12.22.2010

JEJAK SERIBU PENYU

Bintan, akhir Februari 2009
“Kau... kenapa mengikutiku?” 

“Aku tidak mengikutimu. Aku hanya ingin ... bicara denganmu.” 

“Bukankah saat ini kita tengah bicara?”

“Bukan, bukan hanya sekadar bicara, tapi ada yang hendak kutunjukkan padamu.” 

“Apa? Apa yang mau kau tunjukkan?” 

“Tidak sekarang. Tapi nanti... di tempatku... pada saat yang tepat.”

Semerbak melati menguar lembut. Menjelajah ruang temaram. Hanya sebuah lampu tidur, satu-satunya penerang kamar di saat malam kian memekat.

Via menarik selimut. Dari bibirnya mengalir desah. Setengah keluh. Untuk apa datang kembali? Apa yang hendak ia tunjukkan? Kapan saat yang tepat?

Satu demi satu pertanyaan, luruh bersama penat yang kian membenamkan tubuhnya di balik selimut. 
Sesaat, hanya remang dan sunyi yang mengeksplorasi ruang temaram. Aroma lembut kembali menguar. Bukan. Kali ini bukan semerbak melati, melainkan bau laut. Ya. Ini aroma laut! Pasir putih, riak ombak, batu karang....

Tidak! Via menggeleng kuat-kuat. Seraya membekap erat bantal guling pada kedua matanya yang telah terkatup rapat. Lelah...  lelah itu menderanya.

Tuhan, andai jendela itu tetap Engkau izinkan untuk terbuka, kumohon uluran tangan-Mu. Jangan Engkau biarkan keleluasaan itu menguasaiku, betapa kuinginkan lelapku sempurna malam ini.... 

Dimensi Lyvia
Perairan Tambelan, dua hari kemudian
“Hei, bangun! Kita sudah sampai!” Seruan keras itu tak hanya membuyarkan mimpinya, tapi juga nyaris membuatnya jatuh tertelungkup. Maklum, tidurnya sejak semalam bukanlah beralas kasur empuk, melainkan hanya berupa sebuah bangku kayu selebar empat puluh senti.

Bangku kayu yang di dalam kapal ini, tersusun berderet-deret, saling sambung-menyambung, dengan sebuah meja diapit oleh dua deret bangku, dan fungsi sesungguhnya adalah sebagai kursi ruang makan yang tepat bersebelahan dengan dapur ABK.

Jumlah penumpang yang berdesakan di dek, di dalam kabin bahkan di lorong-lorong sepanjang lambung kapal, membuat Via dan beberapa penumpang lainnya yang sedikit terlambat tiba di dermaga, akhirnya harus ‘terdampar’ di ruang makan.

Awalnya hal itu bukan masalah, karena mereka –para penumpang yang ‘terdampar’ itu-- mengira bahwa ruang makan yang terhubung langsung dengan dapur adalah tempat ternyaman untuk menabung stok energi menjelang tibanya kapal di tujuan. Namun kenyataannya, posisi ‘strategis’ itu sekaligus tepat berada di bawah AC sentral bertemperatur 18 derajat yang tak dapat diubah-ubah. Membuat malam yang mereka lalui seakan berada di dalam lemari es. Masing-masing berbaring dengan menekuk lutut, melapisi tubuh dengan lembar demi lembar yang dikeluarkan dari dalam tas, mulai dari sarung, jaket, syal hingga kaus kaki, demi melindungi diri dari siksaan dingin yang menggerogot hingga ke tulang.

Tak cukup sampai di situ, saat waktu makan pun kian mengorupsi kenyamanan yang tersisa. Mereka harus melepas ‘kasur-kasur petak’ sebagai alas duduk penumpang yang datang berbondong-bondong ke ruang makan, berebut menyendok jatah ransum yang tak hanya sangat terbatas, tapi juga dengan kadar higienitas yang memprihatinkan.

Sluurpp! Hmm. Siapa gerangan yang menghirup sedemikian nikmat ? Di tengah terpa ombak Laut Cina Selatan yang bahkan sejak semalam telah berkali-kali menggoyahkan isi lambung? Via menoleh. Ah. Ternyata Si Jutek. Pria yang hanya mau menoleh jika dipanggil Fei, dan beberapa menit lalu, Si Jutek itulah yang telah membangunkannya dengan berteriak persis di telinganya.

“Enak sekali, ya, kopinya?” Dicobanya untuk berbasa-basi. Siapa pun tahu kalau Fei lebih sering membatu. Kalaupun sesekali bicara, kalimatnya lebih didominasi nada ketus atau sinis. Sama sekali tak sedap didengar telinga. Tanpa peduli siapa yang menjadi lawan bicara. Singkat kata, Fei sama sekali bukan tipe pria yang tepat untuk melabuhkan simpati. Sebaliknya, justru lebih berpotensi memunculkan rasa antipati.

Pertanyaan Via kali ini juga tak menghasilkan respons apa pun, selain bunyi sesapan berikutnya yang tak kalah nikmat dan Fei yang berkonsentrasi penuh pada kopinya. “Sebuah perjalanan yang menyenangkan. Sama nikmatnya dengan enam gelas kopi instan dan kudapan lainnya sejak kapal mulai meninggalkan dermaga.”

Fei menoleh. Ada pijar di matanya yang dalam sedetik langsung tersulut nyala. “Rupanya kau seorang pengamat yang jeli, Nona.”

“Tentu! Aku mendekam di ruang ini sejak semalam dan hanya sesekali naik ke dek. Jadi kutahu persis penumpang yang paling sering absen ke dapur dan meminta air panas di tengah malam buta.”

Kembali, pijar itu membara. Mungkin, baru pertama kalinya Fei menemukan lawan bicara yang berimbang. Bagi sebagian orang, mungkin, sorot setajam itu seakan mampu menelanjangi isi hati. Namun, tidak bagi Via. Baginya, tatapan Fei tak lebih dari sebatang anak panah yang terpental setelah meleset dari sasaran. Sedikit pun tak mengubah riak tenangnya saat mengeluarkan isi make up pouch-nya: bedak, lipstik, pensil alis, maskara....

“Cukup!” Sebuah hantaman tak terduga pada permukaan meja, membuat sebagian perangkat kosmetik itu berlompatan, lalu terjatuh dan menggelinding.

“Kau dengar, ya, gadis pesolek! Jika bukan karena selembar surat tugas itu, tak pernah kuinginkan berada di perjalanan teramat membosankan ini, apalagi harus kembali ke pulau itu! Dan semua yang kulakukan untuk menghangatkan rongga lambungku ini, kau tahu? Hanya demi membunuh bosan yang sudah sejak semalam menggerung sampai ke ubun-ubun!”

Kalimat pedas yang berakhir dengan entakan tubuh pemiliknya, meninggalkan kopi yang masih bersisa lebih separuh. Dasar, pria aneh. Seharusnya Fei tak bertugas di seksi kehumasan. Lebih cocok jika di satpol.

Seraya tersenyum geli membayangkan sosok Fei dalam balutan seragam satpol tengah mengejar-ngejar para pedagang liar di pinggir jalan, Via memungut ‘alat perangnya’ yang berserakan dan memasukkan kembali ke dalam pouch. Bunyi sirene meraung, pertanda kapal telah merapat ke dermaga.

Belasan ibu-ibu berbaju kurung warna seragam serentak menabuh kompang ketika ujung tangga telah menjejak pasir pantai yang putih jernih. Lengkap diapit beberapa pria yang menjinjing bunga manggar. Tak lupa menaburkan beras kunyit pada rombongan pertama yang turun dari kapal.

Berbeda dari biasa, ‘penyambutan’ kali ini terasa lebih istimewa, karena penumpang yang datang di antaranya memang terdapat rombongan orang-orang istimewa. Bupati, ketua dewan, kepala dinas, anggota parpol, wartawan, hingga tokoh seni dan budaya, juga para pegawai pemda yang turut serta. Dalam rombongan itu, tak kurang dari 80-an orang.

Kunjungan kerja sekali dalam setahun telah menjadi agenda rutin pemerintah daerah untuk menjejakkan kaki di Tambelan, pulau terjauh yang memiliki 54 gugus pulau kecil. Meski secara geografis lebih dekat ke Kalimantan, secara administrasi wilayah tercatat sebagai bagian dari Kabupaten Bintan.

“Menginap di mana nanti?” 

Hei! Tumben! Si Jutek itu telah menjejeri langkah Via dan tergerak bibirnya untuk melontarkan basa-basi.

“Kalau tidak salah, rombonganku diinapkan di rumah Pak Rahman. Kamu?”

Senyum angkuh Fei spontan mengukir. “Yang jelas, keberadaanku pasti dalam radius paling terjangkau oleh orang-orang penting itu.”

Tertegun sejenak, namun Via cepat memajukan bibirnya, membentuk ‘o’ yang panjang. Dasar bodoh. Siapa pun tahu, adalah suatu kelalaian besar untuk seorang staf humas dan peliputan yang luput mendokumentasikan segala bentuk aktivitas kemasyarakatan maupun ‘ritual’ seremonial yang ditorehkan oleh ‘orang-orang penting’ itu.

Dengan sigap Via melompat naik ke bak pick-up, yang memang telah disiapkan untuk mengantar rombongan ‘kelas dua’ menuju tempat tujuan masing-masing dalam beberapa rombongan. Masih sempat ia melambai pada Fei yang hanya mematung, tak tergerak sedikit pun untuk sekadar membimbing tangannya memanjat pick-up.

“Kuucapkan selamat bertugas, Mr. Jutek. Oh, ya, jangan lupa, sesekali arahkan kameramu padaku. Buletin kalian butuh penyegaran, bosan juga kan terus-menerus memasang tampang pejabat?”

Ya! Satu sama! Senyum puas Via terkembang, saat melihat wajah Fei yang kembali mendengus. Roda bergerak, meninggalkan dermaga yang berangsur sepi, dengan hanya satu-satunya kapal navigasi yang bersandar. Pun satu-satunya kapal yang akan membawa rombongan kembali ke Bintan sehari sesudahnya.

Pak.. pak... pak... dung.. tra... ra... ram...! Tabuhan gendang berirama rancak meningkahi lincah gerak empat pasang penari, pertanda acara penyambutan telah dibuka dengan tarian Persembahan.  Via sejenak memutar mata, menemukan sudut strategis, meja prasmanan!

Semilir sejuk menerpa. Via mendongak. Matanya memicing silau oleh panas terik sang surya, tak terhalang oleh naungan atap tenda, dan panas suhunya seakan mampu menguliti kulit kepala. Ini tidak mungkin. Via mendesah, seraya memegangi tengkuknya. Tengkuk yang mulai dirambati sejuk yang aneh.

“Kau... kenapa mengikutiku?”

“Aku tidak mengikutimu. Aku hanya ingin mengucap selamat datang, akhirnya kau sudi mengunjungiku.”

Apa? Tangan Via spontan menyusuri dadanya. Ada detak kencang di sana.

Tatap mata Via, perlahan mengedari sekeliling. Tak hanya dia, tapi juga mereka.  Ada di setiap sudut. Berdiri di bawah tenda, bergerombol di depan hidangan, berlalu- lalang di antara para penari. Menyebar, membaur, atau mungkin, ikut menikmati keramaian yang hanya sesekali adanya. Keramaian sekali setahun seiring kedatangan rombongan orang-orang penting dari kabupaten. Tapi, mungkinkah mereka juga menganggapnya sebagai sesuatu yang penting?

Via merapatkan kelopak mata. Seiring bisik lirih yang hanya mampu mencapai kedua gendang telinganya. ‘Anugerah’-Mu tak pernah sanggup untuk kutolak, ya, Allah, tapi kumohon untuk sejenak, izinkan mata ini menikmati dunia yang ‘seindah’ pandangan orang lain.

Dimensi Annisa
Tambelan, awal 2006
Seekor tukik (anak penyu) merangkak pelan. Tak menyadari bahaya yang mengintai hanya dalam jarak kurang dari setengah meter. Seekor penyu dewasa, yang sejak beberapa minggu ini tampak malas bergerak, tiba-tiba saja merangkak cepat, menuju ke arah tukik, dan dalam sekejap melahap dan membenamkan tukik malang itu ke dalam perutnya.

Sepasang mata bening mengamati seksama. Keasyikan yang meluputkan kesadarannya akan kehadiran seorang pria setengah baya yang ikut mencangkung di sisinya. “Asyik sekali kau, Nisa. Ape yang kau tengok?”

Wanita yang disapa Nisa itu spontan menoleh. “Penyu dewasa memangsa tukik, Pakcik. Sepertinya, kita harus memisahkan tempat mereka. Lama-lama bisa habis tukik-tukik kecil ni kalau terus hidup sekutak (kotak) dengan penyu.”

Pakcik Sahak, demikian orang kampung menyebut pria setengah baya itu, menghela napas dengan raut letih.

“Bang! Ada tamu di depan, nak (ingin) jumpe Nisa!” sebuah suara lantang memekik dari arah rumah Sahak.

“Siapa?” Sahak balas berteriak.

“Katenye dari perwakilan masyarakat. Mereka nak cakap (bicara) soal penyu dengan Nisa.”

“Lah kate aku (sudah kubilang)!” Wajah Sahak mendadak diliput gerhana. “Tenanglah, Pakcik. Niat baik memang butuh perjuangan.” Seraya menggamit tangan Sahak, Nisa melangkah tenang.

Telah ada ratusan penyu di dalam penangkaran. Bentuk penangkaran itu  sederhana saja, lebih tepat disebut keramba yang terapung di atas laut. Bedanya, kalau keramba biasanya digunakan orang untuk beternak ikan kerapu, maka keramba yang dijadikan Nisa sebagai tempat penangkaran penuh berisi tukik.

Lima wajah sangar menyambut Nisa dengan pandangan tak bersahabat. Sahak langsung memasang sikap waspada. Salah seorang dari mereka maju selangkah. “Kami tak nak berpanjang kata. Kami datang hanya nak tegaskan pada awak (kamu), segeralah hentikan usaha penangkaran tu! Pemikiran sarjana awak lebih memihak pada keselamatan hewan-hewan tu daripada asap dapur kami!”

Sampai akhirnya kelima pemuda itu beranjak, Nisa tetap mengunci mulutnya rapat. Gadis itu tahu persis, sekaligus menyadari, bahwa bantahan secara frontal hanya akan menyulut kemarahan, dan akibatnya, tak tertutup kemungkinan kalau usaha penangkaran yang telah susah payah ia rintis sejak setahun ini, akan berakhir sia-sia. Namun, Nisa juga menolak untuk mengiyakan, apalagi mengangguk setuju. Layar telah ia kembangkan, pantang baginya untuk surut ke belakang.

Tambelan adalah salah satu pulau di perairan Laut Cina Selatan dengan populasi terbesar persinggahan penyu dan sisik (penyu hijau) untuk menetaskan telur-telurnya. Anugerah itulah yang kemudian dimanfaatkan penduduk setempat dengan mengumpulkan telur-telur itu untuk diperjualbelikan. Namun, sejak 10 tahun terakhir, jumlah penyu yang singgah di perairan Tambelan telah menyusut jauh.

Kenyataan inilah yang kemudian membangkitkan kegelisahan Nisa. Tak hanya atas dasar rasa tanggung jawab terhadap ilmu yang ia peroleh di bangku kuliah, lebih dari itu, siapa lagi yang lebih pantas untuk mempertahankan eksistensi penyu-penyu, jika bukan mereka yang mengaku terlahir di pulau ‘anugerah’ persinggahan ratusan, bahkan ribuan, hewan-hewan langka itu setiap tahunnya?

“Kau dah (sudah) dengar sendiri, ‘kan? Kalau dah bicara urusan asap dapur, urusan perut, siapa pun sanggup bertekak (berdebat) dan bersuara lantang, Nisa!” Sahak menyergah, nyaris putus asa.

Tak ia pahami benar jalan pemikiran Nisa. Sejak menamatkan kuliah, kemenakannya itu justru memilih kembali ke kampung. Mengabdikan diri pada upaya penyelamatan penyu. Ironisnya, ‘pengabdian’ Nisa justru dipandang sebelah mata. Di mata sebagian masyarakat, kegigihannya itu justru dianggap telah mengancam sumber utama mata pencaharian mereka yang selama ini bergantung pada penjualan telur penyu.

“Telur-telur tu kan sifatnya hanya musiman, Pakcik? Dan, bukankah pulau ni kaya hasil laut? Nisa yakin, ada yang dah memprovokasi mereka. Buktinya, tak sedikit juga masyarakat yang dah memulai upaya penyelamatan kecil-kecilan dengan memelihara tukik,” terang Nisa, seraya meraih ponselnya.

“Terserah kaulah, Nisa. Pakcik hanya khawatir dengan keselamatan kau”.

Bukan hal mudah untuk mencapai Tambelan. Kapal yang berlayar hanya ada dua kali dalam sebulan. Sekali berlayar, butuh waktu tak kurang sehari semalam, pun jika musim angin selatan tiba, orang enggan melayari perairan Tambelan, karena pada musim ini tinggi empasan ombaknya bisa mencapai lebih
dari dua meter.

“Dasar budak-budak (anak-anak) kini (sekarang)! Kalau dah dapat berita dari si jantung hati, cakap orang tua pun macam angin lalu! gerutu Sahak, seraya beranjak meninggalkan Nisa yang sudah tenggelam dalam keasyikan berbalas SMS. Satu-satunya media penghubung antara Nisa dan si ‘jantung hati’ yang hanya sekali dalam beberapa bulan dapat ia temui. Benda kecil ajaib itu menjadi mediator penting bagi memelihara hubungan kisah kasih jarak jauhnya.

Jd bila lg kemari? Cptlah, sdh ada rombongan berikutnya nak kulepas. Tak menunggu lama telah kembali muncul gambar amplop di layar ponselnya. Sgr. Thn dl penyu2 tu smp aq dtg.

Dimensi Lyvia
Siang yang bergerak perlahan
Seperempat jam sudah Via mengurung diri di kamar mandi. Mengguyur air dingin berkali-kali, menggosok tuntas debu, kuman dan keringat yang telah seharian menempel ketat. Segera ia kenakan baju kurung warna maroon sebelum beranjak keluar. Kamar mandi rumah Pak Rahman, terletak di sebelah ruang makan yang menyatu dengan dapur, sementara kamar tidur untuk rombongan letaknya di lantai dua.

Ada dua rombongan yang menginap di rumah Pak Rahman: rombongan Via yang terdiri dari ibu-ibu PKK, serta rombongan seni dan budaya. Keikutsertaan Via dalam kunjungan kali ini adalah mewakili dwi fungsi. Fungsi yang melekat dalam seragam PNS-nya untuk melakukan pembinaan pada para perangkat desa di kecamatan, sekaligus fungsi sebagai pengurus tim penggerak PKK kabupaten untuk melakukan penjurian pada lomba memasak.

Meski usia relatif muda, jam terbang Via terbilang lumayan tinggi. Baik yang berhubungan dengan institusi dan kedinasan, maupun peran aktifnya dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Membuat banyak rekan kerjanya geleng kepala, saat menyimak ritme hidupnya yang sedemikian padat.

Padahal, terdapat satu sisi yang selama ini rapat ditutup Via dari pengetahuan siapa pun. Satu sisi yang selalu memanfaatkan ruang kosong dan celah waktu dalam hidupnya menjadi sebuah entry connecting door untuk sebuah dimensi tak kasatmata. Dimensi yang menghadirkan tepat di hadapannya bayang-bayang yang serba bias, berdiri tegak di antara mimpi dan realitas. Tak pernah ia kehendaki kelebihan itu melekat pada dirinya, kelebihan yang justru sering menyergapnya dalam ‘keramaian’ yang asing.

“Wah, anggota yang satu ini sudah cantik, sekalian dandan di kamar mandi, ya? Via mengangguk.

Ibu Devina, sang sekretaris PKK, juga telah siap dalam baju kurung dan jilbab merahnya.

“Kita langsung ke lokasi, Bu? tanya Via.

Ibu Devina menggeleng. “Belum. Kita ke rumah ibu camat dulu. Beliau sudah menyiapkan makan siang untuk semua rombongan.

Makan siang? Via spontan meraba perutnya. Perut yang baru dua jam lalu diguyur sepiring bubur pedas plus laksa kuah yang disajikan di dalam daun mangkok. Tetapi, alangkah rugi jika  menolak jamuan makan siang. Jamuan yang pastinya didominasi makanan laut. Siapa pun tahu, ikan-ikan yang berenang-renang di perairan Tambelan memiliki kesegaran nomor wahid, bebas merkuri dan formalin, bahkan kebanyakan langsung diolah sebelum sempat bersentuhan dengan freezer.

Rumah dinas camat hanya berjarak 20 meter dari kediaman Pak Rahman. Dua buah meja panjang yang merapat pada dinding papan, telah ‘dihiasi’ berbagai hidangan laut yang masih mengepul dan menebar aroma khas.

Seekor ikan selar bakar cepat berpindah ke piring Via saat giliran antreannya tiba. Piring yang telah terisi nasi, sambal belacan (terasi), dan sayur asem. Meski warna kuah dan isi sayur asemnya sama dengan yang selalu Via jumpai di warung lesehan ataupun restoran Sunda, cita rasa sayur asem made in Tambelan ini lebih didominasi rasa asam plus sedikit sentuhan pedas.

“Makanmu seperti orang berdoa saja. Kau pikir siapa yang mau mencuri ikanmu? Hmm. Tampaknya bendera perang itu masih tegak berkibar. Via membatin tanpa menoleh. Begitukah sikap Fei terhadap semua wanita? Pantas saja, sampai hari ini ‘kekasih setianya’ hanya benda-benda mati: kamera, camcorder, blackberry dan tape recorder. Wanita mana yang sanggup bertahan di sisi pria sejutek Fei?

Fei tak perlu tahu mengapa lebih suka kuhadapkan wajah pada piring, menikmati warna-warni hidangan di dalamnya. ‘Seseorang’ berdiri di sana. Menatap lekat, seakan tak sabar menunggu suapan terakhir.
Via mengunyah pelan-pelan. Benar kata orang-orang. Padahal, ikan selar bakar itu bumbunya tampak sederhana saja, kering pula penampilannya, tidak berkilat oleh sapuan minyak bercampur bumbu kental yang biasa disajikan di restoran seafood. Tapi, rasanya...  hmm! Hanya rasa segan yang menahan Via untuk menambah.

“Sudah selesai makannya? Via menoleh pada Bu Devina yang tengah menepuk-nepuk bibirnya dengan tisu.

“Kita pergi sekarang, Bu?

“Ya. Sekarang.

Sebuah mobil satpol telah menunggu di depan kantor kecamatan. Selain mobil satpol, mobdin kecamatan dan ambulans, di pulau ini hanya ada sebuah pick-up yang sering digunakan untuk melayani jasa angkut penduduk menuju pelabuhan. Tidak ada mobil pribadi. Badan jalan yang lebarnya tak lebih dari tiga meter dan jarak tempuh yang relatif dekat, membuat penduduk Tambelan lebih banyak menggunakan sepeda motor atau cukup berjalan kaki.

“Duh, panas sekali! Bu Devina langsung mengembangkan kipas begitu tiba di balai desa. Beberapa ibu-ibu yang lain turut mendesah, melontar keluh yang sama, seraya masing-masing mengeluarkan ‘senjata penangkal’ berupa kipas dan tisu basah.

Ada enam meja bundar, masing-masing dikelilingi tiga pasang kursi. Piring, gelas, dan sendok-garpu telah tertata rapi, juga potongan karton berbentuk piramida yang bertuliskan daftar menu plus rincian harga. Lomba memasak yang bertema sajian sehat non-beras kali ini, selain menilai pada rasa dan penampilan, juga biaya keseluruhan pengolahan makanan. Tidak boleh melebihi standar harga yang telah ditetapkan oleh dewan juri. Standar harga yang dianggap mampu mencukupi kebutuhan penyajian makanan untuk empat orang.

Hm. Mengapa di sini pun ramai sekali? Masing-masing berusaha mencari celah, di antara ibu-ibu yang sibuk menata hidangan dan anggota juri yang berkeliling dari satu meja ke meja lain.

“Jangan hanya mematung, Via. Waktu kita terbatas. Pukul setengah lima nanti semua nilai sudah harus terkumpul. Ibu Sari yang ketua Pokja II mengingatkan Via yang masih memeluk erat lembaran kertas berisikan nama kelompok peserta berikut indikator penilaian.

Tolong, menyingkirlah dari situ. Beri aku jalan.

Ruang ini telah bertambah penuh, bahkan sesak dan memadat. Suhu udara masih membara, meski siang telah beranjak, bergeser menuju petang.

Meja di sayap sebelah kiri, tampak yang paling ramai dikerumuni.  “Ayo, cicipi,“ Bu Devina menyodorkan piring berisi bulatan sagu bal ke hadapan Via.

“Boleh, Bu? 

“Menjadi juri yang menilai penampilan bukan berarti tak boleh mencicipi. Ayolah... sulit kamu temui sagu bal di Bintan kelak.

Via mengunyah sagu bal pelan-pelan. Makanan khas Tambelan yang terbuat dari tepung sagu dan dibentuk bulat telur, paling cocok jika dihidangkan bersama lauk berkuah. “Bagaimana... enak, ‘kan ? tanya Bu Devina.

“Ya... e... enak, Via menjawab gugup, bersamaan dengan gerak sepasang visualnya yang tak sengaja membentur dinding.  Potongan terakhir sagu bal, nyaris tersangkut di tenggorokan.

Terkejutkah kau? Telah  makin dekat langkahmu. Dan tidak akan lama lagi.

Sebuah SMS masuk menggetarkan ponsel Via.

Bisa hdr stgah jam lg? Dr desa dan BPD sdh pd kmpul. 

Bergegas jemari Via menulis balasan.

Y. Tlg jmpt. Aq lg di balai desa.

Hanya selang semenit balasannya terjawab singkat.

Siap, bu!

Jemari Via yang menggenggam pena sigap membubuhkan tanda sontreng pada kolom-kolom kosong. Satu putaran, cukup sudah baginya untuk merekam dan menilai penampilan hidangan di setiap meja.

“Bu Devina, saya minta izin, tidak bisa mengikuti acara ini sampai selesai, tugas pembinaan untuk para perangkat desa sudah menunggu, pamit Via pada Bu Devina, seraya menyerahkan lembar penilaian yang telah terisi lengkap.

“Wah, cepat sekali. Objektif tidak ini nilainya?  Bu Devina sejenak meneliti isi lembaran yang diserahkan.

“Insya Allah, Bu. Kalau tidak yakin, Ibu boleh cek ulang.

Geleng kepala Bu Devina mengiringi langkah Via yang bergegas keluar dari balai desa. Sungguh, Via tak yakin dirinya mampu berkonsentrasi penuh, jika harus melakukan satu putaran lagi. Di sini terlalu ramai.

Dimensi Annisa
Tambelan,  medio Januari 2006
Sesosok pria berdiri tegak di batu karang, asyik merekam aktivitas penduduk, termasuk wanita pujaan hatinya yang tengah melepas puluhan penyu. Kaki-kaki kecil hewan melata itu bergerak cepat, dan hanya dalam hitungan detik, menyatu dengan ombak laut yang petang ini beriak tenang, sebelum akhirnya satu per satu lenyap dari pandangan.

Nisa tersenyum, tangannya melambai-lambai, seakan tengah melambai pada sahabat karib yang hendak berlayar mengarungi samudra. Sesaat kemudian kedua tangannya membentuk corong di depan bibir, lalu berteriak nyaring, “Hoooi... turunlah dari situ! Bual (bohong) saja nak melepas penyu, tapi kerja Abang memotret terus!

Iwan melangkah turun dengan hati-hati, lalu berlari kecil menghampiri Nisa yang menyambutnya dengan wajah merengut.

“Kalau semua orang melepas penyu, lantas siapa yang akan merekam jejak penyu-penyu itu saat terakhir kali meninggalkan tempat persinggahannya, Dek? Nisa mengangguk-angguk. “Ao’ (iya) lah. Belum tahu juga tahun depan kelak aku masih akan melepas penyu.

“Maksudmu? Iwan menatap mata bening di depannya lekat-lekat. Ada siratan makna seolah tengah mengisyaratkan sesuatu yang tak akan pernah terjadi lagi.

“Bukannya aku pesimistis, Bang. Penyu-penyu itu tampak saja kecil badannya, tapi makannya kuat sangat. Dua hari bisa habis 20 kilogram ikan. Manalah tahan biayanya. Tak mungkin ku berharap pada Pakcik Sahak dan Makcik Salmiah. Penghasilan mereka hanya sekadar cukup untuk makan sehari-hari.

Iwan duduk mencangkung beralas gundukan pasir, lalu meletakkan camcorder-nya yang masih dalam posisi on sedikit lebih tinggi. Dalam diam dan berpikir-pikir, sempat menyeruak rasa kagumnya pada Nisa yang telah turut duduk di sisinya.

Annisa, hanya raganya yang terlahir sebagai gadis pulau, pulau nan jauh terpencil, namun pemikirannya jauh melampaui apa yang dapat terlihat dari sisi terluar pulau itu. Telah setahun lebih gadis itu mengorbankan waktu, uang, dan tenaga untuk mempertahankan populasi penyu dari terus menyusut, dan selama itu pula, telah berpuluh kalimat dan kritik pedas yang diembuskan ke telinganya.

Namun, simpati masyarakat pun lambat laun turut mengalir, meski alirannya tak lebih deras dari gerimis. Sejumlah penduduk yang mulai memahami akan pentingnya menjaga kelestarian hewan langka, rela membantu Nisa untuk mengembangbiakkan tukik dan bersama-sama melepas penyu kembali ke laut. Terakhir, tadi pagi saat Nisa mengajak Iwan melihat-lihat keramba, tak kurang telah ada tiga ratusan penyu dan sisik di dalamnya. Dan, yang baru saja dilepas adalah puluhan penyu yang usianya telah mencapai 15 bulan.

Penyu-penyu itu memang harus dibesarkan terlebih dulu sebelum dikembalikan ke laut, karena penyu yang dilepas saat usianya masih dini, apalagi yang masih berwujud tukik, dalam sekejap akan menjadi santapan empuk para predator, burung camar, elang laut, juga ikan-ikan karang. Dan tentu, tujuan penyelamatan akan berakhir sia-sia, karena ketidakmampuan hewan ringkih itu bertahan di habitat asalnya dengan hukum rimba yang sebenarnya berlaku di dalamnya.

“Berarti kendala terbesarmu saat ini soal biaya?”

Nisa mengangguk.

“Jika kau mau, nanti akan kuhubungkan dengan yayasan yang gencar memperjuangkan penyelamatan satwa langka. Nanti mereka akan datang langsung untuk meninjau, dan jika memang dianggap layak diperjuangkan, mereka akan membantumu mengajukan proposal untuk mencari kucuran dana demi upaya penyelamatan.”

Sepasang mata bening Nisa langsung memancarkan binar terang. “Benar demikian, Bang? Cepatlah kabari aku kalau Abang sudah menghubungi mereka. Tak sia-sia aku punya kekasih macam Abang.”

“Jangan sembarang memuji, Nisa. Sekarang aku sedang tak butuh pujian, tapi aku sudah kempunan (sangat ingin) bingke berendam. Sudahkah kau sisihkan untukku?” 

Nisa mengangguk-angguk. “Tentu. Ada tiga loyang kusisihkan, dan Abang harus habiskan semuanya.”

“Boleh! Siapa takut!”

Semburat jingga sang surya yang hendak kembali ke peraduan, mengiringi langkah mereka meninggalkan pantai dengan jejak-jejak kecil kaki penyu yang tercetak tak beraturan di hamparan pasir. Jejak-jejak kecil yang semuanya memiliki satu tujuan akhir: laut.

Dimensi Lyvia
Senja telah merangkak pekat ketika kegiatan pembinaan perangkat desa tuntas sebelum azan magrib berkumandang. “Kita masih punya waktu beberapa jam sebelum malam berakhir. Kau mau ikut dengan kami atau menyaksikan pertunjukan kesenian?” tanya Rachmat pada Via. Mereka, berenam orang semuanya, duduk melepas penat di salah satu kopi tiam (sebutan untuk kedai kopi) usai acara pembinaan dan menunaikan salat Magrib di masjid.

Mereka pasti akan mengerumun di sana. Mungkin juga dia.

“Aku ikut kalian saja. Kalian mau ke mana?” 

“Kita akan jalan-jalan. Benar-benar berjalan kaki. Pak Burhan mengundang kita makan malam ini. Kau baru pertama ini  kan datang kemari? Sayang kalau tidak merasakan udara Tambelan di malam hari, minim polusi, juga minim ribut.” Demikian Ian setengah berpromosi, karena ia adalah yang rutin mengikuti kegiatan kunjungan kerja setiap tahunnya.

Raungan gas motor melintas di depan kopi tiam. Pengendaranya hanya membunyikan klakson tanpa mengurangi kecepatan ataupun menyapa. Via langsung mengenalinya. Itu Fei. Seorang diri melajukan motor, entah hendak ke mana.

“Dasar makhluk angkasa luar! Aneh-aneh saja kelakuannya.” Ian mengedumal gusar seraya menyeruput seteguk kopi hitam yang telah seperempat jam lalu terhidang di depannya. Kopi hitam yang disajikan dalam cangkir Cina berbibir tebal, memang paling sedap kalau dinikmati sedikit demi sedikit. Ada sensasi yang berbeda saat menghirup kopi dari bibir cangkir mungil dengan ketebalan hampir setengah senti itu ketimbang minum dari cangkir kopi biasa. Apalagi, hangat kopi di dalam cangkir ini diyakini bertahan lebih lama. Tak heran jika para pecandu kopi betah duduk berjam-jam di kopi tiam cukup ditemani dengan secangkir kopi hitam yang disajikan dalam cangkir Cina berbibir tebal.

“Memang begitukah tabiat Fei?”  tanya Via, seraya meneguk kopinya. Dirinya memang belum lama bertugas di sekretariat, jadi belum mengenal betul siapa Fei selain watak luarnya saja.

“Dulu tidak begitu. Sejak beberapa tahun belakangan ini saja mulai aneh-aneh. Jangan ditanya sudah berapa kali ia melempar kembali surat tugasnya. Entah apa pula yang sudah melunakkan hatinya untuk ikut dalam kunjungan tahun ini,” jawab Rachmat.

“Berarti, ada sesuatu yang buat dia berubah?”

Rachmat menggedikkan bahu. “Bibir Fei selalu tertutup untuk urusan pribadi. Aku dulu sempat mengira, sikapnya itu justru untuk menutupi kalau dirinya seorang gay!”

“Hei, jangan sembarang menuduh, Bang!” Marsha cepat memprotes.

Sesaat, ada getar halus yang tak teraba. Suasana kopi tiam yang minim penerangan, mendadak terasa kian remang. Dan, semua perubahan itu hanya mampu dideteksi oleh gelombang sinyal di benak Via. Membuatnya spontan berdiri. “Kita langsung ke rumah Pak Burhan?” sarannya tiba-tiba, seraya mengeluarkan dompetnya.

“Hei, sejak kapan wanita diperkenankan mentraktir pria di kopi tiam? Sudah, simpan saja dompetmu!” cegah Ian yang segera melompat dan menyerahkan selembar dua puluh ribuan pada seorang nyonya yang tengah duduk di kursi kayu seraya menggeser lincah butir-butir sempoa.

Purnama menerangi jalan sunyi saat mereka berenam beranjak dari kopi tiam. Meski akan ada pertunjukan kesenian yang digelar di halaman kantor kecamatan, sepertinya ritme kehidupan penduduk tak banyak berubah. Beberapa kali berpapasan dengan sekumpulan orang menuju arah yang sama, namun jauh lebih banyak mereka yang membunuh sunyi dengan bermain catur dan lacak (domino) di kopi tiam, juga di kedai-kedai makan.

Lima belas menit berjalan, mereka akhirnya tiba di rumah Pak Burhan. Salah seorang tetua kampung yang sudah dikenal baik oleh anggota rombongan pemda yang sering berkunjung ke Tambelan. Pemandangan dari arah dapur dengan seorang wanita yang tengah mengaduk-aduk di dalam panci yang mengepulkan uap air, sejenak menarik perhatian Via untuk tak langsung menuju meja makan.

“Masak apa, Bu ?”

Wanita itu menoleh. Sedikit terkejut. “Eh, ini, merebus telur sisik. Adek suke tak?”

“Mmm.... suka, sedikit,“ Via menjawab gugup. Tak tega rasanya membohongi mata tua yang berbinar polos itu.

Via hanya pernah sekali mencicipi telur sisik. Berbeda dengan telur rebus biasa, pada saat telah matang pun, isi telur sisik tetap tidak mengeras, melainkan berwujud cairan keruh yang sedikit kental. Cara memakannya pun bukan dengan dikupas lalu dikunyah, melainkan dengan disedot.

Kata orang, telur sisik paling enak disedot hangat-hangat. Entah karena waktu itu Via menyedotnya saat suhunya telah dingin, membuat cairan telur yang menjalari kerongkongannya, rasanya jadi mirip ingus. Eksperimen pertama yang langsung membunuh seleranya, kapok untuk menyantap lagi telur sisik.
Saat menuju ruang makan, hanya tinggal Rachmat yang masih berdiri di depan meja. Hmm... lagi-lagi ikan. Bedanya, kali ini ikannya dibungkus di dalam daun pisang sebelum dibakar, orang sini menyebutnya dengan pais.

Via langsung mengambil dua bungkus pais. Mumpung. Di mana lagi bisa menyerap omega 3 yang benar-benar murni? Sepertinya, nasinya cukup sesendok saja. Karena di ruang tamu, telah berjejer hidangan pencuci mulut yang tak kalah menggiurkan. Bingke berendam. Kue basah khas Tambelan yang rasa manisnya selangit. Juga kole-kole. Kue dari kacang hijau yang digongseng lalu dihaluskan, dimasak bersama gula, telur dan santan.

“Sepertinya sekarang telur-telur penyu dan sisik sudah jarang dijumpai, ya, Pak?” tanya Rachmat, seraya menyedot telur sisik dalam sekali sesap. Via ternganga. Telur-telur sisik yang disedot Rachmat, dan kulitnya ia letakkan di wadah plastik itu, jumlahnya sudah mencapai enam butir! Padahal, yang Via tahu,  telur sisik mengandung kolesterol cukup tinggi.

Apakah Rachmat juga sama sepertinya, yang hendak memuaskan selera semaksimal mungkin dengan makanan khas Tambelan yang sulit dijumpai, bahkan di Bintan sendiri? Bedanya, kalau Via bertujuan menyuplai omega 3 melalui masakan ikan-ikan segar, Rachmat justru tengah menimbun tubuhnya dengan kolesterol.

Pak Burhan yang telah selesai makan, menjawab pertanyaan Rachmat. “Begitulah, Dek. Sejak pemerintah pusat melarang penjualan telur penyu dan sisik ke luar daerah, dengan alasan bahwa habitat penyu sudah nak punah, penjualan telur oleh masyarakat langsung menurun drastis. Yang ade sekarang ni, hanye sekadar untuk konsumsi saje.”

“Kalau menurut Bapak sendiri, sudah tepatkah kebijakan itu? Setahu saya, sudah sejak berpuluh tahun, masyarakat Tambelan mengandalkan sumber mata pencaharian dengan berjualan telur penyu,” tukas Ian, yang kemudian menyusul jejak Rachmat, mengambil beberapa butir telur sisik.

“Sebenarnye cukup dilematis. Setahu saye, sejak menetap di pulau ni, habitat penyu tu belum pernah punah same sekali. Dah banyak pule orang tue yang berhasil sekolahkan anaknya sampai jadi sarjana dari hasil berjualan telur penyu. Tapi, untuk berjualan bebas seperti dulu, masyarakat tak berani lagi. Tahun lalu, pihak kepolisian tak teragak-agak (ragu) menangkap oknum yang ketahuan membawa ribuan telur penyu ke negeri jiran (tetangga),” cerita Pak Burhan, panjang lebar. Heru dan Zoel yang telah selesai makan, kini ikut bergabung bersama mereka di ruang tamu.

Sudah makin dekat. Tak akan lama lagi.

Sebentuk pantulan samar membayang di dinding ruang tamu. Via spontan mengalihkan pandangan. Sorot matanya yang seolah tengah ‘berbicara’, akan mudah memancing curiga. Lebih baik memejamkan mata. Ya, terpejam lebih baik.

Saat Via membuka mata, piring berisi bingke telah bergeser jauh. Dikerumuni oleh lima makhluk yang saling menyendok dengan berebutan. “Salah sendiri, siapa lambat, tak kebagian, “ celetuk Zoel.

“Sepertinye adek satu ni pemalu betul. Ni sile lah makan.”

Via jadi tersergap malu. Istri Pak Burhan telah menyiapkan sepiring kecil yang lain, berisi bingke berendam dan dua potong pisang goreng. Ya. Sudah menjadi tradisi masyarakat setempat untuk makan bingke berendam bersama pisang goreng. Berbeda dari bingke biasa, bingke berendam yang terbuat dari adonan santan, telur dan gula dalam takaran yang sama itu permukaannya masih disiram lagi dengan air gula. Mungkin, kehadiran pisang goreng dibutuhkan untuk mengimbangi rasa manis bingke yang sudah hampir menyamai induk gula itu.

“Tahu macam tu aku pura-pura malu saja tadi,“ seru Marsha, yang diikuti komentar sirik keempat rekannya. Via tak peduli. Lalu menggeser duduknya ke sebelah Rachmat.

“Pak Burhan, di pulau ini, di mana gerangan pantai yang banyak berbatu karang?”

“Hampir semua pantai berbatu karang, Dek.”

“Pantai yang jalanannya menurun? Juga banyak ditumbuhi pohon pisang?”

Dahi Rachmat langsung mengernyit mendengar pertanyaan beruntun Via yang sama sekali di luar topik pembicaraannya dengan Pak Burhan. Namun, pria ramah itu tetap menjawab pertanyaan Via.

“Mungkin, maksud Adek ni Pantai Penepat. Dari jalan menurun menuju ke pantai tu memang banyak pohon pisang. Pantainya sendiri taklah terlalu istimewa. Tetapi, dari tanjakan tertinggi, kita bisa melihat bukit batu di seberang. Cantik. Anak saya pernah sekali mendaki bukit tu. Katanya, 0kalau dah sampai di puncak, rasanya tak mau turun.”

Obrolan masih berlanjut. Hingga akhirnya, bunyi dentang sembilan kali pada jam dinding ruang tamu Pak Burhan, sekaligus menjadi isyarat untuk mereka berpamitan dengan lambung yang telah terisi penuh.

“Bagaimana kalau kita cari mobil? Perut kenyang begini letih betul rasanya berjalan kaki.“ saran Marsha, ketika mereka telah berada di luar pekarangan rumah Pak Burhan, yang langsung mendapat anggukan yang lain.

Syukurlah, tak lama kemudian tampak sebuah pick-up di depan toko, dengan beberapa kotak kardus yang tengah dinaikkan ke bak pick-up. Rachmat menghampiri sang sopir yang duduk di belakang kemudi.

“Mau ke mana, Pak?”

“Ke pelabuhan.”

“Boleh kami menumpang? Kebetulan tempat menginap kami searah. Tak mengapalah kalau Bapak nak ke pelabuhan dulu, baru setelah tu mengantar kami.” Sang sopir mengangguk seraya menghidupkan mesin.

“Naiklah, Dek.“ Dan, satu per satu mereka meloncat naik ke bak pick-up, lalu duduk dengan menekuk lutut, sedikit berdesakan dengan tumpukan kardus.

“Hey, itu Fei... bukan?” Via berseru tiba-tiba, seraya telunjuknya terarah lurus ke pantai. Sebuah sepeda motor tersandar pada pohon kelapa, dan seorang pria yang memunggungi arah jalan, tengah duduk mencangkung di batu karang. Pick-up yang mereka tumpangi telah menuju arah pelabuhan yang terasa kian sunyi dan gelap, oleh minimnya lampu penerangan juga rumah penduduk di kiri-kanan jalan.

“Tajam juga matamu! Hm... sedang apa dia? Mau bunuh diri agaknya!” komentar Zoel, acuh tak acuh.

“Datang jauh-jauh ke pulau malah bertapa di tepi laut. Tak takut kesurupankah?” tukas Heru. 

“Huss! Jangan bicara macam-macam!” Marsha cepat menyilangkan telunjuk di bibir.

Tidak. Dia tidak sendirian. ‘Seseorang’ tengah menghampirinya.

Hingga pick-up menjauh dari tepian pantai, kedua mata Via masih memaku. Pada Fei dan ‘seseorang’ yang masih bergeming di atas batu karang.

Dimensi Annisa
April 2006
Rumah Sahak kembali didatangi ramai orang. Namun, bukan rombongan lima pemuda yang datang mengancam Nisa waktu itu. Sebaliknya, mereka yang mengaku berasal dari Yayasan Konservasi Satwa Langka, ada tujuh orang semuanya, dua orang wanita dan lima orang pria.

“Kami mendapatkan informasi bahwa Anda telah sejak lama gigih memperjuangkan nasib hewan-hewan penyu di pulau ini. Terus terang, kami salut. Jarang-jarang ada orang muda seperti Anda yang mau bersusah payah menyelamatkan satwa langka dari kepunahan,” ujar wanita yang memperkenalkan diri sebagai Linda, dengan logat bicara layaknya orang perkotaan.

“Jadi, Mbak Nisa tak keberatan ‘kan mengajak kami langsung melihat penangkaran? Terus terang, waktu kami di sini tak banyak. Sambil melihat-lihat, kita lanjutkan pembicaraan,” ujar wanita yang seorang lagi.

“Tentu, penangkarannya dekat saja, hanya 10 meter di belakang rumah ini,” jawab Nisa.

“Jika memungkinkan, bagaimana kalau sesudah melihat penangkaran, kita langsung ke pantai tempat Mbak Nisa biasa melepas penyu?” kali ini seorang pria berpenampilan kelimis
yang bertanya.

“Boleh-boleh saja, Pak. Tapi, saat ini kebetulan belum ada penyu untuk dilepas. Paling cepat mungkin baru tiga bulan lagi, menunggu mereka cukup umur,” ujar Nisa, seraya memandang ke arah Sahak.

“Perlu Pakcik temani kau?”  Nisa menggeleng.

Percakapan masih berlangsung untuk beberapa menit sebelum mereka berangkat menuju penangkaran dan pantai. Sudah jadi kebiasaan tuan rumah di Tambelan untuk menyuguhkan makanan ‘lengkap’ kepada tamu, berupa nasi dan lauk-pauk, meski hanya menu sederhana, terlebih lagi, tamu yang datang dari jauh.

“Betul kan kata Nisa, Pakcik. Yang namanya perjuangan, suatu saat pasti akan berhasil,” bisik Nisa di telinga Sahak dengan mata penuh binar. Sahak hanya menggedikkan bahu. “Semoga mereka tak sekadar berbual kosong. Hati-hati, Nisa. Pulang jangan sampai kelewat petang.”

Sebuah benda kecil di atas lemari berbunyi pelan. Namun, Sahak yang sudah kelelahan, memilih langsung masuk ke kamar demi menunaikan hasrat tidur siang.

Sebuah SMS terkirim ke ponsel Nisa yang ketinggalan.

Nisa, org2 yayasan yg aku kbrkan ttgmu itu blm bisa dtg. Nt kan ku br kbr jika mrk sdh positif akan ke sana. Sdg apa sayang?

Dimensi Lyvia
Pagi yang teduh di Pantai Penepat 
Akhirnya, Via berhasil mengajak, atau lebih tepatnya membujuk tiga orang ibu-ibu muda sebayanya dari rombongan anggota PKK untuk bersama-sama melihat Pantai Penepat, setelah gagal mengajak kelima rekan sekretariatnya yang lebih memilih memborong oleh-oleh sebelum kapal bertolak kembali ke Bintan.

Sedikit nekat, Via menaiki sepeda motor yang membonceng sekaligus tiga orang. Dirinya, Nila, dan seorang gadis tetangga Pak Rahman. Telah bertahun-tahun Via tak beraksi sekoboi ini, apalagi, sepeda motor yang dikendarai gadis belia itu lumayan ngebut. Dalam sesaat, Via merasakan sensasi yang luar biasa. Terlebih, saat berpapasan dengan beberapa pasang mata yang menatap tanpa kedip. Via dan Nila nyaris tertawa serentak, ketika melewati Pak Bupati bersama rombongan kecilnya yang tengah berjalan kaki hendak meninjau sekolah dasar. Wajah orang-orang penting itu yang melongo sesaat lalu geleng-geleng kepala, akhirnya meledakkan tawa mereka berdua ketika motor telah menjauh.

“Maaf, Kak. Kite berhenti di sini. Tanjakannya tinggi sangat. Saye jemput kawan-kawan kakak yang dua orang tu. Nanti saye susul,” ucap gadis itu seraya mematikan mesin motor. Via dan Nila melompat turun. Lalu menaiki tanjakan dengan berjalan kaki. Ternyata, tanjakan itu tak hanya tinggi menjulang, namun juga lumayan jauh. Napas mereka berdua terengah-engah saat telah tiba
di jalan mendatar. Seorang pria berjalan kaki seorang diri dari arah berlawanan. Via menghentikannya.

“Maaf, Pak. Numpang tanya. Masih jauhkah Pantai Penepat?”

Tak ada jawaban. Pria itu justru memacu langkahnya.

“Agaknya, dia mengira kita ini bukan manusia,“ ucap Nila, seraya terkikik. Via melirik arlojinya.
“Mungkin saja. Baru pukul tujuh. Masih terlalu pagi di Tambelan. Siapa gerangan yang berniat ke pantai pagi-pagi buta begini?” tukas Via yang ikut mengikik. Keduanya lalu kembali berjalan, melewati jalan setapak yang dikelilingi rimbun pepohonan, diiringi musik alami berupa kerit belalang dan jangkrik meningkah sunyi, juga sesekali berpapasan dengan lembu yang ditambat dan ayam hutan yang berkeliaran bebas.

“Wah... lihat di sana, Via!” tertakjub suara dan gerak mata Nila saat telunjuknya terarah ke seberang. Via mengikutinya. Sebuah bukit batu dengan rimbun hijau di sebagian sisi, dan di bawahnya, lautan biru yang luas membentang. Kabut samar menutupi sebagian bukit. Dari kejauhan terlihat seperti sebuah dunia lain, dunia yang menggantung di antara langit dan bumi. Padahal, semua itu merupakan bagian dari pulau terpencil ini.

Via berdecak kagum. Dan Nila telah beberapa kali menjepretkan kamera digitalnya. “Rugi mereka kalau tak segera menyusul kemari. Aku mau coba menuruni jalan setapak itu. Syukur-syukur bisa sampai ke pantai. Kamu masih ingin di sini?”

Via mengangguk.

Sesaat, ada desir angin yang meniup dari arah belakang. Sejuk. Via menoleh. Tujuh orang –lima pria dan dua wanita– yang entah kapan dan entah bagaimana caranya, tahu-tahu saja telah tiba di belakangnya dan berdiri mengelilinginya. Aneh. Via tak mengenal seorang pun. Bulu kuduknya spontan meremang.

“Terakhir kalinya kami tegaskan pada Anda, Nona. Segera sudahi usaha Anda yang sia-sia itu! Anda tak hanya telah mencabut tradisi yang sudah terpelihara bertahun-tahun, tapi juga mengancam sumber mata pencaharian terbesar penduduk pulau ini!” seorang pria berbicara lantang, dengan sinar mata berapi-api.

Via spontan melangkah mundur ketika dua orang maju mendekat. “Kalian penipu! Kalian menjebak saya! Kalian bukan orang yayasan!”

Tuhan! Darah Via langsung tersirap. Ia tak mengenal mereka, namun kalimat itu ... kalimat lantang itu meluncur dari bibirnya!

“Jangan banyak bicara, Nona! Cukup katakan ‘ya’ dan Anda akan kembali ke rumah dengan selamat! Kedua paman dan bibi Anda pasti telah cemas menunggu Anda!” kali ini suara seorang wanita yang berdiri seraya mendekapkan tangan di dada. Sorot matanya menyinar angkuh.

“Selamanya jawaban saya tetap tidak!” tegas suara itu, kembali terluncur dari bibir Via tanpa sedikit pun mampu ia cegah. Pun tak dimilikinya kekuatan untuk menahan langkah kakinya yang bergerak mundur, berusaha menghindar dari kepungan tujuh orang asing yang telah kian merapat.

“Awww... tolooong!” jeritan Via lepas landas ke udara seiring dengan pijakan terakhirnya yang menyentuh ruang kosong.  Dua kali tersangkut pada pohon pisang sebelum akhirnya jatuh berguling di tanah dan... ahh! Darah segar muncrat dengan deras, dari perut sebelah kirinya yang tertancap batang kayu lapuk.

Via mengaduh keras. Seraya mencengkeram erat perutnya yang nyaris terburai. Sekuat tenaga berusaha menarik tancapan batang kayu. Namun, rasa sakit yang luar biasa menghentikan usahanya. Kedua tangan Via mengejang, lalu menggeletak pasrah di sisi tubuh. Samar terlihat olehnya tujuh kepala yang melongok di ketinggian, lalu satu per satu lenyap.

Sinar mentari pagi yang teduh beranjak garang menyilaukan, lalu berangsur menuju teduh kembali, merangkak gelap, dan kian lama gelap itu makin memekat. Pekat yang panjang. Tak diketahuinya berapa lama ia tergeletak, menunggu pertolongan yang hanya sebatas harap. Ia bahkan tak mampu lagi untuk mendesah. Juga menghirup hawa kering yang berembus dari arah laut. Sempat benaknya teringat Nila. Ke mana gerangan Nila? Tidakkah Nila melihat kehadiran tujuh orang asing tadi dan mendengar teriakannya?

Pandangannya yang mulai mengabur, samar menangkap enam bayang-bayang yang mendekat dan mengerumun. Saling bercakap-cakap lirih sebelum akhirnya membopong tubuhnya beramai-ramai. Dengan batang kayu yang masih menancap dan darah yang terus mengalir. Perjalanan terasa amat panjang. Via merasakan tubuhnya yang beralas matras terguncang-guncang serta telinganya menangkap bunyi sirene ambulans yang meraung kencang.

Perjalanan berakhir dengan tubuhnya yang direbahkan pada ranjang besi di ruang sempit beraroma karbol. Tiba-tiba saja telinganya menangkap suara gaduh. Jeritan-jeritan histeris membahana. Gemuruh suara tangis bercampur teriakan yang berulang-ulang memanggil sepotong nama.

“Annisaaa! Kenape kau tinggalkan kami?” 

“Annisaaa! Bukankah dah kucakap jangan urus lagi soal hewan-hewan tu?“ Suara pria dan wanita yang menjerit silih berganti. Rasa takut yang pekat, spontan menjalar di sekujur tubuh dan benak Via. Annisa. Mereka memanggil Annisa. Siapa gerangan dia?

Sepasang pria dan wanita yang terus menjerit dan menangis itu perlahan menepi. Memberi jalan pada seseorang yang baru tiba. Seseorang yang langsung berlutut di sisi ranjang dan menggenggam erat jemarinya. Tuhan! Bukankah itu... Fei?

Tak salah lagi. Pria jangkung itu kini tak hanya menggenggam jemarinya, melainkan memeluk erat tubuhnya yang terbaring kaku. Lalu membanjirinya dengan air mata yang mengalir deras. Bukan. Ini bukan tubuhnya. Juga bukan jiwanya. Melainkan jiwa dan raga milik Annisa. Setitik kesadaran itu mulai membentuk kumparan yang kian lama kian gegas melingkari alam pikiran Via. Seiring dengan kecemasan yang menyergap deras dari segala penjuru. Bagaimana hingga dirinya bisa ‘tersesat’ di sini? Di alam lain yang membentang peristiwa tragis akan seorang  wanita bernama Annisa? Wanita yang kemungkinan, pernah memiliki arti sedemikian besar dalam hidup Fei?

Sehelai kain putih ditutupkan ke wajahnya, membatasi pandangannya dari orang-orang di sekelilingnya yang kini mulai mengisak dan tenggelam dalam sedu sedan. Tidak! Via menjerit. Jeritan yang hanya menggema di dinding hati. Bebaskan aku dari sini! Aku masih hidup! Aku bukan Annisa! Hei, kalian dengarlah...!

“Via...  hei! Melamun saja! Ayo, cepat turun! Kapal sudah akan berangkat.”

Via tergeragap. Manusia-manusia di hadapannya telah berganti wujud. Putri dan Maya, yang entah kapan menyusul mereka, serta gadis tetangga Pak Rahman. Juga Nila, yang tengah asyik mengamati gambar-gambar yang terekam oleh kameranya. “Melamun lagi! Ayolah cepat naik ke motor. Kamu mau menunggu kapal dua minggu lagi untuk pulang ke Bintan?” Omelan Putri spontan mendistorsi lamunan Via.

Tak ada waktu untuk memikirkan. Apalagi untuk mengonfirmasi makna ‘mimpi’ barusan. Dan Via merelakan tubuhnya terduduk pasrah di boncengan motor yang segera bergerak, langsung menuju dermaga. Waktu yang tersisa hanya tinggal setengah jam lagi. Via mendapati dirinya yang berada di tengah arus penumpang yang berbondong-bondong menaiki kapal. Tubuhnya seperti baru saja menjadi sasaran sandsack. Letih dan kehabisan tenaga.

Kali ini Via tak lagi menuju ruang makan samping dapur ABK, melainkan langsung menyandarkan diri pada salah satu tiang yang terletak di dek depan.

Via menarik napas dalam-dalam, berkali-kali, memenuhkan rongga kosong dalam dadanya hingga detak jantungnya berangsur normal. Seorang ibu separuh baya berselonjor di sebelahnya. “Adek ni yang hari tu jadi juri di acara lomba masak, ye? Tak sangke ye, masih mude dah pintar masak.”

Via tersipu mendengar pujian polos itu. “Saya sebenarnya tak pintar memasak. Kemarin itu, saya hanya menilai penampilan dari hidangan. Oh, ya. Kenalkan, Bu. Nama saya Lyvia,” Via mengulurkan tangan, yang disambut sang ibu dengan menyebut namanya sebagai Aisyah.

Selanjutnya, pembicaraan mengalir lancar. Para ABK telah melepas jangkar. Kapal bergerak pelan. Suasana di dek mulai riuh oleh suara obrolan yang mendengung.

“Bu Aisyah, adakah seseorang bernama Annisa, pernah menetap di Tambelan?” pertanyaan itu meluncur begitu saja. Refleks dan spontan.

“Annisa yang kemenakan Sahak?” 

“I...iya,”  Via menjawab gugup. Tak diketahuinya siapa Sahak. Satu harapannya bahwa hanya ada dan hanya pernah ada satu Annisa yang tinggal di Tambelan.

“Annisa tu dah meninggal! Sahak dan istrinye pule, langsung menyeberang dan menetap di Kalimantan tak lama setelah kepergian Annisa.”

Meninggal? Seketika, detak kencang di dada Via kembali menalu.

“Kenapa... meninggalnya?”

Bu Aisyah tak langsung menjawab. “Nanti saje-lah kalau dah sampai, baru saye cerite. Pantang membicarakan hal yang tak baik di tengah laut.”

Tak baik? Apanya yang tak baik? Kematian Annisa-kah, ataukah penyebab kematiannya? Benak Via penuh dirundung penasaran, nyaris tak tertahan untuk segera ia tuntaskan. Namun, cepat ia sadari satu hal. Sekali berpantang, tetap berpantang. Demikian prinsip orang Melayu yang selamanya sulit diganggu gugat.

Waktu sehari semalam di atas kapal terasa bergerak amat lambat, seperti bayi yang baru belajar berjalan. Dan, sepasang kaki Via serasa tak sabar untuk segera menjejak ke daratan Bintan ketika keesokan siangnya kapal mulai merapat. Seperti pada saat tiba di Tambelan, kali ini pun penumpang turun dengan berbondong-bondong, berdesak dan berimpitan. Mendadak, Via tergeragap. Hanya beberapa menit ia bergegas ke kamar mandi, Bu Aisyah bersama rombongan kecilnya telah tak terlihat lagi.

Via menajamkan penglihatan, seraya mengulurkan leher, ketika dirinya telah berada di tengah arus penumpang yang menuruni tangga. Namun, bayang Bu Aisyah pun sudah tak tampak. Via mendengus kesal. Sesungguhnya, ia bisa saja berbuat konyol, dengan mencegat warga Tambelan yang lain untuk bertanya tentang Annisa. Namun, pikiran warasnya cepat melarang.

Setiap penumpang telah menunjukkan gejala fisik teramat lelah dan wajah yang menyiratkan keinginan untuk segera melabuhkan raga yang penat di cangkang ternyaman: rumah. Jadi, kalaupun memang ada yang mengetahui tentang Annisa, kecil kemungkinan sudi meluangkan waktu untuk berpanjang lebar menceritakan kepadanya.

Via langsung menghubungi Rachmat ketika tubuh letihnya telah ia empaskan di atas ranjang, meminta Rachmat untuk mengirimkan nomor ponsel Pak Burhan. Hanya rasa gatal dan gerah yang sejenak menginsafkan pemikiran Via untuk terlebih dulu membersihkan diri.

Nomor Pak Burhan langsung ia tekan setelah mandi dan bersalin pakaian. Mengabaikan keheranan pria tua itu terhadap pertanyaannya tentang Annisa. Sayang, jawaban yang didapat, tak jauh berbeda dengan apa yang ia peroleh dari Bu Aisyah. Hanya ada satu informasi tambahan dari Pak Burhan, bahwa Annisa pernah merintis usaha penangkaran penyu sebelum akhirnya usaha itu terhenti begitu saja.

Penangkaran penyu. Neuron-neuron di kepala Via cepat merangkai koneksi. Jemarinya gegas meraih dan menghidupkan laptop, lantas mengetikkan satu kalimat pada mesin pencari google.
Dalam hitungan beberapa detik, satu per satu informasi terpapar di layar datar. Via menelusuri seksama. Namun, hingga pencariannya berakhir, tak ditemukannya sepotong nama Annisa, pernah terlibat dalam upaya penangkaran penyu di Tambelan.

Lelah sejenak mengalihkan gerak jemari Via, yang menggeser kursor menuju weblog pribadinya. Weblog yang didominasi koleksi foto dirinya dalam berbagai pose. Ingatannya sontak tertuju pada seseorang: Fei!

Ya! Bukankah Fei adalah ‘tokoh’ yang sempat muncul dalam sekelebatan peristiwa aneh itu? Via tertegun. Telah belasan tahun ia ikhlas menjalani ‘anugerah’ Tuhan. Anugerah melihat dan merasakan ‘mereka’ yang tak teraba oleh visual manusia normal. Namun, baru untuk pertama kali dirinya mengalami ‘penyatuan’ dengan dimensi yang selama ini setia mengikuti tak ubahnya bayang-bayang sendiri.

Seorang spiritualis kenalannya pernah mengatakan, bahwa mereka membutuhkan energi teramat besar untuk menampakkan diri, meski dalam wujud samar sekalipun. Lantas, seberapa besar gerangan energi yang mereka serap untuk bisa ‘menarik’ seorang anak manusia untuk dapat menyatu dan merasakan dunianya? Dunia yang pernah mereka alami di suatu episode masa lalu? Dunia yang dulunya adalah dunia yang sama dengan apa yang Via jalani sekarang?

Kian lama dorongan tanya itu kian melesak, menuntutnya untuk segera mencari dan menemukan jawaban. Ia yakin. Ada sesuatu yang hendak ‘ditunjukkan’ oleh Annisa, hingga ‘mengajaknya’ untuk memasuki dimensi tak teraba dan berbagi sepenggal kisah rumit itu dengannya.

Via kembali mengangkat ponsel. Kali ini mengirim pesan singkat pada Ian, yang diketahuinya pernah bertugas di seksi kehumasan bersama Fei. Tlg, krm alamat dan no. Fei. Sgr.

Keraguan itu sesaat menyergap, saat langkahnya tiba di depan rumah kontrakan Fei yang merangkap studio mini tempatnya mengedit dan memproses hasil dokumentasi. Namun, cepat ia enyahkan keraguan itu sebelum sempat menyurutkan niatnya dan berbalik mundur. Ini yang terakhir, demikian janjinya dalam hati. Tak akan lagi ku bersusah payah mencari tahu tentang Annisa, andaikan tak kuperoleh apa pun dari Fei.

Via mengetuk pintu dan mengucap salam. Sebait suara halus menjawab dari dalam dan mempersilakan ia untuk masuk. Seorang gadis belia menyambutnya dengan senyum ramah. “Kakak pasti yang bernama Lyvia? Abang sedang keluar, katanya, kalau Kakak sudah datang, tolong menunggu sebentar.”

 Via mengangguk, lalu duduk di sofa sederhana yang ditunjukkan gadis itu. Seraya menunggu, tangannya terulur pada album-album foto yang tersusun rapi di bawah meja. Via meraih satu darinya, dan mulai membuka. Panorama pantai dan laut adalah yang paling banyak mendominasi isi album. Rasanya, Via pernah melihat pantai itu. Sekilas, mengembalikan ingatannya pada pulau terpencil yang belum lagi genap dua hari ia tinggalkan.

Terdapat beberapa gambar Fei di sana. Ada yang sendirian, ada pula yang berdua dengan seorang gadis berparas manis. Foto mereka tampak mesra. Bergandengan tangan, duduk berdampingan di gundukan pasir, juga berkejaran di bibir pantai. Via merendahkan matanya, ingin melihat jelas wajah gadis itu.

Ya, Tuhan! Album di tangan Via terlepas. Meluncur dan jatuh ke lantai. Wajah gadis itu, tak sedikit pun menggoyahkan keraguannya. Wajah yang di hari-hari terakhir ini setia mengikutinya, bahkan hingga ia menjejakkan kaki ke Tambelan!

“Setan apa yang membawamu sampai kemari dan berkeras untuk menemuiku? Aku bahkan belum mandi, tahu!”

Via yang masih menunduk seraya memungut album, spontan berdiri. Fei menatapnya dengan sepasang mata letih, namun memancarkan sorot yang sama sekali tak bersahabat.

“Aku hanya sebentar. Tolong, kamu hanya perlu menjawab pertanyaanku. Dan kumohon, jangan bertanya apa pun.”

Fei mendengus sinis. “Baik! Cepat katakan. Aku bisa mati kegerahan melihatmu berlama-lama di sini.”

“Tolong ceritakan padaku tentang... Annisa.” 

Wajah Fei spontan memucat.

"Untuk apa?”  

“Kumohon, penuhi janjimu. Jangan dulu menanyakan apa-apa. Tak akan bisa kujelaskan sekarang.”

“Siapa pun tak berhak tahu tentang Annisa!” suara Fei mengguntur. Guntur yang justru menaikkan pacu adrenalin Via untuk segera mempercepat tuntasnya keingintahuannya.

“Kenapa? Karena ia meninggal dengan cara tak wajar?”

“Diam! Jangan sembarang bicara.... !”

“Aku tidak sembarang bicara! Annisa ditemukan di tepi pantai dalam kondisi sudah tak bernyawa dan berlumur darah! Sekumpulan orang yang berniat menghalangi usaha penangkarannya telah menyebabkannya jatuh lalu meninggal!” Kalimat Via mengalir deras. Tatap matanya tak berkedip. Tertuju lekat pada Fei.

Tiba-tiba saja, pria itu mengendurkan arogansinya. “Kalau begitu, apa lagi yang hendak kau ketahui?” pertanyaan Fei terucap lirih. Nyaris tak bertenaga.

Untuk pertama kalinya mata elang itu menatap lemas.

Lirih itu justru membuat Via terenyak. Kontras dengan keberaniannya barusan saat berbicara lantang membalas makian Fei. Lantas memaki kebodohannya sendiri.

Mengapa bibirnya terlalu cepat mengurai fakta? Fakta yang justru bersumber dari alam mimpi yang tak mungkin menggores bukti? Mendadak, Via merasa energinya menguap. Seperti pelari maraton yang kelelahan dan nyaris mengalami dehidrasi saat telah mencapai garis finish. 

Ya. Apa lagi yang hendak ia ketahui? Dan apa perlunya?

Mimpi itu, juga foto-foto di album Fei. Rasanya, itu sudah lebih dari cukup. Toh, ia tak memiliki kepentingan dan hubungan sebab akibat apa pun dengan masa lalu Annisa. Peduli dengan ‘niat’ Annisa yang hendak menunjukkan sesuatu padanya. Bukankah ia telah cukup berbaik hati untuk menuruti ‘keinginan’ Annisa dengan mendatangi Pantai Penepat?

“Maaf, telah mengganggu waktumu. Aku pulang dulu,“ pamit Via, seraya berlalu dari hadapan Fei yang bergeming, tak berusaha menahan langkahnya ataupun sekadar mengangguk dan mengangkat wajahnya yang tertunduk kelu.

Penat tubuh Via serasa bertambah lima kali lipat saat telah kembali ke rumah. Layar laptop-nya masih menyala, dengan tulisan namanya yang membentuk gerak horizontal menari-nari pada screensaver. Karena terburu-buru membuatnya lupa mematikan laptop.

Via duduk di hadapan laptop seraya menggerakkan mouse tanpa tujuan. Tulisan-tulisan yang kemudian kembali bermunculan di layar, masih tentang berita-berita seputar penangkaran yang beredar di berbagai website. Via bahkan lupa untuk memutuskan koneksi internet dengan modem yang masih terpasang.

Penangkaran penyu. Kalimat itu berembus lirih dari bibir Via seiring dengan tarikan neuron-neuron di kepalanya yang bergerak menuju ke satu fokus. Jemarinya pun telah kembali lincah mengarahkan gerak kursor.

Ada sesuatu yang menggelitik benaknya. Sesuatu yang selama ini tak pernah sedikit pun melintas di pikirannya, tentang betapa pentingnya upaya perlindungan satwa yang nyaris punah. Dan, dalam kasus penangkaran penyu di Tambelan, terdapat ironi yang menyeruak, antara upaya pemerintah untuk mempertahankan eksistensi penyu dari kepunahan, dengan pemutusan sumber nafkah masyarakat yang banyak bergantung pada penjualan telur penyu.

Perlahan, adrenalin Via yang sempat drop drastis kembali bergerak naik. Seakan dirinya dapat melihat wajah Annisa terpantul jelas di layar datar, berlatar belakang pantai berpasir putih dan kaki-kaki mungil hewan melata yang bergegas mencapai laut, seperti apa yang Via lihat pada beberapa lembar foto di album Fei.

Inikah yang hendak kau tunjukkan? Besarnya luapan semangatmu untuk mempertahankan eksistensi penyu dari kepunahan?

Setetes tiara bening meloncat, membasahi sudut mata Via. Aneh. Mengapa tiba-tiba saja harus tebersit rasa kagum, akan perjuangan seseorang yang hanya pernah wujud dalam keleluasaan visualnya?

Nirwana Garden Resort, Lagoi, tiga bulan kemudian
Tempik sorak sambung-menyambung. Mengiringi ratusan anak penyu yang meluncur dari puluhan tangan mungil, seraya mengungkap kalimat sukacita dalam beragam bahasa yang berbeda. Semua mata tertuju lekat pada gerak halus di atas pasir yang tanpa ragu merayap, kian lama kian gegas, seakan berlomba hendak lebih dulu mencapai bibir pantai.

Event tahunan yang digelar oleh resort terkemuka itu, adalah salah satu acara yang paling banyak diminati turis. Terutama para bocah yang diperkenankan untuk melepas penyu dengan tangan mereka sendiri. Merasakan gelinjang kaki anak penyu di genggaman tangan sebelum dilepas, lalu berteriak-teriak memberi dukungan pada ‘jagoan’ mereka saat berlomba menuju laut, yang mereka beri nama sendiri dengan turtoise race, telah menghadirkan kesan keunikan tersendiri di benak para turis kanak-kanak itu.

Via mengamati semuanya dari kejauhan. Membiarkan kelegaan yang damai, perlahan merasuki jiwanya. Juga kegelapan, sejenak menutup pandangannya.

Andai kau di sini, pasti kau akan merasa lebih dari bahagia.

“Untukmu!” sepotong kata berseru di telinga Via yang masih terpejam. Via membuka mata, dan ... “Hey! What a surprise!”  Via terpekik. Buletin itu cepat berpindah tangan, dan kedua matanya yang lincah menyusuri lembaran buletin yang memajang foto dirinya saat berdiri di depan meja hidangan dalam ukuran cukup besar. Dua baris kalimat tertera di bagian terbawah, nyaris tak terlihat saking kecilnya. Lokasi pemotretan, dan nama sang fotografer.

“Hmm. Baru hari ini kuketahui nama lengkapmu. Ferry Irwansyah. Sayang, namamu terlalu bagus untuk disingkat menjadi Fei,“ komentar Via, sambil melempar senyum pada Fei yang telah duduk di sisinya, namun pria itu justru mengalihkan pandangannya pada kerumunan turis, juga event pelepasan anak penyu yang masih berlangsung.

“Kau tahu ada berapa ekor anak penyu yang dilepas hari ini? Tak kurang dari dua ratus ekor! Ini jumlah terbanyak sejak event diadakan dua tahun lalu,” ucap Fei antusias, seraya mengarahkan camcorder-nya pada deretan anak-anak penyu yang telah  makin dekat ke bibir pantai.
“Jejak seribu penyu. Telah terpenuhi impianmu...”

“Apa? Kamu bicara dengan siapa?” wajah Fei memerah. Di luar dugaannya kalau lirihnya tertangkap oleh Via.

“Berhentilah menyimpan sendiri semua permasalahan dan kenangan. Semua itu akan saling tumpang tindih dan berakumulasi membentuk sebongkah beban yang kelak tak akan mampu kau tanggung sendiri.”

Fei menoleh. Ada kesungguhan tergambar jelas di wajah gadis itu. Kesungguhan yang dalam beberapa detik kemudian, untuk pertama kalinya berhasil mendongkrak sebait kejujurannya.

“Itu mimpi Annisa. Mimpi untuk menorehkan jejak seribu penyu di pasir putih sebelum hewan-hewan itu meninggalkan tempat persinggahan dan kembali ke habitat asalnya. Aku masih menyimpan semua catatannya, catatan akan jumlah penyu yang dilepas ke pantai. Dan hari ini, genap sudah seribu penyu, bahkan lebih dua puluh lima ekor, yang dilepas sejak hari pertama Annisa melakukannya.”

“Apa yang kau rasakan sekarang? Setelah bicara jujur?”

Untuk sesaat, Fei melakukan seperti apa yang secara diam-diam ia amati sering dilakukan gadis itu. Memejamkan mata. Untuk beberapa detik. Lalu membukanya perlahan-lahan.

“Tenang. Seperti laut tanpa gelombang. Seperti desir angin pantai jelang dini hari. Terima kasih banyak. Karena sudah memberi aku masukan.”

Dan Via membiarkan pria di depannya kembali memejamkan mata serta menghirup napas dalam-dalam. 

“Sekarang giliranmu untuk bicara jujur.”

“Aku?” Sepasang alis Via mengernyit. Namun, kernyitan itu spontan berhenti saat beradu dengan tatap Fei yang lekat memakunya.

“Ceritakan padaku, bagaimana kau tahu tentang Annisa?”

“Kau benar-benar ingin tahu?”

Fei mengangguk.

Sejenak, Via terdiam oleh ragu. Namun, tatap mata yang kian meneduh itu, perlahan tapi pasti memberangus keraguannya dari mengungkap kejujuran yang sama. Kejujuran yang selama ini tak pernah ia ungkap terhadap siapa pun. Bukankah Fei telah membagi secuil kejujurannya tanpa sedikit pun keraguan?

“Begini....”

Bibirnya mulai bertutur, dan sungguh, ia tak peduli apakah Fei kelak akan percaya atau tidak.

No comments: