12.22.2010

Topeng

Saras menatap gamang potret berbingkai kayu hitam yang tergantung di meja di dalam kamar kosnya. Perlahan sinar matanya berubah melembut, saat memandang wajah-wajah di dalam sana. Betapa tahun-tahun berlalu begitu cepat, ketika disadarinya bagaimana belianya wajah-wajah dalam bingkai itu. Yang pertama dipandanginya berlama-lama tentulah dirinya sendiri. Saras tersenyum sendiri, ketika meneliti jengkal demi jengkal wajah itu. Sungguh berbeda. Sungguh polos.

Lalu, dia berpaling pada cermin di hadapannya. Masih wajah yang itu-itu juga. Mata itu. Bibir itu. Hidung itu. Pipi itu. Tapi, setelah bertahun-tahun berlalu, mulai tampak perbedaannya. Kini, semua yang dipandanginya dalam pigura tadi tak lagi polos. Segera setelah ia mulai memasuki gerbang masa remajanya, ia mulai belajar untuk selalu memoles mukanya dengan make-up. Tebal. Karena, Saras memang kurang suka dengan riasan wajah tipis.

Mata. Saras suka sekali mewarnainya dengan warna-warna gelap. Hitam. Biru tua. Ungu gelap. Pokoknya, tebal! Ia senang bila melihat rautnya menampakkan perubahan yang mencolok, saat eye-shadow itu melekat di sana. Tampak lebih sempurna, karena dia pun mengukir alisnya sedemikian rupa, sehingga makin menonjolkan kecantikannya. Yang tidak disukainya dari bagian tubuh ini hanyalah pancarannya. Karena, sorotnya adalah cermin diri. Anggota tubuh yang paling tidak bisa berbohong.

Bibir. Kalau ini sejak kecil dia memang sudah gemar memolesnya dengan mencuri-curi lipstik milik Ibu. Tidak ada perbedaan yang drastis, kecuali cara menggerakkannya. Dulu, bibir tipis itu sering sekali tertekuk ke bawah, seraya mengeluarkan sedu-sedan. Saras memang cengeng. Sedikit-sedikit menangis. Hatinya terlalu peka. Gampang tersinggung. Sekarang, meskipun usianya sudah menyentuh seperempat abad lebih, sama saja. Bedanya, kini dia sudah belajar menyimpan tangis itu untuk dirinya sendiri. Pantang menangis di depan Ibu, Ayah, dan saudara-saudaranya.

Hidung. Untunglah lumayan mancung. Dulu dan sekarang. Sehingga Saras tak perlu lagi repot-repot mempertegasnya dengan kosmetik.

Pipi. Yang paling tidak disukainya dari bagian ini: jerawat-jerawat yang bertengger di sana. Tidak banyak sebetulnya. Dan mulai berkurang semenjak masa pubertasnya lewat. Tapi, tetap saja bekasnya masih tercetak di sana. Jerawat-jerawat itu masih juga nongol, meskipun hanya satu-dua. Dia tidak suka! Untuk mengakalinya, dia menggunakan berbagai macam cairan dan bubuk banyak-banyak untuk menyamarkannya. Dia juga suka memakai blush-on. Lagi-lagi, tebal! Untung kulitnya kuning langsat. Sehingga, meskipun tampak menor, penampilannya tidak norak.

Semua bagian tubuh itu terbingkai dalam bentuk yang lonjong. Panjang. Dagu yang meruncing ke bawah. Rambut hitam lurus panjang terurai sampai ke punggung. Layer sampingnya tampak jatuh dengan manis, karena baru dua minggu yang lalu ia memermaknya di salon langganan.

Lalu, tatapannya jatuh pada bentuk tubuhnya. Ramping dan tinggi menjulang. Membuatnya tampak paling berbeda di antara kakak dan adiknya. Saras tersenyum lagi. Meskipun banyak tidak puas dengan bagian-bagian anggota tubuhnya yang tampak kurang sempurna. Tapi, satu hal membuatnya bangga. Dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, dia, si anak tengah, yang paling menonjol. Paling cantik. Paling tinggi. Dan paling fashionable.

Itulah modal utamanya. Modal yang selalu digunakannya untuk berdiri tegak, sambil mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Menyem­bunyikan sorot mata, yang menyimpan sebongkah cerita lain dalam dirinya.

Kalau ditanya, masa-masa mana yang paling menjengkelkan dalam hidupnya, Saras pasti akan dengan mantap menjawab: masa kecilnya! Masa yang seharusnya menjadi paling indah dalam hidupnya. Bukan malah yang paling ingin dia enyahkan dari ingatannya. Sebenarnya, hampir tidak ada yang salah dengan masa kanak-kanaknya. Saras tumbuh di lingkungan keluarga yang amat menyayanginya. Ayah yang perhatian, ibu yang memanjakan, dan kedua saudara perempuan yang menyenangkan. Hidupnya berlimpah dengan pelukan sayang dan ciuman mesra. Keluarga yang rukun, harmonis, dan bahagia.

Sampai sebelum adiknya lahir, Saras begitu menikmati perhatian berlebihan dari kedua orang tuanya. Kapan pun dia mau, dia bisa berlari dan menyurukkan diri ke dalam pelukan hangat ibunya. Atau, bermain-main di atas pangkuan ayahnya.

Tapi, tiga tahun kemudian, ketika adiknya lahir, dia tidak bisa sebebas itu lagi bermain-main di pangkuan Ibu. Waktu Ibu sudah lebih banyak tersita untuk mengurusi bayi mungil tak berdaya itu. Pangkuannya hampir selalu didominasi adiknya. Air susunya pun dirampok seluruhnya oleh Laras, adiknya. Dia hanya dapat memandang iri dan harus mulai belajar berbagi.

Saras tidak suka! Dia tidak suka berbagi, meskipun dengan saudaranya sendiri. Dia tidak suka disaingi, biarpun tidak ada yang pernah berusaha menjadikannya rival. Dia iri. Dia sakit hati. Dan rasa iri hatinya hanya dapat dipendamnya dalam-dalam, sebelum sempat berkembang. Ini karena Ibu yang selalu mengajaknya belajar menyayangi adiknya. Mengajaknya bermain bersama. Dengan tetap tak pernah melupakan pelukan dan ciuman untuknya.

Mungkin, dengan cara ini Ibu mengira, Saras sudah dapat melupakan rasa irinya terhadap adiknya. Mungkin pula, dia menganggap ini fase yang wajar dalam hidup anaknya. Naluri seorang ibu biasanya tak pernah salah, bukan? Yang dia tidak tahu hanyalah, rasa iri itu tidak pernah benar-benar berlalu dalam hidup Saras. Malah membesar, membesar, dan membesar.

Kalau sudah begitu, Saras suka berlari pada Ayah. Ini pun dia tidak dapat memonopoli seluruhnya. Masih ada Niras, kakak sulungnya. Mereka memang akhirnya bermain bersama. Perhatian Ayah selalu adil. Tapi, perlahan-lahan dia menyadari, Niraslah yang sebenarnya anak kesayangan Ayah.

Dulu perasaan itu tidak pernah mengganggunya. Kalau Niras anak Ayah, dia anak Ibu. Tapi, semenjak adiknya lahir, Laraslah yang menjadi anak Ibu. Lalu, anak siapa dia sekarang? Siapa lagi orang yang bisa memberinya perhatian penuh? Sekali lagi, tanpa ada yang menyadari, muncul satu perasaan lagi dalam hatinya. Perasaan tersisih. Apalagi, ketika dia menyadari tidak bisa bergaul dengan luwes. Teman-temannya bisa dihitung dengan jari. Itu pun hanya teman, bukan sahabat.

Padahal, Niras punya banyak teman. Begitu juga dengan Laras kemudian. Sungguh tidak adil! Padahal, wajah mereka mirip, malah Saras jauh lebih cantik. Lebih tinggi pula. Niras lebih pendek dan sedikit gemuk. Laras malah kecil mungil, seperti tak pernah beranjak dewasa. Padahal lagi, otak mereka sama-sama encer. Jadi, di mana perbedaannya? Mengapa mereka bisa berteman dan dia tidak? Mengapa hidup selalu tidak adil terhadapnya?

Saras lahir sebagai anak orang kaya. Tapi, hanya sebentar. Kemewahan duniawi itu hanya dapat ia cicipi sampai umurnya mencapai tahun keempat. Amat singkat, sampai ia hampir tak dapat mengingat. Dia benar-benar belum mengerti apa pun, ketika keluarganya mendadak jatuh miskin. Perusahaan percetakan yang dimiliki ayahnya bangkrut. Gulung tikar. Entah kenapa. Padahal, dulu perusahaan itu sangat maju. Mungkin, karena Ayah terlalu hobi berjudi, sampai dia lupa diri. Atau, terlalu asyik bermain dengan wanita, sampai dia harus kehilangan segala harta benda.

Satu per satu harta keluarga mereka diangkut oleh pihak bank untuk menutupi utang perusahaan yang belum sempat terbayar. Sebagian dijual, kata Ibu, untuk modal memulai usaha lagi dari awal. Saras benar-benar tidak tahu alasan sebenarnya, karena sampai kini Ibu selalu menolak bercerita. Yang dia tahu, ini semua salah Ayah. Kesalahan fatal, sampai dia harus turut menanggung akibatnya. Hidupnya berubah drastis hanya dalam sekedip mata.

Keminderan Saras makin menjadi. Dia makin menutup diri dalam pergaulan. Tragis! Sudah dasarnya sulit bergaul, menutup diri pula. Tapi, itulah keadaannya. Saras tidak dapat melepaskan diri dari belenggu itu, sekuat apa pun dia meronta. Sikap harus menerima yang tertanam dalam dirinyalah yang membungkamnya. Membentuknya menjadi pribadi introver. Sulit didekati.

Bagaimana rasanya, jika melihat teman-teman sebaya bermain dengan asyiknya, sedangkan kau hanya bisa memandangi dalam diam? Saras pernah mengalaminya di bangku TK. Dia tidak tahu, kenapa hanya dia sendiri yang tidak bisa bergabung dengan mereka. Padahal, itu teman-teman sekelasnya. Tapi, jangan tanya perasaannya saat itu!

Dia juga ingin punya sahabat karib. Teman dari masa kecil. Yang bisa diajaknya tertawa cekikikan di pojok kelas saat istirahat. Yang mau saling menukar bekal makan siangnya. Yang menggandeng tangannya waktu berjalan ke kelas mereka. Teman abadinya. Teman sepanjang masa, bahkan hingga mereka dewasa, lalu beranjak tua. Kenapa tidak ada yang menghampirinya? Kenapa tidak ada yang mau mengulurkan tangan kepadanya? Apa yang salah dan kurang dalam dirinya, hingga orang lain menolak menjadi karib?

Tapi, satu hal: jangan suruh dia mendekati mereka lebih dulu. Tidak. Saras tidak bisa. Dia tidak mau ditolak seperti dulu! Setelah kejadian itu, dia bersumpah dalam hati: tidak akan pernah terulang lagi! Hanya karena salah berucap kata! Dalam hatinya, Saras memberontak dan merasa dia tidak bersalah. Apa yang dilontarkannya, berdasarkan apa yang dilihatnya. Bukan dia yang salah! Orang lain yang terlalu mudah tersinggung!

Terlepas dari benar atau salah, sikap defensif itu membuatnya puas. Memunculkan tekadnya. Mengubah kelemahan menjadi kekuatan.

Mungkin Saras tidak akan pernah lupa bersyukur memiliki seorang ibu seperti ibunya, kalau saja sikap dan keinginan Ibu sejalan dengannya. Tidak perlu banyak-banyak. Sekali saja! Tapi, tidak pernah. Atau, mungkin bukan tidak pernah, tapi Saras tidak ingat. Tidak perlulah membicarakan soal kehangatan pelukan dan ciuman. Dia, toh, bukan bayi lagi. Dia ingin yang lebih dari sekadar itu. Tapi, mengapa sulit sekali memperoleh kebebasannya sendiri?

Ibu selalu memantau kegiatannya. Tidak pernah membiarkannya melakukan apa-apa sendirian. Terlalu banyak melarang. Mengekang. Overprotective. Bahkan, sampai ia dewasa. Mungkin, bagi Ibu, inilah wujud rasa cintanya yang amat sangat kepada putri yang disayanginya. Tapi, bagi Saras, ini hanyalah wujud pengekangan terhadap pengembangan dirinya. Bagai hidup dalam sangkar. Dikasihi, dimanjakan, dicukupi segala kebutuhan, tapi tidak pernah diizinkan terbang dan mengenali alam. Mungkin, Ibu takut, saat diberi sedikit kebebasan, dia akan terbang jauh, hilang, dan lupa pulang.

Tapi, apa bedanya dengan sekarang? Ketika untuk pertama kalinya dia lepas menjauh dari pengawasan Ibu untuk kuliah di kota lain, hilanglah semua. Mata tajam Ibu. Nasihat-nasihat membosankan. Bukan itu saja. Dia pun mulai kehilangan kepolosan dan keluguannya. Bagai lepas kendali, Saras melihat, menerima, dan mereguk semua kebebasan yang ditawarkan metropolitan begitu saja. Anak manis itu langsung berubah menjadi angsa liar.

Tapi, Saras tak pernah merasa ada yang salah. Ia menganggap ini sebagai suatu penghargaan atas prestasinya mengekang diri dengan sabar selama ini. Zaman makin maju. Dia harus berlari untuk bisa terus mengikutinya, kalau ia ingin survive. Dia juga tetap tidak merasa bersalah, ketika pada suatu malam, dengan rela hati, dihilangkannya pula keperawanannya untuk seorang pria yang baru dikenalnya. Datang, ambil, pulang. Saat semua selesai, Saras merasa, dia sudah menjadi dewasa seutuhnya.

Saras belum pernah benar-benar mencintai seorang pria seutuhnya. Pria-pria itu hanya lewat begitu saja, tanpa diperbolehkan singgah di hatinya. Dia dapat bercinta, tanpa harus mencintai. Karena itu, dia belum mau berpacaran. Buat apa? Toh, pasti dilarang Ibu, bila ketahuan.

Bagi Ibu, yang paling penting saat ini adalah belajar, belajar, dan belajar. Menuntut ilmu. Mengembangkan bakat. Menabung bekal untuk menata hidup ke depan. Setelah itu, boleh mengenal pria.

“Kalau kau pandai, pria mana pun tidak akan berani menginjak-injakmu,” nasihat Ibu.

Padahal, Ibu sendiri tidak pandai. Bukan sarjana. Bukan wanita karier. Hanya ibu rumah tangga. Suatu profesi mulia, tapi ketinggalan zaman!

“Kau harus bisa mandiri. Jangan tergantung pada pria, sekalipun itu suamimu,” kata Ibu, lagi.

Kali ini ada benarnya. Lihatlah Ibu! Apa jadinya nasib keluarga ini, kalau beliau adalah wanita lemah yang tak berdaya tanpa pria? Sementara kehidupan Ayah tak lagi perkasa. Kalau tak ada Ibu, entah bagaimana nasib keluarga ini. Mungkin, dia dan saudara-saudaranya tak bisa melanjutkan sekolah. Untunglah, Ibu tak mau menyerah pada nasib. Berdagang kecil-kecilan. Meski untung tak seberapa, dijalaninya dengan tabah.

“Kutantang kau untuk terus menuntut ilmu sampai setinggi langit. Ke mana pun dan berapa pun biayanya, aku berjanji pada kalian, anak-anakku, akan kuusahakan dengan sekuat tenaga.”

Untuk yang satu ini, harus diakui, Ibu memang hebat. Daya juangnya kuat. Dia pantang menyerah. Tak pernah tampak lelah, walaupun dia harus berjuang sendirian tanpa dukungan penuh dari Ayah.

“Pesanku, bila kau ingin hidup berkeluarga, carilah suami yang mau bekerja. Bukan hanya pria kaya. Lihat keluarga ayahmu! Kurang kaya bagaimana lagi mereka? Tuan tanah dengan perkebunan luas di mana-mana.
Tapi, lihat ayahmu! Karena sejak kecil dilimpahi harta, tidak diajarkan untuk bekerja, selalu dimanja karena anak tunggal, apa jadinya? Bahkan, lulus kuliah pun tidak. Berapa pun warisan yang ditinggalkan orang tuanya, semua habis sia-sia. Kau jangan jadi seperti dirinya. Harus pandai. Tidak boleh sombong. Belajarlah rendah hati selalu.”

Sepercik bara melintas di mata Saras. “Di mata Ibu, sepertinya Ayah sudah tak ada artinya lagi. Lalu, kenapa dulu Ibu memilihnya menjadi suami? Ayah bukan pekerja keras kan, malah seorang pemalas.”

“Panjang ceritanya, Nak. Kau pasti akan kuberi tahu semuanya. Suatu saat nanti. Tapi, bukan sekarang.”

Saras menatap tajam mata Ibu. Berusaha menembus isi hatinya yang terdalam. Tapi, tatapan Ibu tak menyiratkan apa pun. Dia hanya menatap lembut anak gadisnya, seraya mengusap-usap kepalanya. Saras tak pernah mengerti Ibu. Bagaimanapun kerasnya dia belajar memahami wanita yang sudah melahirkannya itu, di hatinya selalu timbul tanda tanya besar tentang sosok wanita itu. Dia ingin sekali belajar, tapi Ibu tak pernah memberinya kesempatan. Hanya nasihat-nasihatnya yang dihafal Saras dengan baik, walaupun tak banyak yang melekat di hati. Hanya dengan bekal itulah, Saras menjalani hidupnya setiap hari. Termasuk tentang pria.

Kalau disuruh mengakui, Saras pasti akan mengatakan bahwa dia lebih mencintai Ayah ketimbang Ibu. Seumur hidupnya, Ayah yang dikenalnya adalah sosok ayah yang periang, lembut, baik hati, dan mengerti jiwa anak-anaknya. Ayah yang tak pernah memaksakan kehendaknya. Ayah yang tak pernah mengekang hidup anak-anaknya. Ayah yang selalu memberinya kebebasan memilih. Bahkan, ayah yang bisa diajaknya berkompromi dalam hal apa pun, termasuk saat ia sedang membohongi ibunya.

Hanya ada satu cacat Ayah di matanya. Dia bukan siapa-siapa lagi. Ayah bukan lagi seorang bos, pemilik perusahaan percetakan yang cukup tersohor itu. Ayah kini hanya seorang ‘bapak rumah tangga’ yang tak berdaya. Dihidupi oleh uang istri. Figur yang makin hari makin terlindas oleh otoritas Ibu.

Sebenarnya, Saras ingin sekali bisa membanggakannya. Memamerkannya di hadapan teman-temannya. Tapi, dia malu! Apalagi, kalau berhadapan dengan teman-temannya yang berasal dari kalangan atas, yang bapaknya seorang pejabat ini, big boss perusahaan itu. Bukan mantan pemilik perusahaan percetakan yang sudah bangkrut. Tak bisa bangkit lagi.

Berbagai pertanyaan itu masih sering berseliweran di benak Saras. Kenapa Ayah kini begitu pemalas? Kerjanya sehari-hari hanya diam di rumah. Baca koran. Nonton teve. Merokok. Padahal, di depan matanya ada Ibu yang sibuk dengan bisnis kateringnya, yang tak pernah berkembang menjadi besar, tapi lumayan untuk menambah biaya hidup. Benarkah seorang pria yang sudah terpuruk tak bisa bangkit kembali? Apalagi, bila ia sudah merasa tergilas keperkasaan sang istri.

Dulu Saras tidak tahu kenapa keluarga mereka mendadak jatuh miskin. Kenapa tiba-tiba dia tidak pernah diantar-jemput lagi oleh mobil mentereng lengkap dengan sopirnya. Kenapa pula dia tidak bisa lagi membeli boneka-boneka besar dan mainan mahal lain. Sekarang dia tahu. Semua memang salah Ayah. Sudah pemalas. Tidak punya ambisi. Berjudi pula.

Saras membenci sifat Ayah yang satu itu. Tapi, bagaimanapun, kalau harus memilih, dia masih tetap lebih menyayangi Ayah  ketimbang Ibu. Bagaimanapun buruknya contoh sikap yang diberikan. Tak peduli surga letaknya di bawah telapak kaki Ibu, bukan kaki Ayah. Tak mengingat pula rahim ibulah yang dikenalnya lebih dulu, bukan perut Ayah. Paling tidak, Ayah tak pernah memberi peraturan. Hanya ada cinta dan kebebasan. Cita-cita yang paling diidam-idamkannya sejak dulu.

Lampu-lampu sorot berpendar di penjuru ruangan itu. Suara musik masih mengentak-entak dengan semangat. Merayu orang untuk terus meliukkan tubuh menyambut malam sampai pagi menjelang. Tapi, Saras tak peduli. Setelah puas beberapa jenak menggoyang-goyangkan badannya, dia beranjak menepi.

Saras terus berjalan menembus lautan manusia yang tengah bersukaria. Duduk di salah satu kursi kosong di depan meja bar. Memesan segelas minuman. Dan memerhatikan dengan asyik suasana sekitar. Inilah dunia yang dikenalnya semenjak dia mulai hidup terpisah dari orang tua. Nite club di Jakarta hampir semuanya pernah dijelajahi, paling sedikit dua minggu sekali.

Selain itu, dia juga hobi keluar-masuk tempat karaoke. Senang rasanya bisa menyalurkan hobi terpendamnya di tempat itu. Setelah lulus kuliah dan mulai bekerja, punya penghasilan sendiri, kesenangannya akan kehidupan malam semakin menjadi. Saras merasa makin bebas. Orang tuanya, terutama Ibu, tak pernah terlalu turut campur lagi urusannya, membatasi ruang geraknya. Dia sudah dewasa. Bebas memutuskan langkah hidupnya sendiri.

Semua kepolosan masa kanak-kanaknya memang sudah pergi jauh, seiring keputusannya hidup mandiri. Tanpa ragu-ragu dilenyapkannya semua rasa mindernya, sifat pemalunya, cengengnya. Ditutupinya rapat-rapat sampai hampir tak dapat terlihat.

Yang paling menyenangkan dari itu semua: Ibu tak pernah tahu. Keluarganya tidak tahu. Tidak ada satu pun dari mereka yang boleh tahu sepak terjangnya. Di mata keluarganya, Saras tetaplah gadis mereka yang dulu. Yang meskipun paling sulit adatnya, tetap menjadi kebanggaan setiap orang. Tetap paling menonjol di antara saudara-saudaranya.

Bahkan, bagi ayah-ibunya, sikap Saras kini makin manis. Hanya dia satu-satunya yang ingat untuk membawakan oleh-oleh bila pulang bepergian. Hanya Saras yang ingat untuk selalu menelepon, sekadar menanyakan kabar mereka. Hanya Saras juga yang paling mau repot untuk menuliskan kata-kata indah di kado ulang tahun Ayah dan Ibu. Di rumah, tak ada yang berubah.

Saras telah mempelajari satu hal: selalu ingat untuk memakai topeng! Topeng yang paling bagus. Yang hampir tak ada beda wujud dari rupa. Satu topeng untuk satu situasi. Dia harus pandai memilah-milah, agar orang pun tak salah mengenali. Dia tahu tak ada yang tahu. Bahkan Ibu, yang kata orang, hampir selalu tahu.

“Hai, kok, bengong sendirian?” tanya seorang pria, yang entah kapan sudah ada di dekatnya. Membuyarkan lamunannya. “Tidak berdansa?”

“Sudah. Tadi,” sahut Saras pendek. Dia menoleh dengan mimik terganggu. Tapi, ketika bersirobok pandang dengan lawan bicaranya, rautnya agak sedikit berubah. Usia pria di hadapannya ini sudah pasti tidak terlalu jauh di atas umurnya. Kira-kira hanya 3-4 tahun di atasnya. Dari penampilannya, bisa ditebak, dia eksekutif muda. Keren. Gaya. Mudah-mudahan… kaya.

Tapi, Saras cepat-cepat mengubah kembali ekspresi mukanya menjadi datar. Bahaya! Ini tempat rawan. Salah sinyal sedikit, dia bisa dicap gampangan. Sayangnya, pria itu jauh lebih berpengalam­an. Dengan cepat dia menangkap sorot kekaguman itu. Sebagai seorang pria normal, dia tak mau menyia-nyiakan kesempatan.

“Kenalkan: Arya. Boleh tahu namamu?” dengan sikap pede, diulurkannya tangannya yang besar dan kekar itu.
Saras tetap menunjukkan sikap tak acuhnya. Meskipun, tangan itu tetap disambutnya. Disebutnya namanya. Jantungnya nyaris lupa berdenyut, ketika tangan pria itu menggenggamnya dengan erat dan mantap.

“Mau dansa?”

Saras menggeleng.

“Dengan siapa?”

“Bertiga dengan teman,” Saras menunjuk ke arah yang dimaksud dengan dagunya.

“Hah? Pergi ke tempat begini cuma bertiga?” Arya menoleh dengan takjub. “Sepi betul lingkunganmu. Ke mana teman-temanmu yang lain? Atau… jangan-jangan memang nggak punya banyak teman, ya?”

Kalau Saras bukan anak yang mudah tersinggung, dia akan segera mengetahui Arya asal bunyi. Tapi, sayang, kata-katanya terlalu tepat mengenai sasaran. Mata gadis itu berubah beringas.

“Ups… maaf! Hanya bercanda!” Arya mengangkat kedua tangannya. Sadar bahwa kata-katanya agak menyinggung perasaan.

Sikapnya spontan. Kadang sombong, kadang menggemaskan. Tapi, tidak kurang ajar, apalagi bermaksud melecehkan. Saras makin terpikat. Dia bertekad akan membuat hubungan mereka bertambah dekat.

Saras telentang di atas ranjang berukuran single di kamar kosnya. Meski hampir menjelang dini hari dan tubuh terasa penat, matanya masih belum dapat terpejam. Insomnia. Penyakit wanita malam. Padahal, besok pagi-pagi sekali dia sudah harus bangun dan berangkat kerja. Masih terngiang-ngiang kata-kata yang dilontarkan Arya di diskotek tadi. Hal yang justru paling ingin dilupakannya. Malah, yang sudah berusaha dikuburnya dalam-dalam. Tapi, kenapa masih bisa terlihat?

Tidak punya teman! Menyakitkan sekali kedengarannya. Membuatnya merasa menjadi orang paling malang di dunia. Kuper. Tidak bisa bergaul. Saras sungguh ingin menyanggah. Tapi, kalau kenyataan mengatakan itu benar, dia bisa apa? Bagaimana pun dia berusaha menutupi, itulah keadaan sebenarnya.

Siapa, sih, temannya selama ini? Tidak ada! Jangankan sahabat. Teman saja tak ada. Semuanya hanya teman dalam suka. Datang dan pergi dengan gampangnya, secepat dia bertukar baju. Lalu, satu per satu pergi dan berlalu. Selalu begitu.

Kenapa, ya, orang harus pakai topeng? Bukan topeng badut atau sejenisnya. Tapi, topeng semu yang hanya bisa dirasa oleh si empunya muka tanpa bisa diraba. Awalnya, kukira aku sendiri yang suka memakai topeng. Tapi, setelah kuperhatikan, ternyata banyak juga yang begitu.

Topeng seperti ini sudah menjadi kebutuhan mendasar. Bukan untuk melakukan kejahatan, hanya semata perlindungan. Untuk kita bisa bersosialisasi dan mencari kawan. Menampilkan citra baik, bahkan di depan lawan. Siapa, sih, yang tidak ingin punya teman? Siapa yang ingin selalu merasa ditolak oleh lingkungan?

Semua pasti ingin punya teman, sekaligus diterima di lingkungan pergaulan, kalau bisa. Semua pasti ingin tampil apa adanya, juga kalau bisa. Sayang, lingkunganlah yang selalu punya hak pilih penuh, bukan kita sendiri. Lingkungan yang selalu memutuskan, apakah kita bisa masuk ke lingkup mereka atau tidak. Bagi yang tidak memenuhi segala persyaratan, jangan harap bisa bergabung. Memang kejam kedengarannya.

Tapi, aku menyadari, hidup ini selalu berarti pilihan. Jadi, jika topeng adalah pilihan terbaik dan satu-satunya bagiku, karena pilihan lain sudah direbut orang, kenapa tidak digunakan?

  Kenapa orang harus pakai topeng? Topeng semu yang hanya bisa dirasa oleh si empunya wajah, tanpa bisa diraba. Bagiku, topeng ini sudah menjadi kebutuhan. Bukan untuk melakukan kejahatan, hanya semata perlindungan. Untuk bisa bersosialisasi dan mencari kawan, menampilkan citra baik. Siapa, sih, yang tidak ingin punya teman? Semua pasti ingin tampil apa adanya, kalau bisa. Sayang, lingkungan selalu punya hak pilih penuh.

Saras paling membenci hari Sabtu. Entah kenapa. Meskipun sebenarnya dia sendiri merasa, bukan harinya yang salah, melain­kan dirinya yang bermasalah. Bagaimana bisa suka, kalau Sabtu pagi dia masih sibuk di kantor, sementara sebagian besar aktivitas perkantoran yang lain mendapat libur.

Dia benci. Dia iri. Iri pada orang lain yang bisa libur. Iri pada peng­hasilan orang lain yang lebih mencukupi. Punya fasilitas memadai. Kenapa orang lain selalu lebih beruntung, sedangkan dia tidak!

Yang sebenarnya tidak disukai Saras adalah perasaan sepi dan sendiri, bukan masalah hari. Saras memang beda. Mulai dari adat sampai selera. Sudah biasa baginya untuk menyukai apa yang tidak disukai orang lain, dan membenci apa yang biasanya disenangi orang. Orang mengatakan dia aneh, tapi dia tidak peduli. Karena melakukan hal yang dilakukan orang kebanyakan? Baginya itu bukan tolak-ukur. Hanya masalah selera.

Tapi, orang akan memilih bungkam. Bukan karena kekurangan perbendaharaan kata, tapi malas berdebat. Malas melihat lagaknya yang sok pintar, ingin menggurui, tak mau peduli. Predikat aneh itu mau tak mau tetap disandangnya. Bagaimana tidak aneh? Dia betah menyendiri, sementara orang lain wara-wiri. Tak mau menyapa bila tidak disapa.

Sekali lagi, pintu pergaulan tertutup untuknya. Sulit sekali mencari celah yang dapat dimasukinya. Padahal, dia ingin sekali. Sayang, jarang ada orang yang mau memberinya kesempatan. Sebenarnya, Saras sakit hati. Dia yang selalu dimanja di rumah, diperlakukan bagai putri, tidak selalu bisa diterima oleh lingkungan luar. Dia pun makin menutup diri. Makin mendongakkan kepala. Mengangkat dagu. Benar-benar berlaku seolah dia adalah ratu.

Sampai di tempat kerja pun, Saras tetap tidak mempunyai teman dekat. Celakanya lagi, dia ditempatkan di divisi yang memang mengharuskannya bekerja secara individu. Hampir tak ada kesempatan bersosialisasi dengan teman. Sahabat setianya hanyalah komputer. Di rumah dan di kantor. Pernah beberapa kali dia mencoba membuka diri. Makan siang bareng teman sekerjanya. Itu pun tak bertahan lama. Karena, yang kaku memang susah sekali dilenturkan. Dia merasa tak nyaman, lalu memilih mundur.

Orang selalu membicarakan sikapnya. Tapi, begitulah. Orang hanya bisa memandang apa yang tampak di depan mata. Membicarakannya dengan segala macam kata yang tak nyaman di telinga. Menyakitkan. Seakan dia tak punya hati. Tak bisa sakit. Tak bisa merasa. Juga tak peka. Tentu saja tak ada yang tahu. Semua kegalauan hatinya hampir tak pernah diketahui orang. Dan, dia sudah terlatih memendam segala hal sejak masa kecilnya.

Tak ada yang tahu betapa menderitanya dia, yang hanya bisa memandang dengan iri pada orang yang begitu mudah bergaul. Begitu gampang mendapatkan sahabat. Teman dalam segala cuaca. Tak ada yang tahu betapa ia ingin bergabung dengan suatu komunitas. Tapi, selalu tak ada tempat untuknya. Padahal, dunia ini begitu luas.
Hanya dunia malam Jakarta yang masih menerimanya. Clubbing. Rokok. Alkohol. Itulah teman-teman terbaiknya. Yang lain tak dapat dipercaya.

Saras tidak tahu pasti siapa Arya. Ia hanya tahu sosok pria itu sebatas yang dikenalnya di diskotek tempo hari. Pernah ada keinginan untuk mencari tahu. Mencoba mengajaknya berteman. Tapi, Saras tak berani. Tekadnya untuk lebih mendekat pada pria itu sudah lama punah. Karena itu, dia serasa bermimpi, ketika suatu malam dia bertemu kembali dengan Arya. Lewat pertemuan tak sengaja di depan lobi gedung kantornya.

Entah mendapat keberanian dari mana, kali ini Saras berani melontarkan sapaan lebih dulu. Agak deg-degan. Takut Arya sudah lupa perkenalan mereka dulu. Tapi, tidak. Ingatan pria itu baik juga. Ia juga cukup baik menawarkan diri untuk mengantar Saras pulang ke kosnya.

Demi sopan-santun, awalnya Saras menolak. Tapi, Arya memaksa. Tidak perlu waktu lama. Karena, Saras yang takut kesempatan ini akan hilang untuk kedua kalinya, langsung mengiyakan. Tidak lupa memasang raut wajah sungkan, agar Arya tidak mudah mengecapnya gampangan.

Sepertinya, Saras berhasil. Pertemuan malam ini membuahkan janji untuk pertemuan berikutnya. Ini yang ketiga. Kali ini bukan di klab malam, bukan pula di depan kantor, tapi di sebuah kafe romantis yang menyuguhkan live music hanya dengan denting piano, dan bias lampu temaram.

Arya mengajaknya duduk di sudut yang agak terhalang dari banyak pandangan. Mengajaknya bercerita. Menanyakan banyak hal tentangnya. Mendengarkan ceritanya dengan antusias. Tatapan. Kelembutan sikap. Kesabaran mendengarkan. Makin lama makin melumerkan hati Saras yang memang sudah luluh sejak awal berkenalan.

Sedikit demi sedikit Saras mulai bisa terbuka pada Arya. Sikapnya jauh lebih santai. Dia bisa bercanda dan tertawa dengan bebas. Dia bisa mengobrol tentang apa saja. Yang paling menyenangkan, berada di hadapan pria itu, Saras bisa dengan lega mencopot topengnya. Arya membuatnya merasa nyaman menjadi diri sendiri.

Kelanjutannya gampang ditebak. Saras jatuh cinta. Satu rasa yang selama ini tak pernah ada pada pria mana pun yang pernah dikenalnya.

“Wanita itu paling gampang dibuat jatuh cinta. Asal dia diperlakukan baik, benci pun bisa berubah jadi cinta.” Saras teringat kata-kata Ibu dulu.

Tidak juga. Buktinya, dia tidak gampang jatuh cinta. Tapi, pria yang ini memang beda. Juga saat dia membuka rahasianya, ketika Saras diundang ke rumahnya suatu hari. Saras melongo ketika di pintu depan disambut Arya yang tengah menggandeng seorang anak perempuan manis berambut panjang.

“Hai,” sapa Arya. Senyumnya merekah. Lalu, dia berpaling pada gadis kecil itu. “Dita, beri salam pada Tante Saras.”

Dita tersenyum. Tidak bersuara. Hanya memberi tangannya untuk bersalaman. Tatapannya penuh percaya diri. Sikapnya tak peduli.

“Halo, Dita,” Saras mencubit pipi anak itu dengan gemas.

“Keponakanmu?” tanya Saras, saat mereka hanya berdua di ruang tamu.

“Anakku,” sahut Arya, santai. “Aku sudah pernah menikah. Maaf kalau selama ini belum pernah menceritakannya padamu.”

“Tidak apa-apa. Itu hakmu untuk tidak bercerita tentang hal-hal pribadi.” Otak Saras belum mampu mencerna seluruhnya. “Lalu, istrimu?”

“Kami bercerai setahun lalu. Klise. Karena beda prinsip.”

“Dia meninggalkan anaknya begitu saja?” tanya Saras lugu. Tidak mengerti kenapa ada ibu yang tahan berpisah dari darah dagingnya.

“Saat sidang perceraian, aku memperjuangkan Dita. Karena, ibunya terlalu sibuk. Dia seorang model yang sedang go international. Hari ini harus show di sini, besok sudah terbang ke tempat lain. Dengan jadwal seperti itu, dia tidak akan sempat memerhatikan anaknya. Aku tidak rela anakku terlantar, justru di tangan ibunya sendiri.”

  “Apakah dia rajin menanyakan anaknya?”

“Tak sampai sebulan sekali.”

“Menjenguknya?”

“Hmm… aku lupa kapan terakhir kali. Mungkin enam bulan lalu.”

Ibu. Tiba-tiba Saras teringat ibunya. Hari ini, mungkin yang pertama kalinya, Saras ingat untuk bersyukur. Meski Ibu tak banyak memberinya kebebasan, terlalu mengekang, ia selalu ada untuk keluarganya.

“Bagaimana kalian menikah dulu?”

“Married by accident. Biasa. Akibat terlalu bebas. Kami berpacaran ketika sedang sekolah di luar negeri. Tak ada pengawasan. Yang paling fatal, usia kami ketika itu masih sangat muda.”

Bukan alasan, dengus Saras dalam hati. Sekelebat dia kembali mengingat dirinya sendiri. Apa bedanya? Dia pun seperti itu. Bermain-main dengan mahkota paling berharga yang hanya dimiliki seorang wanita. Hanya untuk menunjukkan eksistensi diri yang tidak jelas untuk apa dan siapa.

“Dia tidak pernah menanyakan ibunya?”

“Awalnya, ya. Tapi, lama-kelamaan dia mulai mengerti dan berusaha berhenti mencari ibunya.”

“Bukan mulai mengerti. Tapi, dia terpaksa mengerti.”

“Dia memang harus mengerti. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Karena, memang beginilah keadaannya sekarang. Toh, dia masih punya aku.”

Egoisnya orang tua. Menuntut buah hati untuk selalu mengerti, tanpa timbal balik untuk memahami.

“Aku tahu kamu sulit mengerti, Sar. Karena, kamu bukan berasal dari keluarga yang terpecah-belah. Tapi, satu yang boleh kamu percaya, aku menyayangi Dita. Dia sudah kehilangan kasih sayang ibunya. Tidak akan kubiarkan pula dia kehilangan cinta ayahnya.”

Sejak bertemu Arya, malam Minggu Saras tak lagi kelabu. Arya sering mengajaknya pergi berdua. Kadang bertiga dengan Dita. Saras mendapat pengalaman baru, mengasuh anak. Dia sebenarnya tak suka anak-anak. Baginya mereka hanyalah makhluk rewel yang merepotkan. Yang membuat tangannya gatal ingin menjitak kepala mereka.
Tak terkecuali Dita. Tapi, terhadap bocah ini dia harus belajar menahan diri. Apalagi, dia tahu, Arya sangat menyayangi putri kecilnya itu. Dita sebenarnya anak yang menarik. Selain wajahnya cantik menggemaskan, sifatnya juga periang. Dia sangat manja pada ayahnya.

Dita bukannya membenci Saras. Sekalipun tahu bahwa Tante Saras pasti teman dekat Daddy, atau malah kekasihnya. Karena cuma wanita itu yang belakangan ini paling sering pergi dengan daddy-nya. Kalau dia menjaili Saras itu, karena sifatnya memang usil. Senang bercanda dan mengganggu orang.

Dita dididik Arya untuk selalu terbuka. Karena itu, dia jarang memiliki perasaan iri dan cemburu pada orang lain. Baginya, semua orang sama menyenangkannya. Tapi, tante yang satu ini lain. Dia bukan hanya sulit diajak bercanda, tapi juga terlalu kaku, menu­rut pandangan kanak-kanaknya. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Dita tak pernah bisa cepat akrab.

Dita makin antipati, ketika dia memergoki mata Tante Saras ber­ubah tajam memelototinya. Tentu saja tak kelihatan Daddy. Padahal, waktu itu Dita sedang tidak berniat mengusilinya. Mung­kin, Tante Saras merasa terganggu karena Dita berteriak-teriak memanggil susternya.

Saras sendiri tidak terlalu merasa bahwa gadis cilik itu mulai memandangnya berbeda. Lagi pula, dia sudah biasa dipandang beda oleh orang lain. Yang penting buatnya, dia bisa tetap berdekatan dengan Arya. Dita urusan kedua. Kalau anak menyebalkan, itu adalah harga yang harus dibayarnya untuk mendapatkan Arya. Meskipun, setengah terpaksa.

Karena tahu tidak akan bisa masuk ke hati Dita, Saras enggan mencoba berakrab-akrab. Tapi, juga tidak bersikap memusuhi. Dia mencoba jaga wibawa, supaya Dita tidak berani macam-macam dengannya. Untunglah, Dita tidak mau pergi bertiga lagi. Jadi, Saras bebas memonopoli Arya. Paling tidak selama beberapa jam.

Yang membuat Saras kagum pada Arya adalah kemampuannya menga­tur waktu. Di tengah kesibukannya, dia masih punya waktu untuk gaul dengan teman-temannya dan bermain dengan anak semata wayangnya.
”Yang paling penting adalah kemauan untuk menyediakan waktu,” kata Arya, santai ketika suatu kali Saras bertanya.

”Apa bedanya dengan membagi waktu?”

”Berbeda sekali. Membagi itu memakai patokan waktu. Untuk pekerjaan waktunya segini, untuk hal lain segitu. Itu lebih membebani.”

”Aku juga heran, kamu supersibuk, tapi tetap terlihat santai.”

”Karena, aku menikmati pekerjaanku. Aku juga suka meluangkan waktu untuk kehidupan pribadiku. Itu salah satu terapi supaya tetap survive.”

”Lalu, bagaimana caramu mendidik Dita? Aku lihat kamu juga santai sekali. Tidak khawatir? Anakmu kan perempuan.”

”Aku tak pernah pakai patokan tertentu. Yang selalu kutekankan terhadapnya adalah kemandirian. Tidak bergantung pada orang lain dalam hal apa pun, pada siapa pun. Termasuk padaku, ayahnya sendiri.”

”Tega sekali kamu,” kata Saras.

”Dari mana kamu bisa bilang begitu?”

”Anakmu kan masih kecil.”

”Justru karena dia masih kecil, jadi lebih mudah mengajarkannya. Kamu pikir setelah umur berapa mandiri itu sebaiknya diterapkan? Setelah dia dewasa dan bosan menjadi anak manja? Atau, setelah seumur dirimu?”
”Tapi, aku kan mandiri,” kata Saras.

”Dalam hal apa kamu merasa mandiri?” Arya menaikkan alisnya.

”Aku bisa hidup jauh dari orang tua setelah lulus sekolah. Aku juga terbiasa pergi ke mana-mana sendiri.”

Arya tertawa kecil.

”Kenapa tertawa?”

”Menurutku, kamu belum mandiri.”

”Jangan sok tahu. Kalau bukan mandiri, lalu apa?”

” Menurutku, kamu hanya anak manja yang ingin berontak dengan dalih belajar mandiri. Entah berontak pada apa atau siapa.”

Mata Saras langsung membeliak.

”Maaf. Aku hanya bercanda. Jangan marah.” Digamitnya punggung tangan Saras lembut.

Arya selalu saja berhasil meredam emosinya. Juga ketika suatu hari, beberapa bulan kemudian, Arya meminta Saras menjadi kekasihnya. Dengan cara demikian memikat. Membuat Saras sulit menolak, meskipun pikiran itu tak pernah terlintas dalam benaknya.

Memang tak ada alasan untuk menolak Arya. Ia hampir memiliki segala yang diinginkan seorang wanita pada pria. Satu-satunya cacat mungkin karena Arya adalah seorang duda beranak satu. Tapi, itu pun bukan masalah besar untuk Saras. Justru gadis itu menganggap hal ini sebagai kelebihan. Dengan predikatnya, Arya malah lebih terlihat makin matang.

Sejak berpacaran dengan Arya, Saras makin jarang pulang. Tidak sebulan sekali dia datang orangtuanya. Padahal, Depok terbilang tetangga dekat Jakarta. Hampir satu rumpun. Tapi, setelah bulan ketiga, Saras pulang juga. Dia memilih sendiri. Tidak mau diantar Arya. Paling tidak dia harus memastikan dulu reaksi Ibu, mendengar anaknya sudah menjalin hubungan dengan seorang pria. Apalagi, dia duda, dengan satu anak pula.

“Ibuku belum tentu mengizinkan. Dia bilang harus menunggu saat yang tepat untuk mengenal pria. Dan aku tidak tahu kapan waktu itu tiba. Waktu ibuku berbeda dari waktuku,” kata Saras, saat Arya meminta penjelasan.

“Kukira kamu sangat dekat dengannya.”

“Hanya dalam beberapa hal.”

Arya termangu. Meskipun merasa mengerti karakter Saras, tetap masih tersisa beberapa ganjalan. Gadis yang aneh. Kadang dia bisa bersikap periang, spontan, penuh tawa, dan terbuka. Di saat lain dia bisa berubah menjadi amat introvert, kaku, serta sulit bersosialisasi. Kalau sudah begitu, dia akan asyik sendiri dengan dunianya. Tidak peduli lagi pada keadaan sekeliling.

“Tante Saras itu sok.” Terngiang kembali kata-kata Dita.

“Dita tidak boleh begitu! Atas dasar apa Dita menuduh begitu tentang Tante Saras?” tanya Arya halus, tapi tegas.

“Dita nggak nuduh, kok. Ada buktinya. Nanti juga Daddy tahu.”

Arya tahu, kata-kata seorang bocah berusia enam tahun tidak bisa dianggap sepele. Arya makin tertantang untuk mengetahui siapa gadis yang jadi kekasihnya, latar belakang keluarganya. Dari cerita-cerita sebelumnya, Arya menangkap kesan bahwa hubungan Saras dengan keluarganya baik-baik saja.

Tentu saja Arya tidak tahu bagaimana sosok ibu Saras sebenarnya. Bagaimana sifatnya yang terlalu memproteksi anak-anaknya. Sifat yang makin hari makin sulit diterima, karena ketiga gadisnya sudah beranjak dewasa dan ingin sekali mencicipi sedikit kebebasan. Bukan yang selalu dijaga siang-malam seolah-olah mereka keramik Cina yang tidak boleh lecet sedikit pun.

Sampai detik ini Ibu tetap saja memperlakukan Saras dan saudara-saudaranya seperti bocah kecil. Di rumah dia masih senang memeluk dan menciumi anak-anaknya. Mengajak mengobrol, mendengarkan cerita mereka, bahkan tidur rame-rame dalam satu tempat tidur. Sejauh tidak ada yang tahu, Saras senang-senang saja dengan perlakuan seperti itu.

Tapi, dia tidak mau ini semua diketahui orang luar. Apalagi, orang-orang yang tidak mengenal keluarga dan masa kecilnya. Dia malu dengan sifat manjanya. Namun, kedekatan Saras dengan keluarganya, terutama Ibu, memang hanya sebatas bermanja-manja. Makin lama makin sedikit kehidupan pribadi Saras yang diketahui Ibu. Kalau ditanya, dia hanya akan bercerita hal yang umum saja. Untunglah, Ibu pun tidak pernah mendesak.

Suatu kemajuan. Ibu melunak. Peraturan tak seketat dulu. Apakah dia sadar kalau anak-anak mulai menjauh darinya? Entahlah. Saras tak terlalu mau tahu. Tapi, tetap saja Saras harus berhati-hati untuk bercerita, apalagi kalau menyangkut urusan pria.

Kali ini pun Saras tidak punya keberanian. Begitu melihat wajah ibunya, dia lebih memilih bungkam seperti biasa. Saras hanya takut. Ngeri kalau tiba-tiba Ibu kembali pada sikapnya yang lama. Overprotective. Bagaimana kalau dia melarang Saras berpacaran dengan Arya? Bagaimana kalau Ibu memintanya memutuskan hubungan? Lebih baik dia menunggu saat yang tepat.

“Malam, Bu,” sapa Saras, seraya memamerkan senyum termanisnya, begitu dia menjejakkan kaki di dalam rumahnya sendiri. Suaranya otomatis berubah sendiri. Agak melengking dan manja.

Ibu yang tengah membereskan barang belanjaannya di dapur, tersenyum melihat kedatangan putrinya.

“Selamat malam, Sayang.” Ibu membuka kedua lengannya lebar-lebar dan menerima Saras dalam pelukannya. Diciumnya kedua belah pipi anaknya dengan lembut. Lalu, mata Ibu turun dan melihat kaos yang dikenakan anaknya. Hanya sebatas pinggang. Terangkat sedikit saja perut mulus dan pusar Saras akan terlihat. Tangannya terulur dan mencubit halus perut itu.

Tanpa dikatakan lagi pun, Saras sudah mengerti, Ibu tak suka pakaian yang memamerkan tubuh seperti itu. Maka, sebelum Ibu berkomentar lebih jauh, Saras ngeloyor meninggalkan dapur.

Selalu begitu. Ini yang masih belum berubah. Dari dulu, sekarang, dan mungkin sampai selama-lamanya, pandangan Ibu tentang yang satu ini akan tetap sama. Ibu bukan pengikut mode. Gaya berpakaiannya amat sederhana dan konvensional. Longgar, panjang. Jauh dari trendi. Celakanya, Ibu juga menginginkan anak-anaknya untuk berpakaian sesopan itu. Artinya, tidak ada istilah pamer lengan, perut, apalagi bokong dan dada.

Mungkin, yang paling penurut hanyalah Laras. Dibandingkan kakak-kakaknya, Laras memang cenderung kuno dalam fashion. Persis Ibu. Sedangkan Niras, meskipun suka buka-bukaan, di rumah dia selalu menghormati Ibu dengan memilih berpakaian yang pantas untuk mata ibu.

Lagi-lagi Saras yang paling bandel. Dia tidak peduli Ibu sampai bosan menasihatinya untuk berpakaian ‘sopan’. Baju-bajunya hampir semua mempertontonkan kemolekan tubuhnya. Kalau sedang di jalan atau naik kendaraan umum, dia akan menutupinya dengan jaket. Itu saja.

Tapi, kali itu Ibu hanya menghela napas, memandang punggung anaknya menjauh. Setelah itu dia kembali sibuk dengan dapurnya.

Tadi Arya mengirim SMS. Dia minta ditemani pergi ke acara reuni teman-teman kuliahnya dulu. Saras tersenyum senang. Dia tidak menolak. Dia paling suka event seperti itu. Reuni. Pesta. Apalagi, kali ini ke pesta teman-teman Arya. Pasti keren. Bonafit. Jebolan-jebolan Amerika akan berkumpul di sini.

Sore itu Saras berencana minta izin pada Ibu untuk kembali ke kosnya. Agar ia bisa punya waktu untuk ke salon, tampil cantik agar tidak membuat Arya malu. Tapi, ternyata, Ibu malah mengajaknya mengobrol lagi. Sepertinya serius. Membuat Saras tak punya pilihan lain selain sabar mendengarkan.


“Dua hari yang lalu Niras kirim SMS. Katanyam dia akan pulang minggu depan,” Ibu memulai pembicaraan.

“Dia sedang liburan?” Saras mengernyitkan kening.

“Katanya, mumpung sedang luang. Bosnya sudah mengizinkan.”

Apa pun itu, bukan kabar kedatangan kakaknya yang membuat Saras tertegun, tapi kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Ibu barusan.

“Ibu mengizinkan Niras membolos?” bola mata Saras mem­besar.

“Bagaimana Ibu bisa melarangnya?” mata Ibu balas memandang putri tengahnya. Seolah melempar balik pertanyaan itu untuk dijawab Saras. “Biarkan saja. Toh, dia sudah dewasa. Sudah hidup mandiri. Dia pasti sudah mengerti sendiri konsekuensi yang harus dijalaninya.”

Wow, inikah ibunya? Mata Saras membulat dan menatap Ibu lekat-lekat. Angin apa yang membuatnya jadi berubah sedrastis ini?

“Saras, apakah Niras pernah bercerita tentang dirinya?”

Pertanyaan yang tak perlu dijawab. Tentu saja! Tapi, tolong, Bu, jangan menyuruhku untuk menceritakan isi cerita itu. Ini rahasia di antara kami.

“Apakah… apakah… dia pernah bercerita tentang pria?” tanya Ibu, tanpa menunggu jawaban puterinya. Suaranya terdengar ragu-ragu.

“Memangnya ada apa, Bu?”

“Tidak apa-apa. Niras hanya bilang, dia akan mengajak temannya dan memperkenalkannya pada keluarga kita.”

Berarti, Niras sudah punya pilihan. Sepertinya sudah mantap. Kalau tidak, bagaimana dia punya pikiran untuk membawanya ke hadapan Ayah dan Ibu. Lalu, kenapa Ibu masih cemas?

“Bagus kan, Bu? Berarti Mbak Niras berniat terbuka pada kita?”

Ibu mengangguk. “Benar. Tapi, seperti apa temannya itu?”

“Mungkin teman sekampusnya, Bu. Sudahlah, kita lihat saja nanti. Kenapa, sih, kok, Ibu sepertinya khawatir sekali? Wajar kan, Bu, kalau Mbak Niras sudah punya pacar.”

“Ya. Tapi…,” Ibu menggantung kalimatnya. Menghela napas panjang. “Sepertinya Ibu punya perasaan tidak enak?”

“Ah, Ibu. Jangan terlalu banyak memikirkan hal yang tidak perlu.”

Pembicaraan terputus sampai di situ.

Saras senang berada di antara golongan orang-orang kaya ini. Sejak dulu dia selalu merasa, di dalam komunitas seperti inilah seharusnya dia berada. Di antara orang-orang elite dan intelek. Jauh di dalam lubuk hatinya Saras merasa kemampuan otaknya tidak kalah dari para lulusan luar negeri itu. Yang tidak dimilikinya adalah keberuntungan untuk bersekolah sampai ke luar negeri.

Lagi-lagi materi! Betapa menyebalkannya, karena justru dia selalu terpentok pada hal satu itu. Kekurangan yang membatasinya dengan hal-hal yang ingin dia cicipi sesungguhnya. Karena itu, untuk mendampingi Arya di acara reuninya, Saras merasa sudah layak dan sepantasnya kalau dia berdandan habis-habisan.

Dengan penuh pertimbangan, Saras memutuskan mengenakan gaun malam berpotongan dada rendah dan tali kecil di kedua ba­hunya, menonjolkan dengan jelas tato bergambar hati di bahu ki­rinya. Rambutnya yang panjang sepunggung diangkat dan di­tata di atas tengkuknya. Sementara sisa anak rambut dibiarkan menjuntai polos di dekat telinganya.

Saras sangat percaya diri pada penampilannya malam ini. Dia ta­hu dia pandai berdandan. Hasil riasannya tidak kalah dari salon ke­cantikan profesional. Gaun malam yang dipilihnya, meski bukan ke­luaran butik ternama dan sangat ekonomis, tampak anggun. Dia merasa seperti putri kecantikan.

Untung saja malam ini Arya tidak punya ide mengajak Dita. Kalau bocah itu ikut, hampir bisa dipastikan, sembilan puluh persen acaranya dengan Arya akan rusak. Mana bisa bermesraan tanpa gangguan teknis.

“Cantik sekali kamu, Sar,” puji Arya.

Mata Arya menatap lekat mata kekasihnya dengan mesra. Wajahnya mendekat. Saras hanya diam, menanti gerak lanjut kekasihnya. Tapi, Arya lalu hanya menggenggam jemari Saras dan mengecup punggung tangannya.

Sesekali Saras melirik Arya dengan bangga. Ia merasa beruntung sekali. Tak peduli dia adalah seorang duda. Dengan kelebihan Arya, ingin sekali Saras memperkenalkannya pada orang tuanya. Seharusnya, Ibu bangga, putrinya dapat memilih kekasih dengan sangat selektif. Calon menantu pilihan.

Tapi, banggakah Ibu? Bagaimana sebenarnya kriteria calon menantu idaman di mata Ibu? Kalau dia berkenalan dengan pria di sampingnya ini, bagaimana sikap Ibu nanti? Memuji atau mencela?

Pesta ini benar-benar berkelas. Sederhana, namun tetap terasa sentuhan kemewahannya. Teman-teman Arya memang bukan orang-orang kebanyakan. High class. Borju. Glamor. Entah apa lagi sebutan yang pantas untuk menggambarkan kelas mereka. Yang pasti, itu bukan kelasnya. Rasa minder langsung menyergapnya. Membentuk benteng pertahanan dalam dirinya. Dan, ia mengenakan kembali topeng maya itu.

Berada di tengah-tengah orang borju ini, rasanya semua yang dikenakan Saras, tidak ada seujung kuku pun dengan apa yang ditampilkan mereka. Kepercayaan dirinya langsung jatuh tak bersisa. Dia tak bisa lagi berdiri terlalu tegak. Dia hanya diam, seperti biasa, jika tak mampu menguasai keadaan.

Arya sendiri tak terlalu merasakan perubahan sikap Saras. Baginya, sudah biasa jika Saras menjadi pendiam di tengah keramaian. Apalagi, di lingkungan yang baru dikenalnya. Arya tetap santai dan lugas. Saras dikenalkan pada tiap orang di ruangan itu. Dibawanya Saras berkeliling, meskipun gadis itu lebih senang jika Arya mengajaknya duduk di pojok ruangan yang tak ramai.

Tapi, Saras terpaksa mengikuti Arya, daripada ditinggal bengong sendiri. Dia baru bernapas lega, ketika Arya mengajaknya duduk di sofa. Sambil memegang gelas minuman, Saras memerhatikan keadaan sekitar. Makin lama suasana makin ramai. Makin banyak pula yang berdatangan. Saras sadar, dia tak bisa memaksa Arya terus menemaninya duduk. Ini pesta reuninya. Jadi, Saras biarkan saja, ketika Arya meninggalkannya duduk sendirian.

Bersikap acuh tak acuh pada sekeliling, sudah biasa bagi Saras. Saras melirik arloji di pergelangan tangan kirinya untuk kesekian kali. Hampir 15 menit berlalu. Waktu yang amat singkat, tapi terlalu lama untuk yang diam mematung di tengah suasana ingar-bingar.

Untunglah, tak lama kemudian seorang wanita muda duduk dekat Saras. Dia menyunggingkan senyum manis. Gadis itu berperawakan mungil, tingginya tak lebih dari telinga Saras, meskipun dia memakai high heels. Wajahnya yang sangat Asia begitu khas. Sinar matanya tajam dan hidup, namun tidak angkuh. Kalau belum mengenalnya, sepintas orang akan terkecoh dengan umurnya. Penampilannya berkelas, meski hanya mengenakan make up minimalis. Cerdas dan dinamis, dua kata yang rasanya cukup mewakili keseluruhan wanita itu.

Wanita muda itu memperkenalkan dirinya sebagai Windi.

“Pacar Arya?” suaranya terdengar kekanakan.

Saras hanya tersenyum. Entah kenapa, Saras merasa kurang suka pada gadis itu. Dia makin tidak simpatik ketika pertanyaan itu dilontarkan kepadanya.

“Sudah lama berpacaran?”

Saras hanya tersenyum. Dalam hati dia mulai memaki-maki.

“Hmm, sudah lama juga Arya bercerai, ya. Sepertinya, baru kemarin menyaksikan mereka menikah.”

”Kamu kenal istrinya?” Saras yang balik bertanya.

Windi menoleh dengan mata berbinar. Tersenyum. “Ternyata kamu bisa ngomong juga. Aku nyaris mengira kamu bisu. Sorry, bercanda. Tapi, sepertinya, orang seperti kamu inilah tipe favorit Arya.”

“Yang bagaimana, maksudmu?”

“Pendiam dan tak banyak omong. Anehnya, istrinya bukan tipe demikian. Itu yang membuat teman-temannya bingung. Bagaimana dia memilih Petty, yang karakternya berbeda jauh. Mantan istrinya itu hampir mirip denganku. Cerewet. Superaktif. Tak bisa diam.”

“Kamu kenal mantan istrinya?” kejar Saras.

Windi mengangguk. “Kami semua teman main selama kuliah. Boleh dibilang, semacam satu gang, atau apalah istilahnya.”

“Wah… ngobrol apa saja?” Arya sudah di dekat mereka.

“Biasalah. Bye. See you, Saras,” Windi melenggang.

“Wah, sudah membocorkan apa saja dia? Jangan banyak percaya omongannya, ya, Sar.”

Saras tersenyum kecil. Bukan tidak percaya, Saras hanya tidak mau ambil pusing. Bagaimanapun, Petty hanyalah bagian dari masa lalu Arya. Mantan istri. Sekarang, pria itu adalah miliknya.

Naluri seorang ibu memang hampir tidak pernah meleset. Firasatnya tidak main-main. Sejauh apa pun jarak yang merentang­kan seorang ibu dari anak kandungnya, ketajaman perasaan itu tetap terasah dalam sanubari. Tak lekang oleh waktu. Tak lapuk oleh usia.

Keresahan Ibu terbukti benar. Niras pulang untuk memperkenalkan kekasihnya. Tapi, bukan itu klimaksnya. Dia masih membawa bom waktu untuk diledakkan pada saat yang tepat. Niras hamil! Hasil hubungannya dengan kekasihnya. Seorang pria bertubuh tinggi tegap, berparas sederhana, berkulit sawo matang. Pendeknya, berpenampilan amat biasa. Kelebihannya, dia sarjana teknik mesin dan sudah memiliki pekerjaan tetap. Namanya Panji.

Muka Ibu memucat. Matanya menyorotkan kenyerian yang amat sangat. Bukan hanya Ibu, Ayah pun membeku dalam keheningan. Mereka berdua membisu seribu bahasa. Entah apa saja yang berkecamuk dalam benak orang tuanya. Saras dapat meraba rasa sakit itu di mata mereka. Kemarahan mereka. Namun, dia tak mampu bersuara. Hanya mematung dan saling melempar pandang dengan Laras.

“Kenapa harus seperti ini, Niras?” tanya Ibu, tergugu.

Saras terpana. Juga Laras. Mereka saling berpandangan tanpa suara. Tak pernah menyangka reaksi Ibu hanya begitu. Hanya me­nangis. Sejak dulu Ibu memang tak pernah memarahi anak-anaknya sampai sedemikian rupa. Tapi, siapa mengira kelembutan itu kekal adanya. Bahkan, ketika sudah berada di titik ini pun, Ibu tetap tak mampu bersikap keras pada Niras.

Niras yang meledak dalam tangis. Dia yang mengira akan dimarahi, sama sekali tak menduga hanya akan mendapati air mata Ibu. Dia makin didera perasaan salah dan dosa. Spontan dia memeluk kaki Ibu. Menangis pilu.

“Ibu, ampuni Niras.”

Air mata Ibu mengalir makin deras. Beliau tak mampu lagi bersuara. Tangannya mengusap-usap kepala anaknya. Mencoba menya­lurkan kehangatan.

“Lalu, sekarang bagaimana?” Ayah menghela napas.

“Mas Panji akan bertanggung jawab, Ayah. Karena itu hari ini kami sengaja datang kemari. Untuk mengakui dosa kami di hadap­an Ayah dan Ibu, sekaligus untuk meminta restu.”

“Mohon maaf, Pak, Bu.” Tanpa diminta Panji ikut-ikutan berlutut di hadapan Ayah dan Ibu. Meraih tangan mereka dan menciumnya dengan santun.

Ayah dan Ibu tak pernah mengumbar emosi. Mereka marah. Mereka kecewa. Malu. Sakit hati. Tapi, semua itu hanya dipendam dalam hati. Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada gunanya marah-marah. Yang sudah tergores tidak akan pernah bisa utuh lagi. Yang telah hilang tak akan pernah kembali.
Tanpa banyak kata-kata, Ayah dan Ibu merestui hubungan mereka. Mau bagaimana lagi? Sebelum memohon restu pun, Niras sudah menjadi milik Panji. Kini dia tengah mengandung bayi pria itu. Tak ada jalan lain, selain mempersatukan keduanya dalam ikat-an suami-istri.

Untunglah, sepertinya Panji pria baik-baik. Dari keluarga baik-baik pula. Kalem. Santun. Berpendidikan. Hampir tanpa cacat cela. Nyaris sempurna. Hanya ada satu ganjalan: agama yang berbeda. Tapi, Ibu diam saja. Mungkin kali ini perbedaan itu sudah tidak penting lagi di matanya. Keadaan putri sulungnya, persiapan pernikahan mereka, sudah cukup menyita pikirannya.

Dari pihak keluarga Panji pun tidak ada hambatan berarti. Kedua keluarga sudah sepakat bertemu dalam waktu dekat. Orang tuanya bersikap sama seperti Ayah dan Ibu. Hanya bisa pasrah. Mereka pun tak mempersoalkan masalah perbedaan. Entah agama, juga garis keturunan. Beruntung sekali. Mengingat kedua keluarga itu adalah pemeluk agama yang sama-sama taat.

Tapi, ketika sudah lebih tenang, Ibu bertanya juga. “Kenapa selama ini kamu ndak pernah cerita tho, Nduk?”

“Cerita soal apa, Bu?” Niras menengadah.

“Semuanya, terutama soal Panji.”

“Niras tahu, Ibu mau bertanya soal perbedaan agama itu, ‘kan? Kenapa Niras tidak mencari jodoh yang seiman saja? Jawabannya, karena Niras mencintainya, Bu. Kami saling mencintai. Cinta kami tulus tanpa memandang segala perbedaan.”

“Kamu yakin? Akan mengarungi biduk dengan dua kemudi, tidak mudah.”

Niras mengangguk mantap. “Dengan doa Ibu.”

Ibu tak mampu bersuara.

Saras tak habis pikir. Sedekat apa pun dia dengan sang kakak, dia tetap tak menyangka bahwa Niras ternyata menempuh jalan ini. Jalan yang dikira hanya terpikir olehnya. Saras tahu sekali siapa Niras. Kakaknya itu berbeda dengan dirinya. Jiwanya tidak sebebas Saras. Pribadinya lebih tenang. Stabil. Tak mudah terpengaruh. Hidupnya mengalir apa adanya.

Siapa nyana, gadis dengan sikap hidup seperti itu akan luluh di hadapan pria yang dicintainya. Bagaimana Niras bisa sebodoh itu? Atau, dia lupa memproteksi diri? Hamil di luar nikah! Bukan saja aib bagi dirinya sendiri, tapi juga mencoreng muka seluruh keluarga besar mereka. Terutama Ibu.

“Kenapa bisa sampai hamil?” pertanyaan lugu dari Laras.

Niras mendesah. “Karena Mbak mencintai Mas Panji, La.”

“Sesederhana itu?” sela Saras.

“Apa lagi yang membuat wanita rela menyerahkan segalanya pada seorang pria, kalau bukan karena cinta?”

Saras berpaling. Kata-kata itu kena sekali menusuk ulu hatinya. Seandainya Niras tahu, bahwa masih ada seorang wanita yang bisa bercinta begitu saja, tanpa harus ada cinta. Dan itu adalah adiknya sendiri.

“Aku tahu kami berbeda kepercayaan. Tapi, aku sungguh mencintainya. Aku takut kalau harus kehilangan dia.”

“Jadi, Mbak sengaja hamil, agar menikah dengan Mas Panji? Begitu?” berondong Saras. Ia mulai bisa meraba jalan pikiran kakaknya.

“Mbak, bagaimana perasaanmu ketika pertama kali melakukan hubungan itu?” tanya Saras kemudian.

“Bagaimana perasaan Mbak ketika tahu hamil?” tamabh Laras.

“Aku kan sudah bilang, aku memang menginginkan ini terjadi. Yah, tapi tetap ada takutnya. Pokoknya, campur aduklah. Jangan beri tahu Ibu, ya.”

“Tapi, Mbak senang tujuan Mbak tercapai juga?”

Niras tersenyum sekilas. “Ya, senang. Tapi, tetap sedih juga ternyata. Ada perasaan bersalah. Apalagi, ketika melihat wajah Ayah dan Ibu. Aku, kok, jadi seperti anak durhaka. Tapi, mau bagaimana lagi? Yang paling penting, aku kan tidak asal pilih calon suami. Coba, kurang apa Mas Panji itu? Dia bukan cuma tipe suami idaman, tapi juga menantu idaman.”

Saras tercenung. Suami idaman. Menantu idaman. Kriteria itukah yang mampu meluluhkan hati Ibu? Lalu, bagaimana kalau Ibu melihat kekasihnya? Arya seratus persen berbeda dari Panji. Meski sama-sama pria kaya dan terpelajar, perbedaan itu tetap sama mencolok.

Arya jauh lebih modern. Lebih high class. Lebih bebas pergaulannya. Yang lebih fatal lagi, dia seorang duda cerai dengan seorang anak perempuan yang masih kecil. Bisakah Ibu menerima yang seperti itu? Paling tidak, mereka menganut kepercayaan yang sama.

Niras menyentuh lengan Saras. “Kamu sudah punya pacar?”

“Yah… begitulah. Tapi, hubungan kami belum terlalu dalam.”

Dusta. Hubungan mereka sudah sedalam suami-istri. Tak beda dari Niras. Hanya, ia pintar menjaga diri. Tidak sampai kecolongan hamil.

“Kamu, La?” kali ini Niras menatap adik bungsunya.

Laras menggeleng. Spontan.

“Bagaimanapun kalian sekarang, Mbak cuma menasihati satu hal. Kejarlah cinta sejatimu. Tak peduli rintangan yang harus dilewati.”

“Juga kalau Ibu dan Ayah tak setuju?” tanya Laras, polos.

Niras mengangguk mantap. “Pada akhirnya mereka akan setuju kalau melihat kegigihan kita. Tidak ada orang tua yang tidak ingin melihat anaknya bahagia. Iya, ’kan?”

Ibu tak setuju. Ia menentang hubungan Saras dengan Arya. Bukan saja karena status pria itu, tapi juga karena sederet alasan lain. Mata tuanya yang sarat pengalaman ditambah kepekaan batin dan naluri keibuannya, melihat bahwa Arya tak cocok untuk putrinya. Gaya hidup mereka sungguh berbeda. Apalagi, dia duda, cerai pula. Rumah tangga berantakan.

Padahal, di agama mereka tak boleh ada perceraian. Namun, jika mereka memilih hidup terpisah, pastilah dengan status tidak jelas. Hidup macam apa itu? Belum lagi dia sudah lama tinggal di Amerika. Pasti sudah terbawa gaya hidup orang sana. Bebas luar-dalam.

Namun, Saras tetap ngotot. Mati-matian mempertahankan hubungannya dengan Arya. Kalau Ibu bisa menerima suami Niras dan merestui hubungan mereka hingga ke pelaminan, seharusnya Ibu juga merestui hubungannya dengan Arya. Tidak adil, jika Ibu melihatnya hanya dari satu sisi saja. Apalagi, dia dan Arya seiman. Zaman sekarang, apalah artinya status duda atau perjaka.

Tapi, Ibu tetap Ibu. Wanita yang kukuh dan kolot dalam berpandangan. Pendiriannya sulit dibengkokkan. Kali ini Saras terpaksa membangkang. Memberontak secara terbuka. Saras tak mau lagi mendengar sepatah kata pun penentangan dari Ibu. Hati dan telinganya ditutup rapat-rapat terhadap segala bentuk protes. Pun ketika akhirnya Ibu melunak. Pokoknya, selama kesimpulannya tetap sama, Saras pun akan tetap dengan pendiriannya.

”Dia tidak cocok untukmu, Nduk. Ia terlalu matang dengan pe-ngalaman, sedangkan kamu masih hijau. Apa yang dicari seorang pria yang sudah pernah menikah, ketika berhubungan dengan wanita? Larinya pasti hubungan seks.”

Tubuh Saras agak menegang.

”Mbok, ya, dengar nasihat Ibu. Jangan sampai kejadian yang dialami Niras terulang lagi Jangan salah melangkah. Hati-hatilah berhubungan dengan pria. Umurmu masih muda. Jalanmu masih panjang.”

“Jadi, Ibu pikir, Ras juga sudah salah langkah seperti Mbak Niras?” tembak Saras, tanpa tedeng aling-aling.

“Bukan begitu, Nak….”

“Ras mencintainya, Bu. Kalau Mbak Niras, Ibu restui, kenapa itu tidak boleh terjadi pada Saras? Kenapa Ibu selalu mempermudah dia dan selalu mempersulit Saras?” Saras agak berapi-api.

“Nak, jangan salah sangka. Bukannya Ibu membeda-bedakan kalian. Tapi, Niras sudah hamil, Saras. Cobalah mengerti itu. Apa lagi, yang bisa Ibu perbuat, selain merestui hubungan mereka? Kamu tega membiarkan keponakanmu lahir tanpa ayah?”

“Bukan itu yang Saras maksud, Bu….”

“Bukan pula Ibu bermaksud buruk padamu.”

“Pokoknya, Ibu tidak bisa melarang kami!”

“Asal kamu ingat, Ibu tidak akan pernah setuju!”
Ibu duduk sendiri di kamar. Bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi pada kalian, anak-anakku? Mengapa yang satu menentangku, yang lain berbuat sekehendak hati? Apa yang salah yang telah kuperbuat sehingga kalian tega melakukan ini padaku? Kalian tak akan pernah tahu sakit hati ini melihat putri sulungku hamil muda, padahal belum menikah. Masih kurangkah pendidikan agama dan moral yang kuajarkan pada kalian?

Di hadapan kalian aku memang berusaha bersikap tegar. Aku tak mau kelihatan lemah. Bukan karena gengsi. Aku hanya berharap, dengan begitu aku dapat selalu menguatkan kalian, dan mengajarkan sedikit tentang kesabaran, kepasrahan dan sikap nrimo pada setiap kehendak Gusti Allah.

Aku menerima suami Niras sebagai menantuku, bukan karena tak ada pilihan lain, tapi karena aku belajar pasrah, serta mensyukuri keadaan. Mungkin, memang inilah jodoh yang diberikan Tuhan untuk Niras. Yang membuat aku menangis di dalam hati hanyalah cara Niras mendapatkan pasangannya. Ia benar-benar mencoreng aib di mukaku.

Baru selesai yang satu, putriku yang kedua sudah siap dengan masalah baru. Kali ini pun soal pria. Duda cerai beranak satu. Kenapa memilih kekasih seperti itu? Aku tak percaya tak ada pria lajang yang menaruh hati padamu. Kamu bisa mendapat yang lebih baik.

Karena dia pula, kamu berani menentangku. Nada suaramu begitu tinggi. Matamu memandang berapi-api. Seolah kamu lupa siapa yang tengah kamu hadapi. Ini aku, ibumu sendiri. Sebelumnya kamu tidak pernah begitu. Kamu anakku yang paling manis. Tapi, kamu mulai berubah.

Kalau boleh jujur, aku kecewa. Kalian ternyata begitu lemah. Amat mudah terbius karisma pria. Aku selalu mengajarkan untuk tidak mudah tergoda kaum adam. Tapi, kini kalian malah hampir seperti tak punya harga diri. Apa yang kalian cari dari para pria itu? Kekayaan? Benarkah hanya materi? Bila ingin kaya, kenapa kalian tak mau usaha sendiri?

Aku sedih. Aku letih. Telah kudidik kalian dengan penuh kesabaran dan kasih. Kenapa kalian tega mengecewakan aku? Padahal, aku telah susah-payah membanting tulang. Seorang diri. Sementara ayah kalian cuma duduk tenang-tenang. Hatiku jauh lebih sakit daripada sewaktu ayahmu mengecewakanku dulu. Kalian darah dagingku. Tapi, kenapa tak ada satu sifatku yang menurun? Semuanya mirip ayah kalian. Tak bisa bergaul, pemalas, tak punya daya juang.

Tak pernah ada maksudku untuk mengekang. Sekalipun kini mengecewakan. Tapi, aku, ibumu, akan selalu ada untuk kalian. Tak akan pernah satu kali pun kutinggalkan kalian sendirian.

Aku tak suka mendengar suara Ibu yang mengatur. Dari dulu Ibu begitu. Tak pernah membiarkan kami memilih sendiri. Seolah Ibu tak rela kami jadi dewasa. Aku mencintainya, Ibu. Dia pria pilihanku. Aku tak ingin minta apa pun, selain doa dan restumu. Tapi, mengapa sepertinya sulit sekali untukmu? Aku bukan sengaja ingin menentangmu. Aku hanya berusaha mempertahankan pendirianku. Belajar berjalan tanpa harus dituntun terus olehmu.

Ibu pernah berkata, kehidupan ini begitu berat. Karena itu, kita harus kuat. Tapi, bagaimana bisa kuat, bila tak pernah merasakan menjadi lemah. Ibu bahkan tak mau kami jatuh, karena takut kami sakit. Seandainya Ibu tahu, sejak kecil aku hanya punya satu cita-cita. Bukan menjadi dokter. Insinyur. Atau, bahkan profesor. Aku hanya ingin hidup bebas. Merdeka.

Jangankan begitu, untuk bergaul dan mencari teman saja aku hampir putus asa. Semua karena sikap Ibu yang selalu membelenggu. Aku malu. Bahkan, aku kalah mandiri dari seorang anak berumur lima tahun. Aku ingin bebas. Ingin belajar berekspresi. Mencoba jadi diri sendiri. Bukan selamanya jadi boneka Barbie. Yang dielus-elus dan dipajang di tempat yang rapi.

Maafkan aku, Ibu. Karena sudah melawanmu demi cita-cita itu.

Saras benar-benar tak memedulikan larangan Ibu. Dia tetap berpacaran dengan Arya. Ini pertama kalinya Saras menentang kehendak Ibu secara terbuka. Dengan begitu dia merasa sudah dewasa. Wanita matang yang sudah bisa memutuskan segala hal untuk diri sendiri. Saras berbuat sesuka hatinya. Pakaiannya makin minim, menonjolkan lekuk-liku tubuhnya. Dagunya makin sering terangkat angkuh. Dandanannya pun makin menor.

Namun, Arya sering tidak sadar kekasihnya mulai berubah. Soal Saras memang pesolek, Arya tahu. Tapi, di matanya, tak ada bedanya Saras bertambah menor atau tidak. Selama tidak bikin sakit mata atau salah kostum, Arya tidak akan berkomentar.

Tapi, bukan hanya Saras yang berubah. Arya juga demikian. Waktunya tersita untuk pekerjaan. Dita, anak semata wayangnya, pun seperti dinomor-duakan. Dari yang selalu tenang, kini menjadi workaholic sejati. Ini membuat Saras tersiksa. Kesibukan Arya berdampak terhadap dirinya. Saras kesepian. Kembali sendiri. Hanya bertemankan komputer sebagai sahabat sejati.

Saras tidak suka, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Bila tidak sedang berbagi dengan pekerjaan, dia harus berbagi Arya dengan Dita. Bermalam Minggu di rumah Arya, bertiga dengan Dita, dan berakhir dengan Arya yang tertidur pulas di atas sofa.

”Daddy memang begitu. Maklum. Orang sibuk.”

”Tapi, kemarin-kemarin ayahmu tidak sesibuk ini.”

”Proyek kan nggak datang tiap saat, Tante. Lagi pula, akhir tahun seperti kemarin memang Daddy biasanya santai.”

”Jadi, kamu sering ditinggal seperti ini oleh Daddy? Kamu nggak protes? Nggak merasa kesepian?”

Dita mengangkat bahu. ”Sudah biasa, kok. Sepi, ya, sepi. Kata Daddy, dia bekerja untuk Dita juga. Lagi pula, Dita juga sibuk sekolah.”

Saras terenyak. Tak ada keluhan atau rengekan manja. Saras malu. Berkelebat di benaknya ketika Ayah sudah tidak punya pekerjaan dan Ibu mulai mencoba berbisnis katering. Saat ada pesanan, Ibu repot berkutat di dapur sampai malam. Dan, anak-anaknya protes keras.

Saras kalah. Kalah berdikari dari bocah cilik.

Makin hari kesibukan Arya makin menggunung. Kalau kemarin hidupnya seperti selalu berlari, akhir-akhir ini malah seperti terbang. Berkejaran dengan waktu. Kemarin saja Arya lupa menepati janji acara dinner mereka. Lama-kelamaan ia makin sering membatalkan janji. Membuat Saras yang sudah telanjur ada di tempat itu mengeluh gemas.

”Hai, Sar!” Sesosok tubuh mungil berdiri di depannya. ”Lupa, ya? Windi. Kita ketemu di acara reuni. Aku teman Arya.” Gadis itu menarik kursi di depan Saras, dan langsung duduk.

Saras tersenyum simpul. Tentu saja dia masih ingat.

”Nggak lupa, kok! Dengan siapa ke sini?”

”Oh, dengan teman-teman kantor. Arya di mana?”

Pertanyaan hanya ditanggapi senyum oleh Saras. Dia tidak perlu menjawab pertanyaan yang terlalu pribadi, bukan?

”Kerja. Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal.”

”Aduh, bapak satu itu tak pernah berubah.”

”Jadi, dia suka membatalkan janji?” Saras menegaskan.

Windi mengangguk. ”Demi pekerjaan.”

Sebetulnya Saras ingin bertanya lebih banyak lagi. Tapi, Windi keburu beranjak. ”Pesananku sudah datang. Aku kembali ke mejaku, ya. Kapan-kapan kita ngobrol lagi. Bye, Sar,” pamit Windi.

Baru selangkah, dia sudah berbalik kembali. Tangannya menyodorkan sebuah kartu nama. Di situ ada nomor ponselnya. Karena Saras tidak punya kartu nama, dia menuliskan nomor ponselnya di secarik kertas.

Diam-diam Saras memerhatikan Windi. Kini dia sedang sibuk bercerita dengan teman-temannya. Sesekali tertawa. Perasaan iri itu kembali menjalari hati kecilnya. Betapa inginnya dia bisa seperti itu. Banyak teman.

“Sar, aku pulang, ya. Kamu masih mau menunggu?”

Windi datang ke mejanya dan membuyarkan lamunan Saras.

“Aku juga mau pulang, kok,” kata Saras.

“Naik apa? Kuantar, yuk,” ajak Windi.

Awalnya Saras menolak. Tidak enak merepotkan orang yang baru dikenalnya. Tetapi, Windi terus saja memaksanya, hingga Saras pun menurut.

Windi berceloteh sepanjang perjalanan. Ceritanya mengalir seperti tidak ada habisnya. Bukan cara bicaranya saja yang cepat. Tindak-tanduknya, cara berjalan, sampai caranya menyetir pun sama. Gesit bukan main. Terus terang, dia lebih suka menyimak tindak-tanduk gadis itu daripada mendengarkan setiap omongannya. Ada sesuatu yang menarik darinya.

“S-A-B-A-R. Itu kunci untuk mempertahankan Arya,” kata Windi, singkat.

Tetapi, sampai berapa lama lagi aku harus bersabar, pikir Saras je­mu. Makin lama, Arya makin tak terkejar. Bukan hanya jauh di mata, tapi juga di hati.

Lama-kelamaan pertengkaran-pertengkaran kecil mulai terjadi. Berawal dari Saras yang mulai berani memprotes Arya. Memprotes segala kesibukannya yang tak pernah kenal waktu. Membuat Arya kesal sendiri. Dia sudah cukup mendapat tekanan di kantor. Tentu saja yang diinginkannya adalah pulang ke rumah yang tenang dan damai. Kekasih yang selalu tersenyum dan mengerti.

Memang tidak adil untuk Saras. Sejauh ini dia berusaha sabar dan menerima Arya apa adanya. Bertahan dengan malam-malamnya yang sunyi dan sendiri. Tapi, sampai kapan? Saras menginginkan kehidupan berpacaran seperti dulu. Seperti pasangan kekasih lain.

Kekesalan Saras mencapai puncaknya ketika pada malam ulang ta­hunnya Arya malah sedang berada di Singapura. Bukan hanya itu. Dia baru menelepon dan mengucapkan selamat pada Saras menjelang tengah malam. Ketika hari sudah hampir berganti. Keterlaluan!

Arya hanya mengucapkan beberapa kata. Singkat. Datar. “Happy birthday, My Dear. Maaf, baru telepon sekarang. Banyak pekerjaan.”

Pekerjaan. Pekerjaan. Pekerjaan lagi. Ingin rasanya Saras menjerit. Mengamuk kalau bisa. Se-mahal itukah waktu Arya untuknya?

Ketika Saras mengungkapkan kekesalannya, Arya berbalik memarahi Saras karena tak mau mengerti kesibukannya. Tapi, karena terbiasa memendam emosinya, Saras tak melawan. Yang dilakukannya hanya menangis. Itu pun setelah telepon ditutup. Itu air mata keduanya hari itu. Yang pertama tadi pagi. Setelah mendapat telepon dari orang tuanya. Mendengar nada suara penuh sayang dari ayah-ibunya.

Ini hari istimewanya. Dia seharusnya tertawa bahagia. Tak ada tempat untuk bersedih. Apalagi sampai menangis.
SMS dari Ibu masuk ke ponselnya. ”Sabtu ini pulang, ya, Nduk. Ibu kangen sama kamu.”

Mungkin, inilah yang dinamakan ikatan batin. Mungkin, Ibu tahu hari ini justru anaknya sedang tidak bahagia. Dan, Ibu selalu siap merentangkan lengannya lebar-lebar. Siap menerima gadis kecilnya ke dalam pelukannya. Membuainya dalam kehangatan.

Membutuhkan teman bicara, Saras menelepon Windi. Tapi, Windi malah terpingkal-pingkal ketika mendengar keluhan Saras. “Maaf, Sar, bukan aku tidak mau. Tapi, kamu salah jika mengira aku bisa memberikan solusi yang tepat untuk masalahmu ini.”

“Kalau begitu, aku minta pendapatmu.”

“Setahuku, Arya memang begitu. Kalau sedang berlomba dengan proyek, jangan berharap dia akan bersikap romantis padamu.”

“Tapi, dulu Arya bilang padaku, dia bukan tipe workaholic.”

Windi mengibaskan tangannya ke udara. Tubuhnya sedikit menegak. “Saras, kamu kan bukan anak kecil lagi. Tidak ada orang yang jujur pada dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa dia gila kerja. Kamu tahu itu. Karena, belum tentu dia sendiri menyadarinya.”

Saras mengembuskan napas. “Tapi, dia lupa ulang tahunku, Win. Dia berbicara dengan nada kesal padaku. Siapa yang tidak marah?”

“Sorry, tapi ternyata kamu memang seperti anak kecil. Gadis cilik yang manja. Aku sudah pernah bilang, hanya satu kunci untuk menghadapi Arya: mengerti. Bukan menuntut untuk dimengerti.”

Kata-kata itu terlalu tajam untuk telinga Saras. Terlalu menusuk. Blak-blakan. Menghujam tepat mengenai sasaran. Sebenarnya dia sudah tersinggung. Ingin lekas-lekas pergi dari tempat itu. Tapi....

“Jadi, aku harus bagaimana menurutmu?”

Windi tersenyum. “Sudah kubilang, aku bukan penemu solusi. Aku malah ingin bertanya. Besok kan malam Minggu. Apa rencanamu?”

Saras menggeleng. “Mungkin aku pulang.”

“Sayang, padahal aku ingin mengajak jalan-jalan.”

”Bagaimana kalau menginap di rumahku di Depok? Besok aku akan ke rumahmu du-lu, lalu kita pergi bareng ke rumahku.”

Saras tercengang-cengang ketika memasuki rumah Windi. Luas. Lebih me-nyerupai istana ketimbang rumah tinggal biasa. Tatapannya tertumbuk pada sebuah nama lengkap dengan gelarnya yang terukir di dekat pintu masuk. Tidak besar, namun mencolok. Leonard Setiadi. Seorang pengacara terkenal.

Rumah besar itu terasa besar karena kelengangannya. Hanya ada kemewahan yang sunyi. Tanpa riak kehidupan. Di tengah-tengah tampak sebuah kolam renang dengan air yang berkilauan tertimpa sinar matahari senja. Dikelilingi taman yang juga tidak kecil.

“Beginilah rumahku. Sepi.” Windi berkomentar pendek.

Seorang wanita pelayan mengantarkan dua gelas mi-numan dingin untuk mereka. Windi mengangsurkan yang segelas untuk Saras. ”Ibuku sedang di Hong Kong untuk urusan bisnis. Ayahku sedang bertemu klien. Kakakku, Albert, tinggal di Amerika.”

Mulut Saras membulat. Keluarga kecil. Hanya berempat. Tapi, tercerai-berai di mana-mana. Empat orang dalam satu keluarga yang hampir tak punya waktu bersua. Apa rasanya? Pantas rumah ini begitu sunyi. Rumah indah, tapi tak ada satu penghuni yang betah.

Windi berkemas-kemas, lalu mengajak Saras naik mobil, menuju rumahnya di Depok. Dalam hati Saras terus bertanya-tanya, apa kira-kira komentar Windi melihat keluarganya nanti? Siapa ayahnya, siapa ibunya. Masih maukah dia berteman dengannya nan­ti? Saras merasa tidak mampu menebak isi hati teman barunya ini. Dari luar kelihatannya dia memang baik dan ramah. Tapi, siapa yang tahu dalamnya?

Bahkan ketika mereka sudah sampai di rumah dan Windi telah berkenalan dengan ayah-ibunya, Saras masih terus mengawasi gerak-gerik gadis itu. Mencoba mencari-cari hal yang tidak berkenan dalam bahasa tubuhnya. Tapi, sampai pegal pun dia tidak menemukan. Yang dilihatnya malah pancaran senang. Saat diajak berkeliling melihat-lihat rumahnya. Foto-foto keluarganya. Bahkan, saat meladeni ayah-ibu Saras mengobrol.

“Rumahmu enak,” komentarnya, sebelum tidur malam itu. “Orang tuamu juga. Sangat ramah. Aku suka pada mereka. Terutama ibumu.”

Bukan hal aneh. Banyak yang senang bergaul dengan ibunya. Entah kenapa. Saras bukannya tak bangga. Dia senang karena yang dikagumi adalah ibunya sendiri. Justru karena itu kadang-kadang dia merasa iri. Karena sifatnya sama sekali tidak mirip Ibu. Saras sulit bergaul. Sulit mendapatkan teman. Sulit… ah, pokoknya banyak.
Sejak menginap di rumahnya, hubungan Saras dan Windi menjadi lebih akrab. Windi antusias sekali bila diajak Saras menginap di rumahnya. Dia selalu mengatakan apa yang sudah pernah dikatakannya berulang-ulang.

“Aku suka pada keluargamu. Keramahan ayahmu. Kelembutan ibumu. Ibumu baik dan manis.”

“Itu karena kamu belum terlalu mengenalnya. Asal tahu saja, Ibu orang yang amat protektif terhadap anak-anaknya,” kata Saras.

“Wajarlah, namanya juga ibu. Apalagi, anak-anaknya perempuan semua,” kata Windi.

“Tapi, aku ingin sesekali bebas dari kungkungannya. Aku kan bukan anak kecil lagi. Sekarang aku tanya, apa ibumu masih sempat menanyakan bagaimana keadaanmu. Sudah makan atau belum? Kadang-kadang ibuku malah menginspeksi tempat kosku. Ibumu tidak pernah begitu, ’kan?”

“Karena, mamaku orang sibuk. Dia tidak hanya berperan sebagai ibu dan istri, tetapi juga wanita karier.”

“Itu lebih enak, bukan? Sejak kecil kamu jadi terbiasa mandiri.”

Windi mengangkat kedua lengannya. “Kita tidak usah bahas ini lagi. Rumput tetangga memang selalu kelihatan lebih hijau, ’kan? Aku cuma mau katakan satu hal. Beruntunglah kamu memiliki keluarga yang seperti ini. Hargai saja itu.”

Beberapa hari ini aku merasa, kesepian itu sangat tidak enak. Sepi. Sunyi. Lonely. Tiga kata itu hanya membuatku merasa tidak berdaya dan berharga. Kekasihku, yang selalu kuharapkan ada, lebih memilih menghabiskan hari dengan bekerja. Katanya, hal itu lebih berarti daripada menganggur. Tapi, dia keterlaluan. Dia lupa bahwa kami sudah lama tak bersama.

Dita mogok. Dia tidak mau pergi ke gereja bareng Saras Minggu pagi itu. Ketika Saras menjemputnya, dia baru bangun. Belum mandi. Malah asyik nonton teve. Saras mencoba membujuknya. Menariknya supaya lekas mandi dan berangkat. Kalau tidak, nanti terlambat. Tapi, kepala anak itu ternyata keras seperti batu. Makin gencar dibujuk, dia malah ngambek. Merajuk. Hingga akhirnya Saras lelah dan menyerah. Membiarkan saja apa maunya. Toh, dipaksa pun percuma. Anak itu pasti tetap tidak mau.

Lebih baik dia pergi sendiri. Lebih tenang. Lebih santai. Nanti siang dia tinggal memberi tahu Arya, lengkap dengan alasannya, Dita menolak pergi dengannya. Arya pasti mengerti.

Tapi, ternyata tidak.

“Dibujuk, dong, Sar. Namanya juga anak-anak.”

Saras diam saja. Ketika untuk yang kedua kalinya Saras dimintai tolong untuk hal serupa, dia membujuk dengan setengah memaksa. Dia tidak mau dipersalahkan lagi. Dikira tidak becus membujuk seorang anak kecil saja. Tanpa disadari, air mukanya berubah keruh ketika meng-hadapi Dita. Dan, gadis kecil itu rupanya terlalu cerdas menangkap perubahannya. Sikapnya makin disengaja membandel.

Seandainya Saras lebih pintar sedikit, dia bisa saja mengubah stra­teginya. Tapi, Saras kurang luwes dalam menghadapi anak kecil, apa­lagi yang serewel Dita. Akibatnya, dia lagi-lagi gagal.

Seharusnya Arya tahu ini. Melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana susahnya adat anaknya. Dia tidak boleh hanya mengetahui urusan kantornya. Namun, Saras kalah cepat. Ketika Arya sudah ber­ada di rumah, Dita sudah lebih dulu bercerita pada ayahnya. Dengan versinya sendiri. Katanya, Saras bukan hanya mengajak atau membujuk, tapi memaksa. Dengan wajah ditekuk pula.

Arya menegurnya. Bertanya, lebih tepatnya. Saras kesal.

“Sudahlah, Ar. Aku tidak mau ribut lagi. Capek. Lagi pula, aku bukan pengasuhnya Dita.”

Arya terperangah tak percaya.

“Tapi, Dita hanya anak kecil, Sar. Dan, anak-anak adalah makhluk yang polos. Dia tahu siapa yang benar-benar baik padanya, siapa yang tidak.”

Mata Saras membulat. “Jadi, kamu kira selama ini aku hanya ber-pura-pura baik padanya?”

“Itu hanya kamu yang bisa menjawabnya.”

“Tapi, untuk apa aku berbuat begitu, Ar?”

“Cuma kamu yang tahu jawabannya.”

Jawaban! Jawaban! Saras ingin meledak saking jengkelnya. Tapi, tak pernah bisa. Dia tidak punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Kecuali bahwa dia mencintai Arya. Berusaha melakukan apa pun yang terlihat baik di mata Arya. Bukankah cinta selalu ingin memberi yang terbaik dan mengesampingkan yang buruk? Kenapa Arya tak bisa mengerti itu?

Bukan salahnya kalau dia gagal membujuk Dita. Anak itu yang me­mang sulit. Tidak bisa diatur. Produk didikan yang salah.

Tanpa sadar Saras mengucapkan apa yang ada di pikirannya.

Mata Arya berkilat. “Kamu pikir, aku tidak becus mendidiknya?”

“Kamu bahkan tidak punya waktu untuknya. Yang ada di otakmu hanya kerja, kerja, dan kerja.”

Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Saras. Cukup keras sampai pipi Saras berdenyut-denyut sesudahnya. Seumur hidup, baru kali ini dia dipukul orang. Bahkan, orang tuanya sendiri tak pernah menyentuhnya seperti itu. Dengan tatapan nyeri dan tak percaya, dipandangnya Arya. Berharap ada sesal karena telah bertindak kasar. Tapi, pria itu hanya berdiri membeku.

“Jangan coba-coba mengkritik hidupku lagi. Kau sama sekali tak tahu apa pun,” desis Arya. Lalu, dia berbalik meninggalkan Saras.

Saras pergi dari rumah Arya, menyetop taksi kosong. Dimintanya sopir taksi itu mengarahkan mobilnya ke utara Jakarta. Dia ingin mencari ketenangan di pantai. Tempat favoritnya setiap kali dia ingin menyendiri atau menangis tanpa ada yang mengetahui.

Seperti kali ini. Dia mengeluarkan air matanya sampai puas. Setelah itu diam dan melamun. Hanya memandangi debur ombak yang kemudian memecah di dekat kakinya. Rambutnya agak terburai tertiup angin. Menyaksikan laut di senja hari yang mulai temaram itu sedikit banyak memberinya ketenangan. Dirabanya pipi yang ditampar Arya. Sudah tidak terlalu pedih. Semoga saja tidak berbekas pula.

Matahari makin tenggelam di ufuk barat. Sebelum sekelilingnya benar-benar gelap, Saras beringsut meninggalkan tempat itu.

Tiiin! Tiiin! Sebuah mobil merendengi langkahnya. Perlahan kaca mobil itu turun. Sepertinya pengemudi mobil itu hendak memanggilnya. Tapi, Saras mempercepat langkahnya. Pasti pria iseng, pikirnya, setengah ketakutan.
Tiiin! Pengemudi itu menekan klaksonnya lagi. “Saras!”

Ketika mendengar suara wanita, Saras menghentikan langkahnya.

“Windi! Dari mana, Win?”

“Tadi cari makan bareng teman. Kamu?”

“Cari suasana, biar nggak sumpek.”

“Mau pulang, Sar? Bareng?” tawar Windi.

“Thank you. Tidak usah, deh. Nanti merepotkan.”

Saras menolak halus. Bukan basa-basi, tapi karena dia benar-benar sedang ingin sendiri.

“Sampai depan saja. Di sini sepi. Bahaya.”

Terpaksa Saras menurut. Dia duduk di jok belakang mobil Saras.

Sambil mulai menjalankan kendaraannya, Windi bicara lagi. “Sar, kenalkan. Temanku, Lisa. Lis, itu Saras.”

Wanita yang duduk di samping Windi menengok ke belakang dan tersenyum pada Saras. Cukup ramah.

“Hai!” Saras urung mengajak bersalaman.

“Dia kekasih Arya. Masih ingat? Mantan suami Petty.”

Lisa mengangguk-angguk.

“Lisa ini temannya Petty, Sar. Dia seorang desainer.”

Pantas. Gaya dan caranya berpakaian beda. Serba glamor.

Agaknya Windi memang tidak pernah jauh dari dunia gemerlapan dan borjuis seperti itu. Betapa inginnya dia menjadi bagian dari me­reka. Masuk ke lingkungan pergaulan mereka. Berteman dengan komunitas yang berbeda dari orang-orang kebanyakan.

Tapi, pasti sulit. Apa miliknya yang pantas disandingkan dengan mereka, kecuali otaknya? Tapi, untuk bergaul tidak terlalu mem­bu­tuhkan kecerdasannya. Ini bukan olimpiade fisika. Yang terutama di­perlukan adalah keluwesan. Itu yang tidak dimilikinya.

Dan, agaknya mereka juga bukan orang-orang bodoh. Dari cara bicaranya, mereka sudah cukup menunjukkan kualitas. Kesuksesan karier yang sudah mereka dapatkan saat ini bukan warisan cuma-cuma dari orang tua.

Jadi, apa lagi yang bisa ditonjolkannya, jika ingin bergaul dengan mereka? Apa yang harus dia lakukan supaya mendapatkan teman seperti itu?

Memang menyedihkan jika setiap kali harus mengenakan topeng. Seperti tidak ada kebebasan, bahkan dalam menjalani hidup keseharian kita. Seperti tadi. Harus ramah pada orang yang baru dikenalnya, sementara hati sedang ingin membisu. Berlagak tidak ada apa-apa, padahal di dalam tengah gundah-gulana.

Aku sungguh benci keadaan seperti ini. Aku sedang ingin sendiri. Namun, aku benci kesendirian. Karena dalam kesedihan, sendiri selalu berujung menyesakkan. Tapi, aku juga tidak bisa bercerita pada dunia, apa yang tengah kurasakan. Aku tidak mau dicap sebagai anak manja. Tapi, aku tidak memiliki seorang pun untuk kupercayai mendengarkan cerita-ceritaku.

Lama-kelamaan aku letih. Tidak tahu bisa bertahan sampai kapan. Sepertinya aku dan Arya memang sudah makin menjauh. Setiap hari, aku dan dia seperti melangkah setapak demi setapak ke arah yang berlawanan.
Lalu, kenapa aku merasa takut? Takut ditinggalkan. Takut berhenti dicintai olehnya....

Apa obat untuk mengatasi ketakutan? Hanya ada satu jawaban un­tuk pertanyaan itu: topeng!

Wanita murahan! Seumur hidup baru kali ini Saras mendapat umpatan sekasar itu. Dan, kata-kata itu keluar dari mulut... Arya! Orang yang paling dicintainya. Mungkin, inilah kesakitan paling dalam yang pernah diterimanya.
Saras mengerjap-ngerjapkan matanya. Mencoba menghalau setitik air yang sudah menggantung di ujung bulu matanya yang lentik. Otaknya mencoba berpikir jernih. Mengingat-ingat kembali rentetan kejadian di belakangnya, hingga Arya marah besar dan tega menuduhnya sekejam itu.

Sudah beberapa hari belakangan ini Saras membonceng motor temannya setiap kali pulang kantor. Tentu saja teman pria. Roby. Dia karyawan baru. Belum dua bulan bekerja di kantor tempat Saras bekerja. Parasnya biasa saja, tetapi jadi lebih menarik karena pandai membawa diri. Dia ramah pada siapa pun. Yang paling menonjol dari penampilannya adalah perawakannya yang tinggi besar.

Saat pertama melihatnya, Saras bersikap dingin-dingin saja. Di matanya, pria itu sama sekali tidak memiliki keistimewaan yang dapat membuatnya tertarik, biarpun hanya untuk berteman biasa. Pandangannya berubah sejak mereka sering lembur bersama akhir-akhir ini. Meski sama-sama sibuk, Roby masih menyempatkan diri menyapa Saras, menawari kopi sachet yang dibawanya dari rumah.

Awalnya Saras menolak. Tapi, lama-kelamaan, karena tidak enak dan Roby tidak bosan-bosannya menawari, Saras tidak menolak lagi. Sejak saat itu komunikasi mulai terjalin. Sedikit demi sedikit. Sampai mereka benar-benar bisa akrab. Terakhir Roby malah berbaik hati menawarkan diri untuk mengantar pulang Saras.

Baru kali ini Saras merasakan serunya naik motor di Jakarta. Sa­lip sana-sini di antara kemacetan lalu lintas. Enak juga. Lebih cepat sampai. Hal ini terjadi berkali-kali. Saras memdulikan gosip tentang hubungannya dengan Roby merebak. Dibilang selingkuh, berpacaran diam-diam. Saras tidak mau ambil pusing.

Dia tidak pernah bercerita soal ini pada Arya. Tapi, bukan berarti dia menyembunyikan sesuatu. Dia tidak pernah bercerita, karena tidak bisa. Kapan Arya punya waktu untuk mendengar cerita-ceritanya? Lagi pula, sepertinya memang tidak perlu. Bukan apa-apa. Hanya mencegah Arya berpikir yang bukan-bukan. Juga menghindari pertengkaran, kalau Arya masih peduli!

Dia dan Roby hanya berteman. Sebagai teman, tak ada salahnya, jika dia sering diboncengi oleh Roby sepulang kantor. Toh, tidak merepotkan, karena arah tempat tinggal mereka sama.

Tetapi, Arya punya pemikiran berbeda. Suatu hari, di tempat kos Saras, Arya melihat Saras turun dari boncengan seorang pria. Pria yang nama dan wajahnya tidak pernah ia kenal sebelumnya. Tubuh yang letih dan otak yang penat membuat emosinya naik. Lymbic system ini pula yang sekarang lebih menguasai otak Arya. Dia tidak langsung marah. Suara dan bahasa tubuhnya tetap terjaga, sampai motor itu berlalu dari hadapannya.

“Siapa itu?”

Bagaimanapun datarnya, saat mendengar suara itu, urat-urat was­pada di tubuh Saras langsung memberi sinyal.

“Teman kantor. Karyawan baru. Kebetulan rumahnya searah.”

“Sudah sering lembur bareng?”

“Ar, kamu mulai menyelidiki?”

“Kalau ya, kenapa?” balas Arya, santai.

“Apa hakmu…?”

“Karena, kamu masih milikku. Selama statusmu belum berubah, kamu tidak bisa seenaknya berduaan dengan pria lain.”

“Kami hanya berteman. Tidak lebih.”

“Hanya Tuhan yang tahu,” dengus Arya, sinis.

“Kan sudah kukatakan, hubungan kami hanya sebatas teman. Kalau tidak percaya, tanya dia.”

“Tidak ada maling yang mau mengaku.”

“Oh, jadi kamu mencurigaiku? Begitu?”

“Sudah kubilang tadi, hanya Tuhan yang tahu sudah sampai se­jauh mana hubungan kalian. Dan aku tidak suka! Titik.”

“Kamu kira kamu masih bisa mengaturku? Terima kasih sudah mengingatkanku, ternyata aku masih punya seorang kekasih sampai hari ini. Ternyata namaku masih tercatat di sela-sela tumpukan tugasmu. Ke mana saja kamu selama ini? Kalau kamu tidak muncul malam ini, mungkin saja besok aku sudah lupa bahwa aku masih punya kekasih….”

Plak! Tangan kanan Arya melayang menyambar lengan kiri Saras. Keras. Cepat. Pedas.

Saras memekik tertahan. Tangan kanannya memegang lengan yang terkena tamparan Arya. “Arya! Kamu gila, ya?!”

“Lagakmu sudah seperti wanita murahan!”

Sekali lagi tangan kanan itu mengayun. Kali ini sasarannya pipi. Tapi, tamparan itu meleset dan mengenai pelipis kiri Saras.

Sekali lagi Saras terpekik. Terhuyung-huyung ke samping.

“Kuingatkan sekali lagi, Sar! Tolong jaga sikapmu. Selama masih menjadi milikku, kamu tidak boleh bergaul dengan sembarang pria! Kecuali, kamu ingin kita putus!” Telunjuk Arya menuding-nuding di depan mata Saras. Matanya berkilat-kilat marah.

Saras terenyak di tempat tidurnya. Memeluk bantal guling. Dia menangis tanpa suara. Di mana sesungguhnya letak kesalahanku? Kenapa semuanya menjadi kacau dan berantakan begini? Aku letih. Sungguh letih. Aku enggan bertahan lagi. Semua yang kulakukan untuk mengubah hidupku ternyata sia-sia. Kebebasan yang sudah lama kuangankan kini seakan berbalik menjadi bumerang.

Apakah ini sebuah karma? Ataukah dosa? Karena aku sudah me­nentang ibuku. Melanggar ajaran Tuhan. Marahkah Ibu? Marahkah Tuhan padaku?

Saras bangkit dari tempat tidur, menuju meja kecil di dekat jen­dela. Ia mengambil botol kecil dari dalam laci. Membuka tutupnya. Mengeluarkan tiga butir pil kecil berwarna putih itu. Menenggaknya sekaligus.

Direbahkannya dirinya di kasur. Dipandangnya langit-langit dengan hampa. Setetes air mata bergulir dari sudut matanya. Lalu, perlahan-lahan kelopak mata itu terpejam.

No comments: