12.22.2010

Pegasus dan Gadis Suci

Rena dan Seren. Yang satu penulis, satunya lagi pelukis. Adakah mereka memiliki keterikatan yang sama?

Gadis Suci
Seekor kuda putih meringkik. Di bawah kedua kaki belakangnya tampak buih-buih air laut. Senja yang berwarna merah menaburkan kilau jingga di hamparan air laut. Kuda putih itu menegakkan tubuhnya menuju angkasa. Tapi, kuda itu bukanlah ‘kuda’. Ia memiliki sebuah tanduk perak di kepalanya. Seekor unicorn! Seekor unicorn dalam temaram senja yang diabadikan dalam lukisan.

Indah, fantastis, dan... aneh. Itulah perasaan yang menyelinap ke dalam hati Rena ketika ia terpaku melihatnya. Keseluruhan lukisan berukuran 128 x 85 cm (demikianlah yang tertera di catatan di bawah lukisan tersebut) itu menakjubkan! Namun, Rena merasa ada sesuatu yang tidak sesuai. Bukankah unicorn biasanya diasosiasikan dengan keheningan malam di hutan terlarang, bersama dengan aroma hutan dan kilau perak rembulan?

Rena bergerak lebih dekat ke lukisan tersebut. Rasa ketertarikannya membuatnya bingung. Ada sesuatu yang membuatnya tersihir dan menariknya, seakan-akan lukisan itu memiliki daya hipnotis terhadap dirinya. Ia tidak pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya. Sesuatu yang tidak ia ketahui memerangkapnya dalam rasa ingin tahu!

“Luar biasa! Indah sekali!”

Lamunan Rena terputus oleh komentar Tania, editornya, yang berdiri di sampingnya dengan roman wajah penuh kekaguman.

“Kau lihat? Kita memang tidak salah telah datang kemari. Pria itu tahu persis bagaimana memunculkan khayalan dari alam pikir kita. Kesan yang ditimbulkannya benar-benar hebat. Ilustrasinya akan sangat membantu buku puisimu!”

Rena hanya termangu. Lama kemudian ia berkata pelan, “Ya, tapi entahlah. Lukisan ini terasa... aneh. Auranya berbeda....”

“Tentu saja!” sahut Tania, antusias. “Lukisan ini terasa lebih indah dan kesan yang ditinggalkannya lebih...,” Tania tampak berpikir sejenak untuk menemukan istilah yang cocok, “mendalam. Ya, benar, lebih mendalam dan fantastis! Ternyata dia benar-benar bisa melukis, si James ini!”

“Bukan itu maksudku,” kata Rena pelan, setengah merenung. “Lukisan ini memancarkan aura yang berbeda dibandingkan lukisan-lukisan lainnya,” lanjutnya. “Kau tahu, perasaan seakan-akan pelukisnya berbeda.” Lalu Rena mengalihkan pandangannya. Unicorn di Suatu Senja. “Namanya saja aneh!”

Tania lalu menghadap Rena sambil menatapnya tajam. “Kau bicara seolah-olah kau ini kritikus seni ternama saja! Kritikanmu terdengar tajam. Memangnya kau tahu apa soal lukisan?”

Rena mengerutkan keningnya tanda tidak senang. “Begini-begini, aku juga seorang seniman, Nona! Aku bisa merasakan hal-hal yang berbau art!”

“Ya, art, bukan... aura! Kita datang bukan untuk mempermasalahkan lukisan yang terasa berbeda, seperti yang kaukatakan tadi, tapi untuk menemui pelukisnya yang bernama James. Dan ingat,” Tania mengacungkan jari telunjuknya dengan sikap agak mengancam, “kita ingin membuat kontrak dengannya supaya ia mau mengisi beberapa halaman buku puisimu, bahkan cover-nya, dengan beberapa lembar ilustrasinya, bukan mengkritik ataupun mencari-cari kelemahan. Mengerti?”

Rena mencibir, tanda tidak suka. Ia benci sekali kalau Tania berbicara kepadanya dengan nada penuh perintah seperti itu, seakan-akan ia karyawati magang yang harus menjaga sikap di depan klien atasannya.

“Nah, itu orangnya datang!” bisik Tania, sambil menarik lengan Rena.

Seorang pria berperawakan langsing ‘melenggang’ menuju ke arah mereka. Ia mengenakan setelan jas dan kemeja berwarna pastel. Wajahnya bersih dan jauh dari kesan macho, bahkan hampir terlalu manis.

“Hai, Tania,” sapa pria itu, sambil menepuk lembut lengan atas Tania. Suaranya bahkan sangat halus untuk ukuran pria. Dengan sekali melihat, Rena langsung menduga pria itu gay.

“James, ini Serena. Rena, ini James,” Tania memperkenalkan Rena dengan antusias. “Pameranmu luar biasa! Lukisan-lukisanmu begitu indah. Aku bahkan bisa merasakan auranya.”

James tertawa, terdengar ‘halus’. Rena melirik Tania, gemas. Pintar sekali ia bicara! “Kami datang untuk memperlihatkan draft buku puisi Rena yang akan segera terbit. Hmm, apakah kita dapat berbicara... privately? Ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan mengenai tawaran yang kubicarakan dua hari yang lalu,” sambungnya, ke pokok persoalan.

James mengangguk sambil mempersilakan mereka mengikutinya. Rena melangkah dengan enggan, sampai akhirnya ia menyadari bahwa pikirannya masih tertuju pada lukisan itu.

“Sebentar! Aku ingin... membeli lukisan ini.”

Kata-kata itu terucap begitu saja. Rena sendiri merasa kaget, tapi segera disadarinya, keinginan untuk memiliki lukisan itu telah menyergapnya secara misterius sejak pertama kali ia melihatnya.

James dan Tania berhenti, dan berbalik. Tania menatapnya dengan sorot mata heran. Rena balas menatap mereka dengan serius. Telunjuknya mengarah pada lukisan Unicorn di Suatu Senja.

“Aku ingin membeli lukisan ini,” ulangnya, mantap. “Bisa kita bicarakan ini terlebih dahulu?”

Rena dan Tania meninggalkan pameran lukisan James satu jam kemudian. Lukisan Unicorn di Suatu Senja ternyata dihadiahkan begitu saja oleh James. Mula-mula Rena bersikeras menolak, tapi sepertinya James tidak merasa berat melepaskan lukisan itu secara cuma-cuma. Lagi-lagi suatu hal yang tidak biasa. Ia hanya berkata, “Ah, ini hanya sebuah lukisan. Jika aku mau, kenapa tidak bisa kuberikan saja? Itu hakku, bukan? Ambillah, anggap ini hadiah dariku.”

Akhirnya Rena menerimanya juga, walaupun dengan rasa sungkan mendalam. Kontrak yang mereka ajukan tidak mengalami masalah berarti. James setuju untuk mengisi tiga halaman buku puisi Rena dengan ilustrasinya, bahkan membuat latar sampulnya. Tania tampak bersemangat, sedangkan Rena merasa perasaannya sangat tidak keruan. Sungkan dan senang bercampur aduk menjadi satu.

Kini, di dalam kamar tidurnya yang sekaligus merangkap kamar kerjanya, Rena menatap lukisan yang tergantung di hadapannya. Ketertarikan yang terus- menerus menderanya masih tertinggal. Ia dihinggapi rasa penasaran. Apa, sih, sebenarnya yang tersembunyi di dalam lukisan ini?

“Lukisannya bagus, Non. Beli baru, ya?” Mbok Inah masuk ke kamarnya sambil tersenyum. Rena pun menoleh.

“Dihadiahin, kok, Mbok, sama yang melukis.”

“Wah, untung bener, Non! Baik sekali pelukisnya! Laki-laki atau perempuan?” tanyanya, bersemangat.

“Laki-laki, tapi... bukan laki-laki sejati,” sahutnya, tersenyum geli ketika melihat ekspresi wajah Mbok Inah yang kebingungan mendengar penjelasannya. “Ah, sudahlah, Mbok. Kita makan saja sekarang,” kata Rena, sambil menggiring Mbok Inah ke luar kamar.

Sudah hampir tiga tahun Rena tinggal berdua saja bersama Mbok Inah di Jakarta. Orang tuanya pindah ke Bali, sedangkan kedua adik laki-lakinya menetap di kota lain. Satu di Medan, satu lagi di Surabaya. Ia memilih tinggal di Jakarta tak lain karena alasan profesi. Ia adalah seorang dosen, sekaligus penulis yang sedang meniti karier.

Rena bekerja sebagai dosen paruh waktu di beberapa universitas swasta di Jakarta selama tiga tahun terakhir. Ia mengajar prosa bagi mahasiswa tingkat tiga di Jurusan Sastra Inggris. Selain mengajar, Rena juga menulis. Rena mulai menulis sejak ia hampir merampungkan kuliahnya di Jurusan Sastra Inggris UI, lima tahun yang lalu.

Awalnya ia banyak menulis cerpen dan cerber untuk dikirim ke media cetak, seperti majalah maupun surat kabar. Tema yang ditulisnya tidak terlalu berat dan tidak pernah menghebohkan. Lalu ia mulai menulis puisi dan novel untuk diterbitkan. Ia dikenalkan oleh seorang dosennya kepada Tania, seorang editor di salah satu penerbit di Jakarta. Lewat perkenalan itu, ia mulai aktif mengeluarkan novel dan buku kumpulan puisinya. Perlahan-lahan ia mulai dikenal dan karya-karyanya mulai dibicarakan.

Sejak serius menjalani profesinya sebagai penulis, Rena mulai menampakkan satu ciri tersendiri. Karya-karyanya, baik novel maupun buku kumpulan puisinya, menonjolkan kesederhanaan, dan sering berkisar mengenai pencarian makna hidup, serta rasa sepi yang menggigit.

Rasa sepi. Entah sejak kapan Rena mulai menyadari bahwa ia sendirian dan kesepian. Ia jauh dari orang tua dan saudara-saudaranya. Ia tidak mempunyai banyak teman. Ia tidak punya pacar. Ia hanya ditemani oleh seorang wanita paruh baya yang sederhana. Ia selalu sendirian.

Kadang-kadang Rena merasa ia menganalisis kehidupannya terlalu jauh. Kadang-kadang ia bertanya, apa makna hidupnya yang kental oleh rasa sepi itu. Tapi, apa pun yang ia coba sebagai jawabannya, sepertinya tidak dapat mengobati kekosongan dalam jiwanya.

Hidupnya hanya rutinitas yang berputar dari satu kegiatan ke kegiatan lain, yang dijalaninya tanpa banyak ragam. Hidupnya mengalir tenang tanpa riak-riak kecil yang memberi kejutan menyenangkan. Pernah ia berpikir, seandainya ia dapat menjalani kehidupan berbeda, akankah seluruh hidupnya menjadi lebih penuh warna dan bergairah?

Pegasus
Gadis itu menggerakkan tangannya ‘menyapu’ kanvas. Sesekali ia mencelupkan kuasnya ke dalam campuran warna. Keseriusan membayang di wajahnya. Sesekali pula ia menggigit bibir bawahnya tanpa sadar — berhenti sejenak mengamati hasil karyanya, lalu mulai sibuk melukis lagi.

Ketukan pintu di belakangnya terdengar bagai alunan musik di kepalanya. Gadis itu mengira ketukan berirama itu adalah suara degup jantungnya yang bercampur gairah, yang dirangsang adrenalin di dalam tubuhnya, lalu mengirim stimulus-stimulus penuh semangat dan inspirasi ke otaknya. Ketika ketukan itu tidak juga berakhir, gadis itu mulai menyadari lingkungan sekitarnya. Ada orang yang sedang mengetuk pintu studionya! Ia pun menoleh.

Seorang wanita berusia tiga puluhan berdiri di samping pintunya sambil tersenyum. Bibir gadis itu, Seren, langsung merekah.

Mbak Nina! Ayo, masuklah,” katanya. Wanita itu melangkah masuk sambil menebarkan pandangan ke seluruh ruangan.

Ruangan studio itu berukuran 4 x 6 m. Tampak lukisan-lukisan cat minyak memenuhi ruangan. Dari sekian banyak lukisan, ada yang sudah selesai dilukis, ada juga yang belum. Tampaknya Seren tidak berencana menyelesaikan lukisannya yang belum rampung, karena seperti yang selalu dikatakannya, inspirasinya telah melayang entah ke mana, dan tidak mungkin dicari lagi. Karena itulah, keadaan studio ini benar-benar amburadul! Lukisan-lukisan saling tumpang tindih tidak keruan.

“Mbak mengganggumu?”

Seren bangkit dari duduknya dan membersihkan kedua tangannya yang berlepotan cat. Ia hanya tertawa menanggapi ucapan Mbak Nina.

“Nggak, kok. Momen pentingku sudah lewat. Kalau saja Mbak datang lebih awal, itu lain cerita,” sahutnya, ringan.

“Sudah siap untuk pameran kedua? Berapa yang telah kau selesaikan?” tanya Mbak Nina lagi. Matanya sulit membedakan lukisan mana saja yang sudah selesai, karena lukisan yang ada benar-benar campur aduk satu sama lain.

“Ya, cukup banyak, sekitar dua puluh empat lukisan. Eh, dua puluh lima dengan yang itu!” katanya, menunjuk lukisan yang masih dikerjakannya. “Inilah hasil kerjaku selama tiga tahun lebih.” Wajah Seren menyiratkan keseriusan yang diliputi rasa tidak puas. “Tapi, entahlah! Aku merasa ada yang kurang....”

“Jangan cemas. Kau masih punya waktu enam bulan. Dua puluh lima lukisan sudah bagus,” kata Mbak Nina. “Kau pasti mampu, kau tahu? Kau pelukis andal, Seren!”

Seren tersenyum. Matanya berseri-seri seperti anak kecil. “Aku tahu. Ayo, bantu aku berbenah!”

Mereka kemudian sibuk membereskan lukisan-lukisan yang berserakan. Keseluruhan lukisan yang siap dipamerkan itu menggambarkan makhluk-makhluk khayalan yang sering diceritakan dalam mitos dan dongeng, sesuai dengan tema pameran, In the Name of Myth.

Ada lukisan Medusa, wanita dengan rambut ular, yang konon ‘membatu’ terkena sihirnya sendiri. Ada lukisan centaurus— manusia setengah kuda, yang memegang panah mengarah ke arah rembulan. Lalu ada juga lukisan burung phoenix — burung api, dan seorang gadis kesatria yang sedang menghunus pedang, dilatari kobaran api suci yang meliuk bagai tarian selendang sutra berwarna merah dan jingga.

Mbak Nina tidak henti-hentinya berdecak kagum melihat cara Seren memainkan warna, gelap dan terang, dalam lukisan-lukisannya. Seren mampu memvisualisasikan gambaran imajinasi yang ada di alam pikirannya sehingga tampak hidup. Dari setiap lukisannya, Mbak Nina dapat menangkap emosi yang tersalurkan lewat raut wajah, mimik, dan suasana yang dilukiskan.

Seperti lukisan Centaurus Memanah itu, Mbak Nina menangkap kesan gelap dan suram. Ada rasa getir yang menyergap ketika melihat lukisan yang berlatarkan keremangan malam yang sunyi dan dingin itu. Ada sesuatu di dalam diri centaurus itu yang sangat pekat dengan kewaspadaan. Ia mengarahkan panahnya ke rembulan, seolah-olah sedang menanti sesuatu yang datang dari langit, sesuatu yang harus dibinasakan dengan panahnya!

Centaurus dalam mitos Yunani adalah makhluk setengah kuda, setengah manusia, yang diyakini mewarisi segala sifat baik dari manusia dan kuda. Walaupun diterima dalam lingkungan manusia, mereka sering direndahkan karena penampilan fisik mereka yang setengah hewan. Karena itulah, mereka selalu menyendiri dan hidup dalam kelompoknya, serta menjauh dari manusia.

Lalu, pikir Mbak Nina, begitukah perasaan makhluk yang berbeda dari lainnya, yang tidak tahu di manakah ia seharusnya berada, hewan atau manusia, yang harus tetap waspada setiap saat terhadap apa yang mungkin Dewa Langit limpahkan kepadanya?

Benar-benar kesan yang amat menyentuh sekaligus menyedihkan! Tapi, itulah keahlian Seren yang tidak tampak dari penampilan luarnya. Seren yang selalu bertingkah laku ceria, bahkan naif, kadangkala mirip anak kecil yang tidak peduli pada dunia nyata yang kejam. Siapa sangka ia begitu peka, sehingga ia mampu melukiskan sesuatu yang memberi kesan begitu mendalam?

Adakalanya Mbak Nina merasa tidak benar-benar mengenal Seren. Padahal, mereka telah menjadi rekan yang saling memahami selama enam tahun terakhir ini. Ya, bila harus mendeskripsikan seorang Seren, maka ia akan terbentur pada kepribadiannya yang unik. Bagaikan terdiri dari beragam mosaik yang tertata indah. Seren adalah gadis yang tidak hanya memiliki satu ciri khas semata, namun bermacam-macam sifat, yang akhirnya lengkap membentuk pribadinya yang tidak biasa!

Mbak Nina menjadi agen komersial Seren enam tahun lalu, ketika Seren memutuskan mengikuti jejak ayahnya sebagai pelukis. Bakat seni yang dimiliki Seren dan dukungan untuknya tidak kalah banyak. Ayah Seren adalah pelukis yang namanya sudah dikenal sejak tiga puluh tahun lalu. Lukisan-lukisannya kerap mendapat pujian dari kritikus seni.

Ketika Seren yang menyelesaikan sekolahnya di luar negeri, khususnya di bidang seni rupa, memutuskan mengambil jalan yang sama dengan ayahnya, banyak orang tidak merasa terkejut. Pameran pertama yang diadakan empat tahun lalu, ketika ia baru berusia dua puluh empat tahun, mendapat sambutan hangat. Dan, tentu saja pujian. Ia disebut-sebut sebagai pelukis wanita muda berbakat. Kini, Seren sedang dalam proses merampungkan lukisan-lukisannya untuk pamerannya yang kedua, enam bulan lagi.

“Ada yang ingin kuperkenalkan padamu, Seren,” kata Mbak Nina, ketika mereka duduk di teras belakang rumah sehabis membereskan studio. Mereka duduk santai sambil menikmati sepiring kue pisang dan teh panas.

“Siapa?”

“Sponsor utama untuk pameranmu. Sebenarnya aku sudah ingin memperkenalkan kalian berdua jauh-jauh hari, tapi dia sangat sibuk, dan kau juga tak kalah sibuk,” sahut Mbak Nina.

“Si pemilik galeri itu?” tanya Seren, tak acuh.

“Benar. Namanya Jonathan. Aku sudah membuatkan janji makan siang dengannya besok.”

Seren mengerutkan dahinya. “Aku dengar dari Papa, orangnya kaku!”

Mbak Nina tertawa. “Jangan begitu, ah. Ini penting, lho, agar pameranmu berjalan lancar. Aku juga ikut serta. Tapi, papamu benar, Seren,” katanya dengan nada geli. “Orangnya agak kaku dan bicaranya to-the-point, sama sekali tidak ada basa-basi. Tapi, bagaimanapun, kau harus bertemu dengannya!”

Seren hanya memasukkan sepotong kue pisang ke mulutnya dengan muka masam sebagai tanggapan.

Ucapan ‘selamat datang’ dari pelayan resto-kafe menyapa telinga mereka ketika Mbak Nina dan Seren masuk. Mbak Nina memberi tahu pelayan itu bahwa mereka telah memesan tempat untuk tiga orang. Si pelayan menganggukkan kepalanya. “Bapak Jonathan sudah menunggu. Mari, silakan ikut saya....”

Selintas perasaan tidak enak menyusup ke dalam hati Seren. Pria yang datang lebih awal sebelum waktu perjanjian, benar-benar membuatnya gugup. Memang, Mbak Nina sudah wanti-wanti agar ia jangan terlambat. Tapi, bukankah ini masih agak terlalu cepat? Ia melirik jam tangannya sekilas. Uff, seharusnya janji makan siang mereka masih sepuluh menit lagi! Orang ini membuatku keder saja, pikir Seren, senewen.

Mereka mengikuti pelayan itu. Seren melihat seorang pria langsung bangkit dari kursinya ketika melihat mereka. Jadi, inilah si pemilik galeri itu, sponsor utamaku... si kaku itu! Si pelayan lalu mempersilakan mereka untuk duduk. Setelah selesai menulis order, pelayan itu meninggalkan mereka.

“Ini Serena. Serena, ini Jonathan.”

Jonathan hanya tersenyum tipis, membuat Seren senewen. Oh, Tuhan, kenapa aku harus berurusan dengan orang seperti ini?

Berkacamata, berperawakan tinggi, tubuh pria itu kelihatan sedang-sedang saja. Pakaiannya rapi dengan setelan jas, kemeja, dan dasi yang membelit lehernya. Umurnya sekitar tiga puluhan (ini ia dengar dari Papa!), wajah Jonathan tidak jelek, pun tidak tampan sekali. Yang jelas, ia kaku! Seren terus menilai pria itu, sementara Mbak Nina sibuk menjelaskan beberapa hal kepadanya.

“Sebaiknya, masalah teknisnya juga dibicarakan dengan Seren. Dia perlu tahu, siapa-siapa saja yang diundang, siapa panitianya, dan bagaimana dekorasinya. Aku rasa, Seren berhak ikut terlibat....”

Ponsel Mbak Nina tiba-tiba berdering. Seren berpaling ke arah Mbak Nina. Matanya menyiratkan kekhawatiran. Jangan katakan Mbak ada urusan lain. Jangan biarkan kami berdua saja. Begitulah kira-kira isyaratnya.

Walaupun Mbak Nina menangkap sinyal S.O.S itu, ia tetap menjawab panggilan ponselnya. Ia bangkit dari kursinya sambil berkata, “Permisi,” lalu meninggalkan Seren dan Jonathan berdua. Seren tersenyum terpaksa pada Jonathan yang lagi-lagi membalasnya dengan senyum tipis. Setelah itu... hening.

“Sorry, sepertinya aku harus pergi,” kata Mbak Nina setelah kembali ke kursinya. Matanya menangkap kilasan rasa tak percaya di raut wajah Seren. “Ada sesuatu yang penting yang harus kuurus. Kalian berdua bisa melanjutkan pembicaraan tanpa diriku, bukan? Oke, Seren, aku pergi dulu. Kalau kau perlu jemputan, telepon saja aku. Nah, aku pamit dulu, Jon.” Setelah itu, ia pergi.

Seren menghela napas panjang. Ia tersenyum kikuk pada Jonathan dan berkata, “Hmm, aku mesti memanggilmu apa?”

Pria itu mengangkat kedua alisnya. “Orang-orang memanggilku Jon, atau Jo.”

“Jo. Oke, jadi bagaimana persiapan pameran lukisanku? Aku sudah mendengar apa yang dikatakan Mbak Nina. Jadi, aku perlu tahu mengenai....”

“Sebenarnya itu tidak perlu. Anda hanya diminta menyelesaikan lukisan, sedangkan kami yang akan mengurus masalah teknisnya,” potong Jonathan dengan nada formal. “Saya sudah pernah mengatakan hal ini kepada Nina, tapi sepertinya ia bersikeras supaya Anda dilibatkan. Saya yakin Anda tidak pernah melibatkan diri sebelumnya, jadi buat apa repot-repot kali ini?”

Seren membesarkan kedua matanya. Buat apa repot-repot terlibat? Pertanyaan itu seakan menohok dirinya. Apakah ia membiarkan orang lain mengurus pamerannya, sementara dirinya tidak tahu-menahu sama sekali?

“Ini pameran kedua saya,” Seren memberi tekanan pada kata ‘saya’, sekadar membalas kesan formal yang ditimbulkan pria yang bernama Jonathan itu. “Tentu saja saya berhak ikut terlibat! Kalaupun saya tidak terlibat sebelumnya, itu bukan karena saya tidak mau, tapi karena itu adalah pameran perdana saya.”

“Kali ini, saya ingin mengetahui masalah teknisnya dengan lebih baik. Saya yang melukis, jadi saya yang tahu persis, bagaimana dan apa yang ditampilkan oleh lukisan-lukisan saya! Jika ada orang bodoh menugaskan orang-orang yang tidak becus untuk mendekorasi ruangan pameran saya, saya rasa... saya berhak untuk merasa keberatan,” kata Seren dengan nada tegas, sehingga membuat Jonathan menunjukkan raut muka tidak senang.

“Jadi,” lanjut Seren tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membuka mulut, “saya tidak ingin menjadi orang yang tidak tahu apa-apa tentang pameran saya sendiri. Saya rasa, Anda sebagai sponsor juga paham mengenai masalah ini. Kesuksesan pameran ini akan sangat baik pengaruhnya untuk Anda, dan kesuksesan ini juga sangat tergantung pada saya, bukan?”

Pria itu, Jonathan, mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Ia bahkan tidak berusaha menyembunyikan perasaan kesalnya. Seren menatapnya sambil tersenyum manis. Walaupun kata-katanya halus, ia telah menyampaikan maksudnya dengan jelas. Mereka berdiam diri beberapa saat.

“Baiklah kalau begitu, Nona Serena. Saya tunggu Anda di kantor saya besok pagi. Kita akan membicarakan dekorasinya. Saya akan memperkenalkan para panitianya. Saya rasa cukup sekian bincang-bincang kita siang ini,” kata Jonathan. Kemudian ia bangkit. Dan, membungkuk sedikit ketika kembali berkata, “Saya harap, Anda tidak terlambat datang.”

Seren tidak sempat mengucapkan apa pun ketika Jonathan berjalan pergi. Perlahan, ia memukul dahinya. Great! Tampaknya ia mengawali kerja sama yang tak terlalu mulus dengan pria bernama Jonathan itu!

Gadis Suci
“Prosa selalu dilihat sebagai hasil karya seni yang melibatkan emosi belaka. Para ilmuwan tidak pernah benar-benar menganggap sebuah karya seni sebagai karya sesungguhnya. Mereka lebih terpaku pada hal-hal saintifik yang bisa dijelaskan melalui rumus-rumus dan kepastian angka-angka.“

“Memang tidak bisa disangkal kalau prosa tidak dapat didefinisikan dalam angka maupun rumus. Prosa merupakan bentuk yang dimunculkan oleh seorang pengarang yang telah melakukan observasi dan penelitian, sama halnya dengan seorang ilmuwan!” Rena menatap kelima puluh enam mahasiswanya yang duduk tenang mendengarkan kuliah pertamanya mengenai prosa.

“Terkadang seni hanya dipandang sebelah mata. Banyak orang tidak benar-benar menghargai seni sebagai bentuk ilmiah, sebagaimana mereka menghargai bidang fisika, kimia, atau matematika. Mereka memandangnya sebagai bentuk hiburan belaka. Nah, apakah ada yang mampu memberikan alasan yang cukup kuat apabila ada seseorang mengatakan bahwa seni lebih rendah derajatnya daripada ilmu pasti?”

Rena berjalan ke kiri dan ke kanan untuk membiarkan kata-katanya meresap dan menunggu respons dari mahasiswanya. Bisik-bisik terdengar, tapi belum ada seorang pun yang berani angkat bicara.

“Kalian yang mengambil jurusan seni sastra, pasti memiliki alasan kuat mendengarkan kuliah ini. Nah, apakah ada yang menyesali pilihannya untuk kuliah di bidang sastra?”

Bisik-bisik makin keras terdengar.

“Saya ingin mendengar pendapat kalian,” Rena berhenti tepat di tengah. “Apakah ada yang menyesali pilihannya untuk duduk di sini?”

“Bukan menyesali, Bu! Cuma, ya, rasanya tidak sebangga mereka memilih kuliah di bidang ilmiah!” seseorang dari barisan belakang, membuat Rena tersenyum.

“Hei, jadi, kau merasa malu?”

Suitan mulai terdengar di sana-sini, menanggapi pertanyaan Rena.

“Katanya, sih, masa depan mereka lebih terjamin!” mahasiswa lain mulai berani bersuara, membuat kelas bertambah riuh.

“Kalau begitu, apakah kalian mengambil jurusan ini hanya untuk sekadar dibilang kuliah?” Tentu saja anggapan yang disodorkan Rena itu ditolak mentah-mentah oleh mahasiswanya. “Oke, jika kalian benar-benar mantap mengambil jurusan ini, apakah ada di antara kalian yang bisa membentengi diri dari anggapan yang memandang sebelah mata terhadap pilihan kalian, seni sastra?”

Seorang mahasiswa dari barisan tengah mengacungkan tangannya.

“Mereka tidak bisa membanding-bandingkan seni dan sains, seperti halnya membandingkan dua buah jeruk. Kedua hal ini jelas berbeda, seperti air dan minyak.”

Rena menatapnya serius.

“Hmm, menarik. Ayo, coba teruskan!”

Mahasiswa itu melanjutkan, “Anton Chekov, seorang sastrawan Rusia mengatakan, ‘Seorang pengarang haruslah seobjektif ilmuwan kimia.’ Nah, dari situlah kita melihat bahwa seni dan sains sebenarnya saling bersisian.”

“Seni merupakan salah satu aspek dalam kehidupan manusia yang memiliki keindahan dan kerumitan berbeda bila dibandingkan dengan sains. Seni adalah bentuk interpretasi dari apa yang terjadi di dalam masyarakat. Seperti yang Ibu katakan, seorang pengarang harus melakukan observasi untuk menulis. Sedangkan sains, dalam aspeknya sangat berbeda dari seni. Mungkin karena sains memegang banyak peranan dalam kehidupan manusia, sehingga sains memperoleh prestige lebih. Dan, seni hanya selalu dianggap hiburan.”

“Jadi, menurut saya,” sambung mahasiswa itu, “tidak betul bila harus membandingkan keduanya seperti membandingkan dua buah jeruk. Mereka memiliki bentuk dan media masing-masing. Nah, apakah bisa membanding-bandingkan kelebihan seorang pengarang dengan seorang profesor kimia? Tentu saja tidak, wong, bidangnya saja lain!”

Rena memandang mahasiswa itu dengan takjub. “Jawaban yang sangat bagus, bahkan perfect! Siapa namamu?”

Wajah mahasiswa itu tampak senang dengan pujian yang dilontarkan Rena. Dengan suara dalam dan penuh percaya diri, ia pun memberitahukan namanya, “Jonathan. Nama saya, Jonathan.”

Ketika Seren terlibat konflik dengan Jonathan sehingga ia menampar pria itu, Rena malah sedang jatuh cinta pada seorang mahasiswanya.

Rena mengendarai mobilnya dengan gembira. Kelasnya hari itu benar-benar menyenangkan. Setelah Jonathan mengutarakan pendapatnya, kelasnya berubah ‘hidup’ menjadi kelas diskusi. Para mahasiswa berlomba memberikan opininya mengenai prosa. Rena senang hari perkenalannya berjalan baik. Sebagai dosen, ia memang menginginkan mahasiswanya ikut aktif ketika ia memberikan kuliah.

Rena menghentikan mobilnya ketika lampu berubah merah. Pada saat itu ponselnya berdering. Telepon dari editornya, Tania. Ia meminta Rena untuk mampir di kantor penerbit. Ilustrasi bukunya sudah selesai. “Oke, aku segera tiba. James masih di sana?” Lampu berubah hijau, Rena melajukan mobilnya.

Setibanya di kantor, Rena disambut oleh suara Tania yang sangat bersemangat. “Rena, cepat! Kau harus melihat ilustrasi yang dibuat James. Bagus sekali hasilnya!” katanya, sambil menarik Rena.

James sedang berdiri menunggu dengan senyum di bibirnya. “Halo,” sapanya, masih dengan gayanya yang halus seperti tempo hari. Rena membalas dengan sama halusnya.

“Lihat!” Tania membentangkan keempat ilustrasi yang dibuat James. Dan, Rena terpaku seketika. Ilustrasi yang dilukis James benar-benar indah! Ia betul-betul mampu menyampaikan pesan yang dituangkan Rena dalam puisi-puisinya.

Sebelumnya, mereka telah mendiskusikan puisi-puisi apa saja yang akan digambar ilustrasinya selain sampul buku puisinya. Mereka sepakat untuk membuatkan ilustrasi untuk Sick of Seeking, Apakah Aku...? dan Pena tanpa Kertas. Ketiga puisi tersebut menampilkan kesepian seorang manusia di dunia yang begitu luas, seorang manusia yang merasa begitu kecil, dan tak berarti. Perjalanan hidup tanpa makna yang lelah mencari.

Rena mengangkat matanya. Ia menatap James tanpa kedip. Mereka bertatapan selama beberapa detik. Saat itu juga, Rena merasa James mampu melihat ke dalam jiwanya yang sepi dan kosong. Yang Rena lihat bukan lagi pelukis gay yang berbicara dengan suara halus, melainkan seseorang yang mampu memahami dan mendalami bentuk-bentuk jiwa dan kepedihannya. Jika tidak, James tak mungkin mampu melukiskan keseluruhan makna puisinya dengan begitu tepat!

“Bagaimana?” tanya James memecah suasana mistis yang melingkupi mereka. Rena berdehem sejenak dan melihat kembali ilustrasi di hadapannya. “Aku...,” ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Ini luar biasa! Kau benar-benar hebat! Aku hanya tidak mengira kau bisa…,” Rena terdiam, “menggambarkan apa yang ada di dalam kepalaku.”

James tertawa halus. “Aku membaca puisimu berulang-ulang, a thousand times, Rena, sampai aku seakan-akan dirasuki oleh gambaran yang kau lukiskan. Begitu transparan.”

Rena menelan ludah dan kehilangan kata-kata.

“Aku secara pribadi sangat berterima kasih, James. Apalagi untuk lukisan Unicorn di Suatu Senja-nya yang luar biasa! ” kata Rena kemudian.

Senyum James yang menghias bibirnya menghilang. “Jangan begitu sungkan. Hanya saja, lukisan itu...,” kata-kata James terputus. Sinar keraguan tampak di matanya.

Rena mengerutkan keningnya. “Ada apa?”

“Tidak, tidak apa-apa.” James menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lupakan saja.”

Rena termangu. Aneh sekali, tapi ia juga tidak bertanya lebih jauh.

Pegasus
Seren masuk ke dalam ruangan yang cukup besar. Sesuai janjinya, ia datang menemui Jonathan di kantornya. Beberapa lukisan surealis tampak menghiasi dinding ruang kerja Jonathan. Melihat keindahan di depan matanya, Seren tidak dapat menahan diri untuk berdecak kagum.

“Sudah siap untuk melihat-lihat, Nona Serena?”

Seren merasa canggung mendengar sapaan ‘Nona’. “Serena, atau Seren saja, Jo. Kau tidak keberatan aku memanggilmu Jo, bukan?” katanya, seraya mengindahkan tatapan tidak suka di wajah Jonathan, pertanda ia belum melupakan sakit hati yang ditimbulkan oleh kata-kata Seren kemarin.

“Baiklah... ehm, Serena, kalau itu maumu. Mari, kuperkenalkan pada staf panitia yang menangani pameranmu.” Kelihatan jelas bahwa Jonathan merasa tidak nyaman dengan suasana nonformal yang ditawarkan Seren.

Mereka lalu turun dari lantai delapan ke lantai tiga, di mana galeri milik Jonathan berada. Ruangannya luas, tampak asri, dan menyenangkan. Beberapa orang lalu-lalang menikmati lukisan yang sedang dipamerkan. Seren merasa dekorasi ruangan itu telah disesuaikan dengan kenyamanan orang-orang yang mengunjungi galeri. Cara menyusun lukisannya juga sangat bagus, sehingga seni yang dipaparkan seperti mengalir lembut.

“Bagaimana? Ada keluhan?”

Seren menggeleng. Matanya mengamati setiap sudut galeri sambil mereka-reka di mana saja ia akan menempatkan lukisan-lukisannya supaya apa yang ingin ditampilkannya dapat terasa jelas.

“Dekorasi ruangannya bagus.”

“Kalau begitu, apa kau pikir akan ada orang bodoh yang sembarangan mengatur bagaimana menempatkan lukisan-lukisanmu?” sindir Jonathan.

Seren menghentikan langkahnya. Semangatnya untuk ikut andil menangani pamerannya langsung pupus. Pria itu ternyata ‘pendendam’. Ah, salahku juga, sesal Seren dalam hati, kenapa ia sangat emosional kemarin?

“Aku minta maaf, oke? No hard feelings. Aku tidak bermaksud menganggapmu... hmm... bodoh. Maksudku, aku suka dekorasi ruangannya, benar-benar bagus! Paling-paling, aku hanya membantu mencari lokasi yang tepat untuk lukisan-lukisanku. Tak ada yang perlu diubah mengenai dekorasinya,” kata Seren, sambil menebar pandangan. Lalu ia mengerutkan keningnya. “Kecuali... pohon kurus itu! Aku minta itu dipindahkan, merusak pemandangan saja.”

“Pohon kurus itu untuk mencegah orang-orang bertabrakan di dalam galeriku,” sahut Jonathan, tanpa melihat ke arah pohon yang dimaksud Seren.

“Oh, begitu.” Seren mengangkat bahunya. “Oke, pohon itu boleh tetap di sana. Kita, toh, tak ingin pamerannya kacau hanya gara-gara orang-orang saling bertabrakan?” katanya, mencoba bercanda. Tapi, rupanya Jonathan tidak menganggap itu lucu. Wajahnya tetap kaku tanpa ekspresi.

“Ayo, kuperkenalkan pada James. Dia kurator di galeri ini. Dia juga penanggung jawab pameran,” kata Jonathan. Seren mengikuti langkah pria itu. Ia melihat Jonathan berbicara dengan seorang pria gemulai. Ia mengikuti isyarat Jonathan untuk menghampiri pria bernama James itu.

“Halo. Aku Serena, panggil saja Seren,” kata Seren, sambil menjabat tangan James yang terulur kepadanya. Pria gemulai itu tersenyum manis. Beda seratus delapan puluh derajat dari Jonathan yang kaku.

“James mengurus semua undangan yang akan disebarkan dan siapa saja yang diundang. Dia sangat paham mengenai apa yang harus dilakukannya. Kau boleh merasa tenang karena semua masalah teknisnya berada di tangan orang yang tepat.”
“Aku sudah memikirkan beberapa orang penting yang harus diundang. Aku sudah membuat daftar namanya. Akan kutunjukkan,” kata James. Ia pergi untuk beberapa saat, kemudian ia kembali dengan selembar kertas. Ia lalu menunjukkan kertas itu kepada Seren.

Seren membaca nama-nama yang tertera di hadapannya dengan cermat. Beberapa nama dikenalnya sebagai kritikus seni terkenal. Ada juga yang merupakan pelukis-pelukis yang sudah punya nama di dunia seni rupa Indonesia. Lalu ia melihat nama ayahnya, Ruswandi, termasuk di dalamnya.

“Kalian mengundang Papa?” kata Seren lirih. Matanya membesar.

“Tentu saja! Pak Ruswandi adalah salah seorang maestro di bidang seni rupa yang mengharumkan nama Indonesia. Pasti bagus bila bisa ikut hadir di pameran lukisan puterinya,” kata James.

Seren menatap James lalu Jonathan. Disodorkannya kertas itu kembali pada James. “Oke, no problem. Papa pasti sangat antusias mengetahui kalian mengundangnya.”

Seren dan Jonathan meninggalkan galeri beberapa menit kemudian. Karena masih ada yang harus dibicarakan, Seren dan Jonathan kembali ke kantor Jonathan di lantai delapan.

Di dalam lift, mereka berdua memilih diam. Kebetulan di dalam lift hanya ada mereka berdua. Tampak jelas pikiran Seren sedang melayang-layang. Ia kelihatan resah.

“Ada apa? Wajahmu berubah ketika melihat nama ayahmu di kertas itu. Kenapa, kau tidak suka kalau kami mengundang ayahmu?” tanya Jonathan, memecah keheningan.

“Tidak, tidak apa-apa.”

“Seharusnya kau senang karena dengan hadirnya ayahmu, pameranmu akan bertambah sukses.”

“Apa maksudmu?” Seren menoleh menghadap Jonathan dengan perasaan tidak senang. Ada sesuatu di dalam nada bicara Jonathan yang membuatnya tersinggung.

“Jangan munafik seperti itu. Kau pikir kami tidak akan memikirkan cara yang bagus untuk mengorbitkan pameranmu?” kata Jonathan kemudian. “Dengan hadirnya seorang Ruswandi, dapat dikatakan kesuksesan pameranmu sudah berada dalam genggaman!”

Seren menatap Jonathan tajam-tajam seolah-olah ingin melumatnya hidup-hidup. Emosi mulai menguasai akal sehatnya.

“Orang-orang mengagungkan hasil karyamu, mengelu-elukanmu sebagai pelukis muda berbakat. Semuanya tidak lain karena kau putri Ruswandi. Kau pastinya tahu, orang-orang hanya menghargaimu karena hubungan darah antara dirimu dan Ruswandi, sang maestro. Mereka mengagumi ayahmu, bukan dirimu! Memang tidak salah jika kau memanfaatkan statusmu sebagai putri seorang pelukis besar untuk sukses secepat ini. Kupikir, hal ini sudah rahasia umum. Makanya, kau tidak perlu berpura-pura kaget melihat nama ayahmu di daftar itu.”

Seren terkejut menatap Jonathan. Ia tak mengira pria itu tega berkomentar demikian.

“Jadi, menurutmu,” Seren berdesis geram, “aku berhasil karena mendompleng kesuksesan Papa? Semua yang kulakukan tak bernilai di mata umum? Mereka tidak benar-benar menghargai hasil karyaku sebagai jerih payahku sendiri? Begitu, maksudmu?”

Jonathan menatap Seren beberapa saat, lalu menjawab ringan sambil mengangkat bahu, “Begitulah....”

“Kau!” Seren berseru geram. “Ucapanmu sungguh keterlaluan! Kau tidak tahu bagaimana aku bisa seperti sekarang! Kita baru bertemu kemarin dan kau bicara seakan-akan mengenalku luar-dalam. Asal kau tahu saja, aku bekerja keras selama enam tahun ini dan sekali pun aku tak pernah mendompleng kesuksesan Papa! Aku berdiri di atas kakiku sendiri!”

“Itu kan anggapanmu! Kau seharusnya membuka mata dan telinga lebih lebar. Bagaimanapun, kau hanya mendompleng keberhasilan ayahmu. Itulah kenyataannya.”

Seren terpaku sedetik bersamaan dengan bunyi denting pintu lift yang terbuka. Sebelum ia menyadari apa yang ia lakukan, sebuah tamparan telak mendarat keras di pipi Jonathan. Seorang pria asing yang hendak masuk ke dalam lift terkejut melihat kejadian itu. Jonathan juga tidak kalah kaget. Seren berjalan keluar lift, lalu melangkah lurus tanpa menoleh.

"Seren, ada apa? Kau kenapa?” Mbak Nina bertanya cemas ketika dilihatnya Seren masuk ke dalam ruangannya sambil membanting pintu. Wajah Seren benar-benar kalut.

“Hei, kau kenapa? Ada masalah dengan Jonathan?” tanya Mbak Nina lagi.

“Aku benci dia! Dia brengsek! Laki-laki kaku brengsek!” Seren menyumpah tanpa henti. Amarah benar-benar menguasai kepalanya.

“Dia bilang aku hanya mendompleng kesuksesan Papa! Katanya, orang-orang tak pernah benar-benar menghargai hasil karyaku! Mbak Nina paling mengenalku. Coba Mbak bicara jujur. Apa aku hanya dihargai karena aku adalah putri seorang Ruswandi?”

Mbak Nina terdiam. Itu sebuah pertanyaan sulit. “Hmm, itu... merupakan salah satu alasan....”

Seren menatap Mbak Nina seakan tak percaya. Seluruh rasa percaya dirinya hancur berkeping-keping. Wajahnya berubah kecewa dan terlihat sangat shock.

“Jadi, itu benar?” suara Seren terdengar pecah. Kepahitan jelas-jelas terdengar dari nada bicaranya. “Mereka tak pernah menghargaiku sebagai seorang Serena? Mereka hanya melihat diriku sebagai putrinya Ruswandi! Padahal, selama ini aku berusaha lepas dari bayang-bayang Papa! Dan, kukira embel-embel ‘putri Ruswandi’ itu sudah lenyap setelah aku berusaha keras selama enam tahun terakhir ini. Tapi, ternyata semuanya tak ada artinya!”

Mbak Nina mencoba menenangkan Seren. “Seren, tenangkan dirimu. Kau berhasil karena kau mampu. Kau adalah pelukis andal, Seren. Kau tahu, ‘kan? Aku selalu mengatakan ini padamu karena kau begitu adanya. Lukisan-lukisanmu sangat bagus! ‘Putri Ruswandi’ hanyalah salah satu faktor pendukung....”

Seren tertawa pahit. “Bahkan, Mbak juga mengatakan begitu! Bertahun-tahun aku meyakinkan diriku kalau aku mampu, tapi semuanya bohong belaka! Pelukis muda berbakat, hmm, apanya! Aku bukan siapa-siapa. Aku bukan Serena si pelukis. Aku hanya ‘putri Ruswandi’. Ah, kalau saja aku bukan putrinya!”

“Ayahmu adalah pelukis yang sangat berbakat,” ucap Mbak Nina. “Kau seharusnya bersyukur karena kau adalah putrinya. Kau mewarisi darah dan bakat seninya. Itulah salah satu faktor kesuksesanmu kini. Kau mampu membuat orang kagum dengan hasil karyamu karena kau memiliki bakat seni yang demikian besar. Kau pikir siapa yang menurunkan bakat itu padamu? Ayahmu, Seren, bukan orang lain!”

Seren mendongakkan kepalanya.

“Kalaupun Jonathan atau siapa pun mengatakan kau hanya mendompleng keberhasilan ayahmu, mereka salah! Mereka tidak melihat bagaimana dan siapa kau sebenarnya. Saat ini, mereka mungkin belum melihatmu sebagai Serena sepenuhnya, tapi mereka akan mengetahuinya beberapa saat lagi. Kau berhasil karena kau berbakat. Kau sukses karena kau mampu, Seren. Mungkin mereka hanya iri padamu,” kata Mbak Nina, sambil menepuk pipi Seren setengah bercanda.

Seren menatap Mbak Nina dalam-dalam, lalu tersenyum. “Pasti begitu.” Ia sudah lebih tenang sekarang. Rasa percaya dirinya kembali muncul. Ia mendesis geram. “Jonathan brengsek itu! Untung sudah kubalas dia. Kau tahu, Mbak, dia benar-benar keterlaluan! Tahu rasa, dia! Mbak pasti tidak percaya, aku sudah menamparnya, keras sekali!”

Dan, benar saja. Serena sungguh ingin tertawa melihat reaksi Mbak Nina. Wajahnya melongo kaget!

Gadis Suci
Pagi itu gerimis. Suasana berubah kelabu. Sudah seminggu ini hujan terus mengguyur bumi. Rena menatap ke luar jendela kamar sambil menerbangkan angan-angannya. Hari itu, dua minggu lalu, langit juga demikian kelabu, bahkan lebih gelap. Hujan turun lebih deras. Hari itu, Rena merasa degup jantungnya berdetak tak menentu ketika mengingatnya.

Hari itu, hujan turun begitu derasnya. Rena yang harus bergegas ke kantor penerbit terpaksa tertunda sejenak. Ketika ia datang pagi harinya, ia memarkir mobilnya agak jauh dari gedung kuliah, karena itu, ia harus menunggu satpam mengambilkan payung untuknya. Sudah lebih dari sepuluh menit ia menunggu. Tiba-tiba ponselnya berdering. Rena menghela napas melihat nama Tania di layar ponselnya.

Hujan deras, Tan. Aku tahu. Iya, tapi satpam sedang mengambilkan aku payung. Kalau bisa aku ‘terbang’ menemuimu! Tapi, hujannya terlalu deras. Mobil kuparkir agak jauh. Kau sabar sebentarlah!” Rena menyahutnya agak sewot. Sudah cukup ia mendengar omelan Tania di seberang sana.

“Pokoknya kau tunggu saja. Aku bukannya tidak mau cepat, tapi kau lihat sendiri, aku tidak bisa. Paling-paling aku nanti terlambat lima belas menit. Bye,” Rena menutup ponselnya. Ia menoleh kiri-kanan, mencari-cari satpam yang tadi memintanya untuk menunggu. Hatinya mulai dongkol. Jangan-jangan satpam itu tak muncul!

Ketika Seren terlibat konflik dengan Jonathan sehingga ia menampar pria itu, Rena malah sedang jatuh cinta pada seorang mahasiswanya.

Gadis Suci
Hujan kembali turun ke bumi. Malam makin gelap, ditambah deru hujan dan gemuruh guntur. Rena duduk di ranjangnya sambil membaca. Tak lama kemudian ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela. Ia menatap dengan perasaan waswas. Jika hujan tidak kunjung berhenti, kemungkinan Jakarta bakal dilanda banjir lagi. Walaupun daerah tempat tinggalnya bukanlah daerah rawan banjir, Rena jengkel memikirkan kemacetan lalu lintas yang makin tidak keruan.

Sekelebat kilat membelah langit malam. Guntur menggelegar. Dan, angin malam yang begitu pekat menerobos celah-celah jendela yang sudah terkunci, membuat Rena bergidik sejenak. Ia kedinginan sehingga buru-buru kembali ke ranjangnya, dan menyampirkan selimut ke bahunya. Ia kembali membaca.

Tiba-tiba Rena mendengar suara gerendel pintu diputar dan langkah kaki seseorang. Aneh, pikirnya. Biasanya Mbok Inah sudah tidur di kamarnya karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas lewat. Karena rasa ingin tahu, Rena lalu menutup bukunya dan mengintip ke luar. Ia tidak melihat siapa pun. Jadi, apa mungkin ada seseorang di luar kamarnya? Di ruang tamu? Apakah itu... maling?

Rena menunggu sesaat dengan jantung berdegup cepat. Di rumahnya hanya ada dua orang perempuan. Apabila ada maling yang berniat mencuri barang-barangnya, Rena memilih bersembunyi saja daripada berhadapan dengan mereka. Tapi, ia tidak melihat siapa-siapa. Dengan memberanikan diri, Rena lalu keluar dari kamarnya. Ia mengendap-endap. Diamatinya ruang tamu. Kosong. Dilihatnya ruang makan yang berhubungan dengan dapur, juga tidak ada seorang pun yang terlihat. Rena mengernyitkan dahinya. Apa ia salah dengar atau berhalusinasi?

Rena kembali ke kamarnya. Setelah menutup pintu kamarnya, Rena berbalik. Dan, saat itu juga, ia terpaku. Tepat di hadapannya, ia melihat kilat menyilaukan mata, disusul bunyi guntur menggelegar. Hujan menerobos masuk. Angin kencang menerbangkan tirai jendelanya. Jendela kamarnya yang tertutup rapat, terbuka tiba-tiba.

Keesokan harinya, Rena termangu di meja makan. Setelah kejadian aneh semalam —ia tidak tahu bagaimana jendela kamarnya bisa terbuka sendiri— ia merasa tidak enak. Pikirannya melayang-layang. Bagaimana mungkin ia lupa mengunci jendelanya? Ah, tapi mungkin saja angin kencang semalam mengempaskan jendelanya hingga terbuka!

Namun, tetap saja di dalam hati kecilnya, Rena merasa ragu. Ia yakin telah mengunci jendela kamarnya rapat-rapat. Jadi, bagaimana mungkin jendelanya terbuka sendiri? Setelah kejadian itu, Rena sulit sekali memejamkan matanya. Ia bermimpi buruk berkali-kali. Rasa takut mengalahkan pikiran rasionalnya.

Yang paling diingatnya, saat ia bermimpi melihat dirinya sendiri terpisah dari tubuhnya! Ia seperti roh orang mati yang melihat tubuhnya bergerak melayang-layang. Gadis itu begitu mirip dengannya, sehingga Rena yakin ia melihat dirinya sendiri sedang menutup pintu lalu melangkah mendekati jendela. Ia membuka jendela itu sejenak, lalu berdiri melihat ke luar. Gadis itu tersenyum sambil memandang langit.

Namun, itu bukanlah senyumnya! Gadis itu bukan dirinya! Gadis itu hanya... mirip, ya, serupa betul dengan dirinya! Rena memejamkan matanya rapat-rapat. Kedua telapak tangannya menutup wajahnya. Ia berusaha menghapus bayang-bayang mimpinya. Tapi, mengapa ia merasa bahwa itu bukan mimpi? Rena merasa hal itu betul-betul nyata. Ia adalah... roh orang mati yang menjelajah waktu?

Ketika ia tersentak dari tidurnya pukul tiga tadi pagi, ia merasa seluruh tubuhnya lemas. Untuk sesaat, walaupun ia tidak begitu yakin, ia merasa lukisan Unicorn di Suatu Senja berubah! Ia bukannya melihat seekor unicorn, melainkan ... pegasus.

Pegasus
Seren duduk termangu di depan jendela. Malam yang indah, pikirnya. Bintang-bintang berkerlip seakan mengundangnya tersenyum. Ada kesan magis di sekitarnya, dan Seren meresapi kesunyian itu.

Seren menengadahkan wajahnya. Pikirannya melayang pada Jonathan. Sedang apa pria itu sekarang? Sejenak, Seren berangan-angan. Pria seperti Jonathan pasti lucu jika digoda. Ya, wajahnya yang kaku akan berubah aneh. Dan, Seren tertawa sendiri.

Sudah berminggu-minggu, Seren tidak bertemu Jonathan. Sejak pertemuan mereka sebulan yang lalu, Seren tidak pernah menemuinya lagi. Ia merasa sedikit kangen. Segala rasa tidak suka yang mengungkungnya kali pertama telah hilang! Seren yakin, Jonathan tidaklah seburuk yang ia sangka sebelumnya!

Minggu-minggu terakhir ini, Seren sibuk dengan persiapan pamerannya. Ia mengunjungi James sebanyak empat hari dalam seminggu, membicarakan penempatan lukisannya, dan orang-orang yang diharapkan membantunya. Tapi, selama itu pula, ia belum berhasil menambah jumlah lukisannya. Target dua puluh enam lukisan belum tercapai! Entah mengapa, ia sering melamunkan Jonathan. Mungkin karena ia mulai tertarik kepadanya? Saat pikiran itu muncul, Seren tersenyum, bahkan nyaris tertawa kecil. Ia harus mengakui, Jonathan ternyata memiliki porsi tersendiri di ruang pikirannya!

Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Seren telah menghabiskan dua jam untuk menyendiri di dalam studionya. Ia selalu begitu apabila perasaannya sedang senang. Kadang-kadang, pada saat itulah inspirasi datang di kepalanya. Seren memejamkan matanya. Aroma bunga kemboja menyeruak. Suasana seperti ini, apabila dilukiskan... duh! Tiba-tiba Seren membuka matanya. Ya, ini adalah suasana di ... hutan terlarang!

Imajinasi Seren bergulir. Seekor unicorn tampak menghapus dahaga di telaga. Surai-surai peraknya terurai tatkala ia meminum air telaga jernih itu. Malam pekat sekali, hanya ada rembulan yang mengintip dari balik awan. Seekor unicorn berlatarkan pohon-pohon raksasa dan akar-akar gantung menjuntai. Pekatnya malam amat kontras dengan kilau perak tanduk dan surai-surai panjangnya. Sungguh indah dan damai.

Seren merasakan kelenjar adrenalinnya bekerja lebih ketika ia mencoba menanamkan imajinasinya itu di dalam kepalanya. Ia segera menarik kursi dan menyiapkan cat minyaknya. Ditariknya kanvas putih dan Seren mulai mencampur catnya. Dengan cepat, ia mulai melukis.

Kesenyapan malam makin larut. Ada tenaga ajaib yang menggerakkan tangan Seren terus-menerus di atas kanvas. Gambaran di kepalanya makin nyata. Unicorn itu begitu sakral. Makhluk itu tak boleh ternoda! Ia adalah perlambang kedamaian abadi. Kelamnya malam tidak mampu meredam cahaya yang dipancarkan lewat warna putih tubuh dan tanduk peraknya. Seren berkonsentrasi penuh ketika ia membaur cat warna putih. Warna putih yang ditampilkannya harus benar-benar putih, sehingga terkesan menyilaukan. Seren berhenti sejenak. Ia menatap sketsa yang dibuatnya di kanvas.

Kilau Unicorn!

Seren merapikan lukisan Kilau Unicorn selama berminggu-minggu. Ia mengamatinya tanpa jemu. Baru kemudian, setelah ia merasa yakin, ia mengambil kuasnya dan mulai kembali merapikan lukisan itu untuk kesekian kalinya. Begitulah berulang-ulang, sampai Seren benar-benar merasa puas.

Seren meregangkan badannya yang penat karena terus-menerus duduk di depan kanvas. Ia menatap hasil akhir yang ia buat beberapa menit lalu, sekali lagi. Kali ini, ia menghela napas lega. Akhirnya, segala gambaran di kepalanya telah tertuang di atas kanvas ini! Ia merasakan kedamaian ketika menatapnya. Dan, hal itu pulalah yang Seren ingin bagikan kepada orang-orang yang melihat lukisannya.

Masih kurang dari empat bulan, waktu yang dimilikinya untuk menyelesaikan seluruh lukisan yang dibuatnya. Seren menekuri Kilau Unicorn di hadapannya. Jika ingin mencapai target dua puluh enam lukisan, berarti Seren harus melukis dua buah lagi. Ah, apakah ia punya cukup waktu?

Seren bangkit berdiri dan melangkah ke jendela. Ketika ia merasakan redup sinar mentari karena senja telah datang, sekonyong-konyong ia merasa letih. Sepertinya sudah berabad-abad Seren tidak beristirahat. Energinya terkuras habis! Kadang-kadang ia bertanya-tanya, apakah ayahnya dan pelukis-pelukis lainnya juga merasakan hal yang sama seperti yang dirasakannya?

Seren berjalan keluar dari studio dan mengunci pintunya. Ia ingin mandi dan tidur. Ia menguap. Pasti nyaman sekali, apabila berendam di dalam air hangat, dan kemudian tidur. Ia tidak akan membiarkan siapa pun mengganggunya hari ini!

Ketika Seren terbuai dengan cepat, ia mulai bermimpi. Pertama-tama mimpinya kosong, ia merasa amat nyenyak. Lalu, perlahan-lahan, sebentuk bayanga mengisi tidurnya. Ia melihat dirinya sendiri berdiri di depan cermin! Seren melihat pantulan wajahnya. Ia mengenali sepasang mata cokelat mudanya yang besar, tulang pipinya yang tinggi, dan bibirnya yang penuh. Ya, wajah itu adalah miliknya, tetapi sorot mata itu....

Sorot mata penuh kesedihan itu menatapnya dari dalam cermin. Sorot mata yang terlihat rapuh dan kesepian. Seren mencoba tersenyum, tapi senyum itu bukan miliknya. Senyum yang sendu! Mengapa ia sesedih itu? Seren tidak pernah ingat, kapan ia pernah tersenyum sesendu itu!

Seren mengangkat tangannya untuk merapikan poni di kening. Ia melihat sebuah sisir di meja. Seren pun menyisir rambutnya. Tiba-tiba gerakan tangan Seren terhenti. Ia terpaku mendapati rambutnya yang menyentuh bahu. Rambutnya kan tidak sepanjang itu? Seren segera menyadari, wajah yang terpantul di cermin itu bukanlah dirinya!

“Kau siapa?” Pertanyaan itu meluncur dari bibirnya, padahal dari dalam cermin, bibir gadis itu tidak tampak bergerak sedikit pun. Ah, Seren bergidik diam-diam.

“Serena.” Jawaban yang keluar dari mulut gadis itu membuat Seren terbelalak. Tidak mungkin! Seren menyangkal jengkel di dalam hati. Serena adalah namanya! Akulah Serena, bukan kau. Ya, bukan kau! Tiba-tiba wajah itu mengabur, lalu menghilang. Seren kaget sekali. Ke mana perginya gadis itu?

Seren terbangun dari mimpinya yang aneh. Ia menatap langit-langit kamarnya dengan kepala berdenyut-denyut. Sejenak, pikirannya terasa kosong melompong. Tubuhnya pun kaku, seakan terpaku.

Kau siapa?

Serena....

"Mimpi itu aneh sekali, Mbak! Aku sampai merinding. Apa ini sejenis pertanda?”
Mbak Nina mendengarkan kata-kata Seren sambil tersenyum simpul. “Tidak mungkin! Paling-paling kau kecapekan, sehingga mimpi yang bukan-bukan....”

Seren menyeruput tehnya, pelan. “Benar-benar menyeramkan! Sampai sekarang pun, kalau kuingat-ingat lagi, aku masih merinding. Wajahnya mirip sekali denganku, bagai pinang dibelah dua. Tapi, dia kelihatan... merana.”

Pikiran Seren melayang. Wajah gadis itu kembali terbayang di matanya. Mengapa ia merasa ekspresi gadis itu begitu mirip dengan ekspresi seorang perawan suci yang akan dikorbankan kepada dewa-dewa, seperti yang selalu diceritakan dalam cerita mitos?

“Sudahlah, lupakan saja mimpi anehmu itu. Bagaimana perkembangan lukisanmu? Jonathan bertanya padaku kemarin,” kata Mbak Nina.

“Lukisanku, no problem. Memangnya dia cuma tanya soal lukisanku?”

Mbak Nina mengangkat kedua alisnya. “Maksudmu...?”

“Dia... hmm, tidak bertanya tentang diriku? Bagaimana, ya... kabarku, misalnya,” kata Seren, tersenyum manis.

Mbak Nina membelalakkan matanya. “Maksudmu...?”

“Sudah lama juga kami tak bertemu. Aku... kayaknya, kok, kangen....”

Mbak Nina melongo tanpa mampu berkata apa-apa selama beberapa detik. “Kangen?”

“Mbak mirip beo, ih!” Senyum Seren melebar, membuat Mbak Nina menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kalau Mbak tidak salah ingat, kau bilang, Jonathan itu pria kaku brengsek yang sudah keterlaluan sekali menghinamu! Sekarang, kau bilang, kau kangen padanya? Mbak benar-benar tidak salah dengar, nih?”

“I’ve changed my view on him! Sepertinya dia tidak sebrengsek itu! Malah mungkin dia itu sebetulnya baik dan pengertian. Pokoknya, ya... dia punya sisi baiklah!”

“Kau... tertarik kepadanya?” Mbak Nina bertanya hati-hati.

Seren terdiam. Sepasang matanya berbinar. Dan, senyum manisnya tak lepas dari wajahnya. Mungkin itu sudah merupakan jawaban tersendiri bagi Mbak Nina!

Seorang wanita dengan ramah menyerahkan selembar kertas yang memberikan petunjuk mengenai lukisan-lukisan yang dipamerkan hari itu. Seren menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Kakinya melangkah ringan ketika ia melihat-lihat lukisan-lukisan yang dipamerkan.

Ketika ia memutuskan untuk mengunjungi galeri Jonathan, siang ini, Seren berharap dapat bertemu dengannya. Mungkin selagi ia melihat-lihat lukisan-lukisan itu, Jonathan tiba-tiba muncul dari balik pintu ruangan. Atau mungkin, ia berpapasan dengannya! Kalau sudah begitu, Seren akan berpura-pura terkejut dan menyapanya.

Ya, itu pilihan yang bijaksana daripada menemui Jonathan di kantornya. Dan, berbasa-basi mengenai perkembangan lukisannya. Padahal, yang paling Seren ingin lakukan hanyalah berbincang-bincang dengan santai.

Seren melewati si pohon kurus, lalu berhenti. Teringat olehnya, bagaimana ia meminta Jonathan untuk membuang pohon itu! Senyum di wajahnya menandakan seakan-akan ia sedang teringat suatu nostalgia yang indah. Hu, tak pernah diduganya, ia bisa tertarik kepada seorang pria yang sama sekali bukan tipe idealnya!

Seseorang tiba-tiba menabrak tubuhnya. Seren terhuyung sedikit. Salahnya, mengapa ia berdiri diam seperti patung di sana, padahal Jonathan pernah mengingatkannya soal fungsi utama pohon kurus di sampingnya itu. Ya, agar orang-orang tidak saling bertabrakan! Dan, kini hal itu malah terjadi pada dirinya!

“Maaf,” kata Seren sambil menyingkir. Tapi, orang itu juga meminta maaf. “Ah, ini salah saya,” kata Seren lagi. Setelah itu, orang yang bersangkutan melangkah pergi.

“Kenapa sepertinya kau sering sekali menimbulkan masalah?”

Seren terpaku. Ia menatap pria yang tiba-tiba muncul di hadapannya.

  Jonathan!

“O... hai!” sapa Seren. Jonathan mengernyitkan dahinya. Seren melihat tanda tanya di matanya. “Yang tadi itu... nggak disengaja, kok! Sorry, sepertinya aku sering sekali menimbulkan masalah buatmu, ya,” lanjut Seren, sembari meringis.

“Kau kemari untuk apa?”

Uh, kata-kata to-the-point itu membuat Seren kelabakan. “Hmm, sama seperti yang dilakukan orang lain. Aku ke sini untuk melihat-lihat. Apa tidak boleh dan ada larangan khusus untukku?”

Jonathan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kalau begitu, kebetulan sekali. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

“Sekarang?”

“Ya.”

“Di mana?”

“Di kantorku, tentu saja.” Jonathan mengernyitkan dahinya.

“Bagaimana kalau di tempat lain yang lebih santai, misalnya di kafe yang ada di lantai lima?” Seren berkata penuh harap.

“Ada yang harus kutunjukkan padamu, Seren. Soal denah penempatan lukisan-lukisanmu. Dan, denah itu ada di kantorku,” kata Jonathan lagi, membuat Seren kecewa. Jonathan tidak pernah membicarakan hal lain di luar masalah pamerannya!

“Oke, di kantormu,” Seren menyahut tanpa semangat. Seren dapat merasakan tatapan Jonathan yang penuh tanda tanya. “Ayolah,” ajak Seren, mencegah Jonathan berpikir yang aneh-aneh mengenai dirinya.

Ketika mereka melangkah keluar, Seren mengamati Jonathan sejenak. Dalam hati, ia bertekad menarik Jonathan keluar dari dinding yang telah dibangunnya. Seren akan membuat pria itu menyadari keberadaannya, dan membiarkan seorang Serena masuk ke dalam kehidupannya!

Gadis Suci
Rena mematut dirinya sekali lagi. Hari ini adalah hari besarnya! Buku puisinya, Mencari, akan diluncurkan pukul sebelas siang hari ini. Sekarang sudah pukul sembilan lewat dua puluh menit. Saatnya untuk berangkat.

Tiga bulan terakhir, Rena sibuk dengan peluncuran bukunya. Pihak penerbit dan agennya menjalankan promosi. Pers memunculkan namanya di koran dan majalah. Kehidupan kariernya diulas seperti alunan musik yang diulang-ulang, hingga terdengar usang. Tampaknya, mereka puas menulis sekelumit cerita mengenai kehidupan pribadinya. Ya, mungkin mereka juga tidak begitu tertarik pada kehidupan pribadinya yang ‘tidak ada apa-apanya’. Ia hanya seorang Rena yang kesepian. Dunia pun tahu itu, tanpa ia harus menggembar-gemborkannya lewat media.

Dalam peluncuran bukunya, Rena akan membacakan dua buah puisi andalannya, Sick of Seeking dan Apakah Aku...? Tidak ada kendala berarti hari ini. Ia hanya siap tersenyum sambil menjawab pertanyaan wartawan, lalu menandatangani buku-bukunya, dan membacakan kedua puisinya. Setelah itu, selesai. Ya, hanya itu.

Rena menghentikan mobilnya ketika ia memasuki pelataran parkir. Ia melihat beberapa wartawan. Sebenarnya, ia sengaja tiba lebih awal untuk menghindari mereka, tapi sepertinya ia kalah cepat!

Setelah keluar dari mobilnya, Rena berjalan tenang menuju pintu masuk. Ia bersikap layaknya seorang pengunjung biasa. Rena menghela napas lega ketika berhasil lolos dari perhatian mereka. Ia tidak suka diberondong pertanyaan njelimet. Ketika ia memasuki ruangan, tulisan Serena Mencari tertangkap olehnya. Matanya mengamati orang yang lalu-lalang. Ketika akhirnya ia menemukan Tania dan Susi, agennya, Rena segera melambaikan tangan.

Rena mendekati mereka. “Untung para wartawan di bawah sana tidak melihatku waktu aku masuk ke dalam gedung,” Rena tertawa sembari duduk.

“Kau berhasil lepas dari mereka?” tanya Tania, hampir tak percaya. “Mereka benar-benar tidak melihatmu? Kau pakai jurus menghilang, ya?” Dan, mereka tertawa berbarengan.

Ketika saatnya tiba, semuanya berjalan lancar sesuai rencana. Beberapa pertanyaan wartawan mengenai isi buku puisinya dijawab Rena dengan baik. Ada beberapa pengunjung yang ikut bertanya. Di antaranya, nyerempet kehidupan pribadinya. Tapi, semuanya berusaha dijawab Rena dengan ‘kepala dingin’. Sehingga, akhir -nya tiba waktunya untuk membaca puisi.

Rena memandang ke seluruh ruangan, merengkuh perhatian seluruh pengunjung. Lalu, pelan tapi dalam, ia mulai membaca, “Sick of seeking.” Baris demi baris berlalu. Bait demi bait meluncur dari bibirnya. Rena membaca penuh penghayatan. Seluruh ruangan di dalam ruangan itu terhipnotis oleh suaranya yang dalam namun jernih. Hingga ia membacakan puisinya yang kedua.

“Apakah aku...,” bait pertama mengumandang. Orang-orang masih tertegun dalam hipnotis yang ia ciptakan.

Aku tidak tahu
mengapa kesendirian adalah napasku....
mengungkungku bak dinding tinggi
menyentakku dalam sepi
Apakah aku....
Apakah aku terlalu rumit
tuk dijangkau dalam pahammu?
Apakah aku terlalu jauh
tuk diraih dalam maknamu?
Apakah aku membuatmu jengah
hingga kau jera menemaniku?

Sejenak Rena terhanyut dalam kesepian. Ia berhenti agak lama sebelum membacakan bait yang kedua. Kemudian ia melanjutkannya hingga bait terakhir.

Apakah aku...?
Putus asa
Patah jiwa
Hilang rasa
Ya... aku...
Apakah aku...?
Ya!

Rena berhenti. Ia menebarkan pandangan, memastikan pendengarnya masih berada dalam jangkauan napasnya. Namun tiba-tiba, di tengah applause yang membahana, Rena merasa tubuhnya membeku.

Jonathan.

Rena tidak mampu berkata apa-apa lagi. Ia terpaku di tempatnya berdiri. Kehadiran Jonathan mengejutkannya, sehingga akhirnya ia menyadari sesuatu. Rasanya... puisi yang baru dibacakannya, bukanlah isi hatinya saat ini! Ya, setelah mengenal pria itu, hidup Rena terasa lebih indah, tak lagi sepi.

Jantungnya berdebar-debar ibarat ‘remaja ting-ting’ yang baru mengenal cinta. Rena yang sekarang, tidak akan lagi mengatakan, “Ya,” pada akhir baris puisinya. Rena yang sekarang, sebaliknya dengan gagah akan mengatakan, ”Tidak.”

Aha, Rena yang sedang jatuh cinta!

Rena menatap kertas di tangannya dan Jonathan bergantian. Jonathan datang kepadanya siang itu, menyerahkan selembar kertas yang hanya terdiri dari beberapa baris. Wajahnya keruh, lebih tepatnya tidak bersemangat.

“Ini apa, Jonathan?” Rena bertanya bingung.

“Saat menghadiri acara peluncuran buku puisi Ibu hari itu, aku mendapat banyak ide di kepalaku. Aku terpikir untuk menulis, tetapi ketika berhadapan dengan kertas putih, kepalaku jadinya kosong melompong! Akhirnya aku hanya berhasil menulis beberapa baris saja, setelah itu, give up! Ternyata sulit juga, ya, menuangkan ide yang ada di kepala ke dalam tulisan!”

Rena tersenyum. Ia paham sekarang. “Memang tidak mudah bagi seseorang yang ingin memulainya. There’s always the first thing for everything. Mungkin kau bisa mencoba lebih keras lagi,” jawab Rena, bijak.

Jonathan menatapnya lama, membuat Rena merasa rikuh. Cepat-cepat ia mengembalikan kertas di tangannya kepada Jonathan. “Ayo, berusahalah lebih keras lagi. Kau pasti berhasil!”

“Aku... menyerah.” Jonathan melipat kertas itu kecil-kecil, lalu membuangnya ke tong sampah. Perbuatannya sungguh mengejutkan Rena.

“Mungkin, aku tidak berbakat jadi pengarang. Ada baiknya jika aku mengambil jurusan seni rupa dan menjadi pelukis saja.” Jonathan mengangkat bahunya, tersenyum.

“Pelukis? Kau melukis?” tanya Rena, tertarik.

Jonathan mengangguk. “Lebih mudah melukis daripada menulis.” Tiba-tiba matanya kembali menatap Rena, lama. “Ibu mau menjadi modelku?”

Rena tergagap. “Apa? Hmm... model?”

Jonathan mengangguk antusias. Matanya berbinar-binar penuh semangat. Rena merasa pandangan Jonathan terhadapnya berbeda. Rena baru menyadari, Jonathan membuang jarak di antara mereka! Status ‘ibu dosen’ dan ‘mahasiswa’ seolah sirna....

“Bagaimana? Ibu setuju?”

Rona merah menjalar di pipi Rena. “Tidak! Ibu tidak bisa jadi modelmu! Model lukisan itu kan biasanya, kau tahulah.... Pokoknya tidak!” Rena segera melangkah meninggalkan Jonathan.

Jonathan mengejarnya.

“Aku tidak meminta Ibu berpose untukku, tapi aku meminta izin Ibu supaya bisa melukis Ibu! Aku janji, tidak akan ada pose!” kata Jonathan.

Rena mengerutkan kening. “Maksudmu, Ibu tak perlu melakukan apa pun?”

Jonathan tersenyum menatapnya. “Tidak, aku berjanji. Hmm, sebetulnya, aku sudah memulainya. Aku melukis Ibu tanpa izin. Ups, Ibu jangan marah padaku! Nanti akan kutunjukkan jika sudah selesai!”

Lalu Jonathan melanjutkan, “Tapi, Ibu jangan sungkan kalau sering kuperhatikan. Bagaimanapun, aku perlu mengamati Ibu....”

Rena merasa jengah. “Kau ... kau mengamati Ibu?”

“Ya, tidak usah cemas. Nah, bagaimana? Apakah Ibu setuju?”

Rena mengembuskan napas panjang sebelum akhirnya menjawab, “Baiklah, tapi janji, tidak ada pose!” tegasnya, sekali lagi. Membuat kepala Jonathan mengangguk senang. Sorot matanya ceria, persis seorang anak kecil yang diizinkan menyantap es krim dalam porsi buesarrr...!

Walaupun sudah memberi izin, Rena tetap salah tingkah ketika ia melihat Jonathan yang berulang kali sedang menatapnya. Ada ‘sesuatu’ di sorot mata itu.

“Jonathan!” suatu kali Rena hampir terlompat dari duduknya. Ia sedang melamun, dan Jonathan menangkap basah perbuatannya. Jonathan malah tertawa kecil, mungkin ia menganggap kejadian itu lucu.

“Sejak kapan kau berdiri di sana? Kau mengagetkan Ibu saja!” kata Rena, sambil mengatur debar jantungnya.

“Maaf. Aku hanya merasa wajah Ibu ketika melamun tadi sangat luar biasa menarik! Dan, semuanya sudah terekam di sini!” Jonathan lagi-lagi tertawa, menunjuk pelipisnya.

Di dalam hati Rena, kumpulan burung kecil beterbangan mengepakkan sayap. Berputar-putar, makin tinggi, dan tinggi. Membuatnya laksana menari. Malam harinya, Rena terbius mimpi indah. Ia seolah menjelma menjadi seorang gadis kesepian yang sedang mencari kekasihnya. Lama memanggil-manggil, akhirnya muncul juga kekasih idamannya.

Serupa dengan Jonathan (mungkin karena ia membayangkannya terus siang dan malam), sang kekasih kemudian terbang menjadi pegasus, dan menjemputnya. Terasa olehnya, cinta yang hangat, membawanya menuju cahaya abadi!

Rena terbangun dengan mata nanar menatap langit-langit kamar. Bayangan pegasus dan si gadis, mirip deja vu, tapi ia lupa di mana ia pernah melihatnya!

Yang jelas, Rena merasakan cinta yang sangat ingin diungkapkan. Dari gadis suci kepada pegasus.

Pegasus
Seren menopang dagunya dan melamun. Jonathan masih tetap objek lamunannya yang utama! Minggu lalu, ia bertemu dengan Jonathan. Karena tekadnya sekeras baja, Seren berhasil menghalau Jonathan dari kantornya dan mengajaknya berbincang santai di kafe. Mereka menikmati suasana siang itu. Ya, paling tidak itulah yang dirasakan Seren.

Ketika Seren terlibat konflik dengan Jonathan sehingga ia menampar pria itu, Rena malah sedang jatuh cinta pada seorang mahasiswanya.

Seren mengangkat sebelah alisnya, menunggu Jonathan memberi reaksi. Mereka sedang berada di studionya untuk mulai melukis, di Minggu pagi yang cerah ini.

Jonathan berdiri di ambang pintu, memandangi lukisan-lukisan Seren.

“Ada apa?”

Jonathan menggeleng. Matanya menatap Seren lekat-lekat. Ia diam selama beberapa saat, baru kemudian ia berkata, “Kau benar-benar bisa melukis!” Setelah itu, mereka menghabiskan waktu seharian di studio.

Malam mulai merayap turun ketika akhirnya Seren mengatakan, “Oke.”

“Oke? Jadi sekarang aku sudah bebas?”

“Kau bicara seperti tawanan saja!” Seren tertawa.

“Ini akan menjadi salah satu lukisan untuk pameranku. Lukisan kedua puluh tujuh-ku.”

Mereka sudah berada di pintu depan dan Jonathan bersiap-siap untuk pergi. Mereka bertukar pandang selama beberapa detik. Wajah Jonathan terlihat serius dan Seren bagai tersihir olehnya. Perlahan, tangan Jonathan terangkat dan mengusap wajah Seren dengan lembut. Sentuhan itu.... Keduanya sama-sama terkejut dengan kejadian yang begitu tiba-tiba. Jonathan terlihat amat sangat gugup.

“Hmm, ada cat di wajahmu,” katanya, salah tingkah.

Seren mengusap wajahnya. Baru disadarinya kemudian, tangannya sendiri belum bersih dari cat. Nah, wajahnya pasti benar-benar kotor sekarang! Keduanya saling pandang dan tertawa terbahak-bahak. Konyol sekali!

“Baiklah, aku pulang dulu. Selamat malam.”

“Malam,” Seren menjawab lembut.

Jonathan masuk ke dalam mobilnya. Seren melambaikan tangannya. Bibirnya tersenyum. Cinta mewarnai matanya.

Gadis Suci
Rena menatap kertas di hadapannya. Pegasus dan Gadis Suci, sebuah puisi cinta, telah ia tulis. Ada beberapa coretan yang menjadi bukti kecamuk jiwanya. Kata-kata yang dirangkai terasa pekat oleh kerinduan. Ia adalah pungguk yang merindukan rembulan. Puisi ini adalah ungkapan perasaannya yang tiada bersambut, namun tiada kuasa ditahannya.


Ketika pegasus mengepakkan sayapnya
Membawa gadis suci menggenggam langit
Tiada lagi pekat dan gelap
Yang murni hanya indah cahaya

Rena memejamkan matanya. Ketika kau dan aku... satu....

Apakah akan tiba saatnya ia dapat bersatu dengan Jonathan? Tidak! Tidak mungkin! Rena membaca lagi setiap untaian kata yang merupakan bentuk pengakuan cintanya. Ia adalah Si Gadis Suci, sedangkan Jonathan adalah Sang Pegasus!

Jika Jonathan sampai melihat puisi ini, apakah ia menyadari jika bait yang tersusun penuh cinta itu ditujukan kepadanya? Ah, kecil kemungkinannya! Rena memasukkan kertas itu ke dalam laci. Perasaan ini adalah miliknya, dan ia tidak ingin siapa pun tahu! Biarlah ia tetap menjadi pungguk yang merindu, daripada ia harus kehilangan sang rembulan sama sekali!

Dan, seiring pekatnya malam, angin berembus lebih kencang. Kesunyian terasa mencekam. Perlahan-lahan, bagaikan ditarik oleh tangan yang tak terlihat, laci tempat Rena menyimpan puisinya bergerak, terbuka sendiri! Kertas yang berisi puisinya perlahan-lahan melayang. Seakan ada angin yang melintas, kertas itu terbang di udara, melewati Rena yang pulas, dan bergerak mendekati lukisan Unicorn di Suatu Senja yang tergantung di dinding.

Dengan amat perlahan, kertas itu lalu menempel pada lukisan tersebut, layaknya ditarik gelombang magnet yang sangat kuat. Setelah menempel seluruhnya, kertas puisi itu menghilang!

Pegasus dan Gadis Suci menghilang, tertarik masuk ke dalam lukisan! Setelah itu, suasana kembali senyap. Laci yang tadi terbuka telah menutup sendiri. Yang tampak hanyalah Rena yang masih tertidur nyenyak. Keadaan kamar kembali seperti semula, seakan-akan tidak ada yang berubah. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

PEGASUS
Seren duduk di lobi gedung sambil menunggu Jonathan yang segera turun dari kantornya. Mereka janji makan siang bersama di restoran yang ada di seberang jalan. Seren tersenyum. Hubungan mereka berjalan seperti yang diimpikannya.

AKU CINTA PADAMU
Terucap sudah tiga kata itu. Seren melihat pada bayangan wajahnya di cermin. Senyum tersungging di bibirnya. Perlahan, Seren mengusap bibirnya yang tadi dikecup Jonathan. Matanya berbinar karena cinta.

“Aku mencintaimu,” ulang Seren. Kali ini, ia ingin meneriakkannya, dan membiarkan perasaan bahagianya membubung seperti pada saat kali pertama ia mendengarnya dari mulut Jonathan.

Seren membaringkan tubuhnya. Ia membiarkan lamunan membawanya ke awang-awang. Kemudian, ia menggerakkan tubuhnya sedikit. Terdengar suara gemerisik di bawahnya. Seren baru menyadari ia telah meniduri sesuatu. Ia lalu duduk dan memeriksa. Sehelai kertas yang terlipat lecek tergeletak di bawahnya. Seren mengernyitkan dahinya. Bagaimana kertas itu ada di tempat tidurnya?

Seren mengambil kertas itu dan membaca isinya. Matanya melebar. Pegasus dan Gadis Suci. Ini kan sebuah... puisi?

Kerutan di dahi Seren makin dalam. Ia tidak pernah ingat telah menulis puisi! Aneh, seakan-akan puisi ini muncul begitu saja. Plop, dan ... inilah dia!

Mata Seren menelusuri setiap kata. Ia membaca setiap baris dan bait.

Aroma malam pekat gelap
Mengitari jiwa-jiwa kalut
Melingkupi jiwa-jiwa sunyi
Sendiri dan takut.

Malam pekat gelap. Seren merasakan kekosongan dan rasa sepi yang terasa mencekik. Sendiri. Sunyi.

Rembulan pun enggan berkaca
Pada awan kelabu nan sendu
Hati sang gadis suci terpecah belah
Kala sepi mendekap rindu

Sang gadis suci. Seraut wajah muncul di dalam pikiran Seren. Gadis yang mirip dengannya yang ia lihat dalam mimpi.

Wahai pegasus, di manakah engkau?
Kuingin menggapai
Tersayat pilu jiwa raga
Hanya tuk mengenyam angkasa

Seren tercenung. Ini adalah jeritan hati seorang gadis yang rindu akan kekasihnya. Tersayat pilu jiwa raga. Kasih tak sampaikah?

Gadis suci memanggil cahaya
Putih, perak menguak udara
Ketika langit kelam pecah
Berkas sinar muncul seakan merasa

Sang gadis suci memanggil cahaya. Apa maksudnya dengan cahaya?

Wahai gadis suci, pujaan jiwa
Engkaukah pelipur lara
Membentangkan tangan meruntuhkan pekat
Memanggil jiwaku yang terpendam

Ini jawaban dari panggilan itu! Siapakah yang dipanggil olehnya?
Ketika pegasus mengepakkan sayapnya
Gadis suci merekah menebar asa

Pegasus. Seren terpaku. Gadis suci memanggil pegasus!

Ketika pegasus mengepakkan sayapnya
Menyongsong gadis suci melanglang angkasa
Ini... ungkapan perasaan cinta! Perasaan indah yang terwujud ketika pegasus dan gadis suci bersama-sama! Seren terpesona.

Ketika pegasus mengepakkan sayapnya
Membawa gadis suci menggenggam langit
Tiada lagi pekat dan gelap
Yang murni hanya indah cahaya.

Di bawahnya, tampak beberapa baris yang ditulis, tapi kemudian dicoret berulang kali. Lagi dan lagi. Begitu berulang-ulang. Si penulis puisi sepertinya mengalami sejuta kebimbangan. Kata-kata yang telah dirangkai terus-menerus dicoret, menandakan ia sedang kalut bagaimana mengungkapkan pikirannya. Lalu, di bagian terakhir, hanya tertulis:

Ketika kau dan aku
Satu....

Ungkapan yang paling sederhana, namun yang paling kuat menunjukkan perasaan cinta yang ada! Seren terdiam beberapa saat. Ia merasakan gelombang sensasi. Ia melihat si pegasus. Ia melihat si gadis suci. Dan ketika pegasus mengepakkan sayapnya....

Seren bangkit tergesa-gesa. Setengah berlari, ia melesat ke studionya. Ia harus melukis mereka! Lukisan itu harus besar. Kanvas yang berukuran 128 x 85 cm itu masih kosong, dan di sanalah ia akan melukis mereka.

Pegasus dan Gadis Suci.

GADIS SUCI
Lukisan itu tidak begitu besar, tapi Rena dapat melihat jelas ekspresi wajahnya yang terukir di sana. Sepasang mata itu adalah miliknya. Sorot mata itu lembut, mengandung perasaan cinta. Senyum itu juga adalah miliknya. Sendu.

Napas Rena tercekat. Bagaimana Jonathan bisa melukisnya seperti ini? Rena menggigil. Apakah Jonathan menyadari perasaannya? Apakah ia tahu?

“Bagaimana?”

Suara Jonathan terdengar dari balik bahunya. Rena berdiri tegang. Ia merasakan kedekatan Jonathan. Bahkan, desah napasnya terasa mengelus rambutnya.

“Ini... sungguh-sungguh aku? Mirip sekali!” Rena nyaris berbisik.

Mereka berdua sedang berdiri di ruang tamu Rena. Kemarin Jonathan mengatakan, lukisan dirinya sudah rampung. Ia bersikeras membawanya ke rumah Rena. Dan, di sinilah lukisan itu berada sekarang!

“Akhir-akhir ini,” Jonathan berkata lembut, “wajahmu sering mengikutiku.” Rena berpaling menatap Jonathan. Ada keterkejutan di matanya. Lidahnya kelu. Ia panik melihat Jonathan menatapnya penuh perasaan.

“Aku melihatmu di dalam mimpiku. Aku membayangkan dirimu berulang kali.” Jonathan membelai rambut Rena dan mengelus wajahnya dengan lembut. Tatapan matanya sungguh menghanyutkan.

Rena merasa seolah-olah seluruh peredaran darahnya membeku.

“Kupikir, ini hanyalah perasaan sesaat. Tapi, kadang-kadang aku merasa kau menatapku dengan penuh kerinduan, kadang-kadang sedih. Apakah ... kau merasakan sesuatu juga seperti diriku?”

“Jonathan...,” akhirnya Rena mampu bersuara. “Hentikan! Jangan diteruskan,” kata Rena dengan susah payah. Tatapan Jonathan membuatnya lemah.

“Kenapa? Kau merasa aku tidak pantas? Karena aku lebih muda?”

“Karena... kau mahasiswaku.”

Keheningan tiba-tiba membekukan mereka. Tidak seorang pun yang bergerak. Tidak seorang pun yang bicara. Kata-kata Rena telah melenyapkan segala denting.

Jonathan lalu mundur selangkah. Ia membuat jarak. Rena mengambil napas seakan-akan tadi pernapasannya tersumbat. Jonathan memandangnya dengan tajam. “Tapi, kau tidak bisa memungkiri perasaanmu! Kau jatuh cinta padaku!”

“Kau... terlalu naif.”

“Aku tidak naif! Aku bisa merasakannya!”

“Kau keliru....”

“Tidak mungkin!”

“Dengarkan aku,” seru Rena, kalut, “kau mahasiswaku, aku dosenmu. Dan aku tidak akan, tidak mungkin, mengubah hubungan itu menjadi sesuatu yang lain. Apakah kau paham, Jonathan? Aku tidak mungkin jatuh cinta padamu!”

“Kau bohong!” Jonathan berteriak tertahan. Ia menatap Rena lekat-lekat.

“Terserah kau mau bilang apa. Tapi, kau harus ingat, aku tidak akan mengubah apa pun di antara kita. Hubungan kita hanya sebatas dosen dan mahasiswa. Titik,” kata Rena, sembari meletakkan lukisan dirinya. Wajahnya tanpa ekspresi. Ia menatap tak acuh pada Jonathan yang berdiri dengan raut kecewa. Keheningan kembali menyelimuti mereka.

“Maafkan,” akhirnya Jonathan berkata. Suaranya bergetar. “Aku terlalu lancang. Ibu boleh menyimpan lukisan itu. Aku, toh, tidak membutuhkannya. Aku harap Ibu melupakan semua ucapanku tadi. Anggap saja tidak pernah ada apa-apa di antara kita. Aku... aku mohon diri.” Jonathan melangkah menuju pintu. Rena mengikuti di belakangnya. Suasana menjadi canggung.
“Maafkan Ibu, Jonathan,” kata Rena pelan, ketika Jonathan sudah berdiri di luar pintu. “Lukisan itu bagus sekali dan akan Ibu simpan baik-baik. Ibu juga berharap, apa pun yang terjadi tidak akan membuatmu berubah. Kau mahasiswa favoritku, Jonathan.”

“Aku mengerti. Tapi, perasaanku tidak bisa berubah drastis. Namun, Ibu tidak perlu cemas. Aku tetap menjadi mahasiswa favorit Ibu. Aku permisi,” kata Jonathan. Ia memaksakan seulas senyum sebelum benar-benar hilang dari pandangan Rena.

PEGASUS DAN GADIS SUCI
Rena menatap kosong ke depan. Tuhan tidak adil padanya! Ketika cinta di depan mata, ia terpaksa harus mengalah pada keadaan. Air matanya mengalir. Mengapa Jonathan harus menjadi mahasiswanya? Mengapa ia bukan orang lain yang dikenalnya di mana saja?

Ah, kalau saja ia memiliki keberanian untuk menerima uluran cinta Jonathan. Kalau saja ia memiliki kekuatan untuk merengkuh cahaya bersama dengan pegasus seperti yang dilakukan gadis suci di dalam puisinya. Ya, kalau saja!

Pegasus dan Gadis Suci adalah bukti cintanya yang telah pupus. Ketika teringat akan puisi itu, Rena bangkit dari tempat tidurnya. Malam makin larut, tapi matanya tidak kunjung terpejam. Ia masih terus menyesali keadaan. Tuhan sungguh tidak adil padanya....

Rena membuka lacinya dan mengernyit. Kertas puisi itu... tidak ada? Rena mencoba mengingat-ingat, kapan ia pernah mengeluarkannya. Dirogohnya seluruh laci mejanya. Tidak ada! Kertas itu hilang!

Angin tiba-tiba berembus amat kencang. Rena kaget bukan kepalang. Jendela kamarnya terempas-empas diterjang angin. Apa yang sedang terjadi? Mengapa malam tiba-tiba begitu meresahkan?

Rena menutup jendela kamarnya, melawan angin yang menderu-deru. Ketika berbalik, ia terpaku. Seluruh tubuhnya membeku. Matanya nanar menatap lukisan yang tergantung di dinding kamarnya. Selama beberapa detik, ia bagaikan kehilangan kemampuan indranya. Bersamaan dengan guntur pertama yang membahana, Rena menjerit, amat kuat!

Lukisan Unicorn di Suatu Senja meluntur! Cat putih sang unicorn meluruh, mirip lukisan cat air yang meleleh. Warna merah jingga senjanya perlahan-lahan menghilang. Di baliknya, hanya tersisa gelap malam. Rena masih terus menjerit, tapi deru angin tak kalah kuatnya, meredam suara jeritan Rena yang histeris. Lukisan Unicorn di Suatu Senja kini sudah tiada. Yang tampak adalah....

Pegasus dan Gadis Suci.
Tidak mungkin! Tidak mungkin!

Tubuh Rena merosot, kehilangan tenaga. Ia tidak lagi menjerit. Ia terperangah. Pegasus itu.... Ia ingat Pegasus itu! Pegasus yang sama — dilihatnya pada malam di mana ia melihat sosok dirinya yang lain! Di malam yang meresahkannya seperti malam ini!

Rena tiba-tiba merasakan perubahan pada kamar tidurnya. Perlahan-lahan ia melihat benda-benda di kamarnya menghilang, tergantikan oleh benda-benda lain. Ada banyak lukisan terpampang. Orang-orang tampak lalu-lalang. Oh, apakah ia sudah gila? Ini tidak mungkin terjadi! Tapi, bagai potongan film ia melihat adegan demi adegan berputar. Tiba-tiba ia melihat tangannya mengabur, lalu... menghilang. Ia menjerit lagi, tapi suaranya juga telah sirna!

Rena linglung. Ia mencoba bangkit, tapi tidak mampu. Kemudian, di antara orang-orang, Rena melihatnya. Ia melihat....

Gadis itu? Ia melihat dirinya, berdiri anggun sambil berbicara dengan seseorang. Seorang pria berumur tampak memeluknya sejenak sambil menepuk-nepuk punggungnya, lalu berjalan pergi. Tapi, itu bukan dirinya! Pikiran itulah yang terakhir melintas di kepalanya, sebelum akhirnya ia menghilang seutuhnya....

Kau siapa?

“Serena.”

Seren menoleh dan mendapati Jonathan berdiri di belakangnya dengan senyum lembut menghiasi bibirnya.

“Mengagumi hasil karya terakhirmu lagi?” tanya Jonathan. Seren merangkulkan lengannya, mesra. Mereka menatap lukisan Pegasus dan Gadis Suci. Jonathan merasa takjub. Seekor pegasus mengepakkan sayapnya menuju cahaya, sedangkan seorang gadis memeluknya di punggungnya. Tubuh mereka seakan menyatu. Begitu indah dan menggairahkan!

“Indah sekali, bukan? Aku berterima kasih kepada siapa pun yang telah menulis puisi itu, dan meninggalkannya di tempat tidurku, Jo.”

“Jangan-jangan kau yang menulisnya sendiri. Mungkin kau lupa?”

Seren terdiam. Ia merasa dekat dengan puisi itu. Suatu perasaan yang aneh menyergapnya.

“Mungkin...,” katanya mengambang.

“Ada yang ingin bertemu denganmu, Serena. Dia pemilik galeri di Singapura. Dia begitu terpesona oleh lukisan-lukisanmu. Itu orangnya, yang sedang berbincang dengan ayahmu,” kata Jonathan, sambil menunjuk pada seorang laki-laki yang tampak terlibat pembicaraan dengan Ruswandi, ayah Seren. “Dia ingin kau bersedia mengadakan pameran lanjutan di sana.”

Seren membuka mulutnya. Perasaan senang terpancar di matanya. “Benarkah?”

“Ayahmu memanggil,” kata Jonathan lagi. “Ayo,” Jonathan menggandeng Seren meninggalkan lukisan Pegasus dan Gadis Suci.

Pegasus dan Gadis Suci tegak menjulang di tengah ruangan, menyendiri bagaikan saksi bisu dari suatu misteri. Di bawah lukisan itu, tertulis sebuah catatan: Private Collection. Not for Sale.

No comments: