12.22.2010

Simulakrum Cinta

Setiap malam wanita itu berlari-lari sepanjang platform, saat kereta api meninggalkan stasiun. Bila ia gila, mengapa penampilannya selalu rapi?

Aku benci tempat ini. Sumpah, aku benci. Aku tidak tahu bagaimana bisa berada di tempat seperti ini. Tak ada yang bisa kupahami tentang kota ini. Terlalu futuristis, tetapi juga kuno. Cukup modern, tapi kadang-kadang kelihatan primitif. Yang kutahu, kota ini bernama Parish (bukan Paris di Prancis): empat distrik, delapan belas subdistrik, empat juta penduduk, dua puluh tiga klan besar, seratus empat puluh perkampungan kecil, dan hiburan 24 jam. Tidak ada yang tahu sejarah terbentuknya kota ini. Mungkin, seperti terbentuknya semesta, tiba-tiba jadi.

Semua fasilitas rakyat jelata ada. Perbankan, telekomunikasi, kesehatan, olahraga, seni, yang semuanya modern, canggih. Hanya dua hal yang tidak ada di kota ini. Pertama, tidak ada kendaraan pribadi seperti mobil dan sepeda motor. Itu sebabnya, semua orang memakai jasa angkutan umum: kereta api, pesawat kecil, kapal, trem, bus, dan taksi. Kendaraan milik pribadi yang bisa dimiliki hanyalah sepeda. Kedua, gaya bangunan di sini benar-benar tidak up-to-date. Yunani, Romawi, neo-klasik, i tak ada gaya modern, tak ada retro yang funky, tak ada gaya minimalis yang futuristis. Begitulah, kota ini memang modern, tapi kuno!

Aneh tapi nyata pula, di sini tidak ada orang pemerintahan, tidak ada politik, tidak ada polisi. Ya, setidaknya sampai hari ini, tidak ada yang terlihat olehku. Tetanggaku, Eric, bahkan pernah berkata, “Pemerintahan yang ada di sini seperti pemerintahan bayangan. Ayo, coba hitung, berapa banyak anjing dan kucing di sini? Tidak ada. Kalaupun ada, umur mereka cuma tiga hari! Pemerintah kita antibinatang. Hanya untuk konsumsi perut saja yang ada. Selain itu, pluf! Lenyap begitu saja! Kau tahu, Sakti, aku pernah melihat seekor kucing tiba-tiba lenyap tanpa bekas di depan mataku. Puh!” Eric meludah. “Di depan mata!”

Aku tidak tahu, apa dia sedang mabuk atau memang begitu keadaannya. Namun, di lain hari, Bibi Stu, penghuni apartemen bawah, berkata bahwa John Low, si tukang sapu, tiba-tiba lenyap di depan matanya! Untuk ukuran manusia, kujamin kejadian itu 1:1 juta orang. Apakah Low mata-mata atau pengkhianat yang perlu dilenyapkan pemerintah, aku pun tak tahu. Aku tak peduli! Hei, aku cuma mau pulang ke Jakarta. Tapi, pulang pun bukan urusan gampang. Tidak ada birokrasi. Tidak ada kantor yang bisa didatangi. Bagaimana bisa pulang?

“Kamu akan tahu. Mereka akan datang.” Eric nyengir lebar ketika kutanyakan hal itu. “Sakti, aku sudah melihat banyak hal, tapi itu bukan untuk dibagi. Kamu akan tahu kapan waktunya pulang.” Dua bulan setelah dia bicara seperti itu, Eric hilang.

Hei, tunggu! Ini bukan cerita konspirasi! Kuberi jaminan, tak sedikit pun tentang konspirasi dan politik. Ini tentang seseorang....

Saat itu aku sudah pindah distrik. Sekarang aku tinggal di apartemen klan utara, berhubung aku bekerja di sebuah kedai kopi kecil dekat Stasiun Blackpie (apartemenku berada di Desa Pocketbell yang hanya sekali jalan dengan kereta api dari Stasiun Pocketbell) dan di sini tidak ada pembicaraan aneh seperti itu lagi. Kebanyakan penghuni di sini adalah orang-orang Eropa. Sedikit sekali orang asing sepertiku menetap di sini.

Apartemen tempatku berdiam ini tidak terlalu bagus. Bergaya art deco awal tahun ‘20-an yang sering mengingatkanku pada Empire State. Aku tak begitu banyak kenal tetanggaku. Induk semangku seorang wanita setengah baya yang galak, tapi belum pernah ‘menggangguku’. Tetangga di kiriku Sam Bildon, orang tua yang gemar poker. Di depanku Elaine Garreth, seorang janda. Sebelah kanan, keluarga Retucino yang seluruhnya pemain musik.

Tentang kedai kopi tempatku bekerja, tidak banyak yang bisa kuceritakan. Tuckwall hanya ramai pada sore hari. Aku bekerja mulai pukul sembilan pagi. Pukul sembilan malam semuanya beres dan aku bisa pulang. Dari sini, aku biasanya langsung pulang ke rumah, maksudku apartemen. Aku tidak pernah pergi ke klub, pub, atau fitness centre. Sejujurnya, aku tak bergairah hidup di sini. Jadi, aku langsung menyeberang ke stasiun.

Pada jam seperti ini, stasiun sudah lebih sepi. Peron terbuka (orang di sini menyebutnya platform) dengan kios majalah masih belum tutup sampai pukul dua belas malam. Tidak ada pengamen. Tidak ada asongan. Juga tak pernah ada pengemis. Bukan hanya di stasiun kereta api, tapi di seluruh kota ini.

Aku biasa duduk di sebuah bangku beton agak di sudut. Dari sini aku bisa leluasa melihat ke mana saja. Tidak ada yang aneh— kecuali hampir setiap malam aku selalu melihat seorang wanita berlari-lari di sepanjang platform tepat ketika kereta meninggalkan stasiun. Ia baru berhenti dengan terengah-engah ketika sampai di ujung platform.

Dulu, kupikir wanita itu mencari seseorang di dalam kereta atau mungkin dia yang ketinggalan kereta. Lama-lama aku merasa, dia agak... gila. Ah, tapi, kalau melihat penampilannya yang selalu rapi, aku jadi ragu. Penampilan bisa menipu, bukan?

Tak ada yang protes dengan tingkah lakunya. Mungkin sudah biasa. Ketika kuamati lebih dekat, wanita itu tidak terlalu cantik. Parasnya tidak akan menarik perhatian siapa pun. Rambutnya agak bergelombang dan panjang. Kulitnya putih, tapi pucat. Aku pikir dia dari klan Aimon (gabungan suku-suku kecil dari Asia Tenggara), tapi bisa jadi dia dari klan Naga. Usianya mungkin sekitar dua puluh lima sampai dua puluh tujuh tahun.

Aku tidak mungkin bicara pada dia, kalau saja seorang pelanggan Tuckbell tidak membuatku jengkel tadi. Di platform kereta, aku berdiri diam, masih berpikir tentang kejadian yang menimpaku. Masih kuingat wajah pria mabuk itu. Ingin sekali aku .... Buk! Uhh, tiba-tiba aku terjatuh.

Tulang keringku sakit sekali! Kereta baru saja bergerak meninggalkan stasiun. Kudengar beberapa orang menjerit tertahan ketika aku jatuh. Aku mendengar gumaman pelan di sampingku. Sambil berusaha berdiri, aku menoleh. Wanita yang gemar lari-lari itu sedang meraba-raba lututnya. Entah kenapa, aku tidak merasa kasihan. Aku yakin, dia yang salah. Pasti tadi dia lari-lari lagi dan menabrakku!

“Lalai banget, sih! Tidak lihat-lihat jalan!” aku membentaknya (dalam bahasa Inggris yang di sini juga resmi sebagai bahasa pengantar).

Dia meringis, menatapku. “Maaf, maaf…,” katanya berulang kali.

“Di stasiun, kok, lari-lari kayak anak kecil! Kurang kerjaan!” aku terus menggerutu dan meninggalkan dia begitu saja. Aku mencari tempat duduk yang jauh dari wanita itu dan sedapat mungkin menghindari tatapan orang-orang di sekitarku. Ketika aku melirik ke arahnya, ia sudah berdiri dan lututnya luka. Uphh! Aku buru-buru mengalihkan pandanganku.

Namun, keesokan harinya, sepanjang bekerja aku teringat terus pada wanita itu. Entah mengapa, aku merasa kasihan se kaligus menyesal sudah membentaknya. Bukan hanya dia yang ceroboh, tapi aku juga. Kenapa aku lupa pada kebiasaannya berlari? Dengan bodohnya aku malah berdiri di saat kereta mulai bergerak, sehingga jatuh tertabrak olehnya!

Aku merasa gugup ketika mencari wanita itu di platform. Ternyata hari ini ia tidak ada. Namun, esoknya, kulihat dia duduk tenang membaca sebuah buku. Aku mendekatinya pelan-pelan. Apa dia akan marah? Apa dia akan membalas kata-kataku kemarin? Aku merasa makin gugup.

“Hai,” sapaku dengan suara tercekat. Ia mendongak. Menatapku heran. Sepertinya berpikir aku ini makhluk apa.

“Soal kakimu itu,” aku berusaha menjelaskan, “dua hari yang lalu. Aku minta maaf.”

“Ah, itu tak masalah. Aku yang salah,” sahutnya cepat. Matanya berbinar. Rupanya dia sudah teringat ‘tabrakan’ waktu itu.

“Kata-kataku kemarin....”

“Tidak apa-apa. Sungguh, tidak apa-apa.” Wanita itu menatapku. Aku menjadi ragu-ragu melihat senyumnya. Apa dia benar-benar tulus, ataukah berniat balas dendam nantinya? Tiba-tiba aku kehabisan kata. Aku berdiri salah tingkah menatapnya.

“Ayo, duduklah,” katanya, menepuk tempat duduk di sampingnya. “Terus-terang, aku jarang melihatmu. Atau mungkin, aku yang kurang sadar lingkungan, ya?”

“Sepertinya memang kurang sadar lingkungan. Kamu terlalu sibuk mengejar kereta api,” balasku tersenyum geli mendengar pernyataannya yang jujur.

“Ah, itu cuma kesenangan saja, kok!”

“Kesenangan?” Aku mengernyitkan alis, menatapnya ingin tahu. Tapi, ia hanya menyeringai tak memberi jawaban. Kami diam sesaat. Tiba-tiba dia mengulurkan tangannya padaku, “Aku Nanda.” Senyumnya kembali muncul.

“Sakti. Aku Sakti,” aku membalas, juga sambil menampilkan senyumku yang terbaik.

Aku tidak ingat kemudian, setelah kejadian itu, sudah berapa kali kami bertemu. Yang kuingat, aku tidak lagi menganggap dia gila. Wanita yang bernama Nanda itu sama saja dengan orang lain. Hanya, mungkin, sedikit hiperaktif? Ya, dia mudah sekali tertawa, tersenyum, dan bicara tanpa henti!

Nanda tidak selalu muncul di Stasiun Blackpie dan aku tak tahu kenapa. Tapi, sepanjang kami bersahabat, ia masih sering berlari-lari di sepanjang platform. Setiap kali aku bertanya tentang alasannya, ia selalu memberi jawaban berbeda: untuk olahraga, iseng, atau sekadar ... buang-buang keringat!

Sekali, ketika aku masih belum putus asa bertanya, ia malah menarik tanganku untuk mengikutinya ke ujung platform. Tapi, ketika kereta datang, dia tenang-tenang saja. Dan, ketika kereta mulai bergerak lambat, dia masih tak bergerak. Hanya tanganku masih dalam genggamannya. Karena dia diam saja, aku pikir dia tidak akan mengajakku berlari. Aku mulai tenang. Tapi, rupanya dugaanku salah. Ketika kereta mulai bergerak cepat, ia menyentak tanganku.

“Lari!” Tanganku ditariknya dan aku tak punya waktu untuk menolak. Jadi, kami berlari bersama. Ketika larinya makin kencang, aku mulai ngeri. Jangan-jangan, dia akan melemparku ke rel!

“Ayo, lihat ke dalam kereta!” teriaknya.

Aku mematuhi instruksinya. Sepintas, aku melihat orang-orang, wanita, lelaki, anak-anak, yang duduk atau bersandar di tiang. Makin cepat keretanya, makin sedikit yang bisa kuingat. Kami pun makin cepat berlari hingga akhirnya berhenti tepat di pagar platform. Berdua, kami terengah-engah.

Nanda bersandar ke pagar. Aku sendiri akhirnya duduk di lantai. Ia tertawa terpingkal-pingkal. “Menarik, bukan?” ujarnya. ”Tak seorang pun dari mereka minta keretanya berhenti menunggu kita. Dan, biarpun kita setengah mati mengejar, kereta tak akan berhenti untuk kita. Begitulah konsep sang Waktu…,” katanya lagi.

Aku bengong melihatnya jadi ‘filsuf dadakan’. Namun, aku tak berkomentar lagi. Aku terlalu lelah mendengar ceramah Nanda lebih lanjut. Kejadian tadi setidaknya sudah cukup menjawab pertanyaanku. Tepatnya, membuatku jera bertanya. Ya, mungkin Nanda sengaja melakukannya. Tapi, mungkin juga itu jawaban jujur yang keluar dari hatinya. Yang jelas, aku harus menambahkan satu titel lagi untuknya; aneh. Dia wanita aneh yang pernah aku kenal!

Satu-satunya yang kutahu tentang asal-usul Nanda: dia dari Asia Tenggara, tepatnya Jakarta. Jadi, setidaknya kami punya sedikit kesamaan. Lumayan, aku bisa merasa lebih bebas berbicara dalam bahasa Indonesia dengannya. Gara-gara kesamaan klan ini juga, aku akhirnya jadi tahu di mana orang-orang Indonesia tinggal.

Selain itu, Nanda tidak pernah menceritakan aktivitasnya sehari-hari. Tidak memberi tahu di mana ia tinggal dan bagaimana keluarganya. Ia seperti kereta api yang selalu dikejar-kejarnya. Datang dan pergi. Datang dan pergi....

Apa lagi yang bisa kuceritakan tentang Nanda? Wanita itu tak bisa diam, selalu bicara dan selalu bergerak. Kemampuan ngobrol-nya luar biasa! Ia tahan bicara berjam-jam, dari satu topik ke topik lain. Kegemarannya berdebat tentang sejarah, literatur, dan ma kanan, adalah tiga topik kesukaannya yang aku tahu.

Suatu hari kami berjanji bertemu di perpustakaan kota, salah satu tempat favoritnya. Nanda duduk di sebuah sudut berjendela, bersandar menatap ke luar. Aku ingat betul wajahnya saat itu. Sinar matahari yang terhalang gedung-gedung menimpa tepat di wajahnya. Membuat kulitnya tampak bercahaya.

Selain perpustakaan, Nanda juga suka sekali berada di sebuah panggung pertunjukan terbuka di area Ground Six yang terkenal sebagai area budaya Timur. Panggung ini boleh dibilang serba guna. Bisa untuk pertunjukan musik, drama, film, atau kegiatan budaya lainnya. Penonton duduk di kursi panjang dari kayu tepat di bawah langit.

Kami biasa duduk di sini untuk melepas lelah bila seharian sudah mengitari Ground Six. Pernah sekali, ketika sedang duduk di barisan terdepan sambil menikmati bubble tea, Nanda bertanya tentang rencanaku sepanjang tahun ini. Aku katakan padanya, “Pulang ke Jakarta.”

Ia tersenyum kecil, “Ternyata kamu belum mencintai kota ini, ya?”

“Bagaimana pun juga, aku ingin pulang ke Jakarta. Kamu sendiri?”

“Hidupku seluruhnya ada di sini.”

“Jakarta? Apa tak ada lagi keluargamu di sana?”

“Aku lebih suka di sini. Aku ingin suatu hari nanti bisa jalan-jalan keliling kota dengan limousin.”

Aku tertawa mendengarnya. Menyewa limousin memang mahal di sini. Jadi, aku bisa maklum pada keinginannya.

“Hanya keliling-keliling?”

“Mungkin.”

“Sendirian?”

“Hmm, kelihatannya lebih enak berdua.”

“Dengan siapa?”

Wajahnya memerah sejenak, “Entah. Belum ada yang kupilih.”

Itu membuatku tertawa dan dia menjewer telingaku. Lalu dia menyeruput minumannya lagi, pelan-pelan wajahnya kembali biasa. Sejenak ia menatapku dengan sungguh-sungguh dan mengejutkanku dengan berkata, “Tenang saja, suatu saat nanti kamu akan pulang. Kamu akan tahu kapan waktunya datang.”

Aku menatapnya heran, “Kamu orang kedua yang mengatakan itu padaku.”

Nanda tertawa, “Kalau begitu, jangan sampai tiga kali!”

Hampir tak kusadari, makin lama Nanda makin jarang terlihat di stasiun. Beberapa kali kuhubungi tak bisa juga bicara dengannya. Entah ke mana dia. Entah apa yang dikerjakannya. Sebenarnya, aku rindu juga pada atraksinya berlari-lari di platform. Bila kuingat momen itu, aku masih suka tersenyum sendiri.

Kurasa, banyak juga orang di stasiun yang ingin tahu di mana dia sekarang. Sudah lebih dari dua musim ia menghilang. Apa dia menghilang seperti desas-desus pemerintahan bayangan, kurasa terlalu berlebihan. Aku lebih percaya, Nanda berada di suatu tempat yang tak pernah terpikirkan olehku.

Sementara itu, pelan-pelan aku juga mulai melupakan dia dan tenggelam dalam kehidupanku sendiri. Menikmati pekerjaan di Tuckwall yang ternyata tidak buruk-buruk amat, sesekali menemani Sam bermain poker, atau berbelanja ke pasar desa dengan sepeda pinjaman dari Sam. Akhirnya aku berhasil membuat diriku sibuk.

Suatu hari yang cerah. Seorang produser, Eridanus, yang biasa dipanggil Eri, sedang ditemani oleh seorang pria di sebuah kafe. Tak lama kemudian, Nanda datang. Ia membuka pintu dan menatap sekeliling. Eri yang sejak awal pembicaraan sesekali mencuri pandang ke pintu, langsung melambai kepadanya. Nanda tersenyum dan mendekat, namun segera tertegun ketika melihat pria yang menemani Eri. Pria itu pun sama tertegunnya.

Mendadak Nanda berbalik, bergegas keluar. Eri mengejar dan berusaha mencegahnya, namun Nanda sudah menghilang di keramaian jalan. Eri sempat mengumpat pelan sebelum kembali ke mejanya. Pria itu menatapnya, seperti tahu ada berita buruk, membuat perasaan Eri makin terpuruk.

Nanda berjalan dengan cepat sambil merogoh ponselnya dan segera menelepon, “Ganti sutradaranya.”

“Kenapa? Dengar, orang pilihan saya ini sudah terkenal dan….“

“Ganti atau kesepakatannya batal.”

“Tapi....”

“Ganti atau batal.”

Tak ada jawaban selama beberapa detik, tapi kemudian Nanda menghela napas panjang. Lega. Ia menghentikan langkahnya. Agak gemetar, ia memasukkan ponselnya ke dalam tas, lalu mengejar sebuah trem yang lewat.

Di kafe, Eri meletakkan ponselnya dengan wajah merah padam. “Bobby, kelihatannya saya harus memberi kabar buruk.”

“Batal?”

“Ya. Penulis novelnya minta saya mengajukan sutradara lain. Saya tidak tahu alasannya.”

“Tidak masalah,” ujar pria bernama Bobby itu, tenang. “Lagi pula, belum ada kesepakatan sampai ke tahap kontrak.”

“Sorry, Bob....”

7 TAHUN YANG LALU
“Hei, mau jadi figuran?”

Nanda mengerutkan keningnya, heran.

“Ada figuran yang tidak bisa datang. Kalau mau, sekarang saya tes dan kalau ok kita langsung syuting.”

“Sekarang? Di sini?”

“Ya. Pembayarannya juga langsung. Bagaimana?”

Nanda ingat seluruh kejadian itu, tapi peran tersebut tak sepenting pria yang memanggilnya tadi, Bobby. asisten sutradara yang supel dengan satu anting di telinga kirinya. Itu pun masih kalah penting dengan caranya yang tegas tapi bersahabat ketika mengarahkan tiap pemain di lapangan. Syuting itu sendiri ternyata bukan hanya sekali itu, tapi berbulan-bulan walaupun tidak rutin. Nanda sempat melihat hasilnya sebagai sinetron di sebuah televisi. Bukan jenis cerita yang disukainya, tapi untungnya Bobby tak pernah menanyai pendapatnya.

Sekalipun tidak pernah lagi menjadi figuran di situ, Bobbylah yang melihatnya lewat sekali lagi di kesempatan lain. Nanda sendiri nyaris lupa padanya. Bobby senang berdiskusi tentang film. Mengajak Nanda berdebat tentang drama dari film-film yang ditontonnya di sela-sela jeda syuting. Ia bisa bercerita panjang lebar tentang ribet-nya dunia hiburan yang terlalu komersial. Bobby ingin menjadi orang idealis. Menghasilkan sesuatu yang berarti. Namun, dalam tiap perdebatan, mereka selalu berkesimpulan sama: pada akhirnya idealisme itu harus berkompromi.

Dari situlah awal mereka lebih sering bertemu. Tidak di depan umum. Bobby suka mengajaknya pergi ke kafe-kafe kecil bila tak syuting atau pergi ke pinggiran kota. Dia tidak pernah mengajak Nanda menghabiskan malam di kota, entah di kafe atau tempat clubbing. Itu tidak menjadi masalah buat Nanda.

Begitupun dengan ‘aturan’ untuk tidak menelepon ke rumah Bobby. Bila Bobby sedang di rumah, artinya dia sedang beristirahat. Tidur. Tak ingin diganggu. Jadi, Bobbylah yang menelepon Nanda. Nanda maklum, jadwal kerja Bobby yang tak teratur akan menuntut jadwal istirahat yang tak bisa diganggu pula. Bila pun Nanda sendirian, ia tak pernah merasa benar-benar sendiri. Ia memikirkan Bobby dan itu mengisi ruang hampa waktunya. Pikiran yang membahagiakan.

Setahun lebih hubungan itu berjalan sampai bencana itu datang. Christine, teman kampus Nanda, datang dengan berita, “Nanda, kamu tahu kalau Bobby sebenarnya sudah kawin?”

Nanda mematung.

“Sorry, ini bukan berita baik. Bobby itu salah seorang teman kuliah kakakku. Aku baru tahu waktu lihat foto Bobby di hari pernikahannya. Kata kakakku, sekarang mereka sudah punya anak, lahir sekitar tiga bulan yang lalu. Aku betul-betul minta maaf. Tadinya aku enggan cerita. Kupikir kamu sudah tahu, tapi ternyata kamu belum tahu, ya....”

Nanda tidak segera menjawab. Pelan-pelan ia bangkit dan berjalan sambil berkata pelan, “Thanks.”

Nanda menggenggam gagang telepon erat-erat. Di dalam boks telepon seperti ini, ia merasa dunianya kian sempit. “Aku cuma ingin kamu jujur bahwa kamu memang sudah menikah dan punya anak.”

“Siapa yang ngomong begitu?”

“Kamu tak perlu tahu, Bobby. Aku cuma perlu tahu, apakah kabar itu benar atau tidak.”

Nanda menggenggam gagang telepon makin erat. Telapak tangannya berkeringat dan detik-detik itu terlalu lama hingga gagang teleponnya terasa tergelincir beberapa kali.

“Ya,” sahut Bobby. “Ya, aku sudah menikah. Punya anak satu. Lalu?”

“Lalu?” Nanda merasa tidak percaya pada pendengarannya. “Kenapa membohongiku selama ini, Bob?”

“Ini tak mudah dijelaskan, Nanda.”

“Baik. Tak usah dijelaskan. Jawaban kamu sudah cukup menjelaskan semuanya. Aku memang naif. Percaya begitu saja padamu.” Nanda tertawa getir. “Ini telepon terakhirku. Setelah ini kita tidak akan bertemu lagi.”

Nanda buru-buru meletakkan gagang telepon ke tempatnya. Ia menarik napas panjang. Seketika ia merasa jantungnya sakit. Darahnya terpompa lebih cepat daripada biasanya. Sangat sakit. Nanda memejamkan matanya. Bukan cuma menahan rasa sakit itu, tapi juga air matanya.

Perasaan yang sama kini dirasakan Nanda di dalam trem. Gesekan roda dan aspal yang nyaris konstan membuat perasaannya makin sakit. Ia duduk termangu menatap jendela. Melihat orang-orang berjalan kaki, naik sepeda, membeli koran… semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Adakah satu di antaranya tahu apa yang dirasakannya saat ini?

Nanda mengedarkan pandangannya. Seorang pria tua se dang tertidur. Seorang remaja dengan dandanan hip-hop-nya memakai walkman. Tak seorang pun melihat ke arahnya. Tak seorang pun tahu....

Nanda membuka pintu apartemennya. Di depannya, seorang wanita cantik bermata besar sedang menatapnya dengan tatapan bertanya. Nanda tidak membuka pintunya menjadi lebih lebar.

“Ya?” Nanda bertanya dengan mengangkat alis kirinya.

“Nanda, ‘kan?”

“Ya,” Nanda heran, wanita itu tahu namanya!

Wanita itu melihat ke kanan dan ke kiri. Di gang apartemen Nanda sedang bermain tiga anak keluarga Jose. “Boleh saya masuk?”

Nanda membuka pintu lebih lebar.

Wanita itu masuk sambil memperhatikan dengan cermat isi apartemen yang bisa dilihatnya. Sepertinya, ia sedang menilai ketika Nanda menutup pintu dengan suara keras dan bertanya, “Anda siapa?”

Nanda tidak mempersilakan wanita itu masuk lebih dalam. Ia membiarkan tamunya berdiri saja, tapi wanita itu tampaknya tak terganggu oleh sikap Nanda.

“Boleh saya duduk?”

“Saya tidak suka berbasa-basi. Saya tidak kenal Anda. Saya tidak tahu apa urusan Anda ke sini.”

“Kamu memang tidak mengenal saya, Nanda, tapi saya tahu siapa kamu.” Wanita itu melangkah sedikit dan melongok lebih dalam. “Kamu kuliah di Universitas e-Sall. Tinggal di sini sejak lima tahun lalu. Sendirian. Pernah punya pacar, tapi sekitar dua bulan yang lalu putus.”

Nanda heran, tapi tidak mau lama-lama diintimidasi wanita itu. “Oh, memata-matai hidupku, ya. Begitu?”

Dadanya terasa sakit lagi, sekalipun wanita itu tidak menyebut nama Bobby.

“Tidak tepat begitu. Mengamati, kata yang lebih baik.” Wanita itu tersenyum. Tenang.

“Bisa katakan secepatnya kenapa kamu di sini?” Nanda sengaja memberi tekanan pada kata ‘kamu’.

“Sederhana saja, Nanda. Saya mau mengucapkan terima kasih.”

“Untuk?”

“Meninggalkan suami saya.”

Nanda membenci semua kenangannya pada tujuh tahun yang lalu. Waktu yang membuat dirinya merasa murahan.

Trem berhenti. Nanda bergegas turun. Ia merasa hari ini makin biru dan ingin melangkah ke mana saja asal tidak pulang dulu ke apartemennya.

Ia mencoba mengingat-ingat paras Bobby. Apa yang kira-kira sudah berubah? Nanda mengerutkan dahinya. Tatapannya yang kurang dari 10 detik itu tak bisa merekam banyak. Ia kelihatan lebih kurus dan, oh, antingnya sudah tidak ada! Hanya itu yang berubah dari penampilannya.

Bagaimana kehidupannya sekarang? Apakah Bobby yang dilihatnya hari ini adalah sebuah realitas atau hanya imajinasinya saja?

Nanda bertanya-tanya dalam hati, sementara kakinya tak lelah menyusuri gang-gang hingga malam..

Istri Bobby meninggal tiga tahun lalu? Lalu, siapa wanita yang mengaku istrinya dan selalu mengantarkan obat tidur untuk Nanda itu?

Tidak banyak dari teman Nanda yang tahu bahwa ia seorang novelis terkenal. Ada tiga bukunya yang terbit dan ketiganya masuk best seller, tapi ia sendiri jarang dipublikasikan karena memang menghindarinya. Bila sedang tidak menulis, Nanda suka berjalan-jalan ke mana saja dari pagi sampai malam. Ia sering pulang melewati Stasiun Blackpie untuk bertukar kereta. Dari sini dia melanjutkan ke Stasiun Pia. Blackpie adalah salah satu stasiun kereta paling sepi, terutama setelah pukul sembilan malam.

Dalam enam tahun terakhir ini, Nanda senang menghabiskan waktunya di Blackpie — berlari-lari dari ujung platform ke platform lainnya bila kereta api mulai bergerak meninggalkan stasiun. Ia kenal nyaris semua orang, yang dulu heran dengan kebiasaannya, sekalipun sampai hari ini mereka tak pernah saling menyapa, kecuali yang satu itu: Sakti. Sejak mereka bertabrakan.

Sebenarnya, sudah lama ia mengamati wajah Sakti, yang terlalu Asia untuk wilayah Blackpie. Namun, Nanda sengaja bersikap tak peduli. Dia juga tahu, Sakti sering mengamatinya. Tabrakan itu bukan tak disengaja. Ketika kesempatan itu ada, Nanda memanfaatkan sebisa mungkin, dan berhasil, sekalipun harus dibayar dengan luka di lututnya. Sakti sama sekali tidak curiga kecelakaan itu disengaja.

Persahabatan mereka pun dimulai dari situ. Nanda dan Sakti sebenarnya dua kutub yang tak saling mengenal. Sama seperti Sakti, Nanda tidak pernah tahu siapa Sakti sebenarnya. Hal itu tak begitu penting. Buat Nanda, berteman, ya, berteman. Tak perlu repot tahu terlalu banyak latar belakang dan urusan pribadi masing-masing. Tak ada keharusan yang mengikat. Mereka bisa membicarakan banyak hal tanpa pernah bertengkar karena tak ada urusan yang sungguh-sungguh prinsipiil yang pernah mereka debatkan.

Ketika bertemu dengan Bobby kembali, Nanda sadar ia merindukan kebersamaannya dengan Bobby. Ia ingin merebut semua yang pernah harus ia lepas, dan Sakti — yang nama lengkapnya pun Nanda tak tahu — tak perlu tahu urusan ini.

Tapi, adakah kemungkinan ia dan Bobby bersama lagi? Nanda ingin, ingin sekali!

Angin bertiup lebih dingin dari hari kemarin. Sekarang awal musim semi dan sisa-sisa hawa dingin dari musim sebelumnya masih terlalu kuat. Sekalipun ada empat musim di sini, salju tak pernah turun. Sebagai gantinya adalah udara yang sangat dingin berkabut diselingi hujan es dan badai. Di musim semi, hujan pelan-pelan berhenti dan sinar matahari akan luar biasa panas di sepanjang musim panas. Musim gugur ditandai dengan kombinasi suhu panas dan dingin bergantian, disertai gugurnya dedaunan.

Nanda duduk sendirian di kursi paling belakang di panggung terbuka Ground Six. Ia meluruskan kakinya, memijat betisnya.

“Masih sering ke sini rupanya.”

Suara Bobby dari belakang membuat Nanda terkejut. Bobby duduk di sebelah Nanda.

“Dari dulu kamu memang suka ke sini kan, Nda?”

“Tempat ini tak ada kaitannya dengan kamu, Bob. Ini tempat umum. Siapa pun bisa datang kemari. Kita tak punya kenangan apa-apa di sini. Kamu selalu memilih tempat di pinggiran kota, bukan?”

“Ya, sudah lama banget, ya?”

“Enam tahun.”

“Enam tahun,” Bobby menggumam, “dari waktu kita berpisah?”

Nanda mengangguk. Tak sedikit pun menoleh ke arah Bobby.

“Aku sering ke sini,” lanjut Bobby. “Kadang-kadang berharap bisa bicara denganmu.”

Tiba-tiba seorang anak kecil berlari menghampiri Bobby. Membuat Nanda menoleh. Bobby berdiri, menyambut anak itu sambil tertawa. Mereka membicarakan sesuatu sejenak. Si anak mengangguk. Bobby menggandeng anak itu mendekati Nanda.

“Anakku, Nda.”

Nanda terpaku.

“Andre, ini teman Papa. Tante Nanda.”

Nanda menatap Andre lekat-lekat. Pelan-pelan ia berjongkok. Matanya sejajar dengan mata Andre. Mata itu besar, persis milik ibunya.

Nanda menatap bola matanya dalam-dalam. Ia marah karena wanita itu berterima kasih padanya untuk meninggalkan Bobby.

“Kamu bukan yang pertama, Nanda,” lanjut wanita itu. “Tapi, belum seorang pun yang pernah meninggalkan dia. Dialah yang selalu meninggalkan kekasih-kekasihnya.”

“Dan kamu,” balas Nanda, “kamu diam saja? Kamu tidak mampu meninggalkan dia biarpun dia playboy tengik!”

“Aku ingin, Nanda,” wanita itu menarik napas panjang, “tapi aku tak bisa.”

Mereka saling diam sesaat.

“Aku rasa pembicaraan ini sudah tidak berguna. Bisa tinggalkan aku sekarang?” Nanda membuka suara dengan nada getir.

“Aku tahu perasaanmu. Semoga kamu bisa hidup bahagia setelah ini.”

“Bahagia?” Nanda setengah menjerit sambil membelalakkan matanya. “Oh, ya… bahagia. Tunggu dulu! Bahagia katamu?”

Nanda tertawa mengejek dan berhenti tiba-tiba. Kali ini matanya tajam menantang mata wanita itu. “Aku baru bahagia,“ sambung Nanda dengan dingin, “kalau setidaknya kamu memberi kompensasi atas penderitaanku selama dua bulan ini. Suami kamu itu sudah merusak hidupku. Sekarang aku sering insomnia. Valium itu mahal harganya. Bisa diganti? Aku masih menyimpan semua bukti pembayarannya.”

Wanita itu diam saja. Nanda tertawa terbahak.

“Ya, sudah kalau tidak mau!” Nanda mendengus.

“Aku akan ganti semua kerugianmu.”

Nanda agak terperangah dengan jawaban yang sebenarnya tidak sungguh-sungguh ditunggunya. Gertakan itu rupanya umpan yang tepat.

Nanda membukakan pintu dan berkata dengan manis, “Ah, baik sekali rupanya.”

Wanita itu berjalan ke luar. Sebelum Nanda sempat menutup pintu, ia menoleh dan berkata, “Dia sungguh-sungguh mencintai kamu, Nanda. Dia akan mencintai kamu selamanya.”

“Sudah malam.”

Bobby membuyarkan ingatan Nanda. Ia menggendong Andre yang segera menyandarkan kepala di dada ayahnya. “Anak ini masih terlalu kecil untuk tidur larut.” Bobby lalu bicara pada Andre, “Eh, bilang dulu sama Tante kalau Andre mau pulang.”

Dengan malu-malu Andre menggumam, “Andre mau pulang.”

“Cium Tante, dong!” Bobby menyodorkan tubuh anaknya. Dan, Nanda agak terkejut ketika bibir Andre mendarat di pipinya.

Bobby tersenyum. “Kita masih akan bertemu, ‘kan?”

Nanda tidak mampu menjawab.

DUA BULAN KEMUDIAN — GROUND TWO
Ini kali pertama mereka bertemu di keramaian seperti ini. Nanda tidak tahu kenapa Bobby mengajaknya kemari. Sejak pertemuan di Ground Six, suasana tegang di antara mereka sudah banyak yang mencair.

“Kenapa bertemu di tempat umum seperti ini?” Nanda merasa risi. Matanya dengan cepat memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Festival Irlandia tengah digelar. Parade penari dan pemain musik sedang melintas. Orang-orang memenuhi sisi jalan dan mengelu-elukan peserta festival. Nanda dan Bobby berada di belakang kerumunan, tepat di depan sebuah toko roti.

“Tidak masalah. Tak ada yang perlu disembunyikan. Iya, ‘kan?”

“Istri kamu?”

“Meninggal tiga tahun yang lalu.”

“Apa?”

“Kecelakaan.”

“Tak mungkin.... Dia masih sering mengantar ..., “ Nanda tercekat.

“Mengantar apa?” Bobby menatapnya curiga.

“Tidak.”

“Jangan bohong, Nanda. Kalian saling kenal? Apa yang diantarnya?” Bobby memburunya dengan pertanyaan.

Nanda gelisah. Suara kerumunan makin riuh. Orang ramai bertepuk tangan ketika para penari mulai beraksi.

Bobby diam tak bergerak, lalu tatapan matanya berubah seperti tersadar dari hipnotis “Ya, Tuhan.... Dia meninggal setelah mengambil obat. Obat penenang yang kutahu sama sekali tak pernah dipakainya. Apakah... ?”

Nanda bangkit tiba-tiba dan berlari ke dalam kerumunan. Bobby mengejar dan menangkap tangannya. “Benar?”

Suara bigpipe melengking tinggi. Bobby mencengkeram tangan Nanda kuat-kuat.

“Dia masih sering datang, Bob. Sampai hari ini.”

“Kamu gila! Itu tak mungkin Hestia!”

Bobby refleks melepas tangan Nanda. Ia menatapnya dengan marah, tapi ada sedikit rasa takut di wajahnya. Lalu Bobby menarik napasnya dalam-dalam, “Kali ini, akulah yang harus berkata, urusan kita cukup sampai di sini.”

Wanita itu selalu mengetuk tiga kali. Nanda sudah hafal dengan kebiasaannya. Ia rutin datang tiap tiga bulan sekali. Mereka tidak pernah bicara. Begitu Nanda membuka pintu, wanita itu buru-buru menyodorkan paket obat dan langsung pergi.

Sebenarnya, Nanda tidak begitu membenci insomnianya. Sering kali ia malah merasa berutang budi pada penyakitnya itu. Insomnia membuatnya sibuk. Otaknya jadi terus bekerja siang dan malam. Kadang-kadang ia sengaja tidak menyentuh obat penenangnya agar ide-idenya lancar ditulis. Baru setelah puas, ia mencari valiumnya.

Ini tahun ketiga dan ini sudah terlambat sebulan. Wanita itu belum mengetuk pintunya tiga kali pada pukul satu siang, hari Rabu. Nanda makin gelisah. Dalam sebulan ini ia selalu berusaha di rumah setiap hari pada jam itu. Namun, ketukan pintu itu tak kunjung terdengar.

Ketegangannya membuat Nanda makin kacau. Ia tidak bisa menulis dan sering mengomel sendiri sambil berjalan hilir-mudik dan sesekali melongok ke jendela. Malam-malam ketika berbaring, matanya terbuka dan ‘berdoa’, “Tolong datang, Brengsek! Aku butuh valiumnya!”

Doa itu akhirnya terjawab. Hampir empat bulan kemudian. Wanita itu akhirnya mengetuk pintunya tiga kali. Nanda yang tak lagi bisa bersabar, segera menghambur ke pintu, membukanya. “Kenapa terlambat? Menyebalkan! Apa tak tahu kalau aku benar-benar butuh?”

Nanda menariknya ke dalam. Sesuatu yang belum pernah dila kukannya selama ini.

“Maaf,” jawab wanita itu, “ada sesuatu yang terjadi. Seharusnya aku tak menemuimu lagi.”

“Maksudmu?”

“Bukan apa-apa. Lupakan saja,” katanya, tersenyum tipis. ”Tapi, apa tak sebaiknya kamu berhenti memakainya?”

“Hei! Jangan ngatur! Ini hidupku. Aku yang insomnia.”

“Mungkin suatu hari kelak aku benar-benar tidak bisa lagi membawakan satu botol pun untukmu.”

“Diam!” bentak Nanda, “jangan sok mengancam. Kamu cukup datang ke sini dengan valium. Titik. Kalau kamu berhenti, aku akan mengganggu kehidupanmu dengan Bobby.”

Wanita itu mengangkat bahu dan pergi. “Baik, terserah kamu sajalah.”

“Hei,” Nanda tiba-tiba merasa tidak enak, tapi tidak tahu harus berkata apa. “Jangan lupa valiumnya tiga bulan lagi.”

Wanita itu menghela napas dan keluar.

"Apakah kamu sudah melepaskan Bobby, Nan?” tanya wanita itu di hari lain.
Sekarang wanita itu suka datang kapan pun ia mau dan Nanda tidak pernah mengusirnya. Ia membiarkan saja wanita itu mengamati pekerjaannya.

Nanda menjawab sambil terus mengetik di komputernya, “Tidak juga.”

“Tapi, sepertinya kamu sedang jatuh cinta pada orang lain.”

“Tidak boleh?” Nanda menoleh kepadanya.

“Aku hanya ingin tahu perasaanmu saat ini.”

“Entahlah. Ya, mungkin pada akhirnya aku harus melepaskan dia. Bagaimanapun juga, dia milikmu, bukan?” Nanda tersenyum getir. “Apakah kalian sekarang benar-benar bahagia?”

“Akhirnya dia bisa lebih mencintaiku.”

“Artinya memang tak akan ada lagi harapan untukku.” Nanda menghela napas. “Aku ingin berbuat jahat padamu, tapi tak pernah bisa benar-benar jahat. Kenapa kamu tak membenciku?”

“Kadang-kadang aku benci padamu,” jawabnya sambil tertawa pelan. “Tapi, aku sendiri pun ingin tahu apa yang membuat Bobby bisa mencintaimu.”

“Dan, apa yang kamu dapatkan?”

Pandangan wanita itu menerawang. “Kamu tulus dengan perasaanmu. Kamu seperti... cermin bagi dirinya. Ia melihat dirimu sebagai setengah dari dirinya. Ia merasa sakit, bila kamu merasa sakit. Aku bahkan sering merasa — mencintaiku perlahan-lahan pun menyakitkan dirinya, tapi ia tidak mengeluhkannya. Ia mengalihkan perasaannya pada anaknya. Ia tak pernah menutupi rasa sakitnya. Mungkin ia ingin aku mengerti, sekalipun ia mencintaiku, ia tetap menyisakan ruang bagi dirimu.”

“Ia masih mencintai pekerjaannya?” Nanda merasa tenggorokannya jadi kering.

“Sangat.”

Nanda tersenyum sedih. “Sepertinya dia memang serupa denganku, mengobati rasa sakit dengan tenggelam dalam kesibukan. Tapi, sudahlah, aku tak ingin memikirkannya lagi.”

“Nanda, boleh aku bertanya satu hal lagi?”

Nanda mengangguk.

“Apakah kamu takut menghadapi rasa cinta kamu kali ini?”

Nanda berpikir sejenak.

“Ya,” jawab Nanda pelan menerawang. “Aku tak yakin bisa mencintainya sama dalam dengan cintaku pada Bobby. Aku takut suatu hari aku akan terikat padanya. Aku takut suatu hari aku bosan padanya. Aku juga takut bila harus menutup semua pintu kenanganku akan Bobby. Aku tak ingin mengubah apa-apa yang telah ditinggalkannya untukku. Yang terbesar, aku takut suatu hari dia akan tahu apa yang kutakutkan dari dirinya. Apa ini kedengaran membingungkan?”

Wanita itu, Hestia, tersenyum dan menggeleng.

Telepon berdering nyaring. Sakti, dengan mata tertutup, meraih gagangnya.
“Maaf, apakah ini Mr. Sakti?” suara pria di seberang sana terdengar asing.

“Ya.”

“Temannya Nanda? Chrisantinanda....”

“Ya?”

Kali ini Sakti membuka matanya dan mendadak duduk. Nama itu sudah setahun lebih tak didengarnya. Ia melirik jam wekernya. Pukul 04.57 pagi.

“Maaf mengganggu pagi-pagi. Saya Jose, tetangga Nanda. Nanda baru dibawa ke rumah sakit. Kami tidak tahu keluarganya. Saya hanya menemukan beberapa nama di ponselnya, termasuk nama Anda. Tapi, hanya nama Anda yang bisa saya hubungi. Bisa Anda membantu saya mencari keluarganya?”

“Sayangnya, saya tidak tahu.”

Suara gumaman di seberang terdengar memelas.

“Sakit apa dia?” Sakti mengerjapkan mata.

“Overdosis obat tidur.”

Sakti menyusuri koridor rumah sakit dengan gelisah. Matanya tak henti mencari sosok Jose. Pria itu ditemukannya sedang duduk bersama istrinya. Jose langsung bangkit begitu mengenali ciri-ciri Sakti yang sudah dijelaskan sebelum Sakti berangkat ke rumah sakit.

“Bagaimana keadaannya?”

“Tidak begitu baik saya kira,” jawab Jose, wajahnya tampak muram. “Kami memang curiga karena biasanya istri saya melihat dia keluar pagi-pagi.”

  Sakti tak punya pilihan. Ia harus pulang, walaupun hatinya berat meninggalkan Nanda….

EMPAT HARI SEBELUMNYA
Sakti baru saja tiba di apartemen. Ketika baru merogoh sakunya, ia sadar bahwa pintunya agak terbuka. Sakti membukanya perlahan-lahan. Curiga bahwa seseorang mungkin ada di dalam. Pelan-pelan ia menuju ke dapur. Entah kenapa, ia merasakan kehadiran seseorang di sini. Namun, yang ditemuinya di meja makan adalah selembar amplop putih.

Sakti membuka amplop itu. Adrenalinnya mulai bekerja. Perasaan senang dan takut berbaur dan membuat sensasi panas dingin di punggungnya.

4 Januari. Pukul 00.00. Airport Sook-ma, Distrik Ta-nun, pintu keberangkatan. Tidak diperkenankan membawa barang apa pun. Tidak diperkenankan untuk memberi tahu siapa pun.

Sakti tak peduli lagi apakah surat itu bertanda tangan atau tidak. Ia bergegas ke ruang TV. Mengambil kalender yang tertelungkup di lantai.

21 DESEMBER
Mendadak Sakti merasakan darahnya lebih bergairah. Ia melompat sambil berteriak girang. Dua minggu tidak akan terlalu terasa. Hal pertama yang dipikirkannya saat itu adalah mengucapkan selamat tinggal pada Tuckwall.

Ketika berada di apartemen Nanda, Sakti tak menyangka tempat tinggal Nanda berantakan. Jauh lebih berantakan dari apartemennya. Sepertinya tidak terurus. Kini, ketika sendirian, ia mencoba untuk merekam ulang semua kesannya tentang Nanda dari apa yang dilihatnya.

Ruang keluarga yang ditempati Nanda cukup luas dengan beberapa lemari dan sofa. Tumpukan buku-buku literatur, sejarah, filosofi, dan wisata dijajar rapi dalam lemari. Di sisi lain ada pemutar CD lengkap dengan koleksi CD yang sebagian tergeletak begitu saja di lantai. Masuk ke kamar Nanda, sebuah tempat tidur yang besar —muat untuk dua orang— berada tepat di tengah ruang. Dua buah lemari panjang, sepasang nakas (meja kecil di sisi tempat tidur), dan sebuah meja kerja terletak dekat jendela.

Hati-hati Sakti melangkah ke arah meja kerja Nanda, takut menginjak kertas-kertas dan pakaian yang tersebar di atas lantai. Di meja itu selain komputer ada tumpukan kertas dan barang-barang yang saling berjejal. Sakti memeriksa beberapa di antaranya. Manuskrip cerita, tumpukan buku, lilin aromaterapi, dan gelas berisi segala jenis alat tulis. Namun, benda-benda itu tak begitu menarik hingga matanya berhenti pada tumpukan amplop yang ditindih sebuah patung porselen.

Amplop-amplop itu nyaris seragam, baik ukuran maupun jenisnya. Beberapa di antaranya tampak kusam, sepertinya sudah lama dibiarkan tergeletak di situ. Sakti meraih beberapa di antaranya dan dengan segera menyadari bahwa sambungan lidah untuk merekatkan bagian-bagian amplopnya sudah dibuka. Ketika dibuka, pada sisi dalamnya berderet tulisan yang tidak begitu rapi, yang selalu dimulai dengan semacam nomor di sudut kiri. Seperti aerogram (surat kawat).

Sakti membaca sepintas. Menyadari bahwa tulisan di dalam amplop itu tidaklah biasa. Sebuah diary. Sakti ragu membacanya, tapi ia merasa tidak punya pilihan lain. Untuk memahami dunia Nanda, ia harus membaca minimal sebagian dari amplop-amplop itu. Ia bisa berpura-pura tak menyentuh satu pun di antaranya sepanjang Nanda masih berada di apartemennya.

Sakti memutuskan untuk membacanya, walaupun harus tergesa-gesa dan melompat-lompat dari satu amplop ke amplop lain. Setelah selesai, ia bergegas mengambil barang-barang Nanda, ke luar, mengunci pintu, menyerahkannya pada induk semang, lalu pulang.

4078
Aku benci tiap orang yang datang padaku bertanya tentang cinta. Mereka pikir aku punya jawabannya? Tidak! Aku bahkan tak bisa menolong diriku sendiri. Lagi pula, kenapa harus bertanya padaku? Apa hebatnya aku? Apa sempurnanya aku? Kadang-kadang aku ingin berteriak pada mereka; aku ini pelacur! Pelacur cinta! Kalau kulakukan itu, apakah mereka akan lari meninggalkanku? Aku ingin tahu....

4132
Aku mencoba mengingat-ingat, apa saja yang telah kulakukan dalam tujuh tahun terakhir ini. Aku coba mengingat nama, tempat, semua yang berasal dari masa lalu. Ketika ingatan itu kupaksakan, tak satu pun datang. Kali lain ketika kulupakan, ada saja yang menghampiri. Ha, ingatan itu aneh, bukan? Kusadari telah banyak potongan yang hilang dari ingatanku (sampai akhirnya kulihat amplop-amplop yang lebih lama). Kupilah, kupilih, kukumpulkan — ternyata aku hanya ingat pada dunia di batas tujuh tahun yang lalu!

Lalu, aku ini siapa... sepuluh, lima belas, dua puluh tahun yang lalu? Dan, siapa aku pada tiga, empat, lima tahun yang lalu?Aku merasa ada yang salah. Ada yang tak sempurna. Apa yang kucari selama ini? Apa yang menjadi tujuan hidupku selama ini? Aku melihat semua yang sudah kukerjakan dan aku tetap tak bisa menjawabnya.

4137
Entah kenapa, tiba-tiba aku bisa teringat pada kehidupanku tiga tahun yang lalu. Aneh sekali karena ternyata begitu mudahnya aku melupakan dia. Sama herannya mengapa aku bisa berkutat lama dengan kehidupanku di tujuh tahun yang lalu.

Aku tak tahu kenapa, hari ini aku merindukannya, padahal tak sejengkal wajahnya yang bisa kuingat. Yang kuingat dari D hanyalah ketenangannya. Apakah cinta sedemikian naifnya atau cinta hanya segumpalan rasa yang mematikan segala logika kita? Apakah cinta hanya semacam aliran sungai deras yang menyeret kita ke mana pun ia ingin, tanpa memberi kesempatan pada kita untuk menarik napas sejenak?

Kurasa aku memang tak ingin mengenangnya. Kenapa? Mungkin terlalu menyakitkan. Lagi pula, apa yang bisa kukenang dari hubungan yang tak jelas itu? Apakah cinta memang sedemikian anehnya? Dua orang yang berbeda. Dua orang dari masa berbeda. Dua orang yang ketika ingin kuperbandingkan pun tak akan menemui titik temunya!

Yang tersisa tinggal pertanyaan: kenapa kita bisa jatuh cinta (pada siapa saja)?

4188
Sebenarnya, aku ingin mengirim surat. Surat. Bukan e-mail. Tapi, surat sudah tidak populer lagi dan aku tidak punya siapa-siapa untuk dikirimi surat. Mungkin suatu hari kelak, ribuan amplop ini akan kukirim pada seseorang atau kalau aku mati, seseorang akan menemukan dan menjadikannya kajian atas hidupku.

Hidupku? Apa bagusnya hidupku? Tidak, sekarang hidupku sedang bagus. Bagus dan bahagia! Melihat B di sana membuatku seperti disengat listrik. Elan vital (daya pendorong hidup)! Sebuah kejutan yang pahit sekaligus menyenangkan! Tiba-tiba semua detail yang dulu kulupa bisa berkelebat lewat. Rasanya ada tenaga baru. Membakar. Menghanguskan. Tak peduli apa yang terjadi di waktu lalu. Terlintas, aku ingin menguasainya. Nyatakah dia?

4193
Mana yang lebih mengerikan? Cinta atau waktu? Bolehkah kusebut cinta itu kejam? Klise memang, tapi nyata sudah bencana yang ditimbulkan oleh cinta. Bagaimana dengan waktu? Bukankah dia memenjarakan kita dalam konsep ruang? Dua dimensi. Tiga dimensi. Ruang. Hampa. Hari. Tanggal. Jam. Menit. Detik. Membuat kita tumbuh. Membuat kita tua. Siapa yang bisa menghentikannya? Di antara cinta dan waktu, mana yang akan abadi? Mana yang akan lebih berkuasa?

Aku tak pernah menyukai waktu. Waktu mencuri banyak dariku. Karenanya aku tidak punya masa kecil indah. Waktu memaksaku bertemu orang-orang yang kelak akan kubenci, meninggalkanku, atau menyakitiku. Waktu membuatku jadi pelarian hanya karena mempertahankan prinsip yang kuanut. Hinanya! Yang bisa kuingat hanya rasa takut. Takut mereka akan mengejarku. Ah, jadi waktu yang berkuasa dan cinta hanya pionnya! Bangsat!

4194
Waktu seperti sebuah trivia, ‘kan? Ada pilihan berganda atas keinginan kita. Ada pilihan dari sebab yang kita kehendaki dan harus kita pilih. Kadang-kadang aku ingin tahu, apakah seandainya saja kita bisa menjalani ketiganya, maka ketiganya akan memberi akhir yang sama?

Mengapa rasa takut bisa mematikan seluruh saraf kita? Kenapa rasa takut membuat kita berhenti mencari dan menjadikan kita penipu? Berapa banyak kebohongan yang harus kita bangun hanya untuk menutupi rasa itu?

Kadang-kadang, aku merasa mati rasa.

4217
Ada empat pertanyaan tentang cinta: cinta itu apa, kapan kita jatuh cinta, pada siapa kita jatuh cinta, apakah kita yang harus mencari atau ia datang dengan sendirinya? Pertanyaan pertama adalah yang tersulit. Sampai hari ini pun aku tak bisa mendapatkan satu kata paling sederhana untuk menjawabnya. Ketika aku merasakannya, yang kuingat adalah saat bersamanya. Tak perlu segalanya dengan kata-kata. Hanya ingin dia tahu eksistensiku tanpa perlu disadarinya. Itu sudah membuatku bahagia.

Cinta, mungkin pada akhirnya adalah kebahagiaan bagi banyak orang, namun jalan menuju ke sana penuh tanda tanya yang sering menyurutkan segala asa yang sudah dibangun. Bagiku, kebahagiaan itu temporer dan singkat. Setelah masa bahagia, kesedihan panjang akan mengutuk hidup buat selamanya! Membuat kita sedih, marah, dan sering kali kita harus berhenti di tengahnya. Meninggalkan luka dalam. Lalu kita menghabiskan sisa hidup untuk mengenang atau berjuang melupakan. Itulah gambaran cinta yang aku tahu. Bias dan gelap!

Aku tak pernah bisa memastikan kapan aku bisa jatuh cinta. Perasaan itu datang menyalip dan setelah sensasinya lewat baru kusadari aku telah dijebak cinta. Lucunya, sekalipun tahu pada akhirnya selalu berakhir pahit, aku mau saja dijerat oleh perasaan itu. Aku butuh banyak inspirasi menulis novel-novel kacanganku itu. Menyesal, mungkin — tapi cinta memang adiktif, bukan?

Aku pun tak tahu bagaimana aku bisa jatuh cinta. Apa istimewanya dari tiap laki-laki yang kutemui? Kebanyakan biasa saja. Terlalu biasa. B hanyalah seorang laki-laki energik yang lebih pantas jadi olahragawan. D cuma seorang lelaki kalem yang melihat dunia dengan cara yang lurus. Siapa lelaki terakhir yang pernah kukenal? S? Ah, dia hanya seorang lelaki yang bahkan tidak tahu apa yang harus dilakukannya untuk hidup! Kita sering memilah, mencari seseorang yang sempurna untuk kita. Dan pada akhirnya, yang kita dapat hanya mereka yang biasa-biasa itu....

4218
Ada satu pertanyaan lagi, apakah cinta perlu deklarasi? Perlukah cinta dinyatakan dengan lisan? Perlukah kita memiliki status, bahwa si Anu kekasih kita, atau si Itu cuma teman biasa? Apakah cinta dirancang untuk mengikat?

Berbeda dengan B, bersama D tak ada ikatan apa pun yang dijadikan alas dari perasaannya. Aku merasa terlunta-lunta. Kadang-kadang aku pikir, aku memang menghendakinya demikian, karena kalau aku harus kehilangan dia, aku masih bisa berkata, ‘Ah, dia cuma seorang teman’. Lain waktu, aku pun terperangah, ternyata aku perlu tali kekang. Kenapa ia tidak pernah menarik kekangnya? Apakah ia juga takut seperti aku?

4225
Aku benci namanya. Hestia. Dewi Yunani. Anak Cronus dan Rhea. Dialah sang Dewi Hati. Bedanya, wanita yang kukenal itu terlalu baik hati, mudah diperdaya sekaligus ternyata juga pintar memperdayaku. Ternyata, dia sudah mati, tapi kenapa selalu mendatangiku? Bagaimana bisa ia selalu mendatangiku? Aku tak mengerti! Aku lelah!

B, tolong maafkan, malam ini aku merasa kesalahan itu telah mencekik semua rasa yang kusumbat dalam-dalam. Seharusnya kata-kata itu tak perlu terucap. Seharusnya tak perlu kau tahu urusanku dengan Hestia. Ah, padahal hanya sebaris saja kata-kata itu meluncur, namun aku merasa seluruh jantungku ditikam. Luruh, sakit, ingin menjerit — kerongkonganku sesak tertahan. Aku merasa berjalan meraba-raba dinding hitam yang mana segala rupa adalah gelap.

Kita mungkin melihat dirinya dari dua sisi yang berbeda, tapi aku bersumpah tak pernah membunuhnya. Kenapa kau tak bertanya dulu padaku? Aku hanya memintanya sekali saja. Dia sendiri yang menawarkan diri membelikan obat itu. Kalau aku meyakininya hidup sama dengan dalamnya keyakinanmu dia sudah mati, kenapa kita tidak saling menerima kenyataan yang kita yakini masing-masing?

Aku tak keberatan kau menyebutku gila. Tidak! Aku pun tahu aku sudah gila, tapi aku tidak peduli lagi. Kegilaan ini sudah mendarah sama pekatnya dengan keyakinanku, bahwa ia akan tetap setia membawakanku valium itu. Itulah dunia real yang aku lihat! Sama seperti kamu melihatnya tidak ada....

Tapi, aku tak ingin memaksakan kepercayaan dan keyakinan apa pun padamu. Kamu bebas memercayai apa pun dan berbahagialah dengan kepercayaan itu.

Seandainya malam ini tidurmu tak mampu nyenyak dan ada rasa itu, tolong maafkan, karena aku yang menjerit memanggil namamu. Tolong putarkan waktu untukku. Tolong jangan biarkan aku lelah sendirian di sini!.

Aku ingin tidur. Tidur panjang tanpa seorang pun perlu mengganggu. Aku ingin bangun tanpa perlu mengingat apa pun yang terjadi hingga hari ini. Aku hanya ingin melupakan dan kalaupun gagal, aku ingin terbangun dengan kulit mengelupas, bukan aku di hari ini....
selamanya,
aku

Semuanya terasa samar-samar. Aku memang tak punya banyak waktu untuk membaca seluruh isi amplop yang ada di atas meja (mulai dari nomor 3900). Di satu sisi, aku merasakan adanya cerita cinta yang sepertinya sudah lama berlalu. Di sisi lain, aku merasa ada semacam pergumulan hati. Pendapatnya tentang cinta, waktu, dan masa lalu membuatku menyadari sisi lain dari kehidupannya yang terlihat ceria dan bersemangat.

Tiba-tiba aku merasa napas dan pikiranku jadi sesak! Ingin rasanya aku berteriak. Aku marah! Marah karena tidak pernah mencoba melihatnya dari sisi yang lain. Marah karena aku tidak pernah bisa merasakan apa yang ingin ia sampaikan dalam kegembiraan semunya. Aku marah karena tidak pernah menjadi teman bicara yang sesungguhnya. Dan, aku marah karena tidak pernah berusaha mencarinya....

Ketika pulang ke apartemen, Nanda sedang tidur. Keluarga Jose menceritakan sebelum pulang, mereka kesulitan menghadapi Nanda yang terus mogok bicara. Ia bahkan seharian belum makan. Sakti harus sabar membujuknya. Sudah empat kali makanannya dibuang sia-sia. Nanda bangun untuk memberinya tatapan dingin dan kemudian kembali tidur.

Sakti tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dibiarkannya saja Nanda dengan segala kemauannya. Malam itu ia berbaring di sofa, tapi isi aerogram Nanda yang masih terngiang di otaknya membuatnya sulit untuk lekas tertidur.

Esoknya, ketika pagi Sakti pergi, Nanda bangun. Menjejakkan kakinya ke lantai. Agak terhuyung-huyung ia mengambil sweater dan perlahan-lahan mengenakannya. Ia mengambil sepatu dan memakainya sembarangan. Merogoh-rogoh beberapa laci dan menemukan uang di situ. Tergesa memakan roti yang tersisa di meja, lalu meninggalkan apartemen.

Nanda memanggil taksi dan segera pergi ke Pia menuju apartemennya. Ia menyusuri anak tangga perlahan-lahan sampai ke tingkat tiga. Di depan pintu apartemennya, ia berjongkok dekat pot bunga, merogoh ke bawahnya. Dan, menemukan kunci apartemennya. Tanpa sepengetahuan induk semang, Nanda membuat satu kunci duplikat.

Tergesa-gesa Nanda masuk. Ia kehabisan tenaga, walaupun sebelum berangkat sempat memakan roti. Ia mempercepat langkah ke dapur. Membuka kulkas dan mengambil botol susu. Dengan gemetaran langsung menghirup isinya. Sebelum menyadari efek sampingnya, sakit perut.

Hestia membantunya duduk ketika Nanda tidur meringkuk di lantai.

“Mau apa lagi?” tanya Nanda dengan suara pelan, hampir tak terdengar. “Hanya membantu,” jawab Hestia. “Tidak butuh?”

“Pergi!”

“Jangan sombong, Nanda. Sekarang bukan saat yang tepat untuk mengabaikan pertolongan, dan berhentilah jadi anak kecil!”

“Kamu bohong padaku! Bobby bilang kamu sudah mati!” seru Nanda mendadak.

“Hei,” Hestia menatapnya heran, “aku kan datang atas permintaan kamu! Siapa yang selama ini merengek minta valium? Kamu! Siapa yang dulu memohon-mohon ketika aku mati supaya aku tetap memberimu valium? Kamu!”

“Tapi, kenapa kamu tidak bilang bahwa waktu itu kamu sudah mati?” teriak Nanda.

“Apa ada bedanya?” Hestia balas berteriak. “Kalau kubilang aku sudah mati waktu mengambil obat itu, apa kamu akan percaya? Kamu sudah membacanya di koran. Berita kecil tentang kematianku. Tapi, kamu tidak percaya. Kamu tetap menunggu. Jadi, buat apa aku harus memberi tahu sesuatu yang tak akan kamu percayai?”

Hestia mengentak Nanda supaya berdiri, tapi Nanda meronta. Hestia mencengkeramnya kuat-kuat sambil mengarahkannya ke kasur, lalu mendorongnya hingga terjerembab di atasnya. Nanda mengaduh pelan.

“Berhentilah menangis seperti itu! Kamu pantas sesekali diperlakukan dengan kasar!”

Sakti tidak tahu harus marah atau gembira ketika menemukan Nanda berada di apartemennya sendiri. Namun, pada akhirnya ia tertawa. Memeluk Nanda dan berkata, “Aku khawatir sekali!”

Ketika dilepaskannya pelukan itu, Nanda mengejutkan Sakti dengan menyentuhkan punggung tangannya ke wajah Sakti.

“Kamu sudah berubah,“ kata Nanda pelan. “Apa kamu merasa kasihan padaku?”

“Tidak. Bukan begitu,” gumam Sakti, terkejut.

“Kamu berubah. Berubah banyak. Kamu jadi terlalu baik. Ini bukan kamu,” suara Nanda terdengar makin getir.

Hening beberapa saat.

Sakti berfirasat, mungkin Nanda sudah tahu bahwa ia akan pergi. Ia pikir, inilah kesempatan untuk memberi tahu Nanda. Ia memilih untuk melanggar satu aturan yang melarang memberi tahu siapa pun, tapi ia bisa mengatakannya dengan samar-samar.

Sakti menangkupkan tangannya di atas tangan Nanda. “Nanda, sepertinya aku harus pindah ke tempat lain. Kamu pasti mengerti maksudku.”

“Mereka…?”

Sakti mengangguk. Ia merasa pikirannya sesak kembali. “Aku sebenarnya masih ingin di sini, tapi.... “

“Ya,” respons pertama Nanda keluar, “kamu memang ingin pulang ke Jakarta, bukan? Jangan khawatir. Aku bakal baik-baik saja. Hidupku pernah lebih kacau. Hal sepele seperti ini tidak akan bikin aku menangis dan mati. Ya, ini cukup mengejutkan, tapi tak ada gunanya kamu berlaku terlalu baik. Itu tak akan mengubah apa pun.”

“Nanda....”

“Tanggal berapa?”

“Empat Januari.”

“Untunglah.” Wajah Nanda berubah jadi tak peduli. “Rasanya aku cukup kuat untuk merayakan tahun baru di Patrello. Mau bergabung?”

“Tidak. Terima kasih.”

“Ya, sudah!”

Sejenak Sakti merasa dadanya sakit mendengar kata-kata Nanda.

Tanggal 31 Desember. Dari sore jalanan mulai penuh dengan orang dan terompet. Yang menyenangkan adalah hiasan yang memenuhi kota, mengingatkan Sakti pada masa ‘40-an. Orang-orang berdiri dari balkon atau jendela sambil melempar serpihan bunga dan kertas warna-warni ke jalanan di saat pawai bergerak. Semua kertas dan bunga itu mengharumi udara — seperti butiran salju. Hari ini, ia menikmati pemandangan itu dari jendela apartemen Nanda. Nanda tak jadi ke Patrello. Ia memutuskan untuk tetap di apartemen karena tidak tahan dengan udara dingin.

Pukul sembilan malam, setelah makan, suasana makin sepi di dalam apartemen Nanda. Sakti baru selesai mencuci piring ketika Nanda berkata padanya, “Aku capek. Tolong matikan lampunya.”

Tanpa menunggu jawaban dari Sakti, Nanda naik ke ranjang dan menarik selimut. Sakti tidak bisa mengatakan apa pun. Ia mematikan semua lampu, namun masih terjaga. Ia lalu menarik salah satu sofa kecil ke dekat jendela. Duduk di situ hingga akhirnya terdengar sorak kegembiraan dan pecahnya kembang api di langit.

Sakti menoleh ke arah Nanda yang tampak lelap. Pelan-pelan ia menghampirinya. Nanda sedang meringkuk menghadap ke sisi lain. Sakti menyentuh pundak Nanda dari belakang, mendekat ke telinganya. Ia menghela napasnya sebelum berkata, “Selamat Tahun Baru, Nanda.” Lirih, nyaris tenggelam diredam dentum kembang api yang pantulan gemerlap cahayanya sesekali menerobos ke kamar Nanda.

Sakti pun merebahkan tubuhnya. Memejamkan matanya dan tak lama kemudian tertidur. Tapi, Sakti tak tahu, saat itu Nanda membuka matanya dan mulai menangis tanpa suara.

Ketika hari sudah siang, Sakti sempat pergi selama beberapa jam. Ia baru kembali menjelang senja. Nanda menduga ia pergi berbenah untuk tanggal empat mendatang, tapi ia tak berminat untuk bertanya.

Nanda tetap tidur pukul sembilan malam dan Sakti duduk membaca di luar. Namun, menjelang pukul dua belas malam, Sakti menghampiri dan mengguncang lembut pundaknya. Nanda menggeliat dan membuka matanya.

“Ganti pakaianmu,” kata Sakti dengan lembut.

“Apa?” Nanda masih di awang-awang.

“Kita mau pergi.”

“Ke mana? Sakti, ini jam berapa?”

Sakti hanya tersenyum.

“Aku harus pakai baju apa?”

“Yang membuat kamu merasa nyaman. Ini bukan acara date, kok.” Sakti mengulum senyum. Ia menarik dengan lembut tangan Nanda agar gadis itu mau bangkit dari tidurnya. “Aku menunggumu di depan, ya....”

Setengah mengantuk, Nanda pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Sebenarnya ia tidak suka tidurnya diganggu, tapi ia tak mampu menolak ajakan Sakti. Nanda berganti pakaian rapi dan membalutnya lagi dengan sweater. Tak lupa mengambil sepatu bot, syal, dan menyisir rambutnya.

Ketika meninggalkan kamar, Sakti sudah duduk menunggunya di sofa. Nanda bersyukur ia tidak salah kostum. Sakti tampil santai dengan sweater dan celana jeans yang dikenakannya. Ia tersenyum. Menghampiri Nanda dan mengajaknya pergi.

Di bawah telah terparkir sebuah limousin hitam. Nanda tercengang melihatnya.

“Your dream. Let’s make it happen before I go....”

“Sakti....” Sakti pura-pura mengabaikan. Ia sengaja segera menarik tangan Nanda menghampiri mobil mewah itu. Sopir segera membukakan pintu sambil mengucapkan selamat malam.

Nanda masih tidak bisa mengatakan apa-apa sampai mobil berjalan beberapa menit kemudian. “Ini adalah.... ”

“Ini hadiah Tahun Baru,” Sakti memotong. “Kemarin kamu batal ke Patrello dan aku ingin bikin sedikit kejutan. Sekarang, kamu mau ke mana?”

Sakti melihat ada sedikit genangan air mata dekat pupil Nanda.

“Ke mana pun...,” suara Nanda terdengar agak gemetar, namun ia segera tertawa. Lepas dan ringan. Membuat Sakti ikut tertawa.

Mereka menyusuri banyak tempat. Berhenti di sebuah bukit di pinggiran kota. Menikmati malam di sana. Melewati taman-taman kota. Perkampungan yang lelap. Sampai akhirnya berhenti di Ground Six.

“Bisa aku sendirian di sini sebentar? Dua puluh menit saja.”

Sakti mengangguk. Nanda meninggalkan mobil dan berjalan ke arah panggung. Seperti biasa, ia duduk di kursi. Ia memejamkan matanya seperti berdoa.

Kemudian, ia datang

Sakti tak punya pilihan. Ia harus pulang, walaupun hatinya berat meninggalkan Nanda….

Aku ingin bertanya dan aku mau kamu jujur seperti dulu kamu jujur kepadaku,” Nanda menarik napas panjang. “Apakah kamu masih mencintaiku?”

Bobby termangu.

“Apakah kamu sungguh-sungguh mencintai Hestia?” Nanda bertanya lagi.

“Aku tidak tahu,” jawab Bobby, lirih. “Oh, tidak! Aku rasa tidak! Aku mencintai Hestia dengan kadar secukupnya. Mungkin juga kurang. Kurasa dia juga tahu.”

Mereka diam beberapa saat. Masing-masing menatap panggung yang kosong. “Aku lebih mencintai kamu, Nanda. Sampai mati,” Bobby menghela napas, “tapi, aku tak menyangka kamu mengenal Hestia. Sungguh.”

Nanda tertawa. “Dia bahkan tahu semua pacar-pacar kamu, Bob.”

“Ya, aku tak pernah mengerti kenapa dia tetap memperlakukanku seakan-akan aku laki-laki yang setia. Apa dia ingin aku merasa bersalah suatu hari kelak?”

“Apakah cinta perlu alasan? Hestia tidak tahu jawabannya, sepanjang yang aku tahu. Mungkin sebenarnya dia tahu, tapi dia ingin menyimpannya sendiri, atau mungkin dia tahu tapi dia tidak bisa menggambarkannya dengan tepat.”

“Mungkin kamu benar, Nda,” sambung Bobby, “Kematian Hestia tidak sepenuhnya tanggung jawabmu, tapi aku memang sombong. Kesombonganku melarang untuk meneruskan hubungan kita. Aku tak bisa minta maaf padamu.”

“Tidak apa-apa. Cinta kamu sudah cukup untukku. Izinkan aku memiliki perasaan itu untuk selamanya.”

“Nanda....”

“Aku akan melepaskan kamu selamanya, Bobby. Sungguh!”

Bobby tertegun. Berpikir lama, lalu akhirnya menggenggam jemari Nanda. “Ya, ya, bawalah. Aku juga akan membawa perasaanmu. Kita tak perlu lagi saling memiliki karena kita sudah memilikinya selama ini.”

Bobby memeluknya. Erat. Mencium bibirnya. Memeluknya lebih erat. Membiarkan beberapa detik lagi lebih lama. Kemudian dilepaskannya pelukan itu. Ia menoleh ke arah limousin yang terparkir. “Seseorang menunggumu?” tanyanya.

“Ya,” Nanda menoleh ke arah limousin sejenak, “tapi dia pun akan pergi.”

“Pikirkan dia ada, maka dia tidak pergi,” ujar Bobby, sambil tersenyum.

“Terima kasih, itu saran yang baik, tapi sepertinya berpikir bahwa perasaan kamulah yang selalu ada, rasanya jauh lebih baik.”

Bobby tersenyum. “Aku mau pulang. Jaga dirimu.” Diciumnya Nanda sekali lagi dan ia hilang dalam gelap malam. Meninggalkan Nanda seorang diri.

Sakti menatap Nanda yang duduk sendirian selama dua puluh menit tanpa bergerak. Ingin rasanya ia bertanya, apa yang dipikirkan Nanda di sana.

Pukul lima pagi. Matahari baru terbit dua jam lagi. Limousin merayap mendekati apartemen Nanda. Ia sempat tertidur di bahu Sakti selama lima belas menit sebelum akhirnya terbangun dan merasa malu karenanya. Mereka tidak berbicara di sepanjang malam itu. Ketika akhirnya limousin berhenti dan mereka naik ke atas, Nanda yang dari tadi tidak berani menatap wajah Sakti akhirnya bicara, “Aku tak punya hadiah perpisahan untukmu.”

“Tidak perlu, Nan.”

Nanda membuka pintu dan menyalakan lampu. Memberi isyarat agar Sakti mengikutinya. “Apa yang ingin kamu ketahui tentang aku?”

“Kamu?”

“Ya. Aku tahu kamu ingin tahu.” Nanda menunjuk ke tumpukan amplop yang tidak begitu rapi di meja kerjanya.

“Kamu....”

“Aku tahu,” kata Nanda dengan tenang sambil menuju ke meja, membereskan tumpukan amplop itu, mengambil tali dari laci, dan mengikatnya jadi satu. “Kamu membacanya, tapi kamu tak mengerti, bukan? Kupikir kamu berubah karena kamu sudah membacanya. Ternyata alasan kamu bukan itu.”

Sakti tertegun.

Nanda membawa bundelan amplop itu ke lemari. Membuka kuncinya dan dengan sekali sentak, pintu gesernya terbuka. Di salah satu raknya yang terbuka, terlihat tumpukan amplop yang berjajar rapi seperti arsip.

Sakti menahan napas.

“Aku hanya ingin membuatnya impas bagi kita. Perjalanan tadi perlu mendapat bayaran yang sama.”

“Kamu tak perlu berlebihan seperti ini!” Sakti merasa sedikit takjub.

“Duduklah,” Nanda memberi isyarat agar Sakti duduk di sofa yang menghadap ke jendela.

Sakti menurut.

Nanda lalu mengambil tempat tepat di depan Sakti. Ia menyalakan sebuah lampu duduk sehingga ada dua bayangan jatuh di wajahnya. Membuat setengah wajahnya tampak tersembunyi. Ditatapnya Sakti tajam-tajam, lalu menghela napas. Sejenak, Sakti bisa melihat kesamaan wajah itu saat duduk diam di perpustakaan — suatu momen yang tak bisa dilupakannya!

“Kamu mungkin berpikir, kemarin aku ingin bunuh diri,” sambungnya dengan suara dalam. “Menurut kamu, apa aku memang ingin begitu?”

Sakti menjawab pelan, “Tidak. Kamu bukan orang seperti itu, bukan?”

Nanda menghela napas. “Aku hanya merasa lelah. Lelah bukan berarti ingin mati. Aku tertarik pada kematian, tapi aku tak perlu membunuh diriku sendiri. Ini hanya tentang perasaan....”

“Tujuh tahun lalu aku pernah jatuh cinta. Aku percaya, itulah kali pertama aku jatuh cinta. Sungguh-sungguh cinta pada energi yang dimilikinya,” kata Nanda, tertawa pelan. “Tapi, ketika kedoknya terbuka, aku merasa dia menipuku. Tak ada yang bisa menghibur hancurnya perasaanku, meskipun istrinya berkata dia sungguh-sungguh mencintaiku. Kadang-kadang aku masih berusaha menunggunya. Menunggu ia meninggalkan istrinya, tapi itu pun kutahu tak akan mungkin terjadi,” sambungnya.

“Lalu, tiga tahun yang lalu,” ia menarik napas, “aku bertemu seseorang. Orang yang sangat berbeda. Pendiam, tenang, hidup tanpa rahasia. Entah apa yang membuatku bertahan dengannya. Mungkin karena dia selalu mendengarkan. Ya, kurasa itu....”

“Ia tinggal di perkampungan Indonesia. Sekarang kamu pasti mengerti kenapa aku tidak mau ke sana. Tapi, bukan itu masalah sebenarnya. Kurasa ia tahu bahwa aku masih belum melepas sepenuhnya kenangan dari tujuh tahun yang lalu. Atau mungkin — entahlah — aku merasa dia hanya ingin diam. Makin dalam aku ingin menerobos masuk, makin jauh ia rasanya!”

“Aneh, ketika tujuh tahun yang lalu, ikatan itu pada akhirnya membuatku tersiksa karena aku benar-benar jadi kekasihnya. Sekarang, ia membiarkanku bebas tak terikat. Mulanya, aku merasa baik-baik saja, setidaknya aku tidak perlu merasa berdosa jika aku ma sih mencintai masa laluku ataupun bisa berdekatan dengan orang lain selain dia. Aku merasa ini posisi yang aman. Aku tak punya keharusan apa pun. Tak harus menghubunginya tiap hari, tak harus bertemu dengannya tiap saat. Aku bebas. Bila mau, aku pun bisa meninggalkannya begitu saja.”

“Setelah setahun, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Apakah selamanya seperti ini, atau suatu saat ia akan berkata, ‘Aku mencintaimu. Mari kita lebih serius.’ Kata-kata itu tak pernah meluncur. Sekali pernah kutanya, ia hanya menatap kosong dan meminta maaf sambil berkata, ‘Apakah aku egois membiarkanmu seperti ini?’ Aku tak bisa menjawab.”

“Saat itulah untuk kali pertama aku merasa hambar. Aku merasa berada di titik balik. Tak ada pertanyaanku yang dijawabnya. Kadang-kadang aku merasa ia takut pada sesuatu. Entah apa! Aku tak bisa berbohong pada diriku sendiri untuk tetap baik-baik saja, meski aktingku cukup baik di depannya.

“Aku mulai berpikir, Sakti. Berpikir untuk meninggalkannya. Aku betul-betul ketakutan. Jika hubungan itu tak membawaku ke mana-mana, kenapa aku harus berdiam di situ? Aku merasa, cepat atau lambat, salah seorang di antara kami akan mengucapkan selamat tinggal. Aku tak mau sakit hati. Jadi, kuputuskan, aku yang akan meninggalkan dia.”

“Tapi, ternyata dia menghilang lebih dulu! Tak ada kata perpisahan. Ada yang bilang, ia pergi terburu-buru entah ke mana. Ada yang bilang, dia diambil mereka. Ada juga yang yakin, dia pulang ke Jakarta. Aku tak tahu mana yang benar. Yang kurasa hanyalah kemarahan. Aku merasa dibuang. Aku benar-benar merasa sendirian!”

“Ketika tiba-tiba aku bertemu lagi dengan kekasihku tujuh tahun lalu, beberapa bulan yang lalu, entah kenapa aku merasa punya harapan. Sayangnya, itu pun pupus juga pada akhirnya. Sekarang, aku menyerah. Mungkin, memiliki berarti tidak memiliki dan ketiadaan memiliki berarti memiliki sepenuhnya.” Nanda tertawa. Menarik napasnya dalam-dalam. Posisi duduknya belum berubah. Wajahnya masih sama tenangnya. Tanpa sadar, Sakti merasa tercekam pada pemandangan di depannya.

“Inilah Nanda yang sebenarnya, Sakti,” sambungnya dengan suara bergetar, “Inilah Nanda yang telanjang, yang ketakutan, yang merasa kasihan pada dirinya sendiri, cengeng! Nanda yang satu ini, tak mampu berganti kulit. Nanda inilah yang sesungguhnya selalu berlari-lari di platform karena selalu tertinggal di masa lampau.”

“Nanda,” Sakti memeluknya, “kamu tak seperti itu. Dengar, kamu bisa pulang ke Jakarta. Mungkin dia ada di sana. Aku akan bantu mencarinya. Siapa namanya?”

Nanda menggeleng sambil melepas pelukan Sakti. “Aku tak seberani itu! Bagaimana kalau dia sudah bersama orang lain?”

“Tapi, kamu bisa mencobanya.” Sekali lagi Nanda menggeleng. “Aku sudah tidak punya tenaga lagi, Sakti. Ini adalah batas ujung kekuatanku. Kalau aku masih harus melihat realitas lain yang lebih menyakitkan, aku tak akan bisa bertahan. Aku terlalu lelah. Lebih baik aku memercayai apa yang kelihatannya nyata untukku.” Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Sebaiknya aku di sini. Banyak hal yang harus kuselesaikan.”

Nanda lalu tersenyum, menatap lembut. “Kuharap kamu melupakan apa yang kukatakan hari ini. Kalau ingin mengenangku, kenang saja Nanda yang pernah menabrakmu di platform. Seorang Nanda yang gila jauh lebih lucu buat dikenang!”

Sakti tertawa, menatapnya sungguh-sungguh. “Aku mengingatmu sebagai keseluruhan seorang Nanda. Nanda di platform dan Nanda yang sedang duduk di depanku sekarang.”

Mereka terdiam lagi. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Tahu-tahu sudah pukul enam pagi. “Aku rasa sebaiknya kamu pulang ke apartemenmu, Sakti. Besok kamu mau berangkat.”

“Tidak ada yang perlu kukemas.”

“Kamu orang terakhir yang kukenal, juga lelaki terakhir yang ada dalam hidupku saat ini. Aku tidak akan bisa mengantarmu dan aku juga tidak mau mengucapkan perpisahan.”

Sakti berusaha mengucapkan sesuatu, tapi Nanda memotongnya.

“Dengar, dengarkan aku,“ kata Nanda, menggenggam jari-jari Sakti dan menatap matanya lekat-lekat, “sudah cukup aku kehilangan orang-orang yang kucintai. Kalau aku harus mengucapkan selamat jalan, artinya aku akan kehilangan dirimu juga.”

Sakti memeluknya. “Aku janji kita akan bertemu lagi.”

“Bagaimana mungkin kamu bisa menjanjikan sesuatu dari dunia yang relatif ini?”

Sakti tahu kata-katanya benar. Ia tidak berkata apa-apa lagi selain mengecup lembut dahi Nanda. “Aku tidak akan melupakan kamu dan ini bukan janji yang relatif. Kalau kita bertemu nanti, aku akan mengatakan sesuatu yang akan mengingatkanmu padaku.”

“Apa?”

“Nanti kamu akan tahu kalau waktunya datang.”

Nanda mendorongnya dengan lembut, berkata lirih, “Pergilah....”

Sakti pelan-pelan melepaskan Nanda dan meninggalkannya. Nanda membuka pintu apartemennya. Menutup dan menguncinya, lalu duduk dalam gelap menunggu limousin itu menjauh.

Dalam keheningan itu, seseorang tiba-tiba memecah kesunyian. “Apa kamu akan menyingkirkan semua orang, Nanda?”

Nanda menoleh. Hestia bersandar di pintu depan kamar mandinya.

“Aku tidak menyingkirkan siapa pun. Bobby, Dito, Sakti. Mereka punya kebebasan untuk pergi.”

Hening sesaat. “Bobby bilang, dia tidak mencintai kamu, Hestia.”

“Jangan memberi tahu aku apa yang sudah kuketahui.” Hestia tersenyum. “Jangan mengalihkan pembicaraan.”

“Aku tak membutuhkan apa pun lagi darimu. Semuanya sudah selesai. Aku tidak akan pernah menyukaimu, Hestia. Juga anakmu! Kamu mungkin anggun seperti Dewi Hati, tapi kamu sama egoisnya denganku! Kamu pikir kamu yang paling hebat? Kamu pikir kamu yang menguasai Bobby? Buat Bobby, kamu tinggal nama,” ejek Nanda.

“Selamat tinggal. Ucapanmu yang kekanak-kanakan tak perlu kutanggapi,” Hestia menanggapinya dengan dingin, lalu pergi.

“Aku belum mengusir kamu, Pengecut!” Nanda mengentakkan kakinya.

Hestia berbalik, mencengkeram baju Nanda. “Aku mungkin pengecut untuk Bobby, tapi aku tidak pernah takut padamu. Aku yang menantangmu, yang mendatangimu, sekalipun aku tahu, aku kalah. Kamu hanya anak kecil yang hidup ketakutan dalam mimpi buruk tanpa pernah berusaha keluar. Kamu hanya lari! Lari! Lari! Kamu mungkin menang, tapi tak pernah benar-benar menang. Kemenanganmu sama sekali tak pantas dirayakan!”

“Aku sudah keluar! Aku tidak lari lagi! Sekarang Bobby sepenuhnya milikku!”

“Ya! Memiliki bayangannya! Sama seperti kamu memiliki bayanganku!”

Hestia melepaskan Nanda dengan mendorongnya menjauh, lalu menyibak rambutnya dengan gusar. Ia mendengus, lalu melangkah pergi. Nanda masih sempat terlonjak ketika mendengar bunyi pintu dibanting.

4 JANUARI — SAKTI
Tak ada yang perlu kukemas. Barang-barang yang sangat pribadi sudah kubuang. Apartemenku bisa dipakai oleh siapa saja yang mau. Aku memberikan kuncinya pada induk semangku pukul sembilan malam dan setelah itu aku menjadi tunawisma temporer. Ada perasaan berat untuk meninggalkan kamarku. Waktu sepanjang satu setengah tahun itu ternyata sudah cukup lekat di hatiku.

Lewat pukul sembilan, aku berjalan santai menyusuri jalanan yang mulai sepi. Hujan es baru saja berhenti dan udara mendadak sangat dingin. Aku memutuskan untuk pergi ke Blackpie. Hanya sebuah angan-angan, andaikan Nanda ada, walaupun kutahu sangat tidak mungkin. Di Blackpie, aku mengenang saat kami berlari bersama. Aku mulai memikirkan konsepnya tentang waktu. Saat ini aku merasa waktu berjalan begitu lambat. Begitu menyakitkan. Nanda benar tentang waktu. Berarti Einstein jauh lebih benar: waktu itu relatif.

Aku menghabiskan sisa hari dengan mengelilingi semua stasiun besar di Parish. Kabut tipis yang menyelimuti kota membuat cahaya lampu jalanan berpendar lembut. Baru kusadari romantisisme kota ini. Seandainya bisa kunikmati lebih lama perjalanan ini....

Perjalananku berakhir di Ta-nun. Keluar dari kereta, aku menyewa taksi menuju Airport Sook-ma. Aku belum pernah ke sini. Kulihat sebuah pesawat kecil berada di landasan. Turun dari taksi, aku masuk ke sebuah bangunan kaca yang bisa kusebut sebagai ‘terminal keberangkatan’. Tidak ada orang lain selain diriku. Aku duduk sendirian di sebuah kursi tanpa melakukan apa pun sampai wanita yang membawa amplop itu datang menghampiriku. Tak ada yang berubah darinya. Wajahnya tetap tidak berekspresi, senyumnya tetap tak bisa diartikan, dan bajunya masih yang itu-itu juga.

“Sudah siap?” tanyanya tanpa basa-basi.

Jantungku berdebar keras. Sekarang tepat pukul dua belas malam, tanggal empat Januari.

“Ya,” aku berusaha agar jawabanku terdengar mantap.

Wanita itu mengangguk. Memberi tanda padaku untuk mengikutinya. Ia membuka pintu dan aku mengikutinya berjalan ke arah tangga pesawat. Sebelum aku melangkah naik, ia berkata, “Selamat jalan, Sakti. Apa pun pilihanmu, itu adalah pilihan terbaik. Kamu sudah membuat dirimu berarti di sini. Semoga kamu juga bisa membuat hidupmu lebih berarti setelah ini.”

Aku tersenyum kepadanya. Kata-katanya terasa agak ganjil, tapi cukup menghibur untuk menguatkan perasaanku. Aku tak merasa telah membuat hidupku benar-benar berarti di sini. Terlalu banyak hal yang tak bisa kupahami. Bergegas kunaiki tangga. Memang hanya aku penumpangnya. Tak lama kemudian, pesawat mengudara. Aku bisa melihat Parish yang masih indah dibalut kabut tipis.

Sejenak aku bertanya dalam hati, apa yang sedang dilakukan Nanda saat ini?

4 JANUARI — NANDA
Distrik Patrello tak pernah mati. Hujan tak membuat tempat ini sepi. Di sebuah kafe, ingar-bingar musik Latin bersahut-sahutan dengan pengunjung yang memenuhi hampir semua sudut. Ada yang berdansa, ada yang mengobrol. Semua orang larut dalam kegembiraan. Berteriak, tertawa, menggoda, dan mabuk bersama!

Di lantai dua, Nanda dan teman-temannya menikmati malam itu dengan obrolan ringan dan lucu. Sesekali Nanda turun berdansa, tapi lebih sering ia bersahut-sahutan melempar canda. Rentang kegembiraan itu diselingi dengan makanan dan minuman yang tak henti-henti. Ruangan itu kian terasa sesak dengan bau asap rokok yang terjebak pendingin ruangan.

Aku tak tahu kenapa berada di sini. Teman-teman yang rasanya begitu asing. Aku hanya ingin melewati hari ini dan besok secepatnya. Secepat kami tertawa terbahak. Aku ingin larut dalam euforia ini selama mungkin. Melepaskan diri dari jam, menit, dan detik. Melupakan waktu. Bagaimanapun juga, aku kehilangan dirinya....

Pukul 03.07 pagi. Nanda membuka pintu apartemennya. Ia menyalakan lampu. Melepas sepatu hak tingginya dan melemparkannya ke sudut ruangan sebelum berjalan dengan gontai ke kamarnya. Nanda mengganti pakaiannya dengan T-shirt butut yang dipadukannya dengan celana pendek kusam. Kemudian berjalan ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Setelah mematikan keran, ditinggalkannya kamar mandi. Semua lampu dipadamkannya, lalu ia berdiri diam di depan jendela. Nanda membuka daun jendelanya sedikit. Hawa dingin menyusup kencang menerpa wajahnya.

Di luar, kabut makin tipis, namun masih bisa membuat lampu-lampu bercahaya lembut. Aku percaya pada Einstein. Pada seluruh teorinya tentang waktu. Dulu, aku menolaknya mentah-mentah — mencoba mematahkan semua kesadaranku. Tapi sekarang, aku menyerah!

Waktu, aku sudah berdamai dengan cinta! Sekarang aku ingin berdamai pula denganmu, atas semua milikmu yang menjadi bagian dari diriku. Aku lepaskan semuanya kepadamu agar aku tak tersiksa akan pengharapan.

Nanda membuka jendelanya menjadi lebih lebar. Sekarang aku mengerti, kau tidak mencuri apa pun dariku. Apa yang kumiliki akan tetap ada di sini, di hatiku, dan kau tidak akan bisa melekangkannya. Semua hanyalah rasa. Rasa….

Nanda menarik napasnya dalam-dalam, lalu beranjak ke meja kerjanya. Ia menyalakan lampu duduk. Menyalakan komputer. Termenung beberapa saat sebelum jarinya mulai menekan keyboard hingga pukul sembilan pagi.

SIMULAKRUM CINTA (Pengantar Novel)
Pernahkah Anda merasa lelah — lelah sekali — dari keterjagaan Anda yang panjang? Beberapa waktu lalu, perasaan itu menyerang saya. Saya merasa begitu lelah. Keinginan saya cuma satu; tidur. Sebuah tidur panjang: dua, tiga, empat hari nonstop! Saya mengira, itulah solusi terbaik. Saya pikir, saya bisa bermetamorfosis.

Saya tidur, tapi ternyata tidur pun tak memberi kedamaian. Mimpi-mimpi aneh bergerak cepat dan lambat seperti film yang kacau. Melompat dari satu cerita ke cerita lain. Memaksa saya bangun berkali-kali. Ketika akhirnya saya mendapatkan satu momen yang benar-benar nyenyak dan dipaksa bangun, saya marah, bahkan Tuhan pun tak mengizinkan saya melepas rasa lelah itu!

Apakah Anda pikir saya jadi penulis karena saya benar-benar mencintai pekerjaan ini? Anda salah! Saya menulis karena saya marah. Marah karena saya tidak bisa menemukan cinta sepadan buat diri saya. Saya mulai bertanya-tanya tentang rupa cinta yang sebenarnya, tapi yang saya temui adalah cinta dalam imajinasi bertumpuk, yang makin lama makin hilang keasliannya. Seperti rantai DNA, membentuk kode-kode yang tak terpecahkan. Inilah simulakrum, dan saya terjebak di dalamnya!

Begitu kaburnya sosok cinta sehingga saya pikir, sia-sia saja untuk ditelusuri. Satu-satunya yang saya ketahui, cinta, waktu, dan manusia sama uzurnya dengan umur semesta. Saya lelah, namun jiwa saya, di luar kehendak saya, terus bekerja mencarinya. Akhirnya saya berlari. Berlari dalam imajinasi saya dan belajar untuk memercayai bahwa cinta masih punya bentuk yang sejati. Sampai saya makin lelah.

Anda tak perlu mengerti pengantar yang aneh ini. Jangan paksakan diri Anda pergi ke perpustakaan untuk memahami kata simulakrum yang saya pakai. Anda pikir saya paham betul tentang simulakrum? Tidak! Saya sama ‘butanya’ dengan Anda! Hanya, kata simulakrum itu adalah satu-satunya kata yang saat ini bisa merangkum apa yang tak bisa saya jelaskan tentang cinta.

Buku ini adalah otobiografi pribadi, tapi Anda akan membacanya sama seperti ketika dulu Anda membaca novel-novel saya. Inilah kali pertama saya jujur kepada Anda sepenuhnya. Saya menceritakan semua kemarahan saya terhadap cinta, waktu, dan simulakrum yang meliputinya!

Saya coba jabarkan dua topeng yang saya pakai. Ini bukan keputusan sulit karena saya merasa berutang budi pada ketiganya yang telah membuat saya menjadi manusia yang manusiawi dengan kewarasan dan kegilaannya. Montaigne berkata, “Sebagian besar dari kehidupan kita berisi kegilaan dan sisanya kebijaksanaan.” Mungkin, nanti kita bisa bersama-sama menemukan kebijaksanaan itu....

Awal musim gugur,
Sakti melihat langit putih bertaburan bintik-bintik hitam yang bergerak cepat seperti kuman. Pelan-pelan langit menjadi jelas. Ia sekarang menyadari dirinya berbaring di ranjang. Bau yang dibencinya terasa menusuk rongga hidungnya. Pelan-pelan ia juga mendengar suara-suara yang tumpang-tindih. Ia menoleh ke kanan.

Sahabatnya, Ical, tersenyum menatapnya. “Akhirnya elo bangun juga, Sakti!” serunya, seolah tak percaya.

“Apa yang terjadi?” Sakti bingung melihat reaksi Ical.

“Dua puluh satu hari koma. Mobilmu tabrakan di jalan tol! Nyaris mampus kebelah empat!” Ical berhenti sebentar. “Sudah ingat kejadian itu?” Tangannya sibuk memencet bel dan ponsel. Rupanya ia ingin menghubungi dokter dan keluarga Sakti. Kebetulan saja, Ical yang kali pertama melihat Sakti sadar!

Kecelakaan di jalan tol? Ya, samar-samar Sakti ingat. Mobilnya melaju kencang ketika mendadak sebuah truk selip dan oleng, empat ratus meter di depannya! Sakti harus banting setir, tapi ternyata itu tidak menyelamatkannya. Ia masih sempat mendengar dentum keras, lengking logam, dan kaca pecah berhamburan dalam waktu bersamaan. Ya, sekarang ia ingat!

Nanda, Parish, dan Jakartalah yang membuatnya sekarang ada di sini!

Butuh waktu lama sebelum akhirnya dokter berkata ia sudah boleh pulang. Sepanjang itu pula, Sakti berusaha mencerna mimpi panjangnya. Terutama tentang...Nanda. Ya, setidaknya ia mulai bisa memahami, kenapa Parish terasa begitu ganjil bagi dirinya! Mengapa ada desas-desus pemerintah bayangan? Mengapa ada orang hilang mendadak? Ah, apakah Parish adalah kotanya ‘orang-orang koma’ ataukah hanya dirinya seorang yang mendapat anugerah mimpi seperti itu? Dan, apakah ia akan mati bila membatalkan kepulangannya?

Sakti tak tahu! Ia masih ingat jelas kata-kata si wanita berbaju putih itu, bahwa bisa saja ia akan dikirim ke tempat lain. Ke mana? Surga? Neraka? Mungkin. Mungkin saja.... Setidaknya sekarang. Ya, Sakti bersyukur tidak bertindak gegabah pada detik-detik terakhirnya!

Tapi, bagaimana dengan Nanda? Apakah Nanda juga salah seorang dari mereka yang koma, ataukah itu hanya merupakan ‘bumbu’ mimpinya? Sakti sungguh berharap bisa bertemu dengannya! Perasaan itu makin kuat. Namun, ia tidak tahu apakah kemungkinan itu ada. Jakarta terlalu luas. Dunia bahkan lebih luas lagi. Sakti merasa tak tahu harus memulainya dari mana!

Saat berjalan pulang menyusuri koridor, lift, dan akhirnya melewati jalan dekat ruang UGD, empat orang perawat sedang mendorong sebuah tempat tidur melewati Sakti. Sakti melirik sekilas. Seorang pasien wanita terbaring tak sadar.

Seketika Sakti tercekat. Membalikkan tubuhnya dan mengejar para perawat tadi. Ical yang tersadar kemudian, berteriak memanggil, tapi tak digubris. Teriakannya hanya samar-samar saja masuk ke benak Sakti. Begitu pun rasa sakit yang masih menyengat di kaki dan dada Sakti. Lukanya memang belum sembuh sempurna.

Sakti terus memburu. Ia melewati sebuah kamar, berhenti, berbalik, dan segera masuk. Perawat yang mengusirnya berhasil dikalahkan Sakti dengan mengatakan dia keluarga wanita tersebut. Sekarang Sakti hanya berdua dengan tubuh yang tertidur damai itu.

Overdosis. Obat tidur.

Nanda....

Detik penantian Sakti berakhir ketika Nanda akhirnya membuka mata. Ia menatap Sakti. Merasa asing dengan kehadiran Sakti. “Kamu siapa?” Suara Nanda nyaris tenggelam.

Sakti tersenyum kepadanya. Menangkupkan tangannya seperti di dalam mimpinya. “Kita memang tidak pernah bertemu, tapi aku kenal dirimu jauh sebelum kita pernah bertemu. Aku pernah berjanji padamu untuk menemuimu dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri, kalau hari itu datang, aku akan mengatakan sesuatu padamu.” Sakti menarik napas panjang. “Kamu tak akan sendirian lagi mengejar kereta. Kita berdua berada dalam kereta yang sama dan ini nyata! Kamu, aku… kita bersama dalam waktu.”

Sakti melihat matanya sempat menyiratkan binar. Ia pun mendengar hela napas panjangnya dan sekarang jari-jarinya bergetar pelan di balik telapak tangan Sakti. Sakti membiarkan jari-jari itu berusaha menggenggam jari-jari dirinya.

Aku tahu ini kedengarannya memang gila, tapi aku merasa yang aku lakukan kali ini benar. Entah kenapa, aku merasa ini awal yang benar. Kalaupun ini masih salah, biarlah waktu yang nanti menyeleksinya. Dan, kalaupun ini menjadi anti-klimaks, setidaknya aku sudah bertemu dengannya lagi!

No comments: