12.22.2010

Wanita Lain Ayah

Lana harus menuruti kemauan ibunya untuk bertemu dengan ayahnya dan istri barunya. Tapi dia tak bisa menolak!
LANA :
Untuk terakhir kali mama menyuruhku memeriksa isi koper. “Jangan sampai ada yang tertinggal. Nanti kamu repot di sana,” katanya untuk keseribu kali. Dia selalu begini kalau aku hendak bepergian tanpa dia. Biasanya aku selalu menuruti perintahnya dengan senang, sebab biasanya saat itu aku sedang bersiap-siap untuk pergi bersuka-suka dengan kawan-kawanku. Selain itu, aku akan terbebas dari pengawasannya selama beberapa hari. Tapi kali ini lain.

Aku memeriksa isi tas yang akan kubawa. Aku yakin tidak ada yang tertinggal. Kalaupun ada, aku pun gembira, karena bisa jadi alasan untuk pulang lebih awal.

NURUL :
Aku tahu bagaimana perasaannya atas perjalanan ini. Aku tahu, dia melakukannya dengan sangat terpaksa setelah kami bertengkar hebat. Tapi dia harus mematuhiku karena akulah ibunya dan dia putriku.

LANA :
Mama mempersiapkan berkas kerjanya, lalu berdandan apa adanya. Dia memang tidak suka menghabiskan waktu berlama-lama di muka cermin. “Banyak hal lebih penting yang harus dikerjakan daripada mengurusi penampilan,” katanya.

Di saat yang sama aku memutar otak, mencari cara bagaimana supaya dia memberiku uang saku sebanyak-banyaknya. Aku akan berada jauh sekali darinya, jadi tentunya nanti akan sulit bila aku perlu uang.

NURUL :
Aku tak suka melihatnya duduk malas begitu. Berkali-kali aku berkata bahwa sikap duduk seperti itu memperlihatkan bahwa dia tidak bersemangat. Namun dia selalu mengatakan tak peduli.

“Hanya duduk begini orang dikira malas.”

“Mama selalu menilai setiap calon pegawai dari sikap duduknya , itu penting,” kataku. “ Sikap duduk menunjukkan semangat.”

“Itu Mama, Lana bukan Mama,” katanya. Makin besar dia makin pandai membantah. Seolah dia ingin menunjukkan betapa dia tak mau diatur. Dia melangkah pada setiap inci jalan yang kutentang, di luar garis yang kuinginkan untuknya. Hal ini kadang kala sangat menguji kesabaranku.

Di luar keinginanku supaya dia meneruskan studi di perguruan tinggi, Lana merencanakan mengambil kursus seni. Dia ingin belajar membuat keramik. Menurutku, dia hanya akan menghabiskan uang dan waktu untuk sesuatu yang sia-sia. Bidang seni membutuhkan ketekunan, titik yang menjadi kelemahan putriku.

Kami sampai di depan terminal C tepat waktu. Pak Yono, sopir kantorku, membantu Lana menurunkan kopernya. Kupeluk dan kucium dia. Tapi cepat-cepat Lana melepaskan diri dari rangkulanku.

“Ma,” katanya. Malu-malu matanya menyapu ke sekeliling kami. Aku tahu, dia khawatir kalau ada orang melihat kami.

“Lana masuk sekarang saja ya, Ma, supaya bisa memilih tempat duduk yang dekat jendela,” katanya.

“Ini bukan bus, kamu tak bisa memilih tempat duduk. Petugas yang menentukan tempat dudukmu.”

Tapi kubiarkan juga dia segera memasuki ruang kaca itu. dia melambai kepadaku sebelum masuk ke dalam antrean. Aku pun berbalik. Berharap untuk kesekian kalinya dia tidak akan berpura-pura ketinggalan pesawat karena terlalu asyik membaca majalah di coffee shop. Seperti yang pernah dilakukannya saat harus menghadiri pernikahan ayahnya.

LANA :
Tibalah saat perpisahan itu. Mama dan aku melakukan ritual cium pipi,

lalu dia memelukku seakan kami tidak akan berjumpa lagi. Padahal saat itu pikiranku melayang pada sejumlah uang yang diselipkan Mama ke tanganku. Apakah akan cukup untuk berbagai keperluanku nanti? Tapi sudahlah, aku tahu kota Makassar bukan kota besar. Mungkin tidak banyak yang bisa kulakukan di sana. Lagi pula aku akan enggan bepergian dengan ayahku dan istrinya itu!

Baru kemarin kubaca berita seorang anak yang dibunuh ibu tirinya. Hii, ngeri!

Sejak pertama kali Mama memberi tahu rencananya mengirimku ke Makassar, aku sudah bertekad, tidak akan aku berurusan dengan wanita yang menjadi penyebab perceraian orang tuaku dan menyakiti hati ibuku sedemikian rupa. Tidak!

NURUL:
Lima tahun lalu aku terkejut ketika mendapati Lana di rumah sepulang kerja. Sebelumnya, di kantor, begitu aku selesai rapat, sekretarisku melaporkan telah berkali-kali mantan suamiku menelepon. Terakhir kali, dengan nada tersinggung dia melapor, Imran membentaknya di telepon. Sekretarisku meyakinkannya bahwa dia sendiri yang telah memesankan tiket untuk Lana, dan aku yang mengantar ke bandara.

Ternyata alih-alih hadir di pernikahan ayahnya, Lana kulihat tengah menyantap bakso. Dia duduk megap -megap kepedasan dengan sebelah kaki terangkat ke atas kursi.

Kemarahanku semakin menjadi-jadi. Waktu itu harga tiket pesawat pulang pergi cukup mahal untuk ukuran keuangan kami. Meski ayahnya menawarkan untuk membayar, aku masih belum bisa sepenuhnya memaafkan mantan suamiku. Harga diriku terlalu tinggi untuk menerima apa pun bentuk pemberian Imran, meski bagi kepentingan Lana sekali pun.

“Ada nggak ada Lana pun Papa akan tetap menikah, Ma! Kenapa Lana mesti hadir?”

“Karena kamu anaknya, dan papamu kan ingin kamu di sana. Kamu bikin Mama malu saja!”

Lana berbalik, dengan langkah-langkah lebar dia menyeberangi ruangan dan membanting pintu keras-keras. Setelah itu ia menolak bicara denganku selama berminggu-minggu.

LANA :
Masih ada waktu dua puluh menit sebelum aku harus naik ke pesawat. Aku tidak mau menunggu di ruang tunggu yang membosankan itu. Jadi kuputuskan untuk membeli minuman di salah satu coffee shop, sambil membaca majalah. Gaya sekali. Sempat terlintas dalam benakku kembali berpura-pura ketinggalan pesawat karena terlalu asyik membaca. Tapi Mama tidak akan percaya. Lagipula, sebentar lagi aku akan berulang tahun yang ke-18. Sudah saatnya aku bersikap dewasa.

Aku teringat peristiwa ketika aku baru masuk SMP. Kegembiraan memasuki dunia remaja luluh lantak ketika ayahku menelepon, mengabarkan pernikahannya dengan Tante Yang-Namanya-Tak- Akan-Kusebut.

Tadinya aku mengira Mama akan mendukung penolakanku memenuhi undangan Papa. Nyatanya dia justru marah besar. Aku tidak mengerti mengapa Mama menuduhku membuatnya malu. Aku merasa dia hanya peduli pada pendapat Papa daripada perasaanku. Dia tidak mau Papa mengira Mama menghasutku untuk memusuhinya.

Kurasa Mama ingin menunjukkan dia sanggup bersikap anggun dan dewasa. Kepura-puraannya membuatku kesal. Perselingkuhan ayahku, aku tahu betul, telah sangat memukul batin Mama. Ibuku wanita menarik, cerdas, pandai dan sukses dalam karier. Satu-satunya yang tidak dapat dia lakukan adalah mempertahankan perkawinan. Itu membuatku berjanji dalam hati tidak akan berurusan dengan makhluk bernama laki-laki seumur hidupku. Apa gunanya kalau kita hanya akan dibuat sakit hati?

ANDJANI :
Tadi pagi Imran memberitahuku putrinya akan datang berkunjung. Dia menutup pesawat telepon dan berkata, ”Lana akan di sini siang nanti.”

Dia kelihatan tenang. Kemudian dia tersenyum kepadaku. “Akhirnya dia datang,” Imran memandangku tidak percaya. “Sudah hampir setahun aku tidak melihatnya.”

Setiap kali ke Jakarta, Imran selalu menyempatkan menemui Lana, walau anak itu tidak pernah antusias bertemu dengannya. Akhir-akhir ini Lana berhasil menghindar dengan alasan sibuk berlatih tari karena akan pentas. Kadang dia beralasan, dia tak bisa bolos bimbingan belajar karena akan ujian SMU.

Imran mencoba memahami kesibukan putrinya, sementara aku merasa bahwa Lana hanya mencari-cari alasan untuk tidak berjumpa dengan ayahnya. Dia belum dapat memaafkan Imran dan aku.

Sejak kami menikah, dia sudah menujukkan pemberontakannya, dengan cara menolak hadir. Bagiku, alasan ketinggalan pesawat terdengar sungguh mengada-ada. Imran sendiri malah menyalahkan mantan istrinya. “Lana memang tidak mungkin bisa sampai kemari tanpa ditemani. Dia kan masih anak-anak,” katanya. Kadang-kadang, aku merasa dia terlalu naif.

Aku tahu betapa Imran menyayangi Lana. Dan kunjungan ini tentu sangat berarti baginya. Aku pun akan berusaha supaya Lana senang bersama kami. Bagaimana pun, menikah dengan Imran berarti menerima putrinya. Meski aku tahu, hal itu tidak akan mudah.

IMRAN :
Nurul memberi tahu rencananya mengirim Lana untuk tinggal bersamaku sejak beberapa minggu yang lalu.

“Aku ingin dia semakin dewasa. Selama ini yang dipikirkannya hanya hidup berhura-hura sepanjang waktu. Aku tidak ingin dia tumbuh menjadi anak kosmopolitan yang hanya tahu hidup enak,” kata Nurul

Kujawab , “Aku senang kalau ternyata dia benar-benar datang.”

 
Terus-terang aku memang pesimis. Pertama, Lana tampaknya enggan bertemu denganku. Aku tak pernah berhasil menjumpainya bila aku ke Jakarta. Kedua, aku tahu, Nurul mengirim Lana ke tempatku agar aku bisa mempengaruhi Lana agar mau kuliah.

Nurul pernah melontarkan kekecewaannya karena Lana tidak mau kuliah. Lana memang tidak pernah menempati ranking tinggi di kelasnya, dia jarang belajar, lebih suka main, tapi tidak bodoh (Nurul mengucapkannya berulang kali).

“Bila dia tidak mau kuliah, dia mau jadi apa?”

“Aku sendiri bukan sarjana. Namun dengan mengandalkan kreativitas tokh aku bisa bertahan. Tidak berlebih memang, tapi cukup.”

“Itulah,” kata Nurul. Tapi dia tidak menjelaskan maksudnya. Begitulah Nurul.

ANDJANI :
Lana remaja kota besar yang biasa hidup enak. Aku khawatir dia akan kesulitan menyesuaikan diri bukan saja dengan kehidupan di kota kami, namun juga dengan kebiasaan sehari-hariku dan Imran. Meski tidak pernah dikatakannya, aku tahu Nurul sangat memanjakan Lana dengan berbagai fasilitas yang tidak akan sanggup kami berikan. Meskipun demikian, aku ingin menyambutnya sebaik mungkin, dan berharap dapat sedikit mencairkan kebekuan hatinya.

Aku sudah menata kamar tidur tamu dengan meniru gambar di salah satu majalah remaja yang kubeli khusus untuk Lana.

Soal makanan, aku tidak khawatir. Imran pernah bercerita Lana selalu berusaha menurunkan berat badannya.

Tapi pagi ini Imran kembali dari Beru’ dengan membawa macam-macam ikan besar dan bermata cerah. “Aku ingin Lana tahu apa yang kita miliki di sini,” kata Imran. “Di kampung ayahnya.”

Walau aku berpendapat Lana akan lebih suka makan spaghetti atau kentang goreng, kuhidangkan juga ikan bakar bumbu asam manis seperti yang diminta Imran.

Setelah itu aku tinggal duduk menunggu.

LANA :
Pantas saja Papa tidak mengizinkanku naik taksi sendiri ke rumahnya. Bandara di Makassar ini terletak agak di luar kota, membuatku menempuh perjalanan (yang terasa) berjam-jam lamanya sambil harus menjawab bermacam-macam pertanyaan ayahku.

“Kenapa Anya tak mau melanjutkan sekolah?”

Aku menjelaskan bahwa aku hanya belum tahu bidang apa yang ingin kudalami.

“Siapa sih si Ferry – Ferry itu?” Ayahku memandangku dengan tatapan curiga. “Dari mana kamu kenal dia?”

Tuh kan! jeritku dalam hati. Kesal bukan main. Kenapa sih Mama selalu membocorkan segalanya? Setiap kali aku membawa teman-temanku ke rumah, ibuku selalu menggunakannya sebagai kesempatan untuk menginterogasi mereka. Teman dari mana? Rumahnya di mana? Orang tuanya siapa?

Pertanyaan Papa tidak kujawab. Aku melemparkan pandang ke jalan-jalan yang kami lewati.

“Ini Sudirmannya kota ini,” kata Papa. Aku memandangi gedung- gedung sederhana di sekitar kami . Sejauh ini aku hanya melihat beberapa gedung besar bertingkat. Beberapa di antaranya kantor pemerintahan. Ada pula toko, bank , dan restoran fast food. Semua itu tak menarik bagiku. Apalagi, udara di kota ini panas. Tetapi melihat Papa dengan mata berbinar-binar penuh semangat menunjukkan berbagai tempat kepadaku, rasa haru tak urung meliputi hatiku. Mama benar, kedatanganku amat berarti bagi Papa.

NURUL:
Pesawat televisi sedang menyiarkan suatu acara yang heboh. Aku sebelumnya tidak pernah menonton acara seperti ini. Perhatianku sebenarnya lebih tertuju kepada jarum jam yang terus bergerak, yang menunjuk ke malam yang semakin larut dan telepon yang tak kunjung berdering.

Sedang apa Lana sekarang? Sudahkah dia berkenalan dengan wanita itu, Andjani? Tentu sudah. Dia mungkin sedang mengobrol bersama mereka berdua di sana, di ruang keluarga yang hangat. Akhirnya Lana akan menyadari betapa Andjani adalah seorang wanita yang menarik, yang bisa dijadikan teman, atau figur seorang kakak yang selama ini tidak dia miliki. Andjani tentu saja tidak seperti ibunya yang cerewet, yang selalu melarang ini dan itu.

Lana tentu akan betah tinggal di sana, dan memberi tahu bahwa dia tidak akan kembali ke Jakarta lagi. Maka aku kemudian kehilangan putriku untuk selama-lamanya. Seperti film televisi minggu siang itu yang pernah kami tonton bersama, Gilmore Girls. Lana mungkin akan kembali bertahun- tahun kemudian . Saat ia membutuhkan bantuan dariku, seperti Lorelai kepada Emily.

Aku pun mungkin akan mengajukan persyaratan. Meski sebenarnya aku tak akan keberatan, tapi bagaimana pun aku harus tetap menjaga supaya hubungan kami tidak akan terputus kembali. Ah, bayangkan memberikan pinjaman uang kepada anak sendiri dengan syarat kami dapat bertemu seminggu sekali.

Imran pernah berkata bahwa ketidakakuran kami justru menandakan kemiripan kami. Aku berharap kemiripan yang dimaksudnya mencakup kepedulian terhadap masa depan . Menjadi wanita yang dapat berdiri tegak mengarungi kehidupan. Itulah doaku setiap malam.

LANA :
Rumah Papa ternyata sempit dan mungil, meski bersih dan tidak dapat dikatakan jelek, Satu-satunya yang membuatku senang, kamarku ada di atas. Aku tidak pernah tinggal di rumah bertingkat.

Tante-Yang-Tak-Akan-Kusebut-Namanya rupanya telah berusaha keras. Kamarku ditatanya dengan menarik. Perabotnya memang tidak sekeren kamar tidurku di rumah Mama yang tahun lalu telah kurombak habis-habisan dengan seluruh uang hadiah ulang tahunku..

Tante-Yang-Namanya-Tak-Akan-Kusebut ini menyambutku dengan ramah. Aku bisa melihat, dia agak gugup. Sikapnya mengingatkan diriku sendiri ketika berkunjung ke rumah Adit pertama kali. Bedanya, tante yang satu ini bukannya jadi gagap atau apa, tapi jadi ramah luar biasa.

Aku cepat-cepat permisi ke kamar tanpa peduli pada makan siang yang sudah disiapkan di atas meja. Meski aku sebetulnya ingin juga melongok isi meja makan itu. Ikan laut di tanah Makassar tentu lebih segar daripada yang sehari-hari kumakan di Jakarta.

“Lana?”

Nah! Sekarang dia melongokkan kepalanya di balik pintu. Aku sudah menduga dia pasti akan muncul untuk mencoba berbaik-baik denganku. Kasihan dia, sebab usahanya tak akan berhasil.

“Kamu mau mandi dulu? Gatal-gatal ya, nggak enak?”

Dia kelihatan prihatin. Aku jadi kesal, dia pasti tahu aku alergi debu. Apa lagi yang diceritakan ayahku kepadanya? Bahwa aku berpenyakitan? Bahwa aku tak bisa berlama-lama di bawah terik matahari? Bahwa aku bisa batuk-batuk di ruangan ber-AC?
“Lana, Tante suruh bikinkan air panas ya?”

Bodoh amat. Panas-panas begini mandi air hangat? Kalau terus-terusan begini bisa bau badanku. Kudenguskan hidungku dan pura-pura sibuk membongkar koper.

“Lana??” Dia mengeraskan suaranya. Matanya membesar, tanda sakit hati.

Ayolah Lana, jangan sejahat itu, bisikku dalam hati. Dia sudah berusaha keras berbaik-baik denganmu. Tidak ada salahnya sedikit menjawab pertanyaannya.

“Tak perlu, Tante,” kataku dengan suara rendah. Mencoba meredam nada yang tak enak yang tidak dapat kusembunyikan.

“Kalau perlu apa-apa bilang saja, ya? Tante sudah siapkan handuk dan yang lain-lain di kamar mandi.”

Suaranya agak bergetar. Dia menutup pintu kamarku sepelan mungkin. Aku jadi merasa tidak enak. Mengapa aku sejahat ini? Bukankah biasanya aku tidak suka menyakiti hati orang. Tapi ini lain, kuingatkan diriku sendiri. Apakah Tante-Yang-Tak-Akan-Kusebut-Namanya itu pernah memikirkan perasaan ibuku saat dia mulai berselingkuh dengan Papa? Apakah dia pernah peduli dengan perasaanku? Nah, sekarang setidaknya dia mengerti bagaimana rasanya sakit hati !

 
Lana mendengar ayahnya mengigau menyebut nama seorang wanita. Siapa wanita itu?

IMRAN :
Aku melihat Lana memandangi rumah kami. Rumah yang tidak besar, bahkan termasuk sempit dibandingkan tempatnya berteduh sehari-hari.

Aku langsung mengerti sikap pesimis Andjani. Sepanjang perjalanan dari bandara tadi tak henti-hentinya aku menunjukkan berbagai tempat yang kurasa akan menarik perhatiannya. Tapi dia tidak antusias.

Ketika kami tiba, Andjani telah menanti. Aku tahu dia telah berusaha keras. Dia tidak suka menata rumah, namun siang itu rumah kami tampak lebih rapi. Dia bahkan memasak. Biasanya pengasuhnya yang sejak kecil ikut dengan keluarganya dan masih terhitung kerabat jauhnya itu yang di dapur. Andjani hanya ke dapur untuk memasak kue.

Kalau dia begini, dia seperti bukan Andjani, kesantaiannya terhadap hidup dan hal-hal kecillah yang pertama kali membuatku tertarik. Andjani seperti air sungai yang mengalir. Ringan dan tenang menyejukkan.

“Yang istimewa untuk tamu istimewa,” katanya sambil tertawa untuk menyembunyikan kegugupannya. Dia selalu tertawa-tawa kecil bila merasa gugup.

Kurasa sikap Andjani yang agak berlebihan itu malah menyebabkan Lana merasa tidak nyaman. Dia menolak makan siang, dan langsung minta ditunjukkan kamar tidurnya di lantai atas. Dia senang, katanya, karena dia belum pernah tinggal di rumah bertingkat. Pengakuan yang membuatku bahagia.

Setelah menunjukkan kamarnya aku turun dan menemukan Andjani di meja makan. Dia kelihatan murung.

“Dia tidak menyukaiku,” keluhnya.

“Dia mungkin hanya sedang kurang enak badan karena alerginya.”

Tetapi ketika mataku terarah ke piring-piring lauk yang diatur rapi di atas meja, harus kuakui aku pun agak kecewa. Padahal aku sengaja membawa ikan dari kampung kelahiranku di Beru’ sana, supaya Lana tahu sedapnya ikan di tanah ayahnya. Sungguh berbeda dengan yang biasa dimakannya di Jakarta yang tercemar. Ikan-ikan dan udang segar itu tidak akan sama rasanya setelah nanti dipanaskan untuk makan malam.

Rupanya Andjani menangkap perasaanku.

“Mungkin dia agak tak enak setelah perjalanan jauhnya,” katanya, lantas naik ke atas. Dia kembali tak lama kemudian dengan wajah lesu.

“Lana benar-benar tak mau makan?” tanyaku.

“Coba saja tanya sendiri kalau dia mau,” Andjani menjawab agak ketus.

Jadi aku pun naik ke atas, dan menemukan Lana sedang berdiri di ambang pintu kamar mandi. Handuk tersampir di bahunya. Dia memandangi kamar mandi kami dengan rasa segan.

“Kenapa Lana?” tanyaku. “Ada yang tak bersih di sana?”

Lana tersentak melihatku. Buru-buru dia mengelengkan kepala. Aku menunggu sampai dia masuk dan menutup pintu sebelum kembali ke meja. Mataku bertemu dengan mata Andjani yang menatapku seolah mengatakan, “Nah apa kubilang?”

NURUL :
Setelah Lana berusia dua tahun, aku memutuskan untuk kuliah. Dilahirkan di tengah keluarga yang mementingkan kesuksesan materi, ibuku selalu menekankan tidak ada jalan terbaik menuju ke arah itu kecuali melalui jalur pendidikan. Dan memang itulah impianku sejak kecil. Difoto dengan toga yang anggun, mempunyai gelar tambahan sebagai penghias namaku yang singkat, Nurulita Suling.

Dan perlahan-lahan, tenggelam di dalam kesibukanku sebagai mahasiswa dan seorang ibu, aku mulai melupakan Imran yang selalu butuh diperhatikan. Perlahan-lahan kami mulai kehilangan cinta, yang berganti dengan pertengkaran demi pertengkaran.

Sampai aku tahu tentang kehadiran Andjani. Itu pula yang membuatku memutuskan berpisah. Tidak sanggup menahan rasa muak setiap kali mengingat apa saja yang dilakukan Imran dengan wanita itu.

Aku marah, tapi harga diriku terlalu tinggi untuk menunjukkan kemarahan. Aku akan menunjukkan diriku wanita bermartabat yang sanggup menahan emosi. Aku tidak akan menaruh dendam, aku tidak akan mempersulit mereka.

Itulah sebabnya ketidakhadiran Lana pada pernikahan ayahnya membuatku kecewa. Meskipun sebenarnya terselip rasa senang di hatiku mengingat Lana ternyata berada di pihakku.

Malam sudah larut ketika akhirnya pesawat telepon berdering. Dari Lana.

“Kok lama sekali baru telepon, Nak. Mama tunggu-tunggu dari tadi.”

“Lho, Mama kan biasanya baru mau terima telepon setelah jam segini.”

Dia benar. Biasanya aku selalu asyik dengan pekerjaanku. Aku hanya mau menerima telepon jika memang penting.

“Jadi bagaimana, senang?”

“Ya begitulah.”

“Bagaimana papamu?”

“Baik-baik aja, tambah sehat.” Tentunya maksudnya ayahnya bertambah gemuk.

“Dan Tante Andjani?”

Diam, kemudian dengan nada malas dia menjawab, ”Baik-baik juga.”

Kutahan diriku mengucapkan pertanyaan lain yang penuh keingintahuan. “Bagaimana kotanya?”

“Lana belum lihat banyak. Panasnya seperti Jakarta, ya, Ma, atau apa karena di rumah ini tak ada AC?”

“Kamu sudah lewat Losari?”

“Belum.”

“Minta antar ke situ. Kalau sunset bagus sekali.”

Lana kedengaran tidak bersemangat. Kalau begini, dia pasti akan minta pulang lebih cepat. Sudahkah ayahnya yang dulu sangat dekat dengannya bicara perihal pentingnya ijazah pendidikan tinggi?

ANDJANI :
Belum pernah aku dan Imran menikmati makan malam sekaku ini. Biasanya kami melewatkan waktu sambil bertukar cerita, atau kalau ada ibuku, kami mendengarkan dia bercerita nostalgia.

Kami jarang berselisih, meski harus kuakui bila ada perbedaan, akulah yang berusaha memahaminya.

Setelah turun ke bawah siang tadi, sikap Imran agak aneh. Sepertinya ada sesuatu yang melukainya, yang membuatnya menjadi sensitif. Sikapnya kepada Lana juga berubah tegas.

Sampai pukul setengah delapan malam Lana masih mengurung diri di kamarnya. Setelah Imran mengetuk pintu kamarnya dengan keras, barulah dia keluar.

Di meja makan Imran melirik sekilas pada perabot makan yang hanya kukeluarkan bila ada acara istimewa di rumah kami. Dia memandangku tajam.

“Apa salahnya dengan piring yang sehari-hari kita pakai?” tanyanya.

“Tidak ada salahnya,” kataku. “Hanya kupikir lebih baik….”

Maksudku, bukankah dia juga menganggap kehadiran Lana di rumah ini istimewa? Tidakkah dia ingin memberikan kesan yang baik?

“Pakai saja yang biasa, di rumah ini Lana bukan tamu,” katanya dingin.

Itu aku juga tahu! Kenapa sih dia? Tapi kutelan kemarahanku meski tidak kuperbaiki apa yang susah payah sudah kuatur.
“Ya, mulai besok. Sekarang sudah telanjur kuatur begini.”

 
Kami lalu mulai makan dalam diam.

IMRAN :
Kuperhatikan Lana menyendok lauk dengan hati-hati. Mungkin dia menyadari kemarahanku. Atau rasa jijik seperti tadikah yang mendorong sikapnya itu? Ke mana Lana yang semasa kecil selalu minta jajan bakso di warung sederhana di pinggir jalan? Dia lahap sekali ketika itu. Tidak seperti sekarang, menyendok dengan hati-hati seolah makanan itu bisa membunuhnya.

Andjani berusaha bersikap manis, meski pasti tersinggung dengan nada bicaraku barusan. Dia lebih banyak menundukkan kepala. Apa dia lupa bahwa yang paling kuharapkan dalam suasana begini adalah sikap yang biasa-biasa saja? Entah kenapa, kemarahanku justru semakin menjadi- jadi merasakan suasana yang tidak enak di sekitarku.

Seakan hanya karena sepercik emosi semua orang di sekitarku mengira aku akan sanggup membakar mereka. Atau sebenarnya, menyadari bahwa kemarahanku telah menyebabkan yang lain ketakutan malah mendatangkan rasa tidak enak yang membuat emosiku bertambah? Entahlah.

Selanjutnya di meja pun berlalu dengan hampa. Aku sibuk menenteramkan kemarahanku, Andjani berusaha menenangkan diri. Lana terhibur dengan lamunannya. Tidak ada percakapan ataupun kehangatan suasana keluarga seperti yang
kuharapkan.

Terdengar Andjani menanyakan sesuatu kepada Lana.

“Anya,” tegurku. ”Tante Andjani tanya tuh.”

“Siapa, Pa?”

Kulihat Andjani tampak sakit hati.

“Kan kamu dengar, atau memang telingamu sudah budeg sekarang?”

“Telinga Lana nggak budeg, Pa. Lana hanya nggak akan bicara sama dia.” Lalu dia meninggalkan meja makan.
Aku terpana . Sejak kapan dia begini?

Andjani pun langsung beranjak. Tapi dia berbalik, dan berkata membentak, “Kamu diam saja!”

Kalau dia sedang begitu, lebih baik aku diam saja.

Aku duduk di teras belakang. Ingatanku melayang kepada seorang wanita ayu yang kutemui kemarin saat mampir di rumah kawan lamaku di Barru. Adik istri temanku itu punya kecantikan perempuan Sulawesi sejati. Berkulit putih dengan alis tebal hitam teratur rapi. Bicaranya halus dan berlogat kental mendayu. Bagaikan seorang bangsawan Bugis meski dia berasal da
ri keluarga pembuat perahu. Kemarin dia tersipu ketika menyadari aku memandanginya.

LANA:
Tadi siang, debu perjalanan dari bandara ke rumah membuatku gatal dan udara gersang membuatku kegerahan. Aku pun ke kamar mandi. Seorang perempuan tua baru keluar dari kamar mandi. Kulitnya cokelat gelap, berkerut merut di sana sini, bercak-bercak putih kelihatan jelas sekali di lehernya yang gemuk. Pastilah dia Ma’ Inda, pengasuh Tante sejak kecil seperti yang diceritakan Papa. Setelah membalas senyumnya, aku menerobos masuk ke kamar mandi.

Aku terdiam lama di depan pintu kamar mandi. Lantainya basah.

Tiba-tiba papaku muncul. Pandangannya menunjukkan rasa tak senang melihatku begitu. Lalu dengan tegas dia memerintahkan aku makan malam.

Meski masih kenyang setelah menghabiskan sekaleng besar keripik kentang, aku menurut juga. Papa pasti akan semakin menjadi-jadi marahnya, bila keinginannya kutolak.

Ternyata makan malam itu berakhir tidak menyenangkan.

Aku menunggu sampai larut malam sebelum akhirnya berjingkat-jingkat menuju meja telepon. Aku tidak mau menimbulkan suara yang membuat Papa atau Tante-Yang-Namanya-Tak-Akan-Kusebut itu keluar dari kamar tidur mereka. Aku malas bertemu mereka, apalagi harus berbasa-basi menjawab pertanyaan seperti ketika makan. Aku menelepon Dini dan Mama.

Usai menelepon aku mengambil minum di dapur yang bersebelahan dengan teras belakang. Di sana, ditimpa terang sinar bulan, Papa sedang terlelap di kursi malas. Dia tampak tua, dan perutnya mulai menggembung malu dari balik kaus yang dia kenakan. Tapi harus kuakui, Papa tetap kelihatan menarik. Gurat-gurat wajahnya halus bertulang tajam, seperti kebanyakan pria Sulawesi. Kulitnya cokelat tembaga berkilat, tubuhnya tinggi dan tegap.

Dia menggeliat lalu mengigau. “Rima,” katanya. Aku terpaku.

LANA :
Aku tidak dapat tidur, memikirkan siapakah Rima ini?

Paginya aku terbangun pukul sepuluh pagi dan segera turun ke bawah untuk minum segelas air putih.

Di meja dapur kulihat Tante-Yang-Namanya-Tak-Akan-Kusebut sedang duduk termenung. Papaku ada di sebelah meja telepon yang terletak di lorong di bawah tangga. Kenapa waktu turun tadi aku tidak mendengar apa-apa?

Tiba-tiba Papa meletakkan gagang telepon keras-keras. Dia terdiam beberapa sebelum berkata, ”Lana….”
Aku menoleh.

“Ikut Papa sebentar. Sekalian lihat-lihat Losari.”

“Sekalian ajak dia makan bakso di Pesona,” Tante itu menoleh kepadaku. “Bakso paling terkenal di sini.” Tatap matanya dingin.

ANDJANI:
“Kok bicaranya lama sekali?” aku tak kuasa menahan kecurigaan.

“Nurul ingin aku segera bicara dengan Lana,” Imran kelihatan kesal.

“Soal itu?”

“Iya, apalagi?”

Walau aku setuju dengan keinginan Nurul agar Lana kuliah, aku mengerti mengapa Imran begitu tersinggung dengan sikap mantan istrinya. Kuliah Imran terhenti karena dia harus menjadi tulang punggung keluarga. Setelah itu dia menikah dan tak pernah sempat lagi melanjutkan kuliahnya.

“Ya, memang harus secepatnya. Bukankah itu alasan utama Lana berlibur

kemari.”

“Memang cerdik perempuan itu.”

“Wajar, kan dia tahu Lana lebih mendengar kata-katamu. Dulu kan kamu dekat sekali dengan Lana.”

LANA:
“Ini bakso paling terkenal di sini. Sering kali tidak ada cukup tempat untuk menampung yang datang. Banyak yang tidak dapat meja sehingga makan di pinggir-pinggir pantai.”

Di antara deretan bar yang rupanya sudah tersebar di sepanjang pantai Losari, terselip tempat-tempat makan yang sekilas mengingatkan aku akan deretan ruko di daerah Kota atau Kelapa Gading. Walaupun sangat terkenal, tempat makan ini ternyata tidak seberapa besar. Sulit membayangkan begitu banyak orang datang kemari setiap hari.

Andai Papa mengajakku kemari sekadar berjalan-jalan memperlihatkan pantai Losari kepadaku, tentu aku senang. Tetapi tidak. Segera setelah memesan, dia langsung membuka percakapan.

“Lana betul-betul tidak mau daftar sekolah, Nak?”

“Kan Anya sudah kasih tahu Papa bahwa Lana belum tahu mau belajar apa sekarang.”

“Tidak menyesal, nanti kamu akan ketinggalan dari teman-temanmu.”

“Tapi lebih baik kan, daripada pindah-pindah fakultas, buang-buang waktu dan uang,” aku berkilah.

Bakso yang besar-besar ini sebenarnya enak, tapi sekarang aku jadi terlalu jengkel bahkan untuk menyuap. Kuaduk-aduk saja minumku.

Ingin rasanya aku mengingatkan Papa akan kata-katanya dulu, ketika aku bertanya mengapa Papa tidak kuliah lagi seperti ibuku. Dia menjawab bahwa banyak hal penting dapat kita pelajari dengan terjun langsung ke masyarakat.

“Lalu kenapa orang mesti kuliah?” tanyaku, sambil membayangkan uang yang banyak yang bisa kuperoleh dengan bekerja. Aku akan membeli semua tipe Barbie, lengkap dengan rumah dan pakaian-pakaiannya.

“Sebagian besar, untuk pengakuan. Status.”

Sudut mataku melirik Papa yang kelihatan salah tingkah. Langsung kusadari Papa tidak suka menasihatiku.

“Kenapa Papa tiba-tiba ceramah begini? Mama yang suruh ya?!”

Benar dugaanku, pasti ada bakwan di balik batu dari tekad Mama mengirimku kemari. Papaku menghela napas keras-keras, mengembuskannya bagai ikan mas koki bernapas di akuarium.

“Bukan karena Mama, Nak. Papa bilang begini untuk kebaikanmu sendiri. Masa depan itu harus diraih,” papaku berkata.

Nadanya yang bijaksana membuatku terkejut. Dia seperti bukan Papa yang kukenal.

  Kurasa bumerang yang pernah dilemparkan Tante Andjani tengah berbalik ke arahnya. Aku tidak dapat mencegah rasa kasihan yang mulai muncul di hatiku.

IMRAN:
Kukira aku hanya mengatakannya karena tidak ingin membenarkan putriku, namun dengan terkejut kusadari aku bersungguh-sungguh oleh ucapanku. Aku tentu tidak ingin Lana seperti aku.

Masih belum hilang keterkejutanku, kudengar diriku melontarkan ucapan lain, “Bagaimana kalau Lana kuliah di sini? Tinggal seterusnya sama Papa?”

NURUL:
Salah seorang teman yang juga mengalami perceraian pernah bertanya, apa yang akan kulakukan bila Lana suatu hari akan pergi karena sudah saatnya mandiri.

Terus terang aku tidak punya rencana. Sekarang pun Lana tidak lagi membutuhkan diriku.

Itulah mengapa aku berpendapat bahwa seorang wanita seharusnya mempunyai karier atau kehidupan lain di luar rumah. Yang menyibukkan, yang ia cintai. Sehingga pada akhirnya, ketika mahligai yang ia bangun dengan naïf kemudian terempas, ketika ia tidak lagi merasa dibutuhkan oleh buah hatinya, ia masih memiliki kehidupan yang memberi arti di ujung kehampaan. Namun mengapa ketika bayangan itu nyata, rasa takut tetap menghadang?

LANA:
Hal pertama yang terlintas dalam benakku setelah papaku mengajukan tawarannya adalah, “Bagaimana dengan Mama?”

Meski Mama sering kali begitu tenggelam dalam pekerjaannya, aku tetap tidak suka membayangkan dia sendirian. Di sini Papa tak pernah kesepian. Dia punya Tante Tante-Yang-Namanya-Tak-Akan-Kusebut, Tante-Siapa-Lagi yang diam-diam menyita pikirannya, kerabat dari pihak papaku maupun istrinya, dan rekan-rekan bisnisnya.

Dari pantai Papa langsung mengajakku bertemu dengan om dan tanteku, serta dengan puang dan daeng-daeng dari pihak nenekku.

Kami pergi ke arah Maros, beberapa kilometer dari bandara.

“Tapi kasihan Mama kalau Lana pindah sini.”

“Memikirkan Mama itu baik, tapi kamu juga perlu belajar mandiri.”

Keluar dari rumah ibuku untuk pindah tinggal bersama Papa dan sanak famili lainnya? Seberapa mandiri itu? Tapi aku diam saja.

IMRAN:
Kulihat jip yang sudah sangat kukenal telah terparkir di depan rumah bercat kuning tak berpagar yang menjadi tujuan kami. Itu milik Tiok. Suatu kebetulan karena baru kemarin subuh kami bertemu di Barru’. Dan lebih dari sekadar kebetulan pula sudut mataku tak sengaja menangkap sosok yang sedang mengiringi Andi Diba memetiki sayur-sayuran di kebun.

“Aiii, Lana di? Besarnyaaa…,” Andi Diba, sepupuku yang sudah lima tahun lamanya tidak pernah berjumpa Lana, menyambut hangat.

“Ini putri saya,” kataku bagai tuan rumah mempersilakan masuk sang tamu. Sementara putriku dengan penuh sopan santun mencium tangan Andi Diba. “Yang ini Kakak Rima. Adik Om Tiok.”

Kulihat Lana yang serta merta terdiam. Ada kilatan aneh di matanya yang membuatku bertanya-tanya. Tapi diulurkannya juga tangannya.

“Lana,” katanya. Aku tidak suka cara anakku menatap Rima. Namun wanita itu menanggapi ketidaktulusan Lana dengan manis.

“Ayo ketemu Puang dulu di dalam,” Andi Diba lantas menggandeng lengan Lana. Meninggalkan aku dan Rima berdua.

NURUL:
“Ma… kenapa orang harus kawin, kalau mereka nggak bisa setia?”

“Tahu-tahu tanya begitu, kenapa?”

“Waktu dulu Mama kawin, Mama sayang nggak sih sama Papa?”

Aku sudah siap dengan pertanyaan seperti itu.

“Sekarang pun masih, Nak,” kataku. “Tapi Mama dan Papa telah digariskan untuk menjalani takdir masing-masing. Kami saling menyayangi, tapi tidak lagi seperti dulu.”

“Pada saat Mama kawin dulu, apakah Mama yakin Papa nggak bakal selingkuh?”

“Perasaan adalah sesuatu yang sulit dicegah, Na. Apa yang kita rasakan timbul di luar keinginan kita sendiri. Sama seperti papamu yang tak kuasa mencegah keinginannya untuk bersama Tante Andjani.”

“Meski dapat menyakiti hati yang lain?”

“Rasa sakit hanya muncul bila kita tidak dapat menerima. Menuntut orang yang kita cintai untuk memilih juga merupakan sikap yang egois.”

“Kenapa?”

“Karena kalau kita benar-benar mencintai seseorang, kita ingin dia merasa bahagia. Cinta tidak berarti memiliki, tidak harus agar dibalas.”

“Jadi buat apa Mama menikah dulu? Kalau nyatanya pernikahan itu hanya alat yang membelenggu.”

“Adduh Lana …,” aku tergelak. “Kan tidak semua pasti berakhir seperti Mama dan Papa!”

LANA: :
Dalam hati aku bertanya-tanya bagaimana nantinya reaksi Mama bila aku menceritakan apa yang kulihat barusan. Papa berbincang-bincang dengan wanita yang jelas sangat mengisi mimpinya semalam. Akrab sekali, sampai entah mengapa, aku jadi kasihan kepada Tante-Yang-Namanya-Tak-Akan Kusebut. Padahal, dengan getir kuingatkan diriku akan perilaku lamanya yang pasti pernah menyakiti hati Mama, yang tidak diketahuinya sedang terjadi saat ini adalah karma yang tengah menuntut bayar atas masa lalu.

Namun tak urung sikap Papa, yang tingkahnya kusaksikan bagaikan seorang pemuda bujangan membuatku terusik.

Begitu memasuki rumah Puang Cannu, paman Papa dari pihak Nenek, aku segera disambut oleh sanak keluarga yang lain. Ternyata di sana sedang berkumpul anak-anak Puang Cannu yang telah berkeluarga. Selain Daeng Diba, ada juga Daeng Tendri dan Daeng Heri.

Di sudut ruangan duduk pria seusia Papa yang aku panggil Om Tiok. Dia adalah adik ipar Puang Cannu yang juga rekan bisnis Papa. Tentu ayahku bertemu dengan Kak Rima lewat Om Tiok ini. Kurasa mereka kakak beradik.

Sebagaimana yang selalu diajarkan ibuku bila kami akan berlebaran dengan pihak keluarga Papa yang tinggal di Jakarta, aku mencium tangan mereka. Daeng Heri kembali dengan nampan berisi potongan-potongan kue kuning hijau yang kelihatan legit berminyak.

“Coba ini, Sayang. Ndak ada ini di Jakarta, Nak,” katanya dengan logat mendayu ala Bugis yang khas.

Sementara perhatianku justru terarah kepada Papa yang di luar yang persis seperti cowok-cowok ingusan di sekolah.

“Makasih, Daeng Heri,” aku mengucap kaku. Aku mengiris kue dengan garpu. Hmmm, enaknya kue ini… lembut dan legit

“Dibuat dengan banyak telur bebek,” Daeng Heri mengambil tempat tepat di depanku. “Sudah ke Barru?”

Aku menggeleng. Kabupaten Barru adalah kampung asal Papa.

“Lana kan jarang sekali ke sini’, jadi mumpung di sini, pergilah kau ke sana, minta bapakmu antar.”

Aku ingat, saat aku berlebaran ke sini semasa kecil bersama orang tuaku, kepada Mama mereka juga mengatakan hal yang sama.

“Kata Papa, Lana lulus SMU tahun ini, ya?” tanya Om Tiok.

“Iya, Lana?” kata Daeng Tendri yang, menurut cerita Papa, sedang melanjutkan pendidikannya ke jenjang doktoral. “Kuliah di sini saja.”

Siapa yang mau kuliah? Apakah Papa pun terlalu malu untuk mengakui bahwa putri tunggalnya ini berbeda dengan familinya?

Apa boleh buat, bakat intelektual memang tidak menurun dalam diriku. Tetapi adakah intelektualitas dapat mempengaruhi moralitas? Itu dua hal yang berbeda, bukan? Akan kutanyakan itu nanti pada Papa yang masih bermasyuk-masyuk di luar sana.

ANDJANI:
Kuperhatikan Lana menutup pesawat telepon dengan wajah muram. Dia kelihatan agak lesu. Setitik simpati timbul di hatiku. Mungkinkah dia sedang kurang enak badan? Dia pasti agak lelah kemarin,

Aku tahu dia terjaga sampai larut malam. Lama setelah dia mengendap-endap melewati kamarku untuk menelepon ibunya, dia masih terjaga.

“Lana, nanti malam kan kita mau makan mi siram. Setelah itu nonton di bioskop di dekat sana. Kalau kamu lelah, istirahat dulu, deh, sekarang. Kalau nanti ketiduran waktu nonton film, kamu akan rugi.”

Lana memandangku. Dengan tatapan yang tidak kupahami. Mendadak aku menyesal telah sok menasihatinya. Bukankah dia dengan jelas telah memproklamirkan diri tidak mau bicara kepadaku?


LANA:
Tante Andjani dengan mata besarnya yang berkesan rapuh dan lugu, menatapku. Sejenak aku mengerti apa yang terlintas di pikirannya. Dan tiba-tiba, aku merasa begitu kasihan. Apa yang telah dikorbankannya ketika memutuskan menikahi Papa? Kuliahnyakah? Kehidupan masa muda yang mestinya direguk sepuas-puasnyakah? Lalu kini, sebentar lagi dia akan menghadapi kepahitan seperti yang dialami ibuku. Ah, laki-laki memang makhluk paling brengsek di muka bumi!

Tiba-tiba, bahkan rasanya di luar kehendakku, aku bangkit, dan dengan patuh bergerak menuju kamar. Aku tidak berpura-pura dia tidak ada, aku berpura-pura tidak mendengar yang dia katakan. Meski belum dapat menguasai diriku untuk setidaknya mengangguk atau memberi jawaban singkat, aku tidak berniat menyiksanya lagi dengan sikapku.

Pernah kudengar bahwa hidup itu bagaikan bumerang. Apa yang pernah kita lakukan terhadap sesama suatu saat akan berbalik kembali. Kurasa bumerang yang pernah dilemparkan Tante Andjani (ya, mulai sekarang akan kusebut namanya) tengah berbalik ke arahnya. Dan meski loyalitasku kepada Mama membuatku sulit bersikap ramah, aku tetap tidak dapat mencegah rasa kasihan yang mulai muncul di hatiku.

IMRAN:
“Kata mamamu kamu sekarang sedang dekat dengan si Ferry ini. Jadi boleh dong kalau Papa ke Jakarta nanti kamu perkenalkan Ferry kepada Papa?”

“Buat apa?”

“Kok buat apa, kan Papa ingin tahu dia orangnya baik apa nggak….”

“Apa gunanya? Sopan atau nggak kan nggak memberi jaminan dia nggak akan menyakiti Lana.”

Kalau tidak ingat bahwa aku harus menjaga wibawaku di depan kerabat-kerabat jauh Andjani yang membantu-bantu di rumah kami, aku sudah akan menghardik putriku. Nada suaranya terdengar begitu kurang ajar di telinga. Sikap Lana memang bertambah aneh setelah kunjungan kami ke Maros tadi siang.

Aku merasa dia secara halus berusaha menghindar dari keramahan Rima.

“Lana main-main dong ya ke rumah Kak Rima nanti. Di kampung Papa di Barru’,” katanya ramah.

Lana memaksakan diri untuk tersenyum. Dan aku langsung merasakan betapa anakku menaruh antipati kepada Rima. Yang baru kali ini ditemuinya.

Sekarang sikapnya pun bertambah mengesalkan. Mengurung diri terus di dalam kamar.

LANA :
Aku tahu Papa agak kesal dengan sikapku. Well, maaf-maaf saja… semua anak perempuan dalam posisiku tentu akan bersikap sama bila mengetahui ayah mereka adalah peselingkuh. Bukan, ini bukan berarti aku sekarang berada di pihak Tante Andjani, aku tetap tak peduli dengannya, kalau bukan sikap Papa mulai mengusik batinku.
  Sungguh sulit menjadi seorang anak perempuan dari ayah yang kau tahu sangat menyayangimu sementara di sisi yang sama kau melihat betapa rendah penghargaan dan tanggung jawabnya kepada wanita. Semua ini benar-benar membuatku merasa lebih aman bila menghindari Papa.

“Sudah bicara dengan Papa, Lana?” tanya Mama kemarin malam.

“Soal apa?”

“Dengar,” Mama terdengar sangat putus asa di seberang. ”Tadi Mama sudah belikan beberapa formulir pendaftaran perguruan tinggi untukmu. Kalau kamu tidak mau ikut UMPTN, itu terserah kamu, tapi Mama pikir kan tak ada salahnya kamu mencoba perguruan swasta sekarang. Jadi tidak perlu menunggu tahun depan.”

“Tapi kalau tahun depan Lana mau pindah kuliah lagi?”

“Tidak apa, kalau memang akhirnya kamu menemukan yang kamu sukai.”

“Lalu kalau tahun depannya lagi Lana berubah pikiran lagi?”

“Lana, zaman sekarang ini mau banting tulang sekeras apapun kamu tak akan dihargai kalau tidak ada dasar pendidikan yang menopangmu. Ingat itu!”

Rupanya aku telah membuat ibuku benar-benar naik pitam.

ANDJANI:
Mungkin sebenarnya dia anak yang baik. Kuperhatikan anak itu memencet-mencet tombol remote control televisi, mencari-cari acara yang disukainya.

Dia hanya keluar dari kamar di malam hari, untuk menonton televisi atau menelepon. Mungkin dia merasa wajib membuat laporan kepada ibunya yang khawatir tempatnya akan direbut oleh sang ibu tiri.

Jangan khawatir, kataku di dalam hati, ibu tiri yang ini tidak akan membuat langkah apa-apa. Aku maju selangkah pun Lana sudah bersikap sangat curiga kepadaku.

Memang sikapnya tidak lagi sejudes tempo hari, ketika dia baru tiba di sini. Dia bahkan mulai mau menjawab bila ditanya, tapi hanya sebatas ya dan tidak. Lagi pula, memang susah menolak bila ditawari makan.

Bagaimanapun dia kemari bukan untuk kelaparan.

Tapi terkadang, kala Imran yang lelah gagal menyembunyikan kekesalannya di hadapan Lana, dan bila begitu seringkali bersikap kurang sabar kepada siapa saja, Lana kelihatannya cukup paham bagaimana menjaga supaya situasi tidak semakin kurang enak untukku. Dengan diam-diam dia akan menyingkir.

“Usiamu hanya terpaut delapan tahun darinya. Masa begitu susah hanya untuk mengobrol,” Imran berkata dengan nada meremehkan.

Aku tidak menjawab.

“Dia kemari kan bukan untukku, tapi kamu. Memang kamu sebegitu sibuk akhir-akhir ini?”

Alih-alih menjawab, Imran berbaring menelungkupkan tubuh. Artinya, dia ingin dipijit. Aku mengambil minyak kayu putih dari Lombok yang disukainya.

“Tidak, tidak usah pakai itu. Aku tak ingin mencium baunya.”

Aku membungkuk, memungut kemeja yang menghampar begitu saja di bawah tempat tidur. Imran tidak pernah menggunakan parfum, tapi samar-samar penciumanku menangkap aroma wangi yang tidak biasa. Bukan aroma parfum yang biasa digunakan kaum wanita, tetapi sejenis wewangian rempah yang terdapat di pelosok tertentu. Imran memang baru saja tiba dari Pare-Pare.

IMRAN:
Kurasakan jari jemari lentik Andjani menekan-nekan punggungku.

Dan yang terlintas dalam benakku adalah, ”Apakah Rima dapat memijit seenak ini ?”

Mestinya dialah yang bertanggung jawab. Mengingat pegal-pegal yang kuderita setelah mengantarkan rempah-rempah pesanannya dari Pare-Pare. Tapi tidak apa, bau yang nikmat melekat membuatku merasa begitu dekat dengannya. Semoga saja Andjani tidak akan menaruh curiga.

Diam-diam aku merasa bersalah karena menelantarkan Anya. Banyak kesempatan aku menemui Rima, sementara menemani putriku… entah kapan lagi. Hanya saja mestinya aku tidak serepot ini bila Andjani punya kemampuan mendekati Lana. Sebaliknya dia malah bertingkah kekanak–kanakan dan berkeluh kesah mengenai betapa dingin sikap putriku, betapa dia akan menolak diajak menghabiskan waktu bersama, dan keluhan-keluhan perempuan lainnya. Tapi dia kemudian bilang kasihan karena melihat Lana hanya menghabiskan waktu mengeram di kamar.

“Sudah tiga hari kamu tidak mengobrol dengannya,” seperti aku perlu diingatkan saja. “Kasihan, dia kesepian.”

“Mestinya kan kamu bisa menemani, apa sulitnya sih mengajak ngobrol anak remaja. Kau sendiri beberapa tahun lalu masih dianggap remaja.”

“Terus-terang, aku tidak bisa bersabar lagi.” Setelah beberapa saat dia menjawab dengan suara bergetar aneh.

“Lana masih anak-anak Djani. Masa kamu tak tahu itu.”

“Tidak, aku tidak tahu, harga diriku diinjak-injak! Belum pernah aku bertemu anak yang begitu tidak sopan seperti anakmu!”

Tangan-tangan Andjani merenggang dan menegang, kutolehkan kepala. Dia kelihatan marah sekali.

ANDJANI:
Semakin kupikirkan semakin aku merasa marah. Sikap Imran kerap membuatku tersinggung. Kenapa dia terus menerus menyalahkan aku dan bukannya membuka mata atas sikap putrinya? Pantas anak manja itu tumbuh sedemikian pincang.

“Kamu sadar tidak, menyuruhku terus-menerus mengalah hanya membuat anakmu makin manja,” kataku keras-keras. Lalu keluar kamar dengan membanting pintu. Ketika melewati kamar Lana, ingin rasanya menggedor pintu dan menyuruhnya mengepak koper sekarang juga.

Aku tidak sudi lagi menerimanya di sini. Anak tak tahu diri!

Bayangkan, aku sampai mengingatkan ayahmu agar menyempatkan diri menemanimu di sini, tapi lagi-lagi dia membuatku merasa tidak becus menanganimu. Kenapa aku mesti repot, tokh aku bukan ibumu. Sementara kamu bersikap seolah-olah dosaku begitu besar untuk dimaafkan. Kurasa kau mesti tahu, ayahmulah yang telah membuat langkah pertama. Dan kedua, ketiga, dan mungkin seterusnya sampai kami menikah. Lalu setelah dilihatnya betapa dia telah memeras kehidupanku ke dalam kotak kecil sesak atas nama rumah tangga, dia mulai memperlakukanku seperti debu yang harus ditepis.

Aku? Asal kau tahu, gadis kecil, aku bahkan mencoba menahan diri karena menenggang perasaan ibumu!

LANA:
Terdengar suara keras yang tidak jelas dari arah kamar Papa.

Sebetulnya aku pingin mengintip, tapi sial… tidak ada lubang kunci di pintu. Jadi kuputuskan membuat celah tipis, namun bersamaan dengan bantingan pintu oleh Tante Andjani. Sehingga cepat-cepat kututup kembali.

Kenapa? Kenapa? Bahkan kalau tidak salah sempat kudengar namaku disebut. Namun tentu bukan aku penyebabnya, Tante Andjani pasti sudah tahu tentang wanita lain ayahku. Dan sekarang… dan sekarang… Papa akan segera kembali bercerai. Dia akan seperti memutar ulang kehidupannya untuk yang kedua kalinya. Atau kalau dia menikah dengan Tante Rima, itu yang ketiga kalinya.

NURUL:
Acara yang membosankan, namun aku harus hadir. Apalagi tuan rumah sudah berpesan agar aku hadir dengan berdandan cantik!

“Aku ingin memperkenalkanmu dengan seseorang,” katanya.

Seseorang itu belum juga kutemui, sementara temanku si tuan rumah belum lagi terlihat batang hidungnya. Dua puluh menit terakhir aku hanya mendengarkan celotehan ibu-ibu rumah tangga yang tidak kumengerti.

“Nurul?” sebuah suara menyapa. Seorang pria yang tidak kukenal.

“Saya Sammy,” diulurkannya tangan. “Teman Rindu.”

Jadi dialah yang akan dikenalkan kepadaku. Seorang pria yang menurut Rindu penampilannya akan sanggup menggetarkan hati, tapi sejauh ini yang kurasakan hanyalah kedataran hati. Sebab, terus-terang dia bukan tipeku. Tubuh jangkungnya kurus, kulitnya pucat dengan wajah yang tirus seperti orang sakit, masih ditambah helai-helai rambut yang terlalu lurus macam lidi. Dan suara beratnya terlalu halus didengar.

“Ya, bagaimana kalau kita mengambil makanan?” dia menggerak-gerakkan tangan dengan gaya lucu. “Lapar…”

Aku tersenyum. Kekakuan itu langsung mencair, aku suka karena sikap terus terangnya.

“Sudah lama? Maaf sekali, Rindu sebetulnya menyuruhku datang lebih awal, tapi ada urusan mendadak yang harus diselesaikan,” katanya.

“Setelah itu aku buru-buru kemari, berharap Anda tidak bosan mesti menunggu.”

Aha, pekerja keras dan simpatik. Kembali kutambahkan point yang baru saja kuberikan.

LANA:
Semalam aku jatuh tertidur di sofa kamar sambil membaca majalah. Sebetulnya aku haus dan ingin buang air kecil, tapi aku tidak berani melangkah keluar dari kamar. Suara panci dan alat-alat dapur yang berkelontang-kelonteng riuh sudah cukup membuatku ngeri untuk keluar kamar.

Mama tidak meneleponku. Beberapa kali aku mengirim pesan ke telepon genggamnya, namun entah apa yang dilakukan ibuku karena untuk pertama kalinya aku tidak bicara kepadanya dalam sehari.

Biasanya pada jam seperti ini, suara kerabat Tante Andjani yang datang berkunjung untuk memasak atau sekadar bertukar cerita (bahasa yang sangat halus yang kugunakan untuk gosip) sudah ramai memenuhi udara. Tapi sayup-sayup terdengar alunan musik pop sangat sendu yang dramatis.

Bagaimana tidak dramatis kalau Papa kulihat sedang duduk di teras belakang sambil merenung. Tante Andjani yang duduk di meja makan pun tengah terbang dalam lamunan. Belum rapi pula, tak seperti biasanya. Bahkan Mak’Im yang selalu ramah juga tak kalah murung. Suasana yang tidak enak membuatku tidak bernafsu makan, cepat-cepat balik ke atas, mandi dan berpakaian.

Aku ingin lekas pergi.

NURUL:
“Kok Mama ceria sekali, sih, kenapa?”

“Masa kamu mau Mama serius terus, tambah-tambahin uban saja.”

“Ma, tiket pulang Lana tak bisa dipercepat, ya?”

“Sudah kamu confirm di maskapai sana?”

“Belum.”

“Mungkin bisa, kamu memang harus sudah di sini sebelum tanggal 16, ada tes gelombang pertama yang harus kamu ikuti,” aku mencoba tidak terdengar begitu berharap.

Lana tidak menjawab. Kalau dia tidak mau, pasti dia sudah membantah, bagus. Imran ternyata cukup dapat diandalkan.

Tapi kemudian dia berkata, ”Kalau dapat tempat, dan fakultas apa?”

“Lana…,” aku memasang suara tegas tidak terbantah.

“Papa sama tante itu berantem, Ma. Papa selingkuh lagi.”

Seakan berita itu sanggup membuatku terkena serangan jantung saja.

“Dari mana kamu tahu?”

“Lana lihat sendiri Papa naksir perempuan itu.”

Agaknya telah ada sebuah hubungan istimewa antara Andjani dengan putriku, karena dia terdengar terpukul sekali.

“Itu bukan urusan kita, Nak,” kuingatkan dia. “Ayahmu tentu punya alasan sendiri.”

Kututup telepon. Agaknya Lana sudah menyukai Andjani.

LANA:
Papa bersikeras menemaniku pergi, meski sudah kuyakinkan bahwa aku ingin sendiri.

“Perempuan tidak baik kalau sendirian terus.”

“Kenapa?”

“Karena berbahaya.”

“Itu kuno, Pa.”

“Tapi betul.”

Bunyi telepon genggam Papa menginterupsi pembicaraan kami. Papa bicara berbisik-bisik. Kemudian…

“Jadi Lana mau turun ke mana?”

Tak biasanya Papa jadi melemah begini.

“Lana mau lihat Cakar, Pa.”

Papa menurunkanku di sebuah toko kecil, yang ternyata hanyalah bagian belakang dari deretan yang memanjang. Mataku segera disibukkan oleh jejeran baju yang bergantung dan tumpukan scarf yang menggunung. Aku langsung merasa bagai hewan dikembalikan ke habitatnya.

Sampai senja menjelang.

Jauh-jauh ke Makassar, apakah dia hanya mengurusi masalah perselingkuhan ayahnya?

ANDJANI :
Buka… tidak, buka… tidak, seharian aku bergumul di dalam hati. Entah kenapa tiba-tiba aku begitu ingin memeriksa kamar Lana. Siapa tahu aku menemukan sesuatu yang dapat kujadikan bukti untuk mengkonfrontasi Imran supaya cepat-cepat mengantar putrinya kembali ke Jakarta.

Ooohh, apa saja akan kulakukan untuk itu. Sejak kejadian kemarin tiba-tiba ketulusan dan niat baikku menguap begitu saja. Aku sampai tidak sanggup menguasai diri untuk tidak menyentuh kamar tidurnya.

Namun apa yang kulihat di dalam sungguh mengejutkan. Pertama-tama,ternyata anak manja itu cukup rapi. Dia membereskan tempat tidurnya, membersihkan kamar, tidak membuang pakaian kotor ke lantai. Majalah pun tidak berserakan seperti kamarku ketika remaja dulu. Yang mengejutkan, aku melihat tumpukan rapi buku-buku yang dia miliki: Cannery Row, Kemayoran-nya NH Dini, Kerudung Merah Kirmizi, dan beberapa lainnya yang kurasa terlalu serius untuk ukuran Lana yang kukenal. Atau yang kukira kukenal.

Hari sudah menjelang sore hari tapi dia belum kembali. Padahal ayahnya berkata mereka hanya akan pergi sebentar. Aku beranjak, menelepon Imran.

“H… halo,” dia menjawab dengan gugup.

“Lagi di mana?”

“Ada urusan sebentar.”

“Oh, kok lama sekali. Kamu sama Lana sudah makan?”

“Lana tidak bersama saya …,” suara Imran terdengar mengambang.

IMRAN:
Ke mana anak itu? Di hadapanku Rima memandang ragu. Kenapa? Dia bertanya, “Bagaimana mungkin kau bisa tidak bersamanya?”

“Yah, dia minta supaya dibiarkan jalan sendiri…,” aku berusaha membuat nada suaraku setenang mungkin. “ Dia kan pasti malu kalau ditemani.”

“Di mana kamu sekarang?” Andjani terdengar benar-benar perlu dijawab. Nadanya begitu menuntut.

“Sedang ada urusan.”

“Urusan sama siapa? Di mana?”

Aduh perempuan. Bukan wanita namanya kalau tidak mengajukan seribu satu pertanyaan.

“ Urusan apa? Rempah-rempah wangi itu atau… kapal?”

Wah, kenapa nadanya terdengar begitu menyindir.

LANA :
Menjelang petang aku baru merasa lapar, namun tetap segan pulang. Aku naik becak ke Pantai Losari. Dengan tentengan di tangan aku berjalan ke warung epe di pojok. Aku duduk memandangi perahu phinisi dan indahnya matahari yang membentuk siluet di permukaan lautan. Sungguh romantis. .

ANDJANI:
“Tidak, tidak ada telepon dari tadi,” suara serak MakIm menjawab setelah deringan keenam, “Apa saya perlu menyiapkan makan di meja?”

Imran juga belum pulang.

“Siapkan saja siapa tahu Lana tiba duluan dan ingin makan.”

Ke mana anak itu? Apakah dia tersesat? Beribu pertanyaan memenuhi benak. Kini aku benar-benar cemas. Walau sempat berharap dia pulang saja kembali ke Jakarta, aku tidak ingin dengan cara yang tidak enak begini. Apa kata Nurul nanti?

Lambat-lambat kutelusuri jalan. Mendelik ke kanan dan ke kiri sampai biji mataku terasa akan melompat keluar. Apa yang dilakukan anak seperti Anya hingga lupa waktu? Sepanjang yang kuketahui tidak ada temannya di kota ini. Kafe pun tidak ada. Namun dengan penemuanku yang cukup mengejutkan di kamarnya, aku memutuskan mencoba memacu arah ke satu-satunya mal di kota kami. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan seorang anak penggemar buku. Setidaknya, begitulah harapanku.

LANA:
Aku merencanakan akan pulang setelah toko tutup, agar tak bertemu Papa.

Orang mungkin heran bila tahu aku betah berlama-lama membaca. Itu terjadi sejak liburan sekolah saat orang tuaku bercerai. Dengan buku yang kubaca, aku bisa masuk ke dalam suatu kehidupan yang sama sekali berbeda dengan kehidupanku sehari-hari, dengan tokoh-tokoh yang memiliki masalah yang membuatku terus bertanya-tanya, bagaimana akhirnya?

Baru lima belas menit aku berdiri menikmati bacaanku ketika merasakan seseorang berdiri di belakangku. Aku menoleh dan melihat Tante Andjani memandangku ragu. Takut. Seakan aku hendak membentaknya karena telah lancang mengganggu. Aku tahu dia pasti khusus mencariku. Soalnya Tante Andjani bukanlah penggemar bacaan.

ANDJANI :
“Tante…,” hanya itu yang terucap. Dia kelihatan terkejut melihatku.

“Tante cari-cari.”

“Kenapa?”

Karena kamu sudah pergi terlalu lama, Nak. Ayahmu akan marah besar kalau sampai aku tadi menolak mencarimu. Atau kamu memang berniat menciptakan perang di antara kami ?

LANA :
Aku berniat pura-pura tidak mendengar, namun tidak sanggup menahan diri. “Kenapa mesti sama Tante, Anya bisa sendiri!” sahutku ketus.

ANDJANI :
Anak ini benar-benar punya masalah dalam hal sopan-santun. Ibunya yang sukses itu rupanya kurang mengajarkan tata krama kepada sang putri.

“Karena ayahmu yang menyuruh begitu!” kataku berusaha menahan diri. Tante pun tidak peduli jam berapa kamu mau pulang, tapi ayahmu tadi inta tante mencarimu.”

Lebih baik lagi bila kamu pulang kembali kepada ibumu. Aku sudah kesal sekali denganmu.

LANA :
Tahukah Tante kenapa dia tidak mencariku sendiri? Karena sekarang dia sedang berasyik–masyuk dengan perempuan lain. Kok mau saja sih diperlakukan begitu rupa? Bodoh betul.

“Terus… Tante kan bisa bilang kepada Papa bahwa Lana masih ingin tinggal di sini !”

Dia memandangku dengan dingin. Memasang perisai terhadap sensitifitas batinnya, menolak rasa sakit yang kutimbulkan. Mulutnya bergerak hendak mengucapkan sesuatu, tapi tidak jadi. Yang kulihat adalah punggungnya yang berkelebat cepat di antara rak-rak buku.

ANDJANI :
Baiklah tinggal saja di sana selamanya. Sebelum sempat melakukan hallain yang berakibat fatal, aku cepat-cepat menjauh. Keluar dari toko melintasi etalase, kulihat Lana bergegas-gegas mengikuti.

Lihat, akhirnya dia mau menurut. Sabarlah, tidak perlu kaulaporkan kekurangajarannya tadi kepada Imran.

LANA:
Belum pernah aku merasa tertangkap seperti ini. Teman-temanku tidak ada yang mengetahui bahwa aku hobi membaca. Di sekolah, kami tidak pernah berteman dengan anak-anak kutu buku. Meski tidak semua di antara aku dan kawan-kawanku berlangganan nilai jelek, kami tidak tertarik pada hal-hal serius.

“Lana masih tidak mau kuliah?”

“Kenapa Lana mesti kuliah? Belajar di sekolah saja Lana tidak senang.”

“Tapi kamu senang baca buku.”

“Tidak terlalu. Kadang bosan juga.”

ANDJANI :
Beberapa saat kami terdiam.

“Tante sendiri sekarang menyesal tidak pernah menyelesaikan kuliah,” kata-kata itu meluncur begitu saja.

LANA :
Tante Andjani tentu bicara jujur.

“Ayahmu ingin Tante tinggal di rumah.”

ANDJANI :
Sebetulnya aku ingin mengucapkan, “Ini bukan berarti Tante menyesal telah kawin dengan ayahmu.”

Namun aku justru takut mengusik-usik masalah perkawinanku, yang bagaimanapun telah merusak keluarganya.

  Aku tidak ingin merusak percakapan kami.

“Sudah ada bayangan Lana mau apa di masa depan?”

“Yang jelas tidak kawin muda,” ucapan itu meluncur cepat dari bibirnya. “Senang-senang dulu baru serius.”

“Tidak mau jadi wanita sukses seperti ibumu?”

“Sukses dalam apa?”

LANA :
Kesuksesan tidak menjamin kebahagiaan. Selalu ada kesedihan dalam hidup setiap orang, semapan apa pun keberadaan mereka.

Kadang kala aku merasa Tuhan membagikan keadilan dengan caranya sendiri. Karena selalu ada lubang pada “kantung lemak” masing-masing manusia.

Dulu seorang Andjani muda yang cantik telah berhasil meraih hati seorang pria Bugis yang tampan. Namun kehidupan ternyata bukanlah dongeng yang manis.

Tetapi kelihatannya Tante Andjani menyadari maksud ucapanku, karena dia berkata, “Mamamu kan membesarkan kamu, dan susah kan wanita bisa sampai pada posisi setinggi Mama.”

“Memang,” aku tidak tahu harus berkata apa. Bukannya aku tidak bangga akan ibuku, namun memikirkan siapa dirinya justru selalu membuatku terbebani.

ANDJANI:
Untuk lebih menyenangkan hatinya lagi aku menambahkan, “Ibumu kan tidak seperti Tante.”

Dia terdiam.

“Bisa dikatakan mamamu hampir memiliki segala-galanya.”

Dan apa yang aku miliki?

LANA:
Dan satu-satunya yang dia miliki pun, tanpa dia ketahui, kini telah berpaling darinya. Ibuku punya aku dan karier yang dapat dia banggakan. Sedangkan Tante Djani? Apa yang akan dilakukannya bila dia tahu mengenai Tante Rima?

Kalau aku, tentu saja akan menemukan cara balas dendam yang cerdik, anggun dan mengena. Misalnya, dengan menghambat usaha bisnisnya atau semacam itu. Sesuatu… sesuatu yang lebih berkelas daripada sekadar menyiram dengan segelas air atau mengempeskan ban mobil.

ANDJANI :
Tusukan menyayat itu kembali menggugat batinku. Rasa sedih dan kecewa yang kukira mati ternyata hidup kembali. Siapa lagi gadis yang ditaksir Imran kali ini? Rupanya bukan lagi isyarat samar-samar dari seorang lelaki yang mestinya cukup tahu diri dengan usia dan sejarah perceraiannya. Sampai putrinya yang seorang gadis lugu pun bisa tahu.

Siapa lagi sekarang??

LANA:
Kediaman ini begitu mencekam. Aku merasa takut, sebab Tante Andjani menatap lurus ke arah mataku dan aku merasa dia telah membaca apa yang tak mampu kuungkapkan di sana. Kami terus membisu sampai menghabiskan makan malam kami. Lalu bermobil pulang dalam diam.

Tante Andjani menyetir dengan murung. Tiba-tiba dia berbelok dan membawa kami berlawanan dengan jalan pulang yang kutahu.

Apakah aku akan diculik? Apakah diam-diam Tante Andjani menderita kelainan jiwa? Kalau begitu apa yang akan dilakukannya denganku?

ANDJANI:
Ayahku dulu pernah berkata, “Laki-laki seperti Imran tidak akan pernah berhenti Djani.” Sulit mempercayainya bila pada saat itu aku tengah lena oleh perasaanku sendiri. Sebagai seseorang yang percaya akan cinta dan dongeng-dongeng indah kehidupan, aku yakin dengan pilihanku. Kemudian, seiring tahun yang bertambah, aku pun mulai menemukan kebenaran kata-kata ayahku.

“Mau ke mana Tante?” Lana bertanya takut-takut.

“Kamu mau mampir sebentar? Tante tak ingin langsung pulang.”

Kulirik dia. “Tempatnya ramai kok, kamu tak akan kenapa-napa.”

Lana tersenyum, wajahnya pucat. Aku bisa melihat ketidaknyamanan yang dia rasakan.

“Soal itu, Tante sudah lama tahu kok.”

Sekarang dia memandangku takut-takut. Ragu. “Tahu apa ?”

“Yang membuatmu jadi tak enak begitu, Tante sudah lama tahu.”

“Mmh…”

“Tidak apa, memang begitulah laki-laki.”

LANA :
Kok pasrah sekali? Bukan begitu semestinya seorang wanita menghadapi perlakuan egois yang diterimanya dari pria. Aku ingin menganjurkan supaya Tante Andjani berani mengajukan perpisahan, atau bahkan perceraian sekalian.


Tapi ini Papa. Dan aku tahu dia sayang kepadaku. Meski perlakuannya kepada kaumku begitu buruk.
“Penting sekali untuk tahu apa yang akan kamu lakukan dengan masa depanmu kelak.” Tante Andjani berkata dengan mata menerawang. “Tidak harus dengan kuliah kalau kamu memang tidak mau, tapi setidaknya nanti kamu bisa melewati hari-harimu dengan melakukan yang kamu sukai.”

“Supaya ngga terlalu sakit kalau putus cinta.”

Oups! Aku lupa mengerem mulutku. Tapi untungnya Tante Andjani dengan matanya yang masih menerawang tidak begitu memperhatikan. Adakah dia sekarang menyesali keputusan yang pernah dibuatnya bertahun-tahun yang lalu?

“Tante, Tante tahu tidak bahwa Barru kita itu pernah ditulis pengarang Somerset Maugham?”

“Oh iya, siapa?”

“Somerset Maugham, di cerpen Vessel of Wrath-nya dia menulis mengenai kampung kita.”

Setahuku dia hanya membaca majalah mode dan tabloid wanita. Oleh pancinganku yang tidak pada tempatnya, Tante Andjani kelihatan semakin gugup, sementara aku bertekad memaksanya keluar dari lamunan yang konyol.

“Sori Anya, dia bikin apa?” dia tergagap. Membelokkan setir memasuki jalan ramai yang sudah kukenal, menuju ke arah pantai Losari.

IMRAN :
Rima senang dengan suasana pantai. Aku senang karena dia mendengarkanku dengan seksama. Sehingga bicaraku semakin bersemangat tanpa merasakan berlalunya waktu. Namun lampu teplok yang mulai diredupkan memberi isyarat bahwa si pemilik warung mulai letih dengan kehadiran kami. Hanya dua porsi nasi dengan sop konro ditambah es teh manis yang murah meriah, aku dan Rima telah menghabiskan waktu lebih dua jam lamanya. Padahal malam masih ramai dan mungkin semakin ramai mengalir ke kantungnya asal tempat cukup tersedia. Sebagai wanita Rima tentu lebih jeli menangkap isyarat ini.

“Saya mesti bangun pagi sekali menghias pesanan,” dia beralasan. Rima menerima pesanan membuat perangkat dekorasi kamar dan antaran pengantin. Dengan mensuplai rempah-rempah wangi dalam jumlah besar harga lebih murah aku punya kesempatan untuk mendekatinya.

Aku menggiringnya keluar dari tenda diiringi tatapan lega si pemilik warung.

LANA:
Tante Andjani memajukan tubuh, kepalanya ditengokkan sedalam mungkin ke arah tenda-tenda di seberang. Dan ketika kendaraan kami akhirnya melewati jip milik Papa … aku sungguh bersyukur.

Sepuluh meter sebelumnya ketika dengan tak percaya mendapati jip Papa masih terparkir di seberang warung yang tadi kudatangi, aku bahkan tak sanggup sekadar berdoa dalam hati. Otakku langsung dipenuhi oleh berbagai kemungkinan terburuk, dan diperparah oleh kesadaran betapa aku tidak lagi menaruh antipati kepada Tante Andjani.

Untungnya pula, Tante Andjani tidak melihat Papa merangkul pinggang Tante Rima keluar dari satu warung.

IMRAN :
Sampai di rumah Mak’Im memberi tahu, “Andjani menelepon. Dia sudah ketemu dengan Lana. Mereka akan pulang agak malam sebab Djani membawanya ke Losari. “

Aku lega telah meninggalkan tempat itu bersama Rima di saat yang tepat.

NURUL :
Baru saja Sammy berlalu ketika telepon berdering.

“Mama?”

“Ke mana saja hari ini?”

“Hari ini jalaaan seharian. Kenapa, Ma?”

Aku berusaha mengucapkannya dengan hati-hati. “Tidak lihat-lihat kampus di sana ?”

LANA :
“Ma, daripada hanya sekadar kursus, bagaimana kalau Lana mengambil jurusan keramik sekalian?” Pembicaraanku dengan Tante Andjani telah mengubah pendirianku.

No comments: