12.22.2010

Air, Udara, Api, Tanah

Tidak banyak orang bisa menikmati hal-hal kecil di sekitarnya. Fe beruntung, ia bisa. Bahkan, saat menapaki tangga kayu apartemennya.

AIR
Fe mengunci pintu apartemennya dengan hati-hati, kemudian mengeceknya sekali lagi, sebelum menyimpan kunci di kantong kecil di tasnya. Ia bukannya tidak percaya pada keamanan gedung apartemen sederhana bertingkat dua ini. Tapi, toh, tidak ada salahnya berjaga-jaga, biar tidak menyesal. Ia cinta pada apartemennya. Cinta pada apa yang ada di dalamnya. Karena, itu semua murni hasil kerjanya, bukan hasil menodong seperti yang biasa dilakukan anak-anak muda yang memiliki orang tua kaya.

Ia cinta pada seisi gedung ini. Tempatnya, suasananya, terlebih lagi, orang-orangnya. Bu Rasti, yang sudah bertahun-tahun hidup sendirian, suka dengan misteri yang menyelubungi dirinya. Atau, keluarga Warren yang datang dari Eropa bersama keempat anaknya yang masih kecil. Mereka sudah telanjur cinta pada Indonesia. Tina yang antusias terhadap mode, tapi sangat pelupa. Pasangan muda Amadeus yang baru saja pindah ke apartemen bawah. Andrea yang tak pernah ramah, tapi selalu tersenyum cerah jika menawarkan kosmetik buatan perusahaannya. Satu lagi, Orien, satu-satunya penghuni yang masih kuliah di salah satu universitas swasta di kota ini.

Fe berjalan menyusuri lorong apartemen itu pelan-pelan. Pagi masih segar dan dia punya banyak waktu untuk menikmatinya. Ia selalu bangun saat matahari baru saja menampakkan diri di peraduannya dan ketika embun pagi baru menyentuh dedaunan. Supaya ia bisa mendengar kicau burung. Supaya ia tidak terburu-buru mempersiapkan harinya. Supaya masih sempat menyapa Yang Di Atas untuk berterima kasih dan memohon perlindungan-Nya. Dan, supaya ia tetap merasa hidupnya masih mengalir seperti air.

Hanya ada tiga penghuni apartemen di tingkat dua termasuk Fe. Dan, seperti biasa, Fe cuma berhasil mengulum senyum saat melewati pintu apartemen Tina, lalu terus melenggang saat melihat pintu apartemen Orien, karena ia tahu gadis itu masih terlelap pada jam-jam segini.

Ketika kakinya mulai menginjak anak tangga, ia kembali teringat saat pertama ia datang ke apartemen ini. Harganya memang relatif murah dibandingkan apartemen mewah bertingkat puluhan. Bagi Fe, banyak hal dalam hidup ini yang tidak bisa dicapai dengan hanya menjentikkan jari. Butuh lebih banyak cucuran keringat dan tetesan air mata, untuk mendapatkan sesuatu. Karena itu, ia lebih suka naik dan turun lewat tangga.

Di ujung tangga, ia melihat Pak Suwa sedang memperbaiki pintu. Pak Suwa adalah suami dari pemilik apartemen ini dan terdaftar sebagai salah satu anggota ISTII alias Ikatan Suami Takut Istri Se-Indonesia. Pekerjaannya setiap hari cuma memperbaiki pintu, yang tak pernah berhasil dibetulkan. Siang hari ia menghabiskan waktu untuk kabur ke alam mimpi dan membiarkan dirinya berkeliaran di sebuah supermarket yang cukup besar di kota ini sebagai satpam. Fe jarang bertemu dengan Bu Elly, istrinya, karena biasanya ketika ia hendak berangkat ke kantor pagi-pagi, wanita itu sudah berangkat ke pasar tradisional. Baik untuk berbelanja bahan-bahan makanan maupun berbelanja gosip-gosip terbaru.

“Sudah mau berangkat, Mbak?” sapa Pak Suwa. Sapaan yang sama tiap pagi, yang selalu dilengkapi senyum genit, sambil memelintir kumisnya yang cukup lebat. Konon, ia memelihara kumis itu karena kumisnya cukup ampuh untuk mengancam istrinya yang suka marah-marah dan cemburu. Pasalnya, kata orang, Pak Suwa selalu mengancam istrinya akan mencukur kumis kebanggaannya itu jika istrinya mulai marah-marah. Tapi, itu cuma cerita yang mungkin disebarkan dari mulut Pak Suwa sendiri, supaya ia tidak ketahuan takut pada istrinya yang galak. Padahal, semua tahu bahwa Pak Suwa tidak pernah bisa berkutik menghadapi mulut tajam istrinya.

Seperti biasa, Fe cuma mengangguk, sambil tersenyum. Senyum kecil yang tulus. Tanda bahwa ia senang menerima sapaan Pak Suwa, meskipun tiap hari kalimat tersebut menyentuh daun telinganya. Fe lantas melenggang melewati Pak Suwa yang kembali sibuk berkeluh kesah.

Teriakan anak-anak kecil membuat langkahnya berhenti tatkala ia hendak melewati pintu apartemen keluarga Warren.

“No, Kevin! Don’t do that! Give it to me!” terdengar teriakan Mrs. Warren pada Kevin, anak tertuanya.

Daun pintu apartemen itu terbuka dan wajah mungil Sally, anak ketiga keluarga Warren yang berumur tiga tahun itu, muncul. Gadis mungil ini selalu tahu pukul berapa biasanya Fe lewat pintu apartemen mereka.

“Good morning, Miss Fe,” sapanya, sambil mengulurkan tangan. Masih ada remah-remah roti kering sisa sarapan di sekitar mulut Sally.

Fe berjongkok di depan gadis kecil itu, membersihkan wajah si mungil, kemudian menerima uluran tangannya. “Pagi, Sally. Apa kabar?”

Sally menepuk perutnya yang terlihat penuh untuk menunjukkan bahwa ia baru selesai sarapan.

“Selamat pagi, Fe!” sapa Mrs. Warren, kemudian menatap gadis kecilnya dengan tatapan serius. “Sudah beri salam pada Fe?”

Sally mengangguk.

“Good girl!” kata Mrs. Warren. Sedetik kemudian terdengar suara sendok terjatuh diiringi tangisan si bayi Georgie. Kemudian, ia meninggalkan Fe dan Sally sambil menggeleng-gelengkan kepala pada Fe, dan berkata, “Semoga harimu menyenangkan, Fe!”

Fe cuma tersenyum simpul. Senakal apa pun anak-anak keluarga Warren, ia senantiasa menikmati waktu bersama mereka.

“Give me a kiss before I go, Dear,” pinta Fe dan memberikan pipi kirinya untuk dicium mulut mungil Sally.

Sally terkikik setelah mencium pipi Fe, yang lalu menutupkan pintu untuk Sally. Ia kembali melangkah menuju pintu keluar gedung itu.

“Tunggu, Fe!”

Fe menoleh, sambil menaikkan alis matanya. Tanda bahwa suara itu tidak biasa didengarnya di pagi hari.

Bu Rasti berjalan tergesa-gesa menghampiri Fe.

“Bu Rasti ada perlu dengan saya?” tanya Fe, ketika Bu Rasti sudah berdiri di hadapannya sambil membetulkan letak roknya.

“Kau selalu berjalan kaki ke kantor, ya?”

Fe menganggukkan kepala. Bertanya-tanya dalam hatinya.

Tidak banyak orang bisa menikmati hal-hal kecil di sekitarnya. Fe beruntung, ia bisa. Bahkan, saat menapaki tangga kayu apartemennya.

“Saya ingin berjalan denganmu. Pagi ini kita satu arah.”

Fe cuma tersenyum. Dari senyumnya Bu Rasti tahu bahwa Fe membiarkan dirinya mengusik paginya. Air tanpa riak kadang-kadang terasa begitu membosankan.

Mereka berdua melangkah keluar gedung. Wajah mereka ditimpa matahari pagi. Dalam diam mereka berjalan bersama. Orang-orang yang mereka temui menyapa Fe, sambil mengerutkan kening mereka, tatkala melihat Bu Rasti berjalan bersama gadis itu. Tanda bahwa pemandangan pagi itu tidak biasa. Fe menyimpan senyum dalam hati. Kemisteriusan Bu Rasti yang hinggap dalam dirinya pagi itu justru memberikan kenyamanan tersendiri bagi Fe. Fe tidak suka orang-orang mengusik kehidupannya dengan menanyakan berbagai macam hal tidak penting. Karena itu, Fe juga tidak tertarik untuk mengganggu keheningan yang diciptakan oleh Bu Rasti.

Gonggongan beberapa anjing memecah keheningan antara Fe dan Bu Rasti. Sejak kepindahan Fe ke gedung apartemen itu, ia tidak mengerti mengapa ada anjing liar berkeliaran di depan tempat tinggalnya. Kini, ia tahu sebabnya. Meskipun ia tidak begitu suka dengan binatang itu, ia tidak pernah terganggu dengan gonggongan yang sering terdengar di menit-menit pertama ia membuka mata. Fe yakin makhluk-makhluk itu juga punya perasaan.

Fe kembali menaikkan alis matanya. Tanda bahwa riak-riak yang datang menghampiri aliran airnya lebih banyak dari yang ia perkirakan. Anjing-anjing liar itu mengelilingi mereka. Tepatnya, mengelilingi Bu Rasti. Mereka sibuk menggonggong, menyalak, menjulurkan lidah, sambil menggoyang-goyangkan ekor. Kesibukan Bu Rasti lain lagi. Ia sibuk merogoh tas dan mengeluarkan sebungkus tulang-tulang ayam dan beberapa potong roti isi daging yang sudah diiris kecil-kecil.

Bu Rasti tidak berkata apa-apa. Mulutnya masih terkunci. Ia tidak menyuruh Fe untuk meninggalkannya ataupun menunggunya. Ia hanya sibuk memberi makan anjing-anjing liar itu. Ia tidak peduli tangannya kini kotor karena terkena bulu-bulu mereka yang kemungkinan besar tak pernah tersentuh dengan air sabun dan karenanya baunya pun sedikit menyengat. Sekali lagi, Fe tetap membiarkan riak-riak yang baru itu datang menghambat aliran airnya. Fe menikmati pemandangan di depannya. Seorang wanita dan anjing-anjing liar.

Menurut Fe, anjing-anjing liar itu kadang-kadang terlihat lebih manusiawi ketimbang manusia. Mereka tidak peduli apakah Bu Rasti seorang wanita yang cantik atau bukan. Seorang wanita seksi yang menimbulkan decak kagum dari mulut para kaum Adam dan tatapan iri dari mata kaum Hawa, atau bukan. Atau, seorang wanita yang berpenampilan bak seorang putri dari negeri dongeng, sehingga ke mana pun ia pergi, beribu-ribu pasang mata melihatnya bagaikan mata kucing di malam hari, atau bukan. Tak ada sebersit pun dalam pikiran mereka untuk melihat manusia dari luar.

Fe iri. Dan, baru kali ini ia merasa iri. Iri terhadap makhluk-makhluk yang menurut sebagian orang terlihat begitu menjijikkan. Seandainya manusia bisa memiliki ketidakpedulian yang dimiliki anjing-anjing itu, tentu kedamaian masih mau mempertimbangkan untuk tinggal di bumi.

Fe juga malu. Karena, pernah dalam beberapa detik kehidupannya, sepotong kesan mampir di benak Fe, ketika pertama kali berkenalan dengan Bu Rasti. Seorang wanita yang tidak menarik. Dilihat dari sisi mana pun. Pagi ini, ia melihat Bu Rasti sebagai wanita yang berbeda. Seorang wanita yang ternyata masih menikmati hidup di sela-sela kesendiriannya. Seorang manusia yang punya hati. Seorang manusia yang ditenun sebagai wanita dengan kecantikan yang lahir dari perpaduan antara janin dan jiwa. Bukannya wanita yang kecantikannya hampir luntur karena termakan usia. Bukan pula wanita dengan porsi tubuh yang tak pernah tercantum dalam kamus wanita-wanita ideal ala Indonesia. Bukan pula manusia yang selalu hidup dalam sendiri.

“Kita jalan lagi, Fe,” sapaan Bu Rasti terasa lembut menghampiri gendang telinganya. Dan, ia bersyukur karena ia tidak meninggalkan Bu Rasti. Melihat Bu Rasti dengan binatang-binatang liar itu adalah salah satu cuplikan cerita kecil dalam hari-harinya, yang akan terukir sepanjang masa dalam lembaran kehidupannya. Fe cuma salah satu dari segelintir orang yang tetap mensyukuri hal-hal kecil yang ia alami dalam hidupnya.

Keheningan kembali menyapa. Tetapi, kali ini terasa ada gaung akrab yang menjadi jembatan antara Fe dan Bu Rasti.

“Pagi ini, entah kenapa, saya ingin ditemani seseorang,” kata Bu Rasti.

Fe mendengarkan setiap kata yang diucapkan.

“Sepanjang hari saya merasa sendiri. Setiap pagi, saya menyusuri jalan sendirian.” Bu Rasti menghentikan langkahnya dan menatap Fe.

Tanpa sadar, kaki Fe pun berhenti melangkah.

“Saya ingin bersama kamu. Saya tidak tahu mengapa. Kamu mengingatkan saya pada seseorang yang saya cintai, tapi tak pernah sempat ada dalam pelukan saya.”

Fe terpaku menatap mata bening Bu Rasti, yang memandang sayang padanya. Selama beberapa saat, ia mengira ia berhadapan dengan ibunya.

“Saya ada di sini, jika Bu Rasti membutuhkan saya,” kata-kata itu keluar dari mulut Fe, tanpa ia sadari. Tapi, Fe tahu, ia mengucapkan kalimat itu dengan tulus. Muncul karena rasa simpati dari relung hati yang terdalam.

Wanita setengah baya itu tersenyum. “Saya tahu kamu akan mengatakannya. Terima kasih. Bolehkah saya memelukmu? Saya tahu tangan saya kotor. Tapi, setelah itu, saya berjanji tidak akan mengusikmu di sepanjang sisa pagi ini.”

Fe kembali mengangguk tanpa sadar dan membiarkan dirinya dipeluk oleh wanita yang baru saja ia kenal kembali pada hari itu. Tidak peduli dengan tangannya yang kotor dan bau. Bahkan, tangannya ikut merangkul tubuh Bu Rasti dan merasakan tetesan air di atas kain bajunya.

Bu Rasti melepaskan pelukannya. Tak terlihat sama sekali bahwa ia baru saja menangis. Padahal, Fe berani bersumpah, wanita itu sempat menangis dalam pelukannya.

“Terima kasih, Fe.”

Kata-kata Bu Rasti memang cuma itu. Tapi, Fe tahu, riak-riak dalam aliran airnya mulai menjauh dan membiarkan airnya kembali mengalir seperti biasa. Karena itu, Fe hanya bisa melambaikan tangan dan mengirimkan senyum manisnya, sebelum meninggalkan Bu Rasti sendiri di pinggir jalan itu.

Fe jadi rindu pada mamanya.

Fe menyisir rambut dengan jemarinya sebelum masuk ke gedung kecil tempat ia bekerja.

“Selamat pagi, Mbak Fe. Jalan kaki? Rajin, ya?” sapa Pak Dodo, satpam kantor paling senior, yang umurnya hampir berkepala enam. Tapi, pelupanya sama dengan orang yang berumur delapan puluh. Ia sudah ada sejak kantor tempat Fe bekerja berdiri, hampir tiga puluh lima tahun.

Sekali lagi Fe tersenyum. Hanya, kali ini senyum maklum. Sejak dia bekerja di kantor majalah wanita ini, dia selalu pergi dan pulang dengan berjalan kaki. Rupanya, rutinitas Fe tidak sempat menginap sehari pun dalam ingatan Pak Dodo. Karena, setiap kali bertemu Fe di pagi hari, ia selalu mengomentari Fe dengan hal yang sama.

“Pak Dodo juga rajin,” sahutnya.

Pak Dodo tersenyum lebar. Hidungnya kembang kempis karena dipuji. Jelas sekali hampir tak ada orang di kantor itu yang mau memuji laki-laki tua seperti dirinya, seperti yang dilakukan Fe.

“Saya masuk dulu, ya, Pak.”

“Mari, Mbak.”

Fe melangkahkan kakinya lagi. Satu hal yang ia sukai dari kantornya ini adalah ia tidak perlu menulis di buku absensi pukul berapa ia datang dan pulang. Bu Nana, pemimpin redaksinya, lebih menekankan kualitas kerja mereka. Asalkan pekerjaan beres dan selesai tepat waktu dengan hasil memuaskan, mereka boleh sesekali datang agak terlambat. Hanya, sanksi tegas tetap diberlakukan di kantor ini. Sering terlambat dengan alasan yang tidak jelas, atau absen dengan alasan yang tidak masuk akal, bisa mendapat teguran keras dari Bu Nana. Hukuman itu sudah lebih dari cukup dibandingkan hukuman potong gaji.

Fe sendiri punya aturan jam kerja yang ia buat. Ia menikmati masuk kantor tepat waktu, meskipun kadang-kadang saat deadline mengejar, ia harus bekerja lebih dari yang seharusnya. Baginya, pekerjaannya sekarang ini sudah seperti hobi, yang ditekuni sejak masih kuliah di fakultas sastra.

“Fe!”

Fe menoleh begitu namanya disebut. Sovie, temannya yang paling akrab di kantor ini tampak terengah-engah. Entah mengapa, ia selalu masuk kantor pagi-pagi dengan napas tersengal-sengal. Mungkin, menurutnya, ia akan tampak lebih keren kalau terlihat terburu-buru masuk kantor. Biar terlihat bersungguh-sungguh hendak mulai bekerja. Padahal, belum ada dua jam ia duduk di kursinya, ia sudah mulai membuka-buka novel dan katalog kosmetik yang ia bawa dari rumah.

“Kau lari dari rumah?”

Tidak banyak orang bisa menikmati hal-hal kecil di sekitarnya. Fe beruntung, ia bisa. Bahkan, saat menapaki tangga kayu apartemennya.

Sovie menggelengkan kepala dan merapikan rambutnya. “Aku belum segila kau. Jarak apartemenmu sampai kantor ini hampir lebih dari delapan kilometer! Bisa-bisanya tiap pagi kau menyusuri jalan sejauh itu.”

Dena, sekretaris Bu Nana menghampiri mereka. “Kalian berdua harus hadir rapat di ruangan Bu Nana lima belas menit lagi,” katanya, setengah memerintah, sementara matanya seolah memandang mereka berdua dengan pandangan seorang guru yang baru saja memergoki murid-muridnya menyontek. Kemudian, ia membalikkan tubuhnya sambil menyibakkan rambutnya yang panjang. Roknya pagi ini benar-benar mini dan hanya berhasil menutupi setengah pahanya yang panjang.

Sovie menggerutu panjang pendek. Bukan karena rapat yang harus dihadiri pagi itu, tapi lebih kepada tingkah Dena yang menyebalkan.

Fe menarik napas lega. Lega karena menemukan kantornya tak berubah. Masih seperti air yang mengalir. Suara teman-temannya yang mengobrol, entah tentang pekerjaan atau di luar pekerjaan. Gurauan-gurauan antar rekan yang menyenangkan. Pertengkaran kecil yang hangat. Tingkah teman-temannya yang kadang-kadang konyol.
Fe meletakkan tasnya di bawah meja kerjanya dan menggumamkan syukur karena masih diberi kesempatan sekali lagi untuk bekerja dan menikmati aliran airnya. Hanya beberapa detik. Lantas, ia mulai mengeluarkan catatan-catatan untuk rapat pagi itu. Ia sudah siap dengan apa yang ingin ditulisnya pada edisi bulan ini.

Matanya menelusuri apa yang sudah ditulisnya dengan rapi pada catatannya. Ia mengerutkan kening. Dua hari lalu, ia menuangkan rencana dan ide dalam pikirannya di atas kertas yang ia baca sekarang. Tapi, saat ini, ia merasa ragu-ragu untuk melahirkan benih-benih ide tersebut. Entah mengapa. Tinggal lima menit lagi sebelum rapat. Aliran airnya kembali bergejolak. Ada sedikit rasa panik melanda sekujur tubuhnya. Ia berusaha keras menghilangkan dorongan kuat yang ada dalam dirinya untuk membatalkan ide yang sudah ia persiapkan, tapi perasaan ragu-ragu itu malah semakin menancap dalam hatinya.

“Fe!”

Setengah terkejut karena namanya dipanggil sekeras itu, ia mendongak dan menemukan wajah Sovie dan Odie di hadapannya. Sovie dengan matanya yang melotot kesal karena baru pada panggilan kelima ia berhasil mengeluarkan Fe dari lamunannya.

Fe menggeleng-gelengkan kepala. Tidak mungkin. Rencana yang ia buat ini tidak mungkin ia ganti secepat membalikkan telapak tangan.

“Kita sudah ditunggu Bu Nana,” ucap Odie. “Kau sudah siap dengan apa yang ingin kau tulis ’kan?”

Fe menghela napas panjang, lalu mengangguk ragu. Airnya masih bergejolak. Kadang perlahan, kadang cepat. Kali ini, Fe benar-benar berusaha keras menghentikan mereka menghalangi alirannya. Ia tidak mau terlalu banyak riak pada hari itu.

Mereka bertiga memasuki ruangan Bu Nana. Ruangan Bu Nana ini didisain bukan untuk ruang kerja pribadi. Ruangan ini dirancang untuk sebuah relaksasi kerja. Dibuat senyaman mungkin, tapi tetap tampak profesional.

Di dalamnya sudah banyak suara tawa dan obrolan, seakan-akan mereka datang untuk arisan, sekadar berkumpul, dan bukannya rapat serius tiap awal bulan. Mereka mengelilingi meja kaca yang hanya setinggi tidak lebih dari mata lutut. Di atas meja terdapat penganan-penganan kecil. Sebagian duduk di sofa yang tersedia, beberapa duduk di kursi-kursi kecil dan yang lainnya duduk di atas karpet yang digelar.

Bu Nana memang tidak pernah menggelar rapat yang terlalu formal. Bukan berarti rapat yang digelar Bu Nana tidak pernah serius. Hanya, Bu Nana cenderung membiarkan anak buahnya bekerja dengan sistem kenyamanan. Hasilnya, memuaskan. Fe duduk di sofa di sebelah Melisa, penulis kolom gosip di majalah mereka, sedangkan Sovie dan Odie lebih memilih duduk di karpet.

Pintu ruangan Bu Nana terbuka. Wanita setengah baya yang masih enerjik dan terlihat cantik itu masuk, sambil bersiul-siul. Siulan yang sama setiap awal rapat. Tapi, entah bagaimana, siulannya selalu berhasil menghentikan dengung ramai teman-teman Fe. Bu Nana memandang anak-anak buahnya dengan matanya yang tajam. Memerhatikan satu per satu tiap mimik di hadapannya.

“Pagi, teman-teman! Oke, siapa yang akan mulai?”

Kirby mengacungkan jari. Bu Nana mengangguk, tanda bahwa gadis itu sudah diperbolehkan untuk bicara. Sekilas Kirbya mengungkapkan idenya untuk berkampanye tentang sarapan sehat. Bu Nana kembali mengangguk. ”Baik, saya ingin referensinya paling lambat besok pagi. Ada lagi? Fe?”

Fe mendongak dan matanya menatap Bu Nana yang memandangnya dengan pandang menyelidik. Seluruh pasang mata yang ada di ruangan itu kini menatapnya dengan sedemikian rupa sehingga ia merasa harus berbicara.

“Alienation,” katanya, pasti. Kata itu sama sekali tidak ada dalam catatannya. Hanya ada dalam pikirannya.
“Tidak terlalu berat?” tanya Bu Nana. Ia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa Fe bersungguh-sungguh dengan yang diucapkannya.

Fe menggeleng tegas. “Satu dari sepuluh wanita mengalami penyakit kejiwaan ini. Penyakit ini memang jarang menyerang seseorang, tapi sekali menyerang, akibatnya bisa sangat fatal, termasuk menyakiti diri sendiri secara fisik, yang berakhir dengan bunuh diri. Penyakit ini muncul karena hilangnya rasa penerimaan terhadap seseorang. Penyakit ini banyak diderita wanita karena pada umumnya, ketika wanita kehilangan persahabatan dan dukungan dari orang-orang di sekitarnya, ia akan merasa dirinya tidak cukup berharga untuk dicintai.

Bu Nana menelengkan kepalanya. “Oke, kuberi waktu tiga hari.”

Alienation. Salah satu penyakit jiwa yang dapat berakibat fatal hanya dengan dua stadium. Stadium pertama terjadi jika seseorang mulai merasa bahwa ia merasa terasing. Merasa sebagai alien, makhluk luar angkasa di tengah manusia yang ia kenal. Merasa bahwa manusia-manusia yang disebut masyarakat menolaknya sebagai bagian dari mereka karena suatu sebab yang biasanya tidak ia mengerti. Perasaan yang muncul karena masyarakat memandangnya, menatapnya dan bersikap sinis seakan-akan ia makhluk aneh yang harus dihindari. Tanpa mereka sadari sikap seperti itu dapat membunuh jiwa seseorang. Seseorang yang ada di stadium ini biasanya mengalami depresi dan stres yang terus-menerus menghantuinya. Jika tidak segera ditangani, akan berbahaya.

Stadium kedua lebih menyerang kepada diri orang itu sendiri. Stadium ini mulai hinggap pada si penderita ketika ia menyerah pada keadaan, dan setuju dengan pendapat masyarakat bahwa dirinya memang makhluk aneh yang harus dihindari dan tidak cukup layak untuk diterima dan dicintai dalam lingkungannya. Dan, karena ia sendiri menganggapnya demikan, hidup dapat merupakan momok yang menakutkan dan sesuatu yang tidak berguna. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi dari dunia yang tidak menerimanya sebagai suatu pribadi yang utuh dan layak untuk dicintai.

Fe menarik napasnya.

Fe tidak terlalu suka udara di sekitarnya terisap oleh orang-orang yang tidak seharusnya berada di sana, termasuk pria tampan itu.


Fe menghabiskan jam-jam kantor dengan menulis apa yang muncul dalam benaknya, menerjemahkannya dalam bentuk kerangka, dan mencari-cari berbagai informasi yang ia perlukan. Ia cuma sempat makan hamburger yang dibelikan Sovie. Entah malaikat mana yang merasuki pikiran Sovie sehingga ia membelikan makanan untuk Fe. Airnya mengalir nyaman, hanya sesekali riak-riak kecil datang.

“Fe, ada waktu?” suara Mala mengagetkannya. Fe mengangguk.

Mala meremas-remas tangannya. “Kau mau menolongku, Fe? Tolong temani aku ke kantor polisi.”

Fe mengerutkan keningnya. “Kau melakukan sesuatu?”

“Tidak!” jawab Mala cepat.

Fe mengembuskan napas lega, lalu mengajak Mala duduk di kursi ruang tamu kantor. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Fe. Ia hanya menunggu. Menunggu cerita Mala. Ia tidak ingin memaksa seseorang untuk bercerita sesuatu jika orang itu tidak menghendakinya. Ia tidak suka memancing-mancing hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu sehingga membuat orang lain tidak nyaman.

Mala mulai bercerita. “Kau tahu adikku, ‘kan? Ade. Bulan ini sudah tiga kali ia dipanggil kepala sekolah karena berkelahi dan merokok.”

Fe mendengarkan dengan penuh perhatian. Ia paham benar tentang seni mendengarkan. Bertahun-tahun ia belajar mendengarkan orang lain, selain mendengarkan dirinya sendiri. Ia hanya perlu menyediakan telinga dan sedikit waktu untuk sekadar mendengarkan masalah teman-temannya. Kemudian, ia menyimpan cerita mereka rapat-rapat dalam buku kehidupannya karena cerita itu memberi arti tersendiri dalam diri Fe.

“Ia tidak pulang semalaman. Ibu sangat cemas memikirkannya. Kau tahu sendiri betapa sayangnya ibuku pada Ade. Pagi tadi dua polisi datang ke rumah dan melaporkan bahwa adikku ditahan di kantor polisi karena berkelahi sehingga lawannya terkena gegar otak ringan. Aduh, Fe, aku tak menyangka Ade bisa melakukan itu. Ibu langsung pingsan dan aku tak mungkin membawanya ke kantor polisi. Aku….”

“Kau ingin aku menemanimu?” tanya Fe, hati-hati.

Mala mengangguk. Fe tersenyum. Senyum yang memberikan kehangatan tersendiri dalam hati Mala. Membuatnya lega dan menyadari bahwa dia tidak sendirian.

Bagi Fe, kantor polisi hanya tempat persinggahan orang-orang, yang menurut hukum telah melakukan sesuatu yang merugikan masyarakat dan hukum itu sendiri. Tempat persinggahan sementara, untuk menunggu apakah ia akan dikembalikan ke tengah masyarakat atau dilempar ke tempat yang bisa merenggut kebebasannya.

Saat mereka tiba di kantor polisi, tidak ada kegaduhan atau kesibukan seperti layaknya kantor polisi. Beberapa petugas polisi terlihat menonton televisi yang menayangkan acara kuis dan seorang polisi mengisi TTS di mejanya. Mungkin, karena magrib menjelang, kantor itu jadi sepi.

Untung saja, seorang polisi membantunya dengan senang hati. Ia cukup mengenal Ade, yang sering terlibat dengan perkelahian di sekolah atau antargeng di luar sekolah. Karena mendapat perlakuan ramah, pikiran jelek yang hinggap dalam otak Mala tentang kantor polisi seperti terbang ditiup angin.

Hari itu belum berakhir. Fe masih mengalir seperti air. Ia sadar ia sudah membuat keputusan tepat dengan menemani Mala ke kantor polisi. Kadang-kadang, kehadiran terasa lebih manis dibandingkan segala macam nasihat. Fe hanya melakukan apa yang bisa ia lakukan.

Baru beberapa menit berlalu, serombongan orang menyeruak ketenangan dalam kantor polisi itu. Mereka membawa seorang anak laki-laki, yang wajahnya sudah memar, berdarah.

“Ada apa ini?” seorang petugas polisi menghampiri orang-orang itu.

“Anak ini mencuri, Pak! Ketahuan mencuri ayamnya Pak RT!” sahut seorang bapak berkumis. “Anak ndak tahu diuntung! Pak RT itu sudah baik sama ibunya!”

“Ampun, Pak.” Anak laki-laki kurus itu terlihat tak berdaya. Wajah tirusnya memperlihatkan ketakutan yang amat sangat. Fe yakin, dia baru pertama kali datang ke kantor polisi dengan tuduhan pencurian. Fe juga yakin, dia sudah mendapat hukumannya sebelum dibawa ke kantor polisi.

Fe mendesah melihat orang-orang yang begitu bernafsu menghukum anak laki-laki itu. Di luar sana, ada banyak orang yang mencuri dan merampok sejumlah besar uang. Mencuri waktu di sela-sela pekerjaan untuk memberi keuntungan untuk diri sendiri, tanpa memikirkan nasib orang lain. Pencuri-pencuri dengan label nama dan jabatan terhormat, tapi sesungguhnya memiliki nurani membusuk, usang, dan keropos dimakan keserakahan.

Hati Fe seperti disayat tatkala melihat wajah anak laki-laki itu ditampar oleh seorang bapak. Dan, petugas polisi itu membiarkannya, seolah-olah anak itu bukan manusia. Anak laki-laki ini mungkin ketahuan mencuri ayam. Mencuri ayam! Fe yakin, penyesalan anak laki-laki ini jauh lebih dalam ketimbang orang-orang di luar sana, yang menebarkan janji manis. Mereka mencuri hati masyarakat dan menelantarkannya begitu saja, setelah tidak diperlukan.

“Fe? Kita pulang, Fe.”

“Bagaimana dengan adikmu?”

Mala menggeleng. “Ade harus menginap di kantor polisi. Tiga hari. Untung saja orang tua anak yang gegar otak itu mencabut tuntutan mereka, dengan syarat Ade tidak boleh dekat-dekat lagi dengan anak itu. Aku harus memberi tahu Ibu.”

“Perlu kutemani?” tanya Fe.

Sekali lagi Mala menggeleng. “Terima kasih, Fe. Aku sudah cukup merepotkan. Aku tidak mau mengganggumu lagi.”

Saat mereka melangkah keluar dari kantor polisi malam itu, sekali lagi Fe menoleh, mencoba mencari anak laki-laki tadi. Tapi, Fe tidak melihatnya. Matanya sampai pedas mengedarkan pandangannya ke seluruh isi kantor itu.

“Semoga kau baik-baik saja, siapa pun kamu,” gumam Fe.

Fe tidak terlalu suka udara di sekitarnya terisap oleh orang-orang yang tidak seharusnya berada di sana, termasuk pria tampan itu.


Fe tiba di apartemennya malam itu dengan tubuh lelah. Di bawah tangga, Bu Elly, si empunya gedung, sedang menceritakan sesuatu, yang sepertinya seru, kepada nyonya muda Amadeus. Fe tersenyum geli.

“… si Orien itu. Saya juga baru tahu bahwa dia itu wanita panggilan. Saya ndak nyangka kalau mahasiswa universitas elite seperti dia bisa punya profesi wanita panggilan. Pantesan dia bisa beli baju-baju bagus. HP-nya ganti-ganti melulu! Bagus-bagus lagi! Pasti mahal, deh! Dulu dia sering nunggak bayar apartemen. Pernah sampai dua bulan ndak mbayar! Sekarang dia selalu bayar tepat waktu. Tadinya saya heran, kok, tumben dia tepat waktu. Eh, ternyata…,” Bu Elly bercerita.

Sebelum kaki Fe sampai di ujung tangga, Orien muncul. Dandanannya malam itu cukup luar biasa. Kaus yang menempel ketat pada tubuhnya, menunjukkan belahan dada yang menggiurkan. Ia naik, tanpa berkata apa-apa pada Fe, Bu Elly, maupun nyonya muda Amadeus itu.

Kemudian, lidah Bu Elly bergerak lagi. Lebih tajam, sehingga telinga Fe merah mendengarkannya. Karena itu, ia memutuskan untuk cepat-cepat naik. Ia tidak mengerti, kenapa bagi sebagian orang, membicarakan apa yang menurut mereka buruk dan berdosa menjadi kenikmatan tersendiri.

Kadang-kadang Fe tidak peduli pada pendapat masyarakat. Mereka cuma bisa bicara, bergosip, menyebarkan cerita yang belum tentu benar. Mereka cuma bisa mencela, tanpa punya keinginan untuk mencari tahu yang sebenarnya. Omongan mereka, toh, tidak bisa memberinya makan. Hanya mengurangi jam tidurnya saja. Dan, Fe sama sekali tidak mengizinkan siapa pun menghambat aliran airnya. Riak-riak dan gejolak yang sesekali ia biarkan datang, hanyalah riak-riak yang membuat aliran airnya menjadi tidak membosankan.

“Kau tidak ikut bergosip?”

Fe menghentikan langkahnya. Di hadapannya berdiri Orien dengan tatapan terluka yang mengiris hati Fe.

“Tidak,” jawab Fe.

Orien mendesah. “Syukur masih ada yang berakal sehat.”

Sebelum Fe menanggapinya, gadis itu sudah masuk ke dalam apartemennya. Meninggalkan Fe sendirian.

Fe melihat sepotong luka dalam diri Orien. Ia tidak tahu mengapa saat itu ia ingin menerobos masuk ke dalam apartemen Orien. Hanya untuk menenangkan gadis itu, mengatakan padanya bahwa masih ada orang yang menerima dia apa adanya.

Tapi, Fe meneruskan langkahnya dan masuk ke apartemennya sendiri. Ruang apartemennya yang nyaman. Yang meskipun kecil, mampu membuat dirinya bernapas lega dan bersyukur karena raganya punya tempat untuk berlindung dan selama beberapa waktu ia bisa bebas menjadi dirinya sendiri.

UDARA
Pagi itu, Fe membuka mata dengan berbagai perasaan berkecamuk. Ia tahu, ada sesuatu akan terjadi pada hari itu, tapi entah apa. Dan, ketidaktahuan selalu membuatnya tegang. Gadis itu bangkit dari tempat tidur, melirik jam dinding yang baru menunjukkan pukul lima lebih sedikit. Matahari masih pelit memancarkan cahaya. Sesekali hanya terdengar kicau burung bersahutan. Salah satu yang ia sukai tinggal di gedung itu adalah ia tidak perlu mendengar suara derum kendaraan bermotor atau raungan mesin mobil, seperti yang ia dengar di jalan-jalan pusat kota. Orang-orang yang tinggal di sini menyukai ketenangan.

Ia membuka tirai dan daun jendela, membiarkan udara pagi menyusup masuk ke dalam kamarnya. Ia menghirup udara yang masuk, mengisi paru-parunya dengan udara segar, dan sekali lagi bersyukur ia masih boleh menikmati pagi yang baru.

“Selamat pagi, Fe!” sapa Pak Tua Lodo, yang setiap pagi lewat di bawah jendela kamar apartemen Fe.

“Selamat pagi, Pak! Jalan-jalan?” sahut Fe, membalas sapaan Pak Tua itu dengan senyuman. Ia tahu, senyuman dapat memberi banyak arti pada sebagian orang. Fe yakin, hanya dengan sebuah senyum, seseorang dapat mengubah dunia. Dan, kalau itu bisa membuat dunia menjadi lebih baik, kenapa tidak?

Pak Tua Lodo itu mengangguk dan membalas senyum Fe. Fe tidak bisa menerka berapa umur Pak Tua itu. Baginya, Pak Tua Lodo adalah seorang pria dengan sisa-sisa kejantanan masa lalu, yang masih menempel dalam jiwanya, dan juga seseorang yang menyenangkan untuk dikenal.

Kemudian, pria tua itu melambaikan tangan dan melanjutkan aktivitasnya. Hanya ada udara sebagai orang ketiga saat percakapan itu berlangsung. Sekali lagi, Fe menghirup udara sebanyak-banyaknya, seolah-olah hendak membersihkan ruang kotor dalam paru-parunya. Lalu, ia melangkah masuk kamar mandi.

Harinya baru akan mulai.

Fe mempersiapkan paginya dengan cermat. Awal yang baik membuahkan hasil yang baik. Begitulah Fe menghadapi hari-harinya. Lorong yang sama, tetangga-tetangga satu tingkat yang sama, kebiasaan yang sama, dan udara yang sama.

“Hai, Fe,” sapa Tina, ketika mereka bertemu pagi itu. Dandanannya modis. Fe selalu senang melihat penampilan Tina. Rasanya, baju apa pun selalu pas di tubuhnya. Dan, ia tak pernah kehabisan ide untuk mengubah gaya penampilannya. Dari celana tahun 60-an sampai baju model terbaru. Dari warna pastel sampai warna mencolok.

“Berangkat pagi?” tanya Fe, sambil memasukkan kuncinya ke dalam tas.

Tina mengangguk. Dari gerak-geriknya, Fe tahu, ia sedang terburu-buru. “Aku berangkat dulu, Fe!” katanya, kemudian setengah berlari menuruni tangga. Baru beberapa detik, tiba-tiba ia mendengar suara gaduh anak tangga.

“Disketku ketinggalan!” teriak Tina, sambil segera memasukkan anak kuncinya dengan gugup, kemudian menghambur masuk ke dalam apartemennya.

Fe hanya mengulum senyum. Sudah paham atas kebiasaan Tina. Sudah tidak heran. Tapi, mungkin, di situlah daya tarik Tina. Entah sudah berapa pria yang ia tolak, sampai ia benar-benar menambatkan hatinya pada seseorang yang ia cintai, yang mampu mengimbangi kecerobohannya.

“Aku duluan!” sekali lagi Tina membuat gaduh. Segaduh dan seceroboh apa pun gadis itu, Fe tidak pernah terganggu oleh sifatnya. Itulah Tina. Dan, tanpa sifat-sifatnya itu, Tina bukanlah Tina yang menarik.

Fe berhenti sejenak di depan pintu apartemen Orien. Teringat kembali pertemuannya kemarin dengan Orien. Wajah Orien yang menunjukkan perasaan terluka. Kata-kata Bu Elly yang mengiris hati. Selama beberapa detik ia merasa harus mengetuk pintu itu pagi ini untuk memastikan gadis itu baik-baik saja.

Tangan Fe sudah hendak mengetuk pintu apartemen Orien, ketika ia akhirnya mengurungkan niat. Sejak kapan ia punya rasa ingin tahu terhadap seseorang? Ia tidak pernah mau mengganggu privacy seseorang. Tapi, mengapa pagi ini terbersit keinginan untuk mengetahui keadaan Orien?

Fe kembali melangkah. Biarlah. Ia ingin menjalani hari itu seperti biasa. Meskipun, ia masih menyempatkan diri untuk menoleh sekali lagi ke arah pintu apartemen Orien. Dan, ia masih tidak tahu apa sebabnya.

Fe tidak terlalu suka udara di sekitarnya terisap oleh orang-orang yang tidak seharusnya berada di sana, termasuk pria tampan itu.


Fe sedang asyik menuangkan ide-idenya siang itu, ketika Sovie menghampiri mejanya. Sovie mengatur napasnya. “Kau lihat freelancer baru yang bareng Bu Nana pagi tadi?”

“Enggak,” sahut Fe, cuek.

“Ada dua. Sebastian dan Tony. Sebastian tampan, lho.”

Fe melirik Sovie, lantas tertawa kecil. “Tadi pagi aku di ruangan Bu Nana untuk membicarakan tulisanku.”

Fe kembali menekuni layar komputer. Ini jauh lebih menarik daripada menggosipkan pria yang belum dikenalnya.

“Hai! Kau yang bernama Fe? Saya Sebastian.”

Fe mengerutkan kening, kesal karena merasa terganggu.

Fe menatap pria di hadapannya. Pria itu memang memiliki wajah dengan struktur tulang yang dipahat dengan apik. Tubuhnya yang ramping berotot menunjukkan bahwa dia melakukan latihan rutin.

“Kau yang bernama Fe ‘kan?” tanya pria itu, sekali lagi.

Fe mengangguk, sambil berdiri dan mengulurkan tangan, “Fe.”

Pria itu mengangguk. “Jadi, kau anak kesayangan Bu Nana?”

Giliran Fe yang mengangguk.

Dengan kedua tangan dimasukkan di kantung celana, Sebastian berusaha melongok ke layar komputer Fe. “Sedang menulis apa?”

Apa hak dia bertanya-tanya seperti itu? Kenal pun baru saja! Dan, Fe tidak terlalu suka udara di sekitarnya terhisap oleh orang-orang yang tidak seharusnya berada di sana. Sebastian salah satu di antaranya. Meski demikian, ia meredam perasaan kesalnya dan memberikan senyuman pada pria usil itu.

Bisa kau tinggalkan aku? Aku harus menyelesaikan tulisanku,” pinta Fe.

Pria itu tertegun. Seumur hidupnya mungkin ia tidak pernah ditolak oleh wanita. Saat ini, wanita yang baru dikenalnya itu, baru saja mengusirnya secara halus. Dan, ia tidak mengerti. Juga tidak menerima. Bagaimana mungkin? Tapi, tatapan gadis itu meredakan amarahnya. Senyumnya seolah mengelus lembut ruang hatinya. Ada rasa nyaman yang menenteramkan. Seakan dilecut oleh senyum itu, Sebastian mengangguk sopan dan meninggalkan Fe.

Fe mengembuskan napas lega, lalu kembali menekuni pekerjaannya. Akhirnya, Fe bisa menikmati udaranya sendirian. Ia butuh itu untuk bekerja dengan baik.

Fe senang tulisannya lancar. Karena itu, ia menghadiahi dirinya dengan makan siang di kafe seberang kantor. Menikmati udaranya sendirian, sementara imajinasi dan ide-ide yang ada dalam kepalanya ia biarkan mengalir dan ia terjemahkan menjadi sebuah tulisan.

Makan siangnya cuma nasi goreng plus sebotol air mineral. Tapi, toh, ia menikmati kesendiriannya di waktu-waktu seperti itu.

“Boleh duduk di sini?”

Sapaan itu menyentuh daun telinga Fe. Menggetar kan hati.

“Tony?” Fe tidak menyangka akan bertemu sahabat masa kecilnya di tempat itu. Matanya berbinar senang “Sedang apa di sini?”

Tony tertawa kecil, meletakkan bakinya di hadapan Fe, kemudian duduk. “Aku sekantor dengan kau. Aku tadi ingin menyapamu. Tapi, kudengar kau mengusir Sebastian secara halus. Aku tidak mau senasib dengannya.”

Fe terkekeh.

“Kau tambah cantik, Fe.” Di balik kacamatanya, Tony menatap Fe dalam-dalam, meninggalkan debar jantung yang menyebar ke seluruh tubuh gadis itu.

Ada suatu masa dalam kehidupannya dulu, saat ia menyimpan perasaan cinta untuk pertama kalinya. Cinta Fe untuk seseorang, yang tak pernah tahu perasaan tulus itu. Fe yakin, perasaan itu bukan semata-mata bentuk evolusi dari dirinya yang kanak-kanak menuju remaja. Cinta pertamanya. Pada pria yang kini duduk di hadapannya. Perasaan yang ia simpan sendiri tanpa punya keinginan untuk membaginya pada pria yang mencuri hatinya.

Ia tahu, bagi Tony, Fe sudah seperti udara. Tony membutuhkannya. Tony merasakannya. Tapi, udara tetap udara. Yang tidak kelihatan. Yang tidak pernah diingat, meskipun setiap hari dihirup. Dan, Fe mengucapkan selamat tinggal pada cinta pertamanya ketika tahu Tony memberikan hatinya pada wanita lain. Dan, cinta itu tersimpan rapi di sudut hatinya. Tak ada seorang pun yang tahu.

Fe menyuap nasi gorengnya yang terakhir. “Aku tak menyangka kau tertarik bekerja di majalah.”

Kali ini Tony yang terkekeh. “Karena, aku tahu, aku bisa menemukanmu kalau aku bekerja di majalah.”

Kembali jantung Fe berdegup kencang. Waktu kembali berlalu dengan cepat. Dan, udara di sekitarnya terasa berputar. Ia meninggalkan kota kecilnya pada waktu itu dengan alasan ingin mengembangkan sayap dan terbang tinggi menggapai cita-cita. Semua orang tahu, betapa cintanya Fe pada dunia tulis-menulis. Betapa cintanya Fe pada dunia sastra. Dan, kepada Tony ia berbagi cita-cita. Percaya sepenuhnya bahwa hanya dengan Tony ia bisa berbagi, berbagi cinta dan kehidupan. Sampai wanita itu datang dan merebut Tony. Sejak itu, Fe tahu, ia hanya bisa terbang dengan sayapnya sendiri. Menikmati pemandangan sendirian. Butuh beberapa tahun untuk mengembalikan dirinya menjadi wanita yang utuh. Di sinilah ia sekarang. Nyaman dengan kehidupan barunya. Dengan sayap yang sudah dapat terbang dibantu udara.

“Bagaimana kau tahu aku bekerja di majalah ini?”

“Mudah bagiku menemukanmu, Fe.”

Fe menatap Tony tak mengerti. Mengapa dia tidak membiarkannya pergi? Mengapa dia mengejarnya kalau ia mencintai wanita lain? Mengapa ia tidak membiarkan Fe terbang sendirian setelah sayap itu sembuh dari luka-luka yang sudah dibuatnya? Mengapa Fe masih menyimpan cinta itu di sudut hatinya? Membiarkan dirinya menjadi udara, untuk dihirup seorang pria yang bahkan tak tahu cinta tulus yang ia miliki?

“Bagaimana kabarmu dengan Shiva?”

Bertahun-tahun ia tak sudi mengucapkan nama itu. Tapi, Fe yang dulu berbeda dari Fe yang sekarang. Ia tidak mau menemukan dirinya memiliki kebencian yang menyiksa hati terhadap seseorang yang belum tentu pantas ia benci. Fe tahu, tak ada seorang pun manusia di muka bumi yang pantas untuk dibenci. Separah apa pun luka yang sudah ditorehkan.

“Kita sedang membicarakan dirimu, Fe,” sahut Tony.

“Apa yang ingin kau ketahui? Aku suka kehidupanku.”

“Kau pergi tanpa pamit waktu itu.”

Kejadian masa lalu itu kembali membayangi dirinya. Melayang-layang di sekitarnya, persis seperti udara. Tidak dapat dilihat tapi dapat dirasakan. Masih nyata perasaan Fe pada saat ia memutuskan untuk meninggalkan kota kecilnya dan cinta pertamanya.

“Aku tidak bermaksud demikian. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku memang tidak sempat pamit. Maaf, ya.”

Mengapa ia harus minta maaf untuk sesuatu yang tidak dirasa salah? Kata-kata itu meluncur begitu saja. Seakan-akan membayar utang masa lalu. Udara yang sekarang lebih terasa menyenangkan ketimbang saat dia merasakan cinta pertama.

“Baiklah. Kita tidak akan membicarakan masa lalu lagi. Aku senang menemukanmu kembali. Sahabat yang tak pernah kulupakan dan selalu kusayangi.”

Gelombang udara di sekitar Fe berubah. Membuatnya menggigil.

Ia memungut undangan yang sudah ia lempar ke tempat sampah. Tangannya siap menyobek undangan itu.
Tapi, ia tersadar, apakah ia akan kalah dengan perasaan ini?


Fe hanyut dalam pekerjaannya. Gelombang udaranya bergerak tenang. Memberikan segenggam pasir waktu untuk sejenak lenyap dari dunianya dan masuk di dunia yang ia ciptakan sendiri. Perasaan nyaman itu kembali datang. Perasaan tatkala Tony belum hadir kembali di kehidupannya. Menciptakan detik, menit, dan jam berlalu dengan cepatnya.

“Pulang sekarang, Fe? Mau kuantar?”

Fe tersentak mendengarnya. Seakan sebagian udaranya tersedot.

“Aku lebih suka jalan kaki, Ton, terima kasih.”

“Aku tahu. Akan kuantar.”

Fe mengerutkan kening. “Aku terbiasa jalan kaki sendirian.” Tepatnya, dia terbiasa menghirup semua udara di jalan yang dilaluinya untuk dia sendiri. Dan, dia enggan membaginya dengan orang lain. Meski itu cinta pertamanya.

“Aku ingin tahu tempat tinggalmu.”

“Baiklah. Terserah.”

Tony tersenyum. Hati Fe hanya menggelepar pasrah.

“Ini apartemenmu, Fe?”

Fe mengangguk. “Aku tahu kau menganggapnya jelek….”

“Aku bisa merasakan baumu di sini.”

Fe tertawa kecil. “Seperti apa?”

Tony menatap Fe. “Baumu. Aku tak pernah melupakannya.”

Fe menghentikan tawanya. Ia benar-benar tidak menyukai cara Tony mengintimidasi dirinya sampai sejauh itu.

“Lain kali aku akan mampir. Aku harus benar-benar pergi sekarang,” kata Tony, sambil melirik arlojinya.

Terima kasih, Tuhan, batin Fe. Sudah cukup udaranya diambil Tony. Ia melambaikan tangannya sampai pria itu menghilang di tikungan. Fe melangkah perlahan menikmati sisa harinya dengan lega. Ketika menapakkan kaki di anak tangga pertama, dengung gosip dari mulut Bu Elly terdengar lagi. Kali ini ia berceloteh dengan Bu Mina, pemilik toko kue di seberang apartemennya. Masih dengan sindiran-sindirannya. Masih dengan topik yang sama. Orien.

Fe kasihan pada gadis itu. Meskipun ia wanita panggilan, Fe merasa Bu Elly tidak berhak ikut campur kehidupan pribadi Orien dengan menyebarluaskan gosip yang belum tentu benar. Tapi, ia tidak mau ambil pusing.

Ketika melewati pintu apartemen Orien, perasaan yang sama seperti tadi pagi muncul kembali. Tanpa sadar, tangannya mengetuk pintu apartemen Orien. Beberapa menit ia menunggu dengan sabar di depan pintu itu. Ia tidak mengerti mengapa ia harus menunggu. Apa yang ia tunggu? Tinggal beberapa langkah lagi menuju pintu apartemennya dan kemudian masuk untuk beristirahat. Lalu, mengapa ia masih di sini mengetuk pintu?

Pintu di hadapannya tiba-tiba terbuka.

“Pergi kau, Berengsek!”

Fe tertegun. Orien lebih tertegun lagi. Ia tidak berusaha menutup matanya yang sembap dan penampilannya yang acak-acakan. Gadis itu memakai kemeja kedodoran. Kancingnya tidak dikancing dengan benar dan ia tidak mengenakan bawahan. Lekuk-lekuk tubuhnya tercetak nyata dari kemeja kedodoran yang tipis itu.

“Maaf.”

Fe menggeleng. Tapi, ia tidak juga beranjak dari situ.

“Masuklah.”

Seperti terhipnotis, Fe masuk ke ruang apartemen itu. Untuk pertama kalinya. Atmosfer di situ membuat hati Fe merasa tak enak. Keadaannya berantakan sekali. Bekas botol air mineral yang tumpah tidak dibuang ke tempat sampah. Bahkan, matanya menemukan kue yang sudah berjamur di sudut sofa. Yang paling parah adalah dapurnya. Sudah tidak berbentuk dapur lagi. Tidak bisa dibedakan, mana tempat mencuci piring dan mana tempat membuang sampah. Semuanya sama saja.

Ukuran ruangan apartemen di gedung ini semua sama. Ruang tamu kecil, ruang tengah yang menghubungkan dapur dan tempat makan. Ada pintu kamar tidur dan kamar mandi. Tapi, keadaan apartemen Orien jauh berbeda dari apartemennya yang selalu rapi.

Fe membiarkan gelombang udaranya naik-turun melihat apartemen Orien separah penampilannya. Bra dan celana dalam tercecer di mana-mana. Entah bersih, entah kotor. Fe mengernyit ketika menemukan kondom bekas pakai di sudut ruangan.

“Duduklah.”

“Aku tidak mengganggu?”

“Aku senang masih ada yang punya hati nurani seperti kau. Aku muak pada orang-orang di sini.“ Gadis itu mengempaskan dirinya ke sofa dan melemparkan pakaian yang berserakan di sofa itu ke lantai. “Mereka cuma modal bicara. Untuk sesuatu yang memuaskan nafsu mereka. Tanpa mereka tahu, nafsu itu dapat membunuh, meskipun tidak menggunakan pisau.”

Fe tahu saat itu mungkin saat terpenting bagi Orien untuk menumpahkan perasaan. Fe senang diperbolehkan melakukan sesuatu yang dapat ia lakukan.

“Aku tahu aku gila seks. Mungkin saja aku wanita murahan. Tapi, aku masih tetap punya harga diri. Dan, hargaku tidak serendah yang mereka kira. Aku melakukan itu atas dasar cinta. Kami melakukannya karena kami mau melakukannya. Aku tidak memasang tarif untuk itu. Aku tidak melakukan apa pun yang merugikan orang-orang di sini. Itu urusanku sendiri. Ini kehidupanku. Aku bukan wanita panggilan.”

Kehadiran Fe di ruangan itu rupanya tidak menghalangi Orien untuk mengutarakan semua isi hatinya.

“Fe, mungkin kau tak mengerti masalahku. Tapi, aku merasa orang-orang mulai menolak dan tidak menerima kehadiranku di dunia mereka. Apa aku tidak layak dicintai?”

Fe menatap mata Orien. Kali ini mata bening itu berkaca-kaca. Bukan mata buas yang menyambutnya di depan pintu tadi. Kembali Fe melihat luka yang dalam di mata itu. Fe mencoba menyelami perasaannya dan berempati.

“Semua pria yang aku cintai meninggalkanku. Buat mereka, mungkin aku hanya wanita eksperimen. Didapatkan, dinikmati, disesap madunya, untuk kemudian dibuang. Ketika aku bercinta dengan mereka, kurasakan cinta, Fe. Karena itu, kuserahkan diriku. Tapi….”

Orien tertawa kecut. Terdengar mengerikan. Begitu pilu dan menyedihkan. Menyayat hati Fe. Duduk di hadapannya seorang manusia yang telanjur jatuh ke dalam jurang yang dalam. Ia menunggu uluran tangan seseorang yang mungkin tak pernah datang, sementara lumpur di dalam jurang itu terus mengisapnya.

“Aku sudah tidak berharga, Fe. Aku sudah kotor. Jangankan orang lain, aku sendiri pun tidak mengerti mengapa aku jadi seperti ini.”

Orien memandang Fe, yang mendengarkannya dengan perhatian. “Aku ingin menunjukkan pada dunia bahwa aku ada. Dengan tubuhku inilah dunia tahu aku ada. Aku tidak mau seperti udara. Dilupakan keberadaannya oleh orang lain, padahal mereka menghirup berkilo-kilo udara tiap harinya. Apa aku salah?”

“Tidak,” jawab Fe, setelah sekian lama berdiam diri.

Orien tertawa lagi. “Kau tak mengerti. Sebagai manusia, aku ini sudah tak ada artinya. Mahasiswa apa? Aku kuliah supaya orang-orang melihatku sebagai bagian dari manusia eksklusif yang berpendidikan tinggi, mempunyai martabat, dan terlihat intelek. Tapi, aku sendiri merusaknya. Aku muak dengan hidup ini, Fe. Aku muak mengetahui masyarakat membunuhku dengan ejekan dan celaan mereka. Seandainya mereka tidak peduli.”

“Seandainya mereka tidak peduli, mungkin kau akan terus seperti udara,” sahut Fe. “Bukankah kita sama sekali tak peduli pada udara? Rien, apa yang kau lihat dari setangkai bunga mawar?”

“Bunga mawar? Bunga yang berduri tajam.”

Fe tersenyum simpul. “Kalau kau bertanya padaku, akan kujawab, bunga mawar adalah bunga cantik yang kelopak-kelo-paknya mekar.”

Orien terdiam. Berusaha meresapi kata-kata Fe.

“Tiap manusia pernah punya kesalahan. Pernah jatuh. Pernah berbuat dosa. Kalau kau ingin dunia yang kau tinggali sekarang menjadi lebih baik, kita perlu mulai dari diri kita sendiri.”

Fe tidak mau berbicara lebih banyak lagi. Sudah cukup. Ia belum pernah bicara sepanjang itu ketika mendengarkan teman-temannya bercerita.

Setetes cairan bening jatuh dari mata Orien di atas pangkuannya saat ia tertunduk. Fe tersenyum. Dari senyumnya, Orien tahu, Fe sudah mencetak lembaran cerita dalam kehidupannya. Ia tidak mengerti mengapa petang itu ia membiarkan gadis yang tidak begitu ia kenal masuk. Membiarkannya mendengarkan isi hatinya yang tak pernah ia keluarkan, bahkan kepada mamanya. Ia tidak mengerti mengapa membiarkan gadis itu mengerti tentang kelam kehidupan dan hitam jalan yang ia tempuh. Tapi, kini ia mengerti. Fe mungkin saja malaikat yang dikirim Tuhan untuknya. Untuk mencairkan kebekuan hatinya yang terpendam selama bertahun-tahun.

Bukan otaknya yang memerintahkan kaki Fe untuk menghampiri Orien, tapi hatinya. Di situlah ia meminjamkan bahunya demi sebuah tangis yang mungkin dapat mengubah jalan kehidupan seseorang. Ia tidak peduli bajunya basah karena air mata. Jiwa gadis yang ada di pelukannya itu jauh lebih mahal daripada sekadar kain murah yang basah.

“Udara pun bisa sangat berguna kan, Fe?”

Ketika malam itu ia keluar dari apartemen Orien, sudah tidak terlihat luka di bening matanya. Ia tahu luka itu masih ada dalam hatinya. Tapi, Fe yakin, ia dapat menemukan cinta untuk menutupi luka-luka itu.

Belum pernah Fe sesenang itu. Ia ingin suhunya tak berubah.

Ia memungut undangan yang sudah ia lempar ke tempat sampah. Tangannya siap menyobek undangan itu.
Tapi, ia tersadar, apakah ia akan kalah dengan perasaan ini?


Tony menciptakan gejolak udara yang tidak menyenangkan dalam hari-hari Fe. Perhatian dan kedekatannya dengan Tony.

Fe baru saja keluar dari kantor Bu Nana pagi itu untuk menyerahkan tulisannya. Masih ada gaungnya di telinga Fe kata-kata Bu Nana yang memuji tulisannya. Fe merayakan keberhasilan kecilnya dengan minum susu cokelat panas mengepul di balik mejanya. Fe sedang menyeruput minumannya ketika Tony tiba-tiba datang dan duduk di hadapannya, tanpa gadis itu sadari.

“Sedang merayakan sesuatu, Fe?”

Terkejut dengan sapaan yang tiba-tiba, minumannya yang panas itu tumpah di atas rok Fe. Serta-merta Tony mengambil tisu yang tersedia di atas meja untuk membersihkan roknya. Aliran udara di kantor itu sempat berhenti, untuk kemudian kembali berjalan. Fe mengambil tisu di tangan Tony dan tidak membiarkan pria itu membantu membersihkan cairan susu yang tumpah. Ia meletakkan cangkir susu di meja dan sibuk membersihkan roknya. Dengan diam.

“Maaf,” gumam Tony.

Fe mendongak. Matanya tertumbuk menyelami mata Tony di balik kacamatanya. Wajah tirus yang tidak terlalu tampan. Tapi, entah mengapa, gambarnya masih tergantung di dinding hatinya. Sekuat apa pun ia menyingkirkan gambarnya, ia masih tergantung di sana.

“Untuk apa?” Fe balas bertanya.

Hanya udara yang mengalir di antara mereka. Waktu seakan berhenti. Tony membersihkan sisa-sisa cairan susu di sekitar mulut Fe dengan tangannya. Dan, Fe tak kuasa mencegahnya.

Kau masih mencintainya, kata hatinya mengusik pahit. Mungkin saja, waktu menumbuhkan cinta dalam diri pria itu kepadamu.

Gejolak udaranya mengembalikan Fe kembali ke alam nyata. Musik romantis yang sempat mengalun di adegan beberapa detik dalam drama kehidupannya sudah berhenti. Ia menepiskan tangan Tony.

Tolong berhenti bersikap seperti itu, Ton. Aku tidak suka intimidasi yang kau buat. Rasa nyaman yang kudapat dengan usaha keras bertahun-tahun akan sia-sia. Berhentilah memerhatikanku agar hatiku tak terus berharap.

Ketika Tony meninggalkannya, ada rasa kehilangan yang amat sangat. Terkutuklah ia jika tidak mengakui bahwa cintanya kepada Tony tak pernah pudar. Adegan beberapa detik itu yang membuktikannya.

Aku masih mencintainya, batin Fe, putus asa. Tolong aku. Mama, aku masih mencintai Tony! Kenapa ia datang saat aku berusaha menghapuskan dirinya dalam ingatanku?

Matanya tertumbuk pada sehelai undangan di dekat pintu apartemennya ketika ia pulang berbelanja akhir pekan itu. Ia memungutnya tanpa rasa curiga dan membawanya masuk. Setelah meletakkan barang belanjaannya, Fe membuka undangan itu, tanpa memeriksa sampulnya. Jantungnya seolah berhenti berdetak. Nama yang tercetak dalam undangan itu adalah nama yang sangat dikenalnya.

Hari Minggu esok, ia harus menghadiri pernikahan seseorang yang tak pernah diinginkannya. Fe ingin menjerit. Tapi, tak ada yang bisa keluar dari kerongkongannya. Ia hanya terduduk lemas di sofa ruang tengahnya dengan undangan yang tergeletak di lantai.

Ton, untuk apa kau menemuiku kalau hanya untuk memorak-porandakan hidupku? Tony tak pernah berubah. Ia tetap menganggap Fe hanya sebagai udara. Tony membutuhkannya. Tony merasakannya. Tapi, ia tidak melihatnya. Tidak melihat cinta di matanya. Persis seperti udara yang dihirup manusia, tapi tak pernah dipedulikan oleh manusia.

Aliran udaranya berhenti.

API
Fe bangkit dari sofanya. Memungut undangan terkutuk itu dari lantai dan membuangnya ke tempat sampah. Kemudian, ia mandi. Ia sadar, nyala api kecil mulai mencuat dalam dirinya. Dan, ia harus lekas-lekas memadamkannya. Karena itu, ia mandi. Buat Fe, mandi adalah salah satu cara meredakan emosi dan mengusir rasa penat dalam tubuh.

Kali ini tubuhnya benar-benar panas. Dan, ia memerlukan mandi beberapa menit untuk sekadar menyegarkan tubuhnya. Rasanya, mandi satu kali tidak cukup pagi itu. Ia menyiram air sebanyak-banyaknya ke sekujur tubuhnya, menggosok kuat-kuat kulitnya dengan sabun mandi, dan kembali mengguyurnya dengan air bergayung-gayung. Tapi, ketika ia keluar dari kamar mandi setengah jam kemudian, ia tahu, tidak mudah mematikan nyala api yang telanjur panas dalam dirinya.

Ia memungut kembali undangan yang sudah ia lempar ke tempat sampah. Tangannya sudah siap menyobek undangan itu ketika sebuah kesadaran mampir di kepalanya. Apa ia akan kalah dengan perasaan ini? Kalau ia menyobek undangannya dan memutuskan tidak hadir dalam pesta pernikahan besok pagi, ia akan lahir sebagai pecundang. Fe tidak belajar untuk menjadi seorang pecundang. Ia belajar untuk menjadi seseorang yang mampu terbang dengan sayapnya sendiri.

“Masih dengan Shiva,” gumam Fe, pahit. Kemudian, matanya memeriksa detail undangan itu dengan teliti. Fe tersenyum. Senyum yang tak pernah ia perlihatkan pada siapa pun. Ia melemparkan undangan itu ke atas meja, meraih mantelnya dan keluar dari apartemennya. Apinya masih menyala.

Fe sedang membanding-bandingkan barang-barang tembikar di toko barang-barang suvenir khas daerah itu ketika se-seorang menepuk bahunya. Sebastian. Fe menunjukkan barang tembikar yang ada di kedua tangannya.

“Bagus yang mana untuk kado pernikahan?”

Sebastian sedang berpikir keras memutuskan yang mana dari kedua barang tembikar yang ada di tangan Fe, sebelum kemudian Fe memberikan alternatif lain. Tabung kaca mungil dengan pita warna hitam. Tepat seperti yang diinginkan Fe.

“Ini bagus, ’kan?” tanya Fe.

Sebastian mengangguk. Tiba-tiba lupa untuk apa ia masuk ke toko ini. Ia tidak pernah suka mengoleksi barang-barang suvenir. Buatnya, barang-barang macam itu hanya membuang-buang uang saja dan memenuhi rak di rumahnya yang mestinya bisa digunakan untuk barang-barang lain yang lebih berguna.

Pagi itu ia hanya melihat seraut wajah Fe di balik kaca etalase ketika ia jalan-jalan. Seraut wajah yang sejak pertama kali ia lihat sudah menarik hatinya. Sebastian tahu, perasaan ini bukan cinta. Ia belum tahu apakah perasaan ini akan tumbuh sebagai cinta atau tidak. Yang jelas ada gejolak dalam dirinya yang mengikat kuat, begitu tangannya menggenggam tangan gadis itu pada waktu pertama kali berkenalan.

Fe tidak termasuk dalam deretan gadis cantik yang pernah dikencaninya. Semudah menjentikkan jari, semudah itu pula Sebastian berganti kekasih. Wajah Fe tidak menunjukkan sesuatu yang menonjol, hingga tiap pria yang memandangnya langsung jatuh cinta. Tapi, ada yang menarik hati Sebastian. Perasaan yang ada dalam diri seperti setetes bensin pada kain dan dipercik api. Ia tidak bisa memadamkannya begitu saja. Entah mengapa.

Jauh di dalam hatinya, ia tahu, gadis ini mencintai Tony. Tapi, dengan heran ia menemukan dirinya menunggu Fe. Sampai datang undangan pernikahan itu. Undangan pernikahan Tony yang sudah lama ia tunggu.

Di balik kaca etalase itu, raut wajah Fe sedikit berubah. Tidak sama dengan raut wajah yang pertama kali ia temui.
“Kau jadi beli yang mana?” tanya Sebastian, membuka percakapan ketika mereka berjalan beriringan di tepi jalan itu.

“Yang tabung kaca. Lebih cocok.”

Sebastian menghentikan langkahnya.

Fe tidak. Jilatan api dalam dirinya malah memaksanya untuk jalan terus. Ia tidak mau menyerah.

“Fe!”

Fe berhenti sejenak, menoleh pada Sebastian. Mata bening itu sekilas menyorot luka. Hanya sekilas. Karena, detik berikutnya Sebastian melihat mata bening itu kembali seperti sedia kala.Fe tidak mau orang-orang melihat nyala api yang menggila dalam tubuh Fe dan ikut merasakan panasnya yang mulai menyengat. Cukup ia sendiri yang merasakannya.

Orien ditemukan meninggal dalam kondisi mengerikan. Yang mengguncang jiwa Fe, Orien menuliskan nama seorang pria sebagai pelakunya. Pria yang amat sangat dikenalnya....

Tatkala hendak masuk ke gedung apartemennya, Fe melewati pintu Orien dan Tina. Semua tampak seperti biasa. Ia yang berbeda. Hari itu ia menjadi gadis yang berbeda. Sekuat tenaga ia menahan tangis seperti tanggul yang bocor. Ia tidak mau menangis di hadapan orang-orang itu. Ia menyayangi mereka.

Fe memutar kuncinya sebelum matanya buram tertutup genangan air mata sampai namanya dipanggil. Fe menoleh. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencegah air matanya mengalir. Bu Rasti berdiri di ujung tangga, menenteng bungkusan. Melihat wajah Fe, tak ragu Bu Rasti melangkah menghampirinya.

“Kau tak apa-apa, Nak?”

Bu Rasti tersenyum sedih dan mengacungkan bungkusan yang ia bawa. “Makanan kecil untukmu.”

Kata-kata itu seperti air segar yang menciprati jilatan api dalam diri Fe. “Saat ini saya ingin memeluk mama saya, tapi hanya Bu Rasti yang ada di depan saya.”

“Fe, apa pun akan saya lakukan agar kau merasa sejuk.”

Saat itu Fe menumpahkan tangis. Tangis yang ditahannya sejak menerima undangan pernikahan Tony dan Shiva. Ia tak tahan panasnya api yang mengganas. Terlalu panas untuk dirasakan sendiri.

Bu Rasti tidak tahu, mengapa gadis yang ia sayangi itu menangis. Ia tidak tahu apa yang menyebabkan wajah gadis itu begitu menyedihkan. Seakan menunggu untuk dilempar ke dalam api. Yang ia tahu, Fe memerlukan seseorang. Jika waktu itu Fe sudah menolongnya keluar dari kesendiriannya, ia ingin melakukan sesuatu untuk membuat Fe kembali menjadi Fe yang dulu.

Fe menghapus sisa-sisa air mata. Jilatan apinya tidak sepanas tadi. Ia berterima kasih karena ada yang mau berbagi api dengannya. Seketika, Bu Rasti tahu tugasnya sudah selesai. Kehangatan mengaliri tubuhnya. Waktu Fe masuk ke apartemennya pagi itu dengan bungkusan di tangan, ia berhasil memadamkan sedikit apinya.

Hari itu datang juga. Meski tidak mengharapkan hari itu datang dengan cepat, toh, Fe tetap mempersiapkan diri. Persiapannya istimewa. Baginya, pesta malam itu adalah pesta pelepasan cinta pertamanya. Yang ditulis dengan tinta emas di buku kehidupannya.

Karena itu, pagi-pagi ia menggedor pintu apartemen Tina untuk berkonsultasi tentang riasan yang tepat untuknya. Fe pun mencari gaun yang tepat. Dan, ia langsung jatuh cinta pada gaun tak berlengan berwarna peach, belahan dadanya bentuk V, yang kainnya jatuh menurut gerakannya. Ia merasa, gaun inilah yang paling tepat.

“Kau akan tampil cantik malam ini, Fe,” kata Tina.

Fe cuma tersenyum simpul. Memang itu yang ia mau.

Fe tidak menyangka penampilannya malam itu begitu berbeda. Apinya kembali meletup. Ia tersenyum puas memandang dirinya lewat cermin. Bunyi ketukan di pintu mengagetkannya. Ia menghambur menuju pintu depan. Pangerannya datang.

Fe menyambar tas kecil, menyemprotkan sepercik minyak wangi dan sekali lagi melihat dirinya di cermin. Ia sudah siap. Mata Sebastian tidak berkedip ketika melihat penampilan Fe. Gairahnya kembali meletup, seperti waktu pertama kali mereka berkenalan.

Pesta yang meriah. Fe tak menyangka pestanya digelar semeriah itu. Tapi, letupan apinya belum padam. Ia baru saja mulai.

“Kau ingin memberi ucapan selamat sekarang?” tanya Sebastian.

Fe menatap kedua mempelai yang ada di atas panggung. Ia mengangguk, lalu menyiapkan kado dalam genggamannya. Sebastian merasakan tangan Fe yang dingin. Menyebabkan api gairahnya kembali menjilat permukaan. Mereka menunggu dengan sabar tamu-tamu lain yang bergantian menyalami pengantin. Tubuh Fe tiba-tiba gemetar. Ia bertahan sekuat tenaga supaya tidak jatuh.

Tiba giliran mereka, Fe melemparkan senyum pada Shiva. Ia tak pernah mengenal gadis yang merebut hati cinta pertamanya itu. Ia memang tak ingin mengenal lebih dekat.

Fe menyodorkan tabung kaca itu. Isinya udara, cincin semasa kanak-kanak yang diberikan Tony, dan segulung kertas kecil.

“Mungkin, aku cuma seperti udara saja bagimu, tapi aku pernah menyediakan ruang khusus di hatiku untukmu, dengan segenap cinta yang kumiliki. Sekarang, semuanya sudah kumasukkan ke dalam tabung kaca itu. Kutitipkan atas nama persahabatan yang kita miliki.” Kemudian, Fe turun, tanpa mengucapkan apa-apa lagi.

Sebastian menyejajarkan langkahnya dengan Fe. Mata Fe berkaca-kaca. Fe mengerjap-ngerjapkan matanya. Menahan keinginan untuk membiarkan air matanya mengalir dan api menjilat lagi.

“Bagaimana kalau kita juga merayakan peristiwa ini? Pesta ini juga pestaku. Pesta pelepasan cinta pertamaku.”
Sebastian cuma mengangguk. Tak kuasa menolak.

Mereka malam itu pulang dalam keadaan setengah tak sadar. Sampanye yang memabukkan malah membakar api yang makin hebat, menjalar ke sekujur tubuh mereka. Panas yang membara membuat kesadaran mereka menjauh. Malam itu malam yang panas. Karena, lidah api menyerang mereka berdua. Api gairah makin meletup seiring malam yang makin larut. Sebastian mengantarkan Fe sampai ke pintu apartemennya. Dinginnya malam tak dapat memadamkan api di tubuh mereka berdua.

Mereka tidak bisa memadamkan api yang nyalanya terlalu besar.

TANAH
Tangan Fe menggapai-gapai. “Mama, Mama di mana?” jeritnya. Tapi, ke mana pun ia melangkah, kabut selalu menghalangi pandangan matanya. “Mama?” ia melangkah lagi, mencari-cari sesuatu. Bayangan seorang gadis tiba-tiba muncul di hadapannya.

Saat Fe mendekat, gadis itu ambruk di pelukannya. Fe terkejut. Ia menyibak rambut yang menutupi wajah gadis itu dan hampir pingsan melihat bahwa gadis itu Orien. Belum habis rasa kagetnya, terlihat darah yang tercecer di sekitar tubuh Orien yang membeku. Fe menjerit sekencang-kencangnya.

Sekujur tubuh Fe kuyup karena keringat. Melirik jam dindingnya yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Menggigil. Ia mendengar dengkur halus di sebelahnya. Lalu, kesadaran itu mampir kembali di kepalanya. Ia baru sadar, tak ada selembar benang pun menutupi tubuhnya. Fe kembali menjerit sekencang-kencangnya. Hanya, kali ini tidak dalam mimpi.

Pria yang tidur di sebelahnya terlonjak kaget.

Fe meraih selimut untuk menutup tubuhnya. “Pergi! Pergi!”

Sebastian berusaha menenangkan gadis itu. “Tenang, Fe.”

“Tenang? Tenang katamu? Kau sudah merenggut milikku yang paling berharga!” Sisa api tadi malam kembali memercik, kemudian hancur menjadi abu. Fe tersedu. Menyesali gairah api yang memabukkan mereka berdua tadi malam. Hujan yang mulai deras di luar sana seakan ikut merasakan kesedihan dan kemarahan Fe terhadap dirinya sendiri.

“Aku mencintaimu, Fe. Kita menikah,” kata Sebastian, tenang.

Dalam sinar kilat yang hanya sekian detik itu, Sebastian menemukan wajah Fe yang mengerikan. Campuran kesedihan dan tatapan jijik. Gadis itu bangkit dari tempat tidur, meraih jubah mandinya, dan keluar kamar. Sebastian sudah meninggalkan sepotong luka yang tak akan pernah sembuh.

Fe membiarkan air matanya mengalir. Tangannya terus menyiramkan air ke sekujur tubuhnya dan menggosoknya keras-keras dengan sabun. Tapi, sebanyak apa pun air yang mengguyur tubuhnya, sekeras apa pun ia menggosok, ia masih merasa kotor. Ada denyut perih di bawah perutnya.

Apa yang sudah ia lakukan? Apa? Ada orang yang ingin menjelaskan padanya mengapa ini semua terjadi?

Fe hampir gila.

Sebastian meninggalkan apartemen Fe pukul empat dini hari. Wajahnya yang tampan kini jauh dari binar-binar cahaya. Kenikmatan sesaat yang harus dibayar dengan mahal. Api itu sudah menguras habis miliknya. Menyisakan penyesalan yang mungkin tak pernah terobati. Meninggalkan seonggok dosa.

Tatapan mata Fe saat itu begitu dingin. Sedingin tanah yang basah terguyur air hujan. Pria itu mengutuki dirinya sendiri, sementara kakinya membawanya keluar apartemen itu.

Di tengah hujan yang masih tercurah, ia membuka pintu mobil. Setetes air jatuh ke tanah. Pria tampan itu menangis.

Fe menarik seprai tempat tidurnya, yang ternoda bercak kemerahan, lalu memasukkannya ke mesin cuci. Bertahun-tahun ia belajar mengendalikan diri dan emosinya. Hanya dalam hitungan hari, semuanya terjadi di luar kendali. Suara hujan makin mengiris hati Fe. Seakan-akan Yang Di Atas turut meneteskan air mata, melihat Fe tergelincir dalam lumpur.

Ia tahu, tak ada gunanya terus menyesali diri. Ia telah belajar bangun sendiri ketika jatuh. Kini sayapnya kembali terluka dan ia jatuh terempas ke tanah.

Ia harus memulai harinya seperti biasa. Hukuman apa pun akan ia terima karena sudah membiarkan dirinya terempas jatuh.

Orien. Fe teringat pada mimpinya. Mengapa harus Orien yang hadir dalam mimpinya di malam yang hina itu? Mengapa Orien? Sekali lagi, tanpa sadar, Fe mengetuk pintu apartemen Orien. Ketika Fe mendengar sahutan dari balik pintu itu dan melihat kepala Orien menyembul, ia menarik napas lega.

“Hanya ingin melihat kau,” kata Fe, lantas melangkah pergi.

Ketika disambut jalanan becek pagi itu, ia tahu hidupnya masih mengalir seperti air. Ia merasakan silir udara di sela-sela rambutnya dan menyentuh pori-pori kulitnya. Masih ada api semangat yang tak pernah padam.

Fe kembali duduk di meja kerjanya di kantor pagi itu, menarik napas lega, karena suasana kantornya tidak berubah. Berarti, ia masih diberi kesempatan untuk melewati hari itu.

“Pulang, Fe?” Tony. “Aku ingin bicara.”

Dan, ia duduk berdua dengan pria, yang cintanya sudah ia tiupkan bersama angin, yang berembus, di kafe seberang kantor.

“Mengapa kau tak pernah mengatakannya, Fe?” tuntut Tony.

Fe memandang pria di hadapannya, kemudian mengedikkan bahunya. Hari itu, entah bagaimana, sudah tak ada rasa cinta yang menghujam kuat seperti yang dirasakannya dulu. Akarnya sudah ia cabut dan sisa-sisa rantingnya sudah ia buang. Buahnya sudah membusuk.

Orien ditemukan meninggal dalam kondisi mengerikan. Yang mengguncang jiwa Fe, Orien menuliskan nama seorang pria sebagai pelakunya. Pria yang amat sangat dikenalnya....

“Cinta yang sempat tumbuh di hatiku untukmu sudah cukup memberikan warna dalam hidupku.”

Cintaku tidak pernah berakhir, Ton. Karena cinta tidak memiliki akhir. Karena, cinta hanya bisa melalui proses metamorfosis menjadi sesuatu yang lebih indah, seperti kepompong jelek yang melahirkan kupu-kupu yang cantik.
Warna langit yang menua menyadarkan mereka untuk pulang sebelum senja menapakkan kakinya di tanah.

Seorang pria menunggu di depan pintu apartemennya. Ia duduk tepekur, seolah-olah menikmati kesendiriannya.

“Ada perlu apa?” nada suara Fe terdengar kering. Sekering tanah yang tak pernah dilewati air. Mereka seperti dua orang asing yang baru bertemu. Bukannya dua manusia yang pernah menghabiskan malam dengan api gairah yang memabukkan.

“Apa yang ingin kaukatakan?” tanya Fe.

“Izinkan aku bertemu orang tuamu, Fe.”

Fe membelalakkan matanya. “Untuk apa?”

“Aku ingin melamarmu.”

“Atas dasar apa kau melamarku? Kau, toh, tidak mencintaiku?”

“Aku mencintaimu. Aku jatuh cinta padamu ketika kita bergenggaman tangan untuk yang pertama kalinya.”

“Bukan. Kau melamarku karena kau sudah memiliki tubuhku. Kau takut aku hamil. Benar, ’kan? Nah, aku tidak hamil. Habis perkara. Kalaupun aku hamil, aku tidak akan meminta pertanggungjawabanmu kalau begitu.”

“Tidak mungkin. Aku ingin kau melahirkan anak-anakku.”

Pagi itu, Fe merasa, ada sesuatu yang akan menghambat aliran airnya. Riaknya cukup besar untuk sejenak menghentikan aliran air itu. Ketika ia keluar dari kamar apartemennya, seluruh penghuni apartemen berkumpul.

Tina menghambur ke arah Fe. “Mengerikan, Fe!” katanya.

“Ada apa? Ada sesuatu terjadi di apartemen Orien?”

“Sejak kemarin sore Orien tidak keluar kamar. Ketika Pak Suwa menggedor-gedor pintu apartemennya tadi pagi, karena ada paket untuknya, ia tidak muncul-muncul!”

Sebersit perasaan tak enak kembali mengusik. Bayangan mimpi itu datang sekelebat.

“Saya tadi panggil polisi. Takut ada apa-apa,” kata Pak Suwa.

Ketika polisi datang beberapa menit kemudian, Pak Suwa sudah berhasil mencongkel pintu apartemen itu. Keadaan ruangan apartemen Orien masih sama dengan waktu Fe berkunjung dulu. Bu Elly mengernyit jijik melihat sisa-sisa makanan yang belum sempat terbuang. Mrs. Warren menyingkirkan kaus-kaus yang berserakan di lantai. Tina menyembunyikan baju-baju dalam Orien yang terserak di bawah sofa, sebelum mata Pak Suwa terpesona melihatnya.

Fe mengetuk pintu kamar Orien. Tak ada jawaban.

Pemandangan di depannya terlihat begitu mengerikan. Sama persis seperti mimpi yang sempat menghantuinya malam itu. Tubuh Orien terbujur kaku melintang di atas tempat tidur. Darah berceceran di sekitar tubuhnya.

Hasil autopsi beberapa hari sesudahnya menunjukkan bahwa gadis itu dianiaya, sehingga mengalami perdarahan yang hebat pada alat kelaminnya dan tidak segera ditolong. Tak seorang pun menyangkal kenyataan itu. Yang mereka tidak tahu adalah surat yang ditinggalkan Orien untuk Fe.

Lewat surat singkat itu, Orien menceritakan tentang seorang pria yang tak pernah mencintainya, tapi selalu mendambakan tubuhnya. Seorang pria yang karena tidak bisa mendapatkan keinginannya, akhirnya membunuh Orien. Satu keinginan Orien, yaitu membawa pria itu ke polisi.

Bagaikan disambar petir, surat itu melayang jatuh ke tanah. Dekat pusara Orien. Tony. Tony Ariesta. Nama yang terukir indah di dinding hatinya. Yang ia simpan rapi dengan label ‘cinta pertama’ dalam kotak kenangan.

Angin membawa surat itu melayang. Dengan segera Fe lari mengejarnya. Di tengah-tengah kerumunan orang-orang yang melayat, surat itu melayang di bawah kaki seseorang. Pria. Ia memungutnya. Tony! Segera ia menyambar surat itu.

Napas Fe memburu melihat Tony berdiri di hadapannya.

“Mengapa kau ada di sini?”

Tony terlihat salah tingkah. “Ia kenalanku.” Ia membetulkan letak kacamatanya. Gugup.

Fe menatap pusara di hadapannya dengan pedih. Ia berjongkok dan meremas tanah yang masih basah itu. Di dalamnya tergolek tubuh wanita yang belum sempat menyesap manisnya kehidupan di dunia. Belum sempat meninggalkan jejak-jejak sejarah. Hanya karena korban keganasan pria.

Pandangannya tertumbuk pada pria yang duduk di bawah pohon dengan wajah tertutup topi, tak acuh pada keadaan sekitar. Setengah berlari, ia menghampiri pria itu.

“Bas!” Fe menarik tangannya. “Aku butuh bantuanmu!”

Dengan bantuan Mrs. Warren, dan surat yang ditinggalkan Orien, polisi berhasil menjebak Tony untuk mengakui perbuatannya. Tony dibuat mabuk dan mengakui semua yang sudah dilakukannya. Ia tidak kelihatan menyesal.

Fe menahan tangis. Sebastian memeluk bahunya. Suatu guncangan yang berat ketika melihat sahabatnya masuk ke suatu tempat yang akan mencengkeram sayapnya kuat-kuat.

Ketika Fe berada di pusara Orien, tetesan air matanya membasahi tanah. Fe memutuskan, tanah di hadapannya ini benar-benar tanah dengan seonggok kenangan yang tersisa. Ia lebih suka mengubur mereka yang pergi di relung hatinya karena mereka akan terus ada di sana, utuh dan tak berubah.

Manusia berasal dari tanah, dan akan kembali menjadi tanah. Tanah yang melahirkan benih kehidupan, menumbuhkan, meraciknya kembali menjadi tanah. Siklus kehidupan yang tak pernah berhenti sampai dunia kiamat nanti.

Bulan kedua setelah kematian Orien, ia merasakan perubahan dalam tubuhnya. Naluri kewanitaannya mengatakan, ada kehidupan lain yang sedang ditenun dalam tubuhnya. Ia ke dokter. Positif. Sudah enam minggu. Ia tahu siapa ayah bayi ini, tapi ia menyimpan semuanya sendiri.

Tak ada sepetik pikiran muncul untuk menggugurkan bayi itu. Ia tidak mau dosa yang sudah ia perbuat ditutup dengan dosa lain. Lagi pula, ia telanjur cinta pada janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya. Hanya kepada Bu Nana ia menceritakan semuanya. Bu Nana memberikan izin cuti sampai ia melahirkan dan kembali bekerja setelah bayinya lahir.

“Kau tak ingin memberi tahu Sebastian?” tanya Bu Nana.

Fe menggeleng. “Saya sudah memutuskan. Saya ingin merawat anak ini sendiri. Saya akan membesarkannya dengan cinta.”

“Orang tuamu?”

“Saya akan memberi tahu mereka setelah bayi ini lahir, Bu. Sebelum mereka menyuruh saya membunuhnya.”

Fe tersenyum. Bu Nana menghela napas. “Aku akan menugaskan Sebastian ke kantor majalah kolegaku di kota lain supaya ia tidak perlu tahu akan kehamilanmu.”

Malam itu adalah malam terakhir Sebastian di kota tempat tinggal Fe. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya tentang bayi mereka yang kini terlindung nyaman dalam perut Fe.

“Fe, maukah kau menikah denganku?

Fe menghela napas. Membiarkan keheningan merayap. Ia tak menyangka bahwa waktu bisa mengubah perasaan seseorang. Apa yang ia rasakan saat ini terhadap pria di hadapannya itu benar-benar cinta. Perasaan ini sangat kuat.

Fe menggeleng. “Tidak ada yang terjadi, ’kan? Pergilah.”

Dan, Fe cuma bisa menahan tangis saat bibir pria itu mendarat di keningnya dengan lembut.

Sembilan bulan hampir berlalu. Perutnya yang menggelembung tidak memudarkan kecantikan Fe. Wajahnya bercahaya. Jauh dalam hatinya, ia yakin bayinya perempuan. Karena itu, ia menyiapkan boks untuk bayi perempuan. Membeli baju-baju bayi perempuan. Segala peralatan ia beli dengan warna yang sama. Warna feminin. Merah muda.

Fe masih mengalir seperti air. Dan, masih merasakan udara di sekitarnya. Dan, semangat untuk melahirkan bayi masih terasa panas, bagaikan api dalam dirinya. Sebentar lagi bumi akan melahirkan sebuah kehidupan lagi.

Sore itu ia merasakan kontraksi pertama. Ia duduk dan mengambil napas selama beberapa menit. Ia sedang membenahi tempat tidurnya ketika kontraksi kedua terjadi. Pinggulnya terasa sakit dan perutnya seperti diaduk-aduk. Ketika air ketubannya pecah, ia segera menekan nomor telepon Mrs. Warren, yang segera membawanya ke rumah sakit.

Napas Fe tersengal-sengal. Sekujur tubuhnya basah karena keringat. Ia bahkan tak sadar sudah sampai di ruangan bersalin. Ia merintih. Berusaha mengambil sisa-sisa udara yang tersedia. Airnya bergejolak hebat. Api makin berkobar. Fe menjerit.

Fe terus menjerit, menahan rasa sakit yang tak terperi. Sampai pria itu masuk. Awalnya, ia tidak dapat melihat dengan jelas siapa yang datang. Wajahnya buram tertutup air mata karena merasakan rasa sakit yang tak tertahankan. Tapi, kata hatinya membisikkan sebuah nama.

Pria itu menggenggam tangannya. Fe tersenyum, lalu mengerahkan seluruh tenaganya. Ia ingin anaknya melihat keindahan dunia dan menyesap manisnya hidup. Suara tangisan keras membuatnya merasa sebagai wanita sempurna. Ia tidak kuat. Hanya menunggu waktu. Waktunya tak banyak.

“Anak kita perempuan, Fe!” kata Sebastian, dengan gembira.

“Aku ingin melihatnya, Bas. Anakku.”

“Anak kita.” Sebastian memperlihatkan bayi merah itu.

Fe merintih. Sekelumit perasaan tak enak muncul di hati Sebastian. Ia menyerahkan bayinya untuk diurus perawat.
“Bas, jaga dia baik-baik, ya. Aku sudah tak kuat. Bas, beri nama Orien untuk anak kita.”

“Tidak. Kau tidak boleh meninggalkan aku.”

Air mata Sebastian meleleh. Ia mengecup tangan Fe lama. Ia sadar tidak punya banyak waktu.

“Fe, aku merindukanmu, Sayang.”

Fe tersenyum. Senyum yang selalu menggetarkan kalbu Sebastian. Kemudian, ia kembali merintih.

“Cium aku, dengan ciuman yang membuat aku mabuk.”

Sebastian menundukkan kepalanya meletakkan bibirnya di atas bibir Fe dan mengusapnya perlahan.
Dan, manusia yang terbuat dari debu. Berasal dari tanah. Dilahirkan oleh tanah. Dibesarkan di atas tanah. Akan kembali pula menjadi menjadi tanah. Membiarkan siklus kehidupan terus berputar, berputar, dan berputar, bersama tiga elemen lain. Air, udara, api, dan tanah.

No comments: