12.22.2010

Adam

  Apakah latar belakang keluarganya yang kacau menyebabkan Adam berperilaku aneh seperti itu?

Mereka langsung terdiam ketika pintu kubuka dari luar. Separuh isi kelas terbirit-birit kembali ke bangkunya. Sementara yang lain berusaha menampilkan sikap manis dengan melipat tangan di atas meja, lalu kembali mengerjakan soal latihan dari buku. Beberapa bangku sudah bergeser dari tempatnya semula.

“Baru sebentar saja Ibu keluar, kalian sudah membuat pasar di sini! Teriakan kalian terdengar sampai ke ruang guru,” tegurku sambil mengedarkan pandang ke penjuru kelas. Seperti biasa kalau ditinggal guru, kelas yang alim berubah menjadi riuh seperti pesta. Dan seperti biasa kalau sudah dimarahi, 36 kepala itu menunduk dalam keheningan. Pura-pura menyesal.

Aku membatalkan niat mengambil kapur ketika lamat-lamat terdengar isak tertahan dari arah tengah. “Sally, kamu kenapa?” kuhampiri bangkunya. Rambutnya acak-acakan, karet kepangnya copot sebelah. Berulangkali kutanya, ia tetap menunduk dan menggeleng.

“Kalau tidak ada apa-apa, kenapa kamu menangis terus? Kevin, coba ceritakan!” aku menoleh memanggil sang ketua kelas. Dengan ragu-ragu dan tetap menunduk Kevin menjawab,”Sally berantem…terus dipukul, Bu.”

“Siapa yang memukul?”

Kali ini hampir semua mulut berbicara kencang, ”Adam, Bu!” dan suara-suara ribut bermunculan lagi. Setengah memaksa kuangkat wajah Sally, dan astaga …. ada garis memanjang di pipinya, seperti digores sesuatu yang tajam. Lengan atas kirinya juga lebam memerah. Dengan sudut mata kulirik Adam yang duduk dua bangku di belakang Sally. Anak itu sedang mengusap-usap lensa kacamata sambil menggigit-gigit bibirnya. Kira-kira apa yang sudah dilakukan Sally, sehingga ia terpancing emosinya dan langsung main hajar? Setahuku Sally masuk dalam kriteria anak manis. Ia juga cukup rajin dan tidak pernah membuat masalah serius, kecuali kebiasaan cerewetnya. Ia seringkali harus ditegur lantaran suka mengobrol di dalam kelas.

“Dan kalian hanya sibuk menyoraki saja, begitu? Tidak berniat sama sekali memisahkan dua teman yang berkelahi? Keterlaluan! Sudah kelas 5 tapi kelakuan kalian sama seperti anak TK. Sudah, sudah… diam! Sekarang kalian lanjutkan mengerjakan soal. Waktu Ibu datang nanti, semua sudah harus mengumpulkan hasilnya di meja Ibu. Dengar ya, jangan bikin ribut lagi! Adam, Sally, Kevin, Marta, ikut Ibu ke kantor!” perintahku itu langsung disambut dengungan penghuni kelas seperti lebah.

Adam memandangku dengan air muka yang seolah berkata bukan aku yang salah. Aku balas menatapnya dan berkata singkat, ”Sekarang!” Tak perlu menunggu lama, Adam keluar dari bangku dan berjalan diiringi cemoohan teman-teman sekelasnya. Sedikitpun tak ada rasa canggung atau takut seperti murid yang lain jika diperintahkan menghadapku di kantor.

Sebagai anak yang sudah tiga bulan ada di kelas baru, kuperhatikan ia bukan saja sulit bersosialisasi, tapi juga sering berlaku aneh. Dalam beberapa hari ia betah bengong di kelas, tak suka bicara. Tapi hari berikutnya, celoteh-celoteh usil sering dilontarkan Adam. Gaya bicara dan cara berjalannya sering diledek karena agak kewanita-wanitaan. Otaknya lambat dalam menerima pelajaran dan jawabannya sering ngawur kalau ditanya. Itu sebabnya murid-muridku tidak suka mengajaknya bermain. “Orangnya aneh, Bu! Bolot, nggak nyambung kalau diajak ngomong. Mana asyik gaul sama dia!” rata-rata itu komentar mereka waktu kutanya.

Di ruang kantor guru, beberapa rekan yang tidak mengajar segera menyingkir dengan penuh pengertian, ketika melihat rombongan kecilku datang.

“Adam lagi?” bisik Ibu Andina di telingaku, ketika kami berpapasan. Aku tersenyum kecil,”Maaf ya, bukan mengusir. Ada insiden kecil di kelas.”

“Biasa, namanya juga anak-anak. Yang sabar lho, Bu Agnes!”

Aku segera menarik empat bangku sambil berharap masalahnya tidak seserius yang aku takutkan. Gawat kalau kejadian hari ini didengar Kepala Sekolah, apalagi ayah Sally masuk dalam jajaran pengurus yayasan.

“Ceritakan pada Ibu selengkapnya, Sally. Apa masalahnya sehingga kamu berkelahi dengan Adam?” cecarku langsung ketika keempat murid itu sudah duduk berjejer. Sally terbata-bata bercerita kalau ia sedang bergurau dengan Marta teman sebangkunya sambil mengerjakan soal latihan, ketika tiba-tiba ia diserang Adam.

“Sally dijambak, ditonjok tangannya. Padahal Sally sudah bilang ampun, tapi dia malah lari, terus ambil penggaris yang ujungnya lancip Bu, terus dia tusuk pipi Sally pakai itu. Adam bilang: Perempuan murahan, perempuan murahan gitu, Bu.…” lalu deraian tangisnya terdengar lagi. Cerita Marta kurang lebih sama dan Kevin tidak bisa memastikan sebab-sebabnya, karena kejadiannya begitu cepat. Aku berpaling kepada Adam yang mulai tampak tidak nyaman ada di ruangan. Pantatnya bergeser-geser menimbulkan suara sedikit berisik.

“Sekarang giliran kamu, Adam. Kenapa kamu pukul Sally?”

Pelan Adam membuka mulutnya sedikit, tapi tidak untuk bicara. Dia hanya menganga seperti orang keheranan. Lima menit kutunggu reaksinya.

“Apa kamu tidak suka Sally ngobrol dengan teman sebangkunya? Ayo Adam, kamu harus menceritakannya kepada Ibu. Kamu sudah memukul dan melukai teman perempuanmu, itu bukan perbuatan yang baik. Kalau Sally punya salah, beritahu kepada Ibu sekarang. Ibu akan bantu untuk menyelesaikannya. Memangnya kamu pikir kamu itu siapa? Main pukul seenaknya. Ini sekolah Adam, tempat murid-murid belajar supaya jadi pintar. Bukan tempat orang yang tidak tahu sopan santun, kamu mengerti? Nah, sekarang jangan diam saja begitu. Cepat ceritakan kepada Ibu, supaya kalian bisa segera kembali ke kelas lagi. Ayo!” desakku menahan amarah yang mulai menyembul. Yang ditanya malah melongo dengan tatapan yang membingungkan, yang aku sendiri tidak yakin apa artinya. Mungkin...mungkin seperti tatapan orang yang merasa sakit.

Berulangkali dibujuk dan dipaksa, ia tetap bertahan dengan sikap diamnya, yang sangat menyebalkan. Ah, sudah satu jam lebih aku bertarik urat leher dan akhirnya luapan kejengkelanku sulit dikontrol lagi. Kusuruh Sally ditemani dua temannya berobat ke ruang UKS sebelum aku berteriak marah kepada Adam.

“Jadi kamu tetap tidak mau cerita juga? Ibu tidak mau jadi orang bodoh yang seharian di sini duduk menanti jawaban, membuang waktu berjam-jam dan menelantarkan teman-temanmu yang ingin belajar! Kalau ini pilihan kamu Adam, baik! Ibu akan laporkan kejadian ini kepada Kepala Sekolah. Hari ini juga orangtuamu akan dipanggil dan kamu tahu apa akibatnya bagi anak yang sering cari keributan di sekolah? Kalau kamu mau cerita, mungkin Ibu bisa membantu supaya kamu tidak dikeluarkan dari sekolah ini. Apa kamu tidak capek gonta-ganti sekolah terus, Adam? Apa tidak kasihan pada Papa dan Mama? Dan apa kamu juga tidak tahu kalau tindakan kamu itu sudah melukai orang lain? Kalau orangtua Sally tidak mau terima, bagaimana? Kamu sudah menyusahkan banyak orang! Ayo bicara, jangan diam saja! Kamu kan bukan patung!” bentakku dengan nada tinggi. Sesaat anak itu bergidik kaget melihatku marah, tapi selanjutnya ya ampun! Dia tetap diam dan kembali memilin ujung celana pendeknya.

Aku memijit keningku yang terus berdenyut dan bolak-balik menghela napas. Hendak kuapakan anak ini? Aku sudah kehilangan akal. Bencana besar terbayang di kepalaku, orangtua Sally akan datang ke sini dan menuntut kepada pihak sekolah. Dan buntutnya bisa diduga, aku akan disalahkan. Sungguh suatu catatan yang merusak riwayat pekerjaanku, karena aku belum lama mengajar di sini. Kalau gara-gara masalah ini aku dipecat bagaimana? Padahal aku senang bisa mengajar di sini.

Aduh, kenapa aku meninggalkan kelas saat mengajar? Pasti mereka tidak mau mendengar alasan sakit perut yang memaksaku tertahan selama 9 menit di kamar kecil. Dan sakit yang datang tiba-tiba itu membuatku tidak sempat menghubungi guru piket, agar mengawasi kelasku. Dan di sekolah ini, itu merupakan pelanggaran besar. Gawat!

Tengah aku berpikir bagaimana cara menjelaskan duduk masalahnya kepada Kepala Sekolah, Adam mencondongkan badan ke depan dan bicara pelan,”Sally itu perempuan murahan, lho. Ibu Agnes tahu nggak?”

Bagai disengat kelabang aku ikut mencondongkan badan,”Apa?”

Adam seperti merasa senang, ia tersenyum. “Perempuan murahan memang harus dipukul, soalnya nggak sayang sama Adam sih… Sally itu seperti Mama.”

Aku menggeleng makin tak mengerti dan kembali membujuknya untuk bercerita lebih rinci, tapi aksi mogok bicara dilakukannya lagi, sampai bel istirahat berbunyi. Akhirnya aku menyerah lalu berkata, “Besok pukul 9 pagi orangtuamu harus bertemu dengan Ibu. Papa dan Mama. Dengar Adam? Pukul 9, papa dan mamamu harus bertemu Ibu di sini,” aku mengulang perintah.

Sepanjang hari itu Adam hampir tidak mengerjakan apa pun tugas pelajaran di kelas. Bolak-balik dia juga harus menghadap guru BP, untuk apalagi kalau bukan untuk menjelaskan alasan kenakalannya hari ini. Kalau Sally bukan anak pengurus yayasan sekolah yang disegani, mungkin cara penanganannya tidak seheboh ini.

Sepuluh menit menjelang bel pulang, Adam masuk ke kelas dengan muka kusut masai. Sebagian kemeja seragamnya tidak berada di tempatnya, berjuntai keluar dari ikat pinggang celana. Saat melintas melewati mejaku, sempat kulihat setetes dua tetes airmata masih menggantung di pelupuk matanya.

Selama tiga bulan Adam hadir di kelas, aku sudah memanggil orangtuanya dua kali dan selalu ayahnya yang datang. Dua kali alasan pemanggilan itu untuk kelakuan Adam yang mengacaukan suasana belajar di kelas. Ulahnya bukan cuma diperagakan saat jam mengajarku saja, tapi beberapa guru lain juga sempat berang dengan sikapnya. Mereka mendefinisikan Adam sebagai anak nakal yang kurang ajar. Monster cilik, kata Pak Ali, guru Matematika.

Pernah sekali waktu ketika Pak Ali sedang bertanya jawab soal, tiba-tiba Adam berteriak-teriak seperti orang kerasukan. Kali lain saat suasana hening karena sedang ulangan, anak itu membuat kaget seisi kelas dengan gebrakan mejanya yang sekuat tenaga. Untung jantung Pak Ali masih kuat.

Hari berikutnya, ia berulah dengan sama sekali tidak sudi membuka mulut untuk bicara sepatah pun. Ditanya guru agar menjawab soal, ia juga tidak mau. Seperti bumi yang kehilangan matahari, mukanya tiba-tiba bisa berubah menjadi mendung kelam. Tapi siapa menyangka, kalau besoknya dia bisa berubah menjadi mahluk yang menyebalkan, karena cerewetnya tak tertandingi. Kalimat yang sama bisa diulang pengucapannya sepuluh kali, membuat kuping gatal.

Yang paling mengganggu, kalau Adam sedang datang bawelnya. Ia suka sekali melontarkan komentar yang tidak perlu di saat guru sedang asyik menerangkan pelajaran. Mungkin menurut dia itu lucu, tapi guru yang bersangkutan jadi marah dibuatnya. Beberapa murid perempuan juga mengeluhkan gangguan yang mereka terima, karena Adam kerap menyentuh pipi atau meremas tangan mereka dengan sengaja. Dia juga senang bermain korek api yang dinyalakan di bawah bangku untuk menakut-nakuti anak perempuan. Rupanya Adam menikmati sekali saat teman-teman perempuannya menjerit ketakutan. Makin menjerit makin besarlah semangat untuk meneruskan kejahilannya.

Pernah satu kali aku harus menerima telepon di kantor guru di saat aku sedang mengajar. Berpikir bahwa hanya meninggalkan kelas sebentar, aku lalai tidak menghubungi guru piket untuk menitipkan kelasku.

Entah diselundupkan dengan cara bagaimana, seseorang melepaskan dua tikus besar yang langsung berkeliaran menghampiri anak-anak. Tentu saja suasana jadi riuh dengan jerit ketakutan. Begitu masuk ke kelas, aku menjerit kuat-kuat melihat tikus berbuntut panjang memanjat kaki mejaku. Di tengah hiruk-pikuk itu baru kusadari seorang murid perempuan menggelosor lemas di bangku depan. Aline pingsan setelah seekor tikus lari berkeliling di bawah mejanya. Setelah mengancam tidak akan mengizinkan seisi kelas pulang sampai subuh, barulah dengan takut-takut ada tangan teracung mengaku sebagai pemilik dua tikus itu: tangan Adam!

Sebagai guru kelasnya, aku benar-benar mengurut dada. Catatan kejelekannya mengalahkan rekor yang sudah-sudah. Padahal baru tiga bulan, bagaimana kalau setahun? Bisa kena darah tinggi semua guru di sekolah ini.

Lewat pembicaraan dengan ayahnya, kuharap aku bisa mengorek tentang latar belakang Adam, karena kelakuannya yang sangat minta ampun itu. Ternyata ia sudah dua kali tinggal kelas dan gonta-ganti sekolah. Yang tertulis di buku laporan sekolahnya terdahulu, hanyalah bahwa Adam sulit mengikuti pelajaran di sekolah yang bersangkutan.

Aku memang bukan lulusan fakultas psikologi, tapi dugaanku kuat kalau Adam mengalami gangguan mental. Di usianya yang ke-13, Adam tidak menunjukkan kemajuan berpikir seperti pra remaja umumnya. Adam tetap berpola pikir seperti anak kelas 5 yang berumur 11 tahun.

Tapi dalam pertemuan kami, sang ayah kukuh berkeyakinan Adam hanya bermasalah dalam hal belajar dan kurang suka bergaul. Berulang kali aku membeberkan ulah Adam yang sangat tidak bisa ditolerir, tapi berulang kali juga ayahnya tidak bergeming. “Mungkin itu salah satu cara Adam agar bisa diterima teman-temannya di sini, Bu. Saya pikir, kenakalannya masih dalam taraf wajar kan? Kalau dia berniat untuk membakar sekolah atau mencabuli gurunya, nah itu baru serius! Beri kesempatan lagi saja, Bu Agnes. Saya jamin, ini tidak berlangsung lama. Saya akan mengajarnya bersikap lebih baik,” sanggahnya pasti.

Dengan terpaksa aku hanya bisa mengangguk-angguk, enggan membantah lagi. Percuma bicara dengan orangtua yang tidak terbuka seperti dia. Sejujurnya aku berharap apa yang dilakukan Adam memang cuma kenakalan biasa. Tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih mengganggu, yang berbeda dalam dirinya dibandingkan murid-muridku yang lain.

Kadang aku melihatnya sebagai anak yang kuat sekali rasa mindernya dan begitu menarik diri, seperti kura-kura yang terus menyimpan kepala dalam rumahnya. Tapi kadang juga Adam tampil sebagai anak yang terlalu ingin cari perhatian. Belum lagi keanehan dengan cara bicara dan gerak jalannya yang kemayu, padahal Adam bertubuh besar. Sangat besar untuk ukuran anak seumurnya malah. Tingginya saja hampir 168 cm, melebihi tinggi ibu gurunya. Insiden di kelas pagi ini membuatku makin pasti dan berani bertaruh, ada sesuatu yang ganjil dalam diri Adam. Sayangnya aku belum tahu, apa itu.

Menjelang sore setelah mengajar untuk jam terakhirku di kelas siang, aku memberanikan diri menghadap Kepala Sekolah. Seperti sudah kuduga, Pak Suryo bereaksi sangat berang.

“Anda tahu anak itu bermasalah, tapi kenapa Anda meninggalkan kelas seenaknya? Tidak ingat kejadian bulan lalu?” gelegar suaranya sangat menyalahkanku.

“Saya sudah jelaskan berkali-kali, Pak Suryo, dan sudah pula minta maaf. Sakit perut itu datangnya mendadak, dan sangat membuat konsentrasi mengajar saya buyar. Akibatnya saya jadi alpa menghubungi guru piket….tapi cerita ini benar dan tidak saya karang-karang. Bukan maksud saya untuk mengelak dari tanggungjawab, Pak Suryo. Bagaimana lagi saya harus menjelaskannya?” keringat dingin terus membasahi telapak tanganku. Aku berdoa dalam hati beliau dapat mengerti alasanku kali ini.

“Anda tahu Sally itu anak kesayangan Pak Handoko? Kalau lukanya serius sehingga membutuhkan jahitan, bagaimana coba? Apa tidak ribut orangtuanya?” Pak Suryo mengepalkan tangan sambil menggeram. Aku menunduk merasa bersalah. Tapi, aku kan bukan paranormal yang sanggup mengetahui kejadian itu sebelumnya lalu mencegah agar tidak terjadi?

“Saya…saya bersedia menerima sanksi, Pak. Ini memang salah saya,” aku berusaha menegarkan suara, padahal dalam hati aku merintih. Tuhan, kenapa anak bandel itu tidak ditaruh di kelas Ibu Mala atau kelas Pak Johanes saja? Mereka guru yang sudah senior, pasti bisa mengatasi tingkah Adam. Kenapa ia harus masuk ke kelasku, Tuhan? Kenapa ia harus menciptakan banyak masalah bagiku? Dan sekarang aku duduk seperti pesakitan di depan atasanku, kena teguran dan terancam oleh sanksi.

Suara Mbak Ida di interkom memotong pembicaraan kami. “Pak Handoko di saluran 3, Pak.” Jantungku serasa berhenti berdegup. Pak Suryo menghela napas, ”Kita lanjutkan nanti,” katanya sambil memberi tanda agar aku keluar ruangan.

Dengan gontai aku menyusuri lorong-lorong kelas. Mungkin Pak Suryo sekarang sedang dicaci-maki lewat telepon. Beliau dicaci maki untuk sesuatu yang bukan kesalahannya. Kalau memang aku harus mundur dari pekerjaanku sekarang, apa boleh buat. Kejadian tadi pagi tak bisa diulang lagi.

Hampir pukul enam sore dan aku masih bertahan di kelas yang sudah sepi, menunggu Pak Suryo memanggilku lagi. Sambil menghabiskan waktu aku merapikan isi kelas, mengosongkan lemari dari benda-benda tak terpakai. Aku segera menarik keranjang sampah yang hanya berisi sedikit kertas di dasarnya. Mataku tertumbuk pada amplop biru muda bergambarkan dua hati. Pinggirannya dihiasi ornamen pita dan bunga mawar. Sayangnya remasan tangan sudah membuat amplop manis itu menjadi kusut masai.

 
Sekadar iseng mau tahu, kulongok isinya. Kertas surat rupanya sudah disobek-sobek menjadi beberapa potong, dan karena iseng juga aku menyusunnya lagi seperti menyusun puzzle. Walaupun surat itu tak mencantumkan nama penulis, tapi aku hafal tulisan tangannya. Surat dari Adam untuk Sally.

Ketika melihat sekretaris Pak Suryo melintas, aku langsung mengejarnya,”Mbak Ida! Pak Suryo masih sibuk nggak?”

“Sudah pulang dari pukul 5 tadi. Memangnya ada janji ketemu?”

“Nggak sih, cuma urusan yang tadi belum beres.”

“Ehm, masalah anak itu ya, siapa namanya? Alan?”

“Adam,” ralatku.

“Sudahlah Bu Agnes, besok lagi saja. Sekarang mendingan pulang, istirahat supaya pikiran jadi jernih lagi. Mau pulang sama-sama? Kebetulan aku bawa mobil,” ajak Mbak Ida yang langsung kusetujui.

Betul juga, lebih baik pulang. Mandi air hangat sambil berendam. Berpikir dengan kepala suntuk begini tidak ada gunanya sama sekali. Besok apa pun yang terjadi, terjadilah.

Mandi air hangat memang manjur untuk menyegarkan pikiran. Ditemani segelas susu coklat, aku menghabiskan waktu di ranjang sambil memejamkan mata. Pikiranku menerawang. Apakah Adam itu menyebalkan? Jawabnya, ya. Apakah dia selalu membuat kekacauan? Ya. Setiap hari? Ehm…tidak juga. Ada hari-hari tertentu anak itu berlaku seperti pertapa, tidak suka diganggu. Apakah dia dibenci semua orang? Ya, termasuk aku. Gara-gara anak itu, karirku terancam. Apakah dia tidak memiliki sesuatu yang bisa membuat orang menyayanginya? Ehm, rasanya tidak ada. Semua dalam diri anak itu memang menyebalkan. Pantas saja, sering tidak naik kelas dan dikeluarkan dari sekolah. Mana ada orang yang tahan dekat-dekat dengannya? Aku menguap lalu memutuskan untuk mencoba tidur walaupun mataku masih betah terbuka.

Ketika subuh aku terbangun, dan mengingat-ingat apa yang kualami semalam. Mimpi atau bukan, ya? Aku seolah berada di ruang persidangan dengan Adam sebagai tertuduh utama. Pak Suryo memakai jubah hakim dan memegang palu. Sementara aku berdiri kebingungan, harus duduk di mana. Di ruangan itu ada dua meja yang kosong. Yang satu bertuliskan PEMBELA, dan yang satu bertuliskan SAKSI. Anehnya, di meja jaksa berkumpul banyak sekali orang.

Persidangan dimulai dengan cepat. Banyak orang berebut menudingkan jari ke arah tertuduh supaya dipenjara saja. Tertuduh hanya diam, tak bisa membela diri. Sementara para jaksa membacakan tuntutannya, ia hanya menangis. Airmatanya makin lama makin deras, membasahi lantai dan akhirnya memenuhi ruang sidang. Kasihan sekali. Kulihat di sekeliling, tak seorang pun yang membawa saputangan untuk diberikan pada tertuduh agar tak lagi menangis.

Tiba-tiba entah dari mana datangnya, tangan kananku menggenggam sehelai saputangan merah. Dan entah bagaimana juga, tahu-tahu aku menghampiri tertuduh, mengelap mukanya yang basah. Ajaib, airmatanya berhenti. Lantai tidak lagi basah, dan ruangan jadi kering. Ketika palu hakim akan diketuk, suara jam weker mengagetkanku. Saat itulah aku terbangun.

Sambil mandi dan menyiapkan bahan pelajaran untuk hari ini, aku terus sibuk mengartikan mimpi barusan. Kebetulankah? Atau bermakna khusus? Mendadak aku teringat nasib pekerjaanku yang di ujung tanduk, dan hatiku pun menciut.

Hari ini dua muridku tidak masuk kelas, Sally dan Adam. Perasaan bersalah yang makin besar membuatku tidak tenang mengajar. Ditambah lagi dengan kemungkinan aku mendapat sanksi keras karena peristiwa kemarin. Kalau hanya teguran atau peringatan, itu sih masih lebih baik. Tapi kalau aku sampai dipecat?

Setelah anak-anak kelas pagi pulang, aku langsung menghambur ke ruangan Kepala Sekolah dan menemui sekretaris Pak Suryo. “Mbak Ida, Bapak ada?”

“Lagi rapat di Kanwil,” jawab yang ditanya sambil terus mengetik di komputer.

“Pulangnya jam berapa?”

“Ehm..sampai sore rapatnya. Mungkin tidak balik ke sekolah.”

“Oh, terimakasih ya.”

Esok harinya jawaban yang sama kuterima lagi.

“Rapatnya berapa hari sih?”

“Sampai Jumat ini.”

“Pak Suryo tidak menitipkan apa-apa buat saya, Mbak? Surat misalnya?”

“Surat? Nggak tuh..kalau memang penting sekali, telepon saja ke HP.”

“Mbak yakin, tidak ada surat sama sekali yang harus disampaikan kepada saya?”

“Tidak ada, Sayang….”

Tanpa sadar aku menghembuskan napas lega. Tapi kelegaan itu umurnya tak lama. Hari Sabtu, tiga hari setelah kejadian itu, aku dipanggil menghadap Kepala Sekolah. Dalam ruangan aku melihat Pak Suryo sedang menimang-nimang sepucuk surat. Sekuat tenaga aku menahan perasaan.

Jadi, memang ini akhirnya…. Susah payah aku melamar kerja di sini, bukan kondite baik yang aku dapatkan malah surat pemecatan karena sakit perut yang konyol. Tak bisa kubayangkan kata-kata yang tertulis di dalamnya. x

“Menyambung pembicaraan kita tempo hari, tindakan apa yang sudah Anda ambil sehubungan dengan kejadian kemarin?”

“Ehm…saya sudah menghubungi bagian konseling dan guru BP untuk berdiskusi tentang masalah ini, tapi belum tuntas. Saya juga sudah memerintahkan orangtua Adam untuk datang, tapi sampai hari ini mereka tidak menemui saya. Adam sendiri tidak masuk sekolah sejak peristiwa itu, Pak. Saya sudah mencoba menghubungi lewat telepon rumahnya, tapi tidak diangkat.”

“Kalau begitu, langsung saja Anda berikan surat panggilan terakhir ini untuk orangtua Adam, Bu Agnes. Anda antarkan sendiri saja ke rumahnya,” Pak Suryo mengangsurkan surat yang sedari tadi ditimang-timangnya.

“Hah? Jadi…ini….ini surat untuk Adam?” ekspresi kekagetanku tak bisa ditutupi.

“Memang Anda pikir surat apa?” Pak Suryo balik bertanya. Syukur Tuhan, syukur! Aku pikir surat yang diberikannya adalah surat ‘kematianku’.

“Apakah dengan surat ini juga berarti Adam sudah dikeluarkan, Pak?”

“Rapat guru Senin depan akan memutuskan hal itu. Tapi Anda tidak perlu memusingkannya, Anda sendiri sudah sangat jengkel dengan kelakuannya kan?”

Ya, aku memang jengkel dengan kelakuan Adam. Amat sangat jengkel. Kadang kalau emosiku sudah terlalu mendidih, ingin rasanya melumat kepala anak itu dan melihat apa saja isi otaknya. Tapi untuk mengeluarkannya dari sekolah, rasanya aku tidak tega. Kasihan, mungkin itu alasan yang lebih tepat.

Aku merapikan rambut sebelum memencet bel pintu. Dari dalam rumah yang tidak terlalu besar itu terdengar langkah kaki yang diseret. Seraut wajah wanita tua menyembul sedikit dari balik kaca.

”Cari siapa?” tanyanya judes.

“Saya Agnes, guru sekolah Adam. Saya ingin bertemu orangtuanya karena masalah yang Adam alami di sekolah. Saya sudah meminta mereka datang ke sekolah kemarin, tapi orangtua Adam tidak datang. Maaf, Ibu ini…”

“Neneknya,” jawab wanita itu tanpa berniat membuka pintu lebih lebar, apalagi mempersilakan masuk.

“Maaf, kita bisa bicara di dalam? Saya rasa Adam mempunyai masalah yang cukup membutuhkan bantuan,” aku memasang senyum sedikit memohon, berlagak tidak tahu mukanya sudah seasam cuka. Setelah yakin aku tidak bertampang mirip penjual barang keliling, wanita tua itu mau juga melebarkan pintu.

Begitu masuk, suasana sumpek langsung terasa. Rumah itu penuh sesak dengan barang yang ditumpuk begitu saja. Aku mencari-cari potret keluarga di tembok, tapi tak kutemukan.

“Ada perlu apa?” tanya nenek Adam setelah kami duduk berhadapan. Rupanya dia penganut paham tembak langsung.

“Bisa saya bertemu dengan orangtua Adam sekarang?”

“Papanya sedang pergi. Kerja.”

“Oh, mamanya saja kalau begitu.”

“Dia tidak di sini!” nenek Adam mendengus dengan mulut mencibir. Aku mengerutkan kening menunggu penjelasan lebih lanjut.

“Di dapur banyak pekerjaan, jadi cepat saja Ibu Guru bilang ada perlu apa datang ke sini. Kalau cuma ingin bertemu orangtua Adam, kan sudah saya bilang tidak ada!” cetusnya tanpa tedeng aling-aling.

Aku meremas ujung amplop surat yang terasa menonjol di tas kecilku, dan siap melaporkan tentang berbagai kenakalan yang dilakukan cucunya di sekolah. Sekaligus membawa hadiah surat panggilan yang tidak main-main.

“Saya…begini, saya ingin berkenalan lebih dekat dengan keluarga Adam. Dia murid baru di kelas saya, jadi saya pikir saya ingin mengenalnya lebih dekat. Saya juga sering mengunjungi murid-murid yang lain, kebetulan hari ini giliran Adam. Mama Adam sedang ke mana?” aku sedikit berputar-putar mencari celah.

“Buat apa aku tahu ke mana perginya wanita itu! Dia sudah tidak tinggal di sini lagi!” jawabnya ketus.

“Wah, bagaimana ya? Saya harus menyampaikan surat panggilan dari sekolah untuk orangtua Adam. Mungkin Nenek tahu di mana saya bisa menghubunginya? Kok Adam tidak bilang ya kalau punya rumah baru,” kataku dengan nada bingung.

“Ibu Guru ini bagaimana sih? Aku bilang tidak tahu ya tidak tahu! Sudah lama dia tidak tinggal di sini, kabur dengan laki-laki lain. Caci maki pun meluncur dari mulut wanita tua itu. Kini aku baru tahu darimana Adam belajar makian seperti itu. Belum sempat aku bertanya lagi, nenek Adam menyambung lagi.

“Salah Anton juga, pilih istri model begitu! Dari dulu aku sudah bilang, cari penyakit kalau dapat istri yang tukang dandan kayak dia. Aku sudah bosan memperingatkan bakal terjadi apa-apa, nah kenyataannya begini kan? Perempuan itu minggat setelah tertangkap basah nyeleweng di rumah ini,” muka masam di depanku berubah bersemangat waktu menceritakan keburukan menantunya. Gayanya bercerita seperti tukang gosip yang membawa berita hangat.

“Jadi sekarang mereka bercerai?”

“Tidak tahulah apa namanya. Bodohnya Anton terlalu cinta pada Linda, sudah dikhianati tetap saja tidak mau pisah! Mungkin Anton sudah diguna-guna…Sebulan sekali wanita brengsek itu datang ke sini. Bukan untuk ketemu anak-anak, tapi cuma mengambil jatah uang dari Anton.”

“Lalu bagaimana dengan anak-anak? Pasti mereka kehilangan sekali….”

“Ah, kehilangan bagaimana? Ibu Guru tahu, Adam dan adiknya sejak lahir tidak pernah diurus. Anak menangis minta susu, dia malah pasang musik kencang-kencang di kuping. Ganti popok saja dia tidak mau. Perempuan itu cuma pintar mengurus badan, rambut, bedak, dan kuku. Cuma itu saja bisanya! Oh, ada lagi kebisaannya, main bentak dan main pukul. Kalau ditegur pelan-pelan, segala macam benda pasti dibanting sampai berantakan. Adat perempuan itu memang luar biasa jeleknya! Kasihan Adam, padahal ia sayang sekali pada mamanya. Pernah sekali waktu ia menabung untuk membelikan cat kuku untuk mamanya, tapi boro-boro dipakai, dilihat saja tidak,” lagi-lagi Nenek mencibir. Kelihatannya ia ingin semua orang tahu keburukan apa saja yang dibuat menantunya.

“Ah, tadi Ibu Guru bilang kalau Adam punya masalah. Kenapa lagi dia di sekolah? Berantem ya?”

“Begitulah. Seorang teman perempuan dipukulnya tapi Adam tidak mau cerita kenapa ia berbuat begitu.”

“Maklumi saja, Bu Guru. Namanya saja anak-anak, wajar kan kalau nakal sedikit, berantem sedikit? Adam memang kurang mendapat perhatian, tapi bagaimana lagi? Papanya tiap hari harus kerja, mamanya minggat, dan aku harus mengurus toko di rumahku sendiri. Asalkan mereka bisa sekolah di tempat yang bagus, makan enak dan punya mainan banyak, rasanya itu sudah cukup bagus,” nenek Adam menatap mataku dalam-dalam, seolah bilang bahwa aku tak berhak ikut campur dalam urusan keluarganya.

“Nenek tahu kenapa Adam sampai dikeluarkan dari beberapa sekolah?”

“Hah, memang sekolahnya saja yang brengsek! Mereka bilang Adam terlalu bodoh, terlalu nakal. Mereka bilang, seharusnya Adam masuk ke SLB. Penghinaan itu namanya! Mereka tidak lihat kalau di rumah Adam itu manis seperti bayi. Betul, lho! Sekolah Ibu tidak seperti itu kan?” tanyanya dengan nada sedikit mengancam.

“Oh tidak….Ehm, maaf Nek, tapi kalau saya boleh tahu… apakah Adam tahu tentang penyelewengan mamanya?”

“Oh tentu! Aku yang menceritakannya. Malah Adam sendiri pernah menangkap basah perbuatan mamanya, lima tahun yang lalu. Waktu itu kami pergi ke Bandung, ada famili yang menikah. Dan Anton mempercepat kepulangan sehari karena kuatir dengan Linda yang sedang mengandung tua, adik Adam. Begitu sampai di rumah…” Nenek Adam berhenti sebentar lalu meneruskan dengan kedua tangan saling meremas, ”Adam yang pertama turun dari mobil. Dia lari masuk ke dalam sambil membawa dua kotak kue oleh-oleh untuk mamanya. Tapi begitu Adam membuka pintu kamar, ia melihat adegan yang semestinya tidak boleh ia lihat. Laki-laki itu ada di sana, bersama dengan mamanya. Ia tidak menjerit atau berteriak, tapi ia hanya memandang mereka lalu keluar sambil meremas kue di tangannya, satu per satu hingga remuk semuanya. Kue itu berceceran sampai ke ruang ini.

Adam juga melihat ketika papanya menghajar laki-laki itu sampai babak belur, tapi ia hanya diam sambil duduk bersandar di tembok. Waktu itu suasananya kacau sekali, tidak ada yang ingat kalau anak itu tidak boleh menonton kesadisan yang tidak patut. Setelah dihajar, mereka lantas kabur dan hidup serumah sampai hari ini. Sudah aku bilang supaya menceraikan perempuan itu, tapi Anton tetap tidak mau. Kasihan anak-anak, katanya. Kasihan apa? Setiap hari dia ada di rumah ini juga tidak pernah menyentuh anak-anak, kok.”

“Apakah Adam menunjukkan perubahan sikap setelah kejadian itu, Nek?”

Dengan pasti Nenek menggeleng. “Tidak. Hari-hari berikutnya sampai sekarang ini, ia tetap bersikap biasa. Ya kalau nakal-nakal sedikit wajarlah, namanya juga anak-anak. Sebenarnya dia tidak bodoh, tapi malas belajarnya itu lho yang minta ampun! Aku juga heran kenapa sampai tiga kali tidak naik kelas, dipanggilkan guru les sudah, tapi ya tetap saja begitu. Jangan-jangan memang gurunya yang tidak becus mengajar… Bukan begitu, Bu Guru?” cemoohnya.

Aku berusaha mencerna kembali apa yang barusan aku dengar. Mengejutkan sekaligus membingungkan. Apakah latar belakang keluarga yang kacau menyebabkan Adam berperilaku aneh seperti itu?

Suara pintu terbuka membuat kami berpaling. Adam berdiri sambil mengucek mata, baru bangun tidur tampaknya. “Hei Adam, sini! Ini ada Ibu Guru, katanya mau jenguk kamu. Ayo sini!” Nenek melambaikan tangan menyuruh Adam mendekat. Aku mendengar ia dipanggil berkali-kali dengan ucapan kasar, dan sang Nenek hilang sabar. Dengan bengis ia menyeret Adam ke luar, memaksanya bertemu denganku.

“Itu Ibu Guru, mau ketemu sama kamu! Duduk!” bentaknya lalu menghilang ke dalam. Adam duduk dengan pantat hanya setengah menempel di sofa hijau yang sudah pudar warnanya. Matanya menatap curiga.

Mata Adam langsung berbinar ketika tahu bahwa ia tidak akan dikeluarkan dari sekolah.

Sudah tiga hari kamu tidak masuk sekolah. Ke mana saja, Adam?” tanyaku dengan suara pelan. Adam mengangkat bahu, tampangnya kusam.

“Kalau memang sakit atau ada keperluan, semestinya kamu mengirim surat pemberitahuan ke sekolah. Kamu tahu peraturannya, ‘kan?”

“Buat apa? Adam kan sudah dikeluarkan. Sama seperti sekolah yang dulu-dulu,” jawaban yang lugas itu membuatku tercekat.

“Siapa bilang? Kamu tetap murid Ibu, tidak ada yang mengeluarkan kamu.”

“Bohong!”

“Tidak, Ibu tidak bohong. Hari Senin kamu harus masuk sekolah lagi, ya? Eh, pipi kamu kenapa? Biru begitu,” refleks aku mengulurkan tangan hendak memeriksa. Cepat Adam mengelak,” Cuma kebentur pintu.”

“Nanti diobati, ya? Eh Adam, Ibu Agnes haus, nih. Boleh minta air putih sedikit?” aku berkelit mengalihkan pembicaraan. Tak perlu diulang dua kali, ia masuk ke dalam dan keluar membawa segelas besar air putih.

“Makan es krim lebih enak daripada minum air putih, Bu!” ujarnya tiba-tiba.

“Oh ya?”

“Ya! Warung depan jualan es krim, tuh…,” kata Adam lagi sambil menunjuk.

“Kamu mau? Yuk, kita pergi beli es krim!” aku langsung menyambar kesempatan. Siapa tahu aku bisa lebih banyak mengorek cerita dari mulutnya kalau ditemani beberapa bungkus es krim. Bak gayung bersambut, tawaran itu lantas membuat mata Adam bergairah.

“Boleh ambil dua, Bu?” tanyanya ketika kami sampai di depan pendingin es krim yang ada di warung, tak jauh dari rumahnya. Sambil berjalan kaki meninggalkan warung, Adam terus asyik menjilati makanan favoritnya.

“Apa saja yang kamu lakukan selama tidak masuk sekolah, Adam?”

“Main, makan, nonton teve, naik sepeda.”

“Dan kamu tidak memberi tahu orang tuamu kalau Ibu ingin bertemu?”

“Ah, bosan! Paling juga buntutnya Adam keluar dari sekolah. Jadi, buat apa Adam kasih tahu Papa.”

“Adam suka sekolah yang sekarang?”

“Suka.”

“Kenapa?”

“Soalnya ada Sally….” Kata-kata itu terlontar keluar dan cukup jelas terdengar di telingaku. Tapi, buru-buru Adam meralat, ”Bukan… maksudnya eh… banyak teman baru, jadi Adam suka.”

“Kalau Adam suka punya banyak teman, terus kenapa Adam pukul Sally kemarin? Kasihan kan, pipinya diplester.”

“Salah sendiri! Siapa suruh dia pegang-pegang tangan Andrew, terus bisik-bisik,” jawabnya terdengar sewot. Dengan cepat ia menghabiskan sisa es krimnya.

“Memangnya kenapa?” kejarku lagi.

“Itu namanya perempuan nggak baik, pegang-pegangan sama laki-laki. Papa yang bilang begitu. Nenek juga,” jawabnya lugas. “Lagian, Sally pakai bilang-bilang sama Marta tentang Adam.”

“Apa katanya?”

“Dia bilang Adam banci, terus dia ketawa-ketawa sambil lihat-lihat ke belakang. Adam kan tahu kalau dia sedang ngomongin.…”

“Terus kamu marah, dan memukul Sally? Juga melukai pipinya? Itu bukan cara marah yang baik, Adam. Dengan teman kita harus saling sayang, apalagi Sally itu kan perempuan. Kalau dia jadi cacat dan bekas lukanya tidak bisa hilang, bagaimana? Kamu kan bisa tanya baik-baik kenapa Sally menertawakanmu. Sekarang akibat peristiwa ini, kamu jadi tambah tidak punya teman.”

“Biarin! Siapa suruh dia buang surat…” Adam menghentikan bicaranya, lalu memandangku sedikit salah tingkah.

“Surat apa, Adam?” tanyaku dengan lagak acuh tak acuh.

Adam menggeleng lalu katanya,”Pulang yuk Bu, mau mandi nih. Gerah!”

Menyadari Adam tidak bisa dipaksa untuk buka mulut lebih jauh, aku berusaha menyabarkan diri untuk tetap bertahan dengan pendekatan sebagai teman baginya.

“Bu Guru,” kata Adam melangkah sambil memegang tanganku. “Betul Adam tidak dikeluarkan dari sekolah?” pertanyaan yang lagi-lagi membuatku hampir sesak napas. Bagaimana mungkin aku katakan kalau nasibnya akan ditentukan dalam rapat guru minggu depan? Dan kemungkinan besar, guru-guru lebih memilih untuk mengeluarkannya. Adam masih memegang tanganku dan menunggu jawaban.

“Asal kamu mau bertingkah laku yang baik,” sahutku mengambang sambil berharap ia puas dengan jawaban itu.

“Jadi besok Senin Adam tetap sekolah?” tanyanya, kali ini dengan gembira. Baru kusadari kalau binar-binar di balik kacamata tebalnya begitu hidup. “Adam tetap sekolah! Tetap sekolah!” pekiknya sambil berlari mendahuluiku. Dari kejauhan aku mengamati lonjakan gembiranya. Kesenangan yang meluap karena ia pikir sekolah tetap menerimanya. Dengan galau, aku menendang batu di depan kaki sambil memikirkan apa yang bisa aku lakukan agar kegembiraan Adam bisa terus dimilikinya. Kegembiraan untuk terus sekolah.

“Papa sudah pulang, ya?” tanyaku ketika akhirnya kami sampai di rumah Adam.

“Bukan mobil Papa, kok. Siapa, ya?” Adam balik bertanya. Detak keras suara hak sepatu tinggi membuat kami berpaling.

“Mama!” Adam melambaikan tangan dan cepat menghampiri wanita yang sedang menutup pagar di belakangnya. Wajahnya lumayan tebal dengan make up, gaya busananya modern, dengan dua jari tangan menjepit rokok yang mengepul.

“Main melulu! Nggak naik kelas lagi baru tahu rasa!” semprotnya tanpa mengacuhkan tangan Adam yang terbuka minta dipeluk.

“Mobil baru ya, Ma? Mau ke mana, Ma? Adam kan belum …!” teriak Adam penuh protes melihat mamanya membuka pintu mobil. Dia mengejar dan menahan pintu mobil, tapi tangan Adam segera ditepisnya dengan kasar. “Apaan sih? Minggir!” Bentakannya membuat Adam mundur menjauhi mobil.

“Hei, bilang sama papamu, mana uang bulanannya? Janji jam 5 sore, malah dia belum pulang. Sialan!”

Adam cuma terlongo mengikuti deru mobil yang berputar meninggalkan rumahnya. Gerakan tangannya yang dalam posisi siap melambai perlahan turun dengan lemas. Aku hampir tidak percaya kalau adegan barusan adalah adegan antara ibu dan anak. Lebih mirip adegan nyonya besar dengan kacungnya.

“Adam!” panggilku. “Itu mamamu?”

Dia memandangku dari balik kacamata tebalnya dan mengangkat bahu, lalu berbalik masuk dan menutup pintu. Dari balik kaca ia mengawasiku melangkah pulang. Aku melambaikan tangan pamit pulang dan melaju membawa kegalauan besar dalam hati. Surat panggilan yang diberikan Pak Suryo tadi masih tersimpan di dalam tasku.

Aku menguap panjang sambil melemaskan otot-otot pinggang. Uah, masih ada enam karangan lagi yang harus aku baca. Di kelas aku paling suka memberikan ulangan dalam bentuk esai dan pelajaran favoritku adalah pelajaran mengarang. Karena dari hasil tulisan yang polos dan khas anak-anak itulah aku bisa membaca jalan pikiran murid-murid. Sekaligus melatih mereka menuangkan ide dan kreasi dalam bentuk kalimat. Hitung-hitung memberikan bekal kalau kelak mereka menginjak SMU atau kuliah nanti, harus membuat laporan praktikum dan menyusun skripsi. Menurutku bahaya kalau mereka terus terkondisi dengan kemudahan memilih jawaban pilihan berganda, yang mendorong kegiatan mencontek tumbuh dengan subur.

Seperti hari ini, aku menyuruh murid-murid membuat karangan tentang sosok ibu masing-masing. Ada yang menulis, ibunya galak seperti tentara tapi ia sangat sayang karena ibunya jago memasak mi ayam kesukaannya. Yang lain bercerita, ibunya selalu pergi ke kantor pagi-pagi dan pulang malam hari, padahal ia ingin dibacakan dongeng sebelum tidur.

Aku melihat sisa karangan yang tergeletak sembari menimbang untuk menunda memeriksanya, besok pagi saja. Tapi sehelai kertas bertuliskan nama Adam menarik perhatianku. Karangannya teramat singkat, kalimat-kalimatnya pendek dan sederhana, dengan alur cerita yang tidak terarah.

Aku punya mama. Mama yang melahirkan aku. Mamaku cantik. Bajunya bagus-bagus. Mama sering pergi. Aku ingin pergi ke Ancol dengan Mama. Tapi Mama pergi terus. Mama sayang padaku.

Rasa kantukku berangsur hilang, berganti dengan keprihatinan. Sedari pertama ketika melihat ayahnya mengantar Adam ke sekolah di hari pertama, aku tergelitik dengan sikap anehnya. Dan ketika berkunjung ke rumah Adam serta melihat seperti apa keluarganya, aku langsung mengerti mengapa Adam begitu berbeda dengan anak-anak lain. Bukan hanya hatinya yang sakit, tapi juga jiwanya. Rasa tertolak karena kehadirannya tidak dikehendaki oleh sang ibu berbaur dengan pendaman kerinduan untuk merasakan kehangatan kasihnya, bercampur dengan kemuakan karena sang ibu mengkhianati keluarganya. Apalagi dia sedang menginjak puber usia praremaja, yang sering krisis karena mencari jati diri. Masih segar di mataku, guratan kecewa yang tidak bisa disembunyikan Adam ketika ibunya sama sekali tidak menyapanya dengan manis sore itu, apalagi berinisiatif memeluknya. Bahkan, untuk sebuah lambaian tangan yang sederhana.

Aku tidak bisa membayangkan seperti apa pedihnya, tidak dicintai oleh ibu sendiri sedari bayi. Ditambah lagi harus menyaksikan ulah tak terpuji dari ibu yang sangat dipujanya. Aku juga tak bisa membayangkan seperti apa rasanya menjadi orang yang terbelakang mental, dengan tubuh sebesar remaja tapi berpikiran seperti anak-anak. Dikeluarkan dari sekolah, dijauhi teman, dimarahi guru, tidak memiliki siapa pun untuk diajak bicara, dan selalu dianggap sebagai orang aneh yang membawa masalah. Tidak ada yang mau mengerti, seorang pun tidak. Ya Tuhan, seperti apa rasanya? Malam itu sebelum tidur, aku menyelipkan nama Adam dalam permintaan doaku. Tanpa sadar aku ikut menangis.

"Jadi begitu ceritanya?” Rena mengangsurkan sepiring makaroni skotel di depan hidungku. Aku mengiyakan sambil mengunyah. Sepulang dari gereja aku menyempatkan mampir ke tempat kos Rena. Usianya 5 tahun di atasku, tapi tidak pernah bersikap sok senior dan sok tahu seperti kakak kelasku yang lain. Kami dulu sudah saling mengenal ketika kuliah di perguruan tinggi yang sama dan sekarang kebetulan mengajar di sekolah yang sama pula. Tapi sesuai dengan latar belakang pendidikannya di fakultas psikologi, ia ditempatkan di bagian BP dan konseling.

“Ternyata masalahnya kompleks, Ren. Maksudku…kita harus melihat kenakalan Adam itu karena jiwanya yang terguncang. Jadi kita tidak bisa menghakiminya begitu saja, mengeluarkan dari sekolah lalu urusannya beres. Bagaimana menurutmu?”

“Ya, aku setuju.”

“Mendengar cerita tadi, bagaimana kira-kira analisismu?” aku berguling ke sudut tempat tidur dan menemukan bantal berbentuk gajah yang cukup empuk untuk kutiduri.

“Adam mengalami trauma, itu jelas. Ia tidak menerima cukup cinta dari orang-orang yang semestinya memberikan itu. Sejak kelahirannya saja, ia sudah ditolak oleh sang ibu. Mengingat kesenangannya berdandan dan kepeduliannya pada tubuh, mungkin ia menganggap hamil dan melahirkan adalah kerusakan yang bisa mengancam keindahan tubuhnya. Dan ancaman itu berwujud seorang anak, yang langsung ia benci. Luka batin yang sudah ditaburkan sejak bayi terus menambah parah keadaan, ditambah lagi perbuatan ibunya yang gemar gonta-ganti pasangan. Kenyataan itu agaknya terlalu berat bagi Adam, sehingga jiwanya labil dan kita bisa lihat dari sikapnya sehari-hari, ‘kan? Kadang mengamuk, kadang alim, kadang agresif.”

“Kenapa bisa begitu?”

  “Sebenarnya aku juga tidak tahu pasti, karena tiap kali diajak konseling Adam selalu diam. Kalaupun bicara, dia sering tidak terarah pada pertanyaan yang diajukan. Baru kali ini aku mendapat cukup banyak informasi darimu, dan itu sangat membantu. Aku menduga kalau Adam mengalami dualisme. Di satu sisi ia begitu menyayangi ibunya yang cantik, mendambakan kasih dan belaian yang sedari kecil belum pernah ia dapatkan, dan berharap ibunya mau memaafkan dan menerima kehadirannya. Di satu sisi yang lain, ia membenci ibunya amat sangat, karena sudah mencampakkan, menolak, dan berkhianat pada keluarga. Melihat sendiri adegan penyelewengan ibunya, sangat membuat Adam terguncang. Walaupun neneknya bercerita tidak ada keganjilan pada Adam, guncangan itu pasti ada,” tutur Rena sambil memandangku lekat.

“Tentang pemukulan Sally itu, bagaimana?” tanyaku lagi.

“Kalau aku tidak salah tangkap mendengar ceritamu, sepertinya Adam itu sedang memasuki usia puber. Jangan lupa, dia sudah 13 tahun, dan mulai menyenangi lawan jenis. Kali ini gadis pilihannya jatuh pada Sally. Di benaknya, Sally yang cantik itu mirip dengan sang ibu. Ia ingin bisa lebih dekat dengan Sally, sama seperti ia ingin lebih dekat dengan ibunya sendiri. Karena itu bisa dimaklumi kalau ia sangat marah melihat gadis pujaannya dekat dengan lelaki lain, di depan matanya. Bayangan penyelewengan ibunya lima tahun yang lalu, begitu kuat mencengkeram sehingga ia sukar membedakan apa, siapa, dan kenapa. Secara refleks Adam bertindak, dan memukul Sally. Bentuk pelampiasan kemarahannya pada sang ibu ditujukan pada gadis itu, tapi itu tidak berani ia lakukan pada ibunya sendiri.”

“Jadi sebetulnya, dia itu cinta sekaligus benci pada ibunya?”

Rena mengangguk,”Kurang lebih begitu.”

“Aneh.”

“Hubungan Adam dengan orang rumah lainnya, bagaimana?” tanya Rena.

“Ayahnya? Tahu sendirilah. Tipe ayah yang tidak mau tahu perkembangan anaknya, sibuk cari uang dari pagi sampai malam. Tidak heran kalau Adam sangat kacau dalam pelajaran. Di rumahnya tidak ada yang menolong dia belajar. Neneknya sama juga. Kasar, pemarah, dan juga tidak bisa mengawasi cucu-cucunya setiap hari. Paling dia hanya mampir untuk memasak makanan, selebihnya urusan pembantu.”

“Produk keluarga masa kini,” cetus Rena lalu kembali menyendok makaroni di piring. “Tambah lagi, nih! Masih banyak di dapur,” katanya. Hm…tawaran yang sulit ditolak. Aku beringsut maju dan mengambil lagi sepotong.

“Pulang dari sini, siap-siap jalan kaki untuk membakar kalori dari makaroni yang kau makan,” seloroh Rena yang tahu aku paling ribut kalau perutku maju.

“Kemarin waktu aku tanya, apa yang dia sukai di sekolah ini jawabnya karena dia suka dengan teman-teman. Kalau memang dia suka, kenapa dia selalu cari ribut, ya? Itu kan malah bikin semua orang sebal sama dia.”

“Mungkin karena dia ingin cari perhatian. Dia ingin punya banyak teman, tapi tidak tahu caranya. Jadi dipakailah cara-cara yang konyol seperti itu, membuat sesuatu yang dia pikir sangat lucu, tapi buat orang lain sangat menjengkelkan.”

“Adam itu idiot ya, Ren?”

“Bukan idiot, tapi kurang cerdas. Kalau anak biasa sanggup mengerjakan soal 5 menit, dia harus diberi waktu beberapa kali lipat.”

“Soal bicara dan gaya jalannya yang seperti bencong itu….”

“Perlu lebih banyak observasi lagi,” tukas Rena lalu menoleh ke dinding.

“Mau pergi, ya?”

“Ada janji makan siang dengan teman,” Rena meraih sisir dan menyikat rambut panjangnya.

“Wah, kemajuan sekarang. Biasanya kalau hari Minggu begini, acaramu cuma baca buku dan memasak,” usikku sambil turun dari ranjang.

“Jangan cerewet! Bawa pulang semua, tuh, makaroninya!”

“Ren, aku minta tolong sekali lagi.”

“Apaan?”

“Soal keluarnya Adam dari sekolah. Rapat guru Senin besok akan memutuskannya.”

“Terus?” Rena asyik mematut diri di depan cermin.

“Biasanya Pak Suryo paling suka mendengar saranmu. Bisakah kau memintanya untuk….ehm, maksudku begini. Terus terang, aku tidak tega melihat Adam dikeluarkan dari sekolah untuk yang kesekian kalinya. Aku melihat kegembiraan yang besar waktu aku membohonginya kemarin.”

Alis Rena terangkat,”Maksudmu?”

“Aku belum menyerahkan surat dari Pak Suryo kemarin. Di rumahnya tidak ada siapa-siapa, masa aku harus menyerahkan surat sepenting itu pada neneknya yang tidak simpatik? Mestinya kau lihat sikap Adam kemarin, Ren. Dia begitu gembira waktu aku meyakinkan bahwa dia tidak dikeluarkan. Dia melompat, dia memegang tanganku, dia berlari dan berteriak! Begitu gembiranya. Aku tahu bahwa sekolah mempunyai nilai yang besar untuk Adam, dia senang tetap sekolah lagi. Dan aku pikir, kau dan aku bisa membuat keinginannya itu tercapai. Kau tadi bilang kalau jiwanya terguncang, dan aku yakin soal tidak naik kelas dan dikeluarkan dari sekolah itu juga punya andil besar bagi keguncangan jiwanya. Apakah sekarang kita harus menambah lagi luka batinnya, Ren, setelah semua kepahitan yang dia alami? Apakah kita tega mengambil harapannya yang cuma sedikit itu, dan melihatnya kembali terpuruk?”

“Apa yang bisa kita lakukan, Agnes sayang? Bukan aku yang jadi penentu. Aku tahu dedikasimu, keloyalanmu, perhatianmu untuk murid, tapi… aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sorry,” Rena mendekatiku dan mengusap bahuku perlahan.

“Sebelum rapat Senin nanti, kita bisa menghadap Pak Suryo dan menceritakan apa yang kita tahu. Kau harus membantu Adam, Rena! Cuma omonganmu sebagai konselor sekolah yang mau didengar Pak Suryo. Setelah itu, kita minta supaya Adam diberi waktu beberapa bulan agar kita bisa mendekatinya. Syukur kalau kita bisa menolongnya agar kelakuannya berubah. Dia butuh pertolongan, Rena, itu yang dia butuhkan! Bukan surat pemecatan sekolah!”

“Aku tidak tahu apakah….”

“Ayolah, Ren! Kamu tahu bagaimana rusaknya kondisi Adam, kau lebih tahu dari aku. Apakah kau bisa menyaksikan orang yang sudah jatuh tertimpa tangga pula? Keluar dari lubang singa masuk ke mulut harimau? Cuma itu yang bisa kita lakukan untuk mempertahankan Adam di sekolah kita, Ren!”

Rena terdiam lalu meghela napas. “Kenapa sih kamu ngotot betul? Kenapa dia jadi begitu istimewa buatmu?”

Aku mengambil tas sambil menggelengkan kepala, aku juga tidak tahu kenapa. Mungkin mimpi beberapa malam kemarin sangat membekas dan mempengaruhi penilaianku pada Adam. Lalu kuceritakan sekilas tentang mimpi itu.

“Bukan aku menjadikannya istimewa. Pertama kali aku juga bersikap seperti kebanyakan guru lain, jengkel dan muak. Tapi lalu aku sadar, itulah alasan kenapa aku ingin menjadi guru. Untuk menunjukkan kepada murid-muridku hal yang benar dan tidak, bukan cuma ilmu hitung atau baca tulis agar mereka jadi sarjana. Juga untuk memberikan bekal supaya mereka punya nilai lebih di masa depan. Bisakah kau bayangkan, nilai lebih apa yang bisa Adam raih kalau setiap kali ia harus dibuang oleh sekolah yang berlainan, karena orang beranggapan dia adalah sampah. Bagaimana dengan masa depannya, yang tanpa ia sendiri minta sudah terluka karena kondisi keluarganya? Alangkah berdosanya kita Rena, yang tahu sesuatu tapi tidak melakukan apa-apa untuk membantunya….” aku menatap Rena yang berdiri mematung.

“Kau memang guru yang baik, aku akui itu. Oke, temui aku di ruang konseling Senin nanti sebelum rapat mulai. Aku akan menemanimu menghadap Pak Suryo. Oke Nona manis, puas? Sekarang kau bisa membiarkan aku dandan dengan tenang, ‘kan?”

“Thanks, Ren! Kamu memang bisa diandalkan!”

Dengan mengerahkan segenap kosakata yang dimilikinya, Rena membantuku berusaha meyakinkan Pak Suryo tentang kondisi Adam. Senin pagi itu, sekolah diliburkan karena ada rapat guru. Selain membahas materi kurikulum baru, salah satu agenda pentingnya adalah membicarakan tentang keputusan apakah Adam tetap berstatus sebagai murid SD Karunia atau tidak.

Pak Suryo mendengarkan dengan tenang, sambil sesekali menyeling dengan pertanyaan. Raut mukanya tak bisa kubaca.

“Jadi yang kalian usulkan adalah....”

“Sekolah memberikan kesempatan beberapa waktu lagi kepada Adam untuk memperbaiki diri, mungkin dengan beberapa pendekatan kita bisa membantunya bersikap lebih baik,” aku langsung menyambar.

“Berapa lama? Kalian sendiri tadi mengatakan kalau luka kejiwaan yang dialaminya mungkin sudah mengendap bertahun-tahun dan cukup berat, dan tidak cukup waktu sebulan dua bulan untuk memulihkannya. Dan selama waktu itu pula, Adam tidak bisa diharapkan 100% tidak membuat keributan seperti yang sudah-sudah. Apakah kalian sudah siap dengan konsekuensinya? Berarti masalah akan terus timbul, ‘kan? Bagaimana dengan murid-murid Anda, Bu Agnes? Mereka pasti terganggu dan akan telantar karena Anda harus bolak-balik mengurusi Adam. Bagaimana dengan guru-guru yang lain? Mereka juga membutuhkan suasana yang tenang untuk mengajar. Lagi pula kalau memang sudah kalian analisis masalahnya, tinggal beri tahu saja orang tuanya untuk membawa Adam periksa ke psikolog atau apalah itu. Bukan kita yang harus repot-repot, ‘kan?”

Aku dan Rena saling berpandangan, lalu aku berujar pelan, “Tapi di sekolah, Adam milik kita, Pak. Kita yang harus merawat dan membesarkannya sebagai anak. Ehm, saya rasa, kita harus berani mencobanya, berani memberinya kesempatan. Anak itu sekarang butuh dorongan dan kepercayaan, bukan penghakiman seperti yang sudah diterimanya selama ini. Dan usaha untuk membantunya membutuhkan kerja sama di antara kita, karena ia murid yang dititipkan kepada kita, Pak.”

Pak Suryo membutuhkan waktu beberapa menit untuk mencerna tawaran kami, lalu katanya, ”Tiga bulan saya pikir cukup sebagai bentuk toleransi sekolah. Setelah itu, saya akan mengevaluasinya berdasarkan laporan Anda sebagai guru kelasnya.”

Tak ada kegembiraan yang melebihi rasa gembiraku saat ini. Tanpa sadar aku berdiri lalu menyalami tangan Pak Suryo sampai berguncang-guncang sebagai tanda terima kasih. Akhirnya aku bisa memberitakan kabar baik itu kepada Adam hari ini.

Sepulang sekolah, kuhampiri Adam yang sedang menunggu di pelataran parkir.

“Hei Adam, tunggu dijemput, ya?” sapaku.

Adam tampak terkejut, kepalanya sedikit mengangguk.

“Hari ini kamu pendiam sekali di kelas, kenapa? Sedang tidak enak badan?”

Adam hanya diam. Beberapa pertanyaan basa-basi kuajukan lagi, tapi jawabannya juga anggukan atau gelengan saja.

“Es krim yang kemarin itu enak sekali, ya? Ibu jadi kepingin lagi.”

“Memang enak, Bu. Makanya Ibu Agnes main lagi saja ke rumah Adam,” katanya dengan mimik berharap. Nah, ini dia, jawaban panjang yang akhirnya keluar juga dari mulutnya.

“Memang Ibu boleh sering-sering main?” tanyaku balik, sambil menawarkan cokelat. Diambilnya sepotong.

“Boleh, dong! Nanti kita makan es krim lagi, sekarang es krim rasa vanilla, Bu! Kan kemarin es krim cokelat. Kapan Bu, nanti sore, ya? Nanti Adam kenalin sama Hans, adik Adam yang masih TK.”

Aku tersenyum lalu menjabat tangannya tanda setuju. Adam melambaikan tangannya dengan bersemangat, lalu berseru sambil naik ke mobil, ”Betul ya, nanti sore!”

Aku harus mulai belajar mendekatkan diri dengan Adam, keputusan yang kuambil setelah mengonsultasikan masalah ini lebih lanjut dengan Pak Suryo dan Rena. Di luar dugaanku, Pak Suryo cukup tanggap dan mendorongku untuk lebih aktif masuk dalam kehidupan Adam. “Dia sudah percaya kepada Ibu Agnes. Satu hal yang tidak bisa dia lakukan pada orang lain,” kata Pak Suryo tadi.

Yang kupikirkan, bagaimana aku menolongnya supaya beban jiwanya bisa diperingan. Aku bukan orang yang paham tentang ilmu jiwa, tapi menganjurkan ayah Adam untuk membawa anaknya berkonsultasi dengan psikolog tentu merupakan hal yang memalukan bagi keluarga itu. Maaf Pak Anton, sebaiknya Adam diperiksa oleh psikolog karena gangguan jiwa yang dideritanya. Sebuah pukulan telak. Jadi sementara ini satu-satunya yang bisa aku lakukan adalah dengan mengambil posisi menjadi sahabat Adam yang bisa dipercaya. Rena juga sudah menjadwalkan pertemuan rutin dengan Adam dua kali seminggu, khusus untuk memantau perkembangannya.

Bulan-bulan berikutnya, ia sudah bisa lebih terbuka padaku. Mulai banyak bercerita tentang pelajaran, makanan kegemaran, adik Hans, atau hobinya bermain komputer. Tapi tak ada satu pun cerita tentang mama dan papanya. Kelakuannya agak berubah dan lebih bisa dikendalikan, walaupun begitu sebagian besar teman sekelasnya masih enggan untuk mendekat. Memang ia masih sering berbuat jail, tapi kadarnya sudah tidak separah dulu. Keluhan dari guru lain juga mulai berkurang.

Tak terasa waktu tiga bulan yang diberikan Pak Suryo sudah lewat beberapa hari. Ketika aku dan Rena melaporkan evaluasi terakhir kami, beliau tersenyum. “Usaha keras kalian membuahkan hasil. Sudah lama ia tidak membuat keributan lagi, kan?”

Suatu sore ketika kami sedang duduk di taman dekat rumah Adam, ia bertanya,”Ibu Agnes, kenapa Ibu mau jadi teman Adam? Padahal, di kelas Adam tidak punya teman, tidak ada yang mau ngomong sama Adam. Kenapa, Bu?”

Aku terpana, sama sekali tidak siap dengan pertanyaan itu dan lebih tidak siap lagi untuk memberikan jawabannya.

  Adam datang untuk memaafkan mamanya, tapi demi melihat kelakuan buruk wanita itu, ia pun gelap mata.

Karena kamu ternyata cukup menyenangkan untuk diajak berteman,” jawabku setelah bisa memunculkan kembali rasa tenang. Jawaban itu aku comot asal saja dari film televisi yang aku tonton semalam.

“Bohong! Ibu bohong!” cetusnya sambil memandangku.

“Sungguh!”

“Tidak ada yang mau ngomong sama Adam. Bukan cuma teman-teman di kelas, Papa juga tidak mau ngomong sama Adam. Pagi pergi pulang malam, tidak pernah ngomong sama Adam.”

“Adam tidak pernah tanya sama Papa?”

“Takut Papa marah. Kalau marah, Papa biasanya main pukul,” jawabnya mengenaskan. Kini aku tahu dari mana bekas-bekas membiru di tubuhnya berasal.

“Adam harus mengerti, Papa kan harus bekerja mencari uang untuk Adam dan adik Hans. Jadi tidak punya banyak waktu untuk kumpul-kumpul di rumah. Tapi Hari Sabtu dan Minggu Papa pasti tidak bekerja kan? Eh, ngomong-ngomong soal hari Sabtu, tanggal 16 ini Sally ulangtahun lho. Kamu datang ya?” ajakku.

“Adam kan nggak diundang, Bu. Cuma Adam yang nggak diundang,” jawabnya datar. Tangannya sibuk mengorek rumput, entah mencari apa.

“Tidak apa-apa, Sally kan temanmu. Datang saja, atau kita pergi sama-sama?”

“Malas ah! Apalagi ada Andrew, huuu…”

“Lho, kok malas? Pasti Sally cantik sekali waktu ulangtahun besok, seperti Mamamu. Senang ya punya Mama yang cantik?” aku mulai memancing reaksinya dengan berdebar. Adam berlagak seolah tak mendengar, padahal aku yakin suaraku cukup jelas.

“Mamamu cantik sekali, Adam. Ibu pernah lihat waktu ke rumahmu itu. Wah…kalau Ibu Agnes punya wajah secantik itu, mungkin banyak yang menawari jadi bintang film ya?”

Adam mengangkat bahu, katanya,”Percuma cantik kalau jadi perempuan murahan!”

Aku kaget mendengar jawaban yang keluar dari mulutnya. “Adam, masa menyebut Mama sendiri begitu? Kamu tahu apa arti omonganmu barusan?” tegurku dengan kuping memerah. “Itu bukan kata-kata yang sopan untuk diucapkan anak sekolah!”

“Tahu! Perempuan murahan! Semua orang juga tahu kalau Mama jadi perempuan seperti itu! Semua orang tahu!” serunya kalap sambil berdiri, membuatku makin terhenyak. Rasanya aku sudah salah melangkah sore ini.

“Ibu Agnes jangan coba-coba membela Mama! Perempuan murahan yang cuma bisa tidur dan makan. Seperti binatang! Perempuan kotor! Perempuan brengsek…” aku membiarkan Adam berkata-kata sepuasnya, caci maki dari anak yang merasa terbuang. Beberapa kali dia mengulang kata yang sama menghujat mamanya. Aku bingung harus bagaimana, memarahinya atau mendengarkannya saja.

“Sally dan Mama sama saja,” desis Adam sambil berjalan mondar-mandir di depanku. “Sally, mukanya cantik seperti Mama. Adam sayang sama Sally, dari pertama Adam lihat dia. Setiap hari Adam ingat dia, pengen lihat dia terus. Adam pernah cium bedaknya, wangi sekali seperti bedak Mama. Adam tambah suka sama Sally. Adam sering kasih permen, kasih bolpen yang bagus, kasih diary, tapi Sally nggak pernah bilang terimakasih. Adam lalu kasih surat, Adam bilang kalau mau jadi pacarnya. Adam sudah bilang surat itu jangan dikasih tahu siapa-siapa, tapi…Sally kasih lihat sama Marta dan Andrew, terus suratnya dibuang. Diremas-remas di depan mata Adam! Surat itu Adam buat dengan susah payah, dua hari Adam tulis. Tapi disobek-sobek, dibuang begitu saja ke tempat sampah! Mereka ketawa-ketawa, nyebut Adam si Banci. Sebalnya lagi, di depan mata Adam, Sally sengaja pegang-pegang tangan Andrew, terus bisik-bisik. Sally pacaran sama Andrew. Itu yang bikin Adam kesal! Adam marah, nggak bisa terima! Nggak bisa terima!!!” teriaknya kencang.

Sorot matanya mengandung ancaman yang berbahaya, seperti bom yang siap meledak setiap saat. Bulu kudukku berdiri sementara otakku menyusun kata-kata dan mencari cara untuk menurunkan emosinya.

“Adam mesti bunuh mereka semua! Perempuan murah, mesti ditembak! Dor, dor, dor! Semuanya orang jahat, nggak sayang sama Adam! Adam mau bunuh orang jahat itu, bunuh semua!” dengan suara serak Adam berteriak, terus menyerukan keinginannya untuk membunuh. Airmatanya turun makin lama makin deras. Ia tersedu-sedu sambil menutup wajahnya.

Kedua kakiku mendadak lemas dan gemetar. Lidahku kelu, otakku buntu. Kalau saja Rena ada di sini, tentu dia tahu harus berbuat apa. Aku sibuk menyalahkan diri kenapa aku begitu lancang memancingnya dengan pertanyaan berbahaya, padahal aku tahu luka batin yang dialaminya tidak sembarangan. Aku takut Adam menjadi hilang kendali dan balik menyerangku. Tapi menyaksikan ia menangis begitu rupa sungguh membuatku tak tega. Entah kekuatan apa yang mendorongku untuk mendekatinya, padahal aku sendiri tengah dilanda ketakutan.

Perlahan dan ragu-ragu aku mengusap kepalanya lalu memeluk tubuhnya yang basah oleh keringat dan air mata. Adam makin mengencangkan tangisannya dan ya Tuhan, ia meraung seperti singa yang luka. Raungannya sangat memedihkan hatiku, membuatku tidak tahan dan guliran airmataku jatuh tanpa bisa kucegah. Kami bertangisan bersama entah untuk berapa lama. Sudah berapa lama anak ini tidak pernah dipeluk? Sudah berapa lama ia menunggu kata-kata sayang di telinganya? Sudah berapa lama ia terkurung dalam kesepian yang membuatnya sakit? Orangtua yang seharusnya melindungi dan menyayangi malah meneciptakan neraka baginya Sudah berapa lama ia tersiksa oleh dendam dan kebencian? Punya Papa yang senang memukul, punya Mama tapi entah di mana dan tidak peduli lagi pada anak-anaknya. Adam, sudah berapa lama neraka itu ada?

Di sela-sela tangisku, aku berbisik,”Jangan takut, Adam. Ada Tuhan yang sayang sama Adam, Tuhan yang membuat Adam lahir. Tuhan juga yang akan memeliharamu. Dia sayang sekali sama kamu lebih dari siapa pun. Tidak perduli kamu bodoh atau pintar, bagus atau jelek, kaya atau miskin. Tuhan sayang sama Adam.”

Adam terguguk di bahuku dan makin mempererat pelukannya. Raungannya yang tidak dibuat-buat membuatku menghayati betapa anak ini miskin cinta dan perhatian. Sepertinya anak ini tak memiliki seorang pun yang mau menerimanya dengan tangan terbuka.

Sambil membelai kepalanya dengan tulus, aku berkata hati-hati dengan suara gemetar,”Menangislah Adam, menangislah….supaya hatimu lapang. Ibu tahu Adam sakit hati dan sedih, pasti berat rasanya. Tapi Tuhan mengajarkan kita untuk saling memaafkan dan mengasihi. Adam mau kan memaafkan Papa dan Mama? Mungkin mereka memang berbuat salah dan tidak sayang sama Adam, tapi pelan-pelan Adam harus belajar mengampuni Papa, juga Mama. Adam mau?”

Adam menggelengkan kepala keras-keras,”Tidak mau! Mama sudah bikin malu Papa! Mama juga tidak pernah sayang sama Adam dan Hans. Waktu Adam sakit, dia malah pergi dengan Om Johan ke Puncak. Waktu itu Adam hampir mati di rumah sakit Bu, tapi dia malah pergi!”

Aku mengangkat wajah Adam dan menghadapkannya ke mukaku. “Ibu tahu, Adam. Mama memang sulit dimaafkan. Tapi dengar kata Ibu…memaafkan orang baik itu gampang sekali Adam, tapi memaafkan orang yang jahat itu yang sulit. Tidak semua orang bisa melakukannya. Kalau Adam bisa belajar untuk memaafkan Mama, berarti Adam sangat hebat. Mengerti?”

Adam terdiam lama lalu perlahan menjauh dariku. Dia duduk di atas batu dan terus diam di situ sampai senja makin datang, menandakan kami harus beranjak pulang. Sepanjang jalan menuju rumahnya, Adam terus menunduk sesekali menendang batu kerikil di jalan dan tidak berbicara lagi padaku sampai kami tiba di depan pagar.

“Ibu akan berdoa untuk Adam. Ingat pesan Ibu, berbuat baik kepada orang yang sudah berbuat jahat kepada kita, seperti menaruh bara di atas kepalanya. Berjanjilah untuk mencobanya, Adam. Ya, kamu mau berjanji pada Ibu? Kalau kamu ingin terbebas dari rasa sakit yang selama ini ada, sekarang saatnya. Waktu kamu memaafkan Mama, hatimu akan bebas merdeka. Kalau kamu butuh teman bicara, kamu tahu harus mencari Ibu ke mana kan?” aku kembali memeluknya.

Ketika aku bersiap pulang, Adam bertanya dengan lirih,”Kenapa Ibu baik sekali, mau jadi teman Adam?”

“Karena kamu cukup menyenangkan untuk dijadikan teman,” jawabku kali ini dengan suara bulat dan pasti. Tidak asal-asalan lagi. Adam tersenyum mendengar jawaban yang sama itu dan melihat senyumnya, membuatku percaya Adam akan belajar menepati janjinya.

Esok harinya berita buruk menghadangku. Kali ini serangan stroke Mama menghantam tiada ampun. Sudah hampir lima tahun ia berbaring di ranjang, tak bisa lagi berkata-kata dan makan seperti biasa. Pagi itu, kakakku berteriak karena mendadak Mama tidak sadarkan diri. Ketika dokter tiba, ia segera memutuskan Mama harus masuk ruang operasi hari ini juga. Cairan di otaknya harus segera disedot dan itu berarti kepala Mama harus dibedah.

Dengan perasaan kecut dan berat hati aku minta izin untuk cuti mengajar beberapa minggu. Tidak mungkin membiarkan Kakak seorang diri mengurus Mama di rumah sakit.

Di akhir minggu ketiga cutiku, ketika suatu siang aku sedang mendapat giliran jaga, tiba-tiba ponselku berbunyi.

“Ibu Agnes? Ini Adam.”

“Oh hai, Adam! Ada apa?”

“Mamanya Ibu Agnes sakit ya? Sudah sembuh belum?”

“Belum, sekarang masih dirawat dokter. Ada apa, Adam?” tanyaku lagi.

“Ehm…anu, Bu, tapi Ibu jangan marah ya? Kalau ada yang ulangtahun, bagusnya dikasih kado apa ya, Bu?”

“Siapa dulu yang ulangtahun? Perempuan atau laki-laki, masih kecil atau sudah tua?”

“Ehm…perempuan dan belum tua.”

“Yah kalau perempuan, biasanya paling suka dikasih baju atau alat kecantikan. Siapa sih, bikin Ibu penasaran saja?”

Hening sejenak. “Adam, halo?”

“Mama Adam, Bu. Besok Mama ulangtahun.”

Kini aku yang ganti terdiam sambil menahan napas. “Oh, Mama ya? Bagus sekali kamu ingat ulangtahun Mama, Adam. Kamu memang anak yang berbakti.”

“Bagusnya dikasih apa ya, Bu? Kalau baju atau lipstik sih, Mama sudah punya banyak sekali. Hadiah yang lain saja, Bu!” desak Adam bersemangat dan membuat aku berpikir lebih keras.

“Ah, Ibu tahu ada satu hadiah yang pasti Adam suka.”

“Mama suka ngga?”

“Ouw pasti!”

“Apaan sih, Bu?”

  “Ehm…Adam ingat obrolan kita di sore hari waktu itu? Ibu pernah bilang kalau seorang anak yang baik harus bisa memaafkan kesalahan orang lain. Kamu memaafkan Mama, berarti kamu sudah memberikan kado ulangtahun yang paling bagus. Tidak dijual di toko mana pun, tapi harganya luar biasa mahal. Kamu mengerti, Adam?”

“Jadi Adam harus memaafkan Mama, kalau ingin memberikan kado yang bagus?”

“Iya, Ibu jamin tak ada kado lain yang sebagus ini. Setuju?”

“Adam mau, Bu! Besok pagi-pagi, Adam akan memberikan kado itu buat Mama. Sudah ya, Bu. Terimakasih!” lalu pembicaraan ditutupnya.

Ah, anak itu! Sungguh manis kalau ia masih mengingat ulangtahun mamanya, mengingat apa yang sudah dilakukan sang mama pada Adam.

Esok petangnya waktu aku terkantuk-kantuk menemani Mama yang masih lelap di ranjang, ponselku berbunyi. Deringnya yang lumayan kencang nyaris membuatku jatuh dari kursi. Sebuah nomor yang belum aku kenal muncul di monitor.

“Ibu Agnes? Tolong, tolong Adam, Bu! Tolong Adam!”

“Siapa ini?”

“Nenek Adam. Tolong Bu, Adam…dibawa ke kantor polisi! Tolong, cuma Ibu yang bisa menolong Adam!”

Aku tercekat tak bisa berkata beberapa detik. “Tenang Nek, tenang dulu. Saya tidak tahu ada masalah apa. Saya sedang cuti mengajar beberapa minggu, jadi saya tidak tahu tentang persoalan murid-murid. Nah, sekarang Nenek ceritakan apa yang terjadi,” aku mencoba tetap tenang sambil menyudut di koridor kamar rumah sakit. Isak tangis nenek itu membuatku bingung dan sulit menangkap kata-katanya.

“Adam…Adam…..dia ditangkap polisi…..”

Klik. Baterei ponselku habis dan hubungan pun terputus. Aku terbengong menatap ponsel di genggamanku. Adam, kenapa lagi kamu? Kenapa harus bawa-bawa urusan polisi sekarang? Memukul orang? Menabrak pejalan kaki dengan sepedamu? Melempari rumah tetangga dengan batu? Mencuri uang? Berbagai tuduhan buruk bersliweran di kepalaku.

Ketika kakakku muncul menggantikan tugas jaga sore, aku langsung melarikan motorku secepat mungkin menemui Adam. Rumahnya sepi, tak ada yang membukakan pintu. Dari salah seorang tetangga, akhirnya aku mendapat alamat kantor polisi yang menahan Adam. Jadi ini memang tidak main-main.

Setelah sibuk mencari dan bertanya ke sana ke mari, akhirnya aku menemukan banyak orang bergerombol di salah satu ruangan di kantor polisi itu. Kulihat ayah dan oma Adam bersandar lemas di dinding, beberapa orang yang mungkin familinya tampak memeluk dan menghibur mereka. Ketika melihatku, Nenek Adam langsung menarik tanganku dan kembali menangis.

“Tolong Bu, hanya Ibu yang bisa menolong Adam. Dari tadi dia tidak mau bicara pada polisi. Dia bilang hanya mau bicara pada Ibu saja. Sudah lima jam dia ditahan, belum makan dan belum mandi. Kasihan Adam Bu, tolong dia!”

“Iya, tapi kenapa? Apa yang sudah dilakukannya?”

Nenek hanya meratap dan menggeleng-gelengkan kepala. Melihat mataku yang bertanya-tanya, ayahnya yang bermuka kusut berkata berat,”Tuduhan berat.”

“Apa? Mencuri, memukul, berkelahi, tuduhan seberat apa?”

Ayah Adam berulang kali menghela napas sebelum akhirnya menjawab, “Pembunuhan.”

Aku tak bisa mencegah mulutku untuk berteriak. Jantungku terasa lepas dari tempatnya dan merosot ke bawah. Kedua lututku saling beradu, dan cepat aku berpegangan pada tiang kayu di dekatku, sebelum aku benar-benar jatuh.

“Tidak mungkin! Adam tidak mungkin mem…”

“Polisi sedang memeriksanya sekarang,” ayah Adam menuntun tanganku untuk duduk di bangku.

“Tapi bagaimana mungkin? Pembunuhan…ya ampun, siapa .… siapa korbannya?”

“Mamanya.”

“Apa?”

“Adam dituduh menganiaya mamanya sendiri sampai tewas.”

Aku terkulai lemas. Tak percaya dengan pendengaranku. Tak percaya dengan penglihatanku. Kenapa bisa begini jadinya? Lantas aku teringat percakapan terakhir kami di sore itu, ketika Adam mengamuk. Masih terngiang ucapannya yang begitu marah,”Adam mesti bunuh mereka semua! Perempuan murah, mesti ditembak! Dor, dor, dor! Semuanya orang jahat, nggak sayang sama Adam! Adam mau bunuh orang jahat itu, bunuh semua!”

Selama beberapa waktu kami saling membisu, tak ada yang berniat membuka percakapan. Ayah Adam terus mengepulkan asap rokok sambil berjalan mondar-mandir, berulangkali ia meremas kepalanya. Aku menyeret kakiku yang terasa berat mendekat ke arahnya. “Bagaimana kejadiannya, Pak?”

Bibirnya bergetar sedikit, lalu menggeleng. “Saya…saya tidak tahu persis. Pukul tujuh pagi saya sudah keluar rumah, anak-anak masih tidur. Tiba-tiba sore tadi saya ditelepon untuk kabar buruk ini.”

Sepanjang malam itu kami berada di kantor polisi tanpa bisa berbuat apa-apa. Penyidikan masih berlangsung dan tidak satu orang pun diperbolehkan untuk menemui Adam, termasuk keluarganya. Dua hari berlalu dan keadaannya masih tetap sama, kami tak bisa melihat keadaan Adam. Polisi hanya mengatakan kalau ia sehat-sehat saja.

Pukul sembilan malam, ketika aku baru sampai rumah dari kantor polisi, telepon rumahku berdering nyaring. “Halo? Halo?” sambutku terengah-engah.

“Dengan Ibu Agnes? Anda diminta datang ke kantor polisi sekarang untuk kepentingan penyidikan kasus Adam Prasojo.”

Tanpa penjelasan lebih lanjut telepon itu ditutup dari seberang. Tanpa menghiraukan keletihan dan rasa kantuk yang mendera, aku kembali bergegas ke luar rumah.

Karena Adam berkeras hanya mau bicara denganku, akhirnya polisi penyidik memutuskan untuk mengizinkan aku menemuinya. Rupanya para petugas itu benar-benar dibikin mabuk, karena Adam sama sekali tak mau membeberkan kejadian yang sesungguhnya.

“Mungkin Ibu Guru bisa membantu. Dia sama sekali tidak bisa diajak kerjasama. Mulutnya terkunci. Kalaupun dia bicara, kata-katanya ngawur dan tidak kami mengerti. Baru tadi anak itu bilang mau bertemu dengan Ibu Guru, dan berjanji akan menceritakannya kalau Ibu hadir bersama kami,” bisik seorang petugas yang mendampingiku.

Di dalam ruang pemeriksaan, ada empat petugas mengelilingi meja persegi. Dengan tangan berkeringat dingin, aku menarik kursi dan duduk di sebelah Adam. Seperti tak terjadi apa-apa, dia hanya mengangguk ketika melihatku datang.

“Adam, apa yang sudah kamu lakukan?” tanyaku sambil memegang tangannya yang memainkan ujung kaos yang sudah kumal. Bercak-bercak darah yang warnanya sudah menghitam memenuhi bagian dada dan perutnya. Sesaat aku merasa mual ingin muntah.

Melihat kedekilan tubuh dan kebingungan wajahnya, aku langsung jatuh kasihan. Dia masih di bawah umur, dan sekarang dia harus dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang pasti memusingkan otaknya. Sudah semestinya Adam didampingi orang dewasa dalam proses interogasinya.

Seorang petugas di sebelah kananku berdehem-dehem lalu memberi tanda agar aku mencoba bicara lagi. Berkali-kali aku harus mengulang pertanyaan yang sama agar konsentrasinya bisa berpindah kepadaku. Tidak heran selama lima jam polisi hampir kehilangan akal dan kesabaran untuk menanyainya. Dengan rasa frustrasi yang amat dalam aku memaksanya dengan suara keras,“Lihat Ibu, Adam! Lihat semua orang yang sedang menunggu kamu di luar ruangan ini! Kami semua cemas dan sedih, tidakkah kamu tahu? Kenapa kamu terus diam dan tidak mau menceritakan kejadian yang sesungguhnya? Kalau kamu tidak cerita, polisi tidak bisa tahu apakah kamu salah atau benar. Kamu bisa dipenjara, Adam! Ibu tidak mau kamu masuk penjara! Ibu tidak mau!” suaraku bergetar menahan tangis yang sudah akan tumpah. Adam melihat usahaku yang menggigit bibir kuat-kuat.

“Ibu menyuruh Adam untuk memaafkan Mama, kan? Ya sudah, Adam sudah memaafkan Mama.”

“Bagaimana cara kamu memaafkan Mama?” tanyaku memandang lekat matanya yang mulai gelisah dan menggelepar aneh. Sejenak dia membuang muka. “Adam ke rumah Om Johan tadi pagi, mau bilang kalau Adam sudah memaafkan Mama.”

Mendengar jawaban itu, semua petugas penyidik langsung menegakkan badan dan memasang kuping lebih cermat lagi. Semua sudah siap dengan pulpen dan notesnya.

“Tahu dari mana rumah Om Johan?”

“Adam pernah menguntit Mama waktu pulang dari rumah.”

“Terus?”

Diam lagi. Adam membuang napas melalui mulut dan meraih gelas minumnya. Aku mencoba menahan diri untuk mulai bersikap santai, sedikit acuh tak acuh. Aku sudah mengenal sifatnya, kadang-kadang Adam langsung menarik diri kalau melihat lawan bicaranya terlalu ingin tahu. Beberapa saat aku mendiamkannya saja, melihat Adam seperti sedang melamun.

“Waktu sampai di rumah Om Johan, Adam ketemu Mama? Terus kamu bilang apa?”

Diam lagi, tak terdengar jawaban. Aku melihat mata Adam mulai mengerjap. Dia menangis.

“Adam bawa kue cokelat buat Mama, Bu. Hari ini ulang tahun Mama. Sengaja Adam mampir ke toko, beli kue kesenangan Mama. Di hari ulang tahun ini, Adam mau bilang kalau Adam sayang sama Mama dan memaafkan kesalahannya. Tapi…tapi waktu Adam ketuk pintu, tidak ada yang buka. Adam coba buka sendiri, terus Adam panggil-panggil. Karena tidak ada yang menyahut, Adam terus naik ke loteng. Tapi…tapi….di situ…” kerongkongan Adam mendadak seperti tercekik. Airmatanya makin menetes, dan napasnya berubah menjadi dengusan. Seperti orang yang sedang marah besar.

“Adam naik ke loteng, terus lihat ada pintu yang terbuka. Adam mengintip sebentar. Mama lagi teriak-teriak sambil tiduran sama Om Johan. Jijik, perempuan murahan. Cih!” Adam meludah ke lantai dan mengagetkanku yang terpana dengan ceritanya.

Petugas yang bertugas mengetik berita acara di sudut ruangan pun terpaku. Tiba-tiba Adam berteriak. Dia mulai menceracau, bicara tak jelas ujung pangkalnya. Kedengarannya seperti sedang memaki-maki. Suaranya kadang meninggi, melengking, lalu bergumam dengan suara berat. Persis seperti ketika dia mengamuk di kelas dulu. Kedua tangannya memukul-mukul meja seperti sedang menabuh gendang, sebelah kakinya bergoyang-goyang. Rasanya aku ingin kabur saja dari sini cepat-cepat, lalu terbang menjemput Rena untuk menggantikanku duduk di sebelah Adam.

“Ibu Guru tahu? Dia itu perempuan brengsek! Jauh-jauh Adam datang bawa kue supaya dia senang, tapi yang Adam lihat di sana itu bikin Adam gila!” Adam menggebrak meja dengan sekuat tenaga. Refleks aku bangkit dari kursi dan mundur dengan panik. Dua dari petugas penyidik juga sudah berdiri dan siap mengambil ancang-ancang untuk mengambil senjata di pinggang mereka. Adam membenamkan kepala di antara kedua tangannya yang sudah basah oleh keringat, lalu terisak-isak.

“Adam lihat Om Johan turun ke bawah, terus Adam masuk ke kamar. Mama masih ada di ranjang, tidak pakai apa-apa. Waktu dia lihat Adam datang, dia kaget lalu memaki-maki. Adam bilang kalau hari ini ulangtahun Mama. Tapi perempuan itu tidak mau menerima salam dari Adam, apalagi memeluk. Dia cuma tertawa terus mengusir Adam pergi. Terus Adam bilang kalau Adam mau memaafkan Mama asal Mama pulang lagi ke rumah yang dulu. Tapi… tapi… Mama terus tertawa, tawanya tambah keras. Mama menertawakan Adam, Bu! Tidak boleh ada yang menertawakan Adam! Tidak boleh ada yang menolak Adam! Tidak boleh ada yang mengusir Adam! Tidak boleh! Adam marah! Adam… Adam ambil gunting yang ada di meja, Adam tusuk. Adam tusuk terus, sampai dia tidak tertawa lagi! Tusuk terus, sampai dia tidak tertawa lagi! Tusuk terus, tusuk lagi, lagi, terus... tusuk…. “

Teriakan Adam makin lama makin tinggi melengking, dia histeris. Polisi mulai memborgol tangannya, tapi dia terus meronta. Mulutnya tak bisa ditutup, terus menjerit. Jeritannya mengiringi putaran bintang-bintang yang beterbangan di kepalaku. Entah dari mana datangnya, aku mulai mencium amis darah dan mendengar denting gunting yang ditusuk-tusuk. Cres, cres, cres. Erat-erat kututup telinga, tidak kuat mendengar ocehannya lagi. Makin lama tubuhku terasa ringan, melayang lalu ambruk. Tak mendengar apa-apa lagi. Tak ingat apa-apa lagi.

No comments: