12.22.2010

Akhirnya Senja

Berita itu datang dengan tiba-tiba. Sangat tiba-tiba. Tapi, firasatnya sudah terlebih dahulu menjemput. Jumat, 25 April 2003, merupakan hari kedelapan Sabalah tak tidur di rumah. Tapi, ia berusaha pulang.

Ya, sejak Kamis, 17 April malam, delapan orang yang –mungkin– berpakaian hitam dengan membawa senjata memaksa masuk ke rumah dengan menendang pintu, untuk bertatap muka dengan suaminya. Sejak itulah, gelembung kegundahan mulai menusuk batinnya.

Saat itu, malam belum senja.

“Mana Sabalah?” bentak satu di antara orang yang datang tidak dengan mengetuk pintu, pada malam Jumat itu.
Mereka tak memberi salam, tidak mengucapkan assaamualaikum, selayaknya dilakukan orang-orang, ketika meminta masuk ke rumah orang. Apalagi, rumah panggung itu, sengaja pintunya diperendah sedikit agar orang-orang yang akan masuk ke dalamnya sedikit menunduk.

Fatimah harus mengucek matanya setelah mendadak terbuka dari katup. Tak begitu tersentak, seperti wanita lain di sana, ia bagai sudah terbiasa menghadapi kondisi seperti itu. Segera ia melangkah ke palang pintu yang sudah terkelupas karena ditendang oleh tamu yang datang. Malah ia sempat melilit daun pintu yang sudah terburai dengan tali.

Sabalah segera menyorongkan tubuhnya lewat gua kecil (celah seukuran setengah papan sebagai tempat buang air kecil) yang dibuat di dalam kamar, saat mendengar ada gelagat yang berwarna lain di pintu depan rumah mereka. Dari balik dinding, ia sempat melihat sekilas bayang-bayang dari pancaran cahaya lampu templok yang buram. Gelagat yang tak baik, membuat Sabalah harus turun dan berdiam di bawah rumah. Di bawah gua, tersusun kayu-kayu bakar dengan tidak teratur, ranting-ranting yang dipungut Sabalah dan Rahmah dari kebun kosong di gampong (kampung).

Sama sekali tak ada bayang-bayang Sabalah yang terpencar, karena lampu templok hanya dipasang di ruang tengah. Dengan tirai yang masih melekat di pintu kamar mereka, tak mungkin bisa menerbangkan cahaya tubuhnya.

Rumah itu hanya memiliki satu ruang tidur dan satu ruang tengah yang merangkap sebagai dapur. Hanya rumah kecil, beratap daun rumbia yang dianyam sendiri oleh Fatimah, berdinding papan yang sudah tua, sebagian diikat dari anyaman kulit bambu.

Ketika mengintip, Sabalah juga melihat bayang-bayang senjata. Tapi, Sabalah tak tahu jenis senjata apa yang dipakai oleh sang tamu. Sebuah benda yang memiliki peluru dan bisa meletus kapan saja adalah senjata, pikirnya.
“Mana Sabalah?” bentak mereka lagi.

Satu di antara mereka seperti tak sabar. Ditariknya gorden bergaris kuning dan hitam yang sudah kusam, yang menutup pintu kamar mereka. Gorden itu sampai koyak. Sang tamu menoleh ke arah teman-temannya yang berdiri di belakang, sambil menggeleng. Temannya yang menerima pesan, menggelengkan kepalanya satu kali ke luar pintu.

“Kau bilang pada Sabalah, kami mencarinya. Penting!”

“Dan kau tak perlu menyembunyikan dia!” kata seorang lain.

Di bawah, Sabalah diam dan terus melilit tubuhnya seperti seekor keong. Derap langkah mereka terdengar tergesa dan terentak dari lantai papan yang hampir rapuh menuju tangga, lalu turun, lalu lambat-laun menjauh.

Kiamat kecil sudah lewat, pikir mereka.

Tapi, Sabalah tak juga keluar. Ia menggulung tubuhnya di antara kayu bakar itu, sampai subuh.

Fatimah sempat membereskan palang pintu yang berserak di lantai. Dikutipnya satu, satu, dengan lamban. Ia sudah berumur. Pintu depan itu tak lagi tertutup rapat. Fatimah membiarkannya sedikit terbuka, karena satu palang besar yang tergeletak tak sanggup diangkatnya. Sehabis itu, ia menuju ke ranjang. Merebahkan tubuhnya di atas kasur yang tak lagi empuk. Tapi, matanya sudah tak bisa tidur. Badannya dibolak-balik.

Ketika pikirannya masih meraba-raba tentang apa dan siapa, lalu untuk apa, Samiun terdengar melengking. Anak mereka satu-satunya itu seperti sedang berusaha mengungkap takut. Matanya terbuka ketika tamu yang datang menendang pintu dengan keras.

Fatimah sama sekali tak memanggil Sabalah untuk menenangkan anak mereka satu-satunya itu. Tidak. Wanita-wanita di gampong itu sangat peka bila ada sesuatu yang membayangi diri atau suaminya. Ia takut bila memanggil Sabalah. Tak bisa dibayangkan kalau-kalau masih ada yang mengintip dari luar rumah, bisa saja dilakukan dari jauh.

Maka, ia menenangkan sendiri Samiun, membelai rambutnya, memangkunya, sambil melantunkan dodaidi (nyanyian ninabobo), sampai Samiun tak lagi mengeluarkan air mata. Ketika Samiun masih diberi ASI, saat Samiun menangis seperti itu, Fatimah akan segera menyusuinya.

Saat itu tak ada tetangga yang mendekat, ketika reriuhan terdengar dari rumahnya, sekadar menanyakan, ”Ada apa di rumahmu, Fatimah?” Tidak ada. Semua orang akan mengunci rumahnya rapat-rapat. Beberapa orang yang agak berani hanya mengintip lewat celah dinding rumah. Mereka akan berjalan perlahan, biar derap langkah mereka tak terdengar oleh orang-orang yang mungkin masih berada di luar rumah. Sedangkan lampu sudah dimatikan ketika gelap tiba. Hanya beberapa rumah yang menyisakan sebuah lampu templok di tengah ruangan.

Seperti wanita-wanita lain di gampong yang suami mereka dicari-cari entah oleh siapa dan entah untuk apa, Fatimah juga tak bisa mengatupkan matanya kembali. Sampai subuh. Kokok ayam selalu menjadi penanda kapan fajar akan tiba. Ayam jantan begitu setia memberitahukan masa yang terus berjalan tak pernah berhenti. Untuk melihat arloji kecil yang tergantung di dinding, pasti membutuhkan cahaya. Sedangkan orang-orang di gampong sedang melilit diri mereka dalam gelap. Jadi, tak mungkin mereka akan menyalakan lampu dalam masa-masa seperti itu, karena kegelapan dianggap jauh lebih tidak berisiko.

Ini adalah zaman buruk bagi wanita-wanita di gampong yang suaminya dicari-cari. Mereka tak tahu dari mana datangnya para pencari yang seperti pemburu itu. Mereka bagai burung hantu yang akan datang hanya saat malam. Yang dipikirkan oleh wanita-wanita itu adalah suami mereka sedang dalam bahaya.

Mereka seperti sudah siap menghadapi berbagai keadaan. Mereka akan menenangkan anaknya sendirian. Paling-paling, ketika pagi tiba, beberapa tetangga yang sedikit bernyali akan mendekati untuk sekadar berbisik-bisik. Tapi, percayalah, mereka tak akan menanyakan perihal semalam, tentang tamu-tamu yang tak diundang datang ke rumah.

Fatimah juga seperti itu. Saat Sabalah sudah tak di kamar, ia akan menjaga anak mereka sampai pagi dan tak lagi memanggil-manggil Sabalah. Sabalah dibayangkan akan berada di suatu tempat yang aman dalam hatinya, kecuali bila bayang-bayang lain menghinggap dengan cepat.

Sabalah pasti sedang berusaha menggapai satu tempat yang tak bisa dicari oleh siapa-siapa, termasuk dirinya, pikir Fatimah.

Tapi, Fatimah akan bermain-main dengan pikiran sampai pagi. Bila suami sudah dicari, wanita-wanita di gampong tak bisa tidur sampai pagi. Mata mereka terlihat memerah ketika pagi datang. Lalu, di bawah mata, terlihat lingkaran hitam yang membesar dan tubuh mereka menjadi kering. Tak ada yang bisa terlelap. Wanita-wanita selalu dihantui pikiran tentang pintu rumah siapa lagi yang akan ditendang oleh para pencari itu di malam yang akan datang.

Mereka akan menunggu suami mereka pulang, sampai suasana benar-benar sunyi. Biasanya, suami akan menjenguk istrinya, tapi selalu tak memberitahukan kepada istri mereka, tentang apa yang sedang dihadapi.
Sama sekali tidak memberi tahu. Sabalah juga.

Sabalah naik ke rumah menjelang subuh. Saat itu kokok ayam sudah melengking untuk keempat kalinya. Ia naik lewat gua yang dibuka pelan-pelan. Digerakkan tubuhnya sedikit-sedikit sampai bisa tersangkut. Lalu, dengan dua tangannya, mengayunkan tubuhnya sampai ke atas.

“Ini Cutbang (Abang),” bisiknya, pelan. Sangat pelan.

“Ya,” sahut Fatimah.

Sabalah segera memeluknya. Fatimah juga merangkul tubuh yang kurus kering itu.

“Cutbang akan pergi beberapa waktu!” bisik Sabalah.

Fatimah tak berkata apa-apa. Ia hanya mendekap kuat. Tak mengeluarkan air mata. Wanita sudah jarang mengeluarkan air mata untuk suami yang mau pergi. Wanita akan melepaskannya bila kegundahannya datang. Sedang air mata akan menjadi penanda mati. Lagi pula, wanita sedang meneguhkan kesetiaan agar suaminya pulang dengan selamat. Air mata hanya akan menambah beban hidup yang harus dilanjutkan.

“Tapi, saat senja, Cutbang akan berusaha pulang,” bisik Sabalah lagi, meyakinkan Fatimah. Sabalah tak akan berprasangka ketika Fatimah tak mengeluarkan air mata.

Sabalah mendekati anak mereka. Tapi, Fatimah tak melepaskan dekapannya beberapa saat. Fatimah tak berbisik sepatah kata pun, meski sekadar berucap, ”Cutdek (adik) akan merindukan Cutbang.” Dekapannya seolah memberi tahu tentang kerinduannya yang akan membayang di waktu-waktu yang akan datang.

Sabalah menciumi Samiun, ketika tangan Fatimah melepaskannya. Ia mencium pelan di dahi anaknya. Sangat pelan, bahkan kumisnya yang lebat sekalipun tak ditekan, karena takut Samiun akan terbuka matanya.
“Abu (ayah) sayang padamu, Nak!” katanya. “Tapi, Abu harus pergi sebentar. Cuma sebentar. Percayalah, Abu akan kembali dengan cepat!”

Sabalah menatap Fatimah dalam kelam itu. Sabalah saat itu dapat dengan jelas menatap alur muka Fatimah. Dengan tangan kanannya, Sabalah mencoba mengusap wajah Fatimah yang lelah. Jemarinya membelai alur wajah yang sudah keriput itu. Kemudian tangannya yang satu lagi membelai rambut Fatimah yang jarang diberikan sampo.

Fatimah, dalam gelap itu, berusaha meraih tubuh Sabalah. Ia mendekap lagi. Kali ini lama dan air matanya keluar dengan terpaksa. Sabalah merangkul Fatimah dengan kuat. Entah kenapa, malam itu Sabalah mendengar tangis yang tertahan.

“Maafkan Cutbang, karena Cutdek harus menanggung beban ini!” bisik Sabalah.

“Jangan hiraukan air mataku! Tapi, aku takut!” balas Fatimah.

“Cutbang tahu! Maafkan Cutbang. Tapi, Cutbang tak punya kekuatan!”

“Kita tak akan sanggup, Cutbang!”

“Tapi, Cutbang akan pulang. Cutbang akan kembali dengan cepat!”

“Cutdek tahu!”

“Cutbang cinta sama kamu dunia-akhirat!”

“Cutdek tahu!”

“Cutbang berpikir tentang Samiun!”

“Cutdek akan membelai anak kita, Cutbang!”

Sabalah mengusap air mata Fatimah yang menetes di wajahnya beberapa titik, dengan tangan kanannya. Dalam gelap ia berusaha menatap dalam. Ia membelai rambut Fatimah sekali lagi.

“Cutbang akan mengetuk gua sembilan kali! Cutdek bisa menanda ketukan itu, dan yakinilah Cutbang akan datang!”

Dengan pelan, Sabalah melepaskan dekapan Fatimah. Ia menunduk meraih dua papan gua untuk dibuka. Beberapa saat, ia turun pelan-pelan, menginjak kayu bakar yang tersusun tak teratur di bawah rumah. Tak terdengar sedikit pun ranting yang patah akibat injakan Sabalah, di atas kayu yang bertumpuk itu.

Fatimah lalu menutupnya kembali dengan rapat. Ia lalu menelungkup menatap lewat gua kecil yang tetap dibuka. Padahal, di bawah, bayang tubuh itu sungguh tak tampak. Tapi, Fatimah ingin mengantarkan perjalanannya.
Beberapa saat kemudian, Fatimah bangkit, lalu kembali merebahkan tubuhnya di ranjang. Memalingkan wajahnya ke kanan, berusaha menatap wajah Samiun yang sedang terlelap.

Tangannya tak lagi membelai rambut Samiun. Ia sangat takut bila anaknya itu terjaga, lalu melepaskan jeritannya ke udara. Langit akan pecah dan para tetangga akan kembali mengintip lewat celah dinding, dengan pintu rumah mereka yang selalu tertutup rapat, tanpa seorang pun yang akan menanyakan, ”Fatimah, ada apa di rumahmu?”
Fatimah hanya memandangnya. Menatap dalam gelap wajah anaknya. Sampai subuh. Ia sangat menghafal gerakan tubuh itu yang sesekali bolak-balik dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri.

Di bawah, udara senja bertambah menusuk tubuh. Gemerisik dedaunan terdengar pelan oleh angin yang mengipas. Rumah tetangga terasa mati. Tak ada bisikan yang terdengar. Lampu, bah­kan bayang-bayang cahaya pun, dari rumah sekitar, tak ada sama sekali.

Sabalah keluar dengan membawa serta sehelai sarung yang dililit pada tubuhnya. Itu akan digunakan untuk menahan dingin yang selalu datang ketika hari sudah terlalu senja.

Pagi-pagi, setelah sembahyang subuh, Fatimah menyapu halaman depan dari ceceran daun dari pohon cokelat. Ada 34 batang di sekeliling rumahnya yang membuat posisi rumah itu seperti terbungkus pepohonan. Dedaunan yang lebat, memungkinkan orang-orang bersembunyi di baliknya.

Fatimah terus menyapu. Ketika hampir selesai, ia sempat menoleh memerhatikan rumahnya. Ternyata, sudah banyak yang berubah. Beberapa kali Fatimah menyusuri tapak sepatu para tamu yang datang semalam. Tak tampak. Sama sekali tak meninggalkan jejak. Ia bahkan sempat berjalan sampai ke pintu pagar untuk melihat, barangkali ia dapat menemukan bekas tapak sepatu. Tapi, tak ada yang tersisa.

“Mungkinkah ada orang yang datang pagi-pagi untuk menghapusnya?” tanyanya, dalam hati.

Dari pintu pagar, ia menatap rumahnya itu. Rumah panggung dengan tiang yang sudah tua. Tapi, masih kokoh. Tiangnya sebagian sudah berwarna putih. Tidak lagi berwarna cokelat, layaknya warna kayu aslinya. Kaki tiang tampak kehitam-hitaman, karena Sabalah selalu membilas oli bekas di sana, agar rayap tak menggigitnya hingga patah-patah.

Serambi kecil sebelah utara masih bisa digunakan, tempat dulu ia dan Sabalah bercengkerama, sambil menikmati mentari sore yang bersujud ke sela bukit. Beberapa waktu setelah mereka menikah, di serambi itu, Fatimah juga kerap mengeringkan rambutnya setelah dikeramas. Sabalah sering mendekat dan mendekapnya dari belakang, sambil menikmati wewangian rambut Fatimah.

Sabalah kemudian menjadikan serambi sebagai tempat untuk menambal jaringnya yang robek. Sehabis pulang melaut, ada saja peralatan melaut yang rusak. Di sana pula Sabalah memperbaiki alat pancingnya.

Di gampong itu tak semua kapal memakai mesin. Nelayan-nelayan kecil hanya memiliki jalo (kapal berukuran 3 meter dan hanya ada pengayuh). Tak ada mesin. Sabalah menggunakan jalo untuk melaut. Dengan jaring kecil dan kawe rantang (alat pancing bermata kail banyak), ia melabuh hanya sampai tiga mil dari darat. Tidak lebih dari jarak itu.

Ketika pulang, Sabalah membawa pulang beberapa ekor ikan, setelah beberapa lainnya dijual untuk menutupi biaya sehari-hari. Seperti biasa, jalo ditambatkan di alur yang menjulur ke dekat rumah, yang bersambungan dari pintu-pintu tambak penduduk. Alur itu bersambung ke sungai yang mengalir melewati gampong.

Karena jalo bisa ditambat begitu dekat, Sabalah sangat mudah membawa pulang jaring dan alat pancing ke rumah. Semua diperbaiki di serambi rumah sebelah utara.

Ada dua kursi bambu yang sedikit terukir di serambi itu. Sudah tua. Terlihat sudah rapuh dan beberapa bagian tampak sudah diikat dengan tali plastik, karena ikatan dari rotan sudah banyak yang putus. Kursi itu dihadiahkan orang tua Fatimah, ketika mereka baru menikah.

Sementara serambi kecil sebelah barat terdapat sebuah beurandang (lumbung) padi berukuran kecil. Melingkar dari anyaman kulit bambu. Berdiameter satu meter. Tapi, sudah tak berisi. Di bawah beurandang, terletak sebuah kandang ayam kecil yang tidak begitu bersih, dengan tumpukan kayu bakar di kanan-kirinya.

Di antara dua serambi kecil itu, terletak ruangan tengah dan kamar tidur dengan tumpukan kayu bakar di bawahnya. Tinggi tiang hanya satu meter. Sehingga, bila mereka mau ke bawah, harus menunduk dan berjalan dengan pelan, bila tak ingin kepalanya terantuk.

Sebelah utara rumah terdapat kompleks kuburan keluarga. Di sanalah semua kerabat dikuburkan. Mulai dari abusyik (kakek), masyik (nenek), abua (abang dari ayah), mawa (istri abua), cutma (saudara sepupu yang lebih tua), dikuburkan di sana. Kuburan itu tak berhias. Tak berkeramik. Hanya sedikit penanda yang dibuat dari semen dengan dua batu khusus sebagai batu nisan.

Tak ada kuburan yang berhias di sini. Semua biasa saja. Hanya sebagai penanda untuk kuburan si A atau si B. Teungku-teungku (ulama) di sana berbeda pendapat tentang kuburan. Menghias kuburan, ada yang mengatakan makruh hukumnya. Sebagian malah ada yang menganggapnya haram.

Kuburan-kuburan yang sedikit mewah, biasanya hanya orang-orang berilmu. Makam para ulama sedikit dihias. Di sebagian gampong, kuburan ulama juga dibuat rumah-rumah sebagai pemayung. Kuburan di kompleks keluarga itu juga seperti itu. Tak ada penghias. Kuburan itu terletak dalam satu pagar dengan lokasi rumah.

Sumur keluarga berada di halaman rumah paling depan. Rumah panggung di sini mensyaratkan orang-orang yang akan masuk ke dalamnya untuk mencuci kaki terlebih dahulu. Dari sumur ke tangga, tersusun ter­atur bebatuan seukuran tapak sebagai tempat jalan.

Sumur di rumah itu masih berair cokelat. Tapi, tak keruh. Airnya banyak. Bisa diambil, walau dengan tali yang tak panjang. Kedalam­annya hanya 1-2 meter. Awalnya, tidak ada pembatas. Tak ada cincin. Sumur digali dari celah pokok rumbia. Di dalam sumur tampak akar-akar rumbia yang mengipas-ngipas mengikuti irama air.

Kakus terletak di sebelah utara. Sekitar 50 meter dari rumah. Dari sumur sekitar 200 meter. Bila membuang hajat, mereka harus membawa air dengan timba. Tak ada bak air di sana. Penampung kotoran terletak di bawah kakus, yang dibuat dari dua balok dengan lapisan seng bekas di antara dua balok itu.

Gampong itu bernama Masjid. Di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka. Ini adalah gampong pinggir laut, berjarak sekitar dua kilometer. Gampong itu juga dekat dengan bukit. Walau gampong pesisir, masyarakat di sini lebih banyak yang memilih berkebun. Ini dapat terlihat dengan adanya pohon cokelat pada setiap rumah. Bila berada di tengah-tengah gampong, tak ada yang tahu bahwa kawasan ini sebenarnya masuk sebagai kawasan pesisir.

Antara rumah Sabalah dan Selat Malaka, terlintang jalan raya yang menghubungkan Banda Aceh dan Sumatra Utara. Ada sebuah jembatan tua di atas alur yang sering dilalui Sabalah. Di sampingnya ada bangunan tua yang dulu dipakai sebagai penjara dan sekarang tak dipakai lagi. Kini, bangunan itu sungguh mengerikan bagi orang-orang di sana, karena di sumur belakang bangunan, sudah empat kali ditemukan mayat yang sudah membusuk.

Mayat-mayat yang ditemukan itu selalu diambil oleh wanita-wanita gampong. Mungkin hanya wanita yang berani. Mereka mengangkatnya dan membawa pulang hingga ke rumah. Ketika zaman buruk hinggap di sini, wanita-wanita gampong itu tampak begitu perkasa.

Belum banyak yang berubah dari rumah itu. Orang-orangnya juga masih seperti dulu. Makan ikan besar-besar. Dalam masyarakat di selatan, orang tua mereka selalu bilang bahwa makan ikan besar-besar akan cacingan. Cacing dalam perut akan menggigit dan murka.

Wanita di gampong selatan harus selalu bilang begitu, karena tak punya cukup uang untuk selalu beli ikan. Orang sekeluarga sering makan sebutir telur bercampur parutan kelapa, lalu digoreng. Sebutir telur akan dimakan bersama-sama untuk beberapa orang.

Wanita yang memasak harus memotong telur itu menjadi beberapa bagian. Seluruh anggota keluarga harus mengambil sepotong masing-masing. Tak boleh lebih. Dari potongan telur, selalu menjadi penanda jumlah orang yang sudah makan dan yang belum.

Baru berbeda ketika ada tamu di rumah. Kawom-syedara (keluarga besar) yang sekali-sekali datang ke rumah, akan dijamu sebagai raja. Tamu menjadi orang yang istimewa di rumah-rumah orang gampong. Mereka akan memotong ayam atau itik sebagai menu. Biasanya, ayam atau itik itu baru dipotong ketika hari meugang (hari menyambut puasa dan Lebaran) tiba.

Pola makan ikan sangat berbeda dari sebagian orang di utara. Keluarga Sabalah salah satunya yang merupakan seorang pelaut. Seorang nelayan. Pola makan seperti itu sangat wajar.

Sabalah seorang nelayan yang gigih. Selalu saja ia membawa pulang beberapa ikan ke rumah. Kalaupun tidak dapat dari melaut, ia akan membelinya di pasar. Yang penting ada ikan untuk di rumah. Bila sesekali tak membawa hasil dari melaut dan tak punya uang juga, ia bahkan akan berusaha mengutangnya dari mugee (penjual), asal ada sesuatu yang bisa dibawa pulang ke rumah.

Ketika musim ikan siblah (ikan sebelah, yang dipercaya sebagai ikan bekas dimakan Nabi Nuh yang dibuang ke laut), masing-masing anggota keluarga makan satu ekor ikan yang sudah dipanggang. Orang-orang luar gampong yang tak pernah tinggal di sana akan terheran-heran melihatnya.

Fatimah segera masuk ke rumah. Tiba-tiba ia tersentak dari lamunan saat Samiun menangis keras. Anak itu akan menangis sejadi-jadinya, bila saat membuka matanya, tak ada Fatimah di sampingnya.

Dengan bergegas ia naik lewat pintu depan yang sudah rusak. Sedari pagi Fatimah belum sempat membetulkan palang yang rusak ditendang tamu malam yang datang. Sebab, satu palang tak sanggup diangkatnya untuk dipasang kembali.

Segera ia naik ke atas meraih Samiun yang melengking. Fatimah kemudian menggendongnya. Anak itu tak berhenti menangis. Biasanya, sewaktu digendong, ia akan diam. Kali ini tidak.

Fatimah pergi ke dapur, yang memang satu ruangan dengan ruang tengah, untuk membuat air manis, lalu dimasukkan ke botol dot dan diberikan kepada Samiun. Itu dilakukan karena Samiun tak lagi diberi air susu ibu. Ketika air manis diberikan, anak itu tak juga diam.

Fatimah memasang ayunan di ruang tengah. Ia menidurkan anak itu di sana. Ia mendendangkan syair dodaidi. Butuh empat jam hingga Samiun kembali terlelap, dari katup mata yang terbuka dan diiringi lengkingan tangis yang membuat riuh gampong.

Laa ilaa ha illallah…
Muhammadun(r) Rasulullah…
Laa ilaa ha illallah…
Kalimah taybah, keu payong pagee (1)
Meu seulaweut keu Rasulullah (2)
Nak geu kubah jalan di akhe (3)
Beurijang rayek si gam mutuah… (4)
Jak peulupaih nibak ceulaka (5)
Jak prang maksiet beubagah-bagah (6)
Bekna gundah nibak hatee (7)
Bek takot hai aneuk mutuah (8)
Bek ta surot langkah peudong agama (9)
Le that jaroe nyang meudarah (10)
Gabuek lam gapaih man sigom donya (11)
Ka lawan ureung peu hanco ngoen buet teugaih (12)
Bek le meu gundah bah pih nyawong keulua (13)
Laa ilaa ha illallah…
Muhammadun(r) Rasulullah…
Laa ilaa ha illallah…
Muhammadun(r) Rasulullah…

  Siang itu, hari masih terik. Panasnya menyengat. Matahari perlahan mulai beranjak ke ufuk barat. Terasa pelan. Anak-anak sekolah masih terlihat sedang menuju rumah masing-masing. Dari depan rumah, Fatimah menatap anak-anak sekolah yang tampak jelas sedang berpeluh keringat. Mereka menelusuri jalan gampong yang penuh kerikil tajam.

Jalan gampong tepat berada sebelah barat rumah itu. Sebagian jalan yang menghubungkan dengan gampong di utara sudah dibeton sejak tahun 1988. Beton itu berukuran sekitar 40 sentimeter. Dua sisi sejajar berada di kiri dan kanan jalan. Kalau sebuah mobil, memang pas berjalan di atasnya. Sedangkan di sisi jalan, sudah dipenuhi semak, karena tak dibersihkan dengan meuseuraya, gotong royong.

Jalan dibangun cepat, karena Partai Blau di gampong ini menang pada tahun 1987. Kalau yang menang itu Partai Biru atau Gelap, malah tidak mendapat apa-apa, ketika secara nasional Partai Blau yang menjadi pemenang. Seperti beberapa gampong lain. Saat itu, semua orang seperti harus memilih Partai Blau itu. Kalau tidak, akibat yang akan diterima gampong akan parah.

Gampong yang tak bisa memenangkan Partai Blau, sudah ada kasak-kusuk keamanan. Setiap malam harus ronda dan para orang gampong yang menjadi penjaga sering direndam aparat keamanan di sungai, karena kedapatan sedang lelap. Di gampong-gampong yang memenangkan Partai Blau jarang terjadi seperti itu.

Banyak elite politik yang tidak memikirkan efek yang akan diterima orang gampong. Orang-orang yang sudah berhasil terpilih untuk duduk di dewan, akhirnya lupa kepada pemilih yang tetap morat-marit. Tak ada perubahan ketika ada atau tidak wakil mereka di sana.

Zaman ini, wakil diberi gaji yang besar dengan berbagai fasilitas mewah. Tak terlihat mereka sebagai pelayan, karena mereka selalu harus dilayani dengan baik.

Orang-orang yang vokal waktu berkampanye, sering meninggalkan orang gampong seorang diri, dan tidak ada yang mendampingi, ketika berbagai ’hantu Blau’ datang ke gampong, karena orang gampong tak memilih Partai Blau.

Saat itu, Partai Blau memang partai top. Gampong inilah yang kedapatan salah satu program pembangunan, karena memenangkan Partai Blau. Gampong yang telah melalui berbagai peristiwa pahit. Kini, kepahitan itu kembali datang, dan orang tua-orang tua di sini sudah tidak mau anak-anaknya terus menderita.

Anak-anak mereka yang sudah sekolah sampai ke jenjang sekolah menengah atas, ingin diberi berbagai pilihan oleh orang tuanya. Pada masa lalu ada yang masuk ke perguruan tinggi, ada juga yang menjadi polisi dan tentara, juga yang menjadi pegawai negeri.

Ketika pemberontakan terjadi, ada juga beberapa anak muda yang masuk menjadi tentara pemberontak.

Ketika panas menyengat, rumput-rumput sama sekali tak ber­gerak. Angin siang sedang beristirahat di kaki Bukit Cot Me. Bukit kecil itu berada di ujung selatan persawahan Masjid yang luas. Orang-orang yang baru pulang dari Bukit Tumatang, sibuk mengipas-ngipas diri di serambi rumah.

Dulu, selalu terlihat orang-orang yang sedang menghabiskan siang di bawah meunasah (surau) tinggi. Meunasah panggung. Tempat duduk panggung yang terbuat dari bambu yang tak dibelah di bawah meunasah, dipenuhi orang-orang yang beristirahat. Sebagian saling ngobrol. Duduk bersila. Satu-dua selalu terlihat keluar dari meunasah baru. Mereka baru saja selesai melaksanakan salat zuhur. Di halaman meunasah, tampak beberapa ekor kambing yang sedang merumput.

Meunasah panggung di gampong itu memiliki 20 tiang. Empat tiang utama menopang di masing-masing sisinya. Sehingga, secara keseluruhan berjumlah 16 tiang. Sedangkan empat tiang lagi menahan atap di dua tangga depan, terletak di sebelah barat ujung kanan dan kiri meunasah.

Dua buah tangga meunasah tersebut masing-masing memiliki 19 anak tangga. Antara satu anak tangga dengan yang lain memiliki jarak sekitar 40 sentimeter, dengan kemiringan tangga sekitar 30 derajat.

Meunasah tinggi sudah berusia 70 tahun. Beberapa papan lantai dengan tebal sekitar 5 sentimeter sudah tampak terkelupas. Tampak ukir­an tradisional yang terukir di dinding yang tingginya 45 sentimeter.

Di gampong ini, sudah dibangun sebuah meunasah baru yang permanen. Berpagar indah. Punya dua pintu. Sekelilingnya sudah dibuat tangga dengan sedikit ukiran.

Meunasah itu tidak dirobohkan saat meunasah baru yang permanen sudah dibangun. Jadi, di gampong itu sudah memiliki dua meunasah yang saling berdekatan, yang berada dalam satu pagar.

Tak jauh, di sebelah barat meunasah, ada sebuah sungai yang mengalir. Tidak terlalu besar sungai itu. Sungai itu meliuk-liuk mengikuti alur gampong yang tidak rata. Air sungai sudah cokelat. Sama seperti air sumur Fatimah yang berada di depan rumah, yang di dalamnya mengipas-ngipas akar rumbia.

Hampir tak ditemui bebatuan di pinggir sungai. Sepanjang bantaran terlihat lumpur liat yang menjijikkan.

Melewati 24 April malam itu, masa terasa panjang bagi Fatimah, karena Sabalah tak mengetuk gua sembilan kali. Kamis dini hari itu, Sabalah tak mendekap Fatimah sama sekali. Seperti sudah seminggu ia lakukan, sejak 17 April, saat tamu tak diundang datang ke rumah mereka.

Jantung Fatimah berdegup kencang, gundah-gelisahnya menggunung, ketika beberapa waktu terlewati setelah ayam berkokok tiga kali di ujung gampong, tapi Sabalah tak juga mengetuk gua. Padahal, lengkingan ayam jantan itu sudah terdengar yang ketiga kalinya.

Mungkin, masa itu telah tiba, pikir Fatimah.

“Ah, aku tak boleh berpikir yang macam-macam,” Fatimah ber­usaha menepis berbagai pikiran.

Tiba-tiba ia teringat masa kecil, ketika orang tuanya mengingatkan Fatimah untuk tidak berjalan sendiri, karena di gampong ada halum bili (binatang dalam sebuah legenda) dan gegasi (manusia raksasa yang hidup di hutan) di mana-mana. Mereka sedang meng­hantui gampong.

“Tapi, mungkinkah Cutbang diambil halum bili atau gegasi?” tanya Fatimah, membatin.

Rasanya, malam itu yang datang bukan halum bili atau gegasi, tapi manusia. Ya, manusia! Pikirnya.

Sesekali, Fatimah menoleh ke samping kanan, menatap wajah Samiun dalam kelam. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan tamu-tamu terhadap Sabalah, yang malam itu datang tanpa memberi salam, bila akhirnya mereka mendapatkan Sabalah. Sangat jelas, mereka tidak datang dengan salam sepuluh jari, layaknya orang yang bertamu.

Mereka tak mungkin sebagai halum bili, pikirnya lagi.

Tamu tak diundang di gampong bisa datang kapan saja. Bisa datang siang ataupun malam. Tentu, dengan bentuk yang berbeda. Tapi, halum bili akan datang ketika terik sampai di ubun-ubun, saat tak ada seorang pun yang melihatnya. Cerita orang gampong, orang-orang yang datang sendirian ke sungai akan diterkam, lalu dikunyah-kunyah di kedalaman sungai.

Halum bili menunggu orang gampong di tepi sungai!

Mereka juga tak mungkin sebagai gegasi, pikir Fatimah lagi.

Gegasi itu berbadan besar, berambut tebal, bergigi baja, seperti kapak. Tapi, tamu tak diundang dan tanpa memberi salam malam itu, tak berukuran, seperti yang diceritakan orang gampong.

Gegasi itu juga hanya menunggu orang gampong di tepi hutan!

Ah, aku tak boleh berpkir macam-macam, Fatimah lagi-lagi membatin.

Fajar hampir menyingsing saat mata Fatimah tidak terkatup seperti malam sebelumnya, yang menunggu cutbang-nya mengetuk gua sembilan kali. Lampu templok ruangan tengah tak menebar bayang-bayang. Tak ada gemerisik daun cokelat di samping rumah. Beberapa kali Samiun membolak-balikkan badannya dalam lelap.

Fatimah dengan setia menunggu suaminya pulang ke rumah, lalu suaminya itu akan pergi lagi, setelah mendekapnya kuat-kuat.

“Aku akan pulang ke rumah selalu menemuimu,” kata Sabalah selalu, sebelum meninggalkan Fatimah.

Gumamnya kembali tersentak ketika kokok ayam kembali membahana di gampong. Lalu, subuh akan datang, menunggu fajar mulai menerangi jagat sedikit demi sedikit. Lalu, mentari pagi menebarkan cahayanya ke bumi.

Fatimah bangkit dari ranjang yang sudah tua. Ia menuju timba plastik yang berisi air di sudut dapur. Ia segera berwudu untuk melaksanakan sembahyang subuh. Di atas tikar sembahyang, Fatimah masih sempat menoleh ke kanan, Samiun masih lelap, sebelum akhirnya ia bertakbir.

Selesai sembahyang subuh, Fatimah kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia sempat membuka gua kecil dan melihat ke bawah. Ia berpikir, siapa tahu cutbang-nya sedang melilit tubuhnya seperti keong di atas tumpukan kayu bakar yang tersusun tak teratur di bawah rumah.

Sama sekali kosong di bawah sana.

Sesampai di ranjang, ia kembali ingat perkataan cutbang malam Rabu.

“Bisakah Cutbang pergi ke Malaysia untuk beberapa waktu?”

“Cutdek takut sekali, Cutbang. Tapi, Cutdek bukannya mau menahan Cutbang!”

Mungkinkah Sabalah pergi ke sana tanpa berpamitan pada Fatimah?

Rasanya, tidak mungkin. Sama sekali tak mungkin, pikirnya. Itu bukan kebiasaan Sabalah.

Fatimah bangkit dari tempat tidur, sebelum bayang-bayang menggunung lebih besar lagi. Ia segera turun ke bawah untuk meraih sapu lidi dan membersihkan halaman dari ceceran daun cokelat yang berserakan.

Sepertinya, angin sedikit keras mengipas-ngipas, hingga banyak dedaunan yang jatuh pagi itu.

Tak selesai itu dilakukan, Fatimah harus segera naik ke rumah lagi, karena Samiun sudah melengking di atas ranjang. Ia akan menangis sejadi-jadinya, saat membuka mata tak menangkap ada Fatimah di sampingnya.

Ssstt, ada Mak, ada Mak, bisiknya dalam hati.

Ketika sampai ke atas, Fatimah segera meraih tubuh Samiun dan menggendongnya. Tapi, Samiun tak berhenti menangis. Ia menangis dengan keras. Sampai-sampai, tetangga datang ke rumah itu. Para tetangga seperti sudah memberanikan diri untuk saling menyapa dengan Fatimah. Padahal, sudah seminggu tak dilakukan, karena mereka juga tahu ada tamu tak diundang yang datang ke rumah Fatimah.

Tak ada yang mau mencari-cari masalah pada saat zaman buruk seperti itu. Orang-orang yang bertanya-tanya sekalipun akan terkena imbas akhirnya. Lagi pula, mereka tidak tahu sama sekali, siapa tamu yang tak diundang itu. Sama sekali tak tahu.

Dari balik dinding malam itu, mereka hanya melihat ada bayang-bayang senjata yang dipegang oleh beberapa orang, yang mungkin berpakaian hitam. Tapi, menurut orang yang tinggal di rumah di depan meunasah, jumlah tamu itu sama sekali bukan delapan orang, tapi lebih. Mereka melihat beberapa orang berdiri di pinggir pohon melinjo dengan memakai penutup kepala.

Tapi, mereka tidak mau menebak-nebak, karena gelap malam itu hanya menyisakan sedikit bayang.

Pagi itu, mereka naik ke rumah Fatimah. Mereka seperti melupakan bahwa di zaman buruk, dinding-dinding bisa turut berbicara. Sesama orang gampong sudah saling curiga dan ada rasa takut yang sangat.

“Ke mana Sabalah?” tanya mereka.

Pertanyaan itu kontan membuat Fatimah terasa berat. Ia lang­sung ingat tendangan yang memecahkan palang pintu rumahnya.

Seperti wanita lain, Fatimah juga akan menjaga Sabalah sepanjang waktu. Karena itu, ia tak akan menjawab pertanyaan itu sampai kapan pun. Karena, di zaman buruk itu, dinding-dinding rumah sekalipun bisa turut berbicara.

Samiun tak berhenti menangis. Hari sudah siang. Seperti tak ada obat yang mampu mendiamkannya.
Fatimah sudah membuat air manis, lalu dimasukkan dalam botol dot dan diberikan kepada Samiun. Tak juga diam. Lalu, dia menyu­sui bayinya kembali, yang sebenarnya sudah dihentikan beberapa bulan lalu. Samiun tak juga diam.

Fatimah tak henti membaca syair dodaidi. Biasanya, Samiun akan diam setelah beberapa saat. Tapi, ketika itu Samiun tak juga diam.

Para tetangga gampong yang sedari tadi di sana, satu per satu pulang ke rumah masing-masing.

Fatimah sama sekali tak menceritakan ada delapan tamu sedang mencari suaminya, saat senja seminggu yang lalu. Orang-orang gampong tahu sendiri dari mulut ke mulut, karena ada seseorang yang mengintip lewat celah dinding dan melihat ada bayang yang masuk ke rumah mereka.

Mulanya, hanya beberapa orang yang tahu. Tapi, dalam beberapa hari saja, desas-desus tentang Sabalah sudah diketahui seluruh gampong. Mereka mengira Sabalah sudah dibawa malam itu. Mereka tak tahu bahwa Sabalah ternyata sempat turun lewat gua, saat tamu tak diundang itu memperlihatkan niat yang tak baik.

Mereka juga tak berani menanyakan kepada Fatimah. Mereka tak ingin tahu dari Fatimah, karena takut akan terlibat dalam masalah itu.

Kepada sesama penduduk gampong, orang-orang hanya mempertanyakan kesalahan apa dan kepada siapa Sabalah bersalah.

Di zaman-zaman buruk, orang-orang bisa dianggap bersalah kapan saja dan bisa oleh siapa saja. Apalagi, mayat-mayat sering ditemukan dalam kondisi yang tidak wajar sebagai manusia.

Maka, wajar jika orang-orang gampong menjadi ketakutan. Ketika seorang warga mendapatkan masalah seperti itu, tak ada orang yang menanyakan keadaan, apalagi untuk berusaha mencari tahu.

Masalah lainnya, akan mencari tahu di mana dan kepada siapa? Di zaman buruk, ini juga menjadi tidak jelas.

Banyak orang yang kemudian memilih berdiam di dalam rumah saja. Tak hanya malam. Siang pun umumnya rumah-rumah akan terkunci rapat.

Persoalan bayang sudah menjadi ketakutan di gampong pada zaman buruk. Wanita-wanita di gampong akan mendekap erat suaminya sepanjang malam. Tak sedetik pun mereka mengizinkan suaminya keluar rumah.

Anehnya, pada zaman buruk itu, wanita-wanita sudah jarang mengeluarkan air mata. Mereka seperti sudah sangat kebal dengan berbagai keadaan. Justru para suami yang menjadi makin ketakutan akan keadaan gampong yang tak menentu.

Sabalah juga sudah berkali-kali mengungkapkan kegelisahannya kepada Fatimah. Mereka saling berbisik di tempat tidur.

“Akhir-akhir ini banyak orang yang masuk ke gampong kita,” kata Sabalah, malam sebelum tamu tak diundang itu datang.

“Apa Cutbang melihatnya?”

“Tidak. Cutbang tak melihatnya!”

“Lalu, Cutbang dengar dari mana?”

“Dari orang-orang.”

“Bukankah tak ada lagi orang-orang nongkrong selama ini?”

“Tapi, mereka kan saling berbisik!”

“Berbisik dengan siapa?”

“Ya, dengan orang-orang gampong!”

“Cutbang! Kalau tak lihat, baiknya jangan diceritakan saja!”

“Ya, tapi Cutbang tak enak perasaan!”

“Ah, jangan terlalu dibawa ke perasaan. Nanti Cutbang sakit jantung!”

“Tapi, masa, sih, Cutdek tak dengar?”

“Dengar, sih, Cutbang. Tapi, kabar angin itu kan bisa benar, juga bisa salah! Cutbang, kita selalu jadi korban kabar angin!”

Fatimah terus berusaha mendiamkan Samiun yang sedang menangis keras. Ia seperti tak mau diberikan apa saja. Air manis dalam botol dot. Bahkan, Fatimah menyusuinya. Tapi, Samiun tak juga diam.

Fatimah seperti sudah habis akal. Tak pernah Samiun seperti itu. Memang, waktu bangun pagi, bila tak ada Fatimah di sampingnya, ia akan menangis. Tapi, ketika Fatimah menggendongnya dan mendendangkan syair dodaidi, Samiun akan diam. Kali ini tidak. Fatimah bahkan sudah mengalunkan syair berjam-jam.

Sungguh, Fatimah merasa sulit mendiamkannya. Ia sampai tak bisa sembahyang zuhur, karena lengkingan Samiun makin menjadi.

Fatimah akhirnya menggendong Samiun untuk membawanya ke mantri di gampong. Tidak jauh dari rumahnya. Hanya beda lorong. Tetapi, sesampai di sana, pintu rumah itu terkunci rapat. Seperti tak ada seorang pun di dalamnya.

Ia kembali membawa ke depan meunasah, setelah melihat ada beberapa pemuda yang kebetulan sedang berbicara. Ia minta diantarkan ke kota untuk mencari tahu apakah Samiun sedang sakit. Tapi, tak ada pemuda yang mau, karena mereka takut akan terjadi apa-apa.

Samiun tak berhenti menangis, saat Fatimah terduduk lemas di sana.

Sangat ironis, perubahan gampong terjadi dalam tiba-tiba. Setelah ada tamu tak diundang datang ke rumahnya, ketakutan warga gampong makin menjadi-jadi.

Akhirnya, Fatimah memberanikan mengetuk rumah-rumah yang di dekat meunasah. Ia mengetuk pintu rumah itu seperti kesetanan. Ia sudah tak peduli jika pemilik rumah akan keluar dan memarahinya, memperlihatkan wajah yang padam dengan mata yang merah seperti saga.

Tapi, tetap tak ada yang keluar. Hingga Fatimah menjerit di tengah halaman meunasah sejadi-jadinya.

“Hei, para lelaki, ke mana kalian bersembunyi?”

Saat itu, Fatimah terlihat sangat tegar.

“Tidakkah kalian harus memperlihatkan kekuatan kalian? Apakah kalian tak sadar akan kejantanan kalian?”
Kata-kata yang keluar dari mulut Fatimah, makin tak terkontrol.

“Lihat diri kalian! Lihat! Di mana tanggung jawab kalian untuk melindungi wanita gampong?”

Fatimah tak berhenti berteriak lantang. Tapi, tak ada orang-orang yang keluar dari rumahnya yang terkunci rapat.

Gampong itu seperti kehilangan kekuatan. Tak ada juga keberanian dari keusyik (kepala kampung), yang sudah mengundurkan diri beberapa waktu lalu, karena tak berani bertanggung jawab atas keselamatan orang-orang di gampong. Zaman buruk, katanya, sangat membahayakan jiwa siapa saja.

Setelah mundurnya keusyik, tak ada lagi yang memimpin gampong ini. Akhirnya, jabatan keusyik dipegang oleh camat di kecamatan.

Tak ada laki-laki yang keluar, ketika Fatimah menjerit-jerit. Tak ada wanita yang keluar, ketika Fatimah menjerit-jerit.

Ketika itu, Fatimah terlihat benar-benar seperti orang lemas. Ia terduduk di halaman meunasah yang berumput tebal dengan dikelilingi kotoran lembu.

Tak berapa lama, seorang wanita muda mendekati Fatimah. Ya, Suhaibah namanya. Ia baru pulang dari meudagang (memperdalam ilmu agama di pesantren). Wajahnya tak begitu kokoh seperti raksasa yang akan melawan siapa saja.

Dipegangnya tangan Fatimah untuk bisa berdiri tegak. Mereka berdua menatap dinding-dinding langit. Tiba-tiba, Samiun berhenti menangis. Hari sudah sore. Suhaibah menuntun tangan Fatimah untuk pulang ke rumah, yang halamannya sudah kembali penuh dengan ceceran daun cokelat, setelah pagi tadi disapu sampai bersih.

“Kita harus kuat!” kata Suhaibah, pendek.

Suhaibah, membelakangi Fatimah. Ia meninggalkan rumah Fatimah bersama Samiun yang sudah diam.

Saat itu, jingga langit di balik bukit sebelah barat sudah merekah. Itu sebagai pertanda semua orang gampong harus mengunci pintu rumahnya rapat-rapat, karena masa itu adalah zaman buruk.

Fatimah masih sedang menyapu halaman pada Jumat pagi itu. Seorang anak gampong dengan tergesa menjumpainya.

“Cutma… Cutma… Polem (panggilan untuk orang yang lebih tua) Balah, Cutma, Polem Balah….”

Napas anak itu tampak terengah-engah.

“Kenapa dengan polem-mu?”

“Polem Balah… Polem Balah….”

Anak itu langsung berlari menuju rumahnya di ujung lorong. Fatimah belum tahu apa yang disampaikannya. Ia kembali melanjutkan membersihkan halaman. Tapi, pikirannya mulai tak tenang. Gelembung gundah tiba-tiba mengkristal. Segera ia menyelesaikan pekerjaannya itu.

Tak berapa lama, seorang penduduk gampong datang menjumpai Fatimah. Tapi, ia juga tak memberitahukannya dengan jelas. Ada seseorang yang memberitahukan kepadanya, bahwa seseorang sedang berada di kebun pinang Cot Me.

Lelaki itu adalah Bardan, keusyik yang sudah mengundurkan diri. Tapi, ia sendiri tak tahu, siapa yang bilang dan perihal siapa yang dimaksud dengan seseorang di kebun pinang.

Bardan mengetahui dari desas-desus bahwa Sabalah tak ada lagi di rumah. Ia mendengar, Sabalah sudah dibawa oleh rombongan tamu.

“Apakah mencari Polem Sabalah?” tanya Bardan.

Ketika Fatimah tak menjawab, Bardan juga meninggalkan Fatimah yang sedikit bengong di halaman rumahnya.

Seburuk inikah zaman ini, pikirnya.

Dengan cepat Fatimah langsung naik ke rumah. Sesampai di sana, ia melihat Samiun yang masih terlelap. Berkali-kali ia mengelilingi rumah dan tak tahu apa yang mau dikerjakan.

Fatimah benar-benar terlihat bingung.

Ia juga beberapa kali membuka gua kecil dan menatap ke bawah. Ia membayangkan Sabalah sedang mengayunkan tubuhnya naik ke rumah.

“Ke mana engkau, Cutbang?” gumamnya.

Suhaibah yang datang tanpa mengetuk pintu, begitu mengagetkan Fatimah. Ia terkejut hebat.

“Astaghfirullah….”

“Kita harus pergi ke sana!” tegas Suhaibah.

Tiba-tiba, saat pagi datang, Suhaibah mendengar kabar seseorang itu. Karena itu, ia segera menuju rumah Fatimah.

“Tapi, aku gelisah. Sangat gelisah.”

“Siapa yang tak gelisah? Tapi, sepertinya kita harus kuat!”

Suhaibah turun ke bawah dan hilang dalam sekejap.

Rupanya, ia pergi mengetuk beberapa rumah tetangga dengan pelan, memberi salam, mengucapkan assalamualaikum, lalu me­ngajak mereka ramai-ramai pergi ke Cot Me. Hanya Jamilah dan Habsah yang mau. Jamilah adalah istri Bardan, sedangkan Habsah, istri Teungku Jafar, teungku di gampong yang akhir-akhir ini juga memilih berdiam diri di dalam rumah yang terkunci.

Matahari belum tinggi saat mereka berempat memutuskan untuk pergi ke Cot Me untuk melihat seseorang. Ya, melihat seseorang, yang informasi tentangnya diberikan oleh seseorang. Mereka tidak ditemani oleh lelaki siapa pun. Fatimah membawa serta Samiun yang masih terlelap.

Ketika memutuskan untuk berangkat, wajah mereka tak terlihat pucat. Memulai berjalan, anak di gendongan Fatimah itu terjaga.

Di jalan, mereka sama sekali tak sempat berpikir, bagaimana bila berpapasan dengan orang lain. Tak berpikir. Padahal, kepengecutan lelaki di gampong itu muncul karena bayangan akan bertemu muka dengan orang-orang, yang kebetulan sedang melintasi jalan mereka.

Mereka harus berjalan ke tepi gampong, sebelum melalui jalan setapak yang sudah sunyi. Tapi, gampong juga sudah seperti mati.

Suara jangkrik seperti mengikuti irama langkah mereka yang tak teratur. Dalam genangan air di kanan-kiri jalan setapak menuju Cot Me, masih terdengar bunyi kodok yang sedang berdendang.

Fatimah tak membawa apa-apa, selain sehelai batik baru yang dibungkus dalam kain sarung gendongan anaknya.
Perjalanan tersebut hanya dua kilometer dari gampong. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana. Tapi, ketika zaman buruk, tak ada seorang gampong pun yang pergi ke bukit, karena diyakini bisa berakibat fatal.

Kini, Bardan memberitahukan ada seseorang di bukit Cot Me yang diberikan oleh seseorang. Fatimah merasa sangat gundah. Karena itu, ia ingin menemui Sabalah, yang tak mengetuk gua sembilan kali selama dua senja yang sudah lewat.

Hanya karena itu, Fatimah seperti memiliki kekuatan, walau mungkin Sabalah ada di bukit, ada di tempat yang berbahaya. Maka, Fatimah, bersama dengan tiga wanita lain datang menjemputnya. Tiga wanita perkasa yang menemaninya ke sana.

Barangkali benar, harapnya.

Fatimah tidak bisa berjalan cepat lagi. Ia sudah berumur. Apalagi, zaman buruk sangat menguras kondisi psikologisnya. Ia tampak lebih tua dua kali lipat dari umur aslinya.

Tak seorang pun ditemui dalam perjalanan itu. Tak ada siapa-siapa yang berpapasan muka. Jalan setapak yang dulu bersih, kini sudah dipenuhi semak, karena tak ada orang yang melaluinya.

Beberapa kali mereka harus membersihkan rumput gajah yang selutut, yang sudah menutupi jalan setapak.

“Jalan saja, tak perlu menoleh kanan-kiri,” tegur Habsah.

“Ya,” jawab Suhaibah.

Habsah melihat Suhaibah yang berjalan tak tenang, karena kondisi jalan yang begitu sepi. Tak ada siapa-siapa.

Begitu sampai di pagar kebun yang dituju, Fatimah melangkah lebih dahulu. Sehelai batik solo panjang yang masih baru, diapit di tangan kanannya. Samiun, tak seperti pagi kemarin, tak menangis terus-menerus. Ia tampak tenang dalam gendongan, walau kondisi sangat sepi.

Ya, kebun pinang itu.

Kebun yang tidak ada lagi penanda, karena kawat duri sebagai pagar sudah tak terlihat lagi. Mungkin, sudah jatuh ke tanah dan pemiliknya tak berani memperbaikinya, sehingga kebun ini terlihat bagai tak ada pemilik. Semak belukar sudah setinggi pinggang.

Hanya pohon pinang yang mengelilingi kebun, yang dapat ditandai sebagai pembatas. Mungkin, pagar berada di dekat pohon pinang yang berjejer. Di dalam kebun itu juga ada pohon kelapa dan pohon cokelat. Dari jauh, kebun itu tampak seperti hutan besar, karena tanamannya tak pernah dirawat.

Kebun itu sangat luas. Mungkin sampai empat hektar. Dengan semak belukar yang lebat, mereka tak bisa melihat, bila ada orang di sudut yang lain.

“Kita tak boleh berpencar!” tegas Jamilah.

“Husss, jangan berbicara!” kata Habsah.

Tak ada lagi yang berbicara setelah itu. Keempatnya hanya memandang dari sudut ke sudut yang lain. Mereka mencari kalau-kalau ada Sabalah di sana. Mereka tak memanggil atau menjerit.

“Cutbang pasti tak akan mendengarnya,” kata Fatimah, yakin.

Suhaibah lalu menemukan sebuah penunjuk. Beberapa semak yang sudah patah-patah. Semak yang ditemui di sana adalah putri malu yang berduri dan batang seraput. Lalu, mereka mengikuti deretan semak yang patah-patah itu. Tak jauh dari sana ditemukan sebuah balok kecil yang terdapat sembilan titik darah di gagangnya.

Semak patah-patah seukuran pinggang itu sangat membantu mereka menemukan ada sesuatu di sebuah sudut. Ada sesuatu. Bahkan, dalam kepungan semak, batang yang patah itu seperti ruang panjang. Mereka mengikutinya seperti air yang mengikuti alur.

Mereka terus berjalan dengan pelan. Dua tangan mereka membersihkan semak yang menerkam sarung yang mereka pakai. Sesekali, harus dibersihkan beberapa pohon kecil yang sudah merintangi perlaluan.

Akhirnya, mereka semua terpatung tiba-tiba, saat Suhaibah tak berbicara sepatah kata pun. Suhaibah menunjuk ke satu arah: seseorang yang sedang goyah di pohon pinang. Berdirinya tak lagi kokoh, memandang ke tanah, dengan tangan ke belakang. Ya, tertunduk memandang ke tanah.

Mereka berusaha mencapai jarak yang lebih dekat, walau hati berdegup kencang. Apakah mereka akan bertatap muka dengan seseorang? Suhaibah tak mendekat. Mungkin, mata Suhaibah lebih terang dari tiga wanita yang lain yang sudah tua, sehingga Suhaibah dengan jelas dapat melihat seseorang yang hanya bercelana dalam berwarna cokelat, dengan tangannya sedang terikat ke belakang di sebatang pohon pinang muda. Tinggi pohon pinang itu tak lebih dari dua meter. Belum berbunga.

Suhaibah benar-benar tak bisa menggerakkan kakinya.

Ketiga wanita itu terus mendekat sampai hanya tersisa beberapa meter saja. Ketika sampai di dekat tubuh itu, mereka terperangah hebat.

“Astaghfirullah,” ucap Jamilah dan Habsah, bersamaan.

Jamilah lalu terpatung beberapa saat, ketika Fatimah masih ber­usaha mendekat dan makin mencium bau orang yang sangat dikenalnya. Ya, Sabalah. Fatimah berusaha lebih dekat lagi. Tidak salah lagi, itu adalah Sabalah. Wanita itu berjalan bersama anak dalam gendongan.

“Cutbang!” seru Fatimah, sedikit keras.

Seketika, Samiun mengeluarkan kata-kata pertama dalam hidup, dan ia mengucap sebutan itu dengan pasti, “Abu!”

Fatimah terlihat sangat tegar. Tak meneteskan air mata barang setitik pun. Ia berdiri di depan Sabalah. Tangan kirinya memegang punggung Samiun yang berada di gendongan, sedang tangan kanannya digerakkan perlahan-lahan, menyentuh wajah yang sudah beku itu. Fatimah membelai rambut Sabalah yang menegang, karena lumuran darah yang sudah mengering.

“Cutbang!” panggilnya, pelan.

Ketiga wanita di sampingnya masih terpatung. Lambat laun mereka berusaha mendekat. Lutut Suhaibah sampai bergetar hebat. Langkahnya hampir tak bisa diayunkan lagi. Jamilah dan Habsah tampak pucat pasi.

Fatimah masih bisa mengamati sekujur tubuh Sabalah. Hanya bercelana dalam. Di tubuhnya kini ternganga sembilan lubang. Dua lubang di antaranya masih terlihat mengeluarkan darah. Ia menghitung dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mulai dari balik telinga, ada satu lubang. Di bawah mulut, ia temukan satu lubang. Lalu, ia melihat di leher yang terbuka satu liang.

Terus ia melihat ke bawah. Di antara ketiak dan payudara ada satu, dan satu di dada sebelah kiri. Kemudian di perut, tumit, dan jempol kaki kanan. Fatimah meraba celana dalam Sabalah dan kemudian memasukkan tangannya ke dalamnya, karena melihat darah juga mengering di celana. Di sana, Fatimah menemukan dua lubang lagi.

Dua lubang yang masih mengeluarkan darah adalah di tumit dan di dada sebelah kiri. Sedangkan tujuh lubang yang lain sama sekali tak mengeluarkan darah lagi. Darah yang tumpah sudah menge­ring seperti keping-keping.

Fatimah melihat dua tangannya yang terikat ke belakang menggunakan tali nilon berwarna biru. Tali nilon itu dililit dari pergelangan tangan sampai siku. Kedua pangkal tangannya diikat ketat di pohon pinang itu, sehingga bisa menahan tubuh yang hampir roboh.

Mulut Sabalah masih menggantung setetes darah yang mengering seperti benang. Kaki Sabalah sedikit terlipat dan setengah menggantung. Sepertinya, tali yang terlihat sampai ke sikunya yang menyebabkan ia setengah tergantung. Di lehernya terdapat bekas tali. Sabalah terlihat menunduk ke bawah, ke tanah, karena tali nilon di lehernya sudah dilepaskan dan terburai di tanah yang bersemak.

Di samping pohon pinang, beberapa daun sudah terpercik darah. Ada empat selongsong peluru di ujung tali nilon yang terburai.

Tak ada kayu atau balok di sekitar pohon pinang. Fatimah ber­usaha menemukan bekas jejak, tapi tak ada. Mungkin seseorang sudah menghapusnya, pikirnya.

Fatimah lalu mendekat ke tubuh Sabalah. Hingga antara tubuhnya dan tubuh Sabalah tak ada lagi ruang.

“Apa Cutbang tak ingin menatapku?” tanyanya.

Ia mengusap wajah itu dengan bersahaja. Batik baru yang dibawa dari rumah dililit di ujung jarinya, kemudian membersihkan wajah Sabalah yang berlumur darah.

Suhaibah tak bisa menahan lengkingan yang sudah pecah. Sungguh tak bisa.

“Ya, Allah,” teriaknya, keras.

Habsah dan Jamilah memeluknya.

“Tak boleh begitu! Tak boleh!” kata Habsah.

Suhaibah terdiam.

Fatimah masih membelai wajah Sabalah, saat ketiga wanita itu berusaha melepaskan ikatannya. Habsah membuka simpul tali nilon di siku Sabalah dengan menggunakan giginya.

Tubuh Sabalah berada dalam dekapan Fatimah untuk beberapa waktu, ketika simpul tali nilon sudah dilepas dari pohon pinang muda.

“Aku ingin berada dalam dekapan Cutbang lama-lama,” bisik Fatimah.

Ketiga wanita itu mencoba memegang tubuh itu. Mereka memegang dua tangan Sabalah yang sudah kaku. Suhaibah memegang tubuh dari belakang dengan kedua tangannya. Kedua tangan Suhaibah dimasukkan ke bawah ketiak. Sedang Fatimah berada di depan.

“Sebentar, aku masih ingin memeluk Cutbang!” larang Fatimah.

“Kita bawa pulang saja dulu, nanti di rumah bisa memeluk lagi,” kata Suhaibah, setengah bergetar, dengan mata berkaca-kaca.

“Tidak, aku mau di sini. Cutbang sudah beberapa senja tak pulang ke rumah. Aku sangat rindu padanya! Biasanya, Cutbang akan pulang saat menjelang subuh. Ia akan membelai dan memelukku, aku akan mendekapnya. Tapi, Cutbang sudah lama tak pulang. Kenapa kalian tak membiarkanku melepaskan rindu di sini. Bukan di rumah!”

“Tapi….”

Suhaibah tak melanjutkan kata-katanya. Lidahnya terasa kelu. Gelombang kaca makin terpancar dari matanya yang mulai sayu. Ia berdiri memegang bahu Fatimah dengan tangan kirinya. Tangan kanannya membelai rambut Samiun yang sama sekali tak menangis.

Sedangkan Jamilah mencari dua pokok bambu di pagar yang sudah roboh. Pandangannya liar ke kanan-kiri. Matanya tak lekang memandang Fatimah bersama Habsah dan Suhaibah. Ia ingin menggunakan bambu itu untuk menandu tubuh Sabalah ke rumah.

“Belum lepaskah rindu Cutpo kepada Polem Balah?” tanya Suhaibah lagi.

“Baiklah. Tapi, aku akan mendekapnya lagi sampai di rumah. Aku janji!”

Suhaibah memberi kode kepada Jamilah dan Habsah agar segera memikirkan cara mengangkat tubuh Sabalah. Dua batang bambu yang diambil Jamilah dari pagar yang roboh didekatkan ke tubuh yang sudah dibaringkan di atas semak. Fatimah masih memegang wajahnya. Matanya tak lekang memandangi wajah Sabalah.

Fatimah mengeluarkan batik panjang itu. Jamilah mencoba memasangnya, tapi tak bisa. Habsah mencoba membalut tubuh bersatu dengan batang bambu dengan menggunakan batik itu.

“Cutma, jangan begitu, nanti Cutbang kesakitan!” Fatimah melarang.

Fatimah lalu membuka simpul sarungnya. Lalu, sarung yang dipakai dilepaskan, hingga hanya tinggal rok dalam yang dikenakannya. Setelah itu, ia melilitkan batik baru itu sebagai pengganti sarung yang sudah dilepas. Tubuh Sabalah dimasukkannya ke dalam sarung, lalu dimasukkannya dua batang bambu itu.

“Kalian jangan menyakiti Cutbang. Lihat cara membawanya!”

Fatimah mengambil posisi paling depan. Samiun tak dilepaskan dari gendongan. Kemudian, di belakangnya ada Habsah. Sementara, paling belakang, Suhaibah dan Jamilah. Keempat wanita itu mengangkut tubuh Sabalah dengan berjalan kaki lewat jalan setapak yang sudah ditutupi semak. Jalan yang tadi pagi digunakan.

Mereka tak pernah berhenti sepanjang perjalanan. Tak ada seorang pun yang berpapasan dengan mereka sampai gotongan tubuh itu mendekati tepi gampong. Tak ada siapa-siapa yang dijumpai.

Siapa-siapa yang membayangi gampong seperti bayang. Seperti mimpi. Seperti pikir. Hingga para lelaki gampong menjadi penakut. Lelaki gampong menjadi pengecut.

Ada dua orang lelaki yang langsung menunduk begitu melihat empat wanita masuk ke jalan gampong sedang menandu sesosok tubuh. Mereka melihat sekilas gotongan itu, lalu berlari dengan kencang ke meunasah. Sesampai di sana, secepat kilat mereka mengambil sepasang gagang, lalu mulai menabuh tambo (beduk).

Orang-orang terperangah. Pasalnya, mereka tak pernah mendengar lagi bunyi tambo, walau di gampong ada orang yang pergi.

Mereka bergegas keluar. Mereka kembali merasa asing. Karena merasa asing itulah, mereka harus keluar. Di zaman-zaman buruk, sesuatu yang asing harus dicari tahu, bila tak ingin mendapatkan masalah.

Ya, yang asing itu terasa karena tambo yang ditabuh itu tak berhenti juga. Pemuda penabuh tambo sesekali melihat ke halaman meunasah. Bila jumlah orang dirasa belum mencapai jumlah lelaki yang ada di gampong, ia belum berhenti menabuh tambo. Hingga seseorang membentaknya, ”Hei, ada apa? Siapa yang pergi?”

Dengan lantang, anak muda penabuh tambo berteriak. ”Kejantanan kita telah hilang. Hai, semua penakut, pergilah ke rumah Sabalah, jenguklah Fatimah!”

Pemuda itu lalu turun. Ia segera menuju ke rumah Sabalah. Lalu, orang-orang mengikutinya. Tapi, sebagian memilih pulang ke rumah masing-masing.

Sesampai di rumah, tubuh Sabalah baru sampai di pintu pagar. Mereka terpatung melihat empat wanita mengangkut sebuah tubuh. Mereka tidak berkeringat dan satu orang pun tidak mengeluarkan air mata.
Para orang gampong masih terpana, sebelum Habsah dengan keras mengatakan kepada mereka, ”Hei, kalian pulang saja ke rumah masing-masing!”

Fatimah memandikan sendiri tubuh beku itu. Sabalah dibaringkan di gua yang di bawahnya kayu bakar tersusun tak teratur. Air dinaikkan ke kamar oleh Suhaibah. Sebelum air diguyur, Fatimah memeluknya lama.

“Seperti janjiku, Cutbang, Cutdek akan memelukmu lama,” katanya, setengah berbisik ke telinga Sabalah.

Lalu, Fatimah meletakkan seluruh air di hadapannya. Dua lembar papan yang ada di gua dibuka dengan segera. Sebelumnya, Fatimah masih sempat menelungkup dan membuka matanya, untuk melihat lewat gua kecil ke bawah sana.

Lalu, tubuh itu mulai dibersihkan sampai ke segala relung. Sampai tak ada yang tersisa. Semua noda dibasuh sampai bersih, hingga sembilan liang yang berdiam di tubuh itu tampak jelas. Bahkan, Fatimah menemukan sebutir peluru yang tersisa. Semua lubang sudah tidak mengeluarkan darahnya.

Setelah air sudah dialirkan, ia lalu memindahkan tubuh itu ke samping gua. Seorang diri. Di sana, sudah disusun kain kafan. Ia langsung membalutnya dengan kain kafan hingga berlapis sembilan. Ia melakukannya dengan rapi. Setelah selesai, Fatimah lalu memanggil ketiga wanita itu untuk mengangkat tubuh itu ke ruangan tengah.

Itu tak berlangsung lama. Bardan dan beberapa lelaki sudah berada di rumah itu dan mereka tak meminta tubuh Sabalah dibasuh kembali. Biasanya, di gampong, ketika ada orang yang perlu dimandikan, maka teungku akan melakukannya bersama beberapa orang tua gampong.

Mereka lalu meminta izin pada Fatimah untuk mensalatkannya dengan segera. Tanpa sepengetahuan Fatimah, Bardan sudah menyuruh empat orang untuk menggali liangnya di sebelah barat rumah mereka. Di bawah ceceran daun cokelat yang belum dibersihkan oleh Fatimah. Tak lama menggali liang, karena tanahnya lunak.

Setelah salat selesai, Bardan dan empat pemuda gampong langsung menggotong tubuh Sabalah ke liang. Dengan beberapa doa dan sedikit talqin, Sabalah lalu dikuburkan. Tak banyak orang yang ada di sana. Hanya beberapa orang. Orang gampong sedang mengunci diri di dalam rumah masing-masing.

Fatimah lalu duduk di kepala kuburnya. Tak bangkit lagi. Setelah semua orang sudah pulang ke rumah masing-masing pun, Fatimah dengan setia menunggu di makam. Ia tak berkata apa-apa, ketika menunggu Sabalah pulang.

Fatimah terus terduduk, walau matahari mulai turun. Lalu, senja. Ia tak juga bangkit. Samiun sama sekali tak menangis. Berkali-kali ia memanggil, ”Abu!” Samiun juga tak terlelap sedikit pun. Sama seperti Fatimah, yang menunggu Sabalah di tepi makam.

Ketika fajar yang disusul mentari pagi menyinari jagat, tangan Fatimah meremas-remas tanah makam. Ia masih tak bergerak, bahkan ketika sampai ada berita dari ujung gampong: tiga wanita tergeletak di jalan dengan sembilan liang pada masing-masing tubuh mereka.

Fatimah ingin bangkit, tapi tak mampu. Ia sangat ingin melihat tiga wanita itu. Apalagi, ia dengar ada sembilan liang di masing-masing tubuh mereka. Ketika sekali lagi ia mau bangkit, tiba-tiba jagat jadi gelap dalam sekejap. Sebelum semuanya terhapus, ia mulai mendengar Samiun menangis lagi.

No comments: