12.22.2010

Sunyi

Seharusnya, kuperlihatkan Sato pada Ibu. Biar Ibu lihat, seorang anak direktur menyukaiku! Biar Ibu tahu, hanya dia yang tak menyukaiku.

Plak! Plak! Plak!

“Ampuuun, Bu.” Bibirku bergetar, menahan rasa perih di pipi.

“Anak berengsek! Pergi! Ikut bapakmu sana!”

Aku menangis, menggerung, menarik-narik baju Ibu, menyem–bahnya. Apa pun akan kulakukan, asal ia tidak mengusirku dari rumah ini. Aku takut.”

“Saya cuma mau ikut Ibu. Ampuni, Bu, ampun…!”

“Ikut bapakmu! Aku mau lihat, berapa lama kau akan berakhir di jalanan! Tak berguna seperti bapakmu!”

“Ampun, Bu, saya tidak akan membuat Ibu kesal lagi.”

Tangis Ibu meledak tiba-tiba, bagai lolongan anjing tetangga yang sering kudengar di waktu malam. Kini, ia mengangkat tangannya. Kupikir, hendak memukulku lagi. Tapi, tidak, ia mengusap kepalaku, Ibu sayang padaku. Ia tidak akan memukulku lagi. Ia hanya kesal.

Aku menunduk patuh dan merebahkan kepalaku di pangkuannya. Ibu mengangkat wajahku, memandang dengan tatapan kosong seperti biasa, mendorong kepalaku dari pangkuannya, perlahan membenturkannya ke lemari baju di sisi kiriku. Lagi… lagi… makin keras… Tak apa, Bu, sungguh tak apa….

Aku memang pantas. Seperti kata Ibu, aku memang sampah, tak berguna. Tak apa, asal Ibu jangan marah, jangan menangis.

Benturan demi benturan membuat lingkaran cahaya indah ber pendar dalam pandangan mataku yang kian menghitam. Aku tak menangis lagi. Lihat, kini aku punya sayap. Aku jadi malaikat! Sekelilingku putih, seputih awan di cerahnya langit biru. Lalu, aku terbang tinggi, berputar, melayang jauh….

Aku tak punya banyak waktu untuk berdandan. Terlambat bangun seperti biasa. Kusapu bibirku sekali dengan lipstik. Cukup. Kartu absensiku sudah banyak dihiasi warna merah. Aku harus cepat pergi kalau tak mau mendapat petuah lagi dari Ibu Isah, manajerku. Aku tidak memberikan contoh yang baik bagi bawahanku, bila selalu datang terlambat tanpa alasan. Begitu katanya.

Kupatut sekali lagi bayangan di muka cermin.

“Kamu jelek. Untuk apa kamu berkaca? Tak akan mengubah wajahmu jadi cantik!” Ibu tertawa, senang mendengar ucapannya sendiri.

Aku meraba wajahku.

“Kaca tak pernah bohong. Kamu mirip bapakmu. Jelek. Lihat tulang-tulangmu. Lihat kakimu. Besar dan kasar.” Gelak Ibu makin membahana. “Jadi, tak ada gunanya kau buang-buang waktu berdiri di depan cermin!”

Kubuang pandangan dari cermin. Meja hiasku berantakan. Ah, aku tak sempat membereskannya. Mungkin, akhir-akhir ini aku terlalu banyak lembur dan pergi bersama Sato. Aku harus bergegas.

“Kau memang malas seperti bapakmu.”

Kucuri pandang ke arah cermin. Wajahku tampak pucat. Mung–kin, sedikit pemerah pipi akan menolong.

“Tidak. Percuma! Kosmetik itu tidak akan menolongmu!”

Aku melempar pemerah pipi yang baru kubeli minggu lalu. Lebih baik aku segera pergi. Aku benci kaca ini. Aku juga benci suara-suara di kepalaku.

“Pagi, Nin! Sudah sarapan?”

“Ah, sudah terlambat. Aku jalan duluan, ya!”

“Bareng saja. Tidur jam berapa semalam?” Susan mengamatiku.

“Biasa....”

“Bohong! Nin, lingkaran hitam di matamu tak bisa menipu!”

Pintu lift terbuka, menyelamatkanku dari komentar tak penting.

Susan lalu berjalan ke arah mobilnya. “Nanti sore jadi ke kafe?”

Aku tersenyum, sambil melambaikan tangan. Lounge, kafe, mal, dan sejenisnya, sering membuatku merasa berada di tempat yang salah. Apa aku pantas ke sana? Mungkin, aku perlu ke salon jika menyetujui ajakan Susan.

Aku melirik ke sudut, tempat biasanya Susan dan teman-teman yang lain duduk. Tumben, kafe ini begitu sepi. Padahal, malam Sabtu biasanya penuh. Kulirik jam di pergelangan kiriku. Putus asa aku mendesah. Aku terlalu awal. Mungkin, lebih baik aku pulang. Sepertinya, pria-pria di pojok sana sedang menertawakan aku. Mungkin, karena rambutku yang aneh atau mungkin karena wajahku yang jelek, seperti kata Ibu.

Jantungku hampir loncat ketika bahuku dijawil seseorang. Dengan berdebar, aku menoleh. Yo. Hanya suaranya yang mampu membuat jiwaku porak-poranda. Wajahku terasa panas.

“Hai, apa kabar?” ucapku.

“Lama tidak bertemu. Kamu belum berubah….”

Iya, masih tetap jelek seperti dulu. Batinku menyahut. Kupaksakan bibir untuk membentuk senyum.

“Hanya, sekarang tambah manis,” lanjutnya.

Bohong! Kau pasti bohong! Batinku bergolak.

“Kamu dengan siapa?” tanyanya.

“Aku ada janji dengan Susan dan teman-teman yang lain di sini. Tapi, mungkin mereka terjebak macet atau….”

Dia tertawa pelan. Jangan tertawakan aku seperti itu! Kau pikir aku tak bisa punya teman? Atau, apakah kau juga berpikir seperti Ibu, bahwa tak akan ada yang tertarik untuk menjadi kekasihku?

Aku benci tawanya. Aku benci segalanya tentang dia! Sambil berpamitan, Yo mengusap pipiku sekilas.

Aku terenyak, tak dapat menggerakkan setirku. Hatiku berdebar tak keruan, saat tangannya menyentuh pipiku tadi. Sesuatu yang tak pernah kurasakan saat bersama Sato.

Kubuka pintu apartemen dengan gontai. Mereka pasti belum pulang. Malam Minggu seperti ini, Susan dan Tris, teman-teman satu apartemenku, pulang lebih larut. Kulepas sepatu, pikir–anku kacau sejak kemarin malam. Hampir saja mobilku menabrak orang yang hendak menyeberang, sebelum berbelok ke parkir bawah apartemen. Terkadang aku heran, bagaimana mungkin ia masih sanggup mengobrak-abrik taman hatiku setiap kali kami bertemu. Sudah 13 tahun berlalu dan aku tetap seperti ini. Bahkan, seorang Sato pun tak dapat membuatku melupakannya. Kupukul kening dengan kesal. Merasa bodoh setiap kali memikirkannya.

“Kamu memang bodoh! Persis seperti bapakmu!”

Aku perlu berendam. Aroma lavender dapat menenangkanku. Juga sebutir pil penenang. Kepalaku sakit sekali. Aku juga perlu obat sakit kepala. Kuambil sebutir lagi. Dan, ah, tentu saja aku juga perlu obat sesak napas. Tadi dadaku sesak rasanya. Kutelan dengan nikmat ketiga pil itu sekaligus.

Kucabut kabel telepon. Aku tak mau terganggu.

“Tak ada seorang lelaki pun yang akan suka padamu! Anak yang tak berguna. Lagi pula, semua laki-laki itu berengsek! Ingat itu! Kau dengar? Kau bisa tumbuh besar karena aku yang menghidupimu! Tanpa laki-laki pun, aku bisa membesarkanmu! Jadi, turuti kata-kataku! Lihat muka pucatmu! Minum vitamin ini! Menyusahkan! Kau ini sedang sakit dan masih tak mau menelan obat ini? Ayo, telan! Ini juga, obat asmamu! Minum sebelum kambuh! Cepat, minum semua!”

Aku tak tahu, tubuhku bagian mana yang sakit, setiap kali harus kutelan pil-pil itu. Tapi, hingga detik ini aku masih dapat merasakan butir-butir pil yang menggelontor di kerongkongan kecilku.

Mr. Tanaka memandangku dengan garang. Entah dari mana ia mendengar kabar ini. Aku tahu, tak semestinya aku berkencan dengan putranya. Tapi, mau bagaimana lagi? Sato terlalu baik dan tampan untuk ditolak. Apalagi, ia menyukaiku. Tapi, apakah benar dia menyukaiku?

Harusnya kuperlihatkan Sato pada Ibu. Biar Ibu lihat, seorang anak direktur Jepang menyukaiku! Biar Ibu tahu, hanya dia yang tak menyukaiku. Biar Ibu sadar, tak percuma ia membesarkan aku selama ini.

“Kamu berjanji, tak akan pergi dengan Sato?”

“Ya, maaf, saya tak akan menerima tawaran Sato untuk pergi.”

Mr. Tanaka mengangkat tangan, menandakan ia tak ingin mendengar apa-apa lagi. Tampaknya, ia hanya ingin mendengar kata ’ya’ dari bibirku.

Aku bisa memahami posisinya. Sato adalah putranya semata wa–yang dan ia sudah dijodohkan dengan seorang gadis dari keluarga bangsawan. Mr. Tanaka tak ingin ribut dengan istrinya, bila ternyata kunjungan kerja Sato ke Jakarta berakhir dengan menikahi seorang gadis Indonesia seperti aku ini. Mungkin juga, ia merasa aku tak cukup baik untuk menjadi menantunya!

Aku duduk mematung. Tak tahu bagaimana caranya memecahkan kesunyian suasana. Pria tua yang gagah di seberang meja itu tampak melamun. Sato tidak mirip ayahnya, mungkin lebih seperti ibunya. Hanya alis mata mereka saja yang serupa.

“Mr. Tanaka, maaf, bila sudah tak ada masalah lagi, bolehkah saya pulang sekarang?”

Pria beralis elang itu menatapku tajam. Seakan baru kembali dari alam lain, ia mengangguk pelan. Pelit kata-kata. Tapi, karena itu ia amat disegani.

Pasti ada yang mengadukan kencan-kencanku dengan Sato pada Mr. Tanaka. Otakku berputar, mencari data probabilitas dari orang-orang kantor. Tapi, siapa? Tak semua orang tahu bahwa be–lakangan ini aku sering pergi dengan Sato. Entah mengapa, aku hanya curiga pada Ken. Ken Hitoshi. Cuma Ken yang mempunyai kemungkinan untuk itu. Aku dapat melihat pandangan jahatnya ketika proposalku diterima oleh Mr. Tanaka bulan lalu. Ken satu-satunya orang di dalam divisiku yang terlihat paling suka cari muka!

Dia tidak tahu, betapa berharganya perhatian Sato bagiku. Seumur hidupku, aku tak pernah membayangkan akan ada pria tampan yang tertarik padaku. Ini bahkan sudah di luar batas mimpiku. Sato tidak hanya tampan, tapi juga ahli waris tunggal salah satu perusahaan besar Jepang di Jakarta! Dan, ia teramat baik padaku. Susan yang secantik itu bahkan belum pernah kulihat berkencan dengan pria setampan Sato. Paling tidak, ini membuktikan pada Ibu, bahwa aku tak sejelek yang ia katakan.

Aku segera berbenah. Hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku sudah berjanji mentraktir Susan, Tris, dan beberapa teman kantor. Teman-teman yang kusangka tak akan pernah kumiliki.

Aku menoleh ke meja tamu. Ah, malangnya aku. Buket besar mawar merah cantik dari Sato terlihat mengenaskan di hari ini.

Seharusnya, kuperlihatkan Sato pada Ibu. Biar Ibu lihat, seorang anak direktur menyukaiku! Biar Ibu tahu, hanya dia yang tak menyukaiku.

Aku mencuci tangan pelan-pelan, mencuci bersih semua sela jari.

Ya, kau harus mencuci tanganmu yang kotor itu, kotor seperti bapakmu!

Kulirik wanita bertubuh gempal di sebelahku, yang sedang me–rapikan rambut anehnya. Perutku terasa penuh. Segelas besar iced latte, sepiring kentang goreng, caesar salad, apple pie, entah apa lagi. Kalau ada Tris, pasti ia akan kupaksa membantu menghabiskan pe–sananku. Sayang, ia tak jadi datang.

Aku tak suka pada pantulan wajah di cermin ini. Kuraba pipi yang penuh daging, seperti kue bantal. Apa kata Ibu nanti? Apa kata orang-orang di kantor bila melihat tubuhku seperti karung beras berjalan? Ah, Ken pasti akan kesenangan setengah mati melihatku gendut. Tentu ia berharap aku akan putus asa karena dicampakkan keluarga Tanaka! Bagaimana mungkin aku dapat melakukan presentasi dengan penuh rasa percaya diri, bila tubuhku bulat? Aku harus melakukan sesuatu!

Wanita gemuk tadi sudah keluar. Aku tak mau badanku jadi seperti dia. Aku segera masuk ke dalam pintu paling pojok, kukeluarkan sebatang bambu kecil kesayangan yang selalu tersedia dalam tas, pelan-pelan memasukkannya ke dalam kerongkonganku. Tak lama kemudian, seperti biasa, aku merasa lega.

Sato kini sungguh-sungguh hilang dari hidupku. Aku mulai merasa kehilangan perhatian, yang telah memanjakanku selama empat bulan terakhir. Sehari setelah aku mendapat teguran dari Mr. Tanaka, Sato menjumpaiku untuk berpamitan. Menyampaikan kabar bahwa ibunya sedang menjalani perawatan di Tokyo. Entah sakit apa, tapi tampaknya serius. Yang pasti, ia harus segera pergi untuk menemaninya.

Ia memintaku untuk menunggu kabar darinya dan mengatakan bahwa ia amat menyukaiku, mengasihiku. Aku hanya terdiam. Tak ada ’ya’, atau ’tidak’. Aku hampir tak dapat bernapas mendengar kata-katanya. Meski aku tak punya rasa cinta, lebih dari seorang sahabat, ini sungguh mengejutkan. Terlepas dari perasaanku bahwa aku memang tak layak baginya.

Aku termangu saat ia menggenggam erat jemariku. Mera–sakan ketulusan dan kehangatan tatapannya. Ia terlalu baik dan terlalu tampan. Aku tak pernah mengerti, bagaimana mungkin ia dapat menyukaiku. Gadis yang selalu dianggap aneh. Gadis paling tak acuh dan berwajah paling sederhana dibandingkan yang lain. Aku pun tak dapat memahami hatiku, mengapa aku tak bisa jatuh cinta padanya. Normalkah aku? Layakkah aku dicintai? Disayangi?

Air mataku bergulir, ketika kubuang pandang, menatap lampu kota Jakarta, yang berkelip indah dari lantai 27, tempat kami duduk tanpa menyentuh piring makanan masing-masing. Aku memang tak pernah mencintai Sato, tapi ia dapat membuat diriku merasa berharga ketika ia memerhatikanku. Dan, aku akan kehilangan perhatian itu tak lama lagi.

Ini membuktikan bahwa aku sesungguhnya memang tak layak bagi pria mana pun! Bahkan, Mr. Tanaka tak sudi mendengar kabar bahwa anaknya berhubungan denganku. Benar kata Ibu, aku tak cukup berharga, tak cukup cantik, tak cukup baik. Aku anak yang tak pernah diinginkannya sejak semula.

Sato tak pernah tahu apa arti air mataku yang jatuh bergulir saat itu. Mungkin, ia berpikir, aku menangisi kepergiannya, takut kehilangannya. Andaikan ia dapat mendengar jeritan jiwaku kala ia menghapus air itu dari pipiku, ia akan tahu keputusasaanku, ke–takberdayaanku menghadapi kenyataan. Kenyataan bahwa aku tak dapat mencintai sosok sesempurna dia, terasa jauh lebih memilukan dibandingkan kepergiannya….

Jiwaku sudah banyak sekali mengerang kesakitan. Namun, kali ini, eranganku terasa lebih tragis. Kehadiran sekaligus kehilangan Sato membuatku makin mengerti diriku sendiri. Kenyataan yang selalu kusangkal, namun makin hari makin tak dapat kuingkari.

Siang ini matahari begitu terik membakar Jakarta. Suhu panas di luar tampaknya tak dapat menularkan kehangatan di dalam sini. Lorong-lorong dingin bercat putih kusam dengan noda cokelat tersebar di segenap penjuru. Entah karena apa. Bercak kuning bekas bocor rembesan air hujan di langit-langit, lantai berwarna hijau pupus yang sudah pecah sebagian dan pantulan langkah kaki membuat bulu kuduk meremang setiap kali datang ke sini. Sungguh, ini adalah tempat paling menyebalkan untuk dikunjungi. Terutama, karena salah satu penghuninya adalah Ibu.

Dokter Wisnu menelepon tadi pagi, ketika aku sedang bersiap ke kantor. Pertama, isinya basa-basi. Sisanya sudah dapat kutebak.

“Ibumu mengamuk lagi. Jenguklah dia. Tekanan darahnya tinggi akhir-akhir ini. Saya khawatir, ia terkena stroke lagi.”

Apa peduliku? Batinku menjerit.

“Mungkin, ia kangen padamu….”

Dia tak mengharapkanku, bagaimana mungkin ia kangen?

“Dokter, saya minta maaf. Tapi, hari ini saya repot sekali.”

“Nin, kau boleh berdalih apa saja, tapi tidak pada saya. Saya me–ngenalmu lebih dari yang kau tahu. Dan, saya mengerti keenggan–anmu. Datanglah ke tempat saya kapan-kapan. Sesempat yang kau bisa. Tinggal kau angkat telepon, saya pasti akan meluangkan waktu untukmu. Bagaimana?”

“Terima kasih, Dokter.... Kalau ada waktu senggang, saya akan datang.”

“Bagaimana kalau siang nanti?”

Tak secepat itu.

“Saya akan coba. Terima kasih.”

Klik. Ya, hanya itu yang kuinginkan sejak awal menerima telepon. Memutuskan pembicaraan tersebut secepat mungkin.

Dan, akhirnya, aku di sini. Makan siang yang tak dapat kutelan, mengubah keputusan yang kuambil tadi pagi untuk tak menengok Ibu siang ini. Jantungku berdetak makin keras ketika langkah kakiku mendekat ke pintu kasa berwarna cokelat tua di ujung lorong suram. Di antara jeruji abu-abu, kulihat ia sedang duduk di kursi roda. Punggungnya membungkuk, mungkin tulang yang dulu begitu gagah dan kuat kini merapuh. Aku tak dapat melihat wajahnya, karena ia membelakangi pintu. Tampaknya, ia baik-baik saja.

Seharusnya, kuperlihatkan Sato pada Ibu. Biar Ibu lihat, seorang anak direktur menyukaiku! Biar Ibu tahu, hanya dia yang tak menyukaiku.

“Sudah saya duga kau datang siang ini, Nina.”

Aku memekik, terkejut mendengar suara halus menyapaku.

“Maaf kalau saya mengejutkanmu….”

Aku tidak peduli pada maafnya. Aku hanya tak mau Ibu tahu kedatanganku. Ah, terlambat, Ibu sudah memalingkan wajahnya ke pintu.

“Dokter,” aku kehilangan kata-kata. Aku hanya ingin lari!

“Saya ambilkan kuncinya sebentar di kantor. Kau tunggu di sini atau mau ikut bersama saya?”

Aku menggeleng, bingung. Aku cuma ingin lari!

Dokter Wisnu menepuk pundakku, tersenyum, lalu bergegas ke arah kantornya. Kulirik pintu kasa, Ibu sedang menegakkan kepalanya, menatap tajam ke arahku.

Aku takut. Mestinya, aku ikut Dokter Wisnu. Lebih baik aku lari sekarang!

Tapi, kakiku membeku di tempatnya. Aku tertunduk, memandangi jemari tanganku yang gemetar sejak beberapa menit lalu. Keringat dingin mulai merayapi punggung. Tungkai kakiku terasa lemas. Aku merasa ingin pingsan. Mungkin, lebih baik begitu. Jadi, aku tak perlu masuk melihat matanya.

”Nina?” Dokter Wisnu sudah kembali.

“Saya ingin pulang, Dokter!”

“Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat. Duduk dulu di dalam.”

Oh, pintu kamar busuk itu sudah terbuka! Batinku berseru.

Bagai robot, ia memapahku ke dalam ruangan berbau aneh.Ada satu kursi, satu ranjang, dan satu meja kecil di sudut kamar. Diiringi pandangan Ibu, aku duduk. Kulirik dengan sudut mata, bibirnya membentuk garis, tampak rahangnya mengeras.

“Nah, Bu Tari, Nina, saya tinggal dulu, ya. Biar kalian dapat bercakap-cakap dengan leluasa.”

Dokter Wisnu menepuk-nepuk pundak Ibu, yang menatapku dengan pandangan setajam pisau. Aku sudah gila, mau datang ke sini.

“Mau apa kau datang ke sini?”

Suara seraknya terasa begitu akrab di telingaku. Bagaikan barang busuk yang tertimbun dalam-dalam di tanah dan kini menyeruak keluar, seperti itulah suara serak Ibu, menyemburkan segala ingatan pahit di dadaku, di kepalaku!
“Siapa kau? Aku tidak punya anak sepertimu! Berani-bera–ninya kau datang ke tempat ini!”

Dalam hati aku tersenyum. Sungguh awal yang baik untuk memulai pembicaraan. Kuredakan suara-suara yang menjerit-jerit di kepalaku. Suara yang sarat sumpah serapah pada makhluk berkursi roda di hadapanku.

“Dokter Wisnu bilang, Ibu sakit,” ucapku pelan dan kaku. Aku tak peduli ia dengar atau tidak.

Tiba-tiba ia terkekeh, membuatku terkejut. “Rupanya, a–nak berengsek ini masih memerhatikan aku!” Suara serak itu meninggi kembali.

“Bu, tak dapatkah Ibu berhenti mengatakan anak berengsek kepada saya? Saya….”

“Aku bisa katakan apa yang aku mau. Kalau aku mau bilang kau anak berengsek seribu kali, lantas kenapa? Kenapa?”

Keterlaluan! Ini keterlaluan! Aku sudah mencoba berbaik hati padanya, mengapa tidak pernah cukup untuk melepas stempel itu dari keningku?

“Saya benci mendengarnya!” Aku terkejut dengan kebera–nianku sendiri.

“Memang kau anak berengsek! Mengapa? Kau malu?”

“Saya tidak malu. Tapi, itu salah Ibu, bukan salah saya!”

“Apa kau bilang? Salahku? Bagus! Bagus! Ini hasil didikan sekolah, ya? Kau berani menyalahkan ibumu karena perbuatan laki-laki itu?”

“Maksud saya, itu masalah Ibu, masa lalu Ibu! Bukan kehendak saya, Bu! Saya tak pernah minta Ibu lahirkan. Apa pun kejadian yang menimpa Ibu, bukan karena salah saya! Apalagi, saya tidak pernah tahu siapa laki-laki yang Ibu sebut itu! Jadi….”

“Jangan mersa sok pintar! Menyesal aku menyekolahkanmu! Membesarkanmu!”

“Kalau Ibu sekarang menyesal, saya lebih menyesal lagi lahir dari rahim Ibu!”

“Apa? Kurang ajar! Keluar kau dari sini! Keluar!”

Ibu memutar roda kursinya hendak menabrakku. Kukebas pantalonku dan berjalan menghindar ke arah pintu secepat mungkin.

“Tak perlu Ibu suruh, saya akan keluar! Saya menyesal datang ke sini!”

Kubanting pintu jeruji itu. Langkahku tertahan mendengar teriakannya, “Nina! Aku tidak gila! Dengar kau? Keluarkan aku dari sini! Aku tidak gila! Cepat! Keluarkan aku! Aku tidak gila! Aku tidak gila!”

Kuhampiri jeruji itu. Ia menabrakkan kursi rodanya terus-menerus ke pintu besi itu, sambil berteriak histeris. Jarakku mungkin hanya sejengkal dari tubuh kurus itu. Ingin kuraih kepalanya. Membelai rambutnya yang kian tertutup warna perak. Tapi, tidak. Tidak. Terlalu indah. Perlahan kututup pintu kasa cokelat dengan rasa menang. Ia tak akan bisa menyakitiku lagi. Tak bisa menamparku, memukul kepalaku, menendangku. Ia boleh berusaha sekuat tenaga mendobrak pintu ini, ia boleh menjerit sekeras-kerasnya, tapi ia tidak akan bisa keluar dari jeruji besinya!

Alangkah menyenangkan menikmati pemandangan itu. Ibuku tersayang, aku merasa puas karena hal terbaik yang pernah ku–lakukan adalah memasukkannya ke rumah sakit jiwa ini!

Sungguh, aku tak peduli apakah jiwamu sakit atau tidak. Tapi, sebagaimana Ibu membuat jiwaku sakit, akan kubuat juga Ibu menderita, sampai jiwamu pun sakit, sesakit aku.

Aku ingin mencari cinta. Aku ingin dikasihi, disayangi, juga mengasihi dan menyayangi seseorang. Hal yang selama ini tak mampu kutebus, walau materi kini sudah kudapat.

Setelah hari itu, telepon dari Dokter Wisnu tak pernah berhenti. Namun, tak pernah kuterima. Aku tak ingin mendengar apa pun tentang Ibu. Cukup kukirim biaya perawatannya setiap bulan, dan kuteruskan hidupku. Hidup yang tak pernah kutahu, untuk apa kujalani. Bergulir seperti jarum jam, dari detik ke menit menuju jam. Pergi ke kantor, menghadiri rapat, lembur, tidur, makan, mandi, tanpa ada rasa. Aku memang takut memiliki perasaan. Sudah cukup kurasakan semua ocehan di kepalaku.

Sudah cukup aku sengsara karena kebisingan suara, yang harus kutepis setiap waktu, kalau aku tak mau berakhir seperti Ibu, tinggal di tempat itu. Atau, jangan-jangan, aku sudah harus menabung untuk nanti, sekiranya aku memang akan berakhir di tempat itu.

Kadang-kadang, aku lelah dan ingin menerima tawaran Dokter Wisnu. Terbayang, betapa damainya berhadapan dengan wajah sabar itu. Betapa tenteramnya merehatkan jiwa di ruangan praktik miliknya. Entah mengapa, semua itu tak ingin kuwujudkan. Meski aku ingin menghilangkan suara-suara di kepalaku, aku merasa, segala usahaku akan sia-sia.

Masih ada hal lain yang ingin kucari. Aku ingin mencari cinta. Aku ingin dikasihi, disayangi. Juga, aku ingin dapat mengasihi dan menyayangi seseorang secara normal. Hal yang selama ini tak mampu kumiliki. Hal yang selama ini tak mampu kutebus, walau materi kini sudah kudapat. Hal yang selama ini menjadi kemis­kinan tersendiri bagiku, karena ketidakmampuan hatiku menga­lami hal-hal seperti itu. Dan, aku benci Ibu karena itu.

Ia membuatku selalu merasa gagal. Gagal karena aku menja­di miskin cinta, miskin kepercayaan pada diri sendiri maupun pada keberadaan Yang Kuasa, miskin kepercayaan pada orang lain. Hing­ga kini aku tak punya sahabat karib, yang membuatku berani bercerita tentang suara-suara di kepalaku….

Aku pun tak dapat mencintai diriku sendiri. Aku bahkan sudah terbiasa dianggap dan dipandang ‘aneh’ oleh orang-orang di sekelilingku. Terkadang, aku ingin membisu di tengah keramaian. Tapi, di saat lain aku tak dapat mengendalikan mulutku. Kepalaku terlalu penuh. Aku tak menyalahkan mereka jika mereka tak mengerti sikapku. Karena, mereka tak pernah mengalami apa yang kualami. Aku hanya iri pada mereka. Iri pada kenormalan hidup orang lain. Dan, semua kekacauanku ini tak ada yang tahu. Kecuali, dia, Yo.

Aku amat merindukannya. Hanya dia yang sanggup membuat jantungku berdegup tak berirama. Hanya dia yang sanggup membuat mimpi burukku selama bertahun-tahun menjadi mimpi indah dan dapat membuatku menyambut pagi dengan senyum. Hanya dia yang pernah mengerti diriku. Hanya dia yang tak pernah memandangku aneh. Dan, cuma dia satu-satunya orang yang pernah kuceritakan mengenai Ibu dan suara-suara di kepalaku.

Tapi, semua sudah berlalu. Aku harus melupakannya, menguburnya pada liang terdalam pada ingatanku, dan tak pernah kugali lagi. Hanya, sayangnya, aku tak pernah mampu. Bahkan, semua keingin­an itu menguap entah ke mana, saat aku menerima telepon darinya dan mendengar suaranya lagi.

“Nina, ini aku.” Napasku terhenti sesaat.

“Apa kau masih ingat padaku?”

Dalam tidur pun aku tetap dapat mengenali suaranya.

“Yo…,” tanpa sadar aku menyebut namanya, lirih.

“Ah, kau masih ingat suaraku, Nina! Apa kabar?”

Aku membentak suara di kepalaku agar tidak bersorak.

“Aku sudah lama ingin menghubungimu, tapi takut mengganggu. Menyesal sekali sewaktu di kafe kemarin kita tak sempat ngo­brol,” lanjutnya. “Bagaimana keadaanmu? Kudengar, posisimu di kan­tor sudah lumayan, ya?”

Aku mengeluh tanpa sadar.

“Hei, jangan diam, dong. Kau tidak suka aku meneleponmu?”

Bukan, masalahnya, aku tidak suka pada kenyataan bahwa hanya kau yang pernah membuat hidupku merasa berarti.

“Maaf, aku tidak bermaksud begitu.”

“Sore ini aku senggang. Kuharap, kau bisa meluangkan waktumu untuk bertemu. Nanti kita bisa ngobrol lebih enak. Bagaimana?”

Jangan mau! Kau mau mengulangi kesalahan yang sama? Bodoh!

“Ayolah, Nin, kita sudah lama tak bertemu.”

Tenggorokanku tercekat. Otakku melarang, tapi hatiku sebaliknya. Apa yang harus kulakukan?

“Nina, aku janji, kita hanya ngobrol. Tidak lebih. Paling tidak, kita pernah jadi sahabat baik, bukan? Apa kau masih takut padaku?”

Cepat kuusap air mata yang meleleh. Takut? Tidak! Aku merindukanmu! Aku justru takut pada diriku sendiri!
“Mengapa aku harus takut padamu?” akhirnya aku bersuara.

“Maaf, hanya dugaanku saja. Berarti, kau setuju?”

“Sore aku tak bisa. Ada yang harus kuselesaikan. Malam saja.”

“Oke, sekalian makan malam saja.”

Kudengar suaranya lebih santai, tak seserius tadi. Pasti ia sedang tersenyum simpul di seberang sana. Aduh, Tuhan, aku kangen sekali melihat senyumnya. Hush! Lihat, Nina, kau mulai tak bisa mengendalikan diri.

“Mau bertemu di mana?”

“Warung favorit kita digusur, ya?. Bagaimana kalau di hotel?”

Hotel? Hotel identik kan dengan kamar.

“Ehm, lebih baik di kafe dekat kantorku saja, lebih strategis.”

Kudengar suara tawanya. “Kita ke hotel dekat kantormu. Ada restoran yang baru buka di sana. Aku belum pernah mencobanya. Tapi, kata teman-temanku, suasana dan makanannya enak. Tapi, terserah kau saja.”

“Baiklah, kita coba rekomendasi temanmu. Setengah delapan?”

Aku tak mau banyak bicara lagi.

Aku tak pernah bermimpi akan duduk dan makan bersamanya lagi. Mungkin, aku harus belajar dewasa, melepaskan masa lalu.

Aku sengaja datang terlambat. Lebih enak ditunggu daripada menunggu. Aku tak mau memberi kesan niat sekali bertemu dengannya. Hmm, dia masih suka duduk di tengah-tengah ruangan seperti dulu. Biar belajar untuk percaya diri kalau dilihat orang. Begitu katanya dulu.

Kami lalu duduk berhadapan. Kebisuan menyelimuti setelah kami memesan menu. Oh, ternyata aku memang amat merindukannya. Tiga belas tahun. Ternyata, waktu yang terentang tak meng­ubah perasaanku padanya. Ia memandangku dalam, tanpa menya­d­ari bahwa mungkin mataku juga telah mengatakan beribu arti. Aku masih mengingatnya seperti kemarin. Masih mengingat geng­gaman tangannya yang hangat, pelukannya yang nyaman, kata-katanya yang menghibur. Aku terbawa perasaan saat memandang mata kelamnya dalam-dalam.

Rasa maluku menguap entah ke mana, saat ingatan menyatu dengan detik ini. Kerinduan yang melimpah ruah telah menga­lah­kan segalanya. Sesaat jiwaku menjerit, ingin merengkuhnya kem­bali ke dalam kehidupanku. Walau aku tak tahu, apakah masih ada ruang dalam hatinya untukku. Suara-suara di kepalaku bising berceloteh mengecamku. Tapi, jeritan jiwaku yang menang. Sesungguhnya, aku tak dapat berbohong pada lubuk hati yang terdalam, tak peduli betapa munafik dan kerasnya kusangkal, aku masih mencintainya.

Cinta? Aku tersentak sadar kala kata itu terpental keluar dari otakku. Konyol! Bodoh! Jangan katakan itu lagi. Dia bukan untukmu. Dia bukan milikmu, Nina! Kalian tidak dapat saling memiliki! Tak pantas! Apa kau lupa mengapa kalian berpisah? Dan, kau harus selalu ingat, tak pernah ada masa depan dalam hubunganmu bersamanya. Jangan bermimpi, Nina!

kapan lagi bisa diam di rumah tanpa ibu? Aku bisa bergelung di ranjang dan melamun tanpa diteriaki. Kedamaian yang tak ada bandingannya.

Ia terlihat salah tingkah. Mungkin, aku juga.

“Warna kemejamu bagus, Yo,” ujarku, sekenanya.

“Terima kasih. Selera bajumu pun bertambah bagus sekarang.”

Aku mengangguk, teringat betapa dulu ia mencela keanehanku dalam berpakaian. Itu pilihan Ibu, Yo. Aku pun tak menyukainya. Tapi, hanya dia yang boleh memilihkan baju untukku. Jadi, aku harus memakainya. Aku ingat, Yo hanya mengangguk waktu kukatakan yang sebenarnya.

“Aku beruntung. Susan banyak membantu memilihkan pakai­an untukku. Kau ingat Susan kan, teman SMP kita dulu?”

“Ya, aku pernah bertemu dengannya di suatu restoran saat aku menjamu klien. Sayangnya, kami tak sempat mengobrol. Cuma bertukar kartu nama. Ia pun mengatakan bahwa kalian tinggal di satu apartemen.”

Kami terdiam lagi. Aku tak tahu apa yang harus kubicarakan, sampai makanan kami masing-masing terhidang.

“Ayo, Nin, tampaknya lezat.”

Harum bebek bali rupanya tak dapat menerbitkan air liur kami. Ia memotong-motongnya dengan gelisah, tanpa menyuap sekali pun. Kuberanikan diri untuk bertanya. “Kau tampaknya memikirkan sesuatu.”

Ia memandangku, lalu mendorong piringnya ke samping.

“Maaf, aku tak dapat menahan diri untuk tidak bertanya. Nina, apakah sekarang sudah punya seseorang?”

Aku memandangnya, tak percaya ia akan bertanya hal itu.

“Seseorang?”

Ia menunduk, tampak malu.

“Ya, seseorang yang khusus di hatimu, Nina…”

Aku tahu maksudmu. Tapi, tak pernah ada yang khusus lagi bagiku selain kamu, Yo. Aku hanya tak tahu bagaimana menjawabnya.

“Kenapa kau menanyakan hal itu?”

Ia meraih jemariku ke dalam genggamannya. Gerakannya yang tiba-tiba membuatku terkejut. “Aku tak tahu cara lain yang lebih baik untuk mengatakannya, Nina. Tapi, sejak terakhir kali kita bertemu, aku merasa bodoh. Aku tak dapat menyimpannya lebih lama lagi. Aku….”

Genggaman jemarinya makin erat.

“Aku menyayangimu. Aku mencintaimu. Aku tak dapat melupakanmu. Dan, kejadian 13 tahun lalu itu selalu mengusikku. Aku merasa membohongi diri selama ini. Aku tak dapat menemukan orang lain yang dapat kucintai, kusayangi, seperti aku mencintaimu, menyayangimu.”

Dengan mata berkaca-kaca ia melirik orang di sekitar kami. Sikap kami telah menarik perhatian. Perlahan ia lepaskan geng­gamannya. Ada suara saling memaki di kepalaku. Ber­tengkar.

“Aku sudah mencoba tak mengatakannya, Nina. Aku sering memarahi diriku sendiri. Aku tak mengerti mengapa kejadian 13 tahun lalu begitu membekas. Tak peduli seberapa jauh aku pergi, aku tetap tak bisa melupakannya. Ah, aku tahu, semestinya aku membantumu, tapi….”

Tahukah dia, setiap kata-katanya sudah memorak-porandakan benteng pertahananku? Benteng yang kusangka cukup kuat.

“Nina, aku rindu bersamamu, berbincang-bincang denganmu, tertawa dan menangis bersamamu. Aku ingin kembali melewati waktu bersamamu, menjalani hidup dan masa depanku bersamamu. Salahkah aku? Aku hanya ingin jujur dengan perasaanku.”

Aku meluruskan pandanganku. Tidak, Yo, kau tidak salah. Tapi, kau pun tahu, itu tidak mungkin. Bertahun-tahun aku bertanya tentang perasaanmu, tentang mengapa kau pergi waktu itu. Sudah 13 tahun aku menunggu dan berharap dapat mengalami saat-saat seperti ini. Tapi, sekarang aku hanya ingin lari! Ya, lari darimu, lari dari semua ini! Ini semua tidak nyata! Kau tidak nyata, senyummu tidak ada. Ini mimpi! Mimpi! Aku harus cepat bangun, sebelum kecewa lagi.

“Jujurlah, apakah kau juga menyayangiku? Kini aku tak peduli apa kata orang, aku hanya ingin kita dapat bersama.”

Kuraih tas, dan melangkah keluar. Kudengar teriakannya memanggil namaku. Aku tak peduli melihat tatapan bingung orang-orang di sekeliling. Kutinggalkan ia sendiri. Seperti aku, selalu sendiri. Sendiri.

November 1992
Rintik-rintik air sudah turun dari langit sejak siang tadi. Hari ini harusnya aku kuliah. Tapi, hujan mengurungkan niatku untuk berlari-lari menembus curahan air dan mengejar bus kota. Kebetulan, Ibu hendak pergi ke rumah Paman Satrio untuk menengok Bibi, yang baru saja pulang dari rumah sakit.

“Kau tidak mau ikut?”

Aku membayangkan betapa membosankannya acara basa-basi nanti. Dengan cepat kugelengkan kepalaku.
“Ibu kan tahu, aku ada kuliah tiap hari Sabtu. Lagi pula, minggu depan ada ujian. Kalau tak ujian, aku bisa bolos hari ini.”

Ibu melirikku sekilas, lalu beranjak sebelum kalimatku selesai.

Kapan lagi bisa diam di rumah tanpa Ibu? Hmm, aku bisa bergelung di ranjang dan melamun tanpa diteriaki. Jadi, maaf, berada di rumah Paman atau di keramaian kampus tak dapat dibandingkan dengan kedamaian yang dapat kurasakan saat ini.

Aku ke dapur setelah perutku berbunyi minta diisi. Membuka tudung saji, yang kutahu hanya ada nasi tanpa lauk di dalamnya. Konyol. Kau sudah terlalu gemuk, anak bodoh! Aku tak mau memasak untukmu. Hidupmu sudah terlalu enak. Kalau kau mau makan, masaklah sendiri! Tiba-tiba kudengar dering telepon dari ruang tamu.

“Nin, kujemput, ya. Kita kuliah bareng.”

Baru saja aku merindukan suaramu, Yo….

“Malas, ah, kuliah dengan cuaca seperti ini. Aku pilih tidur saja. Kau saja, deh. Nanti aku pinjam catatannya, ya?”
“Curang! Kalau kau tidak kuliah, aku juga bolos, deh.”

Rajukannya menyenangkan hatiku. Ingat, Nina, jangan teruskan perasaanmu. Dia temanmu.

“Sudah, ah, aku lapar. Aku masak mi dulu, ya. Selamat kuliah!”

Aku menutup telepon sambil tersenyum. Setengah jam kemudian, aku mendecak kesal ketika harus meletakkan sendok untuk membuka pintu depan. Apa ada orang yang mau bertamu hujan-hujan seperti ini?

“Hei! Mau apa kau ke sini?”

Yo masuk tanpa kupersilakan. “Aku mau makan mi.”

“Ih, masak sendiri saja.”

Sore itu kami lewati dengan senang. Menikmati mi sambil bergurau, ngobrol tak tentu arah, hingga akhirnya kami sama-sama terdiam karena sudah tak tahu lagi apa yang harus dibicarakan. Suasana hening menyelimuti rumah, diiringi derasnya hujan yang tak juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.

“Yo, kurasa, kau lebih baik pulang, nanti kemalaman. Aku takut, jalan-jalan di luar gang rumahku akan banjir seperti tahun lalu.”

“Aku malas. Ibumu pulang jam berapa?”

Kulirik jam. Mungkin masih lama, Yo. Tapi, aku takut aku terlalu menyukai waktu yang kulewati berdua bersamamu.
“Ya, sudah, kau pulang setelah aku mandi, ya. Setelah dipikir-pikir, takut juga aku di rumah sendiri. Tapi, ingat, setelah aku selesai, kau harus pulang, ya. Kalau mobilmu mogok nanti, aku tak mau bertanggung jawab.”

“Iya, iya, mandi sana!”

Aku tersenyum mendengar suara televisi dari ruang tamu ketika selesai mandi. Aku segera ke kamar untuk mengambil pakaian. Tiba-tiba petir berkilat menyambar kencang, menimbulkan suara yang amat keras dan membuatku terpekik kaget di depan lemari pakaian. Yo membuka pintu kamar.

“Ada apa?”

Suasana kamar amat suram. Langit begitu gelap. Riuh rendah hujan bersahutan dengan suara angin. Kami membeku di tempat masing-masing, saling memandang. Pada bunyi petir berikutnya, kami berlari saling mendekat.
“Aduh, menyeramkan sekali, ya! Aku takut, Yo. Suara petirnya seperti dunia mau kiamat saja.”

Sebelum kalimatku habis, aku sempat tak menyadari apa yang terjadi. Kurasakan bibirku begitu hangat. Aku terbelalak. Kami berciuman! Bibir kami bertaut erat, begitu juga tubuh kami. Tanpa sadar, handukku terlepas, melorot ke lantai. Kehangatan menggetarkan, yang belum pernah kurasakan seumur hidupku. Lautan kasih terasa begitu menggelora dan meluap tumpah ruah dari jiwaku. Perasaan yang selama ini kusimpan rapat-rapat untuk Yo, kini mengalir dengan derasnya. Detik demi detik terurai tanpa terasa.

Tapi, tidak dengan duniaku, dunia kami. Waktu seolah terhenti. Kasih sayang ini sudah kusembunyikan bertahun-tahun, dan aku dapat menutupinya dengan pandai. Tapi, aku tak dapat membohongi diriku lagi pada saat seperti ini. Aku menyayanginya. Meskipun, kami tidak mungkin lagi bersatu. Aku tahu itu. Tapi, biarlah saat ini menjadi saat keabadian bagiku.

“Anak kurang ajar!”

Waktu sontak kembali. Pelukan kami terlepas. Ibu berdiri dengan garang di depan pintu kamar. Wajah Yo, dan mungkin juga wajahku, begitu pucat seperti mayat hidup. Aku baru sadar kepolosan tubuhku saat Ibu memukuli kepalaku dengan tas jinjingnya yang besar itu. Kutarik handuk untuk menutupi tubuhku dengan rasa malu dan nista yang tak tertanggungkan. Yo menahan tangan Ibu yang kini telah menggenggam ujung tangkai rotan pengebut debu, lalu memukuliku dari segala arah. Yo menahan amukan Ibu dengan tubuhnya. Aku, Yo, dan Ibu menjerit-jerit. Ibu makin kalap karena tak dapat memukulku, terhalang oleh tubuh Yo.

“Keluar kau! Keluar dari rumah ini! Kalau kau tak mau keluar, aku akan berteriak, memanggil semua orang di gang ini untuk mencincangmu!”

Aku menangis. Panik. Aku harus menyelamatkan Yo, walau setelah ini aku harus mati di tangan Ibu.

“Yo, pergi, keluar, Yo! Pergi! Cepat!”

Ibu menjerit, melengking. Kudorong tubuh Yo keluar dengan tergesa-gesa. Ibu mengikuti, mengejar kami.

Kudorong tubuh Yo dengan paksa keluar rumah. Kuempaskan daun pintu secepatnya. Ibu sudah menunggu dengan batang rotan tergenggam erat pada jemarinya, berteriak-teriak memaki, dan siap memukuliku lagi dengan panik.

Aku memang salah, aku memang nista, aku pantas menerimanya. Aku tak tahu apa yang kupikirkan saat melakukannya. Tapi, sungguh, aku tak menyesal, Yo, karena tadi adalah momen paling indah dalam hidupku. Aku menyayangimu. Dan, aku tahu, aku memang menginginkannya, tanpa kusadari. Aku tahu kita tak mungkin bersatu. Tapi, aku juga tahu, perasaan ini nyata. Kalau aku boleh memilih, aku ingin hidup di tempat yang lain, di waktu yang lain, dan menjadi seseorang yang berbeda, hanya untuk bisa selalu bersamamu.

Juli 2005
Kulempar selimut dengan kesal. Aku tak bisa tidur. Kata-kata Yo dan peristiwa 13 tahun silam silih berganti muncul di kepalaku, bagai layar film yang rusak. Hatiku meradang, menyesali pertemuan yang seharusnya tak perlu kusetujui, menyesali otakku yang tak mau diajak kompromi, menyesali Ibu, menyesali diri sendiri, menyesali Yo…. Ah, aku menyesali hidup ini.

Mungkin, es krim dapat membantu menjernihkan kepalaku. Atau, obat tidur? Ah, aku tak ingin bermimpi buruk lagi. Aku segera keluar kamar menuju lemari es. Tak ada siapa pun di sini. Su­san sedang ke luar kota, Tris menginap di rumah calon mertuanya.

Untung mereka tak ada. Sungguh nikmat merasakan kesendirian di saat seperti ini. Aku tak perlu menjawab segudang pertanyaan kalau mereka melihatku tepekur tengah malam, sambil meng­habiskan 2 liter es krim. Pikiranku melayang. Aku ingat, sejak sore nahas itu, aku dikurung Ibu selama dua minggu. Tak boleh keluar rumah sama sekali. Ibu bahkan tak peduli saat kukatakan aku harus mengorbankan ujian semester karena hukumannya.

Sejak sore tak terlupakan itu, aku tak pernah bertemu Yo lagi. Ia hilang. Lenyap bagai ditelan bumi. Menurut teman-temanku, ia dipaksa kuliah ke luar negeri oleh orang tuanya. Ada yang menyebut Melbourne, New York, Boston. Ke mana pun dia pergi, yang pasti satu: aku kehilangan dia! Ya, aku amat merindukan dia?

Jiwaku bertambah gamang. Bertanya-tanya, di manakah ia saat itu. Aku tak percaya, ia tega meninggalkanku dan membiarkan aku menanggung semua kebingungan ini sendiri. Bingung tentang apa yang terjadi pada kami, pada pada diriku sendiri, bingung tentang perasaan hati yang kusangkal keras-keras. Belum lagi makian, hinaan, dan pukulan yang makin sering kuterima dari Ibu. Kupikir, aku hampir gila. Rasa benci pada Ibu, pada diriku, pada kepergian Yo, pada ketidakpedulian Yo untuk memberi kabar, berbaur jadi satu.

Aku benci pada hidupku. Pada saat yang sama, Ibu memaksaku untuk makan sebanyak-banyaknya. Padahal, selama ini ia selalu mengatakan aku sudah terlalu gendut untuk makan. Apa bedanya, Ibu? Sebakul nasi pun akan kulahap, sepiring lauk, bahkan ramuan kebanggaan Ibu: susu plus telur mentah pun akan kutelan. Tak apa, selama dapat kumuntahkan lagi….

Kamar mandi adalah tempat yang paling kusukai. Aku betah berlama-lama di dalamnya. Alasannya diare, padahal aku muntahkan kembali semua sampah itu. Alasannya sakit perut, padahal aku melamun, sambil mendengar gemercik air dari keran. Aku tak peduli bila karena itu aku kembali harus diseret Ibu. Dulu, sebelum remaja, ia gemar mengajakku ke dokter, berganti-ganti obat, karena keheranannya pada tubuhku. Tubuhku yang kurus, ‘diare’ yang tak kunjung henti, sakit perut yang tak juga lenyap.

Ibu tak juga mengerti. Ya, pintu kamar mandi masih lebih enak dilihat dibandingkan harus menghadapi kemarahannya. Aku takut bertemu dia. Takut disuruh makan lagi. Takut ditampar lagi kalau aku menolak makanan yang disodorkan. Sering kali tenggorokanku luka, karena terlalu sering kupaksa untuk mengeluarkan sampah-sampah yang masuk.

Aku juga tak peduli mendengar ocehan, omelan, dan keluhannya, karena ia harus banting tulang untuk membiayai pengobatanku. Sakitkah aku? Terkadang, aku merasa sehat. Namun, di saat lain aku merasa begitu sakit.
Hidupku makin nista saja rasanya. Aku makin yakin, aku tak punya harga untuk hidup. Jadi, untuk apa diperpanjang? Tekadku  makin bulat. Malam seusai sidang, aku merasa amat lelah. Baik fisik maupun jiwa. Lelah fisik karena semalaman aku hampir tak tidur karena belajar untuk sidang pagi harinya. Belum lagi malam-malam sebelumnya. Namun, jiwaku lebih lelah lagi. Sepagian jantungku berdebar tak keruan, tanganku gemetar, dan dadaku sesak. Aku beruntung tidak sampai pingsan!

Pulang ke rumah, aku mendapat amukan luar biasa dari Ibu, ketika ia tahu nilaiku hanya C. Ia tidak tahu perjuanganku untuk C itu, termasuk agar tidak pingsan di hadapan para dosen pe­nguji. Cukup. Cukup sudah. Aku merasa, kewajibanku untuk lulus kuliah sudah selesai, meski hasilnya jauh dari yang dapat dibanggakan Ibu. Aku teringat semua sisa obat yang selama ini tak pernah kuhabiskan. Kukumpulkan butir-butir itu menjadi satu. Kubawa sebotol besar air ke dalam kamar.

Aku lelah, Ibu. Aku bukan anak kecil yang bisa kau tendang, kau ma­ki, kau tampar, kau pukul, kau tarik rambutnya…. Kalau kehadiranku tak per­nah kau harapkan, mungkin kematianku akan membawa kelegaan bagimu.

Pukul 12 malam. Kuharap, Ibu sudah mendengkur, karena lelah mengamuk sejak siang. Kuraup obat berwarna-warni itu. Obat flu, obat jantung, obat penenang, obat asma, obat diare, apa pun, aku tak peduli! Aku percaya, semuanya akan bersatu dan bereaksi menjadi racun hebat di dalam tubuhku, untuk membawaku pergi.

Aku tak tahu, sudah berapa kapsul atau pil atau tablet yang melewati kerongkonganku. Yang pasti, setelah beberapa saat, aku merasa melayang. Terdengar suara jeritan Ibu. Aku merasa tubuhku diguncang. Dan, aku tak tahu, mengapa ketika Ibu melayangkan tangannya ke pipiku, aku tak marah lagi. Aku merasa tak lama lagi semua akan berakhir. Tak akan lagi kulihat matanya mendelik, seperti orang kesurupan, ketika marah.

Aku tertawa geli, bahagia melihat bayangan samar Ibu yang menjerit dan membuang botol berisi obat-obatan yang masih ter­ge­letak di meja dekat tempat tidurku. Maaf, Ibu, aku tak sempat membereskannya lagi, aku tak peduli bila semuanya berantakan, karena aku akan pergi jauh. Aku bahagia karena merasa menang melawannya.

Antara sadar dan tidak, aku merasa ada seorang pria yang menggendongku dengan paksa. Seketika aku menolak dan meronta-ronta. Sesudah itu kegelapan menyelimutiku. Aku tak ingat apa-apa lagi. Beberapa hari kemudian, aku baru tahu bahwa pria itu adalah seorang tetangga, yang baru satu bulan menyewa rumah di sebelah kanan rumah kami. Dokter Wisnu.

Hal pertama yang kulakukan ketika aku sadar adalah marah! Ya, aku marah, terutama pada orang yang sok pahlawan menyelamatkanku. Aku marah, karena aku tak berhasil pergi dengan rencana yang sudah kususun! Aku frustrasi. Kukira, aku telah pergi jauh, melintas batas langit. Namun, ternyata, aku malah terdampar di sebuah ruangan putih berbau obat, sambil merasa ketakutan setiap detik, setiap menit. Takut bertemu Ibu. Takut pulang.

Beberapa perawat menasihati, aku harus bersyukur karena Tu­han menyayangiku. Karena, aku masih hidup. Utuh, tanpa ke­rusakan. Kalian tidak tahu, apa yang menantiku di rumah.

Kedatangan Dokter Wisnu untuk menengok, kusambut de­ngan lemparan botol minum. Aku muak ketika tahu bahwa ia menolongku. Aku benci dia, aku benci Ibu, aku benci hidupku, aku benci semuanya! Tapi, aku tak tahu, mengapa ia begitu sabar menghadapi luapan emosi keputusasaanku.

Namun, ternyata, aku salah besar. Ia menguatkan aku. Sedikit demi sedikit mengobati luka jiwaku yang sudah berdarah semenjak aku mengingat dunia. Satu hal yang tak pernah ia sadari, kebencianku pada Ibu tak pernah pupus, tak pernah surut. Makin aku merasa diriku kuat, makin besar hasratku untuk menaklukkan Ibu, menyakiti Ibu….

Selama proses pemulihanku, kami menjadi sahabat. Dokter Wis­nu bercerita, selama satu bulan sejak kepindahannya, ia sering merasa curiga mendengar suara makian dan jeritan Ibu. Ia ingin menolong, tapi tak tahu bagaimana caranya. Hingga pada tengah malam itu, ia terkejut mendengar jerit ketakutan Ibu. Ketika menerobos masuk, ia melihatku terkapar. Secara tak langsung, ia mengerti apa yang terjadi, mengapa itu terjadi.

Aku tak tahu, harus berterima kasih atau menyesali pertolongannya. Aku tak tahu, lebih baik hidup atau mati. Tapi, kehadirannya telah membantuku menata hidup. Aku mulai mencari pekerjaan. Aku belajar menggapaikan tangan dan keluar dari kungkungan masa laluku yang amat gelap.

Ibu tak melarang aku bergaul dengan dokter itu. Ibu bilang, aku ‘gila’ dan membutuhkan bantuan dokter jiwa untuk mengatasi kegilaanku. Bila ada dokter gratis yang mau menolongmu, mengapa tidak? Kau sudah menghabiskan uangku terlalu banyak hanya!

Aku tak peduli apa pun komentar Ibu. Ada rasa dendam yang begitu membara, hingga semangatku terpecut untuk segera bangkit. Cita-citaku saat itu hanya satu, mencari cara untuk segera keluar dari rumah itu! Aku ingin menghidupi diri sendiri dan pergi meninggalkan Ibu. Aku bukan lagi anak kecil yang ketakutan bila Ibu mengancam akan mengusirku keluar dari rumahnya.

Kalau benar Tuhan itu ada, Ia sungguh menolongku kali ini. Aku bekerja sekeras-kerasnya dan sebaik-baiknya. Aku sabar menunggu saat yang tepat. Aku menyewa sebuah kamar kos ketika gaji mencukupi. Aku amat hemat. Bahkan, kadang-kadang uang makan tak kupakai sama sekali. Sebagian uang selalu kusisihkan untuk disimpan dan sebagian lagi untuk Ibu. Bukan karena aku anak berbakti dan tahu membalas budi. Tidak. Aku hanya tak ingin Ibu memaki aku pelit.

Ibu tak tahu, aku sudah menyusun rencana ini dengan matang. Baju dan benda-benda milikku yang tak seberapa jumlahnya, sudah kuselipkan di dalam tas kerjaku. Sedikit demi sedikit setiap hari. Lalu, menyimpannya di kamar yang telah kusewa, setiap kali sepulang kantor. Ibu tak pernah curiga, karena aku jadi pandai bersandiwara, berusaha bersikap wajar, seolah-olah aku masih di dalam genggaman kekuasaannya. Hingga kurasa apa yang kubutuh­kan sudah mencukupi, aku tak pernah pulang lagi ke rumah.

Waktunya memang kuatur sedemikian rupa. Aku takut Ibu mencariku ke kantor. Karena itu, aku mengajukan surat pengunduran diri jauh-jauh hari dan keluar dari rumah di hari terakhir aku bekerja. Kukatakan, Tuhan sungguh menolongku, karena tak kusangka aku memperoleh pekerjaan baru dengan mudah. Aku tak pernah menganggur. Dan, jelas-jelas, aku tidak akan jadi gembel, seperti yang selalu dikatakan Ibu ketika mengancam akan mengusirku dari rumah. Benar, aku bukan lagi anak kecil yang selalu ketakutan dengan tubuh mengerut. Kini, aku sudah dewasa. Sudah kuat, walau mungkin masih rapuh di dalam. Tapi, yang pasti, aku tak membutuhkan Ibu.

Sejak keluar dari rumah, aku berhenti berkonsultasi pada dokter baik hati itu. Aku tak nyaman bila ada yang tahu tentang diriku terlalu banyak. Aku pun tak nyaman saat merasa ada ketergantungan dan kebutuhan untuk bertemu dengannya. Bukan karena jatuh cinta padanya, tidak. Aku masih merindukan Yo. Aku hanya tak mau tergantung pada seseorang, sebagaimana aku membutuhkan Ibu dulu. Ingatan akan hal itu membuatku merasa terpenjara.

Satu kali aku datang ke tempatnya. Aku ingin berterima kasih, karena kesabarannya, aku dapat menjadi kuat dan berhasil keluar dari rumah Ibu. Sesungguhnya, ia tidak menyetujui kepergianku, walau ia dapat memahaminya.
Ia hanya menatapku. “Di mana saya dapat menghubungimu? Saya takut terjadi sesuatu pada ibumu. Bagaimanapun, beliau sudah tua, kupikir, tentunya, kau ingin tahu bila terjadi sesuatu padanya, kan?”

Aku hanya ingin dikabari bila terjadi sesuatu yang buruk menimpanya.Karena, hanya itu yang kuharapkan!

Aku memberikan nomor telepon tempat kosku. “Saya ha­nya dapat dihubungi malam hari, Dokter. Saya juga mau mengatakan bahwa sekarang saya sudah sehat dan jauh lebih kuat. Terima kasih banyak.”

Aku membohonginya. Aku tak sekuat yang kukatakan. Ia tak tahu, ada beberapa hal yang tak pernah hilang dari diriku. Suara-suara di kepala yang masih kumiliki hingga detik ini, mimpi-mimpi buruk yang seakan tak pernah berakhir, kerongkongan yang kadang-kadang luka karena aku masih merasa nyaman saat memuntahkan makananku, kebencianku pada cermin....

Hampir dua tahun setelah kepergianku dari rumah, suatu siang Dokter Wisnu mengabari Ibu terserang stroke. Ibu mengalami kelumpuhan saraf hingga tak dapat berjalan lagi. Paman Satrio yang membawanya ke rumah sakit. Masalahnya, Paman merasa keberatan menanggung semua biaya. Dengan uang tabungan yang tak seberapa, Paman kewalahan melihat tagihan rumah sakit. Jadi, ia mengusulkan pada Ibu untuk menjual rumah kami.

Ah, aku melihat kesempatan emas di depan mataku untuk membalas dendam! Sungguh aku berterima kasih kepada Dokter Wisnu yang telah menyampaikan kabar ini. Karena, setelah masa kontrak rumah Dokter Wisnu di sebelah rumah kami berakhir, kupikir, aku tak akan pernah mendengar kabar Ibu lagi. Rupanya, nasibku memang baik. Ibu dirawat di salah satu rumah sakit tempat Dokter Wisnu praktik. Ia segera mengenali suara Ibu, yang berteriak-teriak marah pada Paman, saat Paman minta izin menjual rumahnya.

Lalu, sisanya, semua jadi begitu mudah. Yang perlu kulakukan hanya datang ke rumah Paman dengan manis dan mengutarakan maksudku. Kukatakan pada Paman, bahwa sebagai putrinya, aku merasa bertanggung jawab untuk merawat Ibu dan menye­sal telah pergi meninggalkannya tempo hari. Jadi, sekarang aku hendak memperbaiki kesalahanku dan mengurusnya seusai dari rumah sakit nanti. Hanya sayangnya, pekerjaanku yang sekarang tak memungkinkan bagiku untuk sering berada di rumah, karena harus sering bertugas ke luar kota. Begitulah alasanku.

“Jadi, hanya ada dua alternatif. Saya menitipkan Ibu untuk tinggal di rumah Paman dan membiayai semua keperluannya, atau….”

Aku dapat melihat dari sudut mata, alis Bibi mengerut, pertanda tak setuju pada ide pertamaku. Sengaja kugantung kalimat.

“Atau, saya dapat menitipkan Ibu di panti, yang memiliki reputasi baik, punya banyak perawat dan fasilitas memadai untuk memulihkan kesehatannya. Biaya tetap menjadi tanggung jawab saya.”

Aku hampir tertawa melihat Bibi menendang kaki Paman di bawah meja kaca. Tanda setuju dan lega terpancar dari wajahnya. Aku tahu, tak ada yang suka mengurus orang sakit dan bertabiat buruk. Bibirku menyungging senyum semanis dan setulusnya.

“Emh… mengenai uang hasil penjualan rumah kami kemarin, saya pikir, lebih baik saya berikan kepada Paman dan Bibi sebagai tanda terima kasih karena telah membawa Ibu ke rumah sakit.”

Aku mengangguk sopan pada Bibi, yang sekarang bibirnya membentuk senyum lebar. Paman terlihat jengah dan kikuk mendengar kalimat terakhirku.

“Ah, Nina, uang itu kan hakmu.”

Kali ini Bibi menginjak kaki Paman. Aku menunjukkan wajah tak berdosa, pura-pura tak mengetahui apa yang sedang terjadi. Paman menahan sakit, sambil meringis, dan tersenyum padaku.

“Tapi, kau tahu, sisanya nanti tak seberapa. Biaya rumah sakit mahal, Nina, sedangkan rumah kalian dijual dengan harga miring.”

Aku berpura-pura mengangguk maklum.

“Saya mengerti, saya minta maaf telah merepotkan Paman dan Bibi karena ketidakhadiran saya saat Ibu sakit kemarin. Begini saja, saya harap, uang yang tak seberapa itu menjadi tanda terima kasih saya. Bagaimana? Kalau Paman sungkan, artinya Paman tidak menerima ucapan terima kasih saya.”

Aku memasang wajah sedih. Paman segera mengangguk, setelah kakinya diinjak Bibi lagi. Aku segera beranjak berdiri. “Baiklah, saya akan segera mencari panti yang baik, agar Ibu merasa nya­man. Saya harap ia segera sembuh. Nanti saya akan memberi kabar kepada Paman di panti mana beliau dirawat. Ini nomor telepon saya.”

Sejak itu aku tak pernah menghubungi Paman lagi. Begitu mudahnya segala sesuatu. Aku segera menemukan tempat yang tepat buat Ibu. Sebuah panti khusus untuk penderita sakit jiwa! Ya, itu adalah tempat paling tepat untuknya. Untuk jiwanya yang sakit.

Kebetulan sekali, letak dan kondisi panti itu sesuai dengan kriteriaku: jauh dari pusat kota dan kondisinya jauh dari memadai. Aku suka akan bayangan dirinya yang putus asa di atas kursi roda dan tak dapat berbuat apa-apa untuk menghabiskan hari tuanya di dalam panti menyebalkan itu!

Malangnya, beberapa waktu lalu, Dokter Wisnu diminta bertugas di tempat itu. Suatu hal di luar dugaanku. Hidup dapat mempunyai begitu banyak kebetulan di dalamnya. Aku dapat merasakan nada suaranya yang terkejut saat menghubungiku. Aku tak peduli, aku pun tak berharap ia dapat mengerti. Mungkin, ia merasa aku keterlaluan karena Ibu sampai dirawat di sana. Tapi, aku tak merasa diriku jahat. Dendamku terbalas melihat penderitaannya, menghabiskan sisa umurnya dengan frustrasi. Aku ingin ia merasakan sakit yang sama, seperti ia telah membuat jiwaku sakit.

Aku tersadar dari lamunan. Perutku terasa mual. Kupandang sekeliling ruangan dengan perasaan hampa. Aku tidak pernah menye­sal memasukkan Ibu ke panti. Aku juga tak menyesal meninggalkan Yo tadi malam. Tapi, mengapa hatiku terasa kosong? Mengapa aku tak dapat merasa bahagia? Apa yang masih salah pada diriku?

Yo, katakan padaku, bagaimana aku dapat berbahagia? Atau, salahkah aku saat meninggalkanmu tadi? Aku pikir itu cuma mimpi. Aku harap itu juga cuma mimpi. Tapi, perasaan hampa ini nyata. Nyata! Aku tak dapat memungkiri, kepergianmu dulu membuat aku makin membenci Ibu. Aku selalu berpikir, karena amarah Ibu sore itulah kau pergi dari hidupku. Mungkin, seandainya kau tak pergi, kita sudah berjalan menyongsong pelangi. Aku tahu pasti, karena menjalani hidup bersamamu selalu berwarna.

Bodoh kau, Nina! Yo tak pernah memedulikanmu. Ia pergi seenaknya dan meninggalkanmu! Apa ia peduli padamu? Apa ia tahu betapa sakitnya perasaanmu? Apa ia pernah mencarimu? Begitukah tandanya seseorang yang menyayangimu? Apa buktinya bahwa ia memerhatikanmu?

Asam lambungku makin mendesak. Aku berlari ke kloset dan melakukan ritual kebanggaanku, yang selalu membuatku merasa puas.

Yo menelepon berkali-kali, setiap hari. Hatiku makin terasa gersang. Aku tak tahu harus berkata apa. Jadi, setiap kali ia menele­pon, selalu kumatikan. Aku harap, ia mengerti kegelisahanku, kecemasanku, dan ketidakmampuanku melepaskan diri dari masa lalu. Pikiranku kacau. Aku butuh ruang. Aku perlu waktu. Sendiri. Aku tak dapat lagi menjalankan aktivitas sehari-hari dengan baik sejak Yo menyampaikan perasaannya.

Aku yakin, cuti adalah keputusan terbaik. Aku lelah. Aku benci suara-suara di kepalaku. Kuharap air dapat menenangkanku.

“Jadi mau ke Bunaken? Kupikir, kau hanya ke Bali atau Lombok. Apa tidak terlalu jauh?” Susan tiba-tiba sudah ada di belakangku.

Aku memang ingin pergi jauh….

“Kau sedang ada masalah, Nin?” tanyanya lagi.

Gerakanku terhenti. Biar bagaimanapun, Susan teman yang baik. Ia tak pernah ikut campur urusanku. Aku tahu, perhatiannya tulus. Aku hanya tersenyum, berharap dapat mengusir kekhawatirannya.

“Aku cuma merasa jenuh.”

Ia mengangguk-angguk, tampak ingin memercayai ucapanku.

“Nin, mengapa setiap kali ada telepon dari Dokter Wisnu atau Yo, kau tak pernah mau menerimanya?”

Aku tak mungkin menceritakan semua pada Susan. Tidak akan!

“Siapa, sih, Dokter Wisnu? Kalau aku boleh tahu,” katanya.

Kepalaku jadi berat. Aku malas mengatakan kebohongan. Kebohongan selalu mengantar pada kebohongan lain. Apa aku dapat terus berbohong pada semua orang seumur hidupku? Tapi, aku tak ingin berkisah tentang hidupku.
Aku memandang Susan. Sedikit cerita tak akan menyakitkan.

“Dia dokter jiwa yang merawat ibuku….”

Dan, yang pernah merawat aku.

“Bukankah kau bilang ibumu dirawat di panti wreda?”

Aku mengangguk, tertunduk. Tak tahu bagaimana harus menyam­bung kalimatku tadi.

Aku merasakan sentuhan jemari Susan pada bahuku. Air mataku menetes. Susan memelukku. Aku merasa rapuh, seperti anak kecil yang rindu pelukan bunda, tanpa terasa air mataku bertambah deras. Tenggorokanku tercekat. Aku lelah… aku lelah….

“Ah, mengapa kau tak pernah bercerita padaku? Aku ini sahabatmu. Kenapa kau tak pernah membagi masalahmu?”

Aku menyusut air mataku. “Karena, kau juga tak pernah bercerita apa pun padaku. Misalnya, mengapa hingga saat ini kau belum juga mau menikah, kekasihmu selalu berganti-ganti?”

Susan menghela napas. Sekali ini wajahnya tersaput kabut.

“Aku trauma pada pria. Sesungguhnya, aku jijik pada mereka.”

Aku ternganga. Bagaimana mungkin?

Susan menatapku dengan pandangan kelam. Menghela napas dengan berat berkali-kali, berusaha untuk mengumpulkan kekuatan tampaknya. “Di umurku yang kesebelas, ibuku menikah lagi. Ayah tiriku tampak baik dan aku amat memujanya. Kau tahu kan ayah dan ibuku berpisah karena Ayah menikah lagi? Jadi, kehadiran Om Bima bagaikan pahlawan bagi kami.

“Suatu kali, Ibu harus pergi ke luar kota untuk suatu tugas kantor. Aku ingat betul, saat itu aku mendapat haid pertamaku. Aku bingung dan sungguh tak tahu harus bertanya pada siapa. Aku ketakutan melihat darah yang mengalir di sela pahaku. Kupikir, aku menderita suatu penyakit berbahaya. Saat aku panik sendirian di dalam kamar, Om Bima masuk. Tutur katanya yang halus dan sopan, membuatku nyaman dan mempunyai keberanian untuk bercerita tentang ketakutan yang kualami. Ia bilang, ia mau melihatnya. Tapi, aku malu dan ternyata ia memaksaku.”

Tangis Susan pecah.

“Kau bayangkan? Aku kehilangan kegadisanku di haid pertamaku! Aku melolong, menjerit, melawan, tapi suara hujan mengalahkan semuanya! Saat itu aku sendirian di rumah. Om Bima mengancamku untuk tidak memberi tahu siapa pun. Ia mengancam akan membunuh adik-adik dan ibuku saat mereka sedang tidur! Kau tahu, esoknya aku bahkan tidak dapat masuk sekolah karena tak dapat menahan rasa sakit.

“Om Bima tak berhenti sampai di situ. Perbuatan busuk itu selalu ia lakukan setiap kali ada kesempatan! Aku tak tahan. Setiap kali aku hanya dapat berdoa karena tak tahu harus bercerita kepada siapa. Aku hampir gila. Setiap detik, hidup bagiku adalah mimpi buruk. Aku makin jarang ada di rumah. Setiap malam, setiap kali mataku terpejam, mimpiku hanya berputar di dua kisah: perbuatan Om Bima padaku atau tangan-tangan kuatnya sedang mencekik Ibu dan membantai adik-adikku yang sedang tidur!

“Enam tahun kemudian, Om Bima tewas saat mobilnya ditabrak truk. Tak ada hari yang lebih kusyukuri daripada hari itu. Kupikir, penderitaanku akan segera berakhir. Tapi, aku salah. Ada kesakitan lain yang harus kuterima. Aku merasa diriku begitu kotor. Dan, aku jijik pada pria! Aku tak dapat mencintai pria! Tak ada yang tahu bahwa hingga detik ini pun aku masih meng­atasi rasa itu. Pernah aku berkata jujur pada Ibu, mengenai perbuatan Om Bima. Tapi, aku ditamparnya! Dia berpikir, aku sudah keterlaluan. Hatiku sakit, bagaimana mungkin beliau tidak memercayai aku, darah dagingnya sendiri ?”

Susan mengusap air matanya. “Jadi, bagaimana aku bisa menikah dan mempunyai anak, bila setiap kali kekasihku mengajak bermesraan, yang terbayang hanya wajah Om Bima. Dan, aku berganti-ganti kekasih karena aku merasakan kepuasan tersendiri saat berhasil membuat seorang pria patah hati. Tapi, aku tetap tak bahagia. Meski mimpi buruk itu sudah menghilang, aku tak dapat merasa bahagia.”

Aku termangu. Tak tahu harus berkata apa.

Kuurungkan niatku ke Bunaken. Ada hal yang harus kuselesaikan dan tak dapat kutunda lagi. Keberanian Susan menceritakan kisah sedihnya memberikan inspirasi baru bagiku. Ya, mengapa tidak sejak dulu kutanyakan kepada Ibu, mengapa ia begitu membenci Ayah dan aku? Di mana ayahku sekarang? Sejak dulu aku tak begitu peduli. Karena, kupikir, tak ada gunanya. Tapi, sekarang aku mengerti, aku punyai hak untuk tahu, untuk mengerti, atau untuk melupakan dan terus maju, menyusuri lorong hidup di hadapanku.

Selama ini aku merasa hidup seperti tikus di selokan. Yang mencari jalan untuk terus sembunyi dan menghindar dari kenyataan hidup karena takut. Takut untuk tahu, mengapa aku disebut anak berengsek. Takut untuk memaafkan Ibu, takut untuk mengasihi Ibu? Aku merasa diriku sakit. Ya, mengapa aku tidak berani melangkah menuju cahaya?

Pagi ini, kuputuskan untuk mengunjungi Ibu. Langit mendung sejak awal hari. Abu-abu, sekelabu hatiku. Kukuatkan jiwa untuk menghadapi jawaban paling buruk sekalipun. Selama ini, aku terlalu sibuk menghadapi ketakutanku, menghadapi hari-hari bersama Ibu. Takut pada amarahnya, makiannya, pukulannya, lalu sibuk dengan susunan rencana balas dendamku, yang kupikir akan membuat hatiku bahagia. Tapi, ternyata tidak! Tetap saja aku berkubang dengan suara-suara di kepalaku.

Jantungku berdebar empat kali lebih keras ketika kuparkir mobil di halaman berkerikil itu. Gerimis membasahi bebatuan, membuat hatiku bertambah gundah, meragukan keyakinan yang tadinya bersemi di jiwaku.

Nina, apa kau yakin Ibu akan mengatakan kebenaran padamu? Apa kau tak berpikir, ia akan mengatakan apa saja untuk menyakiti hatimu? Bodoh sekali kau, Nina, berpura-pura kuat! Sadarlah, kau tidak setegar Susan! Hidupmu jauh lebih menyedihkan dibandingkan dengannya!

Rintik gerimis membuat dinding lorong bertambah lembap, menimbulkan bau kian menyengat. Penghuni panti yang berada di kebun dihalau masuk oleh perawat. Kulihat, sebagian tertawa senang, menari di tengah gerimis. Beberapa merengut marah, sebagian lagi memaki perawat dan meronta. Ibu tak kulihat. Mung­kin, ia sedang berada di kamarnya. Ia tak terlalu suka bersosialisasi. Sejak dulu. Sedari aku kecil, Ibu tak pernah bertegur sapa dengan tetangga. Ibu selalu bersikap keras dan galak. Aku dapat mengerti bila tetangga kami mendengar Ibu berteriak-teriak, tapi tak ada yang berniat menolongku.

Setiap pulang sekolah, aku hanya tertunduk menyusuri gang rumahku, masuk, dan langsung menutup pintu. Itulah duniaku. Ibu tak suka bila ada anak tetangga yang mengajakku bermain. Kemudian, aku makin tak nyaman bila diajak bicara oleh siapa pun. Aku yakin, mereka menganggap aku aneh. Cukup melegakan bila tak ada ibu-ibu yang harus kulewati rumahnya, memandang, sambil berbisik-bisik. Padahal, aku tak ambil pusing apa kata mereka. Begitu yang diajarkan Ibu. Aku tak membutuhkan mereka, tak membutuhkan Ayah, tak membutuhkan siapa pun, kecuali Ibu!

Dugaanku benar. Ia masih menyukai dunianya sendiri. Tubuhnya kurus, terbalut daster kusam. Ia tampak lebih tua dari usianya, yang baru berada di ujung empat puluhan. Rambutnya terurai tak terurus. Jarinya sibuk memilin-milin ujung rambut. Seperti aku, yang selalu merasa kesepian, aku percaya, ia juga mengalami perasaan yang sama, jauh di dalam lubuk jiwanya. Kesenyapan yang tak dapat terjamah oleh siapa pun.

Rasa tegangku berubah menjadi iba. Entah iba pada sosok tuanya atau iba pada nasib yang mengantarkan kami berdua. Suara petir mengejutkanku. Aku mencari perawat yang dapat membuka kunci pintu kamar ini. Tanpa bersuara, perawat itu membuka pintu, mempersilakan aku masuk. Ibu tampaknya tak sadar oleh kehadiranku. Perlahan, kusentuh bahunya.

Ia mengusap jemariku di bahunya, lalu berkata dengan suara serak paraunya, “Apakah putriku datang hari ini, Suster?”

Lidahku kelu, tenggorokanku tercekat, dadaku pilu, tak menyangka akan mendengar pertanyaan itu keluar dari bibir yang selalu sinis.

“Ini saya, Bu, Nina….”

Ibu melepaskan jemarinya, memutar kursi roda, lalu menatapku tajam. Setengah mendengus, ia membuang muka. “Mau apa kau datang?”

Hatiku mengeluh. Ah, Ibu, kalimat Ibu yang pertama tadi itu nyata atau hanya ilusi? Kukumpulkan keberanian dan mendekat padanya.

“Saya…,” tiba-tiba rasa bingung menyergapku, ketika menatap matanya. Ya, untuk apa aku datang ke sini? Cepat pulang, Nina! Kau ini mengigau atau apa? Jangan sok jadi anak baik! Ibumu tak mengharapkanmu. Ia tak pernah mengharapkan kelahiranmu! Jangan pernah berkhayal ia akan merindukanmu! Tapi, tunggu, kau ingin bertanya mengapa kau dipanggil anak berengsek?

Plak! Tamparan di pipi kiri membuatku tersadar kembali. Ibu? Ibu menamparku? Aku memandangnya tak percaya. Dengan susah payah ia bergerak dari kursi itu hanya untuk menamparku?

“Ya, aku menamparmu! Kenapa? Kau tak suka?” ia meringis.

Aku menggeleng tak percaya. Hatiku menjerit-jerit, mengatakan aku bodoh. Dengan lutut gemetar menahan emosi, kukepalkan jemari untuk menguatkan diri. “Saya hanya ingin bertanya dua hal pada Ibu. Saya harap, Ibu mau menjawab dengan jujur. Lalu, saya pergi, tak akan kembali lagi.”

Ibu memiringkan wajahnya, “Keluarkan aku dari sini! Kau mau membuatku mati di tempat ini?”

“Saya akan memberikan tempat yang lebih baik bagi Ibu! Nanti! Tapi, Ibu harus menjawab pertanyaan saya dulu. Kalau Ibu memukul saya lagi, saya akan berteriak! Dan, saya akan pastikan Ibu terkunci di kamar ini selamanya!”

Aku mendekatkan wajahku kepadanya. Bila kau memukulku lagi, kau membusuk di tempat ini pun, aku tak peduli!
Ia menarik-narik rambutnya. Wajahnya kosong tanpa ekspresi, seolah tak terjadi apa-apa. Entah apa yang ada di alam pikirannya. Aku menarik napas.

“Pertama, mengapa Ibu benci saya hingga selalu menyebut saya anak berengsek? Kedua, di mana Ayah sekarang?”

Wajahnya berubah warna. Kupikir, ia akan mengamuk lagi mendengar pertanyaanku. Tapi, hening. Kutunggu sesaat. Tak ada jawaban, tak ada suara. Aku mulai menyesal dan hendak beranjak pergi ketika kudengar suara seraknya.

“Aku tahu, suatu saat kau pasti menanyakan ini.” Matanya menerawang. Kepalanya bergerak-gerak, seakan mengikuti alunan hujan gerimis. Kadang-kadang, aku ingin tahu apa isi kepala Ibu, yang tega menyiksaku bertahun-tahun.

Aku menunggu dengan gelisah. Apakah ia akan mengerti, betapa pentingnya jawaban ini bagi identitas hidupku? Aku terkejut mendengar lolongan tangisnya yang meledak tiba-tiba. Ia meratap, sambil tersedu. Aku hendak menghampirinya, namun kubatalkan niatku, ketika melihat matanya mendelik. Ia lalu membenturkan kepalanya ke kusen jendela berkali-kali. Pelipisnya mulai berdarah. Aku termangu, tak dapat menggerakkan kaki untuk menolongnya. Ingatkah Ibu, dulu Ibu kerap menghantamkan kepalaku ke lemari atau tembok untuk melampiaskan kekesalanmu?

Tak kusangka efek pertanyaanku dapat membuatnya seperti itu. Aku menyingkir, ketika beberapa perawat masuk kamar dan menyuntikkan sesuatu ke lengan Ibu. Tak lama, ia terkulai lemas.

“Ada apa, Nina?

Aku menoleh. Dokter Wisnu. Kulirik tubuh Ibu yang sedang diangkat dari kursi roda ke atas pembaringan. Lidahku membatu. Aku malu telah menyebabkan keributan ini.

“Ibumu sudah tenang sekarang. Mari ikut saya.”

“Tapi, saya….”

“Saya cuma mau memberimu minum….”

Bagai kerbau dicucuk hidung, aku mengikuti langkahnya. Kupandang sekeliling ruangan dengan perasaan limbung. Dokter Wisnu memberi segelas air putih dingin. Ia memandangku, sambil tersenyum. “Ya, saya menyukai warna biru. Ruang kerja saya selalu berwarna biru. Karena, mengingatkan saya pada langit. Kalau kau, apa warna yang kau suka, Nina?”

“Hitam. Tapi, untuk ruangan tentunya tak hitam, ya?”

Ia mengangguk-angguk dan tertawa kecil. Senyap.

“Nina, bagaimana perasaanmu akhir-akhir ini?”

“Baik. Itu sebabnya saya datang. Ada yang ingin saya tanyakan pada Ibu. Mungkin, sudah terlambat, kalau melihat kondisinya.”

Dokter Wisnu memandangku dalam diam. Membuatku je­ngah. Kutarik napas berkali-kali, mencoba mengendalikan diri. “Saya, seperti yang dulu pernah saya ceritakan, saya tak pernah tahu tentang Ayah. Ah, bahkan saya tak tahu kapan terakhir bertemu dia. Saya bahkan kesulitan untuk mengingat wajahnya. Yang saya tahu, ia pergi. Mengapa ia pergi pun saya tak tahu?”

Aku tertunduk. Ada batu besar yang mengimpit dadaku. Tapi, tatapan lembutnya membuatku ingin menghancurkan batu itu dan menyingkirkan selamanya dari dadaku! “Saya lelah dipanggil anak berengsek seumur hidup oleh Ibu, tanpa tahu alasannya. Bayangan Ayah sudah begitu samar. Saya cuma dapat mengingat, waktu Ibu marah, Ibu sering mengusir saya agar ikut Ayah. Saya ketakutan setengah mati. Saya tak tahu siapa dia, di mana dia, lalu bagaimana saya dapat pergi dengannya?”

Mataku memanas. Kukuatkan diri untuk tak menangis. Kugigit bibir keras-keras. Bayangan Ibu yang menjambak rambutku dan menendangku keluar, mengusirku kalau ia mendadak kesal, berkelebat dan membuat kepalaku terasa berat. Mungkin, lebih baik aku amnesia saja!

“Saya hanya ingin tahu, di mana ia sekarang. Paling tidak, saya tahu, mengapa ia meninggalkan saya. Saya sudah tak punya martabat sejak saya dapat mengingat dunia, Dok. Saya merasa binatang peliharaan Ibu! Bisa seenaknya ia tendang atau pukul kalau kesal, dan tak bisa melawan karena ia adalah majikan yang memberi saya makan!”

Bau pil-pil obat kembali memenuhi kerongkonganku. Dokter Wisnu menghampiriku dan memberiku minum. Tapi, mengapa ia memelukku? Aku melepaskan pelukannya. Matanya basah? Ia menangis! Aku memandangnya dengan bingung.

“Maafkan saya, Nina, adikku…. Ya, Tuhan, aku tak pernah menyangka bahwa kau begitu menderita selama ini.”
Adikku? Aku tak salah dengar?

Ia menyusut matanya yang basah. Mengangguk pelan, seolah ia mengerti pertanyaan yang berkecamuk di hatiku saat ini.

“Kita satu ayah, Nina. Dengar dulu penjelasanku.” Ia menggenggam tanganku, menguatkan kegamangan yang kurasakan. “Aku anak Bambang Suripto, ayah kita. Ibuku bernama Retno. Aku tak punya saudara lain, karena Ibu tak bisa punya anak lagi. Dulu, Lestari, ibumu, adalah bunga desa. Konon, banyak pria yang ingin jadi suaminya, termasuk ayah. Suatu saat, ia menghendaki ibumu menjadi istri mudanya. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibuku. Tapi, ibumu menolak. Ayah khilaf, memperkosa ibumu.”

Aku terbelalak. Aku tak dapat memercayai cerita ini.

“Dokter bohong!” kutarik jemariku dari genggamannya.

Ia mengembuskan napas berat dan memegang bahuku erat-erat. “Pandang mataku, Nina. Apa aku seperti sedang berbohong?”

Aku terpana. Ia terlihat terbebani dengan kisah yang dibawanya.

“Kakekku orang terpandang di kampung. Ayah bukan orang kaya saat mengawini ibuku. Jadi, Kakek amat marah mengetahui kejadian menggegerkan dan memalukan keluarganya itu. Menantu miskin tak tahu malu, begitu katanya. Lantas, ia menyuruh Ayah menceraikan ibuku. Sejak itu, aku pun kehilangan sosok Ayah. Ia ingin bertanggung jawab dengan menikahi ibumu. Ibumu menolak, karena ia sudah mempunyai kekasih. Tapi, belakangan ia menjadi depresi ketika dilecehkan, dihina, dan ditolak oleh kekasihnya. Sementara perutnya yang membesar, tak dapat ditutupi lagi.

“Namun, akhirnya Ayah bisa menikahi ibumu. Kabarnya, kakek dan nenekmu, juga Ayah, sampai harus memasung ibumu selama hamil, karena ia terus memukuli perutnya dan berusaha menggugurkan kandungannya. Maaf bila cerita ini menyakitimu.”

Tulangku lunglai. Tapi. sebagian dari jiwaku seakan bergairah mendengar rahasia hidupku terungkap.

“Setelah kau lahir, kau pun harus dijauhkan dari ibumu, karena semua orang takut ia akan mencekik bayinya sendiri. Tapi, rupanya Ayah benar-benar mencintai ibumu. Dengan sabar beliau merawatnya. Hingga beberapa bulan kemudian, ibumu mulai tenang. Kadang-kadang, aku sembunyi-sembunyi melewati rumah Ayah, melihatnya sedang menggendongmu. Aku cemburu, Nina. Aku kehilangan sosok yang memanjakanku selama sembilan tahun kehidupanku! Mungkin, karena tak tahan menjadi pergunjingan orang dan juga demi ketenangan jiwa ibumu, Ayah berniat membawamu dan ibumu ke kota.

”Aku masih ingat, suatu malam, Ayah memanggilku. Ia mengajakku ke rumahnya dan memperkenalkan aku pada ibumu, dan menuntunku ke kamar untuk melihatmu. Aku menyentuhmu saat bayi, Nina, mengelus-elus kepalamu, tanganmu, dan jemari kakimu yang mungil. Ada rasa hangat di hatiku yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Saat itu Ayah mengatakan bahwa ia hendak membawa kalian pergi dan menyuruhku untuk selalu mengingat bahwa beliau menyayangiku. Ia mengatakan, aku mempunyai seorang adik perempuan dan aku harus mencarinya kalau dewasa nanti. Aku memeluk Ayah, menangis tersedu-sedu, dan baru berhenti kala kau menangis. Tak dapat kulupakan pandangan ibumu saat itu. Matanya begitu dingin. Ia bahkan tak bergerak untuk menggendongmu saat kau menangis begitu keras.”

Setidaknya, kini aku tahu Ayah menyayangiku.

“Lalu, bagaimana Dokter dapat menemukanku?”

“Berhentilah memanggil aku Dokter, Nin. Aku kakakmu. Kakek membiayai kuliahku hingga selesai. Suatu saat ibuku sakit parah. Ia menyuruhku mencari tahu tentang keberadaan Ayah melalui pamanmu, Satrio. Pamanmu memang sudah menetap di Jakarta, tapi ia selalu pulang kampung saat Idul Fitri. Dari beliau aku tahu, Ayah rupanya putus asa dan sudah tak tahan lagi untuk tinggal bersama ibumu, yang makin sering mengamuk. Jadi, akhirnya ia meninggalkan kalian. Sejak itu, ibumu mencari nafkah sendiri. Entah menjahit atau berjualan makanan di pasar.”

Aku mengangguk. Sebenarnya, kini aku berbalik menjadi kagum pada Ibu. Dengan jiwanya yang labil, ia masih dapat menghidupi aku secara layak. Aku tak menyangka kisah hidupnya begitu pahit.
“Lalu, Ayah?”

“Ayah berubah jadi pemabuk sejak ia tinggal di Jakarta. Mungkin, karena tekanan hidup yang berat. Yang pasti, ibumu makin membencinya karena kebiasaannya itu. Ibumu makin sering kambuh amukannya. Lalu, Ayah jadi pemarah dan kadang-kadang memukul ibumu tanpa sadar. Maafkan aku, Nina, karena tak mencarimu lebih awal.”

“Kau belum menjawabku soal Ayah.

“Ayah tewas ditikam orang saat mabuk dan berkelahi. Pamanmu mengatakan, jenazahnya pun tak diambil oleh ibumu dari rumah sakit. Jadi, kita tak tahu ia dimakamkan di mana.”

Aku termangu mendengar semua cerita ini. Lebih dari tiga puluh tahun, aku selalu bertanya-tanya, anak siapakah aku ini? Mengapa namaku lebih sering menjadi anak berengsek, dan bukan Nina? Aku mengerti. Mengerti sebagai sesama perempuan. Mengerti, betapa impian yang dirajut Ibu telah hancur saat detik dimulainya kehidupanku. Aku mengerti, mengapa ia membenciku. Tak ada lagi rasa benci dan dendam dalam sukmaku. Rasanya sudah lunas terbayar segala pertanyaan di kepalaku. Kupandangi garis wajah Dokter Wisnu. Aku mengerti, mengapa rasa teduh selalu menyertai senyumnya di mataku.

“Apa kau mirip Ayah?”

Dokter Wisnu menatapku dengan senyum khasnya dan mengangguk. Dikeluarkannya dompet hitam dari saku celana dan menyodorkan selembar foto kumal kecokelatan ke hadapanku. Ayahkah ini? Kulihat seorang pria muda, berwajah seperti Dokter Wisnu, sedang menggendong bocah laki-laki dengan seorang wanita di sisi kirinya sedang tertawa. Keluarga ini hancur karena perjalanan hidup yang berbuntut panjang.

Hidup memang aneh. Aku datang dengan jiwa hampa dan tangan kosong. Dan, kini, tiba-tiba aku mempunyai kakak!

“Kalau begitu, semuanya bukan kebetulan? Saat aku mencoba bunuh diri, kontrak rumahmu di sebelah rumahku, penempatan di rumah sakit?”

Ia mengangguk mantap. Jelas sudah, mengapa ia selalu ada dalam hidup kami. Bodohnya aku, tak pernah mencurigai semua kebetulan ini!

“Tata hidupmu kembali, Nina. Perjalanan masih panjang. Kau harus berdamai dengan dirimu sendiri, dengan masa lalumu….”

Kupandangi gerimis yang mereda. Awan kelabu menyingkir satu per satu. Tetesan air yang bergoyang-goyang pada daun dan bunga, jatuh tertiup angin, luruh bersama waktu.

“Bila hatimu resah, kau selalu mempunyai aku, Nina. Perasaan hangat yang kumiliki, ketika mengusap jemarimu saat bayi dulu, tetap kumiliki hingga saat ini. Kau tetap adikku, apa pun yang memisahkan kita, membedakan kita. Darah kita tetap sama.”

Ia memelukku lembut. Aku terharu. Hatiku penuh, meluap dialiri kehangatan dan harapan. Harapan? Segera kulepaskan pelukannya. Aku tahu, apa yang harus kulakukan selanjutnya.

“Maaf, ada hal penting yang harus kulakukan saat ini dan tak dapat kuceritakan. Terlalu panjang. Aku harus mengejar sesuatu! Akan kuceritakan nanti. Tapi, aku ingin kau tahu, aku bahagia sekali! Doakan aku!”

Kutinggalkan ia dan melesat keluar. Setengah berlari, kuambil telepon genggam di tas. Kuputar sebuah nomor. Tuhan, beri aku kesempatan satu kali lagi. Aku ingin bahagia, aku ingin pergi meninggalkan semua yang buruk dari masa laluku dan mengejar cahaya di hadapanku.

“Halo, Yo?”

“Nina, aku berharap ada keajaiban. Kau akan menelepon sebelum aku pergi. Ternyata, benar.”

“Tidak, Yo, kau tidak boleh pergi! Jangan pergi lagi dari hidupku, Yo! Aku mau, Yo, aku mau menerima tawaranmu! Aku tak peduli apa kata orang. Aku mau menjalani hidupku bersamamu! Dan, bila kau tak merasa nyaman di Jakarta sini, aku akan pergi bersamamu, ke mana pun kau ingin pergi.”

Kudengar suara Yo memekik, berteriak kegirangan, seperti anak kecil diberi permen. Aku tertawa bahagia mendengarnya. Terengah-engah kuputar kunci mobil. Tak akan kubiarkan cinta hidupku pergi lagi, untuk selamanya! “Kau di mana, Yo?”

“Aku hendak ke bandara, Nina. Aku tak percaya, akhirnya Tuhan mengabulkan doaku! Aku janji Nin, kita akan bahagia bersama! Aku akan membuatmu bahagia, selalu! Temui aku sekarang, Nina! Kau ada di mana? Aku akan menjemputmu sekarang.”

Dadaku serasa hendak meledak karena bahagia. Bahagia. Rasanya kata yang begitu sulit kujangkau.

“Tak usah, Yo. Kita bertemu di rumah tuaku dulu saja.”

Yo tertawa lepas. “Aku tak peduli kita akan bertemu di mana, Nina, selama aku dapat menemuimu.”
Rumah tua itu adalah tempat paling bersejarah dalam hidupku.Kupacu gas, menyongsong hari depan dengan tak sabar.

Langit mendung sejak pagi tanpa hujan setetes pun. Angin bertiup kencang. Menerbangkan daun-daun kering ke segala arah. Alam terasa gelisah. Murung. Semurung jiwaku saat ini. Kusangka, aku tak akan mampu menangis lagi. Air mata yang kupikir telah habis terkuras, ternyata tak berkurang persediaannya. Sekumpulan manusia yang tadi berkerumun di sekitar gundukan sudah pergi.

Tak ada lagi orang di sekitar kita, Yo. Hanya kita.

Angin berdesah risau. Suara burung-burung hitam yang melayang berputar-putar memekik, memilukan hatiku yang berdarah. Kuusap gundukan tanah merah yang masih segar itu dengan kedua tanganku. Lembap, basah.

Kau meninggalkanku, Yo. Kau meninggalkanku lagi! Kau bohong, kau bilang, kau ingin selalu bersamaku, membahagiakanku! Di mana kau sekarang, Yo? Di mana? Jawab aku! Tidakkah kau mendengar sukmaku yang menjerit-jerit nyeri? Di mana kau, Yo?

Aku tak mengerti mengapa kau harus mengemudikan mobilmu sekencang itu? Aku tak mengerti…. Bukankah masih banyak waktu yang tersedia untuk kita? Aku tak mengerti, kebahagiaan macam apa yang kau tawarkan dengan kepergianmu, Yo? Mengapa kau tak menepati janjimu? Aku sudah menyediakan jiwaku untuk menyambut masa depan bersamamu. Aku hanya ingin bersamamu, Yo…. Mengapa? Mengapa? Tidakkah kau, aku menunggumu?

Aku akan selalu menunggumu. Jadi mengapa tak kau biarkan saja ketika ada truk yang mau lewat? Mengapa kau harus mendahului kendaraan itu? Bahkan, bila ada seribu kendaraan lagi pun, kau tetap akan kutunggu! Mengapa? Aku menunggumu dengan sabar. Detik demi detik kutunggu hingga malam tiba dan aku berdiri kebingungan di depan rumah, yang kini bukan milikku lagi. Kau malah seenaknya pergi! Kau mengingkari janjimu! Aku benci padamu, Yo! Selalu hanya harapan yang dapat kau berikan….

Kurebahkan kepalaku di gundukan yang masih segar itu. Kuambil sepotong silet dari dalam tas selempangku. Melirik nadi hijau muda yang masih berdenyut di pergelanganku. Kupejamkan mata dan menarik napas sekali lagi, sebelum semuanya akan menjadi sunyi.

Aku tak tahu, mataku basah atau kering. Aku tak peduli, rambutku kotor oleh tanah atau tidak. Aku tak peduli apa pun lagi. Aku hanya ingin memeluk orang yang paling kucintai selama hidupku… dan ia ada di dalam gundukan sunyi ini. Kuusap lembut nisan itu. Nisan milik kekasihku, Yohana.

No comments: