayangan tubuhnya berhenti sebentar ketika akan menaiki bukit yang agak terjal di belokan. Ingin rasanya aku berlari mengejar dan memeluk ibuku, persis seperti waktu aku kecil dulu, bila aku jatuh. Cepat-cepat kuhapus air mataku. Aku yakin dia tidak bicara lebih banyak, karena tidak ingin membuatku menangis dan mempermalukan diriku di hadapan keluarga suamiku. Kudekap dadaku dan merasakan dingin giok menyentuh kulitku.

A Lin
“Jangan terbawa mimpi, Lince, kalau kau tak mau jatuh dan merasakan sakitnya.” Nyonya Ulrike berkata dalam bahasa Belanda. Aku sudah mahir berbahasa Belanda sekarang dan pandai berhitung, walaupun masih tetap buta huruf.

“Apa?” tanyaku, pura-pura melipat kain batik yang dijual Nyonya Ulrike. Jelas sekali dia membaca air muka wajahku yang sedang jatuh cinta.

“Cornell bukan suamimu. Suatu saat dia akan pulang ke Holland dan meninggalkanmu.”

“Mungkin juga dia tidak akan pulang,” sanggahku. “Pabrik kertasnya maju karena sekarang banyak orang yang membuka usaha penerbitan.”

“Ada istrinya di Belanda,” tukas Nyonya Ulrike.

“Istri yang tidak bisa memberikan anak,” kataku, sambil membelai perutku yang buncit karena hamil.

“Lince,” suara Nyonya Ulrike benar-benar serius, “aku sudah sering menyaksikan pemandangan seperti ini. Seorang wanita begitu bodoh membohongi dirinya sendiri bahwa dia tidak pernah akan ditinggalkan. Aku harap, kamu tidak mengulangi pola yang sama. Seorang nyai akan bahagia selama ia berperan sebagai nyai dan tidak pernah berharap lebih dari itu. Jika ia mengharapkan lebih dari itu, dia tidak ada ubahnya seperti pelacur yang mengemis, minta dijadikan istri. Jadi, jangan pernah mengharapkan lebih dari apa yang layak kamu dapatkan. Suka tidak suka, kamu harus mempersiapkan hatimu bahwa Cornell akan pergi, suatu saat nanti.”

Aku tidak menjawab, hanya mengangguk pelan, untuk menyenangkan hati Nyonya Ulrike yang sedang menatapku tajam. Sedetik kemudian benakku sudah dipenuhi rayuan Cornell tadi malam, tentang betapa ia sangat mencintaiku dan tak mungkin hidup tanpa diriku.

Terlebih lagi setelah aku melahirkan dua anak kembar perempuan yang cantik. Aku diberi hadiah intan permata dan kemanjaan, seolah aku adalah istri kesayangan, sekaligus putri raja.

Kedua putri kembarku, Noni dan Nona, dibaptis oleh seorang pendeta berjubah hitam serta diberi nama Gertrude dan Geraldine. Rambut mereka ikal keemasan. Matanya abu-abu, persis Cornell. Sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ibu mereka seorang Cina, kecuali pantat mereka yang biru kehijauan, seperti baru ditendang Dewa Langit.

Kebahagiaan. Apakah yang kutahu, selain hidup enak tanpa harus bekerja keras? Pria. Apakah yang kuketahui tentang mereka? Hanya Cornell pria yang kukenal. Kupikir, kebahagiaan dan kesempurnaan hidup ini akan berlangsung selamanya. Tapi, sepertinya tidak.

“Aku harus pulang ke Holland, Lince. Istriku memberi kabar, kedua orang tuaku sakit. Mungkin, aku tidak akan kembali lagi ke sini. Sudah ada orang yang ingin membeli pabrik kertasku. Rumah ini juga sudah masuk dalam daftar pelelangan. Besok Ulrike akan datang dan ia akan mencarikan pelindung yang baru,” kata Cornell, agak gugup.

Otakku membeku. Hatiku yang tiba-tiba mengeras menyuruhku untuk berteriak sekuat-kuatnya, untuk menyumpah, memaki sepuasnya di depan pria yang sangat kucintai ini. Ingin rasanya aku mengingatkan segala janji yang pernah diucapkannya pada malam-malam kebersamaan kami.

Setengah jam berlalu, jam besar di sudut menggoyangkan bandulnya ke kiri dan ke kanan, menghinaku. Aku masih tidak bereaksi. Kupandangi Cornell yang terbenam dalam keasyikannya membaca neraca laba perusahaan. Kesadaran lain menyergap. Ada naluri lain yang menyuruhku mengiba di depan Cornell, merayu, dan memohon agar dia tidak meninggalkan aku. Atau, paling tidak dia bisa membawaku ikut ke Belanda.

Aku berdiri. Aku bisa memilih untuk menjadi pengemis atau mengumpulkan sisa-sisa harga diriku yang berserakan. Kupandangi Cornell lagi. Akhirnya, kuputuskan untuk tidak melakukan perbuatan sia-sia. Cornell tidak pernah benar-benar mencintaiku. Baginya, aku hanyalah babu elite di siang hari dan guling hangat di malam hari. Bukankah Nyonya Ulrike sudah pernah mengingatkannya padaku?

“Lince, orang Belanda itu berbeda dari orang Inggris yang terlalu pelit untuk memelihara nyai. Mereka menciptakan bantal guling untuk mereka peluk malam hari. Padahal, jika kau ke Inggris, tidak akan kau temui bantal guling.”

Itulah aku, bantal guling Belanda.

Kulangkahkan kaki ke luar kamar. Entah mengapa, kakiku melangkah ke arah dapur dan membaringkan tubuhku di sana. Dingin. Lihatlah Mama, aku tidak menangis.

Keesokan harinya Nyonya Ulrike datang. Cornell juga ada, sedang membaca selembar kertas. Tidak seperti biasa, Nyonya Ulrike tampak sangat gugup. Dia bercakap-cakap dengan Cornell tentang kandidat yang akan memeliharaku nanti. Sakit hatiku melihat mereka membicarakan masa depanku, tanpa melibatkan diriku sama sekali.

“Aku tidak mau menjadi nyai lagi,” kataku, tiba-tiba.

Mereka berdua berpaling, memandangku bingung.

“Tapi, Lince…,” gumam Nyonya Ulrike.

“Aku tidak mau menjadi nyai lagi. Carikan aku pria yang mau menjadikan aku istri,” kataku, tegas.

Hening.

“Bisa saja diatur. Cornell, aku minta foto Lince yang sedang berfoto bersama si kembar. Nanti aku kirim ke Tanah Abang. Di sana ada bursa pria Cina yang mencari istri.” Nyonya Ulrike tampak agak lega.

Cornell mengeluarkan fotoku dari pigura di meja sudut. Setelah menyerahkannya pada Nyonya Ulrike, dia menghampiriku dan meletakkan lembaran kertas yang ada di tangannya.

“Lince, aku minta kau mencap jarimu pada dokumen ini,” katanya.

“Apa ini?” tanyaku, saat melihat foto si kembar ada di sana dan deretan aksara yang tidak bisa kubaca. Aku memandang Cornell dan Nyonya Ulrike bergantian.

“Lince, kupikir, ada baiknya jika aku membawa si kembar bersamaku ke Belanda. Ada istriku yang akan menjaga mereka di sana.”

“Tapi, dia bukan ibu mereka. Dia pasti akan membenci si kembar. Mereka baru saja bisa berjalan, masih bayi. Mereka masih menyusu padaku.” Suaraku benar-benar memelas sekarang.

“Greta, istriku, sudah mengetahui keberadaanmu di sini. Awalnya, dia marah. Tapi, setelah dijelaskan bahwa sangat lumrah memiliki nyai di Hindia, dia bisa mengerti. Dia juga bersedia menerima si kembar, mengingat kami tidak memiliki anak. Gertrude dan Geraldine sudah cukup besar untuk bepergian. Kamu tidak usah khawatir. Di kapal laut ada wanita yang menyewakan payudaranya dan akan merawat si kembar bila mereka rewel,“ ucap Cornell, tenang, meski jelas sekali dia menghindari tatapan mataku.

Kupandangi kertas di hadapanku, bertanya dalam hati, apa yang akan terjadi jika aku menolak. Aku baru mengetahui bahwa si kembar hanya memiliki hubungan hukum denganku sebagai ibu yang melahirkannya karena Cornell tidak pernah secara sah menikahiku. Dengan memberikan cap jari, berarti aku setuju anakku diadopsi oleh Cornell. Biadab. Aku yang masih buta huruf dibodohi seperti itu.

Tapi, saat itu aku tidak berdaya. Jika aku menolak, sekeras apa pun, Cornell pasti akan menang. Dengan pasrah kubiarkan Cornell menekan-nekan ibu jariku di dokumen tersebut.

Payudaraku mengencang karena emosi yang menggeliat di dalam dadaku. Naluri seorang ibu yang masih menyusui bayinya. Lunglai aku mencari si kembar. Kupeluk mereka erat-erat.

Mama, beginikah rasanya ketika kau dulu terpaksa melepaskanku? Pedih dan ngilu, bagai pedang panjang menembus tubuhmu. Setiap embusan napas makin membuatnya menghujam lebih kejam, mencabik, dan meninggalkan luka yang menganga. Jika waktu akan menyembuhkannya, luka parut yang tersisa akan selalu mengingatkan bagaimana luka itu ada, mengingatkan akan setiap irisan yang pernah kau alami. Mengerikan!

Noni dan Nona mulai menarik-narik ujung kebayaku. Mereka bisa mencium bau susu dengan penciuman mereka yang tajam. Kubiarkan mereka menyusu secara bersamaan. Kubiarkan tanggul mataku roboh. Aku menangis dan mulai menghitung detik-detik sebelum perpisahan.

Aku tahu, menghidangkan teh adalah tes yang umum diberikan oleh para makcomblang untuk melihat keluwesan seorang gadis.

A Sui
Tanjung Priok. Aku bahkan tidak bisa melafalkannya dengan benar. Lidahku sangat cadel, tidak terbiasa mengucapkan bahasa asing. Setelah perjalanan laut yang panjang, aku akhirnya sampai di pelabuhan ini. Dua kawan wanitaku sekampung, Wu Lai dan Syu Lan, yang satu perjalanan denganku sudah dijemput suami dan kerabat mereka masing-masing.

Seorang petugas imigrasi berdarah Cina memberitahuku bahwa sebenarnya suamiku sudah menjemput di luar. Tapi, dia lupa membawa surat bukti nikah. Jadi, terpaksa aku menginap di sini sampai suamiku bisa memberikan bukti otentik karena kantor imigrasi sudah tutup.

“Adik,” katanya, dengan tatapan mata kurang ajar, “banyak wanita cantik diselundupkan dari Cina karena Belanda melarang perkawinan campur dengan pribumi. Wanita yang datang punya cerita yang sama, yaitu menyusul suami mereka. Padahal, kenyataannya, mereka dijual dari Cina. Di sini, jika beruntung, mereka akan dijadikan istri atau tinggal di tempat pelacuran.”

Ingin rasanya aku menampar mukanya kalau tidak ingat bahwa aku harus menahan diri dan tidak ingin mereka memperlakukanku lebih buruk. Mereka memasukkanku dalam sebuah sel. Sel yang sudah dipenuhi sekitar dua puluh lima wanita seusiaku.

Mungkin, memang banyak wanita diselundupkan dari Cina. Aku tersenyum lemah pada wanita di sebelahku dan mencoba berbincang dengannya. Tapi, aku sadar, dia menggunakan dialek yang tidak kumengerti. Mungkin Hokian.

Seorang pria kulit putih menilik kami satu per satu pada malam hari. Aku berusaha duduk setenang mungkin dan tidak menutup wajahku. Dia justru menyentuh wanita yang menutup wajahnya dan memaksa mereka memperlihatkan wajah mereka. Ibuku pasti langsung pingsan jika melihatnya. Kulitnya sangat putih. Rambut pirangnya ada di sekujur tubuh dan wajahnya. Yang paling mengerikan adalah matanya. Begitu pucat, seperti mata setan.

Tapi, orang itu tidak melakukan apa pun. Ketika penjaga menutup pintu sel, aku mendengar embusan lega dari kawan-kawanku. Beberapa orang malah mulai terisak-isak karena ngeri.

Hari sudah agak siang ketika mereka melepaskanku. Kian Li tampak sangat pucat, meski terlihat sangat tampan memakai setelan Eropa berwarna putih. Dia meremas-remas topi di tangannya untuk menutupi rasa gugup.

“Mereka tidak percaya aku suamimu,” katanya, singkat. ”Belum apa-apa, kau sudah membuatku susah,” omelnya. Ia meraih koperku dan menyuruhku naik ke atas delman.

Aku merengut. Enak saja dia mengomel atas hal yang sama sekali bukan kesalahanku. Kian Li bahkan tidak bertanya, apakah aku sudah makan atau belum. Padahal, aku sudah sangat kelaparan. Hatiku benar-benar kesal. Dalam kesempatan lain aku akan terpesona oleh pemandangan kota yang dihiasi gedung megah.

Tiba-tiba Kian Li meraih tanganku dan meremasnya.

“Aku sangat khawatir,” katanya, lirih, sambil memandang jalanan di hadapan kami. “Mereka tidak memperlakukanmu dengan buruk, ‘kan?” Dia menatapku.

Aku menggeleng lemah. Hatiku lumer oleh sikapnya yang lembut.

“Kamu pasti sangat lapar. Di sini banyak restoran Kanton yang enak. Sebelah rumah kita nanti juga restoran. Aku dan adik laki-lakiku menyewa rumah yang akan kita tinggali bersama di daerah Pintu Besar. Salah satu kawasan Glodok yang merupakan daerah Pecinan di Batavia. Kolonial Belanda membatasi kaum Cina agar tinggal di daerah Pecinan saja. Jadi, kau akan lihat tempat yang kamu tinggali tidak ubahnya sebuah kampung Cina yang besar, walau mereka datang dari suku Cina yang berbeda.” Nada suaranya riang. Dengan kikuk ia melepaskan genggaman tangannya.

Badan kami berdua bergoyang-goyang, seirama dengan langkah kaki kuda. Kusadari, sebelumnya aku tak pernah melihat kuda. Ketika sedang asyik memandangi mahluk cantik itu, tiba-tiba aku merasa Kian Li sedang menatapku. Tapi, dia langsung berpaling ketika tahu aku meyadari tatapannya. Wajah kami berdua pun memerah karena malu.

Aku juga sangat merindukanmu, bisikku dalam hati. Itulah suamiku yang memesona. Seperti sebuah ungkapan Cina, dia jenis pria yang dapat membuat air naik ke langit dan bunga-bunga jatuh ke bumi.

Kami sampai di depan rumah yang dimaksud. Rumah-rumah di sini berdempetan. Namun, atapnya sangat familiar, melengkung ke atas, menampung segala berkah dari langit. Orang-orang berseliweran, seolah mereka semua punya hal penting untuk diselesaikan.

Kian Jin, adik iparku, sudah menungu di depan pintu.

“Kakak ipar, akhirnya kita bertemu. Kian Li nyaris menggigiti sepatunya sendiri tadi malam karena menghawatirkanmu,” katanya, sambil tersenyum nakal, menggoda kakaknya.

Aku terdiam, walaupun sangat senang. Kian Li berusaha mengatur wajahnya agar yang dikatakan adiknya seolah bohong belaka.

Kian Jin lebih muda dua tahun daripada Kian Li. Mereka berdua merantau ke Batavia sepuluh tahun lalu dan membuka usaha pembuatan mebel bersama-sama. Usaha mereka sangat maju karena mebel buatan mereka sangat halus dan kokoh, sesuai selera Belanda.

Kian Li dan Kian Jin sangat tampan. Gadis-gadis anak pemilik restoran sebelah secara terang-terangan menggoda mereka setiap kali lewat. Senyum-senyum, memamerkan gigi mereka. Hatiku langsung terbakar api cemburu. Tidak masalah jika mereka menggoda Kian Jin. Kian Li sudah memiliki istri. Dia milikku! Aku uring-uringan memikirkan apa yang dilakukan Kian Li sebelum aku datang menyusulnya.

Tapi, sebagai wanita Cina bermartabat, aku tidak boleh menunjukkan perasaan cemburuku pada siapa pun. Sangat lumrah bagi pria Cina jika ia memiliki beberapa istri atau mengunjungi rumah pelacuran sekalipun. Sepintar-pintarnya aku memendam perasaan, Kian Jin bisa melihat perubahan sikapku.

“Kian Li, tidakkah kau lihat istrimu ini merengut setiap kali kita melewati restoran sebelah? Seperti anak kecil yang dilarang membeli gula-gula,“ katanya, sambil melihat wajahku yang memerah. Aku tidak heran jika dia bisa melihat asap keluar dari telingaku.

Kian Li menatapku khawatir. “A Sui, kamu sakit? Cuaca di sini memang lebih panas dari Tiongkok sana.”

Kugelengkan kepalaku kuat-kuat.

“Kian Li, kamu memang bebal. Istrimu ini cemburu pada gadis-gadis sebelah,” kata Kian Jin, tidak memedulikan wajahku yang berwarna ungu.

Kian Li, mendengus, sekilas aku bisa melihatnya tersenyum. “Kian Jin, mungkin besok aku pergi ke Pasar Baru, menemani kakak iparmu membeli kacamata. Mungkin, aku juga akan membeli cermin baru. Tampaknya, A Sui tidak pernah melihat wajahnya sendiri di cermin,” kata suamiku, datar.

Ini adalah pujian. Orang Cina tidak biasa memberikan pujian langsung kepada istrinya. Aku tersenyum senang. Kian Li menganggapku lebih cantik dari gadis-gadis sebelah. Aku tersenyum-senyum sendiri. Tapi, Kian Li berkomentar seenaknya, “Dasar wanita sinting,” katanya, sekenanya.

1939
A Lin
“Gue pengen pinjem duit elu senilai satu kilogram emas. Gue kembaliin lima tahun lagi, ditambah bunga lima puluh gram emas,” kataku pada Loi Kun, suamiku. Anak perempuan kami, Lin Ai, merangkak-rangkak di lantai, mencari bolanya yang terbuat dari kulit kambing.

“Ape?” Suamiku tidak memercayai pendengarannya. Kami berdua berkomunikasi dalam bahasa Melayu dengan logat Betawi. Walaupun keturunan Cina Ke’ (Hakka) seperti aku, Loi Kun adalah Cina peranakan. Artinya, puluhan tahun lalu nenek moyangnya sudah datang ke Indonesia, bercampur dengan darah pribumi.

“Gue mau pinjem duit buat buka warung kelontong.”

“Emangnye, duit yang gue kasih tiap bulan nggak cukup?” tanyanya.

“Gue pengen punya duit sendiri,” sahutku, memberi alasan, meski sebenarnya aku mengkhawatirkan masa depan kami. Loi Kun bekerja di perusahaan tekstil milik Belanda. Gajinya setiap bulan lebih dari cukup untuk membiayai kami semua. Beberapa minggu lalu dia baru saja mendapat banyak warisan dari ibunya. Hal inilah yang mendrongku untuk memberanikan diri meminjam uang darinya. Karena, aku tahu pasti, perusahaan milik Belanda itu tidak akan berlangsung selamanya. Persis seperti Cornell-ku yang sudah pergi. Aku tidak ingin warisan yang kami miliki terkikis sedikit demi sedikit.

“Buka usaha kelontong di sini mana laku?” tukasnya, ragu. Di sekitar rumah tinggal kami yang berada di Pecenongan memang banyak saingan.

“Mangkenye gue pengen pindah ke daerah pinggir. Misalnya, Pasar Minggu atau Manggarai,” jawabku lagi.

“Elo atur aje, deh,” katanya, ringan. Dia tersenyum. Dia mencintaiku. Terlalu mencintaiku. Aku tidak layak baginya, karena aku tidak mencintainya. Aku tidak bisa dan tidak mau. Bagaimana jika suatu saat dia berhenti mencintaiku, pergi meninggalkanku, mempunyai wanita simpanan, atau dijemput maut? Tidak. Aku tidak mau merasakan sakit hati lagi.
Sejak pertama Nyonya Ulrike memperkenalkan kami, dia begitu terpesona pada penampilanku yang anggun sebagai nyai. Aku langsung jatuh iba padanya.

“Betul kan, si A Lin cakep. Kagak rugi, deh, kalo aye yang jadi calo.” Nyonya Ulrike memperkenalkanku pada Loi Kun, anak saudagar emas dari Pecenongan. Ibunya yang berbadan bungkuk juga ikut mengangguk-angguk puas.

“Emang bener, Cim, mendingan si Loi Kun kawin sama A Lin yang sudah jadi nyai begini. Pinter ngurus rumah, kagak macem-macem. Daripada dia kawin sama anak perawan, tapi gede ambeknye. Kerjaannye cuma cembetut tiap hari kalo kemauannye kagak diturutin. Belon lagi keluargenye pada pengeretan. Bisa-bisa si Loi Kun kurus kering karena makan ati,” kata Nyonya Ulrike, berusaha menambah nilai jualku.

Sekilas, pandangan mataku dan Loi Kun bertemu. Entah mengapa, dia langsung menunduk malu. Dia baru berumur dua puluh dua. Masih begitu muda. Aku tujuh belas, tapi aku merasa sudah berumur seratus tahun. Maafkan aku, Loi Kun. Aku akan merawatmu dengan baik, melahirkan anak-anak yang lucu bagimu, tapi aku tidak bisa memberikan hatiku padamu. Si Belanda berengsek itu telah mengambilnya terlebih dahulu.

  A Sui
Untuk pertama kalinya aku menyaksikan Kian Li dan Kian Jin bertengkar. Aku dan Kian Li sudah memiliki seorang anak perempuan berumur satu tahun. Badannya montok dan sangat lucu. Kian Li berencana membuat pesta besar untuk merayakan ulang tahunnya. Dia memesan sepuluh meja di restoran sebelah yang akan menghidangkan sembilan macam hidangan. Hal ini mengesalkan Kian Jin. Menurutnya, itu pemborosan. Terlebih lagi, anak kami perempuan, bukan laki-laki yang bisa dibanggakan.

Dua tahun sudah aku mengenal Kian Jin. Mengenalnya seperti aku mengenal suamiku. Dengan sikapnya yang riang dan terkadang urakan, aku tidak pernah menyangka dia memiliki pemikiran kolot mirip kakek-kakek. Sementara itu, Kian Li beranggapan, Kian Jin sama sekali tidak punya hak untuk protes. Karena, uang yang kami pakai adalah uang kami sendiri, mengingat setiap keuntungan hasil usaha selalu dibagi dua sama rata.

Di hari perayaan itu, Kian Jin sengaja tidak pulang. Tamu yang datang tidak kurang dari seratus orang, membawa hadiah bagi si bayi. Temanku sekampung, Syu Lan, dan suaminya juga datang. Mereka bilang baru saja membuka usaha mi di daerah Gajah Mada.

Hidangan disantap rame-rame. Para tamu tersenyum puas kekenyangan dan tampak gembira. Tibalah acara puncak. Sebuah nampan bundar, hampir sebesar meja, diletakkan di depan sang bayi. Nampan itu diisi berbagai pernak-pernik dan makanan kesukaan bayi. Diharapkan, sang bayi akan memilih satu benda dari nampan tersebut. Benda yang dipilihnya dipercaya merupakan gambaran masa depan si bayi.

Sui Lai tampak bingung melihat benda-benda di hadapannya diatur sedemikian rupa hingga tampak semarak. Sejenak aku berpikir dia akan mengambil makanan kesukaannya, buah plum kering yang dibungkus kertas. Tapi, aku pernah mendengar, biasanya si bayi akan memilih benda selain makanan kesukaannya. Makanan tersebut diletakkan hanya untuk membingungkan si bayi.

Seorang pria berbadan sangat gemuk bergurau. Dia meletakkan botol arak dan kartu judi di dalam nampan. “Siapa tahu dia jadi pemabuk dan penjudi,“ katanya. Semua tamu terbahak-bahak.

Tangan Sui Lai yang gemuk mengibas ke dalam nampan sehingga isinya berantakan. Kemudian ia meraih sebuah gelang. Lengannya yang lain meraih lagi, mengambil pasangannya. Gelang giok pemberian ibuku.

“Aaahh….” Para tamu serempak bersuara dan mengangguk-angguk, berusaha menafsirkan arti pengambilan gelang tersebut.
“Dia akan menjadi ahli permata,” kata seorang pria kurus.

“Tidak, dia akan menjadi ibu dan istri yang pengertian, seperti giok yang dingin,” sanggah seorang wanita berkebaya.
“Dia akan kuat dan penuh kuasa seperti naga,” cetus seorang kakek tua, sambil memperhatikan naga emas yang melilit gelang.

“Sui Lai akan menjadi nyonya besar yang memiliki banyak harta,” kata Kian Li tiba-tiba. Semua orang menoleh dan mulai mengangguk-angguk, menyetujui tafsiran tersebut.


Hari yang meriah, sekaligus melelahkan. Tengah malam Kian Jin pulang. Penampilannya awut-awutan. Aku bisa mencium bau arak yang menguar. Dia mabuk.

“Aku mau pergi,” katanya, singkat.

“Mau ke mana,” tanya Kian Li, datar.

“Makassar.”

Seminggu kemudian dia pergi, menaklukkan daerah yang baru. Mungkin juga untuk memuaskan ambisinya. Batavia sudah terlalu sumpek, begitu katanya dulu.

Tidak berapa lama sejak kepergiannya, kami sekeluarga juga dipaksa pindah. Kolonial Belanda ingin merapikan tata kota, terutama daerah Pecinan yang makin semrawut. Kami pindah ke Jatinegara, daerah Mester, yang konon diambil dari nama seorang Mister Belanda terkenal yang pernah tinggal di sana. Letaknya tidak jauh dari pasar. Di sini juga ada keluarga Betawi. Hal ini sangat menyulitkan karena aku tidak bisa berbahasa Melayu.

Rumah kami kecil, menyewa dari seorang Betawi, Pak Yahya. Yahya pernah bekerja pada seorang Belanda yang memiliki sebidang tanah luas. Ketika orang Belanda itu pergi, Yahya mengambil alih tanah tersebut dan menyewakannya kepada orang Cina yang banyak pindah dari Kota.
“Aku akan beli rumah yang besar nanti. Untuk sementara, kita tinggal di sini. Yang lain penuh,” kata Kian Li, menghibur.
Ah, Kian Li… tidakkah kau cukup mengenal diriku? Bagiku, materi tidaklah penting. Aku tersenyum menenangkannya, mengelus perutku yang menggembung karena mengandung anak kedua.

1954
A Lin
Nyonya Lin. Begitu kini panggilanku. Tidak ada satu orang pun di daerah Bukit Duri yang tidak mengetahui namaku. Bahkan, ketenaranku mencapai Manggarai, Kampung Melayu, Jatinegara, dan Menteng Pulo. Aku sangat kaya.

Keuntungan usaha toko kelontong yang kubuka lima belas tahun lalu, kugunakan untuk membeli banyak tanah dan rumah yang kemudian kusewakan. Banyaknya orang dari kampung ke Jakarta mengadu nasib makin memenuhi brankas uangku dan menghias diriku dengan banyak berlian.

Benar dugaanku. Jika aku tidak memutar otak dan memakai kemahiran yang diajarkan Nyonya Ulrike, aku dan Loi Kun mungkin sudah jadi gembel sekarang. Karena, perusahan tekstil tempatnya bekerja sudah tutup.

Aku juga menjadi rentenir. Lintah darat, kata mereka yang sinis. Apa peduli mereka? Aku tidak pernah memaksa mereka untuk kawin lagi, menghamburkan uang untuk pesta pora perkawinan. Akibatnya, mereka kemudian mengemis padaku dan meminjam uang, sekadar untuk makan.

Penghasilanku sebagai rentenir tidak seberapa, karena aku tidak menarik bunga tinggi. Tidak seperti I Nam, tetanggaku. Bahkan, terkadang aku terpaksa melepaskan utang mereka jika kuanggap mereka dalam keadaan memprihatinkan.

Di hadapanku kini ada seorang janda yang sedang hamil. Tidak ada satu perhiasan pun dipakainya. Namun, dia terlihat sangat cantik. Dia masih terlalu muda untuk menjadi janda. Itu berbahaya. Karena, seorang janda dengan keadaan ekonomi seperti itu sangat rentan menjadi penggoda suami orang. Berbeda dari gadis muda yang tidak mau dimadu. Seorang janda bersedia dijadikan simpanan, terutama di masa sulit seperti sekarang.

Aku bersyukur, Loi Kun sedang tidur siang, sehingga tidak melihat wanita ini. Tidak, aku sama sekali tidak cemburu atau merasa tersaing oleh wanita ini. Meski aku tahu dari tetangga, Loi Kun pernah masuk rumah pelacuran. Tapi, aku pasti akan membunuh Loi Kun, jika dia berani mengambil istri simpanan.

“Ada perlu ape?” tanyaku, agak arogan. Dilihat dari pakaiannya, dia pasti berdarah Cina seratus persen.

“Mau gadai,” katanya, singkat. Logatnya sangat aneh, seperti tidak pernah berbicara dalam bahasa Melayu dengan benar. Dia mengeluarkan sepasang gelang giok dari lipatan saputangan.

Gelang tersebut terlihat sangat cemerlang. Warnanya hijau tua. Ada lilitan emas berbentuk naga di sebagian sisi. Ukirannya yang tidak begitu halus justru makin menegaskan betapa kuno umur dari gelang tersebut.

“Mau gadai berape?”

“Dua latus pelak. Nanti wo ambil lagi kalau wo sudah ada duit,” ucapnya, masih cadel.

Jelas sekali dia tidak mengetahui harga permata. Karena, harga aslinya pasti berlipat-lipat ganda.

“Gue kagak demen ama batu giok. Gue demennye ama berlian. Elu punya berlian kagak?“ Mata janda itu nyalang karena tersinggung. “Lagian, dari mane gue tau kalo ni gelang kagak cacat?”

“Putel aje. Naganye bisa diputel,” katanya. Memang, naga yang melilit itu bisa diputar sehingga bisa dilihat, tidak ada cacat sedikit pun di gelang tersebut.

“Gue cuma bisa kasih seratus. Kalo kagak ditebus dalam tempo dua bulan, gelang ini jadi punya gue.”

Dia tidak berkata sepatah kata pun, hanya mengangguk lemah.

Aku langsung menyimpan gelang tersebut, ketika dia pergi. Aku sadar, tadi aku bertindak sangat sok. Aku bertanya-tanya, kenapa aku sangat tidak menyukai wanita itu. Ciong, kata orang. Bintang kelahiran kami tidak cocok sehingga aku membencinya tanpa alasan. Aku juga merasa wanita tersebut terlalu sombong, padahal dia membutuhkan bantuan. Dia sama sekali tidak menunjukkan sikap hormat padaku.

Aku melihat Loi Kun terlelap di kamarnya. Sejak kuketahui dia mengunjungi pelacur, kami pisah kamar. Delapan anak kulahirkan untuknya, dua di antaranya kembar. Begini cara dia berterima kasih? Aku yang membuatnya keliling Jakarta dengan mobil, menghamburkan uang bagai tuan besar. Mungkin dia kesal karena akhirnya dia merasa bahwa sebenarnya aku tidak pernah mencintainya.

Rasa ibaku karena tidak bisa mencintainya berubah menjadi rasa syukur. Tidak ada yang bisa menyakiti A Lin lagi.

“Kenape emaknya Sui Lai dateng?” tanya, Lin Ai, anak sulungku.

“Emaknya siape?”

“Emaknya Sui Lai, bekas teman sekolah aye dulu. Tapi, sekarang die udah berhenti, karena harus ngebiayain adik-adik-nye. Kasihan mereka miskin. Sui Lai ngebantuin emaknya jahit baju ama nyulam. Tapi, kita masih sering ketemu. Rumahnya dekat sekolah.”

Aku terkesiap. “Lin Ai, denger kate emak, ye. Jangan maen ama Sui Lai lagi,” kataku, mengancam.

“Emangnye kenape? Dia dulu paling pintar di sekolah,” katanya, mencoba membangkang.

“Pokoknye kagak boleh, orang miskin cuma bawa susah,” kataku, mengakhiri.

A Sui
Seratus perak, hanya itu yang kudapat. Betapa sombongnya wanita itu. Memandang rendah padaku, mengharap aku mengemis. Tak akan.

Mama, maafkan aku. Aku terpaksa menggadaikan gelang itu. Pak Yahya berkata akan mengusirku karena aku sudah terlalu sering menunggak sewa rumah. Padahal, dia sudah memindahkan kami hingga ke sudut,rumah terkecil di gang buntu. Beberapa hari yang lalu dia bahkan menarik Sui Lai, putriku yang sudah gadis, dari kamar mandi dan meludahinya karena aku tidak memiliki uang pembayaran.

Kusandarkan tubuhku di pepohonan rindang di taman Bukit Duri Tanjakan. Masih setengah lagi perjalananku ke Jatinegara. Bayi di dalam perutku bergerak mengganti posisi tidurnya. Kian Li, suamiku, kau bahkan tidak sempat melihat anakmu yang kedelapan. Dia perempuan, aku bisa merasakannya.

Aku menitikkan air mata. Kian Li meninggal sebulan lalu. Dia tertekan. Usaha pertukangan kami bangkrut. Sejak Jepang datang dan banyak keluarga Belanda yang pulang, tidak ada lagi yang memesan perabotan. Sejak itu berbagai pekerjaan dilakukannya, mulai dari penjual sayur keliling hingga tukang bangunan.

Sementara itu, aku sibuk melahirkan anak-anaknya. Setelah Sui Lai, aku melahirkan enam anak laki-laki lagi. Ketika melahirkan anak ketujuh, kami dalam keadaan sangat miskin. Syu Lan, temanku yang membuka usaha mi di Gajah Mada, datang menjenguk.

“A Sui, anakmu yang terakhir ini sebaiknya kau berikan pada temanku untuk diadopsi. Mereka hidup berkecukupan dan tinggal di Bandung. Mereka sudah bertahun-tahun berumah tangga, namun tidak memiliki anak. Dia pasti akan menyayanginya dan memberikan yang terbaik untuk anakmu ini.“

Aku dan Kian Li menyetujuinya, meski hati kami hancur berkeping-keping. Semalaman aku tidak tidur. Kusulam selimut yang indah untuk bayiku, bergambar seekor harimau betina dan seekor anak, sesuai dengan shio lahirnya. Sulaman itu begitu hidup dengan belang-belang hitam di atas kulitnya yang keemasan. Jika dewasa nanti, mungkinkah dia akan mencari ibu kandungnya?

Tekad kami cuma satu, dia lebih baik dibesarkan di keluarga berkecukupan. Sejak itu kondisi Kian Li menurun. Dia makin kurus dan sering termenung. Dia pun pergi untuk selamanya.

Orang tua yang mengadopsi bayiku memberi sebuah mesin jahit yang sangat bagus. Dengan demikian, aku bisa menerima jahitan dan pesanan sulaman tangan. Tak ada seorang pun anakku yang boleh kelaparan. Mereka juga harus bersekolah, meski hanya sekadar bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Seorang pria berpeci menghentikan sepedanya di depanku.

“Cim, baik-baik aja? Perlu ke bidan?” tanyanya, khawatir. Dia bingung melihat keadaanku yang hamil dan menangis sendirian.

“Baik. Nggak usah lepot-lepot.”

Aku berdiri dan melanjutkan perjalananku. Aku harus kuat. Ada bayi dalam perutku dan enam orang lagi perlu diberi makan.

Aku pulang bagaikan jenderal yang kalah perang. Sudah lama aku lupa pada kekuatan dari sikap diam.

A Sui
Memalukan. Benar-benar memalukan. Putri bungsuku, Sui Giok, mengatakan bahwa ia hamil. Hamil oleh Bun Kun, putra bungsu A Lin, si Nyonya Besar yang sombong itu. Selama ini aku tidak mengetahui bahwa mereka berpacaran. Aku memang mengetahui, anak sulungku, Sui Lai, dan anak sulung nyonya itu, Lin Ai, berkawan akrab sejak kecil. Dan, sekarang mereka tinggal dan membuat usaha pembuatan tas bersama-sama di daerah Glodok, di depan pertokoan Gloria.

Usaha mereka cukup maju. Mereka memiliki toko di Pasar Mester dan baru membeli sebuah mobil. Hebatnya lagi, mereka bisa mengendarainya! Kala itu tidak banyak wanita yang bisa mengendarai mobil. Benar ramalan Kian Li dulu. Sui Lai akan menjadi nyonya besar yang memiliki banyak harta.

Sui Lai tidak pernah menikah. Sewaktu remaja, tenaganya dipakai untuk membantuku dan menghidupi adik-adiknya. Seorang pria menyakiti hatinya. Akibatnya, hingga sekarang dia tidak lagi ingin memiliki keluarga.

Lin Ai sudah menjadi janda pada usia yang sangat muda. Ibunyalah yang memaksanya untuk bercerai. Si Nyonya Besar itu, ibu macam apa dia? Memaksa putrinya sendiri bercerai karena menantunya dianggap terlalu malas dan tidak akan bisa menghidupi putrinya dengan baik. Padahal, alasan sebenarnya adalah si menantu ternyata tidak mendapat warisan apa-apa ketika orang tuanya meninggal.

Sui Giok memang kusuruh membantu usaha kakaknya di Glodok dan menjaga toko di Pasar Mester pada siang hari. Mungkin, di situ Sui Giok dan Bun Kun sering bertemu.

Aku akan bunuh diri. Begitu kata Sui Giok, ketika kukatakan, aku tidak akan mau mengemis di hadapan nyonya itu.

Bunuh diri. Apa yang Sui Giok tahu tentang bunuh diri? Bunuh diri demi kehormatan dilakukan untuk menjaga nama baik dan harga diri, bukan dijadikan senjata ancaman seperti itu. Di Cina pada zamanku dulu, seorang gadis yang sudah tidak perawan sebelum menikah akan diberi emas oleh ibunya. Bukan untuk dipakai. Tapi, untuk ditelan dan bunuh diri secara terhormat sehingga nama baik keluarga tidak tercemar.

Apakah dia juga lupa akan keimanan Kristianinya? Kukatakan padanya, jika Bun Kun mencintaimu, dia harus datang melamarmu. Tapi, aku tidak mau menjual harga diriku.

A Lin
Bun Kun memintaku melamar Sui Giok, anak janda cantik itu. Mengapa? Mengapa Bun Kun, putra bungsuku yang paling kusayang, memilih anak janda miskin yang tinggal di gang buntu, yang ukuran rumahnya lebih kecil dari kamar mandiku?

Dulu aku memang pernah miskin sampai serendah titik nol. Tapi, sekarang, setiap kali aku melangkahkan kaki, setiap orang akan menunduk hormat padaku. Kusarankan pada Bun Kun untuk memberi uang kepada Sui Giok agar dia menggugurkan kandungannya. Apa katanya? Dia ingin menikahi wanita itu. Dia tidak percaya bahwa Sui Giok wanita mata duitan. Dia bilang, Sui Giok tidak mau mengaborsi kandungannya.

Tapi, rupanya dia cukup bodoh hingga bisa hamil. Akibatnya, sekarang aku terpaksa duduk di mobil menuju Jatinegara.

Apakah si janda itu masih secantik dulu? Dia tidak pernah datang lagi untuk menebus gelang gioknya. Baguslah. Aku menyukai gelang itu. Gelang itu seolah memiliki daya tarik magis. Indah dipandang dan cantik dipakai, walaupun naga yang melilitinya terlalu keras bila dijadikan simbol untuk perhiasan wanita. Gelang itu milikku sekarang. Kusimpan di tempat tersembunyi

Jatinegara, daerah Pecinan tengah kota. Di jalan yang lebar, berderet-deret rumah besar berukuran cukup besar, sedangkan di gang-gang yang kecil, mungkin hanya gembel yang mau tinggal di sana.

Gang itu becek sekali. Lebarnya tidak sampai satu meter. Rumah-rumah kecil saling berhadapan. Akhirnya, aku dan suamiku sampai di rumah terujung. Rumah ini jelas baru direnovasi. Kudengar, anaknya banyak yang menjadi pedagang sukses.

Janda itu berdiri di depan pintu, tidak mempersilakan aku masuk. Berapa umurnya sekarang? Rambutnya masih begitu hitam mengilat. Tampak anggun karena digelung ke belakang. Matanya yang cokelat berkilat-kilat penuh emosi.

Aku juga bersikeras tidak membuka suara terlebih dahulu. Loi Kun, suamiku yang sudah amat mengenal sifatku, berdiri gelisah. Takut salah dalam bertindak. Si janda sudah tahu akan kedatanganku. Aku sudah mengirim kurir sehari sebelumnya.

Tiba-tiba seorang wanita keturunan Arab muncul, memecahkan kebisuan yang menegangkan di antara kami.

“Ah, Nyonya Lin udah dateng. Mari masuk,” katanya, tergopoh.

Kami semua masuk. Loi Kun agak membungkukkan badannya karena langit-langit rumah itu sangat rendah.

“Saya Ummi. Tetangga di sini. Saya dan A Sui udah kayak sau-dara. Ada perlu ape, ye, Nyonya kemari?” wanita Arab itu berkata lagi, sambil membetulkan letak kerudungnya.

“Begini, aye dateng karena anak aye, si Bun Kun, bilang, anak Encim ini dihamilin ama die.” Aku sudah siap melihat wajah janda itu mencibir penuh kemenangan. Di luar dugaanku, wajahnya justru terlihat sangat sedih, seakan-akan ingin menangis.

“Emang, masalah ini agak ruwet, ye. Kalo emang udah kejadian, selalu perempuan yang rugi,” si Ummi angkat bicara lagi.

“Tapi, aye masih sangsi, ape betul anak aye yang perlu tanggung jawab,” mulutku yang sudah terbiasa nyinyir, nyerocos begitu saja.

Si janda berdiri dari duduknya. Air muka Ummi berubah garang. ”Nyonya, setahu aye, A Sui kagak pernah minta tanggung jawab ama siape-siape. Die malah ngelarang anak laki-lakinye supaya kagak ngegebukin si Bun Kun. Jadi, kalo Nyonya kagak ada urusan lagi, silakan angkat kaki dari sini,” kata Ummi, sangat ketus.

Aku salah langkah. Kuubah nada bicaraku. “Maap, kalo aye salah-salah kate. Aye… aye… dateng mau ngelamar Sui Giok,” kataku.

Begitulah. Sebuah rencana pernikahan sudah dipersiapkan. Si janda tidak menginginkan pesta, juga tidak mengharapkan Bun Kun menikahi anaknya di gereja. Hanya di Catatan Sipil. Aku juga harus mempersiapkan Bun Kun untuk memiliki penghasilan sendiri. Maklumlah, selama ini Bun Kun adalah anak kesayangan, yang hanya tahu hidup enak. Dia pengangguran.

Anehnya, selama pembicaraan tadi, si janda tidak mengucapkan sepatah kata pun. Hanya mengangguk atau menggeleng. Ummilah yang bertindak sebagai negosiator dan juru bicara.

Aku mengira akan beradu mulut dengan si janda. Tapi, kini aku bagaikan jenderal yang kalah perang. Baru saja mendapati bahwa benteng yang dituju sama sekali tidak bisa ditembus. Aku sudah lama lupa akan kekuatan dari sikap diam.

1976
A Sui
Bayi itu lahir di tahun naga. Perempuan. Aku harap dia tidak sulit menemukan jodohnya. Wanita naga terkenal perfeksionis. Umumnya, mereka memilih tidak menikah daripada hidup dengan pria yang tidak memenuhi standar.

Rambutnya lebat hitam, kasar, dan kaku. Pertanda kepribadian yang kuat, namun keras kepala. Dia tidak memiliki wajah secantik ibunya. Bentuknya bulat seperti bulan. Bukan berbentuk buah persik yang elegan. Katanya, wajah bulat seperti itu membawa hoki bagi pasangannya. Matanya sangat sipit, hitam seperti kuaci.

Cucuku itu bukan cucu yang pertama. Dia cucu dari anak perempuanku. Berarti, aku tidak berhak menyebutnya cucuku. Dia cucu luar. Namun, aku sangat mencintainya.

Aku membujuk Sui Giok meminum ramuan Cina yang kugodok sendiri. Dia masih lelah sesudah melahirkan sehari sebelumnya, di Rumah Bersalin Leony. Bun Kun menimang-nimang sang bayi dengan penuh kebanggaan.

“Mama, ntar dulu, deh. Tanya dokter, boleh nggak minum obat Cina.” Sui Giok menolak meminumnya.

“Elu mao baek nggak? Sehat ampe tua. Badan elu juga bakal balik lagi kayak pelawan. Lual-dalem. Elu kagak mao suami lu kabul ama pelempuan laen, ‘kan?” Aku masih mendesaknya. “Kalo gitu, elu makan, nih, ayam alak. Masih panas.” Aku menyodorkan ayam arak yang dipercaya memulihkan kesehatan ibu yang baru melahirkan dan memperbanyak ASI. Seekor ayam dara yang belum pernah bertelur, dimasak dalam sebotol arak merah dan irisan jahe. Selama empat puluh hari penuh dia harus memakannya setiap hari. Aku tidak seberuntung ini ketika melahirkan anak-anakku.

“Entar aje, Ma. Ngantuk, nih.” Sui Giok membaringkan badan.

Pintu kamar terbuka. Nyonya besar itu datang membawa rantang besar, bersama suaminya yang bengong-bengong seperti orang bego. Sui Giok langsung duduk tegak di atas ranjangnya.

“Sui Giok, ini gue bawain ayam arak. Dimakan, ye. Gue tadi potong ayam jago gue. Liat aje nih ayam gemuk banget. Banyak minyaknye. Ini ayam khusus, ayam kebiri.”

Sui Giok menurut. Ia meraih rantang dan mulai memakannya. Hatiku panas. Putriku lebih menurut pada mertuanya. Lagi pula, untuk apa memotong ayam kebiri? Sui Giok harus memakan ayam dara, bukan ayam kebiri untuk pria impoten.

“Mane cucu gue?” Nyonya itu sengaja menekankan kata cucu gue. Bun Kun memberikan bayi dalam gendongannya. Si Nyonya meraih bayi, sambil menyingsingkan gelang ronce di lengannya. Mana gelang giok itu? Apa dia tidak pernah memakainya? Dulu, aku tidak bisa menebusnya.

Putraku, Kian Kim, pasti akan memberikan uang lebih jika aku menceritakan perihal gelang itu. Dia sudah menjadi pengusaha yang sukses di Solo, pemilik toko perhiasan imitasi, yang menjadi sponsor acara lomba kecantikan setiap tahun.

“Loi Kun, mane giwang berlian yang tadi gue bawa?”

Suami si Nyonya memberikan sepasang giwang berlian yang berkilat-kilat pada istrinya.

  Aku melarangnya menukar anting emas yang dipakai si bayi dengan giwang berlian itu, karena si bayi berteriak kesakitan. Giwang itu terlalu besar untuk lubang kupingnya yang kecil.

Tapi, si Nyonya bersikeras, cucunya harus memakai berlian.

“Mao dinamain siape die?” Loi Kun angkat suara.

Kami semua memandang Bun Kun dan Sui Giok bergantian.

“Kita nggak mau kasih nama Cina. Bisa-bisa nanti susah masuk sekolah, susah cari kerja kalo udeh gede,” kata Bun Kun. “Kita kasih nama Swanlin. Gabungan dari A Sui dan A Lin.”

Aku dan si Nyonya bertukar pandang.

1986
Swanlin
Hari sabtu adalah hari yang paling kutunggu selama seminggu. Karena, aku bisa menginap di rumah nenekku di Gang Batis, diambil dari nama seorang Belanda bernama Batiste, yang pernah tinggal di situ. Papaku akan mengantar dengan motor trail-nya yang tinggi bagai pembalap ke Jatinegara Barat II. Rambut papaku gondrong ala penyanyi rock ‘70-an. Entah mengapa, ini membuatku sangat malu. Aku hanya ingin mempunyai papa yang normal, berambut cepak dan mengendarai Vespa.

Popo Sui, begitu aku memanggil nenekku dari pihak ibu. Rumahnya sangat kecil. Terletak di gang buntu paling ujung. Dia sangat cadel. Kosa katanya terbatas. Terkadang, dia berbicara dalam bahasa Kong Hu dengan beberapa empek dan encim tua yang tinggal dekat situ. Berbeda dari Popo Lin, nenekku dari pihak ayah, yang fasih berbahasa Melayu dengan logat Betawi, karena dia tidak tinggal di Pecinan. Aku sama sekali tidak pernah mendengar Popo Lin berbicara dalam bahasa Cina apa pun.

Di Gang Batis ini bisa kutemui berbagai penjaja makanan keliling yang hanya bisa ditemui di daerah Pecinan, seperti tukang sekba, lumpia goreng, bakpia, tekwan, dan susu kacang. Selain itu, ada juga makanan biasa lainnya, seperti siomai, bakso, dan soto mi, yang rasanya sangat enak. Seorang penjual kue pancung selalu salah memanggilku dengan nama ibuku. Atau, Bang Maman, si tukang nasi goreng, selalu memasukkan cai sim karena dia pikir aku adalah ibuku, yang sangat suka sayuran.

Saat paling membahagiakan adalah ketika perayaan Imlek, walaupun kami tidak terang-terangan menunjukkannya. Mamaku akan membuatkan surat keterangan agar aku tidak masuk sekolah. Ada urusan keluarga. Begitu katanya. Seminggu sebelum Imlek, Popo Sui akan mengirimkan kue keranjang kepada para kenalan yang tidak merayakan Imlek, terutama keluarga almarhumah Ummi, yang tinggal di Gang Awab (asal kata Arab).

Satu hari menjelang Imlek, Popo akan meletakkan meja, yang disulap menjadi meja altar, di depan pintu masuk untuk kakekku, Kian Li. Di meja itu terdapat dua lilin merah yang akan dinyalakan, mangkuk beras tempat meletakkan hio, berbagai macam hidangan kesukaan Kakek, serta arak merah dan arah putih.

“Po, kenapa nasinya ada dua mangkuk? Terus, kenapa rokoknya musti yang warna cokelat?” tanyaku.

Nenekku menjawab, mungkin Akung (kakek) mengundang temannya untuk makan bersama. Dan, mungkin, temannya itu merokok. Kita harus menyediakan rokok terbaik agar kakekku tidak malu. Menggelikan, pikirku. Untuk apa Popo menyediakan meja ini? Dia bahkan tidak membakar hio untuk suaminya. Pendeta melarang keras Popo Sui berdoa menurut tradisi Cina.

Jika aku menginap di rumah Popo Sui, sebelum tidur dia akan membacakan Alkitab berhuruf kanji Cina. Popo Sui adalah kutu buku. Di pagi hari dia akan membaca koran Indonesia berhuruf Cina, novel, atau majalah. Dia bahkan membacakan kertas keterangan di dalam obat Po Chai Pills atau Hai Fung San.

Jika sudah lelah membaca, Popo akan bercerita untukku. Cerita-cerita klasik Cina tentang pejuang-pejuang wanita yang gagah berani, berperang bersimbah darah demi keluarga, suami, negara, kehormatan, kemerdekaan, dan ketidakadilan. Beberapa adalah pelacur, selir, hantu, jiwa yang gentayangan, pribadi yang dibenci, sekaligus ditakuti. Namun, dia juga bercerita mengenai wanita-wanita tak berdaya yang harus mengurus mertuanya, sementara sang suami sibuk mencari ketenaran dan wanita muda. Atau, cerita tentang wanita yang terpaksa memotong dagingnya sendiri untuk memberi makan orang tuanya yang kelaparan. Anak yang berbakti dan istri yang setia. Menurut kacamata orang Cina, mereka bisa disamakan dengan pejuang.

Cerita favoritku adalah mengenai selir raja yang bunuh diri. Seseorang berkepribadian bebas, yang tidak takut untuk mencinta atau membenci. Di saat-saat lain nenekku juga bercerita mengenai roman. Namun, ceritanya terlalu membosankan. Akhir dari cerita selalu mengenai sepasang kekasih yang bersatu dan memiliki anak laki-laki, tanda tercapainya kebahagiaan di dunia.

“Swan, udeh dengel celita San Pek Eng Tai?” tanya nenekku.

“Udah seratus kali, Po!” seruku. Aku tak mau mendengar cerita itu lagi. Kenapa mereka harus jadi kupu-kupu untuk bersatu?

“Elu musti kayak Eng Tai, nyalu jadi laki-laki bial bisa sekolah. Elu musti pintel. Hai kuo ping yu yue, tian gao ren niao fei.”

“Apa artinya, Po?” tanyaku, bingung, sambil berusaha mengusir nyamuk yang mulai berpesta. Aku tidak pernah belajar dialek Mandarin ataupun Kong Hu. Ibuku juga tidak pernah berbicara dalam bahasa Mandarin. Sejak pemerintah menutup sekolah Cina tahun 1965 dan melarang perayaan-perayaan Cina, kaum Tiong Hoa takut menggunakan bahasa itu lagi.

“Laut selebal ikan bisa belenang, langit setinggi bulung bisa telbang,” jawab Popo Sui. Benarkah? Makin kupikirkan, rasanya kata-kata itu makin masuk akal. Laut selebar ikan bisa berenang, langit setinggi burung bisa terbang. Jika aku diharuskan mempunyai pedoman hidup, falsafah itu akan kupegang selalu.

Ketika hari masih gelap, Popo Sui sudah bangun, mencuci muka, dan membuat kopi. Kemudian, dia akan membuka gelung rambutnya. Rambutnya mencapai pinggang dan hitam berkilat. Ajaib, sepertinya dia tidak pernah memiliki uban. Setahuku, Popo sama sekali tidak pernah menyemir rambutnya. Hanya memakai sampo warna hitam. Itu saja. Setelah disisir rapi, dia akan mengepang dua rambutnya di kiri dan kanan. Dua kepangan itu kemudian disatukan lagi menjadi sanggul di tengkuknya.

Dia akan memulai harinya dengan berdoa. Dia mendoakan anaknya satu per satu, hingga ke anak-cucu.

Kemudian, dia akan berkata, “Swan, ayo ke pasal.” Kami pun berangkat dengan membawa dua kantong plastik besar ke pasar dekat terminal Kampung Melayu. Dia selalu memasak pada hari Minggu karena pada hari itu hampir semua cucunya datang berkunjung. Dimasaknya bakso goreng, sesau, tahu kuning dengan lobak asin, mun tahu, atau jamur hitam yang sangat mahal.

Ketika hidangan sudah siap dan cucu sudah berdatangan, Popo Sui bersiap-siap ke gereja. Popo Sui menjahit semua bajunya. Tidak seperti Popo Lin yang memakai kain dan kebaya. Popo Sui memakai celana panjang dan kemeja berkerah shanghai.
Mata Popo Sui yang lebar dan berwarna cokelat diwariskan pada semua sepupuku yang rata-rata perempuan. Hal ini membuatku sangat iri, karena mataku sangat sipit. Belum lagi aku harus memakai kacamata sangat tebal sejak berumur enam tahun. Kacamata itu membuatku sangat minder dalam pelajaran olahraga di kelas atau permainan lompat tali dan adu benteng.

Aku cucu kesayangan Popo Sui. Dia akan menelepon ibuku, jika aku tidak datang pada hari Sabtu dan liburan sekolah. Dia selalu memberikan sesuatu yang lebih dibandingkan untuk sepupuku yang lain, walaupun Popo Sui mati-matian menyangkalnya dan ratusan kali menyebutku dengan sebutan cucu luar.

Dalam pemahaman kanak-kanakku, aku sebenarnya sangat sedih karena aku ingin menjadi cucu dalam dan setaraf dengan sepupu-sepupuku yang cantik. Sepertinya, menjadi cucu luar akan mengurangi kasih sayang Popo Sui padaku. Aku tidak pernah akrab dengan sepupuku dari pihak ayahku karena mereka sangat sombong dan sering mencelaku.

Hari Minggu sore adalah hari yang paling kubenci karena aku harus pulang bersama mamaku ke Bukit Duri Puteran. Aku tidak suka pulang. Bukan karena harus sekolah keesokan harinya, tapi karena aku harus mengunjungi Popo Lin dan membawakan rebusan ayam obat buatan mamaku.

Rumah Popo Lin terletak di Pasar Bukit Duri Puteran. Rumah sekaligus toko itu sangat besar, walaupun tidak tampak dari depan. Begitu besarnya rumah itu sehingga beberapa anaknya yang sudah berkeluarga masih tinggal di situ.

Popo Lin tidak pernah sayang padaku. Dia akan selalu membanding-bandingkan aku dengan Lina, anak dari Apak (kakak lelaki ayah) Tang Kun, yang juga tinggal di situ. Menurut Popo Lin, Lina sangat pintar di sekolah dan sangat cantik. Padahal, aku tahu pasti, ini tidak benar. Dari para pembantu di situ, kudengar Lina sering membolos dan malas membuat PR. Dia juga tidak cantik. Sepupuku, Yenny, dari pihak Popo Sui, jauh lebih cantik.

Secara terang-terangan Popo Lin akan memberikan hadiah untuk Lina di hadapanku. Berusaha menunjukkan, Lina adalah kesayangannya. Tak masalah, karena aku memiliki Popo Sui.

“Mama, ngapain, sih, tiap Minggu Swanlin musti pergi ke rumah Popo Lin? Biarpun Mama selalu kasih Popo Lin ayam obat, dia selalu menyela Mama. Katanya, Mama bawa sial. Sejak Papa kawin dengan Mama, usaha Popo Lin bangkrut.”

“Jangan bandel, Swanlin, Popo Lin musti makan ini, biar rematiknye kagak kambuh. Cepet pegi sono, entar keburu malem,” kata Mama, tidak sabar. Dalam pemahamannya, Popo Lin sangat sayang padaku. Namun, bagiku cara menunjukkannya sangat aneh.

Begitulah. Sekali lagi aku terpaksa melangkahkan kaki menuju rumah Popo Lin yang terletak tiga gang dari rumahku di Jalan Perkutut. Popo Lin pasti sedang menonton televisi sekarang.

Pada masanya dulu, kudengar Popo Lin sangat kaya dan dihormati banyak orang, terutama warga Betawi yang sekarang sudah berumur lanjut. Sehingga, aku tidak heran ketika Pak Haji Navis, pembuat jamu, tiba-tiba memanggilku.

“Cucu Nyonya Lin, ke sini. Mau ke rumah Nenek, ye?“

“Iya, Kong, mau antar obat,“ kataku, takut-takut. Setiap anak di daerah sini takut pada Haji Navis yang galak.

“Nih, bawa, nih, jambu buat nenek lu sekantong. Sekantong lagi buat emak lu. Bilang dari Napis. Gue tau nenek lu demen ama jambu aer ijo, soalnya kagak asem. Kalo die mau lagi, bilang aje. Pohon gue lagi bebuah banyak.”

“Makasih, Kong.” Aku merasa sedikit senang karena ada untungnya juga punya nenek seperti Popo Lin. Tapi, kegembiraanku tidak berlangsung lama. Seorang anak laki-laki sebaya denganku tiba-tiba muncul. Kepalanya botak dan bentuknya sangat aneh. Dia mulai menyeringai di hadapanku.

Aku pulang bagaikan jenderal yang kalah perang. Sudah lama aku lupa pada kekuatan dari sikap diam.

A Lin
Ke mana si Swanlin? Harusnya, dia sudah datang membawa obatku. Kunyalakan televisi di kamarku yang luas. Hartaku tak sebanyak dulu. Musibah demi musibah kualami.

Suamiku sakit parah. Banyak biaya tersedot untuk pengobatan sebelum ia meninggal. Tak ada air mata istri yang menyertai kepergiannya. Suamiku yang malang. Beberapa putraku terlibat kriminalitas. Aku menyuap sejumlah pejabat untuk membebaskan mereka. Aku juga kehilangan kepiawaianku dalam berdagang. Beberapa kali aku tertipu.

Aku harus mengakui, hanya Lin Ai dan Bun Kun yang tidak pernah mengecewakanku. Swanlin juga sangat pintar. Tapi, aku tak mau terang-terangan menunjukkan rasa sayang padanya. Sebaliknya, aku malah berusaha membuatnya iri dengan memberikan pujian pada cucuku yang lain. Swanlin bisa membuatku terkejut dengan pengetahuannya. Suatu kali aku memberi Lina kalung liontin berlian 18 karat di depan Swanlin. Kukatakan pada Lina, berlian itu akan jadi miliknya jika dia dewasa. Tiba-tiba Swanlin berkata, “Tahukah Popo, berlian terbesar di dunia dimiliki Ratu Elisabeth di Inggris, diambil dari seorang raja India?”

Hah! Apa peduliku pada Ratu Elisabeth? Aku juga memiliki kalung mirip kalung seorang ratu. Bertingkat tiga dan bertabur permata. Swanlin malah lebih tertarik melihat kain batikku yang disimpan dalam botol kaca. Dia menyimak kata-kataku bahwa di dalam botol kaca kain itu menjadi awet, tidak dimakan ngengat.

“Yang ini, kok, gambarnya aneh?” tanyanya, menunjuk kain batik biru bergambar anak perempuan Belanda berambut keriting.

Aku terdiam. Batik itu asli Pekalongan, yang kupesan khusus. Aku masih sering mengingat anak perempuan kembarku yang dibawa Cornell ke Belanda. Di mana mereka sekarang? Tahukah mereka bahwa aku adalah ibu aslinya dan tinggal di Jakarta?
Suara tangis memecahkan memori menyakitkan dalam hidupku. Si Swanlin datang dengan kaki berdarah dan terisak-isak.

“Kenape?” hardikku. Pembantu datang dan mengobati kakinya. “Ngapain bawa gembolan banyak kayak mau pindah rumah?” kataku lagi, menunjuk bungkusan yang dibawanya.

“Ini… jambu dari Haji Navis, buat Popo. Swanlin sedang jalan, eh… ada anak dorong Swanlin sampe jatoh. Dia hina Swanlin. Katenye….” Belum selesai bercerita, Swanlin kembali menangis.

Darahku naik. “Yang mane anaknye? Di mane rumahnye? Tunjukin!”

Entah setan apa yang mendorongku, aku menuju kamar dan membuka lemari besiku, salah satu peninggalan Cornell. Setinggi hampir dua meter dengan ukir-ukiran di atasnya. Terbuat dari besi solid dengan penutup lubang kunci berbentuk kepala singa.

Kupakai semua perhiasan terbaikku dan mengganti kebayaku dengan bordiran emas asli. Untuk pertama kalinya, kuambil gelang giok si Janda dan memakainya. Sekilas kulihat Swanlin tiba-tiba berhenti menangis dan melihat gelang giok di lenganku. Apakah si Janda pernah menceritakan gelang ini kepadanya?

Kupaksa Swanlin, yang gemetaran seperti anak kucing, menunjukkan rumah bocah kurang ajar itu. Langkahku tegap, walaupun ditopang sebatang tongkat berkepala elang dari perak. Beberapa pria tua bersarung yang hendak salat magrib berhenti dan menyapa hormat padaku. Letak rumah bocah itu ternyata tidak jauh, di Gang Cerucuk. Tunggu dulu. Ini rumah Maemunah, istri Pendi yang tidak pernah bayar utang padaku!

“Nyonya Lin, ade ape, ye, kok, tiba-tiba dateng?” Maemunah sangat kaget melihatku dan langsung mempersilakanku masuk.

Tidak mengherankan, dia tidak bisa membayar utang. Anak dan cucunya begitu banyak, sehingga ruang tamu juga disulap menjadi ruang tidur. Seorang anaknya masuk, menyuguhkan teh.

“Maemunah, elu liat kaki cucu gue, nih. Ampe berdarah gini dijorokin ama cucu lu. Mane die? Panggil sini. Gue mau liat!”

Maemunah shock mendengarnya. “Ya, Allah, yang bener, Moy?” tanyanya pada Swanlin. ”Maapin, deh, Nyonye. Maklum, anak kampung begaul ama anak kampung. Lagaknye juga pasti kampung. Kalo Nasir tau si Amoy cucunye Nyonye, die pasti kagak berani. Pasti aye gebukin die kalo ampe kurang ajar ama keluarga Nyonye.”

“Bukan masalah keluarga gue ape bukan!” Aku mengentakkan tongkatku ke tanah karena emosi. Seorang bayi menangis histeris mendengar suaraku yang menggelegar.

Semua menatapku ketakutan. Aku sadar, aku telah bertindak keterlaluan. Apa maksudku datang ke sini? Memamerkan harta dan menyalahgunakan kekuasaanku? Dewa, maafkan aku. Ibuku memang menginginkan aku memiliki penghidupan yang baik. Tapi, dia pasti tidak akan pernah bangga akan perbuatanku yang satu ini, mirip para tuan tanah Tionghoa yang kejam.

“Ye, udeh, gue pulang dulu. Bilangin ama cucu lu, jangan suka iseng ama Swanlin. Nih, duit dikit, buat cucu lu yang nangis. Pengen minum susu kali die.” Aku mengeluarkan uang dari selipan kainku.

Maemunah bingung menerima lembaran uang dariku. Kami sudah sampai ujung gang ketika salah satu anak perempuan Maemunah menghampiri dan memaksa mengantar pulang.

“Kalo emang elu mau, anterin aje gue, biar Swanlin bisa pulang sekarang.” Kemudian aku menyuruh cucuku pulang. Sekali lagi aku melihat matanya melirik gelang giokku. Hmm, si Janda itu pasti memberi tahu dia tentang gelang giok ini.

A Sui
“Nanti, elu coba cali asuk (paman, adik laki-laki dari ayah) lu, Kian Jin, di Ujung Pandang,” kataku, pada Kian Yam, putraku. Dia akan berangkat bersama kawannya ke Ujung Pandang.

“Ma, Ujung Pandang itu kota besar. Lagian, Mama bilang Asuk udah pindah ke kota lain, waktu Asuk kirim foto kawinnya dulu. Habis itu, Asuk kagak pernah kirim surat lagi kan habis Mama pindah ke Jatinegara? Mama sendiri nggak tahu alamat pastinya,” kata Kian Yam, tanpa bermaksud mengecilkan keinginanku.

“Sebenarnya, Kiu-Kiu (kakak laki-laki ibu) kagak usah nyari ke kota-kota kecil. Kalo emang Sukung (adik lelaki kakek) pindah ke kota laen, die pasti kagak tinggal di kota yang lebih kecil. Sejak zaman Belanda, orang Cina dilarang tinggal di kampung. Terus ada peraturan pemerintah yang ngelarang keturunan Tionghoa tinggal di desa,” kata Swanlin. Sejak kapan ia ada di situ dan mendengar pembicaraan kami? Kenapa kakinya lecet begitu?

“Dari mane elu tau peraturan kayak gitu?” tanya Kian Yam, ragu.

“Dari buku. Waktu Imlek kemaren, Kiu-Kiu Kian Gok ninggalin bukunya di lemari Popo Sui.” Swanlin beranjak menuju lemari, lalu menunjukkan buku itu.

Kian Yam tampak tergugah. Dia berjanji akan mencari Kian Jin, walau hanya berbekal foto pernikahan Kian Jin dengan istrinya.

“Popo, Swanlin liat gelang giok dipake ama Popo Lin.” Swanlin nyerocos, sebelum sempat aku menanyakan kakinya yang lecet.

Aku pernah menanyakan, apakah ia melihat si Nyonya Besar memakai gelang giok. Namun, aku melarangnya bertanya langsung. Dan, aku tidak menceritakan bahwa gelang itu milikku.

“Yang benel?” Aku seperti tidak memercayai pendengaranku. Tiga puluh tahun lebih aku melepaskan gelas itu. Dalam hati aku merasa lega karena sebelumnya aku khawatir si Nyonya menjual gelang itu, karena usahanya bermasalah. Gelang itu masih ada.

1998
A Lin
Mereka bilang, aku pikun. Semua berkonspirasi melawanku, dari dokter hingga anak cucu. Aku masih sehat. Otakku masih setajam dulu. Aku ingat siapa saja yang berutang padaku. Aku tahu di mana kuletakkan berlian dan permataku.

Mereka tidak percaya ucapanku. Mereka bilang, hartaku sudah banyak yang dijual sejak bertahun-tahun lalu. Bah, mereka pasti mencurinya. Menjadi pencuri di rumah sendiri. Memalukan!

Di luar sana sedang terjadi kerusuhan. Beberapa pemuda Kebon Sayur berjaga-jaga di depan rumah, berusaha melindungiku dari penjarah. Pasti, orang tua mereka yang merasa berutang budi padaku, yang menyuruh mereka melakukannya.

Aku sama sekali tidak takut. Sejak dulu, aku sudah tahu cara menghadapi para perampok yang sering menyatroni keluarga Cina. Harta paling berharga tidak kusimpan dalam lemari besi, karena akan jadi tempat pertama yang mereka tuju. Perhiasan kusimpan dalam stoples bumbu di dapur. Uang dan surat berharga kumasukkan dalam kapuk di kasur. Kusisakan sedikit uang dalam lemari besi untuk menyenangkan hati perampok.

Kurebahkan tubuhku. Aku siap jika penjarah itu datang.

Brak! Pintu terbuka. Swanlin masuk dengan wajah khawatir.

“Popo, kenapa masih di sini? Kata Lina, Popo nggak mau ngungsi ke hotel. Keadaan udah gawat, Po. Mereka menjarah di mana-mana. Rumah ini nggak aman karena ada toko di depan. Kalo Popo nggak mau ke hotel, Popo ke rumah Swanlin aje, ye? Di sana kan rumah biasa, bukan toko.”

Aku melirik telepon genggam Swanlin. Dunia sudah sangat maju . Tapi, kejadian seperti ini selalu saja berulang. Swanlin terlihat sangat letih. Kenapa dia pakai jaket warna kuning? Dan, kenapa dia memakai pita warna hitam di lengannya?

Seperti bisa membaca pikiranku, Swanlin menjawab, “Swanlin tadi lagi demonstrasi di Salemba. Kemaren, ada mahasiswa ditembak di Grogol. Ini temen Swanlin, Parul. Satu kampus. Dia yang temenin Swanlin kemari.” Aku menoleh, tidak menyadari sedari tadi ada pemuda berambut gondrong yang menyertai Swanlin.

“Udeh, pegi aje sono. Gue baek-baek aje. Elu kagak liat, tuh, di depan ada pengawal?” Hatiku trenyuh akan kekhawatiran Swanlin. Aku yang selalu mencela dan membentaknya. Cucuku.
 
Swanlin
Tak ada lagi yang bisa kulakukan di sini. Popo Lin bersikeras tidak mau meninggalkan kamarnya. Nasir, pemuda yang pernah mengataiku, berjanji akan terus menjaga Popo Lin bersama teman-temannya. Aku berangkat lagi menuju Salemba.

Tuhan, begitu aibkah menjadi keturunan Cina? Aku tidak kuat menahan air mataku, sedangkan otakku berputar keras. Mereka kelaparan dan muak dengan kemiskinan yang selalu mengimpit. Cara pelampiasan yang paling cepat adalah mencari pihak untuk disalahkan. Cina yang dianggap kelompok elitis, meski sebenarnya ada juga yang miskin, menjadi sasaran tepat. Cina adalah pendatang yang mencuri rezeki kaum pribumi. Ya, kami dianggap pencuri, yang kini jadi pelampiasan dendam menahun.

Jalanan begitu lengang. Kupeluk erat pinggang Parul, kekasihku. Motor bebeknya menderu menembus jalan.

Aku langsung teringat cerita Popo Sui mengenai pemilik kuda. Suatu hari dia kehilangan kuda satu-satunya. Seisi desa mengatakan betapa sial nasibnya. Tapi, si pemilik kuda tidak bersedih. “Siapa tahu kejadian ini merupakan keberuntungan yang terselubung,” katanya. Keesokan harinya si kuda yang hilang pulang dengan membawa sepuluh kuda lainnya. Seisi desa mengatakan betapa beruntungnya dia. Tapi, si pemilik kuda berkata, “Siapa tahu ini adalah kesialan yang terselubunMalam hari perampok datang dan mengambil semua harta dan kudanya. Sekali lagi, seisi desa mengatakan betapa sial nasibnya dan si pemilik kuda berkata, “Ini adalah keberuntungan terselubung.”

Swanlin, ini bukan kehancuran. Jangan menyerah sekarang. Ini permulaan. Semua dimulai dengan langkah pertama.
A Sui
Aku baru mengunjungi rumah Syu Lan, kawan sekampungku. Aku ingin mencari anakku yang diadopsi ketika masih bayi. Hanya dia yang mengetahui alamat orang tua bayiku di Bandung.

Kian Yam berhasil menemukan keluarga Kian Jin di Bulukumba. Kian Jin sudah meninggal, tapi dia sangat berhasil di sana. Kian Yam berkata, mereka orang terkaya di kota itu. Mereka gembira ketika mengetahui memiliki sepupu di Jakarta. Beberapa sudah datang mengunjungiku.

Sayang, Syu Lan sudah meninggal. Jadi, bagaimana aku mencari anakku itu? Anak-anak Syu Lan, yang meneruskan usaha restoran mi Gajah Mada, sangat simpatik berkata, akan berusaha mencari tahu ke semua kenalan mereka yang ada di Bandung.

“Po, ayamnya enak, ya?” Swanlin membuyarkan lamunanku.

“Swanlin, jangan pegang sumpit di ujung gitu. Nanti jodoh lu olang jauh,” aku menegur Swanlin yang selalu memegang sumpitnya di ujung atas. Konon, ini menandakan jodohnya seseorang yang tinggal sangat jauh secara geografis.

Kupandangi anak cucuku yang mengelilingi meja bundar. Semua keluarga Cina pasti mengajarkan anak-anak mereka tentang pentingnya acara makan. Menikmatinya sebagai berkah di hari ini, mengingat bahaya kelaparan di hari esok.

Selama makan, setiap orang sibuk menjumput makanan. Tidak untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang-orang dikasihi. Aku mendapat kulit bebek dari Sui Giok. Aku memberi Swanlin jamur hitam. Swanlin menaruh daging rusa pada mangkuk bibinya. Begitu seterusnya.

“Swanlin baca buku ape?” aku bertanya pada Swanlin, yang mengikuti jejakku menjadi kutu buku.

“Buku kedokteran. Popo Lin kena penyakit dementia.” Semua mata memandangnya. “Biasa disebut penyakit pikun orang tua. Popo Lin sering ngawur. Katanya, emasnya banyak yang hilang. Padahal, emang Popo Lin yang teledor naruh. Emas batangnya ada di dalam kaleng kue yang diisi beras. Waktu berasnya banyak kutu, Popo sendiri yang buang ke tempat sampah. Berlian ditaruh dalam pipa ranjang besi. Waktu ranjangnya patah, ternyata berliannya nggak ada lagi di situ.”

Aku terkesiap. Bagaimana dengan gelang giok? Apakah juga hilang? Gelang itu harus ada di tanganku sebelum aku mati.

2001
A Sui, A Lin, dan Swanlin
Tahun naga. Tahun yang sangat kritis bagi Swanlin yang bershio sama. Tahun ini akan membentuknya atau menghancurkannya. Tapi, dia malah memutuskan untuk menikah.

Kedua neneknya sudah memperingatkan untuk menunggu hingga pergantian tahun. Apa yang harus disalahkan jika Swanlin tidak percaya bahwa pergerakan bintang-bintang memengaruhi nasibnya. Swanlin hidup di zaman yang berbeda. Swanlin juga tidak mau memakai pita merah di sekeliling pinggangnya, yang harus dipakai untuk menolak bala bagi orang yang memasuki tahun yang sama dengan shionya.

Satu hari menjelang pernikahan. Dua keluarga duduk di kursi yang mengelilingi ruang tamu Popo Lin. Pihak keluarga Parul, sang calon suami yang datang dari Medan, tampak menerka-nerka, apa yang harus dilakukan saat acara teh pai.

Parul tampak tegang. Pemuda yang malang. Dia mengalami masa sulit saat meminta persetujuan kedua nenek Swanlin.

Popo Lin tidak henti-hentinya merendahkan bahwa Parul tidak akan menjadi orang kaya selama masih bekerja kantoran. Kualifikasi masa depan yang gemilang adalah syarat mutlak untuk menjadi suami Swanlin.

Popo Sui juga tidak serius menganggapnya sebagai kekasih cucunya. Dia hanya boleh jadi teman, tidak lebih. Fankui (pribumi), kata Popo Sui, tidak boleh menikah dengan orang Cina.

Aku dan Parul harus bersabar, pikir Swanlin. Suatu saat nanti kedua neneknya pasti akan bisa melihat kesungguhan dan kebaikan yang dimiliki kekasihnya. Keluarga Parul yang bersuku Batak baru menyetujui hubungan mereka ketika Swanlin berjanji akan mengikuti upacara adat pernikahan Batak dan mendapat marga ibu Parul menjelang pernikahan.

Begitulah. Akhirnya, kedua nenek setuju, walau sambil mengomel. Mungkin, pemuda itu yang terbaik bagi Swanlin.

Upacara minum teh dimulai, diawali dengan memberikan cangkir pada keluarga pihak pria. Parul memegang nampan yang berisi cangkir teh dan Swanlin memberikan pada calon mertua lelakinya, lalu yang perempuan. Swanlin dan Parul membungkukkan badan, mengatupkan tangan tanda hormat. Calon mertua Swanlin memberi angpao merah, sambil terkikik geli karena mengikuti upacara adat Cina.

Sedetik kemudian Swanlin mulai tegang. Setelah ini dia harus menyuguhkan teh pada kedua neneknya.

Tidak ada alasan untuk tegang. Mereka sudah memberikan persetujuan, pikir Swanlin. Swanlin mendekati Popo Lin terlebih dulu karena ia ibu dari ayahnya. Popo Lin memberikan amplop merah besar. “Swanlin, ini isinya surat tanah di Depok. Gue sengaja simpen buat lu. Gue dulu beli waktu elu bilang sekolah di Depok. Tapi, gue lupa ngasih ke elu. Sekarang elu udah kawin, elu bisa bangun rumah di sono. Emang, sih, jauh di udik. Tapi, zaman sekarang, di mana lagi bisa beli tanah?”

Swanlin dan Parul membungkuk dan mengucapkan terima kasih, kemudian beralih ke Popo Sui.

Popo Sui memberikan sepasang giwang giok. “Swanlin, Popo cuma bisa kasih ini. Ini peninggalan buyut lu. Udah berulang kali digadein. Waktu kita susah, semua halta benda boleh ilang, boleh digadai, tapi jangan ampe ilang halga dili.“ Popo Sui memberi nasihat, sambil memakaikan giwang itu ke telinga Swanlin yang berlulut di depannya.

“A Sui,“ tiba-tiba Popo Lin berkata, ”ada satu lagi yang elu lupa kasih ama Swanlin.” Popo Lin mengeluarkan sepasang gelang giok dari lipatan kain di pinggangnya.

Popo Sui memandang tak percaya. “A Lin, elu masih simpen gelang itu?”

Popo Lin mengangguk, “Ini bukan gelang biasa, gue bisa tau. Elu setuju kan kalo gelang ini dikasih ke Swanlin?”

Popo Sui mengiyakan, lalu bersama Popo Lin memasang gelang tersebut pada masing-masing lengan Swanlin. Swanlin yang masih berlulut, menengadahkan kepalanya dengan pipi berlinang air mata bahagia. Di hadapannya, untuk pertama kali, ia melihat kedua neneknya tersenyum, bersamaan.

No comments: