12.22.2010

Samsara Suatu Kelahiran Kembali

Bagaimana mungkin perkawinan inses dijadikan solusi di zaman sekarang, sekadar mencegah ada predikat perawan tua di dalam keluarga?

Denpasar, , 2004
Dering weker yang nyaring membuatnya –terpaksa– bangun. Masih dengan mata setengah tertutup, tangan Laksmi meraba-raba meja nakas di samping tempat tidurnya, pukul 05.30. Belum puas rasanya dia bergelung di bawah selimut hangat, saat udara malam masih menyisakan dingin. Tapi, pagi ini dia harus meliput pelebon (upacara pembakaran jenazah) almarhum bangsawan dari kerajaan Gianyar untuk artikel majalah Bali Frangipani, tempatnya bekerja. Tidak seorang wartawan pun akan melewatkan peristiwa besar itu. Laksmi melompat dari tempat tidur, menyambar handuk dan melangkah ringan menuju kamar mandi sambil bersenandung lagu Putri Cening Ayu, lagu yang dikenalnya semenjak kecil dan masih saja melekat dalam ingatannya.

Putri cening Ayu, ngijeng cening jumah
Meme luas malu, ka peken mabelanja
Apang ada daaran jumah.
(Putri yang ayu, diamlah di rumah
Ibu pergi dulu, ke pasar berbelanja
Supaya nanti ada yang kita makan)

Sederhana, tapi menjadi suatu kebiasaan untuk menyanyikannya tiap kali dia berangkat mandi. Waktu masih kanak-kanak, Biyang (Ibu) biasa meninabobokan dia dengan lagu itu. Suara lembut dan dekapan Biyang selalu terasa hangat dan damai, bahkan pada usianya yang hampir 28, Laksmi tidak pernah merasa malu untuk bermanja pada Biyang. Dia seolah bisa mencium wangi daun pandan dari minyak rambut yang biasa dipakai Biyang sehabis mandi. Aji (ayah) dan Biyang telah menetap di geriya (rumah) di Serongga, Gianyar – asal ayahnya – sejak pensiun dari pekerjaannya di pemerintahan.

Dua puluh menit kemudian –Laksmi selalu takjub pada gadis yang bisa menghabiskan satu jam lebih di depan cermin– dia turun ke dapur. Mengisi teko listrik dengan air keran dan menyiapkan sarapan. Tentu nikmat memulai calon hari yang melelahkan dengan sepotong croissant cokelat garing dan kopi susu. Menunggu air mendidih, Laksmi membuka seluruh jendela rumahnya, membiarkan udara segar kota Denpasar di pagi hari memenuhi paru-parunya. Dia lalu melangkah ke luar rumah, mengambil koran yang biasa tergeletak di halaman berumput. Tukang koran langganan Laksmi ‘memberikan’ koran dengan cara menggulung dan melempar koran ke halaman rumah pelanggannya. Tidak mau tahu malamnya hujan atau cerah. Pokoknya, sudah masuk wilayah rumah, titik. Karena malam tadi cerah, Laksmi tidak usah menambah dosa dengan mengumpati koran basah dan kotor yang tergenang kubangan sisa hujan.

Peluit teko terdengar nyaring, dia cepat-cepat masuk ke rumah, menuang kemasan kopi instan plus gula dan krim ke dalam cangkir, lalu mengambil piring croissant dari microwave. Dia melirik jam tangannya, pukul 07.15. Segera dilahapnya sarapan, hampir-hampir tidak merasakan makanannya. Hidupnya sudah terprogram. Pukul sekian kamu harus selesai mengerjakan ini, berikutnya kamu sudah harus tiba di situ. Tidak ada waktu untuk menikmati pagi yang, kata banyak orang, adalah saat paling tepat untuk mensyukuri karunia Tuhan. Matahari yang bersinar, pucuk daun yang menggayut diberati embun pagi. Ya, ya, ya, besok-besok saja. Kalau ada waktu. Laksmi mereguk sisa kopi di cangkir dan memeriksa peralatan dalam ransel kerjanya. Buku catatan, pulpen, tape recorder kecil, baterai cadangan, dan yang tidak boleh dilupakan… cokelat! Gula-gula berwarna pekat itu mampu mengembalikan energinya yang hilang, setelah hampir seharian keliling mencari berita. Saat melewati ruang tengah, dia masih sempat mengambil kacamata minus yang tadi malam dipakainya membaca novel John Grisam untuk menjemput kantuk.

Mobil mungil Laksmi terjebak macet di daerah Batuan. Padahal, Puri atau Istana Gianyar tujuannya, terletak di pusat kota Gianyar, kurang lebih sepuluh kilometer lagi dari sini. Jalan raya yang tidak bisa dibilang lebar penuh kendaraan. Baik roda empat maupun sepeda motor yang meliuk-liuk mencoba mencari celah untuk lolos. Makin menambah ruwet jalan dan memusingkan polisi yang bertugas. Klakson orang-orang yang tidak sabar menambah gerah udara dalam mobil Laksmi. Pendingin udara mobilnya mati, tapi tape masih berfungsi dengan baik dan sedang mengalunkan salah satu lagu Dewa, Sayap-sayap Patah.

Di depan tampak mobil yang penuh penumpang berpakaian adat. Cepaka emas yang dipakai para wanitanya tampak berkilauan terpantul sinar matahari. Perhiasan untuk rambut itu terbuat dari emas atau dari bahan metal yang disepuh warna emas, bentuknya diilhami dari bunga cempaka. Ditusukkan pada sanggul sebagai perhiasan. Penumpang prianya mengenakan destar, semacam penutup kepala terbuat dari kain songket hitam yang melambangkan warna berkabung dan dihiasi tenunan benang emas.

Laksmi melirik tas plastik di jok belakang. Tas itu berisi kamen (kain) dan slempot (selendang). Karena harus berlarian meliput berita dan mengejar momen bagus untuk dokumentasi, dia tidak bisa mengenakan kebaya, apalagi kain songket. Akan dikenakannya kamen, menutupi blue jeans-nya, nanti. Tidak usah ketat-ketat, asal sopan saja. Maafkan anakmu ini Ibu, pikirnya, geli sendiri. Teringat pada Ibu yang selalu mengajarnya berkebaya dengan rapi. Tapi, bagaimana? Ini tuntutan pekerjaan.

Akhirnya, sampai juga Laksmi di kota Gianyar. Dia memarkir mobilnya – mau tidak mau – hampir 400-an meter dari setra (kuburan) Gianyar yang menjadi lokasi upacara, karena sepanjang tepi jalan telah dipenuhi kendaraan. Cepat-cepat dikenakannya kamen dan slempot. Lalu membawa tas ransel di punggungnya dan kamera di tangan kanan. Thanks to Yan De, pikirnya kecut. Gara-gara fotografer redaksinya itu berhalangan hadir – istrinya melahirkan kemarin – dia harus menyediakan tenaga ekstra untuk memotret prosesi upacara sendirian. Nasib, tidak ada sharing partner, katanya dalam hati, sambil menyeberangi jalan yang hiruk pikuk oleh klakson, derum mobil, dan suara manusia. Mereka datang dari berbagai kalangan, pejabat tinggi pemerintahan, duta besar negara sahabat, keluarga puri, dan juga masyarakat sekitar, baik yang diundang maupun yang tidak diundang.

Melihat pecalang (penjaga keamanan tradisional Bali) dengan pakaian yang berwarna gelap dan saput (kain penutup yang dililitkan di atas kamen) bercorak papan catur hitam-merahnya, mondar-mandir menjaga keamanan, Laksmi bersyukur telah membawa undangan yang memang dikirim untuk redaksinya. Tidak jarang, para pecalang itu mengusir orang-orang yang tidak berkepentingan, bila mereka terlalu dekat dengan lokasi upacara. Seorang pecalang menoleh kepadanya. Laksmi tersenyum, menunjuk identity card yang dia kalungkan di lehernya. Dia sudah terbiasa menghadapi pandangan curiga dan gusar seperti itu. Pria berwajah sangar itu mengangguk, membiarkannya lewat.

Laksmi harus rela berdesak-desakan dengan kerumunan orang-orang yang memenuhi tempat upacara sebelum dia bisa menahan napas kagum melihat pemandangan itu. Mahakarya seniman dari Singapadu. Naga Banda (tempat jenazah) itu berdiri dengan gagah, megah, namun juga anggun, di tempat upacara, sebelah barat puri. Naga yang konon adalah binatang alam dewa yang juga merupakan kendaraan bagi roh sang raja menuju surga itu dibuat dari kayu, berlapis kain beludru dan bahkan sutra berwarna hijau, merah, dan dihiasi dengan ukiran-ukiran karya tangan dingin para seniman Bali. Sisik-sisik naga, mahkota, ujung ekornya yang melengkung, serta banyak ukiran lainnya diprada dengan bubuk emas. Matanya begitu hidup, Laksmi seolah bisa merasakan panasnya lidah api yang menjulur dari mulutnya.

Menurut seseorang yang tinggal di sekitar wilayah puri, hampir seratus orang diperlukan untuk mengusung Naga Banda ke tempat upacara. Gamelan mulai ditabuh, tanda prosesi segera dimulai. Mata Laksmi berkeliaran, sebentar lagi tempat ini akan penuh oleh orang-orang. Dia harus mencari tempat strategis untuk memotret objek. Pohon nangka yang tumbuh di pinggir lingkungan upacara tertangkap matanya, cukup tinggi dengan dahan kokoh yang memungkinkan untuk dipijak. Tanpa pikir panjang, dia segera menyingsingkan kamen sehingga warna biru celana jeans-nya terlihat jelas. Beberapa orang yang kebetulan melihat adegan langka itu mulai berbisik-bisik, tapi perjuangan harus jalan terus. Laksmi tidak peduli, sebentar saja dia sudah ada di atas pohon nangka. Posisinya tidak bisa dibilang enak, sebelah tangannya memeluk batang pohon, sedangkan tangan kanannya menggenggam kamera digital. Kakinya yang dibalut sepatu kets harus hati-hati berpijak, kalau tidak mau terpeleset oleh kulit pohon yang licin.

Dia mulai memotret dan hanya bisa mengambil objek dari satu sudut. Tapi, daripada tidak satu pun dokumentasi yang bisa dicetak majalahnya untuk terbitan minggu depan. Pedanda, pendeta yang memimpin upacara, telah duduk di atas pemiosan (semacam tempat khusus untuk pendeta yang akan memimpin upacara) dengan mengenakan pakaian sucinya yang berwarna putih, lengkap dengan genitri (tasbih) yang terbuat kayu cendana, ketu (mahkota), dan bajra (sarana berbentuk lonceng). Keluarga puri dan masyarakat sekitar bersiap-siap muspa, berdoa kepada Ida Hyang Widhi memohon diberikan jalan bagi roh yang meninggal. Wangi asap dupa cendana, menyaput lingkungan setra. Denting bajra yang dibunyikan oleh Pedanda seolah menambah suasana magis yang tercipta.

Denting itu menembus telinga Laksmi, merasuk begitu damai ke dalam sanubarinya. Sesaji yang terbuat dari janur yang dibentuk sedemikian indah dan dihiasi berbagai macam bunga ditata pada beberapa buah meja panjang beralas tikar pandan. Sesaji bukanlah terbatas maknanya pada janur dan bunga, melainkan suatu persembahan nyata akan pengabdian masyarakat Bali pada kebudayaan dan tradisinya. Sebelum hari H upacara pelebon ini, masyarakat biasanya berbondong-bondong ngayah (bergotong-royong) ke puri. Biasanya, yang wanita membantu membuat banten (sesaji) dan yang pria mengambil pekerjaan berat, seperti membuat bade (tempat untuk mengusung jenazah) atau memasang taring (atap yang terbuat dari anyaman janur).

Usai muspa, beberapa orang sepuh yang mengenakan pakaian dan kain putih memercikkan tirta (air suci), setelah itu bija (beras yang telah direndam dengan air cendana) dibagikan. Laksmi memotret upacara itu kurang lebih sepuluh foto. Dia menunggu upacara puncak, pelebonan atau pembakaran jenazah Sang Raja yang telah diletakkan ke dalam tubuh Naga Banda.

Seorang pedanda mendekat ke arah Naga Banda dengan langkahnya yang tenang, tapi jelas tampak berwibawa. Sorot matanya teduh, jenggotnya yang panjang putih menggantung sampai di dada. Sang Pedanda menggenggam busur dan sebuah anak panah yang akan dipakai memanah Naga Banda. Beliau tiba di hadapan Naga Banda dan mulai merentangkan tali busurnya. Secara simbolis, beliau memanah terlebih dahulu keempat penjuru mata angin: utara, selatan, timur, dan barat.

Laksmi menahan napas saat panah itu meluncur dan menusuk ular besar yang dipercaya oleh masyarakat Bali hanya ada di dunia para dewa. Menurut legenda, pada masa silam, Raja Klungkung, Dewa Made Agung, telah ditolong oleh seorang pedanda dari belitan ular besar yang hendak membunuh raja itu. Sang Pedanda Agung kemudian memanah ular besar itu dengan panah saktinya. Maka, untuk menghormati kejadian tersebut, setiap kali seorang raja yang wafat dikremasi, selalu pula seorang pedanda diminta kesediaannya untuk melakukan upacara memanah Naga Banda. Tambahan materi untuk tulisan yang tidak boleh dilupakan, Laksmi mencatat dalam hati.

Kedua tangannya masih sibuk, nanti saja dia mencatat dalam buku kecilnya, kalau sudah turun dari pohon yang malang ini. Menjelang sore hari, ketika salah satu upacara manusa yadnya (upacara untuk manusia) itu baru usai. Sisa-sisa asap pembakaran masih membubung di udara dan serpihan-serpihan hangus melayang ke sana-kemari tertiup angin. Orang-orang mulai bubar, seperti semut yang terusir saat merubung gula yang tercecer.

Laksmi duduk menggelosor di bawah kerindangan pohon nangka yang tadi dipanjatnya. Dia merasa kakinya bukan main pegal, apalagi tangannya. Thomas harus mentraktirnya tiramisu di Waroeng Batavia – rumah makan di Kerobokan itu – bila tulisannya sudah dimuat. Pimpinan redaksi majalah berbahasa Inggris tempatnya bekerja itu baik, tapi sangat tegas. Dia bisa berteriak-teriak seperti orang gila di pasar apabila para penulisnya pura-pura lupa pada tenggat. Tapi, berbalik semanis domba bila penjualan majalah dengan segmen pelancong mancanegara itu meningkat.

Tangan Laksmi merogoh tas ranselnya, mencari cokelat batang yang hendak dipakainya untuk mengganjal perut. Mau makan siang yang telah tertunda tiga jam, sepertinya tidak sempat. Upacara akan dilanjutkan dengan membuang abu jenazah ke Pantai Lebih, pantai terdekat dari Puri Gianyar.

Sambil mulut sibuk mengunyah-ngunyah, Laksmi mencatat hal-hal penting yang nanti, setibanya di Denpasar, akan dituangkan ke dalam artikelnya. Dia tidak menyadari pandangan heran orang-orang yang kebetulan melihatnya. Seharusnya, gadis semanis itu bekerja menjadi pegawai bank atau sekretaris saja, daripada harus didera panas dan debu seperti siang ini. Kalau saja Laksmi mendengar kata batin mereka, pasti dia menjawab yakin, "Saya mencintai pekerjaan ini, dan itu membuat saya senang." Kesenangannya traveling dan bakatnya menulis memang cocok. Bakat dari kakeknya yang semasa muda adalah sastrawan, menurun pada Laksmi.


Matahari hampir beristirahat di peraduannya, saat Laksmi tiba dengan terseok-seok di kantornya.
"Salut, Ami. Ça va?" (Halo, Ami. Apa kabar?)

Thomas muncul dari balik pintu kerjanya. Kacamatanya melorot, bertengger di ujung hidung mancungnya. Mata birunya – yang mengingatkan Laksmi pada seseorang – menatap iba pada sosok Laksmi yang kelelahan. Tapi, Laksmi menerjemahkan pertanyaan pria dengan rambut yang sudah beruban seluruhnya itu sebagai, "Bagaimana liputanmu?"

"Dari awal sampai akhir. Asal Anda tahu saja, saya mengikuti prosesi upacara sampai di laut."

"Ça alors! À pied?" (Masa! Jalan kaki?)

Mata tua Thomas menyelidik. Dia sudah menganggap Laksmi sebagai anaknya sendiri. Kasihan juga kalau gadis selangsing ini harus jalan kaki jauh-jauh.

"Tidak juga. Saya ikut rombongan orang-orang naik truk."

Gadis berusia 28 tahun itu menjawab sambil menaikkan tali ranselnya yang melorot. Asyik juga di atas truk tadi, berdiri dengan satu tangan mencengkeram pinggiran truk. Rambutnya yang ikal dipermainkan angin. Ada kesenangan tersendiri di hati Laksmi. Dia merasa gagah berangkat meliput ke pantai dengan iringan gamelan yang terus dimainkan orang-orang yang naik truk lain di belakang mereka. Perasaan itu tergambar jelas di wajah Laksmi. Dia jelas lelah, tapi matanya berbinar.

Thomas tersenyum dan mengundang Laksmi makan malam di rumahnya besok. Hidangannya? Sup ikan pedas ala Ibu Putu alias Nyonya Thomas. Laksmi mengangguk cepat. Itu lebih lezat dari tiramisu! Laksmi melirik jam tangannya, pukul 19.30, dia harus singgah ke pasar swalayan sebelum pulang nanti. Isi kulkasnya hanya tersisa sebotol jus apel dan beberapa butir telur.

"Adieu, Thomas. A demain, l’heure tourne." (Selamat tinggal, Thomas. Sampai jumpa besok)

"Adieu, Ami. Faire attention." (Selamat tinggal, Ami. Hati-hati)

Thomas berbalik menuju kursi kerja kesayangannya. Dia sudah tiga puluh tahun menetap di Bali, mencintai Bali dengan sepenuh hatinya – seperti dia mencintai istrinya, Putu Sasih – dan tidak pernah berniat untuk meninggalkannya. Dia menganggap dirinya adalah bagian dari pulau surga ini dan lebih Bali daripada orang Bali sendiri. Merasa sedih, menyadari tunas-tunas muda masyarakat Bali mulai enggan melestarikan kebudayaannya. Saat dia baru tiba di Bali, dia selalu melihat para wanita bersembahyang ke merajan dengan memakai kamen dan kebaya. Sekarang, dengan sedih dia harus menyaksikan para gadis muda masuk tempat beribadahnya itu dengan kaus dan celana pendek! Thomas menggelengkan kepala, ingatannya melayang pada Noël, putranya.

Setelah menamatkan pendidikan arsitekturnya di London, Noël memutuskan untuk bekerja dan menetap di Melbourne. Anak semata wayangnya itu tampak aneh – menurut Thomas – dengan rambut hitamnya yang dibiarkan tumbuh hingga ke bahu dan selalu dikucir. Tapi, bila orang menatap mata birunya yang teduh, mereka akan segera tahu Noël adalah pribadi yang hangat. Sebelum Noël ke London, mereka bertiga biasa bersantap dan berbincang di ruang makan. Thomas, Putu Sasih, dan ‘Si Londo’ – begitu tetangga mereka menjuluki Noël – sangat menikmati saat-saat itu. Dan, menjadi semacam kehilangan bagi Thomas bila saat makan tanpa sengaja dia menoleh ke kursi Noël yang kosong. Di usianya yang ke-43, sudah lewat kepala empat, Noël masih betah melajang. Belum ada yang cocok, begitu kilahnya selalu, bila ditanya ibunya.

"Mungkin ini terdengar weird (aneh). Tapi, kalau bisa saya ingin menikah sekali seumur hidup, Bu." Thomas sendiri pura-pura tidak peduli pada urusan pribadi Noël, walau dia sering bertanya diam-diam kepada istrinya. Pria itu menggeleng prihatin. Kalau saja Noël mau merapikan penampilannya yang sedikit urakan itu, mungkin akan bertambah satu kursi lagi di ruang makan bagi menantu mereka.

Mata Laksmi terus melihat ke spion samping, dengan hati-hati memarkir mobilnya. Tempat parkir pasar swalayan yang disinggahinya hampir penuh. Laksmi beruntung, saat dia tiba, sebuah mobil sedan beranjak pergi. Dia tidak akan berbelanja di tempat seramai ini kalau tidak terpaksa. Persediaan sabun dan pasta giginya sudah menipis. Seraya mendorong kereta belanjanya, Laksmi mengambil barang-barang kebutuhannya, roti tawar, selai kacang, sampo mobil, dan… perangkap tikus. Dia harus menyingkirkan sendiri tikus-tikus yang sering melenggang kangkung di rumahnya. Tidak ada seorang pahlawan yang bisa mendengar rengekannya, "Ada tikus di rumahku. Tolong urus dia!"

Kasir yang duduk di belakang mesin itu menghitung belanjaan Laksmi dengan cermat, secermat alis yang dilukisnya dengan lengkungan sempurna. Wus, dia sudah membelanjakan hampir separuh gajinya. Kalau terus-terusan seperti ini, bisa-bisa seminggu terakhir sebelum gajian dia cuma makan mi instan. Setelah lulus dari fakultas komunikasi dua tahun lalu, Laksmi memutuskan untuk mandiri. Walau rumah yang ditempatinya di kota Denpasar ini adalah milik ayahnya, semua tagihan seperti listrik dan air, dia yang mengurus. Dia bangga karena sudah mampu menghidupi dirinya sendiri. Setelah menerima kembalian berupa permen –Laksmi terkadang berpikir, apakah pasar swalayan ini mau menerima pembayaran dengan permen?– dia membawa belanjaannya ke mobil. Pandangan matanya tertumbuk pada sepasang kekasih yang sibuk memasukkan belanjaan mereka ke dalam bagasi mobil. Mereka tampak begitu serasi dan… bahagia.

Bayangan para pria yang pernah mengisi relung hatinya, berkelebat. Berkali-kali Laksmi mencoba menjalin hubungan serius. Berkali-kali pula kandas. Tidak cocok. Satu-satunya alasan yang paling masuk akal, karena dia tidak ingin dikatakan terlalu pemilih. Selalu saja Laksmi menemukan hal yang menimbulkan keraguannya dalam meneruskan setiap hubungan.

Mantan pacar yang ternyata kehilangan arah, yang tidak mempunyai tujuan jelas untuk masa depannya. Atau, si pencuriga yang melarangnya bergaul dengan teman-teman sekantornya. Lebih parah lagi, ibunya pernah menyarankan Laksmi untuk menjalin hubungan dengan Gus Bim, sepupunya sendiri. Anak dari adik ayah Laksmi. Gila dan menjengkelkan. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin di zaman menjelang milenium ketiga ini, perkawinan inses masih tebersit sebagai suatu solusi untuk mencegah predikat bajang tua atau perawan tua.

Dia memang membutuhkan pasangan hidup, sesuai kodrat alam hubungan pria dan wanita. Dan juga, karena Tuhan telah menciptakan Hawa dari rusuk Adam. Mungkin juga Laksmi tercipta dari rusuk seseorang. Tapi, masalahnya, dia belum juga bertemu pria pemilik rusuk itu. Minggu lalu, Artini – sahabat Laksmi – mengutarakan ‘harapannya tentang pria’ di sebuah kafe saat mereka bertemu untuk ngobrol.

 
Ia merasa mengenal pria asing itu. Sangat kenal. Bahkan, perasaannya terasa sangat dekat. Tapi, siapa dia?

Aku ingin pria yang bertanggung jawab.”
Tentu. Semua wanita ingin pria bertanggung jawab. Tapi, sesederhana itukah? Bertanggung jawab pada apa?

“Diri sendiri. Itu penting. Bagaimana dia bertanggung jawab pada istri dan anaknya, jika tak bisa mengurus diri sendiri?”

Sesulit itu. Pantas, hingga kini, Artini belum pernah menjalin hubungan serius dengan seseorang. Ia melajang karena terlalu sibuk mengelola galeri seni Tidak berbeda dariku, pikir Laksmi.

Jauh di dalam lubuk hatinya, dia merindukan seseorang. Saat-saat sedang tidak mengejar berita hangat atau diteriaki oleh Thomas soal tenggat, sosok seorang pria tergambar dalam benaknya.

Noël. Pria itu selalu meletupkan gairah tertahan di hati Laksmi. Setiap kali pulang kampung ke Bali, putra tunggal pimpinannya di kantor itu tidak pernah absen memintanya menemani jalan-jalan. Ke museum kota, pasar seni Sukawati, atau mencari mebel yang bagus tapi murah di Tegalalang dekat Ubud. Sebagai arsitek, Noël sering diminta mengisi interior rumah rancangannya oleh para klien.

Ah, Noël. Orang tuanya akan berceramah panjang-lebar tentang kasta dan martabat keluarga, bila dia menjalin hubungan serius dengan pria berdarah campuran itu. Brahmana seharusnya menikah dengan Brahmana. Ida Bagus dengan Ida Ayu. Begitu. Sehingga, sampai akhir hayatmu kau tetap berhak mencantumkan Ida Ayu di depan namamu, sebagai lambang keturunan Brahmana, kasta tertinggi di Bali. Tapi, kalau kau menikah dengan bukan Brahmana, apa boleh buat, hanyutlah Ida Ayu-mu. Cukup Laksmi Prawesti. Belum lagi keluarga besar di Geriya Serongga yang pasti akan menentang mati-matian, bila salah satu klan-nya melenceng, melawan arus. Terlalu banyak tekanan yang harus dihadapi. Laksmi merasa belum siap menentang aturan keluarga besar di Geriya Gede (rumah asal leluhur). Belum.

“Lagi ngapain?”

Suara Artini terdengar di seberang telepon. Laksmi baru menghabiskan sepiring nasi hangat, gulai pakis, dan ikan balado pedas.

Apa yang diharapkan sahabatnya ini? Dia sedang mencoba gaun sutra untuk menyambut sang pangeran impian?

“Nonton, yuk?”

Uh, dia paling malas ke bioskop, apalagi malam Minggu . Yang ada hanya ABG. Jadi tambah minder saja. “Film apa?”

“The Lord of the Rings.”

Sekuel ketiganya baru saja diputar. Penonton pasti membeludak. Tapi, bosan juga di rumah.

“Boleh. Jam berapa kamu akan menjemput?”

“Jemput? Kita menonton DVD-nya saja. Malam Minggu bioskop ramai, Non. Tunggu, ya. Satu jam lagi aku sampai.”

Kurang dari satu jam, Artini tiba di halaman rumah Laksmi. Dia membawa pempek Palembang dan DVD yang dia janjikan. Sebagai tuan rumah yang baik, Laksmi membuat satu teko besar sirop jeruk ditambah potongan es batu. Mereka menonton film hingga setengah cerita karena sambil asyik membicarakan hal lain.

“Pernah nggak kamu ingin mengakhiri kesendirianmu?”

Mata Artini tertuju pada layar televisi.

“Sering,” Laksmi menjawab jujur. Dia tidak balik bertanya karena tahu Artini merasakan hal yang sama.

“Apakah kita terlalu menuntut, Ami?”

“Enggak juga.”

Laksmi mengganti posisi tidur-tidurannya. Ditariknya sebuah bantal besar berbentuk kura-kura dan menumpukan sikunya di situ. Kepalanya bersandar pada telapak tangan kanannya, menunggu ‘serangan’ dari Artini.

“Semua teman kita sudah menimang bayi. Malah, ada yang anaknya sudah masuk play group. Kita? Jangankan menikah, kencan saja gagal terus.”

“Ada yang belum. Dharma.” Tapi, sepertinya bukan dia yang dimaksud Artini sebagai ‘teman-teman kita’.

“Ah, dia kan pria….”

Betul, ‘kan. Sejak semula dia mengerti arah pembicaraan ini.

“Maksudmu, pria bisa membujang selama mereka suka dan kenapa kita tidak?”

“Akhirnya, otakmu terbuka juga. Kalau perempuan masih sendiri sampai usia 27 tahun, ada saja komentar dari orang-orang. Tidak laku, terlalu pemilih, atau pernah patah hati.”

“Kamu tahu sebabnya, Ar? Karena, kita wanita.”

“Diskriminasi gender. Tidak ada jawaban yang lebih menyenangkan?”

Walau kaum pria metroseksual mulai berani menampakkan batang hidungnya di Denpasar, sepertinya sulit juga mengganti predikat: wanita sulit jodoh menjadi wanita mandiri.

“Orang-orang itu mencemaskan sistem reproduksi kita.”

Gila gadis ini. Jawabannya sangat to the point, tapi terdengar menyebalkan di telinga Laksmi.

“Pernah dengar, wanita di usia 30 tahun ke atas adalah usia yang rawan untuk kehamilan?”

Itu inti semuanya. Semua berpulang pada kelebihan-kelebihan yang telah dikaruniakan Tuhan pada kaum wanita. Mereka dikodratkan untuk mengandung, melahirkan, dan menyusui. Tapi, saat ini Laksmi dan Artini merasa kelebihan-kelebihan itu berbalik menjadi beban yang harus dihadapi. Mereka terdiam, asyik dengan pikiran masing-masing.

Laksmi bangkit menuju rak stereo-nya dan mengambil satu VCD kompilasi lagu-lagu. Dancing Queen dari ABBA mulai mengentak, menyusul irama ceria Celebration. Saat lagu Can’t Take My Eyes off You mengalun, Artini tidak dapat menahan lidahnya.

“VCD-mu keren.”

Kalimat pancingan. Laksmi tahu, Artini bersorak dalam hati.

“Itu pemberian. Hadiah ‘everyday is a celebration’ dari Noël.”

Wow. Noël memang selalu memberikan sesuatu kapan pun dia ingin untuk menunjukkan perhatiannya pada Laksmi. Dari lagu-lagu yang terdengar, sepertinya Noël memahami betul jenis musik yang disukai Laksmi. Artini terkesan.

“Noël merekamnya sendiri untukku, di sela-sela kesibukannya bekerja.” Artini makin terkesan.

“Pria itu jelas-jelas menaruh hati padamu, Ami. Tentu kau tidak sebodoh itu jika tidak menyadarinya.”

Tentu saja tidak. Bahkan, walau hanya lewat tatapan mata, aku telah menyadarinya. Tapi, beranikah aku menentukan pilihanku. Hidupku masih sangat terikat oleh aturan adat istiadat yang kuat. Laksmi termangu.

“Well, Ami. I hate to say this: terkadang, kita harus mengorbankan sesuatu untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.”

Suara Artini menggema dalam gendang telinga Laksmi.

Pohon cempaka yang ditanam almarhum Kakiyang (kakek) di depan geriya - rumah asal mereka di Serongga - sedang berbunga. Menebarkan keharuman yang lembut. Berkali-kali Artini mengenduskan hidung bangirnya ke udara. Di kota, mana mungkin dia mendapatkan udara sesegar dan sewangi ini?

Laksmi mematikan tape dan memutar kunci mobilnya. Dia menatap kori (gerbang) Geriya Gede yang menjulang gagah, berukir khas Gianyar. Rumit. Lumut dan tumbuhan pakis tumbuh di sana-sini. Namun, tidak mengurangi karisma yang terpancar, sekaligus juga keangkuhannya. Geriya Gede yang didirikan leluhurnya ini berusia ratusan tahun. Di dalamnya terdapat beberapa rumah orang-orang yang masih memiliki pertalian darah.

Ibu menyambut putri bungsunya, menanyakan ini-itu dan mencoba menenangkan diri kalau Laksmi belum juga membawa pria istimewa ke rumah ini. Alasan terakhir yang diberikannya sewaktu ibunya menuntut dibawakan seorang calon menantu, “Saya belum menemukan pria yang mau berbagi pekerjaan rumah tangga.” Ibu tercengang ketika itu.

Wanita berwajah anggun itu menginginkan putrinya mempertahankan darah Brahmana yang mengalir dalam tubuhnya. Ibunya sangat berharap Laksmi kelak menikah dengan pria Brahmana. Sistem patrilineal di Bali mengharuskan wanita mengikuti kasta suaminya setelah menikah. Sang ibu mencermati pengaruh hidup kota besar yang menurutnya terlalu kanggo keneh (sesuka hati).

Putrinya tumbuh menjadi wanita dewasa. Mandiri.Hidup dengan cara dan gayanya sendiri.

Saat ibunya menyarankan agar Laksmi tidak terlalu cerewet memilih pasangan hidup, ia berkilah, “Kalau saya bisa mengganti ban mobil, kenapa pria tidak sudi melepas egonya dan memasak makan malam? Dia boleh menonton bola, sambil minum bir bersama temannya, mengapa saya tidak boleh ke kafe melepas jenuh bersama teman-teman saya?” Ibunya hanya mengurut dada. Sejak itu percakapan tentang ‘suami’ tidak pernah lagi mereka singgung.

Setelah menunjukkan kamar untuk Artini, Laksmi menemui ayahnya yang sedang membaca lontar (daun lontar bertuliskan huruf-huruf Bali) di gedong dangin, tempat menyimpan benda-benda suci warisan keluarga. Enam bulan terakhir ini beliau mengabdikan diri mempelajari hal-hal keagamaan. Karena kakeknya dulu adalah seorang pedanda, sebagai anak tertua, ayahnya wajib menggantikan posisi beliau. Rambut beruban Ayah dibiarkan memanjang. Karena, kelak bila menjadi pedanda, rambut itu akan dikerucut di atas kepala. Ayah mengangkat kepalanya dari tulisan Bali kuno yang tengah diresapinya, mendapati wajah Laksmi yang dihiasi senyum. Berapa umur anak bungsunya kini? Laksmi selalu terlihat sebagai gadis cilik berusia 10 tahun di mata ajinya.

“Pidan teka, Ning?” (Kapan datang, Nak?)

“Wawu. Tiyang sareng timpal. Aji punapi, kenak kemanten?” (Baru saja. Saya bersama teman. Ayah bagaimana kabarnya, baik-baik saja?)

Sikap keduanya tampak canggung. Hubungan ayah-anak di antara mereka memang tidak pernah erat. Dia dan kedua kakak laki-lakinya lebih dekat dengan biyang mereka. Ibu yang penuh kasih-sayang, lembut, dan tak pernah menunjukkan sikap melawan pada sikap Ayah yang otoriter. Biyang selalu membenarkan pendapat Aji. Salah sekalipun. Melakukan semua yang diinginkan ayahnya. Untuk Aji. Menurut Aji. Kata-kata itu acap didengarnya, juga oleh Bligus (abang) Mayun dan Bligus Oka.

Sikap otoriter Aji mulai terasa mengekang saat mereka memiliki prinsip dan pendirian. Karena itu, kakak-kakaknya memutuskan bekerja dan menetap di luar Bali. Menghindari nyala-nyala api yang mudah tersulut bila berdekatan dengan Aji. Biyang tetap menjadi boneka manis Aji. Laksmi berpikir, ia tidak akan pernah bisa menjadi wanita sesabar dan setabah ibunya. Ayahnya tidak memedulikan urusan keluarga dan anak-anak. Kewajiban kepala keluarga adalah mencari nafkah. That’s all.

Laksmi selalu merindukan kasih sayang seorang ayah. Andai saja Laksmi tahu, jauh dalam lubuk hatinya, ayah Laksmi pun merasakan hal yang sama.

Anak-anaknya selalu diselimuti rasa segan, bila berdekatan dengannya. Bahkan, hanya untuk mengobrol sekalipun. Itu membuat kebanggaan sebagai mantan pejabat penting yang sukses berubah menjadi seorang ayah yang gagal. Seperti ada tirai pembatas. Dia merindukan kasih-sayang anak-anaknya. Sayang, mereka menganggapnya sebagai ayah yang tak tersentuh dan tak pernah bisa dimengerti. Kesendirian itu makin terasa akhir-akhir ini. Saat orang-orang, yang mengaku teman dan saudara sewaktu ia masih menjadi pejabat penting di pemerintahan, mulai menjauh.

Lewat tengah hari Laksmi dan Artini duduk menghadap meja makan yang sarat makanan khas ‘kampung Bali’. Perut mereka keroncongan karena berangkat tanpa sarapan. Seperti biasa, Biyang selalu menyediakan lauk dan sayur dalam piring tersendiri untuk Aji. Tidak pernah sekali pun Biyang menghidangkan carikan (sisa) untuk Aji. Selalu yang sukla (baru). Itu menandakan, di Bali seorang ayah mempunyai kedudukan tertinggi sebagai kepala keluarga. Wajib diutamakan dan dihormati.

“Pulangnya, kita singgah di Peliatan, ya?” ajak Artini, sambil menusukkan biting pada potongan janurnya. Usai makan siang, mereka membantu membuat canang sari (sesajen berisi bunga yang harum) untuk banten setiap hari. “Sebentar saja. Aku harus mengecek beberapa barang untuk dijual di galeri.

Nanti aku traktir calamari di Lotus, deh.” Artini terus merayu.

Laksmi mencibir. Masih lebih enak masakan buatan Biyang. Diangkatnya canang sari yang sudah dihiasi bunga warna-warni itu: kenanga, teratai, kemboja, dan irisan tipis daun pandan.

“Tidak usah mentraktir. Kuantarkan.”

Artini tersenyum lega.

“Belikan bensin saja mobilku,” sambung Laksmi. Senyum Artini menghilang. Pikirnya, hanya dia yang suka perhitungan.

Menjelang sore mereka tiba di rumah Pak Agung, salah satu penyedia barang-barang kerajinan. Rumahnya berarsitektur Bali dan dilengkapi taman asri. Laksmi langsung jatuh cinta pada mangga madu yang tumbuh di samping kolam teratai. Buahnya lebat sampai dahannya tertunduk-tunduk. Beda betul dari pohon mangga di rumahnya yang malu-malu kucing.

“Wah, Ibu Artini rupanya,” Pak Agung menyapa ramah.

Saat matanya menangkap sosok Laksmi, dia tercekat, namun cepat mengulas senyum ramah. Setelah berbasa-basi sebentar, Artini segera memilih barang-barang kerajinan yang hendak dipajangnya di galeri. Tampaknya, dia tertarik pada lukisan Kamasan yang menceritakan saat Kala Rahu mencaplok Dewi Ratih, sang dewi bulan, patung wanita bertubuh meliuk yang hanya ditutupi sehelai selendang.

Pak Agung menyuruh anaknya mengepak barang-barang yang sudah dipilih. Mereka menunggu di teras, sambil menikmati kopi Bali yang baru saja ditumbuk dan sepiring pisang goreng hangat. Laksmi memilih menyingkir ke ruangan tempat Artini memilih barang-barang kerajinan tadi. Anak Pak Agung menoleh. Dia tersenyum. Ramah. Tidak sesuai dengan lengannya yang dipenuhi tato seorang wanita berbadan ular naga.

“Mau lihat-lihat?”

“Ya. Sambil menunggu.”

Dalam sebuah lemari kaca dipajang songket-songket dari sulaman benang emas yang sangat artistik. Laksmi menduga, itu adalah songket antik ratusan tahun silam.

“Ini dijual juga?” tanyanya.

“Ya, kalau harganya cocok.”

Laksmi mengangkat bahu, menjawab dalam hati. Ini kan warisan kebudayaan Bali. Masa akan dijual sembarangan dan jadi koleksi orang-orang asing. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Begitu kan seharusnya? Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai kebudayaannya. Tapi, kalau dipikir-pikir, kebudayaan Bali juga sudah dihargai. Dihargai dengan uang.

Di sebuah meja kayu bundar, dia melihat semacam kotak perhiasan berwarna cokelat kehitaman, terbuat dari kayu jati. “Ini apa?” tanyanya penasaran.

“Cepaka emas kuno. Tusuk sanggul berbentuk cempaka.”

“Dijual?”

“Beberapa kali. Tapi, selalu kembali lagi ke sini.”

“Kenapa?”

Dibukanya kotak itu. Perhiasan itu seolah menggeliat bangun dari tidur panjangnya. Kelopak-kelopak yang terbuat dari lempengan emas memantulkan sinar keemasan. Begitu indah dan anggun. Laksmi terpesona. Aura yang menyelimuti cepaka emas itu seolah menyedot perhatian pancaindranya.

“Mereka diganggu suara-suara aneh tiap malam. Seperti suara gamelan. Katanya, sejak mereka membeli perhiasan itu. Saya pikir, bunga itu mengandung kekuatan supranatural.”

“Jadi, dikembalikan lagi? Oleh orang-orang yang berbeda?”

Kelopak bunga cepaka emas itu bagaikan magnet yang menarik jari-jemari Laksmi. Dia mengulurkan tangannya, mengusap lembut. Hatinya bergetar. Dia seolah pernah menyentuh cepaka emas itu sebelumnya. Merasa sangat dekat dengan benda itu.
Suara anak Pak Agung melepas jeratan pesona cepaka emas itu pada Laksmi. Gugup, Laksmi menutup kotak kayu itu, cepat beranjak ke teras.

Laksmi termangu di depan mobilnya, yang disesaki benda-benda seni pesanan Artini. Sesuatu memberati langkahnya.

“Hei! Kenapa bengong begitu?” tanya Artini, tidak mengerti pada Laksmi. Jangan tanya, kata Laksmi dalam hati.

Ada apa ini? Laksmi bertanya dalam hati, heran dan jengkel. Hiasan rambut yang dilihatnya kemarin sore terus membayanginya. Helai-helai bunga yang bergoyang saat disentuh. Pendaran sinar keemasan. Gemersik saat tangannya menyentuh kelopak emas bunga itu. Dia sudah memiliki cepaka emas hadiah kakaknya, Gus Mayun, sewaktu dia potong gigi empat tahun lalu. Masih bagus. Nyaris seperti baru karena jarang dipakai.

Ingin mengalihkan pikirannya, Laksmi duduk di depan komputer, melanjutkan artikel tentang lomba bunga anggrek yang diadakan di sebuah hotel berbintang. Dia mencoba merangkai kalimat dalam otaknya. Tapi, bayang-bayang cepaka emas itu seperti menutup layar pikirannya. Helai-helai anggun keemasan itu menari-nari dalam benaknya. Menggoda. Laksmi meninggalkan ruang kerjanya. Mudah-mudahan udara sore di luar rumah bisa membantu energi kerjanya pulih kembali.
Di teras, dia kecewa. Taman yang tidak terawat. Daun-daun berguguran memenuhi halaman. Daun kecokelatan dan pucuk-pucuk bunga mawar yang digerogoti serangga makin mengacaukan kabel-kabel otaknya. Mungkin, lebih baik dia berkebun. Tapi, di mana, ya, garu dan sekop yang baru dibelinya?

Suara gamelan menyentak tiap senti otot dan pembuluh darahnya. Dalam balutan pakaian seorang penari Legong yang serba keemasan, Laksmi mulai menari dengan segenap tubuh, pikiran, dan jiwanya. Gamelan dan gemulai tarian melebur dalam aura magis tarian Bali yang anggun itu. Dari tempatnya menari, Laksmi dapat melihat kerumunan orang berdesakan di bawah panggung, hanya diterangi bias redup lampu minyak biji jarak. Tapi, setiap gerakan Laksmi seolah menjadi sinar bagi tariannya.

Dia terhanyut, membiarkan orang-orang mengaguminya. Kecantikannya, kemolekan tubuhnya, dan kemahirannya menari, yang bagaikan dititis oleh dewi Saraswati dari kahyangan. Tiba-tiba seorang pria menyeruak membelah penonton. Pakaiannya mewah, seperti pakaian kebesaran raja Bali. Tatapan matanya seolah menyihir, membuat Laksmi mematung. Para penabuh terus mengalunkan gamelan Semara Pegulingan. Laksmi tak bisa menggerakkan kakinya satu inci pun. Sosok berwibawa dan gagah itu naik ke panggung dengan satu lompatan. Tapi, penonton seolah tidak peduli. Mereka seperti terhipnotis, diam tak bereaksi.

Pria itu mendekati dirinya yang berusaha menghindar. Ke mana? Gamelan makin menggemuruh. Apalagi, ketika pria itu mendapatkannya. Mendekap tubuhnya, menatap wajahnya dengan matanya yang tajam. Laksmi bagai tersedot ke dalam pusaran bola hitam mata pria asing itu. Dia merasakan cinta kasih yang begitu kuat. Tidak, dia tidak mengenalnya. Tunggu, dia mengenalnya, bahkan sangat dekat. Tapi, siapa?

Sebelum Laksmi menemukan jawaban itu, sebilah keris menghunus. Mata tajam itu berubah menjadi kebencian. Keris itu berkilat, makin dekat hendak menghujam dadanya. Dia berteriak minta tolong, tapi suaranya tertelan. Tidak seorang pun peduli. Mereka seperti menunggu kejadian selanjutnya, seolah menganggap apa yang terjadi adalah bagian dari pertunjukan. Darah mulai membasahi lamak-nya. Lembaran kain memanjang bersulam benang emas yang terpasang menutupi dadanya itu kini berwarna merah. Laksmi memegang dadanya dan mendapati keris itu tertusuk di sana. Dia menjerit.

Laksmi terduduk di ranjang dalam kegelapan malam. Tangan kanannya sedang mencengkeram dadanya. Keris itu! Gugup, Laksmi meraba-raba seprai tempat tidurnya yang kusut masai. Tidak ada keris. Matanya nanar mencari-cari pria yang telah menikamnya.

Itu mimpi. Mimpi. Perlahan, dia mulai mengembalikan akal sehatnya. Keringat dingin membasahi dahinya. Napasnya memburu. Mimpi buruk. Laksmi menyingkap selimutnya, melompat turun dari ranjang, dan menyalakan lampu. Dia berjalan mondar-mandir. Mimpi itu begitu jelas tergambar. Apa yang telah dilakukannya sebelum tidur? Menonton film horor? Dia tidak pernah sebodoh itu. Membaca novel misterius? Laksmi menggeleng. Setelah lelah berkebun, dia tidak merencanakan satu kegiatan pun. Laksmi ingin minum. Tenggorokannya terasa terbakar. Tapi, bagaimana kalau pria dalam mimpinya itu ternyata ada di dapur dan sedang menunggunya dengan keris terhunus? Laksmi menggigil.

Mimpi yang sangat mengerikan selalu muncul sejak Laksmi melihat cepaka emas itu. Mungkinkah hanya karena ia lelah? Atau, ada hal yang tidak bisa diterima akal berkaitan dengan perhiasan itu?

Wow, what a dream,” kata Yan De berdecak kagum. Siang itu dia dan Laksmi sedang makan siang di warung pinggir jalan sesudah meliput pameran lukisan di Art Centre. Laksmi asyik menusuk-nusuk bistik ayam pesanannya.

“Mimpi paling seram yang pernah kualami,” tutur Laksmi. Matanya memerah setelah semalam dia terbangun dan mendengar jeritan histeris dari mulutnya sendiri. Dia tergolek di ranjang tanpa sanggup memejamkan mata hingga pagi menjelang.

“Ya. Lagi pula, aneh. Kamu kan tidak bisa menari Bali. Gadis Bali, tapi tidak bisa menari Bali. Memang memalukan, tapi….”

“Bukan itu maksudku. Kenapa aku bisa bermimpi seburuk itu?”

“Mungkin, kamu terobsesi ingin mahir menari Bali.”

Kakiyang-nya, Ida Bagus Putu, seorang sastrawan yang juga pemain drama terkenal. Tidak hanya di sekitar Gianyar, tapi sampai ke Denpasar. Bersama sekeha (kelompok) dramanya, ia kerap diminta tampil di puri-puri milik para bangsawan Denpasar. Sayang, bakat seni Kakiyang tidak menurun pada satu pun cucunya.

“Tidak usah terlalu dipusingkan. Setiap orang pasti punya obsesi,” kata Yan De, sambil mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. “Aku juga sering membayangkan wajah Louis sewaktu mencumbu Santi, istriku.”

Dia membuat pengakuan. Laksmi memandang pria tampan berkulit halus itu dengan jengah. Yan De memang gay. Waktu dia menikah, atas paksaan orang tua, orang yang paling bersedih adalah Louis, pacar Yan De, desainer grafis di kantor mereka.

“Tapi, ini bukan seperti itu….”

“Aku bukan balian (paranormal) yang bisa ‘melihat’ apa yang tengah kau alami. Pikir sederhana saja. Mimpi hanya bunga tidur. Titik,” ujar Yan De.

Reaksi Thomas sedikit lebih baik. Paling tidak, dia memberi nasihat.

“Tu vas chez le psychiâtre. C’est possible parce que tu est fatiguée.” (Pergilah ke psikiater. Mungkin, ini terjadi karena kamu terlalu lelah).

Wah, dia pikir Laksmi gila karena tekanan kehidupan.

“C’est impossible (Tidak mungkin),” tangkisnya, sedikit tersinggung.

“Je pense cette mauvais rêve a une visée déterminée (Saya pikir mimpi itu memiliki maksud tertentu).”
“C’est comme ca. Tu doit la trouver. Alors, elle va t’apaiser (Begitu. Kamu harus menemukan maknanya. Mungkin, itu akan membuatmu tenang).”

“Je veux l’essayer, Thomas. Merci sur son sermons (Saya akan mencobanya, Thomas. Terima kasih atas nasihatmu).”

Dia mengambil artikel yang sudah disetujui Thomas dan membawanya pada Louis. Tangan-tangan lentik itu tengah menyusun foto yang akan menyertai suatu artikel dalam komputernya. Yan De berdiri di sampingnya. Kadang-kadang, tangan Yan De bermain di depan monitor, memberi ide pada Lou. Laksmi meletakkan artikel di atas CPU. Melihat sekilas ke monitor. Itu adalah liputannya tentang pelebon raja Gianyar untuk Culture in Pages terbitan minggu depan.

“Lou, ini artikel baru. Mudah-mudahan, gambarnya sudah di-upload ke komputer oleh Yan De.”

“Beres, sudah kuproses,” kata Yan De, sebelum Laksmi terus berkicau. Padahal, gambar-gambar itu masih tersimpan di kamera digitalnya.

Laksmi kembali ke meja kerjanya, mengempaskan tubuh ke kursi. Dia menatap screensaver daun-daun jatuh di monitor komputer. Tidak ingat apa yang terakhir kali dikerjakannya. Laksmi mematikan komputer. Dia sedang tidak bisa berpikir.

Laksmi meraba dadanya. Di tengah-tengah dadanya ada semacam bekas luka, garis melintang berwarna putih. Berkali-kali dia bertanya pada Biyang, dari mana dia mendapatkannya. Biyang-nya selalu mengatakan, itu adalah tanda lahir. Mungkin, tanda lahir itu berhubungan dengan mimpinya semalam. Hulu keris berkilat. Pria yang menghunuskannya. Suara tabuhan gamelan. Pria itu seolah sangat dekat dengannya. Potongan gambar-gambar bagai mozaik silih berganti muncul dan memenuhi rongga-rongga kepalanya. Dia melihat ke dinding, lima belas menit lagi jam pulang kantor. Ditekannya nomor telepon Galeri Seni Kriya milik Artini.

“Bisa menemaniku malam ini?” Tiba-tiba dia merasa seperti anak kecil yang merengek ketakutan hanya karena mimpi. “Aku ingin mencoba restoran Thailand baru di ujung Jalan Sudirman.”

Dia berbohong. Lebih baik begitu, daripada terkesan mencemaskan sesuatu yang belum jelas.

“Tapi, Ami, I have a date.”

Kencan? Dengan siapa?


“Dengan Dharma.” Sebelum pertanyaannya tercetus, Laksmi sudah menerima jawaban.

“Dharma kita?”

‘Kita’ dalam arti: teman sekelas di kampus, yang sedingin es dan membiarkan gadis-gadis cantik berlalu begitu saja di depan hidungnya.

“Ya. Aku bertemu dia di hotel tempatnya bekerja sewaktu mengantar relasi,“ jawab Artini, sedikit merasa bersalah karena baru memberi tahu sekarang.

“Well, congratulations, then.”

Laksmi tidak tahu harus berkata apa. Dia menutup telepon. Menegur dirinya sendiri, saat menyadari dia cemburu pada Artini. Hari-harinya pasti berwarna merah muda. Sementara, dia masih di sini, dikelilingi tumpukan kertas dan disket yang membosankan. Tapi, sebenarnya, apa atau siapa yang membosankan? Selama sepuluh jam sehari dia berkutat dengan pekerjaan. Pulang ke rumah. Besoknya ke kantor lagi. Berlomba dengan deadline, menapaki tangga kariernya. Tidak ada waktu untuk berjalan-jalan di pelosok-pelosok desa, seperti sewaktu masih kuliah. Di hari libur, dia memilih tidur seharian. Menebus kelelahan yang membebani tubuhnya.

Laksmi mencangklong tas ranselnya di bahu. Pintu ruang kerja Thomas tertutup. Mungkin, penghuninya sedang sibuk mengedit naskah atau memilih foto. Laksmi mengintip jendela kaca bagian iklan dan marketing di sebelahnya. Kosong. Komputer Lou sudah mati. Kantor seperti kota mati. Suara-suara dinamis berganti dengan kesunyian. Laksmi bergegas menuruni tangga.
 


Mug biru langit bertuliskan Be Happy itu penuh susu. Laksmi berharap, cairan putih itu bisa membuatnya terlelap. Dia meletakkan mug susu di meja kecil dan mengambil majalah wanita. Dia membanting tubuhnya ke tempat tidur, berharap mimpi buruk itu tidak singgah lagi. Legong. Mengapa dia memimpikan tari Bali klasik itu? Dia hanya bisa menari satu tarian Bali, Manuk Rawa. Tarian tentang burung-burung yang bermain di rawa-rawa. Terakhir kali dia menonton pertunjukan Legong dua bulan yang lalu di Pesta Kesenian Bali.

Setelah membaca majalah sesaat, Laksmi mengalihkan pandangannya. Dia teringat mimpinya semalam. Apakah sebaiknya dia pergi ke psikiater? Rutinitas yang menjebak mungkin memicu mimpi buruk itu. Dia menghela napas. Cepaka emas. Belum lagi pikirannya lepas dari cepaka emas itu, mimpi buruk itu muncul lagi. Laksmi menggelengkan kepalanya, mengusir potongan adegan mimpinya yang mulai membayang.

Gemercik air dari pancuran di tengah taman terdengar menyejukkan, seperti denting bajra seorang pendeta. Laksmi duduk dengan kepala tertunduk. Dia tidak pernah berani menatap wajah pria di hadapannya. Junjungannya, kekasih hatinya yang agung. Seseorang yang dimuliakan seluruh rakyat wilayah kekuasaannya. Mereka duduk bersebelahan di taman puri. Wangi bunga sandat (kenanga) begitu menggoda. Tangan pria itu membelai rambut panjangnya yang disanggul dalam bentuk tagelan (sanggul khas Bali) dan menusukkan tangkai perhiasan pemberiannya pada sanggul Laksmi. Lembut, namun menggetarkan.

“Kau tampak makin cantik. Cepaka emas ini memang seolah diciptakan untukmu.”

Laksmi tersentak. Di mana dia? Ya, Tuhan. Taman. Kolam pancuran. Dia pasti bermimpi lagi! Tangan itu meraih dagu Laksmi. Lembut. Lalu, mengangkat wajah gadis itu. Mereka berpandangan. Begitu dekat, hingga Laksmi bisa merasakan hangat napasnya menyentuh kulit wajah. Darah Laksmi membeku. Pria itu! Pria yang telah menusuk dadanya dengan sebilah keris. Laksmi meronta. Dia ingin terbangun. Kembali ke tempat tidurnya yang hangat. Pria itu mendekap tubuhnya. Erat. Tidak ingin melepasnya. Bayangan lain melintas. Tubuh dan wajah seorang wanita. Melihat dari kilau perhiasan dan pakaian mewah yang dipakainya, dia dari kalangan bangsawan. Wanita itu tersenyum, tapi lebih seperti seringai serigala yang hendak menerkam. Matanya bersinar penuh kebencian. Kebencian yang tersulut rasa cemburu karena miliknya yang paling berharga terenggut dari sisinya.

“Wanita jalang! Kamu memikat setiap pria dengan lenggok tubuhmu!”

Wanita itu menjerit, memecah keheningan taman. Laksmi meronta. Takut dan tidak mengerti. Pria itu menatap wajahnya dan wajah wanita itu bergantian. Tiba-tiba pria itu melepaskan dekapannya dengan kasar. Laksmi jatuh bersimpuh di tanah berdebu.

“Kamu mengkhianatiku…,” pria itu berbisik. Terdengar getir. Kecewa dan terluka. Tangan pria itu menggenggam sebilah keris. Keris itu! Tubuh Laksmi bergetar. Bayangan wanita itu tertawa culas. Tawa penuh kemenangan.

“Mati kau wanita jalang!”

Laksmi terbangun dengan keringat dingin membasahi tubuhnya.

Laksmi memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju Peliatan. Dia harus melakukan sesuatu. Langkah pertama: mendapatkan cepaka emas itu.

Pukul 07.15. Bukan waktu yang tepat untuk bertamu. Tapi, rumah Pak Agung sudah ramai. Seorang wanita membawa banten (sesaji) yang diatur menyerupai stupa kecil menuju merajan (kuil) keluarga. Di depan gerbang tertancap sepasang penjor (sebatang bambu melengkung yang dihiasi janur) sebagai tanda suatu piodalan (upacara) besar tengah diadakan. Pak Agung menemui Laksmi dengan pakaian adat Bali, kamen (kain), saput (kain yang dililitkan di atas kamen), dan destar (penutup kepala) putih. Tanpa sadar Laksmi merapikan gaun terusan birunya, yang terbuat dari sutra shantung.

“Maaf, seharusnya saya menelepon dulu.…”

Dia begitu tergesa sewaktu berangkat ke Peliatan. Tidak bisa bertahan lagi. Pikirannya dikuasai bayang-bayang cepaka emas kuno itu. Seperti serangga malam yang terpesona sinar lampu taman.

“Tidak apa. Saya mengerti.”

Pak Agung justru bingung, mengapa gadis ini baru muncul setelah berhari-hari. Pria berusia separuh abad itu menatap Laksmi lekat-lekat. Bibir mungil. Hidung tidak terlalu mancung. Mata seperti sepasang berlian. Bercahaya. Persis seperti gambaran yang didapatnya, saat dia bermeditasi dan mengadakan hubungan supranatural dengan cepaka emas itu. Setelah berkali-kali dikembalikan pembelinya, Pak Agung yakin, cepaka emas itu menunggu ‘pemiliknya’. Sebelum Laksmi menjelaskan maksud kedatangannya, Pak Agung sudah mengetahuinya.

“Dia sudah lama menunggu pemiliknya,” ujar Pak Agung, sambil menyerahkan sebuah kotak hitam. Laksmi menerima dengan tangan bergetar. Dibukanya tutup kotak itu hati-hati. Cepaka emas itu ‘terbaring’ anggun di peraduannya yang berlapis beledu merah. Laksmi tersenyum senang.

“Berapa saya harus membayar?” tanyanya, hati-hati. Dikeluarkannya sejumlah lembaran uang dari dalam dompetnya.

“Ibu boleh mengambilnya. Ini memang milik Ibu.”

Miliknya! Pak Agung menolak uang itu dengan halus, lalu menanyakan apakah Laksmi mengalami hal-hal tidak masuk akal. Laksmi mengangguk. Pertemuannya dengan cepaka emas itu seperti telah diatur. Dia mengantar Artini ke rumah Pak Agung tempo hari, tanpa ada perasaan apa-apa. Tapi, seolah ada semacam perasaan ‘dekat’ yang sulit dijelaskan sewaktu melihat perhiasan itu untuk pertama kalinya.

  “Mungkin, Ibu tidak menyadari, tubuh Ibu membawa ‘suatu tanda’ dari masa silam.”

“Ya, di sini.” Laksmi menunjuk tengah-tengah dadanya. Pak Agung tersenyum. Cepaka emas itu telah ‘memanggil’ Laksmi melalui mimpi-mimpinya.

“Cepaka emas ini akan memberi tahu Ibu.”

Pak Agung tersenyum arif. Anak zaman sekarang, selalu tidak percaya bahwa ada sesuatu yang bergerak di luar nalar manusia.

Wangi lemon di dalam tehnya membuat Laksmi sedikit lebih relaks. Dia mengeluarkan cepaka emas itu dari kotak hitam dan meletakkan di meja makan. Sepanjang jam kantor dia tidak bisa berkonsentrasi, ingin segera menikmati ‘waktu berdua’ dengan perhiasan ini. Apa, sih, menariknya? Laksmi mengambil tangkai cepaka emas, mengamatinya di bawah sinar lampu meja. Helai lempengan emasnya mengilap. Padahal, kata Pak Agung, cepaka emas ini dibuat sekitar 100 tahun silam. Mungkin lebih! Pak Agung bercerita, seseorang menjual cepaka emas itu kepadanya setelah kalah di sebuah cekian (judi kartu).

Laksmi menuju komputer, lalu mengetikkan password. Dia sedang membaca e-mail dari Karen, ketika terdengar suara, “Pasanglah cepaka itu.”

Tubuh Laksmi mengejang. Suara itu halus sekali, lebih menyerupai bisikan. Tapi, dia mendengarnya sejelas desir angin malam di luar. Dia menatap cepaka emas itu. Diam. Hening. Dia berharap, sesuatu akan menjelaskan mimpi buruknya. Tidak. Dia hanya berkhayal. Laksmi berusaha mengembalikan akal sehatnya. “Pasanglah cepaka emas itu!” Suara itu terdengar lagi. Memaksa. Kali ini Laksmi betul-betul yakin itu bukan khayalan. Dia bisa saja lari keluar rumah. Tapi, untuk apa? Sebelum mengetahui yang sebenarnya terjadi, dia tidak akan bisa menjalani hari-harinya dengan tenang. Dimatikannya komputer. Disambarnya cepaka emas dan dibawanya ke kamar tidur. Laksmi mencari kotak sanggulnya di dalam lemari pakaian, seperti kesetanan. Dia menemukannya di atas tumpukan kebaya, kamen (kain), selendang, dan segala macam perlengkapan mekamen (berkebaya).

Gemetar, Laksmi duduk di depan meja rias dan menyisir rambutnya yang melebihi bahu. Biasanya, setiap kali menyanggul, dia pergi ke salon. Tapi, malam ini, seperti ada yang membantunya. Memasang sanggul, jepit rambut, dan merapikan anak-anak rambut di keningnya dengan sisir sasak. Begitu mudah. Laksmi mengambil cepaka emas dan menusukkannya pada sanggul. Dia menatap bayangannya di cermin tanpa berkedip. Cantik dan anggun. Helai-helai emas perhiasan itu bergoyang setiap kali kepalanya bergerak. Menimbulkan suara gemerisik yang bening. Laksmi ingin berlama-lama mengagumi kecantikan dirinya. Wajah di cermin tersenyum. Cantik. Laksmi tercekat. Dia tidak sedang tersenyum.

Kerongkongan Laksmi panas. Sosok di cermin bukanlah pantulan dirinya.

“Ayu Manik. Ini aku, Agung Bulan.”

Bayangan itu berbicara. Laksmi mengenalinya. Wanita itu sempat datang dalam mimpinya dan memaki-maki tanpa alasan sewaktu dia duduk berdua bersama seorang pria di taman. Laksmi tidak akan lupa pada sinar matanya yang penuh kebencian. Tapi, kini kesedihan memancar dari matanya. Dia mengenakan pakaian bangsawan Bali zaman dahulu. Kain songketnya gemerlap, sarat perhiasan emas bertatahkan permata. Namun, semua itu tidak bisa menyembunyikan beban yang membelenggunya.

“Aku Agung Bulan. Permaisuri Raja Anak Agung Ngurah Agung.”

“Saya bukan… Ayu Manik.” Laksmi menjawab terbata-bata. Dia merasa takut sekaligus konyol. Jangan-jangan dia memang agak gila, seperti yang dikhawatirkan Thomas. Senyum itu mengembang menjadi sebuah tawa. Kering.

“Kamu adalah Ayu Manik. Dahulu. Sebelum kamu samsara (lahir kembali) menjadi dirimu sekarang.”

Laksmi adalah titisan seseorang. Ayu Manik telah lahir kembali ke dunia ini dan rohnya menitis di dalam tubuhnya.

“Ayu Manik….”

Wanita itu menatap Laksmi dengan sinar mata yang seolah menembus jantungnya. Laksmi mengakui, Agung Bulan memiliki karisma seorang bangsawan. Laksmi mengangkat dagunya, membalas tatapan Agung Bulan. Rasa takut Laksmi perlahan terkikis. Entah mengapa, dia merasa sosok itu — hantu atau bukan — tidak bermaksud jahat.

“Aku yang membuatmu terbunuh dengan segala kelicikanku. Kau mati karena beban fitnah.”

Laksmi tidak dapat berkata-kata. Dia dipaksa mencerna sesuatu di luar nalar. Mungkin, dia sedang berbicara dengan roh, hantu, atau peri.

“Kini, aku termakan oleh dosa-dosaku. Tidak bisa menitis kembali ke dunia. Dosaku padamu selalu menghalangi. Aku menunggu hampir seratus tahun. Menunggu kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku agar bisa menitis kembali ke dunia.”

Laksmi membatu. Terpaku oleh kalimat-kalimat Agung Bulan. Menurut kepercayaan Hindu, seseorang akan mengalami samsara untuk memperbaiki kesalahannya pada kehidupan terdahulu. Karena Agung Bulan tidak bisa menitis ke dunia, dia tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki dosa-dosanya. Dia terjebak di alam kegelapan.

“Bagaimana aku bisa membantumu?”

Agung Bulan mungkin telah membunuh Ayu Manik di masa lalu. Tapi, Laksmi tidak mempunyai dendam atau perasaan apa pun terhadap wanita itu.

“Aku akan membawamu pada kehidupanmu, kehidupan kita di masa lalu.”

Tangan wanita itu ditangkupkan di depan dada. Dia menyatukan pikirannya dengan pikiran Laksmi yang tak kuasa menolak. Agung Bulan telah menguasai alam pikiran Laksmi. Mata Laksmi berkunang-kunang. Dunia di sekitarnya tampak berkabut. Tempat tidur, meja rias, lemari pakaian bagaikan melayang dalam penglihatan Laksmi. Dia mengeluh, lalu jatuh dari kursinya dan tertidur di karpet yang lembut.

Sanur, masa 1900-an
Gemerincing lonceng-lonceng kecil yang diikatkan pada ujung bungbungan (bagian alat tenun yang terbuat dari bambu) sangat disukainya. Tiap kali dia mengencangkan tenunan benang pada kain tenunannya, bunyi itu berdenting riang. Ayu Manik sanggup menenun sampai sore, saat panyeroan-nya (pembantu perempuan) selesai menyapu daun-daun kering di halaman Gedong (gedung) Batan Saba, bangunan khusus untuknya.

Sejak menjadi permaisuri kedua Raja Anak Agung Ngurah Agung, dia berhak menempati bangunan yang masih dalam wilayah puri Sanur ini. Jemari lentik Ayu Manik memasukkan tunda (kumparan benang) ke dalam anyaman benang dan menarik sirat (alat untuk merapatkan benang tenunan) ke arahnya. Tangannya seolah menari, membunyikan lonceng-lonceng kecilnya.

Permaisuri pertama, Agung Bulan, yang bergelar Ratu Agung Prami adalah seorang putri raja di wilayah Gerenceng. Dia memiliki hak menempati Gedong Mas, di sebelah Gedong Agung atau gedong utama yang dikhususkan bagi Sang Raja. Ayu Manik tidak pernah bermimpi menjadi permaisuri. Usianya 14 tahun saat raja melihatnya menari Legong di natah (halaman) Puri Belaluan. Ketika itu bangsawan Puri Belaluan mengadakan karya agung (upacara besar) dan mengundang Raja Puri Sanur. Ayu Manik sebagai penari Legong terkenal diminta tampil di puncak upacara.

Tidak sia-sia ayahnya, Ida Bagus Made, mengajarnya menari. Bila belum menguasai suatu gerakan tari, jangan harap dia boleh ke dapur mengisi perut. Sejak berumur tujuh tahun, dia sudah gemulai meliukkan tubuhnya. Tarianmu adalah jiwamu. Ayahnya selalu mengingatkan kalimat itu. Setelah bertahun-tahun, Ayu Manik baru mengerti maknanya. Dia harus memahami arti tarian dan juga menjiwainya. Melebur dalam gamelan dan gerakan tariannya.

Setelah masuk dalam lingkungan puri, Ayu Manik mendapat gelar Ratu Ayu Saba karena berasal dari Desa Saba di Gianyar. Ayu Manik menghela napas. Gamelan Semara Pegulingan, yang biasa mengiringi tariannya, tidak akan terdengar lagi. Setelah bersuami, apalagi menjadi permaisuri, dia tidak mungkin menari lagi. Dia telah memberikan perangkat pakaian tarinya, lamak, gelungan, badong, dan semua perhiasan menarinya, kepada Ayu Sekar, sepupunya. Kehidupannya sebagai penari Legong telah usai pada detik Raja meminta Ayu Manik pada ayahnya.

Langkah-langkah prajurit yang menginjak tanah berdebu terdengar makin dekat ke Gedong Batan Saba. Ayu Manik meletakkan tunda dan melepaskan epor (pegangan yang diletakkan di pinggang) dari pinggangnya yang ramping. Dia menatap Dadong (nenek) Renting, panyeroan-nya yang setia. Wanita itu memburu ke halaman. Dia kembali dengan senyum merebak.

“Ratu Agung datang mengunjungi Ratu.”

Ayu Manik berseru tertahan. Bahagia. Ini hari ketiga setelah bulan purnama. Tapi, suaminya telah datang mengunjunginya. Seharusnya, masih dua hari lagi. Dia masuk kamar, menyisir rambutnya yang hitam ikal dan membubuhkan minyak wangi cendana.

“Ratu….”

Dia bersimpuh di samping Anak Agung Ngurah Agung, yang duduk bersila di tikar daun pandan. Sang Raja menatap wajah lembut di sampingnya. Ingin rasanya dia merengkuh tubuh molek ini ke dalam pelukannya. Wajah tertunduk yang seolah tak ingin memamerkan kecantikannya itu membuat jantungnya berdegup. Bersama Ayu Manik, bebannya sebagai seorang raja bisa ditanggalkan. Dia bebas menjadi dirinya sendiri. Ayu Manik tidak pernah menuntut. Dia cukup bahagia dengan kehadiran Raja.

“Aku baru datang dari Puri Satria.”

Ayu Manik telah mendengar, tadi pagi Raja dan patihnya berangkat ke Puri Satria di Denpasar, bertemu raja-raja lain dari wilayah Badung dan membicarakan masalah tentara Belanda yang semakin mencampuri urusan kerajaan.

“Belanda ingin menghapuskan sistem masatya (bila seorang raja meninggal dan jenazahnya dibakar, sang ratu wajib menceburkan diri ke dalam api) yang sering dilakukan di puri-puri,” kata Raja.

Raja mengalihkan pandangan ke halaman. Amarah dan kebencian pada Belanda jelas terpantul dari rahangnya yang mengeras. Sejak Sri Koemala, kapal milik seorang pedagang Cina, terdampar di Pantai Sanur. Belanda mendapat celah untuk memainkan politik kotornya. Kwee Tek Tjiang, si pemilik kapal, mengadu pada residen Belanda bahwa penduduk di sekitar Pantai Sanur telah mencuri uang kepengnya sebesar 3.000 ringgit. Akibatnya, Belanda melimpahkan ganti rugi dengan jumlah yang sama pada Raja Badung, Gusti Gde Ngurah Denpasar yang menolaknya dengan berang.

Perseteruan meruncing. Sebenarnya, itu hanyalah alasan Belanda untuk menyerang pemerintahan Gusti Gde Ngurah Denpasar, raja paling berpengaruh di Badung. Semua raja wilayah Badung saat pesangkepan agung (rapat akbar) di Puri Satria, sepakat menolak penghapusan sistem masatya yang telah dilakukan para bangsawan selama ratusan tahun. Mereka tidak sudi menjadi raja boneka yang didalangi penjajah.

Sang Raja tiba-tiba merengkuh tubuh istrinya.

“Bila aku mati nanti, datangkah kau padaku?”

Pada detik dia memberikan perangkat pakaian tari Legong itu pada Ayu Sekar, Ayu Manik tahu akan kehilangan hidupnya. Sebagai Ayu Manik, seorang penari. Lembar baru telah menjelangnya. Permaisuri kedua Raja Sanur. Jiwa, raga, dan hidupnya telah dia pasrahkan hanya kepada Sang Raja.

“Tentu, Ratu… saya akan selalu melayani Ratu.”

Matahari telah beristirahat di peraduannya. Api lampu minyak yang digantung di sudut-sudut bangunan meliuk-liuk tertiup angin malam, memberikan warna jingga keemasan di sekitarnya. Raja bangkit dan membimbing istrinya masuk. Dia ingin menikmati malam bersama wanita yang kemolekannya sanggup membuat cemburu bintang-bintang di langit. Gerakan tubuh Ayu Manik saat menari di natah Puri Belaluan seolah menyihirnya. Begitu hidup. Matanya berbinar, melirik laksana kilat. Tubuh langsingnya dibebat kain hijau berhias lamak keemasan. Dia bagai bidadari yang menjelma ke bumi.

Tujuh hari kemudian Raja mengirim penasihatnya ke Geriya Saba dan mereka membawa gadis itu untuknya. Upacara pawiwahan (pernikahan) selama sebulan diadakan untuk meresmikan pernikahan Raja dan permaisuri barunya. Raja memberi seperangkat perhiasan emas bertaburkan intan-permata sebagai payas pupur (seserahan). Tapi, dari semua perhiasan itu, Ayu Manik sangat menyukai cepaka emas, perhiasan rambut berbentuk bunga-bunga cempaka dari emas terbaik, ditempa pandai emas terkenal dari Desa Celuk. Setiap kali Ayu Manik memakainya, Raja selalu menatapnya penuh kekaguman.

“Kau tampak makin cantik. Cepaka emas ini seolah memang diciptakan untukmu.”

  Ayu Manik dengan tulus memberikan pinjaman selendang kepada Agung Bulan. Ia tak menyangka, itulah awal malapetaka hidupnya....

Gedong Mas
Agung Bulan berdiri dengan gusar di depan jendela. Membiarkan angin malam menerpa wajah dan rambutnya. Malam ini raja tidak datang. Ke mana beliau? Mengunjungi selirnya yang lain? Atau, sedang beristirahat di Gedong Agung? Dia telah menyuruh Parta, parekan-nya (pembantu laki-laki) untuk menyelidiki hal itu. Perasaannya mengatakan raja ada di….

“Betul, Ratu. Beliau ada di Gedong Batan Saba.”

Parta membenarkan kecurigaan Agung Bulan. Pemuda berkulit legam itu segera menyingkir dengan terbungkuk-bungkuk, ketakutan melihat sinar mata ratunya. Wanita jalang itu! Ilmu hitam apa yang dia gunakan untuk menjerat Raja. Aku adalah permaisuri pertama Raja. Seharusnya, Raja lebih memperhatikan aku daripada Ayu Manik. Ketika Raja akan mengangkat Ayu Manik sebagai permaisuri kedua, Agung Bulan seperti dipaksa menelan sebotol racun ular. Ayu Manik begitu belia dan cantik. Sedangkan, dia berusia sepuluh tahun lebih tua daripada Raja. Mereka dinikahkan untuk mempererat hubungan puri Gerenceng dan puri Sanur.

Raja semakin jarang mengunjunginya. Agung Bulan seperti terlupakan. Dia semakin terpuruk, mengingat belum memberikan seorang putra mahkota bagi raja. Balian kerajaan terus mencekokinya dengan loloh (jamu) pahit dan bermacam mantra. Tapi, buah hati yang diharapkan tidak kunjung datang. Kini, ada seorang wanita di Gedong Batan Saba yang membuatnya terkucil dari suaminya sendiri. Dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi lebih lama lagi. Tidak akan.

Gedong Batan Saba
“Dong, bau apakah ini?”
Ayu Manik mendongakkan hidungnya, mengendus-endus aroma yang terbawa semilir angin. Dadong Renting yang tengah menyiapkan boreh (ramuan penghangat badan) untuk majikannya, menoleh heran.

“Itu bau kerak nasi dari dapur, Ratu.”

Biasanya, Ratu Ayu Saba tidak menyukai bau sangit seperti ini. Tapi, pagi ini dia sepertinya sangat menikmati aroma itu.

“Dong, suruh Punggil membawa kerak nasi yang ditaburi parutan kelapa dan gula merah untukku. Sekarang.”

Tenggorokan majikannya bergerak. Ratu Ayu Saba menelan air liur, ingin segera mencicipi makanan sederhana yang biasa jadi rebutan para pembantunya. Dadong Renting mengerti apa yang tengah dialami majikannya. Dia bergegas memanggil balian istana yang biasa mengobati Ratu Ayu Saba. Ayu Manik terheran-heran saat Dadong Renting datang bersama Ki Seger, bukan membawa sepiring kerak nasi seperti perintahnya.

“Apa-apaan ini? Aku tidak sakit apa-apa. Kenapa….”

“Maaf, Ratu. Silakan duduk sebentar. Mari, saya periksa.”

Ayu Manik membiarkan tangannya dibimbing ke teras gedong, sambil bertanya-tanya dalam hati. Dia menghormati orang tua yang berusia hampir 90 tahun itu. Jamunya manjur dan tidak terlalu pahit. Balian itu memeriksa denyut nadi Ayu Manik. Bibir keriput itu mengulas senyum. Dadong Renting seketika memeluk kaki majikannya, sambil mengucap syukur.

“Ratu mengandung.”

Ayu Manik terpana. Kaget dan bahagia. Dia memang mengharapkannya. Berdoa setiap malam di pamerajan (kuil) Agung agar segera dikaruniai anak. Ki Seger memohon diri dan berjanji akan kembali setelah selesai membuatkan ramuan agar calon putra mahkota dalam kandungan Ayu Manik tumbuh sehat.

Raja mendengar berita itu langsung dari Ayu Manik yang langsung mendatangi gedong Agung. Ia tampak semakin cantik. Rambutnya disanggul. Ia mengenakan kebaya hijau, warna kesenangannya. Sinar matahari yang menerpa rambutnya terpantul oleh perhiasan cepaka emas yang diberikannya saat upacara pawiwahan mereka.

Raja begitu berbahagia. Kabar itu bagai sebuah gending (tembang) yang paling ingin didengarnya. Kekecewaan yang bergumpal karena Ratu Agung Prami tidak mampu memberikan keturunan perlahan meleleh.

“Ratu Ayu Saba, terima kasih karena telah membuatku menjadi orang yang paling berbahagia.”

Tidak. Sayalah yang paling berbahagia saat ini karena mampu membuat Ratu berbahagia.

Kata-kata itu hanya terucap dalam hati Ayu Manik karena Raja telah meraih tubuhnya dengan lembut. Ayu Manik memejamkan mata. Bibirnya membuka, menanti. Suaminya menunduk, menciumi bibir lembut permaisurinya, merasakan tubuh yang bergetar dalam pelukannya. Raja membopong tubuh Ayu Manik ke atas peraduan. Ciumannya semakin menuntut, menelusuri tiap lekuk tubuh indah istrinya. Mereka pun larut menjadi satu.

Gedong Mas
Dunia Agung Bulan runtuh. Berita bahagia itu bagai palu godam yang menghantam jantungnya. Dia terhuyung saat salah satu pembantunya menyampaikan berita itu. Dengan getir Agung Bulan mencengkeram pinggir tilam bersulam benang emas di peraduannya. Hari kiamatnya telah tiba. Betapa menyakitkan. Dia akan dilupakan oleh suami dan bangsawan-bangsawan lain. Orang-orang aristokrat itu akan memandangnya sebelah mata dan diam-diam menggunjingkannya sebagai ratu mandul.

Wajah Ayu Manik membayang di pelupuk mata Agung Bulan. Belia dan cantik. Kerlingannya menggoda. Darah muda wanita itu menjerat suaminya. Seperti ular yang membelit mangsanya. Tidak berkutik. Agung Bulan gemetar, mendidih karena cemburu yang memuncak. Dia membuka lemari pakaiannya dan mencampakkan gelungan (mahkota) emasnya.

“Kau sama sekali tidak berguna!” jeritnya pada benda yang terguling dan membentur sudut kaki peraduan. Melewati jendela, mata Agung Bulan menangkap sosok Parta yang sedang menyabit rumput-rumput liar. Pemuda dari kasta sudra (kasta paling rendah) itu cukup tampan. Badannya tegap. Kesenangannya matajen (judi adu ayam) bukan sekadar main-main lagi. Agung Bulan mendengar dia sering mencuri barang-barang ibunya dan menjualnya di pasar Merta Sari. Bibir Agung Bulan mengulas senyum licik. Cairan panas kecemburuan dan amarah menggenangi relung-relung hati dan pikirannya. Dia mengambil kotak perhiasan berukir dari dalam laci meja. Membukanya dan memandang isi kotak yang pasti akan menyilaukan mata dan membutakan hati seseorang seperti Parta.

“Aku akan memberimu pelajaran. Kau akan merasa sakit, seperti yang kurasakan saat ini.”

Pamerajan Agung (kuil persembahyangan)
Ratu Ayu Saba berdoa memohon perlindungan Hyang Widhi untuk suaminya. Sebelum serangga malam berhenti mengerik, Raja berangkat berburu ke Jembrana. Ki Seger menganjurkan agar Ayu Manik menyantap daging rusa liar yang dipercaya mampu menghangatkan badan dan sangat baik untuk wanita yang mengandung. Walaupun puri Sanur banyak memiliki pemburu-pemburu andal, Raja ingin mendapatkan daging rusa liar itu sendiri. Perburuan itu akan memakan waktu berhari-hari.

Agung Bulan duduk dengan tenang di Gedong Piasan, menunggu Ratu Ayu Saba usai muspa (sembahyang). Ratu Agung Prami datang diiringi Taluh, yang membawa perlengkapan muspa, berupa bokor (wadah) perak berisi berbagai macam bunga yang dijunjung di atas kepala.

Ayu Manik bangkit dan berjalan dengan anggun menaiki Gedong Piasan untuk mengambil tirta (air suci) dan bija (beras yang diberi air cendana). Ayu Manik semakin mendekat sehingga perutnya yang mulai membesar terlihat jelas. Menimbulkan rasa pahit di mulut Agung Bulan.

“Permisi Ratu Mbok, titiang (saya) hendak mengambil tirta.” Ayu Manik menyapa permaisuri pertama dengan hormat, walau dia tahu Agung Bulan tidak menyukainya. Tidak akan pernah. Bibir wanita keturunan bangsawan itu mengulas senyum tipis.
“Tentu saja. Ratu Adi (adik) harus banyak berdoa untuk keselamatan bayi ini.” Agung Bulan berdiri, membiarkan Ayu Manik lewat. Tiba-tiba dia berseru kaget.

“Ah, bodohnya titiang ini. Lupa membawa slempot (selendang). Padahal, untuk kembali lagi ke Gedong Mas cukup jauh.”

Ayu Manik menghentikan langkah dan berbalik mendekati Agung Bulan. Lilitan selendang di pinggang adalah simbol kesungguhan hati menghadapkan diri pada Hyang Widhi Wasa.

“Ratu Mbok bisa meminjam slempot titiang.”

“Tidak, terima kasih. Titiang bisa menyuruh Taluh mengambilnya,” ujarnya. Kemudian, dia bergumam, “Tapi, titiang tidak suka orang lain membongkar lemari pakaian titiang.”

“Tidak apa, Ratu Mbok. Pakai saja. Titiang sudah selesai muspa.”

Tanpa menyimpan kecurigaan setitik pun, Ayu Manik melepas slempot tenun ikat yang melilit pinggangnya dan memberikan pada Agung Bulan.

“Baiklah. Titiang hanya akan meminjamnya. Ratu Adi bisa kembali ke Gedong Batan Saba sekarang. Taluh akan menghaturkan slempot ini pada Ratu Adi nanti.”

Ratu Ayu Saba yang naif. Tidak menyadari tempat seperti apa yang telah dia masuki. Lingkungan puri penuh intrik dan tipu muslihat untuk menjegal siapa pun yang jadi penghalang. Orang-orang selalu menanti celah untuk bisa menyusup dan mengambil keuntungan dari kelengahan orang lain.

Batan Gedong Saba
Prajurit-prajurit itu datang memasuki Gedong Batan Saba, menerbangkan debu kering di setiap langkah mereka. Mimpi buruk Dadong Renting semalam tiba-tiba melintas, dia menyaksikan Ratu Ayu Saba dililit ular sangat besar, tanpa seorang pun dapat menolongnya. Dadong Renting meletakkan pisau yang digunakannya untuk membuat sesajen dan menghampiri pemuda-pemuda berbadan kekar itu.

“Kami hendak menjemput Ratu Ayu Saba,” ucap Patih Lanang.

Ini bukan pamendakan (upacara penjemputan) seperti yang biasa dilakukan dengan penuh hormat dan santun. Sesuatu yang buruk akan menimpa Ratu Ayu Saba.

Di depan cermin, Ratu Ayu Saba menggelung rambutnya. Suaminya telah datang dari Jembrana tadi sore. Langkah berderap-derap itu tentu menandakan kedatangan raja dan pengawal-pengawalnya. Tanpa firasat buruk, Ayu Manik memasangkan cepaka emas pada sanggulnya.

Pintu kamar tidurnya tiba-tiba terbuka. Patih Lanang menyeruak masuk, diikuti Dadong Renting yang tampak sangat ketakutan.

“Patih! Berani-beraninya Patih masuk ke peraduan seorang permaisuri raja!” bentak Ayu Manik. Dadong Renting menyembah, memeluk kaki Patih, dan menghiba agar tidak membawa Ratu Ayu Saba. Sia-sia. Mereka tetap membawa Ayu Manik dalam kegelapan, diselimuti jeritan memilukan serangga malam.

Gedong Agung
Raja dan Ratu Agung Prami duduk di singgasana Gedong Agung yang diterangi beberapa lampu minyak. Wajah mereka tampak tegang. Sesepuh puri dan para kerabat bangsawan yang dituakan dan dihormati datang atas undangan Raja karena hendak membicarakan sesuatu yang sangat penting.

Patih Lanang menyeret Ayu Manik. Harga dirinya terinjak-injak. Tidak sepatutnya dia menerima perlakuan ini. Di hadapan suami dan sesepuh puri, Patih Lanang mencampakkan tubuhnya. Perasaan terhina berubah jadi kemarahan. Ayu Manik mengangkat kepala dan memandang wajah suaminya. Darah Ayu Manik tersirap saat mendapati tatapan dingin dan juga... jijik? Padanya?

“Kamu mengkhianatiku!” Bibir raja bergetar. Raja bangkit dan berjalan mendekati Ayu Manik. Anak Agung Ngurah Agung menjatuhkan sesuatu di pangkuan Ayu Manik. Secarik kain berwarna coklat bergaris-garis emas. Slempot tenun ikat miliknya yang dipinjam Ratu Agung Prami tempo hari. Tapi, apa hubungannya dengan semua kejadian ini?

“Ini milikmu?”

“Inggih (iya), Ratu.”

“Bagaimana slempot ini bisa ada di kandang kuda?”

“Sejujurnya, titiang tidak tahu.”

“Pembohong!” Ratu Agung Prami berseru. “Kamu bersama dengan Parta saat Ratu Agung ke Jembrana. Kalau tidak, bagaimana mungkin slempot-mu bisa tertinggal di kandang kuda?”

Kepala Ayu Manik mendongak. Dia bersimpuh di tempat rendah, menatap wajah perempuan berlidah ular yang angkuh itu.

“Ratu Mbok, katakan pada mereka bahwa Ratu Mbok meminjamnya dari titiang saat kita bertemu di Pamerajan Agung.”

 
Ratu Agung Prami tertawa sinis. Ayu Manik seolah mendengar gagak-gagak hitam tengah bernyanyi mengitari mayatnya.

“Titiang? Meminjam slempot-mu? Jangan bermain kata-kata dengan kami! Titiang memiliki banyak slempot yang tak akan habis titiang gunakan. Untuk apa titiang meminjam milikmu?”

Seorang sepuh membuka mulut, “Panggil Parta.”

Tak lama, Parta datang dikawal dua prajurit. Dia berteriak-teriak memohon ampun pada Raja saat dicampakkan di sebelah Ayu Manik, yang beringsut perlahan, menjauhkan diri dari tubuh botoh tajen (penjudi) itu.

“Diam kamu!”

Patih Lanang menendang punggung Parta.

“Kamu bersama Ratu Ayu Saba di kandang kuda pada malam-malam kepergian raja?”

Para sepuh mulai menanyai Parta yang menjawab dengan ketakutan. Sandiwara yang tengah dilakoninya ini sama sekali tidak diketahui orang-orang yang hadir di sana, kecuali Ratu Agung Prami. Pundi-pundi berisi uang emas yang diberikan Agung Bulan telah ditanamnya di lantai tanah dapur gubuknya. Dia akan melarikan diri ke Karangasem, suatu tempat nun jauh di timur Bali setelah persidangan ini. Tentu, Ratu Agung Prami telah mengatur semuanya.

“Inggih, Ratu.”

Ayu Manik menoleh gusar pada pemuda itu.

“Jangan mapisuna (memfitnah) Parta. Aku tidak pernah membiarkan tubuhku disentuh laki-laki lain, selain suamiku.”

“Benar begitu, Parta?”

“Titiang tidak bohong.”

Raja tidak bisa mengendalikan kemarahannya. Dia mencabut keris dan mengacungkannya ke leher Parta. Ratu Agung Prami tergesa turun dari kursi, mencegah tindakan suaminya.

“Ratu Agung, lebih baik kita membicarakan dulu cuntaka (aib) ini dengan kepala dingin.”

Tubuh Ayu Manik menggigil. Cuntaka. Dia telah difitnah oleh Ratu Agung Prami. Para bangsawan itu kini melihatnya sebagai perempuan pembuat aib.

“Benar, Ratu. Bagaimana pun, Ratu Ayu Saba adalah permaisuri Ratu. Kita harus memikirkan hukuman yang setimpal untuknya,” kata Ratu Anak Agung Oka, sesepuh yang paling tua.

“Tidak. Mulai detik ini, titiang hanya memiliki satu permaisuri.”

Gunung Agung seperti memuntahkan lahar panas ke tubuh Ayu Manik. Kata-kata yang merupakan sabda. Dia tidak diakui lagi sebagai seorang permaisuri. Dianggap tidak berharga sedikit pun.

“Buang mereka ke Jembrana.”

Suara Ratu Anak Agung Oka terdengar lagi. Menembus gendang telinga Ayu Manik. Jembrana biasa dijadikan tempat untuk menghukum sepasang manusia yang melakukan aib perzinahan. Dibuang dari keluarga karena dianggap mencemarkan lingkungan di sekitarnya.

“Tidak. Ini tidak benar. Titiang adalah korban fitnah Ratu Agung Prami. Ratu Mbok, tegakah Ratu pada anak dalam kandungan titiang?”

Ratu Agung Prami menatap Ayu Manik. Dingin. Justru itu. Karena kau tengah mengandung bayi keturunan raja, kau harus segera disingkirkan. Raja adalah satu-satunya harapan dan tumpuanku untuk turut dihormati dan dijunjung oleh rakyat Sanur.
Raja bimbang. Ayu Manik belum pernah mengecewakannya. Tapi, pengaduan Agung Bulan menyulut rasa cemburunya. Harga dirinya terkoyak. Ia dibodohi penyabit rumput. Tatapan orang-orang yang menunggu keputusannya seolah menghakimi kewibawaannya.

“Baik. Buang mereka ke Jembrana.”

Raja mengeluarkan perintahnya dengan getir. Jemari kokohnya menggenggam keris yang belum disarungkan.

“Tidak!”

Ayu Manik berdiri. Dia tidak akan membiarkan harga dirinya dicabik-cabik.

“Bunuh titiang, Ratu.”

Raja terhenyak mendengar permohonan permaisuri yang sangat dikasihinya itu. Kemarahan yang bergolak di dadanya tidak bisa menghapus perasaannya pada Ayu Manik.

“Titiang lebih rela mati di tangan Ratu Agung daripada hidup sebagai orang buangan di Jembrana karena fitnah seseorang.”

Keris di tangan Raja seolah memberontak.

“Titiang bersumpah, Ratu Agung. Bila memang bersalah, titiang rela menitis kembali ke dunia sebagai seekor buron (binatang). Tapi, bila semua ini hanyalah fitnah, akan ada seseorang yang mendapatkan karmanya. Ratu Agung, cinta kita akan bersatu kembali suatu masa nanti.”

Saat Ayu Manik mengucap sumpah, mendadak langit terbungkus awan kelam dan petir menyambar. Tangan raja terangkat, ujung keris tampak mengilap. Ayu Manik menatap suaminya untuk terakhir kali. Dia tersenyum lembut. Tiba-tiba Ayu Manik meraih genggaman raja dan sekuat tenaga menghujamkan keris ke dadanya sendiri. Darah menyembur, membasahi malam penuh kelicikan itu. Dewa-dewi di kahyangan mulai menangis, mengirim hujan pada bumi pertiwi yang berduka. Raja memeluk tubuh istrinya, membaringkan tubuh lunglai itu di pangkuannya.

“Ratu Agung….”

Sinar mata Ayu Manik meredup. Meregang nyawa. Tangannya terkulai di sisi tubuhnya. Cepaka emas yang tertusuk di sanggulnya bergemerisik gelisah. Lalu, sinarnya seolah padam. Episode sebuah sandiwara telah dibayar dengan sangat mahal. Udara malam yang dingin menyambut kematian Ratu Ayu Saba yang telah mempertahankan harga dirinya sebagai seorang wanita terhormat.

Denpasar, 2004
Laksmi mengerang. Kesadarannya belum pulih sepenuhnya. Laksmi menggunakan tangannya untuk bertumpu, memaksa tubuh dan pikirannya bangun. Apakah yang dialami tadi? Halusinasi atau mimpi buruk lagi? Samar-samar sebuah suara berbisik lembut, Agung Bulan.

“Ayu Manik, Ratu Agung telah menitis ke dunia lima belas tahun sebelum kamu. Sumpah yang kau ucapkan di malam kematianmu telah membawanya kembali padamu. Waktuku telah tiba. Selamat tinggal, Ayu Manik.”

Laksmi mengaduh. Dunia terasa berputar.

ël. Tiga kali berturut-turut pria itu meninggalkan pesan. Pertama dan kedua menyuruhnya agar segera menelepon balik, yang ketiga menanyakan apakah Laksmi baik-baik saja.

Sejauh ini dia baik-baik saja, hanya sedikit merasa cemas akan ceramah Thomas jika dia ke kantor nanti. Ketika Laksmi baru akan melepas rambut palsunya, terdengar ketukan bertubi-tubi. Laksmi melirik jam yang menunjukkan pukul 6.15. Laksmi merapikan rambut sekenanya. Setengah berlari dia menuruni tangga. Apa yang dia inginkan? Merobohkan pintuku? Laksmi berpikir kesal. Teguran yang siap dilontarkannya tertelan begitu saja ketika melihat orang di balik pintu.

“Noël!”

“Oui, c’est moi (Ya, ini saya). Kamu baik-baik saja?”

Noël memandangnya cemas. Matanya menelusuri tubuh Laksmi. Sejak tiba dari Melbourne tiga hari yang lalu, dia mencoba menghubungi Laksmi. Setelah mendapati wanita yang disayanginya baik-baik saja, dia merasa lega.

“Masuk, Noël. Mau kubuatkan secangkir cokelat hangat?”

Noël tidak menolak. Dia duduk di sofa. Ia baru menyadari, suara-suara gemerisik yang didengarnya sejak tadi berasal dari kepala Laksmi.

“Mengapa sepagi ini kau sudah berdandan lengkap?”

Helai-helai cepaka emas itu bergemerisik setiap kali kepala Laksmi bergerak. Mau tak mau, Noël memperhatikannya. Pikirannya seperti disengat listrik. Mimpi itu. Mungkinkah Laksmi juga mengalaminya?

“Nanti kuceritakan. Kau pasti tidak percaya.”

“Coba saja.”

“Ya, nanti saja. Aku akan membuat air panas dulu.”

“Tunggu.”

Noël menarik tubuh Laksmi ke arahnya. Darah Laksmi berdesir. Gerakan yang sama saat Ratu Agung menarik tubuh Ayu Manik.

“Aku hanya ingin bilang, aku merindukanmu.”

“Jangan seperti anak remaja, Noël. Kamu tahu, aku tidak suka memulai sesuatu bila harus mengakhirinya.”

Mulai lagi. Percakapan mereka selalu terjebak pada hubungan yang tak pernah jelas arahnya.

“Bagaimana kau harus mengakhirinya?”

Laksmi menatap Noël. Tidak ada yang bisa disembunyikan lagi. Hubungan mereka memang bukan sekadar makan malam bersama atau menikmati kebersamaan karena tidak ada pilihan lain. Lebih dari itu. Mereka tidak bisa menyingkirkan pikiran bahwa mereka saling membutuhkan. Tapi, terlalu lama mereka menunggu. Berharap seseorang akan memulai agar ruang kosong dalam kehidupan mereka dipenuhi kehangatan cinta.

“Jangan katakan aku gombal, tapi kau tampak semakin cantik. Cepaka emas ini seolah memang diciptakan untukmu.”

Tubuh Laksmi mengejang. Dia menatap mata Noel lurus-lurus, seolah baru melihat pria itu untuk pertama kali.

“Apa?”

“Kau tampak semakin cantik. Cepaka emas ini seolah memang diciptakan untukmu.”

Laksmi mundur. Terpana. Semula dia pikir tidak akan pernah mendengar kalimat itu dari orang lain, selain Ratu Agung.

“Ya, ampun. Noël, berapa umurmu?”

Dia tahu itu terdengar aneh. Tapi, menurut Agung Bulan, roh Ratu Agung menitis ke dunia lima belas tahun mendahuluinya.

“43. Apa maksudmu? Terlalu tua untuk seorang Laksmi?” tanya Noël setengah menggerutu.

Hmm… dua kebetulan yang berkaitan.

“Noël, apa yang membawamu ke sini?”

ël pulang ke Bali semendadak ini. Minimal, seminggu sebelumnya dia mengabari Laksmi lewat email atau telepon. Itu pun pada hari-hari menjelang liburan musim dingin, Natal, dan Tahun Baru.

“Kau.”

Laksmi tersenyum senang. Dia merentangkan tangan dan membiarkan Noël mendekapnya hangat. Dia telah bertemu Ratu Agung. Noëlnya.

“Noël, aku bahagia kau ada di sini.”

“Aku juga, Ami. Kau pasti telah mengalami mimpi-mimpi itu. Penggalan-penggalan kisah masa lalu yang sempat membawa kekaburan logika pada pikiranku. Seperti sebuah pertanda, kaulah bulan malamku, Ami ma jolie.

No comments: