12.22.2010

Senandung Cinta Masa Lalu

Persahabatan yang telah terjalin sejak kecil itu terputus. Regina menghilang entah ke mana. Tak seorang pun yang tahu keberadaannya.

Pramudya menatap wanita cantik yang amat dicintainya dengan pandangan nanar dan perasaan campur aduk. Regina, perempuan yang sempat menjadi pelabuhan cintanya, sekarang ini terkurung di sel penjara yang sempit. Wajah cantik itu masih sangat menawan. Penampilannya seakan memaku usia Regina, sehingga ia tampak seperti 20 tahun lalu. Bagaimana mungkin sang bidadari yang begitu dipujanya dapat meringkuk di penjara, apalagi dengan tuduhan yang sangat keji. Pembunuhan.

“Pram, akhirnya aku dapat melihatmu lagi!” Suara merdu Regina menerbangkan ingatan Pramudya kembali ke masa silam. Pramudya perlahan mendekati sosok Regina. Ia ingin berlari, memeluk Regina seerat mungkin, lalu mengatakan padanya tentang semua perasaan rindu yang dipendamnya selama ini.

“Regina, apa yang terjadi padamu? Apa yang kaulakukan? Apa semua tuduhan itu benar?” Suara Pram tersendat.

Pramudya tidak dapat lagi menahan dirinya untuk merengkuh tubuh Regina ke dalam pelukannya, membiarkan Regina menumpahkan air mata.

“Aku sangat membutuhkanmu, Pram! Aku sangat membutuhkan kalian! Aku ingin kembali menjadi Regina yang kalian kenal dulu!”

Regina menghapus air matanya, lalu melepaskan pelukan Pramudya, sahabat terbaik yang pernah dimilikinya. “Aku sangat rindu padamu, Pram! Berapa lama kita tidak bertemu? Dua puluh tahun? Lihat dirimu sekarang. Pramku sudah menjadi pria dewasa yang matang.”

Regina memandang sahabatnya dengan kagum dan bangga. Pram mengulaskan senyum, menanggapi pujian Regina. Andai saja Regina tahu, siapa yang membuatnya seperti sekarang ini, tentunya kekaguman yang terpancar dari mata indah Regina adalah miliknya.

“Kau menghilang ke mana? Kami berdua susah-payah mencarimu, tapi kau seolah hilang ditelan bumi!” Pram mengucapkannya dengan nada tinggi.

Ya, Pram dan Paskalis sangat kehilangan Regina, kehilangan indahnya kisah persahabatan, dan kehilangan benih cinta yang pernah tumbuh di antara mereka.

“Paskal? Apakah ia akan datang, Pram? Paskal mau datang untukku?” Air mata Regina kembali tumpah. Dua sahabat terbaik yang pernah ia miliki akhirnya kembali mengisi hidupnya, yang sebentar lagi hampir berakhir.

Bunyi derit pintu sel mengalihkan perhatian mereka. Regina menghambur ke sosok Paskalis, yang memeluknya dengan tangan bergetar. Sembari menatap Pramudya, Paskalis berucap lirih, “Regina! Ini betul Regina… Regina kita, Pram!”

Pramudya, Paskalis, dan Regina adalah tiga sahabat tak terpisahkan. Mereka bersahabat sejak usia kanak-kanak. Latar belakang keluarga dan status sosial mereka sangat berbeda. Namun, itu semua tak menghalangi persahabatan mereka.

Pramudya berasal dari keluarga kaya dan terpandang. Ayahnya pengacara sukses dan terkenal. Dari keluarga ibunya, ia mendapatkan darah kebangsawanan.

Paskalis lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang koster, penjaga gereja. Untuk menambah penghasilan sang ayah, ibu Paskalis membuka warung makan sederhana. Meski begitu, Paskalis dikenal sebagai pemuda cerdas dan tenang.

Regina adalah putri tunggal pengusaha garmen. Seperti namanya, yang berarti ratu kecil, Regina menjadi ratu dan pusat perhatian kedua orang tuanya dan juga menjadi ratu bagi kedua sahabatnya.

Pramudya dan Paskalis selalu berusaha menjadi pengawal yang baik untuk Regina. Regina mereka yang cantik dan lembut hati. Jangan sampai si cantik disakiti hingga hatinya yang sangat lembut itu terluka. Kebaikan Regina yang terkadang berlebih makin menumbuhkan rasa sayang mereka terhadapnya. Regina memang sangat menyayangi kedua sahabatnya. Pramudya dan Paskalis seperti sosok kakak yang sangat diinginkannya.

Awalnya, Pramudya menganggap Regina sebagai sahabat, sekaligus adik perempuan yang manis. Namun, entah sejak kapan, Regina berhasil mencuri hatinya. Mungkin, karena Regina selalu memberinya perhatian dan kasih sayang yang sangat ia butuhkan. Regina selalu bisa membuatnya merasa nyaman. Padahal, di sekelilingnya banyak gadis berlomba-lomba memikat hatinya. Namun, Pramudya telah menetapkan pilihan. Ia jatuh cinta pada Regina. Hatinya hanya untuk Regina.

Pramudya berusaha keras mengunci rapat bibirnya. Merahasiakan perasaan yang dimilikinya. Ia tidak mau Regina tahu yang sebenarnya. Ia takut, gadis itu akan menghindar darinya. Pramudya tidak ingin kehilangan Regina. Untuk menyamarkan perasaannya, Pramudya sering mengajak gadis-gadis yang menyukainya pergi ke klub atau makan-makan dan nonton film.
Hingga akhirnya Regina turun tangan. Dengan tutur kata halus, ia bicara pada Pramudya. “Pram yang kukenal tidak akan berbuat seburuk itu. Pramku orang baik yang sangat perhatian. Pram, aku ikut sakit hati mendengar hal-hal buruk tentangmu. Berjanjilah kau tidak akan melakukannya lagi. Kamu mau berjanji untukku, Pram?”

Melihat wajah Regina mendung gara-gara tingkahnya, Pramudya langsung menurutinya. Meski langkah yang diambilnya melukai hati gadis-gadis pemujanya, Pram tidak peduli. Permintaan Regina adalah sabda yang harus dilaksanakan.

Pramudya bukanlah pemuda tanpa masalah. Ia harus menghadapi masalah pelik tentang hubungannya dengan sang ayah. Baginya, ayahnya merupakan orang paling keras kepala dan keras hati yang pernah ia jumpai. Ayahnya selalu memaksakan kehendak pada anak-anaknya. Terekam jelas dalam ingatannya saat Pramudya menyaksikan pertengkaran antara ayah dan kedua kakak lelakinya, yang memilih pergi dari rumah dan hidup terlunta-lunta sebagai pengangguran daripada menuruti keinginan sang ayah dan menjadi pengacara. Giliran Pramudya yang kemudian dipaksanya.

Pramudya berusaha menentang keinginan ayahnya dengan cara halus. Ia memiliki impian untuk menjadi arsitek. Namun, ayahnya tetap seperti bongkahan batu cadas, tidak mau memahami keinginan anaknya. Meminta pertolongan ibunya sangat tidak mungkin. Ibunya bahkan tidak bisa mencegah kepergian kedua kakaknya. Bagi ibunya, keputusan yang diambil oleh ayahnya adalah hal terbaik dan perintah yang harus dilaksanakan.

Regina dan Paskalis adalah tempat Pramudya mencurahkan perasaan. Paskalis dengan sikapnya yang tenang dan dewasa memintanya untuk memenuhi keinginan ayah Pram. “Aku tahu, Pram. Ini berat untukmu, tapi cobalah mengerti ayahmu. Jika kamu juga keras kepala, bagaimana masa depanmu? Apa kamu ingin seperti kedua kakakmu? Siapa tahu, kuliah di fakultas hukum kelak akan menjadi pilihan hidup terbaik yang pernah kaubuat. Kurasa, pengacara bukan profesi yang buruk.”

Pramudya terdiam. Ia mencoba mencerna semua ucapan Paskalis dengan akal sehatnya. Tentu saja, ia tidak ingin bernasib sama seperti kedua kakaknya. Tapi, bagaimana dengan impian dan cita-citanya?

“Ya, Pram. Paskalis betul. Jika gagal menjadi arsitek, siapa tahu istrimu nanti seorang arsitek,” Regina mencoba mencairkan ketegangan.

“Memangnya kamu mau jadi arsitek, Re?” Pertanyaan spontan dari mulut Pramudya membuat wajah Regina memerah. Paskalis menatap Pramudya, penuh tanda tanya.

Pramudya segera menyadari kesalahannya. “Rasanya tak mungkin. Kamu tetap akan jadi psikolog kan, Re?” tanya Pramudya.

Meski begitu, pandangan mata Paskalis tidak berubah. Ia menatap Pramudya lekat-lekat. Tatapan itu membuat Pramudya sadar, Paskalis mengetahui perasaan istimewanya untuk Regina. Paskalis telah memegang rahasia besarnya.

Paskalis tidak berbeda. Ia juga telah jatuh cinta pada Regina. Paskalis sendiri tidak mengerti kapan ia mulai merasakan cinta pada Regina. Mungkin, karena ia mengagumi pribadi Regina yang polos, namun juga tegar. Regina selalu ada di sampingnya, mengisi hari-harinya dengan penuh rasa sayang dan perhatian. Bagi Paskalis, Regina menjadi satu-satunya gadis yang pernah mengisi kehidupan cintanya. Dan, untuk gadis tercinta itu, Paskalis rela memberikan segalanya, asalkan ia bahagia.

Regina sering berkunjung ke rumah Paskalis. Tanpa rikuh ia membantu ibu Paskalis menyiapkan masakan atau berbincang akrab dengan ayahnya. Menurut ibu Paskalis, Regina adalah gadis yang memiliki kecantikan luar dalam. Paskalis setuju itu.

Paskalis menahan getar cinta itu dalam hati. Ia tidak punya keberanian untuk mengutarakan perasaannya. Regina terlalu tinggi untuknya. Selain cantik, baik, dan cerdas, Regina juga memiliki status sosial yang lebih tinggi. Semuanya itu sudah cukup membuatnya ‘mendarat’ kembali ke bumi dan berpikir menggunakan rasio untuk mengukur siapa dirinya saat ini. Ia seperti pungguk merindukan bulan. 

Tapi, memiliki Regina sebagai sahabat merupakan anugerah besar. Apalagi, setelah ia mengetahui perasaan Pramudya. Paskalis memutuskan untuk mengalah. Ia memilih mundur. Kebahagiaan Regina di atas segalanya. Kebahagiaan gadis itu adalah bersama Pramudya. Bukan dengannya.

Paskalis menyibukkan diri membantu Bapak setiap sore di gereja. Ia melakukan semua itu untuk menghindari Regina.

“Di gereja sedang banyak acara, Paskal? Aku bisa membantu apa? Sedikit banyak aku juga tahu cara merangkai bunga,” kata Regina.

“Tidak ada acara istimewa. Hanya misa biasa. Tapi, Bapak mulai sakit-sakitan. Jadi, sudah sewajarnya aku membantu Bapak.”

Wajah ceria Regina berubah mendengar keadaan ayah Paskalis. “Paman sakit apa? Sudah kamu bawa ke dokter atau belum?”

Paskalis tersenyum. Begitulah Regina yang penuh perhatian.

“Bapak hanya sakit biasa. Kamu jangan terlalu khawatir begitu, dong,” jawab Paskalis dengan nada ringan.

“Terserah apa katamu. Pokoknya, nanti sore aku ke rumahmu. Jangan pernah berusaha melarangku datang dengan alasan kamu repot di gereja. Aku tidak mencari kamu. Aku hanya ingin bertemu dan melihat bagaimana keadaan Paman,” kata Regina.

Paskalis tersenyum. Siapa yang tidak jatuh cinta pada gadis sebaik dan semanis Regina?

Regina menikmati hidupnya. Ia memiliki segalanya dalam hidup. Keluarga yang harmonis, bahagia, dan berkecukupan. Ada dua sahabat yang mengisi kesepiannya sebagai anak tunggal. Apa yang kurang dari hidupnya?

Regina sangat bangga pada ayahnya. Ayahnya adalah contoh pengusaha sukses yang tetap mengutamakan keluarga. Kasih sayang berlimpah dari ayahnya selalu ia rasakan. Ayahnya tidak pernah melarangnya berbuat apa pun. Ayahnya percaya, semua tindakan yang dilakukan putrinya selalu baik, tidak ada buruknya. Dengan begitu, Regina seakan punya tanggung jawab besar terhadap semua yang dilakukannya. Ia tidak ingin menodai kepercayaan ayahnya yang sangat besar.

Mamanya adalah sosok wanita luar biasa. Sangat lembut. Mamanya tidak hanya memberinya nasehat, namun juga memberikan teladan untuk selalu bersikap baik dan hormat pada semua orang, tanpa memandang latar belakang mereka. Begitulah yang ia lakukan terhadap dua sahabatnya.

Pramudya, yang ketika kecil sangat bandel dan sering menggodanya sampai menangis, sekarang telah menjadi sosok tampan. Terkadang, perhatian dan kasih sayang Pramudya membuatnya gede rasa. Sedangkan Paskalis tidak banyak berubah. Ia selalu bisa membuatnya merasa tenang dan bertambah dewasa dalam memandang hidup.

Pramudya akhirnya memutuskan untuk menuruti keinginan ayahnya. Dengan berat hati ia memilih berpisah dari dua orang terpenting dalam hidupnya dan kuliah di Yogyakarta. Kedua orang tuanya tak keberatan mendengar keputusan Pramudya. Hal terberat yang dirasakan Pramudya adalah menyampaikan keputusan itu pada Paskal dan Regina.

“Apa kamu harus melanjutkan studi di Yogya, Pram? Kamu kan bisa kuliah di sini. Kamu yakin dengan keputusan ini?” Regina bertanya dengan nada sedih.

Pramudya menghela napas panjang. Sebenarnya, ia tak ingin meninggalkan mereka, terutama Regina. Namun, tetap bertahan dan bertemu ayahnya setiap hari akan semakin membuatnya tertekan. Pramudya masih belum dapat menerima kekerasan hati ayahnya, yang membuatnya terpaksa membunuh semua impiannya.

“Aku harus pergi, Re. Kamu tahu alasan kepergianku,” kata Pramudya, sambil menggenggam erat tangan Regina.
Beban Pramudya memang berat. Regina mengerti keadaan sahabatnya. “Jika itu yang terbaik untukmu, Pram, lakukanlah apa yang terbaik buat hidupmu!” Regina memeluk erat Pramudya.

“Tenang, Re, biarpun aku di Yogya, hatiku masih di sini bersama kalian!” Pramudya mengelus rambut halus Regina.

“Tapi, kau harus sering memberi kabar. Jangan-jangan, setelah bertemu gadis Yogya yang manis dan halus, kamu jadi melupakan kami berdua!” Regina mengacak rambut Pramudya.

Pramudya tersenyum simpul. Bagaimana ia bisa tertarik pada gadis lain, sementara sang pujaan hati berada begitu dekat di sisinya.

“Kamu sendiri mau melanjutkan studi di sini, Re?” Pertanyaan basa-basi dilontarkan Pramudya.

Regina menganggukkan kepalanya, mantap. Tentu saja, Regina melanjutkan studi di Jakarta. Bagaimana mungkin Regina bisa berpisah dari kedua orang tua yang sangat menyayanginya.

“Masih tetap memilih psikologi?” Pramudya melanjutkan pertanyaan basa-basinya. Ia hanya ingin terus mendengarkan suara merdu Regina, merekamnya dalam ingatannya, dan memutarnya kembali di saat kerinduannya membuncah ketika di Yogya nanti.

“Tentu saja, Pram. Aku ingin belajar mengenal dan mempelajari pribadi banyak orang. Di mana lagi bisa kudapatkan semuanya itu kalau tidak mengambil bidang psikologi?”

Regina menjawab pertanyaan Pramudya dengan berapi-api. Matanya yang indah tampak bersinar-sinar. Regina segera memalingkan pandangannya ke arah Paskalis, yang sedari tadi hanya tersenyum melihat polah kedua sahabatnya.

“Bagaimana dengan kamu, Paskal? Kamu mau melanjutkan studimu di mana?” Regina mendekati Paskalis. Dengan manja ia bergelayut di pundaknya. Paskalis menepuk punggung tangan Regina dengan lembut.

“Aku mau masuk seminari, Re.”

Jawaban singkat dan tenang dari Paskalis membuat Regina dan Pramudya terkejut. Regina segera melepaskan tangannya dari pundak Paskalis. Gadis itu tepekur. Di wajahnya terdapat satu tanda tanya besar.

Pramudya mendekati Paskalis. ”Kamu sungguh-sungguh, Paskal?”

Paskalis tersenyum ringan, mengiyakan pertanyaan Pramudya.

“Pram, Paskal mau masuk seminari dan menjadi Pastor!” Regina akhirnya bersuara, meski suaranya terbata-bata.

“Maaf, aku baru berani bicara pada kalian setelah semuanya beres. Maksudku, setelah aku merasa benar-benar mantap dengan diriku sendiri. Ini adalah keputusan yang sangat besar. Kemarin aku menemui Romo Paroki dan beliau sangat mendukung. Jadi, aku makin mantap untuk masuk seminari dan menjadi pastor.”

“Rencananya, kamu ingin masuk di seminari mana, Paskal?” Regina bertanya dengan nada sedih. Dalam bayangannya, selain Pramudya, Paskalis juga akan pergi meninggalkannya. Ia akan sendirian, tanpa mereka berdua, sahabat terkasihnya.

“Kemungkinan di Yogya, Re. Jangan sedih, Nona Cantik!” Paskalis memeluk Regina, yang sudah mulai menangis.

“Aku sangat bahagia dengan keputusanmu. Tapi, berpisah darimu dan Pram dalam waktu yang bersamaan membuatku sangat sedih. Bagaimana hidupku tanpa kalian?” Regina tak kuasa menahan tangis. Ia terisak-isak dalam pelukan Paskalis. Pramudya hanya menatap keduanya dengan tatapan sedih. Perpisahan sudah ada di depan mereka. Persahabatan mereka mungkin akan terus berlangsung, tapi kebersamaan mereka sebentar lagi akan berakhir.

“Pram dan Paskal, sahabat terbaikku, berjanjilah kalian tidak akan pernah melupakanku. Berjanjilah persahabatan kita akan terus ada selama kita hidup. Kalian mau berjanji, bukan?”

“Tentu saja, Re. Aku akan melakukan semua yang kau minta!”

Pramudya memeluk Regina erat-erat. Paskalis menggenggam jemari Regina, memastikan bahwa dirinya akan melakukan hal yang sama.

Perpisahan itu akhirnya tiba. Pramudya berangkat ke Yogya diantar oleh keluarga dan Regina. Paskalis sudah berangkat terlebih dahulu untuk mulai menjalani kehidupannya di seminari.

Pramudya menatap Regina lekat-lekat, “Ingat janji kita, Re. Kita harus selalu memberi kabar. Jika ada sesuatu atau seseorang yang mengganggumu, kamu harus bercerita padaku. Aku akan selalu menjadi pelindungmu yang terbaik.”

Regina mengacungkan ibu jarinya. Pramudya dapat melihat jelas raut kesedihan di wajah Regina. Dalam hati, Pramudya berjanji, ia akan selalu melindungi Regina dari apa pun yang bisa membuatnya terluka. Pramudya memeluk Regina erat-erat. Ia ingin menikmati wangi rambut dan kehangatan tubuh Regina dalam peluknya.

Setelah perpisahan itu, perlahan Regina menghilang dari kehidupan mereka. Surat mereka masih dibalas oleh Regina dalam sebulan atau dua bulan. Tidak ada hal yang aneh dalam surat Regina. Ia menikmati kuliahnya dan keluarganya dalam keadaan baik.

Berita pembunuhan yang dilakukan Regina rupanya bukan satu-satunya kejutan. Seorang gadis muda mengaku sebagai anak Regina....

Setelah surat terakhir itu, Regina seakan menghilang. Pramudya menghubungi Paskalis untuk mencari tahu kabar tentang Regina. Paskalis juga mengeluhkan hal yang sama. Ayah Pramudya mengabarkan bahwa keluarga Regina telah pindah rumah, entah ke mana. Tapi, selebihnya, tak ada yang tahu.

“Regina sudah pindah rumah, Paskal. Sayang, tidak ada yang tahu mereka pindah ke mana. Kita kehilangan dia, Paskal!” Pramudya tampak sangat panik. Regina menghilang. Gadis tercintanya itu entah di mana rimbanya.

“Tenang, Pram. Kita tunggu beberapa waktu.” Paskalis mencoba menenangkan Pramudya, meskipun ia juga merasa kawatir. Perasaan yang ia miliki untuk Regina sangat kuat. Bagaimanapun, ia masih memiliki rasa cinta untuk Regina.

“Aku akan pulang ke Jakarta minggu ini, Paskal! Akan kucoba mencari Regina. Entah kenapa, aku merasa kawatir. Aku takut terjadi sesuatu pada Regina!”

Paskalis terdiam, Pramudya memang bisa pulang ke Jakarta, kapan pun ia mau. Tapi, ia tidak bisa.

“Baiklah, Pram. Kau cari Regina dulu. Nanti, jika aku dapat libur dan pulang ke Jakarta, aku akan berusaha mencarinya.”

Namun, semuanya sia-sia. Usaha pencarian Pramudya yang dilanjutkan oleh Paskalis tidak membawa hasil. Regina tidak juga memberi kabar dan menghilang entah ke mana.

Pramudya dan Paskalis menatap Regina, meminta penjelasan.

“Aku tidak percaya kamu sanggup membunuh, Re! Aku tidak percaya!” kata Pramudya, dengan suara bergetar. Paskalis hanya diam dan memangku tangannya. Ia menunggu Regina menjawab pertanyaan yang dilontarkan Pramudya.

“Aku bukan Regina kalian yang dulu. Aku bukan lagi Regina kalian yang manis, lembut, dan baik hati, yang sangat kalian banggakan. Aku berubah! Tentu saja Regina yang sekarang sanggup melakukan semuanya, termasuk membunuh!” Regina berteriak histeris, seakan ingin menumpahkan semua yang dipendamnya selama ini. Semua kemalangan, penderitaan, dan rasa sakit yang sekian lama ditutupinya. Ia sangat merindukan Pram dan Paskal, yang selalu bisa membuatnya merasa aman dan nyaman.

Paskalis memeluk Regina yang tampak terguncang. Apa yang menimpa Regina sampai ia tidak dapat lagi menguasai diri dan berteriak histeris? Begitu beratkah masalah Regina dan saat ini mencapai puncaknya? Pramudya terdiam, menyesali diri karena tidak bisa melindungi Regina.

“Terima kasih kalian mau datang. Aku sangat membutuhkan kalian. Akhirnya, kita dapat bertemu kembali. Aku masih tidak percaya sekarang aku bersama kalian!”

“Re, sudahlah. Kami ada di sini untukmu. Ceritakan mengapa kamu bisa sampai di sini?” Pramudya mendekati Regina dan mengelus rambutnya yang panjang dan halus itu.

“Mau mendengar kisahku dari mana? Dari awal perpisahan kita?” Regina menatap keduanya dengan tatapan sendu. Pramudya dan Paskalis menjawab pertanyaan itu dengan anggukan kepala.

“Perpisahan itu membuatku sangat kehilangan. Tapi, aku juga sangat bahagia karena dua orang terpenting dalam hidupku bisa memilih jalan hidup terbaik.” Regina menghela napas panjang. Matanya menerawang, berusaha mengumpulkan kembali kenangan lama yang pahit.

“Biarpun kehilangan kalian berdua, aku percaya, kalian pasti selalu ingat padaku. Aku juga memiliki kehidupan yang harus kujalani dengan orang tua yang selalu mendukungku. Namun, sayang, aku terlalu naif. Mungkin benar jika kalian sering mengecapku sebagai gadis polos dan lugu. Tak pernah terlintas dalam pikiranku, kehidupan yang selama ini kurasakan amat indah akhirnya berbalik arah dan menghancurkanku.”

Pramudya dan Paskalis dapat melihat wajah Regina kembali mendung. Bibirnya bergetar, berusaha menahan tangis. Pramudya memegang erat tangan Regina. Paskalis tetap tenang, menanti kelanjutan kisah hidup Regina.

“Bisnis Papa jatuh! Bisa kalian bayangkan, bagaimana keadaan keluargaku ketika itu terjadi?” Regina mengusap air matanya. Perlahan Regina menuturkan kembali kisah hidupnya.

Setelah kejatuhan bisnis papanya, keharmonisan keluarga Regina mulai goyah. Papanya, yang semula merupakan ayah dan suami teladan, mulai berubah sikap. Perilaku papanya menjadi sangat buruk. Mama selalu mencoba mengerti keadaan Papa yang sangat terpukul dengan kejatuhan bisnisnya, yang dipicu oleh muslihat kolega dekatnya sendiri.

Papa Regina terbiasa dengan alkohol. Ia pun mulai menyalahkan semua orang di sekelilingnya, termasuk orang-orang yang dicintainya. Papanya mulai berani memukul mamanya, bahkan di depan Regina. Regina, yang selama ini dididik agar berperilaku halus, sangat terluka dengan perubahan sikap papanya. Ditambah lagi, saat itu ia sendirian, tanpa sahabat yang biasa menjadi tempatnya untuk mengadu.

Keluarga Regina harus meninggalkan rumah mewah mereka dan pindah ke sebuah rumah kontrakan kecil yang sangat sederhana dengan lingkungan yang kurang sehat. Mama tidak henti-henti menyemangati, menguatkan, dan menasihati Regina. Ia bilang, semua penderitaan yang mereka alami akan segera berakhir.

Meski kondisi ekonomi keluarganya sangat lemah, Regina tetap melanjutkan sekolahnya. Semuanya sudah habis. Papanya benar-benar jatuh. Mamanya berusaha menjadi penengah dan penghibur bagi dua orang yang sangat dicintainya.

Wiguna. Itulah kolega yang sampai hati menjatuhkan bisnis papanya. Regina sama sekali tidak menyangka, Oom Wiguna tega mengkhianati papanya. Padahal, selama ini ia begitu baik dan selalu menunjukkan sikap sayang padanya. Bukankah selama ini hubungan keluarga mereka sangat baik? Seperti inikah wajah dunia bisnis yang sebenarnya? Regina menyimpan pertanyaan itu dalam hatinya selama bertahun-tahun.

Kekaguman dan rasa iba Regina pada mamanya semakin kuat. Meski sering disakiti secara mental dan fisik, mamanya tetap bersikap sebagai istri yang baik. Mamanya tidak pernah mengeluh atau memaki papanya karena kehidupan tak layak yang diterimanya. Bahkan, mamanya tidak berhenti menasihati Regina agar selalu bersikap hormat terhadap Papa, walau sikap Papa berubah sangat banyak.

Regina mulai mempertanyakan tentang keadilan. Apa yang salah dari kehidupan keluarganya? Papa dan mamanya adalah orang baik. Lalu, di mana orang-orang yang dulu begitu mengagungkan mereka? Mengapa tidak ada satu pun teman mereka yang membantu?

Regina teringat semua ucapan mamanya. Jika memberi, Regina tidak boleh mengharapkan balasan apa pun. Begitu katanya dulu. Mamanya melarang Regina mengingat-ingat kebaikan yang sudah diberikan kepada orang lain. Batinnya mulai bergejolak.

Keputusan terakhir yang diambil Regina adalah menyembunyikan semua masalah itu dari kedua orang sahabatnya. Regina tahu, jika ia menceritakan kemalangan bertubi yang menimpanya, Pramudya dan Paskalis akan panik. Regina tidak ingin menyusahkan mereka. Saat ini mereka juga baru memulai kehidupan yang keras. Paskalis sedang menyesuaikan diri dengan kehidupan membiara di seminari yang penuh aturan dan kedisiplinan. Regina tidak ingin konsentrasi dan perhatian Paskalis pecah hanya karena dirinya.

Tak berbeda dari Pramudya, yang berangkat ke Yogya dengan membawa masalah berat. Jika mengetahui tentang masalahnya, Pramudya akan semakin goyah. Tidak. Ia tidak ingin mengikutsertakan kedua sahabatnya dalam kehancuran hidupnya. Dengan berat hati Regina mulai meninggalkan mereka.

Perlahan-lahan Regina mulai bisa menerima keadaan ekonomi keluarganya yang morat-marit. Apalagi, setelah ia mendapatkan pekerjaan sebagai di perusahaan milik seorang konglomerat. Pekerjaan itu dapat membantu menopang ekonomi keluarganya. Regina menikmati pekerjaan barunya. Tanpa kenal lelah Regina bekerja. Ia ingin orang tuanya, terutama mamanya, bangga padanya. Setiap kali Regina pulang larut, mamanya menyambut dengan linangan air mata.

“Maafkan kami, Sayang.” Regina membalas ungkapan penyesalan Mama dengan pelukan hangat. Ia meyakinkan mamanya bahwa ia tidak merasa terbebani dengan semuanya ini.

Satu hal yang membuatnya kawatir adalah papanya yang tak bisa menghilangkan kebiasaan berjudi.

Regina membuang pandangan dan menatap setumpuk kain yang belum dipotong di atas mesin jahit. Mamanya menerima jahitan dari tetangga sekitar.

“Mama, jangan kerja terlalu keras, ya. Regina khawatir asma Mama kambuh.” Regina memijat pundak mamanya.

“Mama sehat, Sayang! Kamu kan bekerja sampai malam, masa Mama enak-enakan menganggur di rumah.”

“Papa seharian melakukan apa, Ma? Papa tidak menyakiti Mama lagi, bukan?”

Mamanya menjawab pertanyaan itu dengan gelengan kepala. Ia tidak ingin Regina cemas jika tahu apa yang sudah dilakukan suaminya. Hendra memang sangat berubah. Kejatuhan bisnisnya merupakan pukulan telak yang sangat menyakitkan dan memukul egonya sebagai laki-laki. Apalagi, selama hidupnya Hendra sangat jauh dari apa yang disebut kegagalan. Semua yang dilakukan lelaki itu selalu berbuah kesuksesan. Ditambah lagi dengan keluarga bahagia yang sangat dibanggakannya.

Pengkhianatan Wiguna semakin memukul Hendra. Sebagai istri, Rachel selalu berusaha mendukung suaminya. Ia bertekad terus mendampingi suaminya, selalu bersamanya sampai maut memisahkan mereka, seperti janji perkawinan yang diucapkannya di altar.

Di matanya, Hendra tidak salah. Dan, tidak ada yang dapat dipersalahkan atas semua kemalangan ini. Rachel menganggap semua penderitaan hidup yang dialami keluarganya adalah cobaan dari Tuhan. Suaminya memang jatuh terpuruk. Namun, ia sangat bersyukur putri tunggalnya bisa bersikap tabah. Regina tidak ikut terpuruk. Gadis itu tampak semakin kuat dan dewasa.

“Regina hanya bisa berdoa supaya Papa cepat sadar dari semua perbuatan buruk yang dilakukan pada kita, terutama pada Mama!”

“Jangan menghakimi Papa, Re. Papa shock. Kita harus sabar.”

Regina menatap wanita yang masih tampak cantik, meski kerutan akibat penderitaan menghiasi wajahnya. Regina sangat mengagumi ketabahan dan kebaikan hati mamanya yang seakan tanpa batas. Wanita itu adalah satu-satunya kekuatan yang ia miliki untuk dapat melanjutkan hidup.

“Re juga terpukul, Ma! Mama juga ‘kan? Tapi, kita bisa kuat dan tabah. Mengapa Papa tidak, Ma? Mengapa?” Regina terisak. Ia sangat menyesali sikap Papa. Mama memeluk Regina dan mengelus rambutnya.

 
“Papa yang paling terpukul, Sayang. Papa merasa gagal dalam hidup. Papa merasa tidak bisa lagi melindungi dan membahagiakan kita. Saat ini tugas kita adalah mendorong dan menyemangati Papa. Kita harus bisa menyadarkan Papa bahwa kita tidak pernah menyalahkan Papa atas semua kemalangan ini. Putri Mama yang cantik bisa melakukannya ‘kan?”
Regina tersenyum dan mengangguk. Mamanya memang luar biasa!

Sayangnya, Papa tidak segera sadar. Papa justru semakin terpuruk dalam alkohol dan judi. Regina dapat melihat sinar mata mamanya yang mulai suram. Mungkinkah Mama berada di ambang batas menyerah? Tapi, tidak. Mamanya tidak berubah sedikit pun.

Utang papanya yang semakin bertumpuk membuat orang-orang berpenampilan kasar sering datang ke rumah, mengancam, dan meminta uang pada mamanya. Kesabaran Regina sudah habis. Ia tidak bisa lagi menghormati papanya. Ia mulai membenci papanya.

Regina mulai berubah. Ia bukan lagi gadis manis yang lembut. Ia berubah menjadi gadis kuat, tegar, dan keras hati. Kebencian yang ia rasakan terhadap papanya ia sembunyikannya.


Ternyata, Regina tidak perlu menaruh kebencian yang berlarut-larut pada papanya. Hendra akhirnya jatuh sakit akibat pola hidup yang sangat buruk. Ia hanya bisa berbaring di tempat tidur. Tapi, saat itu ia kembali berubah menjadi sosok yang selama ini dirindukan Regina. Berulang kali Hendra meminta maaf, mengungkapkan penyesalannya.

“Rachel, maafkan aku. Aku tidak lagi menjadi suami yang baik bagimu. Aku tidak lagi dapat membuatmu bahagia dan mewujudkan semua impian rumah tangga bahagia kita.”

Rachel hanya bisa memegang tangan suaminya yang lemah. Wanita cantik itu tidak berkata-kata. Regina tahu, mamanya sudah memaafkan suaminya sejak dulu.

“Regina, Sayang, maukah kamu memaafkan Papa?”

Hendra memanggil Regina untuk mendekat. Regina perlahan mendekati papanya. Rasa benci yang selama ini menggunung hilang begitu saja saat melihat papanya yang begitu lemah, begitu tidak berdaya.

“Papa, Regina sudah memaafkan Papa. Papa segera sembuh, ya. Kita membangun lagi keluarga bahagia seperti dulu.”

Hendra menitikkan air mata. Sepertinya, ia sungguh-sungguh menyesali perbuatannya. Mungkin, ia menyesal karena telah membuat orang-orang yang dicintainya menderita.

“Regin, Sayang, maukah kamu berjanji pada Papa untuk selalu menjaga Mama, jika sesuatu terjadi pada Papa?”

Regina merasa jantungnya berhenti berdetak. Mengapa Papa berkata demikian? Ia menganggukkan kepala. Tanpa diminta pun, Regina akan selalu menjaga dan melindungi ibundanya tercinta.

“Papa tidak perlu khawatir. Regina akan selalu menjaga Mama dan membuatnya bahagia. Papa juga akan melakukan hal yang sama, bukan?”

Hendra hanya mengangguk lemah dan tersenyum. Itulah hal terakhir yang dilakukannya.

Ketika papanya meninggal dunia, mamanya tidak menangis. Mamanya berusaha tabah menghadapi saat-saat itu. Demikian juga Regina. Mereka memandang kepergian Papa adalah jalan terbaik yang diberikan Tuhan bagi kehidupan mereka selanjutnya.

Namun, duka Regina masih berlanjut. Setelah kepergian papanya, kesehatan mamanya ambruk. Penyakit asmanya mulai sering kambuh. Pesanan jahitan membuat kesehatannya memburuk. Regina mulai khawatir. Apalagi, penyakit mamanya membutuhkan biaya besar. Regina harus bersusah-payah membiayai keluarga. Hingga akhirnya Regina memutuskan untuk berhenti kuliah dan berkonsentrasi mengurus kesehatan mamanya.

“Regina, jangan mengorbankan hidupmu hanya demi Mama,” kata mamanya, berusaha mencegah keputusan Regina.
“Mama adalah orang terpenting dalam kehidupan Regina. Regina tidak akan bisa hidup tanpa Mama,” kata Regina, sambil menyandarkan kepalanya di pangkuan Mama.

Bagaimana jika Mama pergi? Dengan siapa ia melanjutkan hidup? Bersama mamanya, Regina dapat mengarungi kehidupan buruknya dengan lebih ringan. Mamanya adalah satu-satunya tempat berpijak saat ini. Air mata Regina mengalir. Kepergian papanya yang menyedihkan belum hilang dari ingatan. Ia tidak ingin hal serupa menimpa mamanya.

“Kesehatan Mama sudah membaik, Re. Mama tidak perlu berulang kali kontrol ke rumah sakit. Itu hanya membuang-buang biaya. Mama….”

“Ma, jangan pikirkan biaya. Selama Regina masih ada, Mama harus sehat. Mama harus mendampingi Regina.”

Air mata Regina tumpah. Ia masih sanggup mencarikan biaya untuk kesehatan mamanya.

“Maafkan Mama, Sayang. Maafkan Mama.”

Wanita itu memeluk dan menciumi rambut putrinya. Ia harus berjuang untuk hidup demi Regina, putri tunggalnya.

Regina menghentikan kisahnya saat sipir memberitahu jam berkunjung sudah habis. Pramudya dan Paskalis menatap Regina.

“Waktunya habis, Re. Jangan khawatir, besok kami berdua pasti menjengukmu kembali,” kata Pramudya, sambil memeluk Regina.

“Terima kasih, Pram. Salamku untuk keluargamu. Istrimu benar seorang arsitek ‘kan?”

Regina mengedipkan sebelah matanya. Pramudya tersenyum, Reginanya tidak berubah. Pramudya semakin yakin, Regina tidak mungkin membunuh.

“Terima kasih, Romo Paskal!”

Regina menjabat erat tangan Paskalis. Dalam hati Paskalis memiliki keyakinan yang sama seperti Pram. Ia yakin, Regina tidak bersalah. Regina tidak mungkin membunuh. Karena, Regina tidak berubah sedikit pun.

Saat keduanya akan beranjak dari sel Regina, kedatangan seorang gadis muda mengejutkan mereka.

“Mama! Maafkan Sarah….” Gadis itu segera menghentikan kalimatnya ketika menyadari jika Regina tidak seorang diri.

“Pram, Paskal, perkenalkan, ini putriku, Sarah.” Regina membimbing gadis muda itu kepada dua orang sahabatnya.

“Sarah, ini Oom Pram dan Romo Paskal. Mereka berdua teman baik Mama yang pernah Mama ceritakan padamu.”

Gadis muda bernama Sarah itu mengulurkan tangannya dengan sopan. Pramudya dan Paskalis bertanya-tanya. Putri Regina? Melihat usia Sarah yang sekitar tujuh belasan, rasanya tidak mungkin jika ia putri Regina.

“Besok aku lanjutkan ceritaku.”

Regina menengahi perasaan heran kedua sahabatnya. Sarah lalu menghambur, memeluk erat tubuh Regina dengan berurai air mata.

Setibanya di rumah, Pramudya sibuk mencari berita tentang pembunuhan itu. Ada sebuah berita yang cukup mengejutkan, yaitu pembunuhan sadis yang menimpa keluarga Wiguna. Yang akhirnya menjadi tersangka adalah seorang wanita pengusaha konglomerat berinisial R.W. Pramudya tidak menyangka, tersangka itu adalah Regina. Helen melihat tingkah suaminya dengan penuh curiga.

Sambil membantu melipat tumpukan koran yang berantakan di atas meja kerja suaminya.

“Helen, kamu masih ingat pada Regina, sahabat baikku?”

“Regina, cinta pertamamu? Bagaimana mungkin aku bisa lupa? Kamu terus menceritakan semua tentang Regina pada saat awal hubungan kita!”

“Dialah yang menjadi tersangka kasus pembunuhan sadis menggemparkan ini!” Pramudya menunjukkan berita itu kepada istrinya. Helen terdiam. Bagaimana mungkin? Bukankah Regina yang selama ini ia dengar dari cerita suaminya adalah perempuan lemah lembut dan baik hati?

“Kamu tidak main-main Bukankah Reginamu….”

“Iya! Karena itu, aku tidak percaya semua omong kosong ini. Tadi pagi Regina menelepon dan memintaku menjadi pengacaranya.”

“Regina pasti tahu hukuman maksimal untuk kejahatan pembunuhan yang ia lakukan, bukan?”

“Aku tidak akan membiarkannya, Helen! Regina tidak bersalah. Aku yakin itu!”

“Pram, waktu dua puluh tahun bukan waktu yang singkat. Bagaimana jika Regina yang selalu kau banggakan selama ini ternyata memang pembunuh sadis yang meresahkan masyarakat. Buktinya, ia tega menghabisi satu keluarga tanpa menunjukkan belas kasihan sedikit pun.”

“Helen, kamu tidak tahu siapa Regina. Kamu tidak mengenalnya. Reginaku tidak akan berbuat demikian. Jika benar ia melakukan perbuatan keji itu, aku yakin, Regina memiliki alasan kuat yang pasti akan kudukung!”

“Kau bertindak subjektif, Pram!”

Helen mengingatkan suaminya. Namun, Pramudya seakan tidak peduli. Helen terdiam. Mungkinkah wanita dari masa lalu itu kembali dan akan merebut perhatian suami tercinta dari sisinya?

  Kebahagiaan yang dirasakan Regina hanya datang sekejap. Untuk kesembuhan sang ibu, Regina harus membayar sangat mahal.

Paskalis menemui pastor pembimbingnya. Pertemuannya dengan Regina membuat perasaannya guncang. Paskalis sadar, sebagai pastor, perasaannya pada Regina adalah salah. Namun, Regina seakan menyeretnya kembali pada kenangan masa lalu. Pastor pembimbingnya itu tidak menyalahkan Paskalis. Namun, ia meminta Paskalis mengubah perasaan itu menjadi perhatian seorang pastor terhadap umat yang membutuhkan perhatian khusus.

Paskalis menghela napas panjang. Sebuah tanggung jawab besar harus ditanggungnya. Sebagai pastor, sekaligus sebagai sahabat. Antara satu-satunya cinta dari masa lalu dan cinta pelayanan seorang pastor kepada umatnya. Paskalis menganggukkan kepala. Tugas itu telah diberikan padanya dan sudah menjadi kewajibannya untuk melaksanakannya sepenuh hati.

Sebenarnya, Paskalis mendapat kesempatan untuk mengambil strata dua di bidang filsafat di Roma. Namun, melihat Regina setelah 20 tahun berpisah, ditambah dengan kemalangan yang tengah dihadapinya, hatinya merasa sakit. Paskalis tidak menyangka bisa bertemu dengan sahabat baiknya dalam situasi seperti sekarang. Selama ini ia berdoa agar kehidupan Regina selalu bahagia.

Regina, sang ratu dan malaikat kecilnya, bagaimana mungkin sanggup membunuh? Paskalis sangat mengenal Regina. Di lubuk hatinya yang terdalam ia menyangkal semua tuduhan itu. Regina tidak mungkin membunuh. Regina masih tetap malaikat kecil kesayangannya, yang akan menempati ruang khusus di sudut hatinya.

Kesibukan Pramudya bertambah padat sejak kasus Regina berada di tangannya. Bahkan, untuk kasus Regina ia langsung turun tangan untuk membelanya. Helen melihat perubahan sikap Pramudya yang drastis.

Suaminya lebih sering menghabiskan waktu di kantor daripada di rumah. Pramudya seakan tidak punya waktu lagi untuk anaknya.

Pramudya sangat heran melihat perubahan sikap istrinya. Helen berusaha keras mencegahnya untuk membela Regina. Sekarang Helen mulai mengajaknya berdebat tentang masalah Dito, anak mereka.

Pramudya sadar ia memang sedikit mengalahkan Dito semenjak menangani kasus Regina. Tapi, ia sudah mengajak Dito bicara. Putra tunggalnya itu mengerti.

“Mengapa kamu mati-matian membela Regina. Padahal, semua bukti menunjukkan bahwa Reginamu itu bersalah? tanya Helen.

“Helen, kamu tidak mengenal Regina. Menurutku, dia tidak bersalah. Naluriku sebagai seorang pengacara menguatkannya!

“Tapi, bukti-bukti yang dikumpulkan oleh polisi sudah lengkap. Apa kamu masih berkeras mengatakan Regina tidak bersalah? Apalagi, dia sendiri sudah mengakui perbuatannya, bukan? Kamu takut kehilangan Regina karena ia akan dijatuhi hukuman mati, ‘kan?

“Aku baru menemukan Regina, Helen. Aku tidak akan membiarkannya lepas lagi. Aku akan berjuang untuknya! kata Pramudya tegas. Helen hanya bisa menahan air mata. Dalam hati ia mengutuki kembalinya Regina dalam kehidupan keluarganya.

Paskalis mengunjungi Regina kembali. Pramudya sudah berada di ruangan sempit yang menyesakkan itu. Selain Pramudya dan Regina, Paskalis menemukan sosok Sarah dan pemuda remaja tampan yang sedang memeluk Regina dengan erat.

“Axel, itu Romo Paskalis yang sering Mama ceritakan. Cepat beri salam pada Romo. Kamu juga, Sarah!

Paskalis menyambut uluran tangan Sarah dan Axel dengan hangat. Ia bertanya dalam hati, siapa gerangan pemuda tampan ini?

“Axel adiknya Sarah, Romo, kata Regina.

Paskalis menganggukkan kepala. Namun, segudang pertanyaan masih berkecamuk di kepalanya.

“Axel, Sayang, jangan bersedih. Sarah, bawa adikmu keluar. Mama tidak tega melihat wajah Axel.

Regina mengelus lembut rambut Axel dan mengecup ringan dahinya. Axel masih berusaha keras memeluk erat Regina saat Sarah membawanya keluar. Dengan sopan Sarah meminta izin pada kedua tamu mamanya. “Mereka anak-anak yang manis, bukan? Regina memandang kedua anak itu dengan bangga. Pramudya dan Paskalis tersenyum.

“Maafkan aku, Romo Paskal! Beginilah Regina yang hanya bisa merepotkan sahabat-sahabatnya.

“Sudahlah, Re! Jangan dipikirkan. Aku yang minta maaf karena baru bisa menjengukmu lagi. Bagaimana perkembangan kasusmu? Mengapa kamu langsung mengaku bersalah, Re? Tidak adakah usaha pembelaan dari dalam dirimu? Paskalis mendekati Regina yang tampak makin kurus.

“Aku memang bersalah, Romo. Buat apa menyangkal? Regina menjawab pasrah.

“Aku sendiri bingung, Paskal! Lalu, buat apa Regina memintaku sebagai pengacaranya? Re sama sekali tidak kooperatif. Yang keluar dari mulutnya hanya satu pengakuan bahwa dia bersalah!

Paskalis terdiam. Mungkinkah semua yang dikatakan Regina benar? Motif apa yang sanggup membuatnya melakukan pembunuhan sadis itu?

“Aku yakin, kalian berdua menanyakan alasanku membunuh keluarga Wiguna, bukan? Aku membenci Wiguna. Sangat membencinya. Rasanya, mati dengan cara yang tak layak memang sudah sepantasnya untuk dia!

Pramudya dan Paskalis sangat terkejut melihat perubahan sikap dan nada bicara Regina. Ia kelihatan seperti malaikat kematian. Regina menatap mereka berdua dengan pandangan nanar.

“Kalian terkejut? Jika aku menceritakan alasan kebencianku pada lelaki itu, apakah kalian dapat menerimanya?

Pramudya dan Paskalis diam. Menerima alasan Regina berarti membenarkan tindakannya.

“Aku tidak yakin kalian akan membenarkan tindakanku. Tapi, aku ingin kalian mendengarkan kisahku sampai selesai dan silakan menilai. Aku tidak peduli anggapan orang lain tentangku. Tapi, aku sangat peduli terhadap pendapat kalian tentang diriku!

Nada bicara Regina mulai turun. Sikap menakutkan yang baru saja ditunjukkannya hilang. Regina kembali menguasai dirinya.

“Kebaikan Ibu Klara, suami bosku, Hans Widjaya, membuatku dapat melanjutkan studiku . Aku sangat menghormati beliau.

Mata Regina menerawang, seakan hendak menghadirkan kembali sosok Klara di hadapan mereka. Kisah hidup Regina kembali mengalir. Kebaikan Klara tidak hanya sampai di situ. Ia sering mengajak Regina bermain ke rumah mewahnya. Bahkan, Klara meminta Regina menjaga Sarah, putri tunggalnya, jika ia bepergian ke luar negeri.

“Sarah terlalu kecil, Re! Aku merasa tenang jika kamu yang menjaganya. Aku titip Hans juga, ya, kata Klara. Karena kedekatan itu, Klara kemudian meminta Hans untuk mengangkat Regina sebagai sekretaris pribadinya. Regina mulai menemukan kembali kebahagiaan hidupnya yang pernah hilang. Apalagi, ketika melihat mamanya yang saat ini selalu tersenyum.

Regina lalu mengontrak rumah mungil yang jauh lebih sehat daripada kontrakan yang selama ini mereka tempati. Ia lalu mulai mengumpulkan surat-surat dari kedua sahabatnya. Ketika itu timbullah keinginan untuk menghubungi mereka lagi.

Regina sangat merindukan mereka. Tiga tahun sudah ia menghilang dari kehidupan mereka. Regina ingin bercerita tentang kehidupan barunya pada mereka.

Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung sesaat. Kesehatan mamanya tiba-tiba menurun drastis. Regina panik. Sangat panik. Regina tidak memiliki cukup keberanian untuk menceritakan musibah ini pada Ibu Klara. Wanita itu sudah terlalu banyak membantunya.

Dokter menyatakan, mamanya harus segera dioperasi karena ternyata ia menderita kanker paru-paru stadium akhir. Regina menggigit bibirnya. Biaya operasi sangat besar. Tapi, hanya itu satu-satunya jalan untuk menyelamatkan hidup mamanya. Regina tidak mungkin membiarkan Mama menunggu kematiannya. Ia harus lebih keras berusaha mencari uang untuk biaya operasi. Regina tidak mau kehilangan mamanya.

“Saat itu aku sangat panik, kebingungan, dan takut. Entah kenapa, di dalam otakku muncul nama Om Wiguna. Satu-satunya kolega Papa yang kukenal hanyalah Om Wiguna.

Regina mendesah. Pramudya dan Paskalis berpandangan.

“Aku yakin, kalian makin bertanya-tanya, mengapa aku tega membunuh orang yang selama ini kuanggap baik. Aku sama sekali tak menyangka, pertemuanku dengan Om Wiguna justru menjadi akar permasalahan dari semua kesulitan hidupku. Regina pun kembali menuturkan kisahnya.

Om Wiguna menyambut baik kedatangan Regina di kantornya. Lelaki itu memeluk Regina dengan hangat, layaknya seorang ayah memeluk putrinya. Regina jadi tidak percaya bahwa Om Wiguna adalah penyebab kehancuran keluarganya.

“Om ikut berduka cita atas kepergian Papa, Regina. Saat itu Om sedang berada di luar negeri sehingga tidak bisa menghadiri pemakaman Papa. Bagaimana kabar Rachel?

“Justru karena itu saya menemui Om. Menurut dokter Mama mengidap kanker. Ucapan Regina membuat lelaki itu terkejut. Ia tidak dapat menyembunyikan rasa sedihnya.

“Sejak kapan Rachel masuk rumah sakit, Re? Apa yang kamu butuhkan dari Om untuk membantu mamamu?

Regina menghela napas lega. Semua dugaan buruknya terhadap lelaki itu lenyap seketika.

“Mama memang agak terlambat mendapatkan perawatan, Om. Regina datang untuk meminta Om membantu biaya operasi Mama. Regina ingin meminjam sejumlah uang pada Om.

“Tidak usah sungkan seperti ini, Re. Om bisa memberimu berapa saja. Tapi, ada syaratnya. Apalagi, uang yang hendak kaupinjam jumlahnya besar. Regina terdiam, syarat apa yang hendak diajukan Om Wiguna?

“Regina akan melakukan apa saja demi kesembuhan Mama!

Lelaki itu tersenyum ringan. “Hendra tidak salah jika selalu membanggakanmu, Re! Kau memang putri yang sangat berbakti. Betul kau mau melakukan apa saja untuk mamamu? Apa saja?

Regina menganggukkan kepalanya mantap.

“Bagaimana jika Om memberikan uang itu dan bukan sebagai pinjaman? Tapi, syaratnya, kamu harus menghabiskan satu malam bersama Om di Puncak.

Tubuh Regina lemas seketika. Mengapa Om Wiguna tega mengajukan syarat yang sangat tidak bermoral itu? Bukankah selama ini lelaki itu memperlakukan dirinya seperti putrinya sendiri?

“Bagaimana, Re? Apakah syarat itu terlalu berat untuk menyelamatkan mamamu? Om Wiguna berbisik.

Regina menggigil, ia merasa sangat jijik pada lelaki yang selama ini begitu dihormatinya. Tapi, apakah ia punya pilihan lain? Haruskah ia mengorbankan kehormatannya demi kesembuhan mamanya? Bagaimana jika mamanya tahu? Bisakah mamanya memaafkan dia?

“Om, tidak adakah syarat yang lain? Regina bisa membayar pinjaman ini, Om! Regina tidak meminta, hanya meminjam!

“Jika tidak setuju dengan syarat itu, ya, tidak apa-apa. Tapi, maaf, Om juga tidak dapat membantumu lebih banyak lagi.

Lelaki itu memandang Regina dengan tatapan tajam. Regina terdiam. Ia kelihatan sangat gelisah dan kebingungan. Ia harus membuat keputusan. Sebuah keputusan yang sangat berat. “Baik, Regina setuju. Tapi, Regina juga mengajukan satu syarat. Om harus merahasiakan semua ini dari Mama. Lelaki itu mengangguk dan tersenyum penuh kemenangan. “Baik, Sabtu ini Om tunggu di Puncak! Lelaki itu mengambil buku cek dan menulis sejumlah angka. Regina menerima cek itu dengan gemetar. Ia sangat ketakutan. Benarkah tindakannya ini? Wiguna tersenyum penuh kemenangan. Ia tahu, saat ini tindakannya sudah sangat keterlaluan. Tapi, ia sangat puas. Ia berhasil menjatuhkan Hendra dan keluarganya. Selama ini ia selalu berada di bawah bayang-bayang Hendra. Bahkan, untuk memperebutkan cinta Rachel, ia harus menelan pil pahit kekalahan dari Hendra. “Hendra, aku memang tidak berhasil mendapatkan Rachel. Tapi, aku berhasil mendapatkan putri kesayanganmu. Regina yang cantik, muda, dan menawan. Wiguna tertawa lepas. Mama menatap Regina yang tampak pucat dan lesu. “Re, Mama ingin beristirahat di rumah saja. Suara lemah Mama membuat Regina beranjak dari lamunannya.

“Mama sudah bangun? Mama tidak perlu khawatir lagi. Besok pagi Mama siap untuk dioperasi. Regina menghampiri Mama dan mencium dahinya. Mama tampak terkejut. Dari mana putrinya ini memperoleh uang yang jumlahnya sangat banyak untuk biaya operas?

“Re, dari mana kau mendapatkan uang?

“Jangan khawatir. Regina dibantu Ibu Klara. Regina boleh mencicil pembayarannya dari gaji Regina.

Bercerita terus terang tentang uang itu sama saja dengan membunuh mamanya. Berulang kali mamanya mencegahnya menemui Om Wiguna.

“Maafkan Mama, Sayang, karena membuatmu menanggung beban seberat ini. Regina, jika operasi Mama berhasil, kita adakan Misa Syukur, ya. Sudah lama sekali Mama tidak mengikuti misa.

Regina menganggukkan kepala. Apa pun yang diminta mamanya pasti akan ia kabulkan.

“Mama jangan khawatir. Mama pasti sembuh. Mama akan menyaksikan putri Mama menjadi orang yang dihormati dan terpandang di masyarakat.

“Mama percaya, Regina akan berhasil karena kebaikan yang selalu ada dalam diri Regina. Mama memegang erat jemari putrinya yang sudah basah oleh air mata Regina.

“Ma, Sabtu besok Regina tidak bisa menjaga Mama. Regina ada acara kantor yang mengharuskan Regina menginap. Mama tidak apa-apa kan Regina tinggal sendiri?

Mama menganggukkan kepala.

Persiapan operasi ternyata lebih lama dari dugaan Regina. Mamanya harus menjalani cek kesehatan sehingga operasinya ditunda hingga minggu depan. Regina merasakan ketakutan yang amat sangat. Hari Sabtu Regina menerima telepon dari Wiguna. Regina tahu, ia tidak dapat menghindar lagi.

Wiguna mengamati Regina dari ujung rambut hingga ujung kaki. Lelaki itu mengagumi kecantikan Regina yang sangat mirip dengan Rachel, wanita yang sangat dicintainya.

Regina tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya duduk. Sudah dua jam mereka menghabiskan waktu di kafe hotel. Tidak ada percakapan di antara mereka. Regina sudah terlalu muak pada lelaki yang saat ini duduk di hadapannya. Ia ingin semuanya cepat selesai agar ia dapat kembali menjalani kehidupannya.

“Kita ke kamar, Re! ucapan singkat dari Wiguna seakan meruntuhkan dunia Regina.

Regina mengangguk. Ia harus tabah. Ia harus dapat menahan agar air mata tidak mengalir di pipinya. Ia harus dapat menunjukkan bahwa ia kuat dan tabah. Wiguna sebenarnya sangat terkejut atas perubahan sikap Regina. Regina tampak santai. Seakan tidak memiliki beban. Bahkan, sesampainya di kamar, tanpa menunggu perintah darinya, Regina dengan tenang melepas penutup tubuhnya satu per satu.

“Om, saya sudah siap. Gadis itu berkata dengan tenang.

Wiguna menatap Regina dengan tatapan liar. Tanpa ragu, ia segera melepaskan pakaiannya dan menghampiri Regina.

Regina menahan rasa jijik, sakit, dan malu saat lelaki itu merenggut kehormatannya. Ia sama sekali tidak bereaksi. Ia biarkan lelaki itu menikmati tubuhnya. Regina hanya memikirkan kesembuhan mamanya.

“Tugas saya sudah selesai, Om!

Regina bangun dari ranjang dan secepat mungkin mengenakan kembali pakaiannya. Lelaki itu berdiri, mengikutinya. Ia memeluk Regina dari belakang. Regina segera menghindar.

“Kita bisa melakukannya lagi kapan-kapan, ‘kan?

Ingin sekali Regina menampar wajah lelaki itu.

“Maaf, Om. Regina sadar, Om adalah orang yang tidak dapat dipercaya. Regina sudah mempersiapkan dokumen ini. Silakan Om tanda tangani, jika Om tidak ingin skandal ini tersebar luas.

Regina dengan tenang mengambil dokumen-dokumen yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari. Wiguna terkejut. Ia tidak menyangka Regina akan mengambil tindakan sejauh ini.

“Anak pintar! Sambil menyeringai, lelaki itu membubuhkan tanda tangan, tanpa membaca isinya.

Regina tersenyum sinis. “Ini pertemuan kita yang terakhir, Om! Di antara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi.

Regina segera berlalu. Ia ingin sesegera mungkin meninggalkan hotel dan melupakan kenyataan bahwa ia bukan lagi gadis yang suci.

Sampai di rumah, Regina menumpahkan tangisnya. Ia merasa jijik pada dirinya sendiri. Regina tidak akan mungkin melupakan lelaki yang merenggut harga dirinya. Regina menangis sejadinya. Ia berlari ke kamar mandi dan membiarkan air hangat membasahi tubuhnya. Lelaki itu harus menerima balasannya. Regina bersumpah, lelaki itu akan sangat menderita. Regina bersumpah, Wiguna akan menyesali hari tuanya.

Regina menangis tersedu-sedu. Pramudya memeluknya seerat mungkin. Paskalis hanya menahan napas. Regina memang tampak sangat menderita karena perbuatan lelaki itu.

“Salahkah aku jika aku mendendam padanya? Aku salah jika ingin membuatnya menderita seumur hidupnya?

Pramudya mengelus rambut Regina dan mengecup keningnya lembut. “Regina, kamu bisa menggunakan hal itu di pengadilan. Kesaksianmu tentang kejahatan yang dilakukan lelaki itu bisa meringankan hukumanmu.

“Tidak, Pram! Aku tidak mau menceritakan hal paling hitam dalam kehidupanku. Aku tidak mau orang lain mengetahuinya. Jangan paksa aku membukanya kembali!

Malam itu Regina memang pergi ke rumah sakit. Ia hanya ingin memeluk mamanya. Regina yakin, jika mamanya tahu tentang perbuatannya, Regina tidak akan pernah dimaafkan. Tapi, setidaknya, ia dapat memeluk mamanya dan terus memeluknya hingga pagi datang.

Namun, sesampainya di rumah sakit, Regina justru menemukan kejutan yang akan mengubah hidupnya untuk selamanya. Wiguna berada di kamar mamanya!

“Selamat malam, Re! Om datang untuk melihat keadaan mamamu. Ini tanda perhatian Om pada mamamu, meski ia tidak mau menemui Om.

“Pergi dari sini, Om! Om tidak pantas untuk bertemu Mama! Ingat Om, saya bisa melakukan apa saja jika seandainya kehadiran Om membuat Mama menderita! Regina berteriak histeris. Wiguna tertawa terbahak-bahak.

Regina tidak dapat menahan diri lagi. “Suster, tolong, panggil keamanan. Usir lelaki ini. Jangan sampai ia masuk ke ruangan mama saya! Air matanya mengalir deras. Seorang perawat memeluknya, berusaha menenangkannya, sementara petugas keamanan menarik paksa Wiguna keluar ruangan. Lelaki itu masih tertawa lebar. Suaranya bagaikan cambuk yang mendera tubuh Regina.

Rachel sangat terkejut melihat kejadian itu. Ia memang tidak ingin menemui lelaki itu setelah apa yang dilakukannya pada mendiang suaminya. Tapi, mengapa Regina sampai histeris menghadapinya? Apa yang terjadi pada putrinya? Naluri dan perasaannya sebagai seorang ibu mengetahui ada sesuatu yang buruk yang terjadi pada putrinya. Regina memeluknya erat dan menangis di dadanya. Rambut hitamnya menghalangi Rachel untuk dapat mengamati wajah putrinya. Regina masih menangis dan Rachel membiarkannya. Ia yakin putrinya pasti akan menceritakan semuanya.

“Katanya, ada acara kantor, Sayang? Kok, Regina masih di sini? Acaranya dibatalkan? tanya Rachel.

“Acaranya sudah selesai, Ma. Apa yang dilakukan lelaki itu, Ma? Dia tidak mengatakan sesuatu yang menjelek-jelekkan Regina kan, Ma?

“Wiguna tidak mengatakan apa-apa. Mama tidak sudi menemuinya. Lelaki itu bencana bagi keluarga kita. Rachel mengucapkannya dengan bergetar. Ia memang sangat membenci Wiguna. “Mengapa kau sangat membencinya, Regina. Apa yang dilakukannya padamu, Sayang?

Regina menatap mamanya. Ia menggelengkan kepala. Jika mamanya mengetahui perbuatan yang dilakukan lelaki itu padanya, mamanya justru akan bertambah sakit.

“Re, kata dokter , operasi Mama akan dilakukan Rabu besok. Benar kamu sudah memiliki uang untuk biaya operasi?

“Mama tenang saja! Regina kan sudah pernah bilang uang itu bantuan dari Ibu Klara.

Operasi mamanya berjalan baik. Kabar itu membuat Regina bernapas lega. Mamanya tersenyum menyambut kehadiran Regina. Tubuhnya masih tampak lemah, tapi senyum di wajahnya melegakan hati Regina. Regina memeluknya erat-erat. Tuhan telah menyelamatkan mamanya.

“Lihat, Mama sudah kembali sehat. Sebentar lagi Mama pulang. Kita akan berkumpul bersama lagi. Mama tersenyum. Wajah riang putrinya adalah obat paling manjur.

Satu hal yang membuat Rachel heran. Ibu Klara belum mengunjunginya. Bukankah biaya operasi adalah bantuannya? Mengapa Regina tidak mendapat cuti? Apakah Regina berbohong padanya? Tidak… putrinya tidak mungkin berbohong padanya.

Regina memang mengaku bersalah. Tapi, menjelang eksekusi hukuman, ia mengaku dirinya bukanlah sang pembunuh.

Setelah kepergian Regina, Rachel mendapat kunjungan istimewa. Wiguna mengunjunginya. Tubuhnya yang lemah membuat Rachel tidak berdaya dan akhirnya membiarkan lelaki itu masuk.

“Aku senang operasimu berhasil, Rachel!” Wiguna menatapnya lekat.

Rachel tidak menanggapi. Dianggapnya lelaki itu tidak ada.

“Kau masih membenciku, Rachel? Aku tidak bersalah seratus persen! Aku hanya ingin membuktikan bahwa akulah yang pantas bersamamu, bukan Hendra. Lelaki itu membuatmu menderita pada masa tuamu, bukan? Jika dulu kau memilihku, semuanya pasti berbeda. Regina yang cantik itu pasti jadi putriku! Kau tahu, Rachel, putrimu itu sudah menjadi wanita dewasa yang mengagumkan. Ia mengingatkanku pada dirimu!”

Rachel tersentak. Mengapa ia membicarakan kedewasaan Regina?

“Jangan usik putriku!” Rachel mengancam Wiguna.

“Aku tidak mengusik putrimu! Aku bahkan sangat mengaguminya.”

“Regina memang sangat baik. Kau tidak pantas memujinya!”

Rachel menatapnya tajam. Wiguna terluka. Sangat terluka. Mengapa Rachel begitu membencinya, padahal ia sangat mencintainya.

“Kau tahu, Rachel, untuk biaya operasimu, putrimu telah menjual dirinya padaku!” Wiguna tidak dapat lagi menahan diri.

Dunia Rachel seakan runtuh. “Kau pembohong! Putriku tidak mungkin berbuat serendah itu, apalagi menyerahkan kehormatannya pada lelaki yang telah menjatuhkan keluarganya sendiri!” Rachel berteriak histeris. Air matanya tumpah. Ia tidak dapat membayangkan putri kesayangannya dalam pelukan Wiguna.

“Tanyakan padanya! Aku harap, setelah kau tahu, kau akan membuang kesombonganmu. Keluarga yang kaubanggakan itu telah hancur di tanganku. Bahkan, putri kesayangan yang selalu kaubanggakan itu berhasil kuhancurkan pula!” Wiguna berbisik di telinga Rachel.

Wiguna sudah pergi. Tapi, semua perkataannya tentang Regina sangat menyesakkan Rachel. Jika ucapannya benar, berarti dirinyalah penyebab kehancuran Regina. Ibu macam apa yang tega menghancurkan putrinya sendiri? Rachel merasakan dunianya gelap, sangat gelap….

Regina menerima kabar dari rumah sakit bahwa kesehatan mamanya tiba-tiba memburuk. Apa yang terjadi? Bukankah terakhir kali dilihatnya mamanya baik-baik saja?

Ketika sampai di rumah sakit, Regina langsung menemui dokter.

“Saya sendiri juga heran, Nona. Saya yakin, menurunnya kondisi ibu Anda bukan akibat dari operasi. Berdasarkan hasil pemeriksaan, menurunnya kondisi ibu Anda terjadi akibat meningkatnya kerja jantung. Entah apa yang membuat kerja jantungnya meningkat secepat ini. Mungkin, ibu Anda menerima kabar buruk atau hal yang sangat mengejutkan.”

Regina panik. Jangan-jangan….

“Maaf, Nona, saya mendapatkan informasi, ada seorang bapak yang mengunjungi ibu Anda sesaat setelah kepergian Anda,” kata seorang suster.

Regina terperangah. Seorang bapak? Mungkinkah Wiguna mengatakan hal sebenarnya pada mamanya? Darahnya mendidih. Jika sampai terjadi sesuatu pada mamanya, Wiguna akan menanggung akibatnya.

Setelah menunggu selama dua hari, mamanya sadar. Ia hanya memanggil-manggil nama putrinya. Regina sangat terpukul. Ia menangis hingga tertidur di samping ranjang mamanya.

Perlahan Rachel menggerakkan tangan dan mengelus rambut Regina. Ia sangat mencintai putrinya. Ia sangat bangga pada Regina yang begitu tabah dan tegar menghadapi badai kehidupan yang bertubi menghantamnya. Tapi, mengapa ia sebagai ibu justru menghancurkan kehidupan putrinya? Rachel tergugu. Ia bukan ibu yang baik untuk Regina.

Regina merasakan sentuhan lembut di rambutnya. Regina membuka mata dan menatap mamanya lekat-lekat. Mata Regina berkaca-kaca. “Mama, ini Regina! Mama, ini Regina!”

Rachel menganggukkan kepalanya. “Maafkan Mama, Regina! Mengapa harus kaulakukan, Sayang? Mama tidak akan memaafkan diri Mama atas semua kejadian yang menimpamu!”

“Regina menyesal, Mama. Regina mengira, itulah yang terbaik!”

Sentuhan Rachel melemah. Jantung Regina seakan berhenti berdetak saat ia menatap mata mamanya tertutup.

“Mama… Mama…!” Regina menggoyangkan tubuh mamanya yang tetap diam. Semua sudah terlambat. Mamanya telah pergi.

Regina hanya mampu diam membisu. Kini ia seorang diri. Tidak ada lagi yang mendampingi. Regina tidak bisa menangis. Dadanya terasa sakit dan sesak. Ia berbisik lemah, “Mama tidak perlu khawatir. Regina bisa menjaga diri. Akan Regina balas semua penderitaan yang sudah kita alami!”

Setelah kepergian mamanya, Regina makin berkonsentrasi pada pekerjaan kantornya. Ia berambisi untuk mencapai posisi setinggi mungkin, mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk menjalankan rencananya. Tidak ada seorang pun yang menyadari perubahan sikap Regina.

Regina sedang bekerja ketika Hans masuk dengan raut muka keruh.

“Selamat pagi, Pak! Bapak sakit?”

“Regina, bisa aku minta tolong? Bicaralah baik-baik pada Klara. Bilang padanya, aku tidak menginginkan kehamilannya!”

Nada suaranya amat serius. Regina hampir melompat dari duduknya.

“Kenapa, Pak? Bukankah itu kabar membahagiakan?”

“Klara tidak boleh hamil lagi karena akan membahayakan jiwanya. Aku tidak ingin sesuatu menimpa Klara. Tapi, Klara berkeras. Ia ingin memberiku seorang putra.”

Regina terdiam. Beginikah pernikahan yang bahagia itu? Saat keduanya saling ingin membahagiakan?

“Tolonglah, Regina! Aku tidak mau kehilangan Klara. Hanya dia cinta dalam hidupku. Aku tidak tahu bagaimana hidupku tanpa dirinya.”

Regina mengangguk. Ia bicara pada Klara dengan hati-hati.

Klara menatap Regina. “Hans yang memintamu bicara? Regina, Hans memerlukan seorang penerus. Dan, aku akan melahirkan penerus baginya. Regina, maukah kau berjanji untukku? Jika terjadi sesuatu padaku, maukah kamu menggantikan posisiku?”

Regina terperangah.

“Aku ingin kamu yang menjadi ibu bagi Sarah dan bayiku ini. Aku ingin kamu menjaga mereka dan Hans.”

Regina terperangah. Untuk membahagiakan Klara, ia mengangguk.

Klara meninggal sesaat setelah melahirkan. Regina memenuhi janjinya dengan menikahi Hans dan merawat kedua anaknya. Meski Hans tak mencintainya, Regina merasa nyaman bersamanya. Mereka bisa hidup bahagia. Namun, kebahagiaan itu tidak bisa menghilangkan rasa sakit hati Regina pada Wiguna. Apalagi, sekarang ia adalah tangan kanan Hans, salah satu konglomerat tersukses di negeri ini. Regina merasa langkahnya untuk menghancurkan Wiguna makin mulus.

Regina mulai menyusun rencana. Ia mengumpulkan semua keterangan tentang usaha Wiguna. Dengan bantuan anak perusahaannya yang tersebar di mana-mana, Regina mulai mengucurkan kredit berbunga rendah pada perusahaan Wiguna. Di sisi lain, perusahaannya yang lain mulai menggerogoti usaha lelaki itu. Sedikit demi sedikit aset perusahaan Wiguna menjadi miliknya. Lelaki itu kini memiliki utang yang sangat besar padanya.

Regina mulai menikmati kesengsaraan lelaki itu. Ambruknya perusahaan Wiguna belum membuatnya puas. Ia ingin membuat lelaki itu merasakan hal serupa seperti yang dialaminya. Regina meminta anak buahnya mengeksekusi rumah Wiguna dan memperkarakan utang lelaki itu ke pengadilan. Ia yakin, lelaki itu akan menyembah kakinya!

Benar dugaan Regina. Wiguna menelepon dan memohon-mohon padanya. Aneh, Wiguna tidak mengenalnya! Pertemuan itu hampir membuat jantung Wiguna lepas.

“Anda terkejut?” Suara Regina yang bernada mengejek membuatnya kehabisan napas. “Roda berputar, Wiguna! Dulu, Papa dan aku yang memohon-mohon. Sekarang, kamu yang akan memohon-mohon padaku!”

Wiguna mengeluarkan sapu tangan untuk mengelap keringat dingin.

“Apa yang dapat saya bantu, Wiguna?” Regina mengucapkannya dengan sinis dan terdengar sangat kejam di telinga Wiguna.
“Om mohon, Regina, jangan ambil perusahaan Om. Bagaimana dengan keluarga Om?”

Regina tersenyum sinis. Matanya memancarkan sinar kebencian berkilat-kilat. Wiguna merasa Regina sangat menikmati kehancurannya.

“Apakah Papa dulu berbuat hal yang sama seperti ini? Lalu, apa jawabanmu, Wiguna? Apakah kau memberinya kesempatan? Aku tahu jawabannya. Tidak! Hal serupa akan kulakukan padamu. Aku tidak peduli pada keluargamu! Keluar dari kantorku dan kutunggu kehadiranmu di pengadilan untuk penyitaan semua aset perusahaanmu! Selamat pagi dan nikmatilah hidupmu!” Regina mengacungkan jari telunjuknya tepat di wajah Wiguna yang makin pucat pasi.

Regina tertawa lebar. Ia merasa puas. Rencana yang lebih sempurna sudah ada di kepalanya, tinggal menanti waktu yang tepat. Regina masih memiliki rencana sangat keji untuk menjatuhkan Wiguna hingga ke dasar kehidupannya. Ia ingin Wiguna merasakan hal yang sama seperti dirinya. Malu, menderita, dan kehilangan kehormatan.

Tessa, putri tunggal Wiguna, berurai air mata sewaktu anak buah Regina mengajukan syarat agar ayahnya bebas dari hukuman. Syarat yang sama saat Regina meminjam uang dari Wiguna dulu. Namun, Tessa tidak setegar dirinya. Gadis lembut itu ditemukan bunuh diri di kamarnya. Melihat kejadian ini, istri Wiguna jatuh sakit dan akhirnya meninggal.

Regina sebenarnya tidak menginginkan hal itu. Ia hanya ingin membuat Wiguna menderita.

“Seharusnya, aku bahagia karena sudah membalas sakit hatiku. Wiguna mengalami penderitaan lebih dahsyat. Aku sedih karena telah membunuh Tessa, yang akhirnya membuat ibunya meninggal. Aku bertindak sangat kejam.” Paskalis dan Pramudya hanya diam.

Setelah semua itu terjadi, Regina memilih menikmati perannya sebagai ibu bagi Sarah dan Axel. Regina ingin kedua anak itu merasakan kebahagiaan. Ia akan memastikan mereka selalu aman dan jauh dari keperihan dunia yang pernah dirasakannya. Apalagi ketika Hans meninggal.

“Lalu, mengapa kau harus membunuh Wiguna setelah dirimu menyesali semua perbuatan kejimu padanya, Regina?” Pramudya tidak dapat menahan rasa penasarannya.

“Aku memang sudah melupakan Wiguna. Tapi, siapa sangka, dialah yang merusak Sarah! Wiguna mendekati dan mengusik putriku. Aku tidak akan pernah membiarkannya!” Regina berkata dengan sangat tegas.

“Perselisihan di antara kami tidak akan berakhir sampai salah satu di antara kami mati. Wiguna makin dendam padaku. Ia ingin menjatuhkan aku dan memakai Sarah sebagai alatnya. Wiguna memperkenalkan Sarah pada obat-obatan terlarang. Ia menjebak Sarah. Wiguna sangat berbahaya bagi keluargaku. Aku tidak ingin ia juga merusak Axel. Itulah alasanku membunuhnya!”

“Tapi, apakah harus dengan cara sekeji itu? Mengapa setelah menghabisi empat orang itu, kau juga membuang dan membakar mobil yang berisi mayat mereka?” Pramudya terus mengejar Regina dengan pertanyaan.

“Aku panik, Pram! Tapi, bukankah mereka sampah masyarakat? Kematian mereka akan mengurangi jumlah manusia jahat yang hidup di bumi.” Regina berkeras dan tidak menunjukkan penyesalannya.

Pramudya diam, menarik napas panjang. Regina memang bersalah. Tapi, di sisi lain ia juga benar.

“Kami harus pulang, Re. Jam berkunjung sudah habis. Aku akan menggunakan keteranganmu dan menggabungkannya dengan keterangan dari polisi. Semoga itu bisa sedikit meringankan hukumanmu.”

“Pram, jika aku harus menerima hukuman mati atas semua kejahatan yang kulakukan, aku tidak mau naik banding. Aku siap menerima hukuman itu. Jika kamu tidak berkeberatan, izinkan aku bertemu dengan istrimu. Aku ingin bicara dengannya sebagai sesama wanita.”

Pramudya menganggukkan kepalanya. Ia harus membujuk Helen. Bahkan, jika perlu, ia akan menyeret istrinya untuk menemui Regina.

“Romo, apakah dosa yang kulakukan akan mendapat pengampunan Tuhan? Aku sudah lama tidak menjadi umat-Nya yang baik. Masih maukah Dia menerimaku jika aku mati nanti?”

  Regina menatap Paskalis. Sudah lama ia melupakan Tuhan, terlebih setelah semua kejadian buruk dan rasa dendam menguasai hidupnya. Paskalis mendekatinya. “Tidak ada kata terlambat, Re. Bukankah Tuhan itu sangat pengampun dan pemurah? Kamu bisa mengaku dosa untuk meringankan sedikit bebanmu. Itu jika kamu sudah siap, Re.”

“Jika sudah siap, aku akan menghubungi Romo. Terima kasih untuk semuanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi, seandainya tidak menemukan kalian kembali dalam hidupku.”

Pramudya dan Paskalis tersenyum. Regina melepas kepergian kedua sahabatnya. Sesaat sesudahnya, ia menangis tersedu-sedu di dalam selnya. Regina tidak menyesali perbuatannya. Wiguna memang harus mati. Ia harus menyelamatkan anak-anaknya.

Sarah dan Axel tidak bersalah. Dialah yang membawa mereka pada dendam tak berujung antara dirinya dan Wiguna. Jika Wiguna sudah mati, ia harus siap untuk mati juga. Dendam itu pasti akan berakhir dengan kematiannya. Sarah dan Axel harus bahagia dan aman, meskipun mereka kehilangan dirinya.

Setidaknya, ia bisa meminta bantuan Pramudya dan Paskalis untuk menjaga, mengawasi, dan memelihara Sarah dan Axel. Sarah sudah dewasa. Ia bisa menjaga Axel. Regina harus siap meninggalkan mereka.

“Maafkan Regina, Ibu Klara dan Pak Hans! Hanya sampai di sini waktuku untuk menjaga mereka.” Regina terisak.

Janji itu sebentar lagi tidak akan dapat ditepatinya.

Melangkah keluar dari penjara, Pramudya angkat bicara.

“Paskal, aku tidak yakin dapat membebaskan Regina dari ancaman hukuman mati. Yang dibunuhnya memang kelompok penjahat. Tapi, cara yang dilakukan Regina amat kejam!”

“Tapi, Regina seakan sudah siap mati, Pram. Aku yakin, Regina menyesali semua perbuatan buruknya. Tapi, apa yang sudah dilakukan Wiguna terhadapnya juga tidak kalah kejam.”

“Jika aku boleh berfilosofi, Romo, dendam itu tanpa awal dan akhir. Benar-benar keji dan mengerikan. Entah mengapa, Regina kita yang sangat lembut itu harus terjebak dalam lingkaran setan dendam!”

“Kehidupan memberi kita banyak pilihan, Pram. Sayangnya, Regina memilih untuk tetap berada dalam lingkaran itu. Mungkin, usaha kita yang terbaik saat ini adalah menuruti semua keinginan Regina, yang mungkin menjadi keinginan terakhirnya.”

Pramudya menuruti nasihat Paskalis, ia harus membujuk Helen untuk menemui Regina. Tentu saja Helen berkeras tidak mau menuruti permintaan suaminya. Buat apa ia harus menemui wanita yang bisa membuat suaminya jatuh cinta? Anehnya, Pramudya tidak marah atau menunjukkan sikap keras. Ia hanya bercerita semua tentang Regina. Helen terpaku, matanya basah, dan jantungnya berdetak sangat cepat. Betapa malang nasib Regina. Ia menatap suaminya dan dengan mantap ia menyetujui permintaan Regina.

Pengadilan sudah menjatuhkan vonis mati untuk kejahatan yang dilakukan Regina. Seperti permintaan Regina, Pramudya tidak mengajukan banding. Sarah dan Axel tidak henti-hentinya menangis. Sarah bahkan sempat pingsan sewaktu hakim menjatuhkan vonis mati untuk wanita yang selama ini menjadi ibunya.

“Om, ini sangat tidak adil! Mama tidak bersalah. Lelaki berengsek dan kelompok penjahat itu memang pantas mati. Mengapa hakim tidak melihat siapa mereka dan siapa Mama?”

Sarah menangis di pelukan Pramudya. Paskalis menenangkan Axel yang menangis meraung-raung. Pemuda itu sangat kehilangan Regina. Helen tidak dapat menahan air mata. Ia juga seorang ibu dan sekarang kedua anak itu akan kehilangan ibu mereka.

“Helen, Regina ingin bicara padamu di sel,” bisik Pramudya.

Keduanya kini saling berhadapan. Helen menatap Regina dari ujung rambut hingga ujung kaki. Wanita ini memang sempurna, sangat cantik. Pantas saja Pramudya sangat memujanya.

“Saya Regina Widjaja, klien dan sahabat Pramudya.” Regina mengulurkan tangannya dan mengulaskan senyumnya yang anggun. Helen dengan tangan bergetar menerima uluran tangan itu.

“Helen, istri Pramudya, sahabat Anda!”

Mereka berdua tertawa ringan. Helen makin mengagumi Regina. Meskipun vonis mati telah dijatuhkan, ia tetap tegar. Wajah cantik itu tidak menunjukkan rasa takut atau gelisah.

“Maaf jika aku merepotkan suami Anda dengan kasus ini. Aku sangat ingin bertemu denganmu karena kau juga seorang ibu. Aku ingin menitipkan kedua anakku. Tolong, jaga mereka. Beri mereka kasih sayang. Aku mohon kau bersedia menolongku.”

Helen menggenggam tangan Regina erat-erat dan dengan mantap ia menganggukkan kepala. Ia bisa merasakan kepedihan Regina, seorang ibu yang terpaksa berpisah dari kedua anaknya.

“Jangan khawatir, Regina. Aku akan menjaga mereka berdua.”

“Mereka adalah hartaku yang paling berharga. Aku tidak perlu mengatakannya karena kamu juga bisa merasakannya. Terima kasih, Helen! Aku memercayakan mereka padamu.”

Mereka berdua berpelukan erat sebelum akhirnya Helen meninggalkan sel, tempat Regina menjalani sisa hidupnya yang singkat.

Regina meminta pelaksanaan hukumannya dipercepat. Ia tidak ingin terlalu lama menanggung beban. Tiga hari sebelum pelaksanaan hukuman, Regina memberi tahu Paskalis bahwa dirinya telah siap mengaku dosa.

Paskalis mengenakan jubah pastor dan memulai upacara pengakuan dosa. Regina tampak tenang.

“Bapa, sudah dua puluh tahun saya tidak mengaku dosa. Dosa-dosa saya begitu banyak. Saya sempat meragukan dan mempertanyakan keberadaan Tuhan dalam hidup saya. Saya juga telah berbohong di pengadilan. Sebenarnya, saya tidak membunuh Wiguna dan kelompoknya.”

Paskalis tercekat, jantungnya berdebar keras.

“Maaf, bisa kauulangi lagi dan kauceritakan mengapa kamu harus berbohong di pengadilan?”

Dengan bibir bergetar Regina menceritakan kejadian sebenarnya. “Malam itu Sarah menelepon dengan suara sangat panik. Ia menangis histeris dan berteriak-teriak, ‘Mama, Sarah membunuh orang! Mama cepat datang. Tolong Sarah!’”

Regina teringat malam yang mengerikan itu.

“Saya jadi sangat panik. Apalagi, setelah sampai di tempat kejadian, saya melihatnya memegang pistol. Di hadapannya terkapar empat sosok pria. Semuanya sudah tidak bernyawa. Saya berusaha menenangkan Sarah. Ada Bram, asisten saya, yang sedang memeriksa keempat mayat itu. Saya makin terkejut sewaktu Bram membalikkan satu sosok yang sangat saya kenal. Wiguna. Saya menatap Sarah dan meminta penjelasan darinya.”

Firasat Paskalis benar. Regina memang tidak bersalah!

Regina menceritakan kejadian malam itu. Dengan terpaksa Sarah menemui Wiguna, lelaki yang membuatnya terjerumus pada obat-obatan terlarang. Sarah terpaksa menuruti keinginan lelaki itu karena Wiguna mengancam akan mengikutsertakan Regina. Sarah tidak bersedia. Ia memilih menemui lelaki itu supaya mamanya aman. Untuk berjaga-jaga, Sarah membawa pistol milik Hans yang selama ini tersimpan rapi di kamar papanya. Sarah mengenal siapa Wiguna. Lelaki licik dan jahat.

Ketika mereka bertemu, Wiguna menghina, mengumpat, dan merendahkan Regina di depan Sarah. Bahkan, lelaki itu menyebut Regina sebagai pembunuh putrinya! Sarah meradang. Gadis itu mengeluarkan pistol. Dengan membabi buta ia melepaskan tembakan pada Wiguna dan tiga pengawalnya. Mereka roboh, terkapar bersimbah darah. Sarah ketakutan. Ia lalu menelepon Regina, tempatnya berlindung selama ini.

Regina memeluk Sarah. Ia sendiri mencoba untuk tenang, demi Sarah. Regina mengambil pistol dari tangan putrinya, membersihkan sidik jari Sarah yang menempel di sana dan menggenggamnya. Sarah adalah korban dari perseteruan antara dirinya dan Wiguna. Sarah sama sekali tidak bersalah. Sarah hanya berusaha membela kehormatan Regina.

Karena itulah Regina merasa harus bertanggung jawab. Ia merasa wajib menggantikan posisi Sarah. Tidak ada seorang pun yang dapat mencegah kekerasan hati Regina. Dengan bantuan Bram, Regina menghilangkan jejak Sarah sebagai pembunuh yang sebenarnya. Mayat empat lelaki itu terpaksa dilenyapkan dengan cara dibakar di dalam mobil sehingga seolah-olah seperti suatu kecelakaan. Semuanya berjalan sesuai rencana. Ia berhasil menyelamatkan Sarah dari kurungan penjara dan bahkan dari kematian.

Paskalis terenyak dengan kebenaran yang didengarnya dari mulut Regina. Ia tidak bisa menceritakan kebenaran itu kepada orang lain. Regina memercayainya. Hati kecilnya bersorak. Regina memang tidak bersalah!

“Kenapa kaulakukan semua itu?”

“Saya seorang ibu, Romo. Sebagai ibu, sudah kewajiban saya untuk melindungi anak-anaknya, meski dengan taruhan nyawa sekali pun. Sarah tidak bersalah seutuhnya. Seandainya saya tidak terbawa pada lingkaran dendam, kejadian mengerikan ini tidak mungkin dilakukannya.”

“Bagaimana dengan Sarah? Tidakkah kau memikirkan perasaannya?”

“Sarah merasa sangat berdosa dan tertekan. Tapi, saya berhasil meyakinkannya, semua akan baik-baik saja. Itulah dosa-dosa saya, Romo.”

Paskalis memberikan berkat untuk mengakhiri upacara pengakuan dosa. Setelah itu, Paskalis memeluk Regina dan menangis bersamanya.

“Aku titip anak-anakku, Paskal, terutama Sarah. Dia masih sangat terguncang. Yakinkan dia bahwa dia bukan seorang pembunuh. Tumbuhkan lagi kepercayaan dirinya. Ia harus bisa menjaga Axel. Biarlah itu semua menjadi rahasia besar antara aku dan Tuhan, Paskal. Aku mohon, jagalah kedua anakku.”

“Regina, akan kulakukan semua keinginanmu. Aku akan menjaga mereka seperti permintaanmu. Kau memang tidak pernah berubah, Regina. Dan, yang kau lakukan ini merupakan pengorbanan besar.”

Saat itu pun tiba. Regina dengan tenang membiarkan dirinya dibawa oleh sipir penjara yang mengantarnya pada sang eksekutor. Ia sudah siap. Ia tidak takut saat melihat sekelompok orang bersenjata berdiri tidak jauh dari tempatnya. Paskalis menemaninya dan memberikan sakramen terakhir.

Beban yang menindih hidupnya sudah ia tanggalkan. Ia telah menemukan kedua sahabat terbaiknya dan menitipkan buah hatinya pada mereka. Ia harus pergi untuk menebus dosanya pada keluarga Wiguna, terutama pada Tessa.

Regina sudah mengatupkan matanya yang sudah tertutup kain hitam saat didengarnya suara kokangan senjata. Dari bibirnya terucap doa. Bibir itu kemudian terkatup saat peluru menembus jantungnya. Regina tidak berteriak kesakitan. Bibirnya mengulas senyum, senyum bahagia.

Orang-orang yang mencintainya mengambil jenazah Regina dengan perasaan remuk redam. Helen memeluk Sarah dan Axel, yang menangisi kepergian ibunya. Pramudya membiarkan air matanya mengalir deras. Paskalis memilih bersikap setenang mungkin.

“Lihatlah Regina. Dia sangat tenang dan damai. Tidak ada mimik takut atau kesakitan. Sarah, jangan kecewakan mamamu! Ingat semua pesan dan nasihatnya!” Paskalis berbisik di telinga Sarah, yang hanya bisa mengangguk. Sarah lalu mendekati Axel.

“Axel, apakah kau tidak ingin mendekati Mama dan mencium Mama untuk yang terakhir kali?”

Axel mengangguk. Ia mendekati tubuh Regina yang dingin dan memeluknya seerat mungkin. Ia menciumi kening dan pipi Regina.

“Axel sayang Mama. Axel berjanji akan menjadi orang sukses, seperti harapan Mama dan Papa,” katanya, sambil menangis.

Gerimis yang turun sejak dini hari seakan menunjukkan duka yang dalam. Kepergian Regina menimbulkan kesedihan mendalam bagi Pramudya dan Paskalis. Namun, Regina meninggalkan pesan sangat berharga bagi Sarah tentang arti cinta dan pengorbanan. Regina meninggalkan kebesaran hati dan cintanya yang tidak akan mungkin dilupakan Axel. Regina memberikan kesan keindahan nilai persahabatan untuk Helen. Regina meninggalkan senandung cinta masa lalu dalam persahabatan yang manis..

No comments: