12.22.2010

Wanita Kedua

Aku bertemu dengannya di sebuah kafe. Saat itu aku sedang berusaha menghilangkan kegundahan hatiku, akibat ditinggalkan Papa untuk selama-lamanya.

Aku sedang menikmati secangkir cappuccino dan sepotong avocado mousse, ketika tatapan mataku bersirobok dengan wanita itu. Wajahnya cantik, seperti artis-artis sinetron yang sering kulihat di televisi. Paling-paling, usianya tidak terlalu jauh di atasku. Kami bertatapan selama beberapa menit, sebelum akhirnya aku membuang muka. Aku mencoba menikmati kembali avocado mousse di depanku, yang tinggal tersisa separuh. Hatiku terlalu sedih untuk mengurusi orang lain, sekalipun aku merasa pernah melihat wanita tadi. Entah di mana, aku tak ingat.

Kucoba mencuri pandang kembali. Wanita itu tampak bangkit dari kursinya dan meninggalkan kafe. Aku mengembuskan napas lega. Entah mengapa, sepertinya ada daya magis yang dipancarkan wanita tadi. Daya magis yang seolah membuat napasku sesak. Aku sedikit heran karena sepertinya baru kali ini aku melihatnya. Tapi, aku tak mengerti, mengapa aku merasa tidak asing pada wajah itu.

“Sedang menunggu siapa, San?”

Sebuah suara mengagetkanku. Seketika kepalaku berputar mencari sumber suara. Ternyata, wanita tadi! Bukankah dia tadi telah meninggalkan kafe? Dan, bagaimana dia bisa tahu namaku?

Melihatku terkejut, wanita itu justru mengulurkan tangannya.

“Kita belum berkenalan. Namaku Jeanny. Aku teman papamu... almarhum papamu,” katanya.

Aku melihat ada gurat kesedihan di wajahnya.

O... pantas, pikirku. Mungkin saja, aku pernah bertemu dengannya ketika diajak Papa menghadiri sebuah acara. Jeanny lalu duduk di depanku.

“Boleh, ‘kan?” tanyanya, meminta persetujuan.

Aku hanya mengangguk pelan. Apa yang bisa kulakukan selain memberinya izin? Toh, ia hanya minta izin untuk duduk di kursi yang bukan milikku.

“Aku baru saja mendengar kabar meninggalnya papamu. Aku benar-benar kaget. Sudah sebulan kami kehilangan kontak. Aku tidak tahu apa-apa tentang sakitnya,” katanya.

Aku paham. Sebulan yang lalu itu tepat saat Papa muntah darah dan harus dilarikan ke rumah sakit. Papa koma dan tentu saja tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun. Teman-temannya yang datang menjenguk pun tidak mendengar kabar itu dari kami, melainkan dari informasi yang beredar dari mulut ke mulut. Kami tidak sempat memberitahukan keadaan Papa pada siapa pun, kecuali keluarga terdekat.

“Sakit apa, sih, papamu?” tanyanya dengan nada prihatin.

“Sirosis. Dulu memang Papa pernah dirawat karena lever. Tapi, kami pikir Papa hanya kecapekan. Kami tidak tahu bahwa penyakitnya bisa berkembang seperti ini. Lagi pula, sepertinya Papa berusaha menutupi sakitnya dari kami. Mungkin, Papa tidak i­ngin membuat kami susah. Ehm, ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu namaku?”

Jeanny tersenyum.

“Papamu pernah memperlihatkan foto kamu. Lagi pula, tidak sulit, kok, mengenalimu. Karena, wajahmu mirip banget dengan Benny. Hidung dan dagumu benar-benar mirip,” jawab Jeanny.

Ya, memang banyak orang mengatakan wajahku mirip Papa. Darah Belanda yang mengalir di tubuh Papa membuat kami memiliki hidung dan dagu yang khas. Kata orang-orang, kami bertampang indo. Begitulah.

“Apa yang terjadi pada Benny?” tanya Jeanny.

“Lebih kurang sebulan lalu, Papa tiba-tiba muntah darah dan sejak saat itu Papa tidak pernah betul-betul sadar. Kalaupun sadar, Papa begitu kesakitan, sehingga harus diberi suntikan penenang. Sehingga, sampai Papa meninggal pun, kami tidak banyak berbicara dengannya.”

Cerita itu telah berkali-kali kuulangi setiap kali ada yang menanyakan. Bercerita tentang Papa sebenarnya masih sangat menyakitkan, meski dua minggu telah berlalu sejak kepergiannya.

“Maaf, ya, San, aku membuat kamu sedih. Aku hanya penasaran, bagaimana mungkin Benny yang terlihat segar tiba-tiba bisa anfal,” kata Jeanny, tampak prihatin.

Sejak tadi, Jeanny menyebut nama Papa tanpa embel-embel. Itu agak mengherankan. Karena, dilihat dari penampilannya, sepertinya Jeanny belum terlalu tua. Tapi, sudahlah, di zaman sekarang sopan santun semacam itu mungkin sudah tak berlaku lagi.

“Itulah yang kami sekeluarga sesali. Apalagi, kata dokter, bila dideteksi sejak awal, sebetulnya penyakitnya masih bisa disembuhkan. Tapi, ini sudah menjadi kehendak Tuhan,” aku mencoba tabah. Kulihat Jeanny berusaha menahan air mata.

“Jean, di mana kamu mengenal Papa?” aku mencoba menggali keterangan darinya. Karena, sepertinya dia cukup mengenal Papa. Apalagi, menurutnya, Papa pernah memperlihatkan fotoku padanya. Tentu Papa tak melakukan hal itu kepada sembarang orang.

“Oh, itu sudah sangat lama. Mungkin hampir sepuluh tahun yang lalu. Kami dikenalkan oleh seorang rekan bisnis papamu. Seiring waktu, aku pun sering terlibat bisnis bersama papamu,” jawab Jeanny, sambil menghirup espresso yang baru dipesannya.

Aku mengangguk-angguk. Ya, kebanyakan teman Papa di Jakarta memang dari lingkungan bisnis, karena Papa memulai usahanya di Jakarta. Pendidikannya sejak SD sampai universitas diselesaikannya di Sulawesi Utara, tanah kelahirannya. Jadi, kebanyakan orang yang dikenalnya adalah dari lingkungan tersebut. Kuakui juga, Papa bukan orang yang pandai bergaul, meski dia sangat jeli dalam melihat peluang bisnis. Papa sedikit arogan. Bagi beberapa orang, sifatnya itu mungkin kurang menyenangkan. Tapi, bagiku, itulah keunikan Papa. Buktinya, ibuku yang asli Yogya itu saja bisa jatuh hati kepadanya. Itulah Papa, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dan, aku sangat memujanya.

“Kamu sudah bekerja?” tanya Jeanny, memecah lamunanku.

“Ya, di bank. Belum lama. Aku masih belum banyak menimba pengalaman dalam hal kerja, apalagi bisnis.”

Jeanny tertawa kecil.

“Tapi, kata Benny, kamu cerdas dan selalu menjadi yang terbaik. Pasti tidak akan sulit menjadi yang terbaik di tempat kerjamu juga,” katanya, memuji.

“Ah, biasalah, seorang ayah pasti akan selalu memuji anaknya,” aku mencoba rendah hati.

Jeanny tertawa lagi.

“Tidak juga. Papaku tidak pernah memujiku, seperti Benny memujimu. Mungkin, karena prestasiku di sekolah biasa-biasa saja, ya?“ Jeanny masih berusaha memujiku.

Ah, wanita ini penuh basa-basi, pikirku. Meski demikian, aku senang pada keramahannya itu.

Setelah bercerita banyak tentang Papa, termasuk tentang pribadi kami masing-masing, Jeanny permisi hendak pergi ke suatu tempat. Ia memberi kartu namanya padaku dan berjanji akan menghubungiku lagi kapan-kapan. Aku pun meninggalkan kafe karena jam sudah menunjukkan pukul 10 malam.

Sejak pertemuan di kafe di kawasan Pondok Indah itu, aku dan Jeanny sering berhubungan melalui telepon. Kami juga sering jalan-jalan di mal bersama. Mungkin, karena kondisiku yang rapuh sejak ditinggal Papa, aku sangat menyukai perhatian darinya. Ternyata, Jeanny lebih tua delapan tahun dariku. De-ngan perbedaan usia yang cukup banyak itu, aku merasa Jeanny bisa menjadi kakak bagiku. Apalagi, sebagai anak tunggal, sudah lama aku me-rindukan figur seorang kakak. Aku ingin punya seseorang yang bisa kujadikan teman berbagi dalam berbagai hal.

Meskipun aku adalah anak satu-satunya yang mereka miliki, Papa dan Mama tidak pernah memanjakanku. Papa selalu menanamkan kedisiplinan. Meskipun uangnya banyak, Papa tidak pernah memberinya dengan cuma-cuma. Jika ingin tas atau sepatu baru, aku harus menunjukkan prestasi di sekolah. Aku harus menunjukkan bukti nilai ulangan di atas 9, baru boleh meminta sesuatu. Itu sebabnya, prestasiku sejak SD hingga SMA selalu bagus. Kebiasaan itu terbawa hingga di perguruan tinggi. Untuk mendapatkan mobil idamanku, IP-ku harus 4. Dan, itu benar-benar kubuktikan.

Tadinya, mendapat nilai terbaik kulakukan hanya untuk memperoleh hadiah, kini semua menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan yang positif tentunya. Aku selalu ingin berprestasi, setidak-tidaknya untuk mendapatkan perhatian Papa. Aku sangat bahagia bila melihat Papa tersenyum, ketika aku mengabarkan IP-ku yang selalu di atas tiga. Ketika aku berhasil lulus cum laude dari fakultas ilmu komunikasi, Papa begitu bangga. Papa langsung membelikanku city car keluaran terbaru berwarna biru, yang ku­idam-idamkan. Setelah mendapatkan pekerjaan di sebuah bank pun, Papa masih membanjiriku dengan hadiah, seolah aku ini masih putri kecilnya yang berumur 10 tahun.

Kini, setelah Papa pergi menghadap Tuhan, duniaku berubah total. Aku jadi banyak melamun. Selepas kerja, kuhabiskan waktuku di kafe, duduk minum kopi, sambil mengenang masa-masa indah saat Papa masih bersamaku. Aku melamun atau sekadar membaca majalah, sambil menghabiskan kopi perlahan-lahan, seolah aku berusaha berkawan dengan sepi, yang kini menghiasi hari-hariku. Sampai akhirnya aku bertemu Jeanny.

Suatu hari, setelah jalan-jalan di Plaza Senayan, Jeanny mengajakku ke rumahnya di daerah Jakarta Selatan. Rumah mungil berlantai dua di sebuah perumahan di kawasan Lebak Bulus itu cukup nyaman. Arsitekturnya bergaya art deco yang minimalis. Temboknya berwarna salem dengan jendela ala Eropa berwarna hijau tua.

Melihat lokasi dan material rumah Jeanny, kutaksir nilainya mencapai 1 miliar. Tapi, Jeanny sedikit merendah, “Dulu harganya belum setinggi itu. Lagi pula, aku membelinya dengan cara kredit, kok.”

Jeanny tidak bekerja di sebuah perusahaan. Dia mengaku mencari nafkah dengan bisnis jual-beli. Macam-macam yang dijualnya, mulai dari tanah, rumah, sampai berlian. Meskipun barang-barang itu tidak cepat terjual, bila kebetulan laku, keuntungannya bisa digunakan untuk hidup selama berbulan-bulan. Bahkan, dari bisnis itu pula, dia bisa memiliki deposito dan tabungan yang jumlahnya cukup besar. Aku mengagumi kemandiriannya. Aku ingin bisa sehebat dirinya.

Kata Jeanny, dia memilih berbisnis daripada bekerja kantoran agar tidak sering meninggalkan putra semata wayangnya yang kini berumur 9 tahun.

“Kasihan kalau Dito sering ditinggal sendirian dengan pembantu. Apalagi, papanya sudah meninggal,” begitu alasan Jeanny padaku.

Sewaktu kami datang, Dito baru saja pulang dari sekolah. Anak itu tampan dan lucu. Kulitnya putih dan rambutnya ikal. Kuperhatikan sepintas, hidungnya mirip denganku. Jeanny mungkin membaca pikiranku.

“Kayaknya, kamu cocok juga jadi ibunya Dito,” ledeknya.

Lalu, dia menyuruh Dito bersalaman denganku.

“Mama, bikin spaghetti saus keju, dong,” rengeknya, manja.

“Nanti, ya, Sayang. Mama kan sedang ada tamu,” jawab Jeanny, lembut, sambil melirik padaku.

“Nggak apa-apa, Jean. Bikin saja, biar aku bantu,” kataku pada Jeanny.

Jeanny agak ragu, tapi aku mengangguk untuk meyakinkannya.

Kami pun melangkah ke dapur mungil milik Jeanny. Dari lemari di dinding, Jeanny mengeluarkan sebungkus spaghetti dan merebusnya. Aku pun membantunya mengiris bawang bombay.

“Dito suka semua makanan yang mengandung keju. Spaghetti saus keju ini membuatnya gampang dan cepat. Kapan saja bisa dibuat,” kata Jeanny, sambil menaburkan keju parmesan di atas spaghetti yang telah disiram dengan saus keju. Dito makan dengan lahap. Aku dan Jeanny juga mencicipinya. Rasanya memang enak. Baru kali ini aku makan spaghetti dengan saus keju, karena biasanya selalu dengan tumisan daging atau seafood.

“Enak, ‘kan?” tanya Jeanny, seolah meminta pengakuan kehebatannya dalam memasak.

“Ya, enak, Jean. Ternyata, kamu pintar memasak. Kok, nggak membuat restoran saja?”

Jeanny menuang orange juice ke dalam gelas dan meminumnya.

“Pernah, sih, aku ingin membuat semacam kafe. Tapi, bisnis makanan kan repot banget, apalagi kalau mengerjakannya sendirian. Kalau ada partner, mungkin aku berani,” jawabnya.

Mendengar itu, tiba-tiba aku mendapat ide.

“Bagaimana kalau kita bekerja sama membuat kafe? Aku juga ingin membangun usaha sendiri. Papa meninggalkan tabungan yang lumayan atas namaku. Kalau usaha Papa, sih, sudah diambil alih oleh Mama. Aku nggak berbakat mengurus bisnis. Tapi, kalau makanan, aku suka,” kataku cepat.

Aku memang suka makan dan juga suka memasak. Sangat berbeda dari Mama. Mama paling tidak suka mengurus dapur. Bukan cuma tidak suka, aku pikir Mama juga tidak berbakat. Pernah suatu kali, Mama memasak ayam panggang untuk merayakan ulang tahun Papa. Rasanya? Uh... aku dan Papa tak sanggup menghabiskannya. Rasanya hambar, apalagi di bagian dalamnya. Selain bumbunya kurang, rasanya pun tak jelas. Kenapa bisa begitu, ya? Padahal, aku lihat sendiri Mama memasak, sambil melihat buku resep.

Karena tak tega pada Mama yang sudah bersusah payah memasaknya, kami terpaksa menghabiskan ayam panggang yang tak ada rasanya itu dengan bantuan sebotol besar soft drink. Setiap kali menelan sepotong daging ayam, kami harus mendorongnya dengan dua teguk minuman ringan, sampai-sampai perut kami menjadi kembung. Sepertinya, Mama sadar bahwa masakannya tidak enak, sebab sejak saat itu Mama tidak pernah memasak lagi. Dia lebih memilih membeli atau memesan masakan matang untuk acara-acara keluarga.

Dari perbincangan yang sepintas lalu itu, aku dan Jeanny mulai sering membicarakan kafe yang ingin kami buat. Kami begitu bersemangat. Kami sepakat bahwa bisnis ini sangat menarik. Selain potensial, juga sesuai dengan hobi kami berdua, yaitu memasak.

Dua minggu kemudian kami mulai membuat perencanaan. Menghitung anggaran dan dana yang tersedia. Setelah klop, kami berburu lokasi. Kami menemukan satu tempat yang bagus. Memang, harganya tidak murah, namun strategis dan sesuai dengan target market kami. Bangunannya juga masih baru, sehingga tidak banyak yang harus kami renovasi, kecuali menyiapkan interior kafe lengkap dengan furniture-nya.

Lokasinya di pinggir jalan utama sebuah perumahan, yang menjadi jalur alternatif ke perumahan-perumahan kelas atas di lokasi itu. Dengan demikian, kafe itu akan menjadi tempat yang pas untuk melepas lelah sepulang dari kantor. Juga tidak terlalu jauh untuk dijangkau oleh mereka yang sedang bosan berada di rumah.

Selain menjadi tempat untuk memanjakan lidah, kami juga ingin menjadikan kafe ini sebagai tempat refreshing. Karena itu, kami menyiapkan dua ruang tertutup untuk karaoke dan internet. Beragam kopi dan teh, mulai cappuccino, espresso, sampai kopi medan, kami sediakan. Juga ada macam-macam teh, seperti black tea, green tea, dan peppermint tea.

Kami juga menyediakan satu jenis teh spesial kafe yaitu rose tea. Aku mendapat idenya karena pernah meminum air seduhan bu­nga mawar untuk mengobati batuk yang tak kunjung sembuh. Resepnya kudapat dari seorang kerabat di Yogyakarta. Ternyata, selain bisa menyembuhkan batuk, rasanya pun nikmat. Kupikir, tak ada salahnya bila bunga mawar kujadikan salah satu pilihan aroma teh yang kuhidangkan di kafe kami.

Untuk makanannya, kami menyediakan tiramisu, blueberry cheesecake, avocado mousse, juga masakan Italia, seperti lasagna dan spaghetti saus keju dalam porsi kecil. Semua makanan adalah hasil racikan kami berdua, sehingga kami tidak perlu mempekerjakan chef profesional, yang gajinya sudah pasti tinggi. Cukup dua orang lulusan sekolah boga, yang dilatih khusus untuk memasak makanan hasil kreasi kami itu. Dengan dasar ilmu yang mereka miliki, dengan cepat mereka menguasainya, bahkan jauh lebih terampil daripada kami.

Jadwal kerja pun kami bagi. Jeanny menunggui kafe sejak pagi sampai sore, bergantian denganku yang bertugas malam hari sepulang dari kantor. Kadang-kadang, Jeanny menemaniku di kafe sebelum pulang ke rumahnya.
Untunglah, lokasi kafe tidak terlalu jauh dari rumahnya, sehingga dia bisa pulang kapan saja untuk menjenguk Dito. Tapi, Dito pun sering mampir sepulang sekolah. Kadang-kadang, dia datang bersama teman-temannya. Mereka begitu manis, tidak pernah berulah macam-macam. Biasanya, hanya memesan lemon tea, lalu main game di internet. Aku selalu mengirimkan beberapa potong brownies untuk menemani mereka bermain. Aku menyayangi Dito. Dia sudah seperti anak, sekaligus adik bagiku. Toh, aku belum terlalu tua untuk menjadi kakaknya.

Sepertinya, Mama juga menyukai Jeanny. Mereka bertemu saat pem­bukaan kafe. Mama menyukai keramahan Jeanny. Memang, Jeanny adalah orang yang pandai bergaul. Dalam sekejap dia bisa akrab dengan Mama. Kadang-kadang, Mama mampir ke kafe, bila se­dang jenuh di rumah, sekadar mengobrol dengan Jeanny, sambil me­nungguiku pulang dari kantor. Keakraban mereka kadang-kadang mem­buatku sedikit cemburu, tapi aku sadar, Mama memang sangat mem­butuhkan teman sejak ditinggal Papa untuk selama-lamanya.

Suatu hari aku melihat seorang pria paruh baya datang ke kafe kami. Ia terlihat sangat akrab dengan Jeanny. Bukan hanya akrab, tapi mesra. Setelah kutanyai, Jeanny mengaku, pria itu adalah kekasihnya. Namanya Wilman. Aku agak heran, ketika Jenny dengan enteng mengatakan bahwa Wilman adalah seorang pria beristri.

“Gila kamu, Jean. Suami orang dijadikan kekasih! Memangnya tidak ada pria lain?” tanyaku.

“Apa salahnya? Dia kan manusia biasa seperti kita. Kalau istrinya tidak bisa menyenangkan hatinya dan dia jatuh cinta pada kita, boleh, dong, dia jadi kekasihku,” katanya, sambil tertawa.

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Meskipun tidak setuju pada pendapat itu, aku tak berani mengkritiknya. Itu kehidupan pribadinya. Kami, toh, belum lama saling mengenal. Jadi, aku merasa tidak pantas memberikan kritik atau nasihat padanya. Tapi, aku kasihan pada Dito. Wajahnya selalu masam bila melihat mamanya bersama Wilman di kafe. Mungkin, dia cemburu melihat ada pria lain yang dekat dengan mamanya.

“Tapi, cinta sejatiku hanya untuk papanya Dito, kok.”

Ketika mengatakan itu, aku melihat guratan kesedihan di wajahnya. Aku selalu merasa bahwa di balik sifatnya yang terlihat tak peduli, Sandra menyimpan rahasia hidup yang begitu berat.

Sejak dekat dengan Wilman, Jeanny sering bepergian. Kami jadi jarang bertemu, kecuali bila kebetulan sedang berada di kafe. Apalagi, ia sering pergi ke luar kota, yang membutuhkan waktu beberapa hari. Aku tahu, Jeanny pergi bersama Wilman, dan Jeanny tidak berusaha menutupinya. Tapi, dia tidak pernah memberi tahuku sebelumnya, apalagi meminta pendapatku. Kupikir itu wajar. Toh, dia bukan anak kecil yang harus selalu minta izin, bila hendak melakukan sesuatu. Sifat terbukanya itu yang kusuka. Meski aku juga sedikit menyesal karena telah salah memilih teman. Bagiku, Jeanny mempunyai cara hidup yang begitu bebas, tepatnya terlalu bebas. Tapi, mungkin dia melakukan itu karena merasa kesepian, hidup sendirian selama bertahun-tahun.

“Memangnya, kamu tidak ingin menikah lagi?” tanyaku.

“Siapa yang mau menikah dengan wanita seperti aku? Sudah pernah menikah dan punya anak,” katanya, dingin.
“Setiap manusia ditakdirkan berpasang-pasangan. Seburuk apa pun kamu menilai dirimu, aku yakin, pasti akan ada seseorang yang berpikir dirimu adalah belahan jiwanya,” kataku, menasihatinya. Aku sedih melihat cara hidup Jean yang demikian. Aku ingin, suatu saat dia akan menikah lagi dan memberikan Dito seorang papa yang baik.

“Kalau yang kamu maksud itu cinta sejati, aku sudah kehilangan cinta sejatiku sejak papanya Dito meninggalkan aku. Tubuhku ini memang bisa dimiliki pria lain, tapi hatiku tidak.”

Kata-kata Jeanny itu begitu jelas menggambarkan isi hatinya. Sepertinya, Jeanny hanya mencintai satu orang: papanya Dito. Aku salut pada kesetiaan hati Jeanny pada cintanya.

Melihat cara hidup Jeanny, diam-diam aku sering memandang wajah Dito dan bertanya-tanya, siapakah ayah anak ini. Apalagi, selama ini Jeanny tidak pernah bercerita tentang suaminya. Di rumahnya yang indah itu tidak ada sepotong pun foto suaminya. Seolah, hal itu adalah misteri yang sengaja disembunyikannya dari semua orang. Aku hanya tahu, Jeanny pernah menikah sekitar 10 tahun lalu. Tapi, siapa dan seperti apa wajah suaminya, tetap menjadi sebuah rahasia yang tersimpan begitu rapat.

Aku tak berani bertanya pada Dito, karena sepertinya Dito pun menghindari percakapan tentang ayahnya. Apalagi, aku merasa Dito sangat tertekan karena kehilangan figur ayah. Sama tertekannya ketika melihat ibunya kini sering bepergian dengan pria bernama Wilman itu.

Terus-terang saja, aku merasa, Wilman tidak pantas untuk Jeanny. Selain karena pria itu sudah beristri, usianya juga sudah 55 tahun. Dia lebih pantas jadi ayah Jeanny. Kuakui, pria itu kaya. Dan, sepertinya, jabatannya di sebuah instansi pemerintah cukup tinggi. Setidak, itu terlihat dari mobil mewah yang dikendarainya.

Walaupun aku kurang menyukai Wilman, mau tak mau aku harus menerima keberadaannya sebagai kekasih Jeanny. Kami juga sering bertemu, baik di kafe, maupun di acara-acara yang diadakan olehnya. Dia sering mengundang kami. Biasanya, bila ia datang, aku lebih banyak menghabiskan waktu duduk sendirian, tak ikut mengobrol dengannya. Atau, bila Dito ada, kami akan ngobrol berdua, sementara Jeanny dan Wilman menghilang entah ke mana.

Suatu hari, Wilman mengadakan pesta ulang tahun Jeanny di sebuah restoran. Agar aku tidak bengong sendirian, Wilman berinisiatif mengajak temannya yang bernama Gunawan. Sebetulnya, Gun, begitu dia dipanggil, tidak terlalu tampan. Tubuhnya yang tidak seberapa tinggi itu sedikit gendut. Dia sudah berumur 50 tahun dan memiliki dua anak. Rambutnya pun tipis, bahkan cenderung botak. Kulitnya putih dengan mata yang sipit. Logatnya sangat kental, menunjukkan asalnya.

Dia tidak tampan, tapi menawan. Begitulah aku menilainya. Kecerdasan yang terpancar dari kedua bola matanya, membuatku tak pernah bosan memandangnya, saat dia sedang menjelaskan sesuatu, mulai dari strategi bisnis, sampai pengalamannya saat pergi ke kota-kota besar dunia. Pengalamannya begitu luas. Karena itu, dia bisa menjadi teman mengobrol yang sangat mengasyikkan. Sampai-sampai, aku pernah berpikir, alangkah beruntungnya istri Gunawan mendapatkan pria sehebat dia. Aku tak tahu, apakah ini yang dinamakan cinta? Sebab, dulu, paling-paling aku naksir pria hanya karena ketampanannya. Sangat berbeda dari kekaguman yang kurasakan pada Gunawan saat ini. Sepertinya Gunawan menyadari ketertarikanku padanya.

Jeanny menggodaku suatu hari.

“Sepertinya, kamu tertarik pada Gunawan, ya? Aku tidak menyangka, ternyata seleramu cukup tinggi,” katanya.
“Apa, sih, maksudmu dengan selera tinggi?” tanyaku, penasaran. Karena, bagiku, Gunawan bukan sosok yang istimewa secara fisik.

“Gunawan itu sangat kaya, Non. Hartanya bisa membiayai hidupmu. Sampai tujuh turunan pun tak akan habis. Wilman, sih, kalah. Maklum, pegawai negeri. Kalau mau kaya, dia harus korupsi. Itu pun tidak bisa banyak-banyak, agar tidak terlalu mencolok,” kata Jeanny, ngawur.

“Kamu ngomong apa, sih?”

“Maaf, aku lupa bahwa kamu juga anak orang kaya. Materi itu nomor kesekian. Tapi, kalau benar kau suka padanya, pilihanmu sebenarnya tidak salah. Kalau belum ada Wilman, mungkin aku juga bersedia. Tapi, tidak etis kan kalau aku mencuri pria incaran teman,” celoteh Jeanny.

“Tidak etis? Kamu pikir, berhubungan dengan suami orang itu bisa dikatakan etis?”

Jeanny mengerling nakal.

Aku hanya bisa tertawa. Sejak Jeanny berterus-terang tentang gaya hidupnya yang bebas, aku tak lagi merasa itu sebuah aib atau kejahatan. Aku hanya berusaha memahaminya sebagai sebuah pilihan hidup.

Memang, kuakui, aku terkagum-kagum pada figur Gunawan. Tentu saja, itu di luar kemampuan finansialnya. Seperti kata Jeanny, aku tidak melihat bahwa kekayaan merupakan sebuah daya pikat tersendiri dari seorang pria. Mungkin, itu karena secara materi aku juga cukup berada. Tapi, aku jatuh cinta pada kecerdasannya. Atau, mungkin juga, aku melihat figur ayah pada diri Gunawan. Bisa jadi. Tapi, berpacaran dengan suami orang? Amit-amit, ah! Biar Jeanny saja yang melakukannya.

Aku masih saja bertanya-tanya, seperti apakah wanita yang beruntung menjadi istri Gunawan itu. Dalam sebuah perbincangan, aku pernah menanyakannya. Gunawan menjelaskan bahwa istrinya cantik dan lembut. Wanita itu lebih muda 17 tahun darinya. Jadi, kurang lebih usianya kini 33 tahun. Namanya Rini. Pernikahan mereka terjadi karena perjodohan. Gunawan mengaku terlambat menikah karena dia tak pandai bergaul. Menurutnya, ketika menikah dulu Rini masih terbilang lugu, baru saja lulus SMA. Saat menikah, usianya 18 tahun dan Gunawan 35 tahun.

Saat bercerita, kulihat Gunawan seperti menyimpan permasalahan yang berat. Ia bercerita dengan suara pelan dan tersendat.

“Dulu, dia gadis yang sangat lugu. Baju-baju dan perlengkapan kosmetiknya pun harus aku yang membelikan. Aku juga yang mengantarnya ke salon agar tampak lebih gaya. Tentu saja, aku tidak ingin punya istri yang terlihat kampungan, sekalipun wajah Rini bisa dikatakan cantik.”

“Lalu, sekarang bagaimana? Apakah masih harus diantar ke salon juga?” tanyaku, bercanda.

Aku tak menyangka pertanyaanku itu justru membuat wajah Gunawan makin masam.

“Mengantar ke salon? Ah, tidak perlu. Sekarang dia sudah bisa menyetir mobil sendiri. Ke mana-mana dia pergi sendiri. Bahkan, sering kali tanpa kuketahui. Teman-temannya adalah istri-istri pejabat, yang selalu mengajaknya pergi ke tempat hiburan malam.”

Aku terbelalak.

“Aku yang lahir dan besar di kota besar saja tidak tergila-gila pada gaya hidup seperti itu,” kataku, sambil cekikikan.
Tanpa kusadari, ucapanku itu membuat wajah Gunawan ber–tambah masam. Sekarang malah ditambah sedikit muram.

“Apa yang harus kulakukan, bila pernikahanku tidak sesuai harapanku? Bercerai? Tidak mungkin. Terlalu banyak orang yang terlibat di dalamnya. Ada orang tuaku, orang tuanya, anak-anak, ada teman dan kerabat. Aku tak punya solusi dari masalahku ini.”

“Apakah kalian memang sedang memiliki masalah?” tanyaku, meski aku mulai menangkap arah pembicaraannya.

“Istriku sekarang berubah seratus delapan puluh derajat dari yang pertama kukenal. Dia tidak lagi seperti ketika kami baru menikah. Dulu dia membuatkan kopi setiap pagi, menyiapkan pakaianku, bahkan dia memasak sendiri untukku. Katanya, itu yang diajarkan orang tuanya. Kini dia tidak lagi mau mengurusku. Kerjanya hanya berdandan dan pergi berhura-hura dengan teman-temannya. Bahkan, anak-anak kami pun tidak pernah ia perhatikan lagi,” kata Gunawan, sambil menarik napas dalam-dalam.

“Mungkin, ini kesalahanku menikahi anak yang baru beranjak dewasa. Ketika menikah denganku, ia baru tamat SMA. Mungkin, dia belum puas menikmati masa mudanya. Kini, setelah perekonomian kami mapan, dia seolah ingin membalas dendam atas masa mudanya yang hilang.”

Aku hanya diam. Sedikit banyak aku mem–benarkan pendapatnya. Tapi, aku juga telah kehilangan masa mudaku untuk mengejar prestasi. Aku tidak pernah berhura-hura, apalagi bergaul dari satu bar ke bar lain, seperti yang dilakukan istri Gunawan. Padahal, aku besar di kota metropolitan ini dengan segala kemampuan finansial yang keluarga kami miliki. Tapi, aku tak pernah ingin melakukan hal-hal semacam itu. Aku juga tidak pernah merasa dendam atau ingin membalas semua kehilangan itu. Jadi, rasanya sulit kumengerti mengapa istri Gunawan bisa melakukan hal-hal bodoh seperti itu.

“Ketika menikah dulu, dia gadis yang sangat lugu. Bahkan, ia belum pernah berpacaran. Orang tuanya sangat ketat menjaga anak gadisnya. Jadi, aku bangga bisa menikahi gadis seperti dia. Apalagi, saat itu usiaku sudah 35 tahun. Teman-teman memujiku karena bisa mendapatkan gadis cantik yang masih polos. Tentu saja, aku bangga. Tapi, kini, saat usiaku merangkak tua, istriku justru sedang mengalami masa puber yang terlambat,” katanya, sambil tertawa getir.

“Dia mengkhianatimu?”

“Aku tidak tahu. Tapi, kurasa, itu hanya masalah waktu. Sebentar lagi aku akan makin tua dan tidak menarik. Mungkin saja dia ingin mendapatkan pria yang lebih segar.”

Aku merasa, Gunawan sangat tertekan melihat kelakuan istrinya. Dia lebih tertekan karena tidak bisa berbuat apa-apa. Aku pun memanggil waiter dan memintanya membuatkan secangkir teh melati untuk mengendurkan sarafnya. Gunawan menatapku de–ngan pandangan yang tak bisa kumengerti.

“Terima kasih atas perhatianmu, San. Aku tak pernah diperhatikan oleh Rini seperti ini. Dia tidak pernah peduli, apakah aku capek atau sedang tertekan. Dulu, sewaktu dia belum bisa menyetir mobil, bila aku pulang dari kerja, dia langsung memintaku mengantarnya belanja. Padahal, aku sedang capek. Aku rasa, Rini memang bukan tipe wanita yang sensitif. Dia tipe wanita yang ingin dilayani dan ingin menguasai.”

Gunawan meremas rambutnya dengan kedua tangannya.

“Aku telah salah menerima perjodohan itu. Aku pikir, wanita dari kampung adalah wanita yang bersedia mengabdi pada suami. Tapi, ternyata itu hanya terjadi di awal-awal pernikahan kami saja. Setelah anak pertama kami berumur satu tahun, sepenuhnya dia menyerahkan tugas melayani segala kebutuhanku pada pembantu!” Gunawan terlihat begitu kesal. Kekecewaannya tampak begitu dalam.

Sepeninggal Gunawan malam itu, aku sangat resah. Aku bisa merasakan kegundahannya. Aku kasihan padanya. Aku jadi ingin melayaninya, ingin membahagiakannya. Dalam hatiku, diam-diam aku bertekad akan membuat Gunawan nyaman berada di sampingku. Aku ingin Gunawan bisa menghilangkan rasa tertekannya, karena wanita itu tidak pantas membuat pria sehebat Gunawan menjadi gundah. Apa, sih, kehebatannya, hingga dia bisa memperlakukan suaminya seperti itu.

Ah, kenapa aku jadi begitu membenci Rini? Kurasa, aku cemburu melihat Gunawan tersiksa akibat ulah wanita itu.

Tanpa kusadari, hubunganku dengan Gunawan makin dekat. Aku selalu menjadi pendengar setianya, ketika dia sedang mengeluhkan kelakuan istrinya yang makin menjadi-jadi. Gunawan juga kukenalkan pada Mama. Lucunya, Mama dan Gunawan hampir sebaya. Tapi, kulihat, Mama tak keberatan dengan hubungan kami. Ia juga tampaknya menyukai Gunawan. Apalagi, setelah kuceritakan masalah yang dialaminya. Mama jadi bersimpati.
“Tapi, kamu harus hati-hati, ya, San. Jangan pernah menjadi orang ketiga.”

“Kenapa ngomong begitu, Ma?”

Mama tersenyum lembut.

“Mama kan bisa melihat bahwa kalian saling tertarik. Itu wajar. Gunawan memang orang yang simpatik dan kelihatannya bisa ngemong. Tapi, selama dia masih menjadi suami orang lain, Mama tidak setuju kamu menjalin hubungan dengannya.”

Ucapan Mama pelan, tapi tegas. Aku memakluminya dan aku pun setuju dengan pendapat Mama. Tapi, cintaku pada Gunawan tumbuh tanpa dapat kuhalangi. Sejak kepergian Papa, baru kali ini aku bisa melupakan kesedihanku. Seolah, Gunawan bisa menggantikan Papa untukku.

Tanpa terasa enam bulan berlalu sejak pertemanan kami. Suatu malam, Gunawan datang ke kafe dengan wajah lesu.

“San, aku ingin bercerai,”katanya.

Aku tersentak.

“Kamu mabuk, ya?”

“Mabuk? Aku tidak mabuk, San. Aku hanya pria tua yang sedang stres,” kata Gunawan.

“Kamu tidak tua... kamu belum tua, Gun. Kamu hanya sedang tertekan karena perbuatan istrimu. Lebih baik kamu pulang dan beristirahat. Pikirkan baik-baik apa yang harus kamu lakukan,” kataku, menghiburnya.

Tapi, Gunawan tampaknya tidak bisa mengendalikan diri. Jadi, aku biarkan saja dia duduk termenung di ruang karaoke. Aku rasa, Gunawan memang sedang stres. Dia menyanyi sembarangan dengan suara keras. Dia masih berada di ruang karaoke sampai kafe kami akan tutup. Aku menyuruh para waiter untuk pulang, karena tak mungkin mereka menunggui kafe hingga Gunawan pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Sudah melampaui jam pulang pegawai yang bertugas malam hari.

Ketika para pelanggan dan pegawai sudah pulang, aku menghampiri Gunawan.

“Gun, tidak pulang? Kami sudah mau tutup,” kataku, pelan.

Gunawan kulihat sedang berbaring di sofa, sambil mencengkeram mikrofon, masih bernyanyi dengan suara keras.
“Sini...,” panggilnya. “Temani aku di sini, San. Hanya kamu harapanku.”

Gunawan kelihatan sangat kacau.

“Tolong buatkan aku espresso, San. Aku ingin bernyanyi sampai pagi. Boleh, ‘kan?”

Tatapannya begitu memelas. Aku tak tega. Aku pun mem–buatkan kopi untuknya. Saat aku kembali, kulihat Gunawan sudah tertidur. Kuletakkan kopi itu di meja kecil dekat sofa.

Aku melirik jam di dinding. Sudah pukul 12.00 malam. Aku ragu-ragu, apakah akan meninggalkan Gunawan sen–dirian di kafe atau membangunkannya. Kuputuskan untuk membangunkan Gunawan.

“Gunawan...,” bisikku, lembut. Gunawan tak bergerak.

Aku menatap wajahnya yang tertidur pulas. Wajah seorang pria yang lelah. Dia begitu polos. Kubelai rambut Gunawan, seolah aku ingin membuatnya lebih nyaman. Mungkin benar, aku telah jatuh cinta padanya. Melihat dia terluka, hatiku pun ikut terluka.

Tiba-tiba Gunawan terbangun. Matanya dan mataku saling memandang.

“San,” desahnya.

Aku terperanjat dan salah tingkah melihat caranya memandangku. Aku hendak bangkit, tapi Gunawan menarik tubuhku ke dalam pelukannya. Dia memeluk dan menciumku penuh gairah, seolah musafir kehausan yang menemukan mata air di padang pasir.

“San, menikahlah denganku.”

Aku terperangah. “Apa?!”

Gunawan memandangku dengan raut wajah penuh harap.

“Bagaimana mungkin? Kamu pria beristri, Gun.”

“Aku ingin menikahimu secara agama. Yang penting, di hadapan Tuhan kita sudah sah sebagai suami-istri. Aku punya teman yang bisa mengurusnya. Kita menikah minggu ini juga. Bagaimana? Kau bersedia?”
Aku bengong, tak tahu harus berkata apa.

Gunawan menatapku dengan wajah polos.

“Kamu tidak mau?” tanyanya.

“Bagaimana dengan istrimu?”

“Kita tidak perlu memberi tahu dia. Aku hanya ingin hubungan kita ini suci, sesuci cintaku padamu. Bila kondisinya sudah memungkinkan, aku akan menceraikan Rini, dan kita menikah secara resmi.”

“Kamu serius, Gun?” tanyaku, masih bingung.

“Aku mencintaimu, San. Aku sungguh-sungguh. Aku akan membuktikan padamu, aku akan menceraikan Rini dan kita akan menikah.”

Aku tak dapat menahan air mataku.

“Aku takut, Gun.”

Aku memeluk Gunawan dan Gunawan balas merengkuhku dalam pelukannya yang hangat.

“Jangan takut. Aku akan melindungimu. Percayalah padaku.”

Aku tak tahu harus berkata apa lagi, semua yang diucapkan Gunawan terdengar bagai sanjungan. Aku bahagia karena Gunawan tak ingin menodai cinta kami, meskipun dia bisa saja melakukannya. Aku merasakan ketulusan dan keseriusannya padaku. Terbayang olehku hari-hari indah yang akan kami lalui bersama. Apalagi, bila kami memiliki seorang anak. Ah, bahagianya....

Aku tak tahu, apakah tindakanku ini salah. Tapi, aku telah memikirkannya berulang-ulang di dalam kamarku yang kian terasa sempit. Aku adalah wanita yang sedang jatuh cinta. Tidak semua orang yang sedang jatuh cinta mendapatkan orang yang dicintainya. Sedangkan aku memiliki kesempatan untuk itu. Jadi, rasanya, walaupun seluruh dunia akan menyalahkan aku, aku tetap akan melakukannya. Aku akan menikah dengan Gunawan. Dengan demikian, aku akan bisa selalu bersamanya.

Aku tidak berani membicarakan rencanaku ini kepada Mama. Hanya kepada Jeanny aku menceritakannya. Tapi, entah kenapa, aku melihat ada kesedihan di wajahnya.

“Jika kamu sudah siap menjadi orang tanpa wajah, ya, lakukanlah...,” katanya, dengan berat hati.

“Apa maksudmu, Jean?”

“Kamu tahu tentang risiko pernikahanmu ini, bukan? Itu berarti, sebelum mereka bercerai, kamu hanya jadi istri simpanan Gunawan. Tidak ada yang tahu keberadaanmu sebagai istrinya. Kamu harus terus bersembunyi, termasuk bila nanti kamu memiliki anak darinya.”

“Tapi, Gunawan berjanji akan segera menceraikan istrinya, lalu kami akan menikah secara resmi.”

“Tidak ada yang bisa memastikan ucapannya. Dulu, aku juga pernah mengalami hal yang sama denganmu, tapi....”
Jeanny tertunduk sedih. Aku melihat matanya berkaca-kaca.

“Aku berdoa semoga kamu tidak bernasib sama,” kata Jeanny, sambil memeluk tubuhku.

“Jean, terima kasih. Aku akui, aku juga merasa gamang. Tapi, aku tak punya pilihan. Terima kasih kau mendoakanku. Kamu sungguh kakak yang baik.”

Jeanny mengangguk.

“Ya, San. Kamu wanita yang baik. Kamu berhak mendapatkan kehidupan yang baik, tidak seperti aku.”
Aku tak mengerti, apa maksud Jeanny dengan ucapannya itu.

“Dulu, aku juga hanya menikah secara siri dengan papanya Dito. Sama seperti Gunawan, papanya Dito juga berjanji akan menikahiku secara resmi, setelah bercerai dari istrinya. Tapi, ternyata, bertahun-tahun lamanya aku harus menjadi istri simpanan. Aku harus mengunci mulut rapat-rapat, termasuk pada anakku sendiri. Tak ada yang tahu bahwa dia adalah suamiku dan tak pernah ada kesempatan bagiku untuk menjadi istri sahnya. Tapi, aku sadar, aku memang bukan wanita yang pantas dinikahi. Dulu, aku hanyalah gadis muda yang dijual orang tuaku sendiri, demi membiayai hidup keluarga besar kami.”

Melihat Jeanny terisak, aku ikut menangis.

“Mengapa kamu ceritakan hal ini, Jean? Bila itu akan menyakiti hatimu, jangan ceritakan,” kataku.

Tapi, aku tak bisa menghentikan Jeanny bercerita tentang masa lalunya.

“Aku mengenal pria itu pada sebuah acara. Saat itu, dia mengaku sedang memiliki masalah dengan istrinya. Karena kasihan padaku, yang dijadikan sapi perah keluarga, dia lalu mengajakku menikah secara siri dan meninggalkan bisnis prostitusi yang kujalani. Aku begitu mencintainya, sehingga aku nekat melawan ibuku sendiri. Karena tindakanku itu, aku dikucilkan. Kini, tak ada satu pun keluargaku yang peduli padaku, kecuali seorang adik, yang sesekali mampir. Tapi, sudah beberapa bulan ini, dia tak pernah datang.”

“Lalu, bagaimana perlakuan suamimu?”

“Dia sangat baik dan sayang padaku. Dia yang membelikan rumah ini dan membuatkan deposito untukku. Setiap bulan, dia masih memberiku biaya hidup. Dia juga sering mengunjungi kami, bahkan sesekali menginap. Tapi, ketika Dito berumur dua tahun, dia berbaikan lagi dengan istrinya, sehingga akhirnya hubungan kami terputus. Kalaupun bertemu, itu tidak disengaja. Karena itu, Dito tidak mengenal papanya. Aku membohongi Dito. Kukatakan bahwa papanya telah meninggal.”

“Lalu, apakah benar dia sudah meninggal?”

“Ya, itu benar. Dia sekarang memang benar-benar sudah meninggal dunia. Bahkan, aku tidak tahu kapan dia sakit. Karena, aku memang dilarang menghubunginya. Bahkan, aku tidak diperkenankan memasang fotonya di rumah ini.”

Pantas, pikirku. Tak satu pun foto papa Dito kulihat di ru­mah ini.

“Suamiku itu sangat menjaga kerahasiaan hubungan kami, karena dia tidak ingin mengecewakan keluarganya, terutama putrinya yang sangat dia cintai. Aku cuma bisa pasrah, karena aku sangat mencintainya.”
Aku tertegun mendengar cerita Jeanny.

“Aku tahu apa yang kamu pikirkan sewaktu tahu aku menjadi simpanan Wilman. Tapi, demi Tuhan, San, Dito bukan anak haram. Dia punya ayah.”

“Aku tahu,” kataku, mencoba menenangkannya.

Pandangan Jeanny menerawang.

“Aku tahu, pasti sulit baginya untuk meminta izin menikah pada istrinya. Padahal, aku sudah siap lahir-batin menjadi istri kedua. Karena, aku merasa status itu jauh lebih terhormat dibandingkan jadi wanita simpanan, seperti profesiku selama ini. Tapi, diriku ini memang kotor. Bahkan, untuk menjadi istri kedua pun, aku tak pantas.”
Lalu, tangis Jeanny meledak. Aku memeluknya.

Aku betul-betul terkejut mendengar cerita Jeanny. Kenapa nasibnya begitu buruk?

Jeanny mengusap air matanya dan tersenyum padaku.

“Maafkan aku, ya, San. Aku mungkin cemburu karena nasibmu lebih baik. Aku berbahagia bila Gunawan memang serius ingin menikahimu. Aku pasti akan selalu mendukungmu. Tapi, coba kau pikirkan lagi apa yang telah kuceritakan ini.”

Aku tepekur, tak tahu harus berkata apa. Kini, aku tahu siapa Jeanny. Saat usianya masih 15 tahun, ibunya sengaja menawarkan dirinya kepada seorang pria tua yang sudah beranak-istri. Ia menjadi wanita simpanan, tanpa dinikahi. Tapi, pria itu memberikannya rumah, juga uang belanja yang lebih dari cukup. Orang tuanya menikmati hasil kerja putrinya itu. Mereka tinggal di rumah yang diberikan pria yang memelihara Jeanny, juga menikmati uang haram yang diperolehnya setiap bulan.

Bukan hanya itu, ibunya juga mengajari Jeanny untuk diam-diam berselingkuh dengan pria lain, agar bisa mengeruk uang lebih banyak. Tadinya, Jeanny merasa dipaksa melakukan hal itu. Tapi, seiring waktu, dia menikmatinya. Apalagi, rupiah yang dihasilkannya tidak sedikit. Ketika bertemu papanya Dito, yang mengajaknya menikah secara siri itu, Jeanny seolah mendapat harapan untuk bisa terbebas dari pekerjaan nistanya itu. Tapi, yang terjadi, dia hanya melompat dari satu bahaya ke bahaya yang lain, tanpa tahu bagaimana cara menyelamatkan diri.

Aku ingin Jeanny memaafkanku karena aku telah menceritakan masa lalunya kepada Mama. Sama sepertiku, Mama juga terkejut, sekaligus kasihan, pada nasib Jeanny.

“Mama juga pernah mendengar ada anak yang dijual oleh orang tuanya sendiri. Tidak disangka, hal itu juga terjadi pada Jeanny. Kasihan, dia masih muda dan cantik. Walau akhirnya dia menikah, pernikahannya itu kan tanpa status yang jelas. Berarti, akta kelahiran Dito itu tanpa nama ayah, ya, San?” kata Mama.

“Ya. Biasanya, anak yang lahir di luar pernikahan resmi, dalam akta kelahirannya hanya akan tercantum nama ibunya,” kataku.

“Kasihan Dito. Mudah-mudahan dia tidak minder bila sudah beranjak besar.”

“Ya, Ma. Apalagi, sejak Dito berumur 2 tahun, ayahnya sudah tidak mengunjungi mereka lagi. Jadi, Dito betul-betul tidak mengenal papanya. Jeanny bilang pada Dito bahwa papanya sudah meninggal. Tapi, kata Jean, pria itu sekarang memang sudah meninggal.”

“Kasihan..., kata Mama, sambil menerawang. “Mama nggak bisa membayangkan kalau Mama jadi Jean.

Lalu, aku pun menceritakan hubungan Jeanny dengan Wilman, yang membuat Mama gemas. Menurut Mama, Wilman adalah tipe pria yang memanfaatkan kelemahan wanita. Dia tahu bahwa Jeanny butuh kasih sayang, lalu dengan seenaknya dia menjadikan Jeanny wanita simpanan.

“Kalau niatnya baik, paling tidak dia bisa menikahi Jean, meskipun hanya menikah siri, seperti suami Jean dulu. Kalau ini kan jelas-jelas hanya dijadikan pemuas nafsu.”

Aku setuju dengan pendapat Mama. Tiba-tiba aku teringat Gunawan. Apakah keinginannya menikahiku secara siri menunjukkan bahwa Gunawan berniat baik?

“Ma, Gunawan sudah melamar Sandra. Dia ingin menikahi Sandra secara siri, sambil mengurusi perceraian dengan istrinya. Setelah itu, kami akan menikah secara resmi.”

Mama terbelalak.

“Sandra, kamu jangan gila. Kalau dia mau menikahi kamu, dia harus bercerai dulu dari istrinya.”

“Tapi, tadi Mama bilang, menikah siri itu menunjukkan iktikad baik,” kataku, sambil berusaha meyakinkan Mama.

“Dalam kasus Jeanny memang begitu. Karena, statusnya yang dulu kan parah, wanita simpanan! Beda dari kamu. Kamu wanita terhormat, anak baik-baik, masih perawan. Dengar, ya, pendapat Mama itu hanya berlaku untuk orang lain. Kalau untuk anakku? Tidak mungkin!”

Mama menutup pembicaraan dengan sebuah ultimatum. Dan, jauh di dalam lubuk hatiku, sebetulnya aku sudah tidak berhasrat meneruskan hubunganku dengan Gunawan, setelah mendengar penuturan Jeanny. Bagaimanapun, aku tak ingin menjadi wanita kedua, apakah itu secara sah atau secara sembunyi-sembunyi.

Malam itu, ketika sedang duduk di kafe, Jeanny datang menemuiku.

“Hai, Jean. Bosan di rumah, ya?”

“Ya, San. Kebetulan, ada yang ingin aku bicarakan. Aku stres di rumah memikirkannya,” sahutnya, dengan wajah muram.

Aku memesan dua cangkir espresso, lalu kami duduk di sudut kafe.

Jeanny terlihat resah, meski dia berusaha menutupinya.

“Wilman itu memang kurang ajar!”umpatnya.

Aku terkejut. Baru kali ini aku mendengar Jeanny mengumpat. Wanita itu biasanya sangat halus.

“Apa yang terjadi?”

“San, aku hamil.”

Kalimat yang pendek itu mampu menyirap suasana. Hampir dua menit kami terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Bagiku, kehamilan Jeanny adalah risiko hubungan bebasnya dengan Wilman. Tapi, bagaimana mungkin Jeanny membiarkan dirinya hamil? Dia kan bukan anak kemarin sore?

“Aku tahu apa yang kamu pikirkan.”

Jeanny tiba-tiba memecahkan keheningan.

“Aku juga sudah berhati-hati. Tapi, entahlah. Kejadian ini tak terduga sama sekali. Meski begitu, aku tidak mau menggugurkan kandunganku ini.”

“Sudah berapa bulan?” tanyaku, dengan suara nyaris seperti bisikan.

“Masuk bulan keempat.”

“Apa? Kok, baru tahu?”

“Aku tidak menyangka sama sekali. Terlambat menstruasi 2-3 bulan bagiku sudah biasa. Tapi, karena sudah lebih dari empat bulan, aku pun waswas. Akhirnya, aku menggunakan tes uji kehamilan. Hasilnya, positif! Untuk lebih memastikan, aku mendatangi dokter kandungan. Kata dokter, kandunganku sudah berjalan empat bulan. Demi Tuhan, aku tidak mau punya anak dari dia. Tapi, janin ini ingin hidup, San.”

Aku mendengar nada putus asa dalam suaranya.

“Kemarin aku memberitahukan hal ini pada Wilman. Dengan seenaknya dia menyuruhku menggugurkan kandungan. Lagi pula, dia tidak yakin ini anaknya, karena dia selalu pakai pengaman. Kurang ajar! Padahal, sejak berhubungan dengannya, aku tidak pernah punya pria lain. Ketika aku bilang begitu, dia malah menghinaku. Katanya, siapa yang percaya jika seorang mantan wanita panggilan hanya berhubungan dengan satu pria! Sakit hatiku, San. Semalaman aku tidak bisa tidur memikirkan ucapannya itu.”

Aku juga geram mendengarnya. Bila pria itu ada di hadapanku, ingin rasanya aku memukul wajahnya yang sinis itu.

“Apa yang harus aku lakukan, San? Aku tidak ingin membunuh janin yang tak berdosa ini. Tapi, aku juga tak sudi mempunyai anak dari Wilman.”

Aku menggenggam tangan Jeanny.

“Kita ancam saja Wilman. Kita adukan pada istrinya atau pada atasannya di kantor,” aku memberi usul.

Jeanny mulai terisak.

“Ini salahku, San. Aku tahu, bagaimanapun, berhubungan dengan pria beristri tidak akan membuatku bahagia. Tapi, aku nekat menjalaninya. Ini salahku... ini salahku!”

Jeanny mulai memukul-mukul kepalanya. Aku menarik tangannya.

“Jangan siksa dirimu, Jean. Tidak ada gunanya menyalahkan diri. Kita pikirkan saja apa yang harus kita lakukan sekarang.”

“Tapi, aku tak berani memberi tahu istrinya. Aku tak mau menghancurkan hidup wanita lain. Biar aku saja yang menanggungnya. Aku sudah biasa menderita. Satu penderitaan lagi tidak akan membuatku mati.”

Jeanny lalu menangis.

Meskipun pernah berprofesi sebagai wanita panggilan, sahabatku ini rupanya masih punya hati nurani. Dalam kesulitannya, Jeanny masih sempat memikirkan nasib orang lain. Bagiku, Jeanny sama sekali tidak pantas disebut wanita panggilan. Nasib buruklah yang membuatnya harus menerima predikat itu. Duh....

Aku menyodorkan kopi yang sudah mulai dingin.

Jeanny menghirupnya dengan mata yang masih basah. Ia menatapku dengan pandangan pasrah.

“Apa pun keputusanmu, kita hadapi bersama,” kataku, menguatkannya.

Jeanny mengangguk. Tak berapa lama, dia pamit pulang.

Sebenarnya, aku ingin menahan Jeanny lebih lama di kafe. Aku ingin lebih banyak mengobrol dengannya. Setelah ia beranjak pergi, kini aku menyesal karena tidak menahan kepergiannya.

Aku sedang melayani tamu di kafe, ketika ponselku berdering. Terdengar suara rintihan. Suara Jeanny!

“Ada apa, Jean?!” teriakku kalut.

“Aku... rasanya akan mati, San.”

Setelah itu tak ada suara. Aku panik. Tanpa pikir panjang, aku segera meninggalkan kafe. Kukebut mobilku menuju rumah Jeanny. Rumahnya sepi, seperti tak ada orang. Kutekan bel berkali-kali. Terdengar tapak kaki Dito di tangga. Sekejap kemudian, dia sudah membukakan pintu untukku.

“Mama mana, Dit?”

“Ada di kamar, Kak. Sejak Dito pulang tadi, Mama sudah ada di kamar.”

Aku segera menuju kamar Jeanny. Terkunci. Keketuk-ketuk pintu, tak ada reaksi. Aku makin panik.

“Dito, kita dobrak saja pintunya,” teriakku, sambil mendorong pintu dengan tubuhku. Tapi, tak berhasil. Melihat kecemasanku, Dito yang tadinya kebingungan, langsung berinisiatif mencari benda besar, yang bisa kami pakai untuk mendorong pintu. Yang pertama ditemukannya adalah meja tamu. Berdua kami mendorong meja itu. Pintu sedikit penyok, tapi tak terbuka.

Dito segera berlari ke ruang makan, dia mendorong sebuah rak besi beroda, berisi tumpukan buku. Kami bersama-sama mendorong benda itu ke arah pintu. Buku-buku yang ada di atas rak itu berhamburan ke segala arah. Setelah mendorong tiga kali, baru pintu kamar Jeanny terbuka. Aku langsung masuk ke dalam. Kulihat Jeanny terkulai lemas di atas tempat tidurnya yang penuh dengan darah.

Dito menjerit-jerit ketakutan.

“Mama... Mama... Mama!”jeritnya.

Aku meraih tangan Jeanny dan memeriksa denyut nadinya. Terasa sangat lemah.

“Jean, kamu kenapa?” teriakku.

Jean membuka matanya dengan lemah.

“Bertahan, Jean, kita ke dokter, ya,” kataku, hampir menangis.

Ya, Tuhan, Jean, apa yang terjadi padamu, tanyaku dalam hati, sambil terisak. Melihat darah yang begitu banyak, aku curiga Jeanny mengalami perdarahan atau keguguran? Atau, jangan-jangan, Jeanny mencoba menggugurkan kandungannya?

Dengan sedikit panik aku segera berlari keluar dari rumah Jeanny, menemui satpam kompleks dan meminta mereka membantuku membawa Jeanny ke rumah sakit terdekat. Tapi, baru beberapa meter berjalan, aku mengubah keputusan. Rumah sakit, seberapa pun dekatnya, terasa sangat jauh dalam kondisi seperti ini. Aku pun melarikan mobil dan melesat ke klinik 24 jam yang ada di dekat perumahan itu.

Jeanny segera ditangani dokter jaga. Aku dan Dito menunggu di ruang tunggu dengan tubuh yang gemetar.

“Mama kenapa, Kak?” tanyanya, sambil menangis.

“Mama sakit. Doakan Mama, ya, Sayang,” bujukku, sambil merangkulnya, mencoba meredakan tangisnya.

Aku menghubungi Mama, memintanya untuk datang. Dan, tidak berapa lama, Mama muncul di pintu klinik. Wajah-nya tampak sangat cemas. Aku menceritakan apa yang terjadi. Ma-ma menebak bahwa Jeanny sedang berusaha menggugurkan kan-dungannya. Sama seperti yang kupikirkan.

Kemudian, seorang perawat menghampiri kami.

“Apakah Anda keluarga Ibu Jeanny?”

“Ya,” sahutku, cepat.

“Pasien mengalami perdarahan hebat. Keguguran. Kami perlu persetujuan untuk melakukan operasi.”

“Kami boleh melihatnya, Suster?”

Suster itu terdiam.

“Sebentar, saya tanyakan pada dokter dulu.”

Setelah menunggu beberapa saat, kami diperbolehkan melihat Jeanny. Kami dituntun ke sebuah kamar serba putih. Aku melihat, di atas tempat tidur itu tubuh Jeanny terbaring lemah. Ada dua selang disambungkan ke lengannya. Satu selang infus, dan satunya lagi selang transfusi darah.

Hatiku hancur melihat kondisinya.

“Kenapa kamu nekat, Jean?” aku berbisik pelan di dekat teli-nganya.

Tidak ada reaksi. Bibirnya pucat. Seperti menahan kesakitan yang lama dan tak terperikan.

Mama menitikkan air mata. Bagaimanapun juga, Mama sudah menganggap Jeanny seperti anaknya sendiri. Yang paling menyedihkan adalah Dito. Bocah 9 tahun itu tak tahu harus mengatakan apa, selain terus-menerus memanggil mamanya, sambil memegangi tangan satu-satunya orang yang dimilikinya di dunia ini.

Aku tak sanggup menahan air mata melihat pemandangan yang begitu mengharukan ini.

Jeanny membuka matanya perlahan. Saat melihat Mama, mata-nya berkaca-kaca, lalu air mata pun mengalir di pipinya.

“Tante...,” ucapnya, lirih.

Mama menggenggam tangan Jeanny.

“Tante sangat baik...,” ucapnya, pelan. Sepertinya, Jeanny berusaha keras agar matanya tetap terbuka.

“Jangan banyak bicara dulu, Jean. Kamu harus istirahat, biar cepat sembuh,” kata Mama, sambil berlinangan air mata.

“Tapi... aku ja... hat....”

Kalimat yang diucapkannya terpatah-patah.

“Apa maksud kamu, Jean?” Mama membelai kepalanya. “Bertahanlah, kamu pasti sembuh.”

“Bertahun-tahun... aku jadi o... rang kedua dalam... ru... mah... tang... ga... Tante,” ucapan Jeanny terdengar makin jelas, seolah ia ingin menyelesaikan kata-katanya.

Pandangan mata Jeanny kian redup. Cengkeraman tangannya pada tangan Mama kulihat makin kuat, seolah dia ingin mene-gaskan sesuatu. Sambil memandang kami berdua bergantian, Jeanny menghela napas.

“Dito mana?”

“Kamu mau bertemu Dito?” tanyaku, cepat.

Aku menoleh pada Dito yang ada di sebelahku, dan kusuruh dia mendekati mamanya.

Dito menatap Jeanny dengan tatapan yang cemas. Dia segera meraih tangan mamanya.

“Mama, Mama kenapa?” tanyanya, sambil menangis.

Jeanny memandang putranya dengan sedih. Lalu, matanya beralih pada Mama dan padaku.

“Tante, sa... ya... ti... tip... Dito....”

Aku dan Mama terkejut mendengar ucapannya itu. Firasat buruk segera menyelimuti pikiran kami. Apalagi, setelah itu, mata Jeanny terpejam. Rapat. Aku berteriak memanggil namanya. Namun, Jeanny tidak bereaksi. Mama juga panik dan segera menekan bel untuk memanggil suster. Perawat segera datang, disusul dokter. Kami lalu disuruh menunggu di luar.

Di depan kamar, aku dan Mama berpelukan sedih. Terbayang, hampir setahun yang lalu kami juga mengalami hal yang sama, ketika Papa dalam keadaan kritis.

Aku tiba-tiba tersadar, ketika melihat Dito menangis sendirian di sudut ruangan. Kami segera menghampirinya dan memeluk bocah malang itu.

Sekitar setengah jam kemudian, barulah dokter keluar dari ruangan. Melihat raut wajahnya yang penuh penyesalan, aku dan Mama tak mampu menahan tangis.

“Bagaimana, Dok?”

Dokter terdiam sebentar, seperti berusaha memikirkan kata-kata yang harus diucapkannya.

“Ibu, Mbak, kami sudah berusaha. Tapi, kondisinya sangat lemah akibat perdarahan yang dialami. Kami minta maaf, karena pasien tidak tertolong.”

Aku berteriak histeris.

Mama segera memeluk Dito, yang langsung menangis dengan keras. Dito sudah cukup besar untuk mengetahui apa yang te-ngah terjadi, tanpa perlu lagi dijelaskan. Tak dapat kugambarkan apa yang kami bertiga rasakan malam itu. Meski sebentar, Jeanny sempat menjadi kakak dan teman bagiku. Kini, kebahagiaan yang baru sebentar kami rasakan itu harus lenyap dalam sekejap.

Tiba-tiba aku menyesal karena tidak menahannya saat ia akan meninggalkan kafe sore tadi.

Saat pemakaman Jeanny di sebuah TPU di Jakarta Selatan, aku begitu nelangsa melihat begitu sedikit orang yang menga-n-tarnya ke peristirahatannya yang terakhir. Keputusan Jeanny untuk keluar dari pekerjaannya dulu sebagai wanita simpanan membuat dirinya benar-benar tidak memiliki siapa-siapa. Tak ada kawan, apalagi saudara yang datang di pemakamannya. Wilman pun tak tampak batang hidungnya.

Tapi, menurutku, lebih baik begitu. Kehadirannya hanya akan menambah luka di hati kami. Gunawan pun tak tampak. Kurasa, dia mengetahui apa yang menyebabkan Jeanny meninggal. Mung-kin, dia merasa tidak enak hati karena sahabatnya telah membuat Jeanny nekat menggugurkan kandungannya dan kemudian berakibat Jeanny kehilangan nyawanya.

Hanya ada aku, Mama, Dito, pembantu rumah tangganya, beberapa tetangga terdekat, serta beberapa orang pengurus masjid tempat dia disalatkan. Entah kebetulan atau tidak, Jeanny dimakam-kan tidak terlalu jauh dari makam Papa. Bagiku, ini memudahkan kami bila akan menziarahi Papa dan Jeanny. Mama juga setuju dengan pendapatku, meski aku melihat ada sesuatu di raut wajah-nya yang tak bisa kutebak.

Aku sungguh tak menyangka Mama justru memerlukan waktu lebih lama untuk menghilangkan kesedihannya karena ditinggal oleh Jeanny. Saat aku sudah kembali beraktivitas, Mama kulihat lebih banyak mengurung diri di kamar. Bila tidak berada di kamar, Mama mengunjungi Dito. Mungkin, Mama kasihan pada Dito, karena di usianya yang baru 9 tahun, ia sudah harus menjadi yatim piatu.

Aku sangat memahami sifat ke­ibuan Mama. Aku pun merasa se­dih melihat nasib Dito. Sempat terpikir olehku untuk membawa Dito tinggal bersama kami. Apalagi, Dito hanya ditemani pembantu di rumahnya. Tapi, tentu saja aku harus membicarakan hal itu pada Mama terlebih dahulu.

Hari itu, setelah seminggu lebih membisu dan mengurung diri dalam kamarnya, Mama mengajakku berbicara empat mata.

“San, Mama mau minta penda­patmu. Mama berencana untuk me­ng­adopsi Dito secara resmi. Mama sudah berkonsultasi de­ngan seorang pengacara.”

Aku tidak menyangka akan mendengar kata-kata itu dari Mama. Apa yang Mama usulkan itu jauh lebih baik dibandingkan yang akan kuminta padanya. Aku hanya ingin memelihara Dito sebagai adikku, tapi Mama malah ingin menga­dopsinya.

“Benar, Ma?” tanyaku, tak percaya.

Melihat senyumku yang begitu lebar, Mama tak ragu lagi dengan ke­putusannya.

“Kata pengacara, masalah yang tersulit adalah Dito hanya hidup berdua dengan mamanya. Padahal, di pengadilan nanti harus ada wali dalam pembuatan surat adopsinya. Tapi, menurut pengacara itu, kita harus menelusuri saudara atau wali dari pihak Jeanny. Dia optimistis, hal itu bisa dilakukan, karena tidak mungkin Jeanny tidak memiliki keluarga lain, ‘kan?”

“Syukurlah, Ma, kalau itu bisa diurus. Itu juga yang membuat Sandra ragu-ragu dengan status Dito yang hanya punya seorang ibu, tanpa seorang saudara pun.”

“Tapi, Dito akan memiliki kita, Sa­yang. Dia akan punya mama dan kakak. Dia juga akan punya ayah....”

Aku terkejut.

“Maksud Mama?”

Wajah Mama sedikit berubah.

“Begini, Sandra. Ini adalah misteri yang disembunyikan Papa selama ini. Dan, Mama baru saja menyadarinya. Mama akhirnya mengetahui maksud perkataan Papa menjelang ajalnya dulu. Mama memang tidak pernah menceritakannya padamu, karena Mama sendiri tak mengerti apa maksudnya. Mama pikir, mungkin Mama hanya salah dengar.”

“Ada apa, sih, sebenarnya, Ma?” tanyaku, dengan cemas.

“Dulu, sebelum papamu meninggal, Papa sempat minta maaf dan mengatakan sesuatu....”

“Mengatakan apa, Ma?”desakku tak sabar.

“Waktu itu, Papa bilang, ‘Ma, saya titip Dito.’”

“Lalu...?”

“Kamu ingat nggak, sebelum meninggal, Jeanny kan juga minta maaf pada Mama. Meskipun apa yang dikatakannya tidak begitu jelas, Mama mendengar dengan jelas pesan terakhirnya. Dia berkata, ‘Tante... saya titip Dito.’”

Aku terpana mendengar cerita Mama. Pikiranku bekerja cepat, menghubungkan serpihan-serpihan kisah yang kude­ngar itu, lalu menyusunnya seperti permainan puzzle. Selanjutnya, aku tak perlu lagi mendengar penjelasan Mama. Karena, bagiku, itu sudah jelas. Sangat jelas. Papa adalah pria yang menikahi Jeanny secara siri dan Papa adalah ayah dari Dito. Dengan kata lain, Dito adalah adik satu ayah denganku. Pantas... kami memiliki banyak sekali kemiripan!

Kebisuan Mama selama seminggu ini terjawab sudah. Mama memerlukan waktu untuk merenungi semua yang terjadi dan akhirnya membuat sebuah keputusan terbaik. Dan, aku bahagia karena memiliki seorang ibu yang berhati sangat mulia.

Bagi seorang wanita, tentu sangat sulit menerima kenyataan bahwa suaminya memiliki wanita lain. Apalagi, dari hubungan itu telah lahir seorang anak. Tapi, dengan kebesaran jiwanya, Mama bersedia mengadopsi Dito menjadi anaknya. Bahkan, wanita mulia itu tidak keberatan Jeanny dimakamkan berdekat­an de­ngan Papa, meski saat itu dia sudah mulai menyadari hubungan Papa dan Jeanny.

“Mama sadar, semua ini tidak terjadi begitu saja. Mama juga punya andil dalam kisah tragis ini. Sepuluh tahun yang lalu, hubungan Mama dengan Papa sempat rusak. Kami bahkan sudah pisah ranjang. Mungkin, saat itulah papamu dekat dengan Jeanny, yang kemudian dinikahinya secara siri. Tapi, Mama tetap percaya, papamu seorang pria yang baik. Buktinya, dia mengeluarkan Jeanny dari dunia hitamnya. Yang jelas, Mama percaya pada takdir, termasuk bagaimana kita akhirnya dipertemukan dengan Jeanny dan Dito. Dito adalah amanah dari Papa dan Jeanny yang harus kita jaga. Karena itu, Mama memutuskan untuk menga­dopsi Dito secara resmi.”

Aku tak melepaskan pelukanku pada Mama. Aku bangga padanya. Kuakui, tadinya aku sempat terpukul, ketika tahu bahwa Papa yang selama ini kuanggap sempurna, ternyata pernah mengkhianati Mama. Sempat juga terpikir bahwa Jeanny mendekatiku karena ingin balas dendam pada anak seorang pria yang pernah menikahinya secara siri, tapi kemudian meng­a­baikannya.

Tapi, setelah kupikir matang-matang, bila Jeanny memang bermaksud buruk padaku, pasti dia akan membiarkan aku menikah siri dengan Gunawan, supaya apa yang Papa lakukan pada­nya akan terbalas padaku. Namun, Jeanny justru membukakan mataku sehingga menyadari bahwa pernikahan siri itu adalah sebuah kesalahan.

Ya, dia tahu bahwa itu adalah sebuah kesalahan. Karena, dia telah merasakan sendiri betapa menderitanya menjadi wanita kedua, tanpa status yang jelas dan tanpa diakui keberadaannya. Derita itu harus ditanggungnya seumur hidup. Dia bahkan tak sempat merasakan manisnya sebuah perkawinan. Seandainya umur Jeanny masih panjang, ingin sekali aku mencarikan jodoh yang baik untuknya. Tapi, aku sadar, itu akan sia-sia, karena Jeanny pernah berkata bahwa tubuhnya bisa dimiliki oleh ba­nyak pria, tapi cinta sejatinya hanya untuk papanya Dito.

“Semoga kau bertemu dengan cinta sejatimu di alam sana, Jean."

No comments: