12.22.2010

KIRANA

Suara jeritan yang diselingi tangisan itu terdengar sayup-sayup dari arah loji di seberang lembah. Suara yang menggema. Kadang-kadang muncul, kadang-kadang hilang, menjadi seperti momen khusus yang membuat orang terdiam sejenak.

“Seratus delapan puluh, seratus, Dok,“ suara Suster Meida mengingatkanku untuk mencatat di kartu pasien yang sedang kutangani.

“Dasar wanita tak tahu malu,“ si ibu mencibir, sambil turun dari tempat tidur, dibantu Suster Maida. Maklum, Bu Malikah itu bertubuh besar.

“Siapa, Bu?“ Suster Meida bertanya.

“Ya, itu… wong edan itu. Bu Kirana.” Bu Malikah membenahi baju kebayanya yang terbuka saat kuperiksa tadi. Dia mengidap hipertensi dan ini sudah kontrol ketiganya, sejak aku bertugas di Puskesmas Sumberpodang, sejak tiga bulan lalu.

“Kan Bu Kirana memang sakit, setelah kecelakaan.” Suster Meida tertawa kecil.

“Bukan, Sus, dia sakit bukan karena kecelakaan, tetapi karena kualat pada suaminya,” balas Bu Malikah, sok tahu.

“Ah, Bu Malikah. Itu kan hanya gosip.”

“Itu bener! Wong saya pernah lihat wanita itu keluar dari pondok di sendang.“ Orang kampung ini menyebut danau dengan kata sendang.

Aku berdehem. Bu Malikah tampak tersipu.

“Tensinya naik lagi nanti, Bu,“ kataku, sambil menulis resep. “Seminggu ini jangan makan brongkosan kambing dulu, ya, Bu.“

“Jeng Dokter ini... saya jadi malu. Habis bagaimana, ya... saya se­nang sekali makanan itu.“ Bu Malikah tertawa malu.

“Kalau kebablasan, kena stroke nanti,“ Suster Meida menambahkan.

Basa-basi kami berakhir pukul 11.45. Pasien sudah habis dan kuluruskan punggungku. Ada 25 pasien hari ini, lebih sedikit dibanding kemarin. Mungkin karena ini hari Kamis. Biasanya, pasien memang akan menumpuk pada hari Senin, Selasa, dan Jumat.

“Selalu Kirana,“ Suster Meida berkata pada dirinya sendiri.

Sudah ratusan kali aku mendengar nama itu disebut, sejak kedatanganku kemari. Ada kekuatan magnetik yang luar biasa memengaruhi masyarakat Sumberpodang atas diri Kirana. Aku sendiri sampai saat ini belum pernah melihat dengan mataku sendiri sosok Kirana itu. Aku hanya mendengar kisah-kisahnya dari cerita para pasien dan orang-orang yang kutemui secara tidak sengaja. Kupikir, semua orang di tempat ini terobsesi pada Kirana.

“Dokter pasti penasaran pada Kirana, bukan?” Suster Meida bertanya, sambil membenahi ruang periksa. Aku menengadah. Aku?

“Apa aku pernah bicara begitu, Sus?”

Suster Meida tertawa. “Maaf, jika Dokter tersinggung. Tetapi, percayalah, kisah Kirana tak ubahnya seperti telenovela.“

“Kau berlebihan, Sus.“

“Saya akan ceritakan.“

“Oh... please, deh....“

Tanpa menghiraukan keberatanku, ia mulai menceritakan kisah yang sudah berkali-kali kudengar. Setiap orang menuturkannya dengan kata-kata yang berbeda, dengan ekspresi yang tidak sama, juga intonasi suara yang bervariasi. Sungguh menarik untuk disimak.

Tentang seorang wanita cantik bernama Kirana, istri seorang pengacara yang juga pengusaha olahraga ekstrem yang sukses: Herlambang Saksono. Mereka dikisahkan hidup bagaikan raja dan ratu di Desa Sumberpodang ini, menghuni sebuah loji megah peninggalan Belanda yang masih terawat dengan baik di lereng bukit.

Mereka tidak memiliki atau belum memiliki anak, sekalipun sudah lebih dari lima tahun menikah. Kegiatan Kirana sehari-hari adalah mengelilingi properti milik suaminya yang berada di sekitar Sumberpodang sampai Bumiaji. Seperti kebun apel, greenhouse tanaman organik, serta sebuah pabrik keripik buah-buahan yang menjadi ciri khas Malang. Ia selalu berkeliling desa mengendarai sedan sport merah dengan kap yang sengaja dibuka, sehingga semua orang bisa melihat kecantikannya. Kirana cukup sopan, tetapi tidak bisa dibilang ramah. Jika berpapasan dengan orang, ia hanya mengangguk, tak pernah menyapa, apalagi tersenyum.

Masyarakat Sumberpodang tidak ada yang mengetahui dengan pasti, siapa dia dan dari mana wanita itu berasal. Yang jelas, sekitar enam tahun lalu Herlambang membawanya ke loji beserta seorang wanita yang mengasuhnya sejak kecil, Inang Dayu. Sejak itu mereka menganggap Kirana sebagai istri pengusaha itu.

Sedangkan Herlambang lebih sering bepergian ke Malang dan Surabaya. Kadang ia ke Probolinggo, karena memiliki rafting resor yang cukup terkenal. Masyarakat desa jarang melihat keduanya jalan bersama, mungkin karena kesibukan yang luar biasa. Tetapi, mereka sering muncul di pesta-pesta atau kegiatan high society lainnya.
Semula tidak ada yang salah dengan kehidupan mereka. Masyarakat desa selalu disuguhi tampilan keindahan, kekayaan, dan kesunyian atas keduanya. Tetapi, ceritanya menjadi berbeda sejak kehadiran Adrian, seorang arsitek yang bertanggung jawab untuk membangun sebuah resor wisata di Sumberpodang, proyek baru Herlambang sendiri.

Adrian mewakili kesempurnaan pria idaman, setidaknya bagi Kirana. Berumur 33 tahun, cerdas, pendiam, dan santun. Ia memilih membangun sebuah pondok sederhana di tepi danau Sumberpodang daripada tinggal di Malang atau di loji milik Herlambang. Katanya, ia ingin menangkap aura resor yang akan dibangun di sekitar danau itu.

Pria itu bersikap ramah kepada setiap orang yang datang padanya. Dalam waktu singkat, ia sudah lumayan dikenal oleh masyarakat desa. Adrian cukup terbuka untuk ukuran orang yang pendiam. Mereka segera tahu bahwa pria itu sebenarnya telah memiliki seorang istri dan sepasang anak kembar di Bandung.

Semua bermula pada suatu Minggu pagi yang sejuk. Masyarakat Desa Sumberpodang mengawali pagi mereka dengan pemandang­an baru: Kirana melintasi jalan-jalan desa dengan sedan sport merahnya itu. Hanya, menjadi tidak biasa, karena ia tidak sendirian. Adrian duduk di sampingnya. Sejak itu, masyarakat Sumberpodang mendapatkan pemandangan yang berbeda. Mereka sering melihat keduanya berkeliling desa dengan mobil atau kuda. Beberapa kali Kirana sering didapati berlama-lama di pondok Adrian, yang menurut pengakuan pria itu, Kirana sedang belajar melukis. Tak jarang mereka kelihatan berperahu mengelilingi danau, sambil bercakap-cakap mesra, layaknya sepasang kekasih.

Mereka melihat perubahan besar dalam diri Kirana. Ia kelihatan menjadi lebih cantik dan ramah. Kirana menjadi mudah tersenyum kepada siapa saja yang kebetulan berpapasan dengannya. Suatu hal yang teramat jarang disaksikan oleh warga Sumberpodang. Mungkin karena wanita itu sedang jatuh cinta.

Perselingkuhan itu menjadi sarapan pagi, makan siang, dan dongeng sebelum tidur. Ketenangan Desa Sumberpodang terusik, kedamaian mereka koyak oleh asmara yang membara di antara keduanya. Menurut kabar, Herlambang sudah mengetahui masalah itu, namun ia tidak melakukan apa-apa. Orang-orang mengira, pria itu lebih takut kehilangan proyeknya daripada kehilangan istrinya.

Namun, akhirnya, warga desa menyaksikan perubahan itu. Pada suatu Minggu subuh yang sunyi, mereka dikejutkan oleh suara tangisan yang tiba-tiba pecah dari arah danau. Kemudian beberapa warga melihat Adrian pergi dengan tergopoh-gopoh, dengan pakaian yang acak-acakan, membawa sebuah ransel. Yang lebih mencengangkan adalah ketika Herlambang menyeret istrinya keluar dari pondok, lalu mendorongnya ke dalam mobil. Kemudian, Herlambang melemparkan sekaleng bensin ke dalam pondok itu. Hanya dalam hitungan detik, pondok kayu itu sudah habis dilalap api.

Hawa panas pagi itu berlanjut hingga malam hari. Di tengah guyuran hujan deras yang melanda Sumberpodang, warga melihat mobil sport merah yang biasa dikendarai Kirana, melesat cepat di jalanan yang licin dan berkelok-kelok. Saat itu mereka tidak dapat melihat dengan jelas, siapa yang menyetir mobil itu, Herlambang atau Kirana? Selain sudah malam, kap mobil itu ditutup. Derasnya hujan juga menghalangi pandangan.

Esoknya, di pagi yang dingin dan basah, Inang Dayu, pengasuh Kirana, memberikan kabar yang mengejutkan. Kirana mengalami kecelakaan parah di Ngantang, daerah dataran tinggi di luar Kota Malang. Mobilnya selip dan terjun ke dalam jurang. Herlambang tidak ikut di dalam mobil, karena setelah kejadian pagi itu ia pergi meninggalkan Kirana.

“Beberapa bulan lalu Pak Herlambang membawa pulang istrinya. Namun, Kirana yang sekarang berbeda dengan Kirana yang dulu. Akibat kecelakaan itu, ia jadi kehilangan ingatan akan masa lalunya, dan sering dilanda halusinasi. Cerita tentang Kirana ternyata tidak selesai dengan tragedi itu. Kami sekarang harus mendengarkan raungan kesakitannya tiap hari. Kami menerka-nerka, sakit apa yang dideritanya sehingga ia demikian menderita,“ Suster Meida menutup jendela, mengakhiri cerita panjang, yang selalu menarik untuk didengar itu.

Ia menoleh, lalu tertawa melihatku. “Kau harus membayar makan siangku sebagai upah atas dongeng yang indah ini, Dok.“

Aku tertawa, ternyata aku juga tersirap oleh cerita itu. Maka, setelah membereskan semua administrasi dan merapikan puskesmas, aku membawa jipku ke sebuah warung makan bersama Suster Meida. Kami ingin menikmati makanan favorit Bu Malikah, yang sering membuat darah tingginya kumat. Brongkosan kambing.

Sinar matahari yang sudah condong ke barat, membuat pemandangan menjadi sedikit menyilaukan dan udara menjadi panas. Segelas es jeruk nipis amat menyegarkan tenggorokan. Aroma brongkosan kambing tercium dari dapur warung.

Tiba-tiba terdengar sebuah bunyi ledakan keras yang membuat kami semua melonjak kaget. Orang segera berlarian keluar untuk mengetahui asal bunyi ledakan tadi. Aku melongok ke luar dan kulihat asap mengepul dari lereng bukit, dari arah loji.

“Kebakaran! Kebakaran! Lojinya kebakaran!“ teriakan itu terdengar begitu ribut.

Suster Meida ikut berlari keluar, aku pun menyusulnya. Kami melihat orang-orang bergerak menuju ke arah loji. Ada yang berlari, mengendarai sepeda atau sepeda motor. Aku berlari menuju jip dan kubuka pintunya, lalu menawarkan siapa yang mau ikut. Empat orang pria yang tadi baru datang untuk makan, segera saja masuk dan duduk berimpitan di jok belakang.

Jadi, kupacu saja jipku agar bisa sampai ke sana lebih cepat. Saat kami mencapai loji, sudah ada beberapa orang yang datang membantu memadamkan api yang membakar ujung bangunan di sisi kiri.

“Dapurnya terbakar!“ seru mereka, sambil menyiramkan air ke tengah kobaran api dengan alat seadanya. Ember, panci, dan selang air yang dihubungkan ke keran taman. Dengan datangnya bantuan, makin banyak orang yang ikut memadamkan kebakaran. Aku dan Suster Meida hanya berdiri menonton, sambil berharap semoga tidak ada korban jiwa di dalam sana.

Menurut orang-orang yang ikut menyaksikan proses pemadaman api, sepertinya api berasal dari tabung elpiji yang meledak.

“Itu Inang Dayu,“ Suster Meida menyentuh pundakku, sambil menunjuk ke arah kerumunan orang yang datang memapah seorang wanita separuh baya bertubuh besar.

Naluri medisku membawaku segera menyongsong wanita yang disandarkan pada tembok pagar. Ia tampak lelah dan shocked. Kuperiksa kondisi primernya dengan cepat. “Apa yang Ibu rasakan sekarang? Sesak napas? Pusing? Mual?“

Ia menggelengkan kepalanya lemah. Kulonggarkan pakaiannya dengan melepas dua kancing kebayanya. Napasnya menjadi lebih baik. Suster Meida mengipasinya dengan kipas bergambar Doraemon-nya. Kami melihat ada dua orang pemuda berlari ke arah kami.

“Pak Herlambang meminta kami memindahkan Inang Dayu ke dalam rumah,“ kata salah satu dari mereka.

“Apakah sudah cukup aman?“ tanyaku.

“Yang terbakar hanya dapur saja, Dok, yang lainnya tidak.“

Kemudian keduanya berusaha mengangkat Inang Dayu. Namun, tenaga kedua pria itu tidak sanggup untuk menjunjung wanita bertubuh besar itu. Akhirnya, aku dan Suster Meida ikut membantu mengangkat Inang Dayu masuk ke dalam.

Kami terseok-seok memasuki loji megah ini. Aku belum pernah masuk ke tempat ini. Memikirkannya juga tidak. Sebuah kebetulan, jika saat ini aku bisa memasuki bagian dari kemegahan hidup mereka, seperti yang diceritakan selama ini. Rumah ini sangat besar dan memiliki lorong yang panjang. Seperti kebanyakan arsitektur khas Belanda lainnya, pintu dan jendelanya berukuran besar serta banyak jumlahnya.

Kami melewati ruangan besar yang mungkin ruang utama rumah ini. Aku tertegun memperhatikan sebuah lukisan potret se­orang wanita berukuran besar yang terpampang di sana dengan tajuk: Sang Dewi. Wajahnya cantik. Mengenakan kebaya beludru berwarna ungu yang membuatnya kelihatan anggun. Yang mencolok dari penampilannya adalah seuntai kalung yang melingkari leher jenjangnya. Kalung emas bermatakan batu emerald yang cemerlang menunjukkan kemewahan serta kelas tersendiri. Ia sedang tersenyum, tetapi bagiku lebih mirip sedang mengejek. Apakah dia Kirana?

“Sebelah sini, Dok,“ suara pria pertama mengingatkanku agar segera bergerak.

Kami berjalan kurang lebih sepuluh meter lagi, kemudian berhenti pada sebuah kamar yang sudah dibuka pintunya. Kami membawa Inang Dayu masuk, lalu merebahkannya di atas ranjang besi bercat hijau yang berukuran besar. Kelambunya diikatkan pada tiang-tiang ranjang kuno ini.

Aku memeriksa denyut nadi serta napas wanita ini. Setelah kuyakin bahwa ia akan baik-baik saja, maka aku keluar dari kamar itu. Pertama, karena memang sudah tidak diperlukan lagi. Kedua, karena kedua pria itu kelihatan keberatan, yang ditunjukkan dengan sikap sedikit gelisah.

Ketika sampai di luar, orang-orang yang ingin menyaksikan pemadaman api makin banyak, sekalipun kebakaran sudah berhasil diatasi. Mungkin bukan kebakarannya yang ingin mereka ketahui. Tetapi, rasa penasaran akan kemegahan loji milik Herlambang dan kisah mereka yang menarik perhatian orang. Tetapi, aku tidak peduli. Kami segera kembali ke dalam mobil.

Sudah pukul setengah empat sekarang, makan siang sudah lewat. Mau balik makan, sudah tanggung. Jadi, kami memutuskan untuk pulang saja. Lalu, kami membicarakan kemegahan loji yang konon memiliki 20 kamar. Herlambang kabarnya akan mengubah loji itu menjadi tempat penginapan dengan konsep berbau feodal. Bahkan, koki yang direkrutnya juga harus mampu mengolah masakan khas Belanda dengan resep dan cara kuno. Teknik pemasaran yang menampilkan keunikan masa lampau memang sedang tren.

Tanpa sengaja aku melirik lewat spion tengah. Jantungku terasa copot, saat kulihat sepasang tangan merambat pelan pada sandaranku. Secara otomatis kuinjak rem mendadak. Suster Meida sampai terjerembab nyaris membentur dashboard. Aku menoleh ke belakang dengan perasaan tegang. Belum lagi mulutku mengeluarkan suara, Suster Meida sudah menjerit.

“Kirana...?!” Suster Meida tergagap dengan wajah tegang.

Kirana? Aku menoleh kembali ke belakang. Ke tempat seorang wanita berpenampilan kusut masai yang menggantungkan tangannya di jok yang kududuki. Suster Meida segera pulih dari kagetnya. Ia melepas seat belt, kemudian membuka pintu dan berlari keluar. Aku mengikuti jejaknya.

Wanita itu, Kirana, mengerutkan tubuhnya ke sudut mobil, sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya yang kurus. Ia makin beringsut ke sudut, ketika aku mendekatinya.

“Jangan... jangan... tutup... tutup...,“ suaranya demikian lirih.

Kami berpandangan

“Dia ketakutan, Dokter,” Suster Meida berbisik.

“Ya, tapi mengapa ia ada di jok belakang mobilku?“ aku balas berbisik. Suster Meida mengangkat bahunya.

“Sebaiknya kita bawa ia kembali ke loji.“

“Jangan! Jangan...! Tolong aku... tolong aku...!“ Ia memohon dengan ketakutan, lalu kami mendengar tangisannya yang menyayat hati seperti yang sudah-sudah. Namun, kali ini lebih nyata karena terdengar begitu dekat.
Kami berpandangan lagi. Suster Meida menutup pintu belakang.

“Kita harus memberi tahu suaminya,“ aku merasa tidak nyaman.

“Jangan! Bukankah ia sangat ketakutan?“

Suster Meida mencegahku.

“Kita bisa dituduh menculik orang, Sus. Kita kembalikan saja!“

“Dok, dia sakit.“

“Aku tahu, tapi membawanya tanpa izin keluarga, juga nggak betul.“ Aku tetap tak setuju.

Suster Meida menatapku.

“Dia menyelinap, menyusup masuk ke dalam mobil dan kita tidak tahu.“

Aku terperangah. “Astaga…! Kau pasti sudah terobsesi!”

Tangisan Kirana terdengar begitu memelas dari sini. Sesekali ia merintih, seperti sedang menahan sakit yang sangat. Suster Meida terus memaksaku melalui kedua matanya. Aku akhirnya menyerah.

“Kau yang akan bertanggung jawab atas semua ini, Sus.“ Aku memutar kontak dan mulai menjalankan kembali jipku. Suster Meida yang duduk di belakang tidak menyahut. Ia sibuk menenangkan wanita itu dengan kata-kata halus dan lembut. Aku tidak mengerti, apakah Suster Meida melakukan itu semua karena panggilan jiwanya sebagai tenaga medis, atau karena ia memang terobsesi pada wanita yang disebut gila oleh semua orang.

“Jangan ke puskesmas, Dok. Kita ke rumahmu saja,“ Suster Meida mencegahku saat akan berbelok ke arah puskesmas.

“What?“

“Dia akan menjadi bahan tontonan orang, Dok. Kasihan, ’kan?“

“ Apakah kau pernah menanyakan persetujuanku atas idemu ini?“

“Kau tinggal lurus ke kanan, lalu belok kiri.“

Ya, ampun. Gadis itu memang sudah merencanakan membawa wanita itu ke rumahku yang tak jauh dari jalan raya. Memang tidak kelihatan dari jalan, karena letak rumahku di balik tebing. Dulunya, rumah itu milik seorang sinder kehutanan, tetapi kini dijadikan perumahan dinas dokter puskesmas.

Ini adalah bagian paling menyebalkan. Aku harus celingukan menoleh ke kanan-kiri untuk memastikan situasi aman dari perhatian orang, sebelum membuka pintu belakang. Setelah itu, kami segera membawa wanita itu masuk ke dalam rumah. Kembali tanpa persetujuanku, Suster Meida sudah membaringkannya di kamarku. Tetapi, memang itu satu-satunya kamar yang ada kasurnya di rumah ini.

Sekarang aku bisa melihat wajah wanita yang menjadi bahan pembicaraan seluruh desa ini dengan jelas. Wajahnya tirus, tulang rahang dan pipinya menonjol dari balik kulitnya yang kusam, jerawatan. Rambutnya kusut masai dipotong pendek sebahu. Matanya tidak bersinar, pandangannya kosong menerawang ke satu titik entah di mana. Bibirnya kering mengelupas. Badannya kurus. Jari-jarinya kelihatan panjang seperti cakar, kukunya juga hitam-hitam tidak dirawat. Ia sama sekali berbeda dari lukisan di ruang tengah loji itu.

Aku menoleh pada Suster Meida yang tengah berdiri mematung memperhatikan wanita itu dengan seksama.

“Kau yakin dia Kirana?” aku merasa sangsi. Rasanya tidak seimbang antara risiko yang kami harus tanggung dengan membawanya ke rumahku, jika nantinya ternyata dia bukanlah Kirana yang dimaksud selama ini.
Suster Meida menggeleng ragu.

“Rasanya dia dulu tidak seperti ini.“

“Hah? Jadi kau sendiri meragukannya? Lalu, kenapa kita membuang waktu? Ayo, kita kembalikan saja ke rumah itu!“

Kirana, wanita itu, tersentak dari penerawangannya yang berkelana entah ke mana itu.

“Jangan kau bawa aku kembali ke sana,“ ia berteriak ketakutan.

“Sshhh...,“ kami secara otomatis menyuruhnya diam karena kaget.

“Aku tak mau kembali ke sana.... Tolong aku, nanti aku diikat....“ Ia menutup wajahnya dengan bantal, menangis tersedu-sedu.

Aku duduk di sisi kiri ranjang. Secara refleks Kirana beringsut menghindariku, sambil menyusut air matanya yang menggaris kedua pipi kurusnya.

“Aku Anindita.... Dokter Anindita. Aku akan membantumu.“

Ia memandangku dengan sorot mata aneh. Seperti berharap, seperti benci, ketakutan, dan kesedihan bercampur aduk di dalamnya.

Aku menoleh pada Suster Meida yang masih saja mengamati wanita itu. Ia mengerti maksudku, lalu keluar membawakan stetoskop yang kuminta. Sebuah tensi meter juga ikut dibawakan.

“Apakah kau teman?“ Kirana bertanya seperti linglung.

Aku tersenyum. “Tentu saja. Kami adalah temanmu.“

Ia mengawasi Suster Meida dengan bingung. Ia tidak melawan saat kuperiksa nadi, jantung, serta napasnya. Pelupuk matanya pucat, kantong matanya gelap dan bengkak, layaknya telah memerah habis seluruh air matanya. Ya, ampun, wanita ini sama sekali tidak cantik!

“Apakah aku mengenalmu, Suster?“ ia bertanya pelan.

Suster Meida yang sedang memasang tensimeter, menatapnya.

“Orang kecil seperti saya, tentu Nyonya tidak ingat,“ begitu lembut Suster Meida merendahkan dirinya. Nyonya?

“Tidak.... Mengapa aku tidak mengenal semua orang? Mengapa aku begini pusing?“ ia bergumam sedih. Suster Meida memberikan isyarat melalui matanya. Aku mengikuti arah matanya yang berakhir pada lengan kirinya. Aku bisa melihat bintik-bintik merah bekas jarum suntik bertebaran di sana.

Perasaanku menjadi tidak enak.

“Ada yang dikeluhkan olehmu? Napas sesak atau perut mual?”

Ia menganggukkan kepalanya dengan lemah, lalu memperhatikan bagaimana Suster Meida mengukur tekanan darahnya.

“Apakah aku mengenalmu?” ia bertanya lagi.

Suster Meida tersenyum.

“Nyonya harus banyak istirahat. Delapan puluh enam puluh, Dok.”

Itulah mengapa ia selalu merasa pusing dan kelihatan demikian lemah. “Apakah engkau sungguh seorang dokter?”

“Tentu saja. Aku dokter baru di Puskesmas Sumberpodang. Jadi, mungkin kita belum pernah bertemu secara langsung.”

Kirana menegakkan tubuhnya pelan-pelan.

“Aku tidak ingat desa ini. Sumber apa?”

“Sumberpodang, Nyonya.”

Ia mengerutkan dahinya, sepertinya ia merasakan pusing yang luar biasa. Kemudian ia menutupi telinganya dengan kedua tangannya. Ia lalu jatuh berguling-guling di atas kasur sambil merintih-rintih. Ia pasti sedang kesakitan.

“Aku... aku... akan muntah...,” ia memberi tahu kami di antara rintihannya. Suster Meida berlari ke belakang membawa ember. Kirana kubantu duduk di tepi tempat tidur. Sejurus kemudian ia sudah muntah ke dalam ember yang diletakkan di bawah kakinya.

Suster Meida mengurut pundaknya dengan lembut, diiringi kata-kata halus yang menguatkan hati. Saat itulah aku melihat bekas luka operasi pada tengkuk sebelah kiri atas. Kusibak rambut pendeknya, lalu aku mendapatkan luka itu sampai ke belakang telinga sebelah kiri. Mungkin luka ini disebabkan oleh kecelakaan mobil, seperti yang diceritakan orang-orang itu.

Muntahannya kekuningan. Itu berarti cairan lambungnya terangkat. Artinya, tidak ada makanan yang diproses di lambungnya. Melihat badannya yang kurus, aku sangsi apakah wanita ini dirawat dengan baik di rumah itu.

Suster Meida memberinya minum teh manis.

“Kau ingin makan sesuatu, Nyonya?” tanyanya, lembut.

Kirana memandangnya lama. Kami melihat air matanya menggenang di kedua pelupuk matanya.

“Ada apa, Nyonya?”

“Aku tak tahu dosa apa yang kuperbuat, sehingga aku seperti ini,” bibirnya gemetar, saat mengucapkan kata-kata yang membuat kami trenyuh. Air mata itu akhirnya menetes juga, mengalir di kedua pipinya yang kurus. Ia mengatur napasnya agar tidak kedengaran terisak.

“Maafkan aku telah merepotkan kalian berdua. Aku hanya ingin keluar dari rumah itu. Aku... aku tak tahan....”
Kami merebahkannya ke atas tempat tidur lagi. Bantalnya sedikit ditinggikan, agar ia dapat bernapas dengan baik. Wanita ini kekurangan gizi, mungkin karena asupan makannya buruk. Aku harus memberinya infus agar ia menjadi lebih baik lagi.

“Dok, kakinya,” Suster Meida berbisik padaku.

Aku beringsut ke ujung tempat tidur. Seperti tangannya yang kurus, kedua kakinya juga tak kalah kurusnya, menyerupai dua batang kayu yang kering kecokelatan. Ada beberapa bekas gigitan nyamuk dan parut luka gores. Namun, yang mengejutkan hatiku adalah lebam biru kemerahan melingkari kedua pergelangan kakinya.

“Dia mengikatku agar aku tidak melarikan diri,” seperti menjawab keheranan kami, Kirana berkata sambil memejamkan matanya.

“Aku akan ke puskesmas mengambil beberapa infus....” Aku harus melakukan sesuatu untuk menolong wanita malang ini.

Kirana membuka matanya. Ada ketakutan yang menyorot kuat dari sana, membuatku makin merasa iba.
“Kau tidak akan memberi tahu orang lain, ‘kan?” Ia bangkit dengan susah payah dari tempat tidur. Suster Meida membantunya untuk segera rebah kembali.

“Tentu saja tidak, Nyonya. Jika ia berpikiran begitu, maka sudah sejak dari jalan tadi ia mengembalikanmu ke loji. Begitu kan, Dok?”

Aku sudah kalah set sejak awal. Jadi, aku hanya mengangguk untuk menenangkan hati wanita itu, sekaligus menyenangkan hati Suster Meida. Aku harus kembali ke puskesmas untuk mengambil infus dan beberapa obat-obatan yang mungkin dibutuhkan oleh Kirana.

Hari sudah menjelang senja, ketika aku keluar dari rumah. Aku harus bergegas. Jadi, kukebut lagi jip mungilku menyusuri jalan lembah yang berkelok dengan panorama senja yang memukau. Melangutkan hati. Seharusnya aku tidak berada di sini atau di belahan mana pun di Indonesia. Seharusnya aku berada di Surabaya sebagai Nyonya Andre Hermawan.

Tetapi, itu tiga tahun lalu. Aku sebenarnya malas mengenang kisah cintaku yang mellow bagaikan sinetron-sinetron televisi yang sedang menjamur. Aku dan Andre sudah berteman sejak kami anak-anak. Tidak ada yang salah selama 20 tahun kami berteman, sehingga menikah adalah hal yang sudah semestinya terjadi. Kami sudah menyusun rencananya dengan matang step by step. Karier, rumah, keluarga, dan pernikahan. Semuanya sudah tersusun rapi.

Satu-satunya yang salah adalah Andre tidak pernah datang pada saat ijab kabul. Kami menunggu dan menunggu dalam keresahan, kemarahan, dan kebingungan. Orang tua kami lemas di ruangan sebelah, sementara saudara-saudaraku dan saudara-saudaranya bersitegang dengan ramai di ruangan lain.

Sedangkan aku dibiarkan seorang diri di dalam kamar pengantin. Belum ada satu orang pun yang menanyakan perasaanku. Mereka sibuk berdebat. Mereka berharap masih ada keajaiban yang akan membawa Andre kembali dari antah berantah. Aku diam, merenungkan apa yang terjadi hari itu. Rasa marahku sudah hilang, tak ada juga rasa kecewa atau sedih. Aku hanya merasa diriku demikian bodoh.

Kemudian aku melepas semua atribut pernikahan pada diriku, lalu aku mandi. Aku yakin pernikahan ini tidak akan terjadi. Lalu, buat apa aku menunggu lagi? Kukemasi pakaian serta buku-buku ke dalam sebuah travel bag. Semua peralatan kecil-kecil kumasukkan ke dalam ransel. Sesudah itu, aku lakukan apa yang harus kulakukan sejak pagi tadi, menelepon Andre. Kupikir ia tidak akan mengangkat teleponku, tetapi ternyata ia menjawabku.
“Kita jadi menikah atau tidak?” Itu saja yang kutanyakan padanya. “Kalau kita tidak jadi menikah, seharusnya kau datang dan menjelaskan pada semua orang. Be a gentleman, Dre!”

“Maafkan aku, Nin. Aku tidak dapat menjelaskannya padamu, karena....”

Dan tamatlah kisah Barbie-ku itu tanpa happy ending. Aku kemudian berkelana ke sana-sini yang disebut semua orang sebagai pelarian dari rasa sakit hati. Mereka juga bilang hal itulah yang menyebabkan aku menghindari pertemuan dengan keluarga. Mungkin mereka memang benar.

“Hai, Dok!“ sebuah suara mengejutkanku, saat menutup pintu ruang obat. Kunci di tanganku sampai terjatuh karena kaget. Aku segera berbalik.

“Maaf sudah mengejutkanmu. Sedang apa magrib-magrib begini masih di sini?” Kapten Prayoga turun dari jipnya. Ia adalah kapolsek di daerah ini.

Aku memungut kunci yang jatuh, kemudian segera mengunci ruang obat.

“Ada yang ketinggalan,” jawabku, sambil menutup tas berisi infus.

“Aku melihatmu tadi di loji”

Aku menatapnya. Aku merasa sepertinya ia sedang mengawasiku.

“Tapi, saya tidak melihat Bapak di sana “

“Ayolah, kau selalu memanggilku bapak, seperti aku ini sudah tua saja.”

Aku harus pasang jarak dengan polisi ini, karena predikatnya cukup jelek: playboy. Aku khawatir ada kesan tidak baik di mata masyarakat, jika melihat kami akrab dengan ber-aku dan kau. Apalagi, kami berdua masih sama-sama lajang.

“Itu kebetulan saja, kok. Bagaimana kabar Ibu Inang Dayu tadi?” aku mengalihkan perhatiannya dari tas yang sedang kujinjing.

“Baik, tapi ada berita yang lebih heboh lagi.”

Aku menoleh memperhatikannya. Terus terang, pak polisi ini memang kelihatan keren. Tinggi, tegap, tampak pintar serta berwibawa.

“Ibu Kirana hilang.”

Jantungku jadi deg-degan.

“Hilang?” Aduh, kenapa suaraku jadi serak begini?

“Ya. Mungkin ia menyelinap keluar karena panik di saat kebakar­an itu terjadi. Sekarang kami sedang mengerahkan semua aparat untuk mencari informasi tentang keberadaannya.”

“Semoga berhasil, Pak,” ujarku dengan perasaan tak nyaman.

Ia membukakan pintu jipku.

“Kau tahu sesuatu, Dok?” tiba-tiba ia bertanya yang membuatku makin tidak enak. Aku menatapnya. Kapten Prayoga tersenyum.

“Bisa nggak kita hang out? Sekadar ngobrol. Rasanya sejak kau datang ke sini, kita tidak pernah berbicara santai begitu.”

Hang out? Ya, ampun... dia rupanya sedang berusaha merayuku.

“Bukankah awal bulan kemarin  kita sudah ngobrol di Batu?”

“Itu kan rapat Muspika. Lainlah.... Kau bisa, ‘kan?”

Aku tersenyum saja padanya.

“Good luck, Pak!”

Ia hanya melambaikan tangannya. Aku harus bergegas kembali ke rumah. Aku harus sesegera mungkin mengobati Kirana dan mengembalikan kepada keluarganya sebelum semuanya menjadi terlambat. Aku sadar sekarang berhadapan dengan siapa. Jika seorang kapolsek sampai turun tangan sendiri berpatroli mencari warganya yang hilang, pastilah warga itu sangat istimewa.

Kirana masih terjaga, saat aku tiba. Kami segera memasang infus untuk memberikan cairan pada tubuhnya. Agak sulit juga cairan itu masuk, karena urat darahnya kecil. Tetapi, akhirnya bisa masuk juga. Kirana memandangi kantong infus yang kugantung pada tiang tempat tidur. Matanya menerawang jauh, tetapi kelihatan lebih tenang.

“Aku tak pernah dirawat dokter selama ini,” gumamnya.

Aku memandangnya lama.

“Apa yang kaurasakan?”

Ia menghela napas dalam-dalam. “Aku tidak tahu. Yang kurasakan adalah sakit kepala yang luar biasa, mual, dan takut. Aku hampir tidak bisa tidur setiap malam. Mimpi itu selalu menghantuiku.”

Suster Meida dan aku saling memandang.

“Mimpi apa?”

Kirana menggelengkan kepalanya.

“Mereka menyebutku gila atas sesuatu yang aku sendiri bingung adanya. Apa sebenarnya yang telah terjadi padaku?”

Kusentuh lengan kirinya.

“Lalu, mengapa banyak luka suntikan di lenganmu?”

Kirana tersenyum sedih.

“Inang Dayu selalu menyuntikku, bila aku berteriak-teriak minta tolong. Terlebih, jika setelah mimpi itu, aku makin takut mati....”

Wanita itu mulai menangis lagi. Suster Meida membujuknya dengan kata-kata lembut, agar ia segera menghentikan tangisannya. Bisa gawat kalau kedengaran orang yang lewat.

“Mimpi itu, mengapa aku selalu mimpi aku dan bayiku tenggelam di danau itu. Aku takut... takut sekali.”

Astaga... betapa mengerikan. Siapa pun yang mengalami mimpi semacam itu, pasti akan menderita. Sia-sia Suster Meida berusaha menghentikan tangisan Kirana. Tampaknya emosi wanita ini memang tidak stabil, atau setidaknya ia telah mengalami banyak hal buruk dalam kehidupannya. Jadi, agar situasi menjadi jauh lebih tenang dan aman bagi kami, terpaksa aku menyuntikkan obat penenang pada Kirana melalui selang infusnya. Dalam hitungan detik ia kemudian berangsur tenang. Suster Meida menghela napas lega. Aku memperhatikan wajah Kirana yang berkerut menahan sakit. Begitu rapuh dan mengkhawatirkan.

Aku mengajak Suster Meida ke ruang tamu. Lalu kuceritakan pertemuanku dengan Kapten Prayoga tadi di puskesmas. Suster Meida cukup terkejut mendengar bahwa sekarang di seluruh sudut Sumberpodang sedang ditelusuri demi seorang Kirana.

“Kita berurusan dengan masalah besar, Sus,” aku memandangnya.

”Maafkan saya, Dok. Saya hanya merasa kasihan padanya.”

“Lepas dari rasa kasihan atau penasaranmu, sebaiknya kita segera menghubungi polisi agar kita tidak dituduh menculik.”

Sejujurnya, aku juga tidak tega melepaskan Kirana pada orang lain tanpa penanganan medis yang benar. Tanpa perlu mengetahui latar belakang atau pengalaman apa yang terjadi sebelumnya, tidaklah adil membiarkan seseorang yang nyata-nyata sakit dan membutuhkan perawatan. Atau, memang sengaja diabaikan, agar ia merasakan sakit sebagai balasan atas perbuatannya dulu.

Begitu kejamkah cinta menyakiti hati? Aku harus lebih banyak bersyukur pada Tuhan, karena dijauhkan dari rasa benci, jika dibandingkan dengan penderitaan Kirana saat ini. Sakit yang membutakan hati, membunuh perasaan serta meniadakan akal sehat.

Perutku berbunyi. Astaga... sudah lebih dari setengah hari kami belum makan. Aku pamit untuk mencari makan kepada Suster Meida yang sedang mengusapkan salep pereda nyeri pada pergelangan kaki Kirana yang tertidur lelap. Aku menyuruhnya mengun­ci pintu segera setelah aku keluar.

Aku berdiri cukup lama di luar. Sebenarnya aku mengkhawatirkan Suster Meida dan Kirana, jika kutinggalkan setelah mengetahui perkembangan berita yang begitu cepat. Jika polisi yang datang, aku tidak terlalu cemas. Tetapi, yang kutakutkan adalah jika Herlambang sendiri yang datang.

“Mau pergi, Dok?” sebuah suara mengejutkanku.

Aku melonjak kaget sampai kunci mobilku jatuh. Aku merapat ke mobil, mencari asal suara yang membuat adrenalinku naik dengan cepat itu. Dari rerimbunan bugenvil, muncul sesosok tubuh tinggi tegap, yang kemudian setelah dekat kukenal sebagai Kapten Prayoga. Kurang ajar sekali.

“Kau membuntutiku rupanya? Sudah berapa lama kau berdiri di sana?” tanyaku gusar, sambil mengatur nafas lagi.

Aku membungkuk untuk mencari-cari kunci mobilku yang jatuh. Kapten Prayoga ikut membungkuk, aku beringsut menjauh darinya karena kesal. Ia merogoh jaketnya, mengeluarkan senter kecil, lalu menyorotkannya ke kolong mobil. Kunci itu tergeletak di bawah ban kiri depan.

“Rasanya kita harus bicara, Dok.” Ia menatapku, saat meletakkan kunci itu di tanganku. Aku menghela napas. Ia sudah mengetahuinya. Jadi, aku mengajaknya masuk ke dalam rumah.

Suster Meida tampak terkejut melihatku berdiri di pintu bersama Kapten Prayoga. Wajahnya memucat dari balik jendela. Aku menyuruhnya membuka pintu. Ia sangat gugup, ketika kami masuk.

Kapten Prayoga mengawasi keadaan luar, sebelum masuk ke dalam rumah.

“Di mana kalian menyembunyikannya?” tanpa basa-basi ia bertanya.

Suster Meida gemetaran.

“Dia... tiba-tiba ada di dalam mobil... kami tidak membawanya....”

Jika dibandingkan dengan kegigihannya menolong Kirana siang tadi, sikap yang ditunjukkan Suster Meida sangat bertolak belakang. Aku menyuruhnya duduk menenangkan diri. Lalu, kuajak polisi itu ke dalam kamar. Kapten Prayoga mengikutiku dari belakang.

Pria itu mengamati seluruh kamarku. Kemudian ia mendekati si sakit yang tergeletak lemah di atas tempat tidur. Ia memperhatikan dengan seksama, mulai dari ujung kepala sampai ujung kakinya.

“Dehidrasi, kurang gizi. Injeksi penenang, karena dia histeris,” aku menjelaskan tanpa diminta, saat ia menyentuh kantong infus.

Pria itu memeriksa luka di lengan kiri Kirana. Kutunjukkan juga padanya luka pada kedua pergelangan kakinya. Ia mengerutkan alisnya seperti sedang berpikir. Tanpa berkata-kata, ia keluar kamar. Aku mengikutinya dari belakang. Polisi itu duduk di sofaku yang membuatnya seperti duduk di sebuah bangku anak TK.

“Kau akan membawanya?” aku memburunya dengan pertanya­an yang dikhawatirkan Suster Meida.

“Tidak untuk saat ini. Kupikir ia lebih baik berada di sini.”

“Mengapa begitu?” aku jadi penasaran.

Ia mengerutkan alisnya. “Entahlah. Aku cukup mengenal Ibu Kirana, tapi instingku mengatakan bahwa wanita itu bukan dia.“

Aku dan Suster Meida saling berpandangan dengan kaget. Kapten Prayoga menghela napasnya.

“Aku akan menempatkan satu orang petugas untuk menjaga kalian dari jauh. Aku minta pada kalian untuk menjaga wanita itu baik-baik. Ia bisa menjadi saksi penting.”

“Saksi? Atas perkara apa?” aku jadi makin penasaran.

“Aku tidak bisa katakan sekarang. Adakah yang ia ceritakan sesuatu pada kalian?”

Aku dan Suster Meida menceritakan apa saja yang kami ketahui dan kami alami. Kapten Prayoga mencatatnya pada sebuah notes. Ia membiarkan kami bercerita sesuka kami. Sesekali saja ia memberi pertanyaan atau mempertegas pernyataan kami, sehingga kami tidak merasa sedang diinterogasi. Tahu-tahu, waktu telah menunjukkan pukul delapan. Perutku terasa melilit oleh rasa lapar yang sangat.

“Kalau sudah cukup, bolehkah kami pergi mencari makan?”

Kapten Prayoga tampak terkejut.

“Kau belum makan? Sejak siang tadi? Ya, ampun. Kalian mau dibelikan apa?” Ia mengangkat ponselnya.

“Tidak perlu, aku beli di luar saja sebelum warung-warung tutup.”

Ia tidak menghiraukanku. Kapten Prayoga berbicara cepat pada seseorang. Dalam hitungan menit kami sudah mendengar bunyi klakson tiga kali dari depan rumah. Kapten Prayoga berjalan ke jendela. Mungkin ia memberikan kode. Kemudian kami melihat percikan api di rumpun bugenvil sebagai konfirmasi keberadaan si penjaga. Memang rumahku sudah dikepung polisi rupanya.

Suster Meida tinggal di rumah menjaga Kirana, sedang aku dan Kapten Prayoga pergi mencari makan sebelum warung-warung tutup. Yang agak menyebalkan adalah aku harus pergi bersama polisi ini. Naik jipnya pula. Aku merasa seperti tersangka kejahatan saja.

“Akhirnya kita bisa hang out, Dok.”

So sweet....

Ia membawaku ke warung satai yang masih buka. Kami memesan satu porsi lontong dan satai ayam untuk Suster Meida, dan dua porsi dimakan di tempat.

Kemudian, ia mempersilakan aku makan lebih dulu, saat satu porsi pertama matang. Dan, aku juga bukan orang yang suka jaga image. Perutku lapar. Kapten Prayoga mulai menceritakan kecurigaannya pada Herlambang. Menurutnya, tidak ada seorang suami di dunia ini yang akan membiarkan istrinya berselingkuh dengan pria lain. Kecuali, kalau pria itu memiliki rencana gila.

“Kecurigaan kami bertambah, setelah ada informasi bahwa Kirana tidak pernah mengalami kecelakaan di jurang di daerah Ngantang, seperti yang diceritakan Inang Dayu dan dibenarkan oleh Herlambang. Memang benar ada dua kecelakaan pada malam itu, tetapi keduanya adalah tabrakan, bukan kecelakaan tunggal seperti yang dialami Kirana.”

Kuhentikan makanku karena terkejut mendengar cerita itu. Kapten Prayoga menunjuk kelap-kelip lampu yang bersinar dalam kegelapan malam.

“Sendang Sumberpodang. Disebut begitu karena dulu konon banyak burung kepodang yang bersarang di sana. Entah apa yang menyebabkan sendang itu begitu menarik perhatian. Bagiku itu hanya danau biasa yang terdiri dari air, kiambang, eceng gondok, ikan nila, karper, dan biawak. Mengapa Herlambang berkeras ingin membangun resor di sana?”

“Katanya ia ingin memiliki resor bergaya awal abad ke-20,“ aku ingat kata-kata Suster Meida.

“Semoga saja dia benar. Tetapi, instingku mengatakan lain,” ia menoleh ke arahku, lalu tersenyum. ”Enak satainya?”

Aku jadi merasa kikuk dipandangi begitu rupa, dan segera menghabiskan porsi sataiku. Kapten Prayoga makan dengan cepat seperti sedang terburu-buru. Mungkin ia ada urusan lain. Ketika ia sudah selesai, aku mengajaknya pergi. Aku memberi alasan bahwa Suster Meida juga sedang menunggu makan malamnya. Perjalanan pulang kami lalui begitu cepat. Aku merasa sesuatu akan terjadi malam ini. Entah apa.

“Berhati-hatilah, Dok. Ada petugas berjaga di depan rumahmu. Namun, jika kau merasa tidak aman, hubungi aku segera.”

Aku memandangnya. Memang akan terjadi sesuatu malam ini.

Semalaman nyaris aku tidak bisa memejamkan mata. Aku mondar-mandir dengan gelisah menunggu hari berganti. Sesekali aku memeriksa Kirana, mengganti infus, menambahkan vitamin. Setiap aku melakukan pemeriksaan atau penggantian itulah ia terjaga beberapa kali dengan ketakutan. Namun, ketika tahu kami ada di sana, ia menjadi sangat lega, kemudian tidur lagi dengan tenang.

Esoknya, aku meninggalkan Suster Meida bersama Kirana. Aku juga mengatakan melalui ponsel kepada Kapten Prayoga, bahwa puskesmas harus tetap dibuka pada hari Sabtu, walaupun setengah hari. Akan menimbulkan pertanyaan, jika dokter dan susternya tiba-tiba kompak tidak hadir.

Suasana puskesmas di hari Sabtu memang tidak terlalu ramai oleh pasien yang datang berobat. Tetapi, yang ramai adalah cerita orang-orang tentang kebakaran, hilangnya Kirana, dan yang paling baru adalah kedatangan Adrian yang tiba pagi ini. Perutku menjadi demikian mulasnya. Apa sebenarnya yang terjadi dengan desa ini?

Ketika pasien sudah habis pada pukul sebelas, aku segera menutup puskesmas satu jam lebih awal dari hari Sabtu biasanya. Aku harus bergegas pulang, karena perasaanku makin lama makin tidak enak. Khawatir terhadap Kirana dan Suster Meida yang kutinggal di dalam rumah.

Kukebut jipku di jalanan yang sempit dan berkelok-kelok. Aku harus segera sampai. Harus. Entah mengapa, aku merasa sesuatu yang buruk akan menimpa keduanya. Dan, aku khawatir mereka tidak bisa membela diri. Sebab, jelas Kirana sedang sakit, dan Suster Meida tidak mungkin melakukan tindakan bodoh yang dapat membahayakan pasiennya.

Kecemasanku terjawab. Ketika aku tiba, pintu rumah tidak dikunci dan kulihat banyak jejak sepatu di atas lantai. Sofa kecilku juga menjadi miring seperti habis tergeser sesuatu. Aku berlari ke dalam kamar. Jantungku serasa berhenti berdetak. Mereka tidak berada di sana. Ya, Tuhan! Ke mana mereka? Apa yang terjadi dengan mereka? Kepanikan seketika menyergapku.

Aku duduk tegak, menarik napas dalam-dalam agar aku lebih tenang dan bisa berpikir dengan baik lagi. Aku terlahir sebagai orang yang logis. Aku pernah hampir mati, ketika menolong seorang wanita yang melahirkan anak hasil perbuatan zina di Aceh. Di mana warga kampung yang fanatik melempari kami dengan batu. Tetapi, aku tetap tenang. Aku juga pernah dipermalukan di hari pernikahanku demikian rupa. Tetapi, aku bisa tetap tegar dan melangkah pergi.

Sekarang pun demikian. Sekalipun perasaanku belakangan menjadi sentimental terbawa arus Kirana mania, aku tidak boleh panik. Fokus dan tentukan sikap. Aku menelepon Kapten Prayoga, barangkali ia memiliki informasi yang aku tidak atau belum ketahui.

“Ada perkembangan yang mengejutkan, Dok, sehingga terpaksa kami mengevakuasi keduanya dari rumahmu tanpa memberi tahumu. Maafkan kami. Tapi, kupikir kau memiliki tugas penting di puskesmas, rasanya tak bijaksana jika kami harus menjemputmu.”

Begitu rupanya.

“Apakah mereka baik-baik saja? Kirana?” tanyaku langsung ke subjek pembawa masalah nasional ini.

“Ya, kami ada tim medis dari Polda. Mereka aman.”

Polda? Mengapa jadi begitu meluas?

“Apa sebenarnya yang terjadi?”

“Aku akan kirim orang untuk menjemputmu. Kau memang akan dipanggil sebagai saksi. Bersedia, ‘kan?”

Untuk sesuatu yang ’besar‘ ini? Aku tidak perlu menunggu lama, karena jip kepolisian segera datang dan membawaku ke Mapolsek yang sudah dipenuhi oleh masyarakat yang penasaran ingin mengetahui apa yang terjadi di dalam sana. Ada beberapa orang petugas bersenjata yang berjaga di gerbang.

Perasaanku makin tegang, saat mereka membawaku masuk ke dalam kantor Mapolsek Sumberpodang. Kudapai Suster Meida sedang duduk minum teh botol. Ia tersenyum padaku dan tampaknya ia baik-baik saja. Tak kelihatan tertekan, apalagi tegang.

Pada sebuah pintu bertuliskan ‘Kombes Pol. Prayoga’, kami berhenti. Polisi yang mengantarku mengetuk pintu, lalu membuka­nya.

“Dokter Anindita!”

“Silakan masuk!”

Polisi itu menyilakan aku masuk. Aku mengucapkan terima kasih, sambil melangkah masuk. Kapten Prayoga berdiri menyambutku, lalu memperkenalkan kepada mereka yang sudah berada di ruangan. Salah satunya kepada seorang pria tampan yang memandangku de­ngan dingin. Herlambang.

Aku kemudian dimintai keterangan seputar keberadaanku saat kebakaran, kemudian bagaimana sampai Kirana berada dalam pengawasanku. Semuanya kujawab apa adanya. Tak ada komentar atau selaan selama interogasi itu. Rupanya para penyidik itu sudah mempunyai check list. Beberapa keteranganku dibandingkan dengan data yang mereka bawa.

“Menurut Anda, Ibu Kirana telah mengalami trauma berat?”

Aku membenarkan, lalu menceritakan mengenai bekas luka di kepala, bekas luka jarum suntik, ketidakmampuan mencerna makanan, dan ketakutannya secara psikis.

“Apakah ia pernah menyebut nama seseorang?” penyidik pertama kembali bertanya.

“Seingat saya tidak, tetapi entah pada Suster Meida. Sepengetahuan saya, ia tidak mengenal siapa pun. Entah karena amnesia atau apa, saya harus melihat rekam medisnya untuk memastikan.”

Beberapa saat kemudian, interogasi dihentikan untuk istirahat. Kami keluar, kecuali Herlambang beserta dua orang penyidik tinggal di dalam. Kapten Prayoga mengatakan hasil yang sudah diperoleh selama lima jam interogasi ini akan dikonfrontasi satu sama lain. Keterangan Inang Dayu, Herlambang, serta keterangan beberapa saksi, termasuk aku.


Menurut Kapten Prayoga, kasus ini menjadi serius, saat polisi wilayah Jember merazia kendaraan bermotor pada bulan Juni lalu. Mereka menangkap pengemudi mobil sport merah dengan nomor plat N yang mabuk dan hampir menabrak pohon. Dari STNK yang disita, mereka mendapatkan nama Kirana Chandradewi.

Sangat jarang ada mobil mewah berjenis sport berkeliaran di daerah itu. Kepolisian Jember kemudian mengembangkan penyelidikan dan bekerja sama dengan kepolisian Malang. Tentu saja hal ini menjadi menarik sekali, karena mobil itu dikabarkan mengalami kecelakaan masuk jurang di Ngantang beberapa bulan sebelumnya.

Jadi, mereka bekerja keras mencari hubungan yang bisa menjelaskan bagaimana mobil itu bisa berada di Jember dalam keadaan prima, tidak ada bekas kerusakan atau reparasi atas mobil itu. Juga tentang kehadiran Kirana yang misterius dalam keadaan seperti sekarang.

Yang lebih istimewa lagi adalah berita kebakaran loji kemarin telah membawa balik Adrian ke desa ini. Sebenarnya, Adrian tidak pernah tinggal jauh dari Malang setelah kejadian pada Minggu pagi itu. Ia berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain di Kota Malang. Demikian besar cintanya terhadap Kirana, membuatnya tidak ingin meninggalkan wanita itu begitu saja. Bahkan, ia rela meninggalkan anak istrinya di Bandung.

Aku terperangah mendengarnya. Serius, ini sangat menarik.

“Kami tak mau terburu-buru. Kami sudah bekerja sama dengan banyak pihak selama beberapa bulan ini. Mudah-mudahan hari ini kita bisa menyudahi semuanya. Kita akan mengetahui segera siapa yang sebenarnya berbohong.”

Aku merasa demikian bergairah menunggu saat itu tiba. Dalam masa menunggu itu, aku dapat bercakap-cakap dengan Suster Meida. Rupanya ia juga mendapat cukup banyak pertanyaan. Namun, ia mampu menjawabnya dengan baik. Ia juga tidak sabar menantikan, saat pengakuan para saksi dikonfrontasi untuk menetapkan tersangkanya.

“Jadi seperti di film, ya, Dok.”

Aku tersenyum mengiyakan.

Pada pukul 14.00 tepat kami dikumpulkan di ruang kerja Kapten Prayoga. Aku dan Suster Meida duduk di dekat pintu, di sisi seorang petugas penyidik berbaju preman. Herlambang, Inang Dayu, dan Adrian duduk saling berhadapan membentuk segitiga dengan didampingi masing-masing oleh seorang penyidik. Baru sekali ini aku melihat Adrian. Pria ini memang berwajah tampan dan kelihatan baik hati.

Konfrontasi dimulai.

Minggu, 10 Februari 2008.
Herlambang mengakui kekhilafannya dengan melakukan tindak kekerasan kepada Adrian dan Kirana, karena tersulut oleh api cemburu. Selepas kekacauan itu ia meninggalkan rumah menuju Surabaya. Alibinya dibenarkan oleh beberapa saksi. Sedangkan Adrian mengatakan pagi itu ia langsung menuju Blitar dengan menggunakan bus.

Inang Dayu mengatakan, seharian ia di rumah menjaga Kirana yang menangis di dalam kamarnya. Menurutnya, Kirana sama sekali tidak mau makan dan minum. Ia hanya mengurung diri di kamar. Ketika hujan turun pada petang harinya, tiba-tiba saja Kirana berlari keluar dari kamarnya, lalu kabur dengan mobil sportnya. Inang Dayu tidak dapat menahannya. Ia mengabari Herlambang mengenai kepergian Kirana.

Senin, 11 Februari 2008.
Herlambang mendapat kabar dari seorang warga Ngantang yang menemukan Kirana tergeletak di pinggir jalan dalam keadaan luka parah pada kepalanya dan segera dilarikan ke rumah sakit. Menurut keterangan, mungkin ia sempat melompat keluar mobil, sebelum kendaraannya itu meluncur deras ke dalam jurang sedalam lebih dari 40 meter. Herlambang kemudian memindahkan istrinya ke rumah sakit di Surabaya agar memudahkan pengawasan baginya.

Inang Dayu menerima kabar mengenai kecelakaan yang dialami Kirana dan meneruskannya kepada kepala desa. Ia tidak boleh meninggalkan loji, karena dilarang oleh Herlambang.

Senin, 17 Maret 2008.
Herlambang membawa Kirana kembali ke loji dalam kondisi memprihatinkan. Ia menderita amnesia dan anoreksia. Inang Dayu membenarkan, karena sejak itu ia yang merawat Kirana.

Sabtu, 28 Juni 2008.
Polisi lalu lintas Jember menahan Imran bin Asnam karena menyetir dalam keadaan mabuk. Ia mengendarai mobil sport merah dengan STNK atas nama Kirana Chandradewi. Menurut keterangan Imran, setelah ia sadar, mobil itu dititipkan di bengkelnya oleh seorang wanita pada bulan Februari lalu, yang katanya akan diambil satu minggu kemudian setelah diperbaiki.

Jumat, 22 Agustus 2008.
Ledakan tabung gas menyebabkan terbakarnya dapur loji milik Herlambang. Kirana melarikan diri dengan cara menyelinap, lalu bersembunyi di di jok belakang jip milik Dokter Anindita.

Setelah penyidik pertama membacakan ringkasan kesaksian yang telah diberikan oleh para saksi, ia memandang berkeliling, menunggu respons dari hadirin yang terdiam masih berusaha mencerna rentetan kejadian itu. Ia kemudian menanyakan pada Herlambang, mengapa tidak melakukan penyelidikan atas sebab jatuhnya mobil mewah berharga ratusan juta rupiah itu? Herlambang berdalih bahwa ia lebih mengutamakan istrinya yang cedera parah. Meskipun kedengarannya janggal, masih bisa diterima.

Mengenai mobil yang ternyata ditemukan di Jember dalam keadaan baik, ia mengatakan mungkin saja mobil istrinya tidak jatuh. Tetapi, Kirana mengalami perampokan disertai kekerasan. Sekalipun ia ingin melakukan cross check, Kirana telanjur menderita amnesia. Argumen itu mulai membuat alibi pertamanya menjadi lemah.

Udara di ruangan ini menjadi hangat oleh emosi yang mulai meluap-luap.

Penyidik kemudian melanjutkan bahwa tidak pernah ada laporan polisi atas kecelakaan tunggal di Ngantang pada tanggal 10 Februari. Tidak ditemukan juga data pasien dengan kasus mirip Kirana di beberapa rumah sakit di sekitar Malang. Herlambang tidak bisa memberikan argumentasi lagi.

Setelah mobil ditemukan di Jember, polisi menunjukkan foto Kirana kepada Imran. Pria itu menyebutkan bahwa wanita yang menitipkan mobil itu tidak sama dengan yang ada di dalam foto. Wanita itu jauh lebih tua dan bertubuh besar.

Semua perhatian tertuju pada Inang Dayu yang duduk tegak. Wajahnya datar saja, tidak menunjukkan emosi apa pun. Tetapi, Herlambang juga kelihatan tidak setenang semula.

Penyidik menoleh pada Kapten Prayoga dan memberikan kode lewat anggukan kepala. Kapten Prayoga menyuruh anak buahnya membawa Kirana masuk. Atmosfer ruangan ini makin panas. Kami melihat Kirana didorong masuk dengan mengenakan kursi roda. Ia ditemani seorang tenaga medis dan seorang polisi. Ia tersenyum padaku dan Suster Meida.

Kirana duduk menghadap Inang Dayu, Herlambang, dan Adrian. Ia kelihatan sangat rapuh dengan tubuh kurusnya. Kesan bingung dan ketakutan tampak jelas di wajahnya yang kurus. Penyidik bertanya pada Kirana apakah ia mengenal mereka bertiga. Ia lalu menjawab hanya mengenali Herlambang dan Inang Dayu, tetapi tidak dengan Adrian. Penyidik memintanya untuk mengingat-ingat lagi tentang Adrian. Namun, makin didesak, Kirana justru menunjukkan kegelisahan yang membuatku dan Suster Meida berdiri otomatis.

“Tidak usah ditanyakan lagi, Pak. Dia sama sekali bukan Kirana,” tiba-tiba Adrian membuka suara yang mengejutkan kami semua.

Wajah Herlambang memucat.

“Maksud Anda, Saudara Adrian?” penyidik menegaskan.

“Dia memang mirip sekali dengannya. Tetapi, saya tidak merasakan emosi yang sama jika saya melihatnya.” Jawaban itu memerahkan telinga Herlambang yang berusaha menahan dirinya yang gemetar oleh kemarahan. Tangannya mengepal kuat pada jok sofa.

“Cobalah periksa punggung sebelah kiri bawah, ada tahi lalatnya.”

Itu sangat mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi, ketika Herlambang terbang melewati meja, lalu menyambar Adrian di seberangnya. Dalam sekejap ia sudah memukuli pria itu, yang segera dilerai oleh penyidik dan Kapten Prayoga. Kirana yang ketakutan segera dibawa keluar oleh perawat agar tidak histeris di dalam. Aku dan Suster Meida berpegangan tangan di sudut ruangan dengan gemetar. Adrian tidak melawan. Hidungnya bocor oleh pukulan Herlambang. Kapten Prayoga memberinya tisu untuk menyumbatnya.

“Kau kurang ajar! Kau bawa ke mana dia, hah?!”

Pertanyaan itu memperjelas bahwa wanita yang dibawa masuk tadi memang bukan Kirana. Kemarahan Herlambang memuncak karena Adrian mengetahui pasti letak tahi lalat Kirana. Itu berarti hubungan keduanya sudah jauh dari sekadar guru dan murid yang belajar melukis. Pertanyaan itu juga sekaligus membuka sandiwara Herlambang.

Adrian mengusap hidungnya yang berdarah.

“Mengapa tak tanyakan pada orang terakhir yang bersamanya?”

Kami semua memperhatikan Inang Dayu. Kali ini wanita itu tidak setenang pada awal penyidikan. Wajahnya makin pucat, tubuhnya menjadi gemetar.

“Inang, di mana Sang Dewi berada?” Herlambang bertanya, kepada wanita yang diam membisu seperti batu itu.
Sang Dewi, begitu tinggi sebutan sayang bagi wanita itu. Inang Dayu tetap pada pendiriannya untuk membungkam keberadaan Kirana, bahkan ketika para penyidik mencecarnya dengan tekanan yang sangat intimidatif. Ia masih tetap pada sikapnya. Duduk tegak, mulut terkatup rapat dengan garis kuat memucat. Keringat berpendaran di dahinya, pundaknya naik-turun dengan getaran yang kelihatan ia tahan.

Ia bisa shock sewaktu-waktu. Mengingat usianya yang kutaksir melewati 50 tahun, pastilah tidak mudah baginya untuk berada dalam tekanan seperti sekarang. Terlebih, kesaksian pria dari Jember yang menyebutkan ciri-ciri wanita yang menitipkan mobil sport itu mirip sekali dengan Inang Dayu.

Suster Meida bangkit dari kursi. Kami semua memperhatikan bagaimana ia membawa teh dalam kemasan yang belum diminumnya, untuk diberikan kepada Inang Dayu. Dengan kelembutannya, ia selalu berhasil membujuk sekeras apa pun hati pasien yang pernah kutahu. Tak terkecuali Inang Dayu. Dengan gemetar ia menerima minuman itu. Suster Meida berlutut di sisinya, memegangi tangannya agar ia bisa minum dengan tenang.

“Sedikit-sedikit dulu, Inang. Pelan-pelan saja agar tidak menyakiti tenggorokanmu.”

Entah karena kata-kata lembut Suster Meida yang telah membujuknya, atau aliran air teh yang dingin itu memberikan efek sejuk dan tenang, kami perlahan melihat perubahan pada diri Inang Dayu. Ia masih diam lama memegangi minuman di tangannya dengan pandangan kosong. Kami menunggu, dan menunggu. Kami yakin, pada akhirnya wanita ini akan membuka mulut.

Suara azan salat Asar terdengar lembut mengumandang dari kejauhan. Mengingatkan kami bahwa sudah lebih dari setengah hari kami bersitegang di dalam ruangan ini. Suara azan itu begitu melangutkan hati. Memanggil nurani untuk kembali kepada kebenaran hakiki.

Selang beberapa lama setelah azan berlalu, terdengarlah pengakuan itu.

“Dia berada di tempat yang selalu diinginkannya. Kalian tak perlu mencarinya lagi,” suara itu kedengaran parau.
Kami saling memandang. Tempat yang selalu diinginkan Kirana?

“Di mana itu, Inang? Apakah di Bima?” Herlambang menyebutkan kota di Pulau Sumbawa itu. Menurut kabar, Inang Dayu berasal dari sana. Dan mungkin, Kirana juga berasal dari sana.

Inang Dayu diam saja. Ia menunduk makin dalam.

“Inang, tolonglah. Beri tahu aku di mana Sang Dewi berada.”

Adrian menghela napasnya dalam-dalam.

“Inang, kita semua sudah lelah di sini. Cobalah untuk mengerti bahwa....”

“Kau tak pantas bicara seperti itu di depanku. Kau telah membuatnya menjadi seorang anak pembohong, kurang ajar, bahkan istri yang tercela!” Inang Dayu memotong perkataannya, tanpa mengangkat wajahnya.

Wajah Adrian memerah. Ia kemudian menunduk mengetahui kami semua memperhatikannya.

“Inang, katakan saja, di mana Ibu Kirana berada?” Kapten Prayoga bertanya, namun tetap tidak mendapat jawaban.

“Apa yang membuatmu bersikukuh seperti ini? Kau tahu, alibimu lemah. Dan, jika saksi Imran dihadirkan di sini sekarang, pasti dengan mudah ia menunjukmu sebagai orang yang menitipkan mobil padanya. Kau bisa dituduh menggelapkan barang milik orang lain yang dinyatakan hilang. Kau bisa dikenai hukuman kurungan. Apakah kau tidak takut itu, Inang? penyidik pertama mulai mengintimidasi lagi.

Inang Dayu tetap menunduk.

“Teori klasik. Menghilangkan nyawa untuk mendapatkan harta.”

Sekalipun baru sekadar teori dan sebuah kemungkinan, pernyataan penyidik itu demikian tegas, menyentak hati kami.

“Bukankah demikian, Inang?” penyidik itu terus mencecarnya.

“Tidak begitu...!”

“Oh, tentu saja! Kau membunuhnya, membuang mayatnya di suatu tempat. Kau curi mobilnya, lalu kau buat cerita itu adalah sebuah kecelakaan, sehingga kami semua berpikir bahwa....”

“Itu memang kecelakaan!”

Rasanya kami semua ambles ke dalam sebuah kubangan lumpur yang dingin. Adrian terduduk lemas di kursinya, sementara Herlambang tampak pucat gemetaran. Penyidik itu menarik napasnya dalam-dalam, tak mengeluarkan kata-kata.

Kemudian terdengar isak tangis Inang Dayu memenuhi ruangan, memecah keresahan yang menyekap kami lebih dari setengah hari ini. Suster Meida, sekalipun tampak terkejut, kembali menenangkannya dengan kata-kata yang lembut. Aku masih terdiam tak percaya dengan kisah ini. Sungguh luar biasa. Jadi, wanita itu, Kirana, benar-benar sudah mati?

“Aku tidak sengaja... dia ingin pergi terus mengikuti pria itu.... Kau seharusnya tidak meninggalkannya, Tuan.”
Herlambang kelihatan terpukul. Ia terenyak di kursinya dengan wajah bingung seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Jadi, Inang, di manakah kau menyimpannya?” penyidik itu melanjutkan tugasnya. Kali ini, suaranya jauh lebih rendah, sekalipun tetap dalam tekanan yang sama.

Tangisan Inang Dayu makin menjadi dan mulai tidak terkendali karena luapan emosi. Keadaan Inang Dayu tidak memungkinkan untuk dicecar pertanyaan lebih lanjut. Mendadak aku ingat sesuatu yang sering diutarakan oleh Kirana yang lain.

“Kalau saya tidak salah, Kirana berada tidak jauh dari kita semua,” kuberanikan diri mengutarakan pendapatku.
Semua orang mengalihkan perhatiannya padaku.

“Di mana menurut perkiraanmu?” Kapten Prayoga menatapku.

Aku menelan ludah.

“Di sana, di Telaga Sumberpodang. Ia tenggelam bersama bayinya. Bukankah begitu, Inang?”

Inang Dayu mengangkat wajahnya. Ia kemudian menoleh padaku dengan ekspresi yang sungguh memelas. Tiba-tiba ia pingsan.

Minggu, 24 Agustus 2008, pukul 07.00
Kabut yang turun menyelimuti Desa Sumberpodang masih mengapung tipis di udara yang dingin. Namun, suasana di sekitar Telaga Sumberpodang sudah diramaikan oleh masyarakat yang ingin menyaksikan secara langsung proses pengangkatan mayat wanita nomor satu di desa ini, Kirana Chandradewi. Mereka bahkan sudah mulai berdatangan sejak sehabis subuh tadi, seakan tidak ingin melewatkan sejarah bagi desa mereka ini.

Begitu penuhnya perhatian masyarakat, sehingga polisi terpaksa membuat garis polisi untuk membatasi mereka, agar tidak menyeruak makin ke tepi. Hal ini dilakukan agar tim SAR dan kepolisian dapat melakukan tugasnya tanpa gangguan.

Herlambang tidak tampak di kerumunan massa. Ia sedang dimintai keterangan seputar keberadaan wanita sakit yang diakuinya sebagai Kirana. Polisi menduga ia sengaja telah memalsukan identitas seseorang, memberikan keterangan palsu, dan membahayakan nyawa seseorang dengan sengaja memberikan obat-obatan tanpa didampingi petugas medis.

Teori sementara yang kuperoleh dari Kapten Prayoga yang memimpin pencarian ini, sungguh mengejutkan. Bahwa antara Herlambang dan Inang Dayu tidak ditemukan adanya konspirasi. Hanya beberapa kebetulan saja membuat masing-masing mengembangkan cerita demi kepentingan mereka sendiri.

Malam sebelumnya, Inang Dayu menceritakan semuanya kepada Suster Meida yang didampingi oleh seorang penyidik yang bertugas menulis kesaksian. Bahwa pada malam nahas itu, keduanya bertengkar hebat. Kirana bersikeras akan menyusul Adrian yang menunggunya di stasiun kereta api Malang. Inang Dayu berusaha mengingatkan dan meyakinkan Kirana bahwa apa yang dilakukannya adalah salah.

Kirana mengatakan tidak bisa tinggal bersama Herlambang, karena ia telah jatuh hati kepada Adrian. Ia sudah menyerahkan diri padanya. Dan, yang membuat kemarahan Inang Dayu memuncak adalah ketika mendengar pengakuan bahwa Kirana tengah mengandung janin hasil perselingkuhannya dengan Adrian. Itulah mengapa ia ingin menyusul Adrian pergi, apa pun risiko yang akan dihadapinya.

Marah, malu, sakit hati, bercampur di dalam diri Inang Dayu. Ia selalu menasihati Kirana agar segera merencanakan keturunan dari Herlambang untuk memperkuat posisinya sebagai seorang istri. Sekalipun Inang Dayu mengetahui beberapa aset telah diatasnamakan Kirana, baginya itu belum cukup. Kirana harus lebih pintar dalam mengelola dirinya, kalau ingin masa depannya terjamin. Dan, seorang anak adalah jaminan hidup bagi keduanya.

Masa lalu yang menyakitkan sebagai pelayan di sebuah rumah bordil, membuat Inang Dayu bercita-cita tak mau hidup sengsara. Apalagi ia harus menghidupi bayi kecil bernama Kirana, anak dari keponakannya yang menjadi pelacur di rumah bordil yang sama. Sayangnya, sang keponakan mati ditikam seorang pelaut mabuk, yang tak mau membayar setelah menikmati jasa pelayanan tubuhnya.

Jadilah ia mengasuh Kirana dengan segala susah payah. Kirana disekolahkan cukup tinggi sampai diploma sekretaris. Ia juga mengawalnya untuk menjadi freelance model di Surabaya. Dengan penampilan yang nyaris sempurna, Kirana dinilai mahal oleh beberapa agen dalam memperkenalkan produk-produk tertentu. Karena itu, Inang Dayu sangat selektif dalam memilih event bagi Kirana. Ia mengamati dan mempelajari siapa klien yang akan memakai jasa Kirana. Herlambang adalah salah satu target Inang Dayu.

Ia mendorong Kirana untuk tidak melepaskan pria itu agar mereka dapat hidup dengan enak kelak. Mengabaikan kata hatinya, Kirana mengikuti saran itu, dan menjadikan dirinya Sang Dewi bagi Herlambang, yang menghambakan diri padanya. Ia menjaga diri serta penampilannya agar selalu memuaskan hati suami yang ia perah materinya. Namun, ia tidak pernah memberikan hatinya.

Ia pun tidak menginginkan anak dari pria itu, karena tidak mau kehidupan sang anak kelak tidak keruan seperti yang dialaminya. Karena itu, Kirana selalu meminum pil kontrasepsi agar ia tidak hamil. Inang Dayu mengetahuinya dan ia sangat kecewa. Lebih kecewa lagi, karena Kirana memutuskan hamil dengan arsitek itu.

Sore itu mereka bertengkar hebat. Kirana mengeluarkan kata-kata kasar, mencaci-maki dan menyebut dirinya sebagai budak atas nafsu serakah wanita yang telah membesarkannya. Inang Dayu gelap mata. Tanpa sadar ia mencekik leher wanita cantik itu dengan sekuat tenaga. Saat kesadarannya balik, Kirana sudah kehabisan napas. Ia mati. Inang Dayu menjadi panik. Ia sama sekali tidak menyangka emosinya telah menyebabkan tambang emasnya mati.

Untuk menghilangkan jejak, ia membawa mayat Kirana dengan menggunakan mobil sport ke telaga Sumberpodang pada malam hari saat hujan deras. Ia mengikatnya pada dasar perahu, dan membawanya ke tengah danau. Dengan tenaga yang besar, ia membuat lubang di dasar perahu. Setelah air memenuhi badan perahu, Inang Dayu berenang ke tepi. Ia mengawasi perahu itu sampai tenggelam, sebelum meninggalkan danau menuju Jember. Di jalan, ia memberi tahu Herlambang bahwa Kirana pergi. Ia mengatur waktu, agar sebelum hari berganti ia sudah berada di Sumberpodang lagi.

Awalnya ia tidak mengerti mengapa Herlambang memintanya mengatakan kepada semua orang bahwa Kirana mengalami kecelakaan. Inang Dayu baru menyadari permainan yang dijalankan Herlambang sebulan kemudian, saat ia datang bersama seorang wanita yang sangat mirip dengan Kirana ke Sumberpodang. Hanya, ia lebih kurus dan kelihatan ‘kosong’.

Inang Dayu hanya bisa mengikuti permainan Herlambang. Pelan-pelan ia mengetahui arah permainan itu, yaitu mengambil kembali semua harta yang telah diberikan kepada Kirana dengan memanfaatkan hilangnya Kirana. Inang Dayu tak bisa berbuat apa-apa, karena ia sudah tidak memiliki kartu untuk dimainkan. Maka, ia ikut mengambil peranan, membuat Kirana yang baru ini lebih menderita, dengan memberinya obat-obatan yang diperintahkan Herlambang padanya. Baik dalam bentuk pil atau suntikan yang dapat membuatnya berhalusinasi. Ia berharap rahasia itu tidak akan pernah terbongkar, jika saja tidak terjadi ledakan tabung gas yang bocor di dapurnya.

Kuhela napas dalam-dalam. Memperhatikan bagaimana tim SAR bergantian menyelam ke dalam Telaga Sumberpodang yang konon memiliki kedalaman lebih dari 10 meter itu. Hebat juga Inang Dayu bisa berenang dari tengah danau dalam keadaan hujan lebat.

“Bagaimana kau bisa mengambil kesimpulan bahwa Kirana berada di dalam danau itu, Dok? Jangan bilang bahwa itu hanya tebakan beruntung saja,” Kapten Prayoga bertanya padaku.

“Secara medis aku mengetahui penderitaan Kirana atau siapa pun dia. Namun, secara non-medis yang harus diperhatikan adalah bagaimana ia mimpi tentang hal yang sama, tentang dirinya yang tenggelam bersama bayinya di dalam danau itu. Sebenarnya, bukan dirinya yang dilihat, tetapi Kirana yang asli. Hanya, karena wajah dalam mimpi itu sama dengan wajahnya, maka ia demikian kebingungan. Terlebih karena pengaruh obat-obat psikotropika yang sering membuatnya gelisah, ketakutan, dan berhalusinasi.”

Kapten Prayoga menoleh padaku.

“Tidak ada kejahatan yang sempurna.”

“Ya, sebenarnya uhan telah menunjukkan jalannya melalui wanita malang itu.”

Kapten Prayoga tersenyum.

“Aku akan mentraktirmu, jika kasus ini selesai, Dok. Aku janji!”

Aku tak menanggapinya, karena mendengar seruan warga yang hampir bersamaan. Kami melihat ke tengah danau. Tim SAR berhasil mengangkat sebuah gulungan hitam yang kelihatan berat sekali ke atas perahu karet. Kami menjadi berdebar-debar menantikan apa sebenarnya yang akan terjadi setelah ini.

Kerumunan orang makin mendesak ke tepi, danau, ketika perahu karet berhasil merapat di dekat kami. Para petugas bersusah payah menghalau mereka, agar menjauhi garis polisi, sehingga para penyidik itu bisa melakukan tugasnya dengan baik. Empat orang polisi membantu tim SAR menyeret perahu ke tanah yang lebih lapang. Lebih dari enam orang mengangkat gulungan hitam yang kemudian dikenali sebagai karpet yang diikat dengan beberapa utas kawat yang berkarat.

Kapten Prayoga menganggukkan kepala, ketika seorang petugas meminta izin untuk memotong kawat-kawat yang meliliti karpet itu dengan sebuah tang. Kami semua merasakan sensasi yang menyesakkan dada, menunggu saat karpet itu terbuka.

Lima petugas medis dari Puslabfor sudah berdiri, siap dengan peralatan mereka, termasuk brankas. Sirene ambulans sudah mulai dinyalakan, membuat jantung makin berdebar kencang. Kawat-kawat itu berhasil dipotong, kemudian digulung kembali, dan dimasukkan ke dalam kantong plastik sebagai barang bukti.

Karpet itu tergulung rapat, berlumut, dan sangat berat, sehingga butuh tiga orang untuk membaliknya dan mencari sisi untuk membukanya. Kami menahan napas. Sejurus kemudian terdengar seruan warga yang kaget disusul oleh suara tangis di sana-sini. Entah karena apa mereka harus menangis, saat karpet itu terbuka lebar.

Di sana, di atas karpet berwarna biru yang berlumut itu, tergeletak sesosok tengkorak manusia. Aroma khas sisa pembusukan organ bercampur dengan bau amis lumpur serta lumut, begitu lekat di hidung. Tidak ada yang tahu tengkorak itu berjenis kelamin pria atau wanita. Yang jelas pada lehernya tergantung seuntai kalung emas bermatakan zamrud. Kalung yang sama kulihat menghiasi leher Kirana pada lukisan Sang Dewi di ruang utama loji itu.

No comments: