12.22.2010

Kemarin, Hari Ini, dan Esok

Mereka bersahabat sejak kecil walaupun kehidupan mereka bagai langit dan bumi.

Sudah lama sebenarnya aku ingin membawamu ’lari’. Sejak kau masih tinggal di "istana" itu. Sebuah rumah toko bertingkat tiga dengan pagar besi yang kaku, bisu. Sudah sejak lama. Kala itu aku selalu mampir di depan rumah itu, melemparkan sebuah koran lewat pintu pagar.
"Koran!" teriakku membelah pagi. Hampir pukul tujuh.
Yang pertama keluar, seperti biasanya, adalah Engkongmu. Laki-laki tua itu melambaikan tangannya kepadaku. Masih dengan balutan piyamanya.
Aku memutar sepeda bututku, tapi masih sempat melirik ke lantai tiga bangunan. Di balkon itu biasa kau berdiri, mencibirku sekilas dan membuang muka. Kau sudah siap dengan seragam sekolahmu.
Sementara aku masih harus mengantarkan koran pagi kepada lima rumah lagi. Selesai itu, aku bergegas pulang ke rumah. Mengganti bajuku dengan seragam sekolah. Sarapan seadanya dan kembali kukayuh sepeda.
"Hati-hati, Coky!" teriakan Emak dari dapur sering hanya kudengar sayup-sayup.
Aku harus segera ke sekolah, sebelum lonceng berbunyi
"SMP mana?" pernah kutanya kau sekali, saat kita berpapasan. Sungguh pertanyaan yang biasa saja, sekadar ingin tahu, mengingat aku juga masih SMP.
"Sutomo Satu," sahutmu pelan.
Sekolahmu termasuk sekolah favorit di Medan. Tidak sebanding dengan sekolahku yang biasa-biasa saja. Tapi aku bangga, karena di sekolah biasaku itu, aku selalu jadi juara kelas.
Sama seperti kamu!
"Kamu SMP mana?"
Tahun terakhir aku di SMP, kau juga menanyakan hal itu. Mungkin kau baru tahu kalau aku juga makan sekolahan. Pagi itu, ujian akhir akan dimulai. Aku takut terlambat ke sekolah, jadi sebelum kegiatanku mengantar koran pagi ke tempat langganan, aku lebih dulu memakai seragam sekolahku.
Aku menyebut nama sekolahku sekilas. Kau agak mencibir, tapi kuyakin, kau tidak bermaksud mengejek. Itu salah satu kebiasaanmu, sama seperti yang kau lakukan dari atas balkon sana bila melihat aku datang.
Hei, jangan-jangan kau selalu merindukan kehadiranku?
Meski kita seusia, meski kita berkembang bersama, tapi kehidupan kita bagai langit dan bumi. Aku Ucok Bonar Siregar, atau biasa dipanggil Coky, adalah potret kebanyakan orang pribumi di Medan, pun di Indonesia. Ayahku seorang penarik becak, sedang emakku tukang cuci pakaian.
Aku lima bersaudara, dan aku pula yang tertua. Untuk bisa sekolah, aku harus mencari biaya sendiri. Aku mengantar koran ke rumah-rumah, begitu juga dengan dua adik laki-lakiku yang lain.
Sungguh beda dengan kehidupanmu. Aku kenal papamu. Tuan Peng Si Tukang Air. Begitu julukannya. Dia yang memberi julukannya sendiri. Padahal kalau diurut-urut, dia kontraktor sumur bor yang cukup besar. Dia mempunyai tujuh mesin bor, beroperasi nyaris di seluruh pulau Sumatra. Perkebunan-perkebunan swasta maupun instansi pemerintah selalu memberikan borongan besar pada papamu.
Entah apa yang disembunyikan papamu, dia tetap saja tidak mau mengaku sebagai kontraktor, pengusaha. Dia hanya mau dipanggil Tuan Peng Si Tukang Air. Tapi siapa yang tidak mengenal kedermawanan Tuan Peng? Emakku bilang, kalau kau tidak punya uang, Coky, jangan pernah meminta kepada siapapun...kecuali kepada Tuan Peng!
Papamu sangat dermawan. Dia memang jarang berada di kota. Sebagian besar waktunya habis di luar, di perkebunan dan di pelosok lainnya. Dia selalu mengawasi pekerjaan anak buahnya. Bukannya tidak percaya, katanya memberi alasan. Dia hanya ingin terlibat langsung. Aku tidak tahu apakah memang itu alasan utamanya, atau dia ingin menghindari antrean orang yang ingin meminta bantuannya bila ketepatan dia berada di rumah.
Aku juga menikmati saat akah memang itu alasan utamanya, atau dia ingin menghindari antrean orang yang ingin meminta ba "Wah...Coky, lu bakal jadi orang hebat nanti kalau sudah besar. Pagi-pagi lu sudah kerja. Baik itu!"
Dan biasanya tidak pernah tidak terselip recehan di kantongku dari Tuan Peng Si Tukang Air.
Keluargamu hidup berkecukupan. Aku ingat, kau selalu punya kegiatan yang padat. Pagi sekolah, siang les piano, sore privat Inggris. Belum lagi kursus lainnya. Wah....
"Kau akan jadi orang paling pintar," kataku suatu kali kepadamu. Saat kita sudah sama-sama duduk di bangku SMU. "Atau jadi gila!"
"Lu ngomong apa?’" matamu yang sipit mendelik. "Enak saja. Siapa yang gila? Hayo!" Kau mengangkat bukumu, akan ditimpuk padaku. Aku tertawa, melesat dengan sepeda bututku.
Kau mencibir.
Ah, persahabatan yang manis.
Keluargamu memang beda dengan kebanyakan kelurga nonpribumi - keluarga keturunan Cina- yang tinggal di Medan. Kalau mereka biasa hidup berkelompok dengan kaum nonpribumi yang lain, tinggal di kompleks yang sama, membangun rumah toko dengan gaya yang sama, pagar besi yang sama, dan bergaul antara mereka saja.
Kehidupan keluargamu memang makmur seperti umumnya kaum nonpri tersebut. Jiwa dagang pun lekat dalam kehidupan keluargamu. Tapi ada yang terasa beda. Papamu, Tuan Peng Si Tukang Air, lebih memilih membeli rumah di lingkungan yang heterogen. Aku ingat, di sebelah rumahmu adalah rumah Pak Marzuki, si urang awak, pemilik Zuki Tailor. Masih dalam satu barisan dengan rumah toko itu, tinggal kelurga Vijay, pemilik toko kain. Mereka keturunan Tamil. Di sana juga ada grosir beras Ompung Sinaga, ada Babah Liem dengan toko elektronikanya, dan masih banyak lagi.
Seperti umumnya kaum nonpri yang selalu menjadikan tempat usahanya menjadi tempat tinggal pula, maka bisa dikata, tempat tinggalmu tidak pernah sepi dari kunjungan orang, lagi pula, selain sebagai kantor kontraktor sumur bor, di lantai satu rumahmu, mamamu membuka toko kelontong.
Dan rumahmu memang tidak pernah sepi dari kunjungan orang. Orang kebanyakan yang tinggal di sekitarnya. Apakah ingin membeli keperluan, sampai yang cuma mau ngebon dan pinjam uang. Orang-orang begitu dekat dengan keluargamu, seperti dekatnya persahabatan kita selanjutnya. Kedekatan yang membuatku tidak akan melupakanmu.
Kini kita telah sama-sama dewasa . Sama-sama kuliah di Universitas Sumatra Utara. Aku di Teknik Sipil, sedang kau di Kedokteran Umum. Tapi rupanya, hidup selalu berubah.
Medan, akhir 1998

Kulangkahkan kaki dengan enggan, melewati jalanan kampus Universitas Sumatra Utara yang tidak terlalu ramai di Sabtu siang itu. Dari kampus Teknik aku menyusuri Jalan Almamater dan memotong dari Biro Rektor. Langsung melintasi kampus FKM dan tembus di Jalan Universitas.
Keluar dari pintu satu kampus, aku tidak langsung menuju halte, menunggu angkot. Aku duduk di depan Kafe Burger Mahasiswa di depan kampus Kedokteran Umum.
Aku menunggu Dewi, sahabatku yang siang ini kutahu ada keperluan ke kampus ini, meskipun dia sudah tidak kuliah lagi. Entah mengurus apa, tapi aku harus menunggunya, karena mungkin hanya saat ini kami punya kesempatan bicara. Setengah jam menunggu sambil menikmati teh botol, tiba-tiba sosok itu muncul.
Badannya tinggi, ramping. Rambut sebahunya yang lurus legam dimainkan angin siang yang kering. Siang itu kulit putih mulusnya dibungkus kemeja berwarna krem dan padanan rok panjang hitam. Dia berjalan tenang. Mata sipitnya langsung tertuju ke tempatku menunggu.
"Kau sehat?" tanyaku menjejeri langkahnya. Dewi diam saja.
"Mau langsung pulang?" tanyaku ketika sudah sampai di halte.
Gadis itu tidak menjawab juga. Bukan hal baru. Akhir-akhir ini dia memang sering tidak menjawab pertanyaanku. Enggan. Malas, atau tidak sudi.
Biasanya aku sendirilah yang menjawab pertanyaanku. Menebak-nebak apa yang ada di pikirannya.
"Aku mau makan siang di tempat biasa. Kau mau ikut?" tanyaku.
"Aku ada urusan," sahut Dewi. "Aku perlu beberapa buku . Tapi mungkin aku akan ke Titi Gantung saja."
Titi Gantung adalah tempat penjualan buku-buku bekas. Pelajar atau mahasiswa pas-pasan selalu memburu tempat itu. Tempat yang unik. Untuk mencapainya jika dari lapangan Merdeka, Medan kita harus melewati jembatan - titi - gantung dekat stasiun Kereta api Besar Medan.
"Kau akan ke sana?" tanyaku heran. Untuk apa dia mencari buku lagi? Bukankah minggu depan dia akan diwisuda?
"Baiklah, pukul berapa?" aku tidak bisa menebak tujuannya.
Dewi diam, tidak menjawab. Kali ini sudah bisa kutebak jawabannya. Dia tidak ingin kutemani. Dia tidak ingin bersamaku. Ah...mungkin dia berpikir, buat apa bersama denganku, kalau toh orang tetap menganggap kami berbeda.
Dewi....tahukah kamu tentang hatiku?
Medan, Mei 1998

Seperti mimpi saja melihat kebrutalan ini terjadi. Mula-mula aku tidak mengerti. Pagi itu aku pergi ke kampus seperti biasa dengan ankutan kota Beberapa ruas jalan dijaga ketat polisi. Rupanya telah terjadi keributan, aksi massa.
Pembakaran dan perusakan terjadi di mana-mana. Penjarahan juga. Barisan orang dengan hasil jarahan berbondong-bondong. Sulit dimengerti, mereka membawa berkarung-karung beras, mi instan dan bahan pokok lainnya. Bahkan springbed pun kelihatan dibopong ke rumah mereka. Toko-toko di sepanjang jalan protokol menjadi sasaran massa, terutama toko-toko milik keturunan Cina. Sehingga tidak heran kalau kaum pribumi tegas-tegas menulis di pintu toko mereka: "MILIK PRIBUMI!" Atau "KEPUNYAAN SINAGA!" Atau "JAWA ASLI!" atau "HAJI IKLAS!" Karena hanya dengan begitu mereka merasa aman.
Situasi Medan pada saat itu benar-benar lumpuh. Aktivitas masyarakat juga seperti mati. Toko, plasa, swalayan terpaksa tutup karena takut dengan aksi massa. Jalan-jalan sunyi, kendaraan pribadi menghindari jalanan, sedangkan kendaraan umum hanya ada satu-satu. Yang nekat.
Bukan hanya di Medan saja, daerah tingkat dua di Sumatra Utara umumnya juga mengalami keadaan yang sama. Puluhan toko dirusak, dibakar, dijarah, termasuk sejumlah mobil. Kota Pematang Siantar, Tebing Tinggi, Kisaran, Rantau Prapat dan kota-kota kecil lainnya seperti Indrapura, Perdagangan juga menjadi lumpuh.

Apa yang terjadi sulit untuk kumengerti. Ada yang mengatakan bahwa kerusuhan ini merupakan ungkapan dari kekecewaan masyarakat terhadap masalah-masalah yang tidak kunjung selesai. Masalah apa? Uh..aku pun tidak mengerti. Aku tidak sepeka orang lain. Selama ini mungkin aku hanya mementingkan diri sendiri. Asal bisa membayar uang kuliah, beli buku, sudah! Aku tidak mau pusing dengan banyak masalah.
Tetapi kali ini aku jadi heran. Kerusuhan ini, kenapa nuansa diskriminasi begitu kental? Kenapa yang menjadi korban adalah mereka yang umumnya keturunan Cina? Ruko-ruko milik kaum nonpri tersebut yang menjadi sasaran.
Saat itu pikiranku melayang kepada keluarga Tuan Peng Si Tukang Air. Entah kenapa, aku mencemaskan keadaan mereka. Walau aku juga berkeyakinan kalau mereka akan baik-baik saja. Bukankah selama ini mereka cukup membaur? Mereka nyaris tidak beda dengan keluarga pribumi lainnya. Menyatu dengan masyarakat. Kecuali, tentunya, mereka memang berkulit kuning dan bermata sipit.
Dan hari itu, Rabu, 6 Mei 1998, aku tidak bertemu Dewi di kampus. Aku cemas. Beberapa temannya kutanyakan tentang keberadaannya, tapi semua menjawab tidak tahu. Semua orang gelisah. Kampus juga sedikit sepi dari kegiatan belajar. Tapi ramai oleh aksi demonstrasi. Beberapa teman dari Fakultas Teknik dan Sastra menggelar orasi di beberapa jalan di dalam lingkungan kampus.
Aku hanya hadir di sana tidak lebih dari lima belas menit. Aku teringat lagi akan Dewi. Bingung dan bimbang.
Dalam kebimbangan hati, aku pulang ke rumah. Aku tidak mendengar kabar apapun, kecuali cerita Togar dan Ronald, adikku yang menceritakan tentang keributan-keributan yang terjadi.
"Gila, Bang! Tadi banyak sekali beras di sana. Aku mau mengambil dua karung, tapi kasihan melihat pemiliknya menangis," Togar bercerita.
"Jangan pernah mengambil apapun!" aku berteriak marah. "Jangan sempat Abang dengar kalian ikut menjarah, ya!"
"Ya, Bang," kedua adikku mengangguk patuh.
"O ya, rumah Tuan Peng terbakar, Bang," kata Ronald pula. Ucapannya membuatku melompat dari tempat duduk.
"Terbakar?" tanyaku setengah berteriak.
Belum lagi tanyaku terjawab, tiba-tiba ayahku muncul dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya.
"Sudah gila semua orang," kudengar dia marah-marah. "Entah setan apa yang ada dalam pikiran mereka, sehingga mereka begitu brutal." "
Ayah, apa yang terjadi?" tanyaku.
"Mereka membakar semuanya, menjarah isinya dan ...ya, Tuhan ...apa yang ada dalam pikiran mereka?"
"Rumah Tuan Peng...."
"Habis...," suara Ayah menggantung. Dia duduk lemas. "Ayah baru mengantar Engkong ke rumah sakit, kena luka bakar. Nyonya Peng juga terluka dan...."
"Dewi dan Willy, Yah?" tanyaku menyebut nama Dewi dan adiknya.
"Ayah tidak melihatnya, Coky. Pergilah...bantu-bantu...," Ayah mengeleng. Kelelahan dan kekecewaan tampak di wajahnya.
Aku mengayuh sepeda bututku. Jalanan seperti lautan api. Bau asap tercium di mana-mana. Sampai di rumah Dewi, kulihat beberapa orang sedang memadamkan api. Tidak kulihat seorang pun dari keluarga Dewi. Dari Bang Hombing yang ikut membantu memadamkan api, aku dapat informasi bahwa keluarga Dewi yang lain mengungsi ke rumah kerabatnya, sedangkan Engkong dan mamanya di rawat di rumah sakit. Bang Hombing menyebut nama rumah sakit yang dimaksud.
Di rumah sakit aku hampir melompat kegirangan ketika melihat Dewi. Wajahnya pucat sekali. Tapi dia mencoba tabah. Dia tidak bicara apapun. Ingin kupeluk dirinya, kudekap dengan sepenuh hati. Tapi Johan ada di sana. Dia memeluk bahu Dewi dan kelihatan terus berbicara kepadanya. Pria tercintanya itu rupanya sedang menghiburnya.
Sore itu aku pulang ke rumah dengan hati hampa. Bukan karena Dewi tidak bicara sepatah kata pun kepadaku, tapi karena sedih. Kenapa kekerasan ini harus terjadi? Apa yang salah?
Seminggu aku tidak bertemu Dewi. Kupikir mereka mungkin sudah mengungsi jauh. Ke Singapura atau ke Australia, mungkin. Seperti kebanyakan warga keturunan Cina lainnya, yang berusaha menyelamatkan diri ke luar negeri.
Sampai akhirnya kudengar kabar pilu itu. Engkong dan mama Dewi meninggal dunia.
Sejak saat itu kehidupan keluarga Dewi berubah. Tuan Peng - papa Dewi - berusaha bangkit meski tidak mudah. Kepergian istri dan ayahnya membuat Tuan Peng menjadi lemah. Dia nyaris tidak meninggalkan warisan apapun ketika wafat setahun kemudian.
Dewi dan adik laki-lakinya dalam asuhan bibi dari pihak mamanya.
Aku pun nyaris tidak pernah melihat Dewi tersenyum, menikmati cibirannya atau gelak tawanya yang merdu lagi. Mungkin hanya romantisme sejarah masa remaja kamilah yang masih menyisakan ikatan diriku kepadanya. Aku masih selalu bisa bersamanya.

Aku ingin selalu menjaga Dewi. Menunjukkan kepadanya bahwa kejadian yang memnimpa keluarganya pada Mei 1998 itu adalah sebuah kejadian brutal yang tidak diinginkan siapapun. Siapapun yang berakal sehat.
Aku juga ingin dia tahu bahwa perasaanku kepadanya tidak berubah. Dia adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki, saudaraku. Meskipun setidaknya hati kecilku mencibir. Bagaimana mungkin aku hanya punya rasa sebagai teman dan saudara saja?
Baiklah, Dewi. Harus kukatakan pada dunia, bahwa aku mencintaimu. Terlau naif ya?
Aku menyimpan rasa khusus ini sejak kelas dua SMU. Saat aku dan Dewi semakin sering bersama. Tidak sabar rasanya menunggu pagi tiba, saat aku harus lewat di depan rumahnya, melemparkan koran dan menanti cibiran si nona cantik itu.
Kami lebih akrab ketika Dewi mulai menawarkan beberapa buku pelajaran untuk kupinjam. Dia sangat ramah. Dia tidak angkuh dengan kelebihannya atas diriku. Dia tidak kikuk berbicara denganku. Kami juga sering berdiskusi di sore hari, mengerjakan tugas-tugas sekolah, walaupun kami tidak satu sekolah.
Dewi sangat cerdas. Dia memang rajin belajar. Untungnya, aku juga memiliki otak yang encer. Kalau sudah belajar, kami sering lupa waktu. Aku sangat senang bila berdekatan dengan Dewi. Hampir setiap hari kami bersama.
Satu-satunya hari yang tidak bisa kami lalui bersama adalah hari Sabtu sampai malam Minggu. Dewi biasa menghabiskan waktunya dengan Johan, pacarnya yang sudah mahasiswa.
Aku sedih dan cemburu tiap kali ingat kebersamaan mereka. Aku ingin hanya akulah yang berada di sisi Dewi, tidak ada laki-laki lain. Aku sering uring-uringan dan jengkel sendiri bila membayangkan kemesraan mereka di malam Minggu. Kubayangkan tangan Johan yang kekar memeluk bahu Dewi. Membelai rambutnya yang legam sebahu, meremas jemarinya yang lentik dan bahkan...menciumnya!
Perasaan itu membuatku tidak bersemangat ketika Senin sorenya bertemu dengan Dewi. Kalau tidak terlalu ceriwis, ingin saja aku menanyakan, "Apa yang dilakukan Johan kepadamu?" Untung aku masih bisa menjaga mulutku. Aku lebih memilih diam. Dan Dewi akan keheranan melihat kediamanku.
"Kamu kenapa, Coky? Kenapa diam saja?" tanyanya ."Sakit?"
"Tidak," aku menggeleng.
"Kamu murung," dia tersenyum kecil. "Malam Minggumu tidak sukses, ya?"
Aku diam saja. Sukses bagaimana?
"Bagaimana kabar Susi?" tanya Dewi lagi. "Kalian masih akur, kan?"
"Susi sudah pergi," aku mengeluh. Susi, dia cuma sebuah nama gadis yang pernah kukatakan pada Dewi sebagai pacarku. Padahal, mana ada seseorang bernama Susi dalam kehidupanku.
"Astaga! Kamu ini bagaimana?" mata Dewi mendelik. Aku suka dengan reaksinya. Dia tampak menarik sekali. Sangat menarik. "Selalu saja berganti-ganti pacar. Bulan lalu putus dengan Niken, sebelumnya Indah...dan sekarang Susi. Kamu tidak betah dengan satu pacar, ya?"
"Hanya kamu yang betah dengan satu pacar," sahutku asal saja. "Hanya dengan Johan."
"Dia sangat baik," sahut Dewi. "Ko Johan penuh perhatian dan dia memang hebat," pujinya pula.
"Tentu saja," dadaku sarat dengan kecemburuan. "Dia tampan dan kaya," sahutku. "Kalau tidak...mana mau kamu sama dia."
"Ah...Coky bicara apa?" Dewi tertawa. "Bukan itu alasannya."
"Lagi pula dia orang Cina," aku mencibir . "Satu bangsa denganmu!"
"Coky kenapa bicara begitu," Dewi merengut. "Memangnya Coky tidak satu bangsa denganku?"
"Aku orang Batak," kataku. "Tapi bangsa Indonesia juga, kan?" tanya Dewi. "Sama dengan aku, sama juga dengan Ko Johan. Apa Coky pikir selama ini aku tidak sama dengan Coky?"
"Kita tetap beda," kataku bertahan.
"Coky salah," dia tersenyum. "Asal keturunan memang beda, Coky, tapi intinya, kita sama. Sama-sama lahir di negeri tercinta ini, sama-sama bangsa Indonesia, lebih dari itu, kita sama-sama ciptaan Yang Maha Kuasa, iya, kan?"
"Kalau begitu, kenapa kamu tidak mau jadi pacarku?" tanyaku spontan dan naif. Mata sipit Dewi mengerjap. Heran dengan ucapanku . Aku sendiri begitu menyadari ucapanku jadi malu.
"Maaf," aku jadi gugup. "Aku....tidak bermaksud...." Dewi tersenyum dan menyentuh tanganku. "Coky adalah saudaraku, tidakkah itu lebih indah?" matanya menatapku lembut.
Aku mengangguk dengan terharu. Itu lebih dari cukup. Andai aku menginginkan lebih...sungguh aku tidak tahu diri!
Ya, Dewi dan Coky memang bersaudara.

Setelah lulus, Dewi menghilang. Coky tak tahu harus mencarinya kemana.

Tapi mungkin sebagai saudara, terkadang kami melangkah terlalu jauh. Kedekatan kami, kepedulian sikap dan kebersamaan yang penuh kemesraan, sering mewarnai hari-hari kami. Yang tak jarang justru membuatku makin perasa dan memendam harap padanya.
Pernah suatu malam Minggu, ketika itu kami sudah jadi mahasiswa. Kami mengikuti acara di kampus dan pulang agak kemalaman. Ketepatan Dewi juga tidak dijemput Johan, yang saat itu sedang KKN. Kami berjalan menuju halte.ergandengan tangan di bawah sinar rembulan yang indah menyusuri jalanan kampus di antara pohon-pohon sawit. Terbawa oleh rasa romantis, kugenggam erat jemari Dewi. Dia juga membalas genggaman itu. Jantungku berdetak keras. Hanyut. Kuhentikan langkah. Dalam keremangan sinar rembulan kukecup bibirnya. Dia membalas. Untung hanya di jalanan kampus, sehingga kami tidak lebih hanyut.
Aku menikmati pengalaman paling romantis dalam hidupku. Kami bisa seleluasa itu tanpa terganggu oleh siapapun. Tanpa takut siapapun. Meskipun esok harinya sikap kami jadi kaku. Bisu.
"Maaf mengenai malam itu,"aku coba bicara setelah beberapa hari kami tidak saling sapa.
"Tidak apa-apa,"dia tersenyum kecil. "Itu kesalahan bersama,"jelasnya. "Aku kangen dengan Ko Johan,"matanya menerawang jauh. ÒSehingga aku terhanyut dan..."
"Tidak apa,"aku menggeleng. Sakit dadaku. Dia mau kucium karena membayangkan aku sebagai Johan?
"Kita masih tetap bersahabat, kan, Coky?"
"Tentu,"sahutku.
"Tetap bersaudara?"tanyanya pula.
"Tidak akan berubah,"kupastikan kepadanya.
Duhai, Dewi, tahukah kamu, aku sedang menipu hatiku saat itu?
Dewi saudaraku,
Hari-hari telah berubah. Peristiwa di Mei itu menghancurkan keceriaanmu. Tidak ada lagi senyummu. Nyaris tidak ada. Dewi seperti menjauhi semua orang. Andai kami tidak pernah berjanji tetap bersahabat, mungkin dia juga akan menjauhiku. Dia jadi seperti memusuhi semua orang.
“Apa ini?” matanya mengerjap sedih seolah tidak percaya, tiap kali dia teringat kejadian yang menimpa keluarganya. “ Apa yang kurang, Coky? Kami adalah kamu, kami menyatu dengan semua orang. Kami saudara semua orang, tapi kenapa mereka memperlakukan kami sebagai musuh?”

Dewi, aku tidak punya jawaban. Kalaupun ada, mungkin Dewi tidak memerlukan jawaban itu.

“Katakan Coky, apa yang kurang?” matanya menatapku , memohon. Ya, Tuhan, aku ingin memeluknya, merengkuhnya, mendekapnya dan membiarkan semua kesedihannya tumpah di dadaku. Aku ingin mengecup air matanya.

Tapi aku tidak punya nyali. Aku juga tidak punya jawaban. Hati manusia, kebanyakan seperti lautan yang tidak terduga. Kemarahan dan rasa benci, sering kali membuat orang lupa siapa dirinya, Dewi. Ya, mungkin karena lupa itu pula maka rasa marah dan benci muncul. Mana yang lebih dulu, aku tidak tahu.

Hari memang telah berubah. Setiap detik, setiap menit, terjadi perubahan. Tapi siapa yang bisa melupakan rasa sakit yang pernah menimpanya? Sabarlah, terimalah semuanya sebagai takdir. Aku bisa mengatakan itu beribu kali pada Dewi, tapi apakah itu cukup? Aku tidak merasakannya, aku tidak mengalaminya. Aku tidak kehilangan rumah, aku tidak kehilangan ayah, ibu dan keluarga yang lain. Seberat apapun aku ingin merasakannya, aku tidak mengalaminya langsung. Berat mata memandang, lebih berat bahu memikul, begitu kata peribahasa.

Jadi, wajarkah bila Dewi apatis dengan semua orang pascamusibah yang menimpa keluarganya?

Medan, awal 2000

Silakan benci semua orang, Dewi. Silakan apatis dengan semua orang, silakan tinggalkan semua orang, tapi jangan aku. Jangan tinggalkan aku, Saudaraku. Aku bisa mati tanpamu!

“Sudah lama Coky tidak datang,” wanita berwajah lembut itu menyambutku dengan senyum tulus. Dia Bibi Afang, adik mama Dewi.

“Saya kerja, Bibi,” sahutku.

“Ooh…” matanya berbinar. “Coky kerja di mana sekarang?”

“Saya pengawas proyek, Bi. Kerja di sebuah perusahaan kontraktor. Saya ditempatkan di Dumai, Riau. Mengawasi pembangunan Pabrik Kelapa Sawit. Ketepatan saya ke Medan untuk mengantar laporan kemajuan pekerjaan, Bi. Saya mampir dan….”

“Dewi sudah empat bulan tidak pulang ke rumah,” Bibi Afang mengeluh. “Sejak dia selesai kuliah. Pamannya memintanya untuk buka praktek di Medan saja. Di Jalan Asia, bersebelahan dengan toko pamannya, tapi dia menolak.”

“Sekarang dia ada di mana, Bi?” aku tidak dapat menahan diri. Aku rindu pada Dewi.

“Dia tidak pernah mau menyebutkan tempatnya,” Bibi Afang kembali mengeluh. “Anak itu keras sekali.”

Aku diam, namun gusar.

“Dia tidak pernah pulang?” tanyaku pula.

“Pernah, dua kali. Tapi empat bulan terakhir ini dia tidak ada pulang.”

“Bibi tidak menanyakan di mana tempat tinggalnya?”

“Coky, kamu lebih kenal siapa dia, kan?” wanita itu menggeleng. “Jika dia ingin, dia akan mengatakannya, tapi jika tidak, Bibi tidak berani menanyakannya.”

Aku mengangguk.

“Willy bagaimana?” tiba-tiba aku teringat dengan adik laki-laki Dewi satu-satunya .

“Willy sudah hampir menyelesaikan kuliahnya. Bulan depan dia akan diwisuda. Sore begini, dia membantu pamannya di toko. Kalau ingin bertemu dengannya, datang saja ke toko.”

“Ya,“ aku mengangguk. “Saya harus berangkat malam ini, Bi,” aku menunduk. “Andai Dewi pulang, kapan saja, sampaikan salam saya.”

“Ya…Bibi akan sampaikan,” Bi Afang tersenyum maklum. Seperti ada yang ingin diucapkannya, tapi gagal. Aku mohon diri, dan wanita itu melepasku.

“Bibi ingin sekali Coky menjaga Dewi,” tiba-tiba wanita itu terisak.

Aku menunda langkahku. Menarik napas dan menyentuh tangannya. “Bibi…percayalah, Dewi sudah besar, sudah dewasa. Ingat, sekarang dia seorang dokter. Dia bisa menjaga dirinya, Bi.”

“Bibi tahu,” wanita itu menyusut air matanya. “Andai dia bisa menerima semua ini sebagai suratan takdir, andai dia bisa membuang rasa bencinya, andai…”

Aku menatap langit. Pedih. Dewiku membenci semua orang. Dewiku menyimpan dendam.

“Coky…apakah Coky tahu kalau dia…dia….diperkosa?”

Langit seolah runtuh tepat di atas kepalaku. Tiba-tiba wajah putih mulus itu membayang di mataku. Cibirannya, tawanya, mata sipitnya yang menarik. Ya, Tuhan, begitu lama waktuku bersama dia, tapi tidak pernah terpikir olehku bahwa dia mengalami hal sejauh itu. Terkutuk! Biadab!

Tinjuku mengepal. Dadaku sakit. Luka.

Inikah yang membuatnya menolak ajakan menikah Johan? Inikah yang membuatnya membisu dan menjauhi semua orang?

Ayo kita balik hari, Dewi. Ayolah. Lalu biarkan waktu berjalan, berkejaran, berlari dan sampai ke batas manapun , aku tetap ada di sampingmu. Tidak ada yang bisa memisahkan ikatan kita. Tidak ada. Siapapun, di manapun, kapanpun. Kemarin, hari ini, dan esok!


Desa Berombak, pertengahan 2000

"Apakah segalanya baik-baik saja, Bu Dokter?”
Wanita berwajah ayu itu menatapku penuh harap. Kugenggam jemarinya dan tersenyum. Dia bangkit dari tempat tidur, menyibakkan tirai dan mengikutiku.

“Kondisi Kak Ida sangat baik,” terangku. “Tapi ingat, terus jaga kesehatan,” aku tersenyum sambil melirik perutnya yang membuncit. Lima bulan usia kandungan wanita ini, anak pertama. Dia tampak bahagia.

“Terima kasih, Bu Dokter,” Kak Ida bangkit, tersenyum. “Nanti kalau Bang Karyo pulang membawa hasil ikan yang banyak, untuk Bu Dokter akan saya sisihkan yang paling besar,” janjinya.

“Jangan pikirkan saya,” aku tersenyum. “Yang penting Kak Ida. Jangan makan sembarangan, ingat si kecil.”

“Tentu, Bu Dokter.” Dia tertawa. Bahagia. “Saya bisa pulang sekarang kan?” tanyanya pula.

“Ya, hati-hati,” pesanku.

Sepeningal Kak Ida aku meneruskan pekerjaanku yang tertunda karena kedatangannya tadi. Aku membersihkan ruangan tempat praktekku. Baru pukul sembilan pagi. Aku tersenyum, mengedarkan ruangan berukuran 6 x 5 meter ini. Jangan bayangkan aku punya tempat praktek mewah. Dulu aku memang punya mimpi begitu.

Begitu tamat dari kuliah, dilantik jadi dokter, aku akan punya tempat praktek nyaman. Besar, punya pendingin ruangan, peralatan lengkap dan pasien-pasien dari kalangan tertentu.

Tapi semua hanya mimpi lalu. Itu hari kemarin. Sekarang aku harus berpijak pada hari ini, sebuah kenyataan yang lain dari impian itu.

Aku membuka praktek di pinggiran kota. Pada kampung nelayan yang miskin. Kampungnya orang-orang yang lebih berpikir apa yang akan dimakan hari ini ketimbang berpikir, apakah saya sehat hari ini.

Tempat praktekku juga jauh dari yang pernah kubayangkan dulu. Memang benar, dulu ada rencana untuk membangun sebuah Puskesmas di desa terpencil ini. Entah apa sebabnya, maka pembangunannya hanya sebagian saja, tertunda, terbengkalai, tidak diteruskan. Dan sekarang tempat ini kusulap menjadi tempat praktek, sekaligus tempat tinggalku.

Kedatanganku ke tempat ini sendiri bukan tanpa masalah. Penuh rintangan dan tidak mudah. Aku sempat dicurigai. Bagaimana tidak, aku datang dan ingin buka praktek di sini. Seorang dokter, mau buka praktek di desa terpencil? Lagipula aku….

“Utusan dari mana, Bu?” masih kuingat seorang laki-laki menyambutku dengan kening berkerut. Dia masih sangat muda. Mungkin usianya tidak lebih dari 25 tahun, atau mungkin masih lebih muda dariku. Wajahnya ramah.Tulus. Tapi dia jelas bingung. Kerani kelurahan, pikirku.

Dari mana saja. Ingin kujawab seperti itu. Tapi pasti semua mimpiku akan buyar, bila itu kulakukan.

“Saya dapat rekomendasi dari sebuah lembaga sosial, Pak,” kutunjukkan berkas-berkasku. Semua dokumen yang menyatakan bahwa memang aku seorang dokter. Transkip akademik, surat pengantar dari sebuah organisasi sosial, atau apapun yang mungkin diperlukan si penguasa desa ini.

“Maksudnya apa, Bu?” laki-laki itu masih tidak mengerti.

“Saya seorang dokter, Pak,” sahutku. “Kalau warga desa ini, memerlukan bantuan saya, saya bersedia membantu.” Tidak tahu aku jarus memulai dari mana penjelasan ini.

Si laki-laki muda terdiam. Aku yakin dia bingung, atau tidak mengerti sama sekali. Aku berpikir, apakah dia sebodoh ini? Dari penampilannya, sepertinya dia orang yang berpendidikan.

“Dan cuma-cuma,” aku tersenyum. “Saya tidak memungut bayaran.”

Aku berharap dapat sambutan. Senyum puas, lega atau apa saja. Tapi wajah tulus itu masih tetap diam.

“Oya…saya bisa bertemu dengan kepala desa?” akhirnya aku kesal dengan aksi diamnya.

“Ya…tentu,” dia mengangguk. “Saya kepala desanya,” tidak ada nada sombong di suaranya.

“Oh…” aku jadi malu hati.

“Apa yang ingin Ibu jelaskan?” si kepala desa muda itu membantu kegugupanku.

Seharusnya Coky menangkap sinyal-sinyal yang dikirim wanita itu lewat sikap dan perhatiannya.

Saya dengar, di sini belum ada dokter, Pak. Paramedis atau mantri kesehatan juga tidak ada.”

“Ya,” Kepala Desa mengangguk.

“Saya akan mengabdi di sini, Pak,” kataku menjelaskan. “Sekali lagi, saya tidak memungut bayaran apa pun. “

“Tapi….”

“Sebisa mungkin saya akan menyediakan obat-obatan, gratis juga, dan…”

“Ibu orang Cina, ya?”

Aku menelan ludah. Tenggorokanku kering. Itu rupanya masalahnya.

“Ya,” aku menjawab tenang. “Apakah itu merisaukan Bapak?” tanyaku pula. “Apakah Bapak keberatan kalau saya Cina? Haruskah saya mengoperasi mata saya agar tidak sipit? Mengecat kulit saya agar tidak kuning atau menyesali leluhur saya sebagai orang Cina?”

Dia tertawa. Aku benci mendengar cara dia tertawa. Seperti mengejek. Aku jadi ingat wajah-wajah yang sama, tertawa, berteriak. Ada yang memegang lenganku, menjambak rambutku, menarik bajuku dan ….

“Bu….” Sentuhan di tanganku membuatku melonjak kaget. “Ibu sakit?” Kepala Desa itu menatapku cemas.

“Tidak…Maaf,” Kubuka tasku dan mencari saputangan. Keringat telah membanjiri wajah dan keningku. Bajuku juga basah oleh keringat.

“Saya akan ambilkan air,” Kepala Desa bangkit. Dua menit kemudian dia muncul dengan segelas air putih. Disodorkannya kepadaku. “Ibu, minum saja dulu.”

“Terima kasih,” tanganku gemetar ketika menerima gelas itu. Kuteguk sampai habis airnya dan kurasakan perlahan kesejukan mengalir di dadaku. Meredakan sesuatu yang membara. Rasa marah.

“Saya Ihsan,” berapa lama kemudian si kepala desa mengulurkan tangannya. “Selamat datang didesa Berombak, buat Bu Dokter.”

Aku ragu menerima uluran tangannya. Tapi, ketika dia tersenyum dan mengangguk, aku sambut tangannya.

“Terima kasih telah menerima saya,” ucapku.

“Baiklah,” Ihsan, sang kepala desa itu, tersenyum. “Saya terima Ibu, tapi penerimaan saya bukan jaminan bahwa Ibu juga diterima oleh warga desa ini.”

Aku menatap Ihsan tidak mengerti.

“Ibu akan tahu sendiri bagaimana mereka,” terangnya.

“Karena saya Cina?” tanyaku terus terang.

Ihsan tertawa. “Itu salah satu dari seribu penyebabnya,” sahutnya.

“Tapi itu pula yang paling mendasar, ya kan?” tanyaku.

Ihsan tersenyum kecil. “Mereka orang yang tingkat pendidikannya rendah, Bu,” terangnya. “Wajarlah kalau mereka masih menaruh curiga, apalagi….”

“Kenapa?” kejarku.

“Bu Dokter mau mendengarnya?” tanya laki-laki itu pula.

“Ya,” aku mengangguk. “O ya, nama saya Dewi. “

“Baiklah, Bu Dewi,” Ihsan mengusap pelipisnya sekilas. “Saya tidak tahu angin apa yang telah membawa Ibu sampai ke sini. Apalagi saya memang tidak pernah diberi tahu lembaga sosial yang Ibu katakan tadi. Tapi, angin apa pun itu, saya berharap Ibu sudah mempelajari keadaan desa ini. Masyarakatnya.”

Dia menatapku dan aku terdiam. Satu hal yang aku tahu, desa ini sangat terpencil, miskin dan minim sarana kesehatan. Inilah desa terburuk dari sepuluh desa yang ditawarkan kepadaku ketika aku meminta data dari lembaga swadaya masyarakat di Medan beberapa waktu yang lalu untuk tempat pengabdianku.

Desa nelayan miskin ini membutuhkan sentuhan, terutama yang menyangkut kesehatan. Itu yang kutahu. Lebih memang. Aku tahu juga bahwa desa ini dihuni oleh 200 KK, dan lebih kurang 2000 jiwa. Dengan luas desa kurang dari dua kilometer persegi.

Data itu kupikir sangat komplet. Namun, rupanya ada yang tidak kuketahui. Dan itulah yang paling utama.

“Maaf, kalau saya katakan bahwa warga di sini sangat membenci orang Cina,” terang Ihsan yang membuat darahku seolah membeku. “Mata pencarian utama warga, mungkin Ibu sudah tahu, yaitu nelayan, mencari ikan di laut. Saya lahir di sini, besar di sini, dan setamat kuliah dari IKIP di Medan, saya kembali lagi ke sini. “

“Jabatan kepala desa seolah turun temurun dalam keluarga saya. Kakek saya bekas kepala desa, lalu ayah saya, dan kini saya,” terang Ihsan. “Kami bukan gila jabatan, saya juga kembali ke desa ini bukan karena ingin jadi kepala desa. Semua karena panggilan jiwa. Saya ingin membangun desa ini. Membangun dalam arti yang hakiki, membangun manusianya.

“Di desa saya ini, urusan perut adalah urusan yang paling utama. Apa pun akan dilakukan warga desa untuk menyelamatkan perut keluarganya. Jangan heran kalau sesama warga bisa saling baku hantam hanya karena dua ekor ikan atau sekilo beras. Apa pun yang terjadi, bagi mereka yang penting bisa makan enak. Biar rumah mau runtuh, tapi gulai harus lemak, begitu
lah perumpamaannya.

“Itu makanya mereka sangat benci ketika kapal penangkap ikan milik pengusaha dari kota mulai beroperasi di sini. Bagi mereka, itu sama saja dengan mengambil jatah mereka, mengancam kelangsungan hidup mereka. Dan Ibu tahu, rata-rata pemilik kapal besar itu adalah orang bermata sipit.”

Ihsan mengakhiri ceritanya dengan tarikan napas panjang. Seolah dia sangat puas berhasil memojokkanku.

Aku terhenyak.

“Bapak percaya pada peribahasa yang mengatakan bahwa tidak semua yang berkilau itu emas?” tanyaku seakan membela diri.

“Sangat percaya,” Ihsan tersenyum. “Itu juga berarti tidak semua orang Cina pemilik kapal penangkap ikan, bukan?” Ihsan masih tersenyum. “Tapi saya bukan mereka, Bu Dewi. Pemikiran warga sini tidak selalu sama dengan saya.“

Aku diam.

“Sudahlah,” laki-laki itu mengibaskan tangannya. “Ibu sudah sampai di sini. Tidak salah dicoba, bukan? Saya yakin, ketulusan, kejujuran, dan niat yang bersih akan mendapat balasan yang sepadan. Saya akan carikan tempat sementara untuk Ibu.”

Sejuk hatiku mendengar kata-katanya. Tapi memang benar, Ihsan bukanlah warga desa. Jangankan mau mengunjungi tempatku praktek, warga desa malah mencibirku. Bahkan mencurigaiku sebagai mata-mata dari kota. Mereka anggap aku utusan para pengusaha ikan dan pemilik kapal penangkap ikan dari kota.

Berkali teror kuterima. Tempat tinggalku pernah dibakar. Untunglah Ihsan dan beberapa warga desa yang sedikit peduli berhasil menjinakkan api. Kalau tidak, aku tidak tahu apa jadinya.

Tapi teror dan ancaman tidak membuat tekadku berubah. Aku tetap bertahan. Untungnya Ihsan selalu mendukungku, meski sebagai kepala desa dia juga harus berhati-hati. Serba salah. Di satu sisi dia ingin membantuku, di sisi lain, dia juga tidak siap berbantahan dengan warga desanya.

Aku bisa memaklumi sikapnya dan tidak sakit hati bila suatu hari dia tidak membelaku. Bagiku, dia tetaplah pendukung utama. Akan tiba saatnya, begitu katanya kepadaku. Akan tiba saatnya warga desa mengerti dan menerima niat baikku.

Aku coba bertahan. Kalaupun akhirnya aku hampir putus asa juga, itu bukanlah karena teror dan caci maki para warga. Tapi, lebih karena rasa frustasiku terhadap ketidakpedulian warga akan kesehatannya sendiri. Bagiku, mereka seolah lebih rela keluarganya mati daripada kuberi obat. Haram mendapat pengobatanku, begitu komentar seram yang pernah kudengar.

Untunglah Tuhan mendengar doaku. Kesempatan pertama itu kudapat ketika Noval, anak sulung Pak Zulham, terserang diare. Mulanya mereka memanggil dukun kampung, menganggap penyakit yang diderita Noval adalah guna-guna.

“Aku tahu, ini perbuatan Si Lokot sekeluarga. Aku tahu. Dia iri karena aku berhasil membawa ikan lebih banyak. Awaslah, aku akan balas juga. Kalau anakku mati, anaknya juga harus begitu.”

Aku mencoba menerangkan tentang penyakit Noval. Tapi orang tuanya tidak peduli. Akhirnya, karena tidak tahan melihat kondisi Noval yang mengalami dehidrasi, aku bertaruh dengan nyawaku sendiri.

“Saya akan mengobati anak Bapak,” kataku mendatangi rumah Pak Zulham.

“Jangan sentuh anakku!” Pak Zulham berteriak marah. “Tidak akan kuizinkan orang Cina menyentuh anakku. Haram jadah!”

“Anak Bapak sudah sangat kritis,” kataku. Ya, Noval sudah banyak kehilangan cairan. Kalau tidak segera ditolong, aku yakin
kondisi bocah lima tahun itu akan lebih parah.

“Kita sama-sama beragama, Pak,” terangku. “Soal umur, semua terserah Yang Mahakuasa. Tapi, izinkan saya menolongnya. Jika memang dia tidak sembuh, maka nyawa saya jadi taruhannya. Saya juga rela mati bersama Noval.”

Sebagai penganut agama Kristen, aku memohon ampun pada Tuhan Allah, atas kelancanganku. Aku berdoa, kiranya Dia senantiasa menyertaiku.

Dan Tuhan memang Mahasegalanya. Dia mengabulkan doaku, permohonanku. Setelah menghabiskan empat botol cairan melalui infus, perlahan kondisi Noval membaik. Dua hari kemudian, jabat tangan Pak Zulham membuat air mataku menetes.

Aku menangis. Tapi tidak seperti kemarin-kemarin, hari ini tangisku adalah tangis bahagia. Dan semoga esok juga penuh kebahagiaan.

Aku masih menyapu ruang praktekku ketika aku mendengar suara seseorang di luar. Seorang bocah sembilan tahun sedang menyandarkan sepedanya di bawah pohon kelapa.

“Bu Dokter, ini ada titipan Ayah,” bocah itu, Udin, mengangsurkan sebuah bungkusan kepadaku.

“Wah…terima kasih, ya, Din. Bagaimana kakimu?” kutarik tangannya untuk masuk. Dia duduk di bangku panjang dan tidak tampak takut ketika aku memeriksa lukanya. Tiga hari yang lalu dia jatuh dari sepedanya. Lukanya lumayan besar. Tapi dasar anak-anak, sekarang dia sudah bersepeda lagi.

“Sudah tidak berdarah lagi, Bu Dokter,” sahutnya. “Tapi, kalau malam, terasa mencubit-cubit. Berdenyut.”

“Jangan terlalu banyak bersepeda dulu.” Kubuka perban yang membalut luka kakinya. Kubersihkan, kuganti dengan perban baru dan kukompres. “Kamu akan sembuh,” hiburku.

“Terima kasih, Bu Dokter. Emak bilang, saya tidak boleh lama-lama di sini, nanti mengganggu kerja Ibu Dokter.”

Aku tertawa, mengacak rambut ikalnya dan membiarkannya berlalu.

“Katakan kepada Emak dan Ayah, terima kasih untuk kirimannya,” pesanku.

“Baik, Bu Dokter.” Udin sudah melesat dengan sepedanya.Ingat sepeda, aku teringat seseorang. Seseorang yang suka melesat dengan gaya yang sama dengan Udin. Sepeda bututnya sering berbunyi, kretak-kretak! Kepalanya akan terangkat ke atas, melihatku berdiri di balkon. Tersenyum, nyengir kuda, ketika aku mencibirnya.

Aku terhenyak. Seolah baru terbangun dari mimpi panjang. Sesuatu menetes di hatiku. Kerinduan yang tak bertepi. Ya…aku memang merindukannya. Sangat merindukannya. Aku suka gayanya bicara, aku suka cara dia tertawa, tatapan lembutnya dan semua tentang dia.

Aku membuang bayangan itu. Kelebatnya nyata di pelupuk mata. Tubuh jangkungnya, rambut ikalnya. Susah payah aku mencoba menghilangkannya dari ingatanku. Kukemasi meja, buku-buku, termasuk makan siang yang hari ini dikirim oleh ayah Udin.

Kupandangi ruang kerjaku. Sudah rapi. Tapi, ada yang kurang. Kuperhatikan dindingnya yang muram dan buram. Aku perlu mengecat ulang ruangan ini, agar kesan bersihnya melekat di hati para pengunjung dan memberi efek positif bagi yang sakit.

“Akan kubangunkan rumah buatmu. Semuanya akan dicat warna putih, termasuk pagarnya, seperti rumah sakit.”

Seseorang pernah berjanji kepadaku begitu. Mungkin dia bermaksud bercanda. Tapi aku begitu tersanjung mendengarnya.

“Kau akan jadi dokter yang baik,” sambungnya. “Tapi, aku akan cepat mati karena cemburu kepada pasien-pasienmu.”

Kata-katanya spontan, keluar tanpa terpikir lebih dulu. Tapi, selalu bisa membuatku tersentuh. Bergetar.

Aku mencintai Ko Johan, memujanya karena dia memang pantas untuk dicintai dan dipuja. Johan tampan, matang dan kaya. Gadis mana pun akan tertarik kepadanya, akan jatuh cinta kepadanya. Termasuk aku. Aku sangat bangga saat dia memilihku sebagai pacarnya. Papa dan mamaku juga sangat bersukacita dan merestui hubungan kami.

Tapi satu-satunya orang yang ingin kunikahi adalah laki-laki itu. Si Keparat Coky! Aku ingin menikah dengannya, menjadi istrinya, mendampingi hidupnya sampai kapan pun. Sampai dunia berakhir. Aku ingin selalu berada dalam dekapannya, pelukannya. Aku ingin ketika akan terlelap dia di sampingku, dan saat terbangun dia masih tetap di sisiku.

Entah dia tahu apa tidak akan rasa hatiku. Ketidakpeduliannyalah yang membuatku diam-diam memakinya dengan kata ‘keparat’. Seharusnya dia bisa menangkap sinyal-sinyal yang kukirim lewat sikap dan perhatianku. Uh…dia malah menjalin hubungan dengan gadis lain. Susi, Niken, Indah…oh…pening kepalaku ingat nama-nama gadis itu.

Aku benci mendapati dia tidak pernah muncul di rumahku pada Sabtu sore. Aku ingin selalu bersamanya. Selalu.

Suatu malam, kami pernah berciuman di kampus. Aku bahagia sekali. Sejak saat itu aku bertekad, aku harus menikah dengannya. Hanya dia. Tidak ada laki-laki lain. Aku miliknya, sama seperti dia adalah milikku.

Sampai semuanya terjadi.

Kurasakan wajah dan pelipisku banjir keringat. Bajuku basah. Teringat olehku tangan-tangan kasar itu merenggutku, memaksaku. Aku terisak sendirian, tidak seorang pun yang tahu kejadian itu selain Mama. Kutelan pil antihamil, kuyakinkan semua akan berjalan sebagaimana biasanya. Aku yakin tidak akan terjadi apa-apa. Aku tahu, aku calon dokter. Aku mencoba tenang. Yakin.

Mama meninggal karena syok. Begitu juga Engkong.

Aku memang tidak hamil. Tapi siapa yang menjamin aku tidak mengandung semua bibit kebencian dan dendam? Aku trauma beberapa bulan lamanya, tapi hatiku keras. Yang ada hanya kebencian, rasa dendam.

Aku putus asa, merasa kotor, tercela dan tidak berarti. Ingin rasanya aku mati saja. Sempat juga terpikir olehku untuk bunuh diri. Tapi, dendamku harus terbalaskan. Harus.

Aku benci pada semua orang yang menyebabkan aku kehilangan segala hal yang manis. Aku tidak ingin bicara kepada mereka. Aku benci.

Termasuk kepada Coky. Aku benci kenapa dia masih ada di sisiku. Aku ingin dia pergi dari kehidupanku. Sebab aku tahu, aku sangat mencintainya, tidak bisa hidup tanpa dia, tapi aku juga sadar, aku tidak akan bisa hidup bersamanya setelah kejadian yang menimpaku.

Apa yang dapat kuberikan kepadanya? Apa? Aku tidak sanggup menceritakan kejadian ini kepadanya. Tidak!
Aku pergi, berlalu. Menghindar darinya.

“Akan kubangunkan rumah buatmu. Semuanya akan dicat warna putih, termasuk pagarnya, seperti rumah sakit.”

Ah..ah…entah di mana dia kini. Aku yakin, dia telah membangun sebuah rumah. Dengan wanita lain.

Entah warna apa cat rumahnya.

Hiduplah dengan cinta. Papa pernah berkata begitu. Aku senang kalau Papa sudah bicara tentang kemanusiaan dan kehidupan. Uraiannya mengalir dengan kata-kata bermakna. Papa selalu punya banyak cerita, banyak kisah.

Cerita tentang kebaikan dan kasih sayang.

“Jangan pernah membenci sesamamu, siapa pun dia,” begitu kata Papa kepadaku dan Willy, adikku. “Semua manusia sama. Perbedaan memang ada, dan itu membuat setiap kita jadi istimewa. Jangan menyayangi orang hanya karena warna kulitnya sama dengan kita. Dan jangan membenci orang hanya karena matanya tidak sama dengan kita. Cintailah semua orang, karena kita sama-sama ciptaan Yang Kuasa.”

Papa sangat sederhana. Setelah masuk SMU aku tahu bahwa Papa bisa jadi orang yang sangat kaya. Bahkan mungkin lebih kaya dari Om Petrus, papa Johan. Papa punya peluang untuk mendapatkan untung. Tapi, Papa lebih memilih gaya hidup sederhana. Lebih memilih sebutan Tukang Air ketimbang Pengusaha.

“Air itu sumber kehidupan yang paling utama,” ucapnya suatu kali. “Entah apa artinya hidup tanpa air. Dan Papa bangga karena bisa membantu orang-orang mendapatkan air yang bersih.”

Sebagai orang Cina, Papa memang tetap mewarisi jiwa dagang dan ulet. Tapi tidak seperti pengusaha umumnya, Papa lebih memilih berbaur dengan masyarakat dari kalangan bawah. Dia lebih senang menghabiskan waktunya di pelosok dan pedalaman, bersama pekerjanya, ketimbang sibuk bernegosiasi mendapat proyek. Papa juga sangat dekat dengan para tetangga kami. Ada saja yang datang apabila Papa di rumah.

Mama suka geleng-geleng kepala dengan ulah Papa. Mama juga terkadang gondok bila Papa di rumah. Karena pasti ada saja yang datang untuk membeli beras atau kebutuhan pokok lainnya di toko kami tanpa membawa uang.

“Tidak apa, tidak apa. Bapak bawa saja dulu berasnya. Nanti kalau sudah ada uang, boleh antar ke sini,” begitu kata Papa.
Terang saja Mama terkadang kesal. Aku suka menebak-nebak dan pernah berpikir jahil: jangan-jangan Mama tidak senang Papa ada di rumah.

Jadi sungguh aku tidak percaya bahwa orang sebaik Papa, masih juga dianggap beda dengan para tetangga kami yang rata-rata memang WNI asli. Aku sungguh benci mendapati kami tidak dianggap beda dengan keluarga Cina lainnya. Jadi, untuk apa kami bersusah payah membaur?

“Jangan menilai seseorang dari luarnya saja, Dewi,” kata Papa pula. “Rambut boleh sama, kulit bisa tidak ada beda, tapi hati manusia, siapa yang tahu?”

Ya, siapa yang tahu? Selama ini aku merasa bahwa keluarga kami telah diterima sebagai bagian dari kehidupan para tetangga, tapi kenyataannya, kami tetap dianggap beda.

Dan puncaknya adalah kejadian di bulan Mei itu. Pagi itu, aku akan berangkat ke kampus ketika suara ribut-ribut terdengar di depan toko kami. Belum sempat aku turun untuk melihat, tiba-tiba rumah sudah penuh asap.

Kulihat Mama membantu Engkong turun. Aku mengikuti dari belakang. Tapi tiba-tiba ada yang menjambak rambutku, menarikku, dan….

Sebagai dokter ia tidak akan melayani pasien yang tidak sebangsanya.

Aku membenci semua orang. Semua orang yang bukan Cina sejak saat itu. Entahlah, selama ini aku tidak pernah memasalahkan warna kulit. Papa telah mengajariku begitu. Aku menerima diriku apa adanya dan menganggap bahwa orang juga menerima diri mereka seperti apa adanya.

Perbedaan pasti ada. Dan perbedaan itu membuat setiap orang jadi istimewa. Itu kata Papa.

Sayang Papa tidak tahu, bahwa perbedaan membuat orang juga buta!

Kebencian dan dendam itu terus menggunung. Aku tidak ingin bermanis-manis dengan orang lain. Semua itu juga melahirkan satu tekad dalam diriku bahwa aku tidak akan peduli kepada orang lain.

Kelak aku jadi dokter, aku tidak akan melayani siapapun yang tidak sebangsa denganku.

Seminggu setelah aku diwisuda, Paman menawariku buka praktek di Medan, tepatnya di Jalan Asia, tidak jauh dari toko elektronik yang dikelolanya. Tawaran yang baik. Daerah Jalan Asia umumnya memang dihuni oleh warga keturunan Cina. Aku yakin akan banyak mendapat pelanggan.

Tapi aku menolak. Kalau tetap di sana, aku tidak akan dapat membalaskan dendamku. Aku harus buka praktek di daerah yang netral.

Aku jahat. Mungkin lebih jahat daripada orang-orang yang telah menghancurkan kehidupanku. Tapi aku harus melakukan itu. Bukankah yang paling sakit dari rasa benci dan dendam adalah, apabila dia tidak terbalaskan.

Atas nama dendam dan benci aku pergi ke Tanjung Balai. Sebuah kota pelabuhan di pantai timur Sumatra, lebih kurang 200 km dari Medan, berbatasan dengan Selat Malaka dengan Malaysia.

Di sana ada seorang pamanku, meskipun masih saudara jauh dari pihak Papa, tapi dia menerimaku dengan senang hati.

Aku mulai berpraktek.

Dua bulan aku membuka praktek, aku menikmati kekejamanku sendiri. Beberapa orang pribumi kutolak untuk berobat. Aku jahat.

Sampai akhirnya gadis itu muncul di ruang parktekku. Usianya baru tujuh belas tahun. Dia gadis yang biasa saja, namun kecantikan khas perempuan pantai begitu menonjol.

Gadis itu bernama Minah. Dia baru kelas dua SMU.

Dia tiba di tempat praktekku hampir pukul delapan malam, saat aku harus berkemas untuk istirahat. Maryam, perawat yang membantuku berusaha mencegahnya menemuiku, tapi gadis kurus berkulit gelap itu memaksa menemuiku.

“Tolong saya, Bu Dokter,” matanya sembap. “Dokter harus melakukannya,” dia terisak. “Saya tidak bisa menanggungnya.
Saya malu…saya…”

“Saya sudah tutup,” aku menolaknya tanpa perasaan, dan tanpa mendengar alasannya. “Silakan berobat ke dokter lain.”

“Tapi… dokter…saya….”

Aku melangkah pergi.

Dua hari kemudian aku membaca berita itu di sebuah harian lokal.

SEORANG GADIS TEWAS BUNUH DIRI!

Aku terhenyak ketika membaca isi berita itu. Gadis itu adalah gadis yang berkunjung ke tempat praktekku dan kutolak kehadirannya.

Aku sangat terpukul ketika membaca berita selanjutnya. Minah, gadis itu, ternyata adalah korban perkosaan. Yang menyakitkan adalah, pelakunya ayah kandungnya. Sudah berulang kali sang ayah bejat itu melakukannya pada Minah dan ketika dia hamil, sang ayah mengusirnya.

Minah dikenal sebagai gadis yang pendiam. Pintar di sekolah dan kini…

Aku merenung dan mengingat nasibku. Rasa bersalah semakin terasa di hatiku. Andai….andai…

Ya, Tuhan…

“Jangan menilai seseorang dari luarnya saja, Dewi. Rambut boleh sama, kulit bisa tidak ada beda, tapi hati manusia, siapa yang tahu?”

Ya, Papa benar. Aku kini yakin akan satu hal, bahwa kejahatan bisa terjadi bukan karena kebencian akan sebuah perbedaan, tapi karena hati manusia yang tidak lagi memiliki cinta. Ya, hati manusia memang kebanyakan seperti lautan. Susah diselami.

Perlahan kesadaranku muncul. Aku ingin membunuh semua benci di hatiku. Aku ingin menganggapnya sebagai takdir. Tapi aku tidak pernah tahu bagaimana caranya membuang rasa benci dan dendam di hati.

Aku berpikir, aku harus berbuat sesuatu. Tidak akan cukup dunia ini bila diisi oleh manusia yang hatinya penuh dengan kebencian, itu kata Papa dulu. Aku ingin menata hatiku. Melihat sesuatu dengan positif. Semua sudah berlalu, haruskah aku berbuat sama dengan orang-orang yang telah merenggut kebahagiaanku?

Kutanya hatiku, kenapa aku terus menyimpan benci. Ayo, Dewi, buanglah! Siapa yang kau benci sebenarnya? Orang-orang itu? Orang yang mana? Setiap mereka yang bukan Cina? Ah… kau pun sama seperti mereka yang brutal. Jika kau mau, cintailah semua orang tanpa memandang ras mereka. Yakinlah, bahwa semua orang sama, sederajat di mata Yang Kuasa. Ya…betapa idealisnya. Mampukah aku?

Ingin aku belajar menerima semua yang telah berlalu sebagai takdir. Termasuk penyesalanku yang tidak pernah menerima Minah.

Kupilih desa Berombak yang miskin sebagai tempatku ujian. Aku ingin mengenal hatiku. Kutinggalkan kota Medan, termasuk anganku untuk hidup dengan laki-laki tercintaku.

Johan telah lama berlalu dari hidupku, dari hatiku. Aku memang menolak menikah dengannya. Aku tidak pernah sungguh-sungguh mencintainya. Aku hanya bangga menjadi pilihannya, lebih dari itu, sepertinya tidak ada.

  Bayangan Coky terus bertahta di hatiku, tidak mau jauh. Tapi aku berkeras hati untuk tidak bertemu dan menemuinya. Aku tidak ingin mengetahui bagaimana keadaannya. Biarlah. Aku mencintainya. Itu pun sudah cukup.

Setahun lebih aku menjauhi keluarga. Mereka tidak pernah tahu aku ada di mana. Lebih baik begitu. Aku ingin menjauh dari kehidupan lama yang telah menjeratku dan memenjarakanku.

Kini aku memiliki kehidupan baru. Lebih baik tidak seorangpun yang tahu aku di mana. Lebih baik aku menjadi milik alam yang bebas. Aku akan belajar mengenal hidup di tempat yang mungkin tidak sepenuhnya menerimaku.

Bahkan jika aku harus mati di kampung ini, aku ingin tidak seorang pun yang kehilangan. Cukuplah alam. Karena aku adalah milik alam dengan keberagaman isinya.

Senyumnya sering membuatku bertambah kuat. Ihsan, si kepala desa muda itu tiba di tempat tinggalku.

“Bagaimana kabar Bu Dokter?” tanyanya sambil mengambil tempat duduk di sebelahku.

“Baik,” aku menjawab sambil tersenyum. “Jauh lebih baik dari kemarin.”

“Syukurlah,” Ihsan bangkit dari duduknya dan berjalan mengitari ruangan. “Temboknya sudah sangat buram,” keluhnya seolah kepada diri sendiri. “Aku akan mengecat ulang dinding ruangan ini,” tiba-tiba dia membalikkan badannya dan menatapku dengan mata berbinar.

“Akan kita cat ulang ya. Kita cat dengan warna putih… wah…akan kelihatan seperti rumah sakit sungguhan!” dia tertawa.

Ucapannya membuat jantungku berdenyut. Dan bayangan seseorang melintas di pelupuk mataku.

“Kenapa?” tiba-tiba Ihsan menatapku. Lekat. Aku gugup dibuatnya.

“Aku punya rencana yang sama,” sahutku sambil mengalihkan pandangan. “Minggu depan aku akan ke kota untuk membeli obat- obatan. Aku akan sempatkan mencari cat dan….”

“Dewi…” Ihsan menyentuh tanganku. “Aku yang akan melakukan itu untukmu. Aku yang akan mengecat ruangan ini. Untukmu.”

Tenggorokanku kering.

Aku yakin, laki-laki tercintaku nun jauh di mana, juga berkata begitu kepada kekasihnya kini.

Medan, akhir 2000

Aku nyaris tidak mengenal pemuda itu. Di balik kacamata minusnya, ketampanan pemuda itu makin kentara.

Dia menyambutku dengan senyum hangat.

“Abang Coky…,” Willy menjabat tanganku dan memelukku.

“Hebat kau sekarang, Willy,” kutepuk bahunya. “Kau nampak gagah dengan kemeja licin dan dasi keren ini!”

“Jangan menghinaku, Bang,” dia tergelak. “Abang juga hebat. Sukses terus?”

“Beginilah,” aku menunjuk lenganku. “Aku makin hitam. Maklum, mengawas proyek terus. Kebagian di tempat panas. Tidak seperti kau, di gedung full AC.”

“Abang bisa saja,” Willy tergelak lagi.

“Benar kok. Aku terus di lapangan. Bulan depan mungkin malah harus ke Kalimantan.”

“Wah…jauh sekali,” Willy menggeleng.

“Beginilah nasibku,” aku tertawa.

Aku sengaja menemui Willy siang itu. Dari Bibi Afang aku tahu bahwa Willy sudah bekerja di bank swasta. Banyak cerita Bibi Afang, maklum sudah setahun, sejak kunjunganku dulu aku tidak bertemu lagi.

Panjang lebar dia menceritakan keadaan keluarganyanya, layaknya aku adalah anggota keluarganya juga. Tapi sayang tidak satu kalimat pun yang menyinggung soal Dewi. Bidadari yang amat kurindu.

Dan Willy juga tidak punya kabar tentang dia.

“Aku kangen dengan Ci Dewi, tapi ya…,” Willy menggeleng ketika menyinggung nama cici-nya, kakaknya. “Aku percaya kepadanya. Dia pernah berkata, jangan khawatirkan dirinya. Dia akan menjaga dirinya. Aku yakin dia melakukan apa yang dikatakannya.”

Aku tidak berkomentar.

Setahun terakhir aku berada di hutan. Aku cuma seorang bawahan di proyek. Mengambil cuti sangat susah. Jadi aku tidak punya kesempatan mencari tahu keadaan Dewi. Sekali ini aku mendapat kesempatan pulang selama seminggu. Aku berharap ada kabar mengenai Dewi. Apapun itu. Meskipun kabar yang akan membuatku kecewa, misalnya, Dewi telah menikah! Tak apalah…asal aku mendengarnya. Tapi?

“Aku sangat rindu kepada Cici,” Willy menarik napasnya. “Kami sangat dekat. Aku tidak tahu apakah dia merindukanku!”

“Dia pasti merindukanmu,” aku menatap Willy, meyakinkannya.

“Bang Coky tidak merindukannya?”

Pertanyaan Willy menohokku. Aku tidak menjawab.

“Cici sangat sayang kepada Bang Coky,” Willy tersenyum kecil. “Dia pernah berkata begitu kepadaku.”

Ucapan Willy membuat semua aliran darahku seakan berhenti.

“Aku merindukannya,” suaraku serak dan bergetar. “Aku juga sangat menyayanginya. Mencintainya. Sejak kemarin, sampai hari ini dan selamanya!”

No comments: