12.22.2010

The Second Chance Show

Aldi menatap halaman depan tabloid yang dipegangnya. Terpampang sebaris kalimat dengan tulisan besar yang mendominasi cover tabloid itu. ’Bintang Yang Redup Tahun Ini’.

Brukkk! Aldi langsung membanting tabloid itu ke lantai. Aldi menempati urutan pertama dalam daftar yang dibuat oleh para wartawan yang dianggapnya kurang kerjaan.

“Kenapa?” tanya Margi, yang sedang duduk di meja makan sambil mengetik di notebook-nya.
Aldi tidak langsung menjawab. Dia mengempaskan tubuh atletisnya yang terawat ke sofa empuk di sampingnya.

“Aku hanya merasa jadi pecundang terburuk di dunia,” ujarnya, kesal.

“Sebenarnya apa, sih, yang kau kesalkan?” tanya Margi, masih berkutat dengan notebook-nya.

Aldi mendadak bangun dari sofa empuknya dan mendekati Margi. “Masih nanya lagi! Aku muak dengan keadaan ini!” ucapnya, sambil menatap Margi kesal. Wanita cantik yang ditatapnya justru tidak menggubrisnya. “Margi! Aku seorang bintang baru yang bersinar! Aku adalah idola seluruh wanita! Wajahku terpampang di seluruh stasiun televisi setiap hari! Tetapi, sekarang apa? Sudah 6 bulan kau tidak mendapatkan pekerjaan yang memadai untukku! Tiap hari kerjaanku hanya syuting infotainment tanpa prestasi apa-apa.”

Margi menatap balik Aldi. Sosok pria muda di depannya memang rupawan. Sosok seorang bintang yang sempurna. Tinggi, atletis, tampan, sangat bergaya, memang sangat menggoda setiap orang yang menatapnya. Benar-benar membuat iri setiap pria dan membuat wanita tergila-gila.

“Kau manajerku!” ucap Aldi, marah. “Cari, dong, pekerjaan untukku! Kau pikir, aku tinggal di apartemen mewah ini tidak bayar! Kau pikir, pakaian yang kupakai tidak mahal! Aku adalah bintang, Margi. Aku berbakat dan konyol bagiku diberitakan di media, kalau popularitasku bakal surut!”

“Al, para produsen bukannya meragukan bakatmu. Tetapi, kau mematok bayaran terlalu tinggi. Bahkan, artis senior pun tidak ada yang mematok bayaran sepertimu,” bela Margi.

“Aku bukan mereka, Margi! Aku masih muda, berpendidikan, masa depanku cerah, fans-ku banyak! Aku tidak bisa disamakan dengan mereka!” Aldi tetap tidak mau kalah.

Inilah yang paling tidak disukai Margi dari sosok bintang muda di depannya. Sombong. Lima tahun Margi menjadi manajer Aldi sedari dia belum menjadi apa-apa hingga tenar seperti sekarang, tetap saja selalu meremehkan orang lain.

“Oke,” ucap Margi, sambil kembali mengutak-atik laptop-nya. “Hmm... ada tawaran dari sebuah event organizer agar kau jadi bintang tamu show-nya Silang Band.”

“Aku tidak mau!” tolak Aldi tiba-tiba, membuat Margi menatapnya heran. “Apa, tuh, Silang Band! Band nggak jelas! Kampungan! Makhluk-makhluk udik! Lagu mereka norak! Namanya saja norak! Baru tenar sedikit saja sudah gaya-gayaan pakai potong rambut poninya kepanjangan!”

“Aldi!” potong Margi. “Bukannya beberapa waktu lalu di infotainment kamu bilang kamu suka lagu mereka dan berteman baik dengan mereka.”

“Itu kan untuk basa-basi di media. Biar kelihatannya baik dan mendukung band-band kampung. Sori, ya, mereka tidak level sama aku!”

Margi hanya menggeleng-geleng.

“Kamu kan manajerku, cari order yang pantas, dong! Memangnya jadi artis nggak capek! Aku layak mendapatkan lebih daripada yang lain!” ucap Aldi, sambil berlalu menuju pintu.

“Kamu mau ke mana, Al?” tanya Margi.

“Pacaran!” jawab Aldi singkat.

Margi menarik napas melihat kepergian Aldi. Ditatapnya lusinan trofi yang tersusun rapi di lemari kaca yang menjadi pajangan mengagumkan di ruang tamu. Aldi Surya Pratama. Pria muda tampan berusia 27 tahun dengan prestasi tak terhingga. Bermula dari teman kuliah di jurusan broadcasting, Margi dan Aldi kemudian berteman dekat.

Saat itu, Aldi hidup mandiri karena berpisah dari keluarganya. Mulai dari jadi SPG hingga pelayan kafe, Aldi dan Margi menjalaninya bersama. Namun, perlahan tapi pasti, bintang Aldi makin bersinar. Dari sekadar model biasa hingga menjadi bintang iklan. Lalu, tawaran bermain sinetron dan film layar lebar mulai datang bertubi-tubi. Akhirnya, Margi mengakhiri karier modelnya yang saat itu memang masih amatir dan menjadi manajer Aldi yang sudah bisa diperkirakan akan bersinar.

Margi mengambil ponsel dari saku jinsnya dan menghubungi nama yang sudah dikenalnya dengan baik.

“Hai, Margi,” sapa orang yang dihubungi Margi.

“Halo juga, Ton,” ucap Margi. “Bagaimana kabarmu? Dengar-dengar sudah jadi produser senior, nih.”

“Kamu bisa saja,” balasnya. “Kebetulan saja di City TV lagi banyak buat acara baru. Jadi perlu banyak produser juga.”

Yang dihubungi Margi adalah Toni Hendrawan, seorang produser muda. Dia juga satu kuliah dengan Aldi dan Margi. Karier Toni cukup cemerlang di stasiun TV tempatnya bekerja. Dia terkenal kreatif dengan ide-ide gila, dan tidak heran dalam waktu singkat sudah menjadi produser senior.

“Ah, kau selalu rendah hati. Aku suka acaramu. Benar-benar gila!” puji Margi.

“Aku tidak gila, aku ini kreatif. Tetapi, tidak masalah. Orang gila dan kreatif memang sulit dibedakan,” canda Toni.

“Ha... ha... ha... kau bisa saja…,” ucap Margi, lalu percakapan terhenti sejenak, “Hmm….”

“Ada apa?” tanya Toni. “Kau bertengkar dengan Aldi?” tebaknya.

“Nggak, kok. Jangan menduga-duga. Mentang-mentang jadi produser infotainment, jadi sok mancing.”

“Ha... ha... ha… kalau kau tidak ingin kutanya sebagai teman, oke, akan kutanya kau sebagai manajer. Kamu mau order?” tanya Toni.

“Order apa? Main sinetron?” Margi balik bertanya.

“Ah, sinetron sudah ketinggalan zaman. Sekarang masanya reality show. Di mana-mana ada reality show,” jawab Toni.

“Maksudnya?”

“Aku punya konsep reality show baru. Proposalnya sudah disetujui direktur program. Aku hanya tinggal mencari tokoh utamanya. Kupikir Aldi cocok dengan peran ini.”

“Hmm... aku harus lihat konsepnya dulu.”

“Margi, percayalah padaku. Kau tahu kan reality show. Ada haru, ada senang, ada duka, ada tangis, kau pikir itu berjalan begitu saja? Tentu tidak, Sayang. Akulah dalangnya, akulah yang mempermainkan emosi jutaan penonton. Sebagai orang yang hidup di dunia entertainment, seharusnya kau tahu itu,” bujuk Toni.

“Terus terang, makin kau bersemangat, aku makin khawatir,” ujar Margi.

Margi tahu setiap order yang dia setujui adalah pertaruhan reputasi sang bintang. Pembentukan karakter sangat penting bagi citra seorang artis. Aldi yang tak tahu aturan terbentuk menjadi karakter pria manis dan sopan berkat sandiwara munafik yang diobralnya dari dialog sinetron hingga wawancara dengan wartawan infotainment.

“Oh, ya? Jadi, kau lebih khawatir menerima tawaranku daripada khawatir tidak sanggup membiayai hidup mewah sang bintangmu itu?”

“Ton, aku harus lihat dulu tawaranmu. Apa pun itu, harus kupikirkan baik-baik,” Margi tetap pada pendiriannya.
“Oke, Nona Manajer. Kita bertemu 2 jam lagi di tempatku.”

Suasana Breath Bar membuat Aldi merasa nyaman. Aldi melihat tubuh seksi Anggi bergoyang lincah di lantai dansa berbaur dengan para pengunjung yang menikmati musik yang disuguhkan DJ.

“Yuk, turun,” ajak Anggi, sambil berteriak, mencoba menembus bisingnya musik yang dimainkan DJ.
Aldi menggeleng. Kepalanya makin berat. Asupan alkohol membuatnya sulit bergerak, biarpun sekadar mengangkat kepala. Tenggorokan terasa pahit akibat menelan minuman keras bertubi-tubi. Aldi berusaha berdiri dan perlahan berjalan gontai menuju toilet. Aku harus muntah, ucapnya dalam hati. Jika tidak dimuntahkan, alkohol bisa membuat kepala dan perutnya sakit hingga pagi.

Aldi merasa ponsel di sakunya bergetar. Suara dering ponselnya sampai tidak terdengar tertelan bisingnya musik. Margi.

“Ada apa, Gi?” tanya Aldi.

Terdengar suara Margi sayup, namun jelas. “Kau di mana? Di tempat dugem, ya? Ke tempat sepi dulu, aku mau bicara.”

Aldi masuk ke dalam restroom pria. “Ada apa?” tanyanya.

“Aku sedang di City TV. Ada tawaran untukmu….”

“Berapa bayarannya?” potong Aldi.

“Bayarannya lebih besar dari yang pernah kau terima, tapi….”

“Tanda tangan saja! Aku setuju!” ucap Aldi dan langsung menutup ponselnya.

Yes! Ada acara baru untukku. Popularitasku akan kembali! Dia berucap dalam hati.

“Bagaimana?” tanya Toni. Margi yang duduk di depannya masih diam. Margi memandangi ruang rapat City TV yang sebenarnya sudah sering didatanginya.

“Tidak usah berpikir terlalu lama. Kau untung, pihakku juga untung! Acara ini pasti sangat menarik,” ucap Toni.
Margi menarik napas sejenak. Lalu menandatangani kontrak di depannya.

Aldi berusaha membuka matanya. Dia baru menyadari tubuhnya tergeletak di kasur empuk di apartemennya. Bagaimana dia bisa tertidur di sini? Aldi pun tidak tahu. Yang jelas akhir pekan kemarin Aldi gentayangan sedari Jumat sore hingga Minggu malam di bar. Tiba-tiba sekarang sudah terbaring di ranjangnya. Aldi menatap jam dan kalender di meja kecil yang tertata manis di samping ranjangnya. Ini sudah Senin pagi sekitar pukul 10.
Aldi masih berbaring dengan malas. Tangannya menyambar remote televisi yang tergeletak di ranjang. Di ganti-ganti channel seenaknya. Aldi tersenyum saat menonton sebuah tayangan infotainment tentang dirinya.

“Bagaimana hubungan Anda dengan Anggi? Anda sudah resmi berpacaran?” tanya para wartawan yang mengitarinya.

Aldi tertawa pelan. Kalau sekadar bersenang-senang, untuk apa pakai resmi-resmian.

“Kami hanya teman dekat,” ucapnya, sambil tersenyum. Aldi kembali tersenyum. Dekat, sepanjang mau sama mau.

“Tetapi, kalian sering terlihat bersama,” wartawan yang lain langsung bertanya. Terlihat di layar kaca, Aldi harus memperlahan langkahnya, karena dipepet oleh beberapa pengejar berita.

“Sudah kubilang. Kami hanya teman,” bela Aldi.

“Tapi, Anggi sudah bersuami, dan kabarnya rencana perceraian Anggi dan suaminya, karena Anda hadir sebagai orang ketiga.”

“Saya pria yang tidak mau main-main dengan wanita. Saya mengidamkan sosok wanita yang alim, baik, dan bisa menjadi ibu bagi anak-anak saya kelak. Saya berprinsip wanita adalah sosok yang terhormat. Surga ada di bawah telapak kaki ibu. Itu prinsip yang saya pegang,” ucap Aldi, diplomatis.

“Tetapi, predikat playboy melekat pada diri Anda, karena Anda sering berganti pasangan,” kejar wartawan yang lain.

“Jangan berprasangka buruk. Pacar boleh banyak, tetapi kelak di hati saya hanya ada satu wanita,” ujar Aldi, sambil meninggalkan para wartawan yang tampaknya tidak puas menginterogasi Aldi.

Aldi tertawa pelan melihat tayangan infotainment di depannya. Sosok Aldi memang playboy, namun banyak wanita yang memujanya seperti dewa. Seolah Aldi adalah pangeran berkuda putih yang sedang mencari Cinderella. Terkadang Aldi sendiri tidak percaya betapa gombalnya dia di media.

Aldi kembali mengganti saluran televisi, karena infotainment yang ditontonnya sedang diselingi iklan. Tanpa sengaja dia melihat City TV. Cuplikan fotonya dengan berbagai pose ditata apik oleh sang motion grafer. Aldi mengerutkan dahinya. Apa-apaan ini?

“The Second Chance Show. Dengan sang idola Aldi Surya. Saksikan segera di City TV. City TV is your favorite channel,” ucap sang narator.

What! Aldi mencari ponselnya. Harus segera menghubungi Margi. Acara apa itu? Sudah ada iklannya, tetapi Aldi sebagai tokoh utama justru tidak tahu. Oh, ternyata ponselnya tergeletak di lantai. Di layarnya sudah tertera puluhan panggilan tak terjawab dan pesan dari Margi, yang intinya Aldi harus segera datang ke City TV pukul 10 pagi. Ha… ini kan sudah hampir pukul 11!

Aldi memasuki gedung City TV. Dilihatnya banner bertuliskan The Second Chance Show lengkap dengan gambar dirinya terpampang di dekat meja resepsionis. Aldi mengerutkan dahinya. Tadi di sepanjang jalan dilihatnya ada billboard iklan acara ini. Bahkan, mobil operasional City TV dicat dengan tema acara ini juga. Ini pasti tidak main-main. Aldi langsung naik ke lantai 7 menuju ruang rapat City TV.

”Hai, Aldi, kami sudah menunggumu,” sapa Toni, saat melihat Aldi masuk ruang rapat.

Margi, Toni, dan beberapa kru yang sering dilihat Aldi sudah ada di ruang rapat. Aldi segera duduk di samping Margi.

Toni segera berdiri, sambil menyalakan televisi yang ada di ruang rapat. ”Nah, Aldi, kami sudah siapkan segalanya untukmu...”

”Sebentar! Aku tidak mengerti,” potong Aldi tiba-tiba.

Toni menatap Margi, Margi hanya mengangkat bahu. Toni segera paham, dia tahu Aldi belum dapat penjelasan apa-apa dari Margi.

Toni menarik napas. ”Al, ke mana saja kau beberapa hari? Tertidur di lantai bar?”

Aldi menatap Toni dengan kesal. Teman kuliahnya yang satu ini memang orang yang paling Aldi benci. Sedari kuliah mereka tidak akur, namun apa boleh buat, mereka adalah pasangan produser dan artis yang sering menjalin kerja sama.

”Begini, Al, kami punya konsep acara reality show yang akan tayang. Nama acara ini The Second Chance Show,” terang Toni.

”To the point saja, Ton!” sahut Aldi ketus.

Toni tesenyum tipis. “Jadi begini, Al, kami akan mengumpulkan mantan-mantan kekasihmu untuk ikut reality show ini dan memilih satu di antara mereka yang bakal menjadi kekasihmu lagi!”

Aldi terdiam. Sekilas melirik Margi yang cuek, lalu kembali memandangi Toni yang menyetel senyum menawan di wajahnya. ”Apa aku tidak salah dengar?” tanya Aldi.

”Tidak,” Toni langsung menjawab.

Aldi melirik Margi, ”Apa-apaan ini, Margi?”

”Kau perlu uang dan kau sudah menyuruhku untuk tanda tangan. Jadi the show must go on,” bela Margi.

Aldi masih kebingungan.

“Aldi Surya Pratama. Kau kupilih setelah kupertimbangkan baik-baik. Kau memiliki predikat playboy dan mantan kekasihmu banyak. Di antara mereka pasti ada beberapa yang suka publikasi dan sensasi. Aku yakin mereka dengan senang hati mau ikut acara ini,” kata Toni.

”Kau gila,” ucap Aldi. Ia tidak membayangkan bertemu dengan lusinan mantan kekasihnya bersamaan. Ini gila!

”Aku memang gila. Kau sudah tahu itu. Tetapi, bagaimanapun, manajermu sudah tanda tangan kontrak. Al, aku akan membuat drama yang bagus untukmu. Dan kau bakal meraih popularitas yang lebih dari yang lalu.”

Aldi terdiam sesaat. ”Kuharap begitu,” ucap Aldi perlahan, kekhawatiran tidak bisa disingkirkan dari raut wajahnya.

Meja rapat dipenuhi oleh foto-foto wanita cantik. Aldi, Toni, Margi dan para tim kreatif memandangi foto yang berserakan satu per satu sambil terus berkomentar.

”Wow, seleramu bagus juga, Al.”

”Ini kan model videoklip itu. Dulu dia kekasihmu, Al?”

Aldi duduk dengan malas sambil melihat teman-temannya yang saling berebut foto wanita-wanita cantik yang pernah mengisi hidupnya. ”Dari mana kalian tahu mereka mantan kekasihku?” tanyanya, penasaran.

”Dari aku,” jawab Toni. ”Aku kan temanmu sedari TK hingga kuliah.”

Aldi hanya mencibir. Dasar tukang cari kesempatan! Umpatnya dalam hati.

”Ismi, kamu sudah pilih 15 wanita yang akan kita jadikan peserta SCS?” tanya Toni. The Second Chance Show disebut SCS sebagai kode di antara kru.

“Sudah ada 15 wanita dan mereka sudah bersedia. Saya sudah siapkan kontrak untuk mereka. Setiap bertahan 1 episode, mereka akan dapat honor lagi. Acara ini akan tayang selama 2 bulan. Seminggu tayang 3 kali. Dan mulainya minggu depan,” jelas Ismi.

”Minggu depan?” tanya Aldi.

”Ya, sinetron kami akan habis masa tayangnya. Kami perlu acara pengganti secepat mungkin,” jawab Toni.
Aldi terdiam cemas.

”Ton,” Margi buka suara. ”Aku ingin diatur pemenangnya adalah wanita yang baik-baik. Aku ingin image Aldi sebagai pria sederhana dan baik-baik bisa diterima pemirsa.”

”Jangan khawatir. Jika tidak ada mantan kekasih Aldi yang memenuhi kriteria itu, kita akan suruh wanita pilihan kita berakting,” ucap Toni.

”Kurang ajar! Kau pikir mantan kekasihku bukan wanita baik-baik,” Aldi sewot.

”Tidak ada wanita baik-baik yang mau berpacaran denganmu, Aldi,” ejek Toni, puas.

Toni dan timnya menyewa sebuah vila mewah di Kepulauan Seribu dengan pemandangan pantai yang indah. Sebelah vila mewah itu ada sebuah vila kecil untuk markas para kru. Ke-15 finalis tiba dengan kapal pesiar mini. Mereka menaruh koper di kamar masing-masing, lalu keluar vila untuk mulai syuting.

”Aldiii!” teriak mereka, saat melihat Aldi datang ke tempat syuting. Beberapa di antara mereka langsung memeluk Aldi dan mengajak ngobrol.

”Hai, Astrid,” sapa Aldi, pada seorang wanita paling menawan.

”Hai, Al,” jawabnya pelan.

”Senang kau bisa hadir di sini, Sayang,” ucap Aldi.

”No, no, no, jangan ge-er dulu. Aku di sini untuk bersenang-senang. Tak ada minat kembali padamu,” ucap Astrid, sambil tersenyum dan meninggalkan Aldi untuk syuting adegan turun dari kapal dengan akting penuh kekaguman akan keindahan pemandangan.

”Hai, Al.”

”Hai, Hani,” balas Aldi. Aldi menatap Hani dengan lekat. Hmm... Hani masih cantik seperti dulu.

Hani mengedipkan sebelah matanya dan melewati Aldi dengan lenggokan seksi. Toni yang melihat sampai tak berkedip. ”Aku yakin acara ini bakal dapat rating bagus,” bisik Toni pada Margi yang tidak peduli.

”Kau pastikan saja bagian keuanganmu membayarku tepat waktu dan jumlah!” sahut Margi.

”Aldiiii!” Tiba-tiba seorang wanita langsung memeluk Aldi.

”Eh.. e... eh... ,” Aldi tergagap.

”Kamu masih ingat aku nggak?” tanya gadis itu.

Aldi melirik pada Toni. ”Eeee... hai, apa kabar?” Aldi berusaha mengalihkan pembicaraan, sedangkan Toni mencari-cari daftar peserta, mencoba mencocokkan foto dengan wanita yang agresif itu.

”Kau lupa, ya!” goda wanita itu.

”Amanda, sebentar lagi giliranmu shoot,” ucap Toni.

”Oke,” sahut Amanda. ”Aku pasti menang!” ujarnya pada Aldi percaya diri.

”Makasih, Ton,” ucap Aldi, perlahan.

”Kau tidak ingat pada mantan kekasihmu sendiri? Nanti malam kau harus menghafalnya!” ucap Toni.

”Mantan kekasihku kan banyak!” bela Aldi. Huff, bakal berabe kalau begini. Aldi menyapu pemandangan di sekitarnya. Perlengkapan syuting tergeletak di mana-mana. Para wanita saling berkenalan dan menikmati hari yang mulai senja. Tetapi, ada satu yang menyendiri. Apakah dia peserta? Tetapi, kalau peserta, Aldi merasa tidak mengenalnya. Oh iya, ingatan Aldi akan gadis itu kembali hadir. Tetapi, Aldi tetap tidak bisa terlalu mengingatnya.
”Namanya Nia,” bisik Margi, seolah tahu apa yang Aldi pikirkan.

Aldi penasaran, rasanya dia tidak pernah punya kekasih bernama Nia. Lalu dia mendekati Nia yang sedang melukis di atas pasir dengan sebuah ranting.

Wanita yang bernama Nia ini tersenyum manis. Dia tidak terlalu cantik. Justru hal itu yang membedakan dia dari kekasihnya yang lain. Rambut panjang Nia tergerai begitu saja dan penampilannya sangat sederhana.

”Hai,” sapa Aldi.

Hanya disambut Nia dengan senyum.

“Memang kita pernah...,” Aldi ragu meneruskannya.

Nia tersenyum. ”Ya, pernah,” ucapnya, singkat.

”Oooh...,” balas Aldi. Rasanya tidak enak menanyakan kapan mereka berpacaran kepada mantan kekasih sendiri.
Namun, Nia paham, ”Kita hanya berpacaran seminggu.”

”Oooh,” ucap Aldi, basa-basi. Aldi berusaha mengingat.

Nia menatap Aldi. ”Tidak apa-apa kalau kau lupa.”

”Bukan begitu...,” Aldi kembali berusaha menyatukan serpihan ingatannya. Ya, dia ingat sedikit. Nia... sosok itu sempat terlupakan oleh Aldi selama bertahun-tahun.

”Aldiii!” teriak Toni. ”Kemari! Kita akan syuting di dalam!”

Di dalam vila ternyata ada sebuah ruangan besar bergaya Eropa. Ada sebuah tangga yang akan menjadi jalan turunnya para wanita untuk menemui Aldi dan host yang berdiri tepat di bawah tangga. Para kru telah siap mengeset perlengkapan syuting.

”Di mana para pesertanya?” tanya Toni kepada salah seorang krunya.

”Biasa... kata orang wardrobe, mereka sedang berebutan gaun dari sponsor.”

Mereka kemudian muncul dengan gaun malam dari lantai atas.

”Tolong kau atur posisi mereka,” pe­rintah Toni.

Aldi siap tampil dengan setelan jas mahal dari sponsor bersama Bryan, host acara ini. Mereka berdua berdiri di lantai bawah untuk memperkenalkan para wanita yang satu per satu akan turun ke bawah dan berdiri di samping mereka.

”Oke, siap, 3... 2... 1. Zoom out ke Aldi dan Bryan,” perintah salah seorang kru.

”Selamat datang di The Second Chance Show. Anda beruntung menyaksikan aca­ra perdana reality show paling unik abad ini. Andalah yang menentukan pasangan untuk sang idola, Aldi Surya.” Bryan membuka acara tanpa canggung.

Aldi melirik deretan wanita yang sudah mengatur posisi di tangga. Oh, mantan-mantan kekasihku... kalian cantik semua.

”Ingat! Pilih peserta favorit Anda yang layak kembali ke pelukan Aldi. Ketik Aldi spasi nama wanita pilihan Anda sesuai dengan yang tertera di layar televisi Anda,” Bryan masih cuap-cuap menjelaskan aturan acara. ”Mari kita perkenalkan satu per satu calon pendamping Aldi.

”Astrid.”

Astrid menuruni tangga dengan anggun, membuat seluruh kru memandang kagum. Karismanya mengalahkan peserta lain.

”Rachel.”

Gadis yang sangat cantik ini turun perlahan. Sangat percaya diri dan elegan. Selera Aldi memang bagus.

”Rahmania.”

Aldi menelan ludahnya. Jadi, nama asli Nia adalah Rahmania. Gadis sederhana itu terlihat anggun dengan gaun cokelatnya.

Bryan memanggil beberapa nama lainnya untuk diperkenalkan.

Setelah selesai syuting, para peserta diarahkan oleh asisten produser mengenai peraturan selama ikut acara ini. Yang jelas, di setiap tempat ada kamera, kecuali kamar mandi. Setiap peserta harus mengikuti setiap rangkaian acara yang sudah disusun tim kreatif. Setiap episodenya akan ada peserta yang gugur berdasarkan polling pemirsa. Para peserta dilarang menonton TV, juga dilarang mendapat informasi dari media massa lain. Mereka juga tidak boleh memiliki alat komunikasi untuk berhubungan dengan orang luar.

Aldi, Margi, Toni, Ismi dan Bryan berbincang di kamar Aldi. Mereka dan kru yang lain memantau vila utama dari sebuah vila kecil yang letaknya tidak jauh dari vila utama, tempat para peserta sedang beristirahat. Ada kru yang memantau 24 jam dari monitor di vila tersebut, yang tersambung dengan seluruh kamera yang sudah terpasang.

”Bagaimana hasil polling sementara?” tanya Toni.

”Astrid jauh mengungguli yang lain,” jawab Ismi.

”Kita akan gugurkan dia,” ucap Toni.

”Apa?” Aldi terkejut. Begitu juga Margi dan Bryan. ”Tapi... Astrid itu mantan kekasihku yang paling... paling....”

”Al, ini sebuah drama televisi. Kau harus profesional, jangan melibatkan emosi pribadi. Kau harus berpikir bagaimana rating acara ini naik,” bantah Toni.

”Tetapi, semua orang menyukai Astrid. Pemirsa menyukainya,” bela Aldi.

”Kalau ending-nya mudah ditebak, acara ini akan membosankan. Astrid terlalu melebihi yang lain. Selagi acara ini belum lama disiarkan, dia harus dihapus terlebih dahulu atau persaingan akan timpang.”

Aldi menarik napas. Astrid adalah mantan kekasihnya yang paling sempurna. Cantik, pintar, dan menawan. Astrid memutuskan hubungannya dengan Aldi karena Aldi kepergok selingkuh.

”Kita harus memilih jagoan kita dari sekarang dan mengatur agar mereka bertahan sampai akhir,” ujar Toni sambil memandangi foto ke-15 wanita yang disebar di atas kasur. ”Rachel. Elegan, baik, dan menarik.” Pilihan Toni diamini teman-temannya. ”Hani.” Yang lain tersenyum. ”Seksi,” ucap Toni. ”Menggoda dan berani. Ini bisa menjadi bumbu drama yang menarik.”

Aldi hanya mengernyitkan dahinya. ”Oke, aku hanya aktor, kok, tinggal ikut pilihan produser saja,” ujarnya, menyindir. Tetapi, tampaknya Toni tidak peduli.

”Amanda. Ambisius dan agresif. Dia akan jadi lawan tangguh untuk Hani,” pilih Toni. Disambut anggukan kepala dari teman-temannya. Aldi makin khawatir.

”Rini.”

”Rini?” Aldi keheranan. ”Tidak salah, tuh? Cantik, sih, tetapi dia kan agak-agak....”

”Suka nggak nyambung,” sambung Margi ketus, diiringi senyuman yang lain.

”Lalu...,” Toni berhenti untuk berpikir, sambil memandangi foto-foto di depannya. ”Rahmania.”

Glek! Aldi makin terbelalak, ”Eh, tunggu, deh. Aku merasa tidak kenal dia. Kau yakin dia pernah jadi kekasihku?’

Toni memandang Aldi dengan kesal. ”Al, kau berpacaran dengan dia seminggu, saat kau kabur dari rumah setelah lulus SMP dulu. Kau ingat? Dulu kau belum tenar. Dasar kacang lupa pada kulit!”

Aldi mencoba mengingat. Ya, memang dia pernah kabur dari rumah saat lulus SMP. Dulu, saat Aldi kabur ke rumah neneknya, ada gadis tetangga yang sangat baik padanya. Nia, yang hanya dikenalnya sebentar, kini kembali hadir di depannya. Dulu Aldi yang masih remaja meninggalkan Nia, karena kembali pada orang tuanya.

”Ton, kalau sudah selesai, biarkan Aldi istirahat sekarang,” ucap Margi tegas.

”Oke. Al, kamu hafalkan nama-nama mantan pacarmu. Aku tidak mau di antara mereka ada yang tersinggung karena kepikunan konyolmu,” ucap Toni.

”Namaku Rachel.”

Nia hanya tersenyum, lalu perlahan membalas uluran tangan Ra­chel. ”Aku Nia,” ucapnya perlahan.
Rachel hanya tersenyum. ”Untung aku dapat kamar berdua dengan kamu, Nia. Kalau dengan si seksi itu, bisa mati aku....”

”Siapa?” tanya Nia.

”Hani.”

”Ooo....”

Rachel memandangi Nia. Empat tahun pacaran dengan Aldi yang selalu berselingkuh membuat Rachel paham betul selera Aldi. Nia tampaknya tidak masuk hitungan. Apakah tidak salah Aldi pernah berpacaran dengan gadis sepolos Nia?

”Hmm... aku berpacaran 4 tahun dengan Aldi. Kamu?” pancing Rachel.

Nia tersenyum. ”Hanya 1 minggu.”

Rachel tersenyum getir. ”Ooo… kenapa putus?” tanyanya.

Nia menunduk diam.

”Karena dia selingkuh, ya? Saat masih pacaran denganku, dia selingkuh dengan Amanda. Tetapi, aku memutuskan hubungan dengannya ketika tahu dia mengincar Astrid,” cerita Rachel. ”Kalau kamu? Kenapa putusin dia?” Rachel yakin sekali semua mantan kekasih Aldilah yang memutuskan hubungan dengan alasan sama, yaitu kepergok selingkuh!

”Aku tidak tahu,” ucap Nia. ”Dia meninggalkanku begitu saja.”

Rachel mengangguk-angguk. Baginya, Nia benar-benar gadis yang aneh. ”Nia, kau tahu tidak, sebenarnya aku masih mencintai dan mengharapkan Aldi.”

Nia menatap Rachel.

”Kau pasti heran, ya. Aku sudah berkali-kali dikhianati, kok, masih mau menerima dia,” ucap Rachel.

”Tidak. Aku tidak heran. Aku sangat tahu perasaanmu. Sangat tahu,” ujar Nia.

Rachel memandangi Nia dengan seksama. Biarpun aneh, tampaknya Nia tidak licik seperti yang lain.

Acara The Second Chance Show terus berlanjut. Seperti dugaan Toni, acara ini rating-nya makin naik. Selepas ’terusirnya’ Astrid, pemirsa makin penasaran dan menduga-duga siapa yang akan menjadi pemenangnya. Kelicikan dan intrik para gadis dibiarkan begitu saja dan dianggap sebagai bumbu drama.

Malam ini, ada acara makan malam bergaya garden party. Aldi hadir dengan 10 peserta yang tersisa.

”Makan yang banyak, dong, Sayang. Atau, kau mau ditemenin?” rayu Amanda.
Aldi tersenyum. ”Tidak usah, terima kasih.”

”Seorang idola jangan makan terlalu banyak. Kau harus jaga berat badanmu, Sweetheart,” ucap Hani, dengan gerakan menggoda.

”Oh, iya, benar sekali. Segala sesuatu kalau berlebihan juga tidak enak dilihat,” sindir Amanda, sambil memandang dada Hani yang menurutnya over size dan tidak seimbang dengan tubuhnya.

”Aku tahu sekali, my sweetheart lebih suka yang berisi daripada yang kerempeng,” balas Hani.

Aldi menarik napas panjang. Pusing juga mendengar coletah tidak jelas seperti ini.

”Ini tehmu, Aldi,” tiba-tiba Rachel datang dengan secangkir teh.

”Terima kasih, Rachel.”

”Dua sendok gula dalam adukan teh melati,” sambung Rachel.

”Wow, kau masih ingat kesukaanku,” puji Aldi.

”Benar, aku ingat. Bagaimana adikmu, sudah lulus kuliah?” tanya Rachel, basa-basi.

Semua berperan dan berusaha jadi pemenang. Nia hanya memandangi Aldi yang dikelilingi para wanita yang mencari perhatian. Para kru tidak henti-hentinya mengikuti gerakan Aldi dan para wanita itu. Sedangkan Nia, hanya menatap dari kejauhan.

”Nia.”

”Eh, iya.”

”Kau lihat mereka, Nia?” tanya Toni.

”Iya...,” jawab Nia.

”Dengar Nia. Ini hanyalah drama, jadi jangan malu. Kau adalah salah satu unggulan. Kau harus lebih banyak muncul di televisi agar pemirsa mengenalmu,” bujuk Toni.

Nia menunduk.

”Aku sudah banyak kenal orang dan aku tahu tipe sepertimu. Aku tahu kau pemalu dan tidak suka publikasi. Apa pun motifmu mau ikut acara ini, aku tidak peduli. Tetapi, kau sudah hadir di sini. Maka itu, gunakan kesempatanmu, Nia.”

Nia tidak menjawab, dia hanya berbalik arah dan pergi meninggalkan garden party.

”Aldi!” panggil Toni, sambil menarik tangan Aldi, menjauhkan Aldi dari para gadis yang mengerubutinya.

”Ikuti Nia!” ucap Toni, sambil menunjuk ke arah Nia yang sudah lenyap di kegelapan malam.

”Apa maksudmu?” tanya Aldi.

”Ikuti dia. Kamu perlu momen dengannya. Kami mengikutimu dari kamera yang tersembunyi di setiap sudut taman. Korek keterangan darinya tentang masa lalu dan hubungan kalian. Tampaknya dia punya kisah sendiri. Cepat kejar,” perintah Toni semena-mena. Aldi menampakkan wajah tidak suka. ”Jangan cemberut seperti anak kecil. Tunjukkan kemampuan playboy-mu, anak manja!” lanjut Toni.

”Hai,” sapa Aldi.

Nia hanya tersenyum. Lalu, Aldi berjalan perlahan di samping Nia yang masih belum menjawab sapaannya.

”Kau bisa membuatku mati penasaran,” ucap Aldi.

Nia hanya diam.

”Maaf kalau aku tidak sopan, tetapi... bagaimana kita bisa bertemu?” tanya Aldi

”Di rumah nenekmu,” jawab Nia.

”Apa?”

”Aku ini tetangga nenekmu.”

Aldi terdiam bingung. Perlahan kepalanya dipenuhi kenangan beberapa tahun lalu. Aldi kabur dari rumah orang tuanya dan tinggal sementara di rumah neneknya. Saat itu memang ada gadis kecil yang sering membantu neneknya. Jadi benar, Nia adalah gadis itu.

”Maaf, ya, kalau aku lupa padamu. Maklumi aku, ya.. banyak yang perlu dipikirkan,” ucap Aldi, menahan kesombongannya.

Nia tersenyum. ”Oke, Tuan Aldi Surya Pratama. Sekarang kau sudah tenar dan lupa pada masa lalu ya?”

”Tidak juga. Jangan kau pikir aku sudah berubah. Aku hanya orang biasa yang juga bisa lupa, kok. Jangan kira jadi artis itu membuat orang lupa diri. Aku tidak begitu,” dusta Aldi.

”Kau dengar tidak?” tanya Nia tiba-tiba.

Aldi celingukan. ”Dengar apa?”

”Suara kodok dari semak itu! Ayo, ke sana,” ajak Nia.

“Apa-apaan, sih?” Aldi bingung.

”Kita ke sana,” ajak Nia, sambil menunjuk ke arah semak-semak di sudut taman yang gelap. Aldi hanya mematung. ”Kenapa, kau masih takut pada gelap, ya?” tanya Nia, polos.

”Si... si... si... siapa bilang aku takut. Aku... aku kan hanya... hanya...,” Aldi tergagap.

Nia segera bergegas ke semak, sementara Aldi masih diam kebingungan. Nia kembali dengan menggenggam sesuatu di kedua tangannya.

”Ini dia!” serunya, sambil menunjukkan sepasang kodok yang dipegangnya dan dipamerkan dekat muka Aldi.
Aldi hanya memandangi sepasang kodok itu dengan tegang.

”Nih, kamu pegang!” ucap Nia, polos. ”Kamu kan dulu suka mainan kodok denganku. Kenapa jijik sekarang?”
Aldi menelan ludahnya, lalu diambilnya kodok itu perlahan dengan perasaan jijik. Kasar dan lembek. Ih, Aldi merasa jijik.

Nia jongkok di tengah jalan taman. ”Ayo, kita lomba, kodokku pasti lebih cepat!”

Aldi ikut jongkok dengan terpaksa.

”Pegang sininya, lalu ditekan saat hendak melepaskannya. Pasti kodoknya langsung lompat,” jelas Nia.

”Ya, aku tahu, aku masih ingat kalau soal ini,” ucap Aldi, ketus.

”Tiga... dua... sati... lepas!” perintah Nia. Sepasang kodok itu berlompatan dari tangan Nia dan Aldi.

”Hei, kodokku loncatnya lebih jauh! Aku menang!” seru Aldi.

”Bukan itu kodokmu. Kodokmu yang jantan, yang lebih kecil!” bantah Nia.

Toni dan Margi menonton mereka dari monitor televisi yang tersambung dengan kamera yang terpasang di taman.
”Pasangan yang aneh,” ucap Toni singkat, disambut anggukan Margi.

”Aku belum pernah melihat bintang sebanyak ini,” ucap Aldi kecil terkagum-kagum.

”Di rumahmu tidak ada bintang?” tanya Nia kecil.

”Tidak ada.”

”Kau bisa minta mama-papamu mengantarmu ke ruang besar yang bulat itu untuk melihat bintang.”

”Planetarium maksudmu?” tanya Aldi kecil, memastikan.

”Oh, iya, namanya Planetarium.”

”Ah, Mama-Papa bertengkar terus dan selalu sibuk. Mana mungkin mereka mau mengajakku ke sana,” ucap Aldi kecil. ”Ke sekolahku untuk mengambil rapor saja tidak ada yang sempat.”

”Kalau ibuku selalu baik. Tiap hari aku selalu dibuatkan masakan, diceritakan dongeng sebelum tidur, diajak ke pasar malam,” ucap Nia kecil.

”Aku mau ibumu,” ucap Aldi kecil.

”Tapi, dia ibuku. Dia satu-satunya yang kupunya.”

”Kalau kita menikah nanti, ibumu bisa jadi ibuku, ’kan?” tanya Aldi kecil.

Aldi membuka matanya dan melihat sekitarnya. Aku masih ada di kamar, ucapnya dalam hati. Barusan itu mimpi atau masa lalu yang tiba-tiba muncul di permukaan kenangan?

”Kenapa kau bangun tiba-tiba?” tanya Margi, yang tiba-tiba sudah ada di depannya.

”Kau ada di sini?” tanya Aldi.

”Aku hendak membangunkanmu. Ayo, cepat, syuting sudah dimulai. Para peserta sedang berkumpul sarapan di halaman.”

”Kau tahu?” bisik Rachel pada Nia. ”Kata salah seorang kru, aku sudah dipersiapkan untuk masuk 3 besar.”

”Kok, bisa? Bukannya ini pilihan pemirsa berdasarkan polling?”

”Aku paham,” putus Rachel. ”Maksudmu belum tentu menang, karena polling dan pilihan pemirsa bisa berubah.”

Nia mengangguk.

”Nia kamu polos sekali. Kau pikir ini semua berjalan begitu saja. Ini semua sudah diatur. Polling melalui SMS hanya untuk mencari untung saja. Bukannya aku berpikiran negatif, tetapi tampaknya peta kekuatan sudah mulai terlihat. Aku mulai bisa membaca keinginan produser.”

Nia hanya tersenyum.

”Aku tahu Aldi itu sombong dan banyak wanita yang suka padanya. Tetapi, itu risiko artis, ’kan? Entahlah. Aku masih menyukainya, Nia. Biarpun berkali-kali dia sudah menyakitiku,” ujar Rachel.

”Menurutku... di antara yang lain, kaulah yang paling pantas untuk dia,” ucap Nia.

”So sweet... eh, itu dia datang,” ujar Rachel.

Pagi ini Aldi tampil menawan dengan kaus dan jins belel-nya. Hani dan Amanda segera menghampiri bagai semut menemukan gula. Margi dan Toni memandangi mereka dari monitor yang ada di depan mereka.

”Bagaimana? Kira-kira siapa jagoanmu?” tanya Toni.

”Apa pendapatku penting? Kupikir, kaulah produser yang bisa menentukan segalanya sesuka hati,” sindir Margi.

”Karena aku berbaik hati, aku akan memberimu pilihan. Kau manajernya. Kau ingin image Aldi seperti apa?” tanya Toni lagi.

”Aku ingin dia tampil sebagai pria baik-baik. Karena, ada tawaran main film layar lebar yang cukup bagus untuk Aldi. Peran Aldi di situ sebagai pria alim dan pendiam. Jadi, ingin kubentuk karakternya yang cocok sehingga talent caster-nya memilih Aldi, karena image-nya sudah mendukung,” jelas Margi.

”Hmm... kalau begitu akan kupilihkan Rachel untuk dia,” ucap Toni, setelah berpikir beberapa detik.

”Pilihan bagus. Aku setuju,” jawab Margi.

”Tetapi, Rachel harus punya lawan yang tangguh,” ucap Toni.

Jelas itu bukan Hani, Amanda, atau Rini. Harus gadis yang sebanding. Yang baik dan juga yang sopan.

”Kau suka jalan sendirian malam-malam?” tanya Aldi.

Hampir setiap malam Nia jalan-jalan sendiri seperti malam ini. Hal ini tidak luput dari perhatian Aldi. Tampaknya Nia pun sudah terbiasa diikuti kamera tersembunyi ke mana pun dia pergi.

”Aku suka melihat bintang,” jawab Nia.

”Apa kita dulu pernah jalan di bawah bintang seperti ini?” tanya Aldi, pelan.

”Kita hanya pernah bersama selama seminggu dan hampir tiap malam kita ngobrol di bawah bintang,” jawab Nia.

”Kenapa saat itu kita putus?” tanya Aldi.

Nia hanya terdiam.

”Tolong, jawab aku,” paksa Aldi.

”Aku juga tidak tahu, tiba-tiba kau pergi begitu saja.”

”Oh,” Aldi jadi tidak enak hati.

”Apa begitu memalukan, ya, kamu berdampingan dengan orang miskin?” tanya Nia.

”Kamu bicara apa?”

”Padahal...,” Nia menghentikan ucapannya. ”Manusia paling sedih jika dilupakan.”

Aldi terdiam. Tiba-tiba Nia berhenti. ”Ada apa, Ni?” tanya Aldi.

”Aku... seperti melihat sesuatu,” ucap Nia perlahan.

”Kau... jangan macam-macam, dong.”

Nia tersenyum. ”Kau sudah besar masih takut hantu, ya?” ejek Nia.

”Enak saja, aku berani, kok. Dulu aku pernah casting peran utama di film Wewe Gombel II,” ucapnya.

”Lalu, kenapa tak jadi pemeran utamanya?” tanya Nia.

”Aku... aku... honornya tidak sesuai,” dusta Aldi.

Nia mencoba menahan tawa. Tiba-tiba Nia menghentikan tawanya. Dia terlihat memandangi sesuatu dengan pucat.

Aldi bergidik. ”Lihat apa kamu? Itu tidak ada apa-apa, ’kan?” tanya Aldi.

Nia terdiam, memandangi ke arah pepohonan besar yang gelap.

”Jangan bercanda, dong,” kata Aldi. Nia diam tidak bereaksi.

”Po... po...,” Nia terbata-bata, sambil menunjuk ke arah itu dengan tangan bergetar.

Aldi jadi merinding sendiri, lalu dia membalikkan badannya dan berlari meninggalkan Nia.

Nia terkejut, tetapi dia ikut berlari mengejar Aldi. ”Al... mau ke mana?”

”Pergi!” teriak Aldi, tanpa menghentikan larinya.

”Aku hanya bercanda,” Nia berusaha mengejar Aldi.

”Terserah!” teriak Aldi, sambil berlari ke vilanya.

Margi, Toni dan para kru tertawa melihat Aldi yang terbirit-birit ketakutan dari layar monitor mereka.

Bruk! Aldi langsung masuk dengan terengah-engah dan memasang wajah marah. ”Sudah cukup bermain-main!”

”Aldi,” Margi berusaha menghentikan Aldi yang mendekati Toni dan menarik kerah baju Toni. Para kru segera diam menahan tawa.

”Aku sudah muak dengan sandiwara ini! Peserta yang satu ini tidak aku pahami,” kata Aldi.

”Lepaskan tanganmu, Aldi,” ucap Toni dengan santai. ”Kau bisa tenang sedikit.”

Aldi melepaskan tangannya. Lalu, menendang kursi yang ada di situ. ”Dia itu siapa? Wanita yang pernah kupacari bertahun-tahun saja tidak tahu kelemahanku!”

Toni tertawa menjadi-jadi.

”Cut adegan tadi!” perintah Aldi.

”Al, kau ini manusia. Tampillah sebagai manusia di media dengan segala kekurangan dan kelebihanmu,” hibur Toni, masih dengan tertawa kecil.

”Aku tidak menduga kau penakut. Ternyata kau takut gelap dan takut hantu. Ha...ha...ha...,” tambah Margi.

”Tertawalah sepuasnya! Biar besok di infotainment beredar info bahwa Aldi Surya itu pria penakut!” Aldi keluar sambil membanting pintu.

Oke, siap Bryan... 3... 2... 1... Action!

”Selamat datang kembali di reality show The Second Chance Show. Sampai hari ini kita sudah kehilangan sebelas peserta dan menyisakan empat peserta lain,” ucap Bryan. Kamera beralih pada Rini yang menangis tersedu-sedu, lalu beralih pada Rachel, Hani, Nia, dan Amanda yang sumringah.

Kamera dimatikan. Syuting hari ini selesai. Para peserta segera pergi ke ruang ganti. Nia mendekati Aldi. ”Maaf, ya, soal kemarin,” bisik Nia pada Aldi. Aldi hanya diam cemberut. Margi dan Toni tertawa kecil melihat mereka. Sementara Rachel, Hani, dan Amanda melihat adegan itu dengan heran.

”Ya, sudah, deh, kalau ngambek. Nanti juga capek sendiri,” ucap Nia, sambil meninggalkan Aldi yang masih cemberut. ”Aku mau ganti di kamar saja,” ucap Nia, sambil meninggalkan teman-temannya.

”Pasti dia hendak keluyuran cari perhatian lagi,” sindir Amanda.

”Kalian jangan berprasangka buruk. Dia keluar malam karena suka melihat bintang,” bela Rachel.

”Ah, kamu tidak tahu. Meskipun kita tidak boleh melihat televisi atau membaca media massa apa pun selama acara ini, aku tahu dia selalu berduaan dengan Aldi saat malam hari,” ucap Amanda, sewot.

”Jahat sekali dia. Apa kau tidak sadar, Rachel, bahwa dia ingin cari perhatian agar pemirsa jadi simpati dan memilih dia,” ucap Hani.

Rachel hanya diam. Lalu, ia kembali ke kamarnya, menemukan Nia sudah berganti pakaian yang lebih santai.

”Kau mau ke mana?” tanya Rachel, dingin.

”Aku mau keluar,” jawab Nia.

”Mencoba merayu Aldi, ya,” tuduh Rachel.

Nia memandangi Rachel dengan tatapan heran.

“Ternyata diam-diam kau mencoba curang pada kami. Setidaknya Hani dan Amanda bersaing secara fair, tidak mencuri waktu di luar syuting reguler sepertimu.”

”Rachel!”

”Sudahlah, aku sadar ini persaingan! Ini kompetisi! Tetapi, kau benar-benar pintar bersandiwara. Kupikir kau beda dari yang lain. Ternyata sama saja! Kalau kau ingin bersaing dengan kami, tunjukkan dirimu yang sebenarnya sejak awal. Kau memang pandai menipu penonton. Terlihat baik dan tanpa dosa, padahal kau tidak lebih baik dari kami!”

”Tapi... aku....”

”Sudah, diam! Mulai saat ini kita rival. Kau tidak perlu bersikap manis di hadapanku!” kata Rachel, lalu keluar kamar.

”Wah, bakal seru, nih!” ucap Toni, sambil melihat monitor. ”Mana Aldi?” tanyanya, celingukan.

”Dia sudah keluar dari tadi. Pintar, ya, kamu, membuat mereka jadi bertengkar. Memangnya kamu bilang apa pada Amanda dan Hani sampai mereka berdamai dan kompak memanasi Rachel,” sindir Margi.

Toni tersenyum. ”Aku hanya bilang kepada mereka bahwa mereka harus bersatu untuk menyingkirkan peserta yang lain.”

”Oke, Tuan Produser, kau memang berbakat jadi sutradara sekaligus penulis cerita.”

Aldi mengendap-endap dari balik semak. Dia mengintai seorang peserta yang sedang berjalan sendirian di tengah taman. Oke, mungkin ini hal terkonyol yang pernah Aldi lakukan. Tetapi, Aldi sangat kesal dan ingin membalas dendam dengan motif iseng belaka.

”Akan kubuktikan pada penonton bahwa kau sama penakutnya sepertiku,” umpat Aldi perlahan.

Diikutinya sosok ramping itu. Lalu, Aldi melemparkan sebuah batu ke arah kegelapan hingga menimbulkan suara yang mengagetkan.

Dug! Peserta itu terdiam dan melihat sekeliling. Aldi langsung bersembunyi di balik pohon. Setelah memastikan keadaan baik-baik saja, peserta itu kembali berjalan. Lagi-lagi Aldi membuat ulah melemparkan kerikil, membuat peserta itu merinding.

Krek! Tanpa sengaja Aldi menginjak sebuah ranting. Peserta itu amat terkejut dan berlari sambil berteriak, ”Tolong!”
Aldi tertawa terbahak-bahak. Kena kau!

Brug! Peserta itu jatuh tersandung!

”Hah! Nia!” kejar Aldi, segera menghampiri. ”Kau tidak apa-apa?”

Peserta itu menyibakkan rambutnya dan meringis memegang kakinya yang sakit.

”Rachel?”

Rachel meringis kesakitan.

Sebuah ketukan terdengar. Nia segera bangkit dari ranjang, lalu bergegas membuka pintu. Dilihatnya hal yang tidak pernah diduganya. Aldi menggendong Rachel yang bergelanjut manja.

”Nia, di mana ranjangnya?” tanya Aldi.

”Di sini,” jawab Nia menunjukkan ranjang yang tertata rapi.

Aldi menurunkan Rachel perlahan. ”Sebentar lagi ada kru yang akan mengobatimu,” ucap Aldi.

”Aduh... kakiku sakit,” rintih Rachel.

”Maaf, ya... tadi aku tidak sengaja,” kata Aldi, menyesal.

”Tidak apa-apa. Tidak terlalu sakit, kok. Paling-paling keseleo.”

”Oke, aku tinggal pergi, ya. Nia, tolong jaga Rachel, ya,” ucap Aldi, sambil meninggalkan mereka.

Nia memandang Rachel dengan pandangan tidak suka. Rachel tersenyum tipis penuh kemenangan.

Tak lama, beberapa kru masuk ke ka­mar membawa perlengkapan medis.

Rachel kembali merintih.

Nia diam saja, lalu kem­bali tidur.

”Inilah saat yang mendebarkan. The Second Chance Show akan menyisakan dua pemenang yang akan mendapatkan kalung mutiara ini,” ucap Bryan. Aldi berdiri di sampingnya dengan tegang. Empat peserta yang berdiri di sisi lain memasang wajah yang lebih tegang.

”Rachel,” panggil Bryan. ”Kau pantas mendapatkan kalung ini.”

”Yes,” ucap Rachel, lalu menghampiri Aldi. Aldi memasangkan kalung mutiara di leher jenjang Rachel. Lalu, Rachel mencium Aldi. Hani dan Amanda hanya mencibir, sementara Nia menatap tajam.

”Berikutnya...,” kalimat Bryan terhenti beberapa saat. ”Rahmania... kau lolos ke episode selanjutnya.”

Nia tersenyum dan mendekati Aldi.

”Apa-apan ini?” Tiba-tiba Amanda berteriak lantang. ”Acara macam apa ini!” Lalu, ia menghampiri Toni yang berada di antara kru. ”Kau bilang aku dan Hani pasti bisa mengalahkan mereka, kalau kami akur!” bentak Amanda.

”Amanda, ini siaran langsung,” ucap Toni perlahan sedikit berusaha menenangkan.

”Masa bodoh! Kau membodohi kami! Kau menggunakan aku dan Hani untuk membuat konflik antara Rachel dan Nia! Kau sudah mengaturnya!”

”Hanya yang memiliki polling tertinggi yang bertahan,” bela Toni.

Suasana jadi makin tegang.

”Aku punya otak. Dari awal aku tahu kualitas yang dimiliki Astrid sangat tinggi dan semua orang suka dia! Dia pasti memiliki nilai polling tinggi! Tetapi, kenapa dia terusir di awal?” tanya Amanda.

”Amanda....”

”Kau bilang, kalau aku dan Hani bersatu, mereka akan tersingkir! Kau bohong!” umpat Amanda. Hani mengangguk setuju.

Toni mendekati Amanda, berbisik pelan, ”Konflik mereka lebih menjual daripada konflikmu dan Hani yang tidak bermutu.”

Amanda menampar Toni dengan kesal.

Semua yang ada di situ terkejut.

”Ayo, kita pergi dari acara bodoh ini!” ajaknya pada Hani yang tergopoh-gopoh mengikutinya.

Toni duduk di sofa sambil menyeka pipinya yang memar. Amanda sepertinya menggunakan kekuatan penuh untuk menamparnya. Wanita jika sedang marah benar-benar bisa lebih menakutkan daripada setan.

”Ton, ada telepon dari Pak Direktur. Katanya, rating acara kita naik gara-gara adegan pertengkaranmu dengan Amanda,” ucap Ismi.

”Memangnya enak jadi tokoh dalam acara ini? Sekarang kau baru sadar, ’kan? Menjadi artis itu tidak mudah. Aku selama ini menjadi bulan-bulanan khayalanmu itu demi rating yang tinggi. Sekarang kau rasakan akibatnya!” kata Aldi, mengoloknya.

Apa yang dikatakan Aldi benar juga. Tapi, Toni tak habis pikir, dia kan hanya menjalankan tugas. ”Terserah apa katamu. Mulai sekarang, acara ini berjalan sebagaimana mestinya, tanpa intrik dari pihakku.”

”Menyerah juga kau!” ejek Aldi, makin menjadi.

”Kau jangan senang dulu. Mulai sekarang kau yang harus mengambil hati mereka. Ingat, di final mereka harus memilihmu atau uang Rp500 juta,” ujar Toni. ”Aku sudah pilihkan dua wanita yang berorientasi cinta daripada uang. Selanjutnya kau berusaha sendiri.”

Aldi ternyum tipis. Ini mudah. Rachel, jelas sekali dia masih amat mencintainya. Saat berpacaran, berkali-kali disakiti pun, dia selalu memaafkan. Nia, tampaknya dia wanita sederhana. Dia luwes dan baik. Tidak mungkin dia tega mempermalukan Aldi di depan jutaan penonton televisi.

”Oke, sekarang kita take untuk testimoni,” ucap seorang kru.

Rachel: Aku senang ada di sini bahkan bertahan sampai dua besar. Aku sudah berpacaran selama 4 tahun dengan Aldi. Aku sudah sangat mengenalnya. Aku tidak suka dibohongi teman sendiri. Kuakui, aku bersiasat selama ini agar bertahan. Tetapi, aku fair, tidak manis di luar tapi menusuk temannya sendiri dari belakang.

Aldi: Rachel itu wanita yang percaya diri dan menawan. Dia memiliki banyak bakat. Dia sangat mengenalku. Kami sempat berpacaran cukup lama. Sempat terpikir apakah dia sungguh wanita yang paling tepat untukku. Kemungkinannya cukup besar. Selama ini dia sangat pengertian padaku.

Nia: Aku tidak percaya bisa sampai ke babak akhir. Apalagi, peserta yang lain cantik-cantik. Dulu kami tidak memiliki banyak kenangan. Kini, setelah lama bepisah dan saling melupakan, justru kami makin saling mengenal. Aku berharap, siapa pun yang dipilih Aldi adalah yang paling tepat untuknya.

Aldi: Nia itu wanita yang pernah kulupakan. Dia amat misterius. Aku selalu penasaran dibuatnya. Dia santai dan sederhana. Aku menyesal kenapa dulu tidak sempat mengenal dirinya seperti sekarang. Aku sempat melupakannya, tetapi kini aku merasa dia sangat nyaman dan perasaanku lebih lepas jika bersamanya.

Hari ini, Rachel dan Aldi pergi memancing dengan perahu.

”Lihat, tangkapanku lebih besar daripada punyamu,” seru Ra­chel, yang saat itu tampak santai dan segar dengan tank top dan celana jins pendek.

”Tetap saja nanti dibagi dua hasilnya!” sahut Aldi. ”Kita menepi dulu, kita tukar ikannya dengan mutiara.”

”Apa? Mutiara?” tanya Rachel.

”Ya, mutiara air tawar, sih. Jadi, harganya tidak mahal dan masih bisa ditukar dengan ikan,” terang Aldi.

Di pasar nelayan, ada beberapa penjual mutiara yang menjual mutiara mereka yang masih kotor tetapi sangat murah, bahkan bisa ditukar dengan ikan.

”Kalau yang bentuknya agak gepeng dan ada garisnya ini,” ucap Aldi merangkan, ”inilah mutiara air tawar.”
Rachel mengangguk-angguk.

”Kalau mutiara asli biasanya bulatnya lebih sempurna dan lebih halus,” terang Aldi, sambil menggigit sebutir mutiara. Rachel memandang heran. ”Mutiara yang asli kalau digigit seperti berpasir.”

Rachel lalu mengambil sebutir mutiara dan menggigitnya, ”Iya, agak seperti berpasir.”

”Ini untukmu,” Aldi memberikan sekantong kecil mutiara untuk Rachel. Lalu, mengantongi sekantong lagi.

”Itu untuk siapa?” tanya Rachel, iseng.

”Buat Nia.”

Rachel langsung terdiam. ”Kau... menyukainya?” tanyanya.

”Dia baik, menyenangkan dan asyik,” jawab Aldi.

”Dia tidak sebaik dugaanmu. Kau pikir untuk apa dia ikut acara ini? Aku curiga dia punya rencana sendiri,” balas Rachel.

Aldi tersenyum. ”Aku maklum, kau bilang begitu karena dia sainganmu.”

”Aku serius! Aku punya feeling buruk tentang dia,” Rachel membela diri.

Aldi hanya tersenyum. Namanya juga persaingan, pasti berusaha saling memengaruhi. Tetapi, Aldi tidak menyalahkan Rachel yang bicara begitu. Setiap orang pasti ingin menang, ’kan?

Hari berikutnya, Aldi berkencan dengan Nia. Aldi mengajak Nia mengendarai speedboat. Nia yang tidak mahir berenang menjadi pucat pasi.

”Kau yakin sudah tidak mau coba lagi, Nia?” tanya Aldi.

”Aduh, tanganku seperti mau remuk. Ternyata, main speedboat melelahkan juga, ya,” ucap Nia, sambil berbaring di pinggir pantai yang berpasir kecokelatan.

Aldi ikut berbaring di sebelah Nia. Menatap langit yang tidak terlalu cerah saat itu. ”Sepertinya agak mendung. Apa nanti malam ada bintang, ya?” tanya Aldi.

”Hanya sedikit. Mungkin dini hari nanti baru terlihat banyak bintang di langit,” jawab Nia.

”Kau suka bintang, ya? Aku lahir awal November, coba tebak bintangku apa?” tanya Aldi.

”Entahlah... bisa jadi kau Scorpio, tapi bisa juga kau Or­phiucus.”

”Apa?”

”Orphiucus. Itu zodiak ke-13,” ucap Nia.

”Memangnya ada?” tanya Aldi.

”Ah, kau sibuk syuting terus, ya? Nggak lihat-lihat berita di internet, sih,” sindir Nia. ”Orphiucus itu sebenarnya sudah ada sejak dulu. Tetapi, untuk menyesuaikan zodiak dengan penanggalan Masehi dan berbagai kepercayaan negatif tentang angka 13, Orphiucus pun dihilangkan,” terang Nia.

”Aku baru tahu. Lambang opus itu apa?”

”Orphiucus! Bukan opus! Lambangnya ular kobra.”

Aldi hanya mengerutkan dahinya.

”Eh, ada kerang,” seru Nia, seraya bangkit dari tidurnya. Nia mengambil kerang yang agak besar, lalu menempelkan kerang itu ke telinganya.

Aldi kembali mengerutkan dahinya.

”Dengar...,” ucap Nia perlahan. ”Konon, kalau kau bisa mendengar suara dalam kerang, berarti kau telah mendengarkan suara dunia. Karena, kerang ini sudah berkeliling dunia.”

”Sini aku coba dengar,” ucap Aldi, sambil menempelkan kerang itu ke telinganya. ”Nggak ada suara apa-apa, tuh!”

”Kubawa pulang saja, siapa tahu Rachel bisa dengar.”

Aldi terdiam. ”Kau saat begini masih saja memikirkan sainganmu.”

”Dia temanku, dia anak yang baik,” ucap Nia.

Aldi tersenyum. Nia benar-benar wanita yang polos. Seharusnya dulu dia mengenal Nia seperti ini. Yakin, deh, Aldi tidak akan mencari wanita-wanita lain untuk mengisi hidupnya.

Polling sampai sore ini, Nia dan Rachel masih bersaing amat ketat. Mereka bergantian menduduki posisi teratas, ujar Toni.

”Aku tidak akan terpengaruh pada polling,” ucap Aldi, sambil bersandar pada kursi malas yang digoyangkannya.
Margi menatap Aldi. ”Memangnya ada apa?”

”Aku akan memilih sesuai hati nuraniku,” ucap Aldi.

”Al, ini hanya drama. Kau, kok, jadi serius begini?” tanya Toni.

”Aku sudah bosan berganti pacar terus, Ton. Aku ingin yang pasti. Mungkin cara menemukannya aneh, yaitu melalui acara konyolmu ini. Tetapi, aku rela, kok, dibilang bodoh atau melankolis, asalkan aku menemukan wanita yang tepat untukku,” ucap Aldi.

Margi dan Toni memandangi Aldi dengan seksama. ”Al,” Toni kembali buka suara, ”saranku... jangan mengikuti perasaanmu dalam hal ini. Kau harus profesional. Mungkin kau terlalu dalam memahami peranmu, jadi kau terbawa alur cerita ini secara berlebihan.”

Aldi memandang Toni tajam. ”Aku sudah menentukan pilihan.” Lalu, beralih pada Margi, ”Menurutmu, siapa pun pilihanku, apakah akan berefek buruk pada karier dan citraku di masa mendatang?”

”Tidak,” jawab Margi. ”Kedua wanita ini bisa memberimu image positif, karena keduanya bersih dari gosip dan tidak pernah terlibat berita yang tidak mengenakkan.”

”Sekarang, akulah dalang dalam acaraku sendiri,” ucap Aldi pada Toni.

Toni menatap balik Aldi. ”Kuharap kau beruntung!”

”Selamat malam, Indonesia, semua perhatian tersedot dalam acara final ini. Selamat menyaksikan siaran langsung yang akan menentukan hidup para wanita ini. Rachel dan Rahmania. Siapakah yang akan menjadi Cinderella malam ini? Meraih hati sang idola dan menghancur hati jutaan wanita lain. Kita lihat pilihan sang idola.”

Rachel menghampiri Aldi yang tampak menawan dengan setelan jas hitam. Aldi berdiri di tengah hall dengan gagah. Rachel melenggang dengan gaun merah dan tampil dengan dandanan sempurna.

”Rachel, kau adalah kekasihku yang paling sabar menghadapi kelakuanku,” ucap Aldi. Rachel tersenyum malu. ”Kau lembut hati, tetapi tidak cengeng. Cintamu padaku tidak diragukan lagi.”

Rachel memandang wajah Aldi yang dicintainya dengan penuh harap.

”Tetapi, kau tidak bisa mengubah cara berpikirku dan caraku memandang dunia,” ucap Aldi, disambung tatapan heran dari Rachel. ”Aku mendambakan wanita yang bisa melunakkan keras hatiku dan membuka pikiranku akan hal baru. Aku sadar aku sombong dan menyebalkan. Tetapi, dimanja olehmu membuatku merasa selalu dimaafkan dan terus mengulangi perbuatan yang sama. Aku perlu wanita yang bisa mengubah cara berpikirku terhadap dunia dan tegas padaku. Maafkan aku, Rachel.”

Rachel menarik napas perlahan. Matanya berkaca. ”Aku mencintaimu apa adanya. Rela berdampingan denganmu dengan segala kekuranganmu. Kupikir, dengan memahamimu bisa membuatku pantas jadi pasanganmu. Aku sudah berusaha menerimamu apa adanya dengan segala kekecewaan yang kuterima darimu. Tetapi, kau masih saja tidak bisa memahami pengorbananku. Kuharap kau dapat yang lebih baik dariku,” ucap Rachel, lalu keluar hall sambil tersedu.

Margi, Toni, dan para kru hanya terdiam.

Aldi mengembuskan napas dengan keras. Ternyata, Rachel memang mencintainya, tetapi cinta tidak bisa dipaksa. Aldi tidak bisa mencintainya, meskipun diberi kesempatan kedua.

”Kau siap untuk Nia?” tanya Toni.

”Siap,” ucap Aldi tegas.

Nia masuk dengan mengenakan gaun kehijauan yang sangat anggun. Makin hari Nia terlihat makin cantik saja. Wajahnya dibingkai make up sempurna dan model rambut yang membuatnya tampak dewasa.

”Nia,” ucap Aldi perlahan.

”Dulu aku hanya mengenalmu sebentar di tengah kekalutan pikiranku. Aku lari dari kenyataan dan mencari tempat bersembunyi. Kau sudah menemaniku saat itu. Aku menyesal tidak mengenalmu lebih dekat saat ini,” ucap Aldi.

Nia tersenyum sambil berkaca-kaca.

”Makin mengenalmu, aku makin merasa ingin terus bersamamu. Aku tahu kau sangat baik dan sederhana. Kuharap, kau kelak bisa mengimbangiku dan membimbingku untuk berperilaku lebih baik pada orang lain. Apakah kau mau menerimaku kembali dan memberiku kesempatan kedua?” tanya Aldi.

Nia tersenyum.

Toni memberi kode pada Bryan. Bryan segera membawa kotak mendekati Aldi dan Nia. Bryan membuka kotak itu, ada sebuah cincin dan selembar cek bertuliskan Rp500 juta. ”Aldi sudah menentukan pilihannya padamu, Nia. Pilihan yang sulit untuk menentukan antara kau dan Rachel. Kini giliranmu. Mendapatkan cinta sejati dari seorang idola atau mendapatkan uang Rp500 juta?” tanya Bryan.

Nia tersenyum sambil menatap wajah tampan Aldi. Wajah pria yang dikenalnya bertahun-tahun lalu, kini telah dewasa dan menawan. Nia berpikir, inikah yang dirasakan Rachel, godaan untuk memiliki kembali sang idola menggelitik hatinya.

”Aku memilih uang Rp 500 juta,” ucap Nia, tegas.

Seluruh orang di ruang itu tersentak kaget!

”Aku lebih membutuhkan uang daripada Aldi,” lanjutnya.

Aldi memandang Nia tidak percaya. ”Kau... bercanda?”

”Tidak! Aku serius! Amat serius!”

”Tapi, kupikir... selama ini kaulah yang paling tulus daripada mereka.”

”Maksudmu apa? Itu hanya strategi! Kau pikir, aku jalan malam-malam hanya untuk melihat bintang. Kau pikir, dong, niat sekali aku tiap malam lihat bintang. Aku hanya ingin dapat momen darimu. Aku hanya memberi kesan baik padamu. Inilah reality show, Al. Inilah pertunjukan yang sebenarnya! Aku selama ini hanya akting!” ucap Nia.
Aldi menatap Nia tanpa berkedip.

”Harusnya kau mendengarkan peringatan Rachel. Dia amat perhatian padamu dan tahu pertanda buruk tentang diriku!”

Aldi berusaha menahan amarahnya. Toni segera memberikan isyarat untuk break iklan.

”Nia! Apa-apaan kau?! Ini siaran langsung! Kau mempermalukan aku!” umpat Aldi. Tapi, Nia tersenyum cuek.

”Aku tidak butuh marahmu. Aku akan pergi dengan uang Rp500 jutaku. Dan selamat tinggal sang idola yang hancur,” ucap Nia, seraya berlalu menuju kamarnya. Aldi tidak terima, dia mengejar Nia.

”Apa salahku padamu?” tanya Aldi ”Teganya kau berbuat ini padaku. Kalau kau menolakku, kau bisa melakukannya setelah acara ini selesai!”

Nia menghentikan langkahnya. ”Aku tidak tahu kalau kau menganggap ini terlalu serius.”

”Kau licik, Nia!” umpat Aldi.

”Ini pelajaran untukmu. Kau meninggalkanku begitu saja. Bagaimana? Sekarang giliranmu kutinggalkan. Enak rasanya?” tanya Nia.

”Ini beda, Nia!” bantah Aldi.

”Sama! Apa yang kurasa dulu sama seperti yang kau rasa kini. Kau meninggalkanku begitu saja. Lalu, kau jadi artis tenar. Aku sering berusaha menemuimu, tapi kau menganggapku seperti penggemarmu yang lain.”

”Ta... tapi, Nia, aku kan saat itu... aku betul-betul tidak ingat kamu...,” ucap Aldi.

”Kenapa kau sama sekali tidak ingat?” tanya Nia. ”Padahal, dulu setiap hari kau memberikan puisi untukku. Setiap hari kita juga melihat bintang.”

”Aku tidak tahu, aku memang tidak ingat!”

”Itu karena kau tidak menghargai orang-orang yang telah hadir dalam hidupmu. Kau sombong! Kau meremehkan semua orang. Ucapan manismu padaku hanya buih saja yang begitu mudah kau lupakan. Kau sama sekali tidak memikirkan perasaanku.”

Percuma semua tim produksi membujuk Nia untuk mem­buat episode khusus untuk memperbaiki citra Aldi. Awalnya, berbagai komentar tentang acara ini ramai mengisi berbagai media. Namun, dengan berlalunya waktu, mereda ditimpa berita selebritas lain yang lebih up to date.

Aldi mendekam dalam kesedihan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Terhina, kecewa, dan merasa malu. Aldi duduk di sudut kamarnya. Wajahnya pucat. Akhir-akhir ini, Aldi tidak bisa tidur. Perlahan digerakkan tangannya menyentuh pipinya. Air mata.... Ternyata aku punya air mata, ucap Aldi dalam hati.

Terdengar sayup-sayup percakapan Margi dan Toni dari balik pintu. Margi dan Toni sedang ada di ruang tengah.
”Sebenarnya Nia itu siapa?” tanya Margi.

”Entahlah. Saat aku sedang mewawancarai para mantan kekasih Aldi, tiba-tiba dia datang dan langsung bersedia ikut acara. Kupikir, kenapa tidak.”

”Kok, dia bisa begitu tega pada Aldi?” tanya Margi lagi.

”Kupikir, dialah yang paling mencintai Aldi. Dia ingin Aldi berubah, bagaimanapun caranya, meskipun harus dibayar dengan kebencian Aldi pada dirinya.”

”Tetapi, Aldi sampai seperti itu. Kupikir, ini terlalu kejam.”

”Aldi akan bangkit, setiap orang yang ada pada titik rendah akan muncul kembali dengan pribadi yang lebih matang. Aku tahu tentang artis-artis yang jatuh bangun karena berbagai masalah, tetapi tetap eksis. Setiap orang punya kesempatan kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya. Aldi hanya butuh waktu untuk membangun dirinya sendiri.”

”Kuharap kau benar. Seharusnya, kalau Nia ingin mengubah sifat Aldi, dia tidak perlu membuat Aldi seperti itu,” ucap Margi.

”Entahlah, tampaknya Nia ingin proses pembelajaran bagi Aldi secara instan. Sepertinya dia diburu waktu.”

”Aku mau ibumu,” ucap Aldi kecil.

”Tapi, dia ibuku. Dia satu-satunya yang kupunya,” ujar Nia kecil.

”Kalau kita menikah, ibumu jadi ibuku, ’kan?” tanya Aldi kecil.

”Kau janji?”

”Janji.”

”Kau tahu,” ujar Nia kecil. ”Jika seluruh waktuku sudah habis, dan Tuhan hanya menyisakanku satu permohonan, aku hanya ingin....”

”Ingin apa?” tanya Aldi kecil.

”Ingin kau tetap mengenangku.”

Nia membuka matanya, kenangan itu hadir dalam mimpi.

”Nona Nia?”

”Ya.”

”Ayo, bersiap untuk operasi,” ucap seorang perawat.

Nia memegangi kepalanya. Lalu, menatap perawat itu. ”Suster... kalau terjadi apa-apa denganku, tolong kirimkan surat ini. Ini untuk ibuku di desa,” ucap Nia, sambil memberikan sepucuk surat pada perawat.

”Nona Nia...,” ucapnya sedih.

”Sudahlah, aku terima apa pun risiko operasinya nanti. Aku tidak menyesal akan hidup ini, karena aku telah bertemu kembali orang yang kucintai,” ucap Nia sambil tersenyum.

No comments: