12.22.2010

PELABUHAN HATI

Aku dipanggil Pak Julius untuk masuk ke ruang rapat direksi. Di sana berkumpul para petinggi perusahaan obat hewan ini. Aku sungguh resah, khawatir ada peternak ayam yang komplain dengan kinerjaku dan mengadu pada Pak Julius, pemilik perusahaan ini. Maklumlah, selain pemilik perusahaan, Pak Julius juga memiliki breeding farm dan peternakan ayam potong skala besar serta aktif di organisasi peternak di Jabotabek, sehingga ia akan lebih mudah mengetahui kinerja pegawainya dari sesama peternak!

“Kamu tahu, mengapa kamu dipanggil ke ruang ini, Elda?” ta­nyanya, sambil tersenyum.

Aku menggeleng. “Ada apa, Pak? Ada peternak yang mengeluh pada Bapak?”  jawabku dengan perasaan tak tentu.

Pak Julius tersenyum.

“Tenang Elda…,” Pak Jonathan, sales manager perusahaan ini, menatapku. “Kami ingin menawarkan, apa kamu mau menjadi kepala cabang perusahaan kita di Sulawesi? Kedudukannya di Makassar?”

“Menjadi kepala cabang Sulawesi? Serius, Pak?” aku benar-benar tak percaya.

“Ya!”

“Tentu saya mau, Pak!” jawabku pasti dan penuh semangat. Ke Sulawesi! Bukan main! Ah… akhirnya aku akan meninggalkan Jakarta, yang akhir-akhir ini membuatku gerah, membuatku tak betah dan tak sumringah. Terlalu banyak kenangan di kota ini yang telah kurangkai bersama Lexi, Laksamana Saragih kekasihku, yang tiga bulan yang lalu memilih meninggalkanku, setelah tak kuasa menolak perjodohan orang tuanya.

Aku hanya ingin pergi dari Jakarta. Itu saja, alasannya. Tak ada tebersit di benakku, bagaimana jika kelak aku kesepian, karena tak memiliki sanak saudara di Sulawesi. Tak kupikirkan pula betapa sulitnya, jika di sana aku harus mbabat alas, karena perusahaan ini memang benar-benar baru mulai membuka pemasaran bagi produk vaksin dan obat-obat hewan yang harus bisa kujual tanpa didahului market research. Padahal, aku belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di bumi Sulawesi. Saking semangatnya, bahkan aturan perusahaan yang mewajibkanku di sana selama dua tahun juga kuanggap angin lalu. Aku hanya ingin enyah dari Jakarta.

Aku tengah membereskan laporan stok vaksin dan obat-obat­an kantor cabang yang kupimpin, ketika Wati, pembantu rumah sekaligus kantorku ini, masuk. “Bu, ada tamu di depan. Daeng Rafi, peternak yang ingin bertemu Bu Elda!”

Daeng Rafi? Bukankah peternak itu yang selalu menolak penawaran produkku habis-habisan, ketika aku berkunjung ke peternakannya? Bukankah dia begitu setia pada produk lain dan mengelu-elukan kehebatan produk kompetitor itu padaku seminggu yang lalu? Untuk apa tiba-tiba dia datang ke sini?

Aku beranjak dari meja kerjaku. Kuseret kakiku menuju ruang depan.

“Selamat sore, Dokter Elda. Maaf saya mengganggu sore-sore ini.” Laki-laki peternak ayam broiler atau ayam pedaging berskala lumayan besar itu menyambutku.

“Ah, tak apa-apa, Pak!” Aku buru-buru menyalaminya, tanpa sedikit pun memendam dendam atas kearoganannya selama ini padaku. “Mari duduk. Apa yang bisa saya bantu, Pak?”

“Begini, Bu...,”  wajahnya tampak tegang. “Ayam saya banyak yang mati sejak siang tadi. Apa Ibu bisa datang ke peternakan saya? Saya sebenarnya berat hati hendak minta tolong Ibu, karena saya tidak pakai produk Ibu. Tapi, mau bagaimana? Dokter Hewan Kukus yang jual vaksin itu pada saya, tidak ada di kantor, sedang meeting ke Jakarta. Dokter Hewan Gustaf, yang obat-obatannya saya pakai juga, sedang dinas ke Gorontalo. Saya memberanikan diri ke mari agar Dokter Elda sudi ke peternakan saya, walau malu rasanya.”

Aku tersenyum. “Oh, tak apa-apa, Pak!” ujarku. “Kalau begitu, mari kita berangkat segera.”

“Sekarang?”

“Ya! Bapak bawa kendaraan? Kalau tidak, ayo, sekalian naik mobil kantor saya saja.”

Daeng Rafi tersenyum girang. Wajahnya yang tadi agak menegang, tampak mulai sumringah.

“Saya naik motor, Dokter.”

“Ya, sudah, kita berangkat masing-masing saja sekarang.”

Kusabet kunci mobil dan melesat menuju Sungguminasa, tempat peternakan ayam Daeng Rafi. Tiba di sana, aku segera memakai masker penutup hidung. Di dekat kandang, aku disambut oleh beberapa bangkai ayam yang telah disiapkan oleh pegawai kandang. Sebelum melakukan bedah post mortem pada bangkai ayam-ayam itu, kuminta Daeng Rafi untuk menemaniku melihat kondisi ayam di kandang yang terkena penyakit ini, juga mengevaluasi program vaksinasi dan pengobatan yang telah dilakukan pada ayam-ayam ini.

“Menurut saya, ayam-ayam ini agaknya terkena infeksi parasit koksidia, Pak. Namun, agar lebih pasti, saya akan membedah ayam-ayam yang mati, dan kalau boleh, saya minta lima ekor ayam hidup yang tampak lemas, sebagai pembanding untuk diperiksa.”

Daeng Rafi mengangguk-angguk.

“Bapak pernah berikan program pencegahan untuk koksidiosis?”

Lelaki itu menggeleng. “Paling hanya program vaksinasi tetelo dan pemberian vitamin saja, Dokter.”

“Semestinya ayam juga diberi program pencegahan untuk kasus koksidiosis. Bisa melalui vaksinasi, bisa juga pemberian obat dengan dosis pencegahan, Pak. Karena, penyakit koksidiosis menurunkan daya tahan tubuh, sehingga kadang-kadang program vaksinasi tetelo atau lainnya yang sudah dijalankan, juga bisa mengalami kegagalan sehingga meskipun ayam sudah divaksin tetelo,  masih juga terinfeksi.”

Daeng Rafi kembali mengangguk. Aku lalu melakukan pemeriksaan fisik luar pada beberapa bangkai ayam, kemudian baru melakukan bedah post mortem. Kuperiksa bagian alat pernapasan yang tak kulihat ada perubahan mencolok di situ, lalu bagian lambung ayam pun ternyata baik-baik saja. Namun, ketika kubuka bagian usus dengan gunting bedah, tampak jelas perdarahan di sana.

“Diagnosis saya, ayam-ayam ini memang terkena koksidiosis, Pak!” ujarku kemudian. “Oh ya, mana ayam yang lemas-lemas? Bisa dipotong dulu, lalu akan saya periksa.”

Daeng Rafi memerintahkan pegawainya untuk mencomot tiga ekor ayam yang tampak lemas di kandang. Aku segera melakukan pemeriksaan fisik luar, lalu dilanjutkan dengan pembedahan pada semua ayam lemas yang telah dipotong itu. “Lihat, Pak. Sama gejalanya yang terjadi dengan ayam yang mati tadi, ’kan?”

“Lalu bagaimana, Dok?

“Kita obati dengan amprolium atau sulfadiazine. Bapak ada obatnya? Kemudian, jangan lupa bangkai-bangkai ayam ini segera dibakar dan dikubur dalam-dalam, agar tak menular ke kandang lain.”

Aku mencuci tanganku dan gunting bedah serta pinset dengan sabun disinfektan yang selalu ada di dalam tas bedahku. Daeng Rafi menantiku. Kami kemudian melangkah bersama menuju gudang stok obat-obatan dan vaksinnya.

“Saya kebetulan baru mencoba usaha ternak broiler ini, Dokter. Ya, baru setahun inilah, jadi saya belum berpengalaman. Obat-obatan pun saya belum tahu semuanya.” Kudengar penjelasannya yang kali ini sungguh berbeda dari  nada bicara saat pertemuannya denganku sebelumnya.

“Tak apa, Pak. Walau Bapak nggak pakai produk saya, sebagai dok­ter hewan, saya tetap akan membantu Bapak. Juga siapa pun yang membutuhkan pertolongan saya.”

“Dok, ini stok obat-obatan saya.” Daeng Rafi menunjukkan rak berisi bermacam obat dan vitamin yang sudah dibelinya.

“Nah, diobati dengan ini, Pak!” Kuambil sebuah kaleng yang isinya mengandung amprolium. “Lihat petunjuk dosis untuk pengobatannya. Saya sarankan ayam-ayam yang di kandang lain yang belum tertular penyakit, sebaiknya diberi obat yang sama dengan dosis pencegahan. Ini Bapak lihat, ada kan petunjuk dosis pencegahannya.”

“Kalau vaksinnya ada, Bu?”

“Ada, Pak. Namun, jika kasusnya seperti ini, agaknya pemakaian vaksin sudah terlambat. Nanti, jika Bapak mau, pada ayam yang baru masuk, saya bersedia membuatkan program vaksinasi lengkapnya, boleh memakai produk saya, namun tak masalah jika Bapak menginginkan memakai vaksin produk lain.”

Daeng Rafi tersenyum simpul. “Baik nanti saya pikirkan, Dok!”

“Saya mengerti, Pak. Vaksin saya memang produk baru di Sulawesi ini, meski di Pulau Jawa sana termasuk produk yang populer di kalangan peternak dan kualitasnya tak perlu diragukan lagi.

Namun, berkualitas tinggi seperti mana pun, sesungguhnya pengaturan program yang tepat dan kontrol yang berkesinambungan dari dokter hewan itu yang utama. Dan saya janjikan hal itu menjadi prioritas program saya, Pak.”

Daeng Rafi mengangguk-angguk.

“Baiklah, sudah hampir magrib, saya permisi pulang. Bapak juga mau memberikan obat pada ayam-ayam yang sakit, ’kan? Telepon saya saja, jika Bapak membutuhkan bantuan… kapan pun!”

“Terima kasih, Dokter Elda.”

“Sama-sama, Pak!”

Kularikan mobilku sambil tak hentinya kuberdoa, semoga Daeng Rafi kelak mau menggunakan program vaksinasiku, menggunakan produkku. Beginilah memang liku-liku pekerjaanku sebagai kepala cabang perusahaan obat hewan, yang segalanya masih kutekuni seorang diri, alias mbabat alas, di bumi Sulawesi ini.
Dulu, di Jabotabek, aku lebih mudah menawarkan produkku. Di sini, di tempat yang orang nyaris tak mengenal produkku, aku memang jauh harus lebih bersabar, namun tetap berusaha keras agar peternak bisa per­caya pada produkku. Dengan kiat tak memaksa dan menggurui pada peternak, namun memberikan pengertian akan produk baru dengan tulus, serta selalu siap turun tangan menghadapi berbagai kasus, aku percaya, cepat atau lambat produkku akan dikenal baik oleh para peternak di sini, seperti di Jabotabek.

Malam belum terlalu tua, ketika aku selesai menelepon beberapa peternak di sekitar Makassar, untuk menanyakan kondisi ayam-ayam mereka yang sudah menggunakan program vaksinasi dan obat-obatan produkku. Tiba-tiba ponselku berdering.

“Hai… Bang!” sambutku ceria pada Admiral Siregar, seniorku berbeda tiga angkatan ketika kuliah di kedokteran hewan dulu, yang menghubungiku.

“Apa kabar, Da?”

“Baik-baik, Bang! Ada apa, nih, sudah lama nggak main ke sini, nggak telepon pula!”

“Kalau begitu kita jalan, yuk, ke Losari.”

“Ayo!”

“Kujemput, ya?”

Hatiku mendadak berbunga-bunga diajak Bang Iral ke Losari. Tak kusangka, laki-laki Batak yang dulu senior galak di kampusku, bahkan dinobatkan sebagai senior paling galak ketika masa orientasi itu, kini menjadi kolegaku.

Cukup lama aku tak pernah bertemu dengannya, hingga akhirnya kami berjumpa lagi, ketika aku dan Pak Julius menanti boarding pesawat yang akan menerbangkan kami ke Makassar.

“Kamu Elda, ’kan?” seorang lelaki menepuk pundakku saat itu.

Aku menoleh dan mengerutkan kening, mencoba mengingat siapa lelaki itu.

“Aku Iral, Admiral Siregar! Kakak kelasmu dulu!”

“Bang Iral?!” teriakku spontan, tak peduli entah berapa pasang mata menatapku, termasuk Pak Julius yang tersenyum-senyum melihat kami.

“Kamu mau ke Makassar, Da?”

Aku mengangguk.

“Aku juga mau ke sana. Aku baru selesai meeting di Jakarta, dan sekarang harus balik ke Makassar. Aku dinas di sana. Untuk apa kamu ke Makassar, Da?”

“Aku pindah tugas ke sana, Bang!”

Pertemuan tak terduga itu menyebabkan Pak Julius yang rencananya akan berada di Makassar selama lima hari, akhirnya hanya tiga hari, karena Bang Iral membantu kami mencari rumah kontrakan untuk rumah sekaligus kantor cabang ini. Tak sampai hanya di situ, Bang Iral yang telah tiga tahun bergulat menjual obat hewan dan vaksin di Sulawesi itu, juga membantuku membeli segala keperluan kantor dan rumah baruku ini, mulai dari membeli sendok hingga genset.

“Genset penting, Elda. Karena di sini kadang-kadang terjadi pemadaman listrik. Vaksin yang kau jual bisa rusak, jika listrik padam dalam waktu yang lama. Akibatnya, program vaksinasimu bisa jadi gagal, dan peternak akan komplain padamu!” Itu nasihatnya di telepon, ketika ia tahu di rumah kantorku ini hanya ada lemari pendingin, tanpa disertai genset. Bang Iral kemudian menemaniku membeli genset.

Begitulah Bang Iral, selalu siap sedia menolongku. Yang kusuka, ia tak menganggap diriku sebagai kompetitornya. Ia tak takut kehadiranku mengganggu roda penjualan produknya, yang sejenis dengan produkku.

“Hidup, mati, dan rezeki itu sudah ada yang mengatur! Tak masalah banyak produk baru di lapangan, malah bagus memberikan banyak pilihan bagi peternak!” komentarnya enteng, ketika kutanya pendapatnya akan pengaruh kehadiran produkku bagi produknya nanti di sini.

Bang Iral juga tak segan-segan mengajakku joint visit mengenal lokasi peternakan ayam, sapi potong dan babi di sekitar Makassar, Pare-Pare, Sidrap, bahkan hingga ke Manado dan Kotamobagu. Bayangkan saja, aku belum pernah menginjakkan kakiku sebelumnya di pulau ini. Sudah pasti pengetahuanku mengenai kantong-kantong peternakan di daerah ini benar-benar blank. Barangkali aku memang salah satu wanita ‘gila’, nekat, yang berani menerima tantangan dari perusahaan untuk menjadi kepala cabang, yang untuk sementara waktu (entah sampai kapan) harus bekerja seorang diri menjual produk dan menangani semua urusan kantor dengan segala persoalannya di sini.

Bel di ruang depan berbunyi nyaring, menghentikan lamunanku. Aku bergegas ke depan. Bang Iral membukakan pintu samping kemudi untukku, aku segera masuk, dan tak lama mobil ini melaju menuju Pantai Losari.

“Jadi, bagaimana bisnismu?”

“Lumayan, tetapi aku harus mencoba lebih keras untuk mencapai target.”

“Hebat kau, Da! Tidak kusangka kau wanita perkasa, berani bertualang.”

“Ah… Bang Iral, bisa saja! Kapan lagi? Kesempatan jarang datang dua kali, makanya selagi ada kesempatan, cepat kuambil. Abang juga tahu kan, almarhum orang tuaku hanya petani kecil di Cianjur. Abang juga tahu, semasa kuliah dulu, aku terpaksa menjadi guru privat bahasa Inggris, juga menjadi penyiar radio paruh waktu, agar bisa makan selama kuliah. Karena, beasiswa yang kudapat sungguh pas-pasan!”

“Aku tahu banyak tentang dirimu, Da. Termasuk kesetiaanmu pada Lexi, anak jurusan tanah itu, yang akhirnya meninggalkanmu, ‘kan?”

Tenggorokanku mendadak kering. Kepalaku jadi pening. Jadi, Bang Iral yang selama ini di Makassar, juga tahu kasusku dengan Lexi? Dari mana ia tahu? Mengapa ia sampai tahu?

Aku menghela napas, mencengkeram gerahamku. Lexi! Mengapa nama itu harus lagi kudengar, meski aku lari ke sini, bersusah payah mengubur dalam-dalam semua kenangan! Setelah selama di Makassar ini aku merasa memiliki kehidupan lain yang lebih menyenangkan, walau penuh tantangan!

“Kamu ke sini untuk lari dari kenyataan, ’kan?” pertanyaan Bang Iral menelisik.

“Entahlah!” jawabku, tak acuh. “Yang jelas, aku memang ingin mencari suasana baru di sini, selain menikmati promosi atas kerja kerasku selama ini di Tangerang!”

Bang Iral tersenyum.

“Kenapa tersenyum?”  aku mendadak sensitif.

“Dari dulu kamu memang gadis yang unik dan menarik, Da! Hebat Lexi bisa menjadi sang penakluk!”

“Bang, kumohon jangan sebut nama itu lagi, atau aku enggan berkawan denganmu!”

Bang Iral menoleh ke arahku.

“Jadi nggak butuh aku lagi, nih?” godanya. “Hmm… ancaman yang curang! Tentu saja kamu nggak mau berkawan denganku lagi, karena hampir semua peternakan di Sulawesi ini sudah mulai kau kenal!”

“Bang Iral, begitu, sih…!” ujarku, kesal. “Aku sudah berusaha melupakan, bahkan hingga lari ke sini, tapi Bang Iral malah membicarakannya terus.” Kutinju saja lengan kiri seniorku itu. Namun, tangan kiri Bang Iral lantas menangkap tangan kananku dan memegangnya erat. Aduh, jantungku jadi berdebar keras. Debar-debar yang sulit kumengerti.

Aku menarik tangan kananku. Beringsut dari tangannya.

“Awas, ya… jangan sebut-sebut dia lagi!” Sekali lagi kutinju lengan kirinya. Bang Iral mengaduh kesakitan.

“Oke… oke…,”  katanya kemudian, sambil menghentikan mobilnya di tempat parkir, karena kami telah tiba di tepi Pantai Losari.

“Kau mau makan apa? Es pallubutung? Es pisang ijo? Atau pisang epek?”

“Semuanya!” jawabku enteng, sambil turun dari mobil.

“Rakus kali!”

“Biar!”

Bang Iral mengacak-acak rambutku. Entah gemas, entah sayang, aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku merasa nyaman.

Ponselku berdering. Bang Iral! Segera saja kutepikan mobilku sejenak.

“Ada apa, Bang?”

“Kau ke mana, Da? Aku di kantormu!”

“Jalan, Bang. Cari order ke Pare-Pare, Sidenreng-Rappang, Pinrang dan Enrekang.”

“Sendiri?”

“Ya, memangnya mau terus-menerus merepotkan Bang Iral!”

“Aku tak merasa direpotkan, Elda!”

“Ya, tapi cukuplah sekali diberi petunjuk lokasi oleh Bang Iral, selanjutnya aku sendiri yang harus berjuang. Bang Iral kan nggak terima gaji dari kantorku.”

“Berapa hari kau di sana?”

“Tiga hari, Bang!”

“Hati-hati, Da! Menginap di Sidrap saja, di rumah Bu Haji Ilyas.”

“Memang aku mau menginap di sana, bersih dan aman, ’kan? Seperti Abang bilang!”

“Hati-hati, Elda!”

Ucapan itu benar-benar menyejukkan hatiku.

“Telepon aku, kalau ada apa-apa.”

“Ya, Bang. Titip-titip kantorku juga, ya, Bang! Wati sendirian.”

“Oke!”

Telepon kututup, lalu dengan penuh semangat kularikan mobil menuju Pare-Pare. Di kota ini kubidikkan senjata ampuh pemasaranku pada beberapa poultry shop besar, dan juga pemilik peternakan ayam petelur. Aku mendapatkan pesanan, walau tak terlalu besar.

Dari Pare-Pare aku melaju, menuju Sidrap (Sidenreng-Rappang), yang merupakan basis peternakan ayam petelur. Dari peta yang kubuat sendiri ketika joint visit pertama bersama Bang Iral, akhirnya aku bisa berkunjung ke setiap lokasi peternakan di daerah ini.

“Assalamu’alaikum, Pak Haji Muhtar!” Aku mengetuk pintu rumah peternak, yang menurut Bang Iral, peternak ayam petelur terkaya di Sidrap ini.

“Aih… Dokter Elda! Dengan siapa, ji?” Peternak itu berdiri di depan pintu, matanya menatapku lekat dan tersenyum ramah.

“Sendiri, Pak Haji. Biasa, mau menawarkan vaksin dan obatnya pada Pak Haji Muhtar.”

Haji Muhtar mengangguk-angguk.

“Ah… mana Dokter Iral, ki?”

“Beliau di Makassar.  Saya kan harus jalan sendiri, Pak Haji.”

“Mari masuk, Dok!” ajaknya kemudian.

Aku tak menolak. Begitu menaruh badanku di sofa empuk ruang tamu, aku langsung mengeluarkan beberapa brosur dan daftar harga dari file folder di tanganku.

“Bagus harga telur hari ini, ya, Pak Haji!” Aku mulai beraksi. Berhadapan dengan peternak, mau tak mau memang harus pintar berbicara, terutama tentang kondisi harga, entah harga telur, pakan, DOC (anak ayam umur sehari) yang kadang-kadang mengalami fluktuasi.

“Benar, Dok. Sedang bagus untuk seminggu ini. Kebetulan produksi telur ayam saya juga sedang di puncak-puncaknya, ji!” Pak Haji Muhtar menatapku.

“Wah, bisa-bisa tahun depan pergi ke tanah suci lagi, Pak Haji Muhtar ini.”

“Amin....” Peternak itu lagi-lagi tersenyum. “Dokter Elda ada-ada saja.”

“Ayam-ayam, bagaimana? Sehat-sehat?”

“Ayam yang produksi, sih, baik-baik, Dok. Hanya yang umur tujuh minggu, agaknya kurang nafsu makan. Boleh nanti, Dokter Elda mampir dan periksa ke kandang?”

“Kalau begitu sekarang saja. Lebih cepat, lebih baik. Dan bisa langsung diobati, jika ada masalah di kandang, Pak Haji.” Aku menaruh file folder di meja, dan bangkit dari kursiku.

“Baik, Dokter.”

Haji Muhtar menemaniku ke kandang ayam tak jauh dari rumahnya, setelah aku bergegas mengambil tas bedah dari mobilku.

“Sudah diberi vitamin, Pak Haji?”

“Sudah, ki, tapi masih juga tak ada nafsu makan, karena makanan jatah yang kita taruh, banyak bersisa.”

“Ayamnya kurus-kurus, Pak Haji. Mana daftar catatan kematiannya, Pak Haji.”

Haji Muhtar mengambil kertas yang tergantung di tembok.

“Ini, Dok!” Diserahkannya kertas rekapitulasi kematian ayam padaku.

“Tingkat kematiannya tergolong rendah ini, Pak Haji. Tapi, ayam usia tujuh minggu ini seperti ayam lima minggu.”

“Itu dia, ji!”

“Apakah Pak Haji sudah beri obat cacing untuk dosis pencegah­an cacingan?”

“Rasanya belum, Dok!”

“Boleh saya lihat jadwal program vaksinasi dan pemberian obat untuk pencegahan penyakitnya?”

“Ada, Dok!” Lagi-lagi peternak kaya namun sederhana ini mengambil kertas yang tergantung di tembok. Aku membaca jadwal program.

“Benar, tak ada jadwal untuk pemberian obat cacing sebagai pencegahan. Saya curiga ayam-ayam ini cacingan, Pak Haji. Boleh kita potong barang lima ekor, untuk kita periksa, Pak Haji?”

Haji Muhtar mengangguk, dan memerintahkan seorang anak kandang dengan bahasa Bugis-nya, tak lama anak kandang itu menangkap dan memotong lima ekor ayam dan diserahkannya padaku.

“Pak Haji, ayam ini terinfeksi cacing pita, lihat cacing-cacing yang berbentuk panjang pipih dan berbuku-buku ini.”

Pak Haji Muhtar ternganga.

“Semua ayam yang saya bedah ususnya ada cacing pitanya. Pantas ayamnya kurus-kurus, diberi vitamin pun tetap saja kurus. Nah, untuk cacing pita, Pak Haji bisa pakai obat niclosamide atau iverwectine, aplikasinya dicampur pakan. Pak Haji ada stok obatnya, ’kan?”

Dari kandang, Pak Haji Muhtar mengajakku menuju kantor peternakan sekaligus gudang obat. Ternyata, ia tak memiliki sama sekali stok obat cacing pita. Tak sia-sialah kedatanganku ke peternakannya sambil membawa stok produkku, yang bisa kujual langsung hari ini. Setelah memberikan instruksi pemakaian, aku pamit.

“Dokter Elda…,” tiba-tiba Haji Muhtar memanggilku, ketika aku hendak masuk mobil. “Kalau nanti dua puluh lima ribu ayam DOC saya jadi masuk, tolong buatkan program vaksinasi dan pencegahan cacingan lengkapnya, ya!”

Aku terbelalak.

“Siap, Pak Haji. Kabari saja kapan tanggal pastinya kedatangan DOC, saya akan buatkan program sebelum ayam datang.”

“Terima kasih, Dokter Elda.”

“Terima kasih untuk kepercayaan Pak Haji Muhtar pada saya!”

Peternak itu tersenyum dan melambaikan tangannya, ketika mobil yang kukemudikan meninggalkan pekarangan rumahnya.

Dahsyat! Teriakku girang dalam hati.

Pesawat yang kutumpangi telah mendarat di Sam Ratulangi. Inilah untuk kali pertama aku melakukan outside duty-ku seorang diri ke Manado. Rencananya, aku akan melakukan jalan darat menuju Kotamobagu, setelah selesai dengan urusan di Manado dan sekitarnya, untuk mengunjungi lokasi peternakan yang sebelumnya pernah kudatangi bersama Bang Iral saat aku menginjakkan kakiku dua bulan pertama di Sulawesi ini. Tentu saja, lagi-lagi dengan berbekal peta sederhana, yang kubuat ketika pergi dahulu!

Perlahan tapi pasti, taksi yang kutumpangi dari luar bandara meluncur, mengantarku menuju kota, menuju Hotel Queen, tempatku menginap.

Ada telepon dari Bang Iral.

“Hei, Bang! Apa kabar?”

“Tadi aku telepon ke kantormu. Kata Wati, kau ke Manado? Kenapa nggak bilang-bilang? Kalau tahu mau ke sana, kan kita bisa sama-sama.”

“Maaf, Bang. Bukan aku nggak mau bareng Abang, aku ingin mandiri. Masa setiap ke Manado numpang mobil kantor perwakilan Abang terus, dan aku mau ganti biayanya Abang selalu menolak. Nggak enak, Bang.”

“Ah, kau ini, macam orang lain saja, Elda!” omelnya.

Aku tersenyum sendiri.

“Sampai kapan kau di sana?”

“Ssecepatnya urusan selesai, Bang! Abang mau menyusul ke sini?” tanyaku, dengan sepenuh harapan dia akan menjawab ‘ya’ saat itu.

”Nggak, aku ada banyak pekerjaan di sini. Barangkali tiga bulan ke depan aku baru ke sana.”

Dalam hati aku benar-benar kecewa.

“Kau jalan sama siapa, Da?”

“Sewa mobil, Bang. Sopirnya bernama Om Yance, baik dan sabar orangnya!” jawabku.

“Ya, sudah. Hati-hati, ya! Jangan lupa makan, kau suka lupa makan kalau sudah keasyikan kerja!”

Lagi, dan lagi… perhatiannya itu sungguh menyejukkan hatiku. Tiba-tiba saja air mataku menggenang karena terharu.

Pukul delapan tepat, Om Yance sudah menjemputku di lobi, membawaku mendatangi beberapa poultry shop di Manado. Kemudian, kami ke Airmadidi, Kakas, dan Langoan menjenguk peternakan-peternakan ayam, juga peternakan babi yang telah kudatangi dahulu bersama Bang Iral. Lumayan juga aku mendapatkan pesanan berupa obat-obatan dan vaksin, sehingga beberapa pesanan itu nanti bisa kukirim ke alamat perwakilan kantor Bang Iral di Manado dan mereka yang akan menolongnya mengirim ke peternak di sini.

Menjelang sore, aku mampir di peternakan ayam berskala besar milik Brur Joe. Awalnya, ketika aku menawarkan program vaksinasi padanya, ia menolak. Namun, toh, pada akhirnya Brur Joe memberiku order seratus botol triplevaksin ND, EDS’76, IB. Ini adalah vaksin untuk mencegah 3 penyakit sekaligus, yaitu tetelo, penyakit egg drop syndrome (penyakit yang membuat ayam petelur menurun produksinya hingga 20%-40%), dan penyakit bronkitis. Vaksin ini berharga eceran termahal di antara vaksin yang kujual. Jadi, sudah pasti omzetku lumayan meledak bulan ini.

“Oh, ya, Dokter Elda sudah makan?” tanya Zus Helen, istri peternak kaya itu.

“Ah, sudah… sudah, terima kasih, Zus.”

“Makanlah dulu di sini, saya buat omelet.”

Aku tak kuasa menolak kebaikan Zus Helen. Ditemani dua anaknya yang sudah remaja, kunikmati omelet buatan wanita cantik itu.

Bang Iral melambaikan tangan, saat melihatku melangkah ke arahnya di Bandara Hasanuddin malam ini. Semalam, dia memang janji akan menjemputku sepulang dari Manado. Serta-merta ia mengambil alih ransel yang kugendong, juga tas tangan berisi berbagai file folder.

“Sukses?”

“Semuanya lancar, karena karunia Tuhan, Bang! Manusia kan hanya bisa berusaha dan berdoa.”

Bang Iral tersenyum dan mengacak-acak rambutku.

“Itu yang kusuka darimu, selalu membumi!”

Kami meninggalkan bandara yang terletak di Maros, meluncur menuju Makassar.

“Kamu sudah makan?”

“Sedikit, di pesawat tadi, soalnya rasanya kurang sedap!”

“Kalau begitu, kita makan di Losari. Mau?”

Aku mengangguk pasti.

Tiba di Losari, Bang Iral memesan dua piring nasi goreng.

“Oh, ya, kau dicari Haji Yusuf. Dia titip pesan padaku, agar kau membuatkan program vaksin untuk bibit ayamnya yang akan masuk dua puluh ribu, Senin depan.” Bang Iral menatapku, ketika aku tengah melahap nasi goreng di tepi Pantai Losari.

“Sungguh?”

“Besok kau ke sana saja, Da!”

“Besok aku banyak pekerjaan, Bang. Mengirim pesanan yang kudapat dari Manado dan Kotamobagu. Lalu, aku harus menyetor uang tagihan piutang ke bank, dan ini kan akhir bulan, artinya aku harus membuat segala macam laporan untuk kantor pusat. Laporan keuangan, stok, pembelian, penjualan….”

“Hmm… benar-benar ibu kepala cabang kau sekarang, Da!” potongnya cepat.

Aku tercekat.

“Abang kan enak, jadi kepala cabang pegawainya banyak! Aku kan sendiri, Bang. Semuanya harus kutangani sendiri.”

“Mau kubantu membuat laporan, besok? Biar kau bisa datangi Haji Yusuf. Dia ingin bertemu denganmu, Elda.”
Aku menggeleng.

“Tak perlu, semua sudah risiko yang harus menjadi tanggung jawabku. Kalau begitu, besok aku sempatkan mampir ke rumah Haji Yusuf. Ah, ya, besok aku juga akan menelepon Pak Jonathan, menagih janji-janji kantor pusat untuk kantor cabang ini.”

Bang Iral tersenyum simpul.

“Capek, ya, jadi kepala cabang tanpa pegawai!”

“Benar, tapi pengalaman seperti ini tak bisa kudapat di bangku kuliah mana pun, Bang.”

Bang Iral mengangguk-angguk.

“Oh, ya, Bang, aku beli oleh-oleh untuk Abang, kacang goyang dan bagea dari Manado.” Kutatap Bang Iral yang tengah menatapku. Mata kami beradu. Jantungku meletup-letup, spontan kualihkan tatapku. Aku takut, perasaanku padanya hanya membuahkan kekecewaan yang dalam bagiku, manakala pria di hadapanku ini tak menaruh perasaan yang serupa denganku. Aku pun takut, jika ia bisa membaca isi hatiku!

Pagi-pagi aku mengirim fax ke kantor pusat agar mengirimiku seratus lima puluh botol vaksin ND EDS’76 IB segera hari ini. Aku tak lupa juga mengirim SMS dengan berita yang sama pada Pak Jonathan, agar sales manager itu juga turut memantau bagian pengiriman agar bisa segera mengirim pesananku, sehingga tak mengecewakan pelangganku.

Kubuat surat jalan pesanan yang kudapatkan selama outside duty-ku ke Manado dan sekitarnya, juga pesanan dari Kotamobagu. Lalu dibantu Wati, aku segera mengepak vaksin pesanan peternak dan poultry shop itu, dalam dus styrofoam yang tentu saja tak lupa kuberi es batu di dalam setiap kemasannya agar kondisinya terjaga. Kutulis alamat tujuan pengirimannya dengan  spidol.

Tiba-tiba telepon kantor bernyanyi.

“Elda, kamu hebat dapat order banyak, ya!” suara Pak Jonathan terdengar di seberang sana.

“Itu untuk pesanan Brur Joe di Manado. Saya semalam pulang dari Manado, setelah dinas ke Manado dan sekitarnya juga ke Kotamobagu. Kebetulan tadi saya cek stok vaksin ND EDS’76 IB hanya ada dua puluh lima botol. Jadi, saya minta seratus lima puluh, yang seratus akan saya kirim ke Manado, yang lima puluh untuk tambahan stok di sini.”

“Good!”

“Tapi, jangan good-good saja, dong, Pak,” protesku to the point pagi ini. “Ngomong-ngomong, kapan saya mau dikirim dua dokter hewan lagi untuk ditempatkan di Manado dan Pare-Pare? Lalu, bagaimana pula dengan staf administrasinya? Kapan pula mobil ekspedisi dikirim?” tembakku panjang lebar.

Pak Jonathan terkekeh.

“Sabar, Elda. Semuanya akan datang, paling cepat akhir bulan depan. Lima dokter hewan sudah kita tes. Minggu ini final tesnya, lalu mereka training dua minggu di peternakan ayam Pak Julius, dan seminggu kemudian training di lapangan untuk pelatihan marketing-skill bersama saya dan technical advisor yang senior.”

“Mohon kalau bisa lebih cepat, Pak. Peternak di Manado dan Pare-Pare kan juga ingin servis kita, bukan hanya beli vaksin atau obatnya saja. Saya ke sana kan hanya bisa dua atau tiga bulan sekali, beda kalau ada orang kita yang di sana kan, Pak? Kita bisa melayani dengan lebih memuaskan pelanggan, dan otomatis akan dapat order lebih maksimal. Lagi pula, kalau saya masih sendiri dan harus dinas ke Manado, atau Pare-Pare, sudah pasti peternakan langganan yang di Makassar akan terabaikan. Bahaya, jika kebetulan terjadi kasus, dan yang datang justru dokter hewan lain yang menawarkan produk lain, habislah kita!”

“Ya, saya mengerti, Elda! Terima kasih untuk perhatianmu pada perusahaan kita. Bersabarlah, nanti dikirim. Kamu baik-baik, ’kan?”

Ucapan Pak Jonathan meredakan emosiku. Kuakui atasanku itu memang memiliki rasa empati.

“Saya baik-baik, Pak.”

“Ya, sudah, saya pastikan pagi ini pesananmu dikirim ke Makassar. Supaya hari ini juga sudah bisa kamu kirim ke Brur Joe.”

“Terima kasih, Pak.”

Telepon kutaruh kembali.

“Bu, kemarin sewaktu Ibu ke Manado, Haji Muhtar datang ke sini. Beliau mengambil 30 botol vaksin ND. Katanya ia butuh sekali. Saya sendiri telepon Ibu, tapi Ibu tak bisa dihubungi. Akhirnya, tanpa persetujuan Ibu, saya berikan barangnya. Untung saja vaksin ND saya tahu, Bu. Nah, saya kan belum bisa buat surat jalannya, jadi saat itu saya meminta tanda pembelian barang di kertas biasa seperti ini yang ditandatangani Haji Muhtar. Ibu tidak marah, ’kan?”

Aku tersentak, menatap Wati yang menyodorkan selembar kertas padaku. Kutarik napas dalam. Hmm… begini repotnya jika kantor kutinggal ke luar kota!

“Terima kasih, Wati. Untung ada kamu di kantor ini. Kamu bungkus dalam styrofoam dan diberi es batu seperti biasa, ’kan?”

Wati mengangguk.

“Oke, taruh surat tanda pembelian barang sementara ini di atas meja kerjaku. Sekarang aku harus pergi ke titipan kilat dan jasa kargo untuk mengirim semua pesanan ini, lalu ke bank untuk menyetor giro,” ujarku, sambil menepuk pundaknya.

Dari kantor pengiriman jasa via kargo, aku langsung menuju peternakan Haji Yusuf di Pangkajene. Haji Yusuf adalah peternak kaya yang masih keturunan ningrat. Kompleks peternakannya sungguh luas. Di kompleks peternakannya terdapat satu rumah peristirahat­an, lengkap dengan kolam renang dan lapangan tenis serta kebun buah-buahan. Haji Yusuf memang selalu tinggal di rumah peristirahatannya ini, walau ia memiliki rumah mewah di Kota Makassar.

“Assalamu’alaikum…,” aku mengetuk pintu kayu rumah panggung, rumah peristirahatan Haji Yusuf.

“Wa’alaikum salam,” kudengar jawaban dari dalam, dan tak lama wajah Haji Yusuf menyembul dari celah pintu yang dibukanya. “Ah… Dokter Elda!”

Aku mengangguk dan tersenyum.

“Ke mana saja, Dok. Saya cari-cari dari beberapa hari yang lalu, dan saya titip pesan pada Dokter Admiral jika bertemu Dokter Elda supaya datang ke sini!”

“Maaf, Pak Haji, saya kebetulan baru semalam pulang dari Manado. Tapi, Dokter Admiral memang menyampaikan pesan Pak Haji. Maka itu, saya hari ini datang kemari.”

“Mari masuk, Dokter Elda!”

Aku menurut.

“Tifa, buatkan Dokter Elda minum, ki!” Haji Yusuf menepuk pundak seorang remaja putri yang kemungkinan adalah cucunya yang tengah duduk di sofa. “Itu, susu cokelat hangat, biar Dokter Elda sehat!”

Gadis itu mengangguk dan langsung ke dalam. Tak lama kemudian secangkir susu cokelat hangat pun tersaji di hadapanku, ketika aku tengah asyik mengobrol dengan Haji Yusuf, membicarakan program untuk bibit anak ayam yang akan masuk dan Haji Yusuf ingin mencoba produk vaksinku.

“Silakan diminum, Dokter Elda.”

“Terima kasih.” Aku menyeruput susu cokelat hangat, minuman yang paling sering disajikan jika aku mengunjungi peternakan di wilayah Makassar ini.

“Jadi Dokter Elda, pokoknya saya ingin Dokter Elda buat program lengkap, untuk vaksinasi, juga program pencegahan koksi dan cacingan serta vitamin untuk ayam petelur saya itu.”

“Pak Haji, untuk pencegahan koksi, Pak haji mau dengan vaksinasi atau pemberian obat?” tanyaku penasaran, sambil menaruh cangkir kembali ke meja setelah kuteguk habis.

“Menurut Dokter Elda, yang mana yang terbaik, dari segi biaya dan keberhasilannya?”

“Kalau memakai vaksin memang jauh lebih aman, Pak Haji, dibandingkan dengan pencegahan yang hanya memakai obat-obatan saja. Harga lebih mahal sedikit, namun tingkat pencegahan lebih akurat.”

“Kalau begitu, kita pakai vaksin saja.”

Aku mengangguk. “Terima kasih untuk kepercayaan Pak Haji yang mau mencoba program dan produk saya.”

“Ya, dulu ayam yang masuk ke saya pakai program Dokter Gustaf, tapi saya kecewa karena Dokter Gustaf jarang datang kemari, setelah saya memakai produknya. Jadi, untuk ke depannya, saya coba program dan produk Dokter Elda. Saya harapkan Dokter Elda bisa lebih baik dalam mengontrol ayam-ayam saya.”

Aku mengangguk.

“Saya usahakan pelayanan yang terbaik untuk ayam Pak Haji Yusuf. Doakan juga, akhir bulan depan, kantor saya mengirim dokter hewan untuk membantu kerja saya di sini, Pak Haji. Sementara ini kan saya masih sendiri. Jadi, saya terkadang harus menengok ayam ke Pare-Pare, Sidrap, Pinrang bahkan juga ke Manado. Tapi, sungguh saya akan usahakan paling tidak seminggu sekali saya ke sini menengok ayam Pak Haji. Pak Haji kan juga ada kartu nama saya, jadi Pak Haji bisa telepon saya ke kantor atau ponsel, jika ada masalah.”

“Terima kasih, Dok! Boleh saya minta kartu nama Dokter Elda lagi, sepertinya yang dahulu Dokter berikan pada saya terselip entah di mana, ji.”

Aku mengangguk, dan segera merogoh sebuah kartu nama dari saku kemejaku. Kuberikan kartu namaku pada Haji Yusuf. “Oh ya, saya akan buatkan programnya, dan besok saya akan kemari untuk mengantar program yang sudah jadi. Oke kalau begitu, saya pamit dulu, Pak Haji. Assalamu’alaikum.”

Pukul 09.00, Minggu pagi. Aku baru selesai menelepon para peternak dan poultry shop di sekitar Manado dan Kotamobagu, untuk mengecek apakah pengiriman pesanan sudah diterima dengan baik. Untunglah, semua lancar. Namun, kelegaan itu tak berlangsung lama, karena tiba-tiba ada telepon dari Haji Yusuf.

“Dokter Elda? Dokter bisa ke peternakan sekarang, ji?” suara Haji Yusuf dengan logat khasnya kudengar di seberang sana.

“Sekarang, Pak Haji?”

“Ya.”

“Saya memang sudah janji, siang ini akan ke peternakan Pak Haji. Semalam saya sudah buatkan program kesehatannya. Apa ada ayam yang sakit, Pak Haji?” mendadak aku dibuat resah.

“Ah… tidak, ji. Saya hanya mau mengenalkan Dokter Elda dengan cucu pertama saya yang nanti akan mengurus peternakan ini.”

Seketika aku bisa menarik napas lega. Namun, demi Haji Yusuf yang amat kuhormati, aku segera saja melarikan mobil ke arah Pangkajene, tempat peternakan Haji Yusuf berada.

“Dokter Elda!” Haji Yusuf tengah berada di halaman depan rumah peristirahatannya, ketika aku datang. Dengan sumringah, aku diajak naik ke rumah panggung yang terbuat dari kayu terbaik di sini.

“Duduk, Dok! Nauval… kenalkan, ini Dokter Elda datang,” dia memanggil nama seorang pria muda yang tak lama muncul dari dalam. “Dokter Elda, ini Nauval, cucu pertama saya. Dia insinyur peternakan juga, dan baru datang dari Jawa,” ujarnya, penuh rasa bangga. “Nanti dia yang mengurus peternakan ini, karena pertengahan bulan nanti, saya ke Malaysia, menengok anak saya yang tinggal di sana.”

Aku tercengang. “Wah… berapa lama Pak Haji ke Malaysia?”

“Ya… kalau bosan di sana, saya kembali ke sini, ji. Biar sajalah, anak muda seperti kalian yang urus peternakan ini nanti, bukan begitu?” Haji Yusuf tersenyum-senyum, membuat aku tak habis mengerti apa sesungguhnya maksud senyum dan ucapannya itu.

Pria muda yang bernama Nauval itu tersenyum padaku. Wajahnya manis. Tangannya terulur kepadaku.
Aku pun berdiri dan membalas uluran tangannya.

“Oh, ya, Dokter Elda, tolong kalau ada masalah dengan ayam di sini, jangan segan-segan untuk datang kapan pun, ya! Tolonglah agar Nauval cucuku ini dibantu. Dia memang insinyur peternakan, tapi kan belum berpengalaman seperti Dokter Elda, ki.”

Aku mengangguk-angguk. “Tentu Pak Haji, saya akan usahakan.”

“Terima kasih, Dokter Elda!” untuk pertama kalinya, kudengar suara Nauval, pria manis itu.

“Oh, ya, mana program vaksinasi untuk bibit ayam yang rencananya masuk besok?” tagih Haji Yusuf, sambil menepuk pundakku.

“Ah, ya, ini dia, Pak Haji,” kuserahkan saja selembar program vaksinasi yang telah kukerjakan semalam, yang kutaruh dalam sebuah map. Pak Haji Yusuf dan Nauval yang duduk bersebelahan, membuka map itu.

“Jadi itu program lengkap, mulai pertama ayam masuk, juga program revaksinasi setelah ayam produksi, juga saya cantumkan di sana. Tak lupa jadwal pemberian vitamin dan obat cacing,” jelasku, panjang lebar.

“Wah… lengkap sekali, ya! Terima kasih, Dokter Elda.” Pak Haji Yusuf memberikan lembaran program vaksinasi itu pada Nauval.

“Nauval, kalau ada yang tak jelas, silakan nanti bisa tanya pada saya atau menelepon juga boleh,” balasku pada Nauval, yang tampak malu-malu hanya mengangguk dan tersenyum.

“Ah, sampai lupa… mana minuman untuk Dokter Elda, ji? Nauval, ke dalam ki, dan suruh Tifa membuatkan susu cokelat hangat dan jangan lupa bawakan biskuitnya untuk Dokter Elda.”

“Oh… sudah, tak usah repot-repot, Pak Haji.” Aku menjadi rikuh sendiri.

“Ah, tak apa-apa, Dokter. Nanti jangan buru-buru pulang dulu, ji. Di belakang sana, pohon rambutan sedang lebat buahnya. Nanti Dokter Elda bisa petik untuk bawa pulang ke rumah.”

Aku tak menyangka Haji Yusuf begitu menyambut baik kedatanganku hari ini. Setelah minum susu cokelat hangat, pria tua itu menyuruh Nauval mengajakku ke kebun belakang untuk memetik rambutan.

Aku tak kuasa menolak keramahan keluarga Haji Yusuf ini. Bersama Nauval yang membawa keranjang, aku melangkah menuju kebun belakang, tempat pohon rambutan tengah berbuah lebat.

“Dokter Elda, dari Bogor, ya?” Nauval berhenti dan menungguku di jalan tanah menanjak yang agak licin oleh hujan semalam. Tangannya terulur untuk membantuku agar tak terpeleset, namun aku menggeleng dan bisa melampauinya tanpa kesulitan yang berarti.

“Ya, dulu saya kuliah di Bogor. Hmm… tahu dari Kakek, ya?”

Nauval mengangguk. “Kakek Yusuf, banyak cerita semalam.”

Aku tersenyum. “Nauval kuliah di mana?”

“Bandung. Peternakan, Unpad.”

“Cocoklah. Peternakan ini memang membutuhkanmu.”

“Sebetulnya, aku malas mengurus peternakan ini. Aku lebih suka bekerja di Bandung atau Jakarta. Tetapi, berhubung Kakek memaksa, aku berhenti dari pekerjaanku di sebuah kantor penelitian di Jakarta.” Ada rasa tertekan yang dapat kusimpulkan dari nada bicaranya.

“Agaknya Kakek sangat mengharapkan dirimu menjadi penerus dalam mengelola peternakan ini.”

“Sepertinya begitu.”

“Jadi, bersiaplah untuk itu. Kasihan juga kalau Kakek kecewa.”

“Ya, aku mengerti. Sangat mengerti. Dokter Elda juga siap untuk membantuku, ’kan? Maklumlah, aku tak punya pengalaman. Aku baru lulus.”

Aku mengangguk. “Percayalah, saya akan membantu mengontrol kesehatan peternakan ayam ini.”

Tak lama kemudian, kami tiba di kompleks tanaman buah. Kulihat pohon rambutan yang tak tinggi dengan buahnya yang lebat, sehingga Nauval hanya langsung tinggal memetiknya tanpa bantuan galah. Kulihat pemuda itu memetik rambutan untukku dan memasukkannya dalam keranjang hingga keranjang penuh.

“Sudah, cukuplah!” sergahku, ketika kulihat keranjang itu sudah penuh. “Aku hanya sendiri di rumah bersama Wati, pembantuku. Untuk apa banyak-banyak?”

Nauval menatapku. “Dokter Elda sendiri di sini?”

Aku mengangguk. “Aku merantau di sini. Orang tuaku sudah meninggal semua.”

“I’m sorry.”

Aku hanya tersenyum. Sementara Nauval terdiam lama.

“Hidup ini lucu. Dokter Elda yang dari Pulau Jawa datang merantau ke sini, sementara aku yang orang sini malah lebih senang dan ingin tinggal di Pulau Jawa.”

“Ya… manusia kan punya keinginan yang berbeda, punya motivasi yang berbeda pula.”

“Sudah, ’kan? Ayo, kita kembali ke depan,” ajakku.

Kami melangkah bersama meninggalkan kebun. Nauval membawa keranjang berisi rambutan. “Dokter Elda wanita hebat,” kata Nauval, setelah kami lama terdiam.

Aku terkekeh. “Jangan terlalu memuji begitu.”

“Tapi, aku benar-benar salut untuk keberanian Dokter Elda merantau sendiri di sini.”

“Aku tak pernah merasa sendiri, selalu ada teman yang bisa menjadi saudara di mana pun kita berada, bukan?”

Kepala pria muda di sampingku ini mengangguk, tanda setuju pada pendapatku.

Tiba di tanah tanjakan yang licin, Nauval melompat lebih dahulu dan menaruh keranjangnya. Ia berbalik, berdiri menungguku, tangannya terulur untuk membantuku. Tetapi, seperti tadi, aku tak mau menerima kebaikannya. Sialnya, untuk kali ini sepatuku yang mengikat tanah membuatku meluncur dan hampir saja aku terpeleset, kalau saja Nauval tak cepat menarik tanganku dan memelukku.

Spontan tubuhku merapat di dadanya.

“Hey…!” kudengar suara Bang Iral yang datang ke arah kami.

Aku buru-buru melepaskan diri, ketika kulihat wajah Nauval begitu dekat dan tengah menatapku. Aku yang masih terkaget-kaget, karena hampir celaka, menjadi lebih kaget lagi saat kutoleh, Bang Iral sudah menghampiri kami. Perasaanku jadi tak keruan. Aku takut sekali Bang Iral salah mengerti atas apa yang dilihatnya.

“Terima kasih telah menolongku!”  ujarku, dengan perasaan malu. “Hampir saja aku jatuh.”

Nauval hanya tersenyum. 

Bang Iral menatap kami sambil tersenyum, senyum yang tak bisa kuanalisis apa artinya!

Entah mengapa, sudah dua minggu sejak pertemuan pertamaku dengan Nauval itu, aku menjadi sulit untuk menghubungi Bang Iral. Ponselnya selalu tak aktif, pesan singkatku pun tak pernah dibalas. Ketika kuhubungi telepon kantornya, sekretarisnya selalu mengatakan pria Batak itu tak ada di tempat.

Aku tengah termenung sendiri di sebuah kamar hotel di tengah Kota Pare-Pare sore ini. Tiba-tiba ponselku berdering.

“Ya, Pak Jonathan. Ada apa?”

“Kamu di mana?”

“Pare-Pare, Pak.”

“Ya, ampun! Sabar, ya, Da. Sebentar lagi, akan datang anak buahmu untuk membantumu di sana. Ada tiga dokter hewan. Satu untuk Makassar. Satu untuk Pare-Pare dan sekitar. Satu untuk Manado. Lalu satu orang untuk pegawai administrasi kantor. Semua akan kami kirim ke Makassar dulu. Nanti, tugasmu mengantar, mencarikan tempat kos dan membimbing mereka satu per satu ke daerahnya masing-masing.”

“Finally.....”

“Kantor pusat kan tidak main-main membuka cabang di Sulawesi, Da.”

“Terima kasih, Pak. Oh, ya, Pak, apa bisa juga dikirim tenaga seorang vaksinator untuk sementara waktu stand by di Makassar?” pintaku. “Masalahnya begini, Pak…, saya lihat beberapa peternakan masih banyak yang perlu mendapatkan bimbingan untuk mengetahui lebih dalam masalah proses persiapan dan cara vaksinasi yang benar. Mungkin kami perlu tenaga vaksinator untuk memberikan training pada peternakan di sini. Ya, kira-kira untuk tiga bulan saja, Pak. Bisa?”

Pak Jonathan tak menjawab.

“Please, Pak. Itu akan sangat membantu proses pemasaran produk kita di sini. Saya ingin membuktikan bahwa perusahaan kita tak hanya sekadar menjual produk, tetapi memberikan servis yang selangkah di muka dibandingkan perusahaan lain.”

“Okelah, saya akan bicarakan dengan Pak Julius. Tapi, yang pasti, saya setuju dengan ide ini, dan saya akan perjuangkan agar Pak Julius juga setuju.”

“Terima kasih, Pak. Satu lagi pertanyaan, berarti untuk yang di Manado, nanti saya yang mengantar ke sana, Pak?”

”Ya, kamu yang antar dan kamu yang mencari tempat kos untuk anak buahmu di sana, berikut memperkenalkan peternakan di sana.”

“Siap, Pak! Tapi, bagaimana dengan kendaraan operasional untuk orang yang bertugas di Manado, Pak?”

“Kita akan kirim kendaraan langsung dari Jakarta ke Manado, alamat tujuannya ke rumah kerabat Pak Julius. Jadi, nanti kamu tinggal ambil di sana. Karena itu, orang yang akan bertugas ke Manado mesti menunggu berita dari Jakarta, apakah kendaraan yang di Manado sudah dikirim ke sana atau belum. Selama kendaraan belum ada, stand by saja dulu di Makassar.”

“Tapi, nggak lama-lama, kan, Pak?”

“Kita usahakan secepatnya, Elda.”

“Baguslah. Karena kita juga butuh orang secepatnya untuk pegang Manado.”

“Saya mengerti, Elda.”

“Terima kasih, Pak.”

“You’re welcome. Take care, Da.”

Telepon kututup. Kutarik napas panjang. Lega.

Pagi-pagi sekali aku sudah check out dari hotel dan langsung kusetir mobilku ke Sidrap. Aku pergi ke peternakan Haji Aziz yang meneleponku semalam, mengabarkan ada masalah di peternakannya. Tiba di sana, kupasang masker dan langsung menuju kandang bersamanya.

Ternyata, ayam tiga belas minggunya memang benar terkena serangan wabah tetelo. Aku mendiagnosis dari perubahan fisik post mortem ayam-ayam mati yang kuperiksa, juga dari ayam sakit namun yang belum mati.

“Kematian sudah menurun, Dok, pagi ini.”

“Memang sudah berapa hari wabah terjadi, Pak Haji?”

“Sudah hari keempat sekarang, Dok. Awalnya mati ratusan, Dok!”

“Kenapa Pak Haji baru telepon saya kemarin?”

“Karena ayam ini kan pakai program saya sendiri, Dok. Saya hanya pesan vaksin campur-campur dari produk mana saja. Jadi, saya mau minta tolong sama dokter hewan segan begitu, ji.”

“Pak Haji Aziz… lain kali jangan begitu, telepon saja segera jika ada masalah. Oh, ya, boleh saya lihat program vaksinasi yang Pak Haji buat sendiri itu?”

Haji Aziz tersenyum malu.

“Tetapi, jangan Ibu Dokter Elda kritik program saya, ya?”

“Pak Haji, apa salah kalau kritik atau saran yang mungkin saya katakan untuk kebaikan peternakan Pak Haji? Daripada ayam banyak yang mati, kan Pak Haji sendiri yang rugi.”

Haji Aziz mengangguk-angguk, lalu mengambil program yang tergantung di tembok.

“Ini, Dokter Elda.”

Aku mencermati program yang ditulis tangan dalam kertas itu.

“Pak Haji, menurut saya, program vaksinasi ini kurang aman, terutama saat ayam usia dua belas minggu, semestinya Pak Haji sudah melakukan vaksinasi ulang, sementara Pak Haji baru jadwalkan pada nanti saat usia tiga belas minggu. Makanya, saat ayam usia tiga belas minggu, ayam ini sudah terinfeksi, sebelum Pak Haji beri vaksin, ’kan?”

Haji Aziz terbelalak.

“Benar, Dok! Saya baru mau vaksinasi, ayamnya sudah kena penyakit.”

“Itulah. Jadi, untuk vaksinasi tetelo sebaiknya memang ketat, Pak Haji.”

Pak Haji Aziz mengangguk-angguk.

“Sudahlah, besok-besok buatkan saya program yang ketat dan aman, ya, Dokter Elda.”

Aku mengangguk pasti. “Saya siap membantu, Pak Haji!”

Lama tak berjumpa dan bicara dengan Bang Iral membuatku sungguh rindu. Dalam kesibukanku yang nyaris tiada henti, siang ini kusempatkan mampir ke kantornya. Aku ingin menuntaskan rasa penasaranku atas ketakacuhan Bang Iral padaku akhir-akhir ini. Ia tak pernah mau menerima teleponku maupun meneleponku. Ia juga tak membalas SMS-ku maupun mengirim SMS padaku, apalagi mampir ke rumah kantorku. Ada apa dengan Bang Iral?

“Pak Admiral ada, Mbak?” tanyaku kepada resepsionis kantornya.

“Pak Admiral sudah dua hari tak masuk, sakit.”

Aku tersentak. “Sakit apa?”

“Saya kurang tahu.”

“Di rumah sakit atau di rumah?”

“Mungkin di rumah.”

“Oh, ya, sudah. Terima kasih, saya akan menengoknya di rumah kalau begitu.”

Aku segera melarikan mobilku ke rumah kontrakan Bang Iral. Tak lupa sebelumnya aku mampir ke toko buah untuk membawakan buah tangan untuknya. Tiba di sana, langsung kuketuk pintu rumahnya.

Aku terkaget-kaget ketika seorang wanita muda dan cantik membukakan pintu.  Siapakah dia? Kekasihnyakah? Tapi, mengapa baru hari ini aku bertemu dengannya? Mungkinkah karena Bang Iral sakit, wanita ini datang untuk menemaninya?

“Selamat siang, ada Bang Iral?”

“Maaf, Bang Iral sakit dan sedang tidur. Anda siapa?” wanita itu tersenyum, menatapku tajam.

“Saya Elda, temannya. Kalau sedang tidur, saya titip ini saja untuknya. Katakan saja dari Elda, dan sampaikan salam saya, semoga Bang Iral cepat sembuh.”

Ragu-ragu wanita itu menerima keranjang buah yang kuulurkan padanya.

“Permisi, saya langsung pergi. Banyak yang harus saya kunjungi.”

Wanita itu mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

Sesekali kuhapus air mata yang akhirnya menggelinding di pipiku ini, sambil menjalankan mobilku. Ah, betapa menyakitkan bertemu dengan wanita tadi. Pasti dia kekasih Bang Iral. Apa kubilang! Aku mengomeli diriku sendiri. Semestinya kamu tidak jatuh hati padanya, Elda! Kalau sudah begini, kamu mau lari ke mana lagi? Berharap kantor mau membuka cabang di Papua, dan meminta pindah ke sana untuk mencari suasana baru dan berharap bisa melupakan Bang Iral? Forget it! Di sini saja kau belum setahun, dan tugas masih menumpuk! Salahmu sendiri, mengapa menyukai pria itu! Pria yang santun dan baik hati, namun hanya menganggapmu seorang sahabat, tak lebih!

Kubelokkan mobilku menuju Pantai Losari. Entahlah, rasanya aku ingin menenangkan hatiku sesaat, setelah selama ini kuisi setiap hariku untuk bekerja dan hanya untuk bekerja.

Tiba-tiba ponselku berdering. Buru-buru aku meraihnya. Bang Iral! Tapi, aku tak lagi bernafsu untuk menjawabnya. Untuk apa? Dia, toh, sudah milik wanita tadi, wanita yang ada di rumahnya!

Kudiamkan saja ponsel yang berdering hingga meninggalkan missed calls 5 kali dari penelepon yang sama. Bang Iral! Inilah untuk pertama kalinya, kuhabiskan sisa hariku di tepi Pantai Losari hingga matahari ditelan sang samudra di ufuk barat sana. Sendiri, sunyi, sedih!

“Hai, Nauval!” sapaku sore ini, ketika aku tiba di kandang kompleks peternakan Haji Yusuf. “Ayam-ayam saya sehat, ’kan?”

Nauval tersenyum. Pria itu tengah berkeliling menengok ayam di kandang batere. Aku menyusulnya ke sini setelah tadi di halaman parkir diberi tahu pegawainya bahwa ia berada di sini, dan disuruh menyusulnya ke sini.

“Ayam-ayam Dokter Elda?” tanyanya, bingung.

“Maksud saya, ayam-ayam yang memakai program saya.”

“Sehat, Dok! Ayam yang lain juga sehat. Oh, ya, Dokter Elda dapat salam dari Kakek.”

“Oh…  wa’alaikum salam. Kapan Kakek akan pulang ke Makassar?”

Nauval angkat bahu. “Selama beliau betah di sana, ya, akan terus di sana. Kalau sudah bosan, beliau akan pulang ke sini.”

Aku tersenyum. “Tanpa Kakek, saya percaya kamu juga bisa mengelola peternakan ini!” aku menyemangatinya.

“Amin. Dokter Elda mau menengok ayam yang memakai program dari Dokter Elda?”

Aku mengangguk. Kami lalu melangkah bersama menuju kandang lain.

Dibantu Wati, akhirnya pukul 11 malam aku selesai mengisi dua kamar tidur yang masih kosong dengan perabotan sederhana di rumah kontrakan ini. Lemari pakaian, tempat tidur beserta kasur dan bantal-gulingnya yang telah dilengkapi seprai dan sarung bantal guling, serta sebuah meja kerja beserta kursinya lengkap dengan alat tulis kantor seperlunya telah tertata rapi.

Tadi pagi, Pak Jonathan menelepon bahwa besok sore teman-teman yang akan membantu kantor cabang di sini akan datang. Untunglah, akhirnya selepas magrib tadi, toko furniture telah mengirim perabotan yang kupesan, lengkap dengan tukangnya untuk memasang perabotan pesananku.

Setelah semua urusan selesai, aku langsung membersihkan badan, lalu makan malam bersama Wati dan langsung masuk kamar. Kujatuhkan tubuhku di pembaringan, sementara di luar kudengar Wati tengah menonton televisi. Kutatap langit-langit kamar. Dalam kesendirianku seperti ini, tanpa kesibukan lagi, aku merasa sunyi. Aku merasa kosong.

Perlahan air mataku bergulir. Sedih, sungguh sedih hatiku saat ini. Entahlah, aku tak tahu mengapa tiba-tiba perasaanku seperti ini. Mungkinkah aku khawatir dengan kehadiran teman-teman esok? Khawatir jika kesibukanku akan berkurang dengan kehadiran teman-teman, sedangkan aku benci keadaan itu. Karena, tanpa kesibukan seperti saat ini, aku sungguh merasa sunyi!

Kubunuh rasa sunyiku dengan bangkit dari pembaringan. Kuhapus pipiku yang basah, lalu kunyalakan laptop dan duduk di meja kerjaku. Kubuka file laporan pengeluaran keuangan bulanan. Kuraih semua nota pembelanjaan untuk mengisi dua kamar tidur tadi. Kumasukkan satu per satu dalam laporan keuangan.

Tiba-tiba ponselku bergetar di meja. Kulirik sesaat. Bang Iral. Hatiku langsung berdegup. Ya… Bang Iral menghubungiku, setelah selama ini kami lama tak berkomunikasi, apalagi bertemu!

Aku menggigit bibir. Untuk apa lagi dia menghubungiku malam-malam begini? Bukankah dia sudah memiliki pendamping di rumah kontrakannya itu?

Tanpa ragu, kubiarkan ia meninggalkan missed calls lagi di ponselku. Kuteruskan kesibukanku dengan memasukkan bon-bon pembelian perabotan ke dalam laptop. Ponselku kembali bergetar. Kali ini tampaknya sebuah pesan singkat masuk.

Selamat Ulang Tahun, Elda. Semoga selalu sehat, energik, sukses, dan bahagia. Amiin. Salam, Bang Iral.
Aku tersentak. Kutoleh kalender di dinding. Oh, my God! Hari ini aku ulang tahun. Bagaimana mungkin aku lupa?

Perlahan kembali kubaca pesan singkat Bang Iral itu. Tak bisa kupungkiri, aku bahagia. Demi Tuhan, Bang Iral menjadi orang pertama yang ingat dan memberikan selamat akan hari kelahiranku, padahal aku sendiri pun lupa! Perlahan rasa haru membanjir di hatiku atas perhatian kecil dari pria itu. Hmm… andai saja dia belum memilih wanita itu, andai saja dia tahu betapa aku mencintainya, andai saja dia tahu betapa aku teramat sedih dan menangis sendiri di tepi Pantai Losari karena tahu sudah ada wanita lain di rumahnya....

Masih pukul setengah enam pagi di hari ulang tahunku ini, ketika tiba-tiba bel di depan tampaknya dipijit seseorang berkali-kali.

Aku yang telah mandi dan rapi, langsung keluar dari kamar dan membuka pintu.

“Morning, Da!” kulihat Bang Iral, tersenyum di depan pagar.

“Hei!” sambutku, namun tak seceria biasanya, sambil mencabut kunci dari pintu, karena kunci gembok pagar bersatu di gantungan kunci yang sama dengan kunci pintu utama rumah ini.

“Tadi malam aku telepon kau, tapi tak kau jawab. Lalu aku kirim SMS, kau sudah baca?” serbunya.

“Belum,” dustaku. “Maaf, aku capek, jadi semalam tidur cepat!”

Sempat kulihat wajahnya tampak kecewa, tapi aku tak peduli. Aku sibuk membuka gembok pagar.

“Ayo, masuk, Bang!” ajakku, ketika pintu pagar telah kubuka.

“Hei!” dia menepuk pundakku. Tangan kanannya terulur. “Selamat ulang tahun!”

Aku pura-pura kaget. Meski sesungguhnya, pesan singkatnya semalam sudah terlebih dulu membuatku kaget.

“Terima kasih!” aku membalas uluran tangannya, sambil tersenyum. “Terima kasih untuk perhatian Abang.” Perlahan tapi pasti kutarik tanganku dari genggaman tangannya, yang sesungguhnya amat nikmat kurasakan. ”Ayo, masuk, Bang!”

Kutemani Bang Iral duduk di ruang tamu, setelah sebelumnya kutinggalkan sejenak untuk membuatkan secangkir teh manis hangat dan roti dengan selai cokelat untuknya.

Ia langsung menyeruput teh yang kubuat.

“So… how is your business?”

“Lancar-lancar saja.”

“Senang mendengarnya.” Ia menaruh cangkir ke meja. “Kenapa handphone-mu akhir-akhir ini, Da? Aku nggak bisa menghubungi kau atau kau yang nggak mau kuhubungi?”

Lidahku tercekat. “Eh…, yang nggak mau menerima teleponku itu Bang Iral!” protesku kemudian. “SMS pun tak pernah Bang Iral balas.”

“Oh, ya?” Dia tersenyum-senyum, seperti tak berdosa. Lalu mengalihkan pembicaraan. “Kau tempo hari ke rumah, ya? Adela yang bilang padaku, ketika aku sakit. Thanks untuk parsel buahnya, ya, Da.”

Aku hanya mengangguk pelan. Jadi wanita itu bernama Adela!

“Jadi, ada acara apa di hari ulang tahunmu? Mau traktir aku makan di mana, Da?” tembaknya langsung.

“Nggak ada acara apa-apa, Bang. Lagian sekarang ini aku nggak berani lagi ajak makan Abang,” ujarku, bernada ketus.

Bang Iral menatapku dalam. “Memang kenapa?”

Aku terdiam.

“Oh… aku tahu, kau sudah punya hubungan istimewa dengan Nauval, anak Haji Yusuf yang kaya itu, ya? Jadi, kau tak lagi mau jalan dengan aku, karena tak enak padanya, ’kan?”  tembaknya seketika.

Mendadak wajahku terasa menghangat.

“Ah… siapa yang bilang?!” Aku benar-benar emosional kini.

“Aku!”

“Jangan bicara sembarangan, Bang! Maaf, ya… aku nggak ada hubungan istimewa dengan Nauval, juga dengan pria lain!” protesku, berang. “Termasuk Abang!”

Bang Iral ternganga. Aku tak tahu kenapa, barangkali saja ia tak menyangka bahwa aku ternyata sanggup memuntahkan kemarahanku di hadapannya saat ini, ketika apa yang diucapkannya tak berkenan di hatiku.
Kami saling terdiam lama.

“Sudahlah, Bang. Abang kan mau ke kantor, aku pun masih banyak pekerjaan mengepak vaksin untuk kukirim ke peternakan Haji Yusuf dan Cendrawasih Poultryshop,” tegasku kemudian, memecah kesunyian di antara kami. “Terima kasih, Abang ingat hari ulang tahunku.”

Pria yang biasanya tampak bersemangat itu kulihat tercenung sesaat, namun akhirnya dia mengangkat tubuhnya dari kursi dan pergi meninggalkanku, tanpa sepatah kata pun.

Aku berdiri di depan pintu utama rumah kontrakanku ini, menatap mobil Bang Iral yang pergi. Ada rasa sesal, atas apa yang telah kuucapkan tadi. Namun sesungguhnya, demi Tuhan, aku tak bermaksud melukai hati pria itu. Bahkan, sesungguhnya aku masih mencintainya. Aku terharu karena hanya dia, orang pertama yang ingat hari ini hari istimewaku, hanya… aku kecewa karena dia telah menjadi milik Adela. Dan aku tak bisa memungkiri hal itu, sehingga akhirnya mulutku pun meluncur begitu saja mengeluarkan kata-kata yang mungkin menyakitkannya.

Aku benar-benar menyesali perkataanku. Ketika penyesalan ini mencapai titik puncaknya, kuraih ponselku.

“Bang…,” ujarku, ketika kutahu Bang Iral telah menekan tombol bicaranya, menerima panggilanku.
Tak ada sahutan dari Bang Iral di seberang sana, namun aku tahu ia mendengar suaraku tadi. Aku menarik udara panjang dengan mulutku, lalu perlahan kuembuskan juga lewat mulutku.

“Bang, siapa Adela?” Akhirnya aku mengeluarkan pertanyaan yang mengganggu hatiku ini.

“Elda… ada apa kau ini? Apakah sikap Adela, adikku, tempo hari tak sopan kepadamu?” akhirnya kudengar Bang Iral bersuara. “Aku sungguh tak mengerti dengan sikapmu akhir-akhir ini, hingga yang terakhir tadi kau tega mengusirku, padahal aku sengaja datang pagi-pagi ke rumahmu untuk memberi sedikit perhatianku untukmu.”

Aku tercekat. Oh… jadi Adela, wanita itu, adiknya?

“Maafkan aku, Bang. Percayalah, aku tak bermaksud seperti itu,” ujarku buru-buru, dengan perasaan yang teramat menyesal. “Boleh aku ke rumah Abang sekarang?”

“Apa aku pernah melarangmu untuk datang ke rumah?”

Tak kujawab lagi pertanyaan itu.

Seperti orang gila, segera saja aku bawa mobilku ke rumah Bang Iral. Kulupakan sejenak rutinitas tugas kantor yang semula akan kukerjakan pagi ini. Hatiku sunggguh berdebar-debar di sepanjang jalan, apalagi menjelang tiba di rumahnya.

Kuparkir mobilku di pinggir jalan depan rumahnya. Perlahan aku turun. Kuketuk rumah pria yang telah kulukai itu. Semula pintunya tak kunjung dibuka, tapi akhirnya Adela, wanita yang sempat membuatku cemburu, yang ternyata adiknya itu, muncul membukakan pintu untukku.

“Eh, Kak Elda. Masuk, Kak. Tunggu, ya, Bang Iral sedang mandi.”

Perasaanku makin tak keruan menanti Bang Iral seperti ini. Adela yang meninggalkanku tak lama datang lagi dan menaruh dua cangkir air minum di meja.

“Diminum, Kak. Saya tinggal dulu, ya, sedang mencuci di belakang.”

Aku menggigit bibirku. Aku benar-benar tegang saat ini. Barangkali hampir sama tegangnya dengan ketika menghadapi ujian comprehensive menjadi dokter hewan atau wawancara kerja dulu.

“Hai! Sudah lama kau?” tiba-tiba pria yang kutunggu itu muncul menghampiriku dan duduk di sampingku. Senyumnya yang indah, sungguh makin indah karena ia memakai kemeja hem kotak-kotak biru dan hijau bersanding dengan celana jinsnya. “Sorry, jadi harus menunggu lama, ya! Terus terang saja, aku ke rumahmu tadi selesai salat subuh, jadi aku belum mandi. Sengaja ingin buat kejutan untukmu, Da. Sayang, sampai di sana, tak lama diusir pula!”

Aku tertunduk malu.

“Maafkan aku, Bang. Sungguh, aku tak bermaksud seperti itu.”

Bang Iral menatapku lekat.

“Hmm… kenapa kau ini, Da. Kau stres, ya, dengan beban pekerjaan yang menumpuk yang harus kau tangani semuanya sendiri sampai kini?” Bang Iral tampak mengkhawatirkan aku. Kutangkap semua itu dari tatapan matanya padaku.

Tentu saja aku menggeleng.

“Lantas kenapa? Aku merasa kau sedikit aneh akhir-akhir ini. Sikapmu padaku juga tak seperti dulu lagi.”
Aku menggigit bibirku.

“Ada apa, sih, kau, Da?” tanyanya, menyelidik.

Aku terdiam.

“Aku mencintai Abang!” akhirnya kata-kata itu meluncur dari mulutku. “Dan aku kecewa, ketika aku ke sini mau menengok Abang, ada wanita di rumah ini. Kukira dia kekasih Abang.”

“What? Adela? Dia adikku dari Medan, Da!” Bang Iral mengacak-acak rambutku.

Aku tersenyum.

“Da… Da…, asal kau tahu, kau kira hanya kau yang kecewa? Aku pun selama ini frustrasi, karena kukira kau berpacaran sama si Nauval, anak kemarin sore, cucu Haji Yusuf yang kaya raya itu!”

“Sungguh?”

Bang Iral mengangguk.

“Aku lebih dulu mencintaimu, Da. Bahkan sebelum kau…,” Bang Iral tampak ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

“Sebelum aku apa?” tanyaku, penasaran.

“Ah, aku sudah janji tak akan mengungkitnya lagi, karena kau akan muak mendengarnya, dan kau tak mau berkawan denganku lagi, jika aku mengatakannya.”

Aku mengerutkan keningku. Perlahan, aku mulai mengerti maksudnya. Hatiku bahagia seketika.

“Sudahlah, itu tak penting!” tegasnya kemudian. “Yang jelas, aku lebih dulu mencintaimu, sebelum kau jatuh cinta padaku.”

Aku tersenyum.

“Oh, ya, tadi sebetulnya aku mau memberi sesuatu untuk kau, tapi berhubung aku menjadi orang yang terusir, jadi tak sempatlah kuberikan sesuatu itu!” Bang Iral bangkit dari duduknya dan masuk ke dalam.
Tak lama ia kembali duduk di sampingku.

“Ini khusus kubeli untuk kau, hadiah dariku di hari ulang tahun, di tanah Sulawesi ini! Bukalah….”

Bang Iral tersenyum memberikan sebuah kotak padaku. Tanganku bergetar menerima kado kotak kecil dari Bang Iral itu. Terlebih ketika kubuka, dan kulihat di dalamnya. Sebuah cincin bilah rotan emas!

“Menikahlah secepatnya denganku, Elda! Karena di hatimulah, hatiku yang lelah ini, telah lama ingin berlabuh!”

No comments: