12.22.2010

Tuhan...Beri aku waktu 1 jam saja

Los Felidas adalah nama sebuah jalan di ibu kota
sebuah negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan
terkumuh diseluruh kota ..
Ada sebuah kisah yang menyebabkan jalan itu begitu
dikenang orang, dan itu dimulai dari kisah seorang pengemis
wanita yang juga ibu seorang gadis kecil.

Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi
beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa ia
bukan penduduk asli disitu, melainkan dibawa oleh suaminya
dari kampung halamannya. Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini,
kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, dan
belum setahun mereka di kota itu, mereka kehabisan seluruh
uangnya, dan pada suatu pagi mereka sadar bahwa
mereka tidak tahu dimana mereka tidur malam nanti dan tidak
sepeserpun uang ada dikantong.

Padahal mereka sedang menggendong bayi mereka yang
berumur 1 tahun. Dalam keadaan panik dan putus asa, mereka
berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya, dan akhirnya tiba
di sebuah jalan sepi dimana puing-puing sebuah toko
seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.

Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa
titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat
dibawah atap toko itu, sang suami berkata: "Saya
harus meninggalkan kalian sekarang. Saya harus mendapatkan
pekerjaan, apapun, kalau tidak malam nanti kita akan
tidur disini." Setelah mencium bayinya ia pergi. Dan ia tidak
pernah kembali.

Tak seorangpun yang tahu pasti kemana pria itu
pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal
yang menuju ke Afrika.
Selama beberapa hari berikutnya sang ibu yang malang
terus menunggu kedatangan suami nya, dan bila malam tidur
di emperan toko itu.

Pada hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan
susu,orang-orang yang lewat mulai memberi mereka
uang kecil, dan jadilah mereka pengemis di sana selama 6
bulan berikutnya.
Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan
memutuskan untuk bekerja.

Masalahnya adalah di mana ia harus menitipkan
anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, dan tampak amat cantik
jelita. Tampaknya tidak ada jalan lain kecuali meninggalkan
anak itu disitu dan berharap agar nasib tidak memperburuk
keadaan mereka.
Suatu pagi ia berpesan pada anak gadisnya, agar ia
tidak kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya
pergi atau menawarkan gula-gula.

Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan
dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat.

"Dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup
uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, dan kita
tidak lagi tidur dengan angin di rambut kita".
Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh
kesungguhan.
Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka
tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, dan membaringkan
anak nya dengan hati-hati di dalamnya.
Di sebelahnya ia meletakkan sepotong roti.
Kemudian, dengan mata basah ibu itu menuju kepabrik
sepatu, di mana ia bekerja sebagai pemotong kulit.
Begitu lah kehidupan mereka selama beberapa hari,
hingga di kantong sang Ibu kini terdapat cukup uang untuk
menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh.
Dengan suka cita ia menuju ke penginapan orang-orang
miskin itu, dan membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi
siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya
amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, dan
membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota .

Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan
baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya dan
membawanya ke sebuah rumah mewah
dipusat kota. Di situ gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah
pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa
punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18
tahun. Mereka memberi nama anak gadis itu Serrafona, dan
mereka memanjakannya dengan amat sangat. Di tengah-tengah
kemewahan istana itulah gadis kecil itu tumbuh
dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti
merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano.Ia
bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, dan
mengendarai Mercedes Benz kemanapun ia pergi.

Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya,dan
bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.

Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai
anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain
piano, yang aktif di gereja, dan yang sedang menyelesaikan
gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian
tiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter
muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.

Setahun setelah perkimpoian mereka, ayahnya wafat,
dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa
perusahaan dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi
dengan taman bunga dan istana yang paling megah di kota itu.

Menjelang hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu
terjadi yang merubah kehidupan wanita itu.

Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar
mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di
laci meja kerja ayah nya ia melihat selembar foto seorang anak
bayi yang digendong sepasang suami istri.
Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu
lusuh, dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena
walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam.
Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup
kencang. Ia mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan
pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian ia
membuka lemarinya sendiri, dan mengeluarkan sebuah kotak
kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia
menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung
berlian hingga surat-surat pribadi.
Tapi diantara benda-benda mewah itu terdapat sesuatu
terbungkus kapas kecil, sebentuk anting-anting
melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan emas murni.

Ibunya almarhum memberinya benda itu sambil berpesan untuk
tidak kehilangan benda itu. Ia sempat bertanya, kalau itu
anting-anting, di mana satunya. Ibunya menjawab
bahwa hanya itu yang ia punya. Serrafona menaruh anting-anting
itu didekat foto.

Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan
melihatnya dan
perlahan-lahan air matanya berlinang . Kini tak ada
keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri.
Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, yang
tersenyum dibuat-buat, belum penah dilihatnya sama sekali.
Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada
ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanya annya,
misalnya: kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua
orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.

Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat
abad terpendam, berkilat di benaknya, bayangan seorang
wanita membelai kepalanya dan mendekapnya di dada. Di
ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dinginnya sekelilingnya
tetapi ia juga merasa betapa hangatnya
kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada
wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu
bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.

Mata nya basah ketika ia keluar dari kamar dan
menghampiri suaminya yang sedang membaca koran: "Geraldo,
saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu
saya masih ada di jalan sekarang setelah 25 tahun?"

Itu adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari
masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu
diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar ke seluruh jaringan
kepolisian diseluruh negeri.

Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang
cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan
dukungan dari seluruh kantor kearsipan, kantor surat kabar
dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan -yayasan untuk mendapatkan data
dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di
seluruh negeri dan mencari data tentang seorang
wanita.

Bulan demi bulan lewat, tapi tak ada perkembangan
apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis
25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukan
sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah.
Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus
menerus meningkatkan pencarian mereka. Kini, tiap kali
bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh,
sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik.

Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum
sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa mengabaikannya
selama seperempat abad.
Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih
ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu
suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya
mengangguk-angguk penuh pengertian.

Pagi, siang dan sore ia berdoa: "Tuhan, ijinkan
saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup saya:
temukan saya dengan ibu saya".

Tuhan mendengarkan doa itu. Suatu sore mereka
menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu
mereka menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka
terbang ke tempat itu, sebuah rumah kumuh di daerah lampu
merah, 600 km dari kota mereka.

Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang
separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di
dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa
ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan,
sekitar 25 tahun yang lalu.

Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia
masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia
mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona
memberi anak perempuan yang menjaga wanita itu sejumlah
uang, dan malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana
Serrafonna diculik.

Mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan
orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu.
Semalaman Serrafona tidak bisa tidur.
Untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia
begitu yakin bahwa ibunya masih hidup sekarang, dan sedang
menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00
senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff
mereka. "Tuhan maha kasih, Nyonya, kalau memang
Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu
Nyonya. Hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak banyak
lagi." Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi,
dipinggiran kota yang kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah di
sepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil
tanpa baju bermain-main ditepi jalan.

Dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan
yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan
berikut nya yang lebih kecil lagi.
Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang
semakin menunjukkan kemiskinan. Tubuh Serrrafona gemetar, ia
seolah bisa mendengar panggilan itu. "Lekas, Serrafonna,
mama menunggumu, sayang".

Ia mulai berdoa "Tuhan, beri saya setahun untuk
melayani mama. Saya akan melakukan apa saja".

Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih
kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia
berdoa: "Tuhan beri saya sebulan saja".

Mobil belok lagi kejalanan yang lebih kecil, dan
angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah
jendela mobil yang terbuka. Ia mendengar lagi panggilan
mamanya , dan ia mulai menangis: "Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak,
cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan ".

Ketika mereka masuk belokan terakhir, tubuhnya menggigil
begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat.
Jalan itu bernama Los Felidas.
Panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan
yang tampak dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Di
tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah
toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik,
dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua
dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak-gerak.

Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya
dan 3 mobil polisi. Di belakang mereka sebuah
ambulansberhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain.
Dari kanan kiri muncul pengemis- pengemis yang
segera memenuhi tempat itu.

"Belum bergerak dari tadi." lapor salah
seorang. Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya
untuk meraih kesadarannya dan turun.
Suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu
ibu mertuanya. "Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi
kau harus menguatkan hatimu ."

Serrafona memandang tembok dihadapann ya, dan ingat
saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai
di kaki nya dan ingat ketika ia belajar berjalan.
Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkan
nya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir keluar
ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan
wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.

"Tuhan, ia meminta dengan seluruh jiwa
raganya,beri kami sehari...... Tuhan, biarlah saya membiarkan mama
mendekap saya dan memberitahunya bahwa selama 25
tahun ini hidup saya amat bahagia....Jadi mama tidak
menyia-nyia kan saya".

Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya.
Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan
memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju
mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke
arah wajah penuh air mata yang tampak seperti wajahnya
sendiri ketika ia masih muda.

"Mama.. ...", ia mendengar suara itu, dan ia
tahu bahwa apa yang ditunggunya tiap malam - antara waras
dan tidak - dan tiap hari - antara sadar dan tidak - kini
menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatann ya
menarik lagi jiwanya yang akan lepas.

Perlahan ia membuka genggaman tangann ya, tampak
sebentuk anting-anting yang sudah menghitam.
Serrafona mengangguk, dan tanpa perduli
sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan
kepalanya di dada mamanya.

"Mama, saya tinggal di istana dan makan enak tiap
hari. Mama jangan pergi dulu. Apapun yang mama mau
bisa kita lakukan bersama-sama.
Mama ingin makan, ingin tidur, ingin bertamasya,
apapun bisa kita bicarakan. Mama jangan pergi dulu...
Mama..."

Ketika telinganya menangkap detak jantung yang
melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: "Tuhan maha pengasih
dan pemberi, Tuhan..... satu jam saja.... ...satu jam saja....."

Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja
dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang
menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad
tidak berakhir sia-sia.

Teman....mungkin saat ini kita sedang beruntung.
Hidup ditengah kemewahan dan kondisi berkecukupan. . Mungkin
kita mendapatkannya dari hasil keringat sendiri tanpa
bantuan orang tua kita. Namun yang perlu kita sadari, bahwa
orang tua kita senantiasa berdoa untuk kita, meski itu
hanya di peraduan

No comments: