12.22.2010

Perempuan Penunggu Malam

Aku adalah legenda. Demikian angin mengabarkan cerita. Lewat gemerisik dedaunan dan ranting, mereka bertutur tentang warna hijau yang pudar. Konon, aku mengambil serpihan warna hijau dalam lengkung pelangi. Sebagai serat untuk benang bordiran kebaya. Mereka mungkin lupa. Aku adalah alam. Maka kuciptakan warna dengan sentuhan jemariku. Hijau kudapatkan dari keteduhan dan kesetiaan. Bukankah perempuan ditasbihkan untuk mengabdi? Karena para pentasbih adalah kaum lelaki.

Hujan baru saja dimulai. Aku menyibak vitrase, hingga jendela bebas memaparkan pemandangan luar. Aku paling suka mencium bau tanah basah. Menatap daun yang tertimpa rinai hujan, lalu daun merunduk dan air meluncur jatuh ke tanah. Aku bertopang dagu melemparkan pandang.

Rumahku terletak di ujung desa, satu-satunya jalan menuju kota terdekat. Tak ada yang terlewat dari pandanganku, tentu saja bila aku bertopang dagu di bingkai jendela seperti saat ini. Tetapi, tak semua orang dapat melihatku, tepatnya mereka tak sadar bila aku perhatikan. Karena letak rumahku agak ke atas, tepat di atas bukit kecil. Aku bebas memandang, seakan orang yang lalu-lalang dalam bingkai jendelaku adalah potret yang bergerak.

Lagi pula, tak banyak orang yang tertarik untuk menatap ke jendela rumahku. Kabar yang beredar, rumah tua ini dihuni arwah gentayangan. Perempuan yang tersesat, tak lagi hidup di dunia namun tidak juga masuk ke dunia arwah. Aku.

Orang-orang memang suka berbicara hal-hal yang tak perlu. Tak peduli perempuan atau lelaki. Mereka semua penggunjing. Aku menarik diri dari keramaian. Karena telingaku serupa wadah. Aku hanya mau menampung yang indah-indah. Nyanyian, denting dawai, tiupan angin atau puisi yang disuarakan dengan perasaan. Telingaku semacam labirin, jalan masuk ke dalam benak. Aku tak rela, benakku dipenuhi hal-hal yang tak perlu. Seperti gunjingan orang-orang.

Hujan mulai berhenti. Jalanan basah. Bau tanah meruap. Dari kejauhan tampak delman berjalan tertatih menaiki tanjakan. Kuda tua dan kusir bisu. Aku hafal benar. Telah ribuan kali mereka lalu-lalang di jalanan itu. Kusir bisu itu mengangkut sayur-mayur dan pulang dengan barang-barang yang hanya dapat ditemui di kota. Terkadang ada seorang atau beberapa orang yang menumpang pulang. Tak ada angkutan yang masuk ke desa ini. Hanya mobil omprengan atau delman seperti si kusir bisu. Orang-orang terbiasa dengan hal itu. Jalan kaki merupakan pilihan terbanyak. Hanya beberapa gelintir orang yang memiliki mobil atau sepeda motor.

Kali ini, si kusir bisu dan kuda tua mengangkut seseorang. Hanya seorang, laki-laki. Laki-laki dari kota, bukan penduduk desa ini. Rambutnya yang agak gondrong tersembunyi di balik jaket yang dikatupkan nyaris menutupi wajah. Dia kedinginan. Hari menjelang sore, lindap udara berkelindan. Ujung rambutnya melambai. Hitam pekat. Sepekat bola matanya yang berputaran memandang berkeliling. Sepasang mata sipit, hanya semacam celah. Celah itu justru membuat orang berpikir, tentang tebing yang terjal. Sesuatu yang tak terduga, semacam petualangan.

Aku menggeser tubuhku, menjorok keluar dari bingkai jendela. Belum pernah ada seseorang atau sesuatu yang mampu membuatku bergeser seperti ini. Apa yang membawanya ke sini? Aku mencium aroma lintingan daun yang dibakar. Memabukkan. Angin bertiup kencang. Vitrase melambai ke luar jendela menyerupai selendang peri. Dalam hitungan detik, sepasang mata sipit itu menoleh ke jendela rumahku. Aku terpaku. Dalam hitungan detik, aku tak bergerak. Mata itu mengunci sendi-sendi tubuhku. Lantas aku menarik vitrase sekaligus menarik tubuhku ke balik dinding.

Detik itu aku merasa dadaku berdetak amat cepat. Aku telah lupa rasanya berlari. Tapi, aku tak pernah lupa akibatnya, jantungku berpacu jauh lebih cepat. Lelaki itu berhasil menarikku, berlari belasan kilometer. Derit roda dan tapak kaki kuda makin keras, tanda mereka makin mendekati rumahku. Aku merapatkan tubuh ke dinding. Telingaku bersiaga, pun hidungku. Aku menghirup udara. Bau tanah, kotoran kuda, delman yang lapuk, bercampur bau yang baru kukenali. Bau tubuh lelaki itu.

Tiba-tiba delman itu berhenti. Aku rasa tepat di bingkai jendela, jauh di bawah bukit. Terdengar suara telapak kaki menjejak ke tanah. Si kusir bisu bergumam tak jelas. Tampaknya ada sesuatu yang terjadi dengan delman itu. Namun, tak terdengar lelaki itu beranjak dari bantalan bangku delman. Aku hanya menduga, ia menatap ke bingkai jendela. Mungkin mencari sosokku.

“Ada yang rusak, Pak?”

Suara itu membelah udara. Saat itu aku merasa jam berhenti berdetak. Demikian juga jantungku. Aku mati. Sejenak. Terdengar suara sepatu menjejak tanah. Ringan. Tapi, bertenaga. Aku mematikan keinginanku untuk mengintip.

“Rodanya selip?”

Si kusir bisu berbicara panjang lebar menjelaskan. Percakapan tanpa kata. Hanya lenguhan yang keluar dari bibir kusir bisu. Lelaki itu tak menjawab, aku menduga ia hanya mengangguk-angguk, lalu keduanya bahu-membahu menarik roda selip dari kubangan. Terdengar ringkik kuda dan helaan si kusir bisu. Tak lama terdengar tapak kaki kuda menjauh.

Aku tetap tak beranjak dari balik dinding. Vitrase masih berada dalam pelukanku. Perlahan aku melepaskan peganganku pada vitrase. Angin mengibarkan vitrase, menampar-nampar wajahku. Aku merasa hangat menjalari wajahku. Mungkin pipiku memerah. Dulu, aku pernah merasakan ekstasi macam ini. Perasaan melayang. Dulu. Dulu sekali. Aku tak pandai menghitung waktu. Mungkin aku sengaja mengabaikan waktu, karena pernah suatu kali, waktu memenjarakan perasaanku.

Nama lelaki masa lalu itu Penjara. Nama yang aneh. Ibunya melahirkannya di penjara. Tak terlalu jelas, kenapa ibunya bisa dipenjara. Konon, ibunya pembunuh. Tapi, yang jelas Penjara lahir dan tumbuh di penjara.

Salah kalau orang bilang, lingkungan membentuk kepribadian seseorang. Karena Penjara tumbuh jadi lelaki yang santun. Para penjahat kambuhan dengan sifat licinnya seperti musang tak memengaruhinya. Demikian juga para pembunuh berdarah dingin tidak bikin Penjara bernaluri seorang pembunuh. Penjara juga tak terkontaminasi sifat licik dan penindas para sipir. Seperti aku bilang, Penjara terbebas dari semua pengaruh buruk.

Aku bertemu Penjara, saat ayahku ditahan sebagai pesakitan karena tuduhan penggelapan uang. Saat itu Penjara membersihkan halaman dengan sapu di tangannya. Tangannya kukuh saat mengayunkan lengan. Aku berkhayal ia sebatang pohon yang besar. Aku perdu di bawah naungannya. Sebatang pohon yang baru akan terlihat kokoh kalau berbanding dengan perdu sepertiku. Tak akan ada yang menilainya besar dan kokoh. Tanpa aku.

Matanya mengerling. Sehelai daun tua terbang karena sapuannya. Daun itu melayang jatuh, tepat ke kakiku. Penjara membungkuk dan memungut daun itu, lalu meremasnya perlahan. Saat itu aku baru sadar, laki-laki akan melakukan apa saja untuk mendapatkan perempuan yang diingininya. Apa saja. Termasuk segala macam kegilaan dan kebodohan. Para perempuan hanya memandang dan menilai. Lalu menerima, atau mencoret, bahkan menendangnya. Aku tidak memilih ketiganya. Karena aku memilih Penjara.

“Kamu penghuni di sini?”

“Kamu pengunjung?”

Kami saling sapa dan bercerita. Matanya tampak memipih, saat tahu aku menunjukkan sel ayahku. Dia bilang kalau sel itu, sel khusus. Hanya orang penting yang tinggal di sel itu. Hanya mereka yang dianggap membahayakan kestabilan negara yang punya hak untuk menempati sel di area itu. Aku tertawa dalam hati. Seorang yang idealis dan seorang yang idealismenya telah terkikis habis, mungkin sama-sama membahayakan kestabilan negara. Seperti ayahku.

“Mengapa kamu tinggal di sini? Apa kesalahanmu?”

“Kesalahanku karena beribu seorang yang dituduh membunuh.”

Kami berdua sama-sama menelanjangi keburukan dan masa lalu. Belum pernah aku sepercaya ini pada lelaki. Maka, aku tak lagi berpatokan pada waktu. Saat kami sepakat menelanjangi perasaan kami masing-masing. Menanggalkan segala atribut. Dua anak manusia yang punya sejarah pohon keluarga yang kurang baik, saling berbagi perasaan.

Ada kenangan terbaik, saat bersama seseorang. Aku mencatatnya pada jantung, menderas di darah dan tercetak di tulang. Aku larut saat bersamanya. Aku ingat benar, saat bibirnya yang kaku menjelajahi raguku. Aku terbebas dari belenggu rasa ragu. Juga norma dan tata krama. Perempuan bisa berubah menjadi ular yang melata, mendesis dan melilit bila mendapat mangsa yang tepat. Sasaran yang bisa mengaduk perasaan dan membikin sakit kepala dadakan. Aku mendadak amnesia berbagai hal. Kecuali satu. Aku menguliti diriku sendiri dari rasa jengah dan menggantinya dengan jubah baru, hasrat. Sensasi yang lebih bisa dirasakan, bukan sekedar diceritakan. Aku menjelma ular yang nlungsungi alias berganti kulit.

Tapi, hutan kecil di belakang penjara ternyata punya banyak pembisik. Mungkin pohon tempat kami biasa bersembunyi dan bercumbu, tak rela. Maka dia membisiki kabar dari satu pohon ke pohon lain tentang hubungan aku dengan Penjara, hingga sampai ke telinga Ayah. Aku tak peduli, saat Ayah mencerca Penjara sebagai anak pembunuh. Darah pembunuh mengalir dalam pembuluh darahnya dan pada dahinya terpahat kalimat; anak seorang pembunuh! Itu kata Ayah. Lalu aku membantahnya dengan kalimat singkat.

“Tak akan ada lelaki yang akan menikahiku. Karena ayahku seorang pesakitan.”

Ayah diam. Ekspresinya campuran amarah dan rasa sakit hati. Dia tak pernah membahas lagi tentang Penjara. Seakan seorang bernama Penjara tak pernah ada. Aku juga mulai jarang mengunjungi Penjara. Penjara bukanlah narapidana, ia bebas keluar masuk penjara. Kami makin sering bertemu di luar tembok penjara.

Dua bulan kemudian, Ayah meninggal. Bunuh diri. Aku tak tahu, Ayah meninggal karena ia tak mampu bertahan hidup di penjara atau karena ia tak rela aku terpenjara oleh Penjara. Lelaki kampung yang menurutnya tak pantas untukku. Aku berkabung, karena ia ayahku. Kematian menuntaskan segala masalahnya. Tapi, tidak menuntaskan masalah kami, aku dan Ibu yang ditinggalkannya....

Aku tinggal di rumah ini, sejak Ayah meninggal. Aku dan Ibu memutuskan tinggal di sebuah rumah di atas bukit di pedesaan. Tempat itu jauh dari ingar-bingar kota. Aku nyaman tinggal di sini. Sesekali Penjara datang berkunjung. Biasanya pada akhir pekan. Dia mendapatkan pekerjaan yang cukup layak di kota. Ibu tak pernah bermasalah dengan Penjara. Dia merestui hubunganku dengan Penjara.

Penjara menawarkan mimpi padaku. Tentang pernikahan.

Aku mulai terbiasa menyusun mimpi, seperti menyusun piring dan cangkir di rak tua. Mengelap porselennya dengan kehati-hatian hingga aku dapat berkaca. Aku melihat masa depanku pada pantulannya. Dapat kurasakan mukaku memerah, seperti motif kelopak padma pada piring itu. Tapi, perasaanku bukan corak gambar yang tak dapat layu. Aku padma yang mengenal musim. Kelopakku mulai rontok satu persatu, pada saatnya nanti.
Aku menunggu hari pernikahan dengan menjahit kebaya pengantinku.

Lelaki itu datang bertamu. Lelaki dari kota yang menumpang delman kusir bisu dan kuda tua. Tiba-tiba ia muncul di depan pintu rumahku. Rambutnya yang bergelombang, ombak laut yang menunggu untuk diselami.

“Maaf, aku mengganggu.”

Aku menggelengkan kepala. Sejak awal, perasaanku mengatakan bahwa aku akan terikat padanya. Entah dalam ikatan apa. Waktu akan membuktikannya.

“Anda mencari siapa?”

“Saya ingin bertemu dengan pemilik rumah ini. Tapi, tampaknya, sekarang sudah berganti penghuni.”

Lelaki itu tampak kikuk. Dia menganggukkan kepala dan berniat berbalik pergi. Entah kekuatan darimana, hingga aku menahannya. Mungkin hasratku.

“Jangan pergi. Silakan masuk. Saya akan buatkan teh.”

Tanpa menunggu persetujuannya, aku masuk ke dalam. Aku tak menoleh, tapi dapat kurasakan tubuhnya seakan melayang pelan memasuki ruang tamu.

Tak lama aku keluar membawa nampan berisi poci dan cangkir. Cangkir bercorak padma, untuk lelaki masa laluku. Penjara. Aku meletakkan poci dan cangkir di atas meja. Saat itu aku memergoki matanya tertuju pada peralatan menjahitku juga kebayaku. Mukanya terlihat tegang. Aku tak tahu apa yang berkelebat dalam kepalanya. Aku membereskan peralatan menjahitku dan meletakkannya agak menjauh. Aku lalu duduk, agak jauh darinya.

“Anda bukan orang sini?”

“Hmm, saya pernah tinggal di sini….”

Aku mengernyitkan dahi. Ia membenarkan kalimatnya.

“Maksud saya, bukan di rumah ini. Tapi, di desa ini….”

“Kapan? Saya tidak pernah melihat Anda.”

“Dulu. Sewaktu saya masih kecil. Berapa belas tahun yang lalu.”

Pantas aku tidak mengenalnya. Mungkin ia pindah dari sini sebelum aku pindah ke sini. Matanya tampak menatap wajahku lamat-lamat.

“Dulu. Rumah ini ditinggali seorang perempuan….”

Dia sengaja menggantung kalimat, sambil melihat ekspresiku. Entah ekspresi seperti apa yang ia harapkan dari aku.

“Perempuan itu tinggal sendiri.”

Aku tak tahu harus berkomentar apa. Karena sekarang pun aku tinggal sendirian, ibu telah meninggal beberapa waktu yang lalu.

“Penduduk sini menjulukinya Perempuan Penunggu Malam.”

Lelaki itu lalu mulai bercerita. Suaranya yang berat namun lembut mengurai kisah masa kanaknya. Hingga aku terbuai, terlempar ke masa itu…

Saat itu usianya baru sebelas tahun. Lelaki dari kota itu, ia bernama Radite, selalu bermain dengan dua karibnya. Mereka menjelajahi seluruh pelosok desa, bahkan hingga ke hutan yang saat itu dianggap hutan larangan. Naluri keingintahuan kanak-kanak mengalahkan rasa takut mereka.

Tak ada wilayah desa yang tak tersentuh kaki mereka. Hingga suatu sore, sehabis dari penjelajahan, mereka melewati rumah perempuan itu. Rumah yang aku tempati kini. Sebenarnya mereka telah mendengar cerita tentang perempuan itu. Tapi, baru pada sore itu mereka menyadari bahwa mereka sering melalui rumah itu dan tidak melihat tanda kehidupan.

“Apa benar di rumah itu ada yang tinggal?” tanya karibnya yang bertubuh ceking seperti ranting, yang sebenarnya juga jadi pertanyaan mereka semua.

“Katanya, sih, iya, seorang perempuan cantik tinggal di situ,” jelas teman Radite lain, yang bahunya lebar dan kokoh seperti batang pohon dengan mimik serius.

“Cantik?” tanya Si Ranting. Entah mengapa pertanyaan itu, menurut Radite, membuatnya bergidik. Bukankah sesuatu yang cantik dan misterius selalu berhubungan dengan sesuatu yang mistik?

“Iya. Cantik, seperti bidadari. Dan katanya, ia sedang menunggu kekasihnya,” jelas Si Batang Pohon.

“Kekasihnya ke kota?” tanya Radite.

“Kabarnya begitu.... dan lelaki itu menikah dengan perempuan kota.”

Suasana hening. Mereka bertiga bermain dengan imaji mereka masing-masing. Tentang perempuan cantik yang menunggu kekasihnya yang ingkar janji.

“Ia tinggal sendiri?” tanya Radite.

“Ya. Orang tuanya sudah meninggal.”

Suasana kembali sunyi. Mereka bertiga memandang rumah itu dari seberang jalan. Mereka tak berani mendekat pada sisi jalan yang dekat dengan rumah itu.

“Tetapi aku tak pernah melihatnya. Apa benar ia masih tinggal di rumah ini?”

“Perempuan itu masih tinggal di sini!” jelas Si Batang Pohon bersikukuh.

“Mana buktinya? Tak terdengar apa-apa sedari tadi.”

“Ia terlihat cuma malam hari. Cuma malam. Dan kalian tahu yang ia kerjakan?”

Nada suara Si Batang Pohon mendadak terdengar begitu mistik. Radite dan Si Ranting menggelengkan kepala. Wajah mereka seakan melukiskan detak jantung mereka yang berdetak amat keras.

“Ia menjahit.”

“Menjahit?”

“Menjahit kebaya pengantinnya,” suara Si Batang Pohon terdengar begitu menakutkan. Tiba-tiba Si Ranting telah berlari meninggalkan Radite yang masih terpaku. Si Batang Pohon tak tinggal diam, dia berlari sekencangnya. Radite pun berlari mengikuti dua karibnya. Radite tak berani menoleh ke belakang, ke rumah itu....

Lelaki kota yang baru saja selesai bercerita itu menghirup tehnya. Tangannya saat memegang cangkir tidak memperlihatkan bahwa tubuhnya bergetar akan cerita masa lalu. Tetapi, celah matanya yang sempit tampak menyimpan kenangan yang mendebarkan. Aku tersenyum. Pandangan mata kami bertabrakan. Aku menyimpulkan ada tanya yang timbul tenggelam di manik matanya.

“Kau pernah melihatnya?” tanyaku, dengan rasa ingin tahu sekadarnya.

“Pernah.”

Aku tertegun. Mata Radite menatapku tepat ke bola mata. Mataku seakan terjerat oleh pukat. Terpantek. Tak bergerak, tertuju ke bola matanya yang cokelat tua.

“Berarti dia ada…,” desisku.

“Dia ada.”

Aku terdiam, bersiap menyimak cerita Radite. Sontak aku membaca gairah di tiap lekuk tubuhnya, di tiap lipatan sudutnya. Aroma lelaki yang kasmaran. Tiba-tiba aku menghirup aroma cemburu. Milikku.

“Aku pernah bertemu perempuan itu satu kali. Waktu itu kami sekeluarga harus pindah ke kota. Entah mengapa, aku ingin berpamit pada perempuan itu….”

Aku masuk ke dalam kisah Radite, seakan aku bagian dari kisah. Mungkin aku kupu-kupu yang beterbangan pagi itu. Suara Radite timbul tenggelam dalam imajinasiku tentang situasi saat itu.

“Waktu itu hari masih pagi. Dengan segenap keberanian aku mengetuk pintu rumahnya. Cukup lama, hingga pintu itu terbuka dan tersembul wajah perempuan yang sangat cantik. Ternyata, segala takut sirna menjadi takjub. Belum pernah aku melihat perempuan secantik itu di desaku. Aku terdiam tak berbicara apa pun. Ia juga berdiri tak berbicara atau bertanya apa mauku. Namun, aku membaca sesuatu di matanya. Seakan ia mengerti aku, datang untuk mengucapkan selamat tinggal. Sekilas, kulihat senyumnya sebelum akhirnya ia menutup pintu….”

Kami terdiam. Siur angin menerpa leherku. Aku bergidik. Ada perasaan tak nyaman dan dingin yang tiba-tiba menyergap begitu saja. Aku tersadarkan dari lamunan, saat Radite meletakkan cangkir ke atas meja. Aku baru sadar bahwa cerita Radite belum selesai. Bibirnya tampak ingin bercerita lebih lanjut. Aku terdiam, menunggu.
“Aku tidak bisa membayangkan seperti apa rupa perempuan itu sekarang. Apa ia seperti kisah dewi-dewi yang tak lekang dimakan waktu. Usianya mungkin kini 50 tahun. Mungkin lebih. Ia menjadi legenda desa kami. Tentang penantian, kesetiaan dan sakit hati. Aku pernah membuat puisi untuknya. Perempuan Penunggu Malam. Puisi pertamaku untuk seorang perempuan….”

Matahari bukan lagi kemerahan, tapi keperakan seperti bulan. Lalu di mana kuselipkan rindu, bila aku tak lagi mengenali waktu?

Sepergi Radite, aku menulis kalimat itu di halaman awal sebuah buku. Entah buku apa. Seperti aku katakan sejak awal, aku tak paham akan perputaran waktu. Aku tak ingat kapan tepatnya aku tinggal di rumah ini. Aku hanya mengira-ngira. Ada masa ketika aku menghitung hari demi hari, detik demi detik dan berakhir menyakitkan. Hingga aku memutuskan, aku tak akan lagi menandai waktu.

Ruangan ini mendadak sepi, seperginya. Tetapi, bukankah selama ini aku juga sendirian? Aku mulai berpikir, manusia terlalu mengada-ada. Rasa sepi itu datang, bukan dari hati. Tapi, buatan. Bukankah selama ini aku tinggal sendirian, dan rasa sepi itu tidak pernah mampir. Lalu, saat Radite tiba-tiba datang dalam hidupku, aku lantas menciptakan sepi sesaat setelah dia pergi.

Aku sibuk membersihkan rumah. Entah mengapa, laba-laba begitu sering membuat jaring di sudut rumah, tingkap jendela atau di balik kursi. Kecepatan mereka membuat jaring serajin aku membersihkannya. Aku heran mengapa debu begitu mudahnya menebal. Seakan aku tinggal di gurun dan angin beserta debu beterbangan masuk melalui jendela, pintu dan segala celah sekecil apa pun.

Tiba-tiba kisah Perempuan Penunggu Malam merasuki pikiranku. Bagaimana kalau kisah itu nyata? Dan, ia pernah tinggal di sini….

Tubuhku kaku. Bukan karena rasa takut, tetapi gelisah, karena keingintahuan untuk menyibak, kalau benar ada rahasia di rumah ini.

Aku mulai memeriksa segala ruang, segala sudut, segala perabot. Tetapi, tidak kutemukan rahasia masa lalu. Aku mulai letih. Saat aku duduk bersandar di kursi, pandanganku tertuju pada langit-langit ruangan.

Rahasia adalah tingkap paling gelap. Tak terjangkau pandang, tak tertangkap tangan. Hanya hasrat yang bisa menggapainya. Dalam lorong-lorong tak tersentuh cahaya, rahasia merasa aman. Tersimpan rapat hingga debu menyelimutinya dan kutu busuk menggerogotinya menjelma ampas masa silam. Tapi, selalu ada tingkap yang lupa untuk ditutup….

Konon, loteng adalah hunian makhluk halus bergabung dengan binatang pengerat. Tetapi, aku mengesampingkan rasa takutku, karena hasrat ingin tahu. Ada beberapa benda berselimut debu di sini. Lampu tua, meja konsol, setumpuk gorden tua dalam kardus, kursi patah. Beberapa ikat kertas dan buku tua. Tiba-tiba aku merasa berubah menjelma menjadi anak-anak delapan tahun yang sedang mencari harta karun di loteng nenek.

Benda-benda berselimut debu itu aku pilah satu demi satu. Sampai aku menemukan sebuah buku. Tidak seperti buku-buku tua yang ditemukan dalam kisah-kisah, karena buku ini tidak berwarna tua. Bukan merah, hijau, hitam, atau cokelat tua. Sebuah buku tebal berwarna cerah, krem dengan lukisan –tak terlalu bagus- seorang perempuan sedang duduk menunduk.

Sore hari, setelah membersihkan diri, aku mengambil buku itu, bersiap untuk membacanya. Gambar pada sampul muka hasil guratan pensil itu jauh dari kata bagus. Tapi, kini aku bisa mengamatinya dengan jelas. Perempuan itu duduk menunduk dan pada pangkuannya terlihat seonggok benda, entah apa. Tapi, jelas salah satu tangannya memegang sesuatu: jarum. Itu gambar perempuan yang sedang duduk tertunduk menjahit kebaya. Perempuan Penunggu Malam….

Pada halaman pertama, terlihat sketsa tak jelas. Demikian juga pada halaman kedua, ketiga, seterusnya. Ternyata, bukan buku yang aku harapkan! Ini bukan buku harian seorang perempuan dari masa lalu. Ini hanya buku berisi coretan sketsa tak jelas, kalau bisa dibilang buruk. Hampir sepertiga buku dan isinya hanya coretan! Dengan kesal, aku menutup buku itu.

Matahari senja menerobos masuk, tepat menyorot ke bagian belakang buku. Jariku merambat pelan dan membuka buku dari belakang. Saat itu aku baru sadar, bahwa dari halaman belakanglah tulisan itu bermula….

Tulisan ini aku mulai sejak aku tinggal di rumah ini. Ayah meninggal karena bunuh diri. Dia hanya menyisakan sedikit tabungan, hingga aku dan Ibu memutuskan membeli rumah di pedesaan. Jauh dari kebisingan kota dan murah. Rumah ini jauh dari kata bagus. Kecil dan sederhana. Tapi, ada satu yang istimewa. Ada jendela-jendela menghadap ke jalanan. Aku tak akan menukarnya dengan apa pun….

Kalimat itu yang tertulis di halaman pertama. Berikutnya di halaman kedua, aku membaca kalimat berikut.
Beruntung aku mempunyai seorang Kekasih. Aku menyebutnya Kekasih. Nama tak lagi penting. Karena bagiku, ia segalanya. Ia Kekasih-ku. Kemarin ia baru saja datang, ia memberikan aku sepotong puisi yang ia tulis di sehelai kertas. Seperti ini:

Migrasi para burung, lintasi selat menuju benua baru. Seekor pelikan tertinggal di karang. Mungkin sayapnya terlalu lelah untuk terbang, mungkin ia mulai berpikir membuat sarang. Paruhnya menoreh sepanjang pantai, seperti ditorehnya kisah panjang, yang baru akan dimulai....

Menurutnya, puisi itu tentang perasaannya. Tentang hidup, saat ini, bersamaku. Ia telah lelah terbang tanpa tujuan. Ia ingin menikahiku….

Aku tak dapat menyembunyikan rasa bahagiaku. Perasaanku seperti terlempar ke langit, mengambang. Kakiku tak menjejak bumi. Karena aku tertahan di negeri awan. Mataharilah yang jadi waliku dan bulan adalah kereta pesiarku memetik bintang….

Lampu mati mendadak. Gelap pekat. Aku merambat menuju jendela. Desa pun gelap pekat. Beruntung bulan masih berbaik hati berbagi cahaya. Aku memandang lewat jendela. Tiba-tiba aku merasa menjelma menjadi perempuan itu. Perempuan Penunggu Malam yang sedang memandang lewat jendela….

Taman itu dekat kuburan. Tak banyak orang yang berani datang ke sini. Orang-orang lebih memilih perasaan takut hingga melewatkan pemandangan yang menakjubkan dan suasana ritmis yang tak terganti oleh apa pun. Entah sejak kapan aku mulai sering duduk di sini. Sebuah sungai kecil membelah taman dengan pekuburan. Aku biasa mencelupkan pergelangan kaki ke dalam sungai. Ikan-ikan kecil berebutan menciumi kakiku.

“Apa hanya ikan yang boleh mencium telapak kakimu?”

Radite telah berjongkok di sebelahku. Aku terperangah. Sama sekali tidak terdengar langkah kakinya. Rumput, ranting, dan tanah bersekongkol untuk mengaburkan bunyi.

“Siapa yang mau mencium telapak kakiku?”

Radite tertawa. Matanya hanya segaris. Garis pipinya tampak kukuh. Ingin kutorehkan perasaanku di sana, agar ia dapat merasakan degup ini. Radite dengan gerakan mantap menarik kakiku keluar dari dalam aliran sungai. Ia lalu membalut kakiku dengan syal yang tadi ia kenakan. Aku merasakan rasa hangat menjalar. Ia mengecup kakiku! Hasratnya menular. Ini terlalu cepat! Aku harus menghentikannya. Tapi, nalarku tak sejalan dengan perasaanku….

Tangannya menyibak rerumputan. Tumbuhan itu merunduk, mereka bersedia menjadi alas bagi tubuhku, bagi tubuhnya. Aku bukan sebatang kayu yang kaku saat burung pelatuk mematuki pokok pohonku. Tubuhku menggeliat seakan ada ratusan kupu-kupu dalam tubuhku yang ingin terbang ke luar. Tubuhku mengawang. Kupu-kupu dalam tubuhku membuatku mengambang, melayang. Tak ada yang sanggup menarikku ke bumi. Kecuali saat pagutannya berhenti….

Matanya yang cokelat tua memandang lekat. Ingin kucungkil bola matanya, agar orang terakhir yang dilihatnya adalah aku. Hingga dalam lamur kenangannya, aku yang paling cemerlang. Hanya aku yang bersemayam di benaknya. Hanya aku.

“Maaf….”

Mengapa lelaki harus meminta maaf saat mencium perempuan yang belum resmi jadi kekasihnya. Apa agar mereka terlihat alim dengan penyesalannya itu? Seakan kami perempuan adalah makhluk suci yang tak terciprati gairah. Bila kami sebagai perempuan berkeberatan, maka kami akan menendang pangkal paha lelaki sebagai bentuk pembangkangan. Aku memagut sepi yang terentang antara aku dan dia. Dia gelagapan seakan terseret ke kedalaman arus sungai. Nyaris terbenam. Dapat aku lihat belalak matanya.

“Jangan berhenti…,” lenguhnya.

Aku tahu, sejak detik itu dia akan mengabdi.

“Apa kau selalu melewatkan sepimu di taman itu?”

Kini kami telah berpindah ke teras rumahku. Daun suplir melambai tertiup angin. Seekor capung kuning terbang mendadak.

“Kau tahu, sungai itu membelah taman dan kuburan. Kadang-kadang aku membayangkan, kalau aku melompati sungai itu, aku masuk ke dunia lain. Kematian.”

Wajah Radite tampak keruh. Ia tak suka aku membicarakan kematian. Apa yang ia takutkan? Bukankah kita semua akan mati. Dan, kebanyakan sendirian. Seperti saat kelahiran. Radite masih terdiam.

“Kau kenapa? Apa ada ucapanku yang salah?”

“Kenapa kau sering ke taman itu?”

“Maksudmu?”

“Aku ke sana bukan karena kebetulan.”

Aku mengerutkan dahi.

“Aku tahu kamu sering ke sana, sebelum kamu bercerita tadi, maka aku sengaja menemuimu di sana.”

“Kau tahu, sebelum aku cerita?”

“Ya.”

Pandangannya melembut. Tetapi, situasi tidak mengizinkan aku leleh karena tatapannya itu.

“Jangan sering ke sana, kau tahu orang desa membicarakan engkau….”

“Membicarakan aku?”

“Mereka bilang, kamu sering ke taman bercakap dengan arwah.”

Aku tertawa. Sakit. Ternyata keputusanku menarik diri dari dunia luar justru memberi mereka peluang untuk bercerita buruk tentang aku.

“Ya. Aku memang bercakap dengan arwah. Itu ritual yang harus aku lakukan.”

Radite menatapku dengan mulut terbuka. Wajahnya yang pucat saat itu adalah potret dirinya yang paling buruk.
“Arwah tidak pernah bergunjing. Hanya wujud mereka yang menyeramkan. Tetapi manusia, seperti orang-orang desa tidak dapat terbaca hatinya. Mereka hanya menampilkan wajah ramah mereka. Palsu.”

“Mereka tidak bergunjing. Mereka hanya mempertanyakan apa yang kamu lakukan….”

“Apa kamu setuju dengan mereka? Bahwa aku bercakap-cakap de­ngan arwah?”

“Kamu tidak bisa bersembunyi dari orang….”

Aku menatapnya tak mengerti. Mendadak aku mendapati so­soknya samar. Sesamar bayangan. Aku tak mengenali sosoknya.

“Kamu tidak bisa lari dari masa lalu….”

“Apa yang kau tahu tentang aku?! Apa yang kamu dengar dari celotehan para penggunjing itu?”

“Kamu tidak pernah bercerita tentang masa lalumu….”

“Kamu mau tahu?”

Dia mengangguk. Mendadak mataku panas.

Aku harus menceritakan hal paling menyakitkan dalam hidupku. Penjara membiarkan aku menunggu. Penjara tak datang pada hari pernikahan kami. Aku bukan perempuan bodoh yang menunggu dengan kebaya pengantin, apalagi menyebar undangan. Aku duduk di depan jendela menunggunya. Itu mungkin tetap sebuah kebodohan. Tetapi, siapa pun bisa menjadi orang paling bodoh, bila berhubungan dengan cinta. Tak peduli usia, juga jenis kelamin.

Aku tak khawatir akan diriku. Aku justru mengkhawatirkan Ibu.

Ibu seperti orang tua lain. Mereka seakan menanggung beban malu melebihi apa pun. Apa yang dilakukan Penjara seakan mencorengkan aib ke wajahnya. Apalagi, dulu semasa hidup, Ayah tidak pernah setuju hubunganku dengan Penjara. Beban yang ditanggung Ibu makin berat. Rasa malu serta perasaan mengkhianati Ayah, karena sikapnya yang mendukung hubunganku dengan Penjara.

Makin lama Ibu makin kurus. Dia seakan ingin mengakhiri hidup dengan penyiksaan pelan-pelan. Ibu memilih tidak makan, tidak minum. Ibu juga memintaku untuk menutup jendela, pun di siang hari. Ibu malu bertemu tetangga. Dia kehilangan muka. Harga diri. Ruangan rumah kami menjadi pengap, saat matahari sedang terik-teriknya. Seakan tak ada celah untuk cahaya dan angin masuk ke dalam. Hanya saat malam, aku bisa mencuri-curi membuka salah satu jendela di ruang depan, karena Ibu telah tertidur di kamarnya.

Angin malam kesetanan masuk ke dalam ruangan. Perlahan dingin merambat dari jendela ke dinding, ke pintu, ke lantai, ke perabot, ke langit-langit. Aku membeku di kursi, serupa patung perunggu tertimpa cahaya bulan perunggu. Terkadang aku tertidur di kursi dan terbangun, saat gemerisik daun menjatuhkan embun pada bingkai jendela. Aku mulai menandai waktu dengan pertanda alam. Aku menanggalkan almanak dan jam dari dinding. Aku melupakan tanggal, bulan, dan tahun. Jam, menit, serta detik. Karena aku ingat, Penjara menandai segala janji dengan bilangan waktu.

Pagi ini terasa alam berduka. Burung gereja tak bercericit seperti biasa. Kaok burung gagak dengan suara buruknya memenuhi sekitar rumahku. Kesadaranku datang terlambat. Ada yang pergi hari ini. Berkisar seputaran rumahku. Tapi, rumahku jauh dari tetangga. Dalam radius sekian kilometer baru terdapat perumahan. Aku tertegun. Gagak itu berputaran di wuwungan rumah. Ada yang pergi hari ini. Ibu.

Ibuku meninggal. Tubuhnya hanya tinggal tulang. Tubuhnya menyusut, begitu kecil. Demikian juga dengan kecantikannya yang hanyut termakan keriput. Aku tak bisa menangis. Tubuhku membeku di pinggiran tempat tidurnya. Terpaku di situ. Memegang lengannya yang dingin. Tak ada kekuatan yang menggerakkanku. Tiba-tiba terdengar orang ramai datang dan mendobrak salah satu pintu. Mereka menyerbu masuk ke rumah. Mereka takjub. saat menjengukkan kepala ke dalam kamar Ibu. Aku dan Ibu seperti pahatan kayu. Tubuhku yang kaku, lekat pada tubuhnya yang mengering seperti ranting.

Orang-orang desa menyerbu ke dalam rumah, karena curiga burung gagak berkitaran seputar rumah. Mereka sepakat ada yang tak beres di dalam rumahku. Mereka bahkan membuat upacara penguburan yang layak buat Ibu. Itu kali pertama, aku merasa membutuhkan orang-orang di desa itu….

Radite terpaku. Bibirnya bergetar membentuk kata maaf. Mengapa harus meminta maaf? Bukankah ia ingin tahu tentang masa laluku? Ia memegang jemariku. Yang terasa bukan perasaan hangat dan nyaman. Tangannya terasa dingin dan asing. Aku merasa masih banyak pertanyaan berkelebat di kepalanya. Masih banyak hal yang ingin ia tanyakan.

“Tetapi, kenapa kamu menarik diri dari orang-orang? Bukankah mereka tidak sejahat yang kamu bayangkan?”

“Ceritanya panjang.”

“Aku tak suka cerita panjang. Tapi, kalau cerita itu tentangmu, aku akan mendengarkan. Sepanjang apa pun….”

“Mereka bukan sekadar penggunjing. Tapi, penindas.”

Radite memandangku tak mengerti. Lelaki tak pernah memosisikan dirinya sebagai perempuan. Dia tak akan tahu, seorang gadis yatim piatu yang terdampar di negeri asing hanya akan jadi santapan serigala. Gadis itu tidak akan menjelma menjadi putri bagi seorang pangeran berkuda putih.

“Mereka menawarkan bantuan. Ta­pi, meminta imbalan.”

“Mereka? Siapa?”

“Laki-laki desa ini.”

Radite tampak berpikir. Rautnya berubah cemas sekaligus geram. Seakan ia baru saja menemukan sisi lain tentangku, yang tidak terbayangkan.

“Laki-laki desa ini! Mereka meminta imbalan… tubuhmu….”

Suara Radite terdengar pilu. Mungkin dia pikir, dia telah tahu hal itu secara utuh. Dia salah.

“Sebagian tubuh. Sisanya menginginkan cinta.”

“Cinta? Mereka menginginkan kau jadi kekasih atau istri mereka… itu lebih baik.”

Radite masih menggumam. Aku memandangnya iba. Mungkin yang ada di kepalanya sebuah pertanyaan baru. Mewakili ego lelaki, apakah aku tidur dengan mereka. Tapi, Radite terdiam. Mukanya terlihat terpukul.

“Kau pikir, aku tersanjung karena mereka meminta imbalan cinta?”

“Bukankah itu lebih bermartabat dibanding meminta imbalan tubuhmu?”

“Mereka yang menginginkan tubuhku hanya menindasku saat itu saja. Mereka yang menawarkan cinta akan menindasku selamanya. Laki-laki tak mengenal cinta. Mereka menggunakan kata cinta, untuk menutup berahi mereka. Aku tak mau jadi budak mereka. Karena aku yang menentukan cinta.”

Suasana hening. Wajah Radite berubah menjadi kanak-kanak yang ingin dilindungi. Dia memancing naluri keibuanku. Tapi, aku sedang tak ingin lelaki itu bergayut pada rengkuh dadaku.

“Kamu yang menentukan cinta, pada Penjara.”

“Ya. Aku yang menentukan cinta, pada Penjara.”

“Apa kamu juga menentukan cinta… padaku?”

“Ya.”

Radite menghela napas lega. Aku rasa ia sebenarnya tak peduli akan perasaanku pada Penjara. Ia hanya ingin tahu posisinya.

“Bagaimana dengan Penjara? Apa ia tidak pernah menemuimu lagi?”

“Pernah. Sekali.”

“Kapan?”

“Setelah Ibu meninggal.”

“Lantas? Apa alasannya tak datang pada hari yang kalian sepakati? Benar ia punya kekasih baru di kota?”

“Dia datang untuk minta maaf.”

“Karena meninggalkanmu?”

“Dia merasa bersalah karena Ibu meninggal. Itu pengakuannya. Dia juga bilang kalau ia punya calon istri di kota.”

“Kurang ajar!”

“Saat itu, dia akan menikah seminggu lagi.”

Radite memandangiku iba.

“Aku salah menilainya. Dulu aku pikir, ia malaikat yang tinggal bersama para setan dan pendosa di neraka. Ternyata ia iblis. Lingkungan akan membentuk seseorang jadi domba, serigala, atau dubuk. Seekor domba tak mungkin tinggal di antara serigala, dia pasti akan mati dimakan beramai-ramai.”

“Dia beradaptasi. Hanya itu yang bisa membuatnya bertahan tinggal di penjara.”

“Kamu membelanya?”

“Aku mengasihaninya. Dia bodoh karena mengabaikan perempuan seperti kamu.”

Aku tertawa. Sempat-sempatnya lelaki merayu dalam situasi seperti ini. Radite memegang jemariku.

“Apa saat itu, terakhir kali kamu bertemu dia?”

“Itu terakhir kali aku melihatnya.”

Sebenarnya aku ingin bercerita tentang buku harian Perempuan Penunggu Malam. Tapi, aku merasa, sebagian dirinya menyangsikan aku. Entah apa. Aku tak bisa terbuka pada orang yang masih menyangsikan aku. Maka aku meneruskan membaca buku harian Perempuan Penunggu Malam. Kisahnya amat memilukan. Masih banyak cerita yang memilukan, tapi entah mengapa kisahnya menarik rasa empatiku. Aku menempatkan dirinya pada diriku. Tentang kesetiaan dan sakit hati.

Ada halaman yang disobek. Ada kisah yang tak ingin terlacak. Bagaimana kisah penantian pada sang kekasih? Tampaknya apa yang diceritakan Radite tentang kepedihan Perempuan Penunggu Malam memang benar adanya. Setelah cerita tentang penantian, langsung berisi tulisan tentang kepedihan. Juga kengerian.

Pernah aku dengar kisah tentang bikuni yang mencungkil matanya dan diserahkan pada seorang lelaki. Karena lelaki itu mencintai karena matanya. Matanya yang bercahaya. Dia berharap lelaki itu berhenti mencintainya dan hanya matalah –penyebab rasa cinta itu- yang dapat membuatnya menghentikan langkahnya untuk mencinta. Maka ia mencungkil matanya.

Bikuni itu hanya mengejek cinta lelaki itu. Aku tak punya kemampuan seperti bikuni itu. Aku teperdaya oleh lelaki. Lelaki terlahir sebagai makhluk visual. Pencinta fisik. Lelaki tidak mengerti akan kedalaman perasaan. Mata mereka adalah corong untuk merekam dan mengirim sinyal berahi. Lalu mulut mereka menganga siap mengunyah. Mereka tak berhenti mengunyah hingga tubuh perempuan menyusut dan berkerut, lalu meninggalkannya. Dan semuanya bermula dari mata.

Lelaki yang buta akan dapat mencintai dengan kedalaman perasaan. Ya, lelaki buta atau yang tak punya mata….
Aku bergidik. Karena di kertas itu terdapat percikan darah! Darah yang telah mencokelat membentuk pola. Aku menutup buku itu. Tubuhku bergetar. Tapi, rasa penasaranku melebihi perasaan takutku. Aku membuka buku itu lagi.

Aku menanam bunga di tanah kosong. Telah kugemburkan tanahnya, lalu kupijak tanah itu agar padat. Akan tumbuh bunga di atasnya. Akan aku namakan bunga itu penantian. Aku menantinya tumbuh dan berkembang. Aku menyiraminya dengan air mata. Ternyata air mata lebih mujarab dari mata air mana pun. Tapi, orang-orang mengintai dari kejauhan. Seakan aku mengadakan ritual pemujaan. Ingin rasanya kurampas pandangan mereka. Agar mereka buta dan mereka terbebas dari rasa keingintahuan yang tak perlu.

Apa yang dilakukan Perempuan Penunggu Malam? Aku mencoba menerjemahkan kalimat isyaratnya. Apa yang ia tanam? Bunga? Mengapa ia tampak curiga pada orang di sekitarnya? Apa yang ia lakukan? Mengapa ia tak bersahabat dengan orang-orang di sekitarnya? Aku membayangkan Perempuan Penunggu Malam adalah perempuan kesepian. Amat kesepian.

kuputuskan untuk bercerita pada Radite tentang buku harian itu. Aku tak pernah mendengar tentang legenda Perempuan Penunggu Malam, sedangkan Radite tumbuh besar bersama kisah itu. Radite mungkin dapat menerjemahkan catatannya yang ditulis dengan bahasa bersayap. Bahasa yang tak mudah untuk diartikan secara harfiah. Hanya Radite yang dapat membantuku. Karena hanya ia yang berkomunikasi denganku saat ini.

Radite menatapku tak mengerti saat kusodorkan buku itu. Perlahan ia mulai membuka halamannya, lalu membaca. Aku menantinya untuk berkomentar. Baru membaca tiga halaman, ia menatapku.

“Dari mana kau dapatkan buku ini?”

“Loteng.”

“Loteng?”

“Apa ada yang aneh?”

“Aku pinjam buku ini.”

“Buat apa?”

“Aku butuh buku ini. Agar orang-orang tahu.”

“Aku yang menemukannya.”

Kami terdiam. Radite tampak amat membutuhkan buku itu, seakan buku itu adalah napasnya. Aku tidak mengerti apa yang ada di benaknya.

“Buku ini amat berarti bagiku.”

“Amat berarti?”

“Ya.”

“Dibanding aku?”

“Kenapa harus dibandingkan?”

“Aku tanya apakah buku ini amat penting, lebih penting dibanding aku?”

Dia terdiam. Aku menatap matanya. Aku cemburu. Karena aku melihat keinginan yang besar di bola matanya. Api itu berkobar. Lebih besar daripada saat ia mencumbuku.

“Tak bisa dibandingkan.”

“Kamu tidak punya keberanian untuk bilang buku itu lebih penting dari aku.”

“Kamu lebih penting.”

“Bohong.”

Dia berkata aku lebih penting hanya untuk menghindari perdebatan. Agar aku terdiam dan tak membahasnya.

“Buku ini amat penting buatku. Suatu saat kamu akan mengerti.”

Aku membaca ketulusan dalam nada bicaranya. Kepalaku mengangguk, tanda mengerti. Radite pulang sambil membawa buku itu.

Radite tak datang selama tiga hari. Aku tak tahu apa yang terjadi. Aku ingin bertanya pada orang yang lewat, tapi aku telah lama tidak bercakap dengan orang lain. Aku memendam rasa inginku melebihi apa pun yang diduga orang. Aku bolak-balik menjenguk ke luar, berharap sosok Radite muncul. Terkadang aku merasa suaranya berbisik di daun telingaku. Seakan ia lekat di tengkukku.

Sempat juga aku berpikir untuk mendatangi rumahnya. Tapi, aku tak tahu alamatnya. Walau sebenarnya mudah bagiku untuk melacak jejaknya. Tempat tinggal kami hanyalah pedesaan. Hampir bisa dipastikan penduduknya saling kenal. Apalagi, menurut Radite, ia tinggal di rumah pamannya. Seorang berpengaruh di desa itu. Semua orang mengenalnya. Tapi, aku tak punya keberanian untuk mendatanginya. Aku tak mau diusik mereka. Aku yakin mereka tak mau terusik dengan kedatanganku. Mungkin orang desa menganggap aku telah mati.

Pada hari kelima, Radite muncul di hadapanku seperti hilang akal. Dia menerobos masuk dan memandang berkeliling dengan pandangan liar. Aku memegang lengannya dan dapat kulihat kedua pergelangan tangannya luka memar. Seperti bekas ikatan tali tambang.

“Kenapa tanganmu?”

“Luka.”

Hanya itu jawabnya. Radite kemudian duduk seperti memikirkan sesuatu. Dia terlihat seperti binatang liar yang terluka. Dan kini tersudut di pojokan dengan muka beringas. Tapi, ia tunduk padaku.

“Biar aku obati.”

Aku mengobati luka di pergelangan tangannya. Pandangan matanya berangsur terlihat kembali normal. Yang pertama ia ucapkan adalah tentang buku itu.

“Buku itu….”

Aku baru teringat akan buku itu. Aku belum membaca buku itu sampai selesai. Aku merasa lelah, walau hanya membaca dua tiga lembar saja. Terlebih, aku masih ngeri dengan kisah yang aku temukan di buku itu: tetesan darah.

“Buku itu kenapa? Apakah kau membaca sesuatu yang mengerikan?”

Radite mendengus, mukanya terlihat kesal.

“Dia merebutnya.”

“Siapa?”

“Pamanku.”

“Pamanmu? Untuk apa ia merebut buku itu?”

“Dia bilang buku itu menyesatkan. Seharusnya aku membaca kitab suci dan menggumamkan doa. Dia pikir aku sesat.”

“Itu hanya catatan. Tak lebih.”

Kami terdiam. Napasnya mulai memburu. Mukanya terlihat amat kesal.

“Cuma kamu yang mau mengerti aku.”

Aku merasa tersanjung. Tapi, ia tak peduli dengan reaksiku. Dia mengucapkan hal itu seperti mengucapkan kata, ‘Aku lapar.’ Sesuatu yang amat biasa.

“Lalu, kamu biarkan saja dia merampas buku itu. Itu bukan bukumu. Aku yang menemukannya.”

“Dia ingin mengikatku.”

Aku tak mengerti apa maksudnya, mengikatnya. Radite meremas telapak tangannya sendiri.

“Dia ingin mengawinkan aku dengan anaknya.”

“Anaknya? Sepupumu?”

“Ya.”

Tidak ada perasaan cemburu. Entah mengapa aku justru merasa iba.

“Mungkin kau mengenalnya. Atau, setidaknya kau tahu. Namanya Atri.”

Aku pernah melihat perempuan itu. Wajahnya tirus dengan rambut lurus. Mukanya khas penduduk setempat. Gadis yang amat biasa. Tapi, hanya sedikit perempuan yang hilir-mudik dengan roda empat di daerah sini. Atri salah satunya.

“Aku tahu.”

Aku tak ingin tahu lebih lanjut tentang Atri. Yang terpenting bagiku adalah buku itu.

“Apa kau tak bisa merampas buku itu lagi?”

“Dia menyembunyikannya. Aku tak tahu ia menyembunyikannya di mana.”

Radite tampak gelisah. Aku kesal bukan main. Tapi, aku berusaha berpikir jernih. Aku tahu apa yang harus dilakukan Radite.

“Kau bisa mendapatkan buku itu lagi. Kamu hanya tinggal memintanya pada Atri.”

“Atri?”

“Aku rasa dia mencintaimu. Dia akan melakukan apa saja untukmu.”

Setelah sekian lama, aku keluar dari wilayah kekuasaanku. Kepala dan tubuhku terbalut kerudung panjang. Tak akan ada yang mengenaliku. Aku merasa seperti bayangan. Ada, tapi tidak terperhatikan. Seperti asap, melintas tapi sekilas. Radite menggandeng tanganku berjalan di pedesaan. Kami berjalan di pematang. Petak-petak hamparan sawah yang menghijau menyejukkan mataku. Beberapa orang menyapa Radite dan memandangnya heran.

Mungkin karena Radite berjalan bersama perempuan berkerudung yang menutupi dahi dan sebagian wajahnya. Aku tak tertebak.

“Orang-orang menatap kita.”

“Biar saja.”

“Lepaskan tanganmu. Kita jadi pusat perhatian.”

“Biar. Biar mereka tahu aku sedang jatuh cinta.”

Lalu aku sampai di sebuah pintu gerbang. Sebuah rumah besar beserta halaman luas, milik Paman Radite. Tapi, Radite tidak mengajakku masuk melalui pintu itu. Dia malah menarik tanganku, untuk berjalan ke samping menyusuri tembok yang mengelilingi rumah itu. Sampai pada bagian tembok yang ambrol. Tembok itu belum sempat diperbaiki, hanya ditutupi bambu-bambu yang disilang agar orang tidak seenaknya masuk.

Radite mengajakku menerobos bambu itu. Tak sulit. Lalu kami berjalan menuju bangunan rumah. Pada sayap kanan rumah terdapat semacam pendopo samping. Ada seorang yang sedang berlatih menari. Tak terlalu jelas. Makin mendekati pendopo, aku tahu siapa yang menari. Atri. Wajahnya ternyata lebih menarik dibanding dalam ingatanku. Aku menghentikan langkah, lalu aku melepaskan pegangan tangan Radite.

“Itu Atri, ‘kan?”

“Lalu kenapa?”

“Tidak enak. Pamanmu menjodohkan kalian. Atri mungkin mencintaimu.”

“Bagus, ‘kan? Biar dia tahu.”

“Aku tidak menyangka kamu bisa melakukan ini. Biasanya perempuan yang bisa kejam urusan perasaan. Lelaki lebih suka main belakang.”

“Aku hanya ingin dia tahu, bahwa aku mencintai seseorang….”

Radite menarik tanganku. Atri tampak sedang menari. Dia berkonsetrasi pada lagu yang mengalun dari tape recorder. Terlebih berkonsentrasi pada tubuhnya. Saat Atri berbalik tubuh, wajahnya terkejut menatap Radite.

“Mas….”

“Atri. Aku mau mengenalkan….”

Atri memandang Radite tak mengerti. Radite menoleh ke samping, tempat aku berdiri tadi. Tapi, aku sudah tidak ada. Radite memandangi tangannya, seakan tak percaya tanganku lepas dari genggamannya. Aku bersembunyi di balik pohon. Tanpa sadar, tadi aku berhasil melepas pegangan tangannya. Aku tak mau menyakiti Atri, dengan keterusterangan Radite.

Dari persembunyianku, aku dapat melihat Radite menoleh ke belakang mencari sosokku. Atri ikut mengedarkan pandang.

“Siapa yang Mas cari?”

“Tadi aku ke sini, dengan sese­orang....”

“Aku tidak lihat siapa-siapa.”

Radite tampak agak kebingungan. Atri menuntunnya. Sikapnya amat lembut. Tapi, aku tak merasa cemburu. Aneh. Mengapa aku hanya cemburu pada Perempuan Penunggu Malam? Bahkan, bila Radite sekadar membicarakannya. Bukankah ia sudah mati? Mengapa aku harus cemburu pada perempuan yang telah terkubur dalam tanah?

Radite dan Atri duduk di lantai pendopo. Dapat kulihat pandangan perempuan yang jatuh cinta, seperti cara Atri memandangnya.

“Atri, aku mau buku itu kembali….”

“Tetapi, Ayah bilang, buku itu… kurang baik buat Mas.”

“Kurang baik? Kenapa tidak kamu bilang buku itu buku sesat? Buku setan!”

“Mas….”

“Apa kau mencintaiku?”

Mata Radite meredup. Kemarahannya hilang tertiup angin, dalam hitungan detik. Aku melihat dengan nyata, senjata laki-laki adalah rayuan. Hanya perempuan bodoh yang hanyut. Dan, itu bukan aku. Setidaknya aku yang sekarang.

Atri menunduk. Lelaki matang di hadapannya mungkin terlihat bagai dewa bagi perempuan muda seusia Atri. Dia tidak menjawab, tetapi cukup dengan bahasa tubuh, terjawab sudah pertanyaan Radite.

“Kalau kamu mencintai aku, tolong ambilkan buku yang disembunyikan Paman.”

Atri tampak ragu. Radite menekannya dengan halus. Pandangannya mengiba. Atri tersenyum terpaksa.

“Baik. Mas tunggu di sini.”

Atri bergegas masuk ke bagian dalam rumah. Radite langsung berlari ke halaman dan mencariku. Aku bersembunyi sedapat mungkin. Aku tak ingin rencanaku gagal berantakan, gara-gara Atri cemburu. Buku itu harus kembali ke tanganku.

Aku bersembunyi di balik pohon beringin. Sulur-sulurnya yang bergelantungan menyentuh wajahku. Radite berjalan sedemikian dekat. Aku terpojok, aku tak mungkin keluar dari persembunyianku. Aku takut Atri melihatku. Tiba-tiba terdengar suara Atri dari pendopo.

“Mas!”

Radite menoleh, lalu berlari mendekati Atri. Aku menghela napas lega. Radite merebut buku itu dari tangan Atri. Mukanya bersemangat, matanya berkilat-kilat.

“Buku ini….”

Radite membuka halaman demi halaman buku itu, seakan takut kalau buku itu palsu.

“Mas, Mas janji. Mas tidak akan ke rumah itu lagi….”

Aku tercenung. Atri melarang Radite menemuiku lagi. Saat itu aku marah. Rasanya ingin kujambak rambutnya, lalu kugantung bersama dengan sulur pohon beringin!

“Kamu tidak bisa mengaturku!”

“Ini demi kebaikan Mas….”

“Kamu pikir kamu tahu yang terbaik buat aku? Apa yang terbaik buat aku? Menikah denganmu?”

“Aku tidak memaksa….”

“Kamu tidak memaksa menikah denganmu, tetapi kamu memaksa aku tidak datang lagi ke rumah di atas bukit itu!”

“Perempuan itu….”

“Ternyata benar. Penduduk sini semuanya penggunjing! Termasuk kau! Seharusnya kalian malu. Mengasingkan perempuan itu.”

“Perempuan itu? Mas tidak tahu nama perempuan itu?”

Radite terdiam. Dia baru sadar bahwa dia tidak tahu namaku. Dia hanya memanggilku, kamu. Aku juga baru sadar. Aku tak tahu siapa namaku.

“Mas, sebaiknya Mas masuk ke dalam. Penduduk sini sedang rapat. Mereka mengkhawatirkan Mas.”

“Aku harus pergi. Dan terima kasih atas buku ini.”

Radite berjalan cepat. Aku tak peduli lagi Atri akan tahu kehadiranku. Toh, buku itu sudah ada pada Radite. Aku keluar dari balik pohon beringin. Kami bergandengan. Atri membelalakkan matanya. Aku tak dapat menerka makna tatapannya.

Kami telah sampai kembali ke rumahku. Aku merasa amat lega. Seakan aku baru saja keluar dari hutan belantara, yang makhluknya bisa saja menerkamku kapan saja. Aku menyuguhkan teh hangat dalam cangkir bercorak padma. Radite membaca buku itu. Mulutnya berkomat-kamit.

“Apa kau telah sampai pada halaman, bikuni yang mencungkil mata?”

“Sudah.”

“Apa maksudnya?”

“Ini bukan tentang bikuni. Ini tentang Perempuan Penunggu Malam. Baginya mata adalah petaka. Seseorang terjerumus karena penglihatannya.”

“Petaka? Seperti apa?”

“Seseorang berkhianat karena mata. Mencintai karena mata. Berselingkuh karena mata. Mata harus dilenyapkan.”
Aku bergidik. Demikian juga dengan Radite. Lamat-lamat terdengar suara malam. Radite membuka halaman berikutnya.

“Apa kau tidak berpikir, Perempuan Penunggu Malam itu buta?”

“Aku pernah melihatnya sewaktu kecil. Dan ia tidak buta.”

“Tapi, buku ini. Kapan buku ini ditulis? Mungkin buku ini ditulis setelah kau pindah dari sini.”

“Kamu pikir Perempuan Penunggu Malam mencungkil matanya?”

“Mungkin.”

“Aku kan tadi sudah bilang, ini bukan tentang kisah bikuni itu. Ini kisah Perempuan Penunggu Malam. Baginya bukan matanya yang membawa petaka. Tapi, mata sang kekasih. Karena matalah sang kekasih berkhianat. Aku rasa, Perempuan Penunggu Malam memang mencungkil mata. Tetapi, bukan matanya, tapi mata kekasihnya.”

Aku terkejut atas uraian Radite. Radite menatapku puas seakan ia bisa menerjemahkan buku catatan itu. Aku tak membayangkan Perempuan Penunggu Malam mencungkil mata kekasihnya dengan kuku jarinya yang panjang dan berlumuran darah.

“Lalu, tentang menanam bunga. Mengapa orang desa berbisik dan mengintai? Kecurigaan apa yang ada di benak mereka?”

“Perempuan Penunggu Malam tidak menanam bunga. Ia mengubur mayat, lalu menanam bunga di atas kuburan itu agar orang-orang tak curiga.”

“Perempuan Penunggu Malam mengubur mayat? Mayat siapa?”

Radite memandangku aneh. Aku tak mengerti cara pandangnya. Aku merasa ia ingin menguliti hingga ke akar jiwaku.

“Mayat sang kekasih.”

“Perempuan Penunggu Malam membunuh kekasihnya?”

“Ya.”

“Tidak mungkin.”

“Mungkin. Hanya kau yang tahu jawabannya.”

Aku terperangah menatap Radite. Ujung bibir Radite tertarik ke atas. Bukan senyumannya yang lazim.

“Karena kau, Perempuan Penunggu Malam.”

Aku ingat benar, Penjara datang setelah kematian ibuku. Dia memasang wajah duka untuk kematian ibuku. Tetapi, dia tidak memasang duka untuk kematian perasaanku. Dia muncul tiba-tiba saat senja berwarna biru tua. Aku mempersilakannya masuk. Dia duduk, bukan di kursi yang biasa ia tempati. Ia sengaja mengubah kebiasaan, seakan dia mau menghapus jejak masa lalu.

“Aku baru tahu ibumu meninggal. Aku turut berduka.”

Aku mengangguk. Kami terdiam. Aku menunggu ia memberikan alasan mengapa ia menghilang dan tak datang pada hari yang telah kami sepakati. Tetapi, ia tak bicara. Tubuhnya yang gelisah lalu berdiri.

“Aku harus pulang. Sebentar lagi petang. Tak ada kendaraan keluar dari desa ini.”

Kau tak akan keluar dari sini, ujarku dalam hati. Tetapi, berbeda dengan kalimat yang keluar dari bibirku.
“Kamu mau minum yang hangat? Aku buatkan dulu teh untukmu.”

Dia mengangguk. Mukanya sedikit ngeri. Mungkin ia melihat kemarahan tersembunyi di wajahku. Tak lama aku menyuguhkan teh. Dia menghirupnya takut-takut.

“Terima kasih tehnya, aku harus pergi.”

“Kamu tidak ingin bercerita apa-apa, kenapa kamu tidak datang pada hari pernikahan yang kita sepakati?”

“Aku minta maaf. Tapi, aku rasa minta maaf pun percuma.”

“Karena itu, kau sama sekali tidak meminta maaf.”

“Kamu cantik. Semua lelaki di sini menginginkanmu. Kamu bisa mendapatkan penggantiku dengan mudah.”

Betapa gampangnya dia mengalihkan, kini dia membicarakan tentang kecantikanku yang memesona. Bahwa aku akan baik-baik saja. Bukan tentang pengkhianatannya. Tiba-tiba tubuhnya limbung, matanya terlihat mengerjap. Tidak fokus.

“Kamu meracuniku?”

Aku memegang sendok yang ujungnya telah aku tipiskan, setipis anak pisau. Alat yang mudah untuk mengorek. Dia terhuyung menuju pintu.

“Aku tak salah menilaimu. Kau cantik! Tapi, kau gila! Aku tidak bisa menikah dengan perempuan gila seperti kamu!”
Penjara terjatuh beberapa langkah menuju pintu. Tubuhnya merayap di lantai. Dengan beberapa kali langkah, aku lebih dulu sampai ke pintu. Pintu tertutup, dia menjerit. Tetapi, alam berpihak padaku, karena mendadak hujan turun dengan lebat. Kilat dan guntur bersahutan. Suaranya tertelan raungan alam. Aku lantas membalikkan tubuhnya yang tengkurap di lantai hingga telentang. Mukanya terlihat amat takut. Aku memainkan sendok tipis itu ke dadanya.

“Aku tahu kamu tidak punya hati. Makanya aku tidak akan mengorek hatimu keluar. Tetapi, karena mata, kamu berkhianat padaku. Maka aku akan ambil matamu….”

Penjara berteriak ketakutan. Aku menindih tubuhnya yang lemas, lalu menghujamkan sendok ke kelopak matanya. Kanan dan kiri. Penjara melolong.

Aku tak ingat apa-apa. Tiba-tiba aku telah berada di taman dekat kuburan sedang menggali lubang. Tubuh Penjara telah dingin, karena air hujan dan kematian. Lalu, aku sorong tubuhnya ke lubang. Aku menimbunnya dengan tanah dan menanam bunga. Sejak itu aku kerap ke taman itu, mengguyur bungaku. Bunga yang tumbuh di atas kuburan Penjara. Orang-orang makin jarang datang ke taman itu. Berita yang kudengar, sering terdengar suara laki-laki melolong kesakitan.

Aku tak pernah mendengar suara laki-laki menjerit. Tetapi, aku kerap merasa kelopak bunga itu seperti mata. Mata Penjara.

Malam makin larut. Aku terpaku di kursi. Tiba-tiba peristiwa masa lalu itu terbentang begitu saja. Hanya dengan satu kalimat: karena kau, Perempuan Penunggu Malam. Radite menatapku iba. Dia merengkuhkan tangannya ke bahuku. Tubuhku yang dingin mulai menghangat. Aku ingin menangis, tetapi tak ada air mata yang jatuh dari bola mata.

“Kau tidak takut padaku?”

“Aku mencintaimu. Cinta mengalahkan rasa takut.”

“Aku pembunuh….”

“Penjara telah membunuhmu lebih dulu. Dengan semua pengkhianatannya.”

Kami berpelukan. Tiba-tiba terlihat bayangan banyak orang di sekitar. Ternyata Paman Radite dan beberapa orang desa memasuki ruangan. Kami melepaskan pelukan.

“Radite… mari kita pulang.”

“Pulang? Jangan karena kau pamanku, kau bisa mengaturku seenaknya!”

Radite mendekat padaku, ingin memegang tanganku. Paman Radite memberi isyarat dengan sudut matanya. Orang-orang desa memeganginya. Radite mengamuk dalam bekapan mereka. Radite mengamuk seperti kesetanan. Tetapi, tenaganya kalah dibanding belasan tenaga orang desa. Mereka membelenggu tangan dan kaki Radite. Aku hanya tercekat memandang kejadian itu berlalu di hadapanku. Suara Paman Radite menggelegar memecah malam.

“Dulu, aku pikir kamu anak yang hebat. Imajinasinya begitu liar. Kamu mengarang cerita tentang Perempuan Penunggu Malam hingga seluruh anak desa ini begitu percaya. Walau banyak yang beranggapan ia pembual, aku berkeyakinan ia akan menjadi penulis cerita tenar. Nyatanya….”

Aku merasa dilecehkan. Dia berkata seakan Perempuan Penunggu Malam tidak ada! Hei, lihatlah aku! Paman Radite memandang berkeliling. Matanya tertuju padaku. Tetapi, ia tidak melihatku. Aku berlari di antara mereka. Tak ada yang melihatku! Aku tercekat. Hanya Radite yang bisa melihatku. Tangannya menggapai-gapai….

Aku baru sadar, aku telah lama mati. Aku Perempuan Penunggu Malam yang telah mati. Umurku 50 tahun lebih. Bukan 20 tahunan. Kecantikanku tak abadi. Aku terpukul menyadari bahwa aku adalah arwah.

“Kamu bercerita rumah ini mungil dan asri. Tetapi, kau lihatlah berkeliling….”

Rumah itu kini hanyalah rumah tua yang tak terurus. Banyak debu dan jaring laba-laba. Cangkir bermotif padma adalah cangkir yang patah gagangnya. Pada meja, terlihat sebuah buku. Paman Radite memegangnya. Dari tengah buku, terjatuh sebuah pensil.

“Jangan ambil buku itu! Aku akan membunuhmu, Paman!! Aku tidak main-main.”

Paman Radite membacanya sekilas. Mukanya terlihat sedih.

“Kau bilang buku ini buku catatan Perempuan Penunggu Malam, tetapi lihatlah! Lihat!”

Paman Radite membuka buku itu ke muka Radite. Radite mengernyit, tak mengerti apa yang dikatakan Pamannya.

“Kau yang menulis buku ini! Lihat tulisannya! Ini tulisan tanganmu! Kau menciptakan tokoh Perempuan Penunggu Malam. Perempuan Penunggu Malam tak pernah ada! Dia hanyalah khayalan dalam buku karanganmu! Dia tak pernah ada!”

Kata-kata itu menghujam dadaku. Seakan menusuk jantungku. Aku juga bukan arwah Perempuan Penunggu Malam. Aku bahkan tak ada. Aku hanyalah tokoh rekaan Radite. Aku ada di tulisan dan dalam pikiran Radite. Aku tak nyata. Benar-benar tak nyata….


EPILOG
Pada sebuah lorong rumah sakit. Paman Radite merangkul kakaknya, ibu Radite. Atri berdiri terdiam di dekat mereka dengan mimik sedih. Mereka bertiga berdiri di depan sebuah ruangan. Radite duduk menunduk di ruangan tersebut. Pandangan matanya kosong.

“Mbak mengirim Radite ke rumah kamu, biar dia bisa melupakan pacarnya…,” ujar ibu Radite pada paman Radite.
“Pacarnya tiba-tiba menikah dengan temannya. Dia tidak bisa menerima itu. Mbak pikir, kalau ia jauh dari Jakarta, tinggal di desa yang sejuk, ia bisa melupakan bekas pacarnya.”

“Mas Radite terobsesi pada kesetiaan,” ujar Atri, lirih.

Paman Radite menepuk bahu kakaknya itu. Ibu Radite tersenyum pahit.

“Di sana, Radite malah makin menjadi, Mbak. Setiap hari dia pergi ke rumah kosong di atas bukit. Dia bilang, ada yang tinggal di situ. Dia membawa buku yang katanya buku yang ditulis Perempuan Penunggu Malam. Padahal, aku tahu itu tulisan tangan Radite. Kami sempat mengurungnya sampai lima hari. Hingga ia berhasil kabur ke rumah itu lagi.”

Atri mendekati ibu Radite.

“Iya, Bude. Pernah sewaktu Atri latihan tari, Mas Radite datang. Katanya ia datang berdua. Tetapi, Atri tidak lihat siapa-siapa. Sewaktu berjalan pulang, ia seperti menggandeng se­seorang. Tetapi, tidak ada siapa-siapa. Mas Radite juga sering ke taman dekat kali. Tempatnya menyeramkan, tetapi ia tak peduli. Dia malah menyirami bunga yang ada di situ. Atri sempat membuntutinya, tetapi sepertinya ia marah sekali pada Atri. Mas Radite bahkan menuduh Ayah mau menjodohkan Mas Radite dengan Atri. Padahal, Atri selalu menganggap Mas Radite kakak Atri. Atri tidak mungkin jatuh cinta padanya.”

Ibu Radite tak kuasa menahan air mata. Paman Radite dan Atri saling melempar pandang sambil menghela napas.
“Mbak, saya sudah suruh Radite untuk mengaji, biar pikirannya tidak kosong. Tadinya saya pikir dia kerasukan jin atau malah bercakap dengan jin. Ternyata, dia malah bermain-main dengan pikirannya sendiri. Dia menciptakan dunianya sendiri. Dunia imajinasi.”

Ibu Radite, paman Radite, dan Atri perlahan menatap ke dalam jendela kaca. Di dalam sana terlihat Radite menunduk. Tangannya tampak seperti sedang menulis di atas bangku. Tak ada kertas di sana. Bibirnya komat-kamit. Sesekali ia tersenyum. Mungkin Radite sedang menciptakan kisah yang lain dengan imajinasinya.

No comments: