12.22.2010

Will

Aku jarang melihat istri Will. Aku tahu dia tidak menyukaiku. Baginya, aku hanyalah seorang teman yang dapat membuat suaminya ditimpa berbagai masalah.

Namaku Toby. Usiaku akan menginjak 83 tahun pada musim semi kali ini. Rumahku terletak di bilangan Stratford-Upon-Avon. Dari jendela dekat sebuah kursi kayu di mana aku berada saat ini, dapat kulihat pasar yang ramai dikunjungi orang.

Aku pernah mempunyai seorang sahabat yang sangat terkenal di Inggris. Lebih dari tiga puluh tahun lamanya aku mengenalnya. Aku pernah bekerja bersamanya di teater, melewatkan hari-hari yang menyenangkan, juga menyedihkan. Dia seorang sahabat yang baik. juga seorang dramawan, dan penyair terhebat yang pernah ada di Inggris. Namanya William Shakespeare.

Aku selalu menonton pertunjukannya. Orang-orang menyukainya. Mereka berteriak, tertawa, menangis.... Segala macam orang: raja, ratu, permaisuri, pangeran, putri, rakyat jelata,.... Will dapat menghibur mereka semua.

Dia pernah mengajakku bermain dalam salah satu drama karyanya: Twelfth Night-Malam Keduabelas, sebagai Sir Toby Belch, pria bongsor yang gemar minum-minum dan bersenang-senang. Ratu Elizabeth I menonton drama itu tanggal 6 Januari 1601.

Kini Will sudah tiada, dan tak ada seorang pun yang menyaksikan pertunjukannya. Kaum Puritan (pemeluk Protestan taat pada abad ke-16 dan ke-17 di Inggris, yang menganggap bahwa kemewahan dan kesenangan adalah dosa) telah menutup teater di seluruh Inggris. Tak ada lagi nyanyian, tarian, pementasan drama. Tidak seperti di masa mudaku dahulu.

Walau semua gigiku telah tanggal, pun tak ada sehelai rambut menutupi kepalaku, aku masih dapat mengingat jelas kenangan itu. Kenangan aku bersama Will....

Oktober 1579. Hari yang cerah saat pertama kali aku bertemu Will, di luar Stratford, di sebuah kebun apel. Seorang anak laki-laki berambut merah, kira-kira dua tahun lebih tua dariku, sedang berada di atas sebuah pohon.

"Apa yang kau lakukan di atas sana?"

"Hanya mengambil beberapa buah apel," jawabnya, tersenyum.

"Pohon-pohon ini milik Nash, si petani itu, dan dia akan segera melepas anjing-anjingnya untuk mengejarmu."

"Tuan Nash sudah berangkat ke pasar," katanya. "Kemarilah! Apel-apel ini enak sekali!"

Dan semenit kemudian aku sudah berada di atas pohon bersamanya. Tapi Will salah. Tuan Nash tidak sedang pergi ke pasar, karena beberapa saat kemudian aku melihat wajahnya yang memerah marah tersembul di atas sebuah dinding tak jauh dari situ.

Spontan Will dan aku kabur dan berlarian hingga ke tepi sungai. Di sana kami menikmati apel-apel yang telah kami petik.

Saat itu Will berusia 15 tahun. Ia tinggal di Henley Street bersama ayahnya, John Shakespeare, kakak perempuannya, Joan, serta dua adik laki-lakinya, Gilbert dan Richard. Kala itu Will tidak memberitahukan tentang adik perempuan lainnya yang telah meninggal. Dan setahun kemudian lahir lagi seorang anak laki-laki, anak bungsu keluarga Shakespeare, bernama Edmund. Lalu Will menanyakan tentang keluargaku.

"Hanya ada aku dan adik perempuanku. Orang tuaku sudah meninggal, jadi kami tinggal bersama paman dari ibuku. Ia seorang pembuat sepatu di Ely Street, dan aku bekerja untuknya. Dan kau, apa pekerjaanmu?"

"Aku belajar di sekolah Nyonya Jenkins di Church Street, setiap hari dari pukul tujuh pagi sampai pukul lima sore. Kecuali hari Minggu tentunya."

Aku merasa menyesal telah menanyakan hal itu kepadanya. "Kau tidak merasa bosan?"

"Kadang-kadang. Biasanya tak ada masalah bagiku." Ia menyandarkan kedua lengannya di atas kepalanya. "Tapi kami diharuskan mempelajari karya para penulis Latin. Sedangkan yang aku inginkan adalah karya-karya modern, karya para penulis Inggris seperti Geoffrey Chaucer. Kau dapat membaca?"

"Tentu saja! Aku juga bersekolah."

Lantas Will berdiri seraya menggigit apelnya. "Aku ingin jadi penulis. Penyair. Aku ingin menjadi lebih dari segalanya di dunia."

Semenjak hari itu, kami bersahabat. Hampir tiap hari kami bertemu, dan dia selalu mengajariku tentang buku-buku yang dibacanya, tentang puisi-puisi, dan sejarah para penulis. Hidupnya tak pernah lepas dari buku.

Selepas meninggalkan bangku sekolah, Will bekerja untuk ayahnya di Henley Street. John Shakespeare adalah seorang pembuat sarung tangan. Ia juga melakukan bisnis jual-beli domba. Tapi Will tidak tertarik.

Suatu hari ia bertanya kepadaku, "Apa yang sebaiknya kita lakukan, Toby? Kita kan tidak bisa menghabiskan sisa hidup kita hanya dengan membuat sepatu dan sarung tangan!"

"Well... kita bisa pergi ke laut dan berlayar keliling dunia seperti Francis Drake."

Drake kembali ke Plymouth tahun 1581 setelah tiga tahun bertualang keliling dunia, tapi kami masih tetap saja di Stratford. Kami selalu menyusun berbagai rencana, tapi tak pernah terwujud.

Will masih meneruskan kegiatan membacanya dan telah menulis beberapa puisi. Terkadang dia menunjukkan puisi-puisinya kepadaku. Aku katakan kepadanya bahwa puisinya sangat bagus. Sebenarnya aku tak tahu apa-apa tentang puisi, tapi Will temanku.

Bagaimanapun Will tidak menyukai puisi-puisinya. "Aku masih harus banyak belajar, Toby. Masih banyak."

Kasihan Will. Dia juga harus belajar banyak tentang wanita. Suatu hari di bulan Oktober 1582, dia datang ke rumahku dengan wajah pucat pasi.

"Aku takkan pernah meninggalkan Stratford," ujarnya.

"Mengapa tidak? Kita pasti akan pergi. Lihat saja nanti."

"Untukmu mungkin." Ia terdiam sesaat. "Tapi aku akan menikah dalam beberapa minggu ini. Dengan Anne Hathaway."

Mendadak mulutku ternganga. "Menikah! Dengan Anne Hathaway? Apakah Hathaway yang tinggal di Shottery itu?"

"Ya."

Waktu itu aku sedang mengerjakan sesuatu pada beberapa pasang sepatu di atas meja, lalu Will mengambil salah satunya dan memandangnya.

"Well, er, dia tentunya gadis yang baik," aku merasa tidak nyaman dengan perkataanku. "Tapi... tapi, usianya 26 tahun, dan kau baru delapan belas!"

"Aku tahu. Tapi aku harus menikahinya."

"Oh tidak! Maksudmu dia...."

"Betul," sahut Will, "enam bulan lagi aku akan menjadi ayah."

Will menikahi Anne Hathaway pada bulan November. Mereka tinggal di Henley Street. John Shakespeare tampaknya sangat bahagia, namun lain halnya dengan ibu Will. Ibu Will tak mau putranya menikah secepat itu. Membentuk sebuah keluarga membutuhkan banyak biaya, padahal John Shakespeare sedang menghadapi masalah keuangan yang rumit.

Bulan Mei berikutnya, lahirlah Susanna. Bagiku, semua bayi tampak sama. Tapi bagi Will tidak.

"Lihat, Toby, matanya mirip dengan mataku," ucapnya bahagia. "Ia pasti akan secantik Ratu Mesir, dan sepandai Raja Solomon."

"Oh ya? Semua orang tua berpendapat seperti itu tentang anaknya. Aku tak percaya satu kata pun."

Aku jarang melihat istri Will. Aku tahu dia tidak menyukaiku. Baginya, aku hanyalah seorang teman yang dapat membuat suaminya ditimpa berbagai masalah. Dia berasal dari keluarga yang serius, keluarga Puritan. Hari-harinya hanya diisi pergi ke gereja, tanpa ada nyanyian dan tarian atau pesta dansa.

Di suatu sore di bulan Februari 1585, istri Will melahirkan lagi. Kembar laki-laki dan perempuan. Will memberi mereka nama Hamnet dan Judith, sesuai nama teman-teman Will. John Shakespeare menjadi semakin bahagia, karena ia punya seorang cucu laki-laki sekarang. Semua orang tampak bahagia. Untuk sesaat.
Will dan aku terkadang masih pergi bersama. Ia masih tetap membaca, menulis, dan aku dapat melihat perubahan pada dirinya. Ia telah berusia 23 tahun sekarang, tapi ia tidak bahagia dengan kehidupannya.

"Stratford terlalu kecil, Toby," ujarnya suatu kali. "Terlalu tenang. Terlalu membosankan. Aku harus pergi."

"Iya, tapi bagaimana caranya? Ingat, anakmu sudah tiga."

Di setiap musim panas, beberapa kelompok pertunjukan datang ke kota kecil. Tahun 1587, ada lima kelompok yang datang. Will dan aku selalu menyempatkan diri untuk menonton pementasan mereka. Will suka berbicara dengan para pemainnya dan mendengarkan cerita mereka tentang kota London.

The Queen’s Men tiba di Stratford bulan Juni. Kami menyaksikan aksi panggung mereka. Aku tidak ingat yang mereka mainkan. Yang kuingat hanya aku tertawa keras sekali, dan Will bilang permainan mereka sangat jelek. Tak ada satupun kata-kata puitis dalam dialog mereka.
"Mengapa kau tidak mencoba sendiri menulis sebuah naskah?"
"Menulis naskah drama?" Ia tertawa. "Anne takkan pernah lagi mau bicara kepadaku."
Meskipun begitu, setelah beberapa bulan berselang, aku mampir mengunjungi rumah keluarga Shakespeare di suatu sore. Ketika aku baru saja memasuki pintu dapur rumah mereka, kulihat Anne, dengan wajah sangat merah, membentak keras sekali. "Beraninya kau berbuat hal ini kepadaku! Bagaimana anak-anak...," ucapannya terhenti saat menyadari kedatanganku.
Will sedang duduk di samping meja, dan tampak gembira melihat kehadiranku. "Telah kukatakan pada Anne bahwa aku akan pergi dan tinggal di London. Aku ingin menjadi aktor, dan menulis beberapa naskah drama, kalau bisa."
"Drama!" lengking Anne. "Akting! Para aktor orang-orang yang kotor, kejam! Mereka semua pencuri dan penjahat! Mereka mabuk tiap hari dan tak pernah ke gereja..."
"Jangan berkata bodoh, Anne. Kau tahu itu tidak benar. Dengar, aku akan pulang kalau sempat, tapi aku tetap harus pergi ke London. Aku tidak bisa berbuat apa-apa di Stratford." Kemudian ia menatapku. "Kau ikut denganku, Toby?"

Selama dua hari perjalanan menuju London, Will nyaris tak pernah berhenti berbicara kepadaku. Dapat kulihat sorot matanya bersinar penuh semangat. Di kepalanya tersimpan banyak rencana, puisi.... Semangat hidupnya telah kembali.
"Aku telah berbincang dengan salah satu pemain Queen’s Men," katanya. "Dia bilang dia bisa memberikanku pekerjaan di teater. Berakting, mungkin. Atau membantu menulis beberapa naskah drama. Aku telah menunjukkan kepadanya beberapa naskahku, dan dia sangat tertarik."
Ketika kami sampai di London, aku mulai disergap rasa takut. Kota ini begitu besar, sedangkan kami hanyalah dua pemuda biasa dari kota kecil. Aku takkan pernah melupakan keramaian, suasana dan hiruk-pikuknya. Sebanyak 200.000 ribu orang bermukim di London... suatu jumlah yang tak pernah terpikirkan sebelumnya sepanjang hidupku!
Kami melewati Sungai Thames dan melihat London Bridge, dengan toko-toko serta rumah-rumah di sekitarnya. Di bawah sungai tertancap Tower of London, di mana pasukan musuh kerajaan pernah memasukinya melalui pintu gerbang sungai, dan kebanyakan dari mereka keluar dengan kepala terpenggal.
Kami menemukan sebuah penginapan kecil di Eastcheap. Tidak terlalu mahal, dan tersedia roti, daging serta bir untuk makan malam kami.
"Well, kita sampai juga!" kata Will. "Akhirnya!"
"Mmm... selanjutnya apa yang akan kita lakukan?"
Ia tertawa. "Segalanya!"
Hari berikutnya kami memulai pekerjaan kami. Tahun-tahun awal kami di London berlangsung baik. Tentu saja kami tak punya banyak uang, oleh sebab itu kami harus bekerja keras. Seorang pemain baru seperti kami hanya mendapatkan 6 shillings per minggu, padahal tidak selalu ada pementasan setiap minggunya. Aku membatalkan keinginan menjadi aktor.
"Mengapa?" tanya Will suatu kali. "Itu pekerjaan yang bagus."
Bulan itu kami bekerja untuk Queen’s Men pada sebuah teater bernama The Curtain di Shoreditch. Will mendapatkan empat peran kecil dalam dua judul drama yang berbeda. Ia bermain sebagai seorang serdadu dan seorang pembunuh dalam sebuah pementasan, dan dalam pementasan yang lain ia berperan sebagai seorang pencuri, juga seorang bangsawan Italia yang jatuh cinta pada Ratu Malam. Ia mencintai peran-perannya.
"Aku tidak pandai sepertimu," jelasku kepadanya suatu waktu. "Aku tak bisa mengingat keseluruhan dialognya. Aku bahkan lupa siapa diriku! Saat aku menjadi bangsawan Italia, yang keluar dari mulutku adalah ucapan si serdadu. Aku tiba di panggung terlalu lambat, atau terlalu cepat. Aku berdiri di posisi yang salah..."

Will tertawa. "Lantas apa yang akan kau lakukan?"
"Kostum," jawabku. "Dan barang-barang properti. Aku telah berbicara dengan John Heminges, dia bilang bahwa mereka membutuhkan seseorang untuk membantu memerpsiapkan kostum dan perlengkapan lainnya."
"Kau akan bekerja dengan baik di situ," komentar Will pelan. "Sekarang aku harus mempersiapkan adegan berkelahi untuk pementasan besok, dan aku harus mati dengan darah berceceran di sekelilingku. Apakah kau bisa mencarikanku semacam darah atau sejenisnya?"
"Aku sudah mendapatkannya!" Aku tersenyum kepadanya. "Darah domba. Aku dapat dari pasar Smithfield pagi ini. Kau bisa mengambilnya sebanyak yang kau mau. Aku akan membuatnya tetap hangat untukmu."
Will mampu bermain bagus. Bukan yang terbaik, tetapi bagus. Seorang aktor harus mampu melakukan apa saja. Ia harus mempelajari dialog dengan seksama, mungkin untuk enam pertunjukan drama yang berbeda di hari yang sama. Ia harus bisa menari, berdansa, bernyanyi, bermain alat musik. Ia juga harus melompat, jatuh, dan berkelahi. Perkelahian harus tampak seperti sungguhan.
John Heminges dari Queen’s Men mengajarkan kami banyak hal. Ia seorang teman yang baik selama bertahun-tahun. Aku juga mempelajari banyak hal, seperti cara membuat sepatu dari kertas warna cokelat, atau membuat ikan, buah dan sepotong daging dari kayu serta kertas berwarna. Atau cara membersihkan topi yang dikenakan para pemain dengan potongan-potongan roti, agar tampak seperti baru kembali.
Siang dan malam Will selalu sibuk. Aku tak tahu kapan ia tidur. Ia bermain dalam beberapa drama, ia juga menulis naskah dramanya sendiri, ia masih juga membaca buku, lalu bertemu dengan penulis lainnya, berkumpul bersama teman-temannya... ia selalu belajar, belajar, dan belajar.
Suatu hari kami minum bir bersama Richard Burbage di Boar’s Head. Burbage adalah seorang aktor di kelompok teater Lord Strange’s Men. Ia sangat akrab dengan Will.
"Kau telah menulis empat naskah, Will," katanya. "Karya yang bagus. Dan semakin hari kau bermain semakin baik. Dan aku semakin hari bermain semakin baik pula. Bekerjalah untuk Lord Strange’s Men di Teater Rose, Bankside. Kau juga bisa menulis naskah drama untuk kami."
Akhirnya kami pergi ke Teater Rose. John Heminges dan Augustine Phillips, seorang aktor berbakat juga, turut serta bersama kami.
Di Rose, kami bekerja lebih giat. Pertunjukan selalu dimulai selepas tengah hari, disebabkan cuaca yang cerah. Pagi hari kami latihan, dan saat makan siang tiba, orang-orang mulai berdatangan untuk segera mendapatkan tempat duduk mereka.

Siapa Wanita Misterius yang disebut Will dalam puisinya?

Sejak tahun 1592, penduduk kota London mulai membicarakan nama William Shakespeare.

Will menulis naskah drama berjudul Richard III untuk dipersembahkan kepada Richard Burbage, yang kemudian meraih sukses besar. Richard III adalah seorang raja yang kejam, seorang pembunuh. Namun penampilan Burbage di panggung, dengan suara lantangnya dan aktingnya yang memuaskan, meninggalkan kesan yang apik pada sang tokoh. Tak lama setelah itu seluruh London meniru penggalan dialognya yang terkenal saat kudanya terbunuh di medan perang :

A horse! A horse! My kingdom for a horse!

Berbagai kalangan datang untuk menyaksikan pertunjukannya, dan akibatnya Will mempunyai banyak teman baru. Suatu hari seusai pementasan, aku melihatnya sedang bercakap-cakap dengan seorang pemuda di luar Teater Rose. Pemuda itu sangat cantik, mirip seorang gadis, mungkin... tapi masih terlihat ketampanannya. Aku menanyakan perihal pemuda itu pada Will.

"Earl of Southampton," jelasnya. "Usianya baru delapan belas, tapi ia mencintai puisi dan drama."

"Bukankah dia kawan Earl of Essex?" Setiap orang tahu siapa Earl of Essex. Pemuda yang tampan, bahkan beberapa orang mengatakan bahwa Ratu Elizabeth jatuh cinta kepadanya.

Pada awalnya, aku tak tahu-menahu tentang hal itu. Sang Ratu sudah berusia 59 tahun, dan beliau seorang wanita yang sangat cerdas.

Kendati pun begitu, rumor itu ternyata benar, bahwa beliau menyukai berada di sekeliling pemuda-pemuda tampan. Earl of Essex salah satunya.

"Ya, ia kawan Earl of Essex. Tapi kukira Essex orang yang berbahaya. Henry membutuhkan teman-teman yang lebih baik darikepadanya."

"Henry, eh?" tanyaku terkejut. "Astaga! Benar kau memanggilnya Henry? Bukan Lord Southampton?"

"Hanya ketika tak ada orang selain kau, aku, dan teman-temanku, tentu." Lantas Will tertawa. "Aku hanya seorang aktor dari Stratford, Toby. Bukan orang penting. Mari kita mampir sebentar ke Boar’s Head sebelum pulang."

Will selalu begitu. Pendiam. Tidak pernah menggembar-gemborkan namanya ke semua orang.

Sesampainya di Boar’s Head, kami bertemu beberapa orang teman dan mengobrol. Kami membicarakan tentang wabah pes yang kembali berjangkit di London.

"Kau sudah dengar berita terakhir?" tanya seorang pria. "Lebih dari 30 orang meninggal setiap minggunya."

"Dan Dewan Kota," sambung yang lain, "hendak menutup seluruh teater. Mereka selalu berbuat begitu setiap kali wabah menyerang kota London. Takkan ada lagi pekerjaan untuk kita, sebagai aktor."

"Tapi para pemain masih bisa melakukan tur, bukan?" tanya Will.

"Ya," jawab pria yang pertama, "tapi kau akan menemui kesulitan. Mengunjungi kota yang berbeda, penginapan yang berbeda, pertunjukan yang berbeda setiap malamnya. Aku lebih memilih untuk tetap tinggal di London."

Wabah tersebut sangat menakutkan, tapi di London lebih buruk lagi. Wabah itu datang dengan cepat laksana api yang membumihanguskan seluruh kota. Jika seseorang di sebuah rumah terkena wabah itu, maka semua pintu akan terkunci rapat, dan sebuah tanda silang besar berwarna merah dicoretkan di pintu-pintu itu. Tak seorang pun sanggup meninggalkan rumah. Kau harus tetap tinggal di dalamnya, berjuang melawannya, ... atau mati. Jika kau kaya, kau dapat meninggalkan London sesegera mungkin. Pada bulan September 1592, Dewan Kota menutup seluruh teater.

"Apakah kita jadi melakukan tur, Will?" tanyaku kepadanya suatu ketika. "Atau kembali ke Stratford? Kita tak bisa terus-terusan tinggal di London."

"Kau saja yang kembali ke Stratford, Toby. Aku akan menginap di rumah Lord Southampton untuk sementara waktu. Dia yang memintaku. Di sana aku bisa menulis, membaca buku-bukunya, dan bertemu dengan beberapa orang teman."
Aku menatapnya. "Ada wanita lain, bukan? Aku dapat melihatnya di matamu selama minggu-minggu terakhir ini."

Will tertawa, namun ia tidak menjawab pertanyaanku.

Baru pada bulan Juni 1594, teater-teater di London kembali dibuka. Will sering mengunjungi Lord Southampton, namun terkadang kami pergi melakukan tur bersama dengan kelompok teater tempat kami bekerja, atau melewatkan waktu senggang di rumah kami di Stratford. Will lebih sering menghabiskan waktunya di Stratford karena suasananya yang tenang, membuatnya lebih dapat berkonsentrasi menulis. Aku tak pernah tahu apa yang dipikirkan Anne terhadap itu semua.

Tahun-tahun berikutnya Will lebih banyak menulis puisi. Salah satunya berjudul Venus and Adonis, yang sangat indah dan panjang, dipersembahkan untuk sahabatnya, Lord Southampton. Selain itu ada juga puis-puisi pendek, disebut soneta. Tapi puisi-puisi itu tidak dibukukan, melainkan hanya untuk dibaca teman-temannya.

Suatu hari setelah kami kembali ke London, aku membaca salah satu sonetanya. Saat itu Will sedang pergi entah ke mana, dan aku sedang berada di penginapan kami di Bishopsgate. Kebanyakan dari isi puisinya bercerita tentang seorang wanita jahat, berambut hitam, bermata hitam. Ia seorang wanita yang dingin dan kejam, lalu menjadi setia dan penyayang, dan kemudian menjadi kejam lagi.

For I have sworn thee fair, and thought thee bright,
Who art as black as hell, as dark as night
[ Ku t’lah bersumpah demi kau sang jelita,
dan kusangka kau sang penggembira,
yang sesuram neraka, sekelam malam ]

Apakah Will menulis tentang dirinya sendiri? Dan siapakah Wanita Misterius ini?

Aku selalu ingin tahu apa yang sedang terjadi, sehingga aku selalu mengamati teman-teman wanitanya.

Dan suatu hari aku melihatnya. Aku baru saja memasuki pintu penginapan saat ia sedang menuruni tangga. Rambutnya hitam, matanya hitam menusuk, di leher serta telinganya tergantung perhiasan dari emas. Ia berjalan melewatiku laksana sebuah kapal yang maju ke medan peperangan. Ia tampak liar, marah, namun sangat, sangat cantik.

"Hu!" kataku. "Itukah Wanita Misteriusnya Will? Will takkan pernah bisa hidup tenang dan damai!"

Wanita itu kuduga berparas Italia. Aku menanyakan hal ini pada John Florio, guru bahasa Italia Lord Southampton. Setelah aku menjelaskan ciri-ciri wanita itu kepadanya, Florio langsung mengenalinya. "Emilia," ujarnya, "Emilia Bassano. Sekarang Emilia Lanier, istri Alphonso Lanier. Sebelumnya dia tinggal bersama si tua bangka Lord Chamberlain. Wanita itu bukan istrinya, kau mengerti ’kan. Tapi mengapa kau ingin mengetahuinya?"

"Jika ia telah menikah, tentunya ia tak punya kekasih gelap bukan?"

Florio tertawa terbahak-bahak. "Kekasih! Kau tak tahu siapa Emilia Lanier! Dia bukan wanita baik-baik, Kawan, bukan wanita baik-baik." Sekarang ia berbisik. "Ia pernah berteman dengan Lord Southampton. Tapi sekarang tidak lagi."

Aku tidak menanyakan tentang Will kepadanya. Mungkin Emilia Lanier adalah Wanita Misteriusnya Will, atau mungkin juga Will berusaha membantu sahabatnya, Lord Southampton. Tak ada seorang pun yang tahu hingga kini.


Wabah telah usai. Kami kembali sibuk. Semakin banyak kelompok teater baru yang bermunculan, dan sekarang Will bekerja untuk Lord Chamberlain’s Men. Lord Chamberlain termasuk orang penting yang dekat dengan ratu, dan kami sering diundang untuk pentas di istana, juga di rumah-rumah para bangsawan Inggris. Kami mempunyai pemain-pemain bagus. Ada Will, Richard Burbage, John Heminges. Ada pula Augustine Phillips, Henry Condell, Thomas Pope. Mereka bekerja selama lebih dari 20 tahun, dan menghasilkan uang yang banyak pula.

Aku bekerja di bagian kostum dan barang-barang properti para pemain Lord Chamberlain’s Men. John Heminges mengomentariku sebagai penyedia properti terbaik di seluruh kota.

Will juga istimewa, karena dialah yang menulis naskah-naskahnya. Naskah-naskah yang luar biasa! Ia tak pernah mengulang naskah yang sama, tidak seperti penulis-penuls lainnya. Ia selalu mencoba sesuatu yang baru, yang berbeda. Dan ia tidak pernah berlama-lama menulis. John Heminges tak pernah dapat memahaminya. "Bagaimana kau bisa menulis secepat itu? Kau tak pernah membuat satu kesalahan atau mengubah satu huruf pun!"

Will juga tidak mengerti sebabnya. "Semuanya ada di kepalaku. Aku pikirkan, lalu tertuang begitu saja di atas kertas."

Tahun 1595, Will menulis sebuah naskah drama percintaan sepasang muda-mudi. Judulnya Romeo and Juliet-Romeo dan Juliet. Sebuah drama yang menyedihkan, karena pasangan itu mati di akhir cerita. Namun para penonton menyukainya. Mereka ingin menyaksikannya lagi dan lagi.

Will berperan sebagai si tua Capulet, ayah Juliet. Seorang aktor muda berperan sebagai Juliet. Saat itu tak ada pemain wanita, para prialah yang memerankan tokoh-tokoh wanita. Tentu saja Will tak pernah menampilkan adegan percintaan sungguhan di atas panggung. Ia mewakilkannya melalui dialog-dialognya yang cantik, indah, menyentuh, sampai kau lupa bahwa wanita-wanita dan gadis-gadis yang berada di atas panggung adalah pria sungguhan.

Pada tahun yang sama kami menampilkan Romeo and Juliet di Istana Richmond. Sang Ratu ingin menyaksikan drama-drama baru saat Natal nanti, dan pada setiap pertunjukan beliau akan membayar kami 10 poundsterling.

Cuaca buruk terjadi di musim panas tahun 1596. Hujan tidak pernah berhenti mengguyur kota London, sehingga wabah pes kembali menyerang. Sepanjang musim itu kami berada di Stratford, meskipun aku sesekali pergi ke Hampshire untuk beberapa minggu, untuk mengurus bisnis domba-domba milik Will.

Will sedang sibuk menulis naskah drama baru berjudul A Midsummer’s Night Dream - Mimpi di Suatu Malam Pertengahan Musim Panas.

Pada bulan Agustus yang lembab aku kembali ke Stratford. Rumah di Henley Street saat itu tampak lengang, membuatku penasaran ingin bertemu Will. Ia ada di ruang kerjanya - ia sebut begitu, namun ia sedang tak mengerjakan sesuatu apapun. Hanya duduk.

"Ada apa, Will? Di mana yang lain?"

"Ke gereja." Mendung menggelayuti wajahnya. Tatapan matanya kosong. Mati.

"Apa yang terjadi? Ada apa?"

Ia menatapku. "Hamnet... ia sakit seminggu yang lalu... dan kemarin... ia meninggal. Ia baru sebelas tahun, Toby, dan ia sudah meninggal. Anak laki-lakiku satu-satunya. Meninggal, Toby. Meninggal." Kedua telapak tangannya menutupi wajahnya.

Apa yang sebaiknya kukatakan pada seorang pria jika hal seperti itu menimpanya? Lalu aku duduk di sampingnya, dan meletakkan tanganku di atas lengannya. Aku tahu Will sangat mencintai anak ini, yang bermata secemerlang koin penny, penuh semangat hidup. Persis seperti ayahnya.

"Kau akan punya anak laki-laki lagi," hiburku memecah keheningan.

"Usia Anne sekarang empat puluh." Suara Will terdengar lelah. "Ia tak pernah hamil lagi sejak kelahiran si kembar."

"Well, kau punya dua anak perempuan yang cantik, Susanna dan Judith. Tak lama lagi mereka akan menikah, dan kau akan punya banyak cucu laki-laki yang tak terkira jumlahnya. Kau lihat saja nanti. Akan ada banyak anak laki-laki yang berlarian naik-turun tangga dan memanggil-manggil nama Kakek Will!"

Ia mencoba tersenyum, walau tampak sedih. Namun tatapannya tidak sekosong barusan. Aku merasa senang, dan menambahkan, "juga masih ada adik-adikmu : Gilbert, Richard, Edmund. Mereka juga akan punya anak laki-laki. Keluarga Shakespeare takkan pernah mati. Pikirkanlah juga keluargamu, Will, pikirkanlah!"

Ia menuruti nasihatku. Ia memang sudah dikenal sebagai seorang penyair dan dramawan, tapi ia juga mempedulikan keluarganya. Setahun berikutnya, 1597, ia membelikan sebuah rumah baru untuk keluarganya. Rumah yang besar dan luas, bernama New Place, terletak tepat di tengah-tengah Stratford. Harganya cukup mahal : 60 poundsterling, sehingga para warga di kota kecil itu mulai memanggil Will ’Tuan Shakespeare’, tidak lagi ’Will Muda Sang Aktor’, atau ’Putra John Shakespeare’. Mereka senang berbisnis dengannya, juga meminjam uang darinya.

Anne menyukai rumah baru itu. Istri Tuan Shakespeare dari New Place menjadi orang penting di Stratford. Namun ia tetap merasa tidak senang dengan pekerjaan Will. "Para aktor orang-orang yang liar dan berbahaya," ucapnya berulangkali pada suaminya. "Aku tak tertarik dengan drama, ataupun teater, dan aku tak mau tahu apapun tentang karya-karyamu."

Bagaimanapun Anne menyukai uangnya, rumah baru mereka, juga tentunya gaun-gaun barunya, serta enam buah kebun apel dan sebuah lahan pertanian yang luas di utara Stratford yang dibeli pada tahun-tahun berikutnya.

Semenjak saat itu Will jarang menyinggung-nyinggung tentang Hamnet. Waktu terus berjalan dan Will semakin sibuk, kendatipun aku tahu ia masih menyimpan duka tentang kepergian anak laki-lakinya jauh di lubuk hatinya.

Setahun hingga dua tahun berikutnya, aku berbincang dengan John Heminges tentang kostum untuk karya baru Will : King John - Raja John. John Heminges juga seorang pencinta keluarga : 14 orang anak! Tak terbayang keributan yang terjadi di rumahnya, teriakan-teriakan anak-anak, canda-tawa mereka...

John membaca naskah drama Will. "Kau lihat bagian yang ini, Toby, Will sedang menulis tentang anak laki-lakinya bukan?"

Grief fills the room up of my absent child
Lies in his bed, walks up and down with me
Puts on his pretty looks, repeats his words...
[ Duka mengisi kamar anakku yang t’lah pergi
Mengisi tempat tidurnya, mengikutiku jua kala ku pergi
Menghiasi wajah rupawannya, terngiang tutur katanya... ]

Richard Burbage mengatakan tentang gaya penulisan Will yang berubah sejak kematian Hamnet. Dalam salah satu karya Will, The Merchant of Venice - Pedagang dari Venesia, ada seorang tokoh bernama Shylock yang suka meminjamkan uang namun berwatak kejam. Semua orang membencinya. Tapi di penghujung cerita, Shylock kehilangan segalanya, sehingga kau harus mengasihaninya, sebab dia hanyalah seorang pria tua yang malang.

Mungkin pendapat Richard ada benarnya. Dan jika ada seseorang yang memahami Will, orang itu adalah Richard Burbage.


Natal 1598, Will mementaskan drama berjudul Henry IV di istana, yang menceritakan tentang putera Sang Raja dan sahabatnya, Sir John Falstaff. Sir John adalah seorang pria tua yang gemuk, pemalas, tukang mabuk, banyak bicara dan tertawa. Namun para penonton di London menyukainya, dan gurauan tentang Falstaff terdengar di mana-mana setiap saat.

Seusai pertunjukan, Ratu ingin berbicara dengan Will.

"Salah apa kita?" bisik John Heminges padaku.

"Kita akan mengetahuinya sebentar lagi."

Kami semua menatap kepergian Will menuju singgasana Sang Ratu. Beliau seorang wanita tua, mengenakan wig merah, dan giginya hitam. Tapi beliau adalah ratu yang hebat. Dan jika Ratu tidak senang...

Suaranya mantap, layaknya suara seorang aktor panggung. Kami dapat mendengar kata-katanya dengan sangat jelas. "Tuan Shakespeare...," sebuah senyuman terlintas di bibirnya. Sehingga kau mengerti mengapa sebabnya semua warga Inggris mencintainya. Beliau bagaikan secercah sinar surya yang terbit pada suatu pagi di musim semi.

"Kau adalah pemain drama terbaik di Inggris. Aku menyukai karya-karyamu, dan aku mengira Sir John Falstaff adalah seorang yang jenaka. Aku mengenal banyak pria Inggris seperti dirinya. Maukah kau menuliskan untukku karya drama yang lain? Aku ingin melihat Sir John jatuh cinta."

Tatkala Will kembali, kami hendak mengerumuninya demi melihat matanya yang bersinar-sinar. "Jangan bicara dulu padaku," jawabnya, "aku harus menulis sebuah naskah lagi."

Hanya dalam selang waktu dua minggu, naskah itu lalu dipentaskan di Istana Richmond, dan dimainkan sebelum kedatangan Ratu pada tanggal 20 Februari. Saat beliau menontonnya, beliau lebih sering tertawa. Judul drama itu adalah The Merry Wives of Windsor - Istri-Istri Periang dari Windsor.

Namun di tahun 1599, beliau jadi jarang tertawa. Saat itu sedang terjadi konflik di Irlandia, sehingga Ratu mengutus Earl of Essex bersama 20.000 orang pasukannya untuk bertempur di sana. Lord Southampton juga turut serta. Seluruh penduduk London turun ke jalan melepas kepergian mereka. Hal ini memberi inspirasi bagi Will saat musim panas tiba, untuk menulis naskah drama menarik bertemakan perang, dan mencantumkan satu-dua kata tentang Irlandia. Judulnya Henry V, seorang Raja Inggris terkenal yang berperang melawan Perancis. Walaupun demikian, Essex bukanlah Henry V. Ia tak tahu tata-cara berperang, dan melarikan diri ke Inggris setahun kemudian. Ratu tak pernah lagi mau bicara kepadanya.

Pada bulan September, Will, Richard Burbage, dan teman-teman yang lain mendirikan Teater Globe, dekat Teater Rose, dengan uang mereka sendiri. Teater itu lebih besar daripada Rose, dan merupakan tempat pertunjukan terbaik di London, yang akan segera menjadi terkenal. Walaupun kelompok pertunjukan yang lain memiliki teater yang bagus dan para pemain yang bagus pula, tapi kami punya Richard Burbage yang sangat terkenal, dan pertunjukan drama terbaik.

Tahun berikutnya, selain Will dan penulis lainnya, muncul seorang penulis baru bernama Ben Jonson. Ia seorang penulis andal. Karya-karyanya sanat bagus, namun orang-orang masih mempercayai Will yang terbaik. Ben tidak dapat mengerti hal ini. Ia selalu berdebat dengan Will tentang cara-cara menulis naskah drama. Ia juga bertengkar dengan yang lainnya. Ia pernah sekali dipenjara karena telah membunuh seorang pria dalam suatu perkelahian. Usianya delapan tahun lebih mdua dari Will. Biarpun begitu, Ben dan Will berteman baik.

Karya Will berikutnya adalah Hamlet, Prince of Denmark - Hamlet, Pangeran Denmark. Kami berenam : aku, Will, Richard Burbage, Henry Condell, John Heminges, Augustine Phillips; berkumpul di Boar’s Head untuk membicarakan tentang rencana pementasannya.

Will meletakkan tumpukan kertas naskahnya ke atas meja. "Well, kalian semua telah membacanya. Bagaimana?"

"Sangat baik," komentar John Heminges. "Tapi terlalu panjang. Kukira pementasannya akan memakan waktu empat jam."

Ada gosip bahwa Will mempunyai anak dari wanita lain. Betulkah?

Kita tak usah mengangkatnya semua ke atas pentas,” jelas Will. “Kita dapat memotongnya menjadi tiga jam, mungkin dua jam setengah.”

Henry Condell mengambil selembar kertas dari tumpukan itu. “Lihat bagian ini, saat Ophelia berbicara tentang Hamlet. Menurutku, Hamlet kedengarannya seperti Earl of Essex. Apakah kau sedang memikirkan Earl of Essex saat menulisnya?”

Will tersenyum. “Mungkin ya,” jawabnya. “Mungkin tidak.”

“Richardkah yang akan berperan sebagai Pangeran Hamlet?” tanya Augustine.

“Tentu saja!” pekik Will. “Aku menulis bagian ini untuknya. Ia adalah seorang bintang. Sedangkan aku akan memerankan hantu ayah Hamlet.” Will menatapku. “Hamlet akan berpakaian serba hitam, Toby, sebaliknya Ophelia serba putih.”

Henry menghabiskan birnya. “Ini cerita yang bagus, Will, dan kita semua mendapatkan peran yang bagus. Tapi apakah para penonton akan menikmatinya? Alur cerita ini sangat lambat, padahal mereka suka alur yang cepat dan menarik. Hamlet tahu bahwa pamannyalah, Claudius, yang telah membunuh Sang Raja, yaitu ayahnya. Tapi Hamlet tak pernah bertindak apa-apa untuk sekian lama. Ia hanya membicarakannya. Dan di akhir cerita, hampir semua tokohnya mati.”

Augustine tidak setuju dengan pendapatnya. “Kau tidak memahaminya, Henry. Cerita ini sungguh menarik, mengesankan. Inti cerita ini ada pada diri Hamlet sendiri. Ia ingin membunuh pamannya, tapi ia tak bisa. Membunuh adalah tindakan yang salah. Namun ia harus membunuhnya, demi ayahnya. Kita semua mengerti bagaimana perasaannya.”

Sepanjang percakapan, Richard Burbage tak berucap sepatah kata pun. Kemudian ia membaca lagi beberapa bagian dari naskah itu. Lantas ia meletakkannya di tangannya dan menatap ke arah kami. Sorot matanya bersinar penuh gairah.

“Adakah di antara kalian yang benar-benar menyimak gaya bahasa yang digunakan dalam dialog ini? Ini adalah karya terbaikmu, Will, bahkan terbaik di antara karya-karyamu yang lain. Dengarkanlah kalimatnya, sajaknya!” Richard berdiri, dan tak lama suaranya yang dahsyat memenuhi ruangan kedai minum itu.

“To be, or not to be, that is the question...”

Kami duduk mendengarkan dalam diam, sementara suara yang indah itu seolah menghidupkan kalimat demi kalimat yang diucapkannya. Will menatapnya, tersenyum. Ia tahu bahwa Richard, seperti dirinya, jatuh hati pada kalimat-kalimat itu.

“... To die, to sleep–
To sleep–perchance to dream. Ay, there’s the rub.
For in that sleep of death what dreams may come
When we have shuffled off this mortal coil
Must give us pause.”

Apa yang dikatakan Richard Burbage tentunya benar, sebab ternyata para penonton menikmati pertunjukan itu. Mereka menyukai peran Burbage sebagai Hamlet, mereka menangisi kematian Ophelia, dan mereka meneriaki si pembunuh, Claudius, agar mati saja. Kukira, ini adalah karya terbesar Will.


Ayah Will meninggal di bulan September 1601. Pada tahun-tahun terakhirnya, John Shakespeare tampak bahagia. Putranya telah menjadi orang besar, dan keluarga Shakespeare menjadi keluarga terpandang di Stratford. Namun tidak banyak jumlah cucu di keluarga itu. Kakak perempuan Will, Joan, telah menikah dan punya seorang anak laki-laki, tapi lain halnya dengan kedua adik laki-lakinya. Mereka sama sekali tak mempunyai anak.

Susanna, anak perempuan tertua Will telah berusia 18 tahun, dan suatu hari Will berkata kepadanya, “Kami harus segera mencarikan suami untukmu, Susanna.”

Tapi Susanna menggeleng. “Oh, aku tak ingin menikah, Ayah, terima kasih.”

Kami hanya tersenyum mendengar jawabannya, sebab telah ada seorang calon menantu yang sering mengunjungi New Place. Namanya John Hall, seorang dokter yang pintar. Will suka kepadanya.

Di London, teater selalu ramai dipenuhi penonton, dan para aktor menjadi orang-orang penting. Teater Globe dan Lord Chamberlain’s Men bermain sangat baik, sehingga para aktornya mendapatkan uang banyak yang kemudian digunakan untuk membeli rumah dan tanah. Walaupun demikian, masih saja ada yang menganggap mereka sebagai orang-orang yang kejam dan berbahaya.

Will dan aku sekarang menempati sebuah penginapan bagus di Silver Street, Cripplegate, bersama keluarga Mountjoy.

Ratu Elizabeth I wafat tanggal 24 Maret 1603 di Richmond. Aku masih ingat dengan persis hari itu. Seluruh teater ditutup –pertunjukan tidak bisa digelar bila Ratu wafat– dan kami semua berkumpul di rumah Henry Condell. Ia dan John Heminges tinggal berdekatan dengan penginapan Will dan aku.

Kami semua merasa khawatir. Raja baru Inggris adalah James I. Sebelumnya beliau adalah Raja Skotlandia, mempersunting Ratu Anne dari Denmark yang masih belia, serta mempunyai tiga orang anak yang masih kecil-kecil. Raja yang bagaimanakah beliau? Akankah beliau menjadi raja yang baik? Dan yang terpenting, apakah beliau menyukai drama?

“Jika tidak,” sahut Henry Condell, “habislah kita. Sudah banyak kaum Puritan yang menduduki kursi Dewan Kota London, dan mereka akan senang sekali apabila dapat menutup semua teater.”

Henry selalu melihat segala sesuatunya dari kemungkinan yang paling buruk.

“Well, ia sendiri telah menulis banyak buku juga,” jelas Will. “Mungkin ia akan tertarik juga pada drama. Kita hanya harus bersabar dan menunggu.”

Ternyata kami tidak usah menunggu terlalu lama. Hari itu tanggal 19 Mei. Aku sedang memperbaiki sebuah pintu di lantai panggung yang biasa digunakan untuk tempat keluarnya pemeran hantu dalam kepulan asap. Tiba-tiba aku mendengar langkah-langkah kaki berlarian menuju panggung, membuatku penasaran ingin melihat apa yang sedang terjadi di atas. Ternyata Will, John Heminges, dan Richard Burbage, dengan wajah berseri-seri menatapku melalui lubang pintu itu.

“Dengar baik-baik, Toby.” Will mengacungkan sgulung kertas di tangannya. “Surat dari Raja James! Mulai hari ini, kita adalah The King’s Men! Kita bekerja untuknya, dan ia ingin menyaksikan semua pertunjukan kita!”

“Kita akan mengenakan jas warna merah yang baru untuk pementasan di istana,” tambah Richard.

“Dan,” sela John, “beliau akan membayar kita 20 poundsterling untuk setiap pementasan. Bagaimana tanggapanmu, Toby?”

Kami semua tertawa lega. “Well, John,” jawabku. “Jika kita menjadi kaya begini, bisakah aku mempunyai pintu baru? Aku tak mungkin lagi memperbaiki yang satu ini, sudah terlalu usang.”

Wabah pes kembali menyerang saat musim panas. Sampai bulan Juli, ribuan orang di London meninggal setiap minggunya. Salah satunya adalah anak laki-laki teman Will, Ben Jonson. Dan jumlah itu mencapai hingga 33.000 orang di akhir tahun. Semua teater ditutup, sehingga The King Men’s memanfaatkannya untuk melakukan tur. Will dan aku melewatkan musim panas di Stratford. Sedangkan Raja sedang berada di Istana Hampton Court, di luar kota London, sehingga aman dari wabah tersebut.

“Raja dan Permaisuri yang baru gemar bersenang-senang, Toby,” kata Will suatu hari. “Mereka adalah keluarga yang berbahagia. Pangeran Henry, yang berusia sembilan tahun, adalah seorang anak laki-laki yang manis sekali. Kakak perempuannya, Elizabeth, sangat cantik. Sedangkan si bungsu Pangeran Charles baru dua tahun.” Sesaat ia terdiam. Kurasa ia sedang memikirkan Hamnet. Lalu ia melanjutkan lagi, “Permaisuri Anne sangat menyukai drama. Beliau juga menggemari musik, dan berdansa. Beliau bahkan mempertontonkan kedua kakinya dalam sebuah pesta dansa!”

“Astaga!” komentarku sangat terkejut. “Hal-hal seperti itu tak pernah terjadi saat Ratu Elizabeth masih hidup.”

“Kita hidup di zaman yang berbeda, Toby. Banyak hal yang akan berubah.”

Tapi, perubahan itu berjalan lamban. The King’s Men meraih sukses di satu tempat ke tempat yang lain. Natal 1604, kami menggelar 22 pertunjukan di istana, dan delapan di antaranya ditulis oleh Will. Tahun 1605, ada 13 pertunjukan, 10 di antaranya adalah karya Will.

Kami selalu menampilkannya terlebih dahulu di Globe, sebelum dipentaskan di istana. Will menulis lebih lambat sekarang, namun masih tetap ada beberapa karya terbaiknya : Othello, Macbeth dan King Lear. Drama yang menyedihkan dan menyuramkan. Wanita, pria dan anak-anak di Teater Globe menangis menyaksikannya. Yang memerankan Raja Lear tentu saja Richard Burbage. Ia memang seorang aktor yang luar biasa!

Di tahun-tahun berikutnya, wabah pes masih saja melanda Inggris. Will dan aku lebih sering berada di Stratford pada musim panas. Seperti biasa, Will menulis, dan aku mengurusi bisnisnya. Susanna menikah dengan dr John Hall di bulan Juni 1607, dan setahun kemudian Will mempunyai seorang cucu bernama Elizabeth.

Musim dingin tahun itu benar-benar dingin, sampai-sampai sungai Thames membeku hingga ke daerah Westminster. Adik Will, Edmund, meninggal pada musim itu juga. Usianya baru 27 tahun. Kemudian disusul oleh ibunya yang meninggal bulan September setahun berikutnya.

Kali ini Will menulis naskah drama dengan tema berbeda. Menurut John Heminges, karya Will sekarang sangat suram, kejam, dan ia seolah-olah hanya menilai sisi gelap seseorang. Tapi itu hanyalah satu hal tentang Will. Ia masih terus mencoba jenis baru puisi dan karya dramanya. Dan tak lama setelah itu, muncul jenis drama yang lain lagi, yang penuh dengan tawa, bunga-bunga musim semi, dan percintaan. Judulnya The Winter’s Tale.

Tatkala berada di London, terutama pada malam hari, kami sering mengunjungi kedai minum Mermaid Tavern di Cheapside. Kedai itu sangat bagus, dengan bir bermutu baik. Semua penulis dan penyair di London pernah mampir ke sana.

Suatu malam di musim dingin tahun 1610, sebagian besar teman-teman Will: para aktor dan penulis, mengunjungi kedai itu. Juga tentunya Ben Jonson. Ia adalah rajanya peminum sepanjang hidupnya. Sekarang ia selalu menghasilkan karya-karya yang sangat bagus, namun sayangnya ia tak pernah punya uang sepeserpun. Will yang selalu membelikannya bir.

Pada awalnya, pembicaraan kami adalah seputar Raja James, yang sekarang lebih tertarik pada kuda daripada drama. Lalu Ben teringat sesuatu akan isi cerita The Winter’s Tale. Sebenarnya ia mengakui, karya-karya Will adalah yang terbaik, tapi ia suka sekali mencari-cari kesalahan sekecil apapun darinya.

“Mengapa kau letakkan Bohemia di pinggir lautan, Will? Bohemia letaknya di tengah-tengah Eropa! Tak ada lautan untuk sepanjang ribuan mil, dasar kau bodoh!”

“Karya-karyamu sungguh brilian, Ben,” sela Richard Burbage. “Namun rasa-rasanya berbau buku pelajaran, bukankah begitu, Will?”

Will tertawa. “Berapa orang yang akan mempedulikan hal itu, Ben? Apa urusan mereka? Mereka menyukainya. Permaisuri mengatakan bahwa permainan drama tersebut sungguh manis, dan Raja...”

“Raja!” bentak Ben keras. Wajahnya tampak sangat marah. Raja James terkadang jatuh tertidur saat menyaksikan pementasan karya Ben sendiri. “Ia sangat dungu! Aku katakan kepadanya, tepat di depan batang hidungnya: Sir, Anda tak memahami puisi!”

Giliran John Heminges yang tertawa. “Oh Tuhan! Betapa kasarnya kau, Ben! Aku tak habis pikir bagaimana kau bisa bertahan hidup selama ini!”

Will tertawa lagi. Lalu ia berkata, “Ben, kau harus berhati-hati. Kau tak ingin Raja menjadi musuhmu. Jangan lupa, beliau membayar kita dua kali lipat daripada Ratu Elizabeth, dan banyak pertunjukan kita yang ditontonnya dua kali.”

“Uang?” bentak Ben lagi. Ia memang sangat suka memperdebatkan apa saja. “Kita ini penyair, aktor, bukan pekerja bisnis! Apa urusannya dengan uang?”

“Dengan itu maka perutmu terisi roti dan daging, serta kau punya jas untuk melindungi punggungmu,” jawab Will, mereguk birnya. “Dan kau juga yang pertama kali mengeluh bila kehabisan uang.”

Ben membanting gelas birnya ke atas meja. “Sekarang dengar baik-baik, Tuan William Shakespeare dari Stratford, dengan rumah besarmu yang nyaman, kuda-kudamu yang mahal, kau menulis dalam naskah Raja Learmu bahwa uang...”

“Oh, berhentilah bertengkar, kalian berdua!” lerai John Heminges. Ia hendak mengatakan sesuatu padaku, tapi Ben berdebat lagi tentang karya Will yang lain.

“Dan bagaimana tentang Antony dan Cleopatra? Tulisan macam apa itu? Kau tak pernah tahu di mana persisnya kau berada! Semenit kau berada di Mesir, semenit berikutnya di Roma, lalu tiba-tiba kau berada di laut di atas sebuah kapal, dan kau balik lagi ke Mesir...”

Richard Burbage tak menyukai suasana yang ricuh itu. “Kau salah lagi, Ben. Kau saja yang tak dapat mengikuti alur cerita. Kau pikir penduduk London bodoh-bodoh, tapi mereka lebih mengerti daripada kau! Dan satu hal...”

Kuputuskan untuk pulang ke penginapan. Ben pria yang baik, namun dia terlalu banyak bicara. Ketika aku meninggalkan kedai itu, ia sedang memesan bir untuk yang kesekian kalinya. Aku tahu mereka akan melewatkan sepanjang malam itu di Mermaid.


"Rambutmu sudah banyak berkurang, Will,” ucapku kepadanya suatu hari.
“Kita berdua semakin bertambah tua, Toby. Kita tidak bisa lari darinya. Tua dan lelah.”

“Jangan berkata seperti itu. Usiamu baru 47. Hidupmu masih panjang, Will. Dan masih ada 20 naskah drama lagi!”

“Tidak,” elaknya pelan. “Tidak, kupikir puisinya sebentar lagi selesai. Aku lelah, Toby. Aku butuh istirahat. Kukira The Tempest akan menjadi karya terakhirku. Aku akan mengucapkan selamat tinggal pada dunia panggung. Sekarang sudah banyak bermunculan penulis baru, masih muda-muda, dan tahu caranya menghibur penonton. Aku tidak semodern dulu.”

Ia tak pernah berkata seperti itu, dan aku benar-benar tak menyukainya. “Hanya ada satu Will Shakespeare. Dan ia akan selalu modern. Sekarang aku harus kembali bekerja. Aku harus pergi membeli kain untuk membuat kostum para pemain The Tempest. Mengapa kau harus mengambil latar di sebuah pulau? Saat kapal tenggelam, semua pemain harus tampil ke panggung dalam keadaan basah. Kau tahu itu butuh sehari untuk mengeringkan kostum-kostum... artinya akan ada dua kostum untuk masing-masing pemain: yang basah dan yang kering!”

Kata-kataku membuatnya ‘hidup’ kembali. “Tidakkah kau baca kata-kata Gonzalo pada babak kedua, Toby? Kau tahu pulau itu ajaib. Jadi pakaian mereka kering terus sepanjang waktu. Jadi mereka hanya butuh satu kostum.”

Aku tertawa, dan ia pun tertawa.

Namun ia benar, ia memang lelah. Aku dapat melihatnya, juga teman-teman yang lain. Tapi kelompok teater selalu menginginkan drama-drama baru untuk dipentaskan. Dan sekarang kami punya dua buah teater. Selain Globe, ada pula Blackfriars. Pertunjukan di Globe dilakukan di ruangan terbuka, jadi harus selalu dipentaskan saat hari cerah. Sedangkan Teater Blackfriars adalah bangunan beratap. Kami dapat mementaskan drama pada malam hari, dan pada berbagai kondisi cuaca. Uang yang dihasilkan pun lebih banyak. Karena masing-masing penonton yang ingin mendapatkan kursi, mereka harus membayar 1 shilling. Di Globe, penonton membayar 1 penny. Dan itupun berdiri.

Pada bulan Februari 1612, adik Will, Gilbert, meninggal dunia di London. Disusul Richard setahun kemudian, pada bulan yang sama. Tingallah Will satu-satunya putra keluarga Shakespeare yang masih hidup.

Will sudah tak lagi bermain dalam drama karyanya. Namun ia masih menyempatkan diri datang ke tempat latihan untuk melihat para aktor yang akan memainkan karyanya.

Musim semi 1613, dalam perjalanan kembali ke Stratford, kami berhenti di Oxford dan bermalam di sebuah penginapan bernama Crown Inn. Will tampak sangat akrab dengan pemilik penginapan itu, John Davenant dan istrinya, Jane. Pagi berikutnya, saat kami hendak pergi, anak laki-laki mereka, William, berlari ke arah Will untuk mengucapkan selamat tinggal. Ia anak yang cerdas, usianya sekitar tujuh tahun, dengan warna rambut dan mata yang sama persis seperti Will. Setelah beberapa saat berbincang dengannya, Will memberinya sekeping penny.

Saat dalam perjalanan, aku berkata pada Will, “Hari terakhir kita berada di Oxford, aku mendengar pembicaraan penduduk di kota. Seseorang mengatakan bahwa kau adalah ayah dari anak laki-laki Jane Davenant.”

Will tertawa. “Well, well, orang-orang boleh berpendapat demikian ‘kan. Apa yang akan mereka katakan selanjutnya?”
“Jane wanita yang cantik.” Sudut mataku mengerling kepadanya. “Benar bukan?”

“Ayolah, Toby. Kau tahu Jane istri yang baik bagi John,” jawabnya tersenyum. “Kau tak sepatutnya mendengar cerita-cerita seperti itu.”

Aku juga tak mempercayainya. Tapi tahun-tahun setelah kematian Will, William Davenant mengatakan kepada orang-orang bahwa ia adalah anak laki-laki Will. Bagaimana dia bisa tahu? Ibunya takkan pernah menceritakannya!

Will bahagia bertemu putri-putrinya dan John Hall, serta si kecil Elizabeth yang baru berusia lima tahun. Ia juga bahagia bertemu Anne, kukira. Ia tak pernah bicara banyak pada istrinya, begitu pula istrinya.

Menurutku, Judith adalah anak perempuan Will yang paling disayanginya. Susanna memang lebih cantik dan lebih pintar, tapi Judith adalah kembaran Hamnet, dan Will masih teringat akan Hamnet. Ia menginginkan seorang cucu laki-laki. Judith berusia 28 tahun sekarang, dan masih melajang. Tapi Will mengatakan tak usah terburu-buru. Judith harus mendapatkan pria yang tepat.

Will bekerja keras sepanjang hidupnya, dan semua itu adalah untuk keluarganya. Aku teringat beberapa baris dari naskah dramanya yang berjudul The Tempest– Prahara, ketika Prospero berbicara kepada putrinya, Miranda.

I have done nothing but in care of thee,
Of thee, my dear one, thee my daughter...
[ Tak satu pun jua t’lah kuperbuat selain untukmu,
untukmu, kasihku satu, untukmu putriku... ]

Will masih menulis sebuah naskah lagi berjudul Henry VII, sebab Putri Elizabeth, anak perempuan Raja, akan menikah. The King’s Men harus melakukan persiapan yang matang untuk menyambut hari istimewa itu.

Saat itu kami berada di London. Pertunjukan pertama dimulai tanggal 29 Juni 1613. Aku masih ingat peristiwa yang nahas itu.

Kejadiannya begitu cepat, sesaat setelah pementasan dimulai. Richard Burbage sedang berdiri di atas panggung saat tiba-tiba dialognya terhenti. Ia menatap ke atas.

“Kebakaran!” teriaknya. “Teater kita terbakar!”

Bangunan dari kayu itu dilalap api begitu cepat. Henry Condell turut berteriak, “Semuanya keluar! Cepat!”

Kerumunan penonton berlarian menuju ke pintu keluar, dan aku segera ke sana untuk membukanya. John Heminges berteriak pada Will, “Buku-buku naskah! Kita harus menyelamatkannya!”

Untungnya tak ada seorang pun yang cedera. Namun Globe telah rata dengan tanah. John Heminges berdiri memandangnya, lantas menangis.

Tapi tragedi itu tak berlangsung lama. Setahun kemudian, Teater Globe yang baru telah berdiri lagi di tempat yang sama. Lebih besar dan lebih bagus. Orang-orang menyebutnya sebagai tempat pertunjukan termegah di Inggris.

Kami sudah tak sesering lagi berada di London. Will bahagia bersama keluarganya di Stratford. Ia meluangkan waktunya untuk berkebun, bermain dengan cucunya, Elizabeth, membaca-baca naskah dramanya lagi, melewatkan hari tuanya bersamaku seraya membicarakan tentang masa tua kami.

Judith akhirnya menikah pada bulan Februari 1616, di usianya yang ke-31. Suaminya bernama Thomas Quiney, yang berusia 26 tahun. Will tampaknya tak senang kepadanya.

“Judith sangat mencintainya. Tapi aku merasa tak yakin. Kukira Judith telah melakukan kesalahan.”

Ia benar. Will memang biasanya benar dalam menganalisa seseorang. Thomas Quiney pria yang pemalas, tukang minum, dan pergi bersama wanita lain.

Namun Will tak sempat mengetahuinya. Pada bulan Maret ia menghadiri sebuah pesta kecil-kecilan di Mermaid Tavern. Ben Jonson sekarang telah menjadi aktor untuk pementasan di istana. Raja memberinya sejumlah uang setiap tahunnya, oleh karena itu Ben ingin mengadakan sebuah pesta untuk teman-temannya.

Kudengar, pesta itu berlangsung cukup meriah. Tapi Will mendadak terserang demam. Ia pulang kembali ke rumahnya di suatu mesim semi yang dingin, saat turun hujan. Ketika ia sampai di New Place, kondisi kesehatannya kian memburuk.

Will meninggal dunia tanggal 23 April 1616. Mayatnya dikuburkan di Holy Trinity Church, yang terletak di tepi sungai Avon. Saat itu cuaca cerah, namun berangin.

Ben Jonson datang langsung dari London menghadiri upacara pemakamannya. Di dalam gereja, ia menangis. Walaupun sering berdebat dengan Will, Will adalah sahabat terbaiknya.

“Toby,” katanya pelan, “Will adalah pria sejati. Aku menyayanginya. Kita takkan pernah lagi melihat seorang penyair seperti dirinya di Inggris.”

Anne Shakespeare meninggal tahun 1623, disusul dua tahun kemudian oleh John Hall, yang berjuang melawan penyakit pes yang dideritanya. Susanna dan Judith masih hidup. Judith memiliki tiga orang putra, namun ketiganya meninggal. Sehingga tak ada lagi anak laki-laki di keluarga Will yang melanjutkan nama besarnya. Elizabeth, putri Susanna, tidak punya anak, dan kini ia telah berusia 41 tahun. Terkadang ia menyempatkan diri untuk menjengukku.

Kaum Puritan memenggal kepala Raja Charles, putra Raja James, bulan Januari yang lalu. Tak ada lagi nyanyian, tarian, pementasan drama.

Namun orang-orang takkan melupakan nama Will Shakespeare.

No comments: