4.10.2009

Restoran Padang 'Pondok Djaja'

Jakarta - Resto Padang yang berusia lebih dari 30 tahun ini masih memelihara kualitas masakannya. Rendang dagingnya berbumbu cokelat pekat, diselimuti minyak merah oranye yang sangat menggiurkan. Belum lagi ayam gorengnya yang krenyes-krenyes, gurih di luar dan sangat lembut di bagian dalam. Kami pun tambo dan tambo lagi...! "Ini restoran Padang apa toko semen ya?", demikian komentar teman saya saat mobil kami diparkir di depan 'Pondok Djaja'. Ya, resto Padang yang sudah ada sejak tahun 1970 an ini memang tak seperti lazimnya resto Padang yang memakai ornamen atap rumah gadang berujung runcing, dan papan nama besar. Bangunannya satu lantai, kusam, dengan papan nama emas tanpa keterangan restoran. Sudah lebih dari 10 tahun saya tak mampir ke resto ini. Pasalnya, daerah Jl. Hayam Wuruk sudah semakin macet dan sulit mencari parkir. Dulu tiap kali membeli barang elektronik atau buah-buahan di kawasan Glodok, resto ini selalu jadi favorit buat melepas rasa lapar. Tampilan luar resto ini memang lusuh, kaca tempat memajang makanan, tidak mengkilap 'kinclong' seperti lazimnya resto Padang tetapi justru kusam seperti sudah berbulan-bulan tak dilap. Sia-sia saja kalau mengintip display makanan karena yang terlihat cuman baskom stainless steel besar berisi makanan. Tak lama kami duduk, makanan pun disajikan di meja. Semuanya ditaruh dalam piring cekung kecil komplet dengan sendok bebek stainless steel. Ada ayam panggang, gulai kikil, gulai daun singkong, gulai otak, balado telur, gulai udang, rendang daging, ayam goreng, gulai kol dan nangka muda, acar mentimun, dan rendang hati ampela. Sekilas tampilan dan jenis makanannya tak jauh berbeda dengan masakan Padang umumnya. Namun, bapak tua pemilik resto yang keturunan Tionghoa membuat sentuhan berbeda pada racikan bumbunya. Seperti oom Benny pemilik resto Padang 'Pagi Sore' di Padang yang tersohor karena rendang daging dan ayam gorengnya. Bukti pengaruh kuliner Cina terasa pada ayam gorengnya. Ayam kampung dipotong 4 bagian, digoreng kering hingga bagian luarnya kecokelatan. Gurih-gurih asin. Saat disobek bagian dalamnya empuk tetapi tetap terasa aroma bawang putihnya. Menggorengnya tentu perlu konsistensi suhu minyak yang pas. Ayam goreng favorit saya ini memang paling enak dimakan pas hangat. Sampai-sampai tulang-tulang lunaknya juga habis tak bersisa! Dua potong rendang daging yang disajikan sedikit berbeda, kecuali balutan bumbu rendang yang tebal, minyak berwarna oranye kemerahan membuat tampilan rendang ini sangat menarik. Rasanya? Dagingnya empuk, lembut, bumbunya tak terlalu asin dan minyak kemerahan (karena proses pemasakan cabai merah dan santan kelapa), tak terlalu menggigit, tetapi justru beraroma minyak kelapa yang wangi! Sambal petai yang berupa belahan petai plus irisan leher ayam yang digoreng kering sangat menggiurkan. Tetapi kami membatalkan makan sambal favorit ini karena masih ada satu rapat dengan klien yang harus kami ikuti. Yang bikin ketagihan adalah ayam panggang. Kalau biasanya ayam panggang Padang dibuat dari ayam berbumbu yang diberi kuah maka versi 'Pondok Djaja', ayamnya justru dibakar dulu baru disiram kuah gulai. Tentu saja sangat gurih dengan aroma bakar yang wangi menggiurkan. Seperti melacak masa lalu, sayapun tak melewatkan mengunyah keripik paru yang tipis kemripik buatan resto ini, persis keripik paru Salatiga. Sayang sekali gulai kepala ikan, gulai cumi dan dendeng baladonya habis padahal baru jam 13.00 siang. Menurut teman saya penggemar gulai otak, gulai otaknya sangat enak, tidak hancur tetap 'kokoh' bentuknya tetapi empuk lembut. Udang goreng yang digulai dengan petaipun sangat gurih, kulit udang masih terekat kuat, pertanda udangnya sangat segar saat digoreng. Pengaruh kuliner Cina makin terbukti saat kami mencicipi gulai tahu, tahu putih dipotong besar, digoreng kering dan disiram kuah santan plus irisan cabai hijau besar. Kuahnya menebarkan rasa dan aroma tauco yang lamat-lamat tetapi justru sangat serasi dengan rasa gurih santan dan semburat pedas cabai hijau. Hampir seluruh masakan Padang di resto ini tidak memakai cabai berlebihan, tetapi dalam takaran yang pas dan menggugah selera. Mereka tidak menyediakan sambal cabai hijau dan lalap tetapi hanya acar mentimun (mentimun kecil dibelah dua) yang renyah segar. Si oom pemilik resto ini meski sudah terlihat makin tua tetapi tetap terjun sendiri mengatur karyawan dan pesanan. Para pelanggan selalu ditegur dan mereka bisa melongok panci-panci aluminium besar berisi aneka gulai yang dijajarkan di meja kecil. Untuk memanaskan masakan juga masih dipakai kompor minyak tanah 'Hocks'. Bon makanpun cukup ditulis dalam sehelai kertas tanpa kop, cap atau keterangan apapun. Tak terasa kami menghabiskan 6 potong ayam goreng, 2 potong rendang, 2 potong ayam panggang, gulai otak, gulai tahu, gulai udang. Pantas saja perut kami terasa berat, meskipun hanya seporsi nasi yang sanggup kami habiskan. Untuk santap siang dengan 3-4 macam lauk plus segelas teh hangat per orang cukup membayar Rp. 30.000,00. Nah, kalau ingin mencicipi masakan Padang dengan sentuhan kuliner Cina, mampir saja ke 'Pondok Djaja'. Hitung-hitung nostalgia sambil melestarikan kuliner kita!

Restoran Padang 'Pondok Djaja'
Jl. Hayam Wuruk (dekat Dunkin Donat)
Jakarta Barat

No comments: