12.22.2010

Perempuan Bernama Riska

AWAL APRIL 2006
Kamis pagi, waktu baru menunjukkan pukul 05.30. Lalu lintas kendaraan belum terlalu ramai oleh orang-orang yang akan berangkat kerja. Tapi, Bowo sudah duduk di belakang kemudi kendaraan yang dia parkir di tepi jalan, beberapa meter dari depan sebuah rumah di Jalan Tebet Barat. Rencana yang sudah lama ada di benak Bowo untuk menyelidiki dan membuktikan kecurigaan pada istrinya, pagi itu dia lakukan. Sengaja Bowo tidak menggunakan kendaraan sedan miliknya, agar penyamarannya dengan menggunakan kendaraan pinjaman tidak mudah dikenali Riska, istrinya.

Rumah kediaman kakak Riska di Jalan Tebet Barat tidak begitu besar. Rumah dua lantai, halamannya berumput dengan sedikit tanaman, berpagar besi tidak terlalu tinggi, sehingga dari dalam kendaraan, Bowo dapat melihat keadaan di depan rumah dengan leluasa.

Rabu sore kemarin Riska minta izin suaminya untuk bermalam di rumah kakaknya dengan alasan akan mengantar ibunya berobat. Kata Riska, hari Kamis pagi ibunya akan tiba dari Semarang menggunakan kereta api pagi. Riska beserta kakak perempuannya berencana mengantar ibunya ke tempat pengobatan alternatif di Bekasi.

Namun, kejadian akhir-akhir ini membuat Bowo selalu curiga pada istrinya. Jangan-jangan cerita kedatangan ibunya hanya alasan saja. Apalagi, saat akan ke rumah kakaknya, Riska tidak mau diantar, malah memilih naik taksi. Sudah lama Bowo mencurigai istrinya punya hubungan dengan pria lain. Bukti SMS di ponsel Riska, dan seringnya Riska secara sembunyi-sembunyi menerima telepon atau menelepon dan berbicara dengan suara berbisik, membuat Bowo makin curiga. Berkali-kali Bowo berniat untuk memata-matai istrinya. Namun, selalu tertunda, karena kesibukan pekerjaannya, dan baru hari Kamis pagi ini Bowo mendapat peluang untuk melakukannya.

Duduk di belakang kemudi, dengan pura-pura membaca koran, pikiran Bowo sedang menimbang-nimbang apa yang akan dia lakukan. Apakah hanya menunggu saja sampai Riska dan ibunya keluar rumah dan berangkat ke Bekasi, atau harus berbuat sesuatu. Tiba-tiba muncul pikiran untuk menelepon Riska. Ketika jarum jam menunjuk angka 06.30, Bowo mengambil ponselnya dan mengontak Riska.

“Ris, bagaimana, Ibu jadi datang?” tanya Bowo.

Riska yang tidak mengharap mendapat telepon dari suaminya agak kaget. Ia sempat berpikir, jangan-jangan suaminya tahu bahwa dia berbohong. Namun, Riska segera dapat menguasai perasaannya. Apalagi, sewaktu akan meninggalkan rumah, suaminya kelihatan biasa-biasa saja, tidak ada tanda-tanda mencurigakan.

Dengan suara agak pelan, namun pura-pura penuh kemesraan, Riska menjawab telepon suaminya. “Ibu baru saja datang, sekarang sedang sarapan. Mas sudah sarapan?”

Nada suara Riska mengesankan tidak terjadi apa-apa, tidak ada yang patut dicurigai. Namun, kecurigaan Bowo justru muncul, ketika melihat di depan rumah tidak ada mobil yang akan mengantar mereka ke Bekasi. Biasanya mobil kakaknya selalu diparkir di halaman rumah. Tapi, mungkin juga mobil dipakai suami kakak Riska, dan Riska akan pergi menggunakan taksi.

Semula Bowo akan bertanya, mau menggunakan kendaraan apa. Tapi, Bowo khawatir, penyamarannya ketahuan. Dia alihkan pertanyaannya, “Jadi, jam berapa mau berangkat ke Bekasi?”

“Ya, sebentar lagi, menunggu Mbak Ratna selesai beres-beres,” kata Riska, berbohong.

Riska pikir, paling-paling suaminya di rumah sedang baca koran, sambil minum teh, sebelum berangkat ke kantor sebagaimana biasanya dia lakukan.

“Oke. Kalau begitu, hati-hati di jalan, ya,” kata Bowo.

Mendengar ucapan suaminya yang penuh pehatian, Riska merasa lega. Berarti, Bowo tidak curiga. Padahal, Bowo sendiri masih bimbang. Bowo berharap, apa yang dikatakan istrinya, bahwa ibunya baru saja tiba dari Semarang, memang betul. Tapi, Bowo bertekad untuk tetap menunggu di dalam mobil sampai melihat dengan mata kepala sendiri ibu mertua, istrinya, serta kakak Riska, Mbak Ratna, keluar dari rumah.

Tak lama kemudian Bowo melihat seorang pria keluar dari rumah. Pria berusia 30-an, perawakannya tinggi, rambut agak keriting. Bowo melihat jam tangannya, pukul tujuh. Bowo belum pernah melihat dan bertemu pria tersebut. Tak mungkin dia saudara Riska, karena Riska tidak punya saudara laki-laki. Riska enam bersaudara, semuanya perempuan, pikir Bowo.

Dengan masih pura-pura membaca koran, mata Bowo terus meng-awasi gerak-gerik pria itu. Rupanya, pria itu sedang menunggu taksi yang lewat. Setelah dapat menyetop taksi, taksi diminta masuk ke halaman rumah. Tiba-tiba saja dada Bowo terasa bergetar. Bowo pikir, jangan-jangan pria ini kekasih istrinya. Ada keinginan untuk menelepon Riska, tapi hati kecil Bowo mencegahnya, Bowo ingin melihat bagaimana kelanjutannya.

Setelah taksi masuk ke halaman, pria itu masuk ke dalam rumah. Tidak berapa lama kemudian, kekhawatiran Bowo menjadi kenyataan. Benar saja, Bowo melihat Riska diiringi pria itu keluar dari rumah. Tidak tampak Ibu maupun kakak Riska. Tangan kiri pria menjinjing travel bag merah yang biasa digunakan Riska, sedangkan tangan kanannya menarik koper beroda warna hitam. Riska tampil cantik mengenakan blus lengan panjang warna krem dan blazer warna cokelat tua. Riska juga mengenakan wig warna cokelat muda, yang dibeli minggu lalu bersama Bowo.

Bowo melihat adegan di depannya tanpa bergerak. Badannya tiba-tiba jadi lemas, kepala terasa panas, dadanya bergetar cepat. Tangannya kencang memegang erat-erat kemudi kendaraannya, seakan mau menabrakkannya ke taksi yang dinaiki Riska.

Ada keinginan Bowo untuk turun dari kendaraan dan menemui Riska. Namun, pikiran jernih Bowo mencegahnya. Kalau dia turun dari kendaraan dan menemui Riska, pasti akan terjadi keributan dan mungkin pertengkaran, yang akan menarik perhatian orang-orang yang sedang lalu-lalang di jalan. Bowo tidak mau dirinya menjadi tontonan orang.

Dengan mata tak berkedip Bowo melihat Riska dan pria itu masuk taksi. Tidak lama kemudian, perlahan-lahan taksi berjalan ke luar halaman, menuju arah Tebet Raya. Bowo hanya dapat menarik napas dalam-dalam. Dari mulutnya berkali-kali keluar ucapan istigfar.

Ada keinginan untuk memutar kendaraannya dan mengikuti taksi yang dinaiki Riska, untuk mengetahui ke mana arah kepergian istrinya. Tapi, Bowo pikir, tidak ada gunanya. Toh, dia sudah melihat langsung istrinya pergi dengan pria lain. Bowo yakin, istrinya sudah merencanakan sejak lama, mungkin mencari kesempatan saat keluarga kakaknya tidak ada di rumah.

Dalam keadaan terpukul melihat Riska, Bowo menghubungi Riska, untuk memberi kesan bahwa dia tahu perselingkuhan Riska. Agak lama Bowo menunggu nada panggil dari ponsel Riska.

Riska sendiri ragu-ragu menjawab telepon suaminya. Riska punya firasat, suaminya tahu bahwa dia pergi dengan pria lain. Ketika kemudian terdengar suara Riska, suaranya sangat pelan, seperti takut didengar orang lain.

“Halo,” kata Riska.

Mendengar suara istrinya, kemarah­an Bowo meledak dan dengan nada tinggi berkata, “Ris, dengan siapa kamu pergi? Pacar kamu? Kamu bohongi aku, ya? Sampai hati kamu selingkuh di depan mataku. Memangnya aku kamu anggap apa?” Belum selesai Bowo melampiaskan amarahnya, Riska mematikan ponsel.

Dengan perasaan marah bercampur sedih, badan lemas, dada masih bergetar, tangannya terkepal, Bowo tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Untuk beberapa lama Bowo diam duduk di belakang kemudi, matanya memandang ke depan dengan tatapan kosong. Tanpa Bowo sadari, perlahan-lahan dia kemudikan kendaraannya, arah pulang ke rumah.

Tiba di rumah, Bowo menjatuhkan dirinya di tempat tidur. Tidak terasa air mata membasahi pipinya. Hatinya sangat pedih, dadanya terasa sesak. Sampai hati Riska berbohong dan mengkhianatinya. Kurang apa Bowo menyayangi dan mengasihi Riska. Apa yang kurang? Semua permintaaan Riska tidak pernah dia tolak, kewajiban sebagai suami telah dia penuhi, baik yang menyangkut keperluan jasmani maupun kebutuhan rohani. Sampai detik ini pun tidak pernah ada keluhan dari Riska.

SETAHUN SEBELUMNYA
Sabtu malam, Bowo berkenalan dengan Riska di suatu pesta ulang tahun. Bowo duda dengan dua anak, pejabat di suatu instansi pemerintah. Riska janda tanpa anak, pengajar di perguruan tinggi swasta. Bowo duda karena istrinya meninggal, sedangkan Riska pernah bercerai.

Bowo menyukai Riska, terutama karena Riska tidak punya anak, sehingga dari segi materi tidak akan membebani Bowo. Selain itu, menghindari penolakan dari anak-anak Bowo. Menu­rut penilaian Bowo, Riska enak sebagai teman bicara. Apalagi, mereka punya kesamaan hobi, yaitu musik.

Riska menyukai Bowo, meskipun usianya cukup tua, karena Bowo itu baik, penuh perhatian, dapat mengimbangi pemikir­an Riska yang usianya relatif muda. Tentu saja, menurut perkiraan Riska, dari segi materi, Bowo adalah duda yang mapan.

Beda usia Bowo dan Riska cukup besar. Usia Bowo 56 tahun, Riska 35 tahun. Mengetahui usia Bowo yang hampir sama dengan usia ibunya, semula Riska hanya ingin berteman saja, untuk mengisi waktu luang. Ia menganggap Bowo sebagai teman untuk menghilangkan rasa sepi dan kesendirian, sebelum menemukan pria yang tepat untuk menjadi suaminya. Namun, setelah menjalin hubungan selama lima bulan, ada rasa ketertarikan Riska pada Bowo lebih dari sekadar pertemanan.

Dalam suatu pembicaraan, Bowo memberi tahu Riska, mes­kipun dia pejabat pemerintah, dia bukan termasuk orang yang kaya. Bowo mengatakan bahwa penghasilan dan tabungannya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sederhana. Riska menganggap ucapan Bowo hanya sekadar basa-basi. Ada juga orang kaya yang tidak mau mengatakan bahwa dirinya kaya. Menurut Riska, mana ada pejabat pemerintah eselon satu yang tidak kaya.

Meskipun hubungan Bowo dan Riska berjalan lancar, kadang-kadang timbul rasa bimbang di hati Bowo, apakah Riska orang yang tepat untuk mendampingi dirinya yang sebentar lagi akan memasuki usia pensiun? Apakah beda usia yang begitu jauh antara dirinya dan Riska tidak akan menimbulkan masalah? Apakah setelah dia pensiun dan punya banyak waktu untuk di rumah, Riska tidak bosan selalu bertemunya?

Riska merasa tidak menemui kesulitan berhubungan dengan orang setua Bowo, terlebih karena sikap Bowo yang penyabar, dan ada kalanya romantis. Mereka berdua dapat saling menyeuaikan diri, tidak terlihat adanya kejanggalan satu sama lain.

Suatu ketika, saat Bowo dan Riska jalan-jalan di mal, Riska berkata, “Mas, orang-orang itu kalau melihat kita pasti bertanya-tanya, kita ini pasangan suami-istri atau bapak dan anak?”

“Ah, biarkan saja. Biar mereka bingung sendiri. Kamu sendiri malu nggak bergandengan tangan denganku?”

“Ya, enggak, dong,” jawab Riska, sambil tertawa. Ia malah mempererat pegangan tangannya ke lengan Bowo. “Sebetulnya, yang salah itu kamu. Cari istri, kok, beda usianya jauh sekali”

“Bukannya kamu yang salah? Kok, mau-maunya dengan orang tua seperti aku!”

Setelah menjalin hubungan sekitar lima bulan, Bowo melamar Riska. Bowo pikir, makin cepat menikah makin baik, untuk menghindari fitnah dan pembicaraan orang, karena predikat duda dan janda. Semula Riska keberatan. Riska merasa belum siap untuk menikah. Namun, setelah beberapa kali Bowo meyakinkan Riska, akhirnya Riska setuju untuk menikah siri dahulu. Nanti, tiga bulan kemudian baru meresmikan pernikahan mereka lewat KUA.

Atas permintaan Bowo, Rika setuju bahwa setelah menikah mereka tidak akan tinggal di rumah Bowo. Bowo tidak ingin kamar tidurnya yang banyak menyimpan kenangan manis ketika hidup bersama almarhumah istrinya, dimasuki wanita lain. Permintaan Bowo untuk tidak tinggal di rumahnya, justru sangat menguntungkan Riska. Bagi Riska, kalau dia harus tinggal di sana, ia malah khawatir, seandainya di kemudian hari terjadi sesuatu dengan Bowo, akan timbul masalah dengan anak-anaknya. Riska kemudian meminta pada Bowo, agar setelah menikah dapat memiliki rumah atas namanya sendiri, sebuah rumah untuk ditempati mereka berdua.

Selama menjalin hubungan, Bowo telah mempertemukan Riska dengan anak-anak dan menantunya. Sebaliknya, rencana Riska untuk memperkenalkan Bowo dengan ibunya, dan adik-adiknya yang tinggal di Semarang, tak kunjung terlaksana. Bahkan, Riska belum memberi tahu keluarganya tentang hubungannya dengan Bowo. Bowo hanya diperkenalkan kepada kakak Riska yang tinggal di Tebet Barat. Itu pun Riska mengatakan bahwa Bowo hanyalah teman biasa.

Acara nikah siri antara Riska dan Bowo dilakukan pada bulan Oktober 2005 hari Minggu siang, di sebuah masjid kecil di dekat rumah Bowo. Dari pihak Bowo hadir kedua anak dan menantunya. Dari pihak Riska, tidak ada seorang pun yang tampak hadir. Persetujuan keluarga Riska hanya dalam bentuk surat yang mengatasnamakan pamannya, Dewanto. Bowo tidak pernah tahu dari mana Riska memperoleh surat tersebut. Ketika Bowo menanyakan ketidakhadiran keluarga Riska, Riska mengatakan bahwa mereka akan hadir nanti pada saat meresmikan pernikahan di KUA.

Setelah menikah, untuk sementara mereka mengontrak rumah dan menjalani kehidupan sebagai suami-istri. Bowo betul-betul menikmati hidup berdua dengan Riska. Bowo begitu mencintai dan menyayangi istrinya, sehingga apa saja permintaannya selalu dipenuhi. Meskipun bukan barang bermerek dan mahal harganya, frekuensi belanja Riska cukup tinggi.

Bowo juga punya tugas baru, yaitu antar-jemput Riska mengajar. Karena itu, Bowo jadi sering meninggalkan kantor. Bahkan, hari Sabtu dan Minggu, saat orang lain berlibur dan beristirahat, Bowo harus siap mengantar istrinya mengajar di kelas extension bagi para karyawan. Bahkan, tidak jarang Bowo harus menunggu beberapa jam di dalam kendaraan, kalau Riska mengajar di kampus yang lokasinya di pinggiran Jakarta. Namun, semua dilakukan Bowo dengan senang hati.

Riska sendiri memperlihatkan diri sebagai seorang istri yang mencintai suaminya, melayani dengan baik. Yang membuat Bowo terkesan adalah sikap Riska yang ramah dan bersahabat dengan anak-anak dan saudara-saudara Bowo.

Sabtu pagi, di bulan November 2005, Bu Puji hadir pada acara pengajian ibu-ibu di perumahan Ganesya, di daerah Pandean Lamper, Kecamatan Gayamsari, Semarang. Bu Puji bukan penghuni perum Ganesya, rumah Bu Puji malah agak jauh, sebelah barat perumahan Ganesya. Tapi, karena yang mengundang teman dekat, dan topik ceramah kelihatannya menarik, Bu Puji ingin hadir.

Ketika acara pembacaan ayat-ayat suci Al-Quran selesai dan akan dilanjutkan dengan ceramah, Bu Sri yang duduk di sebelah kanan Bu Puji memperkenalkan diri dan menyalami Bu Puji. Sambil mendengarkan ceramah, mereka berdua terlibat pembicaraan tentang masalah keluarga. Ujung-ujungnya, pembicaraan menyinggung masalah anak-anak.

Dengan agak berbisik, khawatir mengganggu ibu-ibu yang lain, berkata Bu Sri, ”Anak saya dua, laki-laki, belum ada yang menikah. Yang tertua, Anton, usianya sudah 34 tahun, belum juga ada tanda-tanda untuk menikah. Padahal, saya sudah kepingin momong cucu.”

“Mungkin belum ketemu jodohnya,” kata Bu Puji.

“Mungkin juga. Ibu punya berapa putra?’

“Anak saya enam orang, perempuan semua.”

“Wah, Ibu beruntung punya enam orang anak perempuan. Punya anak perempuan itu berkah, Bu. Anak perempuan biasanya lebih sayang pada orang tua. Berapa yang sudah berkeluarga ?” tanya Bu Sri.

“Tinggal satu orang.”

“Wah, kebetulan. Bagaimana kalau kita besanan, Bu?”

Bu Puji tidak tahu apakah pertanyaan Bu Sri itu serius atau hanya bercanda. Karena itu, Bu Puji menjawabnya dengan bercanda.

“Monggo.... Jangan-jangan pulang dari pengajian saya malah dapat oleh-oleh calon menantu,” kata Bu Sri, tertawa. “Ya, siapa tahu. Kalau Tuhan menghendaki, kan tidak ada yang mustahil,” kata Bu Sri.

Seminggu kemudian, pagi-pagi Bu Sri bertamu ke rumah Bu Puji di kompleks perumnas Tlogosari, Kecamatan Pedurungan. Perumnas yang lokasinya berada di tengah-tengah antara jalan raya Soekarno Hatta itu cukup luas. Agak kesulitan Bu Sri mencari rumah Bu Puji. Perumahan yang dibangun dengan sistem blok, dan bentuk rumah yang hampir seragam, agak sulit dibedakan. Namun, setelah sopir bertanya pada tukang-tukang ojek yang mangkal di ujung jalan, akhirnya rumah itu bisa ditemukan.

Pembicaraan sambil bercanda di tempat pengajian, berlanjut di kediaman Bu Puji. Setelah ngobrol soal keadaan kompleks perumnas Tlogosari, Bu Sri akhirnya mengutarakan maksud kedatangannya.

“Jadi, Bu Sri serius untuk besanan dengan saya?” tanya Bu Puji.

“Betul, Bu. Saya datang kemari, selain menengok Ibu, juga dalam rangka anak saya. Usia Anton sudah pantas untuk menikah. Dia sudah punya pekerjaan tetap, malah sudah memiliki rumah sendiri. Saya kira, penghasilannya juga lumayan. Kalau dia tidak sempat mencari istri sendiri, kan tidak ada salahnya orang tua ikut mencarikan pasangan.”

“Benar, Bu. Tugas seorang ibu tidak pernah ada akhirnya. Seperti saya. Meskipun kelima anak saya sudah menikah, ada saja masalah yang memerlukan campur tangan saya. Apalagi, sejak bapaknya anak-anak meninggal. Persoalan membesarkan dan pendidikan anak-anak jadi tanggungan saya semua.”

Untuk sesaat mereka berdua diam, kemudian Bu Puji melanjutkan, “Anak saya ini namanya Riska, dia anak nomor dua. Maaf, ya, Bu, sebetulnya dia sudah pernah menikah, tapi mungkin tidak jodoh. Dua tahun yang lalu mereka bercerai. Sekarang dia tinggal bersama kakaknya di Jakarta.”

Dengan ragu-ragu Bu Sri bertanya, “Apakah Nak Riska sempat punya momongan?”

“Dia belum punya anak. Karena itu, saya ingin dia cepat-cepat menikah lagi. Karena, kakak dan adik-adiknya sudah memiliki anak. Ya, kalau orang setua saya ini kan tidak tahu kapan dipanggil Gusti Allah. Makanya, mumpung masih hidup, saya ingin punya cucu dari Riska.”

Bu Puji beranjak dari kursinya, mengambil foto Riska yang dipajang di atas lemari di sebelah kiri meja tamu. Foto Riska diperlihatkan pada Bu Sri. Beberapa saat Bu Sri mengamati foto Riska. Melihat wajah dan penampilan Riska, Bu Sri langsung tertarik. Dalam hati, Bu Sri memuji kecantikan Riska. Meskipun janda, terlihat masih muda, dan cantik. Orang tidak akan tahu bahwa dia janda. Mudah-mudahan saja Anton suka.

“Ngomong-ngomong, bisa tidak kapan-kapan saya dipertemukan dengan Nak Riska? Biar dia berkenalan dengan Anton,” kata Bu Sri.

“Begini saja, Bu, nanti saya panggil Riska agar pulang. Biar dia minta izin untuk pulang sebentar. Dia kan bekerja sebagai dosen di Jakarta.”

“Wah, kebetulan. Profesi dosen kan terhormat. Berapa usia Nak Riska?” tanya Bu Sri.

Bu Puji agak ragu-ragu. Di akta kelahiran, usia Riska tercatat 37 tahun, tapi di KTP tercatat usianya 35 tahun.

“Sekarang 35 tahun,” kata Bu Puji.

“Lebih tua setahun dari Anton,” Bu Sri bergumam. “Bulan depan Anton genap berusia 34. Tapi, zaman sekarang tidak ada masalah kalau istrinya lebih tua. Apalagi, bedanya cuma setahun.”

Pada bulan November itu, saat pembicaraan antara Bu Puji dan Bu Sri berlangsung, Riska sudah satu bulan menikmati kehidupan baru sebagai istri Bowo. Riska sengaja tidak memberi tahu ibu dan saudara-saudaranya bahwa dia telah melakukan nikah siri.

Hari Selasa pagi, ketika Riska sedang memberikan kuliah, telepon selulernya berbunyi. Dari ibunya. Riska bertanya-tanya, ada apa pagi-pagi Ibu sudah menghubunginya. Biasanya, Ibu selalu menelepon di malam hari.

“Ris, ini Ibu. Bagaimana kabarmu?”

“ Riska baik-baik saja, Bu. Ibu sendiri bagaimana?”

”Ibu sehat. Ris, bisa kamu pulang sebentar ke Semarang?”

”Ada apa, Bu?”

”Ada urusan penting menyangkut dirimu.”

Tanpa penjelasan, Riska sudah mengerti apa yang dimaksud ibunya.

”Riska sedang mengajar, Bu. Nanti malam saja Riska telepon Ibu lagi.”

”Ibu mengharapkan kamu cepat pulang,” kata Bu Puji, mendesak.

”Ya, Bu.”

”Tapi, jangan lama-lama, ya, Nak”

”Akan Riska usahakan secepatnya, Bu.”

”Baik, Ibu tunggu, ya,” Bu Puji mengakhiri pembicaraannya.

Konsentrasi Riska terganggu. Tapi, dia terus mengajar, sampai batas waktu mata kuliah berakhir. Dalam perjalanan pulang, pikiran Riska masih di sekitar pembicaraan dengan ibunya. Riska tahu, untuk apa ibunya meminta dia pulang. Mungkin Ibu sudah menemukan calon untuknya.

Sebenarnya Riska sudah merasa cocok hidup berdua bersama Bowo. Tapi, Riska khawatir kondisi Bowo tidak dapat memberikan jaminan masa depan. Bagi Riska, cinta saja tak selamanya cukup, apalagi kalau menyangkut materi dan kekayaan. Belakangan Riska menyesal telah membuat kesalahan dalam menilai kemampuan Bowo. Apa yang pernah dikatakan Bowo bahwa dirinya tidak kaya, bukan sekadar basa-basi, tapi memang sesuai kenyataan. Pada saat berpacaran, Riska mengira Bowo seorang pejabat kaya yang akan dapat memenuhi keinginan Riska. Rumah, mobil, usaha, dan prospek masa depan yang menjanjikan.

Ketika itu Riska berpikir, tidak masalah dia menikahi duda tua. Yang penting orangnya baik, dan tentu saja kaya. Sahabat karibnya, Nuraini, sempat merasa heran mendengar Riska berhubungan dengan orang yang pantas menjadi ayahnya. Namun, Riska justru mengatakan tidak masalah. Riska beralasan, ingin hidup enak, tidak perlu kerja, tidak pusing dengan masalah keuangan. Tapi, melihat kenyataan yang dihadapi, kini Riska berpikir lain.
Setelah berpikir cukup lama, sebelum Bowo pulang kantor, Riska sudah mengambil keputusan untuk minta izin suaminya beberapa hari pulang ke Semarang.

Sehabis makan malam, ketika mereka berdua duduk-duduk di ruang tamu, Riska dengan hati-hati minta izin Bowo.

”Mas, tadi adik di Semarang menelepon. Aku disuruh pulang. Katanya, Ibu sakit.”

”Sakit apa?” tanya Bowo, penuh perhatian.

”Ibu kan diabetes. Kalau gula darahnya naik, Ibu suka terkena vertigo. Makanya, aku mau ke Semarang,” Riska berbohong.

”Kalau begitu, dengan aku saja. Sekalian aku bekenalan langsung dengan ibumu.”

”Ah, tidak usah, Mas. Nanti Mas jadi bolos lagi. Lagi pula, aku pergi dengan Mbak Ratna,” lagi-lagi Riska berbohong.

”Ya, sudah. Tapi, jangan lama-lama di Semarang. Besok aku belikan tiket pesawatnya.”

”Tak usah, Mas. Kasih uangnya saja, nanti kubeli sendiri di airport.”

Dengan menggunakan pesawat siang pukul sebelas dari Bandara Soekarno-Hatta, tepat pukul setengah dua Riska sudah tiba di rumah ibunya. Setelah hampir empat bulan tidak bertemu, wajah Bu Puji terlihat cerah melihat kedatangan anaknya. Bu Puji dan Riska saling berpelukan mesra.

Sehabis meletakkan koper di kamar tidur, Riska kembali menemui ibunya yang sedang duduk di ruang tamu. Riska sudah tidak sabar untuk mendengar cerita ibunya.

“Bu, jadi bagaimana ceritanya?”

Sambil memandang wajah anaknya yang duduk di sofa di sampingnya, Bu Puji berkata, “Dua minggu yang lalu teman Ibu datang kemari. Dia ingin menjodohkan anaknya dengan kamu.”

“Teman Ibu yang mana?

“Teman pengajian. Bu Sri Lestari, Ibu kenal ketika sama-sama mengikuti pengajian di rumah Bu Suryo. Kebetulan dia duduk di sebelah Ibu dan bicara soal anaknya yang katanya masih lajang.

“Ibu sudah bertemu anaknya?

“Belum. Kata Bu Sri, anaknya sudah mapan. Bahkan, sudah punya rumah sendiri. Ibu pikir, siapa tahu dia bisa jadi jodoh kamu.

“Berapa usianya, Bu?

“Bu Sri bilang 34 tahun.

“Lebih muda dari aku, kata Riska.

“Kan tidak apa-apa, Ris. Zaman sekarang banyak suami yang usianya lebih muda dari istrinya. Apalagi, kalau bedanya cuma setahun.

“Bedanya, ya, tiga tahun, dong, Bu.

“Bukannya di KTP usiamu tertulis 35 tahun?

Riska tidak menjawab pertanyaan ibunya, malah balik bertanya, “Lalu, kapan mereka akan ke rumah?

“Kalau kamu tidak keberatan, besok juga bisa. Ibu pikir, makin cepat makin baik. Nanti malam Ibu akan telepon.

“Siapa, Bu, nama anaknya? Jangan-jangan aku kenal.

“Namanya Anton, bekerja di Pemda Semarang.

“Ibunya cerita mengapa dia telat menikah?

“Ibunya belum banyak bercerita. Menurut Ibu, mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Atau, belum ketemu jodoh saja.

Namun, Riska punya pikiran lain. Mungkin Anton termasuk pemalu, atau mungkin malah terlalu pilih-pilih calon istri.

Keesokan harinya, Kamis sore, Bu Sri bersama Anton datang bertamu ke rumah Bu Puji. Sesuai permintaan Riska, hanya Bu Puji sendiri yang akan menyambut kedatangan Bu Sri dan anaknya. Riska akan menyusul kemudian.

Saat melihat penampilan Anton, Bu Puji langsung tertarik. Postur tubuh Anton atletis, dengan tinggi sekitar 175 cm, rambut agak keriting, dan wajahnya cukup ganteng.

Setelah berbincang beberapa menit, Riska keluar dengan membawa hidangan minuman. Sejak melihat Riska keluar dari ruang makan, mata Bu Sri dan Anton tidak lepas mengamati Riska. Menu­rut Bu Sri, Riska kelihatan lebih cantik daripada fotonya.

Setelah meletakkan hidangan di meja, Riska menyalami Bu Sri dan Anton. Sambil tersenyum Bu Puji membuka suara, “Riska baru kemarin datang. Sengaja saya panggil pulang untuk berkenalan dengan Bu Sri dan Nak Anton.

“Sudah berapa lama tinggal di Jakarta? tanya Bu Sri.

“Sudah lama, mungkin sepuluh tahun, jawab Riska, sambil memandang ibunya seakan minta persetujuan.

“Setelah tamat SMA, Riska melanjutkan kuliah di Jakarta. Pulang sebentar untuk menikah, dan kembali lagi ke Jakarta.

Anton sudah diberi tahu ibunya bahwa Riska pernah menikah, dan kemudian bercerai. Karena itu, Anton tidak kaget mendengar penjelas­an Bu Puji. Menurut Anton, Riska terlihat lebih muda dari usianya.

“Dulu Mas Anton SMA-nya di mana? tanya Riska tiba-tiba.

“Saya di SMA Papandayan.

“Kalau saya lulusan SMA Imam Bonjol. Karena, sebelum pindah kemari, Ibu tinggal di daerah Tanjung Mas.

Melihat Riska dan Anton cepat akrab, Bu Puji dan Bu Sri merasa senang. Bu Puji dan bu Sri membiarkan Riska dan Anton terus berbincang-bincang. Sampai tiba saatnya Bu Sri dan Anton pamit pulang, mereka belum membicarakan masalah lamaran atau pernikahan. Pertemuan baru dalam tahap saling melihat muka, dan saling kenal.

Tapi, keesokan harinya sekitar pukul sebelas pagi, tanpa janjian terlebih dahulu, Anton sudah datang ke rumah Riska. Anton mengajak Riska makan siang di luar. Riska tidak keberatan.

“Sampai kapan di Semarang? kata Anton.

“Rabu depan harus kembali ke Jakarta.

“Kok, cepat sekali?

“Saya harus mengajar.

Di tengah-tengah acara makan siang, tiba-tiba ponsel Riska berbunyi. Riska sengaja membiarkan dering telepon berbunyi, tanpa berusaha untuk membuka ponselnya. Anton heran. Ketika ponsel berbunyi lagi, barulah Riska bereaksi. Di layar terbaca nama Bowo.

“Halo, kata Riska dengan suara pelan.

“Ris, sedang apa kamu? Bagaimana keadaan ibumu? tanya Bowo.

“Aku baik-baik. Ibu masih sakit, kata Riska, berbohong.

Anton yang mencuri dengar, merasa heran.

“Mas, sudah dulu, ya. Nanti malam saja aku telepon. Sekarang sedang banyak tamu, kata Riska, menutup pembicaraan.

“Telepon dari siapa? tanya Anton

“Dari teman, jawab Riska, santai.

“Wah, di Jakarta kamu pasti banyak temannya, Anton mulai menyelidik.

“Lumayan.

“Ada yang istimewa?

“Tidak ada. Semua teman biasa, Riska berbohong. “Mas Anton sudah punya pacar?

“Belum. Dulu aku memang punya, tapi lalu putus.

Selesai makan siang, Anton mengantar Riska pulang. Sebelum berpisah, Anton mengatakan bahwa malam Minggu akan menjemput dan mengajak Riska nonton. Riska hanya mengangguk.

Menjelang tidur malam, Riska merenungkan pertemuannya dengan Anton siang tadi. Secara fisik Anton memenuhi kriteria Riska. Muda, mapan, dan punya masa depan cerah. Lalu, bagaimana dengan Bowo?

Setelah menjadi istri Bowo, memang tumbuh rasa sayang Riska pada Bowo. Riska merasa banyak berutang budi pada Bowo. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana kalau sampai Bowo tahu rencana Riska untuk menikah dengan Anton. Kalau mengingat kebaikan Bowo, Riska merasa menyesal, mengapa dulu dia mau diajak nikah oleh Bowo, mengapa tidak berteman saja.

Malam Minggu, Anton dan Riska nonton. Dalam suasana gedung yang gelap, tiba-tiba saja tangan Anton sudah menggenggam erat tangan Riska. Riska tidak berusaha melepaskan. Bahkan, ketika Anton mengelus tangan Riska, Riska membalas elusan tangan Anton.

Dalam perjalanan pulang, Anton menanyakan kemungkinan Riska pindah ke Semarang.

“Aku belum tahu kapan. Tapi, nantilah aku lihat perkembangannya, jawab Riska.

“Nanti aku bantu mencarikan kerja di sini.

“Kalau aku pindah ke sini, aku paling hanya bisa mengajar.

“Aku punya beberapa teman yang menjadi dosen di sini. Tapi, sebelum pindah, kamu akan bolak-balik ke Semarang?

“Ya, kalau liburan, aku juga pulang.

“Kalau kamu mau, aku juga bisa ke Jakarta menjemputmu.

“Ya, nanti kita atur.

Pada saat Riska akan kembali ke Jakarta, Anton mengantar Riska ke bandara, menunggu sampai pesawat yang Riska naiki terbang menuju Jakarta.

Dalam kesendiriannya di pesawat, Riska terus berpikir, menimbang-nimbang, mencari jalan terbaik untuk berpisah dari Bowo, tanpa harus menyakiti hatinya. Riska sendiri merasa berat berpisah dari Bowo, apalagi aktivitas Riska di Jakarta selama ini banyak bergantung pada bantuan Bowo. Mulai dari antar-jemput mengajar di Jakarta maupun di luar Jakarta, mengantar ke mana saja Riska pergi. Pendek­nya, semua keperluan dan kebutuhan Riska, selalu dipenuhi Bowo.

Hari Senin malam, ketika Bowo dan Riska sedang tidur-tiduran, sambil nonton TV di kamar tidur, Riska berkata, “Mas, aku lihat kedua anakmu bahagia banget, sudah dikaruniai momongan. Aku juga kepingin punya anak, Mas.

“Apa kamu bisa? Katanya, kamu punya masalah dengan kandungan kamu? Dalam hati Bowo bertanya-tanya, apakah Riska sedang melamun atau memang sungguh-sungguh ingin punya anak.

“Kata Ibu, di Semarang ada orang pintar yang dapat mengobati kandungan yang bermasalah.

“Kenapa tidak dari dulu, ketika kamu masih dengan suami pertamamu?

“Ya, waktu itu kan aku belum lama menikah. Jadi, belum tahu bahwa kandunganku bermasalah.

“Tapi, setelah pernikahanmu berjalan empat tahun, dan kamu belum juga punya anak, kenapa tidak terus memeriksakan diri ke dokter atau ke orang pintar, seperti kata ibumu?

“Sudah, Mas. Kan dari hasil pemeriksaan dokter itu, aku akan tahu bahwa kandunganku bermasalah. Tapi, waktu itu aku belum berpikir untuk berobat alternatif.

Karena pembicaraan soal anak ini, Bowo sadar bahwa dirinya juga punya masalah, yaitu pernah menjalani operasi prostat.

“Ris, kalau tidak salah, aku pernah me­ngatakan bahwa aku pernah menjalani operasi prostat.

Bowo berharap bahwa dengan ucapannya, Riska tidak akan meneruskan pembicaraan soal anak. Tapi, Riska malah seperti melempar bola ke tangan Bowo.

“Apakah orang yang pernah menjalani operasi prostat, tidak bisa memiliki keturunan?

“Kata teman-teman, sih, begitu. Tapi, aku belum tahu pastinya. Aku harus bertanya ke dokter,” jawab Bowo.

Dalam hati, Bowo bertanya-tanya, mengapa pembicaraan jadi berkembang ke urusan anak. Dulu dia mau menikah dengan Riska, karena Riska tidak punya anak. Sekarang, Riska tiba-tiba malah ingin punya anak.

“Coba, dong, Mas, periksa ke dokter,” kata Riska.

“Kok, jadi aku yang harus ke dokter? Harusnya kan kamu,” kata Bowo, dengan nada tinggi. Namun, agar pembicaraan tidak jadi masalah berkepanjangan, Bowo memutus pembicaraan. “Kamu saja dulu yang periksa.”

Beberapa hari kemudian, ketika Bowo pulang dari kantor, di meja samping dekat tempat tidur, dilihatnya ada dua botol besar penuh berisi air. Bowo penasaran. Saat Riska masuk kamar, Bowo bertanya, “Ris, botol apa itu?”

“Dari Ibu. Air obat untuk kandunganku.”

“Siapa yang membawanya?”

“Dikirim lewat jasa titipan.”

Bowo tidak bertanya lebih lanjut. Kepala Bowo penuh dengan tanda tanya, kenapa akhir-akhir ini istrinya jadi serius ingin punya anak. Mengapa setelah menikah, masalah anak jadi mengemuka. Padahal, sebelum menikah, kelihatannya Riska tidak terlalu mempersoalkan masalah anak.

Sebelum menikah, Bowo sudah berkali-kali mengatakan pada Riska bahwa dirinya pernah dioperasi prostat. Sehingga, secara normal tidak mungkin dapat memberikan keturunan. Saat itu Riska kelihatannya bisa menerima penjelasan Bowo. Bahkan, dia sendiri yang mengatakan bahwa ia pun mempunyai masalah dengan kandungannya. Pembicaraan soal anak ini jadi sering menimbulkan perdebatan.

Pasti ada apa-apa, pikir Bowo.

Suatu hari sesudah makan malam, belum lagi mereka beranjak dari duduknya, Riska berkata, “Mas, kamu kan tidak mungkin memberikan keturunan lewat rahimku. Bagaimana jika seandainya kondisi kandung­anku sudah sehat dan ada orang yang bersedia memberikan donor?”

Ide gila macam apa ini, pikir Bowo. Namun, Bowo pura-pura tidak mengerti maksud ucapan Riska.

“Donor bagaimana?” tanya Bowo.

“Ada orang yang bersedia memberikan spermanya.”

“Kamu ini sudah gila, ya? Mana ada suami yang merelakan istri­nya digauli pria lain, kecuali suami yang bodoh,” kata Bowo, dengan nada tinggi.

“Jangan marah dulu. Dengarkan ceritaku. Temanku menikah dengan orang tua kaya yang tidak mampu lagi memenuhi kewajib­annya sebagai pria. Dia rela istrinya tidur dengan pria lain, asalkan tidak ditinggal pergi.”

Bowo tidak tahu, cerita Riska itu memang benar terjadi atau hanya karangan belaka.

“Kan masalahnya lain. Aku kan masih mampu memenuhi kewajibanku sebagai suami. Selama ini kita tidak punya masalah dengan seks. Iya, ’kan? Kamu kan menikmatinya. Betul, ’kan?” kata Bowo, dengan suara lirih, takut terdengar pembantu rumah tangga. Meskipun, ia merasa dongkol luar biasa.

Karena Riska tak bicara apa-apa, Bowo melanjutkan, “Ris, yang tidak bisa aku lakukan adalah harus memberikan keturunan.”

“Coba tanya ke dokter, Mas,” tukas Riska.

“Tanya apa?”

“Tanya apakah ada kemungkinan kamu bisa memberikan anak.”

“Ris, kamu, kok, sekarang jadi ingin sekali punya anak? Ada apa, sih, sebenarnya?”

Tanpa menjawab pertanyaan Bowo, Riska berdiri dari tempat duduknya dan pindah ke ruang duduk. Bowo mengikuti. Mereka duduk berhadapan.

”Ibuku kan sudah tua. Sebelum meninggal, Ibu ingin aku dapat memberikan cucu, seperti saudara-saudaraku yang lain. Kata Ibu, kalau aku tidak punya anak dan kelak terjadi apa-apa pada suami, bagaimana? Siapa yang akan menemani sisa hidupku.”

Mendengar ucapan Riska, Bowo merasa mendapat kesempatan untuk menanyakan, apakah Riska sudah memberi tahu ibunya tentang pernikahannya.

“Kalau begitu, Ibu tahu bahwa kita sudah menikah?”

“Sudah!” jawab Riska, berbohong.

“Kapan kamu memberi tahu?” tanya Bowo, lebih lanjut.

“Ketika aku pulang ke Semarang kemarin,” jawab Riska, berbohong.

Selama empat hari berada di Semarang, Riska belum pernah menyinggung pernikahannya dengan Bowo. Dan, Bowo tidak tahu hal itu. Tapi, Bowo bermaksud mencari informasi pada dokter spesialis, apakah orang yang pernah operasi prostat masih ada kemungkinan memberikan keturunan.

Beberapa hari kemudian sehabis jam kantor, Bowo tidak lang­sung pulang sebagaimana biasanya. Bowo mengarahkan kenda-raannya ke Kebayoran, ke tempat praktik dr. Kuncoro, spesialis urologi. Dari pembicaraan dengan dokter, Bowo mendapat penjelasan, orang yang pernah menjalani operasi prostat, masih ada ke-mungkinan dapat memberikan keturunan. Hanya, secara teknis, prosesnya agak rumit. Perlu waktu dan kesabaran suami-istri. Tentu saja, biayanya juga cukup mahal.

Dalam perjalanan pulang, Bowo menganalisis keterangan dr. Kuncoro. Ia juga menimbang-nimbang berbagai kemungkinan. Apakah di usia lanjut dan sebentar lagi akan memasuki masa pensiun, dirinya masih pantas punya anak lagi. Lalu, bagaimana pendapat anak-anaknya, kalau sampai ayahnya punya anak dari ibu tiri.

Ia juga menghitung-hitung kemampuan finansialnya. Di sisi lain ia tidak mau kehilangan Riska. Bagi Bowo, Riska adalah pendamping yang sangat dia butuhkan. Bowo tidak sanggup membayangkan kesepian dan kesendirian yang akan dia hadapi jika sampai ditinggal Riska. Demi cinta Bowo pada istrinya, Bowo memutuskan menjalani proses rumit itu untuk mendapatkan keturunan.

Anehnya, ketika Bowo memberi tahu Riska tentang hasil konsultasinya dengan dr. Kuncoro, tanggapan Riska justru biasa-biasa saja. Seakan-akan usaha Bowo untuk dapat memenuhi keinginan Riska, tidak dihargai. Ini yang membuat Bowo lebih bertanya-tanya, apakah Riska benar-benar ingin punya anak dari dirinya atau ada alasan lain.

Pernikahan Bowo dan Riska telah berjalan lebih dari tiga bulan. Tapi, belum ada tanda-tanda keduanya akan meresmikan pernikahan di KUA. Riska tidak pernah menyinggungnya, Bowo pun tidak pernah membicarakannya. Bowo tidak mau mendesak untuk meresmikan pernikahan mereka, karena ia merasa belum mampu membelikan rumah sebagaimana janjinya sebelum menikah. Sebagai kompensasi, beberapa saat setelah menikah, Bowo mendepositokan sejumlah dana atas nama Riska.

MEDIO APRIL 2006
Sejak perselingkuhannya dengan Anton diketahui Bowo, Riska takut untuk pulang ke rumah Bowo. Selama di Semarang, hampir tiap hari Riska pergi berdua dengan Anton. Makan malam bersama, nonton film, berkaraoke, berlama-lama ngobrol di coffee shop hotel, atau sekadar jalan-jalan. Tanpa tahu siapa yang memulai, antara Riska dan Anton kemudian saling memanggil dengan sebutan ’Sayang’.

“Kamu sudah dengar dari ibumu soal kita?” tanya Anton, ketika mereka duduk berdua di coffee shop.

“Ya, kemarin Ibu bilang, ibumu usul agar minggu depan berkenan menerima lamaran,” jawab Riska.

“Menurutmu bagaimana?” tanya Anton.

“Kalau aku, sih, terserah Ibu. Aku akan menyesuaikan diri. Ibuku itu biasa ngitung-ngitung hari baik, bulan baik. Aku, sih, inginnya acara lamaran dibuat sederhana saja.”

“Ibuku malah sudah menyuruh aku mulai mencari gedung untuk acara pernikahan kita.”

“Lamarannya saja belum, kok, sudah mau mencari gedung untuk acara pernikahan. Nanti sajalah.”

“Ibu bilang, agar jarak antara saat lamaran dan penikahan tidak terlalu lama,” kata Anton.

“Kalau untuk menikah, aku harus menunggu dulu sampai masa perkuliahan selesai.”

Sambil berbincang dengan Anton, pikiran Riska melayang-layang pada Bowo. Mengingat kebaikan Bowo selama ini, dan hubungannya dengan anak-anak Bowo, Riska merasa berat dan kasihan untuk meninggalkan Bowo. Namun, demi masa depannya, Riska harus berani mengambil risiko.

Riska tidak dapat membayangkan bagaimana hancurnya hati Bowo jika mengetahui apa yang dia lakukan saat ini. Menurut Riska, kalau Bowo sampai tahu perselingkuhan dan pengkhianatan yang dia lakukan, pasti Bowo akan marah besar dan kemungkinan akan menceraikannya. Bagi Riska, akan lebih baik jika Bowo nantinya mau menceraikan dirinya, meskipun nama Riska akan rusak di mata keluarga Bowo.

Sesuai kesepakatan antara keluarga Riska dan keluarga Anton, hari lamaran dilaksanakan pada hari Sabtu siang. Meskipun dilaksanakan secara sederhana, tak urung banyak juga keluarga dari kedua belah pihak yang hadir. Dari pembicaraan pada saat lamaran, disepakati bahwa akad nikah dan resepsi pernikahan akan dilakukan pada bulan Juli 2006.

Usai acara lamaran, malam harinya Anton mengajak Riska foto berdua di sebuah studio. Mereka mengenakan busana yang mereka kenakan saat lamaran, Riska dengan kebaya warna merah dari bahan sutra, berdiri rapat di depan Anton yang mengenakan setelan jas warna hitam. Anton memeluk pinggang Riska. Wajah Riska dan Anton tampak berseri-seri. Hanya, Anton tidak tahu bahwa perhiasan yang dikenakan Riska adalah perhiasan yang dibelikan Bowo beberapa waktu sebelum Bowo menikahi Riska.

Beberapa hari sebelum pergantian tahun 2005, Bowo berencana menghabiskan malam tahun baru di Bandung. Kamar hotel di Bandung sudah mereka pesan.

Hari Sabtu pagi menjelang kepergian mereka ke Bandung, ketika Riska sedang mandi, Bowo iseng membuka ponsel Riska. Banyak nama pria di sana. Mungkin, mereka teman atau kolega sesama dosen, pikir Bowo. Ketika Bowo membuka kotak ’Sent Items’ terbaca kiriman SMS Riska pada Anton. Dengan kening berkerut Bowo membaca SMS itu.

Sayang, aku sedang di kampus. Makan yang banyak, biar cepat sembuh.

Bowo tidak tahu siapa Anton. Tapi, dari tanggal dan jam saat SMS itu terkirim, yaitu pada hari Sabtu siang, bersamaan dengan saat Riska mengajar kelas ekstensi di kampus. Bowo ingat, saat itu dia berada di dalam kendaraan, menunggu Riska.

Ketika Riska keluar dari kamar mandi, Bowo langsung bertanya, “Kamu kirim SMS pada siapa? Kok, panggil ’Sayang’?”

“Mas, kok, lihat-lihat ponselku?”

“Kenapa? Tidak boleh? Ponsel itu kan aku yang beli.”

“Dia teman sesama dosen,” akhirnya Riska menjawab.

“Masa dengan teman panggil ’Sayang’?”

“Mas, di lingkungan kampus kami saling memanggil begitu.”

Bowo masih tak percaya.

“Kalau dengan teman kamu panggil ’Sayang’, lalu apa bedanya dengan aku, suamimu?”

“Ah, begitu saja, kok, dipersoalkan. Dia itu dosen baru dan masih anak-anak.”

“Anak-anak katamu, tapi kan dia tetap seorang pria.”

Dalam perjalanan menuju Bandung, kejengkelan Bowo masih belum hilang. Di dalam kendaraan suasana jadi sepi, tidak ada yang berbicara. Keluar dari pintu tol, dalam antrean kendaraan yang sangat padat menuju dalam kota Bandung, Bowo bergumam, “Kamu aku belikan handphone, malah untuk berkirim SMS dengan pria lain.”

“Masih marah, ya, Mas?”

“Ya! Saat kamu kirim SMS itu, aku sedang berada dalam kendaraan, menunggu kamu. Kamu anggap apa aku ini? Sopir? Suami di bawah kepanasan, kamu malah mengirim SMS mesra pada pria lain.”

“Ya, sudah, kalau begitu aku kembalikan saja handphone-nya,” kata Riska, ngambek.

Belum sempat ia mengeluarkan kartu SIM-nya, Bowo sudah menimpali, “Tidak usah! Buang saja!”

Baru kali ini Riska melihat Bowo betul-betul marah. Riska akhirnya berpikir, tidak ada salahnya ia meminta maaf, karena memang ia yang salah. Tidak ada suami yang tidak marah, jika tahu istrinya menjalin hubungan dengan pria lain.

“Ya, sudah, maafkan aku, Mas,” kata Riska dengan suara pelan, sambil mengusap bahu Bowo.

Hari kedua, bulan Januari 2006, Bowo dan Riska masih berada di Bandung. Hari ini rencananya mereka akan mengunjungi beberapa factory outlet yang bertebaran di sepanjang Jalan Riau. Ketika berada di salah satu outlet, Riska yang sedang memilih-milih pakaian yang akan dia beli, menerima telepon dari Anton.

Antara takut ketahuan Bowo dan keinginan untuk bicara dengan Anton, membuat Rika jadi kelihatan sibuk. Sambil berbicara di telepon, sudut mata Rika terus melihat ke arah Bowo yang berdiri agak jauh. Tangan kanannya memegang pakaian yang akan dia beli, tangan kirinya memegang ponsel, merapat di telinga kirinya.

Bowo sambil melihat-lihat pakaian pria, matanya berkali-kali menengok ke arah Riska, agar bisa mengawasi keberadaan Riska, sehingga tidak sulit mencarinya. Tiba-tiba mata Bowo tertarik memerhatikan tingkah Riska yang sedang berbicara lewat ponsel. Karena sedang asyik ngobrol, Riska tidak sadar bahwa Bowo dari jauh memerhatikan dirinya.

Bowo berjalan mendekati Riska. Melihat Bowo datang, Riska cepat-cepat menyudahi pembicaraan dan menutup ponselnya.

“Asyik banget kamu ngobrol. Telepon dari siapa?” tanya Bowo.

“Dari teman-teman, mengucapkan selamat tahun baru,” jawab Riska, berbohong.

“Bukan dari Anton?”

“Mas, kamu, kok, jadi cemburu begitu?” kata Riska, sambil meletakkan bahan pakaian yang sejak tadi dia pegang, dan melangkah menuju ke tempat penjualan sepatu.

“Betul kan dari Anton?” Bowo mengulang pertanyaannya.

Riska tidak mau menjawab pertanyaan Bowo.

Merasa pertanyaannya diabaikan, Bowo dengan marah bergegas keluar ruangan menuju tempat parkir kendaraan. Riska segera mengikuti Bowo dari belakang. Keduanya kemudian masuk ke dalam kendaraan dan kembali ke hotel. Siang itu juga mereka kembali ke Jakarta.

Dalam perjalanan Bandung-Jakarta, Bowo dan Riska masih kelihatan bersitegang, meskipun lebih banyak diamnya.

“Kalau kamu masih mengangap aku sebagai suami, aku minta kamu tidak lagi berhubungan dengan Anton.”

“Aku dan Anton itu tidak ada hubungan apa-apa, Mas.”

“Buktinya, kamu masih menjawab teleponnya.”

“Masa aku tidak boleh menjawab telepon teman? Nanti dikira tidak sopan.”

Hati Bowo tidak bisa dibohongi, Bowo merasa ada sesuatu antara Riska dan Anton.

“Tapi, betul kan tadi dari Anton? Aku minta, mulai saat ini kamu tidak berhubungan lagi dengan Anton.”

Namun, sebagaimana biasa, kemarahan Bowo tidak bertahan lama. Bowo lebih mengutamakan bersikap sabar daripada mengumbar marah. Karena itu, ketika menikah untuk kedua kalinya, jika marah, Bowo tidak pernah berlama-lama. Dalam hitungan jam, kemarahannya akan mengendur, dan perlahan-lahan hilang, apalagi Riska pandai mengambil hati Bowo.

AKHIR APRIL 2006
Setelah lebih dari tiga minggu belum ada berita dari Riska, Bowo berniat menghubungi istrinya. Namun, niat itu dia batalkan. Sebagai gantinya, Bowo menulis surat pada Bu Puji. Dalam suratnya Bowo menceritakan secara rinci tentang hubungan dan pernikah-annya dengan Riska. Namun, ketika surat sampai ke tangan Bu Puji, Riska justru sudah meninggalkan Semarang, kembali ke Jakarta.

Bu Puji terkejut menerima surat dari Bowo. Dia merasa tidak mengenal penulis surat yang mengaku suami Riska. Dalam keadaan kaget dan bingung, Bu Puji langsung menghubungi anak sulungnya, Ratna, dan menceritakan isi surat yang baru dia terima.

“Rat, kamu tahu tidak bahwa adikmu menikah dengan orang yang bernama Bowo? Kalau betul, keterlaluan sekali adikmu itu. Ibu malu kalau sampai kejadian ini terdengar oleh keluarga Anton. Ibu minta kamu urus adikmu, Rat,” kata Bu Puji.

Ratna merasa mengenal betul sifat dan perilaku Riska. Setelah menikah dengan Bowo, Riska pindah dari rumah kakaknya, dengan alasan mencari tempat kos yang dekat dengan kampus.

“Ris, kamu ini keterlaluan. Kamu bilang tinggal di tempat kos, ternyata kamu menikah dengan Pak Bowo.”

Riska terheran-heran, dari mana kakaknya tahu tentang hal itu.

“Pak Bowo menulis surat kepada Ibu, mengadukan kamu. Kamu keterlaluan sekali.”

“Maaf, Mbak. Aku mengaku salah. Tadinya aku hanya ingin berteman saja dengan Pak Bowo. Tetapi, ketika diajak nikah, aku tidak bisa menolak.”

“Jadi, ketika kamu kenalkan aku pada Pak Bowo, sebenarnya kamu sudah menikah?”

Riska diam.

“Aku tak habis mengerti, sampai hati kamu mempermainkan orang tua seperti dia. Kasihan. Malu, dong, pada anak-anak Pak Bowo.”

Riska hanya ter diam, mukanya menunduk lesu.

“Kalau kamu sudah jadi istri Pak Bowo, mengapa kamu mau menerima lamaran Anton? Kamu sadar tidak, kalau sampai keluarga Anton tahu dan membatalkan lamarannya, seluruh keluarga kita akan menanggung malu.”

Mendengar kata-kata kakaknya, Riska terisak.

“Sekarang juga kamu hubungi Pak Bowo. Selesaikan baik-baik persoalan kamu,” kata Ratna, tegas.

Merasa bersalah dan takut, malam itu juga Riska memberanikan diri menelepon Bowo.

Bowo sedang bersantai, ketika ponselnya berbunyi. Saat tahu dari Riska, perasaan Bowo campur aduk, antara marah, benci, dan kangen.

“Mas, aku minta maaf, telah menyakiti hatimu. Aku memang tidak pantas menjadi istrimu. Mas cari saja istri yang lebih baik,” kata Riska, menangis keras.

Bowo yang semula ingin memaki Riska, berbalik menjadi lunak.

“Di mana kamu?” tanya Bowo dengan nada suara rendah, tanpa menanggapi permintaan maaf Riska.

“Aku sudah di Jakarta, di rumah Mbak Ratna.”

“Kenapa tidak pulang ke rumah? Aku kan masih suamimu.”

“Aku takut, Mas.”

“Tidak perlu takut. Kita selesaikan masalah kita dengan baik-baik. Perlu aku jemput?”

Mendengar suara Bowo yang lembut tanpa ada nada marah, hilang juga rasa takut Riska.

“Tidak usah, Mas. Sekarang sudah malam, besok saja aku pulang.”

Keesokan harinya, pukul sebelas, dengan menggunakan taksi, Riska tiba di rumah Bowo. Bowo benar-benar memperlihatkan diri sebagai orang tua yang bijaksana, layaknya seorang ayah menghadapi anaknya yang bermasalah. Sama sekali tidak tampak tarikan wajah marah. Justru dengan senyum dan kesabaran dia menerima kedatangan Riska.

Bowo mengeluarkan koper Riska dari taksi, dan membawanya masuk rumah. Bowo sendiri merasa heran, dari mana dia memperoleh kekuatan, sehingga dapat menekan perasaan marah.

Saat masuk kamar, Riska langsung menjatuhkan kepalanya di pangkuan Bowo. Dengan terisak Riska menyampaikan permohon­an maaf. Selama ini dia terpaksa berbohong, karena tidak sampai hati menyakiti hati Bowo.

Dengan suara pelan dan hati-hati Bowo bertanya, “Pria itu, ya, yang bernama Anton?”

Riska mengangguk.

“Dia disuruh Ibu menjemput aku,” kata Riska.

“Kalau begitu, ibumu belum tahu bahwa kita sudah menikah.”

“Sekali lagi, maafkan aku, Mas, sudah membohongi kamu.”

“Kok, sampai hati kamu membohongi aku?”

Bowo tidak dapat menemukan kata-kata untuk mengungkap pe-rasaan dan kata hatinya. Ia merasa menjadi orang tua yang bodoh dan lemah, karena berkali-kali dapat dibohongi dengan mudah.

|“Kapan kamu kenal dengan Anton?”

“Dua bulan setelah kita menikah.”

“Jadi karena itulah kamu sulit dihubungi jika sedang berada di Semarang. Kalau sudah bersama Anton, kamu jadi lupa pada suamimu, ya? Lalu, bagaimana dengan pernikahan kita? Aku ini masih suamimu. Kalau seorang pria, sih, bisa berpoligami, bisa punya istri dua malah tiga, tetapi kalau wanita kan tidak mungkin punya dua suami?”

Bowo teringat pembicaraannya dengan Riska beberapa waktu lalu, tentang pria tua yang merelakan istrinya berpacaran dengan pria lain, asal istrinya tetap memperlakukan dia sebagai suami. Bowo pikir, hanya suami bodoh yang mau diperlakukan istrinya seperti itu. Ia sendiri tidak akan pernah mau. Tapi, hati kecil Bowo membantah. Bukankah dirinya juga sama bodohnya dengan pria yang diceritakan Riska. Karena, dia tidak bisa bersikap tegas, bahkan terkesan lemah tak berdaya terhadap istri yang telah berselingkuh dan membohongi dirinya.

Sampai larut malam, Bowo dan Riska belum dapat menuntaskan persoalan mereka. Bowo tidak tegas, sedangkan Riska tetap tidak mau berterus terang. Ia bahkan juga terkesan masih membutuhkan Bowo. Akhirnya, yang muncul justru suasana saling sayang.

Malam berikutnya, sambil berbaring di tempat tidur, mereka kembali berbincang-bincang.

“Ibu menjodohkan aku dengan Anton, karena Ibu ingin aku punya anak.”

“Aku mengerti. Tapi, aku juga berusaha memenuhi keinginanmu.”

“Betul, Mas. Tapi, aku kan berpacu dengan waktu, berpacu de-ngan usia. Mas sendiri bilang, orang seperti Mas yang pernah menjalani operasi prostat, harus bersabar jika ingin punya anak.”

“Kalau kamu sudah tahu, kenapa mau menikah denganku?”

“Itulah kesalahanku. Aku menyesal, Mas.”

“Kamu tidak merasakan bagaimana hancurnya perasaanku. Ka-mu bohongi aku, khianati aku. Aku ditinggal sendiri di rumah, sementara kamu berpacaran dengan Anton.” Mata Bowo tampak berkaca-kaca.

“Jangan menangis, Mas.”

“Air mataku keluar sendiri, tidak dapat aku tahan. Kamu, sih, enak, pisah dari aku, masih ada Anton. Bagaimana dengan aku? Pernah tidak kamu memikirkannya?” Sambil menghapus air matanya, Bowo melanjutkan, “Lalu, kapan kamu akan menikahi Anton?”

Riska diam, tidak mau menyakiti hati Bowo.

“Meskipun kita kawin siri, secara agama pernikahan kita sah. Selama aku belum menceraikan kamu, perkawinan kalian tidak sah.”

Riska meragukan pernyataan Bowo. Ia berpikir, KUA di Semarang tidak pernah tahu bahwa ia sudah menikah.

Meski telah beberapa kali Bowo dibohongi Riska, pada bulan berikutnya ketika Riska minta izin pulang ke Semarang, Bowo tetap mengizinkan. Bahkan, ia mengantar Riska ke bandara.

”Mungkin, di dunia ini, tidak ada suami yang mengantar istrinya pergi untuk berpacaran,” gumam Bowo.

“Mas memang suami yang baik.”

“Bukan baik, tapi suami yang bodoh.”

Bowo tahu, sebagai pria seharusnya dia bersikap tegas untuk segera menceraikan Riska. Namun, dia seperti tidak berdaya. Apakah jika orang seusia Bowo jatuh cinta, jadi seperti kerbau dicocok hidung? Bowo tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri.

Saat Riska berada di Semarang, dalam keadaan hati yang risau, Bowo membuka lemari dan membongkar isi lemari Riska. Dalam sebuah tas tangan, Bowo menemukan sehelai foto Riska berdua dengan Anton, yang dibuat saat selesai acara lamaran. Di bawah sinar lampu duduk, Bowo memerhatikan wajah Riska yang tampak bahagia. Sepertinya, ia tidak ingat bahwa dia menyandang status sebagai istri Bowo.

Timbul keinginan Bowo mengirim surat untuk KUA Semarang. Lewat telepon, Bowo menghubungi KUA Semarang. Ia menanyakan alamat KUA Kacamatan Pedurungan, tempat Riska dan Anton mungkin akan mendaftarkan pernikahan mereka. Bowo menulis surat, mengatakan bahwa Riska berencana untuk menikah dengan pria bernama Anton. Ia bercerita tentang status Riska sebagai istri sahnya. Ia pun mengharapkan bantuan dari pihak KUA agar tak mengabulkan permohonan menikah atas nama Riska dan Anton.

Ketika Riska pulang dari Semarang, Bowo tidak memberi tahu Riska bahwa dia mengirim surat ke KUA Pedurungan. Bowo justru memperlihatkan foto Riska berdua dengan Anton. Riska tak mengerti dari mana Bowo menemukan foto tersebut. Namun, dengan tertawa Riska menjawab, “Oh, ini potret rame-rame ketika adikku mengkhitankan anaknya.”

“Kamu anggap aku ini bodoh? Anak kecil pun tahu bahwa foto ini dibuat di studio. Kenapa kamu masih terus berbohong? Apakah tidak bisa sekali saja kamu bicara jujur?”

Suatu malam, ketika Bowo sedang santai dan Riska sedang menyiapkan bahan mengajar, Riska menerima telepon dari ibunya. Dengan suara terbata-bata, Bu Puji menceritakan bahwa Bowo telah mengirim surat ke KUA Pedurungan. Dengan begitu, ketika Anton akan mengurus administrasi pernikahan, Kepala KUA menolak, dengan alasan Riska masih berstatus sebagai istri Bowo.

Mendengar cerita ibunya, Riska kaget bukan main. Meski Riska masih menyukai Bowo, rencana Riska untuk menikah dengan Anton sudah bulat. Bahkan, tanpa setahu Bowo, ia sudah mengajukan permohonan berhenti dari tempat dia mengajar. Ia sudah mengurus pemindahan KTP dari Jakarta ke Semarang. Menurut Bu Puji, Anton sekarang tahu bahwa Riska berstatus istri orang. Namun, Anton tidak mempersoalkan status Riska itu, karena hanya menikah siri.

Dengan perasaan marah, Riska bergegas menghampiri Bowo yang sedang menonton teve, sambil tidur-tiduran.

“Mas, kamu menulis surat ke KUA Pedurungan, ya?”

Bowo sama sekali tidak kaget. Ia memang sudah menunggu dan justru merasa puas suratnya mendapat respons dari kepala KUA Pedurungan. Dengan kalem ia mengangguk.

“Sampai hati kamu, Mas!” kata Riska.

“Kamu juga sampai hati membohongi aku dan berselingkuh.”

“Gara-gara suratmu, Ibu jadi sakit” lanjut Riska, me­nangis.

“Ah, kamu selalu beralasan ibumu sakit. Saat kamu ketahuan selingkuh, kamu pamit padaku akan mengantar ibumu berobat.”

Isak Riska makin keras, tapi Bowo tidak beranjak.

“Kalau begitu, aku akan pergi dari rumahmu,” kata Riska.

Ia berjalan keluar kamar tidur, mengambil koper dari kamar sebelah, membuka lemari, mengeluarkan pakaian dan barang-ba-rangnya, lalu memasukkannya ke dalam koper. Mulanya Riska berharap Bowo akan mencegahnya. Tapi, Bowo malah turun dari tempat tidur dan membantu Riska mengepak barang-barangnya.

Malam telah larut, Riska sadar, dia tidak mungkin meninggalkan rumah tengah malam begini. Ia takut naik taksi malam-malam sendirian. Riska pikir, Bowo pasti tidak akan mau mengantar. Di antara beberapa koper dan tumpukan barang yang berserakan, Riska duduk di lantai, menyandarkan kepalanya di tepi tempat tidur, sambil masih terus menangis. Ketika akhirnya kelelahan menangis, Riska jatuh tertidur. Bowo tidak berusaha membangunkan. Ia hanya mengambil selimut dan menyelimuti tubuh Riska.

Pagi-pagi sebelum Bowo bangun, Riska keluar dari kamar, lalu menelepon Anton. Riska minta agar Anton mengalihkan pendaftaran pernikahan mereka ke tempat Anton saja. Saat bangun tidur, Bowo mendapati istrinya masih sibuk menge­masi barang-barangnya. Tanpa menegur, Bowo langsung mandi.

Selesai mandi dan berpakaian, Bowo bertanya, “Kamu jadi pergi? Untuk kamu ketahui, meskipun kita menikah siri, aku tidak pernah berniat menceraikan kamu. Kalau kamu tetap melanjutkan niatmu menikah dengan Anton, itu urusanmu. Kamu yang akan menanggung dosanya.”

Justru itu yang aku mau, pikir Riska. Meskipun nanti telah menjadi istri Anton, aku tetap menganggapmu sebagai suami.

Pagi itu Riska tak jadi pulang. Dia mondar-mandir, membereskan barang-barangnya, menemani Bowo sarapan, bahkan ngobrol.

“Ris, niatmu sudah bulat untuk menikah dengan Anton?”

“Ya, Mas,” jawab Riska, pendek.

“Lalu, bagaimana dengan hubungan kita?”

“Mas tetap jadi suamiku.”

“Apakah ada peraturan yang membolehkan wanita punya dua suami? Lalu, bagaimana jika Anton tahu?”

“Jangan sampai dia tahu?”

Bowo benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Riska. Kalau Riska sampai menikah dengan Anton secara resmi lewat KUA, pernikahan mana yang dianggap sah? Kalau seorang wanita tidak boleh bersuami lebih dari satu, berarti hanya seorang suami yang dianggap sah. Kalau Anton berhasil menikah dengan Riska di KUA, posisi Bowo sebagai suami Riska sangat lemah. Karena, status pernikahan Anton dan Riska memiliki keabsahan, baik secara agama maupun secara hukum. Itu artinya, jika terjadi hubungan badan antara Bowo dan Riska, hubungan tersebut dapat dikategorikan sebagai perzinaan.

“Kamu nanti akan tinggal dan menetap di Semarang?”

“Nanti aku akan mencari waktu untuk menengok Mas, aku kan masih punya pekerjaan di Jakarta.”

Malam harinya, sekitar pukul tujuh, Bowo mengantar Riska ke tempat kakaknya. Barang bawaan Riska cukup banyak. Selain dua koper, ada beberapa kantong besar plastik berisi barang-barang yang tidak cukup di koper, ada beberapa busana yang masih di gantungan baju, sepatu, tas, buku, dan perlengkapan lain. Dalam perjalanan menuju rumah kakak Riska, Bowo menyatakan, nantinya dia tidak akan menelepon atau mengirim SMS.

“Mas, doakan aku, ya?”

“Doa apa?” jawab Bowo, sambil tertawa.

Meskipun dia masih menyayangi dan mengasihi Riska, sebagai suami yang telah dikhianati istrinya, dia tidak akan mendoakan kebahagiaan Riska hidup bersama Anton. Justru, dia berharap kehidup­an rumah tangga mereka tidak akan pernah tenang dan damai.

Akhir Juli 2006, hari Sabtu pagi, Riska dan Anton melang­sungkan acara akad nikah. Malam harinya diselenggarakan resepsi pernikahan di sebuah gedung pertemuan. Sosok Bowo untuk sementara menghilang dari ingat­an Riska. Sementara Bowo di Jakarta melewati malam Minggu dalam kesendirian dan kesepian.

Dalam kesendiriannya, terbayang di benak Bowo tentang masa-masa dirinya hidup bahagia bersama Riska. Seakan memutar ulang sebuah film drama yang mengasyikkan, terbayang kehidup­an suami-istri yang saling menyayangi dan saling berbagi kasih. Namun, dalam waktu bersamaan, Bowo juga teringat saat-saat menyedihkan, ketika dia berkali-kali dibohongi Riska dan menyaksikan perselingkuhan Riska dengan mata kepala sendiri.

Bowo membayangkan, Riska sedang menikmati malam penuh kemesraan bersama Anton. Mungkin Riska sudah tidak ingat lagi padanya. Lalu, apa yang masih dia harapkan? Bowo bertanya pada dirinya sendiri. Apakah dia akan terus-menerus menjadi pria tua yang tidak berdaya menghadapi Riska? Apakah dia akan terus-menerus mengikuti skenario yang dibuat Riska?

Saat sedang merenung, Bowo tersadar bahwa dengan menikahi Anton, berarti Riska sudah bukan istrinya lagi. Bowo mau menerima kenyataan bahwa dirinya terlalu tua untuk menjadi suami Riska. Bowo ikhlas untuk melepaskan Riska. Bowo berpikir, mungkin ini jalan terbaik yang digariskan untuknya. Karena, kalau dia terus menjadi suami Riska, secara materi mungkin dia tidak sanggup memenuhi keinginan-keinginan Riska.

Bowo berjanji pada dirinya untuk tidak lagi mau menemui Riska. Namun, ada kalanya, ketika hati Bowo sedang sedih dan teringat Riska, timbul rasa rindunya.

Sebulan setelah menikah dengan Anton, dengan dalih akan menyelesaikan sisa pekerjaan di Jakarta, Riska meminta izin pada Anton untuk pergi ke Jakarta. Riska mengirim SMS pada Bowo, minta dijemput di bandara.
Di hari yang telah ditentukan, Bowo terlihat di bandara, menunggu kedatangan Riska. Saat Riska datang dengan menjinjing traveling bag kecil melewati pintu keluar, Bowo bergegas menghampirinya.

”Ris, kamu kelihatan tambah cantik. Bagaimana? Sudah puas berhasil menikahi Anton?”

”Jangan begitu, dong, Mas. Aku menikah dengan Anton kan untuk menyenangkan hati ibuku,” jawab Riska.

”Ya, tapi kamu sendiri kan juga senang dan kamu juga mau.”

”Sudahlah, Mas. Kita nikmati saja pertemuan kita ini.”

Untuk kesekian kalinya Bowo merasa menjadi pria yang bodoh. Bowo seperti lupa akan janjinya, untuk tidak menemui Riska, apalagi bermesraan dengannya. Bowo justru membenarkan pendapatnya sendiri bahwa dirinya dan Riska masih berstatus suami-istri. Karena, belum pernah sekali pun Bowo mengucapkan kata cerai.

Sedangkan Riska, meskipun telah menjadi istri Anton, tidak menolak diajak bermesraan oleh Bowo.

”Ada yang aneh, Mas? Kok, tersenyum?”

”Hubungan kita ini lucu. Ketika jadi istriku, kamu berselingkuh dengan Anton yang kamu anggap sebagai kekasih. Kini, setelah kamu menikahi Anton, sepertinya kamu menganggap aku sebagai kekasih, dan sekarang sedang melakukan perselingkuhan.”

”Ah, tidak usah terlalu dipikirkan, Mas,” jawab Riska, santai.

Tentang kelanjutan hubungan mereka bertiga, hanya waktu yang akan mampu menjawabnya.

No comments: