12.22.2010

Sang Penulis

Sepotong iklan baris di harian itu berbunyi: Dicari asisten penulis. Bersedia bekerja keras, tidak mudah menyerah, siap bekerja di bawah tekanan, dan siap bertugas kapan saja dibutuhkan. Diutamakan wanita usia 25 - 35 tahun. Pendidikan D-3. Peminat silakan menghubungi nomor di bawah ini. Tidak melayani pertanyaan melalui SMS.

Kening Dea berkerut. Kalimat pertama, sih, menarik: dicari asisten penulis. Tapi, penulis apa? Lalu, kenapa persyaratannya hanya meminta kesediaan untuk jadi budak? Pekerja keras, bekerja di bawah tekanan, bertugas kapan saja. Kenapa tidak ada syarat kreatif, punya pengalaman menulis, berwawasan luas, dan sebagainya, yang lazim ada di iklan lowongan pekerjaan?

Dea menimbang-nimbang beberapa saat. Tidak ada ruginya, sih, menelepon. Dia hanya perlu meminta penjelasan yang lebih detail tentang pekerjaan itu. Kalau ternyata tidak cocok, ya, tinggal tutup telepon. Tapi, aku harus berhati-hati, Dea mengingatkan dirinya sendiri. Banyak iklan baris yang dijadikan kedok penipuan. Karena biayanya murah, siapa pun bisa memasang iklan baris di surat kabar berskala nasional. Sebagai seorang pencari kerja yang rajin memelototi iklan lowongan pekerjaan setiap hari, Dea sudah hafal praktik semacam itu.

Dia menekan nomor yang tertera di iklan itu. Satu kali, dua kali, pada deringan ketiga teleponnya diangkat.

“Halo, selamat pagi,” suara ramah seorang wanita menyapanya.

“Eh... mmm... selamat pagi. Saya melihat iklan lowongan pekerjaan Anda di koran hari ini. Boleh saya tahu lebih banyak tentang pekerjaan yang diiklankan?” sahut Dea, tak kalah ramah.

“Oh, boleh. Bagian mana yang belum jelas?”

Bagian mana yang belum jelas? Semuanya! Dea berseru dalam hati. Tapi, dengan sopan dia menjawab, “Yang dicari penulis apa, ya? Maksud saya, penulis di bidang apa? Lalu, apakah harus sudah punya pengalaman menulis?”

“Anda sudah punya pengalaman menulis?” suara di seberang sana balas bertanya.

“Sedikit. Beberapa cerpen saya pernah dimuat di majalah. Dan....”

“Oh, itu sudah cukup,” potong lawan bicaranya. “Memang yang dicari asisten penulis fiksi. Tepatnya, yang mencari asisten adalah seorang penulis fiksi,” jelasnya lagi.

“Baiklah, bagian itu sudah jelas. Lalu, lingkup tugas saya apa dan jam kerjanya bagaimana?” Dea memancing penjelasan yang lebih lengkap.

“Begini saja, siapa tadi namanya?”

“Dea. Saya memang belum menyebutkan nama tadi.”

“Begini, Dea, sebaiknya kita bertemu langsung saja, supaya mengobrolnya lebih bebas dan Dea bisa bertanya sepuasnya tentang pekerjaan ini. Bagaimana?” wanita itu meminta persetujuan Dea.

“Oh, begitu, ya? Boleh, deh. Di mana dan kapan?” sambut Dea, dengan antusias, walaupun beribu pertanyaan masih berkeliaran di kepalanya.

Begitulah awalnya. Dan, saat ini Dea sudah duduk di ruang kerja sang penulis. Sebuah ruangan kecil di dalam rumah mungil yang asri. Ruangan itu dipadati oleh meja tulis dengan seperangkat komputer di atasnya, dua buah lemari kayu besar berisi ratusan bahkan mungkin ribuan judul buku, sebuah sofa empuk yang nyaman dan sebuah meja kopi.

Setelah seminggu mendekam di ruangan ini, yang dilakukan Dea baru sebatas merapikan kertas-kertas yang berserakan di meja tulis (coretan konsep naskah, sketsa-sketsa, surat pembaca, surat dari penerbit), dan menempatkannya dalam map-map berbeda supaya mudah dicari. Dia juga sudah berhasil mengumpulkan buku-buku yang bergeletakan di lantai, sofa, meja tulis, dan meja kopi, kemudian menatanya kembali di rak buku. Dia membuka dan merapikan file-file di komputer dan mencatat pesan jika sang penulis enggan menerima telepon. Tugas rutin lainnya adalah membuatkan kopi setiap pagi dan sore hari. Kopinya harus hitam, kental, dengan sedikit gula, tanpa tambahan apa pun.

Dea mengintip ke ruang tamu yang terletak di samping ruang kerja. Berbeda dari ruang kerja, ruangan lainnya di rumah itu selalu rapi dan bersih. Dilihatnya sang penulis sedang sibuk berbicara di telepon, seraya tangannya mencorat-coret sesuatu di sebuah buku kecil.

Untuk ukuran seorang wanita berusia 68 tahun, dia tampak segar dan cantik. Tubuhnya yang selalu dibalut busana berwarna putih terlihat langsing, kulit putihnya masih tampak bersinar. Dia tak pernah lupa mengulaskan lipstik merah di bibir, dan menyelipkan sekuntum bunga di rambutnya yang memutih. Tak pernah sekali pun Dea melihatnya dalam keadaan berantakan, meski setiap hari Dea tiba di rumahnya sebelum pukul 8 pagi dan pulang pukul 5 atau 6 sore.

“Dia masih kuat bekerja, ingatannya masih bagus, ide-idenya masih mengagumkan, dan semangatnya masih menyala.”

Dea masih ingat ucapan Rani seminggu yang lalu. Rani adalah editor yang dimintai tolong oleh sang penulis untuk mencarikan asisten untuknya. Rani yang memasang iklan di koran dan memilih Dea di antara beberapa kandidat lain yang diwawancarainya. Usia Rani menginjak pertengahan 40 tahun, tapi dia menolak dipanggil dengan sebutan Mbak, apalagi Ibu. Saat menjabat ta­ngannya, Dea langsung yakin dia bisa berteman baik dengan wanita energik ini.

“Dia hanya sudah tidak telaten mengetik di komputer. Matanya sakit jika berlama-lama menatap layar. Dia juga enggan mengetik di mesin tik, terlalu lama dan menyakitkan, katanya. Dia bilang, saat ini baginya pekerjaan mengetik itu sangat membosankan. Dia hanya ingin bercerita dan membiarkan orang lain yang memindahkan ceritanya ke dalam tulisan.” Rani menjelaskan panjang lebar.

“Intinya, dia hanya ingin ada orang yang selalu siap menuliskan kisahnya setiap kali ide cerita muncul di kepalanya. Itu saja. Yah, mungkin kau juga perlu menemaninya mengobrol sekali waktu dan membantu menyiapkan keperluannya. Tidak macam-macam, hanya sekadar membuatkan kopi, atau membelikan majalah dan koran. Hal-hal semacam itulah. Apakah kau keberatan?” tanya Rani.

Mana mungkin keberatan, sergah Dea dalam hati waktu itu. Menjadi asisten penulis kenamaan, yang karya-karyanya sudah menghiasi rak buku Dea sejak remaja, adalah impian yang menjadi kenyataan. Sekadar membuatkan kopi atau membelikan majalah tak ada artinya dibandingkan kesempatan berguru langsung dan menjadi orang pertama yang tahu kisah-kisah yang akan ditulisnya. Setelah beberapa bulan menganggur, tawaran ini tampak begitu mewah di matanya.

Sebelum mereka berpisah, Dea mengajukan satu pertanyaan penting pada Rani. “Kenapa aku yang terpilih?”

“Bukan sombong, tapi pengalamanku membuktikan, aku tak pernah salah menilai orang. Menurutku, kau tepat untuk pekerjaan ini. Kau menyukai tulisan-tulisannya, kau cerdas, tidak sok tahu. Kau sabar dan bisa menjadi teman yang menyenangkan,” jawab Rani.

Lalu, dia menambahkan, “Kau akan menyukainya. Percayalah, hatinya sangat baik, walaupun terkadang kau mungkin tak bisa mengikuti jalan pikirannya. Dan...,” sambung Rani lagi, “aku yakin, kau tidak akan mengecewakan dia. Dia aset penting bagi kami. Buku-bukunya selalu laris. Termasuk buku berikutnya yang akan kaubantu tuliskan. Waktu membaca sinopsisnya, aku langsung tahu ini akan jadi karya yang hebat.”

Dea menarik diri saat dilihatnya sang penulis berbalik menghadap ke arahnya, sambil berbicara di telepon. Bagaimana aku tahu aku bisa mengikuti jalan pikirannya atau tidak? Dalam seminggu, kata-kata yang diucapkan wanita tua itu bisa dihitung dengan jari. ‘Pagi, Dea.’, ‘Sudah sarapan?’, ‘Bagaimana perjalananmu?’, ‘Oh, sudah mau pulang?’. Dan, tentu saja, ‘Dea, kopinya bisa sekarang? Terima kasih.’

Hari pertama dan kedua, Dea masih menjawab dengan antusias, berharap bisa membuka percakapan. Tapi, ternyata yang dibutuhkan sang penulis hanya jawaban: ‘Pagi’, ‘Sudah’, ‘Baik’, ‘Belum’, dan ‘Ya’ atau ‘Tidak’. Begitu Dea menjawab sedikit lebih panjang, dia langsung mengalihkan perhatiannya pada buku yang sedang dibacanya. Di hari keempat, Dea berhenti mencoba.

“Dea, sedang sibuk?”

Dea gelagapan dan tersentak dari lamunannya. Sang penulis sudah berdiri di hadapannya. Kakinya yang terbalut sandal flat putih mengetuk-ngetuk lantai dengan tidak sabar. “Enggak, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Dea, sekenanya.

“Tentu saja, memang itu tugasmu di sini, ‘kan?” sambar sang pe-nulis dengan suara lembut, namun menusuk.
Dea mengangguk perlahan.

“Nah, Dea, tadi malam saya sudah menyimpan bagian awal cerita saya di alat perekam ini. Sekarang tolong kau ketik. Buat file baru saja. Judulnya belum ada, tulis saja novel baru. Lumayan panjang, mungkin bisa dapat 30 atau 40 halaman.”

Dia menerangkan dengan cepat sambil menyorongkan sebuah alat perekam mini kepada Dea. “Saya capek, belum tidur dari semalam. Kamu kerjakan saja dan nanti kalau sudah waktunya kamu pulang, tidak usah bangunkan saya. Tolong nyalakan saja lampu dan tutup pintu dan gerbang yang rapi.” Setelah mengucapkan kalimat terakhir itu dia langsung berlalu dari hadapan Dea dan masuk ke kamarnya.

Dea mengangkat bahu dan membuang jauh-jauh keinginan untuk sekadar mengajukan satu-dua pertanyaan. “Sudahlah, aku di sini untuk bekerja, bukan mencari teman, apalagi sahabat,” gumamnya, pasrah. Namun, dalam hati, masih membuncah hasratnya untuk mendobrak kebekuan di antara mereka. Begitu banyak yang ingin ditanyakannya pada penulis itu. Mungkin ada saatnya nanti, katanya kepada diri sendiri, lebih seperti memanjatkan harapan.

Dea memasang earphone di telinga, menegakkan duduknya, menyalakan alat perekam, dan membuka file baru di komputer. Ini tugas sungguhan pertamaku. Tak boleh ada yang salah, tekadnya. Dan, suara lembut nan tegas milik sang penulis mulai mengalun di telinganya.

Aku berlari di antara ilalang yang tingginya hampir menyamai kepalaku. Di belakang, kudengar Lingga berseru-seru menyuruh aku me-nunggunya. Aku hanya tertawa dan mempercepat lariku. “Ana! Aku tidak kuat lagi. Aku belum makan dari pagi!”

Aku menghentikan lariku. Lingga menyusul, napasnya tersengal-sengal. “Huh, alasan! Bilang saja kamu tak terima bahwa kau kalah dari aku.”

Aku mencibirnya saat dia sampai di depanku. Dia tidak menjawab, tapi kemudian aku melihat wajahnya yang pucat dan keringat sebesar bulir-bulir jagung di keningnya. Aku langsung mengubah nada bicaraku. “Maaf, Lingga, kenapa kamu tidak bilang belum makan? Lebih baik sekarang kita segera ke istana. Juru masak pasti sudah menyiapkan makanan lezat untuk kita.”

Lingga tersenyum cerah, menyinari ruang hatiku. Kami berjalan berdampingan menuju istana kami. Jalan yang kami lalui kini berpagar bunga-bunga beraneka warna dengan wangi memabukkan. Aku menghirup udara yang manis itu sepuasnya lalu menoleh ke sampingku. “Lingga,” panggilku.

Lingga menatapku, di matanya aku melihat seribu gemintang. “Ya, Ana?”

“Aku tak mau jadi dewasa.”

“Aku juga.”

“Aku tak akan pernah jadi dewasa.”

“Kita tak akan pernah jadi dewasa, Ana. Istana dan kerajaan ini hanya akan terbuka untuk kita, yang tak pernah dewasa,” Lingga berucap mantap, sambil mengeratkan genggamannya.

Angin yang berembus perlahan seakan menjadi saksi janji kami berdua.

Dea tak menyadari hari yang beranjak sore. Dia lupa tugasnya membuatkan kopi untuk sang penulis. Ketika perutnya berteriak minta diisi, dia melirik arlojinya dan melihat saat itu sudah pukul 16.15. Dengan enggan Dea beranjak dari kursinya dan melihat ke arah kamar yang tertutup. Mungkinkah dia tadi memanggilku, tapi aku tidak mendengar? tanya Dea dalam hati.

Dia meragukannya. Pasti penulis tua itu lelah sekali dan tak akan bangun hanya untuk sekadar minum kopi. Dea lalu ke dapur dan membuat teh manis untuk dirinya sendiri.

Pukul lima lewat Dea menuntaskan pekerjaannya. Dia mematikan komputer dan mencuci cangkir bekas teh manisnya. Sambil berjingkat-jingkat, dihampirinya kamar yang masih tertutup rapat. 

Dea lalu membuat catatan untuk sang penulis.

Bu, kalau nanti malam Ibu begadang lagi, besok tidak usah menunggu saya datang. Tinggalkan saja alat perekamnya dan petunjuk apa saja yang harus saya kerjakan. Selamat sore, Bu.

Dea sudah hendak menutup pulpen, tapi hati kecilnya melonjak-lonjak dan dia pun cepat-cepat menambahkan: Ceritanya bagus, Bu! Ia menulis dengan kegairahan. Setelah menyalakan lampu rumah dan halaman, Dea meninggalkan rumah itu, masih sambil berjingkat-jingkat.

Pagi itu Dea berangkat dari kosnya dengan penuh semangat. Tak terkira betapa kecewanya dia ketika tiba di rumah sang penulis, dia hanya disambut oleh kesunyian. Dea mendorong pagar, ternyata tidak terkunci. Dia lanjutkan langkahnya memasuki teras dan me-ngetuk pintu rumah. Tak ada jawaban. Dibukanya pintu yang rupanya tidak terkunci. Saat berada di dalam rumah, mata Dea langsung mengenali alat perekam mini di atas catatan yang ditulisnya kemarin.

Dengan takut-takut Dea mendekat. Jangan-jangan dia menganggapku lancang, pikirnya. Jangan-jangan aku keterlaluan menulis surat sok akrab seperti itu. Dea menghampiri meja tamu, lalu menunduk membaca tulisan tangan yang rapi di bawah tulisannya sendiri.

Terima kasih, Dea. Saya sudah lanjutkan ceritanya. Tolong diketik lagi.

Sudah. Hanya itu. Tanpa sadar Dea mengembuskan napas lega, lalu menyeringai lebar. Dia bisa melanjutkan pekerjaannya hari ini.

Aku melihat Lingga tadi pagi. Aku memanggilnya, tapi dia memalingkan muka. Aku mencoba mengejarnya, tapi dia malah membentakku. “Jangan ikuti aku, Ana. Pergilah bermain sendiri hari ini.”

Aku terkejut mendengar suaranya yang marah. Aku hanya ingin bertanya, kenapa ada lebam di wajahnya. Dan memar di lengannya. Aku yakin dokter di istana kami bisa mengobatinya. Badut-badut istana bisa menghiburnya. Dan kuda-kuda kami yang gagah bisa mengusir mendung di wajahnya.

Tapi, dia menolak. Dia tak mau ke istana hari ini. Dia bilang, istana hanya untuk anak-anak yang bahagia.
Pukul setengah lima Dea sudah bersiap-siap meninggalkan ru-mah sang penulis. Ditatapnya pintu kamar yang tak pernah membuka sejak tadi pagi. Pasti penulis tua itu sedang tertidur lelap di ranjangnya, membayar kelelahan, setelah membuka mata semalaman. Tiba-tiba timbul rasa sayang di hati Dea. Dia ingat ibunya. Dia senang memandangi wajah ibunya saat sedang tidur. Begitu damai, begitu nyaman. Tak terlihat rongrongan penyakit yang menggerogoti tubuhnya dari dalam. Dea menggelengkan kepala, mengusir sungai duka yang mulai merambati sudut matanya. Dan dia pun tahu apa yang harus dilakukan.

Dea menaruh nasi panas di dalam rice cooker, menata gudeg lengkap di dalam piring besar, menumpahkan kerupuk udang ke dalam stoples, dan memasukkan sepiring besar mangga dan pepaya yang sudah dikupas dan dipotong-potong, ke dalam kulkas. Dea tersenyum. Dia tidak tahu apakah sang penulis akan menyukai makanan yang dibelinya. Tapi, ini makanan kesukaan ibunya. Dan, ibunya senang sekali jika dia terbangun dari tidur dan mendapati ada gudeg dan kerupuk udang di meja makan. Setelah menutup makanan dengan tudung saji, Dea menyalakan lampu dan pergi.

Kami bertatapan dalam sunyi. Udara seakan menggantung diam setelah kisah Lingga yang tersendat-sendat berakhir. Aku tak mampu berkata-kata. Tapi, aku bisa merasakan kesakitannya, saat ayahnya memukuli dia. Kepedihannya saat melihat ibunya hanya menatap tak berdaya dari sudut rumah. Kehancurannya menyaksikan adik bayinya menjerit kelaparan, karena tak ada cukup uang untuk membeli susu.

Aku tersenyum. Di istana, kami semua hanya bagian dari dunia luar. Tak tersentuh, tak bisa menyentuh kami. Aku raih tangannya dan kugenggam erat-erat. “Di sini kau tak pernah merasakan sakit itu, ‘kan, Lingga?” 

Lingga menggeleng. “Berarti tempatmu memang di sini, Lingga. Bukan di tempat lain,” kataku, meyakinkannya.

“Tapi, di sini tempat anak-anak yang bahagia, Ana. Seperti kau. Aku....”

“Apakah kau bahagia di sini, Lingga?” Aku memotongnya.

“Aku selalu bahagia jika bersamamu,” jawabnya, malu-malu.

Aku tersenyum lembut. “Istana ini milik kita, Lingga. Monster-monster jahat di luar sana tak akan bisa masuk ke sini. Tak usah kau pikirkan mereka. Di sini hanya ada kau dan kau, anak-anak bahagia di dalam istana yang indah.”
Lingga menatapku, seulas senyum tergambar di bibirnya. “Dan kita tak akan pernah jadi dewasa,” gumamnya, perlahan.

Aku mengangguk, “Itu pasti.”

Sambil bersenandung pelan, Dea mendorong pintu pagar. Betapa terkejutnya dia saat melihat sang penulis sedang duduk di teras, sambil memegang koran. Dari balik kacamata mungilnya dia menatap Dea dengan pandangan aneh. Rantai kacamatanya berkilauan tertimpa sinar matahari.

“Kenapa kamu kemari?” tanyanya.

Untuk sesaat Dea takut wanita tua itu sudah terjangkit penyakit pikun. Tapi, seingatnya Rani tidak pernah memperingatkan dia soal ini. “Saya... saya kan bekerja di sini, Bu,” jawabnya, ragu. “Saya mengetikkan cerita Ibu dan....”

Sang penulis mengibaskan tangannya tak sabar. “Ya, ya, ya, itu saya tahu. Saya belum pikun, Dea,” ujarnya, kesal.
Lalu, dia diam sambil tetap memandangi Dea. “Ini hari Minggu, Dea. Apakah kamu tidak punya kehidupan lain?” tanyanya, kini dengan nada lebih lunak. Dia tersentuh juga melihat wajah Dea yang kebingungan.

Dea menghela napas lega.

“Saya...,” dia terdiam sesaat, lalu dengan mantap melanjutkan, “tidak punya, Bu.”

Sang penulis kembali memandang Dea dengan tatapan aneh. “Kamu lucu, Dea. Wanita muda seusia kamu tidak mungkin tak punya kehidupan,” katanya. Tapi, tak ada tawa dalam suaranya. “Ya, sudah, kasihan kamu sudah jauh-jauh kemari,” sambungnya, sebelum Dea sempat menjawab lagi. “Sana masuk, tuang sendiri teh manismu. Setelah itu kau boleh duduk di sini menemani saya.”

Kata-katanya adalah perintah dan Dea harus mematuhinya. Sesa­at kemudian, dia sudah duduk di samping sang penulis yang masih asyik membaca koran. Satu menit, dua menit, Dea mengira keadaan ini akan berlangsung selamanya, ketika tiba-tiba wanita itu bersuara. “Jauhkah rumahmu dari sini?”

Dea menatapnya bimbang. Dia tak yakin apakah ini pertanyaan basa-basi yang harus ditanggapi dengan jawaban singkat, atau pertanyaan sungguhan yang membutuhkan jawaban serius. Sang penulis mengangkat wajah dari koran yang sedang dibacanya dan menatap Dea. Salah satu alisnya terangkat.

“Cukup jauh, Bu,” jawabnya, menunggu reaksi sang penulis. Dea lalu melanjutkan, setelah melihat mata lawan bicaranya itu tetap tertuju padanya. “Tapi, untungnya, hanya perlu naik bus satu kali dan angkot satu kali. Jadi tidak melelahkan.”

Sang penulis mengangguk singkat, lalu kembali ke korannya.

Dea membulatkan tekad. “Saya kemari karena hari Minggu, lalu saya juga kemari dan Ibu tidak bilang apa-apa,” katanya, seakan menuntut penjelasan.

Sang penulis melipat korannya perlahan kemudian menatapnya. “Ya, itu minggu pertama kamu. Wajar kalau kamu datang terus, karena mungkin masih banyak yang ingin kamu pelajari. Tapi... walaupun saya sangat terbantu oleh kamu, saya juga tidak mau melihat kamu setiap hari di sini,” katanya.

Dea takjub. Baru kali ini sang penulis bicara lebih dari dua kalimat padanya, dan tanpa nada perintah pula. Dia sama sekali tidak merasa tersinggung dengan apa yang dikatakan penulis itu.

“Jadi, saya libur setiap hari Minggu?” tanyanya, memastikan.

Sang penulis mengangguk. “Saya rasa begitu. Kecuali kalau tiba-tiba saya membutuhkanmu.”

Ganti Dea yang mengangguk. “Baiklah, Bu, kalau begitu saya pulang dulu. Besok pagi saya datang lagi.”

Dea beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah pagar.

“Dea,” panggil penulis itu lagi. Dea membalikkan badan. “Saya senang Rani memilih kamu,” katanya singkat, sambil membuka kembali korannya.

Dea tersenyum dan melanjutkan langkahnya. Saat menutup pin-tu pagar, dipandanginya sosok tua yang tampak tegar sekaligus rapuh itu. Dia bertanya-tanya dalam hati, apakah penulis terkenal itu pernah merasa kesepian.

Suara SMS masuk memecah keheningan kamar kos Dea. Dengan enggan dia meraih ponselnya, sudah menduga siapa yang mengiriminya SMS malam-malam begini. Benar saja. Dari Heni, adiknya semata wayang.

Bagaimana, Mbak, sudah lebih senang dengan pekerjaanmu?

Dea menjawab: Lumayan. Aku, sih, nggak mengeluh. Kamu masih rajin ke makam Ibu, ‘kan?

Jawab Heni: Masih, Kak, sebisanya tiap minggu.

Dea merebahkan badan di kasur. Dia memikirkan adiknya yang kini hanya berdua dengan ayahnya.

“Di sini ternyata nggak mudah cari kerja, Hen. Tapi, aku senang sudah ada kesibukan. Memang gajinya tidak seberapa, tapi aku beruntung bisa mendapatkan pekerjaan ini. Siapa tahu cita-citaku dulu bisa tercapai.”

Dea bicara seolah-olah adiknya sedang tidur-tiduran juga di sampingnya. Sejujurnya, dia rindu mengobrol panjang lebar dengan adiknya, tanpa perlu takut kehabisan pulsa. Dan, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan di Jakarta, Dea merasa kesepian.

Aku cepat-cepat berlari ke kamar. Tadi di sekolah Lingga mem-berikan gulungan kertas padaku. Tapi, dia berpesan kalau aku harus membukanya di rumah, jangan di hadapannya. Ah, Lingga, masih saja suka berahasia. Tak sabar kubuka gulungan kertas tadi. Dan apa yang aku lihat membuatku terpana.

Seorang gadis berbaju putih, dengan rambut tergerai sebahu, sedang duduk di tengah padang rumput berbunga. Wajahnya terlihat begitu lembut dan manis. Matanya berbinar indah. Sekuntum bunga terselip di telinganya. Di kejauhan, tampak istana berbentuk kastil yang megah.

Aku tak pernah menyangka Lingga bisa menggambar seindah ini. Dan apakah gadis itu aku?

“Cantik sekali,” gumamku memuji diri sendiri. Di bawah gambar itu tertulis ‘Putri Ana’. Rasanya aku ingin menangis karena bahagia.

Aku akan memasang gambar ini di istana kita, Lingga. Ini gambar terindah yang pernah aku lihat. Aku ingin diriku selamanya terlihat seperti gadis kecil di dalam gambar itu. Tak sedetik pun pernah bertambah dewasa.

Beberapa hari ini Rani sering datang, mendiskusikan bab-bab yang sudah selesai dikerjakan. Sering kali Rani terlibat perdebatan seru dengan sang penulis tentang apa yang sebaiknya ditambahkan atau dikurangi dari ceritanya. Dan Rani lebih sering mengalah, tentu saja. Karena, di tengah perdebatan, sang penulis selalu mengingatkan bahwa dia sudah jauh lebih lama berkutat di dunia penulisan dibandingkan Rani. Dia menghargai pendapat Rani, tapi jauh lebih menghargai intuisinya sendiri.

Dea mengikuti perdebatan mereka dengan antusias. Dia merasa sangat terlibat dalam penulisan buku ini. Dia terkekeh melihat Rani terdiam kesal setiap kali sang penulis mengeluarkan jurus ‘aku lebih senior’-nya. Dan dia menahan senyum, jika Rani berhasil menangkis jurus maut sang penulis dengan menunjukkan bahwa buku-buku yang mendapat sentuhan tangan Rani terbukti menjadi lebih enak dibaca. Dan sang penulis sudah mengakuinya sendiri lewat ucapan terima kasih di bagian awal bukunya. Dea mengagumi semangat mereka. Dan ingin belajar banyak dari mereka.

Hari ini tidak banyak yang harus diketiknya. Sang penulis tidak bercerita sepanjang biasanya. Mungkin sedang lelah. Atau jenuh. Atau ingin santai sejenak, pikir Dea mencoba memahami proses kreatif seorang penulis profesional.

Dea melongok ke luar ruang kerja. Sang penulis, tidak seperti biasanya, sedang sibuk di dapur. Dan yang lebih tidak biasa lagi, dia bersenandung! Dea tersenyum geli. Wah, sedang senang, nih, pikirnya. Tumben. Ya, sudah, biar sajalah dia menikmati hari ini. Sebaiknya aku tak usah menanyakan apa lagi yang harus dikerjakan. Nanti dia malah ngambek.

Dea kembali ke balik komputer. Dia mengeluarkan USB yang selalu dibawanya ke mana pun dia pergi. Ditancapkannya benda mungil itu ke CPU komputer, lalu dibukanya file-file tulisannya. Ada beberapa cerpen. Dan sebuah novel yang sedang berusaha diselesaikannya. Setiap kali melihat novel belum jadi itu, gairah Dea langsung tersulut. Tak lama kemudian, Dea pun sudah tenggelam dalam kisah karangannya sendiri.

Entah sudah berapa lama berlalu, ketika tepukan pelan di bahunya membuat Dea terlonjak kaget. Sang penulis sudah berdiri di belakangnya. Dea berusaha setengah mati menutupi tulisan yang terpampang di layar komputer. Tapi, sepertinya penulis itu tidak menaruh perhatian, karena matanya hanya terarah pada Dea.

“Ayo, istirahat dulu. Aku baru selesai bikin kue. Kamu harus coba,” katanya, sambil berjalan kembali ke dapur.
Dea baru menyadari aroma wangi yang menguar di seantero rumah.

“Hmm, kok, bisa-bisanya aku tidak sadar ada aroma sesedap ini, ya?” tanyanya, pelan.

Dia langsung menutup pekerjaannya dan beringsut ke dapur.

Di meja makan terpajang tart bundar berwarna cokelat gelap, berhias krim kocok putih yang dibentuk menjadi bunga-bunga kecil.

“Wow!” seru Dea, takjub. “Cantik sekali. Kue apa ini, Bu?”

“Kue Puspa Hati,” sahutnya, gembira melihat ekspresi di wajah Dea.

Dea tertawa. “Bagus sekali namanya. Memang mirip seperti bu­nga-bunga yang Ibu pakai di rambut Ibu setiap hari,” balas Dea.

“Wah, betul juga kamu.”

“Ibu pakai bahan apa saja? Wanginya sedap sekali?” tanya Dea.

“Buah blueberry dari kebun Peri Berry, susu segar dari sapi yang berkeliaran di padang rumputku, dan cokelat lezat dari pabrik Willy Wonka.”

Dea tertawa lagi. Penulis tua ini memang penuh imajinasi. Dea juga tak luput menyadari bahwa sekarang sang penulis sudah menggunakan kata ‘aku’ dan bukan ‘saya’, untuk menyebut dirinya. Itu suatu kemajuan besar.

Mereka menghabiskan sore itu dengan makan kue dan mengobrol. Obrolan santai pertama sejak mereka bertemu hampir 2 bulan yang lalu. Sang penulis bertanya tentang keluarga, teman dan kota asal Dea. Lalu, menggodanya saat Dea dengan jujur berkata bahwa dia tak punya kekasih.

Dea mendengarkan dengan tekun saat sang penulis bercerita tentang awal mula dia menjadi penulis, buku-buku yang pernah dia tulis, dan berbagai pengalaman seru yang mengiringi perjalanan kariernya. Dea menyadari dia sama sekali tak pernah menyinggung kehidupan pribadinya. Seakan-akan dia adalah pribadi yang tak pernah punya ikatan dengan sebuah kelompok bernama keluarga. Hanya kerja dan karya yang membuat dia ada. Dan, Dea berusaha keras menahan diri untuk tidak bertanya. Dia tak mau keingintahuannya merusak suasana akrab sore itu.

Berjam-jam kemudian, ketika Dea sudah bersiap terbang ke alam mimpi, dia baru teringat USB-nya masih menempel di komputer sang penulis. Dan, komputernya belum dia matikan. Dengan sepenuh jiwa Dea berharap, penulis itu tidak melakukan hal-hal yang aneh malam ini. Seperti... ya, seperti membuka-buka komputernya sendiri mungkin. Dea tahu itu pengharapan yang sangat tinggi. Tapi, tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Dea pun tertidur dalam cemas.

“Rupanya kamu ingin jadi penulis? tanya wanita tua itu yang hari ini berkemeja longgar putih berhias bordiran bunga.

Dea tak langsung menjawab. Tadi pagi saat dia datang, komputer sudah dimatikan dan USB-nya tergeletak rapi di atas meja. Dia tahu harapannya tadi malam tidak terkabul. Dea akhirnya mengangguk. Dia merasa bodoh jika menganggap peristiwa tertinggalnya USB kemarin adalah suatu kesalahan. Semestinya dia bersyukur karena pertanyaan itulah yang telah dia tunggu-tunggu, sejak pertama kali mendapatkan pekerjaan ini. Dia ingin mendapat bimbingan dan pelajaran. Dia berhasrat menjadi murid yang baik. Tapi, selama ini tak pernah ada kesempatan untuk mengutarakan hal itu. Karena, hubungan di antara mereka hanya sebatas pekerja dan pemberi kerja.

Sang penulis mengangguk-angguk dengan pandangan menerawang. Mereka baru selesai makan siang, kegiatan yang sepertinya akan menjadi ritual mereka berdua sejak saat ini. “Kamu tahu kamu tidak bisa kaya dengan jadi penulis, ujarnya, pelan.

“Saya tahu. Tapi, kadang-kadang harta tak bisa membeli kebahagiaan. Semua orang ingin mengejar kebahagiaan, termasuk saya.

“Apakah menurutmu saya bahagia? tukas sang penulis, tajam.

“Kenapa tidak? balas Dea.

“Lihat sekelilingmu. Dari semua hal yang menjadi ukuran kebahagiaan seseorang, satu pun aku tidak punya. Suami, anak, rumah mewah, mobil mahal. Apakah kau pernah melihatnya di sini? ujarnya.

“Ibu bebas. Itu kan juga ukuran kebahagiaan. Dan saya bisa melihatnya setiap hari di rumah ini. Apakah Ibu akan lebih bahagia kalau punya suami yang penuntut dan cemburuan? Anak yang manja dan menyusahkan? Rumah mewah yang dingin dan kosong? Atau mobil mahal yang hanya menyumbang polusi di bumi yang sudah terlalu panas ini? Menurutku, itu semua cuma status. Ibu tidak perlu menyeret-nyeret status ke mana-mana dan itu yang membuat Ibu bebas.

Sang penulis menatap Dea tajam tanpa bersuara. Lalu tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak. Tawa yang lepas dan renyah. Dea menatapnya keheranan. Setiap hari selalu ada hal yang baru, batinnya. Dan hari ini untuk pertama kalinya Dea bisa melihat sang penulis tertawa sebebas itu. Sulit dipercaya, tapi saat itu dia tampak begitu muda dan tanpa beban. Dea terkesima melihatnya.

“Jawaban yang bagus, Dea, ucapnya susah payah, setelah tawanya mereda. Dia mengusap air mata yang menitik di sudut matanya. “Kamu lucu, sambungnya, masih sambil terkekeh.

Dea mau tak mau ikut tertawa, karena menurutnya penulis itulah yang lucu. Menakjubkan betapa tawa sesaat bisa menyembunyikan jejak sang waktu pada diri wanita tua itu.

“Lagi pula, Bu, kata Dea serius, setelah tawa mereka habis, “kalau saya butuh uang, saya kan bisa nyambi jadi penulis sinetron. Saya de-ngar mereka dibayar mahal sekali, apalagi kalau sinetronnya laris.

“Jadi penulis naskah sinetron? sergah sang penulis, tak percaya.

Dea sudah menduga reaksinya pasti seperti itu. “Memangnya kenapa? tanyanya menantang.

“Sinetron ABG, religi, atau misteri? tanya sang penulis dengan geli. “Atau kamu mau menulis sinetron berjudul Si Dea dan Centong Ajaib? Pasti rating-nya jeblok, dia berkata, sembari menunjuk tangan Dea yang sedang sibuk memainkan centong nasi.

Dea berhenti memainkan centong. Tawa mereka meledak lagi.

Aku tak mengerti kenapa Lingga sudah membuatku marah pagi-pagi begini. Seharusnya ini menjadi hari yang menyenangkan. Hari ini aku berulang tahun. Kata orang-orang usiaku kini 18 tahun. Tapi, usia sebanyak itu hanya berlaku di luar sana. Di istana kami, usiaku tak pernah beranjak dari angka delapan.

Aku sudah menyiapkan kue dan minuman untuk kami berdua. Kue cokelat dengan lilin angka 8 terpasang tegak di atasnya. Setiap tahun, Lingga selalu tertawa geli melihat lilin itu. Tapi, dia tak pernah menegurku. Dia tidak menganggapku aneh. Dia selalu memelukku dengan hangat dan berbisik di telingaku, “Selamat ulang tahun kedelapan, Putri Ana.

Sejak dua tahun lalu, dia menambah ritual ucapan selamat itu dengan kecupan lembut di keningku. Dan sentuhan baru itu membuat hari ulang tahunku makin berkesan.

Namun, entah apa yang berubah kali ini. Kali ini Lingga tidak tertawa melihat lilin di atas kue cokelatku. Dia malah mengerutkan kening dan memandangku dengan tatapan kecewa.

“Kenapa Lingga? Kamu tidak mau mengucapkan selamat ulang tahun padaku? tanyaku merajuk.

Lingga menghela napas. “Ana, kapan sandiwara ini akan berakhir?

“Apa maksudmu? tanyaku tak mengerti.

Lingga menarikku berdiri. Aku kira dia akan memelukku seperti biasa. Tapi dia malah memutar tubuhku dan memaksaku melihat ke luar jendela. “Lihat, Ana, tanah luas itu dulu tempat kita bermain dan berlarian dengan bebas. Sekarang lihat, hampir tidak ada lagi tanah yang tersisa. Semua sudah habis untuk perumahan. Dan pohon ini, pohon ini mungkin sebentar lagi akan ditebang dan dijadikan kayu bakar. Akar-akarnya dicabut dan dibersihkan. Dan di atas tanah yang sudah kosong itu mungkin akan dibangun sebuah rumah mungil yang akan dihuni oleh sepasang suami-istri dan anak-anak mereka yang lucu-lucu.

Aku tidak mengerti apa yang dia ocehkan. Rumah mungil, suami, istri, anak-anak? Aku menatapnya dengan pandangan penuh tanya.

Lingga mendesah. “Mengertikah kau, Ana, Dunia sudah berubah. Kita juga berubah. Berubah, kau tahu arti kata itu, ‘kan? tanyanya, tak sabar.

Setelah terdiam beberapa saat, Lingga membulatkan tekad dan berbicara lagi padaku. “Kau sudah bukan 8 tahun lagi. Usiamu 18 tahun. Hadapilah itu. Aku tahu kau bisa. Kau tak perlu berpura-pura lagi. Aku akan tetap menyayangimu, walaupun usiamu 18, 20, bahkan 50 tahun. Kau tahu itu.

Aku tak pernah berpura-pura, Lingga, ujarku dalam hati. Inilah diriku yang sebenarnya. Ana yang kau lihat di luar sana, ah... aku tak tahu siapa dia. Kenapa harus meributkannya? Tak bisakah kita bicara tentang sungai jernih yang mengalirkan air semanis madu di belakang istana kita? Atau burung-burung cantik berwarna hijau, biru, dan merah muda, yang tak pernah lalai bernyanyi di jendela istana setiap hari?

Aku menatap gambar gadis kecil di padang rumput yang kami pasang di dinding istana. Kertasnya mulai kusam, tapi aku bisa mengenali wajahku di situ. Kita sudah berjanji tak akan pernah dewasa, gumamku.

Lingga mengikuti pandangan mataku dan kudengar helaan napasnya. “Banyak yang harus kulakukan, Ana. Hidupku terlalu sederhana untuk semua omong kosong ini. Adikku perlu sekolah dan makan, sementara aku tak bisa berharap banyak dari ibuku. Sejak bapak pergi entah ke mana, kerjanya hanya melamun dan menangis, katanya dengan suara tercekat.

Aku meraih tangannya dan memaksanya untuk menatapku. “Aku tahu, Lingga. Aku tahu kau harus bekerja keras. Aku sangat mengerti, kataku dengan nada membujuk.

Lingga melepaskan genggaman tanganku. Dia menggelengkan kepala dan berkata sedih, “Tidak, Ana, kau tidak mengerti.

Setelah mengatakan itu dia pergi. Aku memanggilnya. Berulang-ulang. Hingga suaraku serak, mataku basah. Lingga yang dulu pasti langsung kembali, meminta maaf, dan menggodaku sampai tangisku reda berganti tawa.
Tapi, kali ini tidak. Lingga yang ini tidak berusaha menghiburku.

Ketika membuka pintu rumah, Dea sedikit kaget melihat penampilan sang penulis hari ini. Kaus turtleneck putih lengan panjang, rok lebar motif retro hitam putih, sabuk merah, dan sandal merah. Rambutnya disanggul di tengkuk dan seperti biasa sekuntum bunga terselip di sanggulnya.

“Wah, cantik sekali Ibu hari ini. Mau ke mana?” tanya Dea ingin tahu.

Sang penulis yang tidak menyadari kedatangan Dea, langsung membalikkan badan. Ketika melihat gadis itu, senyumnya pun mengembang. “Hari ini kita libur, Dea,” katanya, ceria.

“Tapi, ini kan hari Sabtu, Bu,” kata Dea, mengingatkan.

“Aku tahu ini hari Sabtu, anak bandel, aku belum pikun,” sergahnya, kesal. Dea tertawa. “Maksudku, hari ini aku mau mengajakmu jalan-jalan. Kamu pasti bosan kan berbulan-bulan terkurung di rumah ini? Aku juga bosan. Makanya, hari ini aku umumkan sebagai hari libur dan kita pergi jalan-jalan. Aku yang traktir!”

Ajakannya lebih seperti perintah yang tak boleh ditolak. Tapi, Dea memang tidak ingin menolaknya. Entah sudah berapa lama dia tidak bersenang-senang. Selain karena harus menghemat uang, dia juga belum hafal betul kota ini. Malas rasanya kalau setiap saat mesti bertanya pada orang lewat. Sudah beberapa kali dia mendapat pengalaman tidak menyenangkan, ketika terpaksa harus bertanya pada orang-orang di jalan. Ada yang memandang curiga, ada yang menggeleng tak acuh, bahkan ada yang malah menggodanya. Ada juga yang baik, sih, tapi....

“Aduh, kamu itu terlalu banyak pikiran, ya. Diajak jalan-jalan, kok, malah melamun,” kata sang penulis gemas, sambil mencubit pipi Dea.

Dea tersenyum malu. Dia ingin sekali jalan-jalan. Tapi, melihat sang penulis berdandan dengan begitu modisnya, dia jadi tidak percaya diri. Dia hanya memakai celana jeans lamanya dan kaus hijau tua polos.

“Tapi, Bu, pakaian saya seadanya begini. Ibu tidak bilang kalau mau jalan-jalan,” katanya, setengah memprotes.
Sang penulis mengamatinya sejenak, lalu berkata, “Hei, pakaian itu kan cuma status. Kamu sendiri yang bilang begitu. Jadi, sebenarnya apa bedanya kamu pakai jeans kumal atau gaun sutra?” tanyanya, menggoda.

Dea hanya bisa tertawa. Lalu, dengan langkah ringan mengikuti sang penulis yang sudah berjalan ke luar rumah. Tepat saat itu taksi yang dipesan sang penulis tiba.

Siang itu mereka menonton film di bioskop, dilanjutkan dengan makan sore, belanja buku, dan diakhiri dengan minum kopi di sebuah kafe. Seperti biasa, sang penulis memesan kopi tubruk dengan sedikit gula. Dea yang tidak terlalu suka kopi, memesan secangkir cokelat panas.

Obrolan mereka terhenti, ketika mereka merasa perlu mengomentari sepasang anak muda di meja sudut kafe, yang kelihatannya sedang bertengkar. Tak lama kemudian si wanita berdiri, lalu langsung berlari ke luar kafe. Kekasihnya terbirit-birit mengejar dengan wajah memelas.

“Ah, anak-anak. Hidup ini dianggap seperti sinetron saja bagi mereka. Kalau tidak suka, bisa take ulang atau diganti pemerannya. Mereka yakin banyak aktor lain yang dengan senang hati mengisi tempat yang ditinggalkan pemeran sebelumnya,” kata sang penulis, setengah melamun.

“Mungkin, itu gara-gara mereka kebanyakan nonton sinetron, Bu,” sahut Dea, yang sedang tak ingin bicara serius.
“Ya, dan kamu malah mau menyumbang jadi penulis naskahnya!” sang penulis membalas Dea dengan ledekannya yang mengena.

Mereka pun larut dalam tawa.

“Aku terkena kanker, Dea,” kata sang penulis tiba-tiba, tanpa mengubah nada suaranya.

Dea mematung. Dia takut salah dengar. Wajah sang penulis tidak berubah, semburat senyum masih tertinggal di bibirnya. Benarkah yang dia dengar tadi?

“Kamu tidak salah dengar,” ujarnya lembut, seakan membaca pikiran Dea. “Kanker paru-paru.” Dia menambahkan keterangan itu, seolah Dea membutuhkannya.

“Aku....” Dea tak tahu harus berkata apa.

Sang penulis mengangkat tangannya seraya tersenyum. “Kamu tidak perlu mengatakan apa-apa. Aku tidak minta dihibur, kok. Aku sudah tahu apa yang ingin kamu katakan dan aku tidak membutuhkannya. Aku hanya ingin kamu tahu saja, supaya tidak kaget. Aku tidak mau jika suatu hari nanti kamu masuk ke rumahku dan mendapati aku sudah tidak bernyawa, kamu malah kabur karena takut dituduh membunuh. Padahal, aku memang sakit,” katanya, sambil terkekeh.

Dea merengut. Dia tidak menganggap ini sesuatu yang pantas ditertawakan. Tega sekali dia mengumumkan sesuatu seperti itu, ketika Dea sedang tidak siap sama sekali. Dea tak bisa mencegah ingatannya yang kembali melayang ke almarhumah ibunya. Sungai duka itu mulai merambat lagi di sudut matanya.

“Hei,” panggil sang penulis seraya mengangkat dagu Dea. “Maaf, kalau pemberitahuan ini begitu tiba-tiba. Tapi, percayalah, untuk hal-hal seperti ini, kamu tak akan pernah siap,” katanya, bijak.

Dea tidak menjawab. Dia masih kesal.

“Sudahlah, Dea, jangan kamu rusak hari ini. Kita kan sedang bersenang-senang,” bujuk sang penulis.

Dea masih diam.

“Inilah yang namanya hidup. Kamu seharusnya tahu, hidup tidak selalu berisi kisah bahagia.” Melihat Dea bergeming, sang penulis tak melanjutkan kata-katanya.

Dea ingin marah, tapi dia tahu tidak pada tempatnya dia berbuat begitu. Dia sadar, bagi penderita kanker paru-paru, waktu adalah benda paling berharga, karena usia mereka sudah digariskan tidak akan bertahan lama. Dan, jika sang penulis ingin dia melupakan penyakitnya, Dea tidak punya hak untuk menghancurkan keinginan itu. Biarlah pemberitahuan mengejutkan itu dia simpan di laci terbawah dari lemari ingatannya, dia kunci rapat, lalu dia buang kuncinya.

Setelah beberapa saat, Dea menghela napas panjang dan terlihat mulai tenang.

Sang penulis mengangkat wajah dan pandangan mereka berserobok. “Kau sudah tidak apa-apa, Dea?” tanyanya, hati-hati.

Dea mengangguk. “Tapi, lain kali, Ibu harus memberi peringatan dulu sebelum mengatakan sesuatu yang mengejutkan seperti tadi. Bagaimanapun, hidup ini perlu persiapan, Bu,” kata Dea, dengan nada merajuk.

Sang penulis tertawa, lalu mengacungkan jari tengah dan jari telunjuknya. “Aku janji! Sumpah!
Dea tak bisa menahan senyumnya.

“Nah, begitu, dong. Ayo, sekarang giliranmu menceritakan kecurangan hidup ini padamu,” kata sang penulis.

“Kecurangan hidup?” tanya Dea, tak mengerti.

“Ya, aku sudah dicurangi oleh hidup. Dulu sewaktu aku masih merokok, tak pernah terjadi sesuatu apa pun padaku. Setelah aku berhenti, sudah lama sekali aku berhenti, tiba-tiba aku dinyatakan terkena kanker paru-paru. Apa itu namanya bukan curang?” keluh sang penulis, seperti mengadu.

Dea tertawa kecil. Ada-ada saja perumpamaan yang dipakainya.

“Ya, Dea, aku lebih suka bilang kecurangan hidup daripada takdir. Aku tak mungkin memprotes takdir. Tapi, aku bisa mengumpat hidup karena sudah berbuat curang padaku. Itu membuatku merasa lebih mudah menghadapi masalah. Nah, apakah hidup pernah berbuat curang padamu?” tanyanya lagi.

Dea ragu-ragu. Dia sebenarnya masih enggan menceritakannya. Tapi, sebagian dari dirinya ingin membagi kisah dengan wanita tua yang baik hati ini. Akhirnya, mengalirlah kisah itu dari mulut Dea.

“Ya, tentu saja, hidup pernah curang padaku. Saat baru lulus D-3, aku merasa sangat yakin dengan masa depanku. Aku pintar dan masih muda. Aku melamar ke radio paling terkenal di kotaku dan langsung diterima sebagai penulis naskah. Aku merasa menemukan duniaku di situ. Radio tempatku bekerja sering mengangkat topik-topik menarik untuk dijadikan bahan diskusi dengan pendengar. Kami juga sering mengundang para ahli untuk berbicara tentang berbagai masalah. Mulai dari politik, sosial, budaya, gender, semuanya. Selain itu, kami juga punya program sandiwara radio bertemakan topik-topik yang sedang hangat. Aku bisa mencurahkan hasrat menulisku sepuasnya di situ.” Saat bercerita, wajah Dea tampak berseri-seri.

“Lalu?” sang penulis mendorong Dea untuk bercerita lebih banyak lagi.

“Salah seorang penyiar adalah putri pemilik radio. Orang terpandang di kotaku. Bisa dibilang dia yang punya kota. Yah... mungkin itu terlalu berlebihan, tapi Ibu pasti paham maksudku,” kata Dea, seolah meminta untuk dimengerti. “Aku yang saat itu sudah merangkap sebagai produser selalu diminta mendampingi sang putri saat dia siaran.”

“Tentu saja, mereka butuh orang terbaik untuk menutupi kekurangannya,” kata sang penulis, lugas.

Dea menatapnya dengan pandangan senang.

“Yah, Ibu yang bilang begitu, bukan saya. Suatu hari, mungkin karena banyak yang harus aku kerjakan, atau mungkin karena aku sedang tidak konsentrasi, ada beberapa kesalahan pada naskahku. Kesalahan cukup fatal, menyangkut nama dan peristiwa. Mungkin aku memang salah, tapi seharusnya dia sebagai penyiar juga memahami apa yang dia baca dan bisa mengoreksi kesalahan yang aku buat. Ketika banyak pendengar yang protes, sang putri marah besar dan menimpakan semua kesalahan padaku.

“Selanjutnya klise, Ibu pasti sudah bisa menebak. Aku dipecat dan namaku tiba-tiba dihindari oleh para pencari pegawai di kota kecil kami. Aku menyerah, lalu memutuskan pindah ke Jakarta. Mungkin keputusan yang terburu-buru dan terlalu emosional. Aku tidak memperhitungkan bahwa wanita muda yang pintar dan gesit di Jakarta jumlahnya ribuan. Pengalaman yang kumiliki seperti tidak ada artinya di sini.

“Sebelum bertemu Ibu, aku sempat merasa salah langkah dan berniat pergi dari kota besar ini. Tapi, berkat iklan yang dipasang Rani di koran, aku jadi yakin kedatanganku ke Jakarta memang sudah merupakan jalan hidupku,” Dea mengakhiri kisahnya.

“Aku tersanjung mendengarnya,” kata sang penulis, sambil menggenggam tangan Dea. “Aku senang kau sudah merasa yakin bahwa ini adalah jalan hidupmu. Tapi, hati-hati, jangan sampai hidup berbuat curang lagi padamu,” katanya, mengingatkan.

Mereka seakan menemukan kekuatan baru. Dua jiwa yang terbebas dari sebuah rahasia. Dua jiwa yang disatukan oleh kepahitan hidup. Dan, malam pun turun di kota Jakarta yang gemerlap.

Lingga kembali kepadaku. Setelah berbulan-bulan tanpa kabar, dia menghubungiku dan berkata ingin bertemu denganku. Awalnya dia menolak bertemu di istana kami, yang sekarang lebih senang disebutnya sebagai pondok di atas pohon. Aku tidak keberatan dengan sebutan itu. Apa pun namanya, asalkan Lingga senang, aku terima saja. Setelah berdebat beberapa lama, akhirnya dia mengalah dan kami berjanji akan bertemu sore ini.

“Ana,” panggilnya saat memasuki pintu istana. Aku mendongak dan menatap wajah yang begitu kurindukan. Aku tersenyum, tak bisa berkata apa-apa. Hatiku terlalu sesak oleh bahagia.

Lingga mendekat dan duduk di sampingku. “Maafkan aku,” katanya.

Aku mengangguk. Mana pernah aku marah padanya?

“Seharusnya aku tidak berkata sekeras itu padamu. Seharusnya aku lebih sabar. Seharusnya aku tidak meninggalkanmu dan....”

“Sudahlah,” aku memotong ungkapan penyesalannya. “Itu sudah berlalu. Sekarang kau sudah kembali ke sini. Tak ada lagi yang perlu disesali.”

Tapi, Lingga tetap gundah. Dia tepekur menatap lantai di bawah kakinya. Untuk beberapa saat kami hanya terdiam. Aku ingin tahu apa gerangan yang masih mengganjal di hatinya.

Ketika akhirnya Lingga mengangkat muka dan menatapku, aku terkesiap melihat matanya yang berkaca-kaca. “Ada apa?” tanyaku.

“Aku tidak akan kembali ke sini,” jawab Lingga.

“Tapi....”

“Aku sudah menemukan apa yang kucari,” lanjutnya cepat-cepat. “Bersamanya aku bisa menjalani kehidupan yang nyata dan sederhana. Saat masalah datang bertubi-tubi, dia menguatkan aku untuk menghadapinya, dan bukan mengajak aku melarikan diri darinya.”

“Maksudmu...,” aku mencoba menyela.

“Aku tak bisa mengikutimu. Kau juga tak bisa mengikuti aku. Kukira aku bisa hidup di duniamu. Tapi...,” dia berhenti sebentar, meng­hela napas. “Ku mohon, lihatlah ke luar sana. Semua sudah berubah, Ana, pahamilah itu. Aku mohon, demi kebaikanmu sendiri, hentikan semua ini,” katanya, sambil menunjuk ke sekeliling kami.

Aku menatapnya dalam-dalam. Aku tak percaya ada putri yang lain dalam hidupnya. Lingga tampak kesal melihatku hanya diam. Memangnya dia berharap aku akan berkata apa?

Tiba-tiba dia berdiri dan melangkah ke pintu. Sebelum keluar dia berpaling dan berkata, “Selamat tinggal. Ana. Maafkan aku.”

Lalu, dia menghilang, membawa serta sebagian jiwaku dan meremukkan sebagian lagi yang masih tersisa.
Aku bangkit dari dudukku dan mendekati gambar gadis kecil di padang rumput. Perlahan-lahan, dengan hati tersayat, aku turunkan gambar itu. Aku tak mengerti. Kenapa dia tidak mencoba mengajakku ke dunianya sebelum meninggalkan aku sendiri di sini?

Dan saat itu aku tahu, Lingga tak akan pernah kembali lagi.

“Dea, coba tebak?! seru sang penulis suatu hari, sambil berlari-lari masuk ke ruang kerja. Saat itu Dea sedang mencetak beberapa bab yang akan diserahkannya kepada Rani.

“Kenapa, Bu?” tanya Dea, heran. Sang penulis melambai-lambaikan selembar surat di depan wajah Dea. Dea mengambilnya dan membacanya. Lalu, dibacanya sekali lagi. Surat itu berisi permohonan untuk menjadi tamu di acara bincang-bincang radio. Radio nomor satu di sebuah kota kecil. Radio tempat Dea bekerja dulu. Setelah beberapa saat, Dea mengangkat wajahnya dan menatap sang penulis dengan pandangan bertanya.

“Ya, bagaimana menurutmu? Ah, sudahlah, kau tak perlu menjawabnya. Aku akan menerimanya. Aku tak peduli apa pendapatmu,” katanya, tanpa menunggu jawaban Dea.

“Kenapa?” tanya Dea, lugu.

“Hei, biar sudah tua begini, pembaca bukuku masih banyak. Dan aku tak pernah mau mengecewakan penggemar. Jadi, kalau penggemarku di kota itu menginginkan kehadiranku, tentu saja aku akan datang. Satu hal lagi, kau ikut denganku,” katanya, riang.

“Kenapa?” tanyanya, seakan hanya satu kata itu yang bisa dia ucapkan.

“Karena, kau asistenku dan asistenku harus menemani aku ke mana pun aku pergi. Jadi, kemasi barang-barangmu, dan lusa kita berangkat. Ingat, bawa bajumu yang bagus-bagus. Kau ingin tampak hebat kan di depan mereka?” katanya sok tahu, lalu meninggalkan Dea dalam kepanikan.

“Aku juga heran. Sudah beberapa tahun terakhir ini dia tak pernah mau meninggalkan Jakarta, kecuali ada urusan yang sangat penting. Dia selalu beralasan kesehatannya sudah tidak memungkinkan untuk bepergian jauh. Makanya, aku kaget waktu dia bilang mau menerima undangan ini,” jelas Rani, saat berbincang dengan Dea di telepon malam itu.

“Mungkin ada alasan lain?” tanya Dea.

“Setahuku kota itu tak punya arti penting apa pun bagi dia. Penggemarnya kan ada di mana-mana, dan selama ini dia mudah saja menolak undangan dari kota-kota lain,” jawab Rani yakin.

“Mungkinkah dia yang meminta?” tanya Dea lagi.

“Dia minta diundang?!” seru Rani kaget. Lalu, dia tertawa. “Aku berani bersumpah, kalau dia masih waras, dia tak akan pernah melakukan hal semacam itu. Lebih baik dia makan tanah daripada meminta-minta orang untuk mengundang atau mewawancarainya. Tapi, kita memang tak pernah bisa menebak jalan pikirannya. Siapa yang tahu tentang apa yang sedang direncanakannya sekarang?”

Setelah mengakhiri pembicaraan mereka, Dea duduk termenung di kamar kosnya. Mungkinkah ini hanya kebetulan? Kepalanya mendadak pusing. Bukan hanya karena harus menghadapi masa lalu yang menyebalkan, tapi juga karena dia tak punya baju yang cukup bagus untuk tampak hebat di depan mantan rekan-rekan kerjanya. Ralat. Seorang mantan rekan kerjanya.

Mobil yang membawa mereka memasuki gerbang yang sudah begitu dikenal oleh Dea. Matanya langsung tertumbuk pada barisan huruf di dinding depan yang membentuk sebuah nama, Cakrawala FM. Dea melirik teman seperjalanannya yang duduk di sampingnya. Seperti biasa, tak ada sesuatu yang salah tempat pada diri wanita tua itu. Walaupun, tadi mereka harus berangkat pagi-pagi buta, terbang 1 jam lebih, dan langsung kemari tanpa beristirahat lebih dulu. Blus putih bertepi renda dan celana panjang abu-abunya masih rapi, gulungan rambutnya tak tercela. Dea tersenyum. Wanita ini begitu kuat dan yakin pada dirinya sendiri. Semua orang yang baru bertemu dengannya pasti langsung merasa segan, termasuk petugas humas dari radio yang menjemput mereka tadi.

Di dalam, beberapa orang sudah menanti kedatangan mereka. Dea berpikir, seandainya dia masih bekerja di sini, pasti dia termasuk yang paling bersemangat menyambut penulis idolanya ini.

Suasana canggung langsung terasa ketika mereka melihat Dea yang berdiri di belakang sang penulis. Dea sangat menyadarinya dan dengan gugup mengamati reaksi sang penulis. Apakah dia juga menyadarinya, pikir Dea. Tapi, wanita itu tampak tidak terpengaruh dengan keadaan di sekelilingnya. Dia tersenyum dan menyalami orang-orang yang menyambutnya. Dea pun mau tak mau ikut menyalami mereka.

Sebagian dari mereka menyambut uluran tangannya dengan hangat, sinar di mata mereka seakan ingin berkata bahwa mereka selalu menganggap Dea sebagai teman. Walaupun mereka tak mengucapkan kata-kata sambutan yang manis, senyum dan sorot mata mereka membuat kegugupan Dea mencair. Dia masih punya teman di sini, teman yang tak terpengaruh oleh insiden konyol yang menimpa dirinya beberapa waktu lalu.

Sampailah mereka di hadapan tuan besar pemilik radio. Dea tak pernah melupakan wajah itu. Sepasang mata dingin di balik kaca mata tipis dan senyum manis yang palsu, setidaknya menurut Dea begitu. Pria itu memperkenalkan diri pada sang penulis dengan keramahan yang dibuat-buat. Dia mengucapkan terima kasih, karena sang penulis mau meluangkan waktunya yang berharga untuk berkunjung ke tempat mereka yang sederhana.

“Oh, Pak Gani, saya juga berterima kasih sudah diundang kemari. Ini asisten saya, Dea,” katanya, sambil menarik tangan Dea dan memaksanya bersalaman dengan Pak Gani. “Bapak harus berterima kasih pada Dea. Dia yang membujuk saya untuk menerima undangan Bapak. Katanya, di kota ini penggemar saya banyak. Jadi, mereka pasti senang kalau saya datang. Bapak sudah mempromosikan kehadiran saya, ‘kan?” tanya sang penulis, tanpa memedulikan Dea yang salah tingkah.

“Tentu sudah, Bu, para pendengar kami pasti sudah tidak sabar ingin segera berbincang dengan Ibu. Dari kemarin telepon tak pernah berhenti menanyakan kepastian kedatangan Ibu,” jawabnya.

“Wah, banyak pendengar berarti banyak iklan, dong, Pak,” goda sang penulis, yang langsung membuat Pak Gani terkekeh.

“Ya, lumayanlah, Bu,” katanya, riang.

“Tuh, Dea, kamu bawa rezeki buat radio ini. Ya, kan, Pak?” ucap sang penulis, sambil tertawa.

Dea melirik ke belakang. Beberapa orang terlihat menahan senyum, ada juga yang menyeringai senang. Sementara keceriaan di wajah Pak Gani langsung memudar tersapu senyum kecut.

Mobil membawa mereka memasuki gerbang yang sudah begitu dikenal oleh Dea. Matanya langsung tertumbuk pada barisan huruf di dinding depan yang membentuk sebuah nama, Cakrawala FM. Dea melirik teman seperjalanannya yang duduk di sampingnya. Seperti biasa, tak ada sesuatu yang salah tempat pada diri wanita tua itu. Walaupun, tadi mereka harus berangkat pagi-pagi buta, terbang 1 jam lebih, dan langsung kemari tanpa beristirahat lebih dulu. Blus putih bertepi renda dan celana panjang abu-abunya masih rapi, gulungan rambutnya tak tercela. Dea tersenyum. Wanita ini begitu yakin pada diri sendiri. Semua orang yang baru bertemu dengannya pasti langsung merasa segan, termasuk petugas humas dari radio yang menjemput mereka tadi.

Di dalam, beberapa orang sudah menanti kedatangan mereka. Dea berpikir, seandainya dia masih bekerja di sini, pasti dia termasuk yang paling bersemangat menyambut penulis idolanya ini.

Suasana canggung langsung terasa saat mereka melihat Dea yang berdiri di belakang sang penulis. Dea sangat menyadarinya dan dengan gugup mengamati reaksi sang penulis. Apakah dia juga menyadarinya, pikir Dea. Tapi, wanita itu tampak tidak terpengaruh oleh keadaan sekelilingnya. Dia tersenyum dan menyalami orang yang menyambutnya. Dea mau tak mau ikut menyalami mereka.

Sebagian dari mereka menyambut uluran tangannya dengan hangat, sinar di mata mereka seakan ingin berkata bahwa mere­ka selalu menganggap Dea sebagai teman. Walaupun mereka tak mengucapkan kata-kata sambutan yang manis, senyum dan sorot mata mereka membuat kegugupan Dea mencair. Dia masih punya teman di sini, teman yang tak terpengaruh oleh insiden konyol yang menimpa dirinya beberapa waktu lalu.

Sampailah mereka di hadapan tuan besar pemilik radio. Dea tak pernah melupakan wajah itu. Sepasang mata dingin di balik kacamata tipis dan senyum manis yang palsu, setidaknya menurut Dea begitu. Pria itu memperkenalkan diri pada sang penulis de­ngan keramahan yang dibuat-buat. Dia mengucapkan terima kasih, karena sang penulis mau meluangkan waktunya yang berharga untuk berkunjung ke tempat mereka yang sederhana.

“Oh, Pak Gani, saya juga berterima kasih sudah diundang kemari. Ini asisten saya, Dea,” katanya, sambil menarik tangan Dea dan memaksanya bersalaman dengan Pak Gani. “Bapak harus berterima kasih pada Dea. Dia yang membujuk saya untuk menerima undangan Bapak. Katanya, di kota ini penggemar saya banyak. Jadi, mereka pasti senang kalau saya datang. Bapak sudah mempromosikan kehadiran saya, ‘kan?” tanya sang penulis, tanpa memedulikan Dea yang salah tingkah.

“Tentu sudah, Bu, para pendengar kami pasti tidak sabar ingin segera berbincang dengan Ibu. Dari kemarin telepon tak pernah berhenti menanyakan kepastian kedatangan Ibu,” jawabnya, de­ngan bangga.

“Wah, banyak pendengar berarti banyak iklan, dong, Pak,” goda sang penulis yang langsung membuat Pak Gani terkekeh.

“Ya, lumayanlah, Bu,” katanya, riang.

“Tuh, Dea, kamu bawa rezeki buat radio ini. Ya, kan, Pak?” ucap sang penulis, sambil tertawa.

Dea melirik ke belakang. Beberapa orang terlihat menahan senyum, ada juga yang menyeringai senang. Sementara keceriaan di wajah Pak Gani langsung memudar tersapu senyum kecut. Masih ada waktu setengah jam sebelum acara bincang-bincang dimulai. Sang penulis langsung masuk ke dalam ruang siaran. I­ngin melihat-lihat, katanya. Dea mengamati wanita itu dari balik din­ding kaca yang membatasi ruang siaran.

“Hei, melamun!” seruan riang disertai tepukan keras di bahu membuat Dea sontak menoleh ke belakang. Matanya langsung berbinar begitu melihat sosok Risa, sahabatnya. Mereka berpeluka­n.

“Wah, cuma kamu yang berani menyambutku terang-terangan seperti ini,” kata Dea, riang.

“Ya, kau tahu sendiri, kalau di hadapan bos, mana berani mereka macam-macam,” jawab Risa, memberi pengertian.

“Aku mengerti, kok,” sahut Dea, tenang.

“Wah, kamu pasti senang sekali, deh, bisa jadi asisten penulis idolamu itu. Mimpi apa kamu?” goda Risa, disambut tawa lepas Dea. Sebentar saja mereka sudah tenggelam dalam obrolan seru.

“Sudah mau siaran, jangan bercanda terus,” sebuah suara ketus menghentikan obrolan mereka. Sesosok gadis cantik berdiri sambil bersedekap di hadapan mereka. “Senang, ya, bisa jadi asisten orang terkenal,” katanya sinis kepada Dea.

Dea tidak menjawab, hanya menatapnya dengan pandangan kosong.

“Sudah jago, dong, bikin kopi,” katanya, sambil berlalu.

“Setidaknya, dia bekerja dengan usaha sendiri,” gerutu Risa, cukup keras untuk membuat gadis itu melotot padanya.

Risa hanya mengangkat bahu. Setelah merasa aman dari jangkauan pendengaran sang putri, Risa dengan berapi-api melanjutkan ceritanya. “Saat tahu sang penulis terkenal akan datang, dia langsung memutuskan bahwa dialah yang paling pantas untuk mewawancarainya. Uti yang sudah kami pilih karena memang dia yang paling menguasai materi, disingkirkannya begitu saja. Dia malah menyu­ruh Uti menyiapkan semua bahan untuknya,” omel Risa.

Dea tersenyum. Tak ada gunanya membahas kelakuan orang se­perti itu. Cuma bikin sakit hati dan menambah berat beban dosa.

Lampu on air sudah menyala. Siska, si gadis cantik, putri pemilik radio, menyapa pendengar dan memperkenalkan tamu isti­mewa yang akan meramaikan siarannya pagi itu.

“Wah, banyak sekali bahan yang kamu kumpulkan tentang saya,” sang penulis tiba-tiba menyela aliran kata-kata Siska.

Siska yang tampak agak terkejut, menatap lembar-lembar kertas yang ada di tangannya. “Ibu seorang penulis terkenal dengan jam terbang tinggi. Sudah tentu banyak yang bisa saya kumpulkan tentang perjalanan karier Ibu,” jawabnya, diplomatis.

“Maaf, boleh saya bertanya sesuatu? Saya tidak terlalu akrab de­ngan dunia radio, jadi banyak sekali yang ingin saya ketahui,” kata sang penulis, sebelum Siska sempat berbicara lagi.

Siska memberi tanda menyilakan sang penulis bicara.

“Biasanya, materi siaran disiapkan sendiri atau sudah ada yang membuatkan dan penyiar tinggal membaca saja?” tanyanya lembut.

Siska mengerutkan kening. Kenapa wanita tua ini tidak membiarkan dia bicara? Tapi, dia berusaha menyembu­nyikan kekesalannya dan menjawab pertanyaan aneh tadi. “Kami mengerjakan bersama-sama, Bu. Penyiar, produser, penulis naskah, semua terlibat dalam pemilihan tema dan persiapan materi,” jawab Siska, mantap.

“Oh, bagus itu. Memang sebaiknya begitu. Berarti, kamu sudah tahu, berapa buku yang pernah saya tulis?” tanya sang penulis.

Siska melirik kertas-kertasnya sekilas dan menjawab, “Yang pasti sudah lebih dari 20 buku.”

Sang penulis tertawa, “Ya, ya, itu benar. Saya paling senang me­nulis cerita anak-anak. Karena memberi kebebasan pada saya untuk berkhayal sepuasnya dan mereka-reka karakter-karakter ajaib yang tak akan bisa ditemui di dunia nyata,” katanya, bersemangat.

Siska membalik-balik kertas di tangannya, berusaha mengikuti arah pembicaraan sang penulis yang ternyata cerewet dan senang melantur. Dalam hati dia mengumpat Uti, karena tidak memberitahunya tentang buku anak-anak yang pernah ditulis wanita tua ini. Siska hanya tahu dia penulis fiksi dewasa dengan tema yang beragam dan terkadang tidak berhubungan satu sama lain. Tiba-tiba Siska menyadari sang penulis sudah berhenti bicara.

“Kamu tidak akan menemukannya di kertas-kertas itu,” kata sang penulis, sembari menunjuk ke tangan Siska. “Karena, seumur hidup saya tidak pernah menulis buku anak-anak.” Siska terdiam, tak tahu harus berkata apa. “Nah, sekarang lebih baik kita buka line telepon saja. Saya lebih senang bicara langsung dengan penggemar saya yang pasti lebih tahu tentang karya saya daripada Mbak,” katanya lagi, tanpa memedulikan Siska yang wajahnya terlihat merah padam.

Dea menoleh saat mendengar Risa terkekeh. Dia menyentuhkan jari telunjuk ke bibirnya, menyuruh Risa diam. Setelah itu dia memusatkan perhatian ke dalam ruang siaran. Saat matanya bertatap­an dengan sang penulis, Dea tak bisa menahan senyum, melihat sang penulis mengedipkan sebelah mata ke arahnya.

“Ibu bisa masuk daftar hitam di radio itu.”

“Ah, Dea, mau daftar hitam atau daftar ungu, aku tidak peduli. Memangnya aku mau hidup berapa lama lagi sampai perlu takut masuk daftar hitam? Tidak ada pengaruhnya buatku.”

Saat itu mereka dalam perjalanan ke rumah Dea, dan sang penu­lis tidak henti-hentinya menertawakan aksi cemerlangnya tadi. Dea akhirnya ikut tertawa dan dalam hati bertanya-tanya, seandainya dia sendiri yang mengerjai Siska seperti tadi, pasti rasanya puas sekali.

Sesaat sebelum turun dari mobil, sang penulis berkata, “Dea, mulai sekarang kamu panggil aku Alena. Oke? Aku tidak mau dengar lagi kamu memanggilku Ibu.”

PAMERAN TERAKHIR SANG MAESTRO
Kabar gembira bagi para penggemar dan pemburu lukisan Alm. Lin­tang Kala. Dua tahun setelah kepergiannya, janda mendiang, Agustina, memutuskan untuk melepas lima lukisan Lintang yang selama ini hanya menjadi koleksi pribadi dan tidak pernah diperlihatkan kepada publik.

“Lukisan-lukisan itu mungkin punya arti khusus bagi suami saya, dan sebab itu hanya dia simpan di studionya. Tapi, saya rasa akan lebih baik jika lukisan-lukisan itu dimiliki oleh kolektor lukisan yang mungkin bisa lebih mengapresiasi. Bukan saya tidak menghormati peninggalan suami saya, tapi sayang jika lukisan-lukisan kesayangan beliau itu hanya teronggok di dalam studio, tanpa ada yang menikmati keindahannya,” kata Agustina dalam konferensi pers yang digelar kemarin sore.

Pameran ‘terakhir’ Lintang dibuka hari ini di Galeri Manik dan akan berlangsung selama dua minggu penuh, untuk memberi kesempatan pada publik yang ingin menikmati lukisan-lukisan tersebut, sebelum dilelang kepada kolektor terbatas, bulan depan.

Dea membaca berita pendek di koran itu tanpa banyak menaruh minat. Dia hanya penasaran karena sudah beberapa hari ini dia memergoki Alena sedang menekurinya. Walaupun sudah tiga hari, koran itu masih tergeletak di ruang tamu, terlipat tepat di bagian berita itu dimuat.

Saat makan siang, Dea memberanikan diri bertanya apakah Alena ingin melihat pameran lukisan.
Alena terkesiap. “Kok, tiba-tiba kamu bertanya begitu?” katanya.

Dea tertawa. “Jangan kaget begitu, aku cuma melihat dari kemarin kamu terus-menerus membaca berita tentang pameran lukisan Lintang Kala. Aku pikir, kamu ingin melihatnya, tapi tidak tahu harus mengajak siapa,” jawabnya.

“Wah, kamu ini, kok, perhatian sekali, ya,” Alena masih heran.

“Iya, dong, aku kan asisten yang baik,” sahut Dea, bercanda. “Jadi, kita ke pameran lukisan, nih?” tanyanya lagi.
“Ah, aku tidak terlalu berminat, kok. Cuma iseng saja baca beri­ta itu. Lagi pula, aku tidak yakin kamu suka.” Alena mengelak.

“Benar, nih, tidak mau? Pameran terakhir, nih. Kalau nanti sudah dibeli kolektor, kita kan tidak bisa melihat lagi.”
Alena akhirnya menyerah. “Baiklah kalau kamu memaksa. Setelah makan siang, kita ke Galeri Manik, ya.”
Setelah percakapan itu, Dea lihat, Alena lebih bersemangat.

Galeri Manik tidak terlalu ramai siang itu, sehingga mereka berdua bisa leluasa mengamati lukisan yang dipamerkan. Kelima lukisan Lintang Kala yang tak pernah diperlihatkan kepada publik itu dipajang berjauhan.

Lukisan pertama menggambarkan padang rumput luas dengan bunga-bunga kecil di sana-sini, langit biru membentang, dan sebatang pohon di kejauhan. Dea mengernyitkan dahi saat melihat judul lukisan. “Fantasy Prairie”. Mungkinkah ada yang mau mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk lukisan seperti ini? Ya, mungkin saja, Dea menjawab pertanyaannya sendiri. Dia tahu para kolektor tidak segan-segan membeli lukisan yang dianggap potensial, dengan harga tinggi.

Lukisan kedua memperlihatkan dua anak yang sedang berlari sambil bergandengan tangan, tampak dari belakang. Di sekeliling mereka tidak ada gambar lain, hanya sapuan warna abu-abu dan putih. Judul lukisan itu Two Angels. Dea mendengar Alena tertawa pelan. Dia berpaling menatap wanita tua itu. Wajahnya terlihat senang dan matanya berbinar-binar.

“Apa yang lucu?” tanyanya.

“Pasti bukan dia yang memberi judul. Aku yakin. Lukisan-lukisan ini sama sekali bukan untuk dijual,” kata Alena.
Dea tidak mengerti. Dari mana Alena tahu? “Kamu kenal Lin­tang?” tanyanya heran.

Alena tidak menjawab, dia sudah beranjak ke lukisan berikutnya. Tapi, Dea sudah kehilangan minat dan hanya mengikuti langkah kaki Alena. Bukan pameran yang menarik, katanya dalam hati.

Lalu, tibalah mereka di lukisan terakhir. Terletak di tengah ruangan, lukisan itu paling menonjol, karena ukurannya yang cukup besar dengan gambar yang lebih meriah dari lukisan-lukisan sebelumnya. Seorang gadis manis berpakaian putih, duduk di te­ngah rumpun bunga berwarna-warni. Kuntum-kuntum bunga tersemat di bajunya, terselip di rambutnya, dan melingkar di pergelangan tangannya. Di kejauhan, sebuah kastil berdiri megah, keempat menaranya menjulang menembus awan. Dea merasa tidak asing dengan lukisan ini. Dia yakin pernah melihatnya. Tapi, di mana?

Sebelum Dea berhasil membongkar ingatannya, Alena sudah menariknya keluar dari galeri, langsung ke jalan, kemudian mendorongnya masuk ke taksi pertama yang berhasil dihentikannya.

Mereka berkendara dalam diam. Begitu banyak yang ingin ditanyakan Dea, tapi Alena tampak berpikir keras dan wajahnya menunjukkan kesan tak ingin diganggu. Karena itu, Dea memutuskan tindakan terbaik yang dapat dilakukannya adalah tidak mengatakan apa pun.

Ketika taksi berhenti di depan rumah Alena, wanita itu bergegas menyelipkan uang pembayaran taksi ke genggaman Dea seraya berkata, “Sampai besok, Dea.”

Setelah itu dia turun dan memberi tanda pada sopir taksi untuk melanjutkan perjalanan. Dea tak sempat berkata apa-apa dan saat dia menoleh ke belakang, dilihatnya Alena masuk ke rumahnya.

Keesokan harinya, Dea menemukan alat perekam Alena tergeletak di meja teras, menindih selembar kertas bertuliskan: Aku lelah sekali, Dea. Semalam aku tidak tidur lagi. Kamu punya laptop, kan? Tolong kerjakan di tempat kosmu saja, ya. Peluk cium, Alena.

Peluk cium? Sejak kapan Alena jadi mesra begini? Tapi, Dea sudah belajar untuk tidak heran lagi dengan kelakuannya yang aneh-aneh. Maka, dia hanya mengangkat bahu dan pergi meninggalkan rumah Alena.

Terima kasih, Alam. Kini aku tahu Lingga memang tak bisa kembali. Akulah yang harus menjemputnya. Dia pasti telah menungguku di istana kami. Sudah tidak ada orang lain lagi di sana. Hanya kami berdua yang tak akan pernah dewasa.

Deg! Entah mengapa kalimat terakhir itu membuat jantung Dea berdebar. Tapi, dibuangnya jauh-jauh pikiran buruknya dan dia kembali memusatkan perhatian pada kata-kata Alena yang masih mengalir di telinganya.

“Dea, hidup sudah berkali-kali mencurangi aku. Sekarang aku punya kesempatan untuk membalasnya. Aku tidak ingin dicurangi lagi. Sebelum hidup memaksaku pergi dengan kesakitan, aku akan pergi lebih dulu. Dengan damai, tenang, tanpa sakit, dan indah se­perti saat aku dilahirkan. Jangan kaget begitu, Dea. Percayalah, aku akan lebih bahagia. Karena, dia sudah menungguku, dan aku akan menyesal jika tidak segera mendatanginya.”

Alena tertawa kecil, lalu melanjutkan, “Untunglah, wanita itu se­kali lagi melakukan perbuatan bodoh dengan memamerkan lukisan-lukisan paling pribadi milik Lintang. Baru kali ini aku mengagumi dan mensyukuri kebodohannya. Aku jadi tahu Lin­tang tak pernah melupakan aku. Seumur hidupnya. Oh, aku masih tak percaya, betapa mudah hidup bisa diperdaya.”

Alena terdiam sebentar, kemudian berkata, “Aku harap kau tidak menangisi aku, Sayang. Aku bersyukur bisa mengenalmu di saat-saat terakhirku. Kau teman terbaik yang telah lama tak kumiliki.”

Dan begitu saja, kata-kata Alena terhenti. Dea memutar kaset hingga habis, tapi tidak ada pesan apa-apa lagi. Dia terdiam, dan perlahan-lahan semua mulai jelas baginya. Lingga dan Ana, Lintang dan Alena. Lukisan itu. Gadis berpakaian putih. Putri Ana.

Saat kesadaran menghantamnya dengan kuat, Dea hanya bisa me­­nutup wajah dengan kedua tangan, lalu terisak. De­ngan tangan gemetar dia menekan nomor ponsel Rani. Dengan tegar dia berkata, “Rani, bisakah kau ke rumah Alena sekarang? Penting sekali, aku rasa kau harus ke sana sekarang juga.”

Lalu, dia menutup telepon.

Dea duduk berhadapan dengan Rani di ruang kerjanya yang sempit dan berantakan. Dalam beberapa hari terakhir, kedua wanita yang baru kehilangan sahabat itu disibukkan oleh urusan pemakam­an, pemberitahuan kepada pers dan semua pihak yang terkait, pengu­muman resmi kepada penggemar, dan adalah penyusunan laporan oleh polisi tentang dugaan bunuh diri. Mereka harus berkali-kali memberikan kete­rangan kepada pihak berwajib.

Kini setelah semua berlalu, mereka punya waktu untuk duduk berdua dan bicara dari hati ke hati. Alena mewariskan rumah beserta seluruh isinya kepada Dea, dan Rani sama sekali tidak mau mendengar penolakan Dea. Dia meyakinkan Dea bahwa Alena pasti akan terluka, jika Dea menolak.

Mereka juga membicarakan kemungkinan diterbitkannya cerita Dea, yang dengan diam-diam ditunjukkan Alena kepada Rani. Dan untuk itu, Dea sangat berterima kasih kepada Alena.

Hampir tiga jam lamanya mereka mengobrol, sebelum akhirnya Dea berpamitan.

“Tunggu dulu. Dea,” kata Rani menghentikan langkah Dea. “Aku sangat tertarik pada ceritamu. Tapi, sebelum itu, bisakah aku meminta sesuatu kepadamu? Dari tadi aku merasa ragu untuk membicarakan ini, tapi aku benar-benar harus menanya­kannya.”

“Tentu saja, silakan,” sahut Dea sedikit terkejut, seraya duduk kembali di kursinya.

“Kau orang terdekat yang mendampingi Alena di saat-saat tera­k­hirnya. Banyak sekali orang yang ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa tiba-tiba Alena memutuskan untuk... kau tahu... minum obat tidur dan berbaring tenang di ranjangnya dengan setangkai mawar di tangan. Harus diakui, itu memang agak... ya, agak sensasional dan... banyak yang menanyakannya, termasuk atasanku. Jadi...,” Rani terlihat sulit mengutarakan maksudnya, “Maukah kau menuliskan kesaksianmu? Semua yang kau tahu? Kami yakin tulisanmu akan laris dan... langsung melambungkan namamu. Setelah itu, pasti tak akan sulit mempromosikan novel pertamamu karena kau sudah dikenal. Bagaimana?” tanya Rani, menatap Dea lekat.

Dea terdiam sejenak. Laris, novel pertama, terkenal. Kata-kata itu berputar-putar di kepala Dea. Hanya sejenak, sebelum dia menjawab dengan tegas, “Maaf Rani, aku terpaksa menolaknya. Itu sama saja aku mengkhianati Alena. Dan ketenaran sedahsyat apa pun akan terlalu murah untuk membayarnya.”
Rani tidak bertanya lagi.

Dalam perjalanan pulang, Dea bertanya-tanya apakah Rani serius dengan permintaannya tadi. Dia bersahabat baik dengan Alena, dan dia sudah membaca tulisan terakhir Alena. Seharusnya dia juga bisa menarik kesimpulan yang sama dengan Dea. Masa dia tega menjadikan sahabatnya sendiri sebagai komoditas?

Kemudian terlintas di benak Dea bahwa mungkin Rani ha­nya mengujinya. Dia ingin tahu serendah apa moral calon penulis yang akan ditanganinya ini. Pikiran itu mau tidak mau membuat Dea tertawa. Rani dan Alena memang sama saja, senang menguji orang-orang yang lugu seperti aku, katanya dalam hati. Tidak dipedulikannya tatapan orang-orang di dalam bus yang memandang­nya dengan aneh.

Mungkin, hidup tidak benar-benar curang pada mereka. Mungkin hidup punya cara ajaib untuk menunjukkan jalan. Dan, di siang yang panas itu, di dalam bus yang sesak, di tengah suara cempreng pengamen, Dea berjanji pada dirinya dengan sepenuh hati.

“Aku akan sekolah lagi. Akan kulakukan apa pun untuk menambah ilmu. Setelah itu aku akan menulis dan terus menulis hingga usiaku menembus hitungan jari, sampai aku tak kuat lagi berlama-lama menatap layar komputer, sampai aku tak sanggup lagi menge­tikkan kata-kata yang aku rangkai, dan harus minta tolong pada editorku yang lebih muda, untuk memasang iklan di surat kabar, yang berbunyi: ‘Dicari asisten penulis’.”

No comments: