2.20.2009

Till Death Do Us Part

Cinta mungkin adalah hal paling sulit untuk dimengerti, setidaknya untuk saya. Dia memiliki banyak anomali yang entah bagaimana susah untuk dipikir dengan akal sehat dan logika. Bahkan jangankan untuk dipikirkan, kadang cinta justru membuat kita tak lagi mampu berfikir. Seperti akhir-akhir ini, saya sering dikejutkan dengan pemikiran dan tingkah laku teman-teman dekat saya. Bukan karena mereka jadi lebih sering mengembik ato tiba-tiba mereka berfikir untuk ganti kelamin tentu saja. Saya, yang sedang menikmati hidup tanpa berfikir ini, dipaksa mereka untuk sedikit merenung, apakah akan seperti ini juga akhirnya kacamata saya akan berubah dalam memandang cinta? Ato apakah point of view saya suatu saat juga akan ada di tempat mereka dalam memandang sebuah relationship?
Satu teman saya akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan pacarnya yang sudah sekitar 3.5 tahun berjalan. Cukup mengejutkan. Karena dari kami berlima saya pikir pasangan merekalah yang akan melenggang dengan pasti ke taraf serius, lebih dari pacaran. Pasangan yang saling melengkapi klo saya menyebut mereka, cowoknya kalem, ngemong, tenang, santai menghadapi hidup. Sementara teman saya lebih ambisius, sedikit cepat panik dan perfeksionis.
Dalam satu kesempatan saya bertanya kenapa harus mengambil keputusan itu. Jawabannya sedikit membuat saya menyerngitkan dahi, cowoknya belum juga lulus kuliah. Satu sisi, saya sangat bisa memahami itu. Mengingat teman saya sekarang sedang merintis karir di salah satu bank pemerintah terbesar Indonesia. Sangat bisa dipahami. Tapi sisi lain otak kecil saya terpekur, apakah cinta harus dibuktikan dengan selembar ijasah sarjana?
Di satu kesempatan yang berbeda, saya berbincang dengan teman saya yang lain di satu chatroom. Dia bercerita bahwa dia sedang dekat dengan dua orang cowok. Satu teman masa kecil, cinta pertamanya. Saya tahu persis karena sejak pertama saya kenal teman saya ini, dia sering menceritakan tentang cowok ini. Yang satu baru saja dia kenal. Teman saya dihadapkan pada posisi harus memilih yang mana untuk ke tahap serius. Dan dia pilih yang kedua. Ketika saya tanya mengapa, jawabnya sederhana, kemapanan. Saya terdiam seribu bahasa. Dihantam kebingungan harus memilih kata. Karena tak bisa saya pungkiri, engineer di oil company tentunya lebih menjanjikan dari pada karyawan perusahaan yang bahkan tak pernah saya dengar namanya. Tapi haruskan cinta mengikuti di belakang kata kemapannan?
Duh Gusti...kemana saja saya selama ini? Kenapa saya merasa begitu asing dengan pandangan teman-teman saya dalam melihat sebuah hubungan? Tak cukupkah dengan kita bisa menikmati kebersamaan menghabiskan waktu bersama walau tanpa sepatah kata? Tak cukupkah kita bisa tertawa berdua untuk sesuatu yang hanya kita berdua yang mengerti? Tak cukupkah tangan yang bisa kita genggam untuk memberi semangat di saat-saat nadir kita, walau tanpa berlian di tangan satunya. Tak cukupkah punggung untuk meletakkan kepala saat kita tak sanggup lagi memandang dunia?



Saya mungkin hanya seorang pemimpi. Yang memimpikan duduk berdua menikmati petang di teras depan rumah mungil kami. Melihat anak-anak bermain dibawah pohon mangga. Juga senja 25 tahun lagi, setelah keriput menjemput, ketika kami menunggu anak-anak pulang di tempat yang sama. Hanya itu tak lebih tak kurang.
Mungkin pemikiran ini terlalu anak-anak, meskipun saya tidak lagi hidup dalam dunia polos mereka. Tapi bukankah kita juga tak perlu status sosial tertera di jidat kita untuk saling mengaitkan jari kelingking berjanji “through the best and worst of what is to come, until death do us part”? Janji yang harusnya bisa kita tepati hanya dengan dua hal, komitmen dan tanggung jawab. Atau ini yang disebut dengan cinta orang dewasa? Rumit dan bersyarat.
Benak saya melayang ke sebuah fragment 4 tahun yang lalu. Di awal bulan September. Ketika seseorang yang memikat hati saya membuat sebuah pengakuan. Pengakuan atas ketidaksempurnaan pada dirinya. Mendengarnya, yang terlintas di pikiran saya saat itu, "Klo hal itu membuat kamu terbatas menghadapi dunia ini sendiri, maka ijinkan aku ada di samping kamu selamanya seperti ini dan melengkapinya untuk kamu". Entah saya yang naif waktu itu, atau itu yang seharusnya dunia sebut dengan CINTA.
Atau mungkin juga karena kejadian itu terjadi 4 tahun yang lalu. Saya tak ingin berandai-andai, tapi kalau hal itu terjadi sekarang, mungkin saya akan mengubah kalimat saya. Dan biar saya pikirkan kalimat tersebut jika hal itu benar-benar terjadi, bukan sekedar kalau.

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

aku ingin mencintaimu dengan sederhana;
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada *

No comments: