12.22.2010

IKHLAS

Hari masih terlalu pagi, ketika kulihat sebuah sedan hitam mengilap berhenti di depan pagar rumahku. Tak lama kemudian, seorang pria tinggi yang kukenal bernama Pak Ian, turun seraya melempar senyum lebarnya padaku. Dengan sigap, dibukanya pintu belakang dengan kepala tertunduk hormat.

Seorang wanita cantik turun, berbalut busana kerja abu-abu tua. Keningku mengernyit. Sesuatu yang amat tidak biasa melihat Mbak Laras, wanita karier supersibuk yang notabene adalah satu-satunya kakakku, datang pagi-pagi ke rumah kami yang luasnya kurang lebih sama dengan luas kolam renang di rumahnya sendiri. Ada urusan apa? Hatiku bertanya-tanya.

Kulangkahkan kaki menuju pagar, menyambutnya dengan perasaan waswas. Mbak Laras tidak mungkin datang hanya untuk bersilaturahmi. Apalagi, pagi-pagi begini semestinya ia tengah berada dalam perjalanan menuju kantor.

“Pagi, Mbak. Tidak ke kantor?”

Ia tak menjawabku. Bibirnya tertekuk, menandakan ada sesuatu yang tidak beres. Langkah kakinya masuk mendahuluiku tanpa kupersilakan. Ia kemudian duduk di kursi rotan di teras depan.

”Masuk dulu, Mbak.”

”Sudah, di sini saja,” sahutnya, dingin. Matanya menyiratkan kegusaran yang amat sangat. Aku pun diam dan duduk di seberangnya. Sebenarnya ingin kutawarkan segelas teh, tapi kupikir mungkin bukan ide yang bagus untuk saat ini.

”Kau harus ke rumah,” katanya kemudian, seperti sebuah perintah.

”Memangnya ada a....”

”Mayang...,” ia menyelaku dengan cepat. ”Dia...,” matanya melirik kiri- kanan, lalu volume suaranya turun sekitar delapan puluh persen. ”Dia hamil.”

Deg! Aku tersentak. Hamil? Mayang?

Mbak Laras mengangguk, seakan menepiskan keraguanku. ”Sudah seminggu ini dia muntah-muntah. Aku ajak ke dokter dia tidak mau. Kadang-kadang dia tidak mau makan sama sekali. Beginilah kalau anak gadis terlalu liar. Aku sudah lelah mengurusi anak itu.”

”Tapi, Mbak...,” aku ikut-ikutan berbisik. ”Apakah Mbak sudah yakin bahwa Mayang hamil. Maksudku, kalau tidak mau ke dokter, setidaknya bisa pakai test-pack.”

”Itulah mengapa kau kusuruh ke rumah!” ujarnya, ketus.

Dibetulkannya letak kacamatanya yang sedikit melorot turun pada hidung bangirnya. Seandainya ia mau bersikap ramah, aku pasti tak segan-segan memberi nilai sepuluh untuk kecantikan wanita ini.

”Mungkin besok, Mbak. Hari ini aku harus mengajar. Lagi pula, ada pertemuan guru.”

”Kau bisa langsung mampir setelah urusan itu, ’kan?” Mbak Laras terdengar makin tak sabar. ”Persoalan ini tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Cari tahu siapa yang menghamilinya, setelah itu aku akan urus pernikahannya. Jangan sampai orang-orang tahu.”

Aku manggut-manggut, pura-pura mengerti. Meski beribu pertanyaan mendesak di kepalaku, aku tahu pasti bahwa tak ada gunanya berpanjang kata dengan wanita yang satu ini. Percuma. Ia terlahir untuk selalu menang. Dan, aku terlahir untuk terpaksa mengalah.

Dibukanya tas dan dikeluarkannya lima lembar uang seratus ribu. Dengan cepat aku menggeleng. Walaupun aku termasuk pencinta uang, entah mengapa aku benci tiap kali harus menerima uang darinya. Hal itu membuatku merasa sebagai orang termiskin di dunia.

”Buat ongkos taksi,” lagi-lagi Mbak Laras bersikeras. ”Kalau kau tak mau, buat Hauzan saja. Beli susu.”

Aku diam. Ia tahu aku tak suka, tapi ia tak pernah mau memahamiku. Uang itu disimpannya di atas meja, sebelum ia beranjak menuju mobil. Pak Ian sudah siap membukakan pintu untuk sang permaisuri yang melenggang dengan angkuh. Bahkan, ia tak pamit padaku, si empunya rumah. Tak ada cium pipi kiri dan kanan. Tak ada senyum menyungging di bibirnya yang indah. Tak ada basa-basi.

Aku melambai, tepatnya pada Pak Ian yang terlihat amat ikhlas melempar senyumnya. Hampir sepuluh tahun pria penyabar itu kukenal, dan sepertinya lebih banyak keramahan yang ia berikan padaku dibanding Mbak Laras yang telah kukenal seumur hidupku.

Tapi, itulah hidup. Terkadang menawarkan kenyataan yang jauh dari harapan. Aku telah bertahun-tahun belajar untuk hidup de­ngan mencintai kenyataan, betapapun pahitnya.

Lahir sebagai anak tengah, tak pernah memberikan kebahagiaan bagiku. Aku selalu jadi kacung bagi kakakku, pengasuh bagi adikku satu-satunya, Mayang. Sejak kecil, aku asisten Ibu di dapur, tangan kanan Bapak di kebun, dan malam hari pun tak jarang aku begadang mengurusi Mayang yang masih kecil.

Mbak Laras biasanya mendekam di kamar dengan pelajaran sekolahnya. Ia memang yang paling pintar di antara kami. Karena kepintarannya, Ibu memperlakukannya bak mutiara. Wanita pintar, menurut Ibu, tak perlu tahu urusan masak dan cuci piring. Kalau pintar, pasti akan mudah mendapatkan uang. Kalau sudah punya banyak uang, tinggal mencari pembantu untuk mengurusi tetek bengek yang tak perlu.

Dan... terkadang aku menempatkan diriku sebagai pembantu. Aku sebenarnya tak sebodoh yang Ibu bayangkan. Nilai-nilaiku selalu unggul dalam pelajaran sosial, tapi memang sering keteteran pada ilmu-ilmu hitung dan pasti. Tapi, itu karena aku sering tak punya waktu belajar. Waktuku habis tersita untuk membantu Ibu. Terkadang, beliau tak mengizinkanku pergi sekolah, jika si kecil Mayang sakit. Aku harus menungguinya sepanjang hari, mencuci popoknya, menyiapkan susunya, menggendongnya bila menangis, sementara Ibu ke pasar menjual kue-kue basah dan pulang menjelang siang.

Ibu memang pandai membuat kue. Untuk menambah penghasilan keluarga yang hanya bergantung pada penghasilan Bapak sebagai guru sekolah dasar, Ibu tiap hari membuat kue-kue yang dititipkan di warung Mak Ida dan pergi berjualan kue di pasar dua kali seminggu. Sesekali, saat hari pasar bertepatan dengan hari libur sekolah, aku ikut Ibu sambil menggendong Mayang selama di perjalanan.

Tapi, tak sekali pun aku pernah melihat Mbak Laras pergi ke pasar tempat Ibu berjualan atau sekadar membantu Ibu menyiapkan kue-kue basah yang akan dijual. Padahal, kutahu pasti bahwa Mbak Laras-lah yang paling banyak menikmati uang hasil jualan Ibu, yang sering diselipkan ke tas sekolah Mbak Laras secara sembunyi-sembunyi, karena takut ketahuan Bapak.

Karenanya, walau hidup kami terbilang cukup prihatin, Mbak Laras selalu punya uang jajan yang cukup besar untuk ukuran anak guru sekolah dasar. Ia punya jepitan warna-warni, bando dan ikat rambut bermacam warna, sepasang sepatu pantofel kulit dan sepasang sepatu olahraga (yang semuanya dibeli dalam keadaan baru), dua buah tas sekolah hingga bisa dipakai bergantian, dan barang-barang ’mewah’ lain, yang tak pernah bisa kumiliki, sampai Mbak Laras memiliki barang baru dan akhirnya membuatnya terpaksa mewariskan barang lamanya kepadaku.

Sepatuku, bertahan selama dua tahun, yang depannya sudah menganga mirip buaya kelaparan, tak juga menggugah hati Ibu untuk membelikanku sepasang sepatu baru yang seharusnya merupakan hakku sebagai upah dari mengerjakan pekerjaan-pekerjaan di rumah setiap harinya. Bapaklah yang berinisiatif membawaku ke kota membeli sepatu baru dari hasil memecahkan celengan ayam yang bertahun-tahun beliau simpan di atas lemari pakaian, meski dari pandangan mata Ibu, aku tahu betul bahwa Ibu sama sekali tak rela.

Di sadel belakang sepeda Bapak, aku duduk dengan berlinangan air mata sepanjang jalan menuju ke kota. Kupeluk pinggang Bapak erat-erat, sementara hatiku perih memikirkan betapa Ibu tak mencintaiku dan terharu betapa Bapak telah berusaha keras berbuat adil bagi kami, anak-anaknya. Dalam hati aku bertekad, suatu hari nanti aku takkan pernah miskin lagi dan akan kubalas segala kebaikan Bapak padaku.

Sayang, harapanku untuk membalas kebaikan Bapak tak pernah bisa terwujud. Beliau meninggal dalam kecelakaan bus, saat hendak pulang kampung menengok Nenek yang sakit keras. Umurku baru lima belas tahun saat itu. Aku betul-betul kehilangan sosok yang selama ini menguatkanku.

Ya, Bapaklah pelipur laraku. Saat aku lelah dengan beban pekerjaan yang diberikan Ibu. Tak jarang Bapak ikut membantuku. Baik itu memasak di dapur, mencuci piring, sampai membantu mengerjakan tugas-tugas sekolahku, yang terkadang baru sempat kukerjakan setelah salat subuh, sesaat sebelum aku berangkat ke sekolah. Bapak sering memprotes Ibu yang menyuruhku menimba air sumur setiap kali Tuan Putri Laras akan mandi.

Tapi, seperti aku, Bapak pun terlahir untuk terpaksa mengalah. Omelan Ibu tak pernah bisa tuntas dilawan. Makin kami diam, makin baik pula jadinya. Walaupun miskin, kami risi jika melihat tetangga berkumpul di depan rumah gara-gara mendengar omelan Ibu yang panjang lebar, pedas, dan terkadang ngawur.

Kepergian Bapak membuatku makin pasrah menghadapi hidup. Beban Ibu yang makin berat karena ketiadaan Bapak, tak ingin kutambah hanya karena aku merasa tak diperlakukan sama dengan kedua saudaraku yang lain. Biarlah Ibu tak mencintaiku. Yang selalu kuingat dari nasihat guru agamaku di sekolah dasar adalah setelah Allah, orang tua adalah makhluk yang paling harus dihormati dan dihargai. Aku yakin, berbuat baik pada Ibu kurang lebih sama dengan menyenangkan hati Bapak di surga sana.

Aku lalu hampir berhenti sekolah sewaktu di sekolah menengah atas. Ibu menegaskan, beliau tak mampu lagi membiayai kami bertiga. Karenanya, harus ada yang mengalah. Menurut pertimbangan, akulah yang paling berpengalaman meneruskan usaha kue Ibu, sementara Mbak Laras meneruskan kuliah karena ia yang paling pintar di antara kami. Si kecil Mayang terlalu muda untuk putus sekolah. Aku pasrah. Sepertinya, atas hidupku memang hanya Ibulah yang berhak memutuskan.

Sampai akhirnya datang pertolongan Tuhan, yang sebenarnya tak pernah berani kuminta, bahkan dalam doa sekalipun. Pak Lik Aji, satu-satunya adik almarhum Bapak, datang dari kota dan membiayai sekolah kami bertiga hingga tamat kuliah. Wajah Ibu bukan main berseri-seri, apalagi aku. Tapi, kemudian beliau berkata dengan sungguh-sungguh, bahwa aku tak pantas jadi sarjana. Otakku pas-pasan dan aku hanya pandai membuat kue. Aku pantasnya hanya tamat SMA dan menikah saja setelahnya, jika ingin hidupku bahagia.

Sejak itu, aku mulai meyakini bahwa sebenarnya mungkin aku bukanlah anak kandung Ibu. Selain dari perlakuan Ibu yang amat berbeda padaku, aku juga tak mirip Mbak Laras ataupun Mayang. Mereka terlahir jelita bak bidadari, sedangkan aku, meskipun tak jelek-jelek amat, nilai yang pantas untuk tampangku menurutku hanya tujuh lebih sedikit. Aku tak luwes layaknya seorang wanita tulen. Jari tanganku kasar karena terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah dan aku tak pandai berdandan. Satu-satunya orang yang pernah memujiku hanya Bapak.

Tapi, pikiran itu segera kuenyahkan jauh-jauh. Di tengah kepiluanku sebagai anak yang tak dicintai, aku yakin aku akan menemukan orang-orang yang mencintaiku kelak di luar sana, seperti almarhum Bapak. Kuselesaikan SMA dengan belajar tekun hingga lulus dengan nilai mencengangkan, yang lagi-lagi, menurut ibuku, adalah suatu kebetulan semata. Aku melanjutkan kuliah di jurusan bahasa sembari bekerja, agar tak terlalu jadi beban bagi Pak Lik Aji. Kini aku berhasil menjadi guru bahasa Inggris di sebuah sekolah menengah swasta ternama dan aku amat yakin Bapak tengah tersenyum bangga melihatku dari atas sana.

Mbak Laras sendiri berhasil memperoleh beasiswa untuk kuliah di luar negeri. Bukan main bangganya Ibu saat itu. Tak putus-putusnya kabar tersebut diulang-ulang setiap kali ada keluarga atau tetangga yang ditemuinya di mana saja. Ibu pun makin bangga, karena setelahnya, Mbak Laras dilamar oleh seorang pria tampan dan kaya. Berakhirlah kisah sedih seorang janda penjual kue basah saat itu juga. Ibu dan Mayang ikut diboyong ke rumah besar hadiah mertua Mbak Laras di sebuah permukiman elite.

Bukan cuma mereka yang bahagia, aku pun mulai kenal dengan Mas Endi, seniorku di kampus. Tetapi, keseriusanku dalam studi menghalangiku untuk menerima tawarannya untuk jadi kekasih. Tiga tahun lebih, aku membiarkannya menunggu. Aku sendiri tak yakin, aku wanita yang memiliki tampang pas-pasan dan rasa percaya diri yang amat kurang, pantas untuk mendampinginya. Ia cukup tampan dan populer di kalangan gadis kampus. Pernyataannya tentang perasaan cintanya padaku, terdengar seperti sebuah ejekan yang biasa dilemparkan Ibu kepadaku. Aku si itik buruk rupa tak sanggup bermimpi punya kekasih setampan dan sebaik Mas Endi. Walau, jauh di lubuk hatiku, aku sadar aku telah jatuh cinta pada pria itu, pada pandangan pertama.

Ternyata, aku itik buruk rupa yang beruntung. Tiga tahun lebih Mas Endi setia menungguku. Kami tak pernah berpacaran. Kami hanya pernah pergi nonton sekali, itu pun saat ulang tahunku dan aku tak bisa menolak ajakannya. Ia tak pernah menyentuh tanganku sekali pun, sampai akhirnya tanpa kuketahui sama sekali, di hari aku merayakan kelulusanku, ia dan orang tuanya datang melamarku di hadapan Pak Lik dan Ibu.

Seperti biasa, Ibu meragukan setiap hal baik yang datang dalam hidupku. Beliau bahkan mencurigai ada sesuatu yang telah terjadi di balik hubungan kami. Beliau menuduhku hamil. Aku menangis berhari-hari. Orang tua Mas Endi telah pulang dengan tersinggung. Mas Endi masih setia menemuiku, tapi ia mengatakan dengan amat berat bahwa akan butuh waktu untuk bisa memperbaiki kesalahpahaman orang tuanya.

Sekali lagi aku kecewa pernah memiliki ibu seperti ibuku. Aku akhirnya menenggelamkan diri dengan kegiatanku mengajar, hingga setahun berlalu dan tuduhan Ibu tak terbukti benar.

Pak Liklah penolongku pada akhirnya. Hampir seperti mendiang Bapak, ia amat memahami diriku, meskipun kami jarang sekali bercakap dari hati ke hati. Setiap kali aku menerima gaji, kukirim gajiku ke rekening Pak Lik. Kuserahkan semuanya, utuh, sebagai tanda terima kasihku atas semua kebaikan beliau, meski kutahu harga yang harus kubayar masih jauh dari itu. Yang kuingat, keesokan paginya, uang itu dikirim kembali ke rekeningku.

Tanpa kuduga sama sekali, Pak Lik bersama istrinya kemudian diam-diam pergi bertemu orang tua Mas Endi dan meminta maaf atas kejadian setahun yang lalu yang disebabkan oleh Ibu. Akhirnya mereka mengerti dan amat terharu melihat Mas Endi yang sabar menunggu restu dari mereka untuk akhirnya bisa menikahiku.

Kami pun menikah, masih dalam cibiran Ibu, bahwa aku takkan bisa hidup sebahagia Mbak Laras yang bersuamikan anak konglomerat dan kini telah punya perusahaan sendiri. Tapi, aku tak peduli lagi. Aku telah menemukan tambatan hatiku. Aku pun telah memiliki Pak Lik sebagai pengganti sosok orang tua yang kuimpikan, dan sepasang mertua yang amat sangat menyayangiku.

Kami kini memiliki Hauzan. Bocah laki-laki yang kini duduk di kelas satu sekolah dasar. Kami tinggal di rumah mungil yang sudah dua tahun lebih kami miliki dengan cara mencicil. Tak sefantastis hidup Mbak Laras mungkin, tapi sungguh aku belum pernah sebahagia ini sebelumnya. Hidupku terasa begitu lengkap. Mas Endi mencintaiku dan makin memperlihatkan cinta yang begitu besar setiap harinya. Yang terpenting, ia selalu menghargaiku sebagai seorang wanita, memperlakukanku layaknya makhluk berharga yang layak dicintai.

”Dewi?”

Sebuah elusan di kepalaku membuatku tersentak. Mas Endi memandangku dengan heran.

”Pagi-pagi begini melamunkan apa?” Aku tersenyum malu.

”Ada yang datang, ya?” Ia menunjuk pintu pagar yang belum sempat kututup.

”Mbak Laras.”

”Mbak Laras?” Keningnya berkerut. ”Kakakmu?”

Aku tertawa. ”Ya, Mas. Siapa lagi? Entah mimpi apa semalam dia ke sini. Cuma nitip duit buat jajan Hauzan katanya.”

Kening Mas Endi masih berkerut. Kutahu ia makin bingung. Tapi, tak kupedulikan. Aku masuk dengan senyum-senyum sendiri. Tugas pagiku masih banyak. Membuat sarapan, memasukkan cucian dalam mesin cuci, memandikan Hauzan, lalu mengantarnya ke sekolah.

Tiba di depan gerbang rumah Mbak Laras yang bisa dibilang mirip istana kecil di negeri antah berantah, seorang satpam bertubuh tegap menghadangku. Sepertinya satpam baru. Maklum, aku jarang sekali ke sini. Kira-kira tiga bulan yang lalu terakhir kali aku menginjakkan kaki di rumah besar bergaya Prancis ini, saat ulang tahun Ibu.

”Siang, Bu,” Pak Satpam menyapaku ramah. Ternyata, ia tak sesangar wajahnya yang dihiasi kumis tebal. ”Ibu ingin bertemu siapa?”

”Mayang,” jawabku singkat.

”Ehm... maaf, Bu, kalau boleh tahu, Ibu ini siapa?”

”Aduh... Bu Dewi...,” seorang pria agak tua, bertubuh kurus dan dalam seragam yang sama dengan ’Pak Kumis’, menyahut dari belakang. Tergopoh-gopoh ia keluar menghampiri kami dan tersenyum padaku.

”Maaf, Bu. Maklum satpam baru.” Pak Joko, yang telah menjadi satpam sejak Mbak Laras mendiami rumah ini, menarik satpam berkumis tadi mundur. ”Ini Bu Dewi, adiknya Bu Larasati! Kakaknya Mbak Mayang.”

Spontan Pak Kumis meminta maaf. Aku pun membalasnya dengan senyum. Tak ada yang perlu dibesar-besarkan. Toh, aku bukan orang yang gila hormat. Mereka tak mengenal diriku pun tak apa-apa. Asal mereka tahu bersikap sopan. Itu yang penting.

Di halaman, Mbok Surti menyambutku dengan wajah riang. Wanita paruh baya ini memang selalu sumringah jika bertemu denganku. Mungkin karena aku yang paling sering menyapa dan menanyakan keadaannya. Mungkin karena di antara kami bertiga, aku yang paling manusiawi, begitu komentar Mas Endi.

”Sehat, Mbok?” aku menepuk bahunya pelan, tanda senang bertemu dengannya. Mata sipitnya memicing, karena tertarik oleh senyum lebar yang mirip sebuah tawa tanpa suara.

”Non sudah lama tidak ke sini,” ujarnya, seperti sedang memprotesku. Digendongnya Hauzan seraya mencium pipi kiri dan kanannya. ”Mbok kangen sama Den ganteng yang satu ini....”

”Ibu mana?” aku bertanya seraya mengikuti langkahnya masuk ke dalam rumah.

”Ada di atas, Non. Mungkin lagi tiduran. Belakangan punggungnya suka sakit.”

Kesan mewah memenuhi perasaanku ketika melangkah memasuki ruang tamu. Beberapa guci raksasa antik buatan Cina berdiri megah di sudut-sudut ruangan, yang pasti takkan orang temui di rumahku yang mungil. Perabotan dari kristal berjejer anggun di atas bufet model terbaru. Aku akan berpikir seribu kali untuk membelanjakan uang demi perabotan mahal yang harganya bisa sampai jutaan rupiah itu. Sofa berwarna kuning emas, elegan sekali, serasi dengan pernak-pernik bantal kursi plus taplak. Hanya dengan meliriknya dari jauh akan segera terdeteksi bahwa barang-barang tersebut sungguh barang berkelas. Mahal dan angkuh. Tak sadar aku merinding.

”Hauzan?” suara Ibu yang kukenal bertahun-tahun menyambut.

Beliau melangkah tertatih menuruni tangga dikarenakan berat badannya yang makin naik. Segera kusongsong beliau. Kucium jemarinya dan kedua belah pipinya. Jujur saja, meski begitu banyak luka yang tertoreh di hatiku dikarenakan sikap beliau padaku, aku terkadang merindukannya. Hari-hari di masa lalu yang pernah kurangkai bersamanya, banyak yang pedih untuk diingat. Tapi, aku sadar, karenanya, aku bisa setegar ini. Karenanya, aku bisa memaknai hari-hari indah yang kini kumiliki dan terus mensyukurinya.

”Ibu sehat?”

Wanita dengan uban memenuhi kepalanya itu mengangguk tanpa senyum. Sikapnya padaku masih sedingin biasanya. Tetapi, aku pun sudah terbiasa dan tidak pernah lagi memendam perih karena sikap Ibu tersebut. Selalu kuingatkan diriku bahwa ibuku adalah manusia biasa yang jauh dari sempurna. Beliau punya kekurangan dan aku ingin memakluminya, karena aku adalah anak yang mencintainya.

Hauzan tak langsung menyongsong tangan Ibu yang terbuka lebar. Mata polosnya memandangku berkali-kali, lalu melihat Ibu seperti melihat seseorang yang baru ia lihat sebelumnya. Ibu balik memandangku dengan tajam. Seperti sedang menuduh aku yang melarang Hauzan mendekatinya.

Aku berjalan menuju Hauzan. Bocah itu langsung merengkuh tanganku erat-erat. Kugendong ia mendekati Ibu seraya berbisik di telinganya, “Hauzan tadi lihat Bunda mencium Nenek ya, Sayang? Nenek kan ibunya Bunda. Hauzan juga cium pipi Nenek, ya?“

Untunglah Hauzan anak yang penurut. Ia mau saja turun dari gendonganku dan meraih tangan Ibu. Dengan berjinjit diciumnya kedua belah pipi Ibu yang membungkuk padanya. Aku menarik napas lega. Begitu pula Mbok Surti yang sedari tadi berdiri dengan tegang mengamati kami. Aku mengedipkan sebelah mata padanya agar segera menyingkir sebelum Ibu menegurnya.

”Beginilah kalau kau jarang membawa Hauzan ke sini. Anakmu jadi tidak kenal siapa neneknya,” Ibu mulai mengomel. Aku tahu, hal ini akan membutuhkan waktu yang cukup panjang. Karenanya, aku segera mengambil tempat di sofa dan berusaha duduk senyaman mungkin.

Mbok Surti membawa dua gelas jus jeruk, dua stoples kue kering, dua potong puding cokelat, dan seplastik permen warna-warni yang segera membuat mata Hauzan berbinar ceria. Begini kalau bertamu di rumah orang kaya, segala jenis makanan tersedia lengkap.

Aku menikmati pudingku dengan serius. Sementara, Ibu masih melanjutkan ocehannya tentang aku yang tak pernah menelepon, tentang suamiku yang tak pernah ikut menengoknya, tentang kami yang lupa diri sejak menikah, tentang Hauzan yang pertumbuhannya kurang karena tak minum susu formula impor seperti yang diminum anak-anak Mbak Laras sejak kecil, dan tentang kekurangan-kekurangan kami lainnya yang tak pernah coba dimaklumi Ibu.

Dulu tiap dua hari sekali aku selalu ingat untuk menelepon Ibu. Kini tidak lagi. Terkadang lebih sering beliau tak mau mengangkat teleponku dengan alasan capek atau sudah mengantuk. Terkadang diangkatnya, tapi beliau menanggapi dengan amat dingin dan bertanya: ”Ada perlu apa kau mencari Ibu?” Akhirnya, acara menelepon Ibu yang dua hari sekali, dengan minta pertimbangan dari Mas Endi, kukurangi menjadi sekali seminggu. Setidaknya aku punya alasan. Jika Ibu ragu atas niat baikku menghubunginya, aku bisa bilang bahwa aku rindu padanya karena sudah lama tak mendengar suaranya.

Dan, Ibu memang tak pernah menyukai Mas Endi sebesar ia menyukai Mas Dewo, suami Mbak Laras. Bahkan, sampai setengahnya pun tidak. Aku maklum, demikian pula Mas Endi. Dan, hal itu tak pernah menjadi masalah yang patut dibesar-besarkan menurut kami. Rasa hormat kami pada Ibu tak pernah kurang karenanya.

Justru terkadang Mas Endi yang menasihatiku panjang lebar tentang bagaimana memahami Ibu di usianya yang telah berumur dan tak punya suami. Biasanya, orang tua seperti Ibu amat peka perasaannya, sering mudah salah paham dan kekanak-kanakan. Lagi pula, seingatku, setiap ada acara keluarga, baik dari pihak keluarga Mas Endi ataupun dari pihak keluargaku, Mas Endi selalu menyempatkan datang. Hanya beberapa bulan terakhir ini waktunya menjadi sempit karena ia kuliah lagi untuk meraih gelar masternya. Aku belum pernah sempat memberi tahu Ibu tentang hal tersebut, karena Ibu pun tak pernah bertanya mengenai suamiku.

Mengenai susu formula, kupikir adalah hakku sebagai orang tua Hauzan untuk menentukan yang terbaik bagi putraku. Aku tak memberi Hauzan susu formula impor yang harganya selangit, bukan karena tak sayang pada anak semata wayangku itu. Sebagai ibu rumah tangga, aku harus pintar-pintar mengatur keuangan rumah tangga kami agar semuanya bisa berjalan lancar.

Aku cukup puas dengan salah satu merek susu produksi dalam negeri yang kugunakan sejak berhenti menyusui Hauzan selama dua tahun. Anakku jarang sakit. Meski tak gemuk (pertumbuhan tubuhnya yang sedang-sedang saja, kupikir karena ibu-bapaknya yang tak gemuk dan berpostur sedang), ia sangat cerdas. Sejak di taman kanak-kanak ia sudah pandai membaca dan berhitung. Kini ia sudah mulai kuajarkan istilah-istilah bahasa Inggris yang digunakan sehari-hari. Ia sudah bisa menyebutkan peralatan sekolahnya dalam bahasa Inggris.

Tetapi, Ibu tak pernah tahu, karena sepertinya Ibu memang tak pernah ingin tahu. Terkadang, saat Hauzan sakit, ibu mertuaku yang pertama mendaftarkan diri sebagai sukarelawan. Ibuku jarang tahu karena kami memang tak pernah ingin menyusahkan. Apalagi, pernah sekali aku memberi tahu Ibu tentang keadaan Hauzan yang merah-merah sekujur badannya karena alergi, Ibu malah mendampratku dan menuduhku tak becus mengurusi anak yang cuma satu.

Berbeda dari ibu mertuaku. Wanita bertubuh ramping dan bermata teduh itu amat berbeda perangainya dari Ibu. Seminggu dua kali ia datang bersama bapak mertuaku atau dibonceng motor oleh adik Mas Endi yang paling kecil. Tiap dua minggu sekali ia menginap di rumah kami selama beberapa hari. Maklum, Hauzan adalah cucu pertama di keluarga mereka.

Karenanya, meski Ibu acuh tak acuh, Hauzan tak pernah kekurangan kasih sayang seorang nenek. Ibu Endi adalah seorang wanita yang amat sabar dan telaten. Tak pernah sekali pun ia mengomeliku dengan kata-kata pedas atau menyalahkanku jika Hauzan sakit.

Terkadang hatiku trenyuh dan tak henti-hentinya mengucap syukur bahwa anak semata wayangku tak kekurangan kasih sayang sedikit pun dari orang-orang di sekelilingnya. Tidak seperti diriku dulu yang hanya memperoleh kasih sayang dari Bapak.

”Mayang mana, Bu?” tanyaku, setelah ceramah Ibu yang panjang lebar yang hanya mampu kusimak setengahnya saja. Paras wanita tua itu masih belum berubah. Tetap saja memamerkan kewibawaan yang amat sangat. Aku benar-benar merasa seperti tamu dibuatnya.

”Tak tahu ke mana dia,” sahut Ibu, ketus. ”Harusnya kau sekali-sekali nasihati dia agar tak terlalu banyak main. Sudah lima tahun kuliahnya belum selesai-selesai juga. Mau jadi apa nantinya? Masa cuma Mbak Laras-mu yang bisa jadi orang?”

Jus jeruk manis yang tengah kuseruput terasa pahit di lidahku. Jadi orang? Cuma Mbak Laras? Lantas aku? Sepertinya aku benar-benar tak berharga di mata Ibu.

Kuraih tasku. Hauzan yang tengah menghitung permen di meja segera kugendong. Mata Ibu mendelik melihat tingkahku.

”Mau ke mana kau?”

”Pulang, Bu.” Aku mencoba tersenyum, meski hatiku sedang menangis.

”Kau kenapa?” Nada suara Ibu meninggi. “Apa Ibu salah ngomong?”

Aku menggeleng, masih coba tersenyum. Salah ngomong? Ibu bahkan tidak sadar telah melukai perasaanku. Rasanya kedua mataku mulai panas.

Dewi memang tidak pernah bisa membuat Ibu bangga.

Mata Ibu seakan menelanjangiku. Beliau seperti bisa membaca pikiranku.

”Tidak apa-apa, Bu. Ibu mertuaku akan datang siang ini,” aku membuat alasan. Ingin kusalami, tapi wanita tua itu menahan tangannya. Wajahnya terlihat amat geram. Apa salahku? Bukankah beliau yang mulai mencelaku sedari tadi?

”Kau memang sengaja menjauhkan Ibu dari cucu Ibu.”

Langkahku terhenti. Tuduhan apa pula ini?

”Maksud Ibu?”

”Kau pura-pura tidak mengerti, ya?” Kulihat matanya tengah memandangku tajam. ”Kau sengaja jarang datang. Sampai-sampai anakmu tidak kenal pada neneknya sendiri. Atau, suamimu yang mengajarimu....”

Jangan bawa-bawa Mas Endi, Bu! Dewi memang jarang datang, karena Dewi tahu betul Ibu tak terlalu suka dengan kehadiran Dewi. Ibu bahkan tidak mau main ke rumah kami, meski sekadar menengok Hauzan. Kenapa, Bu? Karena rumah kami kecil? Karena Mas Endi bukan anak konglomerat? Atau... atau karena aku bukan anak kesayangan Ibu sejak dulu?

Kurasakan mataku yang panas berangsur basah. Perjalanan hidupku menyisakan banyak sekali kenangan bersama Ibu yang tak pernah tulus menyayangiku. Ibu yang senantiasa ada di dekatku, tetapi tak pernah kurasakan belaian sayangnya. Ibu yang setiap hari kulihat, tetapi tak pernah bisa kupeluk, karena beliau begitu angkuh untuk membiarkanku bermanja-manja di pangkuannya. Apa yang salah dengan diriku sehingga beliau tak pernah sedikit pun bahagia melihatku? Padahal, di antara kami bertiga, akulah yang tak pernah membantah ucapannya dan tak pernah melanggar perintahnya.

”Dewi pulang, Bu.”

Aku berlalu dan tak menoleh lagi. Kupeluk erat-erat buah hatiku seakan ingin memastikan bahwa takkan pernah kubiarkan ia mengalami semua hal yang pernah kualami bersama Ibu. Aku tahu, hari ini aku telah menggores lagi sebuah luka yang tak kusengaja di hati beliau. Tetapi, biarlah, sepertinya sudah takdirku bahwa di setiap detik dalam hidupnya yang menyangkut aku adalah penyesalan yang takkan pernah termaafkan. Meski tak kutahu sebabnya, aku akan belajar mengerti.

Maafkan aku, Bu.

Satu minggu setelah pertemuanku dengan Ibu di rumah Mbak Laras, Mbak Laras masih gencar mendesakku lewat telepon untuk bertemu Mayang. Tetapi, aku pura-pura sibuk, atau terkadang ponselku tak kuaktifkan sepanjang hari.

Hari ini, permaisuri ratu menyambangiku di sekolah tempat aku mengajar. Bukan untuk menjemput Raka anak sulungnya, tentu. Tak pernah sekali pun aku melihatnya hadir pada pertemuan orang tua siswa. Tapi, sebagian besar guru maklum, apalagi Mas Dewo, suami Mbak Laras, adalah salah seorang donatur penting bagi sekolah ini.

Aku sedang memeriksa hasil ujian harian siswa di kelas, sementara satu per satu siswa telah meninggalkan kelas. Aku memang tak langsung pulang. Biasanya, pekerjaan seperti ini kuusahakan selesai di sekolah agar tak mengganggu pekerjaanku di rumah. Apalagi, aku selalu tak sabar ingin tahu nilai anak-anak didikku, apakah mengalami kemajuan atau tidak.

Sebuah lembar jawaban kucoret dengan tinta merah dan kuberi nilai nol yang amat besar. Nama yang tertera di sudut kanan atas: Raka Prasetya. Tidak ada yang bisa kulakukan dengan lembar jawaban ini, karena dua puluh nomor yang kuberikan pada ujian tadi kesemuanya dijawab dengan ngawur. Ini ujian ketiga kalinya dan semuanya dilalui Raka dengan gagal total. Padahal, seingatku, di kelas dua dulu ia memiliki nilai bahasa Inggris di atas rata-rata. Bahkan kalau tidak salah, ia ikut les bahasa Inggris sejak masih di sekolah dasar.

”Kau sulit sekali dihubungi,” ujarnya, tak ramah.

Aku menarik sebuah bangku, tetapi ia tak mau duduk. Sepertinya ia terburu-buru. Atau, mungkin takut setelan jasnya yang mahal kotor terkena debu.

”Aku sibuk, Mbak,” kilahku, seraya mencoba tersenyum. Seperti biasa, ia tak mengacuhkan senyumanku. ”Tidak lama lagi ujian semester. Raka tidak bilang?”

”Tetapi, urusan Mayang juga urusan serius,” ia bersikeras.

”Mayang lagi. Apakah Mbak sudah yakin betul bahwa Mayang hamil?” kataku agak ragu.

”Kau bilang aku bohong?” wajah Mbak Laras berubah sengit.

”Aku hanya kurang yakin, Mbak,” aku meluruskan. ”Mbak sendiri yang bilang kalau dia tidak mau diajak ke dokter. Minggu lalu aku ke sana, dia tidak ada. Tiap kuhubungi, ponselnya tidak diangkat.”

”Kau masih berpikir tidak terjadi apa-apa pada Mayang?”

Aku menarik napas berat. Tiga puluh tahun umurku dan lebih dari separuh umurku kuhabiskan menjaga Mayang. Bukannya aku bosan, tetapi terkadang aku merasa beban yang mereka ikatkan pada punggungku terlalu berat. Aku hanyalah kakak Mayang, bukan ibunya atau kakak tertuanya yang lebih pantas mengawasinya.

”Mayang sudah dewasa, Mbak. Aku pikir sebaiknya kita mulai memperlakukannya layaknya orang dewasa.”

Alis Mbak Laras bertaut. Aku tahu persis ia paling tak suka didebat. Sama seperti Ibu.

”Maksudmu?”

”Maksudku, biarkan dia mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri seperti yang dilakukan orang dewasa lainnya. Kalaupun akhirnya gagal, aku yakin ia akan meminta pendapat kita.”

”Lalu, dengan tindakan orang dewasa seperti apa kira-kira yang kau maksud yang akan diambil Mayang untuk masalahnya ini? Bunuh diri?”

Sebuah senyum sinis melengkapi nada suara Mbak Laras yang terdengar begitu sok tahu. Aku memalingkan wajah pada kertas-kertas yang masih berserakan di atas mejaku. Ya, Tuhan. Terkadang aku begitu muak melihat sikapnya. Tapi, mengapa ketidakberdayaanku selalu mengalahkan kata hatiku untuk menentangnya?

”Aku akan mencoba temui dia lagi. Nantilah kita bahas lagi masalah ini setelah aku bisa memastikan bahwa Mayang benar-benar hamil.”

“Kau betul-betul meragukanku?” Mbak Laras mulai terlihat kesal. Ia beranjak menutup pintu lalu melanjutkan kalimatnya yang belum selesai. “Aku menemukan test pack dengan hasil positif di kamar mandinya dua minggu lalu. Lalu, Mbok Surti melapor bahwa sudah satu minggu Mayang muntah-muntah dan makan sedikit sekali. Ketika aku bertanya padanya, dia bahkan tidak bisa mengangkat mukanya. Aku mengajak dia periksa ke dokter, dia mati-matian tidak mau. Masih kau pikir aku mengada-ada?!”

”Kalau begitu, kenapa aku harus bertemu dengan Mayang? Bukankah dengan Mbak Laras, semua persoalan sudah beres? Mbak tidak bertanya siapa yang menghamilinya? Bagaimana kalau mereka segera menikah saja? Kan Mbak sudah menyanggupi akan mengurusnya.”

Kali ini mata Mbak Laras yang indah seakan ingin menerkamku. Tetapi, kutatap ia dengan berani. Rasanya cukup menye­nangkan melihat raut wajahnya yang uring-uringan. Selama ini ia terlalu sempurna di mataku.

”Kau lebih tahu siapa Mayang,” akhirnya suara Mbak Laras melunak. ”Kau satu-satunya orang yang bisa membuatnya bicara.”

”Ibu? Ibu tidak tahu masalah ini?’

Mbak Laras menggeleng cepat. ”Ibu tidak boleh tahu. Tidak siapa pun. Kau paham?”

Aku tak mengiyakan, tapi tak juga menggeleng. Kepalaku dipenuhi pertanyaan yang membingungkan. Mengapa Mbak Laras begitu ngotot mengurusi urusan Mayang? Tetapi, betulkah Mayang hamil? Dengan siapa?

Mbak Laras beranjak. Seperti biasa, beberapa uang kertas berwarna merah ditinggalkannya di atas meja. Aku tak meliriknya sama sekali.

”Mbak?”

Tangannya telah mencapai gagang pintu. Ia menoleh padaku.

”Masih ada yang ingin Dewi bicarakan. Tentang Raka. Nilai-nilainya. Semester ini nilai bahasa Inggris-nya anjlok. Kemarin aku juga dapat laporan dari guru-guru bidang studi lainnya bahwa kondisinya tidak jauh berbeda dari yang kutemui. Mbak tahu sebabnya? Sebentar lagi ujian semester.”

Mbak Laras mengibaskan tangannya. ”Biasalah, anak menjelang puber begitu. Lagi senang-senangnya main dengan kawannya. Nanti aku beri tahu ayahnya.”

”Mbak,” lagi-lagi kutahan langkah Mbak Laras.

”Apa lagi?”

”Kalau Mayang tidak mau bicara?”

Matanya menatapku tajam. Mata yang indah, tetapi amat angkuh untuk bisa dipandangi berlama-lama. Membuatku terkadang merinding.

”Harus mau.”

Sesungguhnya sejak kedatangan Mbak Laras di pagi-pagi buta ke rumahku, aku belum memikirkan masalah Mayang dengan serius. Aku memang pengasuhnya sejak kecil. Aku yang menggendongnya jika ia menangis. Aku yang menyuapinya, tak peduli butuh berjam-jam untuk menghabiskan sepiring nasi. Aku yang memandikannya setiap hari, memakaikan baju, bahkan mencuci baju-bajunya yang kotor. Aku yang sering berdebar cemas jika ia demam tinggi, dan berdoa sepanjang malam untuk kesembuhannya.

Tetapi, Ibu telah membuat kami jauh. Sejak mulai sekolah, Ibu mulai memperlakukan Mayang persis seperti Mbak Laras. Aku tak lagi boleh tidur bersamanya atau menemaninya makan. Ibu tak membolehkanku mendekatinya. Bahkan hanya untuk berbagi cerita dengannya, Ibu melarangku. Perasaan perih karena tersisihkan selalu menyergapku. Aku ingin sekali ikut lebur dalam canda dan obrolan mereka. Aku tak keberatan melakukan semua pekerjaaan rumah sendiri, asalkan diperbolehkan ikut berbagi dalam riuh tawa mereka.

Namun, cukup dengan pelototan mata Ibu, aku harus menyingkir jauh-jauh ke dapur, tempat yang nyaris tak terjamah oleh mereka. Bahkan, mendengar canda mereka dari jauh pun, aku tak boleh. Terkadang, sambil mengerjakan cucian piring yang menumpuk, aku menangis. Berharap aku tak pernah lahir di tempat itu, oleh wanita yang entah mengapa tak pernah menyukaiku. Bahkan, sekali waktu Mayang tergerak membantuku membereskan rumah, Ibu mendampratku dan menuduhku telah menyuruh Mayang untuk bekerja. Sejak itu, setiap kali bertemu, Mayang menghindariku.

Aku belajar menempatkan diri di tempat Ibu menginginkanku. Aku memang hanya pengasuh bagi Mayang, ketika masih kecil. Tak kurang dan tak lebih. Hubungan kami mulai membaik, setelah aku mulai bekerja. Aku sesekali meneleponnya, menanyakan kabarnya. Kusadari bahwa sikapnya terhadapku semata-mata hanyalah karena Ibu. Sesekali aku mengajaknya keluar untuk makan atau nonton saat aku gajian. Tetapi, menurutku, ia gadis yang amat tertutup. Ataukah, karena tak biasa berhadapan denganku, si Upik Abu?

Dulu, setiap kali membayangkan pengalaman hidupku bersama Ibu dan saudara-saudaraku, aku selalu berurai air mata. Kini keadaan jauh berbeda. Mas Endi telah mengajariku tentang meng­ikhlaskan segala sesuatu. Termasuk, ikhlas menerima perlakuan Ibu dan ikhlas karena tak pernah memperoleh tempat yang sejajar di antara saudara-saudaraku.

Hari ini kuluangkan waktu untuk mencari Mayang. Pagi-pagi sekali aku naik angkutan umum ke kampusnya. Menurut informasi dari Mbok Surti melalui telepon, Mayang telah berangkat beberapa menit sebelum aku menelepon. Mbok Surti tak bisa memastikan ke mana Mayang pergi. Tetapi, aku mengira-ngira, di pertengahan semester begini pasti Mayang mempunyai jadwal ujian tengah semester yang padat.

Aku keliru. Setelah mengelilingi fakultas ekonomi yang padat mahasiswa, bertanya ke sana kemari, aku menemukan kenyataan amat mencengangkan dari seorang anak muda berambut kriwil. Dia menerangkan, Mayang semester ini mengambil cuti kuliah. Ia menyarankan aku mengecek kebenaran berita tersebut ke kantor administrasi fakultas, meski wajahnya menyiratkan tanda tanya, ketika aku memperkenalkan diri sebagai kakak Mayang.

Aku pulang dengan lesu. Hari ini aku langsung pulang, karena semalam mertuaku menyanggupi untuk menjemput Hauzan. Hingga tukang ojek berhenti di depan rumah, mataku menemukan pagar rumah terbuka lebar. Ada Mayang tengah menungguku di teras.

Aku memeluk dan mencium kedua pipinya dengan hati tak menentu. Setengah gembira, setengah khawatir. Segera kuajak ia masuk, kurasakan ia mengikuti langkahku dengan canggung.

“Dari mana, May?“

Ia tak segera menjawab. Ia mengambil tempat di sofa hijau yang sudah layak ganti kulit, lalu tersenyum kecut. Aku duduk di sisinya. Mataku melirik ke arah perutnya.

“Gimana kabarmu? Mbak sudah lama tidak melihatmu.“

”Baik, Mbak,” jawabnya, nyaris berbisik.

Aku tersenyum. ”Syukurlah. Minggu lalu Mbak ke rumah Mbak Laras, tetapi kamu tidak ada. Mbak kangen ingin ketemu kamu....”

Ia menatapku. Entah apa arti tatapannya, tetapi matanya mendadak berkaca-kaca. Aku serba salah. Aku ke dapur dan membuat segelas teh manis. Otakku berputar mencari pertanyaan yang harus kutanyakan kepadanya. Tetapi, begitu teh manisku selesai, aku justru makin gugup.

”Tidak kuliah, May?” aku mencoba membuka percakapan. ”Bagaimana? Tahun ini sudah bisa jadi sarjana, ’kan?”
Mayang menggeleng.

”Harusnya kamu sedang mengerjakan skripsi, bukan? Ada kesulitan? Ada yang bisa Mbak bantu?”

Lama sekali Mayang terdiam. Jarinya sibuk memilin-milin ujung rok selututnya. Aku mengamatinya dengan seksama. Ia tampak agak kurus dari terakhir kali yang kulihat.

”May...,” aku menyentuh lengannya. Ia tersentak. Matanya menatapku ragu. Seketika perasaan cemas menyergapku. Mungkinkah yang dikatakan Mbak Laras benar adanya?

”Mengapa Mbak begitu baik?”

Aku terkejut. Antara ingin tersenyum, tetapi tak mengerti maksud pertanyaannya. Sebuah pertanyaan yang sederhana, tetapi entah mengapa begitu sulit kutemukan jawabannya. Ya, mengapa aku bisa begitu baik pada Ibu dan Mbak Laras yang sering tak menghargaiku?

Mayang menatapku serius, seperti mengharap jawaban yang segera. Aku tak pernah merasa begitu baik. Apa yang kulakukan rasanya semuanya wajar saja. Tak dibuat-buat.

”Mbak pasti sudah mendengar dari Mbak Laras tentang keadaanku yang sebenarnya.”

Aku memasang telinga baik-baik.

”Mbak tadi mencariku? Adi yang bilang.” Adi? Pasti anak muda berwajah bocah yang punya rambut kriwil itu.

“Maafkan Mbak, ya? Mbak tidak tahu harus mencarimu ke mana. Telepon Mbak tidak pernah kamu angkat. Mbak khawatir....”

”Mbak tidak salah apa-apa,” ujar Mayang, lirih.

”Tetapi, Mbak sudah sok tahu, mau ikut campur urusanmu.”

”Urusanku adalah urusan semua orang, Mbak.” Mayang tersenyum kecut. Nada suaranya pesimistis. ”Urusan Mbak Laras dan Ibu tepatnya.”

”Mereka berdua terlalu sayang padamu,” dengan tenang aku berusaha meluruskan.

”Benarkah?” Senyum Mayang berubah sinis. “Mbak Laras dan Ibu hanya sayang pada diri mereka sendiri.“

Sedih sekali terdengar. Tetapi, itulah kenyataannya. Aku yang setengah mati menunjukkan kepada mereka bahwa aku cukup berharga. Tetapi, sampai detik ini, pengakuan itu tak juga kuperoleh.

”Kau tahu, Mbak Dewi dulu sering begitu lelah hidup dengan mereka. Tetapi, seburuk apa pun mereka, mereka tetap bagian hidup Mbak Dewi yang harus Mbak Dewi syukuri. Bukan berarti karena mereka tak pernah bisa seperti yang Mbak harap, lantas Mbak harus benci mereka. Bukan begitu, May....”

”Andai aku bisa setulus Mbak Dewi,” ujar Mayang, menatapku dengan sorot mata tak bersemangat.
Kusentuh jemarinya.

”Aku hamil, Mbak.” Kali ini Mayang menatapku tepat di kedua bola mataku. ”Mbak sudah dengar dari Mbak Laras, ’kan?”

Aku mengangguk. ”Dengan siapa, May?”

Mayang tersenyum, tapi wajahnya muram.

”Kalau kau bersedia menceritakan, Mbak akan mendengar.”

”Mbak pasti membenciku setelahnya.”

Mayang membuang pandangannya jauh ke luar pintu. ”Aku malu, Mbak. Aku mau aborsi saja.”

Aku mendekat, ingin merengkuh tubuhnya, ingin memeluknya. Tetapi, ia menepiskan kedua tanganku. Cepat-cepat dihapusnya air mata dengan kasar.

”Mbak mau membantuku mencari orang yang bisa menggugurkan kandunganku?”

Ganti aku terdiam. Setelah beberapa tarikan napas yang kurasa teramat berat, kukuatkan diriku untuk tersenyum. Kubelai rambut Mayang yang panjang sebahu. Hitam legam, cantik sekali berpadu dengan kulit putihnya.
Kalau boleh Mbak tahu..,” aku berkata hati-hati, ”Siapa yang menghamilimu...?”

Mayang menggeleng pelan.

”Memang hakmu untuk tidak menceritakan yang sebenarnya. Tetapi... bagaimana Mbak bisa membantu menyelesaikan masalah ini kalau kau tidak mau cerita? Mbak harus tahu, siapa pria itu, lalu kita bicara dengannya untuk segera menikahi....”

”Aku tidak mungkin menikah dengannya!” suara Mayang terdengar pilu.

”Mbak tidak mengerti. Kau tidak ingin menikah dengannya? Mengapa? Kau tidak mencintainya?”

Mayang menggeleng. ”Bukan itu. Aku takkan bisa....”

”Takkan bisa apa?”

”Aku takkan bisa bersamanya. Kami takkan mungkin bisa....”

Aku masih diliputi banyak pertanyaan, tetapi Mayang sudah terguncang-guncang dalam sedu sedan. Setelahnya, aku tak sempat lagi bertanya, karena kedatangan ibu mertuaku setelah menjemput Hauzan pulang sekolah. Mayang segera kuungsikan ke kamar tamu. Aku berjanji akan menemaninya mengobrol setelah urusan dapur selesai.

Namun, usai melakukan salat lohor, ibu mertuaku memberi tahu bahwa Mayang telah pergi. Terburu-buru sekali kelihatannya. Mayang hanya menitipkan pesan bahwa ia akan meneleponku nanti.

Sepanjang hari aku didera kegelisahan. Sampai putus asa aku mencoba menghubungi Mayang, tetapi ponselnya tidak aktif. Mas Endi yang kuhubungi berusaha menenangkanku. Ia minta agar aku tetap tenang. Ia juga berjanji akan menemaniku mencari Mayang di rumah Mbak Laras setelah pulang kerja.

Kami sampai di rumah Mbak Laras pukul tujuh lewat tiga puluh sekian. Tampaknya ada tamu, beberapa mobil terlihat berjejer rapi di halaman rumah Mbak Laras.

Tidak ingin merusak acara, aku dan Mas Endi masuk lewat belakang. Mas Endi memilih menunggu di kursi panjang di tepi kolam, sementara aku masuk ke dapur yang tampaknya sedang sibuk. Mbok Surti, Neneng, dan dua pembantu lain yang tampaknya masih baru, sibuk menyiapkan hidangan. Kehadiranku lagi-lagi nyaris membuat Mbok Surti terpekik riang.

”Ada tamu, Mbok? Siapa, sih?”

”Kurang tahu, Non,” sahut Mbok Surti seraya dengan sigap menyeduh secangkir teh untukku. ”Dengar-dengar, sih, calon besannya Ndoro Putri....”

”Calon besan Ibu?” Alisku bertaut. ”Memangnya anak Ibu mana yang hendak menikah?”

”Lho? Non Dewi ini,” Mbok Surti menyodorkan segelas teh yang masih mengepul, disusul Neneng menghidangkan beberapa stoples kue kering. ”Kan Mbak Mayang masih gadis. Gimana, sih?”

”Mayang mau menikah?”

Lagi-lagi Mbok Surti mengiyakan. ”Non Dewi tidak tahu?”

Aku menggeleng.

”Lalu, Mayang di mana, Mbok?”

”Nah itu dia. Dari tadi pagi tidak ketahuan dia ke mana. Apa menginap di rumah temannya, ya?” ujar Mbok Surti. Kuputuskan untuk memeriksa kamar Mayang. Aku menyelinap naik ke lantai atas. Kamar Mayang terletak di bagian belakang lantai dua, bersebelahan dengan kamar Ibu. Aku mendapati ruangan yang besarnya dua kali lipat daripada kamarku itu kosong.

”Kau mencari Mayang? Dia tidak di sini.”

Aku menoleh. Mbak Laras. Seperti biasa, ia memandangku tak ramah.

”Mengapa ke sini mencarinya? Bukankah tadi pagi dia sudah ke rumahmu?” Mbak Laras berjalan lambat mengelilingi kamar Mayang, seraya matanya mengamati setiap benda yang ada di ruangan tersebut secara bergantian.

”Dasar gadis tidak tahu diri!”

”Maksud, Mbak?”

”Kurang apa lagi yang aku berikan selama ini kepadanya? Bahkan sejak kuliah, dia bebas membawa mobil ke kampus. Aku tak habis pikir....”

”Mbak sudah menemukan orang yang menghamilinya?”

Matanya mendelik. ”Tak usah lagi kau pusing soal itu,” katanya kemudian, dengan nada memerintah. ”Aku sudah menemukan orang yang mau jadi suaminya.”

”Orang yang menghamilinya?”

Mbak Laras menggeleng. Raut wajahnya keruh.

”Kau tak perlu tahu. Dia masih keluarga Mas Dewo.”

Aku makin bingung. ”Pria mana yang mau menikahi Mayang yang sedang hamil?”

Mata Mbak Laras melotot padaku. Ditutupnya pintu kamar Mayang segera. Dan, setengah berbisik, ia berkata, ”Ssst... mereka tidak tahu bahwa Mayang hamil....”

Aku menarik diri, duduk di sofa merah kecil di sudut ruangan dan menarik napas. Ada apa lagi ini?

”Mayang sudah setuju?”

”Setuju atau tidak, dia tetap harus menurut. Ini semua demi kebaikannya.”

Benar kata Mayang, hidupnya adalah urusan Ibu dan Mbak Laras. Aku malah ragu Mayang sudah mengetahui tentang rencana ini.

”Mengapa harus begini, Mbak? Bukankah tidak adil bagi Mayang untuk menikah dengan pria yang tidak dicintainya?”

”Adil? Keadilan apa yang kau harapkan untuk orang yang tidak punya harga diri, perusak rumah tangga orang?” nada suara Mbak Laras meninggi.

”Perusak rumah tangga orang?”

Mata Mbak Laras menatapku geram. ”Pria itu sudah beristri. Kau sudah sadar betapa bodohnya adik kesayanganmu itu?”

Aku kehilangan kata. Aku teringat pertemuan dengan Mayang tadi pagi. Aku takkan mungkin bisa bersamanya. Kami takkan mungkin bisa....

”Aku hanya ingin masalah ini cepat selesai,” ujar Mbak Laras, terdengar mirip sebuah keluhan. Wajah cantiknya terlihat lelah. ”Yang penting keluarga ini terhindar dari cemoohan orang.”

”Lebih baik malu daripada menipu orang lain, Mbak,” aku mencoba menyentuh hati Mbak Laras.

”Cukup!” bentak Mbak Laras, membuatku ciut. ”Kau sudah makin pintar rupanya! Kau pikir aku tak memikirkan semua ini baik-baik? Kita tidak punya pilihan lain. Suka atau tidak, Mayang harus bersyukur aku masih mau mengurusinya, menutup aibnya dari Ibu, menyelamatkan hidupnya dari kehancuran. Dia beruntung aku masih mau menganggapnya adik.”

Aku tak bisa bicara. Ya, di satu sisi aku kurang setuju pada tindakan Mbak Laras. Di sisi lain, aku sepertinya membenarkan bahwa keputusan kakakku ini akan menyelamatkan hidup Mayang, bahkan mungkin harga diri Ibu.

Aku beranjak pergi. Seperti biasa, aku tak punya harapan sedikit pun untuk bisa menentang Mbak Laras. Jelas sudah posisiku kini. Aku tak seharusnya ikut campur.

Ketika hampir mencapai tangga, mataku tertumbuk pada Mas Dewo yang duduk termenung di ruang kerjanya yang pintunya separuh terbuka. Ia tak melihat kehadiranku. Sebotol minuman keras berdiri tegak di atas meja. Sejenak langkahku terhenti. Aku sebelumnya tak pernah tahu bahwa Mas Dewo suka minum minuman keras. Dari cerita-cerita Ibu, setahuku Mas Dewo adalah pria yang rajin beribadah.

Atau, memang seperti itu tuntutan gaya hidup orang kaya? Mengapa ia tidak hadir di ruang bawah menyambut tamu-tamu yang datang meminang Mayang? Masalah apa yang tengah dihadapinya?

Malam itu, aku pulang dengan perasaan hampa. Kepalaku nyut-nyutan karena tak bisa memecahkan persoalan Mayang, berikut sikap Mbak Laras. Dan, meski ada Mas Endi setia di sisiku, aku tetap merasa kosong. Lagi-lagi, aku merasa bukan siapa-siapa.

Hari ini ujian tengah semester dimulai. Ada hal penting lain yang menyita perhatianku. Nilai-nilai Raka, anak Mbak Laras, tak kunjung membaik. Aku khawatir jika di ujian bahasa Inggris besok, ia mulai berulah lagi. Ya, aku tak percaya bahwa ia benar-benar tak mampu dalam pelajaran ini.

”Raka!” Langkah anak laki-laki berwajah tampan yang mewarisi wajah ayahnya itu terhenti. Ia melirikku tanpa minat, lalu berjalan mendekat setelah kulambaikan tanganku.

”Nanti selesai ujian jangan langsung pulang, ya? Ada yang Ibu mau tanyakan.”

”Tentang apa? Bukan soal Tante Mayang, ’kan?”

”Memangnya kenapa?” Aku menatapnya bingung tak paham. Tapi, Raka segera berlalu meninggalkanku. Ia tampak kesal.

Pulang sekolah aku menunggunya di kantin. Kami memang jarang berkomunikasi, karena Raka tergolong anak yang tertutup. Ia pun jarang memanggilku dengan sebutan ’Tante’.

Raka duduk mengambil tempat di depanku. Kutawari minuman, tetapi ia menggeleng. Wajahnya kusut. ”Ada apa, sih, Bu?”

Aku tersenyum. Terkadang aku geli mendengarnya memanggilku dengan panggilan ’Bu’, mengingat ia keponakanku. Kuteliti wajah tampannya. Sinar matanya redup, seperti kurang tidur.

”Nilai-nilaimu berantakan. Boleh Ibu tahu mengapa? Kau mau, Ibu memberimu privat bahasa Inggris di rumah? Sayang kalau nilaimu terus-menerus begini....”

“Memangnya Ibu mau ke rumahku?” Raka balik bertanya. “Ibu tidak bosan jadi bulan-bulanan Nenek? Nenek tidak suka Ibu.”

Aku terperangah. ”Kau tahu dari mana?”

Kening Raka mengernyit. ”Ibu tidak merasa?”

Aku menggeleng. Ya, aku berdusta!

”Nenek cuma sayang pada ibuku dan Tante Mayang. Tetapi, Nenek salah. Sebenarnya, cuma Ibu yang baik. Yang lainnya palsu.”

”Kau bicara apa? Tidak pantas seorang anak berbicara tentang keburukan orang tua.”

Di mataku, hari ini ia tampak seperti seorang pria dewasa dalam seragam anak sekolah menengah. Aku menduga wataknya lebih keras dibanding ibunya. Aku tak pernah terlalu dekat dengannya, karena memang tak pernah ada kesempatan untuk itu. Tetapi, yang kuketahui sepanjang ini, ia anak yang baik.

”Tidak perlu pintar untuk jadi orang baik. Kadang-kadang orang yang terlalu pintar, tidak baik.” Kali ini Raka membuatku berusaha menebak usianya saat ini. Aku jadi khawatir melihat gaya bicaranya.

”Ibu dan ayahmu pasti kecewa kalau....”

”Mereka lebih mengecewakan,” tuding Raka, cepat. Wajahnya kini tanpa ekspresi.

”Kau tak mau seperti ayah ibumu? Sukses, banyak uang, terkenal.”

Raka tertawa. Sinis.

”Orang tidak tahu siapa mereka.”

Aku menatapnya tak mengerti.

”Mereka yang kita lihat bukan mereka yang sebenarnya,” lanjutnya dan mulai berbisik, ”Ayahku tidur dengan perempuan....” Ia berhenti sejenak seperti sedang berpikir mencari kata-kata yang tepat sebelum melanjutkan, ”Perempuan yang sebenarnya tak pantas untuknya. Dan ibuku.... juga punya simpanan. Seorang lelaki muda. Lelaki yang masih sepupu ayahku, tetapi ia sama sekali tak tahu.”

Rasanya seperti tertohok tepat di ulu hati. Kaget sekaligus sakit. Benarkah yang baru saja diucapkan Raka? Separah itukah? Bukankah selama ini Mas Dewo dan Mbak Laras pasangan yang amat rukun? Atau anak muda ini yang sedang ngelantur, seperti ketika ia menjawab soal-soal bahasa Inggris yang aku berikan dalam ujian?

”Tidak lama lagi aku akan punya adik.” Raka berdiri. Matanya menatapku penuh arti.

Sore ini akan jadi sore tak terlupakan seumur hi­dupku. Sebuah undangan merah jingga sampai ke tanganku lewat pos. Undangan pernikahan Mayang dengan pria bernama Indra. Undangan per­nikahan adik kandungku sendiri yang kuterima dari pak pos. Aku duduk di teras dan termenung untuk beberapa saat. Begitu besarkah kebencian Ibu dan Mbak Laras sehingga mereka tega memperlakukanku seperti ini?

Hingga satu hari sebelum tanggal pernikahan Mayang, aku belum memutuskan apakah aku ingin menghadiri pernikahan tersebut atau tidak. Mas Endi tidak membujukku sama sekali. Agaknya kesabarannya pun nyaris habis. Tapi, lagi-lagi hati kecilku menentang. Ibu tetaplah Ibu. Orang tua yang sudah mengandung dan melahirkanku.

Sampai hari yang ditentukan tiba, pagi-pagi sekali aku mendengar dering telepon dari ruang tengah. Kuangkat gagang telepon dengan tak bersemangat.

”Kau tidak datang?”

Aku terkesiap. Mbak Laras!

”Tidak tahu, Mbak. Apa penting aku ada di sana?”

Lama tak terdengar suara di seberang. Cuma desahan berat, kemudian disusul suara yang agak parau. ”Itu ide Ibu. Aku sebenarnya mau mengantarkan undangan itu sendiri ke sana, tetapi kata Ibu....”

”Aku tak perlu undangan, Mbak!” Mendadak aku ingin menangis. ”Sebenarnya aku ini siapa, Mbak? Saudaramu atau bukan? Anak Ibu atau bukan? Kakak Mayang atau bukan?!”

Lama tak terdengar suara. Entah bagaimana ekspresi Mbak Laras saat ini. Entah bagaimana perasaannya.

”Tak usah dibesar-besarkan. Kau adikku, anak Ibu sekaligus kakak Mayang. Aku minta maaf soal itu. Kau bisa datang, ’kan?”

Maaf? Semudah itu? Aku hanya seorang lemah tak berdaya! Kututup telepon dengan pelan. Mas Endi mematung di sisiku. Aku tahu, ia telah kehabisan nasihat untukku. Harga dirinya pun mulai tersakiti.

”Kau boleh tidak pergi, jika tidak ingin,” ucap Mas Endi kemudian, seraya tangannya membelai halus rambutku. ”Sudah saatnya mereka sadar akan sikapmu. Mereka pun harus belajar mengerti dirimu.”

Aku tak tahu kegilaan apa yang telah merasuki diriku. Cinta adalah anugerah, tetapi cinta yang kurasakan kali ini adalah malapetaka. Cinta yang takkan mungkin menjelma menjadi kenyataan manis. Cinta yang berbalas, tetapi tak mungkin bersanding. Tuhan, kalau boleh aku ingin jatuh cinta pada orang lain, selain dia....

Aku membaca dengan seksama kata demi kata, tulisan tangan Mayang dalam buku harian yang dititipkannya pada Adi. Tadi sore, sahabat Mayang itu datang dan memberikan buku itu tanpa berucap sepatah kata pun. Malam ini, di malam pernikahan Mayang, aku menyendiri di teras depan.

Mencintai tidak harus memiliki, itu yang diucapkannya berulang-ulang. Ia amat bahagia bisa mencintaiku dan sebaliknya. Ia ingin aku merasakan kehadirannya kini dan tak risau akan hari esok yang jelas-jelas bukan milik kami. Oh, sungguh malangnya aku.... Setiap detik bersamanya begitu membahagiakan sekaligus mencemaskanku. Jika esok semuanya harus berakhir, apa yang akan terjadi padaku? Bagaimana aku bisa melupakannya? Sementara hatiku telah kuberikan utuh padanya.

Aku menahan napas. Tiap goresan tangan Mayang menyiratkan kepedihan.

Terlalu bodoh mungkin, semua yang telah aku lakukan. Demi membuktikan cintaku, aku akhirnya takluk pada dosa. Aku tak sanggup kehilangannya. Aku tak sanggup setiap kali melihatnya bersama wanita itu. Wanita yang sebenarnya dengan diam-diam telah kukhianati. Hatiku sakit. Sampai kapan pun aku takkan bisa menyamai wanita itu, ia terlalu sempurna untukku.

Aku teringat percakapan dengan Mbak Laras beberapa minggu yang lalu di kamar Mayang. Benar, Mayang terjebak dalam cinta pria yang telah menikah.

Aku harus menghentikan semua ini. Sia-sia dan begitu melelahkan. Aku takkan pernah memenangkan hatinya. Dan... wanita itu telah menemukanku bersamanya. Apa yang harus kulakukan kini? Hidupku ada di tangannya....
Aku makin penasaran. Segera kubalik halaman berikutnya.

Aku sudah jauh berlari, tetapi entah mengapa aku ingin sekali kembali. Merasakan pelukannya, mendengar suaranya yang menenteramkan. Tuhan, tolong aku.... Kalau saja aku bisa menjadi miliknya.... Kalau saja makhluk kecil dalam diriku ini bisa membuatnya kembali padaku.... Tetapi, wanita itu akan membunuhku, jika itu sampai terjadi.

Aku menahan napas.

Kubalik lembar berikutnya. Kosong. Halaman berikutnya, kosong lagi. Seterusnya, tak ada lagi tulisan tangan Mayang. Kuperiksa lembar per lembar dan di akhir buku itu kutemukan foto seorang pria yang nyaris membuat jantungku copot.

Gusti Allah! Ini tidak mungkin....

Tengah malam lewat aku dibangunkan Mas Endi. Mbak Laras menelepon, mengabarkan tentang Mayang yang nekat melompat dari lantai empat di hotel tempat ia dan suaminya menginap. Saat ini kondisinya kritis.
Aku tak bisa menahan detak jantungku yang berdegup kencang sepanjang perjalanan ke rumah sakit dini hari itu. Sepanjang perjalanan tak henti-hentinya kupanjatkan doa memohon keselamatan Mayang.

Di pintu rumah sakit, kami disambut oleh Mas Dewo. Perasaan asing tiba-tiba menyergapku, ketika ia menyapaku. Mbak Laras terduduk lemas di kursi tunggu di depan ruangan gawat darurat bersama seorang pria muda yang kuduga adalah suami Mayang. Kucari sosok Ibu, tetapi tak kutemukan. Di ruangan itu hanya ada kami berlima, dan dua orang suster jaga.

”Mbak....”

Aku terkejut. Mbak Laras bangkit dan menyongsongku, memelukku, dan terisak-isak, seperti anak kecil yang kehilangan ibu. Aku canggung. Bingung harus berbuat apa. Seumur-umur, ia tak pernah memelukku seerat ini. Pun pada saat kematian Bapak.

”Bagaimana keadaan Mayang?” tanyaku.

Tangis Mbak Laras makin menjadi-jadi. Aku terpaksa membiarkan badanku sakit, karena pelukannya yang terlalu erat. Perasaanku campur aduk dibuatnya. Tak pernah sekali pun kulihat ia selemah ini. Mbak Laras adalah wanita paling angkuh yang pernah kukenal dalam hidupku. Ia pantang menangis untuk hal apa pun.

Seorang pria berseragam putih keluar dari ruangan gawat darurat diiringi dua perawat. Mas Dewo segera menyongsong pria itu dan berbicara padanya sebentar.

Dan, Mas Dewo tertunduk dalam. Suami Mayang terlihat membelalak di sampingnya. Apa yang terjadi? Kulihat Mas Endi pun berubah air wajahnya.

Dokter berikut dua orang perawat tersebut kembali masuk ke dalam ruangan. Indra, pria malang yang belum 24 jam menjadi suami Mayang, mengikuti langkah Mas Dewo dengan tidak sabar.

”Mas! Apa maksud dokter tadi? Kandungannya tidak bisa diselamatkan? Mayang hamil??”

Mas Dewo tak menjawab. Mbak Laras yang telah berhasil tenang, segera kuajak duduk.

”Mas, jawab aku! Jangan bilang Mas tidak tahu masalah ini!” Indra mencecar Mas Dewo. Dari Mas Endi kuketahui bahwa Mayang dalam kondisi koma, tulang kepalanya retak dan kandungannya tak terselamatkan. Ia mengalami perdarahan hebat.

”Mas?! Bagaimana ini? Aku minta penjelasan kalian berdua. Pantas aku dipaksa melaksanakan pernikahan secepatnya. Kalian pasti sudah tahu tentang kondisi Mayang. Betul, ’kan?”

Mas Endi berdiri menenangkan Indra. Mbak Laras menunduk tak berani memasang wajahnya. Suara bisik-bisik suster jaga yang kini bertambah menjadi lima orang, terdengar mengganggu.

”Tidak bisa. Aku ini ditipu! Semuanya sudah diatur dan aku ditipu oleh mereka. Mayang itu sudah hamil duluan!” seru Indra, tak terima. Ia lalu berbalik pada Mbak Laras yang masih tertunduk dalam. ”Bagaimana ini, Mbak Laras? Anak siapa yang dikandung Mayang? Aku belum pernah menyentuhnya sampai detik ini!”

Aku mengatur ritme napasku. Aku mencoba menjernihkan otakku. Perlahan-lahan tetapi pasti, kuarahkan pandangan mataku ke satu arah. Ya, saat ini pun mata itu tengah menatap lurus padaku. Dengan sebuah tatapan yang sarat penyesalan.

Ayahku tidur dengan perempuan... perempuan yang sama sekali tak pantas untuknya.

”Hanya Mayang yang tahu siapa yang menghamilinya,” ucapku pelan, tanpa melepaskan tatapan itu.

Tidak lama lagi aku akan punya adik....

”Maafkan keteledoran kami. Seharusnya pernikahan ini tidak terjadi.”

”Maaf?!” Indra bertambah berang. Ia menatapku tajam. Sepertinya ia sangat marah mendapati dirinya telah dibohongi. ”Sudah seperti ini, Mbak hanya bisa bilang maaf? Mbak juga kakak Mayang, ’kan? Mengapa Mbak tidak hadir di pernikahan kami? Mbak tahu persekongkolan ini? Iya, ’kan?”

”Lalu apa yang kau mau?” aku berbalik menatap Indra. Pria muda, berpostur atletis dengan wajah segar khas pria metropolis. Muda dan membuat penasaran. Itukah yang dicari Mbak Laras dari dirinya?

”Tanggung jawab,” sahutnya, mantap. ”Apa yang harus kujelaskan pada keluarga besarku tentang semua ini?”

”Aku kira Mbak Laras mampu menangani masalah itu sampai selesai,” aku melirik Mbak Laras yang masih juga menunduk seperti telah kehilangan muka. ”Aku berharap, mudah-mudahan kita semua belajar dari peristiwa ini.”

”Semudah itu?” Indra memelototiku. Tampaknya kesabarannya habis sudah..

”Ya,” aku bangkit berdiri, menantangnya. Lalu, dengan setengah berbisik kukatakan dengan tegas, ”Semudah permainanmu selama ini dengan wanita ini!”

Ibuku juga punya simpanan. Seorang lelaki muda... lelaki yang masih sepupu ayahku, tetapi ia sama sekali tak tahu.

Aku menunjuk Mbak Laras. Ya, akhirnya teka-teki ini mampu kupecahkan. Indra, kekasih gelap Mbak Laras, adalah tumbal yang paling tepat untuk menutupi aib ini. Seperti istilah dalam ilmu sains: simbiosis mutualisme.

Sama-sama saling menguntungkan. Indra, pria muda yang hidupnya penuh hura-hura, butuh kucuran dana segar dari wanita cantik yang notabene pengusaha terkenal, kaya raya, tetapi hidup kesepian dan kecewa, karena suaminya telah bermain api dengan adik kandungnya sendiri.

Benar seperti ungkapan Mayang, cinta yang seharusnya adalah anugerah, kali ini adalah malapetaka baginya. Saat ini aku tak tahu siapa yang harus disalahkan dan siapa yang harus dikasihani.

Seperti kisah cinta yang terlarang antara Mas Dewo dan Mayang. Cinta telah membutakan keduanya ataukah mungkin ini karma bagi Mbak Laras yang seumur hidupnya telah mengecap manisnya kehidupan, meski terkadang harus tertawa di atas penderitaan orang lain, contohnya aku?

Sesaat sebelum meninggalkan rumah sakit, aku tertegun menyaksikan Mas Dewo duduk di sisi Mayang yang terbaring koma, menggenggam jemarinya erat, sementara Mbak Laras berdiri mematung di belakangnya. Aku merasa perih. Seandainya aku berada di tempatnya, aku takkan setegar itu.

Malam ini malam ketiga sejak kejadian menggemparkan di hari pernikahan Mayang. Indra tak pernah lagi terlihat batang hidungnya. Malam ini aku datang sendiri. Saat ini, hanya ada aku dan Mbak Laras menunggui Mayang yang masih koma.

”Ini semua karena aku,” suara Mbak Laras memecah keheningan. Di sebelah kami, seorang ibu tengah membaca surat Yasin tanpa suara demi kesembuhan putrinya yang tengah mengalami kelainan ginjal yang akut.

”Kau mau memaafkanku?”

”Untuk apa?”

”Semuanya. Aku tak pernah jadi kakak yang baik.”

Hatiku bagaikan dialiri air sungai yang jernih. Sejuk. Tenteram. Bahagia, mungkin.

”Tak ada manusia yang sempurna, Mbak,” aku berbisik lirih.

”Kau,” Mbak Laras menatapku sungguh-sungguh. ”Kau hampir sempurna untukku.”

Aku tersipu. Tetapi, berikutnya yang terpikir olehku, mungkinkah ia sedang mengejekku?

Mbak Laras menggeleng. ”Kau tak pernah sekali pun membenciku atau Ibu. Mengapa kau begitu baik?”

Aku tak menjawab. Mungkin karena aku ikhlas menyayangimu, Mbak.

Mbak Laras memandangi Mayang dengan tatapan yang tak bisa kuartikan. Matanya berkaca-kaca. Aku rasanya ingin bersimpati atas apa yang tengah terjadi dalam rumah tangganya, tetapi tak kutemukan satu pun kalimat yang tepat untuk menghiburnya. Bagaimana rasanya dikhianati suami sekaligus adik sendiri?

”Aku tak pernah menyangka semua akan jadi begini,” ucap Mbak Laras, menyeka pipinya yang basah. ”Aku bisa merasakan perubahan sikap Mas Dewo, karena ia berhubungan dengan wanita lain. Tetapi, aku tak pernah membayangkan bahwa wanita itu adalah....”

Lagi dan lagi, hujan air mata di pipi Mbak Laras. Kubiarkan ia menenangkan diri.

”Atau, mungkin ini karma bagiku dan Ibu,” ucapnya kemudian.

”Sepertinya karma yang telah menyia-nyiakanmu, Wi, anak kesayangan Bapak.”

”Kita semua anak Bapak, Mbak. Bapak tidak pernah membeda-bedakan kita.”

Mbak Laras menatapku gamang.

Matanya menyiratkan kegundahan.

”Kau sungguh tak tahu.”

”Tak tahu apa, Mbak?”

Mbak Laras tersenyum. ”Sudahlah, lebih baik begitu.”

”Bahwa aku bukan anak Ibu?” aku menebak.

Tebakanku terdengar ngawur, tetapi anggukan kepala Mbak Laras nyaris membuatku limbung. Kakiku gemetar.

”Kau bukan anak Ibu. Tetapi, kau anak Bapak. Anak dari wanita miskin yang dinikahinya di kampungnya diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu.”

Aku? Aku bukan anak Ibu? Aku anak Bapak dari wanita miskin yang dinikahinya di kampungnya diam-diam tanpa sepengetahuan Ibu?

”Ibuku....”

”Ibumu meninggal ketika melahirkanmu. Kau akhirnya dibawa Bapak untuk tinggal bersama Ibu.”

”Karenanya, Ibu bersikap seperti itu padaku?” Aku seperti menemukan sebuah kunci jawaban atas pertanyaan yang mengikutiku sepanjang hidupku.

”Tetapi, mengapa Ibu tidak pernah bilang padaku?”

Wanita yang sudah berpuluh tahun kupercayai sebagai saudara kandungku itu memelukku erat.

”Mungkin Ibu sebenarnya menyayangimu, Wi. Seperti aku. Kami hanya terlalu angkuh untuk mengakuinya. Maafkan kami, Dewi.”

Aku membalas pelukannya. Anehnya, hatiku tak sakit mendengar kenyataan yang sebenarnya. Kuakui aku terkejut. Tetapi, mengapa aku tak marah?

Suatu sore di bulan Maret.
Ini mungkin adalah sore yang paling kelam dalam hidupku. Mayang mengembuskan napasnya yang terakhir. Tak ada kata perpisahan, tak ada pesan untuk disampaikan. Ia pergi begitu saja.

Aku menyaksikan Ibu pingsan menerima kenyataan ini, meski sebenarnya aku yakin bahwa beliau akan pingsan lagi berkali-kali, bila tahu kejadian yang sebenarnya. Sementara Mas Dewo tak mengeluarkan sepatah kata pun, hanya wajahnya yang sendu, yang bisa menjelaskan betapa ia kehilangan Mayang. Dan, Mbak Laras, kini harus ikhlas di antara kekecewaan pada suaminya dan adiknya.

Mungkin tak berperikemanusiaan jika pada akhirnya harus kuakui bahwa kematian Mayang adalah penyelesaian terbaik bagi masalah sepelik ini. Adik yang besar dalam pelukanku, kini pergi bersama cintanya yang telah memberinya bahagia sekaligus perih. Aku yakin, sebelum ia pergi, ia telah belajar untuk bisa seikhlas diriku menerima semua kenyataan hidup.

Cinta yang berbalas, tetapi takkan pernah mungkin bersanding.

No comments: