12.22.2010

Ketika Dayu Memilih Cinta

“Bli tresna ngajak Dayu (kakak cinta pada Dayu).

Dharma menggenggam tangan Dayu.

Dayu tersipu malu. “Dayu juga tresna ngajak Bli.”

Dalam kawasan berarsitektur Bali yang sangat khas, Dharma menyatakan cintanya yang sudah lama terpendam pada Dayu. Di rumah bibinya yang tidak terlalu mewah itulah, saat ini Dharma tinggal. Dharma adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Karena itu, ia sering dipanggil dengan sebutan Ketut, yang berarti anak keempat. Nama lengkap Dharma adalah I Ketut Dharma Kusuma. Kakak ketiganya, laki-laki, meninggal pada umur 5 tahun. Sehingga, hanya Dharma anak laki-laki dalam keluarga.

Dua kakak perempuannya tinggal bersama ibunya di daerah Nusa Dua. Ayahnya meninggal sejak Dharma masih berada dalam kandungan ibunya. Karena Dharma menjadi anak laki-laki satu-satunya, secara otomatis Dharma dinobatkan menjadi pemimpin keluarga. Namun, sejak ayahnya meninggal, keluarga Dharma tak punya banyak uang untuk menyekolahkan Dharma dan saudara-saudaranya.

Kakak perempuan ayahnya tinggal di Banyuwangi, setelah menikah dengan laki-laki Banyuwangi. Karena itu, agar bisa terus bersekolah, Dharma diambil alih dari ibunya oleh adik perempuan ayahnya, yang berpendidikan tinggi dan lebih mampu membiayai pendidikan Dharma.

Komang Sri, nama bibinya. Ia belum menikah, walau sekarang sudah berusia empat puluh tahun. Komang Sri tinggal di Klungkung. Karena tinggal bersama bibinya itu, Dharma dan Dayu bisa saling kenal sejak mereka masih kecil, sampai akhirnya sekarang saling jatuh cinta.

Dayu dan Dharma besar bersama, karena tempat tinggal mereka bersebelahan. Mereka teman main sejak masih kecil. Namun, Dharma tidak diizinkan menginjakkan kaki di griya (rumah) Dayu, karena Dharma merupakan keturunan orang biasa, bukan bangsawan.

Nama lengkap Dayu adalah Ida Ayu Putu Astri Lestari, kasta tertinggi dari sudut religi dalam kebudayaan Bali, anak tunggal Ida Bagus Brama Satya. Selain berkasta tinggi, Dagus Brama memiliki banyak rumah kos di Denpasar dan banyak art shop di Kuta.

Dayu hanya boleh menikah dari kalangannya untuk memperta-hankan kastanya. Satu-satunya jodoh untuk Dayu hanyalah yang berkasta sama, yaitu Ida Bagus. Namun, satu kesalahan terbesar Dayu adalah mencintai Dharma, seorang pria dari kalangan biasa, walau Dharma adalah seorang yang berpendidikan tinggi. Dharma merupakan lulusan fakultas hukum jurusan perdata di Jakarta.

“Aduh, Dayu, jangan terlalu sering ke sini. Nanti Bibi dimarahi oleh Aji (Bapak) Dagus Brama.”

Komang Sri panik, saat melihat Dayu masih di rumahnya sejak sejam yang lalu.

Dayu tersenyum. “Tidak apa-apa, Bi. Titiang (saya) juga sudah mau pulang.”

“Bli, Bi, Dayu pamit dulu, ya?”

“Iya, Dayu, hati-hati, ya.”

Dharma berbasa-basi dengan kata ‘hati-hati’. Karena, sebenarnya griya Dayu hanya berjarak dua puluh meter dari rumahnya atau hanya dibatasi oleh dua rumah saja.

“Bagaimana ini?! Tut, kamu jangan terlalu dekat dengan tuan putri itu. Nanti kita dapat masalah dari bapaknya. Jangan gila, ya!” kata Komang Sri, setelah Dayu lumayan jauh berjalan dari rumahnya.

“Senang hatiku!” Dharma mengucapkannya tanpa sadar. Hatinya seakan memang sedang melayang.

“Perasaan Bibi mulai tidak enak, nih. Tut, ada yang ingin kamu katakan pada Bibi?”

Komang Sri masih memerhatikan wajah Dharma yang tampak bersinar-sinar itu.

Dharma membekap mulutnya yang baru saja keceplosan.

“Tidak ada, Bi,” sahutnya, berbohong. Kepalanya tertunduk.

Komang Sri menatap wajah Dharma lekat-lekat, berusaha mencari kejujuran di matanya. Dharma merasa tidak enak hati karena telah berbohong.

“Dayu itu pacarku, Bi.”

“Apa?! Aduh, Ketut, apa kata Bapak Dagus Brama nanti? Kita bisa dapat masalah besar karena cinta terlarang kalian ini.”

Komang Sri tambah panik.

“Tenang, Bi. Lagi pula, kami belum berpikir ke jenjang yang le-bih jauh, Dayu ingin menyelesaikan kuliahnya dulu.”
Saat ini Dayu sedang meneruskan kuliahnya di sekolah pariwisata di Denpasar. Komang Sri hanya bisa mengurut dadanya yang berdegup kencang, karena berita yang menurutnya sangat mengejutkan.

Sementara itu, di griya Dayu. “Gek (dari kata Jegeg, yang artinya cantik), dari mana?” Dagus Dharma menginterogasi anak semata wayangnya.

“Ah, Aji,” kata Dayu, setengah terkejut. “Dayu hanya jalan-jalan sepulang kuliah tadi. Bosan di griya saja.”

Dagus Brama menatap Dayu. “Dayu tidak bohong?”

Dayu tertunduk. “Mana berani Dayu berbohong pada Aji.”

Tapi, Dayu tidak berani melihat wajah Dagus Brama dan segera beranjak dari hadapan ayahnya tersebut.

“Lusa Dagus Mantra akan membawa anak semata wayangnya yang baru saja menyelesaikan program magisternya di Yogya. Dia adalah Ida Bagus Suamba,” kata Dagus Brama, sebelum Dayu masuk ke dalam kamarnya.

Langkah Dayu terhenti. Ia menatap ayahnya, tak mengerti. Jantungnya berdegup kencang. “Maksud Aji?”

Dagus Brama tersenyum, namun masih tampak berwibawa di mata siapa pun yang melihatnya.

“Aji dan Dagus Mantra bermaksud menjodohkanmu dengan Dagus Suamba.”

Dayu terkejut. “Tapi, Aji, Dayu hanya akan menikah dengan pria yang Dayu cintai.”

Dagus Brama langsung menunjukkan wajah gusar.

“Apa itu cinta?! Dagus Mantra itu orang berpengaruh, kedudukan jelas, dari kalangan berpendidikan. Jelas dia lebih kaya harta daripada kita. Bukan hanya rumah kos dan hotel, tapi perkebunannya pun berhektar-hektar. Dagus Suamba anak satu-satunya mereka! Dia keturunan murni Brahmana. Dia mengambil gelar master manajemen di Universitas Gajah Mada, bahkan sekarang ia sendiri yang menge-lola hotel milik Dagus Mantra. Kalau Dayu cari jodoh sendiri, belum tentu bisa dapat yang lebih baik dari Dagus Suamba.”

Dayu menangis. Ni Luh Sari, ibunya, merangkul pundaknya, membawanya masuk ke dalam kamar, sambil menenangkan anak semata wayangnya itu.

“Ini tak adil buat Dayu, Biang (ibu). Aji menikah dengan Biang karena cinta. Kenapa sekarang Aji menentukan calon pendamping hidup buat Dayu? Dayu benci terlahir sebagai seorang wanita.”

Ni Luh Sari memeluk anaknya.

“Ini semua salah Biang. Biang menikahi Aji yang seorang keturunan Brahmana, kasta tertinggi, padahal Biang hanyalah sudra dari Singaraja.” Ni Luh Sari ikut menangis.

“Tidak, Biang. Biang tidak salah.” Dayu mencium tangan Ni Luh Sari. “Maafkan Dayu yang telah membuat Biang sedih.”

Dayu menggunakan ‘Putu’ di belakang ‘Ida Ayu’-nya sebagai pertanda bahwa Dayu adalah anak pertama dan juga untuk menandakan bahwa ibunya bukan dari kalangan yang sama dengan ayahnya. Dalam adat Bali, pria dapat mengangkat derajat seorang wanita, sehingga pria dari keturunan kasta tinggi boleh menikahi wanita dari kalangan mana pun. Wanita Bali tidak dapat mengangkat derajat seorang pria. Karena itu, ia harus merelakan gelar kebangsawanannya, jika ia menikahi pria dari kalangan biasa.

Keesokan hari, saat sepulang kuliah, Dayu kembali menemui Dharma.

“Bli, Dayu dijodohkan dengan anak teman Aji.”

Dharma tampak terkejut, namun berusaha bersikap tenang.

“Dayu menerimanya?” tanya Dharma, yang sesungguhnya sangat berdebar menunggu jawaban dari Dayu.

“Dayu tidak tahu. Dayu bingung.”

Dayu tampak sangat resah, ia mengubah-ubah posisi duduknya di bale bengong saat itu.

“Dayu tidak cinta pada Bli?” Dharma mendesak.

Dayu merajuk. “Bli sudah tahu jawabannya.”

“Lalu, kenapa Dayu masih bingung?”

Dayu tertunduk. “Dayu anak satu-satunya. Jika Dayu menikah dengan Bli, Dayu harus keluar dari griya. Siapa yang akan menjaga Biang? Aji juga tentu tak akan mengakui Dayu sebagai anak.”

Kali ini Dharma yang tampak resah.

“Bli tidak sanggup kehilangan Dayu.”

“Dayu juga tidak bisa hidup tanpa, Bli. Sudah dari kecil bersama, jiwa Dayu bersama Bli.”

Dayu menangis. Dharma menghapus air mata Dayu dengan sapu tangannya. “Dayu, izinkan Bli menghadap Aji Dagus Brama.”

Dayu tertegun menatap Dharma.

“Dayu tidak siap.”

“Lalu, kapan Dayu siap?” tanya Dharma, tidak sabar.

“Beri Dayu beberapa hari untuk berpikir.” Dayu berpikir sejenak. “Besok Dagus Mantra datang ke griya Dayu bersama anaknya. Jadi, Dayu tidak bisa ke rumah Bli. Ah, entahlah, Dayu bingung.”

Wajah Dayu pucat pasi, ia tampak sangat kalut.

Dharma mencium tangan Dayu.

“Bli akan menunggu Dayu. Kapan pun Dayu siap, Bli tunggu....”

Dayu tersenyum. “Terima kasih, Bli. Semoga Aji bisa mengerti dengan cinta Dayu dan Bli.”

Pagi hari yang cerah, Dagus Mantra datang ke griya Dayu bersama Dagus Suamba.

“Mari, Gus, masuk ke gubuk kami,” kata Ida Bagus asal Klungkung itu merendah, karena ia tahu bahwa griya Dagus Mantra lebih besar dan luas daripada griya-nya.

Dagus Mantra tersenyum. “Tidak usah merendah begitu, Gus. Dayu Astri, kok, belum kelihatan?” tanyanya, sambil duduk di sofa jati di ruang tamu.

“Sebentar, biar saya panggilkan dulu. Ni Luh, tolong suruh Dayu keluar,” kata Dagus Brama pada istrinya.

“Ini Dayu Astri? Cantik sekali. Anggun. Dia memang benar-benar anakmu, Gus,” kata Dagus Mantra, ketika Dayu dan Ni Luh Sari muncul di hadapan mereka semua.

“Dayu, beri salam pada AJi Dagus Mantra.”

Dayu tersenyum kecut mendengar perintah Dagus Brama.

“Tiang Dayu, Ji,” katanya, memberi salam khas budaya Bali, dengan kedua tangan yang dikatupkan, kepala tertunduk, dan kaki ditekukkan sekilas.

“Sudah cantik, sopan pula.”

Dagus Brama bangga mendengar komentar dari temannya itu.

“Dayu, Tiang Ida Bagus Suamba,” Dagus Suamba memperkenalkan diri tanpa diminta.

Dayu menatap lekat Dagus Suamba. Pria yang tampan, berkarisma, dan bertutur kata sopan. Wanita mana pun tentu tak dapat menolak pria seperti dia untuk dinikahi, pikir Dayu.

Dagus Suamba tersenyum. “Jika Dayu berkenan, boleh Dagus bawa Dayu mencari angin segar di luar?”

Dayu tertunduk. “Bukankah sudah tidak ada hak bagi Dayu untuk menolak?”

Dagus Suamba tertegun sesaat mendengar jawaban Dayu, lalu menyilakan Dayu berjalan ke luar lebih dulu.

“Dayu, mari kita duduk di bale bengong,” ajak Dagus Suamba.

Ia merasa agak lelah, setelah diajak Dayu mengelilingi halaman griya yang luas, dengan taman beraneka bunga. Ni Luh Sari adalah pencinta tanaman. Halaman griya ‘disulap’ menjadi taman bunga yang sangat indah olehnya. Mereka berkeliling tanpa berbicara sepatah kata pun.

Dagus Suamba menatap Dayu. Gadis yang begitu cantik dan lembut, bisik hati Dagus Suamba. Dengan rambut lurus yang dikepang satu di belakang, bunga kemboja berwarna putih di telinganya, dan binje di keningnya, dia benar-benar gadis Bali teranggun yang pernah ia jumpai. Dagus Suamba merasa jatuh cinta pada pandangan pertama.

Wajah Dayu memerah, saat menyadari bahwa Dagus Suamba terus menatap wajahnya.

“Ada apa Dagus terus melihat seperti itu pada Dayu?”

“Dayu adalah gadis tercantik yang pernah Dagus kenal. Apakah salah kalau Dagus langsung jatuh cinta pada Dayu?” kata Dagus Suamba, tidak dapat menahan perasaannya terlalu lama.

Dayu terdiam mendengar pernyataan cinta Dagus Suamba. Jantungnya berdebar kencang.

“Dagus tidak salah, itu hak Dagus. Tapi, menurut Dayu, itu hanya cinta sesaat. Cinta yang dirajut seseorang dalam waktu singkat tidak akan bertahan lama. Maaf, karena Dayu lancang.”

Dayu tertunduk. Sungguh, setelah mengatakan itu, ia tak sanggup melihat wajah Dagus Suamba.

Dagus Suamba terkejut mendengar penuturan Dayu yang blak-blakan. Ia tak mengira, wanita yang tampak lugu di hadapannya itu mampu mengeluarkan isi hatinya begitu terang-terangan.

“Tak apa.”

Dagus Suamba tak tahu akan berkata apa lagi kepada Dayu, sampai akhirnya Dagus Mantra mengajaknya pulang. Jawaban Dayu tadi, setelah sekian lama mereka hanyut dalam diam, seakan-akan telah memukulnya.

“Bagaimana, Dayu? Dagus pria yang tampan, ’kan?” tanya Dagus Brama, setelah Dagus Mantra dan Dagus Suamba pulang.

“Dagus memang tampan dan baik. Tapi, Dayu belum bisa mencintainya,” jawab Dayu, dingin.

Dagus Brama mulai gerah lagi dengan kata ‘cinta’ dari mulut anak gadis semata wayangnya itu.

“Cinta lagi... cinta lagi.... Bisa apa dengan cinta?!”

“Maaf, Aji, bukankah Aji menikahi Biang juga dengan cinta?”

Dayu menatap mata Dagus Brama, seakan menantang.

Hati Ni Luh Sari berdebar atas sikap Dayu.

“Dayu, ayo, masuk.” Ni Luh Sari menggiring Dayu masuk ke dalam kamar.

“Itu didikanmu, Ni Luh Sari. Anak itu jadi berani padaku!” teriak Dagus Brama, saat Ni Luh Sari dan Dayu masuk ke dalam kamar Dayu.

Dayu mengurung diri di kamar. Sungguh, perasaannya saat ini bimbang. Dagus Suamba begitu memesona, tutur katanya halus, senyumnya teduh, sikapnya lembut. Semua itu membuat Dayu sulit menghilangkan sosok pria itu dari ingatannya.

Hari ini Dayu tidak kuliah, karena kemarin dosen baru mengembalikan tesisnya, dengan banyak coretan untuk direvisi lagi. Sehingga, ia harus berkonsentrasi penuh pada tesisnya. Jika sedang tidak kuliah, Dayu tidak punya alasan untuk keluar rumah. Padahal, Dayu sangat rindu pada Dharma.

“Selamat pagi, Biang. Dayu ada?

sapa Dagus Suamba, setelah Ni Luh Sari membuka pintu griya.

“Oh, Dagus. Ayo, masuk dulu, Ni Luh Sari mempersilakan.

“Ada apa Dagus mencari Dayu? tanya Dayu, menghampiri Dagus Suamba, setelah Ni Luh Sari menyuruhnya keluar kamar.

Dagus Suamba tersenyum.

“Cinta yang dirajut dalam waktu singkat tidak akan bertahan lama. Karena itu, tolong izinkan Dagus memasukkan benang ke dalam jarumnya dulu, agar benang dan jarum tersebut bisa saling menyatu, sebelum merajutnya menjadi sebuah sweater.

Dayu tertegun.

“Apa yang Dagus inginkan? tanya Dayu, terus terang.

“Dagus ingin mengenal Dayu lebih jauh.

“Caranya? Dayu bertanya kembali.

“Dagus ingin mengajak Dayu jalan-jalan.

Hati Dayu berdebar. Ia takut mencintai Dagus Suamba. Pesonanya begitu kuat. Dayu sungguh tak sanggup melihat senyuman itu, senyum maut yang hampir meruntuhkan hatinya. Tapi, ia terima juga ajakan Dagus Suamba itu.

“Apakah Dayu sudah punya kekasih? tanya Dagus Suamba, ketika mereka sedang berada di dalam mobil miliknya.

Dayu terkejut dengan pertanyaan Dagus Suamba.

“Tidak sopan bertanya seperti itu kepada seorang gadis.

“Kenapa tidak? Bukankah Dagus harus tahu status calon istri Dagus, sebelum melangkah lebih jauh?

Dayu tidak dapat mengelak lagi. “Menurut Dagus?

Dagus tersenyum. “Jika reaksinya seperti itu, pastinya sudah.

Wajah Dayu memerah.

“Kalau sudah tahu, mengapa masih bertanya?

“Jadi, benar? Dagus Suamba menggoda. “Tidak apa, masih ada kesempatan, selama janur kuning belum terpasang.

“Jadi, sekarang kita mau ke mana? Dayu mengalihkan pembicaraan.

Lagi-lagi Dagus Suamba mengeluarkan senyum mautnya, yang membuat Dayu terpikat. Tidak pernah dirinya melihat senyum hangat seperti itu pada diri Dharma.

“Kebun Raya Bedugul. Sudah lama Dagus tidak ke sana. Mumpung ada yang menemani.

Di Kebun Raya Bedugul Dayu dan Dagus Suamba banyak bercerita. Mereka sudah bisa bercanda. Kebekuan hati Dayu perlahan mulai mencair.

“Dayu ingin berfoto sama ular?

Dagus Suamba melihat plang bertuliskan ‘Foto dengan ular dan hewan lain hanya Rp20.000 per foto’.

Dayu bergidik geli.

“Tidak, Dayu takut pada binatang reptil. Musangnya lucu, Dayu dengan musang saja, kata Dayu, ketika melihat ada wisatawan asing yang berfoto bersama musang.

Dagus Suamba berfoto dengan ular dan biawak, sementara Dayu hanya berfoto dengan musang.

Setelah itu mereka menuju ke pinggir danau. Mereka duduk berdua di jembatan dan menyemplungkan kakinya di danau.

“Dingin, Dagus, kata Dayu, ketika dinginnya air Danau Bratan terasa menusuk kakinya.

“Ya, tapi jarang-jarang kita ke Bedugul. Jadi, dinikmati saja.

Dayu tampak sangat gembira. Wajahnya bersinar-sinar. Dagus Suamba terpesona oleh wajah ceria Dayu. Baru kali ini ia melihat wajah Dayu yang begitu bercahaya. Dari kemarin Dayu memang sangat dingin padanya.

Dayu tertegun ketika melihat Dagus Suamba yang terus menatapnya. Dagus Suamba yang tidak dapat menahan perasaannya, perlahan mendekatkan wajahnya pada Dayu, sehingga Dayu ikut terbawa perasaan. Ketika wajah Dagus Suamba sudah makin dekat pada wajahnya, Dayu memalingkan muka, mendadak teringat pada Dharma, pria yang sangat ia cintai. Dayu merasa sangat bersalah.

Wajah Dagus Suamba merah padam karena malu. “Maaf, Dayu.

“Dayu harus segera pulang. Tesis masih banyak harus dikerjakan.

Dayu segera menarik kakinya dari danau, mengelapnya dengan tisu dan memakai sandalnya kembali. Dagus Suamba mengikutinya.

Suasana di dalam mobil hening. Dayu tidak berani menoleh pada Dagus Suamba yang sedang duduk di belakang setir. Dayu memandang pemandangan di luar jendela, sibuk dengan pikirannya. Dagus Suamba juga kelihatan sedang konsentrasi pada jalan.

Benar kata orang tua zaman dulu, jangan bermain-main dengan api kalau tidak ingin terbakar, dan jangan bermain-main di sungai jika tidak ingin hanyut. Tapi, apakah kalimat-kalimat tersebut berlaku pula pada dirinya? Bukan Dayu yang berkehendak bermain api, bukan Dayu yang mau main di sungai, tapi hidup Dayu sudah ada yang menentukan. Siapa yang harus disalahkan jika sekarang dirinya terbakar atau hanyut?

Dayu berteriak di dalam hatinya. Tapi, tak ada yang bisa mendengar. Hanya dirinya yang bisa merasakan, merasakan sakit dalam hatinya itu.

Di tengah konsentrasi dalam lajunya mobil, Dagus Suamba sibuk dengan pikirannya sendiri. Dalam waktu beberapa detik lagi saja, dirinya bisa merasakan lembutnya bibir Dayu. Bibir Dayu memang sangat menggoda, begitu sensual di matanya. Dayu juga terlihat mulai menyukainya. Ah, mungkin aku yang terlalu terburu-buru, Dagus Suamba menyalahkan dirinya sendiri.

“Dagus harap Dayu masih mau jalan-jalan dengan Dagus, setelah kejadian di danau tadi, kata Dagus, di depan pintu griya Dayu.

Kepala Dayu tertunduk.

“Hati-hati di jalan, katanya singkat.

Malam itu Dayu sibuk menyelesaikan tesis, yang keesokan hari harus diserahkan pada dosen.

Sepulang dari kampus, Dayu mampir ke rumah Dharma.

”Dayu, Bli Tut sudah diterima kerja di kantor notaris. Lumayan, daripada menganggur. Malu,” Dharma menyampaikan kabar gembira pada Dayu, ketika Dayu sampai di rumahnya.

Dayu tersenyum. “Selamat, ya, Bli?”

Walaupun berusaha ceria, Dharma bisa melihat kalau Dayu sedang ada masalah.

“Kalau ada yang ingin Dayu sampaikan, Bli siap mendengar.”

Dayu salah tingkah.

“Tidak ada, Bli, Dayu hanya rindu.”

Dayu memang menghadapi sebuah masalah. Tapi, kali ini, tidak seperti biasa, Dharma bukan orang yang tepat bagi Dayu untuk teman berbagi. Karena masalah Dayu saat ini melibatkan Dharma sendiri dan Dagus Suamba. Bahkan, yang berperan penting dalam masalahnya ini adalah perasaannya sendiri.

Mendengar kata ‘rindu’, Dharma tertawa.

“Dayu, baru dua hari tidak ketemu, masa sudah rindu?”

“Apa tidak boleh?” Dayu tersinggung.

Dharma menggenggam tangan Dayu, ditatapnya lekat mata Dayu. Dayu makin salah tingkah dibuatnya.

“Dayu, jika ada orang yang paling merindukan Dayu, maka Bli-lah orangnya.”

Dayu makin bersalah mendengar pernyataan Dharma.

“Dayu ke sini untuk mengatakan bahwa Dayu belum siap jika Bli ingin ketemu dengan Aji,” kata Dayu, sambil beranjak dari bale bengong, tempat Dayu dan Dharma biasa menghabiskan waktu berdua di rumah Dharma.

“Dayu sudah mau pulang? Tumben cepat?” tanya Komang Sri, saat melihat Dayu sudah berada di depan pagar rumahnya. Karena, biasanya Dayu bisa sampai dua jam berada di rumahnya.

“Maaf, Bi, tesis Dayu harus direvisi lagi. Jadi, Dayu harus segera memperbaikinya,” kata Dayu, berbohong. Padahal, tesisnya dinyatakan dosen sudah siap untuk diujikan.

Tanpa Dayu sadari, Ni Luh Sari melihat anak semata wayangnya itu keluar dari rumah Dharma.

Sampai di griya, Ni Luh Sari ternyata sudah menunggu. Dayu kaget ketika masuk ke dalam kamarnya dan melihat Ni Luh Sari duduk di tempat tidurnya. “Biang, ada apa?”

Ni Luh Sari menyuruh Dayu duduk di sampingnya. “Gek, Biang hanya ingin tanya, Dayu tidak punya hubungan apa-apa kan dengan Ketut?”

Dayu salah tingkah. “Ketut? Ketut siapa, Biang?”

“Dayu tidak usah bohong. Tentu saja Tut Dharma.”

Ni Luh melepas kepangan rambut anaknya dan menyisirnya.

Dayu tersentak kaget, namun berusaha menetralkan perasaannya lagi. “Apa maksud Biang?”

“Ketut Dharma itu pria yang baik. Biang tahu, Dayu sudah berteman dengannya sejak kalian masih anak-anak. Bagaimana perasaan Dayu padanya?” tanya Ni Luh Sari, membuat Dayu tak berkutik.

“Apa gunanya Biang menanyakan itu? Bukankah perasaan Dayu hanya Aji yang bisa tentukan?” Dayu mengalihkan pembicaraan.

Ni Luh Sari menghela napas berat. “Dayu, Biang sayang pada Dayu. Biang hanya ingin Dayu bahagia.”

“Biang, Dayu hanya bisa bahagia jika Dayu menikah dengan pria yang Dayu cintai.”

“Apakah dia Ketut Dharma?” Ni Luh Sari mendesaknya.

“Tidak tahu, Biang, Dayu bingung.”

“Kalau Dayu mencintai Ketut Dharma, sampaikan pada Aji, sebelum Aji dan Dagus Mantra mengadakan acara pertunangan Dayu dengan Dagus Suamba. Dayu perjuangkan saja perasaan Dayu. Apa pun yang bisa membuat Dayu bahagia, Biang selalu bersama Dayu.”

Dayu terharu mendengar kata-kata Ni Luh Sari. “Biang, Dayu ingin berkata jujur. Awalnya, Dayu memang hanya mencintai Ketut Dharma, tapi kini Dayu bingung memilih, Biang.”

“Apa maksud Dayu?”

Ni Luh Sari menatap wajah anak tunggalnya itu, tak mengerti.

“Apa salah kalau kini hati Dayu bercabang dua?” Dayu terdiam sejenak. “Dayu mencintai Ketut Dharma dan Dagus Suamba.”

Ni Luh Sari tersentak mendengar pengakuan jujur Dayu.

“Dayu harus memilih. Bagaimanapun Dayu harus memilih antara Ketut Dharma dan Dagus Suamba.”

“Entahlah, Biang, Dayu bingung.”

Ni Luh Sari membelai kepala Dayu.

“Kalau Dayu bingung, Dayu putuskan saja hubungan Dayu dengan Ketut Dharma dan menerima pinangan Dagus Suamba.”

Dayu berdiri dari tempat tidur, wajahnya pucat pasi. “Tidak, Dayu cinta pada Ketut Dharma.”

“Tapi, Dayu juga mencintai Dagus Suamba, ’kan? Jadi, menurut Biang, Dayu menikah saja dengan Dagus Suamba, dengan begitu Aji tidak akan marah pada Dayu dan Dayu juga akan hidup bahagia dengan orang yang Dayu cintai.”

Air mata Dayu mulai menetes.

Ni Luh Sari memeluk Dayu. Anaknya itu benar-benar sedang dilema sekarang.

“Ini salah Aji. Kalau saja Aji tidak memperkenalkan Dagus Suamba pada Dayu, tentu Dayu tidak akan bingung memilih,” gumam Dayu, di pelukan Ni Luh Sari.

Ni Luh Sari menggeleng-gelengkan kepalanya, ia tak tahu sia-pa yang harus disalahkan kini.

Hari itu adalah hari Minggu. Tanpa sepengetahuan Dagus Brama dan Dayu, Ni Luh Sari pergi ke rumah Dharma. Komang Sri sangat terkejut melihat Ni Luh Sari berdiri di depan pagarnya.

“Biang Dagus Brama?”

“Bisa tiang bertemu dengan Dharma?” tanya Ni Luh Sari.

“Bisa, Biang, tapi ada apa, ya?” tanya Komang Sri, ragu-ragu.

“Tiang hanya ingin berbicara berdua dengannya.”

“Sebentar, biar Tiang panggilkan dulu, ya.”

Komang Sri tergopoh-gopoh mencari Dharma.

“Ada apa?” tanya Dharma, ketika melihat bibinya ngos-ngosan.

Setelah mengatur aliran napasnya kembali, Komang Sri mengatakan maksudnya mencari Dharma. “Feeling Bibi, kita akan dapat masalah.”

“Masalah apa lagi, Bi Mang?” tanya Dharma, sambil tetap tidur-tiduran di bale bengong.

“Biang Dagus Brama datang!” kata Komang Sri.

“Apa?!” Dharma yang terkejut langsung bangun dari tidurnya. “Sendirian, Bi?”

“Tidak! Dengan satpam!” kata Komang Sri, dongkol. “Jangan bodoh! Tentu saja sendiri. Katanya ingin bertemu denganmu!”

Dharma segera keluar rumah dan menghampiri Ni Luh Sari. “Maaf lama. Ada apa Biang Dagus Brama mencari Titiang?”

Ni Luh Sari menoleh dan tersenyum. “Tiang sudah tahu semua. Tiang tahu ada hubungan yang istimewa antara Ketut dan Dayu.”

Dharma kaget mendengar pernyataan Ni Luh Sari. “Maafkan Titiang, Biang Dagus.”

“Sebenarnya Tiang tidak ingin menghalangi hubungan kalian. Tiang sudah mengenal Ketut dari kecil, Ketut selalu baik pada Dayu. Tapi, demi kebahagiaan Dayu, Tiang mohon dengan sangat agar Ketut mau melupakan Dayu.”

Dharma tertegun sejenak. Ia tidak menyangka Ni Luh Sari datang hanya untuk menyuruhnya menjauhi Dayu.

“Apa pun akan Tiang lakukan demi kebahagiaan Dayu.”

Sejak saat itu Dharma menjadi murung. Ia tidak mau bertemu dengan Dayu, walau Dayu datang tiap hari ke rumahnya sepulang dari kampus. Ia jadi tidak konsentrasi dalam bekerja, sehingga sering mendapat komplain dari atasannya. Komang Sri menjadi simpati karenanya.

“Tut, apa Biang Dagus menyuruhmu menjauhi Dayu?”

“Tidak Bi, ini mutlak keputusan Ketut.”

Dayu mulai resah. Dharma sama sekali tidak mau bertemu dengannya. Dayu tidak tahu apa kesalahannya. Dayu merasa hubungannya dengan Dharma makin jauh. Akhir-akhir ini Dayu lebih dekat dengan Dagus Suamba. Sementara Dagus Suamba makin menggebu-gebu untuk mendapatkan cintanya, Dharma seakan mundur secara perlahan-lahan.

Hati Dayu sakit, sesungguhnya ia sangat rindu pada Dharma. Hanya Dharma yang mampu mengobati kesendirian dalam hatinya ini. Dharma yang selalu mau mendengarkan keluh-kesahnya.

“Kenapa akhir-akhir ini Dayu murung?” tanya Ida Bagus Suamba, sepulang mereka makan ikan bakar di Kafe Kedonganan.

“Dayu tidak merasa murung,” Dayu mengelak.

“Dayu tidak ceria seperti biasanya. Apakah Dayu jenuh mendengar cerita-cerita Dagus?”

“Tidak,” Dayu menjawab singkat, berbohong.

Padahal, Dayu memang merasa bahwa Dagus Suamba hanya bercerita sendiri, tanpa mengharapkan tanggapan darinya. Tidak seperti Dharma yang memakai sistem timbal-balik, yaitu memberi tanggapan dan mengharap tanggapan.

  “Ya, sudah, kalau begitu. Ikan bakar tadi enak, Dayu?”

Belum sempat Dayu menjawab, Ida Bagus Suamba sudah meneruskan kata-katanya lagi. “Sudah pasti enak, ’kan? Itu memang kafe langganan Aji. Lain kali, kalau Dayu ingin makan di situ lagi, pakai saja kartu nama Aji, pasti akan dapat diskon,” kata Dagus Suamba, sambil menyerahkan kartu nama Dagus Mantra.

Dayu mengambil kartu nama Dagus Mantra dengan malas. Rasanya, tidak mungkin dia makan di situ lagi, pikirnya. Aji bukan tipe orang yang suka makan di luar. Lagi pula, mereka sekeluarga biasanya ke luar rumah hanya pada Manis Galungan (hari setelah Galungan) saja. Saat itu, mana ada kafe yang buka, kecuali warung makan Jawa, pikirnya.

“Atau, kapan-kapan Dagus yang ajak Dayu ke situ lagi, bagaiman? Besok Dagus ke griya Dayu lagi. Dagus ingin memberi sesuatu pada Dayu.”

Dayu mulai kesal. Kamarnya sudah penuh dengan boneka, frame foto, dan buket bunga dari Dagus. Seakan-akan Dagus hanya tahu bahwa satu-satunya cara untuk menghargai orang adalah dengan memberikan barang-barang yang bagus.

Awalnya, Dayu memang senang karena Dagus Suamba romantis dan perhatian. Berbeda dari Dharma. Ia juga sempat merasa senang, karena berkat Dagus Suamba, ia jadi sering jalan-jalan. Ia dibawa ke tempat-tempat indah yang jarang sekali ia kunjungi. Tapi, lama-kelamaan ia merasa bahwa jiwanya tetap hampa.

Yang dapat mengisi kekosongan hati Dayu hanya Dharma, bukan Dagus Suamba. Ia sangat rindu pada Dharma kini.

“Dayu melamun?” Dagus Suamba menyadarkan lamunan Dayu.

Dayu menelan ludahnya.

“Ada yang ingin Dayu katakan pada Dagus.”

Dagus Suamba tersenyum. “Apa itu, Dayu? Bilang saja.”

“Dayu... Dayu...,” suara Dayu bergetar. Ia sangat gugup. “Dayu tidak mencintai Ida Bagus.”

Dagus Suamba tersentak.

Dayu mulai menangis. “Dayu hanya ingin bersikap jujur. Dayu sudah memiliki seseorang yang Dayu cintai.”

Dagus Suamba menampakkan wajah kesal.

“Lalu, kenapa Dayu memberi harapan pada Dagus?”

“Dayu pikir, Dayu bisa mencintai Dagus seiring berjalannya waktu. Tapi, ternyata tidak. Dayu tidak bisa.”

Dayu menundukkan kepalanya. Perasaannya bercampur aduk. Antara sedih dan bingung.

Dagus Suamba menjadi sedikit iba melihatnya. Ia memberikan saputangannya. Dayu menyeka air matanya.

“Sekarang apa yang Dayu inginkan?”

“Sebelumnya, Dayu minta maaf. Dayu ingin Dagus Suamba sendiri yang menolak perjodohan ini.”

“Tapi, Dayu tahu sendiri kan bahwa Dagus cinta sekali pada Dayu? Dagus tidak mungkin bisa berbohong pada Aji.”

“Dagus pasti bisa,” kata Dayu, ngotot. “Karena, Dagus mencintai Dayu. Dayu yakin bisa.”

Hati Dagus Suamba sakit. Ia mencintai Dayu. Selama beberapa hari jalan bersama Dayu, ia bertambah yakin dengan perasaannya.

“Akan Dagus coba,” katanya, dengan berat hati.

Setelah mengantar Dayu pulang, Dagus Suamba baru sadar bahwa dirinya tanpa sengaja telah berjanji pada Dayu. Sepanjang perjalanan, ia berpikir keras, mencari cara paling tepat untuk mengatakannya pada Aji.

Esok hari, sepulang Dayu dari kampus, Dagus Brama memanggil Dayu.

“Dayu, Aji lihat Dayu sudah mulai dekat dengan Dagus Suamba.”

Dayu terdiam, tak mampu menjawab.

Dagus Brama menarik napas berat. “Aji minta maaf. Barusan Aji mendapat telepon dari Dagus Mantra. Katanya, dengan berat hati Dagus Suamba menolak perjodohan ini.”

Dayu terkejut, tapi tersenyum dalam hati. Ia baru sadar, Dagus Suamba memang baik dan mencintai Dayu dengan tulus. Rasa bersalah kepada Dagus Suamba muncul lagi. Ia merasa telah memanfaatkan kebaikan hatinya itu. Namun, sesaat kemudian, dia bersorak dalam hati. Karena, inilah waktunya mengejar kembali cinta yang sempat menghilang.

Melihat anak gadisnya diam saja, Dagus Brama melanjutkan, “Tapi Aji harap, Dayu tidak marah pada Dagus Mantra, karena ia sendiri sudah meminta maaf pada Aji. Ia sendiri merasa tidak enak pada Aji. Ini gara-gara Dagus Suamba! Kata Dagus Mantra, anaknya itu tidak cocok bersanding dengan Dayu. Karena, ternyata selama ini hati Dagus Suamba bercabang dua, ia berkencan dengan wanita lain di belakang Dayu.”

Dayu terkejut. Dagus Suamba rela menjadi ‘kambing hitam’. Ia mengaku bersalah atas kesalahan yang sama sekali tidak ia perbuat. Sayang, Dayu tidak dapat mencintai Dagus Suamba, seperti Dayu mencintai Dharma. Dayu merasa siap sekarang. Dayu berjanji dalam hati akan mengatakan sejujurnya kepada Dagus Brama tentang hubungannya dengan Dharma.

“Aji, sebenarnya Dayu....”

Tapi, belum selesai Dayu berbicara, Ni Luh Sari muncul di antara mereka, menyela pembicaraan mereka.

“Dayu, kamu baru pulang dari kampus? Cuci muka dan ganti baju dulu, ya.” Ni Luh Sari mengajak Dayu masuk ke dalam kamar.

“Biang, Dayu hampir saja mengatakan semuanya pada Aji,” kata Dayu pada Ni Luh Sari, dengan nada kesal.

“Ada yang ingin Biang bicarakan pada Dayu.”

Dayu terdiam, baru kali ini ia melihat wajah Ni Luh Sari yang begitu serius. “Tanpa sepengetahuan Dayu, Biang menemui Tut Dharma.”

Dayu terkejut. “Apa yang Biang katakan padanya?!”

“Maaf Dayu, Biang pikir Dayu dan Dagus Suamba bisa hidup bahagia. Jadi, Biang menyuruh Tut Dharma menjauhi Dayu.”

Dayu terduduk di tempat tidurnya, lemas. Tetes demi tetes air mata membasahi pipinya.

“Biang, teganya....”

Dayu baru maklum, kenapa beberapa hari ini Dharma tidak bisa ditemui. Ternyata, Dharma memang sengaja menghindar darinya.

“Maafkan Biang, Dayu.”

Ni Luh Sari memeluk Dayu, air matanya ikut mengalir, merasakan kepedihan yang dirasakan anak semata wayangnya itu. “Tapi, Biang rasa belum terlambat. Biang lihat dari matanya, Biang sangat yakin bahwa ia sangat mencintai Dayu. Ia pasti mau menerima Dayu kembali.”

Dayu tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Ia ingin segera menyelesaikan urusannya dengan Dharma. Pulang dari kampus Dayu mampir di rumah Dharma.

“Dayu?!” Komang Sri terkejut. Ketika hendak keluar rumah, ia sudah mendapati Dayu di depan pagar rumahnya.”

“Maaf, Dayu mengganggu, Bi. Tapi, Dayu benar-benar harus bertemu dengan Bli Tut.”

“Aduh, Dayu, Bibi tidak tahu harus bagaimana lagi. Tapi, Ketut benar-benar tidak mau bertemu dengan Dayu.”

“Bi, ini penting sekali. Ini menyangkut hati Dayu dan Bli Tut,” kata Dayu, setengah memohon.

Komang Sri mengalah. “Dayu tunggu di sini dulu, biar Bibi coba panggil Ketut lagi.”

Tak lama kemudian Komang Sri muncul kembali.

“Dayu, Ketut tidak mau keluar. Katanya, Dayu lebih baik pulang dan jangan ganggu dia lagi.”

Dayu memohon. “Maaf, Bi, tolong bantu Dayu lagi. Katakan pada Bli Tut bahwa Dayu sudah siap.”

“Apa benar Dayu siap?” Tiba-tiba saja Bli Tut sudah muncul dari balik pintu. Entah sejak kapan ia mendengarkan perbincangan mereka.

“Bli Tut.”

Wajah Dayu memerah. Rasa rindunya sungguh tak terbendung lagi, air matanya mengalir.

“Ayo, masuk, Dayu.”

Bli Tut menggandeng tangan Dayu. Hati Dayu berdebar.

“Tut, Bibi pergi dulu, ya,” pamit Komang Sri pada Dharma.

Seperti biasa, Dharma dan Dayu duduk di bale bengong di rumah Dharma.

“Bli Tut, maaf, Dayu... kemarin Dayu sempat bimbang akan cinta Dayu pada Bli Tut.”

Dharma menyeka air mata di wajah Dayu dengan kedua tangannya. “Bli mengerti. Dayu hanya ingin menghindar dari segala bentuk masalah.”

Dayu mengangguk. “Sekarang Dayu rela keluar griya demi Bli Tut. Karena, Dayu telah memilih. Dayu tulus mencintai Bli Tut,” kata Dayu, yakin.

Hati Dayu berdebar-debar. Hati Dharma tak kalah kencang berdegup. Mereka berdua akan menghadap Dagus Brama. Jantung Ni Luh Sari ikut berdebar kencang mendapati sepasang kekasih yang sedang kasmaran di depan teras griyanya.

Dagus Brama naik darah, saat mengetahui Dharma berani menginjakkan kaki di griya-nya. Apalagi, sekarang ia sudah berada di ruang tamunya.

“Bukankah Aji sudah bilang, bahwa griya kita tidak boleh dimasuki oleh kaumnya, Dayu?!” kata Dagus Brama pada Dayu, sambil melirik sinis pada Dharma.

Tubuh Dayu terasa dingin, ia sangat gugup.

“Aji... Aji kuno.”

Singkat, namun cukup untuk membuat Dagus Brama bertambah marah.

“Apa maksud Dayu?!” bentak Dagus Brama.

“Maaf Aji. Maksud kedatangan kami berdua...,” Dharma mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Diam!” Dagus Brama melotot. “Aku bertanya pada putriku.”

Dayu meneguhkan tekadnya. Ia menelan ludah dan menenangkan hatinya.

“Maaf Aji. Apakah Aji lihat ada Dagus yang konservatif seperti Aji? Lihat saja Dagus Witra. Anak mereka berteman baik dengan kalangan biasa. Dagus Witra pun tak masalah anak dari kalangan biasa menginjakkan kaki di griyanya. Dayu pikir, Dagus Mantra pun pasti seperti itu. Maaf, Dayu lancang, Aji.”

Dagus Brama naik pitam. Ia menampar pipi Dayu.

“Ini akibatnya jika terlalu sering bergaul dengan orang biasa. Tidak punya sopan santun!”

Dayu menangis.

Dharma menenangkannya dan mengelus pipinya.

Tapi, Dagus Brama bertambah marah. “Sejak kapan orang biasa diizinkan menyentuh putriku!”

“Maaf, Aji. Tiang... tiang mencintai Dayu.”

Dayu dan Ni Luh Sari berdebar-debar menunggu reaksi dari Dagus Brama.

“Apa?!” Dagus Brama memegang dadanya yang seketika terasa sakit mendengar pengakuan Dharma. Ia jatuh terduduk di sofa.

“Aji, tolong restui kami. Selama ini Dayu tidak pernah melawan pada Aji. Tapi, ini soal perasaan. Dayu tidak bisa membohongi perasaan Dayu sendiri.” Dayu memohon, sambil berlutut di kaki Dagus Brama.

Dharma dan Ni Luh Sari ikut berlutut.

“Dayu!” Degup jantung Dagus Brama terasa tak terkendali. “Dia...dia tidak setara dengan kita.” Suaranya mulai berat.

“Apa lagi, Aji? Bli Tut berasal dari keluarga yang berpendidik­an. Ia seorang sarjana hukum. Bibinya juga punya beberapa art shop dan juga seorang sarjana pariwisata. Ayah Dharma, Ji Made Eka Baskara, juga meninggalkan sebuah rumah dan sebidang tanah untuk Bli Tut. Kesalahannya hanyalah dia bukan Dagus!” Masih dengan tetap berlutut, Dayu mulai membantah Dagus Brama.

“Tapi, ibunya gila! Sejak Made meninggal, dia punya gangguan jiwa. Itu akan turun-menurun!”

Dagus Brama sangat marah. Dadanya bertambah sakit karena emosinya yang tak terbendung lagi.

Tapi, mendengar perkataan itu, Dharma juga marah. Matanya yang bulat membesar. Ia melotot menantang Dagus Brama.

“Ibu tiang tidak gila. Kalau gila, tidak mungkin kedua kakak tiang besar dan dapat bersekolah dengan normal. Seandainya kakak laki-laki tiang masih hidup, tentu dia jadi orang yang hebat juga!”

Selama ini masyarakat memang menganggap Kompyang, ibu Dharma, mengalami gangguan jiwa. Karena, ia sering tampak linglung, setelah Made Eka Baskara meninggal dunia. Apalagi, Kompyang adalah seorang yang tidak bersekolah, berbeda dari Made Eka Baskara, suaminya, yang seorang insinyur perikanan.

“Kalian...!!!”

Dagus Brama masih memegang dadanya, sakit sekali. Napasnya sesak.

Ni Luh Sari panik. “Aji... Aji... sabar, Ji.”

Dharma berlari keluar, meminjam mobil bibinya. Mereka membawa Dagus Brama ke rumah sakit terdekat. Ia terpaksa diopname, karena ia belum sadarkan diri, sejak pingsan dalam perjalanan ke rumah sakit.

Setelah pingsan selama dua hari, akhirnya Dagus Brama sadar. Ia melihat Ni Luh Sari tertidur di sisi tempat tidurnya.

“Ni Luh...,” panggilnya, pelan.

Ni Luh Sari membuka matanya perlahan. Ia sangat mengantuk. Dua malam penuh ia terus terjaga.

“Aji, syukurlah.” Ni Luh Sari langsung memeluk suaminya.

“Ni Luh, ini pasti karenamu,” kata Dagus Brama, terbata-bata.

“Aji, jangan terlalu banyak bicara.”

Ni Luh Sari khawatir penyakit jantung Dagus Brama kumat lagi.

“Kamu terlalu memanjakan Dayu. Ini akibatnya. Dia jatuh cinta pada orang sembarangan.” Napasnya tersenggal-senggal.

“Mereka teman main sejak kecil, Ji,” Ni Luh Sari membela diri.

Dagus Brama menarik napas berat.

“Itulah yang aku maksud Ni Luh. Kau yang sejak dulu mengizinkan putriku bermain dengannya.”

Ni Luh Sari terdiam. Ia tak tahu akan berkomentar apa lagi. Suami dan anaknya sama-sama orang yang keras kepala.

Tak lama berselang, Dayu, Dharma, dan Komang Sri masuk ke ruang VIP tempat Dagus Brama dirawat.

“Aji sudah sadar?”

Dayu menghampiri Dagus Brama dengan riang. Tapi, sikap Dagus Brama terhadapnya sangat dingin.

“Maafkan kesalahan kami, Aji.”

Dharma membesarkan hatinya meminta maaf pa­da Dagus Brama. Namun, ia tak berani menatap Dagus Brama.

“Aku ingin bicara berdua saja dengan Komang Sri,” kata Dagus Brama.

Nadanya masih dingin. Sangat dingin, malah. Komang Sri sampai merasa sangat ketakutan dibuatnya. Wajahnya pucat. Ni Luh Sari, Dayu, dan Dharma keluar ruangan.

“A... apa yang Ji Dagus ingin bicarakan dengan titiang?” tanya Komang Sri, sangat gugup.

“Mang, kita sudah bertetangga sejak lama. Sebenarnya aku tidak enak mengatakan ini padamu. Tapi, sejujurnya, aku tak suka jika keponakanmu menjalin hubungan terlalu dekat dengan anakku. Kamu tahu, hanya Dayu harapanku satu-satunya.”

Komang Sri menarik napas lega. Dia sempat berpikir bahwa Dagus Brama akan membentak dan memarahinya habis-habisan.

“Lalu, apa yang Aji inginkan dari kami?”

“Aku ingin kau membawa pergi keponakanmu jauh-jauh dari sini.”

Komang Sri tersentak. “Tiang tidak bisa. Tiang tidak bisa me­renggut kebahagiaan mereka.”

Tiba-tiba saja Dayu masuk ke dalam ruangan.

“Ji, kalau memang itu yang Aji inginkan, maaf, Dayu tidak bisa memenuhinya. Selamat tinggal, Aji. Dayu akan ikut ke mana pun Bli Tut membawa. Maafkan kami.”

“Dayu!” panggil Komang Sri, ketika melihat Dayu dan Dharma pergi tergesa-gesa, setengah berlari. Dayu sedikit menyeret Dharma, agar segera menjauh. Ni Luh Sari berusaha mengejar. Namun, Dayu dan Dharma tak terkejar lagi, mereka makin jauh dari rumah sakit.

Dayu dan Dharma pergi ke rumah Kompyang, ibu Dharma, yang terletak di Tanjung Benoa, Nusa Dua. Rumah Kompyang sederhana, tapi halamannya luas dan berupa kompleks keluarga.

Kakak perempuan Dharma yang kedua, bernama Kadek Ari, masih lajang dan tinggal bersama ibunya. Kakak pertama Dharma bernama Wayan, sudah memiliki suami dan dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Wayan dan keluarganya juga tinggal di kompleks keluarga.

Di sana Dayu seperti menemukan keluarga baru. Meski jauh dari orang tuanya, ia tidak merasa kesepian.

“Dayu sudah makan?” tanya Kadek Ari, saat melihat Dayu meng­hampirinya di dapur.

“Tidak lapar, Mbok. Mbok sedang apa?” tanya Dayu, penasaran.

Kadek Ari tersenyum. “Tidak apa-apa. Mbok senang mencoba-coba resep makanan dari majalah.”

“Oh, begitu. Bisa Dayu bantu, Mbok? Dayu ingin sekali pandai memasak seperti Mbok. Supaya nanti Dayu bisa memasakkan untuk Bli Dharma.”

Kadek Ari tersenyum ramah. “Tentu saja.”

Dayu senang sekali. Ia jadi punya teman ngobrol. Setiap hari sebelum tidur, ia ngobrol dengan Kadek Ari dulu. Ia juga senang karena selalu ditemani Surya dan Dewi, anak-anak Wayan dan Suwita, suaminya. Sementara Kompyang sudah agak sulit diajak berbicara, karena pendengar­annya kurang jelas dan sudah agak linglung.

Dharma menjadi pengangguran kembali, karena lari bersama Dayu. Sehari-hari ia hanya memancing ikan dari bendungan Pantai Pratama dan menjualnya di pasar. Dayu sedih melihat Dharma, seperti seorang Sarjana Hukum yang terbuang. Sementara Dayu sehari-hari hanya membantu Kadek Ari memasak untuk seluruh anggota keluarga.

Tidak terasa, sudah seminggu Dayu berada di rumah keluarga besar Dharma. Lusa adalah hari Jumat dan itu berarti dia harus ke kampus untuk ujian sidang. Dayu duduk melamun di teras rumah.

“Tante tunangannya Pak Tut, ya?” Dewi, anak kedua Wayan yang baru berusia empat tahun, menghampiri.

“Bukan, anak manis. Tante kan tantenya Dewi.”

Dayu mencium pipi Dewi, membuat anak itu tersipu malu.

“Bli Surya di mana?” tanya Dayu kemudian, tentang Surya, kakak Dewi yang berusia enam tahun itu.

“Ikut Pak Tut pergi memancing,” jawab Dewi.

Tak lama kemudian Dharma dan Surya datang. “Banyak dapet ikan!” teriak Surya, sambil memamerkan embernya yang penuh berbagai macam ikan.

Dewi langsung bersemangat. “Lihat-lihat! Mana?!”

Surya menarik embernya kembali. “Tidak bisa! Tidak! Siapa suruh tidak ikut?!”

“Bli kan tidak mau mengajari aku memancing?” Dewi merajuk.

Dayu mengamati sambil tersenyum. Lucu sekali anak-anak itu, pikirnya. Masih polos tanpa beban. Sedangkan dirinya sejak kecil merasa kesepian, anak tunggal. Hanya Dharma teman satu-satunya. Itu pun harus sembunyi-sembunyi dari ayahnya, jika ingin bermain bersama.

“Dayu, Bi Komang ada di depan,” kata Dharma pada Dayu. Maksudnya di depan adalah di depan pagar kompleks mereka. “Tadi Bli ketemu dalam perjalanan pulang. Ia ingin berbicara dengan kita berdua.”

“Dayu....” Komang Sri langsung memeluk Dayu, saat Dayu keluar dari kompleks untuk menghampirinya. “Dayu sehat kan?”

“Sehat Bi.”

Dayu tersenyum, namun kemudian hatinya merasa sangat khawatir akan keadaan keluarganya. “Aji sudah pulang dari rumah sakit?”

“Sudah, Dayu. Untunglah Dagus Brama sudah lebih tenang. Jadi, dia diizinkan pulang oleh dokter.”

“Dayu rindu pada Biang dan Aji.”

Komang Sri menggandeng tangan Dayu, mengajaknya duduk di bale bengong. Dharma mengikuti Dayu dan Komang Sri.

“Bibi sudah menduga Ketut akan membawa Dayu ke sini. Apa Dayu senang di sini?” tanya Komang Sri.
Dayu tersenyum dan mengangguk.

“Apakah Dayu benar siap menghadapi apa pun demi Ketut? Dayu jadi tidak bisa menurunkan Ida Bagus untuk Aji. Pikirkan dulu. Bibi hanya tidak ingin Dayu menyesal.”

Dayu melirik ke arah Dharma. Kekasihnya itu degdegan menunggu jawaban dari Dayu.

“Sejak memutuskan pergi bersama Bli Tut, Dayu sangat siap.”

Dharma lega mendengar jawaban dari Dayu.

“Sebenarnya, Bibi datang bukan atas kemauan Bibi sendiri. Bibi disuruh oleh seseorang.”

Dayu dan Dharma saling berpandangan mendengar kata-kata dari Komang Sri.

“Sebenarnya apa tujuan Bibi menemui kami?”

“Bibi datang untuk menjemput kalian,” kata Komang Sri tegas, seakan tak ingin dibantah oleh siapa pun.

“Tapi, Bi, apakah ini perintah Aji?” tanya Dayu, ragu-ragu.

“Apakah Dayu tidak rindu pada Biang?” Komang Sri balik bertanya.

“Sebaiknya kita pulang Dayu. Kita sudah cukup lama pergi.”

Mereka berdua tak bertanya apa-apa lagi.

Dayu sedang berkemas-kemas, ketika Dewi menghampirinya. “Tante Dayu dan Pak Tut akan pulang?”

“Iya, Sayang. Tapi, Tante janji ajab ke sini lagi kapan-kapan,” jawab Dayu, sambil terus membereskan barang-barangnya.

“Dewi kesepian lagi.”

“Kan ada Bli Surya?” Dayu berhenti sejenak membereskan barangnya dan menghibur Dewi.

“Bli Surya bilang Dewi cengeng. Jadi, dia nggak mau bermain dengan Dewi.” Dewi menggosok-gosok matanya, agar air matanya tak sempat membasahi wajahnya.

Dayu memeluk Dewi.

“Tante pasti akan menjenguk Dewi lagi dan ngobrol dengan Dewi di sini. Dewi sabar, ya? Sekarang Tante harus pulang.”

“Tante janji, ya?”

Dewi melepaskan diri dari pelukan Dayu dan menunjukkan ke-lingkingnya. Dayu mengaitkan kelingkingnya ke kelingking Dewi.

“Tante janji.”

Dayu dan Dharma ikut pulang dengan Komang Sri naik mobil tua milik Komang Sri.

Sesampainya di griya Dayu, mereka sudah ditunggu oleh Ni Luh Sari di depan pintu.

“Dayu!” Ni Luh Sari langsung memeluk putrinya.

“Biang, Dayu rindu,” kata Dayu, sambil membalas pelukan Ni Luh Sari. “Aji bagaimana, Biang?”

“Aji ada di dalam. Ayo, masuk. Dharma dan Komang juga.”

Komang Sri tersenyum. Dengan santainya ia mengikuti Ni Luh Sari masuk ke dalam griya. Dharma dan Dayu agak bingung melihat sikap Ni Luh Sari. Tumben, orang biasa seperti Dharma dan Komang Sri boleh menginjakkan kaki di griya Dagus Brama.

“Maafkan Dayu, Aji.”

Dayu akan bersujud di kaki Dagus Brama, saat melihat Dagus Brama menunggunya di ruang tamu. Dagus Brama mencegahnya.

“Aji!”

Dayu memeluk Dagus Brama dan menangis di pelukan ayahnya. “Maafkan Dayu, Aji. Maafkan Dayu.”

“Aji, titiang mohon Aji mau memaafkan kami berdua.” Dharma berlutut di hadapan Dagus Brama. “Apa pun yang Dagus Brama inginkan dari kami berdua, akan kami penuhi sekarang.”

“Tidak, Anakku.” Dagus Brama menyuruh Dharma berdiri. “Aji sudah memutuskan akan merestui hubungan kalian berdua. Aji rela. Aji menghargai pilihan hidup Dayu.”

Dharma terkesima. Wajah Dayu mendadak cerah.

“Aji.” Dayu memeluk Dagus Brama lagi. “Terima kasih, Aji.”

“Kalau begitu, izinkan titiang melamar Dayu,” Dharma langsung menyatakan keinginannya.

Komang Sri mencolek pinggang keponakannya tersebut. “Hei, dikasih hati, minta jantung!” bisiknya pada Dharma.

“Tunggu, Bli. Tunggu sampai Dayu ujian sidang. Supaya konsentrasi Dayu tidak terpecah belah. Ujiannya minggu depan.”

“Kalau begitu, dua minggu lagi kami tunggu lamarannya,” kata Dagus Brama, menegaskan.

Setelah dua minggu berlalu, Dharma datang bersama keluarga besarnya. Komang Sri yang menjemputnya di Tanjung Benoa, Nusa Dua.

“Tante jadi menikah dengan Pak Tut?” tanya Dewi, setengah berbisik, ketika berjumpa dengan Dayu di griya.
Dayu tersenyum.

“Anak kecil belum boleh ngomong nikah-nikah,” kata Dayu, balas berbisik kepada Dewi.

“Dulu Pak Tut yang bilang waktu di rumah Dewi. Katanya Pak Tut mau menikah.”

Dharma tersenyum nakal mendengar komentar Dewi, sambil melirik ke arah Dayu.

Dayu melotot.

“Jangan ngomong macam-macam dengan anak kecil,” bisik Dayu di telinga Dharma.

Sementara keluarga Dayu dan Dharma mengobrol di ruang tamu, Dharma dan Dayu mengajak Dewi dan Surya duduk di bale bengong. Lega sekali hati Dayu, karena akhirnya ia bisa menikah dengan pria yang ia cintai.

Dewi dan Surya asyik bercengkerama bermain di taman. Berlari ke sana kemari, saling mengejar, penuh tawa. Riuh sekali kedengaran. Sementara Dharma dan Dayu memilih duduk diam di bale bengong, berbicara dari hati ke hati.

“Mereka seperti kita dulu ya?” bisik Dharma di telinga Dayu.

Dayu mengangguk. “Bli Tut akan selalu bersama Dayu, ’kan?”

“Tentu saja, Dayu.” Dharma menggenggam jemari Dayu. “Apa Dayu ragu di detik-detik terakhir?”

“Tidak.”

Dayu menyandarkan kepalanya di bahu Dharma.

“Bli tidak akan pernah meninggalkan Dayu. Cinta kita berdua banyak mengalami cobaan. Bli Tut tidak akan menyia-nyiakan perjuangan kita berdua.”

“Setelah menikah, Dayu akan ikut ke mana pun Bli Tut membawa.”

Dharma tersenyum. Diciumnya kening Dayu.

“Dayu memilih Bli sudah merupakan penghargaan besar buat Bli.”

No comments: