12.22.2010

Sayap Pipit Patah Sebelah

Nola kesal sekali karena bosnya selalu marah-marah padanya. Tapi, sebelum memutuskan keluar, ia malah mendengar gosip tentang bosnya, yang seolah meninju dadanya.

Hari ini Rosita, atasanku, marah besar. Dari pagi hingga siang, ia terus mengulang kalimat yang sama dan intonasi yang sama, “Kesalahan terbesar yang pernah ada!” Ia juga sering meralat ucapannya, “Kamu keliru!” menjadi “Kamu ceroboh!” Rosita bilang, keteledoran yang tak termaafkan. Sementara, sorot matanya seolah-olah menyuruhku minta ampun, agar ia mau memaafkan.

Semua berawal dari kekeliruanku, bukan kecerobohanku, pada saat memasang label di tas kostum. Akibatnya, kostum yang seharusnya dipakai untuk sinetron Prahara Majapahit tertukar dengan Dara Kampus Salemba. Sialnya, lokasi syuting keduanya berjauhan, satu di Studio Alam di Sukabumi dan yang lain di bilangan Salemba, Jakarta.

Jadilah, tadi pagi ruang divisi kostum geger. Dua produser mengamuk pada Rosita. Produser sinetron laga mengomel bahwa busana yang dikirim belum ada pada zamannya. Di hadapan Rosita, produser itu mengomel nyinyir, “Ros, pikirmu istri Patih Nambi memakai blazer? Dayang-dayang istana kan tidak memakai jeans?!”

Belum sempat Rosita menjawab, tiba-tiba produser sinetron drama muncul dari balik pintu. Tanpa basa-basi, ia langsung mengabarkan bahwa kemarin batal syuting. “Gara-gara salah kostum! Divisi ini betul-betul payah! Mana ada mahasiswi kuliah mengenakan kemben sama kebaya? Mana ada?!” katanya, dengan air muka menyebalkan.

Setelah mereka pergi, giliran atasanku yang naik pitam. Korbannya? Siapa lagi kalau bukan aku! “Fatal, Nola! Fatal! Sekali salah memasang label, kamu tahu akibatnya? Fatal!” teriak Rosita, sambil berkacak pinggang.

“Harusnya kru yang mengambil kostum mengecek dulu,” aku berkilah, membela diri. “Jangan main ambil begitu saja....”

“Yang ke sini bukan kru, kurir! Tapi, dari dulu juga selalu kurir!” sambar Rosita, makin berang. “Dan, pegawai baru seperti kamu harusnya belajar mengenal sistem! Bukan belajar menyalahkan orang lain!”

Rina, rekan satu divisiku, menggeleng-gelengkan kepala dari balik gantungan baju. Aku mengartikannya sebagai isyarat agar tidak melawan, lebih baik menyerah saja. Aku patuh.

Rosita duduk dengan mata menyala. Aku duduk layaknya terdakwa. Berikutnya, hampir satu jam, Rosita mengomel tentang banyak hal, dari kredibilitas, dedikasi, kompetensi, hingga masa kontrak kerjaku yang hanya tiga bulan.

Aku diam, menunduk, dan mau tak mau, harus menatap sepatuku. Seketika aku terperanjat. Ya, ampun, kulihat sepatu suede cokelatku begitu kusam. Ujungnya juga mulai lecet-lecet. Aku kaget sewaktu mengintip sepatu Rosita di kolong meja. Oh, tolong, itu kan Prada! Cantik sekali. Tanpa sadar aku menggeser kakiku jauh-jauh, ke kolong kursi.

Baiklah, hiburku dalam hati, awal bulan ini sepatuku mesti pensiun. Tapi, mendengar kemarahan Rosita, jangan-jangan aku tidak akan pernah menerima gaji pertama. Aku memejamkan mata dan menggigit bibir. Tak lama, suara Rosita makin mengecil. Sayup-sayup masih kudengar ucapan, “Sudah, jangan menangis,” kemudian hilang sama sekali. Ketika aku membuka mata, ‘Si Kaki Prada’ sudah tidak ada.

Bila atasan marah, maka tidak ada yang bisa dilakukan selain bekerja keras. Aku menurut, bahkan gembira, ketika Rosita menyuruhku menginventarisasi kostum yang baru dikirim dari butik. Aku mengira, duduk bersama setumpuk busana mahal keluaran terbaru jelas lebih menyenangkan ketimbang duduk di hadapan ‘Si Muka Masam’.

Sekarang saja aku sudah larut dalam keindahan sepotong kebaya. Aku mengelus sambil terheran-heran. Aku menyangka semua kebaya seperti milik nenekku, berbahan kasar dan melecetkan punggung. Ternyata tidak. Modifikasi kebaya putih ini benar-benar istimewa. Detail minimalis, hanya bordir halus dan motif bunga-bunga tulip, menampilkan dramatis paduan Barat dan Timur. Wah, kapan aku bisa bergaya dengan kebaya ini? Aku bertanya dalam hati, seraya mematut diri di depan kaca.
Aha! Kini, aku berkhayal sedang berdiri anggun di tengah pesta perkawinan. Ho... ho... pasti! Aku pasti akan menjauh dari pria-pria yang berjalan sambil menenteng segelas champagne. Aku khawatir mereka sengaja menubruk dan menumpahkan isinya agar bisa menyapaku. Itu adegan slapstick di film-film tahun ‘90-an. Iya, ‘kan?

“Yes!” aku berbisik gembira, seraya berputar di depan kaca.

Oh, tidak! Mataku terbelalak ketika melihat Rosita telah berdiri di depan pintu. Astaga, atasanku ternyata seperti udara. Ia ada di mana-mana. Sekarang Rosita melenggang ke arahku. Wajahnya asam, lebih asam dari jus jeruk tanpa gula. Kenapa? Kesalahan apa lagi yang aku buat? Maksudku, tidak bolehkah sedikit menghayati profesi dengan cara seperti ini?

“Nola,” tegur Rosita, kaku. “Tugasmu sudah selesai?”

Aku gelagapan. “Hmmm... hampir, tinggal sedikit lagi,” jawabku, sambil menenangkan diri.

Aku melangkah ke tempat dudukku. Saat menatap layar monitor, aku terpana. Ternyata, aku baru memasukkan lima baju dalam tabel, belum termasuk kebaya di tanganku. Aneh, jadi selama ini aku ke mana saja? Aku membatin sambil menatap setumpuk kostum di depanku. Aku mengalihkan pandangan ke arah atasanku. Ternyata, ia melangkah ke belakang kursiku. Aku makin gugup.

Kini, aku mengetik dengan perasaan panik. ‘Nomor: 6, Jenis: Si Bunga Tulip, Koleksi: Sinta Boutique.

“Nola! Dua jam baru dapat enam?!” Rosita menjerit nyaring di belakang punggungku. “Ini apa? Kok, Si Bunga Tulip, sih?!”

Aku menggigil ketakutan.

Untunglah, pada saat-saat genting itu, datang sang penyelamat. Pintu dibuka dari luar dan seorang pria masuk. Wajah Rosita berubah sumringah ketika menyambut kehadirannya. Ia melangkah dari mejaku dengan mata berbinar-binar. Aku tersenyum. Lega luar biasa.

“Hai, apa kabar?” Rosita menyapa akrab. “Kok, lama tidak kelihatan? Sibuk, ya? Kemarin aku telepon mailbox terus. Tadi pagi juga.”

Pria itu mengangguk. Tersenyum. “Ya, namanya juga bikin sinetron kejar tayang, Ros. Seperti tidak tahu saja,” sahutnya. “Aku sedang menulis skenario baru. Mau minta tolong, bisa?”

“Minta tolong apa?” Rosita balik bertanya. “Yuk, ngobrol di ruanganku saja.”

Rosita melenggang dan pria itu membuntuti di belakangnya. Ketika melintas di samping meja, pria itu melirikku. Dan, pada saat yang sama, aku juga tengah menatap ke arahnya. Sesaat aku terpana. Ya, ampun, orang ini siapa, ya? Rasanya, aku pernah mengenal wajah ini. Tapi, di mana? Aku ingin ia melirik sekali lagi. Dan, benar, sebelum masuk ke ruang kerja Rosita, ia melirik sekali lagi.

Astaga! Aku ingat sekarang. Dia... Colin Farrell! Pantas, aku merasa begitu akrab. Tapi, benarkah dia si Jim Street dalam film SWAT itu? Pikirku, mana ada bintang Hollywood keluyuran di rumah produksi sinetron? Ah, yang benar saja! Aku buru-buru menepis lamunanku.

Soal tampan, rasanya aku tidak menyesal mengakuinya. Perpaduan dagu biru dan pipi halus, membuat wajahnya begitu menggemaskan. Alis tebalnya melengkung sempurna, seperti dilukis dengan penggaris busur. Juga matanya. Ya, ampun, begitu hitam, lebih hitam dari air Kali Ciliwung. Dan, rambutnya?

Oh, tolong, kenapa aku jadi gugup begini? Maksudku, dia kan cuma melirik. Memang, sih, melirik dua kali, tapi kan tidak dengan isyarat yang ‘mengundang’. Yah, misalnya, mata mengerling sebelah, lidah membasahi bibir, atau gerakan apa pun yang membuat aku punya alasan logis untuk bertingkah seperti ini. Lalu, ada apa denganku?

Sewaktu aku masuk kamar, kulihat Ruth sedang membaca novel. Ia tampak begitu khusyuk, sampai-sampai aku mengira ia tengah membaca kitab suci. Ruth menoleh sekilas ke arahku. “Kok, pulang malam? Lembur, ya?” ia bertanya, sambil terus membaca.

“Gara-gara Mbak Rosi!” ucapku kesal. “Sialan, sialan. Bayangkan Ruth, aku disuruh inventarisasi segudang kostum!”

“O, ya? Siapa Mbak Rosi?” Ruth membalik halaman berikutnya.

“Atasanku! Orangnya payah! Galaknya bukan main! Cerewetnya minta ampun! Rasanya, aku sudah tidak tahan lagi,” gerutuku, sambil duduk bersila di sebelahnya. “Ruth, besok aku mau keluar.”

Aku mengira Biru-nya Fira Basuki lebih penting ketimbang penderitaanku. Perkiraanku ternyata keliru. Ruth meletakkan novel itu di atas ranjang dan menatapku tak percaya.

“Hah? Keluar?!” ia berseru. “Baru kerja seminggu sudah mau keluar?!”

Aku mengangguk pelan. “Aku mau cari kerja di tempat lain saja.”

Ruth geleng-geleng kepala. “Nola, Nola, kamu kenapa, sih? Atasan galak dan bawel itu biasa,” hiburnya. “Karier di tempat kerjamu bagus, di sana kamu bisa belajar banyak.”

“Tapi, Ruth, pekerjaanku persis pelayan toko!” sahutku, kesal. “Seharian aku cuma memilih kostum, memasang label, kostum lagi, label lagi, lagi, lagi! Siapa yang tahan?!”

Ruth tersenyum dan berkata lembut, “Nola, jangan menyepelekan arti sebuah pekerjaan. Apalagi, posisimu baru trainee, ‘kan? Ya, anggap saja itu bagian dari proses belajarmu.”

“Hah! Belajar apa? Semua yang kulakukan selalu salah, salah, dan tidak ada yang tidak salah,” ucapku, geram. “Rosita keterlaluan, Ruth. Aku curiga, jangan-jangan dia menganggap aku musuh baru, bukan pegawai baru!”

“Nola, jangan suka memvonis begitu,” kata Ruth, sabar, lebih sabar dari nenekku. “Ya, mungkin atasanmu sedang bad mood. Barangkali, dia lagi punya masalah.”

Astaga, benarkah? Kali ini aku setuju pendapatnya. Ya, Ruth benar! Rosita pasti tengah menanggung masalah besar. Apalagi, aku dengar ia baru putus dari kekasihnya. Pikirku, Rosita panik memikirkan statusnya yang masih lajang pada usia 37 tahun. Apalagi, kata temanku Rina, Rosita ingin anak-anaknya besok memanggil ‘Mama’, bukan ‘Nenek’.

Aku sadar sekarang. Aku terlalu positive thinking pada orang yang salah. Betapapun, selama ini aku mengira atasanku sangat profesional, pintar membedakan masalah kantor dan problem cinta. Ha...ha...ha... ternyata?

“Lho, kok, malah nyengir, sih?” Ruth menatap curiga dan berkata, “Nola, tapi bisa jadi kamu memang salah. Kamu juga harus introspeksi.”

“Biar adil, dua-duanya harus introspeksi. Iya, kan, Ruth?”

Ruth tertawa sambil meraih novelnya. “Tapi, jangan menyuruh atasan introspeksi kalau kamu baru kerja seminggu!”

“Ya, iyalah. Gila apa? Aku kan tahu siapa dia,” sahutku dengan perasaan teraniaya.

“Nah, memvonis lagi....” Ruth menatapku, lalu melanjutkan ucapannya, “Tidak baik begitu, Nola. Kamu merasa tahu, padahal bisa jadi kamu tidak benar-benar tahu.”

“Ya, Mama Ruth!” sahutku, tetap dengan nada tak rela. Kulihat ia tersenyum, sebelum larut kembali pada bacaannya.

Ruth, teman sekamarku, masih saudara dekat. Ia anak Tante Mira, adik ibuku. Ruth reporter televisi. Usianya 25 tahun, tiga tahun lebih tua daripada aku. Dalam usia semuda itu Ruth sudah bisa dibilang mapan. Tempat tinggal memang masih kos, tapi setelah membeli mobil keluaran terbaru, aku tidak salah bila menganggapnya sudah mulai kaya.

Barangkali, antara aku dan Ruth memang ditakdirkan untuk selalu berbeda. Ia anak tunggal, sedangkan aku anak pertama dari tiga bersaudara. Orang tuanya tinggal di Bandung. Papa Ruth, Oom Dino, manajer bank swasta dan mamanya mengelola toko perhiasan. Orang tuaku tinggal di Semarang. Ayahku tentara, berpangkat sersan dua, dan ibuku berjualan kain di pasar kecamatan.

Orang tua Ruth sudah bebas dari kebutuhan anak. Sebaliknya, leher orang tuaku masih dicekik biaya kuliah adik-adikku, Arta dan Nila. Secara finansial, Ruth sudah tidak bergantung pada orang tua, sedangkan aku masih berharap uluran tangan ayah dan ibuku. Beda jauh, bukan?

Tiba-tiba Ruth menoleh dan mengganggu lamunanku. “Tadi ibumu telepon.”

“O, ya? Ibu bilang apa?” tanyaku, semangat. Aku ingat, kemarin aku minta kiriman uang untuk membeli baju. Aku sudah tidak sabar. Rasanya, terlalu lama bila menunggu gaji pertama. Aku sudah tidak tahan lagi. Selama ini aku ke kantor memakai baju-baju bekas kuliahku dulu. Tahu sendiri, ‘kan? Warnanya itu, lho. Bukan maksudku mau kelewatan, tapi memang benar-benar sudah mulai luntur. Belum lagi modelnya, yang jelas sudah uzur.

“Ibumu pesan agar kamu hati-hati,” jawab Ruth, sambil tersenyum.

Aku mengangguk gembira. Aku mengira, ibu yang baik tidak hanya menelepon untuk mengingatkan putri sulungnya berhati-hati dan pintar menjaga diri, pasti ada yang lebih penting. Dan, tidak ada yang lebih mendesak saat ini selain kiriman uang.
“Terus? Terus, cerita apa lagi?” desakku, tak sabar. “Mmm, soal transfer?”

“Kamu sedang butuh uang, ya?” Ruth menatapku. “Memang uangmu habis?”

“Kalau untuk transportasi dan makan, sih, masih ada,” kataku, jujur.

Ruth mengernyitkan dahi. “Lalu?”

Aku menghela napas. “Ruth, aku malu memakai baju yang itu-itu terus. Lihat, kemeja putih ini kerahnya mulai kuning. Malu, ‘kan?” Aku diam sesaat, kemudian berkata pelan, “Aku perlu membeli baju.”

“Butuh, apa pingin...?” Ruth tersenyum. 

Aku paham, ia tengah menyindirku. “Butuh! Aku bisa membedakan mana kebutuhan, mana keinginan.”

“Oh, ya?” Ruth bertanya dengan nada seolah meragukan ucapanku. Memang, bedanya apa?”

“Begini, Ruth. Kebutuhan itu bersifat mengikat, simpel, dan terbatas,” jelasku, sambil tersenyum. “Sebaliknya, keinginan sangat membebaskan, kompleks, dan tidak terbatas.”

Ia diam. Air mukanya berubah serius dan pertanyaan yang keluar dari bibirnya, kukira akan makin serius. “Baik,” ucap Ruth, akhirnya. “Nah, sekarang bagaimana kamu membuat batas antara kebutuhan dan keinginan?”

Aku tergelak. “Yuhuuu, tipis, Ruth. Tipis!” seruku, setengah mencibir. “Batas antara keduanya terlalu tipis, licin, dan complicated. Makanya, siapa pun bisa semena-mena melanggar batasnya!”

“Apa? Siapa pun?”

“Ya, siapa pun, kecuali aku...,” jawabku, dengan kepercayaan diri yang teramat penuh. “Hei, kamu lagi menguji aku, ya?”

“Nah, sekarang ujian terakhirnya, kenapa beli baju jadi kebutuhan?” Ruth bertanya sambil mengulum senyum. “Kenapa bukan keinginan?”

“Ya, ampun, Ruth! Kamu tahu lingkungan kerjaku, ‘kan? Kantorku itu production house. Kamu tahu? Aku bahkan tidak bisa membedakan mana teman dan mana artis!”

“Lho, memang kenapa?” Ruth bertanya heran.

“Ya... mereka semua tampil stylish! Chic! Sementara aku? Kumuh dan marginal! Mereka seolah fashion icon abad ini. Dan, aku? Ketinggalan zaman! Tragis, ‘kan?”

“Lalu?” Ruth mengernyitkan dahi, “kamu minder?”

Aku menggeleng seraya mendesah lirih, “Yah... aku bahkan sulit bergaul. Rasanya, aku selalu salah tingkah dalam hal apa pun, sampai akhirnya aku benar-benar salah.”

Ya, kukira, siapa pun tidak bisa mengobrol dengan lawan bicara yang menatap sepatu dan kerah baju. Siapa pun tidak mau seperti orang tersesat di kantor sendiri. Jadi, menurutku, penampilan itu penting karena menyangkut masalah eksistensi. Bukankah eksistensi juga kebutuhan?

Ruth menatapku dalam-dalam. Sejenak kulihat ada keraguan di wajahnya. “Mmm... Nola, kalau mau...,” Ruth diam sesaat. Ia menarik napas, sebelum melanjutkan ucapannya, “sekali lagi, ini kalau kamu mau, ya....”

Aku heran. “Iya, Ruth. Kenapa?”

“Kamu boleh memakai bajuku, terserah mau yang mana,” kata Ruth, tulus. “Nola, aku tidak bermaksud apa-apa. Kamu boleh pakai punyaku, apa saja. Terserah, apa saja....”

Aku terharu pada kebaikan hati dan ketulusan sikapnya. Aku mengira, Ruth ingin mengingatkan aku agar tidak boros. Paling tidak, sebelum memiliki gaji sendiri. Hanya, sayangnya, aku tidak bisa memakai baju milik orang lain. Bila memakai baju orang lain, rasanya semua orang akan mengadili penampilanku. Aku bahkan tidak bisa, meski hanya sekadar membayangkan seperti apa rasanya.

“Oke, Ruth, terima kasih.”

Ruth menyisir rambut dengan sepuluh jarinya. Pandangan mata dan senyumnya terlihat aneh. Hidung dan dahinya juga berkerut-kerut. Aku khawatir, jangan-jangan kata ‘oke’ tadi kuucapkan dengan nada kecewa.

“Iya, besok aku pinjam bajumu.” Kali ini kuucapkan dengan nada lebih meyakinkan, ditambah mengangguk tiga kali.
Ruth menghela napas. “Kamu benar mau beli baju?” tanyanya.

Aku mengangguk buru-buru. “Dan sepatu,” sahutku cepat. “Ruth, Ibu belum transfer, ya?”

“Ibumu baru bisa transfer besok.”

“Benar, Ruth?” tanyaku, senang.

Ruth mengangguk. Tersenyum. Aku tertawa sambil melompat bangun. Aku meraih buku bank di rak, di sela barisan novel koleksi Ruth. Saat mengintip jumlah saldo, aku seakan sedang berharap keajaiban. Ternyata, tidak terjadi apa-apa. Angka yang tertera masih sama, Rp213.698! Total kekayaan yang menyedihkan. Betapa tidak? Dengan uang sejumlah ini, aku bahkan tidak bisa membeli pakaian dalam hitam berenda-renda, seperti milik Ruth.

Diam-diam aku berharap ibuku mengirim uang sedikit lebih dari yang kuminta. Tentu saja, idealnya aku memiliki lima pasang busana kantor, sehingga bisa ganti setiap hari. Tapi, kalau tidak cukup, tiga pasang juga boleh. Pikirku, semua itu hanya perkara kemampuan memadukan busana belaka. Tapi, sebenarnya aku juga membutuhkan sepatu. Hmmm, asyiknya sepatu dulu atau parfum dulu, ya? Aku menimbang-nimbang sejenak.

Parfum, parfum saja!

Ooops. Parfum itu termasuk kebutuhan apa keinginan, sih? Sewaktu teringat Willy, aku langsung memutuskan betapa parfum lebih daripada sekadar kebutuhan!

Sebenarnya Willy lumayan menawan, kecuali hidung dan bibirnya. Tetap saja jahat dalam pose apa pun. Tulang pipi yang tegas membuat ia tampak macho. Hanya, kesan jantan langsung lenyap ditelan bulu mata dan gaya bicaranya. Bulu mata Willy kelewat lentik, sedangkan gaya bicaranya begitu kemayu.

Willy memang feminin. Jabatannya di kantor sebagai konsultan make up artist. Tak mengherankan, pemahaman Willy tentang dunia kecantikan begitu luas. Ia hebat, pikirku, setara dengan selusin majalah kecantikan digabung jadi satu.

Dalam berbagai hal, sebenarnya Willy teman yang menyenangkan, kecuali, ya, itu tadi: hidung dan bibirnya! Hidung Willy sensitif, lebih tajam daripada anjing pelacak peliharaan Polda, sementara mulutnya selicin sabun. Ia bisa menebak merek parfum dari jarak sepuluh meter dan pada saat yang sama mulutnya menjerit tak keruan.

“Oh, Sayang, kamu pakai Kenzo?! Wah... segar sekali! Oh, Honey, ya, ampun, Helmut Lang? Astaga, Bvlgari? Aih... aih... ini Calvin Klein, ‘kan? Christian Dior?” Aku tidak ingat seluruhnya, tapi seperti itulah ocehan Willy setiap hari.

Aku percaya, wanita-wanita charming di kantorku diam-diam menikmati kehebatan Willy. Bagaimana tidak? Mereka kolektor parfum merek-merek ternama. Mereka bahkan tidak akan berhenti mondar-mandir sebelum Willy menyebut mereknya. Aku mengira, makin Willy histeris, makin naik pula gengsi pemakainya.

Malangnya, aku tidak mengoleksi aneka parfum seperti mereka. Aku hanya memakai parfum murah dan tak ternama. Jadi, pada saat berkenalan di lobi, tiga hari yang lalu, Willy tidak menjerit seperti biasa. Ia malah melotot seperti habis mencium aroma paling aneh di kantor ini.

“Ih... Nola!” Willy menjerit latah, lengkap dengan gaya genitnya. “Ini aroma apaan, sih?!”

Tentu saja, para wanita yang ada di lobi melirik sambil tersenyum. Aku melihat Anita dan Yuli, dua-duanya resepsionis, saling berpandangan dengan bibir sama-sama menganga. Aku pura-pura tertawa, meski sebenarnya mataku panas dan berkaca-kaca. Sejak saat itu aku menjuluki Willy ‘Si Hidung Sialan’ dan ia balas menyebutku ‘Nona Parfum Biasa’.

Pagi ini kulihat Willy tengah berdiri di dalam lift dan, sialnya, aku sudah tidak bisa menghindar lagi. Aku makin gugup ketika melihat pria yang berdiri di sebelah Willy. Oh, tolong! Pria idolaku juga ada di sana.

“Nona, ayo, dong, cepat sedikit kenapa, sih?!” Willy melambai, gemulai.

Nah, kan, telinga siapa yang tak panas? Willy terus memanggilku Nona, bukan Nola! Sebentar lagi ia akan mengendus-endus, tercengang, menjerit dan merekomendasikan seribu satu merek parfum yang dianggapnya lebih sensasional.

“Hai, Wil,” aku menyapa, sambil melangkah masuk ke lift. Dari jarak satu meter, kulihat hidung Willy mulai bergerak-gerak. Bola matanya berputar-putar. Dan....

“Belum ganti juga, ya!” ia berseru, sambil menatapku, prihatin. “Aduh... kamu bandel amat, sih?”

Pria di sebelah Willy bertanya heran, “Ada apa, sih? Kok, heboh begitu?”

Willy tak menjawab. Ia memencet-mencet tombol, pintu tertutup dan lift bergerak naik. Ia berbalik memandangku. “Nona, kamu sudah kenal dia?” Willy menoleh laki-laki di sebelahnya.

Dadaku berdesir pelan sewaktu aku menatap pria di sebelah Willy. Fiuh! Aku hampir menyodorkan tangan lebih dulu. Beruntung, aku tidak benar-benar melakukannya. Aku tidak mau dianggap kelewat agresif. Jadi, aku hanya memanah hatinya dengan senyum paling manis yang pernah kumiliki dan... ya, Tuhan, dia membalas senyumku!

Ia mengulurkan tangannya. “Caesar....”

“Nola...,” ucapku, sambil menggenggam tangannya.

“Kerja di sini sudah berapa lama? Sebulan sudah ada?”

“Belum, baru seminggu lebih. Masih magang,” jawabku. “Caesar? Sudah lama?”

“Lumayan, sekitar dua tahun.”

“Dia di divisi script,” tanpa diminta, Willy ikut menyela. Ia menjelaskan kepadaku, seolah-olah dirinya Caesar. Sambil melirik ke arah Caesar, Willy berkata, “Dia penulis skenario di sini.”

Tak lama, lift berhenti di lantai tiga. Pintu terbuka. Caesar menoleh ke arahku dan Willy. “Aku duluan, ya,” ia berpamitan. Aku mengangguk. Caesar bergegas keluar. Tak lama pintu tertutup dan lift kembali bergerak naik.

Dalam hati aku menyesal. Pikirku, kenapa yang keluar lebih dulu justru Caesar? Coba kalau posisinya dibalik, yang keluar Willy, kejadiannya pasti lebih indah. Syukur-syukur liftnya macet, pasti akan lebih seru lagi.

“Nona, senang kerja bareng Rosita?” tanya Willy, memecah kesunyian.

Apa? Senang? Aku kaget mendengar pertanyaan Willy. “Ya... senang. Dia baik, kok,” sahutku. Padahal, dalam hati aku berkata sebaliknya. Tentu. Aku tidak mau mengeluhkan atasanku yang terlalu cerewet, selalu masam, dan supergalak pada semua orang. Salah-salah, aku bisa dianggap doyan bergosip. Gosip bisa dimulai dari pertanyaan seperti tadi. Maksudku, obrolan bakal meriah bila aku balik bertanya, “Memang Mbak Rosi kenapa, Wil?”

Setelah beberapa saat terdiam, akhirnya aku tak mampu membendung keinginan untuk tidak menanyakannya. “Tapi, Wil, Mbak Rosi itu orangnya benar asyik, ‘kan?”

“Asyik apanya? Dia itu otoriter!” kata Willy, dengan bibir selancip pisau dapur. “Nona, dia juga egois.”

“Oh, ya?!” ucapku, menyembunyikan perasaan senang. Sebentar, bukan berarti aku senang Rosita otoriter dan egois. Tapi, senang karena pendapatku ternyata sama dengan Willy. Kesamaan pandangan itu pula yang membuat aku makin merasa nyaman untuk menanyakan hal-hal seru lainnya. “Mmm... Wil, katanya dia baru putus dari pacarnya, ya? Dengar-dengar kekasih baru, ya? Kok, putus, sih?”

“Rosi kan tidak bisa mencintai siapa pun....”

Aku makin penasaran. “Lho, memang kenapa?”

Sesaat Willy tampak gelisah. “Nola, jangan bilang siapa-siapa. ya,” ucapnya. serius. Aku merasa, saking seriusnya, ia rela memanggilku Nola, bukan Nona.

Aku menghela napas. “Ya, sudah, kalau tidak percaya, lebih baik jangan mengatakan apa-apa,” kataku bernada bijak dan penuh pengertian. Sesaat aku sempat terharu mendengar ucapan bijak yang tadi keluar dari bibirku. Tapi, di balik semua itu, sesungguhnya aku percaya, mulut Willy sekarang terasa panas, dan sudah tidak tahan lagi untuk membocorkan semuanya.

“Sebenarnya, cinta Rosi cuma untuk satu orang. Dia cinta mati pada satu orang,” ungkap Willy. “Mungkin, dia akan melakukan apa pun untuk mendapatkannya.”

“O, ya?! Siapa, Wil? Siapa? Siapa?” tanyaku, tak sabar.

Willy mendesah dan berkata, “Caesar....”

Aku terkejut. “Caesar?” Napasku terasa berat sewaktu melanjutkan ucapanku, “Caesar yang tadi?”

Willy mengangguk. “Memang ada berapa Caesar?”

Aku tertegun. Sesaat kurasakan seperti ada yang sedang meninju-ninju jantung di dadaku.


Ingin tampil sempurna sebagai pegawai baru, membuatnya lupa diri saat berbelanja. Bagaimana bila gajinya bulan depan habis untuk membayar utang?

alam ini aku pulang terlambat. Sehabis dari kantor, aku langsung ke mal. Makanya, aku sekarang letih. Aku ingin cuci muka, lalu tidur. Setelah meletakkan setumpuk tas belanja di atas ranjang, aku bergegas ke kamar mandi. Sial, ternyata sedang dipakai Ruth.

Aku mengetuk pintu kamar mandi. “Cepat Ruth, aku kebelet pipis....”

“Sebentar...! Hampir selesai....”

Tak lama, pintu di depanku terbuka. Ruth keluar. Tubuhnya masih dibalut kimono biru muda. Ia habis mandi. Wajahnya segar, sesegar apel dengan butir-butir air menempel di kulitnya.

“Kok, pulang malem, lembur lagi, ya?” tanya Ruth.

“Tadi sekalian ke mal,” jawabku, ringkas. Aku buru-buru masuk ke kamar mandi.

“Ah, ya? Wah, langsung shopping? Nola, aku lihat, ya...?” suara Ruth dari ruang sebelah terdengar nyaring. “Wow, gila! Nola, kamu belanja banyak sekali! Ha...ha...ha.... Blus tiga, blazer dua, celana dua, tas, sepatu, underwear! Parfum?! Heiii...! Kamu beli parfum juga...?”

Kini aku keluar dari kamar mandi dengan langkah terasa ringan. Aku tersenyum sewaktu melihat Ruth menimang-nimang parfum baruku. Pikirku, ia tentu tengah mengagumi seleraku. O, o. Tapi... Ruth itu kagum apa heran, sih?

“Nola! Kamu beli parfum juga?”

“Coba, deh, aromanya oke, ‘kan?” aku berseru riang, “fresh, beauty, and dynamic!”

Lho, Ruth, kok, malah geleng-geleng kepala. Kenapa? Aku bertanya-tanya dalam hati. Cara Ruth menatapku tampak aneh. Senyumnya juga, bukan seperti senyum, hanya menarik bibir ke kanan dan ke kiri. Itu ‘kan meringis. Kenapa?

“Wah, wah, wah...! Nola, kamu lagi kaya, ya?”

Entah aku yang capek, sensitif karena mau datang bulan, atau Ruth yang memang keterlaluan. Tapi, terus terang, aku agak terintimidasi oleh tatapan mata, senyum dan komentarnya. Maksudku, Ruth, kok, ceriwis amat, sih? Aku kan tidak harus menunggu kaya untuk sekadar beli parfum.

Aku melangkah ke tempat tidur, lalu duduk. “Ruth, Ruth, kamu pernah jadi pegawai baru?” tanyaku sabar, tapi tetap dengan nada menyindir. “Pernah Ruth?”

“Oh, iya. Tentu saja!” sahut Ruth, sinis.

Aku takjub melihat perubahan sikapnya. Ruth yang biasanya lembut, manis, dan penuh pengertian, kenapa berubah usil? Aku merasa ia ingin membangun apa, ya? Mungkin konflik. Pikirku, jangan-jangan Ruth sudah tidak menyukai aku tinggal di sini. Alasan kan bisa apa saja!

“Nah, kamu perlu semua ini, ‘kan?” aku memancing, seraya menuding seluruh belanjaanku.

Ruth menggeleng kaku. “Tidak Nola! Aku perlu lebih dari ini!” ucapnya ketus. “Sekali lagi, lebih dari ini!”

Aku lega. Ruth ternyata begitu cepat melahap umpan dan masuk dalam perangkapku. Bahkan, dengan sikap yang sombong. Coba, apa arti kata ‘lebih dari ini’ diulang dua kali? Sombong, ‘kan? Nah, kini tiba saat yang tepat untuk membungkam kecerewetannya.

“Jadi, apa bedanya?!” jeritku lantang, antara sebal dan senang.

“Jelas beda...!” sambar Ruth, tak kalah kencang. “Aku tidak langsung belanja semuanya dalam satu waktu! Aku memakai skala prioritas! Nola, waktu itu aku sangat berhitung! Sangat memilih, mana yang prioritas, mana yang bukan!”

“Tapi Ruth, ini juga prioritas! Malah, prioritas utama!” aku tak mau kalah. Aku nyaris melanjutkan ucapanku, “Dan ingat ya, aku bukan kamu dan kamu bukan aku, dan kamu sebaiknya tidak usah mengatur aku.” Huh! Untung aku mampu mengendalikan emosi. Aku tidak betul-betul mengatakannya. Aku hanya memejamkan mata, menarik napas panjang dan bertanya dalam hati, Ruth, kamu kenapa?

“Nola, lihat ini,” Ruth mengeluarkan botol parfum dari kotaknya. “Nah, kalau aku jadi kamu, aku tidak akan memasukkan dalam daftar prioritas yang harus dibeli....”

“Lho, memang kenapa?” tanyaku, jelas tak suka. Wah, pikirku, Ruth ternyata benar-benar tipe teman yang sangat pengatur!

“Lihat, parfum ini kan sama dengan punyaku,” ucap Ruth, sambil menunjuk deretan parfum di atas meja rias, “terus, kenapa kamu harus beli sendiri?”

Aku tercenung sesaat. Ya, ampun! Salah satunya ternyata benar-benar persis parfum baruku. Diam-diam aku mengakui, Ruth benar. Tanpa parfum, sebetulnya aku bisa menambah satu baju, celana, atau barang lain yang lebih penting.

“Nola, apa salahnya, sih, parfum dipakai bareng? Lagi pula, sudah jarang kupakai,” ucapnya, gemas. Ia memasukkan botol parfum ke dalam kotaknya. Ruth menatapku dan berkata, “Aku sudah bilang, ‘kan? Kamu boleh pakai punyaku. Apa saja. Itu betulan, bukan cuma basa-basi.”

Aku mulai merasa bersalah. “Ruth, di mal tadi daftar prioritas di kepalaku mendadak kacau. Entah kenapa, tiba-tiba semuanya terasa penting,” kataku, setengah menyesal. “Waktu aku membeli baju, rasanya tidak berarti apa-apa tanpa celana.”

“Terus? Sepatu juga?” Ia menatapku, tak berkedip.

Aku mengangguk. “Warna sepatuku kelihatan norak bila dipadukan dengan setelan ini,” ucapku, terdengar mirip pengakuan dosa. “Ya... terpaksa beli sepatu baru.”

“Ah, ya? Terpaksa? Tas juga? Ikat pinggang juga? Dompet juga?” Ruth bertanya, layaknya polisi yang sedang menginterogasi tahanan seperti dalam tayangan televisi. Sekarang tangan Ruth meraih underwear baruku. Ia mengulum senyum sambil bertanya menggoda, “Terus, kalau yang ini? Dibeli karena terpaksa juga, ya? Memang mau dipadukan sama yang mana?”

“Underwear itu kubeli gara-gara bentuknya centil. Seksi. Puas?” ucapku, geregetan. “Sudah, Ruth, jangan dibahas lagi...!”

“Terus teorimu kemarin mana?” tanya Ruth, sambil tergelak.

Aku bingung. Lupa. “Teori apa?” aku balik bertanya.

“Itu, lho, pendapatmu tentang kebutuhan versus keinginan. Batasnya benar tipis dan complicated, ya?” kata Ruth.

“Yah... hampir tidak ada batasnya,” ucapku, mengeluh. “Ruth, sekarang uangku habis....”

“Ha? Langsung habis?” Ruth menggelengkan kepala, seolah tak percaya. “Terus? Mau minta ibumu lagi? Ya, udah sana, pulang aja, jadi anak mami aja!”

“Aku mau hemat sampai dapat gaji bulan depan,” aku mendesah berat sewaktu mengatakannya. “Pokoknya, aku harus bisa hidup sampai bulan depan. Tanpa minta Ibu lagi....”

“Memang cukup?”

Terus terang, aku meragukan kemampuan finansialku bulan ini. Dalam hati aku menghitung seluruh kekayaan yang tersisa di dompet dan ATM-ku. Hasilnya, jelas tidak cukup. “Ya... harus cukup,” jawabku, pesimis.

Tadi aku memang kelewat boros. Aku terkejut sewaktu mengecek uangku. Saking kagetnya, di depan mesin ATM aku bahkan nyaris melompat mundur. Betapa tidak? Ibuku ternyata mengirim uang begitu banyak. Lima kali dari jumlah yang kuminta. Bukan main! Pikirku, ibu atau ayahku tentu tengah mendapat durian runtuh. Siapa tahu, mereka habis menjual tanah warisan milik kakek. Ya, siapa tahu, ‘kan?

Jadilah, selama tiga jam di mal, aku merasa kaya, ‘kalap’, dan nyaris membeli semuanya. Kalau mau jujur, sesungguhnya aku telah membayangkan kebaikan Ruth sejak masih berada di mal. Aku asyik belanja sambil menenangkan diri, “Nola, tenang saja, kalau mendadak miskin, ‘kan masih ada Ruth. Bisa pinjam dia.” Sekarang, ketika benar-benar jatuh miskin, ternyata aku malu untuk mengakuinya.

Yah, pikirku, Ruth kan bisa berinisiatif menawarkan pinjaman tanpa harus kuminta. Apalagi aku sudah bilang, “Ruth, sekarang uangku habis....” Bahkan, dengan penekanan khusus dan air muka memelas. Apa harus kuulangi lagi? Baiklah, aku akan mencoba sekali lagi.

“Nola, kamu tidak bisa bergantung pada orang lain,” ucap Ruth, memusnahkan harapanku. “Mulai sekarang kamu harus belajar mandiri....”

Oh, sial. Benarkah Ruth sedang menyiksaku? Coba renungkan, lalu apa makna kemandirian pada situasi seperti ini? Itu kan sama dengan upaya proteksi agar aku tidak meminjam uang. Pinjam baju, parfum, atau lainnya boleh, asal jangan uang. Begitukah? Dan, apa? Tadi dia menyebut-nyebut orang lain? Ayolah Ruth, kita kan saudara, kenapa dibilang orang lain?

“Hmm. Ya. Suatu saat aku juga akan mandiri.”

“Suatu saat hanya akan menjadi suatu saat kalau tidak dimulai dari sekarang!” Ruth kembali mengomel, seolah-olah lagi kesurupan ibuku. “Aku dulu juga begitu, setiap ada kesulitan uang selalu telepon Mama, selalu minta, minta, sampai akhirnya, ya, begitu terus.”

“Tapi, aku kan baru sekali ini, Ruth.”

“Huh, dasar keras kepala! Kamu sama ibumu kan baru pisah seminggu, Sayang...,” katanya, tertawa. “Pokoknya, mulai sekarang kamu tidak boleh mengeluh lagi pada ibumu, titik!”

Aku mengangguk pasrah.

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tak lama kepala Tita, tetangga sebelah kamar, melongok dari lipatan pintu. “Nola, ada telepon dari Semarang,” katanya.

Aku bergegas keluar, ke ruang tengah, dan segera menyambar gagang telepon. Sekarang aku mendengar suara khas ibuku: cepat, to the point, dan mengeluh.

“Nola... Cah ayu... Ibu belum bisa kirim uang. Adik-adikmu juga lagi butuh untuk bayar kuliah,” jelas ibuku dari seberang sana. “Tapi, Ruth kemarin minta nomor rekeningmu. Dia janji mau transfer ke rekeningmu. Nola, Ruth jadi ngasih pinjaman, ‘kan? Nola...? Nola...?”

Aku diam. Ngilu. Perih.

Aku berdiri termangu di depan pintu kamar. Sesaat aku membayangkan semua kebaikan Ruth. Sesaat aku mengingat seluruh praduga konyol yang sempat kualamatkan kepadanya. Kini aku merasa teramat bersalah. Aku merasa ada yang mengalir. Turun satu-satu. Di pipiku. Air mataku.

Pelan-pelan aku membuka pintu. “Ruth...,” ucapku, sendu.

Ketika menoleh, Ruth tampak terperanjat. “Ya, ampun, Nolaaa...! Kamu menangis kenapa...?!” teriaknya, cemas. Ia buru-buru menghampiriku sambil berseru, “Aduh, maaf, aku tadi jahat sekali, ya...?!”

HARI INI aku begitu percaya diri. Saat keluar dari tempat kos, langkahku terasa ringan. Hatiku berbunga-bunga. Aku juga mendadak ramah dan murah senyum. Bahkan sejak dari halte, di dalam bus kota, hingga di kantor. Hebatnya lagi, sewaktu bekerja, semangat dan motivasiku begitu melambung tinggi.

Tapi, jujur saja, diam-diam aku sering mengagumi penampilanku. Aku tersenyum sambil melirik blus putih dipadu blaser dan rok warna krem milikku. Rasanya, penampilanku begitu dewasa dan profesional. Tadi pagi juga, sewaktu mengancingkan ikat pinggang, tubuhku terasa ramping dan proporsional. Tentu, namanya juga serba baru.

 
Aku geleng-geleng kepala saat mengintip sepatuku. Modelnya trendi, dengan hak tinggi dan belt kecil melingkar di pergelangan kaki. Saking bagusnya, aku bahkan sempat kaget dan mengira ini kaki artis atau model iklan, bukan kakiku sendiri. Soal tas baruku? Hah, rasanya ingin kuletakkan saja di atas meja, bukan di laci seperti biasa. Lalu tentang parfum? Sayang aku belum bertemu Willy, jadi tidak bisa melihat reaksinya.

Sebenarnya, mood-ku nyaris runtuh saat menyapa Maya, staf keuangan di kantorku. Bukan apa-apa. Begitu melihat Maya, aku langsung teringat pinjaman yang harus dibayar pada Ruth. Aku ingat gaji bulan depan bakal ludes bila digunakan untuk membayar utang.

Tapi, sudahlah. Aku ingin berpikir positif. Aku tidak ingin merusak suasana hatiku. Pikirku, Indonesia yang kaya raya juga terjerat utang. Apalagi warga negara seperti aku. Toh, aku bukan konglomerat nakal yang berniat mengemplang utang, bahkan sebelum berutang. Ketika ingat itu, mood-ku segera pulih kembali.

Siang ini aku sedang menyusuri koridor menuju ke kantin. Tiba-tiba ada yang memanggilku dari belakang. Aku menoleh, ternyata idolaku, Caesar. Seketika aku merasa ada yang tengah menendang-nendang dadaku. Oh, jantungku, kenapa nakal begini?

“Hei... Nola, mau ke kantin, ya?” Caesar melangkah ke arahku. “Bareng....”

“Ayo,” sahutku, sambil mengulum senyum.

Aku menunggu sambil mengamati penampilannya. Ia terlihat dinamis, mengenakan kemeja kasual warna putih apel dengan lengan digulung setengah dan celana jins hitam.

“Kok, setengah dua baru mau makan? Sibuk?” tanya Caesar, sambil menjejeri langkahku.

“Ya, lumayan. Tadi menyiapkan kostum dua sinetron.”

“Oo...,” kata Caesar. “Eh, Rosi ke mana?”

Sebenarnya telingaku agak kurang nyaman mendengar pertanyaannya. Boleh jadi karena aku sudah mengetahui Rosita juga tergila-gila pada Caesar. Tapi, yang pasti, selama ini aku memang jarang makan siang bersama atasanku. Aku lebih sering makan dengan Rina.

Aku menggeleng. “Dari tadi tidak kelihatan. Maklum, Mbak Rosi kan sibuk sekali.”

Ketika aku dan Caesar masuk ke kantin, di dalam hanya ada lima orang. Sekarang memang sudah lewat jam makan siang, jadi tempat ini agak sepi. Sambil memesan makan, aku sempat menyapa Ninuk, staf divisi casting dan melambai pada Doni, staf promosi. Aku tidak menyapa tiga orang yang lain, dua wanita dan satu pria, yang makan di meja tengah. Pertama, aku tidak kenal, dan kedua, mereka sibuk makan dan mengobrol. Salah satunya, pria yang berkacamata, bahkan supersibuk. Lihat saja, dia makan sambil membaca koran dan menelepon.

Setelah membayar di kasir, aku melangkah ke meja yang kosong. Caesar menyeret kursi dan duduk, persis di depanku. Tak lama ia mulai menyantap pesanannya. “Senang kerja di divisi kostum?” tanya Caesar, sambil mencelupkan irisan kecil cumi goreng ke dalam saus.

Aku menyomot perkedel, lalu menggigitnya sedikit. “Ya.., cukup menarik. Di sini, aku bisa belajar banyak,” kataku, menirukan nasihat Ruth.

“Yap. Orientasi kerja akan lebih menarik kalau dianggap sebagai media belajar, jadi bukan melulu money oriented.”

Aku tersanjung. “Oo, itu pasti,” kataku, meyakinkan. “Hmmm... kalau kamu lagi nulis sinetron apa?”

“Yang lagi kejar tayang, DKS,” kata Caesar.

“Apa DKS?”

“Dara Kampus Salemba,” sahutnya.

Oups! Bukankah sinetron ini yang kemarin batal syuting gara-gara salah kostum? Wah, batinku, jangan-jangan Caesar sudah mengetahui bahwa semua itu kesalahanku.

“Suka nonton?” tanya Caesar, sambil menatapku.

Aku balas menatap matanya. Oh, tolong, mata itu begitu indah, sejuk dan hangat. Aku seperti sedang terjerat pada pusaran ketidakmengertian yang asing. Aku merasa terseret ke suatu tempat yang jauh, jauh, tapi aku selalu merindukannya.

“Nola, kamu suka DKS?” Ia menatapku. “Hei, kamu melamun...?”

Aku gelagapan. “Apa? Oh, DKS? Ya, aku suka, mengharukan,” ucapanku meluncur begitu saja.

“Kamu terharu?” Caesar terperanjat. Ia mengernyitkan dahi dan berkata, “Itu kan sinetron komedi....”

Kali ini ganti aku yang terkejut. Astaga! Kenapa aku harus memuji segala? Kenapa aku merasa perlu untuk menjadi sok tahu? Ya, ampun, apa yang harus kulakukan kalau sudah begini?

“Hmmm. Sesuatu yang sangat lucu bisa saja membuat orang terharu, iya, ‘kan?” aku berkilah, sekenanya. “Kita bisa saja terharu melihat ada orang bertingkah selucu itu.”

Caesar tersenyum. “Nola, kamu tidak lagi nyindir sinetronku slapstick, ‘kan?” tanyanya, sambil tertawa. “Memang yang bikin kamu sampai terharu begitu di episode yang mana?”

Mati aku! Caesar kan yang menulis skenarionya. Ia pasti hafal semua episode, scene by scene, bahkan dialog-dialognya. Caesar pasti paham, kapan penonton tersenyum dan kapan tertawa. Maksudku, aku tidak bisa asal sebut begitu saja.

“Hmmm, ada, kok. Itu, lho, pas episode berapa, ya?” aku balik bertanya. Aku meringis ngeri. Tolong jangan tanya DKS ditayangkan hari apa, jam berapa, dan bahkan di stasiun televisi mana. Sumpah, aku benar-benar tidak tahu! Semua ini gara-gara aku memang tidak suka menonton sinetron. “Pastinya aku lupa. Tapi ada, ‘kan?”

Caesar tersenyum menatapku. Wajahnya begitu manis, dengan tahi lalat kecil menempel di dagu, di sebelah kiri. Kini aku seperti serangga yang terjebak dalam jaring laba-laba. Makin meronta, aku makin tak berdaya. Astaga, aku grogi!

Ia meraih gelas minumannya dan meneguknya sedikit. “Kalau film drama, kamu suka?”

“Apa? Film?” tanyaku, sambil mengatur napas. “Ya, aku suka drama romantis. Kenapa?”

“Malam Minggu besok, nonton, yuk? Mau?” ajak Caesar, seraya menatapku. “Atau, sekadar makan malam juga boleh. Aku jemput kamu. Mau...?”

Hah? Aku kaget. “Nonton? Makan malam?”

Aku terkejut, dan bahkan shock. Aku lagi sibuk mengingat-ingat cerita dan artis yang membintangi sinetron DKS, tiba-tiba Caesar ‘banting setir’ ke film. Sekarang malah mengajak aku nonton dan makan malam.

“Kenapa? Kok, kaget begitu?” ucap Caesar, kalem. “Hmmm, kamu bersedia?”

Aku menyadari, Caesar terlihat sangat tenang dan percaya diri. Atas dasar itu aku menyimpulkan bahwa ia sangat profesional, terlatih dan sering melakukannya. Tapi, ketika menatap matanya, seluruh kesimpulanku runtuh seketika. Kini aku tidak memiliki bahasa terbaik selain tersipu-sipu.

“Kamu bersedia?” ia mendesakku. Tersenyum dan melanjutkan ucapannya. “Atau, aku mengajak orang yang salah, ya..?”

“Silakan artikan sendiri,” balasku, diplomatis.

Ujung kedua alis Caesar saling bertaut di pangkal hidungnya. “Artikan apanya?”

“Senyumku....”

“Bisa berarti, ya...,” katanya, terlihat ragu-ragu.

Pandangan mata Caesar berubah redup. Bibirnya terkatup. Kedua tangan saling menggenggam, lalu ditopang ke dagu.

Rasanya, ia sedang menunggu dan tidak siap untuk kecewa.

“Bisa berarti tidak, bukan?” sahutku pelan, sekadar menguji reaksinya.

“Jadi...?”

“Aku pilih jalan tengahnya,” aku memejamkan mata dan menggigit bibir. “Caesar, beri aku waktu....”

“Ssttt, Nola! Ini masih soal tawaran nonton film, ‘kan?” Suara Caesar terdengar pelan, bahkan agak berbisik, tapi membuat aku kaget dan gelagapan. Aku membuka mata dan melipat bibir.

Oh, sialan! Kenapa lamunanku begitu liar? Maksudku, dia kan hanya mengajak nonton film, bukan mengajak tunangan! Kenapa aku terprovokasi oleh ucapan, ‘kamu bersedia’ dan ‘mengajak orang yang salah’? Lalu kenapa ia menciptakan suasana seolah-olah aku harus menentukan keputusan penting? Ya, ampun! Jangan-jangan aku sendiri yang menganggap semua ini terasa penting!

“Maksudku, lihat nanti saja,” aku berkelit buru-buru, menutupi malu.

Caesar tertawa.

Aku sedang menelepon butik ketika Rina melenggang ke mejaku. Ia menenteng sebundel kertas. Rina duduk sambil menyodorkan kertas. Aku melirik, bukan pada kertas, melainkan pada jari-jari lentiknya. Kuku Rina dicat warna matte beige, tampak runcing dan manis. Sempat kuamati penampilannya. Ia tampak centil dengan baju biru muda, lengan beraksen puffy sleeve, dan dipadu celana panjang warna hitam.

Ia duduk di hadapanku. “Telepon siapa, sih? Serius amat?” tanya Rina, begitu aku meletakkan gagang telepon.

Yup, begitulah Rina. Aku hanya menelepon dan sudah dibilang serius. Tapi, jujur saja, hal itu yang membuat aku cepat akrab dengan Rina, daripada dengan enam staf yang lain. Mereka, enam staf di ruanganku itu, benar-benar serius, cekatan, dan bekerja sembilan jam sehari. Aku tidak heran ketika Rina menyebut mereka bekerja keras sampai-sampai owner perusahaan terharu melihatnya. Pada saat lain ia bilang mereka ingin menyabet ‘Pegawai Award’ kategori karyawati teladan. Tapi, sekali waktu Rina menyebut mereka ‘Pegawai Rindu Pujian’ dan pernah juga menjuluki ‘Robot-robot yang Berdandan’.

“Telepon butik, gaun pesta yang dipakai syuting kemarin harus dikembalikan sore ini. Makanya, aku lagi menunggu dari laundry,” jelasku.

“O, ya?” kata Rina. Sesaat ia diam, dan menatapku. “Nola... tadi Mbak Rosi pesan, kamu disuruh menyiapkan baju yang untuk syuting lusa. Nah, ini list-nya.”

“Sinetron apa?”

“Sinetron anak-anak.”

“Lho, biasanya yang ngurus kostum anak-anak kan kamu?” protesku. “Aku besok sudah mengurus dua sinetron, Rin. Kenapa ditambah lagi?”

Rina mengulum senyum. “Mau tahu alasannya?”

“Kenapa?” tanyaku penasaran. “Memang kenapa?”

“Kamu kemarin mencoba kebaya yang dari butik itu, ‘kan? Terus ketahuan Mbak Rosi, ‘kan?” Rina tertawa. Ia menyandarkan punggung dan berkata, “Ya... siapa tahu kamu berminat mencoba baju anak-anak....”

“Hah...!” seruku, seperti tak percaya. “Jadi, dia cerita sama kamu?”

  Ingin tampil sempurna sebagai pegawai baru, membuatnya lupa diri saat berbelanja. Bagaimana bila gajinya bulan depan habis untuk membayar utang?

Selesai makan siang, aku melangkah ke ruang divisi make up. Ketika aku masuk, di dalam sepi, hanya ada Willy. Ia duduk manis. Separuh tubuh terbenam di balik meja, setengah wajah tenggelam ditelan majalah wanita.

“Wil, kok, sepi? Yang lain ke mana?” sapaku, sambil melangkah ke mejanya.

Willy mengangkat dagu. “Sedang ke lokasi syuting,” sahutnya.

Aku menyeret kursi, lalu duduk di depan mejanya. “Wil...,“ kataku, ragu-ragu.

“Ada apa? Kok, lemas begitu?”

“Aku kemarin kepergok Mbak Rosi,” suaraku terdengar pas, antara mengeluh dan merajuk.

“Kepergok apa? Cerita yang jelas, dong!” Ia meletakkan majalah di atas meja dan mengambil posisi, siap mendengar keluhanku. Aku menceritakan seluruh kejadian kemarin, ketika ketahuan sedang bergosip bersama Rina. Setelah sempat melongo, wajah Willy berubah merah. Ia menjerit, “Ya, ampun! Mati aku! Jadi, Rosi tahu semua?”

“Dia muncul begitu saja, Wil. Tiba-tiba dia sudah berdiri di depan pintu.”

“Ketika Rosi masuk, kalian sampai nggak tahu?” tanya Willy, sambil geleng-geleng kepala.

“Itulah, Wil! Aku juga heran. Jangan-jangan, sepatu Mbak Rosi sengaja dilapisi karet,” ucapku, sambil cemberut. “Dia juga salah, sudah tahu sedang digosipin, kok, malah nguping.”

“Ih... dasar! Pasti karena keasyikan bergosip.” Willy menggelengkan kepala. “Ya, ampun, Nona, kamu merusak hubungan antara aku dan Rosi. Aku jadi tidak enak, ‘kan?”

“Maaf, Wil,” kataku, merasa bersalah.

“Ini serius, Nona!” ucap Willy. “Di kantor seharusnya kamu bisa bersikap profesional! Bukan malah jadi ‘Si Bigos’!”

Wow, profesional? ‘Si Bigos’? Mulut Willy tampak hebat saat mengatakannya. Maksudku, semua itu omong kosong. Ia tidak konsisten. Bibirnya juga tajam saat bergosip tentang Rosita. Lalu, kenapa sekarang menyudutkan aku? Tapi, harusnya aku tidak perlu heran. Willy bahkan tidak konsisten dan mengingkari jenis kelamin sendiri, apalagi soal sikap.

“Hmm, Nona, posisimu dalam bahaya.”

“Bahaya?” tanyaku.

“Ya, apalagi kalau sudah menyangkut masalah kebiasaan,” Willy mencibir. “Nona, sebaiknya kamu siap-siap....”

“Siap-siap bagaimana?” aku mendongak, tak berkedip. “Kontrak kerjaku dihentikan? Dipecat?”

“Ya, dan bakal dipecat dari kantor mana pun!”

“Hah? Yang benar saja, Willy. Aku hanya kepergok bergosip, masa risikonya separah itu?”

“Kelihatannya sepele, ‘kan?” ucap Willy, dengan nada sungguh-sungguh.

“Tapi, jangan salah. Hobi bergosip bisa jadi cermin kepribadian. Mungkin, berhubungan dengan profesionalisme.”

“Maksudmu?” Aku jelas merasa risi. “Orang yang suka bergosip identik dengan tidak profesional, begitu?”

“Harus ada polling untuk memastikannya. Tapi, menurut Willy, sih, iya,” ujarnya, ragu-ragu. “Lain ceritanya kalau kamu itu presenter gosip!”

“Lalu, dasarmu apa, Wil?” tanyaku, agak tersinggung.

“Pengalaman!” ucapnya, sambil mengangguk. “Willy kan sering merias artis. Nah, sambil dirias, beberapa dari mereka senang banget bergosip. Soal inilah, itulah, pokoknya macam-macam.”

“Terus?”

“Ya, padahal dia sendiri yang paling nggak becus. Doyan telat syuting, nggak hafal skenario, pokoknya nggak serius, dan nggak profesional.”

Aku tersenyum geli melihat Willy. Ia bicara sambil menggerakkan tangannya ke mana-mana, persis penyanyi rap yang sedang unjuk gigi.

“Itu tidak cukup untuk membuat kesimpulan, Willy.”

“Willy bukan menyimpulkan,” ucapnya, tak suka. “Cuma takut kamu akan terjebak pada hal yang sama. Apalagi, kamu pegawai baru.”

Aku menghela napas dan merenungi kata-katanya. “Ya. Oke, oke, aku salah. Aku selalu salah. Aku minta maaf.”

“Minta maafnya bukan pada Willy, tapi pada Rosi.” Willy diam sesaat. Ia mengusap-usap kuku telunjuknya sambil berkata, “Pasti Rosi marah besar, ‘kan?”

Aku menggeleng. “Aku cuma dipanggil ke ruangannya,” jawabku.

“Terus, Rosi ngomel apa saja?”

Aku menggeleng lagi. “Aku cuma disuruh duduk.”

“Cuma duduk?” Willy menatapku heran. “Tidak mungkin!”

“Betul, Wil. Aku dan Mbak Rosi duduk berhadapan muka begini. Tapi, dia diam saja. Jadi, aku diam juga....”

“Terus? Rosi ngomong apa saja?”

“Tidak, dia tidak bilang apa-apa. Dia cuma mengatakan begini...,” aku mencoba mengingat-ingat ucapan Rosita kemarin malam. “Saya ada, kamu diam. Saya tidak ada, kamu bicara....”

“Yang benar? Masa cuma bilang begitu?” Willy tampak heran.

Aku mengangguk sungguh-sungguh. “Iya, tapi dia baru bilang begitu setelah duduk diam tiga jam!”

Willy tersenyum. “Rasain! Makanya, jangan suka ikut campur privacy orang lain,” ujarnya.

Sejenak Willy mencondongkan badannya ke arahku. Hidungnya mengendus-endus. Bola matanya mulai genit. Nah, ini dia. Aku bahkan telah menunggu sejak tadi. Aku tersenyum seraya menghirup aroma parfumku. Ia geleng-geleng kepala. Pikirku, sebentar lagi Willy bakal histeris. Sayang, harusnya Willy menjerit di lobi, bukan di tempat sesunyi ini. Aku terus menunggu. Tapi, Willy tetap membisu.

“Bukan ‘Nona Parfum Biasa’ lagi, ‘kan?” tanyaku, sambil mengangkat dagu. Astaga, kenapa justru aku yang berkomentar?
Willy menggeleng. “Bukan! Tapi, ‘Nona Nyinyir’!”

Aku mengumpat dalam hati. Suara Willy terdengar merdu dan bersahabat. Kini, aku merasa lebih karib ketimbang sebelumnya. Dari awal aku memang sudah menganggap Willy sebagai teman yang baik. Sekarang, aku akan membuktikan kebenarannya.

“Hmm, Wil...,” kataku, pelan dan hati-hati. “Aku boleh tanya?”

“Soal apa?”

“Caesar,” kataku, lirih, nyaris tak terdengar oleh siapa pun.

“Apa? Caesar?”

Aku mengangguk.

Willy tersenyum. Ia menatapku, prihatin. “Nah, mau bergosip lagi, ‘kan? Dasar!”

Ia melangkah ke arahku, lalu duduk di lengan kursi sebelah kiri. Tak lama, tangan kanannya meraih pundakku. Kalau bukan Willy, tentu aku risi. Tapi, ini Willy. Maksudku, ‘separuh’ dari Willy kan kaumku, wanita. Bedanya, ia tidak memakai pembalut, seperti aku sekarang.

“Ya, ampun, Nona! Ih, genit! Kamu naksir dia, ya?!” Willy berseru sambil menjitak lembut kepalaku. “Kok, jadi salah tingkah begitu?”

Aku mengulum senyum. “Aku naksir? Hmm, mungkin...,” kataku, sambil tersipu malu. “Willy, jangan cerita pada yang lain, ya.”

Ia manggut-manggut. “Tapi, Nola, saran Willy cuma satu,” katanya, dengan nada menasihatiku. “Pikirkan sekali lagi, apakah kamu benar-benar menyukai Caesar.”

Lho, Willy memanggilku Nola? Aku hampir tidak menyadarinya. “Kenapa? Karena harus bersaing dengan Mbak Rosi, ‘kan?” tanyaku, gemas. “Wil, kamu pernah bilang, Mbak Rosi akan melakukan apa pun untuk menggaet Caesar. Lalu, bagaimana dengan Caesar sendiri?”

Willy menggeleng. “Caesar juga berada pada posisi yang sulit.”

“Lho, sulit kenapa?” tanyaku, bingung. “Maksudmu, Caesar sudah punya orang lain?”

Ia diam.

“Wil?”

Willy tetap bungkam.
 
Ruth melipat selimut, lalu duduk di tepi ranjang. Dari bayangan di cermin, kulihat ia menguap. Mungkin, Ruth masih mengantuk. Pekerjaannya sebagai reporter televisi memang mengharuskannya sering pulang malam. Makanya, tidak heran bila Ruth masih kusut, sementara aku sudah rapi dan wangi, seperti pagi ini.

“Kamu pulang jam berapa, Ruth?” tanyaku, sambil memulas alis.

“Jam satu. Kamu sudah pulas,” kata Ruth, sambil menggerak-gerakkan lehernya. Ia melangkah ke arahku. “Yuhuuu! Kok, rambutmu dikucir?”

“Bosan digerai terus,” kataku, sambil mengulum senyum. “Cakep, ‘kan?”

“Iya, cakep, kok,” ucap Ruth, dengan pandangan penuh pengertian dan penghiburan. Ia mengulum senyum sewaktu melanjutkan ucapannya, “Lehermu jadi kelihatan jenjang. Tulang pipimu jadi tampak tinggi.”

“Itu maksudku, Ruth. Sekali-sekali tampil beda, tidak apa-apa, ‘kan?” Aku diam sesaat, lalu melirik lewat cermin. Lho, kulihat ia malah bengong. “Kenapa, Ruth? Kelihatan lucu, ya? Malah tampak tua, ya?”

Seketika Ruth tertawa. “Ha... ha... ha... aku tahu! Aku tahu!” ia menjerit sambil melompat-lompat seperti bola basket. “Hmm, Nola, kamu sedang....”

“Sedang apa?” aku menyela. “Sedang apa, Ruth?”

“Sedang jatuh cinta! Iya, ‘kan?” ucap Ruth, yakin.

“Gara-gara ganti gaya rambut terus dibilang jatuh cinta?” aku balik bertanya, sambil tertawa. “Jangan konyol, Ruth!”

“Bukan, bukan itu.” Ia menggeleng cepat. “Tadi malam kamu mengigau.”

“Hah?!” aku berteriak kaget. Pensil alisku jatuh, menggelinding, dan baru berhenti setelah menabrak kaki meja. “Ruth, yang benar?”

“Hmm, iya! Kemarin malam, kamu tiba-tiba menyanyikan lagu Semusim-nya Marcel. Aku bangun gara-gara kaget. Kukira ada yang mencekik lehermu!”

“Ruth! Masa iya, sih?” ucapku, tak percaya.

“Kapan aku pernah bohong, Nola?” Ruth balik bertanya.

“Hi... hi... hi...,” aku meringis, tertawa menahan malu. “Terus, kalau tadi malam, aku nyanyi apa?”

“Bukan nyanyi,” sahut Ruth. Ia balik bertanya, “Nola, kamu mimpi apa, sih?”

“Aku tidak mimpi apa-apa. Memang kenapa?” tanyaku, penasaran. “Ruth, aku mengigau apa?”

“Wuih... syeeraammm!” ia tersenyum, meledekku.

Aku masih tak paham. “Seram? Horor begitu?” desakku.

“Ha... ha... ha... bukan horor, tapi bikin hor...,” bibir Ruth membentuk huruf ‘O’, lalu meringis. “Aku sedang baca novel sampai tidak bisa konsentrasi. Ya, sudah, sekalian saja pasang lampu remang-remang. Lho, kok, malah kepingin....”

“Ruth, kepingin apa?” Aku melotot.

“Hmm, kamu mengigau begini....” Ruth setengah memejamkan mata, lalu menggigit bibir, memain-mainkan lidahnya, dan mengerang, “Hmm... hmm... Ya, kira-kira begitulah. Terus, begini juga....”

“Stop, Ruth!” Aku mencubit pipi Ruth untuk menghentikan ulah dan erangan nakalnya. “Ya, ampun! Kamu nakal sekali!”
“Lho, pipiku yang dicubit, kok, yang merah pipimu?” ia terus menggoda.

“Astaga, Ruth, kamu liar! Pasti gara-gara sering liputan untuk program tayangan malammu itu, ya?” kataku, gemas. “Apa namanya, Ruth? Sensualita?”

“Seksualita. Seks dan Realita,” jelas Ruth.

“Ya, ya, gara-gara kamu sering meliput gaya hidup malam, sekarang kamu jadi seperti mereka.” Aku pura-pura ketakutan. “Oh, tolong, teman sekamarku ternyata lesbi.”

“Sialan! Nola, andaikan aku benar lesbi, aku tidak akan memilih wanita narsis dan kekanak-kanakan seperti kamu untuk menjadi pasangan hidupku,” Ruth berkata sambil tertawa. “Omong-omong, kamu memimpikan siapa, sih? Kok, erotis begitu?”

“Siapa?” aku balik bertanya. “Memang aku mengigau apa?”

“Sebentar, sebentar,” kata Ruth, riang. Bola matanya tampak lincah berlari ke sana kemari. “Aha, aku ingat. Kamu menyebut Ka... Kaiii... Kaisar! Ya, betul, Kaisar!”

Seketika aku terpana. “Astaga, Ruth, aku tidak segila itu. Belakangan ini aku memang agak depresi. Tapi, masalah kantor, bukan karena pria,” kataku, sambil menggelengkan kepala. “Ruth, aku tidak segila itu! Katakan tidak, Ruth!”

“Tidak!” Ruth menggeleng. “Tidak salah. Kaisar siapa, Nola?”

Aku duduk lemas. Kebiasaanku yang satu ini entah kenapa teramat sulit dihilangkan. Saat masih di rumah dan memiliki kamar sendiri, aku boleh mengigau apa saja. Tapi, sekarang lain, aku sekamar berdua. Maksud hati ingin menyimpan rahasia, tapi malah percuma.

“Bukan Kaisar, tapi Caesar, pakai ‘C’,” jelasku, jujur.

“Namanya, kok, seperti operasi? Dia anak dokter kandungan, ya? Dia itu siapa? Pacarmu yang di Semarang? Nola, kamu sedang kangen, ya?” Ruth bertanya tanpa jeda, sampai aku bingung harus menjawab yang mana.

“Bukan, dia teman kantorku,” kataku pelan. “Ruth, aku tidak pernah punya pacar di Semarang, dan mungkin tidak akan pernah punya.”

“Lho, memang kenapa?”

“Dilarang bapakku,” kataku, pelan. “Kamu tahu sifat ayahku, ‘kan? Nah, kalau dia sudah melarang, Ibu juga akan ikut melarang!”

“Kok, bisa kompak begitu?” tanya Ruth, sambil tersenyum.

“Masalahnya bukan pada kompaknya, Ruth. Tapi, betul-betul di bawah satu komando,” ucapku, sungguh-sungguh. “Kamu tahu? Rumahku itu persis markas. Yang jadi komandan bapakku, wakilnya ibuku, dan prajuritnya aku dan adik-adikku. Kadang-kadang ibuku juga ikut jadi prajurit. Pokoknya, suka-suka Bapak. Dia kan, serdadu...!”

“Ha... ha... ha....” Ruth tertawa. “Aku tahu ayahmu tentara, tapi jangan mendramatisasi begitulah.”

“Betul, Ruth! Ayahku galak. Kolot,” kataku, sambil merengut. “Kamu tahu? Ucapan Bapak, kalau tidak menyuruh, ya melarang. Tentu saja, melarang yang kusukai dan menyuruh yang tidak kusukai.”

“Kalau pacaran, menyuruh atau melarang?” tanya Ruth.

Mendengar pertanyaan polosnya, aku berseru, “Aduh, Ruth. Ya, jelas, melarang! Aturan itu jelas-jelas menyebutkan, Nola tidak boleh berpacaran selama masih kuliah!”

“Dan, kamu patuh?” Ruth meringis.

“Aku bisa patuh, tapi aku tidak bisa melarang teman-teman kampus agar tidak naksir aku.”

“Ha... ha... ha... lalu?”

“Ya, akhirnya teman-teman yang mencoba mendekatiku langsung kabur.” Aku geleng-geleng kepala. “Bapak benar-benar tidak suka kalau aku pacaran sebelum kuliahku selesai.”

“Memangnya, kamu tidak bisa punya pacar, tanpa melibatkan Bapak?” tanya Ruth, heran.

“Tidak bisa, Ruth. Aku tidak punya rumah selain markas itu,” kataku, menggerutu. “Kalau sampai melanggar aturan Bapak, aku bisa dianggap desersi.”

“Jadi, selama ini kamu belum pernah punya pacar?” Ruth menatapku, seolah tak percaya dengan apa yang baru ditanyakannya. Air mukanya terlihat terharu sewaktu bertanya, “Nola, sekali pun belum pernah?”

Aku menggeleng getir. “Konyol, ‘kan? Selama ini aku pintar membunuh cinta! Aku mahir melupakan siapa pun. Tapi, itu dulu. Sekarang aku bingung.”

“Bingung kenapa?”

“Aku tidak sanggup melupakan orang ini. Aku tidak bisa membunuh cinta untuk pria yang satu ini.”

“Lho, kalau kamu memang suka dan dia juga suka, kenapa cinta harus dibunuh? Kriminal, tahu?” Ruth tersenyum. Ia menatapku dan bertanya penuh minat, “Orangnya cakep, ya? Kok, sampai terbawa mimpi begitu?”

“Bukan cakep lagi, persis Colin Farrell!”

Alis Ruth terangkat naik dan tertawa. “Ya, sudah, gaet saja!”

“Itulah, Ruth. Aku bingung. Atasanku juga cinta mati padanya,” keluhku. “Rosita selalu putus dengan kekasihnya karena sangat mengharapkan Caesar.”

“Ya, ampun, Nola! Kamu mau menjalin cinta segi tiga dengan atasan?” Ruth bertanya, meringis. “Kamu tahu dari mana?”

“Ada temanku yang bilang begitu. Katanya, Rosita akan melakukan apa pun untuk mendapatkan Caesar.”

“Lalu, Caesar sendiri, bagaimana?”

“Aku belum tahu, Ruth.” Aku mengulum senyum. “Tapi, rasanya, kok, mustahil kalau Caesar menginginkan Rosita.”

“Mustahil kenapa?”

“Selisih umur mereka cukup jauh, sekitar sepuluh tahunan.”

“Lho, memang kenapa?” tanya Ruth, tak mengerti. “Demi Moore yang berumur 40 tahun juga bisa menggandeng Ashton Kutcher yang 25 tahun.”

“Mereka kan selebriti, bukan orang biasa!” kataku, sambil mendengus. “Maksudku, perilaku mereka terkadang aneh.”

“Ada lagi, bukan selebriti. Orang. Teman kantorku. Dia punya suami lebih muda, beda 10 tahun juga, tapi asyik-asyik saja, tuh.”

Aku tercengang. Tapi, sejujurnya, aku agak panik mengingat kemungkinan yang kukira tidak mungkin, ternyata mungkin juga. “O, ya? Masa, sih?” tanyaku.

“Kenapa heran? Bukan cuma pria yang bisa punya istri lebih muda, ‘kan? Jelasnya, temanku itu terlihat harmonis,” kata Ruth, sambil tersenyum ceria. “Barangkali, itulah yang namanya....”

“Cinta?” aku menyela.

“Ya!”

“Tapi, rasanya, masih tetap sulit dipercaya, Ruth.” Aku menarik napas panjang dan kemudian berkata, “Kemarin, sewaktu makan siang bareng, aku grogi sampai ngomong-nya salah-salah. Apalagi, saat dia mengajakku nonton. Rasanya, tingkahku jadi norak banget!”

“Semua itu cuma perkara ‘jam terbang’, Nola. Percaya, deh, nanti nervous-mu akan hilang sendiri, kok,” jelas Ruth, tenang. Ia menatapku sambil berkata lembut, “Sebentar. Dia mengajak kamu nonton? Kapan?”

“Besok malam.”

“Secepat itu?” tanya Ruth, seolah sedang bertanya pada dirinya sendiri. “Aku, kok, khawatir. Jangan-jangan dia mau mengencani atasan sekaligus staf-stafnya....”

“Ruth, kamu terlalu khawatir,” aku pura-pura sewot. “Jangan pernah menjadi ayahku yang kedua!”

Ia menghela napas. “Bukan apa-apa, Nola,” katanya, ragu-ragu. Ia diam sesaat. Ruth menatapku seolah memahami benar siapa aku. “Aku khawatir kamu cuma terpesona oleh penampilan, lalu lupa pada akal sehatmu.”

“Ruth, tidak secepat itu,” kataku, meyakinkan. Pikirku, belum pernah menjalin cinta tidak berarti menjadi terlalu bodoh, bukan? “Ruth, aku masih punya banyak waktu untuk membuat penilaian.”

“Ya, mudah-mudahan saja penilaianmu benar,” ucap Ruth, tersenyum. “Bukan hanya karena merasa tahu, padahal kamu sebenarnya tidak tahu.”

“Ya, Mama Ruth!” Aku tersenyum sewaktu mengatakannya. Aku meraih tas di sisi meja televisi dan berpamitan. “Aku ke kantor dulu, ya.”

“Ya, hati-hati,” jawabnya. Suara Ruth masih terdengar, meski aku sudah melangkah keluar kamar, “Pokoknya, jangan jadi Miss Vonis!”

Aku benci melihat liontin di leher Rosita. Aku sudah melihat liontin itu dari minggu kemarin. Tapi, kenapa aku baru menyadarinya sekarang? Bagiku, liontin itu tidak terlalu indah. Malah, jujur saja, bentuknya kuno dan sangat provokatif, yaitu inisial ‘C’! Diam-diam aku sakit hati. ‘C’ itu siapa lagi kalau bukan Caesar! Ya, ampun. Jadi, benar?

“Nola, saya tidak dengan senang hati mengatakan ini,” ucap Rosita, mengagetkan lamunanku. “Tapi, saya harus berbuat apa?”

Aku gelagapan. “Maksud Mbak Rosi?” tanyaku, sambil berpaling dari liontin di lehernya.

“Review kamu buruk sekali!”

Aku terkejut ketika mendengar suara Rosita. Kata-katanya seperti ribuan lebah yang terbang dan mengerubuti telingaku. Sewaktu aku melirik bibir Rosita, ternyata benar-benar bibir, bukan sarang lebah. Lalu, apa yang salah? Bukan cuma berlebihan, tapi juga keterlaluan. Seolah-olah aku tidak berharga sama sekali. Aku mengira, Rosita lebih pantas ikut casting jadi figuran spesialis peran antagonis, ketimbang jadi kepala divisi kostum.

“Nola, kamu tahu berapa kerugian yang harus ditanggung perusahaan akibat kecerobohanmu?”

Aku mengangguk. Tapi, jujur saja, aku protes pada pilihan kata, ‘kecerobohan’. “Saya keliru, Mbak. Saya berjanji tidak akan mengulangi lagi,” kataku pelan, lagi-lagi sambil menghindar, tak ingin menatap liontin di lehernya.

“Tidak, Nola! Bukan mungkin, tapi pasti. Kamu tahu berapa harga kecerobohan kamu selama dua minggu ini? Ayo, kita berhitung,” ujar Rosita, sambil menyipitkan matanya. “Pertama, gara-gara kostum, dua sinetron harus batal syuting. Artinya apa? Cost untuk dua sinetron hari itu terbuang percuma. Kru, artis, dan peralatan sudah sampai di lokasi, tapi tidak bisa syuting cuma gara-gara salah kostum! Berapa angka kerugiannya? Sangat besar!”

Aku mengangguk lagi.

“Kamu masih beruntung,” ucap Rosita, mendengus. “Kenapa saya bilang untung? Dua sinetron itu masih tetap bisa tayang sesuai jadwal. Kamu tahu? Sekali tidak bisa tayang, perusahaan bisa kena klaim stasiun televisi! Berapa nilai dendanya? Sangat besar!”

Diam-diam aku selalu mengamati kebiasaan Rosita bila sedang marah. Rosita gemar melakukan tanya jawab sendiri. Tapi, ada enaknya juga, aku jadi menganggur dan tidak perlu mengatakan apa-apa.

“Kedua, kamu tidak teliti ketika mengecek baju!”

Aku mendongak kaget. “Maksud Mbak Rosi, baju yang mana?” tanyaku, bingung.

“Gaun pesta kemarin!” ucapnya, sambil melotot. “Silakan pilih, kamu tidak mengecek atau mengecek tapi serampangan!”

“Saya sudah periksa, Mbak,” kataku, lirih. “Tidak serampangan....”

“O, ya? Baik. Sudah periksa, ya?” tangan Rosita meraih secarik kertas dan menyodorkan ke arahku. “Lihat, apa yang terjadi sekarang? Kita harus membeli gaun pesta itu gara-gara kancingnya ada yang lepas! Nah, ini surat klaim dari butik. Inikah yang dimaksud sudah periksa?”

Aku akan membuka mulut, tapi Rosita buru-buru menyodorkan dua lembar kertas lain ke depan hidungku. “Ini surat pernyataan bahwa busana itu dikembalikan ke sini dalam kondisi baik. Nah, ini yang dari lokasi. Ini yang dari laundry. Dua-duanya menyatakan, gaun itu kembali tanpa cacat! Nah, siapa yang tanda tangan?”

Aku ingat gaun pesta ini dikembalikan dari laundry ketika aku mengobrol dengan Rina. Kulihat, seragam kurir laundry itu begitu bersih, jadi aku menyimpulkan bahwa pekerjaannya juga bersih. Maksudku, mereka profesional untuk urusan mencuci baju. Astaga, ternyata?

Kini aku diam. Aku menunggu Rosita menjawab pertanyaannya sendiri. Tapi, lama tidak terdengar suaranya. Ruangan menjadi hening.

Akhirnya, ia kembali bertanya, “Siapa yang tanda tangan?”

Ternyata, kali ini Rosita benar-benar membutuhkan jawaban. “Saya, Mbak,” kataku, gugup.

“Nah, siapa yang harus disalahkan kalau sudah begini? Kita bahkan tidak tahu, kancing itu lepas di lokasi syuting, di laundry, atau justru karena kecerobohanmu!” Rosita kulihat benar-benar akan makin lepas kendali. “Tapi, sudahlah....”

Ia menyandarkan punggung dan mengembuskan napas panjang. Aku ikut menghela napas, lega. Kukira Rosita sudah puas menumpahkan kemarahannya. Aku bahkan nyaris bersiap kembali ke mejaku.

“Nola, kamu tahu? Perusahaan harus mengeluarkan biaya yang seharusnya tidak dikeluarkan. Harus membayar biaya yang seharusnya tidak dibayar,” kata Rosita, sambil duduk tegak kembali. “Kamu tahu buntut dari semua ini?”

Oh, sial! Amarah Rosita ternyata belum tuntas. Rupanya, tadi hanya break sejenak untuk mengatur napas dan sekarang sudah bugar kembali. Aku menunduk sambil menebak-nebak. Rosita pasti akan mengatakan ‘rugi’ atau ‘bangkrut’ untuk menjawab pertanyaannya sendiri.

“Overcost!”

Aku mendongak sesaat, lalu kembali menunduk. Hi... hi... hi... tebakanku ternyata keliru. Sekarang, ia pasti akan mengungkit-ungkit kesalahanku yang lain. Semua kesalahan, bahkan kesalahan kecil yang dilakukan sebelum aku bekerja di sini. Maksudku, kalau marah, Rosita benar-benar keterlaluan.

“Kamu tahu kesalahanmu yang lain?” Rosita mengangkat dagu.

Nah, betul, ‘kan? Apa kubilang? Aku menggigit bibir agar tidak terlihat meringis. Dalam situasi seperti ini, diam-diam aku merasa beruntung karena memiliki ayah pemarah. Mungkin, orang lain akan meringkuk ketakutan menghadapi atasan galak. Tapi, bagiku, tidak sama sekali. Aku sudah kebal. Kemarahan ayahku malah lebih mengerikan daripada Rosita. Kalau lagi mengumpat, pilihan kata ayahku persis lirik lagu ‘Si Rapper Bengal’, Eminem.

Kini, aku melirik wajah Rosita. Ya, ampun. Aku melihat sudah ada kerut-kerut di pipi dan di sudut kelopak matanya. Oh, iya, Rosita kan sudah hampir empat puluh tahun. Tapi, jujur saja, sebenarnya ia masih bisa terlihat cantik. Resepnya sederhana saja: tersenyum. Tersenyum. Sedikit saja! Selalu masam, ketus, dan cerewet tidak membuat Rosita makin berwibawa, tapi malah jadi mirip mama Sinchan!

“Nola, cara kerja kamu kacau! Kamu melakukan apa yang tidak perlu dilakukan dan tidak melakukan apa yang seharusnya kamu lakukan!”

Astaga, apa? Aku tadi melamun dan sekarang bingung dengan ucapan Rosita. Semuanya terdengar sama, penuh dengan kata ‘lakukan’. Sebentar, pasti ia marah gara-gara aku bergosip dengan Rina. Itu memang tidak seharusnya kulakukan. Tapi, urusan ini kan sudah selesai, ketika aku dan dia duduk diam selama tiga jam. Apa belum puas? Ini, lho, yang kukatakan tadi, atasan keterlaluan!

“Maaf, Mbak Rosi,” aku menyela. “Kalau maksud Mbak Rosi tentang saya dan Rina kemarin itu, saya benar-benar khilaf.”
“Apa? Khilaf?!” bentak Rosita, sadis. “Kamu melakukan pekerjaan yang bukan tugasmu!”

Ingin tampil sempurna sebagai pegawai baru, membuatnya lupa diri saat berbelanja. Bagaimana bila gajinya bulan depan habis untuk membayar utang?

Aku memang benar-benar ceroboh. Kemarin, sepulang dari kantor, surat peringatan itu kuselipkan di majalah wanita edisi terbaru. Tapi, sesampainya di kos, aku malah lupa. Majalah itu kuletakkan begitu saja di atas meja. Tentu saja, aku tidak berniat memamerkan surat terkutuk itu kepada siapa pun. Apa mau dikata? Pagi ini surat tersebut sudah jatuh ke tangan Ruth.

“Nola, sorry, tadi malam aku mau baca majalahmu, tapi, kok, menemukan ini,” kata Ruth. Ia mengulurkan surat itu ke tanganku. “Ini SP, ya?”

Sejenak aku menimbang-nimbang dalam hati. Sebaiknya berterus terang atau berkelit. “Tidak ada apa-apa, Ruth. Ceritanya, kemarin atasanku membuat review kerjaku selama dua minggu ini,” kataku, sambil bersikap seolah tidak ada apa-apa. “Dia bilang progress report-ku cukup bagus.”

“Kok, malah dapat SP?” tanya Ruth, tak percaya.

Aku menghela napas. “SP itu hanya untuk kesalahan prosedur yang kulakukan. Ruth, ini sangat teknis. Cuma soal oper-operan kostum, dari lokasi syuting, ke laundry, terus ke divisiku. Yah, ini bahkan cuma soal kancing,” aku berkilah, mengecilkan arti sebuah masalah. “Ruth, jangan khawatir.”

“Kok, malah kamu yang bilang jangan khawatir,” ucap Ruth, bersungut-sungut. “Harusnya kan aku!”

“Tapi, ini cuma surat peringatan,” ucapku, dengan nada seolah ingin mengatakan ‘sudahlah, tidak usah diperpanjang’.

Kemarin Rosita sebenarnya mengancam akan mengeluarkan surat peringatan kedua, ketiga, dan setelah itu surat pemecatan, bila aku tidak mengubah sikap. Tentu, aku sadar. Mulai Senin besok aku akan bersikap lebih serius dalam bekerja. Paling tidak, aku sudah berjanji pada diriku sendiri.

“Selain kesalahan kecil itu, aku juga memiliki point bagus, kok,” aku melanjutkan ucapanku, untuk meyakinkan Ruth.

“O, ya? Apa?” Ruth tersenyum.

“Mbak Rosi bilang aku cepat beradaptasi dengan teman-teman kerja yang lain, bahkan di luar divisiku sendiri,” ucapku, sambil tersenyum.

“Aku belum cerita, ya? Aku punya kabar gembira.”

“O, ya? Apa?” Mata Ruth terlihat berbinar-binar.

Aku diam sesaat. “Aku digeser dari ruang kostum,” kataku, pelan dan dramatis.

“Digeser ke mana? Kok, malah senang?”

Aku tersenyum ketika mengingat sikap Rosita kemarin. Aku baru menyadari, atasanku itu ternyata tidak seburuk penilaianku. Setelah marah dan mengomel panjang lebar, Rosita justru menawarkan posisi baru di tempat baru. Aku masih ingat kata-katanya, ‘pergeseran tercepat yang pernah ada’.

“Aku digeser ke Departemen Non Drama, menjadi asisten produser untuk tayangan baru, Fashion and Celebrity,” kataku, sambil tersenyum. “Ini lebih menarik, Ruth. Aku tidak harus terjebak pada pekerjaan administratif yang membosankan di divisi kostum.”

Aku meneguk jus apelku. “Tapi, Ruth, aku, kok, jadi kasihan sama Mbak Rosi,” kataku, sambil meletakkan gelas. “Bukan kasihan sebenarnya, tapi tidak enak.”

“Kenapa?”

“Sepertinya, dia benar-benar mencintai Caesar!”

Selain dari ucapan Willy, aku juga teringat liontin initial ‘C’ di lehernya. Belum lagi, diam-diam aku suka mengamati cara Rosita menatap dan bersikap pada Caesar. Semua itu membuat aku yakin bahwa Rosita memang benar-benar menyukai pria idolaku, bukan hanya sebagai sahabat atau teman.

“Nola, sekali lagi, jangan jadi Miss Vonis!”

Aku menggeleng cepat. “Yang ini pasti, Ruth! Mereka pasti punya hubungan khusus!”

“Lalu, kenapa kamu jadi merasa tidak enak?” tanya Ruth.

“Caesar mengajak jalan malam ini,” ucapku, pelan.

“Jadi?”

Aku mengangguk. “Tapi, Ruth, aku tidak mau memotong jalan cinta atasanku,” kataku, lirih.

“Ya, sudah, tolak saja tawarannya,” sahut Ruth, enteng. “Gampang, ‘kan?”

“Terlalu sayang. Aku sudah lama menunggu kesempatan seperti ini....”

“Ih! Sekarang, yang logis saja, Nola. Jika Caesar memang berpacaran dengan Rosi, kenapa dia malah mengajak kamu kencan?” tanya Ruth, gemas. “Kenapa bukan mengajak atasanmu?”

“Mbak Rosi sedang pulang ke Surabaya. Dia bilang, mamanya sakit.”

Ruth hanya melongo.

Aku terkejut saat melihat jam tanganku. Ternyata, sudah pukul sembilan lewat empat puluh tujuh menit. Waktu berputar begitu cepat. Tiga jam rasanya hanya sekejap saja. Tadi, sekitar pukul tujuh malam, Caesar bertandang ke tempat kos. Lalu baru pergi sekitar pukul setengah delapan. Rencana nonton film drama romantis batal dan diganti acara makan malam. Tapi, bagiku malah menyenangkan. Kalau nonton film, aku tidak bisa duduk berhadapan seperti sekarang.

Tapi, jujur saja, sebenarnya aku agak heran. Sejak tadi Caesar lebih suka bercerita, tepatnya bertanya, tentang pekerjaan dan pengalamanku sebagai pegawai baru. Sejauh ini aku menikmati. Tentu saja, pikirku, topik apa pun jadi menarik jika diobrolkan bersama orang yang menarik.

Kulihat Caesar meraih bungkus rokok di meja, lalu menyalakan sebatang. Ia mengisap dan mengepulkan asapnya sedikit demi sedikit. Gaya Caesar tampak anggun ketika sedang merokok.

“Rosi bilang, kamu seperti burung pipit.”

“Maksudnya?” tanyaku, bingung bercampur cemas. Aku khawatir, Rosita menceritakan semua kelakuan burukku selama di kantor.

“Ya, kamu lincah. Kamu tahu burung pipit, ‘kan? Burung kecil yang lincah. Yang terbang ke sana kemari.”

Aku tergelak. “Mbak Rosi memuji aku begitu?” Dalam hati aku meragukan ucapan itu. Rosita memuji atau menyindir? Sebab, bisa saja atasanku menyindir karena aku lebih suka ‘terbang’ ke sana kemari ketimbang di ruanganku. Aku buru-buru menepis pikiran burukku, sewaktu teringat kebaikan Rosita.

Caesar mengangguk. “Tapi, Nola, kamu tahu filosofi bekerja profesional?”

Aku tersenyum. “Bukan hanya menonjolkan beauty, tapi juga harus bertindak smart,” kataku, lagi-lagi menirukan nasihat Ruth.

“Ya...,” Caesar berdehem sebentar, lalu melanjutkan ucapannya, “tapi, kalau diibaratkan burung pipit, kamu harus punya sepasang sayap.”

“Sepasang sayap?” Aku mengulum senyum. Aku mulai melamun. Dalam hati aku bertanya, beginikah cara penulis skenario merayu seorang wanita? Benarkah ia mulai romantis? Maksudku, puitis sekali. Hmm, sebentar lagi ia pasti akan mengucapkan ‘mantra’ ini: ‘Sepasang sayap itu aku dan kamu, yang hanya bisa terbang bila saling berpelukan’. Aku ingat, kalimat manis itu pernah kubaca di salah satu buku koleksi Ruth. Kalau tidak salah, kata-katanya seperti itu. Jadi, ayo, Caesar, kita ucapkan bersama-sama.

“Ya, satu sayap bernama kompetensi, sayap yang lain namanya dedikasi. Satu sayap bernama integritas dan sayap yang lain loyalitas,” ucap Caesar, seraya menatapku. “Nah, agar kariermu mulus, kamu harus bisa menjaga kedua sayap itu, jangan sampai patah sebelah.”

Astaga, aku keliru. Ternyata, Caesar masih membahas tentang karier.

“O, ya, mama Mbak Rosi katanya sedang sakit. Itu benar?” Aku memancing, sekaligus sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Mamanya Rosi memang sering sakit-sakitan. Maklumlah, sudah tua,” ucapnya, sambil membuang abu rokok ke asbak. “Makanya, belakangan ini Rosi sering bolak-balik Jakarta-Surabaya.”

“O, ya?”

“Sebenarnya, Rosi ingin mamanya tinggal di Jakarta, tapi Tante Citra lebih senang tinggal di Surabaya.”

“Siapa Tante Citra?” tanyaku, sambil menatap Caesar.

“Mamanya Rosi,” Caesar tersenyum. “Nola, Rosi sayang sekali pada mamanya. Saking sayangnya, dia selalu mengenakan liontin kuno pemberian mamanya.”

Aku terpana. “Liontin ‘C’ itu?” aku menyela, sambil meredakan degup jantungku.

“Kamu tahu, ya? Ha.. ha...ha....” Dari cara Caesar tertawa, kukira ia tengah menganggap aku senang memperhatikan aset yang ada di leher, lengan, dan jari wanita lain. Setelah tawanya mereda, Caesar melanjutkan ucapannya, “Dulu, Rosi pernah bercerita, liontin itu hadiah dari almarhum ayah Rosi pada saat mamanya ulang tahun ke-17. Rosi bilang, waktu itu mereka masih pacaran. Ayah Rosi sengaja memilih inisial ‘C’, Citra.”

“Tapi, ‘C’ bisa berarti Caesar, ‘kan?” aku menyela. “Apalagi, aku mendengar Mbak Rosi juga dekat dengan kamu.”

Mendengar ucapanku, seketika Caesar terdiam. Ia menatapku tajam. Ia menyandarkan punggung dan menghela napas. Caesar kembali duduk tegak. Sekarang wajahnya terlihat kaku. Tangannya terulur memegang tanganku.

“Kamu tahu dari mana? Siapa?” Caesar menatapku, tak berkedip. “Tidak ada yang tahu selain Rosi dan....”

Aku terkejut. Tidak menyangka reaksi Caesar berubah drastis. Aku setengah mati meredakan emosi. Bila Caesar benar-benar kekasih Rosita, tentu aku tidak bisa menerima tawaran jalan-jalan tanpa tujuan yang jelas seperti sekarang. Siapa yang mau menjadi orang ketiga? Aku tidak mau merusak hubungan orang lain, apalagi atasanku sendiri.

“Caesar, jadi semua itu benar?” tanyaku.

Ia melepaskan pegangan tangannya. Caesar menyambar tisu di depanku, lalu mengelap wajahnya. Ia terlihat panik, lebih dari yang kubayangkan sebelumnya. Diam-diam aku merasa bersalah.

“Kamu boleh tidak mengatakan apa-apa.” Aku mengangguk sambil tersenyum. “Maaf, aku cuma ingin tahu.”

Setelah lama terdiam, Caesar akhirnya berkata, “Nola, kamu benar.”

Aku kaget. “Maksudmu?”

“Rosi memang pernah dekat denganku,” jelas Caesar. “Tapi, Rosi salah menilai sikapku.”

“Salah bagaimana?”

“Aku menganggap Rosi sebagai sahabat baik, malah sudah seperti kakakku. Tapi, dia berharap lain. Makanya, aku sedih setiap mendengar Rosi putus.”

“Kamu pasti pernah memberi harapan,” kataku, menyelidik. “Kalau tidak, kenapa Mbak Rosi berbuat sekonyol itu?”

“Aku tidak pernah memberi harapan apa pun. Oke, aku kenal baik dengan Tante Citra dan semua keluarga Rosi. Tapi, tidak berarti memberi harapan, ‘kan?” sejenak Caesar diam. “Nola, kami bertetangga. Rosi tetanggaku di Surabaya.”

Diam-diam aku merasa senang. Paling tidak, mereka tidak punya ikatan apa-apa, selain kakak dan adik. Itu pun bukan dalam arti sesungguhnya. Ya, pikirku, hanya bertetangga. “Caesar, kamu tahu Mbak Rosi menyukaimu?” aku bertanya makin berani.
“Aku tahu.” Caesar tersenyum, sambil mengangguk.

“Lalu? Kamu sendiri?” desakku.

“Ya, aku tidak bisa. Selain sudah berterus terang, aku juga sudah menunjukkan banyak hal, terutama dalam bersikap. Aku malah berusaha menjaga jarak,” jelas Caesar. “Yang jelas, aku tidak pernah bermaksud menyakiti dia atau siapa pun.”

Aku makin penasaran. “Caesar, kenapa, sih, kamu tidak bisa menerima dia?” tanyaku. Aku tersenyum, melindungi kesan menyelidik yang mungkin terpancar di wajahku. “Rasanya, Mbak Rosi sangat mencintaimu.”

Caesar ikut tersenyum. “Tidak semudah itu, Nola.”

“Kenapa? Karena umur?” Aku lebih suka menebak, ketimbang bertanya.

Caesar menggeleng. Ia diam, mengisap rokok kuat-kuat, kemudian mengepulkan asapnya. “Kalau aku jujur, kamu bisa melupakan kata-kataku setelah keluar dari sini?” tanyanya.

“Maksudmu?”

“Ya, anggap saja aku tidak pernah mengatakannya.” Caesar tampak makin gelisah.

Aku mengangguk. Sekarang, aku yang merasa cemas. Kursiku terasa panas. “Kenapa? Hmm, kamu sudah punya...,” aku tidak mampu melanjutkan ucapanku.

Caesar mengangguk. “Aku sudah menikah.”

Aku nyaris menjerit ketika Caesar mengatakannya. Aku merasa ada yang hilang, separuh kesadaranku. “Caesar!” Suaraku tertahan di tenggorokan.

Ia mengangguk pelan. “Ya.”

“Mbak Rosi tahu?”

Caesar menggeleng.

“Ya, ampun, Caesar! Kamu kejam!”

Aku trenyuh membayangkan Rosita. Aku jatuh kasihan pada istri Caesar. Meski tak kukenal, kami sama-sama wanita. Mereka juga akan sakit hati bila diperlakukan seperti ini. Ya, Tuhan, Caesar benar-benar tidak punya hati!

“Nola, maaf! Aku tidak mau kamu salah pengertian, seperti atasan kamu.” Caesar menatapku, tegas. “Terus terang, aku mengajak kamu ke sini berkaitan dengan pekerjaanku!”

Aku tercenung sesaat. “Maksudmu?”

“Nola, aku sedang belajar tentang pegawai baru! Bukan hanya dengan kamu! Aku juga belajar banyak pada karyawan baru lainnya dan bahkan di perusahaan lain!”

Aku tersentak. “Apa?!”

“Aku memerlukan profil. Perlu kekayaan ide. Perlu bahan untuk menulis skenarioku.” Caesar menatapku, heran. “Aku sedang menulis skenario tentang pegawai baru untuk sinetronku. Maaf, sebenarnya aku tidak mau mengatakannya sekarang.”

Seketika aku terpaku di tempat dudukku. Jantungku seperti berhenti berdetak. Napasku mendadak sesak. Dadaku terasa meledak. Aku menggigit bibir. Aku sakit. Aku luka.

Aku hancur. Di kamar aku menangis. Aku masih terisak-isak ketika mendengar pintu diketuk dari luar. Begitu dibuka, Tita, teman satu kosku, sedang berdiri di depan pintu. Ia tampak heran melihatku.

“Nola, telepon dari Ruth.”

Aku mengangguk. Aku melangkah menuju meja telepon, di ruang tengah.

“Halo, Ruth,” ucapku, lirih. “Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa. Aku cuma ingin tahu kamu sedang di mana? Ya, sudah, aku sekarang masih liputan.” Suara Ruth terdengar riang. “Nola, asyik kencannya? Ha... ha... ha... bagaimana? Masih nervous?”

“Ruth! Jangan menggodaku. Tolong, kali ini saja, Ruth,” ucapku, memelas.

“Lho, kok, malah sedih begitu?” tanya Ruth, khawatir.

“Ruth, kamu pulang jam berapa?”

Suara Ruth terdengar khawatir. “Lho, Nola, kamu nangis?”

“Ruth, aku sendirian, aku mau cerita....”

Ruth diam sesaat. “Kamu mau ke sini? Aku sedang di kafe. Catat alamatnya.”

Aku mencatat alamat yang diberikan Ruth. “Ruth, aku gila! Ruth, Caesar menganggap aku tidak lebih dari kelinci! Aku kelinci untuk kekayaan idenya! Ruth, ini gila!”

“Nola, jangan gila sendirian. Alamatnya sudah dicatat, ‘kan? Kalau mau ke sini, naik taksi. Sesudah dari sini, kita jalan-jalan, ya?” Ruth diam sesaat, dan berkata, “Aku sudah ditunggu, nih. Ceritanya nanti ya, Sayang.”

Ibu jariku memencet-mencet remote control dan baru berhenti di stasiun televisi yang sedang menayangkan program live, Seksualita. Di layar kaca, kulihat Ruth tengah mewawancarai seorang pria. Orang tersebut berlindung di balik kacamata ala Zorro, agar tidak diketahui jati dirinya. Aku benci pengecut. Aku nyaris memindahkan channel. Tapi, astaga, aku mengenal suara ini!

“Saya menghormati teman lain yang coming out. Mereka yang memilih terbuka pada orang lain, pada lingkungannya. Saya bangga pada teman-teman yang jujur atas orientasi seksual mereka,” ucap ‘Si Kacamata Zorro’. “Tapi, saya dan pasangan saya lebih suka menjadi kaum yang oleh orang lain sering diistilahkan ‘in the closet’. Saya memilih tertutup, menjalani cinta dalam kebisuan. Tapi, kami bahagia. Ya, sangat bahagia.”

“Lalu, kapan Anda coming out? Kapan Anda berani mengatakan bahwa Anda gay?” tanya Ruth.

Si Kacamata Zorro tersenyum. “Bagi saya, coming out bukan tujuan. Jadi, jangan ditanya kapan. Ini juga bukan masalah kenapa harus berani atau kenapa harus takut? Semua ini cuma pilihan. Maksud saya, kalau dengan tertutup jauh lebih nikmat, kenapa saya harus terbuka? Agar seisi dunia tahu bahwa saya gay? Agar semua orang iri melihat kebahagiaan kami? Atau, untuk apa?”

Ruth memotong cepat. “Pengakuan, mungkin?”

“Maaf, saya tidak bermaksud sombong atau asosial. Tapi, rasanya, saya tidak membutuhkan pengakuan orang lain. Tentunya, khusus untuk wilayah yang sangat pribadi ini.” Sejenak ia diam. “Anda tahu? Tertutup seperti ini sama nikmatnya dengan ketika pertama kali saya menyadari bahwa saya gay. Karena itu, saya dan pasangan saya sepakat agar tidak seorang pun tahu. Malah dinding di kamar kami, kalau bisa, jangan sampai tahu.”

Tidak, aku tahu! Aku menjerit dalam hati. Tanpa sadar, aku sudah duduk bersila di depan televisi. Aku nyaris tak percaya. Sewaktu kamera close up ke wajah Si Kacamata Zorro, aku melihat tahi lalat kecil di dagu sebelah kiri. Aku tahu siapa dia! Ya, benar!

Ruth tersenyum. “Anda setia pada pasangan Anda?”

“Ya, kami bahkan sudah menikah. Tentu saja, menikah di sini tidak seperti yang ada dalam bayangan Anda.” Ia diam sesaat sebelum melanjutkan ucapannya. “Kami mengucapkan janji setia di antara kami dan disaksikan Tuhan.”

Aku terpana.

“Hai, Nola! Ke sini juga?”

Aku menoleh. Ternyata, Ruth memanggilku. Ia berjalan beriringan dengan cameraman menuju mobilnya. Aku setengah berlari menghampiri Ruth. “Ruth, orang tadi Caesar, ‘kan?!” aku berteriak hingga beberapa orang di sekitar tempat ini melirik ke arahku. “Aku tahu, Ruth!”

Ruth menatapku, seolah tak percaya. “Nola, tenang. Jangan lepas kontrol begitu.” Ia membuka sekaleng softdrink dan menyodorkan ke arahku. “Nah, minum.”

“Katakan, Ruth!” aku menjerit, sambil mencengkeram kaleng minuman itu kuat-kuat. “Dia Caesar, ‘kan?!”

“Nola, jangan mendesak seperti ini,” Ruth berbisik, sambil menggamit lenganku. Ia marah. “Kamu boleh minta apa saja. Tapi, tolong, jangan menyuruh aku menyebut nama narasumber yang minta dirahasiakan. Nola, ini etika profesiku.”

Setelah berpamitan dengan juru kamera, Ruth melangkah sambil menggandeng lenganku. Aku melangkah gontai. Ia membuka pintu dan masuk ke mobil. Aku masuk dan menyandar lemas di kursi depan. Ruth menatapku, tajam. Aku diam, menunduk.

Tak lama kemudian Ruth menghidupkan mesin. Ia menjalankan mobilnya perlahan menyusuri pelataran parkir. Tiba-tiba Ruth membuka jendela kaca dan melongok ke luar. “Hei! Aku duluan, ya! Have a nice weekend!” ia berteriak sambil melambaikan tangannya.

Aku menoleh. Di depan pintu kafe kulihat dua pria balas melambai. Mereka tersenyum sambil bergandengan mesra. Sejenak aku mengatur napas, sebelum menatap ke arah Ruth. “Kali ini aku tahu. Tapi, aku harus bisu.”

“Kenapa?” tanya Ruth, sambil tersenyum.

Aku menggeleng. “Ada saatnya aku diam, sekalipun aku yakin itu benar.”

Ruth tertawa sambil mencubit pipiku. Sesaat ia menginjak pedal gas. Pelan-pelan mobil melaju meninggalkan pelataran kafe. Aku menoleh sekali lagi pada pasangan pria di luar sana, Caesar dan Willy.

No comments: