12.22.2010

Ipah, Satu Nyanyian Tentang Kasih

Akhirnya Emak menyerah. Dia terpaksa menjajakan diri untuk membesarkan Ipah. Yang membuat perih hatinya, Ipah selalu menanyakan kapan bapaknya pulang….
PROLOG
Wanita itu berjongkok, mempermainkan rambut panjangnya yang tergerai, dan sebagian besar sudah dihiasi uban. Sesekali bibirnya yang bergincu tebal merah, tersenyum. Di kiri-kanannya berjejer wanita muda yang menutup wajahnya dengan telapak tangan, setiap kali kamera mengarah pada mereka.

“Nama, siapa?” seorang berseragam bertanya, tapi tidak digubrisnya.

“Nama?” petugas itu bertanya lagi. “Ayo! Jangan cengengesan!”

“Ipah…,” akhirnya wanita itu menjawab lirih.

“Pekerjaan?” Wanita bernama Ipah itu cekikikan. Rok lebarnya disingkapkan. Beberapa orang yang melihat itu tersenyum sembunyi-sembunyi….

Gadis kecil
Rumah kecil itu beratapkan seng berkarat. Atapnya rendah. Pohon buah jambu mete berdiri gagah di muka halaman. Buahnya yang sudah matang dan jatuh dari atas pohon, penyek bekas injakan. Seorang gadis kecil duduk sambil bengong di muka pintu. Kulitnya putih, wajahnya manis. Dan, mungkin akan bertambah manis bila ia kelak dewasa.

“Emak mau ke mana?” tanyanya, sambil menyedot ingusnya. Wanita yang dipanggil Emak menoleh, mengangkat keranjang yang dibawanya. “Ikut… Ipah mau beli pita!”

Emak mengangguk. Menutup pintu. Di sepanjang perjalanan menuju pasar, Ipah mengoceh terus tak berhenti. Berulang kali ia menanyakan kepada Emak, kapan Bapak pulang. Tapi, Emak lagi-lagi menjawab, bapaknya akan pulang jika sudah punya uang banyak!

Malamnya Ipah tertidur pulas di atas dipan yang dialasi kasur tipis. Tidak ada bantal, dan cuma ada satu lampu bohlam 15 watt di dalam rumah. Kalau hujan deras, pasti air hujan menerobos lewat sela-sela seng yang bocor. Emak menengadah. Mengharapkan ada bayangan bulan di langit yang cahayanya menerobos lewat sela-sela seng yang bolong.

Emak mengembuskan napas panjang. Mas, kapan pulang?

Sudah setahun lebih suaminya pergi. Katanya, mau ikut rombongan yang bekerja ke luar negeri. Dari hari ke hari, untuk menyambung hidup, utangnya makin banyak saja. Bergantian orang-orang datang menagih. Rasanya Emak sudah tidak tahan lagi. Kalau saja tidak ada Ipah…. Lalu, ia menelungkup. Menangis.

Usia Ipah sudah lima tahun, pantas saja ia kepingin sekolah! Usianya sendiri? Baru sembilan belas tahun! Emak tersenyum sedih. Apakah ia harus menuruti saran Wak Ijah, yang sering memberinya utang? Katanya, juragan tahu di kampung seberang sedang mencari istri. Dan, sudah lama Wak Ijah berniat menjodohkannya dengan juragan tahu itu. Dijamin, semua utangnya lunas!

Jalan berliku
“Baju Emak bagus! Ipah boleh pakai baju baru juga?”

Emak tersenyum. Berputar. Sayang, hanya ada satu cermin kecil, itu juga bekas pecahan tempat bedak yang Emak temukan di halaman rumah, sehingga Emak tidak bisa memperhatikan penampilannya.

“Pipi Emak merah….”

Emak tersenyum lagi. Hari masih pagi betul. Sebentar lagi Wak Ijah akan datang menjemput. Mereka akan pergi ke tempat juragan tahu. Katanya, desa seberang itu cukup jauh. Mereka harus naik bus kota.

Rambut Ipah yang kemerahan diikat Emak dengan pita merah. Banyak sekali pemberian Wak Ijah. Selain utang Emak lunas, mereka diberi baju baru, sandal baru, bahkan minyak wangi. Dan, ketika Wak Ijah datang menjemput, Emak cepat-cepat menggandeng tangan Ipah. Sepanjang perjalanan ke luar desa, wajah Emak terus menunduk. Dalam hati ia berdoa agar tidak ada orang yang melihatnya.

Di terminal, Wak Ijah memperkenalkannya pada seorang pria gendut. Emak merasa malu dan takut. Pandangan pria itu seolah menelanjangi dirinya! Tapi, kata Wak Ijah, pria itulah yang akan membawa mereka ke tempat juragan tahu di kampung seberang.


Sebuah bus memasuki terminal. Tas Emak diangkat. Seperti kerbau dicocok hidungnya, Emak mengikuti. Alangkah jauh perjalanan yang ditempuh. Emak memandangi jajaran jalan yang dilalui ketika bus yang ditumpanginya melaju. Dari siang ke sore. Lalu gelap. Pria berperut buncit yang duduk di sebelah Emak tiba-tiba membuka matanya. Lalu mendadak ia berdiri dan berteriak, “Stop!”

Bus berhenti mendadak. “Ayo, turun! Kita sudah sampai, Mak….”

Emak berdiri sambil menggendong Ipah yang tertidur. Langkahnya mengikuti langkah pria itu. Sepi dan gelap. Emak takut sekali. “Kita mau ke mana?” akhirnya pertanyaan itu keluar juga. Ipah terbangun. Mengucek matanya. Memandang Emak, lalu minta turun dari gendongan.

Pria itu menguap sembari memandang berkeliling. Ia melihat jam di pergelangan tangannya, ”Wah, sudah hampir pagi!” Tiba-tiba terlihat cahaya yang muncul di kegelapan. Sebuah mobil berhenti. Pria itu menarik tangan Emak. Emak menggendong Ipah lagi. “Ayo, naik, Mak!”

Emak sudah terlalu letih. Jalanan yang dilalui gelap. Ipah sudah kembali tertidur. Emak menidurkannya di atas jok mobil yang masih lega. Emak menguap dan tertidur. Entah beberapa lama. Sampai akhirnya ia dibangunkan pria berperut gendut itu dan diajak keluar dari mobil. Meninggalkan Ipah yang masih tertidur.

Emak tak bisa melepaskan diri dari cekalan erat pria itu. Lamat-lamat didengarnya tawa menggoda dari sopir mobil yang mereka tumpangi. Emak menangis keras tanpa suara ketika akhirnya tubuhnya didorong dan ditindih. Yang Emak rasakan cuma satu. Ia ingin mati saja rasanya!

Tentang Mas
Sebuah rumah di gang sempit yang berdinding tripleks itu terbuka jendelanya. Seorang pria bertubuh kecil terpaku di depan jendela, mengisap rokoknya. Pandangannya menerawang. Hari masih pagi. Semalaman tidurnya resah. Ia bermimpi buruk. Pusaran air laut nyaris menenggelamkan dirinya!

Pria itu menarik napas panjang. Seorang wanita bertubuh subur mencolek pipinya. “Nanti malam Mas bisa jaga, ‘kan?” Pria itu terbatuk.

“Kalau Mas yang jaga, pasti tidak ada lagi yang kabur!” Minul, nama wanita itu, mencolek gemas lagi pipinya.

Mas meringis. Dia baru saja berpikir untuk beristirahat. Letih rasanya setiap malam harus begadang dan menahan bara panas kelelakiannya setiap melihat wanita malam seperti Minul. Tapi, ia tidak bisa menolak. Pandangannya melayang ke mulut gang.

Tak jauh dari gang itu ada sebuah jembatan layang. Di bawah jembatan layang itu banyak warung remang-remang. Biasanya Minul dan teman-temannya mangkal di sana. Dulu, Minul menjadi bagian lokalisasi yang ada di area permukiman. Tapi, penduduk marah dan membakar area itu. Minul dan teman-temannya akhirnya mencari tempat mangkal di pinggir jalan.
Mas sendiri menghitung dalam hati. Setahun lebih sudah ia di Jakarta. Uangnya dibawa lari teman, yang katanya, mau mengajak kerja ke luar negeri! Ia teringat kepada istrinya. Sudah berapa lama ia tidak menghubunginya? Mas malu hati gara-gara tidak bisa menjaga kesetiaannya.

Ini gara-gara Minul. Wanita itu yang memberinya pekerjaan untuk ‘menjaganya’. Setiap kali ada pria jail yang tidak mau bayar, dia turun tangan. Ya, bukannya tidak ada risiko. Nyawanya menjadi taruhan. Tapi, apa boleh buat. Daripada tidur di kolong jembatan, seperti ketika kali pertama ia datang ke ibu kota?

Bukan panggung sandiwara
Emak mau pergi?”

Emak memoleskan lipstik pada bibirnya. Memandangi pantulan wajahnya di cermin kecil yang sudah retak di beberapa bagian. Matanya kuyu. Kurang tidur semalam. Tidak ada langganan. Makanya, sekarang pagi-pagi Emak sudah harus siap-siap biar nanti malam bisa istirahat.

“Emak bawa oleh-oleh?”

Emak diam, membuka jendela. Kak Nina bilang, ada yang mengajaknya ke luar kota beberapa hari. Emak harus meninggalkan Ipah sendiri. Sekarang anaknya itu sudah bertambah besar. Sebentar lagi Emak akan menyekolahkannya. Biar Ipah banyak teman.

“Emak pergi lama?”

Emak memandangi Ipah. Di luar, matahari memancarkan sinarnya. Entah kenapa, tiba-tiba saja Emak jadi terharu.

“Emak mau cari uang buat Ipah sekolah?”

Emak memandangi Ipah dengan senyum getir. Rasanya ia selalu ingin menangis bila mengingat kejadian di malam gelap itu….
“Emak mau pergi ke mana?”

Emak memandangi lagi bayangan wajahnya di cermin. Mencoba untuk tersenyum.

“Emak mau pergi ke luar kota. Cuma dua hari.”

“Ipah ikut?”

“Jangan. Emak titipkan kamu sama Ibu Lilis. Kamu boleh tidur bersamanya. Sekalian belajar mengaji, ya?”

Ipah mengangguk. Melonjak kegirangan. “Bawa oleh-oleh, ya, Mak?”

Emak mengangguk pelan. Tiba-tiba ia teringat Mas. Terkadang Emak berharap bertemu dengannya. Tapi, pria sebaik Mas tentu tidak akan mau ke tempat seperti ini. Kerja beginian juga sebenarnya Emak tidak rela. Tapi, anaknya, Ipah, butuh makan dan pakaian. Ipah harus sekolah….

Emak menggeliat. Ia merasakan tubuhnya sakit. Semalaman ia tidak bisa tidur. Kepalanya pusing. Pandangannya berkunang. Emak ingin muntah dan pingsan. Tubuhnya lemah. Emak tergeletak di atas tempat tidur. Akhirnya ada seseorang yang mendorong pintu dan menyalakan lampu. Seorang wanita tua masuk membawa nampan.

“Ada teh hangat....”

“Sudah pergi?”

Wanita itu menggeleng. Mengerti apa yang Emak maksud. Emak memperhatikan wajahnya yang memantul dari cermin, tak jauh dari tempat tidur. Warna biru lebam bertebaran di sekitar matanya. Lalu ada darah yang mengering di bibirnya.

“Minum tehnya dulu. Den Aryo nanti pulang malam. Istirahat dulu. Mandi air hangat. Mau saya pijat?”

Seluruh tubuh Emak sakit. Tapi, wanita tua itu kelihatannya baik sekali. “Saya kasih obat kalau ada yang luka.” Wanita itu membuka pakaian Emak dan mulai memijat punggungnya. Emak merasakan perih.

“Den Aryo memang begitu. Saya kasih salep, ya?”

Emak mengangguk. Ia teringat Ipah. Tangannya diikat di tempat tidur oleh pria itu. Lalu seluruh badannya dipukuli dengan cambuk. Emak pikir pria itu hanya main-main. Tapi, tidak! Sekujur tubuhnya babak belur! “Saya ingin pulang...,” ia terisak.

“Den Aryo bisa marah....”

“Tapi, saya mau mati di sini!”

 
Hening. Wanita itu tidak menjawab. Emak meringis kesakitan. Lagi-lagi Emak teringat Ipah. Ketika tak lama, wanita yang menemaninya keluar, terdengar bunyi mesin mobil mendatangi. Emak tiba-tiba menggigil ketakutan. Pisau di tangannya berkilat ditimpa cahaya lampu. Pisau itu diambilnya diam-diam di dapur ketika Emak bilang ingin ke kamar kecil. Untung tak ada yang curiga. Dadanya berdebur keras. Gerahamnya mengeras.

Di halaman rumah Ibu Lilis, Ipah duduk melamun. Dia merindukan Emak. Mata Ipah berair. Ibu Lilis memeluk Ipah, erat sekali. Dia merasa kasihan sekali pada gadis kecil itu….

Pisau di tangan Emak makin berkilat. Ketika mendengar kunci pintu kamar diputar, Emak segera menyembunyikan pisau itu di bawah bantal.

“Emak belum tidur?” pria itu menyapanya. Jalannya sempoyongan. Pasti dia mabuk! “Emak menunggu saya?” Tangannya menarik ikat pinggang. Emak ngeri. Darah di punggungnya belum lagi kering. Ah, Emak tidak ingin merasakan sakit lagi! Tangan Emak terulur, mengambil pisau.

Rupanya pria itu lebih awas. Pisau itu terlihat. Emak terlalu ketakutan sehingga pisau itu terjatuh, berpindah tangan.

Emak harus berontak. Tapi, Emak merasakan tubuhnya lemah dan terasa sakit. Pisau itu ingin Emak ambil kembali. Tapi, Emak terjatuh.

“Kamu….”

Emak merasakan sesuatu menusuk punggungnya. Sakitnya luar biasa. Setelah itu gelap.

Di saat yang sama, Mas merasakan dadanya berdebar teramat sangat. Ada bayangan Emak yang kelihatan melintasi kamar. Tersenyum pada Mas.

“Emak…!”

Ipah terbangun lagi dari tidurnya. Kali ini menangis keras sekali.

Mas kangen
Masih pagi. Mas terbangun dari tidurnya. Udara dingin ketika Mas membuka jendela dan menepikan tirai berwarna biru. Baru kemarin tirai itu Minul beli. Diserasikan dengan seprai yang berwarna biru. Ada rezeki, kata Minul, waktu Mas tanya kenapa.

Minul menggeliat. Dasternya sudah robek di bagian ketiak. Mas jadi ingat Emak. Emak selalu rajin menjahit pakaian yang robek, meskipun kecil. Berbeda dengan Minul yang akan terus memakainya hingga robekan itu menjadi makin besar. Baru setelah itu, ia menjadikannya kain pel.

Mas memandang ke luar. Gelap dan sepi. Matahari belum kelihatan.

“Sudah siang?” Minul tiba-tiba bertanya, membuka matanya dengan malas.

Mas menggeleng. ”Masih gelap,” katanya, pelan.

“Mimpi buruk lagi?”

Mas kembali menggeleng. Bicara yang sebenarnya pun, percuma. Minul punya rasa cemburu yang besar. Baru ketahuan setelah Mas tinggal sama Minul. Apa pun yang Mas lakukan, Minul pasti bertanya seperti polisi. Tapi, Minul menjadi lembut kalau Mas kelihatan marah. Lalu minta maaf.

“Ayo, tidur lagi, Mas....”

Mas menurut. Minul memeluknya, erat. Rasanya Mas hampir tidak bisa bernapas. Mata Mas menerawang. Semalam ia mimpi Emak. Jelas sekali, seperti kenyataan. Tapi, Emak tidak mengenalinya ketika ia berjalan di hadapan Emak. Ia memanggil Emak, dan tidak ada tanggapan sama sekali dari Emak. Apa artinya, ya?

“Memikirkan siapa?”

Mas memandang Minul. Wanita itu tidak memperbolehkannya bekerja sejak tinggal bersamanya. Tapi, Mas jadi merasa seperti benalu. Dan, Minul jadi seenaknya marah-marah pada Mas! Pernah sekali waktu dia minta diajak ke penghulu. Tapi, Mas menolaknya. Bagaimanapun, dia masih resmi sebagai suami Emak!

Minul melepaskan pelukannya. Mulutnya cemberut. “Saya maunya Mas tidak memikirkan yang lain! Tapi, saya tidak pernah ada di kepala Mas!”

Mas tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya, bahwa ia baru saja bermimpi Emak dan Ipah. Anaknya itu, pasti tidak kenal dirinya seperti dia sendiri tidak pernah tahu seperti apakah wajah anak perempuannya.

“Saya ingin kerja apa saja. Asal tidak merepotkanmu,” tiba-tiba tercetus kata-kata itu dari mulut Mas.

“Mas tidak ingin kita punya anak?”

Mas menunduk. “Saya ingin kerja dulu.”

“Mas ingin kerja apa? Biar saya saja yang kerja. Mas di sini saja menjaga saya, ” kerling Minul, manja.

“Apa saja. Saya tidak enak begini terus. Saya cuma menerima uang dari kamu.”

“Tapi, kan saya rela, Mas.”

“Saya pria….”

“Ah, banyak pria yang senang hidup begitu. Lagi pula, yang penting saya rela. Mas mau apa saja dari saya, saya rela. Saya cinta sama Mas. Saya mau hari tua saya bersama Mas. Saya tenang di samping Mas. Saya tahu, Mas pria yang baik. Saya tahu Mas belum mencintai saya, tapi saya yakin Mas tidak akan meninggalkan saya.”

Mas menunduk. Kalimat-kalimat panjang yang Minul ucapkan itu sudah suatu jawaban sebenarnya.

“Atau, Mas kangen pada yang lain?”

Emak. Mas kangen Emak. Di mana-mana wajah Emak. Mas merasa bersalah karena sudah lama tidak mengabarinya. Mas malu. Tapi, Mas berjanji, kalau Mas siap, ia akan pulang kampung dan bertemu dengan Emak, lalu tidak akan pernah meninggalkan Emak lagi.

Mas....”

“Saya pria, Minul. Saya harus kerja,” suaranya terdengar tegas.

Minul tersenyum memandang Mas. “Di pabrik dekat sini ada lowongan. Tadi pagi Surti cerita. Kebetulan suaminya mandor di situ. Kalau mau, nanti saya bilang sama mandornya.”

“Saya tidak enak merepotkanmu terus-menerus.”

Minul menggeleng. Memeluk Mas erat sekali. “Saya bangga sekali pada Mas! Kalau Mas kerja nanti, saya akan berhenti dan tinggal di rumah saja. Saya ingin hamil. Anak kita….” Mata Minul bercahaya. Menerawang.

Sudah tengah malam. Hujan deras. Mas resah, tak bisa tidur. Minul sudah tertidur pulas sejak tadi. Hatinya berdebar tak menentu. Mas merasa ingin menangis. Dan, Mas tiba-tiba selalu terbayang wajah Emak.

“Saya kangen sebenarnya dengan kamu, Mak,” Mas mendesis. Mengambil rokok, menyulutnya, lalu mengisapnya dalam-dalam. Memandangi kepulan asap rokok di hadapannya.

Minul kelihatannya juga resah. Tidurnya tidak tenang. Mungkin ingin menegur Mas, tapi tidak jadi. Tadi pagi Mas sudah mulai bekerja di pabrik batu baterai. Gajinya kecil, tapi kata Minul, yang penting Mas punya pekerjaan. Minul sendiri, katanya, sudah malas-malasan kerja. Minul ingin buka warung. Mas jadi bingung dengan rencana Minul. Maklum, dia punya rencana sendiri. Tiga bulan setelah masa percobaan, kalau sudah diangkat jadi pegawai tetap, Mas akan pulang kampung. Menemui Emak. Minta maaf pada Emak. Lalu mengajak Emak memulai hidup baru, bersama Ipah, putri mereka.

Minul menggeliat. Mas mematikan rokoknya. Terbatuk.

Saat ini, Mas sungguh kangen. Rasanya ingin bertemu dengan Emak sekarang juga!

Ipah sudah besar!
“Mari-mari… berjoget bersama….”

Kerincingan dari tutup botol yang dipakukan pada sebuah kayu kecil itu berbunyi setiap kali tubuh Ipah bergoyang dan memukulkan kerincingan itu ke tangan satunya lagi. Suara gitar yang menemani goyangan badannya ditambahi dengan pukulan di badan gitar itu.

Wah, Ipah hebat!” Ipah mengibaskan rambutnya. Panjangnya sudah melewati bahu. Baju yang dikenakannya kaus berwarna putih yang sudah kumal.

“Ipah mau jadi penyanyi dangdut!” Ipah menggoyangkan pinggulnya. Beberapa orang yang mengelilinginya ramai bertepuk tangan. Tapi, tiba-tiba dia berlari meninggalkan kerumunan. “Ipah mau mandi dulu!”

Ibu Lilis duduk di teras, memandangi Ipah. Makin besar, makin mirip Emak saja. Mungkin sudah sepuluh tahun umurnya. Seharusnya sudah sekolah. Tapi, sejak Emak tidak pulang, Ipah tidak jadi sekolah. Beberapa hari lagi, ia berencana pulang kampung. Rumah yang ditempatinya dijual. Ibu Lilis merasa sudah tidak kerasan di sini. Dia sering sakit-sakitan. Lagi pula, tabungannya makin menipis. Makanya, sewaktu ada orang yang menawar rumahnya, ia langsung setuju. Terus cari rumah di kampung dan beli sawah sepetak.

Ipah sudah tahu, dia mau pergi. Tapi, anak itu menggeleng waktu diajak. Katanya, Ipah bisa tidur di mana saja. Temannya banyak. Kalau tidak pulang, dia suka tidur di perkampungan sebelah rel kereta api. Ibu Lilis suka cemas. Takut terjadi apa-apa sama Ipah. Tapi, Ipah selalu bilang, dia harus berani. Terlebih lagi, Ipah selalu menunggu Emak pulang.

Ibu Lilis menarik napasnya. Ipah selalu begitu kalau ditanya. Selalu berharap, Emak akan pulang. Padahal… Emak tidak akan pernah pulang! Ketika akhirnya Ipah tertidur pulas setelah malamnya tidak bisa tidur sampai pagi, ada polisi datang. Cerita banyak soal Emak. Juga soal pria yang tertangkap itu. Katanya, ada yang lihat Emak mati di sebuah kamar, pagi-pagi….

Ipah tidak pernah tahu cerita itu. Jika ada temannya yang bilang Emak sudah mati, Ipah geleng kepala, dan bilang itu bohong. Kata Ipah, dia akan selalu menunggu Emak!

"Ipah pakai baju ini saja,” Ipah menunjuk baju yang dipakainya. Kaus dan celana panjang. Dia menyodorkan baju warna merah tanpa lengan yang disodorkan Bang Azis. ”Kalau pakai baju model begini, nanti Emak marah,” Ipah cemberut. Menggandeng Nurul. “Sekarang Ipah nyanyi berdua Nurul. Tinggalnya juga di rumah Nurul. Besok mau lihat artis di mal dekat jalan layang. Sorenya, Ipah baru ikut Bang Azis ngamen. Kata emak Nurul, Ipah boleh pulang malam.”

Nurul menganggukkan kepalanya.

Azis ikut menganggukkan kepalanya. Ia memasukkan kembali baju itu ke dalam tas kresek berwarna hitam.

“Sekarang Ipah mau pulang dulu….”

Azis kembali menganggukkan kepalanya, sambil matanya memandangi kepergian Ipah.

“Kamu naksir anak itu, Zis?” Seorang teman menepuk punggungnya. “Masih kecil! Jangan nafsu begitu, ah, lihat dia!”

Azis menelan ludahnya. Pemuda bertubuh ceking yang seluruh tangannya dipenuhi tato itu tertawa, seolah terpaksa. Wajah Ipah manis, mirip ibunya. Dulu Azis sempat mau tidur sama Emak, tapi Emak menolak.

“Otak kamu kan mesum terus!” kata temannya, menjitak kepala Azis.

Azis terbahak. Tapi, sungguh, Ipah memang menarik. Semua bagian tubuh anak kecil itu, dari ujung rambut sampai ujung kaki, sangat menarik. Hasrat kelelakiannya suka bangkit setiap kali mengingat Ipah.

“Kamu mau tidur sama dia, terus dijadiin perek?” Sungguh, Azis belum berpikir sampai di situ. Ia tahu Ipah masih kecil. Belum mengerti apa-apa. Sewaktu masih tinggal dengan Ibu Lilis, ia sering dipelototi Ibu Lilis. Mungkin Ibu Lilis terlalu takut Ipah kenapa-kenapa.

“Awas, kalau ‘dimakan’ sendiri!”

Azis membunyikan harmonikanya keras-keras.

“Kamu sudah mens?”

Ipah menggeleng.

“Kalau sudah mens, hati-hati! Disenggol pria, bisa hamil,” Nurul mencontohkan lewat tangannya.

Ipah memandangi Nurul. Temannya itu sudah besar dan mulai genit. Dia sudah tidak sekolah lagi, katanya bosan. Ipah heran sekali. Padahal, dia sendiri sangat ingin bersekolah!

Akhirnya Emak menyerah. Dia terpaksa menjajakan diri untuk membesarkan Ipah. Yang membuat perih hatinya, Ipah selalu menanyakan kapan bapaknya pulang….

Warna kehidupan
Kemarin Ipah mendapat kabar, Nurul melahirkan. Ipah sekarang bantu-bantu kerja di warung nasi punya saudara Kak Azis. Warung itu dekat pasar, Ipah tinggal di sana. Ipah sudah lama tidak tinggal di rumah Nurul lagi. Tapi, ia masih suka main ke tempat teman-temannya. Hanya sebentar, di mana-mana Ipah seperti melihat Emak. Ipah takut kalau nanti jadi kepingin Emak pulang, padahal Emak sudah ada di surga. Ya, Ipah sudah tahu dari Nurul, Emak sudah meninggal ditusuk orang. Kak Azis juga bilang begitu. Mau tak mau Ipah harus memercayainya.

“Anak ini bakal tinggal di panti asuhan. Emak marah waktu saya hamil. Saya belum bisa cari uang banyak buat mengurusnya, Pah!” Nurul terisak, ketika Ipah menjenguknya.

“Bapaknya…,” Ipah tak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba Nurul menangis. Bayi yang tidur di sampingnya juga ikut menangis.

“Kamu tidak tahu?”

Ipah menggeleng. Ipah benar-benar tidak tahu. Kak Azis tidak banyak cerita. Apalagi sekarang dia sudah bekerja sebagai penjaga rumah biliar. Pulangnya pagi. Ipah pernah mengajaknya ngamen, tapi Kak Azis menolak.

Nurul mengusap air matanya, memandang bayinya yang sekarang sedang menyedot air susunya. Ipah takjub melihatnya, terlebih mendengar cerita Nurul selanjutnya. Siapa sangka, bapak bayi Nurul adalah… ayahnya sendiri!

“Bapak sekarang masuk penjara,” Nurul terisak. “Bapak suka maksa, mengajak saya tidur kalau lagi mabuk. Ibu nggak tahu. Sampai akhirnya saya hamil dan melahirkan anak ini! Ibu sakit hati sama saya dan Bapak!

Ipah bingung mau bicara apa. Sampai akhirnya ia pamit pulang. Ipah belum mandi.

Ibu pemilik warung baik pada Ipah. Suaminya tinggal di kampung, ternak ayam. Mereka punya anak laki-laki yang sudah besar. Namanya Ferdi. Orangnya diam, berkulit legam. Jarang tidur di rumah. Paling datang cuma mengambil burung merpati peliharaannya. Ada banyak. Katanya, harga burung itu bisa tiga juta!

Masih pagi. Perut Ipah sakit sejak kemarin. Mungkin masuk angin. Kalau warung sudah sepi, Ipah mau minta tolong dikerokin sama Ibu. Tapi, ketika berada di kamar mandi, Ipah kaget. Ipah melihat ada warna kecokelatan di celana dalamnya. Darah! Ipah takut dan bingung sekali!

Ketika Ipah datang lagi menemui Nurul dan bercerita, temannya itu malah ketawa ngakak. “Itu namanya datang bulan! Kamu sudah beli pembalut?”

Ipah menggeleng. Dia memegangi perutnya yang makin melilit. “Ayo, kamu cari pembalut di warung, Pah! Itu tandanya kamu sudah jadi perempuan dewasa! Sudah bisa tinggal sama Tante Riri, seperti saya,” Ipah melihat Nurul memoles gincu tebal di bibirnya. Kelihatannya dia mau pergi. Ketika Ipah menanyakan anaknya tinggal sama siapa, Nurul menjawab enteng.

“Anak saya sudah dijual. Kata ibuku, uangnya buat menebus Bapak di penjara. Apa boleh buat, saya harus kerja sekarang. Makanya, saya ikut Tante Riri. Kamu mau ikut juga, Pah? Wajah kamu kan secantik Emak?”

Ipah menggeleng cepat-cepat. Buru-buru dia pamit pulang, mau beli pembalut. Sorenya Nurul datang ke warung. Katanya Ipah mau diajak jalan-jalan. Dia lagi banyak uang, sehingga memborong pakaian, dan Ipah dibelikan satu. Nurul cerita, dia habis diajak Oom Joni ke Puncak. “Kapan-kapan kamu mau kan kenalan sama Oom Joni?”

Ipah diam. Ayam yang dimakannya garing sekali!

“Pasti kamu senang di Puncak. Tempatnya dingin, romantis. Ada kolam renang dan taman bunga. Hari Minggu saya mau diajak pergi lagi. Kamu ikut, Pah?”

Ipah menggeleng. “Saya nggak mau jadi perempuan nakal!”

Nurul terbatuk, memandang Ipah. “Ya, saya memang perempuan nakal. Kalau Bapak nggak buntingin saya, pasti saya jadi anak baik seperti kamu.” Nurul meminum tehnya. “Tapi, kalau begitu, saya paling ngamen. Lalu, kawin sama orang miskin.”

Ipah hanya mengangguk. Bicara Nurul banyak sekali. Kepala Ipah pusing. “Saya sakit perut,” Ipah memegangi perutnya.

“Pulang sekarang?”

Ipah mengangguk. Perutnya sakit. Ia kekenyangan.

Ipah tidur satu kamar sama Ibu. Kamarnya kecil dan gelap. Cuma ada tempat tidur beralas tikar. Kalau Ibu kepanasan, dia tidur di bawah. Malam ini Ipah kebelet pipis. Di luar ada Ferdi. Sejak siang, dia tidur terus. Kalau Ipah keluar, pasti harus melewati tubuh Ferdi. Rasanya tidak enak hati. Tapi, kalau Ipah ngompol, pasti malu sama Ibu.

Ipah sudah tidak tahan. Perlahan, dia membuka pintu kamar. Tubuh Ferdi menghalangi jalan. Tanpa suara, Ipah melangkahi Ferdi dan masuk ke kamar mandi. Keluar dari kamar mandi, Ipah kaget sendiri. Ada Ferdi yang sudah berdiri di depan pintu kamar mandi sambil tersenyum.

Pemuda berkulit legam itu menghalangi jalan Ipah. Ipah bingung dan mendadak takut. Apalagi waktu tangan Ferdi mulai memegang dadanya. Tubuh Ipah didorong masuk kembali ke dalam kamar mandi. Ipah berontak. Ada cucian di ember yang tertendang kakinya. Tidak sengaja, tapi bunyinya berisik sekali.

“Siapa, tuh!” suara Ibu terdengar berteriak.

Ferdi kaget. Ipah buru-buru menerobos keluar. Dia segera masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Di luar, Ferdi menahan geram. Napasnya tersengal-sengal. Buruannya lepas begitu saja!

Pagi-pagi, Nurul main ke tempat Ipah. Warung ramai, Ipah permisi untuk membantu Ibu. Nurul asyik mengobrol dengan Ferdi sambil merokok. Setelah warung tak begitu banyak lagi pembeli, Ipah baru menghampiri Nurul. Ferdi menyingkir ketika Ipah datang. Tapi, matanya ‘melotot’ terus ke arah Nurul.

Ipah bergidik ketika Nurul bercerita bahwa ia sakit.

“Gatal-gatal. Sakit sekali! Makanya Tante Riri ‘meliburkan’ saya.”

“Wah, saya tidak pernah begitu! Paling berdarah saja seperti kemarin,” kata Ipah, bingung.

Nurul tertawa. “Kamu kan belum pernah kawin, Pah! Kata teman-teman saya, itu mah biasa! Yang penting, saya tidak hamil. Kalau hamil kena penyakit begini, kasihan bayinya. Seperti si Nency, anaknya buta! Untung dia punya emak yang mau mengurusi anaknya. Kalau saya? Anak saya yang dikasih orang saja saya tidak tahu kabarnya! Kamu sendiri bagaimana, Pah? Betah tinggal di sini?”

Ipah mengangguk.

“Yang itu siapa?” Nurul menunjuk ke arah Ferdi.

“Anaknya Ibu. Kenapa?”

“Ihh, matanya jelalatan! Hati-hati, nanti kamu diapa-apain sama dia!”

Ipah mengangguk. Ngeri. Kejadian semalam membuatnya takut, tapi dia tidak menceritakannya pada Nurul.

"Perempuan, Mas! Siapa namanya?” Mas memandang bayi dalam gendongan Minul. Wajahnya sekilas mirip Minul. Hidungnya mirip Mas.

“Mas mau kasih nama siapa?” Minul bertanya lagi, manja.

Mas diam memandangi. Bingung. Tiba-tiba ia teringat Emak. Dan, begitu saja meluncur dari bibirnya. “Salamah,” katanya pasti. Itu adalah nama Emak! Selintas berkelebat pula bayangan seorang perempuan berambut sebahu yang dilihatnya di tempat parkir sepeda, dekat pabrik tempat kerjanya. Dia mirip sekali dengan Emak.

Mas sudah mendapat informasi, katanya nama perempuan itu Ningrum. Rumahnya di sebelah gang tempat Mas tinggal. Entah kenapa, sudah hampir seminggu ini, Mas suka memperhatikan Ningrum.

“Bonceng, dong!” kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Mas, pada suatu sore, sepulang kerja di gang sebelah pabrik.
Perempuan yang mirip Emak itu menoleh. Tersenyum tersipu ke arah Mas. Menganggukkan kepalanya, lalu mengayuh sepedanya.

Mas tersenyum sendiri. Ternyata ia sudah berani!

Ketika Mas pulang, Minul sudah berdandan. Tumben, biasanya Minul menyambut Mas hanya dengan daster dan rambut acak-acakan. Tapi, kali ini dandanannya lain, menor! Pipinya semerah bibirnya. Alisnya juga dibentuk. Wanginya ke mana-mana. Waktu Mas memperhatikan, Minul asyik memandangi wajahnya di cermin.

Salamah sedang tertidur. Anak itu anteng sekali. Entah ngidam apa Minul waktu mengandung Salamah. Tapi, wajahnya mirip betul dengan ibunya. Setiap kali memandang Salamah, Mas selalu berdoa, agar kalau besar nanti Salamah tidak seperti Minul.
“Saya mau pergi,” Minul tiba-tiba nyeletuk. Matanya tidak memandang ke arah Mas. Ada perasaan bersalah mengapa ia mau saja menerima ajakan Titis, temannya, untuk ngobjek lagi.

“Sudah malam,” Mas menyahut. Duduk di atas tempat tidur. Tidak ada teh manis seperti biasanya.

“Gulanya habis. Uang belanja tidak cukup. Salamah menangis terus seharian minta susu. Air susu saya sudah kering. Tadi ngutang di warung beli susu buat dia.”

Mas diam. Percuma menanggapi kalau Minul lagi sewot. Lagi pula, Mas mesti ngomong apa? Uang belanjanya memang kurang. Tapi, kalau Minul bisa irit, sebenarnya cukup. Gaya hidup Minul memang sedikit boros, tidak seperti Emak. Setiap bulan maunya beli baju baru. Kayak artis saja.

“Saya mau pergi. Mungkin pulang pagi, nggak usah ditunggu.”

“Mau ke mana?” Mas melotot.

“Ada yang mengajak pergi.”

“Siapa?”

Minul berdiri. “Yang bisa kasih uang banyak, biar belanja cukup! Pokoknya saya pergi! Titip Salamah….”

Mas memandang Minul berang. Tapi, Minul membuang mukanya. Ia malah beranjak ke pintu. Mas menghalangi langkah Minul. “Kamu mau jual diri lagi?”

Pipi Mas ditampar keras sekali. Habis itu Minul menangis.

Mas diam, meraba pipinya. Salamah terbangun. Mas menepuk-nepuk pantatnya, anak itu lantas tertidur lagi.

“Saya capek seperti ini terus! Saya mau bantu Mas, agar hidup kita lebih enak.”

Mas tidak menanggapi. Ia berharap Minul membatalkan niat. Tapi, akhirnya pintu terbuka dan Minul berjalan cepat.

Ketika Mas mau berangkat ke pabrik, Minul baru pulang. Jalannya menunduk, seolah malu dilihat orang. Mas diam saja waktu membukakan pintu. Omongan tetangga membuat telinga Mas merah. Kata mereka, pasti uang belanja dari Mas kurang sehingga Minul ‘dinas’ lagi!

Mas tidak menegur Minul. Bukan Mas cemburu. Ketika mereka belum menikah, Minul masih tidur dengan laki-laki lain. Tapi, sekarang kan ada anak mereka. Kalau Salamah tahu pekerjaan ibunya, bagaimana? Sampai Mas berangkat kerja, ia tidak berkata apa-apa. Perempuan itu cuma diam. Mungkin merasa bersalah.

Ipah makin besar
Ipah sering memandangi laki-laki itu diam-diam. Kata Ibu, Kak Bintang tinggal di kompleks orang kaya. Kebetulan, dia suka makan tempe goreng di warung nasi Ibu. Ketika kali pertama makan di situ, Ipah pikir laki-laki itu hanya mau tanya alamat. Tahu-tahunya duduk, senyum sama Ipah, terus pesan makanane.

Ipah senyum sendiri. Akhir-akhir ini dadanya suka deg-degan kalau bertemu Kak Bintang. Apalagi kalau mata Kak Bintang memandangnya, lalu tersenyum.

Pernah suatu ketika Ipah membawa piring berisi nasi, matanya beradu pandang dengan laki-laki itu. Ipah langsung gemetaran. Piringnya hampir jatuh. Wah!

Tapi, ibu pemilik warung sendiri bilang, mata Kak Bintang itu ‘baik’. Tidak seperti mata anaknya, Ferdi, suka jelalatan kalau lihat perempuan cantik. Dia sekarang ada di penjara. Ketahuan pakai narkoba. Ibu menangis ketika polisi menangkap Ferdi. Apalagi kemudian ada perempuan yang mengatakan dirinya dihamili Ferdi. Uang Ibu habis membayar perempuan itu dan polisi. Tapi, Ferdi masih di penjara.

Malam Minggu. Ada bintang di langit. Juga Bintang di dekat Ipah.
Warung agak sepi.

“Nah, ketahuan! Kamu belum punya pacar, ya?”

Ipah tersipu, gemetaran. Sewaktu memberikan piring berisi nasi, Kak Bintang menyentuh tangannya. Ibu menguap terus. Habis menjenguk Ferdi, pulangnya ia menangis. Kata Ibu, Ferdi tidak mau melihatnya.

“Umur kamu berapa, sih?” Ipah menghitung. Kata Nurul, mungkin umurnya lima belas tahun. Tapi, Ipah lupa, dia lahirnya kapan. Seingatnya, Emak pernah bilang, dia lahir Jumat pagi.

“Kamu ingin punya pacar seperti apa?”

Kak Bintang pakai kaus putih. Ganteng sekali.

Ipah menggeleng. Ia baru kali ini senang pada laki-laki. “Sama Ibu belum boleh pacaran….”

“Idih!” Bintang menyentuh hidung Ipah. Ibu sudah masuk ke dalam kamar.

Ipah deg-degan. Apalagi ketika wajah Kak Bintang mendekat ke wajahnya. “Kamu suka?” kalimat itu disertai ciuman.
Ipah diam. Hampir pingsan.
Mereka berpapasan. Mas dan Minul. Minul kelihatan memang menunggu Mas. Sudah malam. Mas baru mengantar Ningrum. Bioskop bubar pukul sepuluh. Minul tidak seperti biasanya. Wajahnya pucat, tanpa riasan menor. Sungguh, Mas tidak menyangka akan bertemu dengan Minul di depan gang.

“Baru pulang, Mas?” suara Minul lembut.

Mas diam, tidak berminat melayani pertanyaan Minul.

Minul mendekat. “Salamah tadi saya bawa. Saya kangen sama anak itu. Boleh kan sekali-sekali dia tidur sama saya?”

Mas menghindar. “Kamu tidak pergi?”

Minul menggeleng. “Akhir-akhir ini badan saya sering sakit.” Suara Minul melemah. “Saya mau buka warung lagi, ya?”

Mas mengangkat bahunya, melirik jam di pergelangan tangannya. “Sudah malam.” “Tapi, Mas besok kan libur.” Minul menarik tangan Mas.

“Besok saya lembur!” Mas menepis tangan Minul. Lalu tergesa berjalan meninggalkan Minul. Perempuan itu terpaku sedih memandang kepergian Mas.

Kemarin, Minul tidak sengaja melihat Mas sedang bersama perempuan itu. Mereka makan di warung. Mas kelihatan sangat berbeda. Dia banyak bicara dan tertawa. Minul tidak pernah membuat Mas seperti itu! Makanya, pagi ini, ketika Mas berangkat kerja, Minul diam-diam mengikuti Mas.

Sekarang Minul lebih jelas melihat wajah perempuan itu. Usianya pasti jauh lebih muda darinya. Walaupun tidak dandan, perempuan berambut panjang itu memang manis. Kelihatannya dia juga suka sekali pada Mas. Matanya itu, lho, memandangi Mas dengan mesra!

Hati Minul dibakar api cemburu. Mulanya, ia ingin mengajak Salamah ikut. Tapi, ibu yang menjaga Salamah tidak mengizinkan. Katanya, takut Mas marah. Sudah banyak yang makan di warung itu. Tapi, Mas dan perempuan berparas ayu itu masih asyik ngobrol. Pandang-pandangan. Sekali-sekali, Mas dan perempuan itu kelihatan malu-malu kucing. Duh! Minul sudah tidak tahan lagi. Dia ingin segera melabrak mereka.

Minul berjalan cepat. Tapi, belum sampai ke tempat Mas, kedua orang yang ingin ditemuinya itu berdiri dan berlalu. Dalam sekejap, mereka tidak kelihatan lagi.

Mas baru pulang ketika Minul sudah ada di depan rumah kontrakan Mas menggendong Salamah. Anak itu kegirangan melihat bapaknya. Mata Minul seperti habis menangis.

“Mas, saya mau bicara! Saya mau ngomong baik-baik sama Mas!”

Mas tertawa pada Salamah. Anak itu minta gendong pada Mas.

“Saya mau kita bicara baik-baik….”

“Bicara apa?” Mas menggendong Salamah.

“Saya…saya mau balik lagi sama Mas….” Minul menunduk. Wah, enak saja dia bicara!

“Saya ingin mengasuh Salamah. Saya ibunya….”

Mas menguap. Dia kelihatan bosan mendengar Minul bicara. Minul jadi sedih tak mendapat tanggapan. Tak lama, Mas nyeletuk, ”Ibu macam apa?”

Minul diam. Bukan Mas yang meninggalkannya, tapi Minul sendirilah yang cari gara-gara. Ah, kenapa dia mau saja menuruti ajakan Titis? Temannya itu sudah beberapa hari ini mencari Minul. Katanya, ada Oom berperut gendut yang mencari Minul. Tapi, Minul tak peduli. Hati Minul panas. Dia tak akan membiarkan perempuan mana pun merebut Mas!!

  Akhirnya Emak menyerah. Dia terpaksa menjajakan diri untuk membesarkan Ipah. Yang membuat perih hatinya, Ipah selalu menanyakan kapan bapaknya pulang….

Beberapa hari belakangan ini, Mas melihat perubahan sikap Ningrum. Perempuan itu seperti menghindarinya. Biasanya, setiap pagi, Ningrum menunggu Mas di warung depan pabrik. Tapi sekarang, ketika Mas datang, sepedanya sudah diparkir, dan Ningrum tidak kelihatan batang hidungnya.

Mas bingung. Apalagi teman-teman kontrakan Ningrum juga berubah. Seolah Mas adalah kuman penyakit yang harus segera dihindari. Suatu sore, ketika Mas mencoba datang ke tempat kontrakan Ningrum, teman-temannya langsung berteriak bahwa Ningrum tidak ada. Padahal, Mas tahu pasti, sepeda Ningrum bersandar di teras rumah. Berarti dia tidak sedang keluar.

Ketika Mas masih belum pulang, katanya mau menunggu Ningrum, ada seorang teman satu kontrakan Ningrum yang berteriak dari atas loteng. Suaranya nyaring, bergema ke mana-mana, “Kemarin istrinya nyari, Mas! Ingat-ingat yang di rumah, dong!”

Wajah Mas merah. Apalagi ketika dia mendengar teriakan selanjutnya,“Jangan mainin anak gadis orang, Mas! Dosa, lho!”

Wah, wah! Kalau tidak segera pulang, Mas tentu diteror ucapan yang lebih pedas lagi! Akhirnya, dengan menahan perasaan malu, Mas mohon diri. Ia sudah tidak tahan lagi, ini pasti ulah Minul! Perempuan itu memang nekat!

"Mas?” Minul tampak terkejut melihat kedatangan Mas yang tiba-tiba. Matanya bengkak. Baru menangis atau baru bangun tidur?

“Saya mau bicara…,” kalimat Mas terputus. Tiba-tiba saja Minul berjongkok. Mencium kaki Mas!

Mas terpana. Mendadak sontak dia kehilangan kata. Orang yang lewat di depan mereka kelihatan bingung, sehingga merasa perlu untuk menengok sebentar, baru kemudian berjalan lagi.

“Saya tobat, Mas!” Minul memeluk kaki Mas, lama. Dia menangis keras. Mas bingung. Ada yang membebani hatinya. Rasanya Mas belum bisa berpikir jernih sekarang. Percuma saja bicara panjang lebar dengan Minul. Perempuan itu tentu tidak mau mengerti. Akhirnya Mas curhat pada Yanto, teman yang dipercayainya selama ini.

“Lho, Sampeyan ini sebenarnya masih cinta tidak sama Minul? Atau, lebih cinta mati sama perempuan bernama Ningrum itu? Sampeyan harus tegas dan berpikir panjang. Sudah ada Salamah, ’kan? Anak itu tidak berdosa….”

Mas meneguk kopi yang masih panas. Lidahnya seperti terbakar. Yanto terbahak melihatnya. Mas memang suka begitu, kalau dia sedang bingung. Mendadak salah tingkah.

“Apa Sampeyan jijik sama Minul?” Yanto bertanya gamblang.

Mas tersentak. Di kepalanya berkelebat bayangan Ningrum.

“Disuruh sumpah pocong saja si Minul itu, supaya tidak aneh-aneh lagi! Atau, perempuan itu… siapa namanya, Ningrum? Apa dia mau jadi istri kedua Sampeyan?”

“Saya sudah tidak suka pada Minul….”

“Lho, alasannya apa? Sampeyan bahagia kan hidup sama Minul? Sampeyan banyak utang budinya sama Minul. Dia yang sudah bikin Sampeyan bisa kerja enak seperti sekarang….”

“Saya tidak bisa!” Mas menggeleng.

“Wah, tapi….”

Mas meneguk kopinya lagi. Dan, menggeleng lagi.

“Sampeyan harus bisa kasih penjelasan….”

Mas menggeleng. “Tidak bisa!” jawabnya, mantap.

Mas tidak menyangka. Pagi-pagi ketika sampai di pabrik, Ningrum memanggilnya dari tempat tambal ban. Sepedanya bocor lagi. Kena paku, kata tukang tambal ban.

“Saya harus bicara, Mas. Saya tidak mau Mas jadi bingung….”

Wajah Ningrum pucat. Beberapa hari Mas tidak melihatnya. Kata temannya, dia sakit, tapi Mas tidak berani menengoknya.
“Saya memang sudah punya anak!” Mas tiba-tiba berkata mendahului Ningrum. “Istri saya sudah minta cerai. Katanya, uang bulanan dari saya tidak cukup. Dia pergi, jadi perempuan nakal lagi.”

Bola mata Ningrum yang indah terbelalak. Ia tak menyangka Mas sejujur itu.

“Kalau Dik Ningrum tidak percaya, boleh datang ke rumah. Anak saya, Salamah, belum setahun usianya.”

Mas mengajak Ningrum masuk ke dalam warung. Ningrum menundukkan kepalanya. Ia tidak sanggup berkata apa-apa lagi. Hatinya luruh mendengar cerita Mas.

"Kamu habis tidur sama dia? Kamu diperkosa?” Nurul terperanjat. Cuma sama Nurul, Ipah berani cerita.
Ipah diam. Ia bingung dan hanya bisa menangis. Bagian bawah tubuhnya masih terasa sakit sekali!

“Kalau diperkosa, itu artinya kamu dipaksa sama dia!”

Ipah memegangi perutnya. “Nanti saya bisa hamil seperti kamu?” Ia menangis lagi.

“Ya, bisa saja!” Nurul mengangguk. “Tapi, laki-laki yang tidur sama kamu itu kan kaya. Kamu minta uang saja sama dia untuk memelihara anaknya. Tidak seperti anak saya yang harus dijual ke orang….”

“Saya takut!” Ipah terisak-isak. Dia takut sekali membayangkan perutnya membesar seperti Nurul. Lalu punya anak…. Wah, Ipah tidak sanggup! Ipah juga tidak bercerita pada ibu pemilik warung. Apalagi baru kemarin, Ibu bilang mau menjodohkan Ipah dengan Marno, tetangga mereka.

Akhirnya…
“Cari Salamah? Tadi dibawa sama Minul!” Ibu yang dititipkan Salamah keluar dari rumahnya, cemberut. ”Sebenarnya tadi saya tidak mau kasih, takut Mas marah. Tapi, Minul maksa, teriak-teriak. Jadi….”

Mas menghela napas panjang. Minul memang nekat!

“Katanya Salamah mau dibawa pulang kampung sama Minul.”

Apa? Mendadak hati Mas panas. Ia cepat-cepat berjalan ke rumah kontrakan Minul. Cuma lima menit berjalan kaki dari tempat kontrakan Mas. Tapi, setiba di sana, ia hanya mendapati pintu yang tertutup rapat. Minul dan Salamah tidak ada! Apa mereka benar-benar sudah pergi? Mas bingung sekali!

Sementara itu, di dalam bus, Minul kelimpungan sendiri. Keputusannya untuk membawa Salamah begitu mendadak. Mendengar Salamah yang menangis menjerit-jerit, Minul jadi resah, sekaligus takut. Sekarang ia bingung akan pergi ke mana? Sudah lama sekali Minul tidak pulang kampung. Ibu dan bapaknya pasti bertanya, Salamah anak siapa. Ketika anak keempat yang dilahirkannya, diberikannya cuma-cuma (entah kepada siapa, Minul lupa!), ibunya bilang tidak mau kenal Minul lagi!

“Turun di mana, Bu? Terminal masih jauh, anaknya kelihatan haus, tuh. Kasihan!”

Minul diam saja ditanya penumpang yang duduk di sampingnya. Salamah menangis makin keras, keringatnya bercucuran. Minul lupa membekali dirinya dengan air putih, apalagi susu botol! Akhirnya ia berdiri dari tempat duduknya. Buru-buru ia turun ketika bus itu berhenti, entah di mana. Minul betul-betul bingung!

Akhirnya ia memutuskan untuk kembali. Minul menitipkan Salamah di rumah Titis. Mulanya Titis menolak, tapi akhirnya setuju karena Minul bilang hanya sebentar. Mas kaget campur senang melihat Minul datang. Tapi, keningnya berkerut menyadari Salamah tidak ada! Wajah Minul kusut, kelihatan capek. Tapi, Mas tidak peduli. Ia hanya teringat pada anaknya, Salamah.

Tiba-tiba Minul menangis keras dan mencium kaki Mas. Dipeluknya erat-erat seolah Mas tidak mau dilepaskannya lagi!

“Mas, saya tobat!” jerit Minul.

Mas risi. Apalagi ada beberapa anak kecil yang lewat, lalu cekikikan sambil menunjuk ke arah Minul dan Mas.

“Kamu sudah minta cerai, ’kan?” akhirnya Mas berkata tegas.

“Saya janji jadi istri Mas yang baik. Saya janji, saya tobat, tidak mau macam-macam lagi! Biarpun cuma makan nasi sama garam, asalkan kita bertiga bisa berkumpul bersama. Salamah pasti bahagia. Dia sekarang saya titipkan di rumah Titis, Mas!”

Mas hanya diam. Masuk ke dalam rumah. Minul di luar masih berteriak-teriak histeris. Dan, karena Minul tidak kembali pulang, akhirnya Titis membawa Salamah ke tempat Mas. Rumah Mas sudah sepi ketika Titis datang. Entah Minul pergi ke mana.

Kepala Mas muncul di balik pintu. Salamah langsung berhenti tangisnya.

“Minul yang titip ke saya,” tanpa banyak bicara Titis langsung menyerahkan Salamah pada Mas. Mas memeluk Salamah. Erat sekali. Setelah Salamah berada kembali dalam gendongannya, Mas datang ke rumah Ningrum. Teman-temannya sudah tidak kaget lagi. Mas cerita jujur bahwa sudah punya anak dan Ningrum sendiri tidak keberatan. Mau apa lagi?

“Titipkan di sini saja, Mas,” Ningrum menggelitiki Salamah yang tertawa memandanginya. Mereka langsung akrab. Mas senang melihatnya. Ningrum tampak lebih sabar merawat Salamah ketimbang Minul, ibunya sendiri. “Kalau siang pas saya kerja, pasti ada saja teman saya yang mau menjaganya. Kalau saya shift malam, siangnya bisa gantian saya yang jaga.”

“Mas pindah kontrakan dekat-dekat sini saja,” seorang teman Ningrum memberi usul. Mas tersenyum, menganggukkan kepalanya dengan lega. Salamah aman sekarang. Mas sudah punya rencana akan melamar Ningrum lebaran haji nanti.

Akhir-akhir ini Ipah sering merasa mual. Ia suka muntah kalau mencium bau masakan. Ibu pemilik warung tampak mencurigainya, tapi ia belum bertanya apa-apa pada Ipah. Ipah takut sekali, ia sudah tahu dari Nurul, apa yang dirasakannya sekarang adalah gejala kehamilan! Ipah bingung sekali, ia pernah mencari Kak Bintang di rumahnya. Tapi, tampaknya laki-laki itu sudah pindah, entah ke mana. Rumahnya sekarang ditempati orang lain!

“Kalau kamu mau, Marno mau mengajak kamu kawin,” suatu siang ibu pemilik warung berkata kepada Ipah.

Ipah tidak suka Marno. Tetangga laki-laki yang dijodohkan Ibu itu sudah berani pegang-pegang tangannya, sambil cengengesan.

“Saya mau cari uang yang banyak dulu,” Ipah akhirnya menjawab sambil menundukkan kepala.

Ibu memperhatikan Ipah dengan saksama, tiba-tiba ia memegang perut Ipah. “Kenapa tidak bilang-bilang? Kamu dihamili anak orang kaya itu?”

Ipah kaget sekali, Ibu menebak jitu. Ia tidak tahu harus bilang apa, Ipah hanya bisa menangis.

“Marno sebenarnya mau mengajak kamu berkenalan dengan orang tuanya di kampung, tapi kalau kamu hamil begini, dia pasti tidak mau lagi sama kamu!” Ibu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan dahi berkerut. Ia tampak makin tua. Ipah merasa bersalah. Ibu sudah seperti emaknya sendiri.

“Ibu punya kenalan dukun urut,” Ibu memegang perut Ipah lagi. “Masih kecil

begini, masih bisa diurut biar tidak jadi. Habis itu kamu kawin sama Marno.

Kalau menolak, susah dapat lelaki yang baik seperti Marno! Kamu mau?”

Ipah diam, tapi kemudian ia mengangguk pelan. Ibu menghela napas lega. Bagaimanapun, Ipah sudah seperti anaknya sendiri. Kalau saja Ferdi, putranya, laki-laki baik-baik, tentu Ibu akan senang menikahkannya dengan Ipah!

Keesokan harinya, Ipah diajak Ibu naik bus. Cuma sekali, lalu mereka turun di pinggir jalan. Masuk ke dalam gang, belok sedikit dekat sekolah. Belok lagi dekat kali. Terus jalan lagi ke arah kebun yang banyak pohon anggreknya. Setelah itu ada rumah kecil. Pintunya sudah agak rusak. Ibu langsung mengetuk pintu rumah itu.

“Silakan masuk,” yang punya rumah keluar. Orangnya sudah tua. Jalannya tertatih-tatih. Ipah kasihan melihatnya. Rumah kecil yang dimasukinya itu gelap sekali. Tidak ada lampu. Tidak ada benda-benda berharga. Rumah yang ditempatinya bersama Ibu sekarang jauh lebih lumayan.

Ipah diajak ke bilik yang ada tempat tidurnya. Tidak pakai kasur, hanya beralaskan tikar yang sudah robek-robek. Sebelum itu, Ipah dikasih minum jamu. Sebetulnya ia tidak suka, tapi Ibu bilang, Ipah harus meminumnya. Jamu itu manjur untuk membantu meluruhkan isi kandungannya!

Nenek itu memijit. Terus, terus, dan terus.

Ipah kesakitan. Ia tidak ingat apa-apa lagi. Ipah jatuh pingsan. Samar-samar masih didengarnya jeritan Ibu. Tapi, setelah itu gelap, ia tidak ingat apa-apa lagi!

Ipah merasa dirinya lemas sekali waktu pulang. Ibu mengajaknya naik ojek. Di tengah perjalanan, Ipah sudah mau pingsan lagi. Rok yang dipakainya belepotan darah. Ibu panik melihatnya. Setiba di rumah, Ibu memapahnya masuk ke kamar. Tak lama rupanya Ibu memanggil Marno. Laki-laki itu tergopoh-gopoh datang ketika tahu dari Ibu, Ipah sakit.

“Ipah muntah-muntah, Nak Marno. Tolong dijaga, ya? Ibu mau buka warung. Tadi Ibu dengar, Ipah memanggil-manggil nama Nak Marno, makanya Ibu panggil untuk menjaga Ipah.”

Ibu berbohong. Tapi, Marno cengengesan mendengar kata-kata Ibu. Hatinya berbunga-bunga mendengar Ipah membutuhkan dia. Ipah sendiri masih lemas sekali. Dia tidak sanggup bicara apa-apa. Dia mengantuk sekali….

Marno memegang dahi Ipah. Mengompresnya. Ibu sudah menyediakan kain kompres di dekat tempat tidur. Ipah diam saja. Matanya pelan-pelan terpejam. Marno terus cengengesan sambil memijiti tangan Ipah yang sudah tertidur. Mencium bibirnya, membuka bajunya….

Minul membenci Mas!
Minul benci setengah mati! Minul menyesal pernah kawin sama Mas. Tapi, Minul juga cinta setengah mati sama laki-laki itu. Minul tidak mau Mas kawin lagi sama perempuan lain!

Makanya, pagi-pagi sekali, Minul sudah pergi ke rumah kontrakan Mas. Kain jendelanya sudah tidak dipasang. Kata tetangga sebelah, Mas sudah mau pindah rumah. Waktu Minul tanya, tetangga itu bilang tidak tahu, Mas mau pindah ke mana. Selama ini Minul juga tidak pernah lagi melihat Salamah. Ke mana-mana ia sudah mencari anak itu, tapi tidak ketemu….

Tadi sore, Minul lewat lagi di tempat Mas. Kelihatannya Mas baru pulang kerja. Tapi, Mas pura-pura tidak melihat Minul. Ah, laki-laki itu benar-benar sudah tidak memandangnya sebelah mata lagi. Padahal, kata Titis, Minullah yang berjasa memasukkan Mas kerja. Minul yang berjasa sehingga Mas bisa hidup di Jakarta.

Mas benar-benar sudah tidak mau peduli pada perasaan Minul. Mas seenaknya sendiri. Ia sudah berani naksir dan jatuh cinta pada perempuan lain. Bukan tidak mungkin, rencana pindah kontrakannya pun karena perempuan itu. Perempuan cantik yang pernah ditemui Minul.

Minul resah. Hari sudah sore, Mas belum juga pulang kerja. Seharian ia mengintai Mas. Mas tidak tahu, Minul melihat ia bergegas pergi kerja, dan bahkan menungguinya pulang. Sekarang hari sudah malam. Jalan di depan rumah Mas sudah sepi. Jendela di kamar Mas ditutupi kain sarung. Minul tidak bisa mengintip. Tapi, ada sinar lampu di dalamnya. Mas pasti sudah pulang dan sedang tidur di sana. Rupanya, ketika Mas pulang tadi, Minul tidak tahu. Mungkin Mas pulang ketika Minul makan bakso. Perutnya lapar sekali menunggu Mas tidak pulang-pulang.

Pelan-pelan, Minul beranjak. Beberapa kali ia berjalan mondar-mandir di depan rumah Mas. Akhirnya dengan ragu, Minul mengambil sesuatu. Segalon bensin sudah ia persiapkan sejak pagi tadi! Hatinya terasa panas membayangkan Mas pasti baru pulang dari rumah perempuan itu. Maka, tanpa berpikir panjang lagi, Minul mulai menyiramkan bensin ke pintu rumah Mas. Lubang di bagian bawah pintu agak besar. Tikus pasti gampang lewat di situ.

Minul benci Mas!
Perempuan itu jauh lebih muda dari Minul. Mungkin pantas jadi anaknya. Usianya pasti tidak jauh dari Mas. Tapi, Minul benar-benar tidak rela kalau Mas kawin dengan perempuan itu. Lalu mereka mengasuh dan membesarkan Salamah bersama-sama dengan bahagia. Sementara itu, Minul kesepian sendiri. Oh, Minul betul-betul tidak rela!

Malam ini bukan malam Minggu. Gang di depan rumah Mas sepi sekali. Mendung. Tidak ada bintang, apalagi bulan. Beberapa anak muda tadi sempat lewat, tapi karena sudah mengenal Minul, mereka tidak curiga. Paling-paling Minul hanya kangen Mas!
Minul sudah selesai menyiramkan bensin. Sekarang dia mengambil korek api dari tasnya. Pelan-pelan dia menyulut sebatang korek api dan melemparkannya ke arah jendela Mas yang tadi sudah dia siramkan bensin juga. Perlahan tapi pasti, api mulai besar, dan merambat ke mana-mana….

“Kebakaran! Kebakaran!”

Tiba-tiba terdengar teriakan di mana-mana. Rumah Mas terbakar! Api berkobar besar sekali!

Minul sendiri tidak ke mana-mana. Ketika ia sudah menyulut sebatang korek api tadi, Minul langsung menyiramkan sisa bensin itu ke tubuhnya. Ia membiarkan dirinya ikut dimakan api. Minul memejamkan matanya dengan pasrah. Pelan-pelan merasakan panasnya api menjilati tubuhnya.

“Kebakaran!” Orang-orang bertambah riuh. Kepanikan terjadi di mana-mana.

Minul cinta Mas!

Minul tidak mau berpisah dari Mas! Untuk selama-lamanya….

Epilogt
Awalnya…
Rumah itu terbakar! Rumah besar yang memiliki banyak kamar. Yang seluruh penghuninya, kecuali satpam, adalah perempuan. Yang pintu pagarnya tinggi dan kokoh. Yang ada kolam renangnya. Yang….

“Bagaimana, nih, Mi?”

Perempuan yang dipanggil ‘Mi’ itu menoleh kepada seorang gadis bertubuh kurus, berpakaian seksi.

“Mami, sih, pulang telat! Pasti orang-orang kampung yang membenci kita yang bakar rumah ini!” ujar perempuan lain, yang tubuhnya agak gemuk tapi wajahnya cantik.

Wanita setengah baya yang dipanggil Mami diam saja. Mengisap rokoknya dalam-dalam dan mengembuskannya, seperti ingin berlomba dengan asap hitam yang masih mengepul.

“Mami ingat kan, Oom Rudi janji datang malam ini. Nanti mau tidur di mana?”

Perempuan setengah baya itu masih diam. Seperti berpikir. Pelan-pelan ia menjauh dari kumpulan gadis-gadis muda berpakaian seksi di sekelilingnya. Ia masih harus berpikir keras. Ia butuh sendiri.

Baju yang dikenakan Ipah berwarna merah. Tidak berlengan dan belahan dadanya rendah. Ipah berputar di depan cermin.
“Kamu cantik kalau pakai baju seperti itu! Oom langganan saya baik. Kalau kamu ikut Tante Riri, kamu harus nyetor ke dia mahal. Mending kamu ikut saya, bantuin saya bayar rumah kontrakan ini.”

Ipah masih berputar. Ucapan Nurul didengarnya sambil lalu. Sudah seminggu ia kabur dari rumah Ibu. Ipah tidak tahan lagi dengan perlakuan Marno. Dia jadi sadis ketika tahu Ipah sudah tidak perawan lagi.

“Tuh, sudah ada yang datang!” Nurul melambaikan tangannya.

Di luar sudah menunggu laki-laki bertubuh tinggi besar. Ipah berjalan menunduk ketika digandeng oleh lelaki itu. Persis seperti Emak dulu ketika dibawa pergi Wak Ijah. Begitulah, perlahan tapi pasti ‘karier’ Ipah meningkat pesat. Apalagi sejak bertemu dengan Mami yang anak buahnya banyak menyebar di hotel-hotel, ‘kelas’ Ipah jadi berubah. Mau tak mau, ia harus menjalani hidupnya. Apalagi setelah Nurul gantung diri!

Ipah tidak lama ikut Mami, karena ia sudah dijadikan simpanan oleh seorang oom yang baik hati. Ipah mendapatkan hadiah rumah dan mobil, sampai istri oom itu datang mendampratnya. Dan, oom itu tidak pernah muncul lagi. Ipah lalu kembali berusaha sendiri. Ia membangun sebuah rumah besar, letaknya agak masuk ke dalam gang. Berpintu gerbang yang kokoh dan rapat hingga orang di luar tidak bisa mengintip. Dan, ‘anak-anak’ datang begitu saja. Ada yang ia temukan di mal, ada yang mendaftar sendiri. Mereka silih berganti.

Membuka usaha seperti itu, bukannya tanpa halangan. Ipah harus menghadapi anggota masyarakat yang bertempat tinggal di situ yang tidak ingin lingkungannya menjadi ‘kotor’. Akhirnya Ipah menyisihkan dana untuk mengisi kas kepemudaan di lingkungan itu. Beberapa lama usahanya aman, sampai datang hari ini. Tempat yang sudah dirintis susah payah itu terbakar! Gara-garanya, seorang gadis kampung itu datang menemui Ipah untuk melamar menjadi anak buahnya sehingga orang kampung marah!

Habislah semuanya. Ipah harus mulai dari awal lagi….

Ia mengontrak sebuah rumah di tengah kompleks perumahan elite. Lebih kecil, tapi tidak diganggu protes penduduk sekitar. Orang-orang kaya saling tidak peduli satu sama lain. Namun rupanya, tidak selamanya bintang bersinar terang. Satu per satu ‘anak-anaknya’ pamit pergi. Ia tidak tega menghalangi. Mereka pamit baik-baik padanya. Ah, apakah sudah waktunya ia mundur dan banting setir mencari bisnis lain?

"Tante pernah punya keinginan untuk punya anak?”
Ipah berdiri. Kaku. Tiba-tiba saja ia merasakan dinginnya lantai hotel yang ia injak menembus sepatunya yang berhak tinggi. Pertanyaan dari wartawan muda yang ingin memuat kisah hidupnya itu menohok jantungnya. Ipah tidak pernah lupa pada Bintang, laki-laki pertama yang menidurinya.

Ipah bertemu dengannya suatu hari. Wajahnya kuyu, terbebani masalah. Mereka bicara panjang lebar di kamar hotel. Bintang tidak mengenalinya. Seusai bercinta, laki-laki itu tertawa, menepuk pipinya.

“Kamu mirip perempuan yang pernah saya tiduri. Masih perawan. Gadis ingusan. Bajingan!” tangannya mengepal geram.

Ipah menahan napasnya. Berharap ada masa lalu yang terlontar lagi.

“Saya terkadang merindukannya,” laki-laki itu menggeleng. “Tapi, dia sudah menghilang ditelan bumi,” suaranya mengecil.

Ipah masih menahan napasnya. Mengelus kepala laki-laki itu. Ia merasakan tangannya gemetaran ketika menyentuh rambut Bintang. Rasanya masih seperti dulu.

“Konyol!” laki-laki itu menggeleng.

“Kamu masih mengingatnya dan istri kamu cemburu karenanya? Atau anak kamu?” Ipah menghentikan kalimatnya ketika pandangan mata laki-laki itu melotot ke arahnya. “Maaf,” ujar Ipah akhirnya.

Laki-laki itu mengangguk. “Saya mandul!” ia terbahak. “Istri saya tidak ada yang mau dengan saya. Yang terakhir hamil juga, tapi dengan seorang teman saya. Sekarang ia minta saya mengakui anaknya. Katanya, demi kehormatan keluarga dan demi menjaga kewibawaan saya sebagai laki-laki!”

Ada tangis yang Ipah sembunyikan ketika mendengar ceritanya. Dan, itu adalah pertemuannya yang terakhir dengan Bintang. Mereka tidak pernah berjumpa lagi. Ipah menyesal, mengapa ia tidak mengaku saja, bahwa sebenarnya ia adalah gadis ingusan yang dirindukan Bintang. Dan, mereka pernah punya anak. Ya, kalau saja perutnya tidak diurut oleh perempuan tua itu….

“Kalau tulisan ini nanti dimuat, tolong tulis bahwa perempuan nakal itu ada karena laki-laki yang kurang ajar! ” tiba-tiba terdengar suara Ipah berapi-api.

Wartawan muda itu diam. Terkejut. Lalu diam-diam mematikan tape-nya ketika perempuan yang dikenalnya dipanggil ‘Mami’ oleh anak buahnya itu tampaknya tak berminat bercerita lagi.

Mami diam.
Sejak sore tadi ia duduk saja di taman. Memperhatikan.

“Kamu tinggal stop motor yang lewat, atau sok cuek. Nanti juga ada yang datang. Biasanya tukang jualan minuman ngasih tahu kamu,” Nurul memberi tahu waktu kali pertama Ipah diajak ke taman. “Kamu harus pintar milih. Kalau kasih harga jangan rendah, biarpun kamu tidak punya uang. Sekali kamu banting harga, nilai kamu, ya, cuma segitu itu!”

Ipah menuruti. Kali pertama ia berdiri di taman, Nurul duduk melihat dari pojok. Preman yang ada di taman itu kenal baik sama Nurul. Makanya Ipah tidak dimintai macam-macam.

“Kalau di sini harus hati-hati, Tante,” seorang perempuan berhidung mancung cepat berdiri ketika ada mobil yang berjalan pelan-pelan.

Mami memperhatikan. Tas yang dipakai perempuan itu besar. Ada buku di tangannya. Pakaiannya sopan. Berbeda dari perempuan gemuk di sisi taman yang lain. Dia hanya mengenakan kaus tanpa lengan, kelihatan tidak pakai bra.

“Wah, mintanya terlalu murah!” perempuan itu menggelengkan kepalanya, kembali duduk di samping yang melirik— memperhatikan buku yang dibawa perempuan itu.

“Ini biar kayak anak kuliahan, Tante! Saya sendiri sekolah cuma sampai SMP. Kalau bawa buku tebal begini, banyak oom yang naik mobil mewah mau sama saya!”

“Bawa buku?”

Ipah mengangguk. Nurul kelihatan heran mendengar permintaan Ipah untuk dicarikan buku-buku yang tebal. “Kamu nanti dikira anak sekolahan! Kalau bayarannya mahal, malah tidak ada yang mau sama kamu, gimana?”

Ipah hanya tersenyum.

Mami tersenyum. Sampai suara perempuan itu lagi menyentakkan lamunannya tentang Nurul. “Tante bukan polisi?”

Mami menggeleng cepat.

“Kadang-kadang, kalau ada ‘garukan’, saya diselamatkan oleh buku ini, Tante. Dikiranya saya perempuan baik-baik yang lagi kesasar!”

“Kamu masih punya orang tua?” Mami bertanya.

Perempuan itu mengangguk. “Nganggur! Bapak kakinya lumpuh sejak kena tabrak lari. Ibu belum pernah kerja. Makanya, saya kerja begini untuk meringankan beban orang tua. Biar adik saya bisa sekolah dan dapat pekerjaan. Ya, siapa tahu ada orang kaya yang mau sama saya! Jadi istri kedua atau kelima juga tidak apa-apa!”

“Jadi istri kesepuluh pun saya mau! Tapi, kok, selama ini tidak ada yang melamar saya?” Nurul bicara dengan pandangan menerawang. “Nasib saya jelek terus! Moga-moga nasib kamu tidak sejelek nasib saya, Ipah.”

“Pacar kamu?”

“Pacar-pacar saya tidak ada yang pernah ngajak kawin. Malah kerjanya cuma minta duit sama saya! Yang kaya juga sama saja! Dia cuma mainin saya. Begitu saya hamil, eh, dia kabur!”

Sebuah mobil berjalan pelan. Perempuan berhidung mancung itu gesit menghampiri. Mereka tampak bicara sebentar, negosiasi harga. Setelah itu ia masuk ke dalam mobil, tangannya melambai ke arah Mami sambil tertawa. Lewat tengah malam, Mami berdiri dari duduknya. Berjalan pulang sambil tersenyum pahit. ‘Anak-anaknya’ sudah pergi semua meninggalkan dirinya. Ia merasa kesepian. Sangat kesepian saat ini.

Akhirnya….
Perempuan itu tidak terlalu tua. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai. Beberapa uban kelihatan berlomba menyembul ke luar.

Malam tanpa bintang. Baju yang dikenakannya memiliki belahan dada rendah. Sudah beberapa sepeda motor melintas, tapi tidak ada satu pun yang berhenti di dekatnya.

“Perempuan stres!” seorang penjual teh botol yang mangkal di taman berkomentar.

“Oh, yang kemarin hampir ditabrak mobil waktu tidur di jalan itu?” tanya yang lain.

Malam masih tanpa bintang. Rok lebar yang dikenakan perempuan itu melambai ditiup angin malam. Ia masih menunggu. Terus menunggu. Sampai sebuah mobil keamanan datang dan menyergapnya. Ia hanya menyerah pasrah. Hanya sedikit tawanya yang tersisa, “Namaku Ipah, saya perempuan tidak benar….”

No comments: