12.22.2010

Terdakwa

Aku tengah membaca majalah ketika sudut mataku menangkap bayang-bayang melintasi jendela.
Aku takut sekali.

Lampu spotlight di belakang rumah terlihat menyala. Aku tahu, tentu ada orang di sana. Lampu itu mempunyai sensor. Jika kita buang sampah malam hari, maka secara otomatis lampu itu menyala.

Namun sudah lewat tengah malam, tak semestinya ada orang di luar sana. Semua lampu sudah kumatikan kecuali lampu baca di atas tempat tidur. Aku tengah membaca majalah ketika sudut mataku menangkap bayang-bayang melintasi jendela. Aku takut sekali. Aku sangat penakut. Setiap kali suamiku bepergian, aku tak bisa tidur sendirian pada malam hari. Dan setelah kami berpisah, aku sering menangis sampai jatuh tertidur, dan kupikir itu bukan karena aku kesepian, melainkan takut kalau-kalau terjadi sesuatu dan tak ada yang dapat menolongku.

Kini terjadi sesuatu, aku yakin sekali. Napasku tertahan, keringat dingin mengaliri dahiku. Aku terbujur membisu, berusaha mendengarkan.

Tapi aku tak mendengar apa-apa. Lampu di dekat tempat sampah itu sudah mati kembali. Aku memandang ke arah lorong yang gelap. Sejenak kemudian terdengar suara berderit, angin meniup pepohonan.

Kau seperti orang tolol, kataku dalam hati. Mungkin itu hanya kucing Cal Paterson yang mengendus-endus tempat sampah. Aku mulai merasa tenang dan menghela napas perlahan.

Kemudian seorang laki-laki berkata dari arah pintu. ”Aku tahu,” katanya, ”Aku tahu, kau yang melakukannya.”

Orang tadi mendekat perlahan dalam kegelapan. ”Tolong,” bisikku, ”jangan sakiti aku.”

Sosok yang kurus, tinggi dengan wajah panjang dan pucat; matanya liar, berkilat dan angkuh. Ia mendekati kaki tempat tidur. ”Aku tahu kau yang melakukannya,” katanya lagi.

Aku menangis dan gemetaran. Aku yakin, ia pasti akan memperkosa atau membunuhku.

Tapi ia berhenti tepat di ujung tempat tidur. Senyum yang menyebalkan terkembang di bibirnya.

”Aku hanya ingin memastikan,” katanya. Suaranya berat dan terdengar tolol. ”Barangkali kau punya suatu rencana. Misalnya, barangkali kau pikir kau cukup pintar, dan ingin menyerahkanku ke polisi. Kau mengerti maksudku? Karena dari semula aku sama sekali tak suka rekayasa ini. Menyebalkan, tahu. Tapi sekarang kau tahu, kau tak bisa main-main dengan Durkheim. Tak bisa. Kalau aku dipenjara, kau juga. Aku akan menyeretmu juga.”

Aku tak mengerti maksudnya, tapi ia tak menyerangku sehingga aku merasa ada harapan. ”Tolong …,” aku berusaha berbicara.

”Ini,” katanya. ”Ini untukmu.” Ia melempar sesuatu ke arahku. ”Seperti perampokan, kan? Begitu, kan maumu? Bayar aku dan tutup mulut, dan segalanya pun beres.”

Aku kembali menatapnya. Ia menjauh dariku, kembali ke arah pintu kamar. Sejenak ia berhenti dan melihat ke arahku. ”Diamlah, jangan menangis! Tak ada yang menyakitimu. Yang penting kau tutup mulut, bayar, dan segalanya baik-baik saja.”

Aku terpaku melihat bayang-bayangnya menghilang. Seakan ia larut dalam kegelapan. Terdengar langkah-langkahnya menuruni tangga, melintasi ruang duduk di bawahku. Rasanya lama sekali, baru kemudian terdengar suara pintu belakang ditutup. Lampu spotlight nyala kembali. Kemudian mati. Aku tahu, laki-laki itu telah pergi.

Kuhempaskan napasku. Ada rasa nyeri menusuk bagian pinggang setelah ketegangan tadi mengendur. Aku pun berbaring kembali dan menangis. Menangis dan tertawa. Kupandangi sekeliling, seakan berkata pada benda-benda di sekitarku, ”Aku selamat! Wow. Aku selamat.”

Lima belas menit kemudian aku baru memperhatikan apa yang dilempar laki-laki tadi. Aku mengamatinya lekat-lekat, seakan itu benda dari angkasa luar.

Hanya sebentuk cincin. Cincin emas. Cincin kawin. Dan tentu aku sudah pernah melihatnya, bahkan sudah sering.

Cincin kawin milik suamiku.

Terbersit dalam pikiranku untuk meneleponnya. Saat itu juga. Namun setelah merasa lebih tenang, aku mulai berpikir. Aku tahu apa yang akan terjadi: Wanita itu akan mengangkat telepon. Wanita dengan rambut merah dan gaya. Kemudian akan terdengar suaranya bernada senang menerima telepon tengah malam dari Sang Istri Yang Tercampakkan. Bisa kubayangkan, ditutupnya telepon dengan telapak tangannya dan berbisik kepada laki-laki yang berbaring telanjang di sampingnya, ”Seperti tikus terperangkap, Sayang.”

Atau dengan nada seakan penuh pengertian, ”Jangan marah kepadanya, Len,” katanya kepada suamiku yang tanpa busana. ”Tentunya ini terlalu berat buat dia.” Sesuai dengan gayanya, seperti pelacur.

Aku menarik napas, memandangi cincin itu dengan perasaan hampa. Apa yang akan kulakukan seandainya aku wanita yang tegar, stabil dan mandiri?

Tentu akan menelepon polisi, begitu pikirku. Iya kan?

Dan bertepatan dengan itu, polisi meneleponku.

Aku terlonjak mendengar dering telepon di meja samping tempat tidur.

”Halo, apakah ini Vicki Pearson? Nyonya Leonard Pearson?” terdengar suara laki-laki muda. ”Nyonya, ini detektif Corey Zelman, dari Kepolisian Hendersonville.”

”Ya … ada apa?” Mengapa polisi meneleponku? Baru saja terlintas dalam pikiranku untuk menelepon mereka. ”Maaf …. apa?”

”Nyonya Pearson,” lanjut detektif itu, ”Maaf mengganggu Anda malam-malam, tetapi ada kabar buruk.”

”Maaf, saya tidak ….” aku menggeleng-gelengkan kepala, berusaha memahami apa yang dikatakannya.

Detektif itu kembali menjelaskan, ”Maaf, Nyonya Pearson, suami Anda terbunuh.”

Mereka menemukannya berkubang darah, mengenakan piyama sutera, di tempat tinggalnya di Hendersonville. Ia berada di ruang kerja, duduk tegap di kursinya, di bawah lampu baca. Di sampingnya tergeletak vas dengan bunga tulip segar di atas meja marmer kecil yang kubeli bulan April lalu. Leonard Pearson, kata mereka, ditembak mati di kepala. Meski darah menodai tubuhnya, ia masih tetap terlihat glamor, dikelilingi benda-benda berharganya. Terbayang olehku headline surat kabar yang memberitakan kematiannya. Pakar Pasar Modal Ditemukan Terbunuh. Jutawan Muda Tertembak Mati. Pengusaha Real Estate … Oh, surat kabar selalu menulis apa saja tentang dia.

Tetapi malam itu —atau menjelang dini hari— di kamar mayat ia tak lagi terlihat glamor. Detektif muda tadi —Zelman— membawaku untuk mengidentifikasi jenazahnya karena aku masih berstatus sebagai istrinya. Len terbaring telanjang berselimut plastik. Wajahnya tampak tenang. Ia terlihat seperti laki-laki yang kunikahi 21 tahun lalu, dengan tulang pipi yang gagah dan berkelas serta alis yang lebar namun lembut. Dan juga dagunya yang khas. Aku masih ingat, seorang teman menunjukkan fotonya kepadaku, dan dalam hati aku berkata, ”Ya, aku mau kencan dengannya.”

Aku mengangguk ke arah detektif, berusaha menahan air mata, ”Ya, memang benar, itu dia.”

Ketika detektif Zelman membimbingku keluar dari kamar mayat menuju rumah sakit, wanita itu ada di sana. Gloria. Ia duduk di kursi plastik, menelungkupkan tangan di wajahnya. Pundaknya berguncang karena tangis. Terlintas dalam pikiranku, untunglah aku mengenakan gaun bergaris abu-abu rancangan Donna Karan. Aku mengambilnya dari laundry kemarin, membuatku terlihat segar dan ramping. Kutengadahkan daguku.

Gloria mengangkat kepala ketika aku melintasinya. Ia pun berdiri dan menyodorkan tangannya kepadaku.

”Oh, Vicki,” katanya.

Tapi aku tak menanggapinya. Tak bisa.

Detektif Zelman membimbingku melintasi meja pendaftaran, menuju kursi tunggu.

Detektif Zelman seperti koboi, tinggi dan gagah, dengan kemeja berkancing dan sepatu boot lancip. Rambutnya yang pirang dibiarkan agak gondrong dan shaggy, matanya yang biru membuatnya terlihat baik hati, dan ia memang benar-benar baik hati. Ia duduk di tepi meja sembari mengayun-ayunkan sebelah kakinya. Matanya menatapku yang duduk dengan gelisah di kursinya. Dengan penuh perhatian ia mendengarkan penjelasanku tentang laki-laki yang masuk ke rumahku.

”Ia menyebutkan namanya –mengandung huruf D– aku tak begitu ingat….”

”Tak apa, nanti juga ingat. Dan dia bilang pembunuhan itu dilakukan sedemikian rupa supaya terlihat seperti perampokan, kan?”

”Ya, kira-kira begitu. Aku tak tak terlalu ingat. Aku takut sekali.”

Seorang detektif lain –MacGowan— pendek dan gemuk, bersandar di dinding sambil meneguk kopinya. ”Suami Anda punya musuh?” tanyanya.

Aku tertawa.

Zelman tersenyum dan menganggukkan kepala. ”Pertanyaan konyol, Jake.”

”Durkheim,” tiba-tiba terlintas dalam ingatanku. ”Itu namanya.”

”Durkheim?” tanya Zelman. Ia sedikit mendekat ke arahku. MacGowan berdiri tegap, tak lagi bersandar.

”Ya,” sahutku. Aku merasa gugup, bergantian memandangi kedua laki-laki itu. ”Dia bilang … jangan main-main dengan Durkheim.”

”Cocok,” kata Zelman kepada MacGowan yang menganggukkan kepala.

”Kenapa?” tanyaku. ”Siapa Durkheim?”

Zelman menghela napas panjang. ”Durkheim itu pembunuh.”

Tentu saja selanjutnya banyak reporter datang. Rasanya beberapa bulan belakangan ini kerjaku hanya meladeni para reporter itu. Aku bahkan mulai mengenal beberapa di antara mereka.

”Tapi Nyonya Pearson, kalau Anda tak mau bicara, bagaimana kami bisa menulis cerita dari sudut pandang Anda?”

”Tapi Nyonya Pearson, masyarakat berhak tahu ceritanya.”

”Tapi Nyonya Pearson, ini merupakan berita penting!”

Brengsek! Pekerjaan mereka hanya mengejar-ngejar aku ketika suamiku meninggalkanku. Salah satu dari mereka bahkan bersembunyi di bak sampah agar dapat memotretku dengan pakaian rumah; satu lagi berteriak di jendela rumahku, ”Anda mau merebutnya kembali?”

Memang, masyarakat berhak tahu. Akhirnya aku pun meninggalkan rumahku. Seharusnya aku tetap tinggal di Hendersonville. Pengacaraku, Abel Hirsch, mengatakan, tak baik kalau aku meninggalkan tempat itu, apalagi menjelang sidang kasus perceraianku. Namun aku tak sanggup dikelilingi para reporter yang ingin tahu soal perkawinanku.

Itulah sebabnya mengapa aku pindah ke Hillside, menempati rumah kecil yang menghadap sungai. Ini merupakan daerah tempat tinggal para seniman terkenal dan para eksekutif muda. Tak seorang pun mengenalku.

Menyebalkan, akhirnya pers menemukan juga persembunyianku.

Mereka berkerumun di kantor polisi ketika aku berbicara dengan Detektif Zelman. Ada ratusan wartawan. Ketika Detektif Zelman membawaku keluar hendak mengantar pulang, para pemburu berita itu mulai berteriak.

”Apakah Anda tertuduh, Nyonya Pearson?”

”Apakah Anda menuduh Gloria Taylor?”

”Berapa banyak warisan Anda?”

Dan kemudian, beberapa di antara mereka memanggilku dengan kata-kata kotor, berharap agar aku menoleh sehingga bisa memotretku. Tapi aku sudah berpengalaman. Aku berjalan lurus, sementara Detektif Zelman dan mitranya mengawalku menuju mobil mereka.

Pada hari yang sama mereka menahan Durkheim. Ia tinggal di Pinewood. Menurutku, aneh. Tempat itu merupakan daerah pinggir kota berkelas menengah dan cukup terpandang. Kata mereka, Robert Durkheim memang cukup terpandang. Ia memotong rumput di halaman rumahnya setiap minggu. Setiap hari ia berangkat kerja dengan jas dan berdasi. Kadang-kadang ia bahkan membuat barbekyu di halaman rumahnya walau tak seorang tetangga pun pernah diundangnya. Beberapa wanita di kompleks Pinewood merasa, wanita yang tinggal bersamanya, Melly —Amelia Griffin— bukan istri sahnya. Namun sekarang ini tinggal dengan wanita yang bukan istri sah tak dianggap sebagai tindak kriminal. Para tetangga cukup terkejut melihat polisi mendatangi rumah laki-laki itu.

Aku sudah membaca beritanya dan melihat siaran televisi juga. Namun aku gemetar mendengar bahwa Detektif Zelman mendobrak pintu dengan menyorongkan senjata. Wanita itu, Amelia, mengunci diri di kamar mandi dan menembakkan senjata menembus pintu. Peluru itu menyambar telinga Zelman. Sekitar lima menit Zelman berusaha membujuk wanita itu agar menyerahkan senjata kekasihnya dan memintanya keluar.

Sementara Durkheim sendiri mereka temukan tengah dengan tenang berbaring di tempat tidurnya di lantai atas. Ia hanya memakai celana dalam sambil merokok.

Keesokan paginya, ketika bangun tidur, terlihat wartawan di mana-mana. Terpaksa harus kucabut saluran telepon dan menjauh dari jendela. Aku tak mau membuka pintu karena mereka menyamar sebagai pengantar bunga atau tukang pos. Zelman dan MacGowan terpaksa menggedor-gedor pintu dan berteriak di jendela kamar mandi sampai aku mengenali suara mereka.

”Maaf, mereka menyebalkan,” kataku. Aku tergagap dan kebingungan. Kulitku berbintik-bintik dan mataku bengkak akibat menangis. ”Di belakang …” aku mempersilakan mereka masuk, ”ada ruang di mana mereka tak bisa melihat kita.”

Aku duduk di kursi dengan gugup, semetara Zelman duduk di lengan kursi. MacGowan berdiri di samping televisi.

”Maaf,” kataku lagi sambil meremas-remas jemariku. Aku mengalihkan pandangan dari karpet ke wajah Zelman yang terlihat sedih. ”Aku tahu kalian sibuk, tapi, bisakah kalian mengusir mereka? Maksudku, para wartawan.”

Sejenak semua terdiam. ”Mungkin itu sulit dilakukan,” kata Zelman perlahan. ”Kami menangkap Durkheim tadi malam.”

”Ya,” kataku. ”Aku melihat di televisi dan membaca di koran pagi ini juga.”

”Saya mencoba menelepon Anda tapi tak diangkat.”

”Ya, para wartawan itu … maaf.” Aku tersenyum kecut. ”Aku terus-menerus mengatakannya.”

Detektif Zelman merundukkan kepalanya. ”Nyonya Pearson, satu hal mengenai Durkheim…”

”Ya. Dia pembunuh. Aku tahu itu.”

”Ya, tapi ia tak punya motif. Anda mengerti maksud saya?” Dan ketika aku menggelengkan kepala, ia pun menjelaskan. ”Ia pembunuh bayaran, Nyonya Pearson.”

Sejenak aku berpikir dan mulai mengerti. ”Maksudnya, kalian belum menangkap siapa yang menyuruhnya? Orang yang menghendaki kematian suamiku?”

”Benar,” jawab Zelman.

”Belum,” geram MacGowan.

”Well… mungkin kalau kalian tanya Durkheim…. Mungkin kalau kalian tawarkan sesuatu …. Mungkinkah?”

”Betul.” Zelman berdiri tegap. ”Sudah, Nyonya Pearson. Kami tawarkan penjara seumur hidup, bukan hukuman mati.”

Saat itu, aku terasa melayang. Seperti ada lubang di udara, sehingga warna oranye bunga pada kain kursi bermotif terlihat memudar dan hijau daunnya memucat. Kepalaku berkunang-kunang.

”Durkheim mengaku,” kata Zelman. ”Ia ungkapkan semua.”

”O ya?” tanyaku dengan nada suara yang tiba-tiba meninggi dan menegang. ”Siapa? Siapa yang membayarnya?”

Zelman menghela napas perlahan. ”Katanya, Anda, Nyonya Pearson.”

Saat pengacara tiba, perasaanku hancur berkeping-keping. Dengan baju penjara, di kursi besi, tanganku tergeletak lemas di pangkuan. Ada sesuatu yang membangkitkanku ketika kulihat Abel Hirsch masuk, tetapi kemudian ia memperkenalkan koleganya, Robert Winchell. ”Ia ahli dalam urusan kriminal,” jelasnya.

Siapakah pembunuh Leonard Pearson?

Saat pengacara tiba, perasaanku hancur berkeping-keping. Dengan baju penjara, di kursi besi, tanganku tergeletak lemas di pangkuan. Ada sesuatu yang membangkitkanku ketika kulihat Abel Hirsch masuk, tetapi kemudian ia memperkenalkan koleganya, Robert Winchell. “Ia ahli dalam urusan kriminal,” jelasnya.

Kedua pengacara duduk di hadapanku. Wajah Abel yang begitu kukenal terlihat cerah dan bersahabat. Sementara wajah Winchell yang tampan terlihat berkerut di dahi karena banyak berpikir. Ia mengajukan beberapa pertanyaan standar padaku dan aku menjawab dengan anggukan dan gumaman.

Kemudian ia menyatukan tangannya perlahan dan berkata, “Ceritakan apa yang terjadi, Nyonya Pearson.”

Aku mencoba mulai bercerita, namun tiba-tiba aku merasa hancur lebur, terasa nyeri di dada. “Ya Tuhan,” desahku. Aku bahkan tak bisa menangis.

“Vicki ...” Abel meletakkan tangannya di pundakku.

“Oh,oh,oh,” aku menahan sakit. Tak sanggup aku menghentikannya. Aku tak pernah berlagak tegar. Namun apa yang terjadi padaku hari itu .... Borgol ñ mereka menggiringku dari rumah dengan kedua tangan di borgol dibelakang. Dan para wartawan tak berperasaan itu menjepretkan kamera ke arahku.

Aku dimasukkan ke dalam mobil. MacGowan mengemudi sementara Zelman duduk di sampingku. Kami membisu hingga akhirnya Zelman dengan pandangannya yang seakan penuh pengertian itu berkata, “Apakah Anda ingin membicarakannya?” Seakan ia ingin membantu padahal ia ingin memenjarakanku.

Akhirnya sampailah di penjara. Petugas dengan kasar menekan jemariku ke bantalan tinta. Kemudian petugas wanita dengan suara keibuan berkata, “Buka baju, aku akan memeriksamu, Sayang.” Dengan manis ia menenangkanku, tak ada gunanya marah dan memberontak.

Dan terakhir, aku dimasukkan sel. Akupun merasa remuk redam. Aku berteriak saat pintu besi ditutup. Berlutut, memohon agar mereka mau menunggu sampai pengacaraku datang dan menjelaskan segalanya. Kukatakan, aku mau melakukan apapun asal aku boleh keluar.

Kini aku tak dapat mengucapkan sepatah kata pun. “Minum ini,” Abel menyodorkan segelas air. “Mungkin bisa membuatmu lebih baik.”

Konyol. Tapi kuminum juga, dan memang aneh, aku merasa lebih baik. Sekali lagi kuteguk air itu sampai habis, kemudian bersandar di kursiku. Winchell memandangku. Setelah menarik napas dalam-dalam, aku pun mengangguk siap. Dengan nada sama seperti sebelumnya, ia berkata, “Sekarang, ceritakan apa yang terjadi, Nyonya Pearson.”

Aku pun mulai bercerita.

Kuceritakan sebisaku. Tentang Durkheim yang masuk ke rumahku, dan segala yang terjadi setelah itu. Selesai mendengarkanku, ia menengadah dan menghela napas. Bahkan Abel pun menunggu kata-kata yang keluar dari mulut Winchell, seakan semua harapan tertumpu pada apa yang akan meluncur dari bibir laki-laki itu. Perlahan ia berbicara, seakan aku tak mengerti bahasa yang digunakannya.

“Kata Durkheim kau membayarnya.”

“Gila …! Kenapa juga aku melakukannya!”

“Nyonya Pearson, Anda mewarisi aset bernilai jutaan dolar. Kalau suami Anda masih hidup dan menceraikan Anda, maka itu tak akan terjadi. Motifnya cukup kuat.”

Aku menggelengkan kepala. “Aku tak mengerti. Ada apa sih sebenarnya? Kenapa ia bilang begitu?”

“Katanya Anda bayar dia 21.000 dolar. Tunai.”

“Kau bicara seakan-akan aku memang melakukannya!”

“Maksud Anda, Anda tak membayarnya?”

“Demi Tuhan, 21.000 dolar? Abel mengurus uangku, ia yang membayar semua tagihanku.” Aku menoleh ke arah Abel, memohon bantuannya. “Aku tak punya uang 21.000 dolar sejak berpisah dengan suamiku, kan?”

Abel menunduk, tak berkata apa-apa.

Winchell berkata, “Anda yakin, Nyonya Pearson?”

“Well, aku …” aku berhenti berbicara. Aku ingat sesuatu. “Maksudmu bukan tabunganku, kan? Aku punya tabungan sejak sebelum menikah, tapi tak seberapa.”

“Seminggu lalu ada 21.742 dolar 50 sen dalam tabungan itu. Tepat angkanya,” ungkap pengacara itu dengan tenang.

Kupandangi laki-laki itu. Bibirku bergetar. “Dan sekarang?”

“Sekarang kosong.”

“Tidak.”

“Kosong.”

“Tapi aku … tak mengambilnya.”

“Ada tanda tangan Anda pada slip penarikannya.”

“Tak mungkin! Aku tak menandatanganinya.”

“Ada saksi. Pegawai bank. Katanya ia biasa melayani Anda dan mengenal Anda. Ia yakin Andalah yang menarik tabungan itu.”

Aku berusaha berbicara namun tak ada kata-kata yang keluar.

“Ada rekaman telepon juga. Tiga kali sambungan telepon ke nomor Durkheim dari rumah Anda. Mestinya Anda gunakan telepon umum.”

“Tapi aku tidak …,” aku berusaha keras menahan air mata yang mulai merebak. “Aku tidak…”

“Kata Durkheim Anda meneleponnya. Dan tak ada gunanya ia berbohong, Nyonya Pearson. Ia toh akan dihukum mati.”

Aku terduduk tegak. “Hukum mati…” gumamku.

“Ya, hukum mati,” kata Winchell dengan nada dingin. “Mungkin disuntik mati. Tetapi mereka menundanya, hukuman itu untuk Anda.”

Akhirnya, kita harus menyerah terhadap hukum. Seperti anak kecil yang tak kuasa mempertahankan diri. “Buka bajumu, kami akan memeriksamu, Sayang. Kami akan mengikatmu dan mematikanmu.” Seperti anak kecil, berharap bisa melarikan diri namun tak mampu. Dengan uang jaminan aku pun diizinkan pulang tetapi seakan penjara itu mengikutiku ke rumah.


Selama lebih dari 6 bulan aku pun terkatung-katung. Hari demi hari, meeting demi meeting. Lingkup kehidupanku semakin menyempit. Aku hanya menunggu kabar dari Winchell. “Kabar baik,” begitu katanya, walau aku tak mengerti urusan hukum, dan secercah harapan timbul. Atau mungkin juga ia akan mengatakan, “Maaf, Vicki,” dan aku pun tinggal menunggu hukuman mati.

Kami duduk dan mengulas kembali kesaksianku. Aku berusaha mati-matian untuk meyakinkan bahwa aku berkata jujur. Namun sikap skeptisnya tetap melekat.

Peristiwa-peristiwa lain berjalan sebagaimana mestinya. Pemakaman Leonard, misalnya. Pidato pendeta yang membosankan, tangis Gloria yang meraung-raung. Di pemakaman helikopter pers yang terbang terlalu rendah menerbangkan rok Gloria hingga ke atas lutut. Keesokan harinya terpampang fotonya itu di surat kabar. Ada banyak foto Gloria. Foto-foto masa lalunya sebagai model dengan pakaian renang, juga saat makan malam dengan gaun mewah dalam pelukan pengacaranya. Kesempatan emas untuk kariernya dan ia memanfaatkannya. Sebagian juga merupakan usaha mendapatkan uang Leonard. Ia mengajukan tuntutan untuk mendapat sebagian warisan yang jatuh kepadaku dan ia berusaha agar publik mendukungnya. Tetapi pengadilan tak memenuhi tuntutan itu dan akhirnya Bob Winchell berhasil mengusahakan agar Gloria mendapat seperempat juta dolar.

Aku menolak interviu. “Biar Gloria saja yang muncul di televisi seperti orang tolol,” kata Bob. “Kau istri yang baik dan setia, dan kau masih berduka-cita.” Kami sepakat, aku harus berperan demikian. Aku memang banyak menangis, walau aku tak tahu apakah tangisku itu untuk Leonard atau bukan. Sebentar lagi sidang dimulai. Memalukan dan menakutkan.

Sidang pun dimulai. Begitu banyak wartawan, lebih daripada biasanya. Perutku terasa mulas. Inilah saatnya. Sementara Bob dan penuntut berdebat dengan juri, aku duduk mendengarkan. Sesekali kulirik arlojiku.

Bagaimana mungkin seseorang bisa merasa jemu dengan sidang yang akan menentukan hidupnya?

Segalanya berubah ketika Durkheim mulai bersaksi.

Di mimbar saksi, pundaknya naik turun di balik jas murahannya, terlihat sama seperti ketika ia memasuki rumahku. Berbahaya dan berbisa.

“Pertama kali ia menelepon kira-kira tanggal 5 Juni,” katanya. “Seminggu sebelum pembunuhan. Katanya ia dapatkan nomorku dari majalah Adventurer. Aku pernah memasang iklan di sana.” Suaranya terdengar berat. “Ia memintaku membunuh suaminya, Leonard Pearson. Aku pun setuju.”
Penuntut pun mengajukan pertanyaan. “Kau setuju dengan bayarannya?”

“Semula kami sepakat, ia akan membayarku 25.000 tetapi keesokan harinya ia menelepon, katanya ia hanya punya 21.000, dan aku pun setuju.”

“Apakah kau bicara dengan wanita itu lagi?”

“Ya, sehari sebelum pembunuhan, ia menelepon untuk menjelaskan bagaimana pembayarannya.”

Sejenak sepi, penuntut memutar rekaman telepon sebagai bukti. Aku duduk tegak, menatap Durkheim. Perlahan aku menoleh ke arah para juri yang mendengarkan dengan penuh rasa penasaran. Bisa-bisa mereka mempercayainya. Bisa-bisa mereka menyimpulkan bahwa semua itu benar. Dan kemudian mengikatku dan memberikan suntikan yang mematikan itu, yang mencabut nyawaku.

“Bagaimana pembayaran itu dilakukan?”

“Katanya ia akan menaruhnya di stasiun lama, di tempat surat kabar. Ia membayar setengahnya dahulu, sisanya setelah selesai dilakukan. Jadi aku tak melihatnya.”

“Jelaskan, Mr. Durkheim,” kata jaksa. “Apakah prosedur transaksi memang demikian?”

“Tidak, seperti … seperti di televisi,” kata Durkheim. “Dia tak mau menyerahkan langsung uangnya ke tangan saya. Sebetulnya saya tak suka cara ini karena saya kan tak tahu siapa dia. Bagaimana saya bisa yakin kalau ia akan membayarkan sisanya? Atau, bagaimana kalau ternyata dia polisi? Itulah yang saya khawatirkan.”

“Lalu, apa yang Anda lakukan, Mr. Durkheim?”

“Saya mengintainya di stasiun, malam sebelumnya. Dan memang benar, sekitar pukul 2 dini hari ada mobil bagus mendekat. Saya curiga, mungkin inilah orangnya. Mobil berhenti, pengemudinya turun. Ia menuju tempat surat kabar dan meletakkan kantung di situ. Kemudian ia kembali ke mobilnya dan pergi.”

“Apa yang selanjutnya Anda lakukan, Mr. Durkheim?”

“Saya ikuti dia,” kata Durkheim. “Pulang ke rumahnya.”

“Apakah Anda mencatat mobil dan nomor polisinya?”

“Ya, saya mencatatnya di buku catatan.” Buku itu sudah dijadikan barang bukti, penuntut menyodorkannya kepada Durkheim dan iapun membaca. “Mercedes berwarna cokelat dengan nomor polisi 300CE Jersey PUL-972.”

Itu mobilku, nomor polisi mobilku.

“Dan di mana alamatnya?”

“1163 Palisades,” katanya.

Alamatku.

Ini berlangsung berhari-hari. Durkheim menceritakan secara rinci bagaimana ia membunuh Leonard, bagaimana ia menembak dan bagaimana buku Leonard terjatuh dari tangannya. Diceritakan juga bagaimana ia bersusah payah melepas cincin dari jarinya. Kemudian diceritakan pula tentang kedatangannya ke rumahku dan ancaman yang dilontarkannya. Begitu bangga. Akhirnya ia bercerita tentang penangkapan dan mengapa ia memutuskan untuk mengakui perbuatannya agar ia bebas dari hukuman mati.

Kemudian giliran Bob Winchell mengajukan pertanyaan. Ia mendesak agar Durkheim mengakui bahwa ia tak pernah benar-benar melihat wajah wanita yang mengemudikan mobilku. “Bisa saja orang lain, kan?” teriak Bob. Tetapi Durkheim menggelengkan kepala dan memandangku. “Tidak. Memang dia orangnya.”

Namun sesuatu berubah dalam diriku. Aku sadar, semua ini kejadian nyata. Aku pun bangkit, harus bertindak! Harus kuhentikan semua ini!

Malam itu, aku berjalan mondar-mandir di dalam rumah, memikirkan apa yang harus kulakukan. Aku harus, aku harus ….

Tiba-tiba muncullah hal yang sangat konyol dalam pikiranku.
Kudatangi rumah Durkheim. Alamatnya disebutkan di surat kabar, lengkap dengan gambar rumahnya

Aku mendatanginya suatu malam setelah sidang. Aku ingin bicara dengan Amelia. Kupikir dialah satu-satunya yang bisa berbicara dengan Durkheim. Aku harus bertindak.

Di depan pintu tertulis Keluarga Durkheim. Ditengah pintu dipasang kupu-kupu keemasan. Kupegang pelan-pelan kupu-kupu itu dan bel pun berbunyi. Terdengar langkah-langkah mendekat. Disibakkannya gorden untuk melihat siapa yang datang. Sejenak kemudian pintu dibuka.

Amelia Griffin menodongkan pistol di sisi hidungku.

“Brengsek,” katanya, “kubunuh kau.”

Ia menggiringku masuk ke dalam rumah dan membanting pintu. Darah mengucur dari hidungku. Kutelungkupkan tanganku di hidung dan darah pun mengalir ke telapak tanganku.

Kami berdiri di bawah lampu yang bergantung di langit-langit. Ia berdiri di belakangku. Aku sedikit menoleh.

“Bisa minta tisu?”

“Diam, brengsek. Kubunuh kau. Kalau kubilang kau mendobrak masuk ke rumahku, orang akan percaya.”

Darah mengalir ke daguku.

“Masuk,” perintahnya.

Diarahkannya senjata tadi ke ruang duduk. Samar-samar terlihat sofa bermotif bunga, sesuai dengan kursi di sampingnya. Sekali lagi ia mengayunkan senjatanya, “Sebelum kubunuh kau, mau apa kau kemari?”

“Aku mau bicara denganmu,” jawabku. “Aku berdarah.”

“Mau bicara apa? Ayo cepat sebelum kubunuh kau.”

“Aku ingin tahu, kenapa suamimu, Mr. Durkheim mengatakan bahwa aku menyuruhnya, padahal tidak?Ia tertawa keras. Aku melirik senjata di tangannya. Ajaib, aku sama sekali tak merasa takut. Sidang-sidang yang menakutkan itu sudah membuatku kebal.

“Kau tak tahu,” katanya berat. “Aku tahu di mana kau tak bisa berdiri tegak di rumahmu sendiri sementara lalat merayapimu dan kami makan lempung ketika bayi lahir. Lempung!”

Siapakah pembunuh Leonard Pearson?

Aku menatapnya. Sama sekali tak mengerti apa yang dibicarakannya.
”Ah!” katanya. Ia berbalik cepat dan berkata, ”Aku rela mati demi Durkheim.”

”Oh .…”

”Kau pikir aku tak akan membunuhmu?”

”Tidak. Maksudku ya, tapi aku harap ….”

”Aku rela mati demi Durkheim,” katanya lagi. ”Dan kau membuatnya meringkuk di penjara gara-gara suamimu? Kau pikir apa yang akan kulakukan?”

Aku tak yakin mesti menjawab apa, apakah mati atau bunuh aku. Karenanya kucoba untuk mengulur percakapan. ”Itulah sebabnya mengapa aku ingin bicara denganmu. Aku tak pernah meneleponnya. Aku bahkan tak pernah tahu tentang dia.”

Ia menekan senjatanya keras-keras di payudaraku.

”Ow!” aku mundur.

”Maksudmu dia berbohong?”

”Ow! Tidak. Aku tak tahu.”

Amelia meludah. ”Tolol, kau. Untuk apa dia berbohong? Kenapa? Kalau kau tak meneleponnya, untuk apa dia mendatangi rumahmu?”

Air mataku merebak, kulihat wajahnya yang penuh dendam. Terasa darah mulai mengering di daguku, membuat rahangku terasa kaku.

”Betul, tak masuk akal ya?”

”Keluar,” perintahnya. ”Keluar sebelum kubunuh kau.”

Terbatuk-batuk, sambil mendekap dada, aku keluar.

Bob Wichell mengangkat tangan tinggi-tinggi kemudian menjatuhkannya ke pangkuan, menimbulkan suara keras. ”Bagus! Bagus!” Kami berada di kantornya. Aku meneleponnya, meminta bertemu dengannya sebelum sidang dimulai kembali. Kurasa ia perlu tahu apa saja yang terjadi. Ia berjalan cepat ke arah jendela, kepalanya menengadah menatap langit biru pagi itu. ”Bagaimana sih kau ini? Kau tahu, juri akan berpikir apa kalau tahu apa yang kau lakukan? Griffin pasti memberitahukan Durkheim mengenai kedatanganmu dan kalau jaksa penuntut tahu akan menggunakan informasi tersebut…”

”Aku mendatanginya hanya untuk bicara,” jelasku setegas mungkin.

Ia mengangguk. ”Ya, ya … pengacara tak akan suka melihat luka itu…” Ia memandangku, terlihat putus asa. ”Mungkin kalau juri melihatnya mereka akan berpikir kau mencoba bunuh diri dan merasa kasihan kepadamu.”

”Entahlah. Amelia Griffin lebih mengenal Durkheim daripada siapapun. Dan ia mengatakan sesuatu yang sangat penting. Katanya tak masuk akal kalau Durkheim berbohong. Tak masuk akal, Bob. Untuk apa ia berbohong?”

Ia tertawa. ”Oh, itu informasi yang sangat penting, berguna bagi kita. ‘Bapak-bapak dan ibu-ibu, saya sampaikan bahwa saksi yang diajukan penuntut tak mungkin berdusta, jadi tentulah beliau mengungkapkan yang sebenarnya. Karena itu, bunuhlah klien saya. Terima kasih.’”

”Tapi, Bob, kalau dia tak berbohong —dan kalau aku tak berbohong— berarti ada orang lain yang membawa uang itu ke stasiun malam itu. Maksudku, seseorang yang berpura-pura sebagai aku….”

Tapi ia sudah tak tertarik lagi. Dijatuhkannya tubuhnya di kursi sambil menghela napas.

”Well, bisa saja seperti itu, kan,” kataku lirih.

"Sebutkan nama lengkap Anda,” kata juru sita.
”Terence Wile.”

Juru sita mundur dan penuntut menuju tempatnya.

”Mr. Wile, bisakah Anda sebutkan apa pekerjaan Anda?”

”Saya pegawai akunting di Essex County Bank.”

Aku mengenalinya. Ia pria yang tampan, seperti bintang film. Dengan setelan jas yang kelihatannya terlalu mahal untuk ukuran pegawai dengan gaji rendah, ia terlihat rapi dan kekar.

Penuntut menunjuk ke arahku. ”Anda kenal wanita itu, Mr. Wile?”

Aku duduk tegak dan menatapnya. Lukaku terasa pedih.

Wile memandangku sekilas dengan mata birunya. ”Ya, Pak, saya mengenalnya,” sahutnya. ”Itu Victoria Pearson. Nasabah di bank kami.”

”Anda sering membantu Mrs. Pearson?”

”Tidak sering, tetapi saya membantunya waktu beliau membuka account baru sekitar dua bulan lalu waktu beliau pindah ke sini. Saya menyapanya ketika beliau masuk. Saya membantunya juga ketika beliau menutup account-nya.”
”Oh, begitu. Kapan itu terjadi?”

”Tanggal sepuluh Juni.”

”Anda ingat tanggalnya?”

”Berkali-kali saya ditanya mengenai itu – saya sudah mengeceknya. Tetapi ingatan saya cukup baik.”

Bob menyatakan keberatan atas keterangan mengenai ingatan tersebut namun ditolak oleh hakim. Penuntut meneruskan bertanya, ”Mr. Wile, bisakah Anda mengingat kembali hari ketika Nyonya Pearson menutup account-nya? Apa yang Anda ingat?”

”Nyonya Pearson datang dan duduk di meja saya. Saya ingat, beliau terus menunduk. Saya tak menatapnya karena dari berita-berita saya tahu beliau sedang menghadapi persoalan - saya tak ingin mempermalukannya. Katanya, beliau ingin menarik semua uangnya. Lebih dari 21.000 dolar. Anehnya, beliau minta, setengah dari jumlah tersebut dalam bentuk tunai.”

”Beliau meminta lebih dari 10.000 dolar tunai?” si penuntut menekankan.

”Ya, katanya, beliau akan membeli perlengkapan komputer dan akan lebih murah jika dibayar tunai.”

”Oh, begitu. Apakah itu aneh?”

”Tentu saja.”

”Mr. Wile, apakah Anda yakin bahwa Nyonya Pearson lah yang mendatangi Anda?”

Laki-laki itu memandangku sejenak. ”Ya,” katanya. ”Beliau bahkan mengenakan baju yang sama seperti hari ini.”

Semua orang dalam ruang sidang menoleh ke arahku. Aku mengenakan gaun garis abu-abu rancangan Donna Karan.

Jaksa penuntut melanjutkan. Terence pun terus memberikan kesaksian. Sementara aku memikirkan tentang gaunku, teringat waktu aku mengenakannya ke kamar jenazah dan bersyukur karena mengenakan baju yang terlihat glamor itu saat bertemu Gloria.

Perlahan aku mengangkat kepala, menoleh ke arah Bob yang duduk di sampingku. ”Apa?” bisiknya.

Kubasahi bibirku. Di telinganya kubisikkan: ”Gaun ini ada di laundry pada hari itu.”

Aku menunggu hasil pemeriksaan keterangan Wile. Detektif swasta itu, Bob, menjalankan langkah demi langkah dengan hati-hati. Ia menunjukkan kepada juri bon laundry. Juga bon sebuah wig hitam yang ditata menyerupai potongan rambutku. Wig itu diketemukan di antara barang-barang milik Gloria di rumah di Hendersonville. Pegawai laundry mengaku bahwa ia disogok agar mau ‘meminjamkan’ gaun itu oleh wanita cantik yang mengenakan kacamata hitam dengan rambut merah berbando. Ketika akhirnya Bob memanggil Gloria untuk memberi kesaksian, aku hampir yakin diriku akan terbebas. Penantian yang terasa begitu panjang, ketidakpastian mengenai hidupku, semuanya begitu menyiksa.

Akhirnya pengecekan ulang dilakukan terhadap kesaksian Wile.

”Mr. Wile, Anda bersaksi bahwa wanita yang menemui Anda, yang menurut Anda adalah Nyonya Pearson, terus menunduk selama berbicara dengan Anda. Bagaimana Anda yakin kalau dia adalah Nyonya Pearson?”

”Well… benar, saya tak betul-betul melihat wajahnya. Tetapi rambut dan gaun yang dikenakannya sama.”

”Rambut dan gaun. Mungkin saja kan rambut itu wig, Mr. Wile?”

”Well, ya …, tapi …”

”Dan gaun itu – wanita lain juga bisa mempunyai gaun yang sama kan?”

”Ya, mungkin.”

”Apakah Anda pernah benar-benar melihat wajah Nyonya Pearson selama berbicara dengannya saat itu?”

”Well… saya tidak tahu. Seperti saya bilang, saya berusaha untuk tak menatapnya. Karena persoalan yang dihadapinya.”

”Benar,” kata Bob. ”Anda bilang begitu, kan?”

Bob terdiam sejenak, melihat catatannya. Terence Wile memandangnya. Pipinya memucat dan bibirnya gemetar. Ketika Bob mengangkat kepala, Wile berkata, ”Saya tak bermaksud buruk. Polisi bertanya apakah wanita itu beliau dan saya bilang ya. Maksud saya, saya tak tahu kalau saya harus benar-benar yakin tentang hal tersebut.”

”Keberatan!” kata jaksa penuntut.

Tetapi Terence Wile mengabaikannya, mengabaikan hakim, mengabaikan siapa saja. ”Maksud saya, kelihatannya aneh, kenapa beliau terus menunduk, sepertinya beliau menyembunyikan wajahnya.”

”Mr. Wile,” kata hakim.

”Saya harus bagaimana? Apa mesti bertanya, ‘Apakah Anda benar-benar Nyonya Pearson?’ Tak mungkin, kan?”

”Mr. Wile, saya tak menanyakan ….”

Laki-laki yang gugup itu menyeka mulutnya dengan tangannya yang gemetar. ”Saya takut. Sebelum inipun saya bertanya-tanya dalam hati, Apa betul, itu dia? Maksud saya, ini berkaitan dengan semua uang itu! Juga kemudian pembunuhan. Dan polisi pun mengajukan banyak pertanyaan. Saya tak bisa bilang ‘Oh ya, mungkin saya memberikan uang sebanyak itu kepada orang yang salah’ Saya berusaha meyakinkan diri bahwa wanita itu memang dia. Saya tak bermaksud berbohong.”

Tiba-tiba senyap.

”Cukup. Mr. Wile,” kata hakim tegas.


Kebisuan menyergap setelah Vicki Pearson selesai berbicara. Wartawan yang menginterviunya begitu gembira dikirim ke Italia selatan untuk menjalankan tugas itu. Ia tersenyum dan bertanya, ”Dan selanjutnya?”

”Aku divonis tak bersalah,” sahut Vicki sambil menyandarkan tubuhnya di kursi.

”Dan mewarisi ….” Si wartawan menunjuk vila dan pantai di hadapan mereka.

”Well ….” Kata Vicki, ”Leonard dan aku sama-sama membangun bisnisnya selama bertahun-tahun. Dan aku yakin, kalau ia masih hidup, ia pasti akan kembali padaku.”

”Apakah Anda kecewa karena Gloria tak menjalani hukuman?”

”Tidak. Aku yakin, dimanapun ia sembunyi, ia merasa tersiksa.”

Setelah wartawan itu berlalu, Vicki Pearson duduk sendirian di beranda dan memandangi pantai. Ia berusaha melihat kekasihnya di kejauhan namun laki-laki itu mengejutkannya dari belakang

”Sudah pergi?” tanyanya.

”Mmm,” sahut Vicki.

Diciumnya kepala Vicki, kemudian duduk disebelahnya.

”Aku tak mengerti kenapa kau mau bicara dengan mereka. Kau kan sebal dengan pers.”

”Aku tahu. Tapi aku juga suka,” jawab Vicki. ”Sekarang berbeda.”

Laki-laki itu menggodanya, menirukan gaya bicaranya kepada pers. ”’Aku sangat penakut! Suamiku meninggalkanku dan aku tak tahu apa yang mesti kulakukan!’”

”Oh, Terence, hentikan,” kata Vicki sambil tertawa. ”Itu memang benar.”

”Memang benar!”

”Ketika laki-laki itu, Durkheim, masuk ke rumahku, benar-benar menakutkan.”
”Pasti,” kata Terence. ”Itu satu-satunya hal yang mengejutkanmu. Lainnya sudah terencana.”

”Tidak. Bagaimana dengan perempuan itu, Amelia? Kau pikir aku berencana agar dipukulnya?”

”Tentunya tidak,” jawab Terence.

”Well, ada kejutan-kejutan diluar dugaan. Pasti kau sudah lama merencanakannya, sebelum ia meninggalkanmu. Mungkin bahkan sebelum ia bertemu wanita itu.”

Vicki menghempaskan pundak, ”Well, wanita itu bagian yang tak terhindarkan.”
Terence kembali meniru gayanya, ”’Jadi kuputuskan untuk menyuruh orang membunuhnya. Tapi aku pasti akan ditangkap, kan? Aku jelas-jelas sebagai tersangka satu-satunya. Perlu rekayasa. Aku tahu caranya! Biarkan mereka menangkapku, dan ketika semua orang yakin akulah pembunuhnya, kemudian terbukti bahwa aku dijebak!’”

Vicki mengayunkan tangannya, ”Terence, ssssttt.”

Dua kekasih itu duduk terdiam.

”Perjalanan yang panjang, Vicki,” gumamnya. ”Kau benar-benar berani.”

”Aku harus membuatnya sedemikian rupa. Kalau aku langsung menjebak Gloria, polisi dan pengacara akan langsung tahu bahwa ia dijebak. Dengan cara ini, setelah selesai maka persoalan benar-benar dianggap selesai. Tak terpikirkan oleh mereka untuk mengecek apakah aku membeli wig untuk dipakai ketika menyogok pegawai laundry, atau dari mana kau mendapat rujukan untuk bekerja sebagai pegawai bank. Kalaupun Gloria punya motif untuk membunuh, orang akan berpikir bahwa ia takut Leonard kembali kepadaku dan ia tak mendapat apa-apa.”

”Well, setiap kekasih punya motif, apapun bentuknya,” kata Terence. ”Coba lihat aku, aktor lugu yang dirayu memasuki dunia kejahatan.”

”Ya,” sahut Vicki. ”Dan betapa menderitanya kau, begitu kah?”

”Hei,” sahut Terence, ”Aku kan tak pernah mengeluh.”

”Tidak.” Vicki meletakkan tangannya di paha Terence. ”Kau luar biasa. Kau begitu sempurna.”

Vicki menatap pasir pantai. ”Segalanya begitu sempurna,” katanya. ”Benar-benar sempurna.”

No comments: