12.22.2010

Selendang Merah

Ia menemukan selendang merah itu di dada Emak yang rapuh. Kedua tangan kurus terkulai ke sisi pembaringan, hendak menjangkaunya, namun tak sampai. Mata cekung Emak menatapnya hampa, seolah maut telah berkawan dengan Emak.

Ke mana tubuh sintal yang bergoyang di atas panggung diiringi gamelan? Ke mana jemari lentik yang lincah mengibaskan ujung selendang? Ke mana mata kejora yang melirik waspada, saat tangan-tangan jail pria berkeliaran menyelipkan uang ke dalam kemben? Ke mana suara merdu saat melagukan gending-gending Jawa? Ke mana kata-kata kenes yang mengundang senyum para pria? Ke mana semua itu, Emak?

Tangan kanan Emak mengulurkan selendang merah kepadanya. Jagalah ini sebagai kenangan, tatapan Emak seolah berucap begitu. Ia menerima selendang itu dan mendekap erat. Tercium aroma keringat seniwati yang semangat menjalani perannya. Dua mata Emak terpejam. Terdengar dengkur sedikit keras, lalu lenyap. Gending kesedihan mengalun pilu.

Saat itu ia merasakan darahnya mendidih, tangan mu­ngilnya gemetar, “Tak kubiarkan kau pergi dengan cara seperti ini, Emak….”

Jakarta, Maret 1998
Rindang menebarkan senyum, lalu membungkuk hormat pada penonton. Terdengar tepuk tangan dan suitan mengiringi langkah Rindang ke belakang panggung. Seorang pria berperawakan jangkung dan bermata lembut menyambutnya. Tio, pria muda yang dipacarinya sejak tiga bulan lalu.

Di samping Tio, Alia berdiri gelisah. Manajernya itu sedang sibuk memberi isyarat pada Rindang dengan beberapa kali mengedipkan mata.

“Jadi, aku bisa pergi dengan Tio, ‘kan?” tanya Rindang ringan, seraya memandang Alia penuh arti.

Alia mendengus, sambil mengeluarkan agenda dari dalam tasnya.

“Ini jadwalmu hari ini,” Alia menyodorkan agenda kepada Rindang, yang kemudian memeriksanya sekilas.

“Hmm... sekarang aku harus ke salon?”

“Ya,” jawab Alia pendek, sambil melirik Rindang tajam.

“Bagaimana kalau jadwal ke salon ditunda? Aku ingin pergi dengan Tio.” Rindang mengerling.

Tio tersenyum. “Benar, Lia, ayolah… beri waktu Rindang untuk kehidupan pribadinya.”

“Nah, benar kata Tio, aku butuh kehidupan pribadi.”

Mata Tio tampak bersinar penuh harap, sementara Alia bergerak-gerak gelisah. Bagaimana mungkin aku memberimu waktu untuk berbuat kejahatan, Rindang? Sedangkan aku menyayangimu….

“Boleh kan, Lia?” Tio mengajuk.

“Hmm… baiklah,” jawab Alia kaku.

Rindang dan Tio saling pandang. Tersenyum. Malam makin tinggi saat dua mobil berjalan berlawanan arah meninggalkan gedung tempat Rindang konser.

“Suaramu merdu sekali, Rindang. Sampai terngiang-ngiang di telingaku setiap malam,” kata Tio, menatap Rindang lembut.

Rindang membuang pandang dari tatapan Tio. Mereka makan malam di sebuah kafe romantis di pinggiran kota. Terletak di atas bukit, kafe itu membuat pengunjung kafe bisa melihat kerlip lampu di pusat kota. Rindang menyukai suasana romantis ini. Apalagi, jauh dari incaran wartawan infotainment. Tetapi, kata-kata yang baru diucapkan Tio membuat darah di urat nadinya mengalir lebih cepat.

Dulu sekali ia pernah mendengar seseorang mengatakan itu dengan suara berat. Persis suara Tio. Suaramu merdu sekali, sampai terngiang-ngiang di telingaku setiap malam….

Berapa lama ia ingin mengaburkan suara berat itu dari telinganya? Sepuluh tahun? Lima belas tahun? Ia tak bisa. Suara gerimis yang menyertai suara itu pun tak mau lenyap. Terngiang-ngiang di telinga Rindang. Dan malam ini, Tio mengucapkan kata-kata yang sama.

“Bagaimana kau bisa menyanyi begitu bagus?” tanya Tio lagi, mengalihkan mata Rindang kembali kepada Tio.
“Bagaimana, ya?” Rindang pura-pura berpikir. “Mungkin jawabannya sama seperti pertanyaan ini. Bagaimana kau bisa mendesain rumah dengan bagus?”

Tio mengangkat bahu. “Karena aku seorang arsitek.”

“Nah! Itu dia jawabannya. Kalau kau bertanya bagaimana aku bisa menyanyi dengan bagus, itu karena aku seorang penyanyi.”

“Pasti ada yang menurunkan bakat menyanyi padamu.”

Rindang pura-pura tak mendengar kata-kata Tio. Ia menyibukkan diri dengan menu makan malamnya. Tio tersenyum, meraih jemari Rindang dalam genggaman tangannya yang kokoh.

“Rindang, boleh aku mencintaimu sampai ajalku?”

Boleh saja. Memang itu yang kuinginkan….

Tio merasakan jemari Rindang membalas genggaman tangannya. Namun, Tio tak merasakan darah di urat nadi Rindang mendidih.

Hangat matahari pagi menerobos masuk melalui jendela kamar yang terbuka. Rindang menggeliat. Samar-samar ia mendengar langkah kaki menghampiri ranjangnya, lalu selimutnya ditarik dengan kasar. Rindang masih memejamkan mata dan berusaha kembali menarik selimutnya menutupi tubuh.

“Bangun, Rin!” suara Alia sedikit menghardik.

Rindang membuka matanya dengan malas.

“Ada jadwal ke mana saja hari ini?”

“Hari ini jadwalmu bicara empat mata denganku.”

“Benarkah? Jadwal yang bagus.”

Rindang memejamkan matanya kembali seraya memeluk guling. Alia duduk di sisi pembaringan.

“Apa yang kau lakukan semalam bersama Tio?”

Perlahan Rindang bangkit dan berjalan menuju wastafel. Terdengar aliran air keran dan Rindang mulai membasuh mukanya.

“Kenapa kau selalu ingin tahu?” Rindang balik bertanya. “Pekerjaanmu manajer artis, bukan psikiater.”

“Tapi, aku kakakmu, Rindang…,” suara Alia tertahan, menyiratkan kemarahan dan kekhawatiran mendalam.
Rindang mengelap mukanya dengan handuk, lalu berbalik. Matanya menatap Alia tajam.

Aku kakakmu. Alia…. Ya, dia memang kakakku….

Lintasan masa lalu berputar cepat dalam benak Rindang.

Alia dan dirinya tumbuh di bawah atap yang sama, meskipun darah mereka berlainan. Alia membuat Rindang merasakan nikmatnya bermanja pada seorang kakak. Alia membuat kesedihan dalam diri Rindang sedikit terkikis. Alia pula yang membuat Rindang berani mengejar mimpinya menjadi penyanyi. Bahkan, Alia rela menunda sekolahnya, karena ingin mendampingi Rindang berkarier sebagai penyanyi.

Tetapi, kasih sayang Alia terkadang berlebihan. Membuat Rindang sering merasa sesak napas.

“Aku sudah dewasa, Lia. Aku tahu apa yang kulakukan. Lagi pula, apakah aku tak boleh mengenal pria? Aku bosan dengan rutinitas jadwal yang padat itu. Wawancara, syuting iklan, nyanyi, salon!”

Alia menggigit bibirnya kuat-kuat. Tubuh­nya bergetar. Bibirnya bergerak-gerak hendak mengucapkan sesuatu, namun tak sepatah kata pun terucap.

“Kau tampaknya selalu sibuk setiap aku pergi kencan dengan Tio. Kenapa, sih?” tanya Rindang, melewati tempat Alia berdiri, lalu kembali berguling di tempat tidur.

“Karena… karena… aku tidak mau kau berbuat jahat. Apalagi, membalas dendam melalui Tio. Aku menyayangimu, Rindang.”

Rindang berkerut kening tak mengerti.

“Membalas dendam? Kau ini bicara apa, sih? Apa maksudmu?”

“Sudahlah! Jangan pura-pura tak tahu!”

Tiba-tiba Alia melemparkan alat perekam ke arah Rindang.

“Rekaman itu lebih dari cukup untuk membuka rahasiamu!”

Perlahan Rindang meraih alat perekam itu dan menekan sebuah tombol. Dadanya berdesir saat mendengar suaranya sendiri sedang bicara berapi-api dengan seseorang. Dari sisi pembaringan, Alia menatap Rindang tajam, seolah meminta pertanggungjawaban.

Gemawing, Maret 1985
Sore menjelang petang, ketika Emak menggandeng tanganku memasuki ruang rias. Ruangan ini sempit dan pengap, namun lampu petromaks yang tergantung di sisi atas menyala terang. Pintunya hanya ditutup dengan kain kelambu.

Di sana sudah ada lima tandak (penari) sedang merias diri. Hanya mengenakan pakaian dalam dan sibuk memoles-moles wajah mereka dengan beraneka bedak. Mereka tersenyum ramah padaku, kecuali Sulas, tandak tua yang kalah pamor dengan Emak dan selalu bersikap kurang menyenangkan.

“Makin hari kau makin cantik saja Rindang. Nanti sudah besar bisa jadi primadona tandak kita. Kau mau jadi tandak juga, Rindang?” kata seseorang yang sedang menggambar alis.

Aku tersenyum malu-malu, memegangi lengan Emak.

“Rindang tidak akan jadi tandak, tetapi mau sekolah yang tinggi,” jawab Emak, mantap.

“Sekolah tinggi? Memangnya kamu punya biaya?” sergah Sulas, sambil mencibir.

Emak tersenyum, tak terpancing kata-kata Sulas. “Kalau kita punya keinginan yang kuat, selalu saja ada jalan.”

“Alaaah… anak tandak saja mau sekolah tinggi….”

Aku tak suka mendengar Sulas bicara dengan nada sinis seperti itu. Kalau saja Emak mengizinkan, aku ingin menimpuk kepala Sulas yang mengenakan konde itu dengan batu kali. Memangnya kenapa kalau anak tandak bercita-cita sekolah tinggi? Dan, itu memang telah menjadi cita-citaku bersama Emak.

“Ayo, Rindang. ke sini Bantu Emak mengeluarkan peralatan rias,” kata Emak.

Aku segera mengeluarkan peralatan Emak dari dalam tas. Tiba-tiba mataku menangkap gerakan di balik kelambu. Banyak jari-jari menyingkap kelambu dan berpasang-pasang mata mengintip ke dalam ruang sempit pengap ini. Berpasang-pasang mata pria liar yang lapar. Aku tidak tahu untuk apa mereka melakukan itu, tetapi aku tidak suka melihat mata liar mereka.

“Emak, kenapa orang-orang itu mengintip?” tanyaku, polos.

Sulas tertawa terbahak-bahak. “Rindang… Rindang…. kamu harus tahu, Nak. Begitulah pekerjaan seorang tandak. Menjadi pemuas pria.”

“Tutup mulutmu, Sulas!” bentak Emak, marah. “Tak semua tandak berlaku seperti yang kau katakan!”

“Apa kau merasa dirimu begitu suci?” tantang Sulas. “Lalu, kenapa kau membiarkan dirimu dibawa pejabat kabupaten itu?”

“Bukan urusanmu!” jawab Emak, sengit.

Seorang tandak lain melerai mereka. “Sudah… sudah, jangan bertengkar begitu, tidak baik didengar orang.”
Aku melihat muka Emak memerah. Matanya seolah menghindar dari tatapan mataku yang bertanya-tanya. Pejabat kabupaten? Siapa dia?

Sejak Bapak meninggal karena kecelakaan dua tahun lalu, Emak makin sering tanggapan. Karena, dari sanalah Emak mendapatkan uang untuk hidup. Emak sangat mencintai Bapak dan berjanji tak akan menikah lagi, setelah kepergian Bapak. Emak memang ingin menyekolahkan aku hingga sarjana, namun dari hasil kerja kerasnya sendiri, bukan dari bantuan orang lain.

Tetapi, siapa pejabat kabupaten itu? Apakah Emak juga seperti Sulas? Sering dibawa pria di tengah malam dan pulang esok harinya?

“Ambilkan gincu Emak, Rindang….”

Aku tergeragap dari lamunan. Kuambilkan sebuah lipstik dan kusodorkan pada Emak. Lima tandak yang lain sudah selesai merias diri. Wajah mereka terlihat lain dari biasanya. Rambutnya disasak tinggi, lalu dipasang konde. Sekarang mereka mengenakan kain dan kemben.

Aku melihat kelambu tak lagi bergerak, karena sudah terlepas dari tempatnya. Berpuluh pasang mata pria berebut melihat ke dalam ruang sempit pengap. Mereka seperti ingin menelan para tandak itu hidup-hidup. Mulutnya mengeluarkan kata-kata tak senonoh kepada para tandak. Aku jijik melihatnya.

Kualihkan pandanganku pada Emak. Pakaiannya tetap lengkap saat merias diri, bahkan nyaris tertutup. Emak juga pindah ruangan, ketika mengganti pakaiannya dengan kain dan kemben, ia tidak membiarkan tubuhnya dilahap banyak mata yang liar itu. Emak memang pantas menjadi primadona tandak yang sesungguhnya. Persis seperti kata semua orang. Dan, aku mengaguminya.

Gemiwang, Maret 1985
Ini hajatan besar. Juragan Jaring menikahkan anak perempuannya dan mengundang hampir semua tandak di kampungku untuk menari. Aku yang selalu menonton setiap pertunjukan tayub, tak melewatkan kesempatan ini.
Duduk di samping wiyaga yang menabuh gamelan, aku tak perlu berdesakan dengan orang-orang, di antaranya teman-teman kecilku. Kurasa ini memang pertunjukan tayub paling ramai. Penonton dari luar kampung berdatangan.

Bunyi gamelan itu terdengar harmonis. Wiyaga menabuh gong, dipadu kendang dengan irama rancak saling menjalin, memacu semangat penari tayub bergoyang tanpa lelah. Tubuh Emak yang sintal ikut bergoyang pelan, bahkan terkadang nyaris tak bergoyang.

Emak menutupi bagian dada atasnya yang terbuka dengan selendang merah kesayangannya. Menurut Emak, Bapak yang membelikan selendang merah itu sewaktu mereka pertama kali bertemu. Sesekali Emak mengibaskan selendang merah itu dengan lincah. Mata kejoranya melirik ke arahku dan aku melambaikan tangan. Kalau sudah begitu, kami akan saling tersenyum. Aku tak pernah melihat mata Emak melirik ke arah pria-pria di pinggiran panggung. Emak selalu bermain mata denganku, anaknya.

Seorang pria paruh baya yang bertugas sebagai pengarih (yang membantu mengarahkan acara), mengedarkan nampan ke arah tamu undangan dan pengunjung. Beberapa orang tampak meletakkan sobekan kertas di nampan beserta uang kertas untuk bayaran walik gendhing (orang yang membantu mengubah daftar lagu). Bermacam-macam jumlahnya, antara seribu hingga sepuluh ribu.

Lalu, di saat jeda menari, Emak sebagai primadona para tandak, membacakan pesanan walik gendhing dari pengunjung. Kebanyakan pemesan ingin Emak yang nembang sekaligus menari. Tetapi, biasanya, dengan sopan Emak selalu berbagi dengan kawan-kawan tandak yang lain dan pemesan tak keberatan.

“Gendhing Asmarandana ini dipesan oleh Bapak Handoko…,” kata Emak, dengan nada tak seperti biasanya.
Aku seperti mendengar getar dalam suara Emak. Mata kejora Emak mencari Handoko ke arah deretan kursi tamu paling depan. Di sana biasanya tempat duduk orang-orang penting di kampung ini.

“Sampurnya (selendangnya), Mas. Bapak Handoko akan menari bersamaku….”

Aku mengernyit. Sejak Bapak meninggal, Emak tak pernah secara khusus mengundang pria untuk menari bersamanya. Siapa pria itu, hingga Emak mengubah kebiasaannya? Kulihat di sisi panggung yang lain, Sulas melirik cemburu dan tandak-tandak yang lain saling tersenyum.

“Monggo, Bapak Handoko…,” ajak Emak, setengah genit.

Aku tak suka mendengar suara Emak kali ini.

Pria pengarih membawa nampan berisi sampur ke arah Handoko. Tapi, Handoko menolak dengan halus. Sikapnya juga terkesan sangat sopan. Ia membisikkan sesuatu kepada pengarih, yang kemudian menyerahkan sampur itu ke pria di samping Handoko. Pria di samping Handoko mengambil sampur dalam nampan dan mengalungkan di lehernya, lalu maju ke tengah panggung. Pengarih menghampiri Emak dan membisikkan sesuatu di telinga Emak.

“Bapak Handoko tidak berkenan menari, namun hanya ingin mendengarkan gending ini. Baiklah, tembang Asmarandana ini khusus saya persembahkan kepada Bapak Handoko…,” kata Emak, masih dengan nadanya yang genit dan membuatku makin tak suka.

Wiyaga kembali menabuh gamelan. Suara Emak yang merdu terdengar serasi dengan alat musik itu. Tembang Asmarandana mengalun. Satu per satu para tandak memasuki panggung, berjajar untuk menari, kecuali Sulas yang memilih duduk diam di sisi panggung dengan muka masam.

Pria-pria yang menari berpasangan dengan para tandak juga mengambil posisi berhadapan dengan para tandak. Pria yang berpasangan dengan Emak kelihatan terlalu bersemangat menari. Matanya juga jelalatan.

“Mau kembang gula, Nduk?” seorang wiyaga menyodorkan piring berisi kembang gula padaku.

Makanan berwarna merah jambu dari parutan kasar kelapa muda yang di campur dengan gula itu memang makanan kesukaanku. Biasanya aku dan teman-teman selalu berebut kembang gula di setiap pertunjukan tayub. Kali ini aku bisa menikmatinya sendiri tanpa gangguan teman-teman.

“Ayo, ambillah! Biar ndak ngantuk.”

Aku mengambil kembang gula dan menggigitnya pelan-pelan. Rasanya berbeda dari kembang gula yang pernah kumakan. Kali ini kelapanya lebih muda dan terasa lebih enak. Mungkin karena yang punya orang kaya, jadi kembang gulanya juga lebih enak.

“Aku taruh di dekatmu ya, Nduk. Kalau mau lagi, ambil saja,” kata wiyaga itu lagi.

Saat wiyaga itu kembali ke tempatnya, aku memasukkan beberapa kembang gula ke dalam saku bajuku. Aku ingin memakannya lagi besok. Tetapi, tiba-tiba ada tangan yang menyodokku keras dari arah belakang.

Nolan, teman kecilku yang nakal, berambut jabrik dan rumahnya berhadapan dengan rumahku itu meminta kembang gula. Bagaimana ia bisa berada di dekat para wiyaga? Bukankah tak sembarang orang boleh duduk di sini? Huh, aku benci sekali padanya. Ia selalu menjailiku.

“Bagi kembang gulamu!” pintanya, memaksa.

Aku mengangkat piring kembang gula dan memberikan kepada seorang wiyaga. Nolan tak dapat menjangkau piring itu. Seorang wiyaga menjauhkan piring kembang gula dariku dan Nolan. Aku tersenyum puas.

“Tahu tidak, emakmu itu nakal!” bisiknya, mengejek.

“Tutup mulutmu! Emakku wanita baik-baik!” balasku, marah.

Aku tak suka ia mengejek emakku. Emakku wanita baik-baik. Kalau ia penari tayub, itu bukan berarti emakku bukan wanita baik-baik!

“Lihat ke sana!” kata Nolan, sambil menunjuk ke tengah panggung. “Apa bukan murahan?”

Aku melihat ke tengah panggung. Pria yang menari berpasangan dengan Emak hampir menempelkan tubuhnya ke tubuh Emak. Tetapi, Emak mencoba untuk menghindar.

Di sekeliling panggung, tampak minuman keras dalam sloki-sloki kecil beredar. Pengarih beberapa kali memberikan sloki minuman kepada pria penari pasangan Emak dan pria itu menenggaknya begitu saja hingga tandas. Lalu, tangan kanannya memegang uang ribuan dan hendak menjangkau kemben Emak. Emak menghindar mundur, namun tetap menari.

Pengaruh minuman keras dan merasa dilecehkan oleh penolakan Emak, pria itu melepas sampur-nya dan merangsek menyerang Emak. Tetapi, pengarih segera datang melerai. Pria yang mengamuk itu dibawa ke luar panggung.

“Kamu lihat, ’kan? Kemben emakmu dimasuki banyak tangan pria. Itu kan namanya murahan!” kata Nolan jabrik lagi.

Aku menampar muka Nolan sambil berteriak. “Emak tidak pernah mau menerima uang seperti itu!”

Nolan meringis kesakitan, sambil memegangi pipinya. “Awas kamu!”

Ketika Nolan meninggalkan tempat itu, tiba-tiba segerombolan pemuda mabuk mengamuk dan menerjang ke tengah panggung. Mereka membanting apa saja di depannya. Suasana jadi semrawut seperti perkelahian. Para wiyaga berdiri dari tempatnya hendak meninggalkan panggung.

Aku sempat melihat seorang pria menarik-narik selendang merah yang menutupi dada atas Emak, namun Emak mempertahankan selendang itu sekuat tenaga. Aku hendak berlari ke arah Emak, ketika seseorang menabrak tubuhku dengan keras. Aku terbanting ke lantai. Sebelum duniaku gelap, aku mendengar Emak menjerit memanggil namaku.

Jakarta, April 1998
Alia sedang membicarakan kontrak iklan terbaru di sebuah kafe, ketika Rindang pamit ke toilet. Setelah memberi kode pada pengawalnya untuk membiarkannya sendiri, Rindang menyelinap lewat pintu samping kafe dan berjalan cepat meninggalkan kafe. Rindang segera menghubungi seseorang melalui telepon genggamnya.

“Lima belas menit lagi aku sampai!” kata Rindang, seraya bergegas menghampiri pemesanan taksi di sisi kiri pintu mal.

Tak lama, taksi datang dan melesat meninggalkan halaman mal. Benar kata Rindang, tepat lima belas menit kemudian taksi memasuki halaman sebuah rumah mewah. Rindang turun dan seorang pria bertubuh kekar menyambutnya di muka pintu. Mulutnya tampak menyeringai.

“Kau makin cantik, Rindang! Seperti emakmu!” kata pria itu.

“Kami sama-sama cantik, dan sama-sama bukan wanita murahan!” jawab Rindang.

Pria kekar itu, Nolan, tertawa. Rindang tak membalas tawanya. Setelah masa kecil penuh permusuhan mereka lewati, setahun lalu Rindang bertemu Nolan di sebuah mal. Nolan telah lima tahun menempuh kehidupan yang keras di Jakarta.

“Ah, kau masih sakit hati rupanya. Lupakan itu, Rindang!”

Rindang memandang mata pria itu tajam. “Aku akan melupakan ejekanmu itu kalau kau berhasil membantuku. Tentu saja akan kubayar.”

“Oke, kita bicarakan di dalam. Kau dapat memilih cara apa saja yang kau inginkan.”

Nolan menjajari langkah Rindang masuk ke dalam. Mereka memasuki ruangan dan mengunci pintu. Pembicaraan empat mata.

Alia berjalan mondar-mandir di ruang tengah. Kepalanya langsung menoleh ke samping, begitu mendengar suara pintu terbuka. Rindang memasuki ruang tengah dengan langkah gontai tanpa memedulikan Alia yang memandangnya tajam.

“Dari mana?” tanya Alia, seperti bentakan.

Rindang berhenti tepat di depan Alia. “Itu urusanku!”

“Begitu, ya? Aku sudah repot-repot mengurusi kontrak besarmu, kamu malah keluyuran tanpa pengawal! Kau pikir aku tidak khawatir? Kamu bukan orang biasa, Rindang! Kamu bintang! Kamu harus pergi ke mana pun dengan pengawal!”

“Kupikir tidak harus begitu. Toh, aku bisa kembali dengan selamat, ‘kan?” sergah Rindang, tak mau kalah. “Tapi, alasanmu sebenarnya melarang aku pergi bukan itu, ‘kan? Kamu takut aku berkencan dengan Tio?”

Alia mendengus, lalu membuang muka. Tiba-tiba tangan Alia terjulur menyambar tas Rindang.

“ Apa-apaan ini Alia? Lepaskan tasku!” teriak Rindang.

Mereka saling menarik tas tangan hitam itu seperti atlet tarik tambang, yang menge­rahkan segenap kekuatannya.

“Alia! Lepaskan tasku!” teriak Rindang.

Alia membentak. “Aku tak akan melepaskan tasmu. Lagi pula, kalau kau tak menyimpan rahasia, buat apa kau menahan tasmu?”

Mereka saling menarik lagi. Kali ini lebih kuat hingga jahitan tas itu merenggang. Karena kehabisan tenaga, Alia sengaja membuka ritsluiting tas lalu membalikkan isinya. Seketika isi tas terburai. Notes kecil, bolpoin, alat-alat make up, dua ponsel, dan… mata Alia membelalak!

Alia melepaskan tarikan tasnya, lalu tangannya sigap mengambil jarum suntik yang terjatuh dari dalam tas. “Ini yang kucari!”

“Jangan Alia! Jangan kau ambil!”

“Untuk apa jarum suntik ini?” tanya Alia, mengamati jarum suntik di tangannya. Rindang terdiam beku.

“Aku… aku… menggunakan narkoba.”

“Tidak mungkin!” jawab Alia. “Bukan itu gunanya jarum suntikmu ini! Aku kenal kau, Rindang. Kau tak akan menggunakan jarum suntik ini untuk menyuntik tubuhmu sendiri, bukan? Kau artis profesional dan menyayangi kariermu.”

Rindang berjalan ke kursi, lalu mengempaskan tubuhnya di sana. Alia mengikutinya dengan jarum suntik masih di tangan.

“Aku sudah bilang padamu, Rindang. Aku tak akan membiarkan kau melakukan kejahatan. Sorry, aku akan menghancurkan jarum ini.”

“Terserah kau!” Rindang berjalan ke kamarnya tanpa menoleh lagi.

Alia hanya geleng-geleng kepala.

Malam baru saja melewati titik nadir. Rindang berbaring gelisah di pinggir pembaringan kamarnya. Pikirannya berputar-putar. Bagaimana mendapatkan jarum itu lagi? Alia benar-benar sialan! Dia tahu apa pun yang kulakukan! Seharusnya dia membantuku, bukan malah menghalangiku!

Rindang bangkit dari pembaringan dan berjalan menuju lemari di pojok kamar. Ia membuka lemari dan mengambil selendang merah dari sebuah tumpukan. Mengamati sejenak, lalu membawa ke tempat tidur.

Rindang mendekap selendang merah itu sejenak, menciumnya. Tak lagi tersisa aroma keringat emaknya di selendang itu, namun aroma itu masih tertinggal di kepalanya. Dan itu membuat darahnya kembali mendidih. Rindang mendengus.

“Tak kubiarkan kau pergi dengan cara seperti itu, Emak… tak akan kubiarkan!” bisik Rindang, penuh dendam.
Ia meletakkan selendang merah tepat di depan foto emaknya. Setelah membelai sejenak wajah emaknya dalam foto, Rindang menyambar ponsel di meja rias. Kemudian jemarinya sibuk mencari sebuah nomor.

“Halo? Nolan? Bisa kau kirim barang yang sama seperti tadi? Aku akan membayar ulang. Jangan sampai ada mata kelima yang tahu tentang ini. Oke, aku percaya padamu. Aku tunggu!”

Rindang menutup telepon genggamnya, sambil tersenyum menang. Apa yang bisa dilakukan Alia untuk menghalangiku sekarang? Aku punya banyak cara.

Alia jatuh sakit. Demam berdarah membuat kondisi HB-nya terus turun dan harus istirahat total. Rindang sedikit merasa bersalah atas perasaan sukacitanya. Ia menyayangi Alia dan tak ingin kehilangan Alia. Tapi, ia juga sangat menyayangi almarhum emaknya dan tak pernah memaafkan apa yang pernah terjadi. Kesempatan tak akan datang dua kali! Inilah waktunya!

“Hati-hati Rindang, jangan menghancurkan dirimu sendiri,” bisik Alia pada Rindang. Rindang tersenyum. Tidak mengangguk, tidak juga menggeleng.

“Jangan khawatir, Alia. Kau pikirkan dirimu sendiri saja, agar cepat sembuh. Percayalah, semua akan baik-baik saja.”

Semua akan baik-baik saja. Dada Alia bergetar, ketika Rindang meninggalkan pintu bangsal rumah sakit tempat ia dirawat.

Benarkah semua akan baik-baik saja? Benarkah Rindang akan menuruti kata-katanya?

Ketakutan Alia mendapatkan jawabannya.

Di halaman rumah sakit, Tio tengah menunggu Rindang. Tio membukakan pintu mobil dan Rindang masuk dengan wajah cerah. Tak lama mobil mereka melesat meninggalkan halaman rumah sakit menuju pinggiran kota. Rindang tersenyum. Benarkah kesempatan tak akan datang dua kali?
Tio sedang ke toilet ketika Rindang menaruh obat tidur ke dalam gelasnya. Ketika Tio kembali, tak ada yang membuatnya curiga. Rindang tersenyum hangat, ketika Tio menggenggam jemarinya.

“Aku tak mau kehilanganmu, Rindang. Aku mencintaimu.”

“Sudahlah, ayo, kita makan dulu. Setelah ini kita bisa jalan-jalan. Menikmati malam yang indah ini tanpa gangguan Alia.”

“Bukannya kamu sangat menyayangi Alia?”

“Ya, tapi aku juga sangat menyayangimu.”

Tio tersenyum, meremas jemari Rindang, lalu melepaskannya perlahan. Tangan kanannya meraih jus jeruk, lalu meminumnya. Tak butuh waktu lama untuk merasakan kantuk yang luar biasa. Sebelum ambruk di meja kafe, Tio berkata, “Bawa aku ke hotel terdekat, Rindang, aku ngantuk sekali.”

“Hei, kamu kenapa, Tio? Kok, tiba-tiba ngantuk?” Rindang pura-pura bingung. “Oke, ayo, kita cari hotel, biar kamu bisa tidur nyenyak.”

Rindang menuntun Tio keluar kafe. Mobil mereka melesat menuju hotel terdekat. Tio sudah tertidur di mobil sebelum mereka sampai hotel. Rindang menepikan mobil. Tangannya gemetar saat merogoh jarum suntik di dalam tasnya.

Bagaimana mungkin aku melakukan ini? Tio tidak bersalah. Tetapi, emakku juga tidak bersalah! Selendang merah itu seperti punya mata. Ia selalu melihatku dengan tatapannya, yang meminta aku melakukan sesuatu.

Tiba-tiba Rindang telah memegang tangan kanan Tio, mencari-cari nadinya. Tangan Rindang masih gemetar saat menyuntikkan cairan ke dalam tubuh Tio. Kantuk yang hebat membawa Tio ke alam mimpi terdalam. Ia tak merasakan jarum suntik menembus kulitnya, mengalirkan cairan ke dalam tubuhnya.

Rindang merasa tugasnya hampir selesai.

Gemawing, April 1985
Kurasakan tangan kokoh mengangkat tubuhku ke atas pembaringan. Kepalaku terasa sangat pusing dan tubuhku lemas. Perlahan aku membuka mata dan menemukan Emak tengah menungguiku sambil berurai air mata. Pakaian Emak sudah berganti daster, tetapi dandanan wajahnya belum dihapus.

“Kau sudah sadar, Rindang? Syukurlah. Maafkan Emak, Rindang…,” Emak menangis lagi sambil membelai-belai kepalaku.

Tiba-tiba pintu kamar didorong dari luar. Pria itu, Handoko, masuk ke dalam kamar. Aku tidak suka ia berada di sini. Siapa dia hingga berani memasuki kamarku? Aku memandangnya sengit.

“Pak Handoko yang menggendongmu pulang tadi, kau harus berterima kasih padanya,” kata Emak, sambil mengusap air mata.

Aku membuang pandang ke arah dinding. Apakah yang dikatakan Sulas benar? Pria itu ada main dengan Emak? Ah, tidak. Emakku bukan sembarang tandak, ia seorang primadona tandak. Tidak akan merendahkan dirinya dengan pria mana pun. Meskipun, ia pejabat penting seperti Handoko.

“Bagaimana keadaanmu, Rindang? Sudah baikan?” tanya Handoko. Aku melirik lewat sudut mataku, ia mendekati pembaringan.

“Terima kasih sudah menyelamatkan Rindang, Mas. Kalau tidak ada Mas, mungkin Rindang celaka.”

Emak menyebut pria itu dengan sebutan ’Mas’.

Aku melihat pancaran tak biasa dalam tatap mata Emak. Hampir serupa dengan tatapan pada Bapak dulu.
“Apa yang terjadi semalam, Mak?” tanyaku, mengalihkan pandangan Emak dari Handoko.

Emak tersenyum. “Banyak orang mabuk, ngamuk. Panggung jadi rusuh, kamu tertabrak. Untung ada Pak Handoko. Kalau tidak, kamu sudah tertimpa orang-orang itu sampai gepeng!”

Aku terdiam, tak suka mendengar kata-kata Emak yang menyanjung Handoko seperti pahlawan. Untuk apa pria itu menolongku? Bahkan, sekarang dia berada di sini.

Wajah Bapak melintas-lintas di mataku, membuatku ingin menangis. Masih kuingat wajah sabar Bapak selalu tersenyum padaku. Bahkan, saat aku nakal sekalipun. Aku tak ingin pria lain menggantikan posisi Bapak.

“Kamu istirahat saja, Rindang, semoga lekas baik, ya,” kata Handoko, lembut. Tangannya hendak menjangkau kepalaku, namun aku menghindar.

Emak terlihat kaget melihat sikapku. Tapi, aku tak peduli.

“Minum kopinya dulu, Mas. Aku menaruhnya di luar.”

Handoko tersenyum padaku dan keluar dari kamar. Emak mengikuti di belakangnya. Tiba-tiba air mataku meleleh. Aku marah, benci, dan tak suka Emak bersama pria itu. Samar-samar aku mendengar derai tawa Emak bersama Handoko dari ruang tengah di sela gendhing yang mengalun melalui kaset. Ini tawa pertama yang kudengar dari Emak setelah Bapak meninggal.

“Benar, toh, emakmu nakal? Tadi aku melihat emakmu dibonceng pria!”

Setiap pulang sekolah Nolan selalu mengejarku dan menggangguku. Kadang-kadang mengejek, kadang-kadang memukul atau menakut-nakutiku dengan ular. Aku jadi makin membencinya.

Aku menghentikan langkah Nolan dan serta-merta menjambak rambut jabriknya kuat-kuat hingga ia meringis. Memangnya aku takut pada dia? Meskipun aku anak perempuan, aku tak pernah takut pada anak laki-laki. Aku akan menghajar siapa pun yang mengejek emakku. Baru setelah ia balas menendang, aku melepaskan rambutnya.

“Kamu nakal!” teriakku.

Nolan tertawa-tawa. “Lihat saja kalau tak percaya! Orang itu ada di rumahmu sekarang. Bersama emakmu!”

Kemarahanku mulai naik ke ubun-ubun. Antara mendengar ejekan Nolan dan kabar ada pria bersama Emak di rumah. Aku bergegas. Kudengar Nolan tertawa keras di belakangku. Kuacungkan kepalan tanganku kepadanya dan anak laki-laki jabrik itu makin mengeraskan tawanya.

Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di halaman rumahku. Setelah melewati dua pohon kersen yang buahnya habis dicuri Nolan setiap malam, aku menyeberangi halaman. Ada sepeda motor terparkir di halaman. Aku menaiki undak-undakan rumah.

Sepasang sepatu pria ada di muka pintu. Siapa yang sedang bertamu? Tak terdengar suara orang di dalam rumah. Ataukah, Emak sedang keluar rumah? Bagaimana Nolan mengatakan Emak bersama pria? Tidak ada siapa pun di rumah! Dasar Nolan penipu!

Aku melepas sepatu di depan pintu dan masuk rumah. Setelah melempar tas ke kursi ruang tamu, aku mengambil minum di meja makan. Ada banyak makanan enak di meja makan. Tumben Emak membeli makanan sebanyak ini? Hampir semuanya makanan kesukaanku. Aku mencomot satu dan mengambil teko. Baru saja menuang air di gelas, terdengar suara-suara aneh dari arah kanan. Aku menoleh ke samping. Dari kamar Emak yang pintunya tertutup rapat. Lalu, terdengar suara tawa pelan Emak.

Entah kenapa aku tak suka mendengar tawa itu. Aku urung minum dan kembali menaruh gelas di meja makan. Aku menarik kursi makan dan duduk mematung. Suara-suara itu terdengar makin jelas.

Aku benci dan marah sekali mendengarnya. Tiba-tiba saja tanganku sudah menyambar gelas dan membanting gelas itu ke lantai hingga pecah berkeping. Bunyi gelas pecah itu menghentikan suara-suara aneh di dalam kamar Emak. Aku diam menunggu sambil menghitung.

“Satu… dua… tiga… empat… lima….”

Tepat pada hitungan kesepuluh, pintu kamar Emak terbuka.

Emak kembali menutup pintu kamar di belakangnya dan berjalan tergopoh menghampiriku. Rambutnya acak-acakan, juga pakaiannya yang tidak tepat mengancingkannya. Gerak tubuhnya tampak gugup melihatku duduk tepat di depan kamarnya. Apa yang telah dilakukan Emak? Aku tak suka melihat sinar mata Emak yang penuh rahasia.

“Kamu sudah lama pulang, Rindang?” tanya Emak, membelai rambutku.

Aku melihat tangannya basah oleh keringat dan aku menghindar dari tangannya.

“Siapa di dalam kamar, Mak?” tanyaku.

Emak bergerak-gerak gelisah. “Tidak ada siapa-siapa, kok. Tadi Emak mendengarkan kaset dan tertidur mengigau.”

Aku bangkit dan berjalan ke kamar Emak. Tetapi, Emak menarik lenganku kuat-kuat.

“Jangan ke kamar, Rindang! “

“Kenapa?” aku mengerutkan kening.

“Pokoknya jangan ke kamar!”

Aku tak memedulikan Emak. Aku terus berjalan dan mendorong pintu kamar, meski Emak mencoba menghalang-halangiku, bahkan memarahiku. Pintu berhasil kubuka lebar-lebar.

Seorang pria berdiri memunggungi pintu dan sedang sibuk mengenakan pakaiannya. Apa yang baru saja dilakukan terhadap Emak? Ketika menoleh ke arahku, aku mengenali dia. Handoko. Dia adalah pria pertama yang memasuki kamar Emak setelah Bapak meninggal. Aku tak mungkin memaafkan kelancangannya menggoda Emak untuk mengkhianati Bapak. Aku tak akan memaafkannya! Ada kemarahan yang meluap dalam dadaku. Aku berbalik dan pergi.

Jakarta, Maret 2009
Peluncuran album baru Rindang baru saja selesai. Alia menarik lengan Rindang memasuki mobil, menghindar dari serbuan wartawan. Di dalam mobil, Alia langsung menunjukkan sebuah SMS di telepon genggamnya.

“SMS dari siapa?” tanya Rindang, acuh tak acuh.

Alia membaca keras. “Alia, izinkan aku ketemu Rindang. Mungkin umurku tak lama lagi.”

“Dari siapa, sih?”

“Tio...,” jawab Alia, seraya menatap Alia tajam penuh selidik.

“Aku sudah lama tidak ketemu dia. Untuk apa dia mencariku?”

“Karena dia terlalu mencintaimu, Rin.”

Rindang tertawa terbahak. Ia mengeluarkan telepon genggamnya sendiri dan menyodorkan kepada Alia.

“Percaya tidak? Tiap hari dia telepon aku puluhan kali.”

“Dan kau membiarkan saja?” tanya Alia.

“Aku sudah putus dari Tio, Al. Aku tak mau memberinya banyak harapan. Nanti dia kecewa lagi.”

Alia memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas, lalu pandangannya menembus jendela mobil. Ingatan Alia kembali melayang pada peristiwa sembilan tahun lalu. Saat ia terbaring opname karena demam berdarah. Rindang menghilang seharian entah ke mana. Setelah itu hubungan Rindang dan Tio putus. Tak ada lagi Tio dalam hidup Rindang. Apa yang telah dilakukan Rindang terhadap Tio? Mungkinkah yang ditakutkan Alia menjadi kenyataan?

“Apa yang kau lakukan terhadap Tio?” bisik Alia, sambil melirik ke arah sopir.

Rindang mengubah posisi duduknya menghadap Alia, lalu menatapnya tajam.

“Kau bertanya seolah-olah aku ini penjahat? Aku memutuskan Tio karena kami tak lagi cocok, memangnya salah?”

“Bukan karena Tio anak Handoko?” Alia balas menatap tajam.

Rindang membuang muka. Sebenarnya ia merasakan sesuatu yang keras menghantam jantungnya, tetapi Rindang menahan diri. Ia benar-benar tak habis pikir, bagaimana Alia bisa tahu segala yang telah ia rencanakan. Bahkan, Alia seperti memiliki banyak mata untuk menguntitnya.

“Sudah kukatakan berkali-kali, Rindang. Aku menyayangimu, karena itu aku tak ingin kau melakukan kejahatan. Balas dendam tak akan menyelesaikan masalahmu.”

Tiba-tiba telepon genggam Alia berbunyi.

“Ya? Kritis? Sekarang? Oke! “

Wajah Alia berubah panik begitu menutup telepon genggamnya. Ia langsung memerintahkan sopir untuk putar balik di depan.

“Kita ke mana, Alia? Bukannya ada pemotretan dengan majalah satu jam lagi?” tanya Rindang, bingung.

Alia sibuk membuka agenda, lalu memencet-mencet nomor telepon genggamnya tanpa menjawab pertanyaan Rindang. Ia membatalkan janji pemotretan dan menundanya besok lusa. Setelah aksi telepon menelepon selesai, wajah Alia masih panik.

“Ada apa, sih?” tanya Rindang, penasaran.

“Kita harus ke rumah sakit. Tio sekarat karena AIDS.”

Rindang tertegun sejenak, lalu membuang muka dari tatapan Alia.

Koridor rumah sakit yang panjang itu terasa pendek bagi Rindang. Alia tergesa-gesa mendahului Rindang. Beberapa wartawan muncul di rumah sakit, mencegat langkah-langkah Rindang. Merasa punya kesempatan mengalihkan perhatian, Rindang meladeni wawancara mereka. Alia berbalik dan menarik lengan Rindang.

“Maaf, teman-teman, kami buru-buru. Nanti saja wawancaranya, ya!” kata Alia kepada para wartawan itu.
Rindang mengikuti langkah Alia memasuki sebuah bangsal rumah sakit. Tio terbaring dengan lemah. Matanya terbuka sedikit dan tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit. Orang-orang yang berkerumun di sekitar pembaringan menyingkir, begitu melihat Alia dan Rindang datang. Ini adalah pertemuan pertama Rindang dengan Tio, setelah sembilan tahun berselang.

Mata Rindang langsung terpaku pada seorang pria tua yang berdiri di sisi kanan pembaringan, Handoko. Semua informasi yang didapatkan Rindang dari Nolan tak perlu diragukan lagi. Darah Rindang mengalir cepat menuju ubun-ubun. Jantungnya juga berdetak lebih kencang. Pria itu kurus dan tua. Wajahnya pucat seperti kehabisan darah. Dalam tatapan Handoko yang tak lagi mengenalinya, Rindang melihat ibunya menggeliat sekarat. Tak akan kubiarkan Emak pergi dengan cara seperti itu….

“Rindang…,” panggil Tio, pelan.

Alia mendorong tubuh Rindang untuk mendekat ke pembaringan. Rindang mengulurkan tangannya kepada Tio, pura-pura menggenggamnya dengan hangat.

“Aku mencintaimu, Rindang…,” kata Tio lagi. “Katakan padaku kau juga mencintaiku….”

“Kau harus sembuh, Tio,” jawab Rindang.

“Katakan padaku kau mencintaiku…,” kata Tio, makin lemah.

Alia menyodok lengan Rindang pelan.

“Ya, aku mencintaimu juga….”

“Terima kasih, Rindang….”

Mata Tio kemudian terpejam. Bibirnya mengulas senyum tipis. Tubuh kurus kering rapuh itu telah kehilangan nyawa. Seorang wanita di sisi dipan itu menangis keras, sementara Handoko menenangkannya. Beberapa orang kerabat berdatangan, hilir-mudik memasuki bangsal rumah sakit. Perlahan Rindang menyelinap ke luar bangsal. Ada yang terasa lega di sisi hatinya, namun di sisi lain ada debar aneh yang menakutkan.

“Apa yang kau lakukan pada Tio?” tanya Alia langsung, begitu mereka sampai di apartemen.

Rindang melempar tas tangannya ke sofa, kemudian menjatuhkan dirinya di sana. Ia tak suka Alia menanyakan hal itu. Rindang memilih diam.

“Hei! Kau tak punya telinga?”

“Kenapa kau selalu menuduhku melakukan ini itu terhadap Tio? Kau tak pernah memercayaiku Alia!”

“Bagaimana aku memercayaimu, sementara di belakangku kau selalu bertemu Nolan? Bandit besar itu telah membantumu melakukan semua ini, ‘kan? Ya, Tuhan, Rindang! Bagaimana mungkin kau membunuh Tio?”

Rindang mendengus, kesabarannya telah tandas. “Oh, jadi kau juga membayar Nolan untuk memberi informasi tentangku?”

“Itu kulakukan karena aku tak ingin kehilanganmu!”

“Oke! Aku memang melakukan itu! Puas kau, Alia?”

Alia terbelalak. “Rindang… kau….”

“Kau tak pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan ibumu dengan cara seperti itu. Kau tak tahu rasanya, Alia!”
“Aku tahu, tapi kau tak harus membalas dendam sekejam itu.”

Rindang meninju sofa. Kemarahan meledak dalam dirinya. “Kau tak tahu! Aku melihat sendiri ibuku meninggal perlahan! Dan pria itu yang telah membuat Emak seperti itu!”

“Tapi, Rin, Tio bukan anaknya Handoko!” jerit Alia.

“Bukan anaknya Handoko?” Rindang balas teriak. “Dari mana kau tahu?”

Alia menggigit bibirnya. “Tadi aku bicara dengan kerabatnya. Handoko tak memiliki anak biologis dari pernikahannya dan Tio hanyalah anak angkat yang diambil dari panti asuhan.”

Rindang membelalak kaget. Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Lemas.

Gemawing, Juni 1985
“Rin, Emak mau tanggapan di ujung kampung. Kamu ndak usah ikut, ya. Emak takut banyak orang mabuk di sana!” kata Emak, sebelum berangkat.

Aku hanya mengangguk dan duduk di teras melihat kepergian Emak. Banyak yang berubah sejak Emak bergaul dekat dengan Handoko. Di rumah selalu banyak makanan enak. Emak membelikan banyak baju baru untukku dan dirinya sendiri. Rumah kami juga penuh dengan kotak-kotak minuman keras.

Dua hari sekali Handoko datang membawa kotak-kotak itu. Emak bilang, Handoko hanya menitipkan kotak minuman keras itu di rumah kami. Bahkan, aku juga melihat banyak pil warna-warni di lemari kamar Emak. Entah pil apa, tetapi banyak pemuda kampung datang ke rumah untuk membeli secara sembunyi-sembunyi. Aku jadi penasaran

Dari semua perubahan itu, salah satu yang kubenci adalah Emak melarangku datang menonton ia menari. Padahal, aku suka sekali melihat Emak menari dan menyanyikan gendhing Jawa dengan suara merdu.

“Kamu ndak ikut emakmu, Rin?” tanya Nolan yang langsung mengagetkan lamunanku.

Aku diam saja, menatap Nolan dengan pandangan menyelidik. Tak biasanya ia bersikap baik seperti ini padaku.

“Emakmu melarang kamu nonton, ya?” tanya Nolan lagi.

“Ya, padahal aku kepingin nonton.”

“Ayo, nonton denganku. Kamu bisa sembunyi agar tak ketahuan.”

“Benarkah?” Aku mulai tertarik pada ajakan Nolan. “Ayo!”

Tanpa pikir panjang aku meninggalkan rumah. Hari mulai gelap ketika kami menyusuri jalan kampung menuju tempat tayuban. Samar-samar terdengar irama gamelan dipukul para wiyaga. Aku merasakan sesuatu yang mengentak-entak di dalam tubuhku setiap kali mendengar irama gamelan. Entakan rasa tertarik yang menimbulkan rasa keindahan. Panggung tayuban itu mulai terlihat dan kami mendekat. Ternyata, pertunjukan belum mulai.

“Kamu sembunyi di balik batu itu, Rin. Nanti kalau sudah mulai aku beri tahu,” kata Nolan.

Aku masih bertanya-tanya, kenapa Nolan tiba-tiba menjadi baik. Tetapi, aku menepis pertanyaan di kepalaku. Aku ingin menonton Emak menari sambil nembang. Rasanya sudah lama sekali aku tidak menontonnya.

Tak lama terdengar suara merdu mengalun. Aku tersenyum karena sangat hafal, itu suara Emak. Benar saja, Nolan menarik tanganku untuk mendekati panggung. Aku bersembunyi di belakang tubuh Nolan yang besar dan mengintip ke atas panggung.

Kulihat Emak di atas sana, masih menjadi primadona. Menari pelan saja sambil menembang. Tetapi, aku tak melihat selendang merah menutupi dada bagian atas Emak. Sebagai gantinya, aku melihat selendang biru. Bukankah itu selendang pemberian Handoko?

Aku memandang berkeliling mencari Handoko. Tak kutemukan pria itu di antara tamu undangan penting ataupun tempat lain. Hanya teman-temannya yang sering datang ke rumah yang kulihat. Mereka sedang mengedarkan minuman keras dalam sloki-sloki kecil.

Aku kembali menatap Emak. Matanya melirik genit ke sana kemari. Tak lagi mencari mataku seperti dulu. Gendhing yang ditembangkannya hampir selesai. Pria pasangannya menari menyelipkan uang ke balik kemben. Emak tak lagi menghindar seperti dulu. Emak pasrah saja tangan pria itu menyenggol bagian pribadinya. Bahkan, Emak tersenyum. Aku membuang muka.

“Kau lihat, Rindang? Emakmu benar-benar nakal!” ejek Nolan, sambil tertawa.

“Jadi, kau mengajakku kemari untuk menunjukkan itu?” kataku, sangat berang.

”Biar kau tahu bahwa emakmu memang nakal!” kata Nolan.

Seperti ada pisau yang menghunjam dadaku. Perih. Aku berbalik, menyelinap keluar dari desakan orang yang mendekati panggung. Masih kudengar tawa Nolan saat aku berjalan pulang. Tawa menang.

Aku tak pernah cengeng sebagai anak perempuan. Aku selalu melawan Nolan. Tetapi, malam ini air mataku tiba-tiba meleleh. Emak telah menukar selendang merah pemberian Bapak dengan selendang biru pemberian Handoko. Emak telah menerima uang dalam kemben. Bahkan, Emak membiarkan tangan-tangan jail itu lebih lama berada dalam kembennya. Emak bukan lagi primadona seperti yang kubanggakan. Emak telah berubah. Dan aku sedih karenanya.

Hari masih pagi ketika aku terbangun oleh kegaduhan di luar rumah. Mataku masih bengkak karena menangis semalam. Apa Emak sudah pulang? Ah, entahlah. Aku tak peduli apakah dia pulang atau tidak. Bukankah akhir-akhir ini pun Emak sering pergi keluar kampung bersama Handoko dan tidak pulang?

Aku keluar kamar dan melihat dua polisi sedang menggeledah rumah kami. Handoko dan Emak berdiri melihat penggeledahan itu. Polisi menemukan beberapa kotak minuman keras, tetapi tak menemukan pil warna-warni di kamar Emak. Tiba-tiba Handoko mengajak dua polisi itu ke dapur. Aku tak mendengar pembicaraan rahasia mereka. Setelah itu Handoko bicara dengan Emak yang terlihat mengangguk-angguk saja. Belum sempat aku bicara apa pun dengan Emak, tiba-tiba polisi telah menuntun Emak keluar rumah dan memboncengnya entah ke mana.

“Emak mau ke mana?” tanyaku sekilas pada Handoko.

Handoko tertawa keras. “Emakmu mau ke surga anak manis. Kamu tunggu di sini saja. Emakmu bisa menghasilkan banyak uang dan kau bisa sekolah.”

“Aku tak mau sekolah dari uangmu!” teriakku lantang.

Handoko menjangkau kepalaku dan menjambak rambutku. “Jangan banyak omong, anak nakal! Kau tidak tahu apa-apa!”

“Aduh… aduh….”

“Dasar anak nakal!”

Aku meninju muka Handoko dengan tangan kananku, lalu berlari keluar rumah. Aku terus berlari menyusuri jalan kampung tanpa henti. Air mataku berlelehan. Aku merasa sebentar lagi akan terjadi sesuatu pada Emak. Mungkin sesuatu yang buruk. Aku tak ingin kehilangan Emak! Tiba-tiba kakiku menyandung akar pohon besar. Aku jatuh tersungkur.

Saat itulah seorang gadis remaja menghampiriku, mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Setelah aku bangun, ia mengurut kakiku yang sakit. “Aku Alia. Nenekku tinggal di kampung ini,” katanya. Mendadak ada aliran sejuk menyentuh dadaku.

Jakarta, Maret 2009
Apa yang disisakan dendam selain siksa penyesalan? Rindang tepekur di depan pusara Tio. Menyalahkan kekeliruan Nolan juga tidak menyelesaikan masalah. Toh, bandit itu telah menghilang setelah menerima bayaran besar dari Rindang. Hampir tiap hari ia menyempatkan diri datang ke pusara itu. Ia tak peduli berita-berita miring tentang dirinya di infotainment. Ia ingin mengurangi beban hatinya dengan mengunjungi makan Tio setiap hari. Ia berharap Tio akan memaafkannya.

“Sudahlah, Rindang. Jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri,” hibur Alia, sambil menuntun Rindang bangkit dari depan pusara. Air mata Rindang meleleh lagi. Selalu begitu setiap hari.

“Apa kau mencintai Tio?” tanya Alia.

Rindang menghentikan langkahnya, menoleh ke pusara Tio, lalu memandang Alia. Mata Rindang basah. Apakah aku mencintai Tio? Tio yang lembut, sabar, simpatik dan menerima keartisan dirinya tanpa keberatan. Tio yang selalu bersikap manis, sopan, dan menjaga dirinya. Tio yang….

“Sekarang, aku baru sadar bahwa aku mencintainya….”

Alia merengkuh bahu Rindang.

“Hidup harus terus berjalan, Rindang. Mungkin dengan memohon ampunan pada Tuhan dan berusaha ikhlas akan meredakan dendammu.” Rindang mengangguk, mengusap air matanya. “Apa aku harus membunuh pria tua itu untuk menghapuskan dendamku?”

“Tidak!” Alia menggeleng kuat-kuat. “Ia sebentar lagi mati. Kebiasaannya minum minuman keras telah membuat tubuhnya rusak. Aku dengar sekarang ia juga masuk rumah sakit. Tak usah kau kotori lagi tanganmu, Rindang. Tuhan akan membalas dengan caranya sendiri.”

Mereka berjalan menuju mobil. Wartawan infotainment mencegat mereka di gerbang makam. Rindang merasa bosan melihat puluhan alat perekam dan kamera yang menyorot ke mukanya. Buru-buru mereka masuk ke dalam mobil.

“Alia, bolehkah aku pulang kampung sejenak untuk istirahat? Aku lelah,” kata Rindang, setelah mobil berjalan pelan meninggalkan pemakaman.

Alia tersenyum, menggenggam tangan Rindang. “Tentu saja, Rindang, itu hakmu. Baiklah, minggu depan kita pulang ke kampung masa kecil kita. Oke?”

Rindang tersenyum, membalas genggaman tangan Alia erat. Betapa bersyukurnya ia memiliki Alia. Ia merasakan aliran kesejukan saat pertama kali bertemu Alia kini menerpanya kembali.

Gemawing, Agustus 1987
Emak makin aneh. Tak lagi menari tayup dan sering bepergian entah ke mana. Sepertinya Emak juga memiliki banyak uang karena tak pernah menunda setiap aku minta uang untuk membeli buku. Setiap kali ada polisi datang ke rumah mencari Handoko, Emak akan ikut polisi itu entah ke mana. Emak baru pulang ke rumah esok harinya dalam keadaan letih. Itu berlangsung setahun lalu.

Sekarang Emak sering sakit-sakitan dan lebih banyak berbaring di tempat tidur. Makin lama badannya makin kurus. Petugas kesehatan tak mengatakan dengan jelas apa penyakit Emak. Aku jadi bingung dengan keadaan Emak. Aku rindu Emak menjadi primadona tandak seperti dulu. Aku rindu Emak menari dan nembang seperti dulu, tetapi Emak tak pernah mau melakukannya.

Dalam keadaan seperti itu ada keajaiban kecil yang membahagiakan, yaitu pertemuanku dengan Alia. Sekarang aku memiliki teman baik sekaligus kakak yang baik. Alia lima tahun lebih tua dariku dan tinggal di rumah neneknya. Orang tuanya meninggal dalam kecelakaan dan Alia tak punya saudara. Nenek Alia orang terkaya di kampung dan sangat dermawan. Aku dan Alia juga sama-sama memusuhi Nolan. Aku merasa sedikit punya kegembiraan, meskipun kehilangan Emak.

Suatu siang, saat sedang bermain bersama Alia di halaman rumah Nenek, Nolan memanggil-manggilku dari ujung jalan. Awalnya aku tak menggubris panggilan itu.

“Rindang! Rindang! Pulanglah! Emakmu sakit keras!”

Aku mengeryitkan dahi. “Apa dia membohongiku, Alia?”

“Bagaimana kalau kita ke rumahmu. Nanti kalau dia bohong, kita akan menghajarnya.”

Kami bergegas ke rumahku. Nolan tak bohong. Banyak orang sedang berkerumun di rumahku, menunggui Emak yang terbaring lemah di pembaringan. Mata Emak hampir terpejam, namun membuka begitu melihat kedatanganku. Di atas dadanya yang kurus tergeletak selendang merah pemberian Bapak. Emak mengulurkan selendang itu kepadaku, lalu mengembuskan napas terakhirnya.

Aku memeluk Emak, seperti baru sadar bahwa Emak telah meninggalkanku selama-lamanya. Alia menarik tubuhku dan memelukku. Dunia dalam mataku menjadi begitu gelap.

Aku melewati masa remaja dalam kemurungan. Nenek Alia mengajakku tinggal bersamanya. Ia menanggung seluruh biaya hidupku dan sekolahku. Bahkan, nenek Alia berjanji akan menyekolahkanku sampai sarjana. Namun, aku lebih tertarik pada hal lain. Darah seni Emak mengalir dalam nadiku. Aku suka menyanyi dan ingin menekuni bidang itu.

Kepergian Emak juga menyisakan kesedihan yang tak kunjung hilang. Desas-dasus warga kampung mengatakan, Emak meninggal karena menderita AIDS. Aku mencari tahu dari buku-buku yang dimiliki Alia. AIDS adalah penyakit yang menyerang kekebalan tubuh seseorang dan tak ada obatnya. Salah satu penyebabnya adalah berhubungan bebas dengan banyak lawan jenis tanpa pengaman.

Belum tentu benar Emak menderita AIDS. Karena, menurut buku Alia, gejala penyakit ini baru muncul setelah penderitanya tertular virus HIV dalam jangka waktu lama, lebih dari 10 tahun. Meski begitu, dendam sudah tumbuh di sisi hatiku. Mengakar seperti akar liar yang membelit setelah otakku bisa mencerna banyak hal yang menimpa emakku.

Peredaran minuman keras dan narkoba di kampung ini didalangi oleh Handoko, kemudian melibatkan Emak yang mencintainya. Handoko selalu menjual tubuh Emak kepada petugas untuk membebaskannya dari penjara. Sampai kemudian penyakit menggerogoti tubuh Emak. Entah dari pria mana Emak tertular penyakit itu. Sejak kematian Emak, Handoko menghilang tak tahu rimbanya.

“Kita akan pindah ke Jakarta, Rin! Kau bisa mengembangkan bakatmu menyanyi dan aku akan terus sekolah!” kata Alia suatu malam, dengan ceria.

Seorang putra Nenek ingin memboyong Nenek ke Jakarta. Berita itu kedengarannya menarik, aku juga menyambutnya dengan gembira. Memang berat meninggalkan kampung indah ini dengan semua kenangannya. Aku membawa selendang merah Emak sebagai pengingat bahwa di kota mana pun aku akan mencari cara untuk membalas dendamku kepada Handoko itu.

“Tak akan kubiarkan Emak pergi dengan cara seperti itu…”

Jakarta, September 1994
Bayanganku tentang kota besar bernama Jakarta tak sepenuhnya benar. Bersyukur aku menemukan banyak orang baik yang kemudian mendorong bakatku menyanyi. Aku sekolah pada pagi hari dan les vokal sore hari. Alia yang selalu sibuk dengan aktivitas sekolahnya selalu berada di sampingku untuk mendorong dan menemani.

Sampai kemudian, lewat salah seorang paman Alia, aku mendapatkan jalan ke sebuah perusahaan rekaman. Aku berhasil membuat sebuah album dan mulailah karierku sebagi penyanyi. Album pertama itu meledak di pasaran dan melambungkan namaku sebagai penyanyi baru di industri musik Indonesia. Seperti Emak, aku telah menjadi primadona yang dielu-elukan.

“Aku menunda kuliahku ke luar negeri, Rin. Aku ingin mendampingimu, menjadi manajermu,” kata Alia, melihat kesibukanku menumpuk.

“Alia, kau sudah banyak berkorban untukku. Aku tak mau, gara-gara aku, masa depanmu berantakan,” jawabku.
Alia menggeleng. “Tidak, Rin, aku akan menyesal kalau terjadi sesuatu denganmu.”

“Terima kasih, Alia….”

Mulailah Alia menjadi manajerku. Kami pindah ke sebuah apartemen dan aku menjalani hidupku di dunia yang baru. Banyak hal menyenangkan menjadi seorang primadona, namun banyak pula hal-hal yang membosankan. Alia selalu berada di sampingku untuk mendorongku. Selama itu pula, aku tetap mengelus selendang merah Emak sebelum tidur, berjanji mencari pria itu untuk menamatkan dendamku.

Sampai kemudian aku bertemu Nolan yang telah menjelma menjadi bandit besar di tengah Jakarta. Ia membantuku mencari informasi tentang Handoko. Bukankah semuanya harus terbayar?

Gemawing, Maret 2009
Mata Rindang masih basah saat melangkah keluar pemakaman. Ia tak rela Emak pergi dengan cara seperti itu. Tetapi, bukankah manusia tak berhak menghukum sesamanya? Dendam hanya akan lunas dengan hati yang ikhlas dan tabah menerima musibah. Bukan dengan cara membalasnya. Alia merangkul pundak Rindang. Mereka menyusuri jalan setapak menuju pantai.

Kampung Gemawing belum banyak berubah. Kecuali bangunan-bangunan tembok yang menggantikan rumah berdinding gedhek (anyaman bambu). Lautnya juga masih bersih dan biru. Alia membiarkan Rindang berlama-lama berdiri menatap laut. Mungkin, dengan begitu kesedihan Rindang sedikit terobati.

Samar-samar Rindang mendengar suara gamelan dari kejauhan. Rindang bergegas menghampiri Alia dengan antusias dan menggoyang-goyang tubuhnya.

“Kau dengar suara gamelan?” tanya Rindang.

Alia menyibak rambutnya, menajamkan pendengarannya.

“Ya, aku dengar. Dari arah sana!”

“Itu tayuban, Alia! Tayuban!”

“Entahlah. Memangnya kenapa?”

“Aku ingin menari dan menjadi tandak semalam saja.”

“Kau gila!” bantah Alia. “Memangnya kau bisa?”

Rindang berlari ke arah datangnya suara gamelan.

Alia me­nyusulnya.

“Lihat saja! Aku akan menjadi tandak malam ini! Mengenakan selendang merah milik Emak dan menjadi primadona!” teriak Rindang senang.

“Rindang… tunggu…!”

Rindang tertawa-tawa, terus berlari meninggalkan Alia.

No comments: