12.22.2010

Kamulah Mendung dan Matahariku

Cinta yang besar selalu ada tantangan….

"Jhon pulang….
“Pulang sama Parni?”

“Iya. Parni yang bilang begitu. Anaknya sekarang sudah mau empat.”

Srintil sejenak menghentikan apa yang dilakukannya. Daun telinganya sedikit ditegakkan.

“Jhon bisa balik ke kampung ini kapan-kapan….”

“Hush…..”

Masih siang.

Angin bertiup cukup kencang. Pakaian yang berada di tali jemuran sebenarnya belum kering semuanya. Tapi Srintil mengambilnya untuk kemudian melipatnya.

“Anak itu bisa stres nanti dengarnya….”

Lamat-lamat ia masih mendengar suara itu. Lalu menghilang ketika ia akhirnya menolehkan kepalanya.

Angin masih saja bertiup kencang.

Srintil masuk ke dalam rumahnya.


Dahulu, dahulu Sekali….

"Yang ini namanya Bebek……”
“Bukan! Namanya soang!”

“Idih, Bebek…,” jemari kekar itu mencubit pipi gempil Srintil. “Pipi ini namanya pipi tembem.

“Idih…., nanti Srintil bilang sama Mbok.”

“Mbok kamu kan lagi ke pasar. Pulangnya baru sore,” lagi pipi gembil Srintil dicubit.

“Mbok….,” suara lantang Srintil tiba-tiba berbunyi.

Sebuah kepala menegok ke dalam rumah.

“Kamu lagi pacaran sama anak kecil ya, Jhon?” terdengar suara lain.

Jhon tertawa. Srintil sudah kabur entah kemana.

 "Pipi kamu merah-merah, Nduk.”
Srintil berdiri dekat Mboknya. Mengamati apa yang dilakukan. Seekor ayam yang hampir saja memakan makanan di piringnya yang ditaruh di tanah, nyaris kena tendangannya.

“Dicubit siapa?”

“Mas Jhon…,” dia berlari. Berputar-putar.

“O alah si Jhon gemblung.”

“Dibeliin permen juga sama Mas Jhon.”

Mbok menggeleng. Mengamati Srintil. “Tidak boleh lagi makan permen.”

“Permen cokelat enak, Mbok.”

“Nanti gigimu sakit.”

“Kata Mas Jhon, tidak akan sakit.”

Sebuah gelengan terlihat lagi. “Ayo tidur. Sudah siang.”

“Mas Jhon mau ngajak main…”

Tak ada jawaban. Mbok mengangkat tubuh Srintil dan membawanya masuk ke dalam rumah lalu menguncinya.

"Ssst…., mbokmu ada?”
Srintil kecil tahu siapa yang berbisik. Dari jendela yang ada di ruang depan yang terbuka tirainya ia melihat sosok kepala tersembul.

Srintil meringis. “Mbok lagi pergi. Pintunya dikunci dari luar,” tubuh kecilnya menyeret kursi dari rotan yang sebagian lilitan rotannya sudah keluar dari jalurnya. Kemudian naik ke atasnya.

“Mau permen?”

Srintil cengengesan. Deretan gigi hitamnya kelihatan jelas sekali.

“Kalau mau permen…,” tak ada lagi kelanjutan. Dari dalam terdengar suara memanggil Srintil.

Jhon langsung berlari.

Sebelumnya ia sempat menjawil pipi anak yang telah membohonginya.


"Kamu ini gimana, toh?”
Jhon bangun dari rebahannya. Matanya memandang ke arah ibunya yang tengah memandang ke arahnya. Kerjaanmu cuma duduk dan tidur. Setelah itu menggoda Srintil. Anak itu masih kecil. Nanti apa kata orang? Dikiranya kamu mau melakukan hal-hal yang jelek sama anak itu.

Di luar gelap. Tirai jendela yang seharusnya berwarna putih tapi karena begitu kotornya sudah berubah warna menjadi gelap itu berterbangan ditiup angin. Korek api yang Jhon nyalakan untuk menyulut rokoknya beberapa kali mati tertiup angin.

“Adik-adikmu sudah menikah semua. Kamu sendiri luntang-lantung tak karuan. Malu aku ini, Jhon.”

Jhon menyeringai. Tawa Srintil membuatnya ingin tertawa bila mengenangnya. Anak kecil itu menggemaskan. Entah kenapa ia lebih tertarik kepada Srintil daripada anak-anak tetangga yang lain.

“Ibunya Parni kemarin tanya-tanya soal kamu.”

Jhon menghembuskan asap rokoknya. Mulutnya dimonyongkan hingga asap rokok yang ke luar dari mulutnya berbentuk bulatan. Setelah itu ditiupnya hingga bulatan itu terpecah di udara.

“Kamu kenal Parni, kan?”

“Hmmm.”

Di luar mulai hujan. Bau tanah.

“Ibunya Parni tanya-tanya soal kamu. Anak itu cukup rajin, lho, Jhon. Dia penurut sejak dulu. Sayang, Wawan adikmu itu lebih memilih gadis di perantauan. Padahal dulu Ibu sudah janji sama ibunya Parni.”

“Berjodoh sama Parni?” Jhon menghembuskan asap rokoknya lagi. Memonyongkan bibirnya lagi. Wajah Srintil terbayang-bayang. Ia jadi tertawa sendiri. Anak kecil itu selalu saja ia ingin cubit pipi dan seluruh tubuhnya yang gempal.

“Gimana? Anak itu hampir setiap hari lewat di sini. Kerja ikut orang. Konveksi di kampung sebelah. Kapan lagi dapat yang seperti itu.”

Hujan semakin deras. Jhon menarik kain sarungnya dan menyelimuti tubuhnya. Beberapa hari belakangan ini ia kurang enak badan.

“Ibunya bilang ada kerjaan di kampung sebelah. Kalau kamu mau kamu bisa ikut besok trus….”

“Trus menikah dengan Parni.” Jhon tertawa.

Ia ingat Parni yang kurus dan rambutnya seperti rambut jagung. Kecilnya dulu mereka sering berkelahi. Parni kurus yang paling berani melawan dia. Setiap anak perempuan yang dia goda pasti menangis. Tapi beda dengan Parni. Parni akan melawan dengan menendang kakinya.

Pernah ia mengejek rambut Parni seperti rambut orang-orangan sawah. Parni langsung menimpuknya dengan batu. Kena kepalanya. Bocor. Dan sejak itu dia tidak berani lagi mengatai-ngatai Parni seenaknya.

“Gimana? Umurmu sudah berapa, toh?”

Jhon mengerinyit. Memandang ibunya. Menghitung bambu di bale-bale.

“Parni itu biar gemuk…”

Jhon terkikik. Parni yang kurus memang sudah berubah jadi gemuk sekarang setelah setahun menjadi TKW di Malaysia. Rambutnya yang tipis dan merah sudah berganti menjadi hitam dan cukup tebal. Memang ada satu yang tidak berubah, sikapnya masih saja sama seperti dulu. Berani berbantah-bantahan dengan Jhon bila mereka bertemu di mulut kampung dan mulut Jhon iseng memanggilnya dengan panggilan gendut.

“Kamu kenal Parni, kan?”

“Parni gendut,” Jhon seperti meralat. “Kalau jadi istrinya tidak perlu lagi beli kasur. Bukan begitu, Bu?” ia cengengesan. Suaranya bersaing dengan desir angin yang masih bertiup lumayan kencang.

“Kalau kamu mau, Ibu tinggal memanggil saudara-saudaramu yang lain untuk melamar. Siapa lagi yang mau denganmu, Jhon?” Pandangan mata tua itu menerawang. “Setelah itu pergi dari kampung ini. Buang sial. Seperti adik-adikmu yang lain. Biar Ibu yang di sini jaga kuburan bapakmu.”

Hening.

Kali ini benar-benar hanya suara hujan dan angin.

Jhon melirik sarung yang dikenakannya. Lalu menariknya. Ia tahu Ibu melihatnya, tapi tidak menegurnya. Sudah biasa beliau mungkin menghadapi sikap anak-anaknya setiap bercerita tentang laki-laki yang disetiainya sampai mati itu.

“Parni itu sudah cukup umur…”

“Perawan tua,” Jhon cengegesan lagi. Ia menarik kakinya yang dicubit oleh ibunya.

“Keluarganya baik-baik. Bersyukur kamu dipilihnya…”

“Parni…,” Jhon mendesah.

“Kata ibunya kalau sudah menikah nanti dia akan ke Malaysia untuk cari uang. Enak kamu, Nak. Jaga rumah, jaga anak.”

“Cari pacar lagi..”

“Sinting!”

Hening.

Hujan sudah berhenti.

Tiba-tiba terdengar suara anak-anak berteriak. Satu suara Jhon kenali hingga ia bangun dan berjalan ke arah jendela.

“Mau permen, nggak?”

Srintil yang telanjang dada sambil kepalanya ditutupi payung dari daun pisang oleh salah satu temannya yang lebih besar menggeleng sambil tertawa. Lalu berlari sambil meleletkan lidahnya.

“Siapa?”

“Srintil?”

“Kamu suka sama anak itu?”

Jhon diam.

“Sinting!” sebuah cubitan terarah ke tangannya.

Jhon hanya diam. Tersenyum memandang tubuh Srintil yang sudah menjauh.


"Jadi benar kamu mau kawin sama Jhon?”
Parni menoleh ke arah Ita. Tersenyum. “Kamu kenal Jhon, kan?”

Ita mencibir. “Siapa yang tidak kenal dia? Seisi kampung kenal keluarganya. Kamu ingat tetanggaku yang…,” ia sengaja menggantung kalimatnya. Matanya memandang ke arah Parni.

“Aku ngerti…..,” Parni menunduk. Resah. Kemudian tersenyum sendiri.

Ia ingat Jhon yang dulu. Semasa sekolah. Bekas luka karena didorong Jhon di dengkulnya masih berbekas hingga sekarang.

“Kamu jatuh cinta sama Jhon?”

Parni memandangi perut Ita. Membuncit. Dua bulan lagi akan melahirkan. Anak ketiga. Dia ingin mengalami hal yang sama seperti itu.

“Sama pak Syamsul saja, Par. Duda yang baik. Kamu ngejar-ngejar Jhon bikin dia besar kepala,” jahitan yang sudah selesai di lemparkan Ita ke sudut tempat tumpukan pakaian lainnya yang sudah selesai.

Parni diam.

Dari jendela tempat ia duduk sekarang ia bisa melihat seorang laki-laki setengah tua dengan rambut beruban yang tengah mengayuh sepedanya. Sekilas tadi, kepalanya sempat menoleh ke arah Parni lalu mengangguk sebelum akhirnya menghilang.

“Jhon kerjanya tidak jelas. Orangnya tidak jelas. Senangnya di dalam rumah. Masih menyusu sama mboknya. Sudah sebesar itu tidak mau cari kerja. Apa kamu mau kalau jadi istrinya kamu yang terus-terusan kerja? Untung Mas Lili tidak seperti itu,” tangan Ita menghelus perutnya. “Jangan asal-asalan milih pasangan, Par.”

Parni masih diam. Ia selalu tidak bisa membantah apa yang dikatakan Ita. Meski sama-sama lulusan sekolah kampung, tapi Ita pernah kerja jadi TKW di luar negeri beberapa kali. Omongannya pintar. Suaminya juga bertemu di tempat dulu ia bekerja. Hidup mereka paling makmur. Parni kerja di konveksi kepunyaan Ita.

“Kamu jatuh cinta sama Jhon?”

Parni tersenyum kecil. Ia bukan Cuma jatuh cinta tapi mungkin terobsesi. Sejak dulu sampai sekarang tidak ada cowok lain di kepalanya selain Jhon. Ia selalu berniat untuk menikah dengan Jhon. Awalnya orang tuanya melarang tapi setelah usianya melewati umur 25, mereka pasrah sambil menghelus dada.

“Pak Syamsul baik…”

Parni menggeleng. “Hari ini aku buat kue untuk Jhon. Pulang nanti aku mampir ke rumahnya…”

Ita menggeleng. Menghelus perutnya. Ia sangat kasihan pada Parni.


"Oalah semua sinting. Anakmu yang manis itu mau diberikan sama Jhon? Laki-laki yang baik banyak. Kenapa mesti Jhon?”

Di dalam kamar Parni berdiri di muka cermin sambil mendengarkan. Bu De Sri kalau bicara memang begitu. Seenaknya.

“Apa kalian tidak malu kalau nanti Jhon seperti bapaknya. Wong aku sampai umur sekarang tidak menikah tidak apa-apa. Biar Parni cari sendiri. Seperti kambing saja ditawar-tawarkan.”

Parni tersenyum. Lalu menautkan kedua alisnya. Tubuhnya gemuk. Lemak di sana sini. Ia jadi minder kalau berdekatan dengan laki-laki. Tapi dengan Jhon mindernya hilang.

“Setelah nikah nanti Parni mau dikasih makan apa?”

“Parni mau ke Malaysia, Mbak. Nunggu hamil dan punya anak. Setelah itu cari kerja di luar.”

“Lalu si Jhon tidak kerja. Mau dikasih makan batu apa keponakanku itu?”

Hening.

“Ada sawah di dekat sungai. Kepunyaan saya,” Bapak bersuara.

Hening lagi.

“Parni mana?”

Parni bergegas menyisir rambutnya. Ia tahu jawaban apa yang akan diberikan pada Bu de Sri nanti perihal keputusannya. Ia akan katakan kalau ia sangat mencintai Jhon.


Gending itu terdengar.

Srintil melemparkan potongan kecil kuenya ke arah ayam-ayam yang berkerumun di dekatnya seperti menunggu belas kasihannya.

Suara gending terdengar nyaring sekali. Teman-temannya yang melintasi rumahnya berlarian memanggil namanya.
Mengajaknya bermain ke tempat arah suara gending itu.

“Mau ikut apa tidak?”

Srintil memandang ke arah Mbok. Pakaian Mbok rapi. Rambutnya disanggul. Kebayanya pasti baru diambil dari dalam lemari. Kemarin khusus untuk kondangan. Mbok paling sayang sama kebaya itu.

“Hayo….”

Teman-temannya yang melintasi rumah Srintil memanggil lagi. Mereka bergandengan dengan mbok dan bapaknya. Srintil pasti cuma akan menggandeng. Tidak ada Bapak. Srintil tidak punya bapak. Mbok bilang Srintil lahir dari buah semangka. Tapi tetangga bilang Bapak ninggalin Mbok dan Mbok tidak mau cari Bapak lagi.

“Hayo…”

“Mas Jhon mau nikah…. Nikah itu apa toh, Mbok?”

Mbok menyatukan kedua alis tipisnya. “Kamu kenapa?” nalurinya sebagai ibu membuatnya mengulurkan tangan menghelus rambut Srintil.

Ia jadi ingat, sejak seminggu yang lalu Srintil berubah menjadi diam. Suka pura-pura main sandiwara terus menangis sendiri. Dan yang mengherankan tiba-tiba saja Srintil jadi benci sama sesuatu yang kelihatannya besar. Pak De Arif, tetangga sebelah rumah yang tubuhnya gendut jadi sering dikata-katai Srintil. Padahal sebelumnya Srintil paling dekat sama Pak De Arif.

“Nikah itu berarti dikasih baju bagus kan, Mbok?”

“Nikah itu berarti…,” mata Mbok berair. Ia jadi ingat bapaknya Srintil yang tidak pernah mau menikah dengannya setelah memberinya seorang Srintil. Alasannya karena sudah punya istri.

“Punya anak. Mbok?”

Mbok mengangguk. “Kamu mau ikut ke tempat Mas Jhon?”

“Yang gendut itu nanti akan punya anak. Mbok?”

“Mbak Parni…”

Srintil melengos.

Mbok berdiri dari duduknya. “Kamu jadi tidak mau ikut?”

“Nanti tidak ada yang kasih Srintil permen lagi…”

Mbok diam.

“Nanti tidak ada yang ngajak main Srintil lagi.”

Mbok masih diam. Hatinya terasa tersayat. Setiap hari ia sibuk meninggalkan Srintil sendirian. Ia kerja di kampung sebelah jadi pembantu. Kadang-kadang mengajak Srintil. Tapi Srintil lebih suka main sendiri. Setiap pulang pasti Srintil sudah menunjukkan permen-permen yang katanya diberi oleh Jhon.

“Nanti tidak ada yang ngasih permen…”

Mbok menunduk. Sebenarnya ia kurang suka dengan Jhon. Bapaknya yang main serong sama istri lurah kemudian diamuk oleh penduduk kampung sampai tewas dulu sering menggodanya. Jhon sendiri kelihatannya matanya nakal. Tapi di depannya anak itu sering kelihatan ketakutan. Penduduk kampung juga tidak perduli pada Jhon.

“Mbok….”

“Nanti Ibu akan belikan kamu permen.”

Srintil berdiri dari duduknya. “Srintil mau ketemu Mas Jhon.” Jemarinya menyentuh jemari Mbok.

Mbok tersenyum. Menggandeng Srintil berjalan pelan-pelan.


Mata itu memandangnya. Memperhatikan dari ujung rambutnya sampai ujung kakinya. Membuat Jhon ingin menundukkan kepalanya untuk menghindari
tatapan itu.

Parni yang duduk di sampingnya tak berhenti menggariskan senyum di bibirnya. Sesekali mencubit tangan Jhon. Seperti bahagia.

Undangan tak henti mengalir sejak tadi pagi. Orang tua Parni memang cukup dihormati di kampung. Tapi Jhon dapat membaca beberapa tatapan tamu yang sepertinya memandang rendah padanya.

Tapi tatapan yang tajam itu berbeda dari tatapan para tamu. Seperti marah padanya. Seperti menahan tangis.
“Siapa anak kecil itu…”

Jhon pernah cerita pada Parni soal Srintil. Soal kedekatannya karena ia suka dengan gaya lucu Srintil yang tidak punya Bapak. Parni bilang nanti setelah menikah ia akan memberi Jhon anak lebih lucu dan lebih manis dari Srintil.

Jemari Parni terulur. Melambai ke arah Srintil.

Srintil kelihatan ketakutan untuk mendekat. Tapi Jhon lihat tangan Mbok menarik tangan Srintil.

“Kalau aku tinggal kerja di Malaysia nanti, dia bisa menjaga anak kita. Srintil suka anak-anak, kan?”

Jhon mengangguk.

Sejak awal semuanya diatur oleh Parni. Termasuk rencana pernikahan. Termasuk di mana mereka akan tinggal setelah menikah. Termasuk kapan mereka akan mempunyai anak. Bahkan juga sayur-sayuran yang harus Jhon makan untuk cepat-cepat menghasilkan anak.

Parni sendiri setelah itu akan bekerja di luar negri. Alasannya ia sudah punya pengalaman dan tahu celahnya. Jhon diminta di rumah saja menjaga anaknya nanti bersama ibunya.

Srintil kelihatan mendekat. Perlahan. Seperti ketakutan.

“Mau permen?” Itu yang Jhon tanyakan waktu akhirnya berdiri di hadapannya dengan wajah menegang. Mbok Srintil sendiri asyik bicara dengan Parni. Parni memang cukup ramah.

“Mau permen?”

Srintil kecil mengangguk. Tangan Jhon menjulur mengambil permen yang berada pada wadah piring di meja kecil di sampingnya.

“Untuk kamu…”

Tangan mungil itu terjulur. Membuka kulitnya lalu mengulumnya. Matanya berbinar-binar.

“Nanti kamu akan dapat permen terus dari Mas Jhon,” tangan Parni terulur menghelus kepala Srintil.

Srintil mengangguk. Memandang Mboknya sambil tersenyum.

Rustam, pemuda dari kampung sebelah, naksir Srintil. Tapi gadis itu tak punya perasaan apa-apa kepadanya.

Mimpi Itu Indah, Srintil

Sudah sore.
Srintil berdiri di depan hamparan sawah yang sudah menguning. Langit senja cerah. Sepeda yang dipakai Srintil digeletakkan begitu saja dan ia duduk melamun sambil matanya memandangi anak-anak kecil yang berlarian berkejaran di pematang sawah.

“Ceritanya begini…”

Srintil menoleh sesaat lalu kembali lagi pada posisi semula.

“Kamu ini bagaimana, sih?” Pahanya dipukul. Cukup keras.

“Kenapa?” akhirnya mulut Srintil mulai bicara. Wanti memang cukup cerewet dengan dua tahi lalat di kedua ujung bibirnya.

“Rustam itu, kan…”

Srintil tersenyum. Rustam, pemuda dari kampung sebelah yang jadi teman sekelasnya itu memang kata anak-anak naksir padanya. Tapi Srintil tidak punya perasaan apa-apa meski Rustam manis dan hampir setiap hari membawakan belimbing untuknya.

“Kalau kamu pacaran sama dia….”

Kedua alis Srintil bertaut. Ia hampir terlonjak dari duduknya ketika mendapati seorang anak kecil terjatuh di pematang. Untunglah anak-anak yang lain sigap membantu si kecil yang sekarang menangis kesakitan sambil memegangi dengkulnya.

“Bagaimana?”

Mbok selalu melarangnya berdekatan dengan laki-laki. Nanti, kata Mbok, kalau dia sudah cukup umur dan sudah tahu mana laki-laki yang baik dan mana laki-laki yang tidak baik. Sekarang dia masih kecil. Wong, makan saja kadang-kadang dia suka minta disuapi si Mbok kalau sedang ingin bermanja-manja.

“Aaah, kamu masih nunggu…,” mulut Wanti terbuka. Tertawa.

Wajah Srintil memerah. Cuma Wanti yang paling tahu apa yang ada di hatinya. Bukan karena ia cerita tapi Wanti memang mudah menebak perasaan orang lain.

“Kamu kan….”

Satu, dua, tiga…, Srintil menghitung dalam hati. Umurnya baru sebelas tahun bulan kemarin. Mbok membuatkan nasi kuning dan membagi-bagikan untuk teman-temannya. Sehari sebelum ulang tahunnya ia merasakan perutnya luar biasa sakit. Untuk kemudian ada darah di celana dalamnya. Kata Mbok itu tandanya ia makin harus hati-hati sama anak laki-laki.

“Mas Jhon…”

Pipi Srintil memerah lagi. Terlebih ketika Wanti bicara sambil berbisik terus mencubit pahanya sambil kepalanya memberi isyarat ke arah jalan di belakangnya.

“Sore-sore kok bengong di sini?”

Kakinya lemas. Hatinya dag dig dug tak menentu. Mas Jhon melintas dengan sepeda. Di belakangnya Septi yang dibonceng melambaikan tangan ke arahnya.

“Septi punya mainan, Mbak….,” suara kecil itu kedengaran ketika sepeda terus dikayuh.

Srintil menelan ludahnya. Wanti memperhatikan.

“Itu, kan?” tanya Wanti pelan seolah takut terdengar yang lain.

Wanti diam.

Ia sendiri tidak pernah tahu kenapa ia tidak bisa merasakan seperti yang Wanti rasakan. Dadanya dag dig dug kepada Rustam. Tapi Mbok bilang itu karena belum waktunya dia suka sama laki-laki. Mbok malah bilang kalau Wanti itu genit jadi cepat suka sama laki-laki. Mbok tidak pernah tahu kalau setiap kali melintasi rumah Mas Jhon setiap akan berangkat sekolah hatinya terasa dag dig dug. Terlebih bila Septi memanggilnya untuk mengajaknya bermain.

“Kamu suka Mas Jhon?”

Srintil diam. Hampir menangis.

Dia suka Mas Jhon. Dari dulu. Bahkan ketika Mas Jhon habis menikah ia selalu menangis. Mbok bilang nanti Pak De Ripto akan didatangkan ke rumah kalau Srintil butuh teman seperti Mas Jhon. Tapi setelah Pak De Ripto datang ia masih saja merasa kesepian.

“Rustam itu baik. Lagian Mas Jhon kan udah nikah sama Mbak Parni. Awas, lho, kemarin waktu Mbak Parni datang dari Malaysia dia bilang sama aku untuk jaga Septi. Idih…, Mas Jhon mana mau sama aku. Mas Jhon maunya kamu yang jaga Septi. Lagian Mas Jhon nanti ketularan penyakit bapaknya…,” Wanti diam memandang ke arah Srintil. “Kamu tahu kan tentang bapaknya Mas Jhon…”

Srintil diam. Berdiri dari duduknya.

Langit mulai gelap. Ia mengambil sepedanya.


"Mbok…”
Mbok memandang ke arah Srintil. Anak gadisnya itu sedang duduk di bale-bale, memandangnya nyaris tanpa kedip. Mbok meneguk air dari kendi. Tenggorokannya yang kering langsung terasa segar.

“Mbok lelah?”

Bohlam listrik dinyalakan. Ruangan yang tadinya cukup gelap menjadi terang. Wajah Srintil kelihatan kusut.

“Mbok baru pulang?”

Mbok mengangguk. “Anaknya Bu Tata datang. Dari Jakarta. Ada tiga. Yang satu mau menikah dua bulan lagi. Calonnya di bawa. Cantik. Bu Tata menyuruh untuk memasak cukup banyak. Besok makanan itu akan dibawa ke rumah calon besannya.”

Srintil diam. Memainkan ujung kemeja sekolahnya yang belum dilepas.

“Kamu belum mandi?”

Srintil menggeleng.

Mbok memandang ke arah meja makan. Membuka tutup panci di atas meja. Memandang ke arah Srintil. “Belum makan?”
“Kenyang, Mbok.”

Mbok memandang ke arah Srintil. Anak itu menundukkan kepalanya. Kakinya bergoyang-goyang.

Beberapa hari belakangan ini, ada laki-laki yang sering mengunjungi Srintil. Srintil bilang teman sekelasnya. Namanya Rustam. Srintil bahkan memberi tahu rumah anak itu ketika mereka sama-sama melewati kampung sebelah.

Tapi Srintil tidak pernah bicara soal anak itu. Meskipun setiap kali anak itu datang Srintil selalu menemaninya. Tapi Srintil tidak banyak bicara. Srintil lebih banyak diam. Bahkan Srintil sering lupa menyediakan minum untuk anak yang cukup sopan itu.

 
“Mbok…”

Mbok mendekat. Sejak Srintil mendapatkan mens pertama, ia menjadi takut setiap kali Srintil bicara dengan laki-laki. Ia takut kalau-kalau nasibnya menular pada Srintil.

“Kenapa Mbok benci Mas Jhon?”

Mbok kaget. Memandang Srintil.

“Kenapa orang-orang benci Mas Jhon?”

Mbok menarik nafasnya. Ia pernah cerita pada Srintil soal bapaknya Jhon.Dan Srintil bilang yang jahat kan bapaknya.

“Mbok…”

Mbok menggeleng. “Mbok tidak benci…”

Srintil memandangi wajah Mbok. “Mbok tidak bohong?” Mbok menggeleng. Sulit untuk mengatakan bahwa ia tidak pernah suka pada Jhon karena melihat mata anak itu bila memandang seperti ingin menangkap mangsa. Tapi memang selama ini Jhon baik. Penduduk kampung juga sudah mau menerimanya sejak ia menikah dengan Parni. Hanya saja hati Mbok selalu was-was bila melihat Jhon.

“Kenapa?” Mbok balik bertanya.

Srintil berdiri dari duduknya. “Mau mandi…,” ujarnya sambil berjalan ke luar ke arah kamar mandi.


Di luar mendung. Sebentar lagi mungkin akan hujan. Angin yang bertiup agak kurang mengenakkan ketika mengenai badan.

Jhon terpaku di depan jendela rumahnya. Memandangi jalan mulus di halaman rumahnya. Baru beberapa bulan yang lalu Parni memutuskan untuk merenovasi rumah mereka dan membuka tabungannya. Alasannya karena merasa rumah tinggal mereka paling jelek dibandingkan rumah tetangga lain yang istrinya sering bolak-balik kerja sebagai tkw di luar.

Sebenarnya Jhon tidak enak hati. Lama-lama ia merasa terlalu tergantung pada Parni. Tapi Parni tidak pernah mengeluh.

“Bapak….”

Di luar mulai hujan. Sudah sejak tadi pagi.

“Bapak….”

Tiba-tiba Jhon kangen pada Srintil kecilnya dulu yang sering berlarian ketika hujan dan meleletkan lidah ketika melewati rumahnya untuk meledeknya.

“Pak…, mandi hujan.”

Septi sudah berdiri di dekatnya. Menggoyang-goyang kakinya.

“Boleh mandi hujan?”

Jhon menunduk. Menggeleng. Septi akhirnya kembali sibuk dengan bonekanya.

Hujan semakin lebat.

Sungguh…, Jhon jadi kangen kepada Srintil.


"Cinta itu apa toh, Mbok?”
Mbok meletakkan handuknya di atas dipan. Memandangi Srintil yang tengah memandanginya.

“Kalau saya kangen sama orang itu namanya cinta?”

Mbok berpaling.

Akhir-akhir ini ia semakin bingung dengan pertanyaan-pertannyaan dari Srintil.

“Mbok pernah jatuh cinta?”

Mbok diam. Memandangi Srintil lekat-lekat.

“Saya lagi jatuh cinta, Mbok…,” kalimat itu diucapkan Srintil sambil menundukkan kepalanya. “Saya jatuh cinta….”

Hening.

Laki-laki teman sekolah Srintil yang biasa datang ke rumah sudah beberapa hari tidak pernah datang lagi. Barangkali Srintil kangen dengan laki-laki itu.

“Saya jatuh cinta….”

“Dengan siapa?” tanya itu diucapkan dengan nada ketakutan.

Srintil memandangi Mbok.

Menundukkan kepalanya lagi. Lalu menangis.


Mereka bertemu.
Berhadap-hadapan.

Saling memandang.

Jhon menahan napasnya. Entah kenapa ia tidak bisa mengatur irama jantungnya ketika berhadapan dengan gadis kecil itu. Entah kenapa tiba-tiba saja ia merasa ingin sepenuhnya memiliki gadis kecil itu.

Jalanan sepi.

Masih terlalu pagi.

Di mulut jalan ke luar kampung.

Jhon tidak biasa bangun pagi dan ke luar pagi-pagi dengan sepedanya. Tapi entah kenapa tiba-tiba saja pagi ini serasa tubuhnya ada yang menggerakkan hingga ia begitu terbangun dari tidurnya langsung menuju kamar mandi untuk mencuci muka setelah itu mengambil sepedanya.

Jalanan kampung masih gelap. Masih terlalu pagi. Tapi sosok Srintil yang mungil terlihat nyata sekali di matanya.

“Mau ke mana?”

Sosok itu kelihatan sama terkejutnya dengan dirinya. Turun dari sepedanya. Memandang Jhon nyaris tanpa kedip.

Hening.

Jhon tidak mengerti dengan perasaannya.

“Kamu mau permen?”

Srintil memandangi. Nyaris tanpa kedip.

“Mau kemana?”

“Mas Jhon jahat!” cuma itu yang ke luar sambil kembali menaiki sepeda dan mengayuh sepeda sekencang-kencangnya.


Tentang Parni

Pagi-pagi sekali, Parni ke luar dari dalam kamar tidurnya. Matanya masih merah. Semalam ia baru tiba. Tapi entah kenapa tiba-tiba di pagi ini baru terasa bahwa ia begitu letihnya.

Masih terlalu pagi. Jendela ruang tamu masih belum dibuka. Jendela dari kayu jati yang baru beberapa bulan kemarin ia ganti. Setelah mertuanya meninggal, ia memang merenovasi rumah yang ditinggalinya. Jhon bilang adik-adiknya tidak berniat untuk meminta warisan atas rumah itu. Mertuanya almarhumpun menyetujui.

Parni menarik napas dalam-dalam. Tubuhnya mulai terasa berat. Ia bertambah beberapa kilo di negri orang. Entah kenapa. Mungkin karena pikirannya tenang dan tidak terbebani banyak masalah seperti di negeri sendiri.

Jam di dinding baru menunjukkan pukul tiga. Septi sudah tidak terbiasa tidur berdekat-dekatan dengannya. Anak itu sepanjang malam justru menempel terus pada bapaknya.

Mbok pasrah karena kejadian yang menimpa dirinya kemungkinan akan dialami Srintil…..

“Kok pulang?”

Kalimat tanya yang mengejutkan itu sungguh di luar perkiraannya. Ia sudah menyusun banyak rencana. Termasuk datang malam dan membagi kehangatan malam dengan suaminya. Tapi alis yang saling bertaut dan raut muka keheranan itu membuat perasaannya jadi tak menentu.

“Kenapa tidak bilang-bilang?”

Pertanyaan kedua yang sudah terlambat. Ia menyeret kopor besarnya. Memandangi suaminya.

“Saya pernah bilang soal kontrak kerja saya yang sudah habis?”

Tak ada sahutan. Dari kamar tidur muncul Septi. Sama seperti bapaknya anak itu memandanginya nyaris tanpa kedip.

Lalu entah kenapa tiba-tiba mereka sama-sama melongok pada jam di dinding. Dan Septi merengek menggelendot pada bapaknya meminta tidur kembali. Jhon memandangnya seperti meminta persetujuan. Dan ia hanya bisa menganggukkan kepala lalu mengikuti langkah mereka masuk ke dalam kamar.

“Saya ingin bekerja di sini saja,” bisiknya di samping Jhon. Memeluk tubuh suaminya.

Tak ada tanggapan. Hanya memandangi.

“Mas setuju, kan?”

“Besok saja…,” bisik Jhon. Membalikkan tubuhnya, menghelus-helus punggung Septi.

Cicak di dinding berbunyi. Parni menengadah. Tersenyum sendiri. Pahit.

Ia merasa jadi orang asing di rumahnya sendiri.

Mereka saling berhadap-hadapan. Ia dan gadis yang sedang menggenggam tangan Septi dengan akrabnya.
“Septi mau main….” Septi melonjak kegirangan. Memandang ke arah gadis itu dan seperti tidak memperdulikannya.

“Main sama Ibu saja, ya?”

Septi menggeleng. Bersembunyi di balik tubuh kurus gadis itu.

Baru Parni sadari, gadis itu jauh lebih manis sekarang. Bola matanya jernih. Seolah tanpa beban.

“Ibu punya mainan baru untuk kamu…”

“Sama Mbak Srintil!” Septi menghentakkan kakinya keras-keras ke lantai.

Parni mundur ke belakang.

Gadis itu terus memandangnya seperti ketakutan.

Tiba-tiba saja ia merasa menjadi begitu ketakutan.

"Bagaimana?”
Jhon berdiri mematung. Pandangannya tertuju pada Septi yang tengah bermain di halaman.

“Saya ingin di sini saja. Buka warung atau…”

“Kamu sudah tidak terbiasa dengan keadaan di kampung ini.”

Parni diam.

Ia tidak pernah menyangka ada tanggapan seperti sekarang ini. Yang ia harapkan sebelumnya adalah teriakan kegembiraan lalu memeluk tubuhnya.

“Saya ingin berada dekat Septi. Ia sudah merasa asing berada di dekat saya.”

Hening.

Jhon tersenyum ke arah Septi yang memanggilnya untuk mendekat.

“Mas tidak suka?”

Hening lagi.

“Saya ingin berada dekat anak saya…”

“Terserah kamu,” sahut Jhon akhirnya. Berat sekali.

"Kamu bodoh, Parni….”
Parni mengangguk.

“Kamu dibodohi oleh Jhon dan rasa cinta kamu kepadanya.”

Sekali lagi Parni mengangguk. Ia memang tidak pernah dapat menggeleng bila mendengar nasehat dari Ita.

“Tempatmu di sampingnya. Jangan terlalu banyak berkorban untuknya. Sudah cukup. Anakmu butuh kasih sayangmu.”

“Aku percaya kepadanya,” Parni mendesis.

Ita menggelengkan kepalanya. Sejak dulu memang sulit untuk bicara pada Parni masalah yang satu itu. Parni begitu mencintai Jhon. Bahkan ketika Ita menyarankan Parni untuk membatalkan niatnya pergi ke luar sebagai TKW beberapa bulan setelah melahirkan, Parni tetap nekad. Parni cuma bilang mas Jhon tidak bisa bekerja. Tidak ada yang percaya pada Mas Jhon.

“Tidak ada perempuan lain. Aku hanya ingin berada di dekatnya….”

Ita mengangguk.

“Aku mencintainya….”

Hening.

“Kamu percaya, kan?”

Ita mengangguk. Menepuk bahu, Parni.


"Mbak Srintil….,” Septi terkikik. Bocah berusia empat tahun itu memandang ke arah Parni sambil memamerkan deretan giginya. “Mbak Srintil suka main kemari main dengan Septi.”

Parni menyodorkan sendok ke arah Septi. Memasukkannya ke dalam mulut anak itu.

“Mbak Srintil suka bebek….” Septi tertawa lagi.

“Bebek ini?” Parni mengangkat mainan bebek. Memencetnya hingga berbunyi. Ia ikutan tertawa ketika Septi tertawa.

“Mbak Srintil suka cerita…”

Parni tersenyum. Memasukkan sendok berisi nasi dan sayuran lagi ke dalam mulut Septi.

Beberapa hari ia mencoba mendekati Septi. Akhirnya Septi mau berdekat-dekat dengannya. Bahkan semalam Septi tidur sambil memeluknya.

“Mbak Srintil baik….”

“Kalau Ibu?”

“Ibu tidak pernah pulang!” Mata Septi melotot. Lalu tertawa.

“Kata Bapak Mbak Srintil baik.”

“Kalau Ibu?”

“Ibu tidak bisa cerita soal bebek dan raksasa.”

“Nanti Ibu cerita soal ayam dan raksasa.”

“Seperti Mbak Srintil?”

Parni mengangguk.

“Naik sepeda seperti Mbak Srintil?”

Parni mengangguk lagi.

“Mandi hujan juga?”

Parni mengangguk lagi. Kali ini ia merasakan matanya memanas. Kelopak matanya mulai menyimpan telaga.

“Septi sayang Mbak Srintil.”

“Sayang Ibu juga?”

Septi memandangi ibunya. Membiarkan sendok berisi nasi dan sayur masuk lagi ke dalam mulutnya.

“Sayang…”

“Sayang Ibu juga…”

Septi memeluk tubuh Parni. Parni membalasnya erat sekali.

Karena Kami Ternyata Saling Cinta.
Sudah sore. Suara itu masih terdengar. Suara tawa yang terkadang diselingin lengkingan nyaring suara anak-anak.

Mbok berdiri mematung di dalam rumah. Sesekali ketika angin menerbangkan tirai jendela, kepalanya dimiringkan untuk melihat situasi di luar.

“Bebek….”

Mbok menahan napasnya. Hatinya tidak tenang. Jhon baru datang beberapa menit yang lalu. Tapi Mbok merasa seperti sudah bertahun-tahun.

“Bebek itu…”

“Sudah hampir maghrib, Srintil…,” akhirnya kalimat itu terucap juga.

Di luar Srintil dan Jhon saling berpandangan. “Ya, Mbok…, sahut Srintil setengah berteriak.

"Kamu jatuh cinta….”
Jhon baru saja pulang. Mbok sudah berdiri di samping Srintil. Memandanginya.

“Kamu jatuh cinta, Nduk…”

Srintil menundukkan wajahnya. Ia tak berani menatap mata Mbok.

“Duh Gusti…”

Azan maghrib terdengar. Srintil masih menunduk.

“Suami orang….” Hembusan nafas terdengar. “Apa kata orang kampung nanti? Nak Parni cukup baik sama Mbok.”

Kali ini Srintil mengangkat kepalanya. Memandang ke arah Mboknya. “Saya jatuh cinta. Dengan Mas Jhon…,” ia berlari masuk ke dalam rumah.

Mbok menggigit bibirnya. Ikut masuk ke dalam rumah.

Mereka berdiri. Berdua. Berhadap-hadapan. Gemericik air sungai seperti menjadi saksi pertemuan mereka.
Gadis kecil itu masih mengenakan seragamnya. Laki-laki bertubuh tegap itu masih mengenakan topi caping di kepalanya.

“Mau kemana?” Jhon melepas capingnya. Entah kenapa dadanya bergemuruh melihat Srintil.

Srintil tertunduk malu. Ia tadi sengaja melewati sawah di dekat sungai tempat Mas Jhon biasanya bekerja. Wanti yang kasih informasi kalau Mas Jhon menggarap sawah orang di dekat sungai.

“Mau kemana?”

Srintil merasakan wajahnya memanas. Bukan karena sinar matahari tapi karena tatapan Mas Jhon yang tidak berkedip memandangnya.

“Kamu mau…”
Srintil mendekat. Matanya memandangi kaki Mas Jhon yang dipenuhi lumpur.

“Kenapa?” Jhon ikutan mendekat. Mata Srintil yang berbinar ketika memandangnya mengingatkannya pada Srintil kecil yang selalu meleletkan lidah bila berpapasan dengannya.

“Mas Jhon lucu…”

Jhon semakin mendekat. Entah kenapa tiba-tiba saja tangannya terulur dan meraih jemari Srintil.

Srintil terkejut. Tapi kemudian ia tersenyum. Memandang Mas Jhon nyaris tanpa kedip.

“Oalah Par, Par…, suamimu itu bagaimana, toh?”

Parni menghentikan kegiatannya menampi beras. Seseorang tergopoh-gopoh berjalan ke arahnya. Kepalanya bergeleng-geleng. Satu tangannya mengangkat kain yang dikenakannya agar memudahkannya melangkah.

“Sinting. Sinting….”

“Kenapa, Bu De?”

Wanita yang dipanggil Bu De menghentikan langkahnya. Memandangi Parni lalu satu telunjuknya digerakkan mengenai kepala Parni. “Goblok. Suamimu itu memang sinting. Goblok kenapa kamu mau kawin dengannya.”

“Ssst…., ada apa sebenarnya, Bu De?” Parni meletakkan telunjuk di bibirnya. Sudah sore. Suara Bu De terlalu keras. Septi bahkan sempat terlongo, berhenti dari permainannya. “Masuk ke dalam…”

“Goblok. Suamimu itu pacaran sama anak kecil.” Suara melengking itu meluncur begitu saja. Septi, mungkin karena terkejut langsung menangis keras-keras. Memeluk tubuh Parni.

Wajah Parni memerah. Tapi ia berusaha untuk tidak terbawa emosi. Matanya memandangi wanita bertubuh kecil yang kali ini berkacak pinggang di hadapannya.

Bu De dapat cerita dari mana?”

“Sinting. Aku lihat dengan mataku sendiri. Dia gandeng anak kecil itu. Ngelus pipinya trus nyium pipi anak itu. Bocah edan, dipikirnya tidak ada orang. Dua-duanya sama-sama edan.”

Parni diam. Tak bisa berpikir.

“Tapi Mas Jhon…”


 "Oalah…, Jhon gemblungmu itu pacaran sama Srintil. Anak bawang edan. Kecil-kecil sudah mau merusak rumah tangga orang. Mirip sama ibunya.”

Parni kembali diam. Kali ini wajahnya memerah dan air matanya mulai mengembang. Terlebih ketika beberapa orang yang melewati rumahnya berhenti dan bertanya ada kejadian apa?

“Biar aku ke rumah anak bawang itu…”

Septi menangis semakin keras dalam gendongan Parni. Parni membawanya masuk ke dalam rumah. Kali ini sambil menangis.
Di luar halaman, orang kampung semakin banyak yang berkerumun.

“Mas Jhon….”

Sudah malam. Lewat tengah malam. Parni duduk di sisi tempat tidur. Memandangi Septi.

Jhon menggeliat. Masih memejamkan mata.

Di luar hujan. Suara tetesannya airnya terdengar sampai ke dalam rumah.

“Mas Jhon…,” kali ini tangan Parni menyentuh tubuh Jhon. Menggoyang-goyangkannya.

Jhon menggeliat lagi. Sekilas memandang. Bersiap memejamkan mata kembali tapi tangan Parni lebih sigap menyentuh kakinya. Menggoyang-goyangkannya.

“Saya mau bicara…,” suara Parni dibuat serendah mungkin. Septi mudah sekali terbangun dari tidurnya bila mendengar suara orang bicara atau benda jatuh. “Soal Bu De Wiro….”

Jhon lagi lagi menggeliat. Tapi kali ini mulai bangun dari rebahannya. Duduk di tempat tidur.

“Mas…,” kali ini ia bangkit. Berjalan ke luar kamar.

Jhon mengikuti.

Di ruang tamu, di mana suara rintik hujan semakin deras kedengarannya, Parni duduk memandangi Jhon.

“Kenapa?”

“Bu De Wiro bilang…”

Jhon mengendenguskan napasnya. Ia sudah mendengar cerita itu. Terkejut luar biasa. Tapi tidak mungkin menunjukkan kepada orang lain.

“Mas dan Srintil….”

“Edan. Srintil sudah aku anggap seperti adikku sendiri. Dia juga pantas jadi anakku. Pantas jadi kakaknya Septi. Tukang gosip begitu selalu saja kamu percayai,” suara Jhon meninggi.

Parni diam. Menahan napasnya. Baru pertama kali ini ia melihat amarah di wajah Jhon yang biasanya tenang.

Hening.

Hanya suara hujan.

“Tapi Mas masih mencintai saya, kan?” Parni menunduk. Ia jadi malu dengan pertanyaannya itu.

“Kamu aneh-aneh saja.” Jhon malah berdiri dari duduknya. Berjalan masuk kembali ke dalam kamar.

"Kamu sableng.”
Srintil memandangi Wanti. Menggelengkan kepalanya. “Kamu tidak mengerti,” sahutnya.

“Jadi kamu sudah dicium sama Mas Jhon?”

Srintil mengangguk.

“Trus?”

“Trus kenapa?”

Wanti terkikik. “Nanti kalau kamu diajak nikah jadi istrinya yang kedua bagaimana?”

Srintil diam. Di langit awan putih membentuk bayangan raksasa.

“Mau?”

Srintil mengangguk. “Seperti Mbok,” ujarnya pelan tapi pasti.

"Kamu bodoh!”
“Biar.”

“Katanya cinta. Tapi kamu bodoh begitu.”

“Biar. Srintil tidak suka tidak usah dipaksa. Kalau dipaksa tidak baik. Nanti kalau sudah besar dia pasti sadar.”

Wanti meleletkan lidahnya ke arah Rustam. “Tapi kamu tahu kan kalau Srintil sedang sedih?”

Rustam mengangguk. Terus mengayuh sepedanya.

“Srintil jadi omongan orang kampung. Kamu dong tolong dia.”

“Aku masih kecil.”

“Tapi kamu kan laki-laki.”

“Tapi badan Mas Jhon besar. Srintil cuma bilang aku temannya. Dia tidak suka saja aku. Kemarin belimbingku tidak dimakannya tapi dibuangnya di selokan.”

Wanti terkikik. “Srintil edan….”

Rustam diam.

“Nanti kamu mau main ke rumahnya?”

Rustam menggeleng. “Nanti kalau Srintil sudah naksir aku?”

“Kapan?”

“Aku nunggu sampai aku dan Srintil besar?”

“Kalau dia jadi istrinya Mas Jhon?”

“Aku sama kamu.”

Wanti terkikik lagi. Mengayuh sepedanya dengan bersemangat.

Sepi di luar. Sama sepinya seperti di dalam rumah.

Mbok mengawasi Srintil. Mengenduskan napas berkali-kali.

“Pak De Warno ingin mengambil kamu menjadi anaknya. Mbok pikir tidak apa-apa. Toh pakde-mu itu guru. Siapa tahu kalau ikut dengannya kamu bisa jadi orang yang berhasil.”

Tak ada sahutan. Tas besar yang berisi pakaian Srintil yang sudah dirapikan Mbok hanya dipandangi oleh Srintil.

“Kamu tidak apa-apa, kan?”

Srintil menggeleng.

Rumah Pak De Warno jauh. Enam jam perjalanan dari tempatnya. Tempat Pak De Warno yang adiknya ibu itu tidak enak. Anak-anaknya nakal. Bu De Warno orangnya suka ngomel. Srintil pernah disuruh menginap di sana oleh Mbok sewaktu liburan selama sebulan. Dua minggu Srintil jadi sering memimpikan Mbok. Untungnya Mbok punya feelingdan menjemputnya. Di depan Mbok, Bu De tidak cerewet. Padahal Srintil sering disuruh kerja macam-macam. Anak-anaknya sendiri kerjanya cuma belajar saja.

“Kamu tidak marah sama Mbok, Nduk?” Mbok mengelus kepala Srintil.

Srintil diam.

“Nduk…,” hampir menangis Mbok waktu mengucapkan kalimat itu. Ia takut kehilangan Srintil. Tapi ia tidak mau Srintil bernasib malang seperti dirinya. Orang-orang kampung sudah ribut. Ada yang bilang melihat Srintil masuk kamar Jhon. Ada yang bilang Srintil dicium Jhon. Ada yang bilang Srintil tidur sama Jhon di pinggiran sawah. Semuanya bikin Mbok pusing dan malu sama orang kampung.

“Kalau saya tidak kerasan tinggal di sana….”

“Kamu pasti kerasan.”

“Nanti Mbok sendirian.”

“Mbok sudah terbiasa sendirian.”

“Nanti saya kangen sama Mbok…,” Srintil menyentuh tangan Mbok. Melingkarkan tangannya di tubuh kurus Mbok.

Tak ada sahutan. Mbok tidak bisa menjawab. Ia hanya menangis sesunggukan.

Kangen….
Langit sore berwarna jingga. Jhon berdiri mematung di muka rumah. Septi tengah bermain dengan anak-anak tetangga yang lain di halaman. Setiap kali melihat ke arahnya setiap itu pula mulut Septi berteriak memanggilnya.

Di dalam rumah terdengar suara lambang jawa. Parni yang memutarnya. Sejak hamil beberapa bulan yang lalu, Parni senang menghabiskan waktu mendengarkan langgam Jawa.

Jhon memandang ke langit. Tersenyum sendiri. Suara anak-anak kecil sebaya Septi semakin keras. Saling berteriak. Tertawa. Mengingatkannya kepada Srintil.

Jhon mengusap wajahnya dengan telapak tangannya. Menghitung dalam hati. Sebulan, dua bulan…, dua tahun. Hampir dua tahun dia tidak bertemu dengan gadis kecil itu. Dua tahun penuh kehampaan.

“Melamun, Mas….” Parni muncul tiba-tiba. Di belakangnya. Mengelus perutnya yang sudah kelihatan membuncit.

Jhon menggeleng cepat. “Lihat Septi lagi main.”

“Sudah besar dia. Adiknya yang ini semoga laki-laki ya, Mas?”

Jhon mengangguk.

Sungguh, tiba-tiba ia terbayang-bayang Srintil. Tiba-tiba ia ingin sekali bertemu dengan anak itu.

Mbok tahu anak semata wayangnya kecewa dengan pernikahan yang sudah direncanakan. Tapi, Srintil akan lebih kecewa kalau terus-terusan mengharapkan Jhon datang untuk melamarnya.

Mbok, saya ingin pulang.
Surat itu Srintil masukkan ke dalam amplop. Memandang amplop itu sekilas, lalu memasukkan ke dalam tasnya.

Sudah sore.

Di luar kedengaran suara ayam-ayam peliharaan Pak De yang digiring masuk ke kandang. Biasanya Srintil yang melakukan hal itu. Tapi, sejak kemarin ia kangen Mbok terus. Ia ingin nangis terus. Pak De ngerti dan menggantikan tugasnya.

“Nanti saja kamu pulang kalau sudah sekolah yang benar. Kalau sudah dapat pacar. Dapat kerjaan.” Mbok bilang begitu sewaktu mengantarnya. Sambil menangis. Srintil juga ikutan menangis.

Tapi, sejak Srintil ada di tempat Pak De, Mbok jarang sekali menengok. Hanya sekali dua kali. Setiap kali Srintil kangen sama Mbok, setiap itu pula Srintil hanya bisa menangis.

Srintil juga kangen Mas Jhon. Kangen sekali. Pasti Mas Jhon sudah lupa sama dia sekarang. Tapi, semalam Srintil mimpi bertemu Mas Jhon. Mas Jhon cuma memandangnya. Kelihatan kangen.

“Makan, Nduk….”

Suara Pak De. Srintil bangun dari rebahannya. Kalau sedikit terlewat, nanti makanan untuknya bisa dibereskan oleh Bu De yang menganggapnya tidak mau makan.


"Bapak….”
“Sssst….,” Jhon menolehkan kepalanya. Menggelengkan kepala. Mengisyaratkan kepada Septi untuk tidak bersuara.

“Mbak Srintil belum pulang, Pak?” tangan Septi menyentuh punggung Jhon.

“Ssst….” Jhon terus mengayuh sepedanya. Matahari siang cukup panas, tapi capingnya banyak membantu penglihatannya hingga tidak terlalu silau.

“Pak….”

Jhon tidak menyahut. Pagar rumah Srintil sudah terlihat. Pagar dari bambu yang sebagian besar sudah rusak berat. Hatinya dag-dig-dug tak menentu.

“Pak…., Ibu tadi bilang….”

“Jangan bilang-bilang Ibu,” Jhon bicara sambil kepalanya menoleh ke rumah Srintil yang pintunya tertutup rapat.

Tak ada siapa-siapa. Tapi, Jhon melihat bayangan Srintil di depan pintu rumah. Tersenyum menyambutnya.

“Pak….” Jhon mendenguskan napas. Ia sungguh-sungguh kangen kepada Srintil.


“Saya ingin pulang…,” Srintil masih mengenakan baju seragam ketika bicara itu pada Pak De. “Kangen sama Mbok.”

Pak De Warno menoleh. Menggelengkan kepalanya.

“Tidak boleh?”

“Mbokmu biar yang kemari. Kamu sekolah yang benar. Biar mbokmu perasaannya tenang..”

“Tapi….”

Pak De menggelengkan kepalanya. Berkali-kali.

Srintil diam. Masuk ke dalam.


Permen-permen itu Parni temukan secara tidak sengaja di dalam lemari ketika ia hendak mengambil salah satu baju Jhon. Bukan permen kepunyaan Septi pastinya. Lemari itu cukup tinggi, Septi tak mungkin menaruh permen di sana. Ia selalu menyimpannya di dalam tas yang Parni belikan untuknya.

Ia bukan orang yang tidak pedulian. Sejak dulu ia selalu saja ingin tahu. Terhadap Jhon juga begitu. Hanya saja Jhon terlalu tertutup untuk mengungkapkan apa yang dirasakan.

“Punya Bapak…,” Septi muncul di kamar. Memungut salah satu permen. Membukanya lalu memakannya.

“Punya kamu?” hampir saja Parni menjewer telinga Septi kalau kepala Septi tidak cepat menggeleng.

“Punya Bapak…,” Septi nyengir.

Kening Parni berkerut.

“Buat Mbak Srintil…,” Septi menutup mulutnya. Berlari ke luar kamar.


Dan akhirnya….
“Bakar…!”

“Ganyang…!”

Tengah malam.

Jhon dan Srintil saling berpandangan. Tangan Jhon merengkuh bahu Srintil. Mencoba memberi ketenangan.

“Bakar….!”

Tubuh Srintil gementar. Tapi, dalam pelukan Jhon ia merasa tenang.

Tiba-tiba pintu terbuka. Seseorang membukanya dengan paksa. Diikuti dengan yang lain. Dan yang lain.

“Bakar…!” Mas Jhon masih merengkuhnya. Tapi, tubuhnya menjadi semakin gemetar. Terlebih ketika obor yang menyala itu dilemparkan ke arah mereka.

Srintil ketakutan. Sangat ketakutan.


"Mereka sinting!”
Ita memandangi Parni. Bayi yang berada dalam gendongan tangan berpindah tangan kepadanya. Lalu ia serahkan kepada yang lain untuk ditidurkan di dalam kamar.

“Mereka sinting!”

“Mereka khilaf,” Ita berusaha menenangkan. Tapi, kelihatannya Parni tidak peduli. Tangannya memukul-mukul tubuhnya sendiri.

“Mereka sinting!” Parni berteriak.

Ita diam. Hanya memandangi Parni.

Mungkin ia akan melakukan hal yang sama kalau itu terjadi pada suaminya. Parni jauh lebih tegar. Di depan Jhon kemarin dan masyarakat yang membawa Jhon serta Srintil, ia hanya diam. Tidak mengamuk. Tidak juga memaki. Hanya pandangan matanya yang menerawang bicara lebih banyak.

“Anak itu….”

“Ssst… Septi dan adiknya sudah tertidur. Kamu sebaiknya tidur juga.” Tidak ada sahutan. Parni hanya memandangi Jhon. Untuk kemudian menangis lagi.


Mbok menangis. Di atas balai-balai. Pandangannya menerawang memandangi hamparan sawah yang terlihat jelas dari jendela.

Srintil duduk diam di dekatnya. Nyaris tak bergerak.

“Saya salah, Mbok.…”

Mbok tak menyahut.

Ia malu. Malu sekali. Kemarin malam orang-orang kampung mendatanginya. Membawa Srintil. Menceritakan semuanya. Lengkap.

“Anakmu dibawa setan gundul Jhon, Mbok…,” kata seseorang tanpa menyalahkan Srintil.

Tapi, yang lain tidak bicara seramah itu.

“Setan sama setan, ya, klop. Kecil-kecil senangnya merebut suami orang.”

Mbok mengusap air matanya.

Surat Srintil untuknya sudah ia baca. Makanya ia cepat-cepat datang ke tempat Srintil dititipkan. Tapi, sampai di sana Srintil sudah tidak ada. Mereka bilang, Srintil pergi diam-diam.

Perasaannya sudah tidak enak. Menunggu di rumah lebih tidak enak lagi. Ia merasa sesuatu terjadi pada Srintil. Terlebih ketika melewati rumah Parni, Parni bilang Jhon tidak ada. Lagi cari kerja ke tempat lain.

“Mbok….”

“Kamu sudah tidur dengannya?” pertanyaan itu terlontar gamang.

Hening.

“Kamu sudah tidur dengannya?” Mbok mengulang.

“Saya cinta Mas Jhon….”

Mbok menoleh. Memandangi mata Srintil. Lalu menangis sesenggukan. Sinar mata yang memancar itu dan kepastian itu mirip ketika dulu ia melakukannya. Menjawab pasti di depan kedua orang tuanya. Tapi, toh, ia salah juga. Laki-laki yang ia bela mati-matian cuma menyisakan Srintil. Selain itu hanya kesengsaraan.

“Saya cinta Mas Jhon, Mbok….”

Mbok mendenguskan napasnya.

Entah dari mana orang-orang kampung tahu keberadaan Srintil dan Jhon. Tapi, katanya ada yang melihat mereka berdua di terminal. Lalu mengadu kepada Parni. Dan Parni yang meminta penduduk kampung mengikuti Srintil dan Jhon.

“Saya tidak sekolah lagi tidak apa-apa, Mbok. Jadi istrinya Mas Jhon saja.”

Mbok diam.

“Saya….”

Mbok masih diam. Tak berniat menanggapi perkataannya.


"Ke Malaysia?”
Parni menganggukkan kepalanya. “Orang-orang kampung sini sudah benci kepada Mas Jhon. Kebetulan majikanku kemarin aku telepon. Dia butuh sopir. Mas Jhon, toh, bisa nyopir sedikit-sedikit.”

“Trus anakmu?”

Parni memandangi Ita. “Aku bodoh, ya?”

“Kenapa?”

“Tidak bisa benci kepada Mas Jhon.”

“Bagus kalau begitu….”

Parni mendenguskan napasnya. “Orang kampung bilang mereka sudah tidur bersama. Tapi, anak sekecil Srintil pasti tidak tahu apa-apa. Mas Jhon yang salah.”

Ita memandangi Parni. Mata itu seperti menyembunyikan sesuatu. Kekecewaan yang berusaha disamarkan dengan senyuman.

“Aku cinta sekali kepada Mas Jhon.”

“Lalu kapan balik ke sini?”

  Parni menggeleng.

“Tidak akan kembali lagi?”

“Sampai Mas Jhon bisa melupakan Srintil,” desisnya sambil menundukkan kepalanya.


"Srintil itu sudah tidur sama Mas Jhon. Kamu masih mau?”
Rustam mengayuh sepedanya. Menganggukkan kepalanya.

“Srintil sudah merebut Mas Jhon….”

“Tapi, Mas Jhon tidak berpisah dari Mbak Parni,” ujar Rustam kalem. Tersenyum ke arah Wanti.

“Tapi, kalau Srintil hamil….”

“Srintil tidak mungkin hamil. Banyak yang bilang, Srintil dipaksa Mas Jhon. Mas Jhon itu bukan laki-laki baik. Kasihan Srintil….”

Wanti menggelengkan kepalanya. “Kalau Srintil tidak mau sama kamu?”

“Tidak apa-apa. Nanti juga pasti mau.”

“Kalau Srintil masih menunggu Mas Jhon?” “Mas Jhon akan ke Malaysia, kata Mbak Parni kemarin. Rumahnya akan dijual. Pak Lurah yang membeli. Dikasih harga murah. Kata Mbak Parni untuk beli tiket pesawat ke Malaysia.”

“Jadi Srintil ditinggal?”

“Mas Jhon itu tidak baik. Harusnya masuk penjara. Tapi Mbak Parni sudah minta maaf sama Mbok. Jadinya Mas Jhon tidak dipenjara. Kasihan kan Srintil. Aku mau lihat Srintil senang.”

Wanti menggelengkan kepalanya.

“Kenapa?”

“Enaknya jadi Srintil,” ujarnya sambil mengayuh sepedanya mendahului Rustam.


Inilah Hidup, Srintil…
Srintil memandang Mbok. Menggelengkan kepalanya. “Saya tidak mau, Mbok.”

Mbok diam. Melipat pakaian. Menyusunnya dengan rapi.

“Mbok tidak akan memaksa saya, ‘kan?”

Di luar gelap. Sudah mau hujan. Mbok memandangi langit yang menghitam.

“Mbok….”

“Tanggal lima belas bulan depan, sesuai dengan weton-mu dan weton-nya.”

“Mbok….” Srintil memandangi Mbok. “Saya tidak kenal Mas Andi.”

“Nanti juga kamu kenal. Kemarin dia datang kamu tidak ada. Anaknya dua-duanya ikut. Dia sayang sama anak-anak. Kamu nanti bahagia bersama dia.”

“Tapi….”

“Oalah, Nduk… kamu sudah tidur sama laki-laki lain. Bujangan tidak ada lagi yang mau sama kamu. Mbok pilih yang paling baik untuk kamu.”

Srintil diam.

Sejak minggu-minggu kemarin Mbok susah diajak bicara. Sejak Mbok berniat menjodohkan dia pada duda yang Mbok kenal di pasar.

“Atau kamu masih menunggu Jhon gemblung-mu itu?”

Srintil diam.

Bertahun-tahun ia sudah tidak bertemu Mas Jhon. Mas Jhon pasti kaget kalau bertemu dengannya. Dia sudah besar. Sudah lulus SMU.

Tapi, Mas Jhon pasti sudah lupa kepadanya. Mas Jhon tidak pernah datang lewat mimpi-mimpinya. Mas Jhon pasti sudah bahagia. Seperti Wanti yang minggu kemarin juga bahagia menikah dengan Rustam.

“Saya belum ingin menikah, Mbok.…”

“Mbok sudah mendaftarkan nama kamu ke penghulu kampung. Mas Andi sudah memberi bahan kebaya. Fotomu sudah dicuci, toh? Nanti, kalau sudah jadi, Mbok bawa langsung ke penghulunya.”
Srintil memandangi wajah Mbok. “Saya ingin kerja.”

Mbok menggeleng. “Oalah, Nak… kerja bikin kamu jadi perawan tua. Jhon gemblung itu sudah merusak hidupmu. Kamu tidak akan laku. Nanti Mbok tidak bisa melihat anakmu. Kamu tidak ingin melihat mbokmu ini mati sengsara, toh?”

“Tapi, Mbok tidak ngerti….”

Mbok menggeleng lagi.

“Mbok tidak sayang sama saya?”

Mbok terbatuk.

“Saya ingin kerja….”

“Kalau kamu kerja, Mbok milih gantung diri, Nak. Malu aku kalau dengar orang kampung sini bicara soal kamu. Untung masih ada yang melamar kamu….”

“Saya tidak cinta….”

“Nanti kalau perutmu sudah kenyang, hidupmu sudah tenteram, kamu tidak akan mikir soal cinta lagi.”

“Mbok….”

Mbok diam. Menutup jendela. Mata tuanya menerawang memandangi hujan yang sudah mulai turun.


Laki-laki itu duduk di hadapan Srintil. Beberapa kali memandang wajah Srintil, lalu menundukkan kepalanya dan berpaling memandang kedua anaknya yang sedang bermain dengan Mbok di halaman.

Srintil sebenarnya sama sekali tidak berminat untuk menemui laki-laki itu. Tapi, Mbok memaksa, setengah mengancam akan mati sengsara kalau Srintil tidak mau menemui laki-laki itu. Maka, Srintil pun dengan setengah hati berdandan, mengenakan baju yang Mbok bilang diberikan sebagai hadiah dari laki-laki itu.

“Kapan main ke rumah, Dik?”

Bicaranya terlalu lembut. Jemarinya yang berada di atas pangkuannya kelihatan gemetar. Kakinya pun bergoyang-goyang.

“Mbok bilang kamu suka warna putih. Kamar tidur sudah saya cat warna putih.”

Srintil menelan ludahnya. Hampir menangis. Tiba-tiba ia ingat Mas Jhon. Mas Jhon yang gagah dan tidak kaku seperti laki-laki di depannya.

“Anak-anak sudah sering tanya, kapan saya bawakan ibu buat mereka.”

Srintil memandang ke luar. Pandangannya bersitatap dengan lirikan Mbok ke arah mereka. Kelihatannya Mbok cukup akrab dengan kedua anak itu. Mungkin Mbok benar-benar sudah kangen menggendong cucu.

“Kamu setuju menikah dengan saya kan, Dik?”

Srintil diam. Mengangguk pelan.


"Kamu tidak pernah ingin pulang, Mas?”
Jhon memandang ke arah Parni. Septi dan kedua adiknya sedang bermain di halaman. Perut Parni sudah membuncit lagi.

“Tiba-tiba saya jadi kangen rumah. Kangen Bapak dan Ibu. Si kecil ini sepertinya ingin melihat kampung halaman orang tuanya.”

Jhon mengambil koran di hadapannya. Pura-pura membacanya dengan membentangkannya lebar-lebar hingga menutupi seluruh bagian wajahnya.

“Mas….”

Jhon menarik napasnya. Hatinya tiba-tiba dag-dig-dug tak menentu. Sudah sejak lama ia tak berani lagi mengingat kata pulang. Tak ada lagi tempat untuknya, sepertinya. Orang kampung pasti akan mengusirnya.

“Mas….”

“Rumah kita sudah kita jual,” jawabnya setengah hati.

Hening di dalam. Di luar, Septi tengah bermain sekolah-sekolahan dengan kedua adiknya. Dia jadi ibu gurunya dan kedua adiknya menuruti apa yang diperintahkan Septi kepada mereka.

“Mas….”

“Orang-orang kampung masih membenci saya,” suara Jhon datar. Ia yakin, Parni tidak mengetahui isi hatinya.

“Mereka pasti sudah lupa dengan peristiwa itu. Mas tidak punya keinginan untuk melihat kuburan Ibu?”

Koran Jhon lipat. Matanya memandang ke arah Parni.

“Anak ini sudah ingin pulang, Mas….” Parni mengelus perutnya. “Mas tidak kasihan dengan saya?” Jhon berdiri dari duduknya. “Nanti saya pikirkan lagi,” ujarnya pelan.


"Mbok….”
Pagi sekali Srintil terbangun. Langsung memeluk tubuh mboknya yang masih tertidur.

Mbok bergerak. Membalik tubuhnya. “Kenapa?” tanyanya.

“Kalau saya sudah jadi istri nanti, Mbok tinggal dengan saya?”

Hening. Jemari Mbok mengelus kepala Srintil.

“Mbok benar. Saya sudah mikir panjang sekali. Tidak ada bujangan yang mau sama saya. Mbok memilihkan orang yang baik untuk saya.”

Mbok masih diam. Matanya memandangi mata Srintil.

“Saya pasti akan jadi istri yang baik, Mbok.”

Mbok mengenduskan napasnya. Berpaling dari Srintil.

Ia tahu anak semata wayangnya kecewa dengan pernikahan yang sudah direncanakan. Tapi, Srintil akan lebih kecewa kalau terus-terusan mengharapkan Jhon gemblung datang untuk melamarnya. Sama seperti dirinya. Terlalu banyak berharap sampai akhirnya keletihan sendiri. Sampai akhirnya ubannya menyadarkannya bahwa ia selama ini hanya bermimpi.

“Mbok….”

“Cinta itu cuma bikin sengsara, Nak,” suara Mbok terdengar lirih.

“Tapi, kalau saya masih ingat sama Mas Jhon boleh, ‘kan?”

“Apa yang mau kamu ingat darinya?”

Pandangan mata Srintil menerawang. Ia cuma ingin tetap ingat Mas Jhon. Ia cuma ingin di hatinya tetap ada Mas Jhon, meskipun nanti dia sudah menikah.

“Mbok masih membenci Mas Jhon?”

“Kamu masih memikirkannya?”

“Mbok juga dulu begitu?”
Hening.

“Kalau saya menikah, Mbok nanti sendirian.”

Hening lagi.

“Saya siap menikah, Mbok. Tidak mau bernasib seperti Mbok. Tidak mau mengganggu suami orang lagi.”
Mbok tersenyum. Memeluk Srintil erat sekali.


Gending itu terdengar. Sayup-sayup. Di pagi hari yang udara dinginnya masih terasa menusuk kulit.
Jhon berdiri di depan jendela yang terbuka lebar. Gending itu berasal dari rumah yang cahaya lampunya terang. Sama terang dengan warna genteng yang kelihatannya baru terpasang.

Masih terlalu pagi untuk bangun. Ayam pun belum berkokok untuk menyambut pagi.

“Bapak….”

Jhon menengok ke belakang. Ada Septi yang baru ke luar kamar. Berdiri memandangnya.
“Mbak Srintil akan menikah….” Septi mendekat. Menyentuh jemari Jhon.
Hening.

Mbok tahu anak semata wayangnya kecewa dengan pernikahan yang sudah direncanakan. Tapi, Srintil akan lebih kecewa kalau terus-terusan mengharapkan Jhon datang untuk melamarnya.

Jhon terharu. Cuma Septi yang tahu perasaannya.
“Bapak kecewa?”

Jhon memandang Septi. Menggeleng. Tegas.

“Bapak tidak kecewa?”

Jhon menelan ludahnya. Mengelus kepala Septi. Anaknya yang paling besar ini sama sekali tidak pernah menyalahkannya. Tidak pernah juga mau berpihak kepadanya atau kepada Parni.

“Bapak mau datang ke sana bersama Ibu?”

Jhon mengangguk.

“Kadonya apa?”

“Permen…,” jawab Jhon sambil tersenyum.

"Kamu tidak menyesal, Dik?”
Dalam balutan kebaya berwarna putih wajah Srintil kelihatan cerah dan berseri-seri. Mbok kelihatan sumringah dan menebar senyum setiap saat.

“Kamu tidak menyesal, Dik?”

Srintil menoleh ke arah Mas Andi. Pukul delapan tepat nanti Pak Penghulu akan datang dan menikahkan mereka. Semua perlengkapan sudah dipersiapkan. Ia dan Mas Andi tinggal duduk dan mengucapkan ijab kabul.

“Dik?”

Srintil menggeleng. Menggandeng tangan Mas Andi erat sekali.

"Kita jadi datang, ‘kan?” Parni berdiri di depan cermin. Memandang ke arah Jhon yang sedang mengamati baju batik yang berada di atas tempat tidur. “Mas mau pilih yang mana? Itu yang paling cocok dengan Mas. Saya beli sebelum kita pulang ke sini. Bapak sampai naksir sama batik itu, lho, Mas….”

Jhon memandangi Parni. “Kita kembaran?”

Parni mengangguk. “Kebetulan saya juga dapat motif yang sama untuk baju ini. Heran, ya, Mas, batik sebagus ini justru kita dapatkan di tempat orang.”

“Kita kembaran?” Jhon mengulang. Lebih keras.

Parni mengangguk. Mematut dirinya di depan cermin. “Sekali-sekali tidak apa-apa, toh, Mas? Kapan lagi? Dengar-dengar, sehabis ini Srintil akan diboyong suaminya ke daerah lain. Buka usaha di sana. Di pasar, usahanya dikasihkan ke saudaranya. Mungkin suaminya takut kalau…,” Parni seperti sengaja menggantung kalimatnya. Memandang ke arah Jhon. Lalu cepat berpaling ketika Jhon juga memandangnya.

Hening di kamar. Di luar kedengaran suara Septi yang merayu adik-adiknya untuk tidak merengek karena ingin ikut dengan kedua orang tuanya.

“Mas kecewa?” Parni bertanya. Pelan dan hati-hati.

“Celana yang cocok untuk batik ini yang mana?” Jhon mengambil beberapa celana panjang dari dalam lemari.

“Mas kecewa?” Parni bertanya. Mengelus perutnya.

Jhon memandang. “Sudah bertahun-tahun yang lalu,” jawabnya sambil mengenduskan napasnya.

“Barangkali Mas masih mengingatnya….”

Jhon menggeleng.

“Sungguh?”

Jhon mengangguk. Memandangi Parni. “Kamu masih saja mencurigainya,” katanya pelan.

Parni menggeleng. Mengelus perutnya. “Saya percaya.”

Mereka bertemu. Saling berpandangan. Hanya sekilas dan mencuri-curi. Srintil menarik napasnya. Mencoba tetap tersenyum ketika menyalami tamu undangan.

Mas Andi kelihatan tidak peduli. Hanya Mbok yang kelihatan resah. Mungkin takut kalau-kalau Srintil berbuat nekat.

Dia tidak berubah. Hanya uban di kepalanya mulai banyak terlihat. Tapi, baju batik yang dikenakannya membuat Mas Jhon semakin gagah saja kelihatannya.

“Kamu tidak lelah, Dik?”

Srintil menggeleng. Membalas genggaman tangan Mas Andi.

Dada Srintil bergemuruh. Sebentar lagi mereka akan bertemu. Bersalaman. Ia berharap ia tidak pingsan dan Mbak Parni tidak menampari wajahnya.

Satu… dua… Srintil menghitung dalam hati sambil memejamkan matanya. Sebelum hitungan sepuluh selesai diucapkan dalam hati, Mas Andi menepuk bahunya. Rupanya ia tadi sempat memejamkan mata hingga tidak melihat keberadaan tamu yang lain yang sudah mendekat ke arahnya.

Satu, dua, tiga, dan….

“Selamat, ya, Dik Srintil….” Ciuman di pipi itu terasa tulus. Tapi, pandangan mata itu sepertinya masih menatapnya curiga.

Srintil tersenyum pada Parni. “Sudah berapa bulan?” Tangannya mengelus perut Parni.

“Empat bulan. Cepat-cepat menyusul, ya?” Parni ikut tersenyum. “Anak ini sudah kangen sama kampung orang tuanya. Setiap hari saya jadi ingin pulang ke sini.”

Srintil masih tersenyum, meski sebenarnya hatinya semakin resah. Terlebih ketika akhirnya Mbak Parni melangkah dan Mas Jhon berdiri di hadapannya.

“Selamat, ya, Dik….”

Suaranya mengambang. Tatapannya hanya sesaat mengarah kepada Srintil. Jemarinya terasa dingin dan menggenggam jemari Srintil erat sekali.

Lewat ekor matanya Srintil dapat melihat tatapan Mbok yang kurang suka pada ‘pemandangan’ yang sedang terjadi.

“Akhirnya pulang, Mas….” Srintil sendiri tidak tahu kenapa kalimat itu terucap dari bibirnya. Ia menggigit bibirnya. Tiba-tiba saja ia ingin menangis. Perasaannya tidak bisa dibohongi. Sosok di hadapannya masih terlalu erat berada di hatinya.

  “Bulan madu ke mana, Dik?”

“Mau saya boyong Srintil ke luar Jawa, Mas Jhon. Anak-anak saya juga ikut. Mereka sudah dekat sekali dengan Srintil. Bahkan, mereka memanggil Srintil, Ibu Srintil,” Mas Andi yang menjawab.

Srintil menunduk.

Bayangan peristiwa beberapa tahun yang lalu tiba-tiba berkelebat di kepalanya. Ia ingat kenekatannya. Ia ingat orang-orang kampung yang mengepungnya. Ia ingat emosi kanak-kanaknya yang Mbok bilang seperti orang kena guna-guna.

Hening. Srintil diam. Juga Jhon.

“Mas…,” Mbak Parni memanggil.

Jhon mengulurkan jemarinya lagi ke arah Srintil. Kali ini lebih erat. Srintil melakukan hal yang sama.

“Selamat, ya?”

Srintil mengangguk. Menahan air matanya.

Untunglah setelah itu ada hiburan tari-tarian dari pemuda kampung yang mengisi acara dengan sukarela.

Mas Andi dan Mbok tersenyum-senyum menikmati. Srintil merasa hatinya sudah terbang bersama pamitnya Mas Jhon.

Setelah itu...tentang Srintil

“Kalau anak kita laki-laki bagaimana, Mas?”

Andi memandangi Srintil. Mengelus perutnya. “Memangnya kenapa?”

Srintil menarik napas panjang. “Saya ingin kasih nama untuknya….”

“Terserah kamu….”

Mas tidak keberatan?”

Andi menggeleng. “Kalau anak perempuan nanti jatah saya, ‘kan?”

Srintil mengangguk.

“Mau dikasih nama apa?”

Hening.

Srintil seperti berpikir.

“Sudah punya daftar nama yang bagus, Dik?”

“Jhon…,” bisiknya, pelan sekali.

Andi memandangi. Tak berkomentar. Hanya mengelus perut Srintil saja.

Tentang Jhon

Setiap kali Jhon melewati rumah Srintil, setiap itu pula ia merasa ada yang tidak bisa dibohongi. Perasaannya yang masih berdegub tak menentu, meskipun ia tahu pengharapannya hanyalah pengharapan konyol saja.

Septi yang paling tahu tentang perasaannya. Setiap hari Septi pasti mengajak kedua adiknya untuk jalan-jalan naik sepeda. Menemani Bapak, katanya, ketika berpamitan pada Eyang. Dan biasanya Septi akan mengajaknya untuk melewati rumah Srintil.

“Bapak masih suka kangen dengan Mbak Srintil?” Septi bertanya suatu sore padanya ketika memergoki ia sedang melamun di muka jendela.

Jhon menggeleng.

“Saya juga suka kangen sama Mas Aryo, Pak. Kata teman saya, itu namanya cinta. Tapi, kalau saya, masih cinta monyet.”

“Kamu….”

“Kalau Mbak Srintil mau sama Bapak, bagaimana?”

Jhon memandangi Septi. Mengelus kepalanya. Anaknya yang satu itu selalu saja tidak membela siapa pun. Septi paling tahu bagaimana harus bicara di depan orang.

“Hayo, Pak….”

Jhon menggeleng.

Istri orang?”

Jhon menggeleng lagi.

“Kenapa?”

“Ibumu yang paling baik buat Bapak….”

Septi memandangi. Memeluk bapaknya.

“Bapak lucu….”

Jhon memandangi Ratno yang berada di dekat Septi. Deretan gigi Ratno yang hitam terlihat jelas ketika anak itu cengengesan ke arahnya.

“Memangnya kenapa?”

Ratno tertawa lagi. Kali ini mendekati Jhon yang sedang menggendong adiknya yang paling kecil. Tangan Ratno mengelus tangan adiknya yang sedang tertidur dalam pangkuan Jhon.

“Kata Eyang, nama Srintil itu seperti burung genit. Bapak kasih nama itu biar adik seperti burung, ya?”

Jhon memandangi Ratno dan Srintil yang berada di pangkuannya.

Nama itu bukan idenya. Parni yang memintanya memberi nama itu sebelum melahirkan. Ia begitu kepayahan hari-hari belakangan ketika akan melahirkan. Tubuhnya lemah. Tidak bisa apa-apa. Setelah melahirkan, ia perdarahan hebat. Dokter bilang tidak tertolong lagi. Kata-kata terakhir yang Jhon ingat hanyalah titipan Parni untuk memberi nama Srintil bila anaknya yang lahir perempuan.

Sejak saat itu Jhon justru semakin menghargai Parni. Menghargai perasaan Parni kepadanya. Di hadapan jenazah Parni, ia berjanji tidak akan menikah lagi, meskipun andai Srintil menjanda.

No comments: