12.22.2010

Alissa

  Suara-suara dari lantai empat itu sungguh mengerikan. Benarkah itu hanya suara orang yang sedang latihan drama?

Kami bertemu secara kebetulan pagi itu: saya dan Alissa. Di pintu flat kami yang sempit. Hujan turun rintik-rintik.

“Ow. Shit,” katanya menghela napas.

Saya tertawa dalam hati. Di negeri ini, hujan bisa turun kapan saja, sesuka hati. Bahkan, semenit setelah matahari bersinar terang benderang, ia bisa turun dengan lebatnya. Tanpa tanda-tanda. Saya mulai terbiasa dengan hal itu dan siap menenteng payung yang besar dan bergagang kokoh ke mana pun saya pergi.

“Saya mesti lari lagi ke lantai empat!” keluhnya.

“Anda mau ke mana?”

“Waitrose.”

“Hei. Ayolah. Kita bisa pakai payung ini berdua.”

Ia melongo dan tertawa.

“Kita?”

Tawaran berbagi payung dari orang yang baru Anda kenal, memang jarang terjadi. Saya pun tidak biasa melakukan hal itu. Tapi, berhubung jarak flat kami dan Waitrose hanya lima menit berjalan kaki, dan saya pun sedang menuju ke supermarket itu, apa salahnya?

“Ya. Kenapa tidak.”

“Aha. Terima kasih. Terima kasih.”

Dan kami berjalan bersisian.

“Kita baru kali ini berjumpa, bukan? Kamu penghuni baru di flat?”

“Ya. Ya. Kami baru tinggal di sini lima bulan….”

“Oh, sudah lama juga. Di lantai berapa?”

“Dua.”

“By the way, saya Alissa.”

“Saya Noor.”

Flat kami berlantai empat. Letaknya di timur kota London. Suami saya, Titus, sedang ditempatkan di kota ini untuk jangka waktu dua tahun. Titus seorang arsitek dan sebuah proyek mengundangnya ke sini.

Malam itu saya sedang merebus spaghetti. Dalam kesendirian, lamat-lamat saya dengar lagi bunyi-bunyi itu. Saya sudah mendengarnya beberapa kali. Bunyi yang sama: agak jauh rasanya, tapi cukup jelas gemanya. Sesuatu seperti… hmmm... kursi berderit-derit. Lalu tembok yang ditinju. Lalu orang bercakap-cakap dengan suara keras, cukup jelas iramanya, tapi sulit saya cerna kata-katanya. Saya dan Titus pernah mendiskusikan hal ini. Titus menebak, suara itu di lantai empat.

Hmmm. Lantai Alissa. Ada dua pintu seingat saya di sana. Berarti ada dua unit. Kalau nanti saya bertemu Alissa lagi, akan saya tanya padanya.

Saya bertemu lagi dengan Alissa di pagi hari. Waktu itu saya sedang jogging dan ia berjalan dari arah berlawanan.

“Alissa,” tegur saya dari jarak tiga puluh senti darinya.

“Oh. Eh. Pagi, Noor,” katanya seperti tersadar dari lamunan panjang.

“Hai,” saya tersenyum. “Belanja apa?”"

“Oh…,” dipandangnya plastik yang ia bawa. “Susu. Untuk kopi. Saya selalu minum kopi di pagi hari. Kamu?”

“Saya lebih suka teh daripada kopi. Kapan-kapan kita bisa minum teh sama-sama kalau kamu tidak sibuk.”

Alissa menatap saya. Saya bisa membaca keragu-raguannya. Lalu….

“Saya tidak pernah sibuk.”

“Ayolah, mampir,” kata saya ketika kami tiba di pintu flat. “Temani saya sarapan.”

“Mmm,” ia tersenyum sedikit.

“Ayolah. Saya punya muffin. Punya croissant. Saya bisa buatkan kamu scrambled eggs, kalau mau.…”

“Are you sure?” tanyanya lagi.

Saya mengangguk.

“Saya ambil cookies dan akan segera ke tempatmu. Lantai dua, ya.”

“Ya. Sebelah kanan lift.”

Sejak pagi itu, Alissa sering mampir berkunjung ke tempat saya. Saya sungguh gembira mendapatkan teman baru. Terlebih lagi, kami mempunyai beberapa kegemaran yang serupa. Sama-sama suka memotret. Sama-sama senang masak. Sama-sama membaca cerita detektif.

Hal lain yang membuat saya gembira adalah Alissa punya banyak cerita. Ia sudah berkelana ke mana-mana: India, Nepal, Brazil, Ghana, China, Montreal. Seluruh belahan bumi. Saya selalu terkesima mendengar pengalamannya di masing-masing negeri. Yang paling menakjubkan adalah bagaimana ia memaparkan apa yang ia makan di tiap sisi dunia.

“India. Nomor satu India, Noor. Itu favorit saya.”

“Mereka makan kari, bukan? Dengan santan dan cabai pedas?”

“Hmmm. Itu hanya satu pilihan. Tapi, coba kamu bayangkan nikmatnya memakan roti nan sambil mencelupkannya beberapa kali pada bumbu kari? Dan sedikit daging? Hmmm….” Ia memejamkan mata.

Saya menatapnya tak berkedip. Enak betul roti dan kari itu. Enak betul jadi Alissa.

“Kamu sudah pernah ke mana di dunia ini?” tanyanya.

Rasanya wajah saya merah seketika. London adalah kota pertama yang pernah saya injak, di luar tanah air.

“Saya baru kali ini meninggalkan negeri saya.”

“Ah, ah,” ia tersenyum menggoda. “Bagaimana mungkin?”

“Begitulah. Saya anak sulung. Ayah saya meninggal ketika usia saya tiga tahun. Selebihnya, saya hidup dengan ibu dan adik saya. Saya tak pernah meninggalkan mereka, jika tidak penting sekali. Baru setelah saya menikah dengan Titus.”

“Oh…,” katanya.

Barangkali sulit ia pahami, hubungan antara ‘status saya sebagai anak sulung’ dengan ‘tidak ke luar negeri’. Saya pun bingung menjelaskannya. Tapi, itu sungguh terjadi: keterikatan saya yang teramat besar dengan ibu dan adik-adik saya, membuat saya gelisah kalau mereka tak ada.

“Kamu selalu pergi sendirian, Alissa? Dengan teman? Atau dengan ibu?”

“Dengan teman. Ibu saya meninggal ketika saya remaja. Lima belas-enam belas... sekitar usia itu.

Alissa pun pernah bercerita bahwa ia sudah menjalani berbagai profesi. Guru musik. Juru rawat. Dan terakhir, sebagai penyiar radio. Ia bisa bernyanyi dan bermain piano. Asal tahu saja, itu cita-cita saya sejak taman kanak-kanak. Bernyanyi sambil memainkan piano. Tapi, bakat musik tak ada dalam darah saya. Main piano saya tak sabar. Menyanyi? Mmm, tidak. Suara saya tak lebih merdu dari derit pintu.

“Waktu saya jadi penyiar radio, saya sempat memegang dua jenis musik. Klasik dan jazz. Asal kamu tahu, saya buta musik klasik. Tak bisa membedakan mana Mozart mana Beethoven. Ketika satu lagu selesai terputar, saya bacakan semua komentar tentang Mozart dari artikel di majalah. Lengkap dengan bumbu-bumbu sekadarnya. Lima menit kemudian, ada telepon ke studio, memberi tahu: komposisi tadi karya Beethoven. Malunya!”

Saya tergelak-gelak.

 
“Siapa suruh membual.”

“Saya hanya berusaha memperpanjang kalimat. Tapi, sudahlah. Saya dapat teguran dari bos, dan dipindahkan ke siaran jazz. Sejak itu, saya di surga.”

Saya menelan ludah. Baru saya sadari, betapa monotonnya hidup saya. Lulus kuliah, bekerja di bank yang sama selama sepuluh tahun, lalu berhenti karena menikah dengan Titus.

Saya menatap Alissa tak lepas. Ah, seandainya saya dia….

Pagi itu kami sarapan berdua, seperti biasa. Duduk menikmati banana cake. Alissa yang membuatnya, dan harus saya katakan, cake itu sungguh lezat.

“Ini banana cake paling lezat yang pernah saya makan.”

“Ah, ya? Terima kasih. Saya membuatnya kemarin malam. Saya senang membuat kue malam hari, entah kenapa. Mungkin karena bunyi mixer lebih merdu di malam hari...,” katanya tertawa. “Alasan tak masuk akal.… Tapi, entahlah, saya senang membuat kue di malam hari.”

Kata-kata ‘bunyi mixer’ dan ‘malam hari’, membuat saya mendadak teringat pada suara-suara yang sering saya dengar.

“Alissa, kamu di lantai empat, kan, ya?”

“Ya.”

“Pintu kanan atau kiri?”

“Kiri. Ada apa?”

“Saya sering mendengar bunyi-bunyi aneh di malam hari. Titus menebak, itu dari lantai empat, karena tak begitu jelas terdengar. Kamu dengar itu juga?”

“Bunyi?” Ia membelalak. “Aaaaah. Itu.” Ia mengibaskan tangannya. “Kamu kenal Mr. Law? Paul Law? Dia tinggal di sebelah kiri. Ya. Pernah dengar nama itu? Dia seorang penulis skenario yang baik sekali. Karyanya banyak dipentaskan. A bit strange, sebagaimana layaknya seniman. Kalau dia sedang menulis sesuatu, hmmm, naskah, prosa atau semacam itu, ia sering terlalu menjiwai. Ia bisa menarik-narik kursi, atau menggebrak meja, atau bercakap-cakap sendiri….”

Saya mengangguk-angguk. Lega, karena teka-teki itu sudah terpecahkan. Saya bisa ceritakan pada Titus, ketika dia pulang.

“Nanti kamu akan dengar suara wanita terbahak-bahak. Atau menangis. Atau menjerit. Nah! Itu calon pemain dalam naskah sandiwaranya!”

Saya menghela napas dan tersenyum. Terjawab sudah tanda tanya besar itu.

“Saya tidak pernah bertemu dia.”

“Ouw. Come on. Berapa orang di flat ini yang pernah kamu jumpai, selain saya?” Alissa mengedipkan matanya.

Saya tersipu.

“Tidak ada. Tidak siapa-siapa.”

“Tidak juga suami saya.”

“Ah, ya. Meldwin.”

“Ck…ck…ck…. Lain kali. Saya janji. Saya akan paksa dia turun dan memperkenalkan diri pada kamu dan Titus.”

Saya mengibaskan tangan.

“Soal kecil,” kata saya. “Jangan terlalu merepotkan. Hanya kalau Meldwin tidak sibuk.”

“Hei. Kamu harus tambah sedikit mentega pada cake ini, Noor. Rasanya akan menjadi luar biasa. Di mana mentega? Ah, itu….” Ia menggapai mentega di sisi kanannya.

Kaus Alissa tersibak, dan saya melihat noda hijau di pinggangnya, sebesar separuh telapak tangan. Saya melongo menyaksikan pemandangan itu.

“Ada apa?” tanyanya heran melihat saya tertegun.

“Eh? Ah? Mmm. Tidak. Sini menteganya.”

Saya hamil. Kata dokter, kehamilan saya usianya enam minggu. Saya memberi kabar kepada para sahabat dekat. Kemarin berita besar ini sudah saya sampaikan kepada Ibu. Hari ini saya hendak memberi tahu Ratri, sahabat saya. Saya mengabarkannya lewat e-mail. Sambil mengetik, saya putar Suzanne Vega di CD player saya. Dan bergoyang-goyang kepala saya dibuatnya.

Tapi, ampun…. Apa itu? Bunyi apa itu? Aaaah. Pasti tetangga lantai empat itu lagi! Paul Law. Seperti apa, sih hebatnya dia? Dengarlah bunyinya. Sret. Sret. Sret. Dum. Dum. Bam. Bruuuk. Dan percakapannya seorang diri itu. Hmmm. Hmmm. Entah bagaimana rasanya jadi Alissa yang begitu dekat dengan sumber suara.

Suzanne Vega sudah selesai bernyanyi satu lagu, tanpa saya nikmati. Jengkel, saya matikan CD dan berusaha membaca. Aduh. Saya merinding. Saya seperti mendengar wanita menangis. Aduh.

Lekas-lekas saya ambil handphone.

“Titus…,” kata saya gugup setelah mendengar kata ‘halo’ di seberang.

“Noor? Ada apa?”

“Ssst. Lantai empat itu, Titus. Kali ini terdengar suara tangisan, Titus.… Aku takut?”

“Alaaa. Sudah dibilang Alissa, kan, dia penulis skenario. Mungkin sekarang yang menangis itu calon pemeran wanitanya! Jangan paranoid begitu, dong. Sekarang sedang apa kamu?”

Saya menghela napas. Saya mendengar tangisan itu. Saya merasa, itu bukan sebuah latihan sandiwara.

“Hmmm. Ya, sudah, deh.”

Saya letakkan handphone. Lebih baik memasang CD dengan lebih keras. Berharap tetangga sebelah agak sedikit tuli dan tidak terganggu. Daripada mendengar tangisan yang menusuk sumsum.

Belum lima menit, terdengar ketukan di pintu saya.

Mampus. Saya mengganggu orang, pasti.… Saya matikan CD saya.

“Ms. Gunawan?” suara dari luar.

“Yes?” kata saya dari dalam sambil sibuk mendapatkan gambaran keseluruhan lewat lubang di pintu.

“I am Dorothy. Maaf mengganggu. Tapi, tagihan air Anda masuk ke kamar saya.”

“Oh,” saya menarik napas lega. Merasa luput dari ‘teguran’ maut. Lekas-lekas, saya bukakan pintu. Kenalan baru, pikir saya. “Terima kasih.”

“Ia salah menulis lantainya. Ditulisnya lantai tiga, jadi sampai pada saya.”

“Oh, Anda di lantai tiga,” kata saya. “Senang bisa bertemu Anda.”

“Saya juga. Anda sudah lama di sini?”

“Well, not really. Tapi, setidaknya saya sudah mengenal tetangga saya: Anda, Dorothy. Dan Alissa.

“Alissa?” wanita itu mengernyitkan alisnya. Seperti melihat tarantula.

“Ia teman saya sarapan.”

“Teman sarapan?”

Saya mulai terganggu dengan reaksinya yang berlebihan. Saya, toh, tidak sarapan dengan hantu, pikir saya.

“Anda kenal Alissa, Madam?” tanya saya sedikit jengkel.

Dorothy menatap saya lurus.

“Ia putri saya.”

Akhirnya terkuak juga misteri suara-suara dari lantai empat dan siapa diri Alissa sesungguhnya.

Saya tercenung di tempat saya berdiri. Seingat saya, Alissa bilang ibunya meninggal ketika remaja....

“Ow,” kata saya ragu-ragu. “Senang sekali bertemu Anda, Madam. Saya Noor.”

Dorothy tersenyum.

“Sampaikan salam saya kepada Alissa, jika Anda sarapan dengan dia.”

“Ya. Ya,” kata saya tolol. Dada saya penuh tanda tanya. Ibu ini mestinya sudah tak ada, tapi ada. Anak dan ibu tinggal satu atap. Dan ibu berkirim salam kepada putrinya sendiri, yang tinggal satu lantai di atasnya. Tuhan. Siapa yang gila di sini?

Saya merasa seperti tikus kecil dalam labirin. Sesak. Bingung. Letih.

Beberapa hari setelah itu, saya tak pernah bertemu Alissa. Saya ceritakan kepada Titus, tentang segala keanehan yang ada, tapi –saya ingat kata-kata Ratri—pria jarang tertarik pada cerita wanita. Dan itu benar terjadi. Mengangkat kepalanya dari koran pun tidak. Yang saya dengar cuma, “Hmm,” atau “O ya,” beberapa kali. Lalu ketika saya tanya pendapatnya, Titus menatap saya dan bertanya, “Pendapat apa?”

Saya putus asa dan malas melanjutkan percakapan. Sedikit tidak tega juga harus membebani pikiran pria yang saya cintai dengan hal-hal yang baginya kurang penting. Tapi, saya benar-benar ingin tahu. Benar-benar ingin tahu.

“Teleponlah dia,” Titus memegang pipi saya. Saya tahu, ia sedikit kurang sabar menghadapi rasa penasaran saya. “Sekadar tanya apa kabar tak ada salahnya.”

“Hanya answering machine. Saya tinggalkan pesan, ia tak membalas.”

“Datangi lantainya.”

“Sudah. Sudah. Aku ketuk rumahnya, tapi tak ada yang keluar.”

Lalu saya ingat, ketika saya mengetuk rumah Alissa pagi itu, seorang pria tiba-tiba berdiri di anak tangga terakhir, menatap saya.

“Hai,” kata saya salah tingkah. “You must be Meldwin?” tanya saya berusaha akrab.

“Bukan,” jawabnya dingin.

Mampus, desis saya dalam hati. Dia pasti Paul Law!

“Maaf. Saya pikir Anda Meldwin....”

“Tidak ada nama Meldwin di lantai ini.”

Saya ingat, Alissa pernah bilang, sutradara dan penulis skenario itu tak pernah keluar rumahnya. Kalaupun pernah, hanya malam hari, ke studio. Saya hanya membaca namanya entah di surat kabar, kalau pementasan, atau di kartu Natal, kata Alissa dulu. Saya pun, kata Alissa lagi, lebih sering melihat dia di majalah, dibanding aslinya.

“Oh. Maaf,”kata saya merasa sedikit ketakutan. “Saya pasti salah,” kata saya bergegas turun. Saya tahu, ekor matanya mengikuti saya ke mana saya pergi. Cara menatapnya, sungguh-sungguh membuat saya menggigil.

“Hm. Mam,” panggilnya tiba-tiba.

“Ya?”

“Anda sudah coba ke bawah? Lantai satu sampai tiga?”

Saya kehilangan kata-kata.

“Belum. Terima kasih.”

Sejak kejadian itu, saya punya keengganan untuk naik ke atas mencari Alissa. Biarlah, saya mencarinya lewat telepon saja.

Dan saya tak pernah berhasil.

“Barangkali….”Titus tersenyum pada saya. “Alissa ke luar kota.”

Saya menghela napas. Berusaha percaya pada kata-kata itu, meski rasanya mustahil.

Alissa sungguh-sungguh menghilang dari saya. Seingat saya, sudah dua minggu. Saya kesepian. Saya rindu pada Alissa. Saya rindu ceritanya yang jenaka dan bola matanya yang menari-nari. Tawanya yang lepas atas segala kisah hidupnya yang begitu berwarna. Makin lama ia bercerita, makin banyak kopi-teh-kue yang kami habiskan, makin keras tawa kami. Ah. Saya ingin betul bertemu dia.

“Noor.”

Saya menengok dan tertegun.

“Dorothy. Apa kabar,” kata saya sambil mengancingkan mantel.

“Baik.”

Saya mengatur napas baik-baik sebelum saya berani bertanya.

“Lama saya tak bertemu Alissa. Apa kabar dia?” tanya saya.

Titus dulu menasihati saya untuk tidak bertanya apa-apa pada orang yang saya kurang kenal. Yang lazim bagi kita, belum tentu normal buat mereka. Jangan terlalu gampang bertanya, Noor, pesannya.

Dorothy tersenyum pada saya.

“I really don’t know.”

Titus benar!

“Ow,” saya berusaha membalas senyumnya. “Baiklah. Sampai ketemu.”

“Saya pikir, Anda tahu,”katanya setelah saya berlalu.

“Hm?” saya menoleh. Bersiap-siap untuk ‘kejutan’ berikutnya.

“Mm. Ini mungkin tak enak didengar, tapi saya dan Alissa memang putus hubungan. Dia yang memutuskan hubungan dengan saya.”

Anak – Ibu putus hubungan? Apa pula itu?

“Sejak….” Mata di depan saya berkaca-kaca. “Sejak saya menyuruhnya bercerai dari Paul....”

“Paul?”

“Suaminya.”

“Paul Law?”

“Ya.”

Saya menelan ludah.

“Dorothy,” saya mendekatkan wajah saya. Berusaha merekam semua gerak-gerik ‘ibu’ sahabat saya. “Meldwin nama suami Alissa. Paul tetangganya.”

Dan bahu di depan saya berguncang. Lama. Ia menangis. Isakannya cukup keras sehingga saya bingung sekali. Menyesal saya memulai percakapan tadi. Menyesal. Jika sudah begini, apa yang bisa saya perbuat? Apa?

  “Noor. Dengarlah. Tidakkah ia katakan padamu: aku meninggal ketika ia remaja? Tidakkah ia katakan Paul Law itu penulis skenario? Yang bercakap-cakap sendirian ketika menulis naskah? Yang memukul-mukul tembok dan menyeret kursi? Yang membawa calon pemain drama ke rumahnya? Itukah yang dia katakan padamu?”

Saya mengangguk. Bibir saya, terasa kering.

“They are all lies. Tidak satu pun yang benar. Tak ada Meldwin. Paul Law adalah suami Alissa. “

Cukup. Cukup. Biar saya bertemu Alissa dan saya tanyakan sendiri.

“Alissa tak perlu berbohong pada saya,” kata saya mantap. “Anda juga tentu tahu bahwa di lantai empat ada dua unit apartemen. Yang kiri punya Alissa dan Meldwin. Yang kanan….”

“Pernahkah Anda masuk ke sana, Noor? Pernahkah?”

Saya terdiam. Saya tidak pernah masuk ke tempat Alissa.

“Jika belum, tanyakanlah pada seluruh penghuni flat kita: berapa unit ada di lantai itu. Satu, Noor. Satu. Pintunya dua, kiri dan kanan. Tapi yang kanan hanya berfungsi sebagai dekorasi.”

Saya sesak napas. Hanya mata saya mengerjap-ngerjap.

“Anda tak akan percaya, sampai Anda lihat sendiri semuanya.”

“Maksud Anda, Mam?”

Dorothy mengusap air matanya.

“Anda akan tahu, Noor. Akan tahu. Maaf, saya harus pergi. Tapi, kalau Anda bertemu Alissa,”tangan keriput itu menyentuh bahu saya. “katakanlah, ibunya menunggu dia.”

Saya menatapnya. Saya teringat, ibu saya juga menunggu saya. Tiba-tiba sekali, saya merasa, Dorothy tak berdusta pada saya.

Saya dan Titus makan pizza terlalu banyak malam itu. Kami kekenyangan dan langkah kami sangat lambat dan malas. Langit berbintang terang dan kami berjalan bergandengan. Saya beberapa kali menatap wajah Titus dalam keremangan. Membayangkan wajah bayi kami yang mungkin saja akan mengambil bagian wajah pria di sebelah saya itu.

“Waduh. Ada apa ini,”desis Titus menghentikan langkah.

Saya mengangkat kepala, terkejut.

Beberapa orang berkumpul di halaman flat kami. Beberapa dengan handy talky, seperti penjaga gedung, tampaknya. Saya ketakutan, saya cekal lengan Titus kuat-kuat. Kami sedikit terlambat untuk tidak masuk ke halaman....

Belum habis kecemasan saya, saya lihat sosok itu. Dorothy.

“Noor?! Noor! Oh. Oh,”katanya terengah-engah.

“Dorothy,” saya merangkulnya. “Tenanglah. Ada apa?”

“Mengapa mereka lama sekali?”

“Siapa?”

“Saya sudah menelepon 999. Oh. Alissa.Oh,” ia menggeleng berkali-kali.

“Mereka pasti segera ke sini,” Titus tersenyum dan membawa Dorothy ke bangku di dekatnya. “Siapa yang sakit, Mam? Ada apa?”

Dorothy belum membuka mulutnya ketika mobil putih itu datang. Dan orang-orang berlarian keluar. Dan ketenangan sekejap, berganti dengan kepanikan yang lebih hebat.

Titus mendudukkan saya. Dikecupnya kening saya.

“Jangan ke mana-mana. Diamlah di sini.”

Semua berlangsung begitu cepat. Begitu cepat. Orang-orang berlarian. Dorothy menangis. Kereta dorong. Lift yang tertutup dan terbuka lagi. Dan...Alissa! Alissa! Tuhan, itu betul-betul Alissa.

Saya menjerit. Di depan mata saya, saya lihat wajahnya yang hancur. Lebam. Matanya hitam dan bibirnya penuh luka. Rambutnya basah. Tulang pipinya lebih menonjol lagi dari terakhir saya bertemu dia.

Dua minggu saya tak melihatnya. Saya tak dengar apa-apa. Dan, oh, dia….

Saya merasa orang hilir-mudik di sekitar saya. Petugas paramedis. Polisi. Saya tidak tahu persis. Semua berseragam. Semua bergerak. Dengan hati hancur, saya sempatkan diri merebut tangan Alissa. Menggenggamnya.

“Kamu kenali saya, Alissa? Kamu lihat saya?” kata saya dengan mata berlinang.

“Noor.” Alissa meraih wajah saya. “I am sorry,” katanya tersenyum getir. “There is no Meldwin. Tak ada siapa-siapa. Tidak ada penulis skenario yang hebat itu. Tidak ada. Hanya ada seorang istri yang bodoh dan pria yang egois.” Dia memeluk saya. “Saya bohong tentang semuanya. Saya tak pernah jadi apa pun. Tidak guru musik. Tidak juru rawat. Saya tidak pernah ke Nepal. Ghana. Montreal. Mana pun. Saya hanya mengikuti dia ke mana dia pergi. Tak berdaya sama sekali. Jiwa saya sudah mati... Noor. Mati. Mati.”

Saya menangis melihat air matanya jatuh.

“Saya sakit sekali, tapi tak mungkin saya meninggalkan dia....”

“Alissa, pergilah. Engkau akan baik-baik. Engkau akan sembuh. Bercerailah dari dia. Tinggalkan dia,”bisik saya di telinganya. “Saya masih ingin sarapan dengan kamu.”

Kami berpelukan. Saya rengkuh tulang dan kulit tipis di depan saya. Dia betul-betul tak berdaya. Saya belai pipinya yang merah tua. Saya ingat, ia selalu tertawa. Ia sungguh jelita. Ia, juga, sungguh menderita.

“Nanti saya jelaskan semuanya, Noor. Kalau sempat. Kamu membuat saya begitu bahagia, meski sekejap.”

Saya hapus air mata saya. Lalu air matanya. Tangan Titus, saya rasakan menarik saya.

“Pergilah, Alissa.”

Sesaat, saya lihat Dorothy.

“Kembalilah pada ibumu kalau kamu sudah sembuh, ya?” bisik saya sambil mengusap rambutnya yang basah. “Berjanjilah pada saya, Alissa. Berjanjilah kamu akan kembali pada ibumu.”

Alissa menatap saya tak lepas. Saya lihat ia mengangguk pelan. Saya peluk dia sekali lagi.

Mereka menarik kereta itu dari hadapan saya. Memaksa saya menjauh dari Alissa. Titus menarik badan saya. Saya tak punya kekuatan apa-apa menahan Alissa, betapapun saya ingin. Orang-orang berkerumun, menelan Alissa. Saya sempat lihat, mereka memasukkan tubuh kurusnya ke dalam mobil putih. Saya menggenggam erat-erat lengan Titus.

Dorothy membenamkan wajahnya di bahu saya.

“Mereka menangkapnya. Mereka menangkapnya. Mereka bawa pergi bajingan itu....”

Bayangan Paul menari-nari di pelupuk mata saya. Bagaimana saya ketakutan atas tatapannya yang tajam, di tangga waktu itu. Oh. Ia yang menyeret teman saya. Dan bunyi-bunyi itu? Oh. Itu badan sahabat saya yang dia benturkan ke mana-mana. Oh. Dan suara tangisan yang memilukan hati itu? Itu Alissa yang hancur....

Jiwa saya terasa hilang separuh.

Pada rangkulan Titus, saya rebah.

No comments: