12.22.2010

Aku Mau Pulang ke Ubud

Memang, aku mencintainya. Tapi, aku tak mau diganggu masalah anak. Walaupun itu tuntutan dari keluarga besarnya, aku tetap akan bertahan pada prinsipku.

Monkey Forest, Juni
Kau tarik tubuhku yang terbalut kebaya kuning cerah. Kau peluk hingga aku kehilangan napas. Kau berbisik di telingaku, “Kau cantik. Kau pantas jadi gadis dusunku. Kau pantas jadi istriku.” Aku menggeliat dan mendesah karena elusan tanganmu. Lalu, kau tarik selendang yang menjerat kamen (kain sarung) milikku. “Aku ingin kau jadi seperti mereka.”

Tapi, aku terlalu lelah menjalani semua upacara yang digelar sehari penuh. Tanganku terlalu kaku karena berhari-hari membantu membentuk beras ketan menjadi kue-kue dan disusun di dalam banten (wadah sesajen). Telingaku kesal dan terlalu bosan mendengarkan gamelan dan tingklik (alat musik tradisional dari bambu), sejak fajar muncul hingga senja. Aku lelah.

Hotel ini terlalu dingin. Atau, apakah hatiku yang kini membeku? Meski bersamamu di Bali, aku selalu merasa dingin. Aku mendesah. Aku tak mau pulang lagi ke desamu, kataku dalam hati. Aku bukan gadis dusunmu. Aku gadis kota. Aku bukan gadis desa.

Tapi, kau tak pernah mendengar. Kau selalu ingin aku jadi gadismu. Istri yang mengabdi. Istri yang menghamba pada suami. Istri yang tinggal di desa. Aku bukan wanita seperti itu.

Jakarta, Oktober
Aku memang tak pernah menyandang nama Ida Ayu. Tak pernah menyandang nama Ni Made, Ni Gusti, Kadek, Tjokorde Ayu, atau nama apa pun yang seolah mengatakan, “Saya gadis Bali, yang bersuamikan orang Bali, dan saya akan mengabdi padanya sampai mati.”

Aku tak pernah jadi gadis seperti itu. Meski aku jatuh cinta padamu. Aku tergila-gila padamu sejak detik pertama mataku memandang dalam matamu yang luas dan jernih. Sejak titik air mata pertama yang jatuh setiap kau pergi. Kau segalanya bagiku. Tapi, aku tak ingin melahirkan anak-anakmu. Aku hanya ingin memilikimu.

“Aku berangkat, ya.” Aku mengalihkan mata dari lembaran koran yang sedang ramai bercerita tentang orang-orang yang berebut negara. Melihatmu, suamiku. Suami yang kucinta.

Aku bangkit dan memelukmu. Kucium bibirmu, yang selalu membuatku rindu. Cintaku. Mengapa aku tak bisa jadi gadis desamu?

“Minggu depan aku akan cuti.” Kau longgarkan dua lenganku yang erat melingkari pinggangmu. “Aku mau pulang ke Ubud. Ibu memperbarui merajan (pura kecil di dalam puri) kami. Kami akan mengadakan odalan (upacara perayaan hari jadi pura yang diadakan setiap 210 hari). Aku harus datang. Sudah sepuluh tahun lebih kami tak mengadakan odalan sebesar sekarang.”

Aku membanting tubuhku ke sofa. Tapi, kini kau diam saja. Kau berjalan menuju pintu, berhenti sebentar, lalu berkata, “Kau tak perlu ikut kalau tak ingin.” Lalu, kau pergi. Tanpa melihat padaku.

Monkey Forest, Oktober
Aku heran, mengapa aku sampai sebodoh ini membiarkan diriku datang lagi ke hotel ini.

Kudengar air bergemercik di kamar mandi. Ah, kau sedang mandi. Membiarkan air hangat mengalir di atas kulitmu yang cokelat terbakar matahari pantai, sisa-sisa masa remajamu. Saat itu tak ada hal lain yang kuinginkan, selain berlari ke pelukanmu dan berkata, “Aku istrimu. Aku akan mengabdi padamu. Aku akan tinggal di desamu.”

Tapi, aku tak bisa. Aku tak mau membiarkan 25 tahun usiaku bergelut dengan kertas dan pensil hingga kebanggaan saat dua kali toga membalut tubuhku hilang begitu saja. Atau, membiarkan kebanggaan menulis tesis dalam usia semuda diriku lenyap dalam lima kata. Aku akan tinggal di desamu. Tak bisa. Tak bisa begitu. Kau pun tak mungkin meninggalkan pekerjaanmu, bukan?

Hanya untuk tinggal di desa, untuk hidup bersama orang tuamu di rumah besar yang kau sebut puri (tempat tinggal keturunan bangsawan Bali). Meski pada hari pernikahan kita mereka berduyun-du-yun memasak dan berlomba-lomba membuat lawar (masakan tradisional Bali yang terbuat dari daging, nangka, dan darah babi), orang-orang itu bukan apa-apa bagiku. Karierku tetap segalanya.

Ubud, beberapa hari setelahnya
“Kapan kalian berencana punya anak?” Ibumu tersenyum padaku sambil menyodorkan sepiring laklak (sejenis serabi), yang seperti biasa, kutolak dengan halus. Aku alergi terhadap pertanyaan ini! Ke mana kau ini? Biasanya, kau bisa menyelamatkan aku dari ibumu, kakak-kakak perempuanmu, saudara-saudaramu, dan tetangga-tetanggamu yang tampaknya selalu tahu apa pun tentang keluargamu.

Tapi, sekarang kau tak ada. Mungkin, kau sedang di bale banjar (bangunan tempat berkumpulnya warga), bercengkerama dengan penduduk desa. Mungkin kau masih sibuk membereskan bale gede (bangunan dalam kompleks rumah keluarga yang digunakan untuk upacara) yang masih berantakan sejak para undangan pulang tadi sore. Atau, mungkin juga kau sudah tertidur di depan puri karena sejak semalam kau lelah memeriksa semua yang harus dibawa untuk upacara di pantai tadi pagi. Karena kaulah yang selalu bertanggung jawab atas segala-galanya di sini. Entah mengapa.

Kau lupa akan janjimu untuk membawaku ke hotel sore ini. Karena aku tak pernah suka tinggal di sini. Di purimu, di tengah dusun, dan di antara orang-orang yang tak kukenal. Aku lebih suka di hotel, yang selalu kita tinggali jika pulang ke Ubud, sejak hari pertama kita menikah. Hotel yang sama tempat kau pertama kali mencumbuku. Tapi, entah mengapa, aku selalu merasa dingin di situ. Mungkin, karena Bali bukan rumahku. Bali rumahmu. Aku tak pernah pulang. Kau pulang, aku hanya mengikutimu. Karena aku mencintaimu.

Ibumu tetap menatapku dengan pertanyaan yang sama di kedua matanya. Aku menggeser posisi dudukku, mencari posisi yang aman supaya ia tak melihat mataku. Aku tak mau terpengaruh. Ia benar-benar ingin cucu darimu, anaknya yang terkecil. Tapi, untuk apa? Kelima kakakmu telah memberinya sebelas cucu. Apakah ia benar-benar membutuhkan cucu kedua belas? Apakah ia yakin aku akan merawat cucunya dengan baik? Meski aku jatuh cinta padamu, bukan berarti aku mau memberikan cucu pada ibumu!

“Suamimu anak laki-laki Ibu satu-satunya. Apa tidak wajar jika Ibu ingin cucu laki-laki dari anak laki-laki?”

Hah, cucu laki-laki. Dia pikir, untuk apa ketujuh cucu laki-lakinya yang lahir dari anak-anak perempuannya?

“Sewaktu kalian menikah, Ibu tahu ini pasti terjadi. Entah lama, entah singkat, entah kapan. Rasanya, hampir seluruh tetua di banjar ini menasihati suamimu. Tapi, dia keras kepala. Karena, dia mencintaimu. Dia tak mau mendengarkan Ibu.”

“Saya tahu. Saya tak pernah memaksanya menikahi saya. Saya mencintai anak laki-laki Ibu. Saya juga tak meminta apa pun yang tak mungkin bisa dipenuhinya.”

“Ibu tahu. Tapi, semua orang harus menyesuaikan diri. Kamu menikah dengan orang Bali. Dengan anak laki-laki Ibu satu-satunya. Dengan anak laki-laki dari keluarga terhormat. Keluarga kami tak pernah memiliki menantu yang bukan orang Bali. Kami juga tak pernah memiliki menantu yang tak mau memberi kami penerus keluarga! Bukannya Ibu tak mau menerima kamu. Tapi, Ibu hanya ingin kamu tidak mempermalukan keluarga Ibu.”

“Saya tahu.”

Garis-garis halus di wajah wanita tua ini mengeras. Di balik kerutan-kerutan itu terlukis wajah yang dulunya pasti indah, seindah lukisan gadis Bali yang terpajang di dinding rumah-rumah di Jakarta.

“Ibu tidak mengerti. Kamu ini perempuan. Memiliki anak dari laki-laki yang kamu cintai adalah keajaiban.”

“Saya tidak pernah berpikir begitu.”

Bagiku, keajaiban adalah jika aku dan suamiku bisa melayang ke angkasa saat ini juga. Berdua saja. Tak pernah turun ke bumi untuk menapakkan kaki di Bali. Hanya aku dan dia. Hanya kami berdua.

Hari berikutnya
“Kamu tak mungkin tak keluar kamar.”

“Saya lelah ditanyakan hal-hal yang tidak ingin saya dengar.”

“Hal-hal apa maksudmu? Ibu tak pernah bertanya apa-apa padaku.”

“Karena kamu tak pernah mendengar.”

“Sudahlah. Lagi pula, hal apa yang begitu tak ingin kamu dengar sehingga kamu tak mau keluar kamar?”

“Anak.”

Satu menit berlalu tanpa suara. Kau terdiam, memandang langit-langit kamar. Tapi, dengan pandangan kosong.

“Aku tahu kamu tidak bisa mengalah pada Ibu. Tapi, keadaan akan makin buruk jika kamu tak keluar. Sebentar lagi tamu-tamu akan datang. Aku harus keluar.”

“Kamu saja yang keluar. Saya tidak perlu.”

“Kamu harus keluar. Jangan membuatku malu. Aku sudah bilang, kalau kamu tak ingin ikut, kamu tak perlu datang kemari. Lebih baik aku bilang pada Ibu bahwa kamu sedang sakit dan tak bisa datang, daripada kamu bertingkah seperti sekarang.”

“Kamu tak mengerti.”

“Aku sudah cukup mengerti. Kamu juga harus mengerti.”

“Saya akan mengerti jika saya ingin mengerti! Saya menikahi kamu, tapi saya tak pernah meminta semua ini. Mengapa kamu menikahi saya kalau kau tahu ini pasti terjadi?”

“Aku mencintai kamu.”

“Kalau kamu mencintai saya, kamu harus mengerti.”

“Tapi, aku ingin kamu berpikir.”

“Saya sudah cukup berpikir! Apa kamu tak tahu malam-malam yang saya habiskan dalam kegelisahan, setiap kita selesai bercinta? Setiap saya memejamkan mata dan membayangkan mungkin ada bayimu di perut saya? Setiap saya memandang matamu dan melihat masa depan kita di sana?”

“Sebenarnya, apa yang kamu inginkan?”

“Saya tak menginginkan apa-apa! Saya hanya ingin kehidupan saya. Saya tak mau ada yang menghalangi jalan kita. Jalan yang sudah saya lewati dengan air mata dan doa sejak Ayah dan Bunda pergi meninggalkan saya. Saya berjanji akan berdiri di puncak dunia.”

“Tapi, kamu tetap menikahi aku.”

“Saya menikahi kamu karena saya mencintai kamu!”

Tahukah kamu, aku tergila-gila padamu? Pada setiap jengkal tubuhmu? Pada suaramu yang berat dan dalam? Pada tatapanmu yang menggairahkan? Pada pelukanmu yang membenamkanku dalam impian untuk memilikimu?


“Aku juga begitu. Tapi, kita harus berusaha saling mengerti.”
“Baik. Kita akan berusaha saling mengerti. Kalau saya keluar sekarang, jangan minta saya mengerti lebih banyak lagi.”

Saat itu yang aku pikirkan hanyalah cintaku padamu. Jika tidak, aku tidak akan pernah mau menginjakkan kaki di situ.

Tiga hari sesudahnya
Matahari Bali adalah mataharimu. Yang menemani langkah-langkahmu ke mana pun kau pergi. Yang memberimu napas di mana pun kau berpijak. Di pasir pantai ini kau menghamparkan tubuh dan bercerita pada matahari tentang cinta kita. Tapi, ia tak memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaanmu. Bahkan aku, kekasihmu, tak juga memilikinya. Apa yang salah dari diriku? Apakah cintaku padamu?

Sebab, memandangimu tak akan pernah menghabiskan cintaku. Dari kejauhan aku berlari, membenamkan tubuhku dalam dadamu dan menyandarkan kepalaku di bahumu. Senja menjatuhkan mataharimu dalam dekapan cakrawala.

“Aku mencintaimu.”

Kata-kata itu tak pernah berhenti kau ucapkan sejak petama kali kita berjanji akan saling mencintai dan memiliki.

“Tapi, aku tidak sanggup lagi.”

Kalimat itu tentu saja baru pertama kali kudengar, hingga mampu membuatku tersentak dan memandangimu takjub. Kata-kata yang tak pernah kuduga akan keluar dari bibir yang tiap malam kucium dan kucumbu. Bibir milik seorang pria yang kucintai. Bibir yang selalu melantunkan nada cinta untukku.

“Saya tak mengerti maksudmu.”

Sebenarnya, aku mengerti. Aku tahu, cepat atau lambat kau pasti mengatakannya. Aku hanya tak ingin memahaminya.

“Aku tak mau kamu bertengkar lagi dengan Ibu. Seluruh keluargaku juga mencurigai, mengapa kita belum memiliki keturunan. Ibu selalu mengatakan kepada mereka bahwa Sang Hyang Widi mungkin belum memercayakan seorang anak pada kita. Tapi, mereka mulai bertanya-tanya. Kamu tahu, di keluargaku, jika seorang istri tidak bisa melahirkan anak karena mandul, ia harus diceraikan. Mereka mengira kau begitu. Tapi, aku selalu mengelak. Aku selalu membelamu selama lima tahun ini. Tapi, aku tak bisa lagi. Aku tak mampu lagi berusaha membujukmu dan berpura-pura suatu saat nanti kau akan berubah.”

“Saya tak mengerti. Saya pikir kamu mencintai saya.”

“Aku juga berpikir begitu tentang kamu. Aku pikir kamu mau melahirkan anak-anakku karena kamu mencintai aku.”

“Ternyata, segalanya tak semudah itu.”

“Ya. Tak semudah itu.”

Kau mengecup keningku.

“Saya benci mencintai kamu.”

“Aku tak pernah menyesal. Aku akan tetap mencintaimu.”


“Saya tetap benci mencintaimu.”

Aku bangkit dan berlalu. Ombak menari-nari di balik punggungku dan melambaikan salam perpisahan.

Pesawat terakhir malam itu akan membawaku berpisah darimu, meninggalkan separuh jiwaku bersamamu. Pulau dan lautan akan memisahkan cinta kita. Hanya Tuhan yang tahu mengapa.

Jakarta, November
Hidupku separuh mati. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu, menggenapkan bulan tatkala kau tak pulang. Aku tak berusaha menghubungimu, karena kau pun tak juga menghubungiku. Meski batinku menjeritkan kerinduan akan kehadiranmu, aku tak peduli.

Aku tak tahu kau tinggal di mana, meskipun aku tahu apartemen mungil yang kutempati ini adalah milikmu. Tiap malam aku tidur di atas kasur yang kita beli berdua dan membunuh waktu di atas sofamu. Waktu sepiku kuhabiskan memandangi baju-baju yang tergantung dalam lemari, membayangkan betapa mereka dulu membalut penuh tubuhmu.

Satu hari berlalu
Aku membereskan kertas-kertas pekerjaanku. Waktunya pulang. Sudah terlalu larut. Waktu kau masih ada, aku tak pernah pulang selarut ini. Sekarang aku bisa pulang semalam yang kumau.

Saat aku mendekati mobil yang diparkir di pelataran luar, aku menyadari ada sesosok tubuh bersandar di pintu depan. Kaukah?

Dengan jantung berdetak keras, aku memberanikan diri untuk mendekat. Ah, bukan kau. Fahri. Sahabat kita semasa kuliah magister di Inggris atas beasiswa pemerintah.

“Working late hours?” tanya pria berbadan tinggi itu.

“Ya. Saya harus menyelesaikan beberapa tugas.”

“Sudah makan?”

Aku ingin berbohong, meski perutku tak bisa diajak kompromi.

“Tergantung.”

“Tergantung apa?”

“Tergantung pada siapa yang mengirimmu ke sini.”

“Yang jelas bukan suamimu.”

“Jadi, siapa?”

“Semua teman di kantor ini.”

“Kenapa?”

“Kami semua prihatin. Suamimu seperti orang gila. Sorry. Dia bahkan sudah berpikir untuk berhenti kerja. Di tengah-tengah kariernya yang tengah menanjak? Rasanya, itu bukan keputusan yang tepat.”

“Itu bukan urusan saya.”

“Mentari, itu urusanmu. Dia masih suamimu. Kamu masih mencintai dia. Katakan padaku bahwa kau tidak mencintainya! Jangan bohongi dirimu.”

“Rasanya, saya memilih tak ikut makan malam.”

Aku membuka pintu mobil dan bergegas memasukinya. Dengan kedua tangannya Fahri berusaha mencegahku menutup pintu. Aku memandangnya tajam, tapi ia tak gentar.

“Dia masih mencintaimu, Mentari. Masa kau tidak sadar?” serunya setengah berteriak.

“Dia lebih mencintai keluarga dan kerabatnya.”

“Dia hanya bingung! Dia tidak menyangka reaksi ibunya akan sekeras itu. Kau tahu akibat apa yang bisa terjadi padanya, Mentari? Dia bisa saja dikucilkan dari desanya seumur hidup.”

“Tapi, ketika menikah denganku, seharusnya dia sudah tahu itu!”

“Okay, kita bicarakan masalah ini sambil makan malam. Kalau begini, orang-orang akan menyangka aku menyakitimu.”

“Kamu memang menyakiti saya. Dan, sudah saya bilang, saya tidak mau makan malam.”

“Bantu aku, Mentari. Sekali ini saja.”

“Bantu? Saya lebih memerlukan bantuan dalam bentuk apa pun dibanding kamu.” Aku berteriak tak sabar. Aku melihat beberapa orang yang akan pulang dari kerja lemburnya menoleh ke arah mobilku. Mereka menggeleng-gelengkan kepala dan masuk ke dalam mobil masing-masing.

“Aku butuh bantuanmu untuk mempersatukan kalian kembali, Mentari! Kau tahu apa yang dia lakukan selama ini? Dia sering menginap di apartemenku. Tidak berbuat apa-apa, hanya merokok dan tak henti-hentinya bicara tentang kamu. Bukannya aku tak mau dia menumpang di apartemenku, Mentari. Kalian adalah sahabat terbaikku di dunia ini. Tapi, apakah kamu pikir tingkah lakumu ini tidak kelewatan? Kalian bertingkah seperti anak-anak!”

“Ya, mungkin di situlah poinnya. Kami memang masih anak-anak. Jadi, bagaimana mungkin kami bisa merawat anak?”

“Aku tahu kamu tak seburuk itu, Mentari. Cobalah berpikir, apa yang salah dari pernikahan tanpa keturunan? Segalanya!”

Huh, andai saja Fahri mau bercermin! Aku tahu, hingga kini Fahri belum menikah karena takut terburu-buru punya anak. Konsep pernikahan membuatnya sangat takut. Begitu juga yang terjadi padaku.

“Fahri, saya butuh istirahat. Kita bicara lagi besok.”

“Aku belum selesai bicara,” katanya tajam.

“Cukup, Fahri. Saya akan ke Yogya lusa. Katakan pada Dewa, saya menitipkan kunci apartemen pada Laila jika ia ingin mengambil barang-barangnya. Saya kembali minggu depan. Jadi, dia boleh tinggal di sana selama seminggu ini atau, sampai kapan pun ia mau. Toh, itu masih apartemennya. Saya bisa mencari tempat lain.”

Yogyakarta, pertengahan November
“Bude kira, mertuamu itu ada benarnya, Nduk.”

“Saya kan nggak bilang bahwa dia itu salah, Bude. Saya hanya bilang, apa yang dia pikir itu tidak sesuai buat saya. Saya sudah punya gelar yang diperoleh dengan susah payah, merintis karier dari bawah, dan saya nggak mau diganggu oleh kehadiran seorang anak.”

“Nduk, semua wanita di dunia ini boleh saja menjadi orang terdidik, terhormat, atau terkaya. Tapi, kamu mesti ingat, kodrat wanita itu melahirkan. Garwa itu artinya sigaraning nyawa. Istri itu separuh dari hidup suami. Begitu juga sebaliknya. Kamu ini mau cari apa lagi, tho? Ibumu dulu itu juga wong pinter, Nduk. Disekolahkan Eyang Kakung sampai ke negeri Belanda. Tapi, setelah dinikahi Bapak dan kamu lahir, ya ibumu nunut kepatut (nurut saja) sama bapakmu. Diajak ke mana-mana ikut, pindah ke sana ikut, ke sini ikut. Kalau nuruti keinginan ibumu, sih, mungkin kamu nggak akan lahir.”

“Justru saya nggak mau jadi seperti Ibu.”

Bude Hardjo menggeleng-gelengkan kepala. Kulit di dahinya berkerut-kerut heran. Wanita hebat ini telah mengurusku sejak ayah dan ibuku tiada karena kecelakaan mobil ketika aku SD. Bude selalu mengerti dan mengasihi aku. Tapi, tidak kali ini. Rupanya, ia tak mengerti juga apa maksudku.

Bagaimana ia bisa mengerti? Sehebat-hebatnya ia menjadi wanita, seumur hidupnya ia hanya akan menjadi seorang istri. Seorang wanita di belakang layar. Yang mengaron beras sewaktu ayam-ayam masih terlelap, mengerek timba sewaktu matahari di atas kepala, dan menyikat lantai sewaktu gelap menggenangi malam. Menjadi pelayan di pawon dan di ranjang. Dan, hidup berbahagia untuk itu!

“Kulo badhe nyuwun pamit rumiyin, Ndoro Putri (saya pamit dulu, Tuan),” kata Yu Sih, salah seorang abdi dalem di rumah Bude Hardjo. Yu Sih tertunduk menghadap Bude Hardjo, sang nyonya rumah.

“Lho, ono opo, tho, Yu? Isih awan ngene, kok, wis pamit?” (Lho, kenapa, sih, Mbok? Masih siang begini, kok, sudah mau pamit?)

“Anu, Ndoro, nuwun sewu sanget (maaf sekali). Anak saya yang kecil kena musibah. Sepeda motornya nyemplung ke sungai. Mungkin, kakinya sedikit keseleo. Saya mau memanggil tukang urut, Ndoro.”

“Oalah, Yu… piye, tho? Ono-ono wae. Ini Mbak Mentari baru saja datang, lha, kok, mau pulang? Sapa sing arep olah-olah? Yu Min ojo oleh mulih dhisik, yo. Kandanono aku arep masak kanggo Mbak Tari.” (Ya, ampun, Mbok, bagaimana, sih? Ada-ada saja. Mbak Mentari baru saja datang, kok, Yu Sih malah mau pulang. Siapa yang akan memasak? Yu Min jangan boleh pulang dulu, ya. Katakan padanya, aku akan memasak untuk Mbak Tari.)

“Nggih, Ndoro, matur suwun sanget, mangke kulo terasken dateng Yu Min.” (Baik, Tuan. Terima kasih banyak. Nanti akan saya sampaikan pada Yu Min.)

Wanita tua itu beranjak keluar kamar. Pintu kamar berderik lagi, tapi aku tak mendengarkan. Aku tertawa dalam hati. Bahkan, pekerjaan sesepele Yu Sih masih bisa terganggu oleh tingkah anak. Aku sebenarnya ingin mengatakan itu pada Bude Hardjo, tapi kilatan bola matanya mengurungkan niatku berdebat lagi.

“Bude masak opor ayam, Nduk? Kamu nanti siang makan di rumah, tho?”

“Aduh Bude, saya rapat dari jam sepuluh sampai jam lima. Saya nggak tahu, bisa pulang ke sini untuk makan siang atau enggak. Kantornya kan jauh, Bude.”

“Oalah, mbok diusahakan pulang, tho, Nduk. Sejauh-jauhnya, kalau masih di Yogya kan nggak sampai setengah jam.”
“Saya usahakan, Bude.”

Seumur hidup aku belum pernah memegang bayi dan tak pernah menyukai anak-anak. Kini, aku harus merawat bayi selama dua minggu? Mana mungkin!

Yogyakarta, lima hari setelahnya
Aku berjalan sendirian di Malioboro di antara hiruk pikuk manusia, suara gitar dan kecapi, rumah makan lesehan, baju batik, sandal kulit, mobil-mobilan kayu. Ia ingin membeli oleh-oleh. Tapi, untuk siapa? Kamu pasti tak akan ada di apartemen sewaktu aku pulang nanti. Fahri? Aku lebih baik menghindari bicara dengan pria itu. Laila? Mungkin selembar daster atau kain batik. Itu saja.

“Dasternya berapa, Pak?” tanyaku kepada kakek tua yang sedang membereskan barang dagangannya.

“Silakan, Jeng. Yang lengan pendek lima belas ribu, yang lengan panjang dua puluh. Bahannya halus, lho Jeng. Beda dari yang di pasar. Saya ambil dari Solo, langsung dari pembatiknya. Murah!” katanya.

Aku tersenyum dalam hati. Betapa bersemangatnya orang tua ini. Aneh sekali. Orang-orang seusiaku saja terkadang tidak memiliki semangat sepertinya. Apalagi aku! Hidupku separuh mati.

“Warnanya berapa macam, Pak?”

“Lengkap, kok, Jeng Merah, biru, hijau... eh, sebentar, saya ambilkan dulu di gudang. Tadi ada ibu yang beli sepuluh potong. Katanya, untuk oleh-oleh. Tapi, masih ada, kok, Jeng. Tunggu sebentar.” Ia berlalu.

Aku menjatuhkan tubuhku di kursi plastik di ujung ruangan. Satu menit pun berlalu. Seorang wanita seusiaku memasuki toko itu. Ia meraih sebuah mobil-mobilan kayu yang terpajang di rak dan bergumam, “Lucu sekali. Ditto pasti senang!” Lalu, ia menoleh ke arahku.

“Ini berapa?” tanyanya, menyangka aku pelayan toko.

“Saya juga pembeli. Penjualnya sedang ke gudang.”

“Oh, maaf! Aduh, maaf, lho, Mbak.”

Aku menggeleng dan tersenyum. Matanya ramah.

“Dari Jakarta?” tanyaku, berbasa-basi.

“Ya, sedang mengunjungi mertua yang sakit. Saya mau cari oleh-oleh untuk anak saya. Dia tidak bisa ikut karena sedang ulangan. Dia suka sekali mobil-mobilan. Saya mau beli beberapa model untuk dikoleksi. Ini ada yang berbentuk mobil kodok, sedan,... eh, ini becak, ‘kan? Ditto pasti senang!”

Aku tersenyum masam. Kalau punya anak, mungkin aku juga akan memborong mobil-mobilan lucu itu. Kalau!

“Mbak dari Jakarta juga?”

“Ya. Saya sedang dinas. Anda sendirian?”

“Suami saya sedang menunggui ibunya. Ah, mendingan saya cari oleh-oleh untuk anak saya. Anak satu-satunya, sih, Mbak. Jadi, saya agak memanjakannya. Kata orang memang tidak baik, tapi biar saja. Soalnya, saya sudah tidak bisa punya anak lagi.” Tiba-tiba wajahnya berubah sedih. Jemarinya memainkan roda mobil-mobilan kayu di genggamannya.

“Saya sedih sekali sewaktu dokter bilang begitu. Tapi, mau bagaimana lagi? Ditto anak yang baik dan pintar. Saya bahagia memilikinya. Tadinya, saya membayangkan punya tiga anak laki-laki. Bayangkan, Mbak, pasti seru! Walau mungkin nakal, mereka pasti jadi anak-anak termanis di dunia! Tapi, sekarang tidak mungkin. Saya cukup bahagia menjadi ibu Ditto saja,” ia melanjutkan dengan wajah sendu.

“Ngomong-ngomong, putra Mbak ada berapa? Sudah beli oleh-oleh untuk mereka?”

“Saya tidak punya anak.”

“Wah, wanita karier sejati! Tidak kesepian berdua dengan suami saja? Mbak sudah bersuami, ‘kan?”

Aku terenyak bingung. Aku memang bersuami. Tapi, aku tidak memilikinya.

“Kadang-kadang sepi. Tapi, saya banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Jadi, saya tak terlalu memikirkannya,” aku berbohong. Dewa selalu mengatakan apartemen kami terlalu besar untuk dihuni berdua. Terlalu sepi.

“Oh, begitu. Saya tak bisa membayangkan hidup tanpa Ditto.”

Lalu, suasana menjadi sepi, hingga sang kakek muncul membawa setumpuk daster yang masih terbungkus rapi dalam kantong plastik.

“Aduh, maaf, ya. Ini warnanya ada semua.”

Jakarta, dua hari setelahnya
Aku menginjakkan kaki di apartemenmu. Rumah kita berdua selama lima tahun, tempat kita merajut cinta dan menganyam duka. Sebelumnya, aku mengetuk pintu apartemen Laila berkali-kali, hingga pembantunya muncul dan mengatakan bahwa majikannya sudah menantiku di apartemen ini.

Pintu apartemenku tidak terkunci. Sedang apa Laila? Sebenarnya, aku berharap itu bukan Laila, melainkan kau. Aku berharap kau yang ada di balik pintu itu, membentangkan kedua lenganmu dan merengkuhku.

Aku mendorong pintu itu hingga terbuka. Aku tersentak mendengar suara bayi. Di apartemenku yang selalu sunyi, yang tidak pernah diinjak kaki-kaki kecil, dan tidak pernah dihiasi celotehan manja, dan tak pernah terjamah tangan-tangan mungil, ada suara bayi!

“Laila? Kamu di sini?” seruku, panik dan heran.

“Hai, lihat siapa yang datang. Mama barumu. Ayo beri salam pada mama barumu!” Suara Laila timbul tenggelam di antara celotehan bayi itu. Laila muncul menggendong bayi cantik. Manusia mungil berpipi merah muda yang mengenakan baju terusan merah muda. Rambutnya yang pendek dan berombak terikat pita mungil berwarna senada. Kucirnya bergoyang-goyang lucu setiap kali ia merengek.

“Kenapa anakmu ada di sini?” tanyaku, tanpa basa-basi.

“Karena kamu. Sayang, kamu akan jadi mama barunya selama dua minggu,” jawab Laila, penuh semangat.

“Hah? Apa maksudmu?”

“Please…. Tari, aku benar-benar harus pergi. Tapi, aku tak mau pembantuku yang mengasuh anakku. Kamu mau kan menjaganya? Dua minggu saja!”

“Laila, aku baru pulang dari Yogya. Sekarang kamu ingin aku menjaga anakmu selama dua minggu? Aku tidak pernah memegang bayi sekali pun dalam hidupku, apalagi mengasuhnya! Lagi pula, kamu mau ke mana, sih?”

“Aku harus menemani Francois pulang ke Bordeaux. Mamanya divonis dokter kanker paru-paru. Hidupnya tak akan lebih dari satu tahun lagi. Ini mungkin akan jadi Natal terakhirnya.”

Aku tak bersuara.

“Bordeaux itu ada di belahan dunia lain, Tar! Di sana sedang musim dingin. Aku tidak tega membawa Shannon.”

Kembali kupandangi makhluk mungil yang kini bergulat di pangkuan Laila. Putri semata wayangnya, yang baru lahir enam bulan lalu. Aku tidak pernah memerhatikan bayi itu. Selama ini aku hanya menganggap Shannon sebagai ‘aksesori’ untuk melengkapi apartemen Laila dan Francois. Aku tak pernah menganggapnya hidup. Kini aku harus mengasuhnya selama dua minggu?

“Aku tak yakin bisa mendapat cuti. Pekerjaanku menumpuk. Aku juga harus melaporkan kegiatanku di Yogya. Belum lagi janji-janji dengan kllien lamaku....”

“Tidak, kamu tidak perlu cuti sama sekali. Kalau kamu tidak keberatan, Ning akan kupindahkan ke sini untuk jaga Shannon selama kamu di kantor. Tugasmu hanya mengawasi Ning mengasuh selama kamu di rumah. Sebenarnya, Ning sudah bisa mengasuh Shannon. Tapi, aku tidak mau melepasnya begitu saja. Kupikir, kalau Shannon di sini, kau bisa mengawasinya sesekali.”

Meski tak keberatan, aku cukup terpana akan tanggung jawab yang akan dilimpahkan Laila padaku. Seorang anak! Bukan! Bayi enam bulan!

“Aku benar-benar tidak tahu cara mengasuh anak, Laila. Kau kan tahu, aku tak begitu suka anak-anak. Bagaimana jika terjadi sesuatu?”

“Ayolah, kamu pasti tidak seburuk itu.”

Pikirnya, kenapa aku dan Dewa berpisah?

“Tar, aku tidak punya siapa-siapa lagi di Jakarta. Kalau ibuku masih hidup, pasti Shannon akan kutitipkan padanya. Kamu satu-satunya orang yang aku percaya. Please...., please!” Laila memohon.

Aku menyerah.

Kuraih tubuh mungil yang kini menatapku dengan pandangan heran. Kupeluk dia dalam dekapanku. Kuhirup wangi minyak bayi yang melekat di bajunya. Kucium keningnya yang tertutup poni bergelombang halus. Shannon menggeiat, menatapku lagi, dan matanya seolah-olah bertanya, “Kamu, siapa?” Tapi, kemudian ia tak peduli siapa aku karena bibir mungilnya tersenyum, lalu tertawa.

Laila mendesah lega.

“Sepertinya, ia menyukaimu.”

“Mudah-mudahan. Jika ia akan jadi anakku selama dua minggu, paling tidak ia harus menyukai aku karena aku belum pernah menyukai anak-anak sebelumnya.”

Laila tertawa. Ia mengambil Shannon dari tanganku.

“Maaf, lho Tar. Aku tadi sudah langsung memasukkan beberapa perlengkapan Shannon ke dapur. Aku rasa kamar tidur tamumu kosong, ‘kan? Boleh Shannon dan Ning tidur di situ? Aku akan memanggil Ning supaya ia bisa mengambil baju-baju Shannon.”

“Silakan. Kapan kamu berangkat?”

“Lusa. Tapi, kupikir, sebaiknya kamu membiasakan diri dengan mereka, paling tidak satu hari sebelum aku pergi, sekalian aku mengajarimu. Bolehkah mereka mulai tidur di sini besok malam?”

Aku mengangguk.

“Baiklah. Terima kasih banyak, Mentari. Aku tidak akan pernah melupakan utangku yang satu ini.”

“Dua utang, Laila,” kataku, sambil membuka tas kecilku.

“Daster Yogya. Diimpor langsung dari Malioboro,” aku memberikan kantong plastik berisi daster biru muda.

“Aduh, terima kasih, Sayang,” katanya, sambil tertawa dan melangkah keluar.

Aku melemparkan tubuhku ke sofa. Begitu banyak hal yang harus kuhadapi akhir-akhir ini. Setelah ditinggalkan suamiku tercinta, kini aku harus menjadi ibu dari anak yang bukan anakku. Tiba-tiba aku teringat padamu.

Apakah kau sempat datang ketika aku di Yogya? Menengok sarang cinta kita? Membawa pergi pakaian dan barang-barangmu? Memandangi foto kita berdua dalam pakaian pengantin?

Aku bergegas beranjak ke kamar tidur dan membuka lemari pakaian. Separuh isinya telah lenyap. Yang tersisa di gantungan hanya pakaianku. Sebelum aku berangkat ke Yogya, aku masih dapat mencium wangi tubuhmu yang melekat di kemeja kerjamu, aroma aftershave yang menempel di dasimu. Botol minyak wangimu di sudut lemari masih melayangkan ingatanku pada kencan-kencan pertama kita.

Tapi, itu semua kini telah tiada. Kau telah tiada. Tidak ada sedikit pun hal yang bisa mengingatkan hatiku akan cinta kita. Separuh hidupku yang lain juga hampir mati. Sepi menusuk hingga tulang-tulangku.

Tiba-tiba aku teringat gelak tawa makhluk mungil Shannon. Mungkin, mengasuhnya bisa menjadi pengalaman yang baru. Mungkin, Shannon bisa membantuku melupakanmu. Walau untuk sementara.

Denpasar, awal Desember
Dewa mengisap rokoknya dalam-dalam.

Kosong.

Hanya kekosongan yang menyentuh hidupnya selama dua bulan belakangan ini. Dua bulan yang paling menyiksa.

Bulan-bulan biasanya diisi tawa, tangis, senyum, celoteh, hingga teriakan wanita yang dicintainya, kini hilang. Hari-hari yang selama ini diisinya dengan impian, cita-cita, dan obsesi bersama wanita itu telah lenyap.

Kosong.

Dewa menatap langit-langit putih bersih di atas kamar tidur kosnya. Di matanya terbayang kejadian lima tahun lalu.

“Kamu yakin akan pilihanmu? Ini sebuah keputusan besar, Dewa. Menikah adalah hal terbesar dalam hidup manusia. Kamu memang berhak menentukan pilihanmu sendiri. Tapi, kamu harus ingat siapa dirimu! Kamu adalah ahli waris adat. Kamu anak laki-laki satu-satunya. Kamu orang Bali! Jangan pernah melupakan adat! Jangan melupakan kulitmu hanya karena wanita itu!”

Bayang-bayang ayahnya semasa masih hidup tampak nyata di hadapan Dewa. Kemarahan ayahnya saat itu adalah yang terakhir, sebelum ia meninggal dunia setahun setelah pernikahan mereka.

“Pak, wanita itu punya nama. Mentari. Dia tidak seburuk yang Bapak pikir. Saya yakin, ia mau mematuhi segala permintaan saya. Dia sanggup mengikuti segala kewajibannya. Dia tidak keberatan meninggalkan kehidupannya untuk memulai hidup baru bersama saya. Hal itu membuat saya yakin, saya tidak salah pilih.”

“Kamu bisa berharap demikian, Dewa. Wanita itu mungkin mencintaimu. Tapi, dia tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dilaluinya bersamamu.”

Dewa membuka matanya lebar-lebar. Butiran air mata jatuh. Mungkin, ini pertama kalinya ia menangis sejak 25 tahun terakhir. Ayahnya benar. Mentari memang mencintainya, tapi ia tidak tahu kehidupan apa yang akan dimasukinya saat menikahi Dewa. Ia menikahi adat. Ia menikahi keluarga besar yang terikat tradisi turun-temurun selama berabad-abad. Tradisi yang tak pernah dikenalnya seumur hidup.

Dewa memaklumi sentakan dalam jiwa Mentari. Kegalauan mendalam yang tercipta karena sebuah doktrin yang terpaksa harus ditanamkan dalam kepalanya, hanya karena ia memutuskan menikahi pria yang dicintainya.
“Apakah wanita itu tahu bahwa kamu harus kembali ke desa ini jika telah mapan nanti?”
“Seharusnya, ia tahu, Pak. Saya telah menceritakan setiap detail impian dan tujuan hidup saya padanya.”
“Dan dia bersedia mengabdi pada keluarga dan adat hingga pada hari ia mati, seperti layaknya seorang wanita Bali?”
“Saya yakin ia mau, Pak.”
Dewa tahu Mentari mencintainya lebih dari kehidupan yang dimilikinya saat itu. Cinta yang cukup besar untuk memasuki kehidupan yang sama sekali baru.
Sekarang Dewa malah meragukannya. Bahkan, Dewa ragu, apakah cinta Mentari lima tahun lalu memang sebesar yang ia duga.
 
Bandara Soekarno Hatta, dua hari setelahnya
Pelajaran Laila pada hari pertama Shannon tinggal di apartemenku berjalan cukup baik, walau ada gangguan-gangguan kecil. Pada jam pertama Shannon ‘pindah rumah’ ia sudah memuntahkan separuh bubur susu di karpet Turki-ku. Laila berjanji akan membawanya ke laundry segera setelah ia kembali dari Bordeaux.

Selama dua jam berikutnya Shannon sudah mengompol tiga kali di kasurku, hingga akhirnya Laila memberi izin memakaikan diaper pada Shannon selama ia tinggal di apartemenku. Pada jam makan siang sofaku yang berwarna off white terkena tumpahan jus pisang dan pepaya. Taplak meja makanku yang berwarna biru tua digenangi susu bayi. Rupanya, Ning lupa mengencangkan tutup botol hingga jatuh saat tersenggol.

Okay, mungkin aku akan baik-baik saja. Toh, selama ini belum pernah ada satu noda pun yang tidak bisa diatasi oleh penatu langgananku. Lagi pula, hari ini Shannon tidak menangis, tidak mengoceh terlalu banyak, dan tidak merengek sepanjang malam. Hari ini dia manis sekali. Sepertinya, aku bisa mulai menyukainya.

Keluarga baruku, Shannon dan Ning, mengantar Laila dan Francois ke bandara. Mereka berkali-kali mengucapkan terima kasih padaku. Berkali-kali pula mereka menciumi Shannon hingga ia bersin-bersin. Laila juga berkali-kali meneteskan air mata hingga aku tak yakin ia akan benar-benar tega meninggalkan Shannon.

Setelah pesawat mereka lepas landas, aku menggendong Shannon sambil berjalan di bawah sinar matahari Jakarta. Cukup menyiksa. Tapi, aku harus bisa menjadi ibu yang baik untuk Shannon, demi Laila, sahabatku satu-satunya.

Ketika aku sedang sibuk mencari kunci mobil di dalam tas dengan tangan kiriku sambil menggendong Shannon, aku ditabrak seseorang. Ia tampak terburu-buru.

“Mentari!”

Aku tercengang. Sembilan minggu. Sembilan minggu lalu adalah saat terakhir kali aku mendengar suaranya. Darah mengalir ke seluruh permukaan kulitku dan seakan membeku di sana. Kalau saja aku tidak ingat sedang menggendong Shannon, aku mungkin akan menjatuhkannya.

“Dewa....”

“Aku minta maaf. Aku masuk ke apartemenmu dan mengambil semua pakaianku. Aku telah mengambil keputusan. Aku akan kembali ke Bali. Untuk selamanya. Aku telah mengajukan pengunduran diri ke kantor. Untungnya, mereka memahami alasanku. Hari ini mereka memanggilku kembali dan menyampaikan kabar bahwa mereka merekomendasikan aku ke salah satu anak perusahaan mereka di Denpasar. Kamu... aku sudah... maksudku....”

“Saya mengerti.”

“Tidak. Aku ingin minta maaf padamu. Aku masih mencintaimu, Tar. Lebih dari apa pun di dunia ini. Tapi, ini sudah menjadi garis hidupku. Aku tidak bisa meninggalkan tradisi yang sudah kujalani sejak aku dilahirkan.”

“Saya bilang, saya mengerti.”

Tiba-tiba Shannon merengek. Mata Dewa membelalak. Dia baru menyadari aku sedang menggendong seorang bayi.

“Ini... lho, bukannya ini anak Laila?”

“Ya. Saya baru saja mengantarkan Laila. Shannon akan tinggal bersama saya sampai Laila pulang.”

“Tapi, kamu....”

“Saya belum pernah mengasuh anak sebelumnya. Ya, saya tahu itu. Tapi, ada Ning yang membantu saya. Saya tak perlu khawatir. Saya bisa belajar, Dewa.”

“Tapi….”

Kami berdua tidak bisa berkata-kata lagi. Dewa pasti ingin bertanya, mengapa aku mau mengasuh anak orang dan tidak mau memikirkan untuk memiliki anak sendiri.

“I miss you a lot, Tar.”

“Yah... tapi... tapi kamu punya kehidupan lain yang memang harus dijalani.”

“Saya pikir, kamu dulu mengerti bahwa inilah konsekuensi hidup bersama saya.”

Mukaku terasa panas. Aku merasa air mata akan berjatuhan. Shannon sudah lebih dulu menjerit dan menangis. Sedikit panik aku menepuk-nepuk pantat bayi itu dan membuainya. Tapi, tak sedikit pun usahaku berhasil meredakan tangisannya.

“Cup… cup... sayang…. Haus, ya? Ning, cepat ambilkan botol susunya!”

“Mungkin, dia kepanasan, Tar. Masuklah ke mobil. Pesawatku sebentar lagi boarding. Aku harus segera pergi.”

Aku tak menjawab, pura-pura mengalihkan perhatian pada Shannon. Walau sebenarnya, yang kupikirkan saat itu hanyalah lari ke pelukanmu dan melarangmu pergi. Meskipun tak mungkin kau kabulkan keinginan itu.

“Ya. Silakan. Aku tak akan mencegahmu.” Entah mengapa, yang terucap dari bibirku justru sebaliknya.

Kau membalikkan badanmu, bergegas pergi dan berlalu. Dingin kembali menyusupi hatiku, setelah sempat kau hangatkan beberapa saat.

“Dewa.…” Namamu tiba-tiba meluncur dari bibirku perlahan. Kamu menghentikan langkah. Tidak menoleh padaku. Hanya menundukkan kepala dalam-dalam.

“Aku harus pergi. Aku tidak bisa berdebat sekarang.” Lalu, kau melanjutkan langkahmu.

Diiringi tangisan Shannon, air mataku meluncur deras. Ning hanya membisu, sambil mengelus-elus anak asuhnya dan memberinya susu.

Apartemen Mentari, sepuluh hari setelahnya
Telepon berdering keras. Aku terlonjak dari tempat tidur, teringat pada Shannon yang seharusnya telah bangun sejak berjam-jam yang lalu. Pukul sepuluh! Tadi malam aku menghadiri acara perpisahan rekan kerjaku yang akan ditugaskan ke Australia. Kami berpesta hingga larut. Pesta yang tepat untuk membunuh malam Sabtu yang sepi tanpa dirimu. Aku mulai waswas, apakah Ning sudah memberikan sarapan pagi Shannon.

Aku meregangkan tangan dan meraih gagang telepon yang masih menjerit-jerit.

“Halo….”

“Tari? This is Francois. Here, Laila wants to speak to you.”

“Yah, put her on.”

“Tar? Hai… apa kabar Shannon?”

Aku heran. Baru kemarin pagi Laila meneleponku. Tapi, nada suaranya terkesan bahwa kami tak berbicara sejak setahun yang lalu.

“Santai saja, Laila. Dia baik-baik saja. Rekening telepon mertuamu pasti melonjak setelah kalian pulang nanti. Saya bisa, kok, menjaga Shannon.”

“Bukan itu, Tar. Mungkin, kami pulang agak lambat. Tadi malam ibu Francois masuk rumah sakit,” lalu Laila merendahkan suaranya dan berbisik, “Ia muntah darah. Tidak ada yang tahu berapa lama ia mampu bertahan.”

Ya, Tuhan. Aku tak tahu pada siapa lagi aku harus merasa kasihan, pada diriku sendiri atau Laila. Aku mengerti, mungkin ini adalah saat-saat terakhir Francois bersama ibunya. Tapi, aku juga punya kehidupan sendiri yang harus kujalani.

“Oh, ya? Sampaikan simpatiku pada Francois. Mudah-mudahan ibunya segera pulih. Tapi, jika tidak, katakan padanya supaya bersabar. Mungkin ini takdir Tuhan.”

“Ya, sepertinya ia sudah memahami hal ini. Kami semua hanya bisa berdoa. Tapi, aku cuma mengkhawatirkan Shannon. Benarkah dia baik-baik saja?”

“Ya, selama kau masih percaya padaku!”

“Okay, aku akan telepon kamu lagi setelah ada perkembangan, ya, Tar. Terima kasih banyak, ya….”

“Sama-sama.”

Aku menutup gagang telepon perlahan, walaupun sesungguhnya ingin kubanting. Lalu, aku mendengar suara Shannon menjerit. Aku melonjak bangun dari kasur dan segera berlari ke arah dapur, tempat suara itu berasal. Hatiku benar-benar lega melihat Shannon sedang duduk manis di kursi makannya dan Ning sedang ngomel-ngomel di depannya.

“Shannon menyiram saya dengan susu serealnya, Bu Tari. Lihat, nih, semua lantai jadi basah, baju saya juga.”

Aku tersenyum. Mata Shannon berkilat-kilat bundar, se-akan-akan puas melihat kejailannya berhasil membuat Ning kelimpungan. Senyumnya tersungging di bibirnya yang belepotan sereal cokelat. Sesekali ia tergelak.

“Sudahlah. Ganti pakaianmu, Ning. Biar saya yang membersihkan Shannon. Nanti kamu pel lantainya. Biar saya suapi Shannon di depan televisi saja.”

Kuangkat bayi perempuan yang kini mulai centil itu dan kuambil mangkuk serealnya yang setengah penuh.

“Ayo, kita sarapan dulu. Kalau tidak sarapan, jangan harap dapat permen kelinci.”

Shannon menggeliat protes. Kutekan tombol remote control, mencari saluran yang menayangkan serial kartun anak-anak. Sebuah acara televisi yang menampilkan boneka-boneka tangan berambut aneh menarik perhatian Shannon. Ia terlihat senang memerhatikan tingkah polah boneka konyol itu hingga tak menyadari sendok-sendok penuh sereal yang kujejalkan ke mulut mungilnya.

Tak sampai lima belas menit, acara sarapan pun beres. Tinggal memandikan Shannon. Setelah itu aku akan mandi dan kami semua akan pergi ke supermarket untuk belanja mingguan. Bena-benar rutinitas wanita berkeluarga. Tapi, membosankan atau tidak, aku mulai menyukainya.

  Ah, Shannon harus kembali ke pelukan orang tuanya. Pasti aku akan merindukannya. Jangan-jangan aku mulai menyukai anak-anak....

Kantor Mentari, malam berikutnya Sial. Akhir-akhir ini, setiap kali aku berharap bisa pulang lebih awal agar bisa beristirahat dan memutar CD Dave Koz keras-keras, pasti saja ada klien yang tiba-tiba meminta presentasi draft proposal. Dan, siapa yang selalu diminta bosku untuk lembur mengerjakan format presentasi? Aku.

Sejak Dewa tak pulang, aku selalu membenamkan diri dalam tugas-tugas, yang mestinya bisa kulakukan keesokan harinya. Aku hanya ingin menghabiskan dua atau tiga jam ekstra di kantor. Dengan begitu, aku akan pulang dalam keadaan lelah dan bisa langsung menjatuhkan tubuh di tempat tidur. Supaya aku tak perlu gelisah memandangi sudut-sudut kamar, memimpikan kehadiranmu, membayangkan pelukanmu, sebelum akhirnya menangis, dan jatuh tertidur.

Tapi, itu terjadi sebelum ada Shannon! Sejak gadis kecil itu hadir di apartemenku, sepertinya hidupku lebih berguna. Tidak ada lagi malam-malam sunyi memandangi langit-langit, menatap televisi dengan pandangan kosong, atau menyendok es krim pelan-pelan di depan kulkas hingga tanpa sadar telah habis satu liter.

Setiap pulang kantor jadwalku kini adalah menggoda Shannon, menggantikan popok dan piamanya, serta menepuk-nepuk pantatnya hingga tertidur di kasur kamar tamuku. Sesudah itu, aku menjaga Shannon sampai Ning selesai makan malam dan membereskan mainan serta semua perlengkapan Shannon yang berserakan. Jika Ning sudah siap beristirahat di sisi bayi mungil asuhannya, barulah aku berpindah tidur ke kamarku.

Malam ini aku benar-benar merindukan ritual itu! Rasanya, saat ini aku hanya ingin segera menyelesaikan tugas-tugas agar bisa pulang sebelum Shannon tertidur. Supaya aku sempat memandangi sorot cahaya mata bulatnya yang mulai meredup saat aku menyanyikan nina bobo.

Dering telepon genggam membuyarkan konsentrasiku.

“Bu, badan Shannon panas….”

Suara Ning di ujung sana membuat darahku berdesir keras, berpacu dengan detak jantungku yang seakan dapat kudengar jelas.

“Kok, bisa? Tadi kamu beri makanan apa?” aku memberondong Ning dengan panik.

“Nggak tahu, Bu. Tidak saya beri yang aneh-aneh, kok….”

Nada suara Ning yang lemas dan merasa bersalah membuatku memutuskan untuk pulang. Masa bodoh dengan deadline ataupun presentasi. Bergegas aku membereskan meja dan meraih tasku, lalu keluar setengah berlari.

Di ruangan dokter
“Tidak apa-apa, Bu. Ini hanya demam biasa. Kemungkinan, putri Ibu akan tumbuh gigi. Mari, lihat, rasakan gusinya. Ini… di sebelah sini…. Benar, ‘kan? Si cantik ini akan segera punya gigi pertama!”

Dokter wanita di ruang gawat darurat itu tersenyum lebar menatapku, seolah-olah menertawakan kepanikanku, sekaligus mengecapku sebagai ibu muda yang bodoh. Sebenarnya, aku ingin mengatakan bahwa Shannon bukan putriku dan aku tak peduli apakah giginya akan tumbuh atau tidak. Tapi, aku tidak melakukannya. Kupeluk erat-erat bayi mungil yang sedang tertidur lelap itu.

“Mungkin, dalam beberapa hari ini ia akan rewel karena gusinya gatal. Beri saja mainan yang bisa digigit-gigit. Tapi, jangan lupa, harus yang bersih. Saya akan berikan resep obat penurun panas. Tapi, berikan hanya bila si kecil panas, ya, Bu.”

“Apa kira-kira dia akan panas lagi, Dokter? Begini, saya kan bekerja. Jadi, dia saya tinggal di rumah bersama pengasuhnya.”

“Oh, Ibu bekerja, ya? Saya kira, jika malam ini panasnya tidak muncul lagi, berarti tidak ada yang serius, Bu. Semestinya, besok ia sudah kembali sehat dan ceria.”

“Baiklah, Dok. Terima kasih banyak.”

Selama perjalanan pulang, Shannon tertidur lelap di pangkuan Ning. Lewat kaca spion aku berulang kali mengintip mereka yang duduk di bangku belakang, berharap malam ini tak terjadi apa-apa.

Sekilas, tumpukan berkas pekerjaan yang kutinggalkan begitu saja di meja kerjaku di kantor, terlintas di otakku. Tinggal sedikit yang belum kuselesaikan. Kalau aku bisa tiba di kantor tepat pukul tujuh besok pagi, semua pekerjaan akan selesai sebelum presentasi pukul sepuluh. Aku melirik jam di dashboard mobil. Pukul sebelas lewat empat puluh tiga menit.

Berulang kali kuingatkan diriku, hal seperti inilah yang membuatku tidak menginginkan anak. Kupaksa akal sehatku untuk memakluminya. Kuyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak menyesal telah berpisah dari kekasih dan suamiku.

Benarkah?

Keesokan paginya
Aku tiba di kantor tepat pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Aku nyaris tidak tidur semalaman. Rasanya, kakiku tak menapak di lantai. Shannon memang tidak terlalu rewel. Tapi, aku tak tega membiarkannya tidur hanya berdua dengan Ning. Jadi, aku ikut tidur di sisi Shannon di kamar tidur tamu.

Beberapa kali ia terbangun. Ketika popoknya basah, ketika haus, dan juga ketika akan buang air besar, beberapa menit sebelum pukul lima. Kata Ning, Shannon biasa melakukan hal itu setiap pagi. Jadwal yang aneh, pikirku. Dan, lebih aneh lagi, setelah beberapa minggu ia tinggal di apartemenku, aku baru mengetahuinya.

Setelah itu aku tidak bisa melanjutkan tidurku. Jadi, aku masuk kamar mandi dan berendam di bath tub berisi air hangat, lalu sarapan. Sebelum berangkat ke kantor, aku membekali Ning berjuta pesan agar ia tidak lupa takaran dan jadwal minum obat Shannon.

Bahan presentasiku bisa diselesaikan sebelum pukul sembilan. Aku beranjak keluar dari ruang kerjaku dan membuat kopi di pantry. Beberapa karyawan berdatangan.

“Hai! Pagi-pagi begini sudah datang, Tar?” Sinta, salah seorang junior manager dan teman terdekatku di kantor, menepuk punggungku pelan.

“Ceritanya panjang,” jawabku tak acuh, sambil menuang air panas ke dalam cangkir besar.

“Proposal PT Pundi Indo Sejati, ya? Yang jadwal presentasinya tiba-tiba dimajukan itu, ‘kan?”

“Yah, aku memang mengerjakan proposal itu, sih. Tapi, seharusnya bisa selesai tadi malam.”

Sinta menggelengkan kepalanya. Tak semua orang di kantor ini tahu tentang perpisahanku dan Dewa.

“Kamu memikirkan Dewa lagi?”

“Enggak. Sama sekali tidak. Tidak akan pernah,” gelengku, pasti.

“Lalu?”

“Kamu mengenal Laila, ‘kan? Tetangga lantai bawah di gedung apartemenku? Sewaktu aku merayakan ulang tahun di CafĂ© Bonjour tahun kemarin, ia datang bersama suaminya, yang orang Prancis.”

“Ya, masih ingat sedikit. Kenapa?”

“Dia pulang kampung ke Bordeaux. Bayinya yang baru berumur enam bulan dititipkan di apartemenku. Sudah dua minggu lebih.”

“Lalu?”

“Tadi malam ia mendadak panas.”

“Ya, ampun.…”

“Jadi, aku harus mengantarnya ke dokter dan meninggalkan pekerjaanku. Pagi ini aku harus cepat-cepat datang agar bisa menyelesaikan bahan presentasi.”

Sinta tersenyum, sambil menggeleng. “Kupikir, kamu bukan tipe orang yang bisa meninggalkan pekerjaan di masa-masa deadline seperti itu.”

“Ini kan masalah nyawa, Sin.”

“Dia kan cuma panas, Tar. Bayi, sih, biasa demam seperti itu. Coba kutebak, pasti tumbuh gigi, ‘kan? Atau, mau flu? Kasih saja obat penurun panas.”

“Nah, masalah itu yang aku tak pernah tahu.”

Sinta tertawa ringan. “Tari, Tari… ternyata, kamu memang tak separah yang kuduga,” cetusnya.

“Maksudmu, parah bagaimana?”

“Kupikir, kamu memutuskan berpisah dari Dewa karena kamu benar-benar alergi terhadap anak-anak. Tapi, ternyata, kamu juga bisa jadi ibu, ‘kan?”

Leherku tercekat. Aku tak mengerti perasaanku saat itu. Meski aku tahu Sinta tak bermaksud jahat ketika mengatakan hal itu, separuh diriku mulai mempertanyakan lagi keputusan yang telah kubuat selama ini. Benarkah aku tak menyesal berpisah dari Dewa? Benarkah aku harus mengakhiri pernikahan kami? Benarkah aku membenci anak-anak? Benarkah aku tak ingin menjadi seorang ibu?

London, Januari 1996
Salju tipis melekat dan mengkristal di kolam air mancur di tengah Trafalgar Square. Aku merapatkan jaket dan menarik topi wool hingga menutupi telinga. Aku tahu, satu-satunya cara melawan dingin adalah bergerak secepat mungkin. Tapi, rasanya sulit sekali berjalan saat mengenakan kostum setebal ini. Kutarik lengan Dewa dan merapatkan tubuhku di sisinya.

“Ini musim dingin terakhir kita di Inggris, Tar,” katanya dingin, sedingin cuaca di sekitarku. Ia menerawangkan pandangan ke langit yang biasanya biru. Namun, entah mengapa, langitnya kini berwarna abu-abu. Biasanya, banyak burung dara yang beterbangan rendah di taman ini. Tapi, kini tak seekor pun menunjukkan kepaknya. Mungkin, mereka hanya ingin menghabiskan musim dingin dalam kehangatan sarang.

“Yah, sebagai mahasiswa, mungkin begitu. Tapi, setelah itu kita kan masih bisa datang lagi ke sini,” kataku, berusaha mencairkan suasana.

“Tar… maksudku, mungkin ini musim dingin terakhir kita berdua. Terakhir kali kita melihat salju berdua….”

Aku menatap mata bulat yang dibingkai alis tebal dan hitam itu.

“Maksudmu apa?”

“Tar, aku sudah berkali-kali berusaha meyakinkan diriku bahwa kita saling mencintai. Tapi, aku khawatir, kita mungkin tak bisa punya masa depan jika masih terus bersama.”

Topik ini harus diangkat lagi. Berulang kali Dewa ketakutan akan keputusan kami untuk menikah setelah kembali ke Indonesia.

“Hari sudah mulai gelap. Ayo, lekas.” Ia menarik lenganku dan menuntunku berjalan di trotoar yang basah oleh lelehan salju.

Bergegas kami memasuki sebuah kedai mungil yang menjual bagel. Kami duduk di salah satu pojok yang hangat. Meja kami dilengkapi taplak meja tartan ala Irlandia. Tanpa lama menunggu, dua cangkir teh Earl Grey terhidang di hadapan kami, di sisi roti bulat yang bertabur wijen.

“Kamu tahu, Tar, kehidupan macam apa yang menantiku di Indonesia?” Kau memandangku dalam-dalam, sambil membuka sarung tangan. Kusentuh tanganmu. Dingin. Sedingin es. Tapi, anehnya, mampu menghangatkan hati dan jiwaku.

“Ya. Saya tahu. Saya paham, dan saya mencoba untuk mengerti.”

“Kau siap menjadi wanita biasa? Siap tinggal di desa? Setelah semua ini kamu tempuh? Setelah kita mengecap segalanya di negeri lain?”

“Kamu mencintai saya, Dewa?”

“Masih perlukah pertanyaan itu kujawab, Tar?”

Aku menunduk.

“Berarti, saya akan menjadi istrimu. Saya mencintaimu lebih dari apa pun di dunia ini. Dan, aku tak ingin jadi apa pun, selain jadi istrimu. “

“Menikahiku berarti menikah dengan adatku, Tar. Ingatkah kau akan hal itu?”

“Ingat.”

“Meskipun itu berarti hidupmu akan banyak berubah?”

“Ya.”

  Kamar tidur Mentari, pukul 00.21, enam tahun sesudahnya
Ya. Janji itu memang pernah kuucapkan. Mengapa aku selalu mengingkarinya? Ya, Tuhan, apakah aku tak mencintainya lagi?

Mengapa aku dulu begitu yakin akan keputusanku untuk menikahinya, padahal aku tahu akan berada di puncak dunia? Apakah saat itu aku hanya dibutakan oleh cinta semata?

Aku membalikkan kepalaku berulang kali. Sayup kudengar rengekan Shannon. Sudah satu bulan lebih Shannon tinggal di apartemenku. Aku benar-benar sudah terbiasa bangun malam hari karena mendengarnya merengek minta susu. Tapi, baru kali ini aku merasa sedih. Telah berjam-jam aku berusaha melupakan sosokmu hingga akhirnya jatuh terlelap. Setiap kali terjaga, aku membutuhkan waktu lebih panjang untuk kembali tidur.

Ah, Shannon. Rasanya, aku sudah mulai menyukai makhluk cantik yang luar biasa itu. Sayang sekali Laila harus melewatkan tumbuhnya gigi Shannon. Putri kecilnya itu makin centil memamerkan gigi susu mungilnya.

Pertengahan Januari
Ibunda Francois memang hanya memiliki satu kesempatan terakhir untuk merayakan malam Natal. Ia bahkan tak tahu, cucu tercintanya kini telah makin besar dan cantik. Dua minggu setelah Laila mengabarkan kesehatannya yang memburuk, beliau meninggal dunia. Akhir minggu ini Laila akan kembali ke Indonesia dan mengambil kembali putrinya.

Kupandangi Shannon yang tertidur pulas sambil memeluk boneka beruangnya. Betapa damainya bocah mungil ini.… Aku akan merindukan celotehnya di apartemen ini. Rindu akan segala kenakalannya yang selalu membuat Ning kelabakan serta membuatku terus-menerus mengkhawatirkan, benda apa lagi yang akan segera kularikan ke penatu. Rindu akan saat ia membutuhkan perhatianku. Rindu akan saat kami berdua saja di dalam kamar ketika Ning sedang makan malam. Rindu mengelus rambutnya dan menepuk pantatnya sampai ia terlelap. Rindu akan sinar matanya saat ia menatapku.

Tapi, ia bukan anakku. Laila pasti lebih merindukannya.

Ubud, pagi berikutnya
Ia memang indah. Itu harus kuakui. Seindah lukisan dan patung yang diukir sewaktu senja mulai turun. Seakan Tuhan menghabiskan lebih banyak waktu saat menciptakannya daripada saat menciptakan wanita lain. Karena, setiap detail wajahnya benar-benar sempurna. Tapi, mengapa aku tak ingin jatuh cinta padanya?

Dewa menatap gadis yang hanya berjarak sepuluh meter di hadapannya. Hiruk-pikuk warga yang sedang berkumpul di bale banjar terdengar hingga ke kediaman keluarganya. Tangis anak-anak kampung yang tak dihiraukan sang ibu bercampur dengan keramaian itu.

Bandara Soekarno Hatta, dua hari kemudian
Kami menjemput Laila dan Francois yang terlambat empat puluh lima menit. Untungnya, Shannon tidak rewel. Padahal, terminal kedatangan internasional saat itu cukup ramai dan ingar-bingar. Shannon hanya menendang-nendangkan kakinya ke dadaku, sesekali meronta, dan meminta perhatianku.

“My baby!” Teriakan Laila menggema dari jarak kurang lebih enam meter, bahkan sebelum ia sempat keluar dari pagar yang membatasi penumpang dan penjemput. Di belakangnya Francois tampak tergopoh-gopoh mendorong trolley koper, mengikuti langkah Laila yang setengah berlari.

“Oh, kamu sudah besar, ya, sekarang!” Direbutnya Shannon begitu ia sampai di depanku.

Percaya atau tidak, Shannon berontak dan mulai menangis. Ia tidak mengenali Laila, ibu kandungnya sendiri.

“Laila, pelan-pelan…. Sepertinya, ia lupa padamu…,” aku berkata sepelan mungkin agar Laila tidak tersinggung. Tapi, terlambat. Selama beberapa detik air muka Laila dipenuhi kekecewaan. Lalu ia tersenyum dan memelukku.

“Terima kasih banyak, ya, Tar…. Apa kabar?”

“Seperti yang kamu lihat. Kami semua baik-baik saja. Turut berduka cita atas kepergian mertuamu,” kataku, sambil membalas pelukannya, lalu menyalami Francois.

“Bagaimana perjalanannya?” tanyaku, jelas hanya berbasa-basi agar Laila tak larut dalam kekecewaan.

“Baik. Senangnya bisa mendapatkan kehangatan sinar matahari lagi,” jawab Francois, juga berbasa-basi.

“Ayo, kalian pasti lelah.” Aku mengajak mereka segera pulang. Shannon tetap berada dalam pelukanku. Raut wajah Laila tampak sedih karena Shannon melupakan ibunya, yang telah pergi sebulan lebih.
 
Di apartemen Mentari, keesokan harinya
Shannon memperpanjang waktu menginapnya di apartemenku satu malam. Laila khawatir Shannon akan rewel jika tiba-tiba harus berpindah tempat tidur. Lagi pula, ia dan Francois masih perlu istirahat karena jet lag. Aku, sih, senang-senang saja. Aku justru khawatir, apa yang akan terjadi jika Shannon segera pulang.

Sebenarnya, aku belum mulai menyuruh Ning untuk membereskan barang-barang Shannon. Aku tak ingin melihatnya segera pergi dan meninggalkanku sendiri. Ya, mungkin aku egois. Aku tak tahu, aku takut berpisah dari Shannon atau takut kesepian. Tapi, yang pasti, aku lebih senang Shannon ada di apartemenku.

Jadi, pagi itu, saat Laila menjemput Shannon untuk pulang secara resmi, aku dan Ning sedikit repot membereskan barang-barang.

“Aduh, Tar, maaf banget, ya…. Kamu jadi benar-benar repot…,” kata Laila, sambil berkali-kali membujuk Shannon agar mau digendong.

“Tak masalah. Kerepotan yang diakibatkan oleh Shannon cukup menyenangkan buatku,” kataku, sambil melipat celemek makan yang lalu kumasukkan ke dalam tas bayi.

“Ngomong-ngomong, bagaimana kabar Dewa?” tanya Laila, seakan tanpa beban. Pertanyaan itu bagaikan setrum di telingaku.

“Hmm… baik.”

“Maksudnya baik?”

“Ya… katanya, ia mengundurkan diri dari kantornya. Lalu, ia ditawari pekerjaan di Denpasar. Jadi, sekarang ia berada di Bali. Itu baik, ‘kan?”

“Katanya? Kata siapa?”

“Kata Dewa sendiri.”

“Kamu bertemu dengan Dewa? Dia menghubungi kamu?” Laila mengangkat pandangannya dari Shannon dan memelototiku.
“Tidak. Kami bertemu di bandara, sewaktu mengantar kalian pergi.”

“Jadi… kalian berdua tidak akan bersatu lagi?”

“Sepertinya begitu. Keadaannya sulit, Laila.”

“Tar, aku tak tahu harus bilang apa. Tapi, jika sekarang ini aku berada di posisimu, aku tak akan ada di sini.”

“Maksudnya?”

“Ya… posisiku mirip dengan kamu saat aku akan menikahi Francois. Sekarang ini, cepat atau lambat, aku harus siap mengikutinya pulang ke Prancis jika kontrak kerjanya di sini berakhir. Tapi, tidak apa-apa. Kami saling mencintai. Aku akan mengorbankan seluruh kehidupanku, akan menjual salon-salonku, dan meninggalkan teman-temanku. Aku lebih suka memulai hidup baru bersamanya daripada harus kehilangan dia.”

“Masalahnya tak semudah itu. Toh, masalah utamanya bukan karena aku tak mau tinggal di Bali. Sejak awal aku memang tak mau punya anak. Paling tidak, tidak sekarang.”

“Kenapa?”

“Karena, aku yakin, aku tak akan bisa berhasil.”

“Buktinya, kamu bisa, ‘kan?” Laila tersenyum penuh kemenangan.

“Apa?”

“Tar, salah satu alasan mengapa aku menitipkan Shannon padamu adalah untuk meyakinkanmu bahwa kau bisa jadi seorang ibu. Aku bisa saja menitipkan Shannon pada teman-teman lain. Tapi, aku tahu kaulah yang membutuhkan Shannon. Tahukah kau, Tar, bahwa kau bukannya tak ingin memiliki anak karena tak ingin kariermu terhambat? Hanya, kau tak yakin bisa jadi ibu yang baik.”

“Tidak! Aku yakin, punya anak hanya akan menghambat karierku.”

Laila menggeleng.

“Tidak. Aku yakin, kau tidak berpikir begitu. Kau khawatir, jika kau punya anak nanti, kau akan lebih memilih jadi ibu daripada jadi wanita karier. Karena, kau takut, jika tetap bekerja, kau tak akan bisa jadi ibu yang baik.”

Aku terdiam. Benarkah itu?

“Semua sudah selesai, Bu. Barang-barang saya turunkan ke apartemen kita, ya?” Ning memecah kesunyian, membawa beberapa tas besar dan sebuah kantong plastik penuh popok kotor.

“Ya, ya, sudah sana. Biar saya yang bawa Shannon.” Laila mengangguk dan melambaikan tangan menyuruh Ning segera pergi.

“Aku pamit dulu, ya. Francois sudah menunggu terlalu lama. Pasti ia kangen pada si kecil ini. Kamu baik-baik saja, ‘kan?” tanya Laila, sambil menepuk lenganku.

“Kenapa tidak?”

“Ya, sudah. Pulang, yuk, Cantik….” Laila mengangkat Shannon dari kereta dan menggendongnya.

Shannon menatapku, sambil menggigiti mainan plastiknya. Lalu, ia melemparkan benda empuk itu padaku. Tiba-tiba dari bibir mungilnya terucap, “Maamm… ma….”

Aku dan Laila tersentak kaget. Kata pertamanya! Kata pertama Shannon, yang ditujukan untukku!

Laila tertawa bahagia, sedikit terlalu histeris.

“Kata pertamanya! Tar, Shannon bisa bilang Mama! Ya, Tuhan…. Sepertinya, kamu merawat anakku dengan benar-benar baik! Terima kasih banyak, ya…!”

Aku tersenyum simpul. Hatiku membuncah bahagia. Rasanya, baru saat itulah aku kembali merasakan kebahagiaan sejak beberapa bulan terakhir ini.

“Lihat, sudah kubilang, kamu bisa jadi ibu yang baik.” Laila tersenyum padaku, lalu membalikkan badannya dan berjalan ke arah pintu.

“Sekali lagi, terima kasih banyak, Tar.”

“Sama-sama. Aku juga banyak belajar dari Shannon.”

“Pintu apartemen kami selalu terbuka kapan pun kau membutuhkan aku ataupun Shannon.”

Aku mengangguk. Setelah Laila dan Shannon keluar, aku menutup pintu dan menguncinya. Kujatuhkan diriku di sofa, terdiam memeluk bantal yang masih berbau minyak bayi Shannon. Belum lima menit ia pergi, aku sudah merasa kesepian. Terngiang-ngiang di telingaku ucapan Laila tadi. Kau khawatir akan lebih memilih jadi seorang ibu daripada jadi wanita karier.

Itukah selama ini yang ada di dalam pikiranku?

Gerak tubuh dan nada suaranya yang manja rasanya pantas membuatku curiga. Apakah semua sudah terlambat, Dewa?

ebulan setelahnya
Presentasi terakhir di PT Pundi Indo Sejati dijadwalkan besok pagi pukul sepuluh. Malam ini aku terpaksa lembur, menggodok materi presentasi. Sungguh mengesalkan.

Dulu, aku selalu berusaha menyelesaikan pekerjaanku tepat waktu, sehingga tak perlu lembur dan bisa tiba di rumah sebelum pukul delapan. Jadi, aku punya waktu bermain-main dengan Shannon sebelum ia tidur. Sekarang, aku selalu menunda-nunda dan mengulur-ulur waktu. Hanya supaya aku bisa bekerja lembur dan lebih lama di kantor.

Ketukan di pintu ruang kerjaku membuatku kaget.

“Masuk.”

“Malam, Tar. Belum selesai?” tanya, Hani, seniorku.

“Sedikit lagi, Mbak. Mbak Hani belum pulang?”

“Baru mau pulang. Aku tadi menunggu fax dari Pak Daryono, memastikan berapa penawaran untuk proyek berikutnya. Lalu, kupikir kamu mungkin butuh bantuan,” katanya, simpati.

“Bantuan apa?”

“Kelihatannya tim kamu sedikit kesulitan mengerjakan proyek PT Pundi. Benar begitu?”

“Tidak. Kata siapa? Mbak lihat sendiri. Semua pekerjaan dan laporan sudah siap. Aku hanya memeriksa format presentasinya.”

“Bukan begitu. Hanya, sepertinya kamu terlalu banyak turun tangan dalam proyek ini. Beberapa staf mengeluh. Katanya, kamu banyak mengambil alih pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Mereka tak ingin dicap pemalas dan cari muka. Mereka tak ingin dapat pujian, padahal kamu yang mengerjakan semuanya.”

“Bukankah seharusnya mereka senang?”

“Intinya bukan itu, Tar. Sadar atau tidak, belakangan ini kamu menjelma menjadi orang yang berbeda. Kamu bukan Mentari yang biasa kukenal, yang tegas dan dinamis,” tambah Mbak Hani.

Aku memandangnya tajam. “Separah itukah kelihatannya?”

“Tidak terlalu, sih. Orang yang tidak memerhatikan pasti tak akan sadar. Tapi, karena aku sudah mengenalmu, aku tahu, kamu pasti mempunyai masalah.”

“Ya… kurang lebih begitu. Tapi, aku tak ingin merepotkan. Aku sudah terlalu sering membuat orang-orang pusing.”

“Seperti suamimu?” Aku memandangnya dalam-dalam. Maaf, Tar… bukannya aku mau mencampuri masalah pribadimu. Tapi, teman-teman sekantor bercerita, sekarang kamu berpisah dari suamimu. Aku tak ingin tahu dan tak akan bertanya lebih lanjut. Tapi, kalau aku memberi saran, sebaiknya kamu segera menyelesaikan masalahmu. Masalah tidak akan selesai hanya dengan berdiam diri dan merenung,” kata Hani.

Ia menghela napas. “Kamu tidak akan menjadi lebih baik bila hanya menyembunyikan perasaan dan berpura-pura pada diri sendiri. Perasaan sakit itu akan menggerogoti dirimu perlahan-lahan. Akhirnya, kamu akan rapuh, seperti kayu yang dimakan rayap. Terlihat kokoh, tapi dalamnya kosong. ”

Aku menunduk diam.

“Nah, jadi, menurutku, apa pun persoalannya, segera selesaikan. Jangan biarkan hatimu terus bimbang. Siapa yang akan menjawab pertanyaanmu? Angin? Rumput? Langit?”

“Hanya, aku belum sanggup menyelesaikannya.”

“Kamu belum sanggup karena takut konsekuensinya. Kamu takut, kalau kamu menyelesaikannya, hidupmu akan berubah.”

“Justru itu.”

Kamar Mentari, pukul setengah dua dini hari
Aku berusaha menggabungkan seluruh pecahan kata-kata dan nasihat yang singgah di telingaku. Berusaha menyalin semua cerita yang ada di kepalaku. Berusaha merekam semua adegan; sejak kita bertemu hingga berpisah. Berusaha menimbang, yang benar dan yang salah. Kupejamkan mata. Dalam hati kupanjatkan sebait doa.

Tuhan, bantulah mataku untuk melihat
Bantulah telingaku untuk mendengar
Bantulah hatiku untuk merasa
Bantulah akalku untuk berpikir
Dan, tuntunlah langkahku ke jalan yang telah Kau tunjuk….

Denpasar, April 2002
Penjor yang berarak di sisi jalan menyapaku dengan ramah sejak pesawat membawaku mendarat di Bandara Ngurah Rai. Bambu-bambu yang dihias sedemikian rupa itu seolah mengantarku ke jalan-jalan menuju desamu. Di dalam taksi leherku tercekat, bibirku bergetar, dan pipiku terasa hangat.

Aku yakin, sejak tadi si sopir mencuri pandang ke arahku. Sejak aku membuka pintu taksi dan meminta si sopir mengantarku ke Ubud, aku hanya menatap kosong ke jendela di sisiku. Sesekali, buliran air mataku jatuh, walau sudah kutahan sekuat tenaga.

“Satu minggu lagi Galungan, Bu. Jadi, orang sudah ramai bersiap,” kata sopir yang sudah separuh baya itu.

Aku hanya mengangguk.

“Ibu tidak apa-apa?” tanyanya lagi.

Kali ini aku menggeleng.

“Liburan di Bali?”

Aku menggeleng lagi.

“Tugas?”

Aku terdiam. Terlalu rumit untuk diceritakan.

Apakah aku harus bercerita bahwa aku baru saja meninggalkan posisiku sebagai account manager perusahaan swasta terbesar di Jakarta, melupakan gelar Master of Mass Communication dari universitas terkemuka di Inggris, demi mendapatkan cinta kekasihku?

“Saya mau ketemu suami, Pak,” akhirnya aku menjawab pelan, setelah menarik napas dalam-dalam.

“Oh… suami Ibu tinggal di Ubud? Seniman?”

“Tidak, suami saya orang Bali.”

Dari kaca spionnya ia menatapku heran. Tatapannya tajam sekali, mengingatkanku pada tatapan mata ayahmu, saat pertama kali kau pertemukan aku dengan beliau.

“Jadi, Ibu sekarang tinggal di Bali?” tanyanya, penuh selidik. Aku mengerti, ia pasti mengira aku ini salah satu istri orang Bali yang mengingkari adat suaminya.

“Saya baru akan pindah ke Bali.”

Ia mengangguk-angguk puas.

Setelah ia tak mengajukan pertanyaan lagi, aku mengambil kacamata hitamku dan pura-pura tidur. Kusandarkan kepalaku ke kaca pintu agar tak perlu mengacuhkan jika ia mulai bertanya-tanya lagi. Rasanya, selama seminggu ini aku sudah cukup memberikan penjelasan pada semua orang.

Komentar sinis dan dukungan tentang rencana kepindahanku silih berganti muncul di kepalaku.

“Pikirkan lagi, Tar. Kariermu saat ini sedang melesat. Kamu mau jadi apa di sana? Jualan daster? Buka toko cendera mata? Atau apa?”

“Kamu benar, sih, Tar. Kalian kan suami-istri, saling mencintai dan membutuhkan. Sudah sepantasnya kalian tinggal bersama dan memiliki anak. Karier bisa menyusul belakangan.”

“Tar, Tar… cuma segitu saja perjuanganmu? Baru jadi manajer, kok, sudah mengundurkan diri. Katanya mengincar kursi direktur utama?”

“Ya, sudah, Nduk…. Bude kan sudah bilang, istri itu separuhnya jiwa suami. Kamu memang harus ada di sana. Percayalah pada Bude. Gusti Allah pasti memberi kamu rezeki, di mana pun kamu berada.”

Kurang dari tiga puluh menit kemudian, taksiku merapat di sisi sebuah puri di jalan raya desa. Kepalaku sedikit pening ketika aku mencoba mengangkatnya dari sandaran kursi. Tapi, kupaksa diriku tersenyum saat membayar ongkosnya.

“Bapak tahu, mungkin berat membina rumah tangga dengan orang Bali, Bu. Tapi, itulah konsekuensinya.”

“Ya, saya tahu. Terima kasih atas nasihat Bapak.” sambungku.

Pak sopir terlihat puas. Lalu, ia kembali meluncurkan taksinya dan menghilang di tikungan jalan.

Sambil menjinjing koper, aku berjalan melewati gerbang. Kuintip kesibukan di sekeliling pekarangan puri yang terlihat hangat dan ramai. Aroma dupa memenuhi dadaku, seakan menyambut kehadiranku dengan kenangan masa silam.

Jantungku nyaris berhenti saat mataku menangkap sosok yang sangat kukenali. Tubuhmu yang terbalut kemeja putih dan berkain endek (sejenis kain tenun Bali). Beberapa detik kemudian kamu membalikkan badan. Selama beberapa menit mata kita saling memandang. Air mataku tak tertahan dan mengalir deras. Tapi, aku tak tahu harus mulai dari mana. Aku tak tahu caranya mengatakan bahwa kini aku akan tinggal bersamanya.

“Tari…,” bisikmu, perlahan.

Kamu dikelilingi banyak wanita, entah siapa saja. Mereka serius membuat banten (tempat menghaturkan sesajen) dan menyiapkan sesajen. Sesekali, kulihat mereka mencuri pandang ke arah kita. Kulihat ibumu sedang merangkai janur.

“Dewa, saya telah mengakhiri semuanya. Saya mengambil keputusan untuk mengakhiri kehidupan saya yang lama. Saya mencintai kamu lebih dari segalanya.”

Kamu diam. Bahkan, tak menunjukkan perubahan air muka.

“Saya tahu, mungkin kita harus memulai dari awal lagi. Tapi, tak bisakah kau memberiku kesempatan?” Hening lagi.

“Perempuan kota tetap perempuan kota.”

Gumaman tak jelas itu terdengar cukup nyaring, memecah kesunyian di antara kami. Sayup terdengar suara gamelan dari balik gerbang. Namun, nada indah itu tak cukup keras hingga mampu menyembunyikan nada kebencian dalam gumaman.

“Bu, jangan berkata begitu.”

Aku tak tahu maksud mereka. Aku tetap menatap Dewa lekat-lekat. Aku tahu aku telah melakukan hal yang benar dan aku bersedia mengorbankan apa saja untuk kebenaran ini.

“Bli, minumnya,” kata seorang gadis yang mungkin beberapa tahun lebih muda. Ia mendekat dan menyodorkan sebuah gelas berisi air teh pada Dewa. Bukan kakak atau adikmu. Bukan pula sepupu atau keponakanmu. Yang jelas, aku yakin tak pernah melihatnya di hari pernikahan kita. Dari gerak tubuh dan nada suaranya yang manja, aku tahu, aku pantas curiga.

Kau mungkin membaca raut wajahku.

“Tari, ini Galuh.”

Kuterima uluran gadis beralis tebal itu. Gelungan rambutnya jatuh di bahunya saat ia mengangguk dan tersenyum padaku.

“Mentari. Kamu mungkin tahu siapa saya,” sahutku.

Dia tersenyum simpul, menggedikkan bahu, membuang napas panjang, membalikkan badan, dan menghilang ke paon (dapur).

“Dewa, apakah semuanya sudah terlambat?” Aku tersenyum miris. Lalu, aku tertawa pelan, berusaha menyangkal bahwa saat itu hidupku telah berantakan.

Nanar tatapan matamu membuatku masih menyisakan sedikit harapan bahwa kau masih menyimpan cinta untukku. Tapi, aku tak ingin mengemis di hadapanmu. Kuangkat kembali tas dan koperku, lalu bergegas keluar dari puri megah itu. Mungkin, saat ini untuk yang terakhir kalinya.

Air mata yang sejak tadi kutahan mulai mengalir menghangatkan pipiku, hingga mengucur deras. Kupercepat langkahku hingga akhirnya aku berlari di pinggiran jalan yang penuh rumput liar. Hidupku hancur.

Monkey Forest, lima lewat tiga puluh pagi, dua hari setelahnya
Entah mengapa, aku menemukan ketenangan saat menatap langit-langit bambu di kamar hotelku. Aku terlalu lelah untuk kembali ke Jakarta. Apalagi, bila harus menghadapi ejekan dan cibiran orang yang mengetahui bahwa suamiku sendiri kini telah menolakku karena aku keras kepala. Padahal, apartemenku di Jakarta kini telah kosong. Kuncinya siap berpindah tangan. Semua barang dan pakaianku telah terkemas rapi di dalam kardus-kardus yang kini tersimpan di gudang Laila. Belum lagi harus menerima keadaan bahwa sekarang aku adalah pengangguran di kota Jakarta yang haus akan harta dan problem.
Tapi, aku gengsi untuk pulang ke Yogya. Bude Hardjo akan menasihatiku tentang apa yang seharusnya kulakukan sejak dulu.

Aku tak punya tempat tujuan lagi. Kupikir, kembali ke hotel ini akan memberikan ketenangan bagiku. Di sinilah aku membuka lembaran hidup bersamamu. Di sini pula aku akan menutupnya.

Aku memejamkan mata, berusaha mendengarkan kicauan burung, kokok ayam jantan, dan suara tingklik (alat musik tradisional Bali). Tapi, ketukan lembut di pintuku nyaring terdengar.

Aku bangkit dari tempat tidur, merapatkan gaun tidurku, dan merapikan rambut di depan kaca rias. Aku berusaha mengintip, siapa yang datang pagi-pagi begini. Tapi, tak terlihat sesosok pun dari lubang pengintip di pintu kayu itu.

Wangi tubuhmu menyeruak pada detik yang sama ketika pintu kubuka. Aku nyaris pingsan melihat wajahmu yang sayu menatapku dalam-dalam. Pandangan matamu yang sejak dulu selalu membuatku terhanyut dan terbuai.

“Dewa! Bagaimana kamu tahu saya ada di sini?” tanyaku.

“Aku menelepon Laila. Laila sudah menceritakan semuanya. Aku sudah tahu semuanya. Aku juga menelepon Bude Hardjo. Tapi, ia tidak tahu kamu di mana. Aku pikir, ini satu-satunya hotel yang pernah kamu singgahi selama kita di Bali. Jadi, kurasa kamu ada di sini. Ternyata, aku benar.”

“Bukan berarti saya tetap memutuskan tinggal di sini. Terlebih jika kamu tidak menginginkan saya tinggal.”

“Boleh aku masuk?”

Kubuka daun pintu dan kau duduk di atas kasurku.

“Galuh… Ibu mengira kita tak punya masa depan lagi. Ibu meyakinkanku untuk menceraikanmu bila kamu tak kunjung memberi kabar atau meminta maaf. Tapi, aku bilang pada Ibu, aku akan tetap mencintaimu seperti dulu, walaupun kita berpisah.”

“Lalu, mengapa Galuh…?”

“Ibu berpikir, jika aku bisa belajar jatuh cinta pada wanita lain, aku akan melupakan dirimu dan dapat menceraikanmu. Jadi, Ibu meminta Galuh untuk tinggal di rumah kami. Ibu berusaha membuat kami berdua dekat.”

“Siapa dia sebenarnya?”

“Ia anak asuh seorang teman Ibu. Orang tuanya meninggal tiga tahun yang lalu, ketika ia baru lulus SMA. Ia tak jadi melanjutkan kuliah dan tinggal di rumah orang tua asuhnya, teman Ibu itu.”

“Ibumu menyuruh untuk belajar mencintai Galuh?”

“Tar… aku tak bisa jatuh cinta pada wanita lain. Kamu memiliki semua yang pernah kuimpikan dalam diri wanita. Keindahan, ketegaran, kepandaian…. Sayangnya, kamu terlalu keras.”

“Jadi, kamu akan mengalah, hanya karena saya terlalu keras?”

“Jadi, aku akan mengalah. Tapi, bukan pada Ibu atau Galuh.”

“Maksudmu?”

“Tari, aku tahu pengorbananmu untuk menyelamatkan cinta kita sudah demikian besar. Aku tahu, kamu sudah mengalah. Bahkan, lebih dari yang kuinginkan selama ini. Kini, giliran aku yang mengalah untukmu.”

“Jadi?”

“Kamu ingat janji kita beberapa bulan lalu?”

Aku mengernyitkan dahi dan memejamkan mata. Entahlah, Dewa. Bukankah selama ini aku terlalu sering melupakan janji-janjiku yang terucap hanya karena cinta?

“Dulu, kamu pernah bilang, kita harus berusaha saling mengerti. Aku akan mencoba untuk mengerti karena kamu telah mencoba untuk mengerti. Aku akan mencoba mengalah karena kamu sudah mengalah untukku.”

Aku terdiam lagi. Kutatap matamu, mencari keseriusan di setiap kata yang kau ucapkan.

“Aku sudah bicara pada Ibu. Aku berusaha meyakinkan Ibu bahwa kali ini segalanya akan berubah. Memang tidak mudah. Tapi, kita pasti bisa. Kita akan melalui semua ini bersama, Tari. Kamu, aku, dan anak cucu kita nanti. Kita akan mencoba mendirikan keluarga bersama, keluarga yang bahagia, di sini.”

Aku tersenyum simpul.

“Yakinkah kamu bahwa saya bisa melakukannya?”

“Aku yakin. Kamu ada di sini sekarang. Karenanya, aku yakin.”

Kau beringsut dan memeluk tubuhku erat-erat.

“Aku kangen sekali padamu,” katanya.

Dalam pelukanmu kurasakan air mataku meleleh. Dalam sekejap kemejamu basah.

“Maafkan saya, Dewa. Maafkan saya karena telah membuat banyak kesulitan dalam hidupmu. Kalau saya bisa memilih, rasanya lebih baik jika kita tak pernah bertemu dan jatuh cinta, agar kamu bisa hidup bahagia sekarang.”

“Tari… jangan berpikir begitu. Sekarang ini, ya, sekarang. Aku mencintaimu dan tak akan bisa hidup bahagia tanpa dirimu.”

Kukecup hangat bibirmu. Kurapatkan lagi tubuhku dalam rengkuhan lenganmu.

“Sekarang, kita pulang. Kita pulang, Tari. Kita pulang selamanya.”

Tiga bulan kemudian
Berita kehamilanku menyebar luas di seluruh keluargamu, lebih cepat daripada wartawan mengendus berita terbaru tentang seorang artis sinetron. Kebahagiaan tampak terus terpancar di wajahmu dan Ibu, yang selalu mengelus perutku setiap kali kami berpapasan. Aku selalu tertawa setiap ia melakukannya. Karena, aku tahu, ini bukan cucu pertama yang akan ia dapatkan.

Kehidupan di pulau ini perlahan membaik. Aku memperoleh tawaran kerja sebagai manajer humas di sebuah hotel besar di Ubud. Kau bilang, aku boleh menerimanya, asalkan aku mendapatkan cuti yang cukup panjang saat melahirkan nanti. Awalnya, ibumu protes, mengingat ini kehamilan pertamaku. Tapi, kau meyakinkannya bahwa wanita sebandel diriku pasti bisa melewati kehamilan tanpa bermanja-manja. Ibumu tersenyum, menggeleng-gelengkan kepalanya, dan mengelus perutku.

Tapi, aku tahu, saat itulah ia memberikan segenap restu dan cintanya pada kita berdua. Mungkin, segala sesuatunya benar-benar telah berubah. Mungkin, kita bisa melaluinya. Mungkin, aku, kau, dan anak cucu kita nanti, akan menjadi keluarga yang bahagia.

Epilog
Matahari Bali akan selalu menjadi mataharimu. Matahari yang membuat tubuhmu basah berpeluh lelah, dan yang menyinari langkahmu esok hari. Tapi, kini matahari Bali bukan hanya mataharimu saja. Ia akan menemani jagoan kecilku saat ia bermain menyusuri garis air, meneriakkan namaku nyaring, dengan bibir sepenuh bibirmu, tatapan mesra seperti tatapanmu. Ah, betapa napasnya lahir dari napasku dan napasmu.

Kini, kau harus berbagi cahaya mataharimu dengan cahayaku, putra kita tercinta. Biarkan matahari menuntun langkahnya menjadi dewasa, di mana pun ia berada. Hingga pada saatnya ia akan pulang ke garis pantainya, ke sawah hijaunya, dan ke rumah purinya.

Aku membenamkan kepalaku dalam pelukanmu dan menghirup wangi tubuhmu. Sambil menikmati gelak tawa putramu, pikiranmu menerawang bahagia, sejauh pantai membawanya. Di sinilah aku, bisikku dalam hati. Aku sudah pulang, Dewa. Aku sudah pulang dan menjadi gadis desamu.

No comments: