12.22.2010

Ana de Sousa

Ayahku pernah menyatakan keinginannya untuk menyumbangkan sebagian bukunya kepada perpustakaan atau taman bacaan. Sayangnya, keinginan itu belum terlaksana hingga beliau dan Ibu meninggal dalam sebuah kecelakaan, setahun lalu.

Ayah memang hobi membaca. Sebagian bukunya dibeli saat sedang pergi ke luar negeri. Koleksi bukunya yang mencapai ribuan itu disimpan di sebuah ruangan khusus yang kami sebut dengan perpustakaan. Walaupun, sebenarnya tidak terlalu menyerupai itu. Hanya sebuah ruangan yang tidak terlalu luas, bersebelahan dengan ruang kerja ayahku. Dilengkapi meja-kursi untuk membaca dan sebuah tangga untuk mengambil buku-buku yang letaknya di rak paling atas. Sejumlah buku dibiarkan bertumpuk begitu saja di lantai karena raknya sudah tidak mencukupi lagi.

Di waktu-waktu senggang, Ayah kerap terlihat sibuk memilah-milah buku. Saat membantunya memilah, ia memberi tahuku kriteria buku yang akan disumbangkannya.

Aku hampir mengabaikan keinginan itu, jika saja tidak melihat tumpukan kardus berisi buku-buku yang telah dipilah dan diletakkan di sudut perpustakaan.

Aku ingat, ada beberapa buku di rak yang belum sempat ia pilah, yaitu buku-buku yang berada di rak paling ujung. Aku memasang tangga di rak itu, kemudian memilah dari rak paling atas, seperti yang ia pernah contohkan. Saat mengambil sebuah buku, tiba-tiba sebuah benda ringan melayang, terjatuh di sisi tangga.

Ternyata, sebuah amplop yang warnanya sudah tidak putih lagi. Aku memungut amplop itu dan terasa lembap ketika kupegang. Bahkan, di beberapa tempat terdapat noda kecokelatan. Di bagian depan amplop itu tidak tertera nama dan alamat yang dituju. Demikian pula di bagian belakang amplop, tanpa nama dan alamat pengirim. Bukan sesuatu yang penting sepertinya. Aku meletakkan amplop itu di meja, kemudian melanjutkan memilah. Surat tua itu pun terlupakan sudah.

Setelah semua buku selesai dipilah, aku memberikan buku-buku itu ke beberapa taman bacaan dan perpustakaan daerah. Aku lega telah menyampaikan keinginan Ayah.

Beberapa hari kemudian, aku masuk ke ruang perpustakaan itu, dan melihat surat usang itu masih tergeletak di meja. Saat mengambil amplop itu dan berniat membuangnya ke tempat sampah, tanpa sengaja tanganku menyobek sisi amplop dan terlihat sebuah kertas di dalamnya.

Akhirnya, aku menyobek ujung amplop itu dan mengeluarkan isinya, berupa dua lembar kertas yang dilipat sekadarnya. Kubuka kertas yang pertama dan menemukan kata-kata yang ditulis dalam bentuk puisi, menggunakan huruf sambung yang tidak terlalu rapi, menggunakan tinta hitam yang terlihat sudah memudar.

Jika kau percaya bahwa perasaan manusia bisa berubah, maka kau pun akan percaya, bahwa tak ada cinta yang satu, dan selalu ada tempat bagi cinta yang lain.

Aku tersenyum, terpesona oleh kata-kata puitis itu. Kemudian melanjutkan membuka kertas yang kedua, berupa sebuah surat yang ditulis tanpa tanggal dan tahun. Melihat bentuk tulisan tangannya, aku menduga puisi dan surat itu ditulis oleh orang yang sama.

Maria sahabatku,
Jika terjadi sesuatu padaku, kuminta bantuanmu untuk menjaga dan merawat Rosana, anakku.
Ana de Sousa

Surat itu pasti ditujukan kepada ibuku, mengingat nama ibuku adalah Maria. Aku tidak tertarik pada puisi itu, tetapi aku tertarik pada kesamaan nama anak yang dimaksud dalam surat itu dengan namaku dan kupikir bukan kebetulan belaka.

Bagaimana aku menemukan surat itu pun menjadi sebuah tanda tanya besar bagiku. Kemungkinan surat itu sengaja disembunyikan. Aku yakin, kedua orang tuaku, terutama ibuku, pasti tahu tentang surat itu, karena ditujukan padanya.

Setelah membongkar seluruh isi rumah, termasuk barang-barang pribadi milik orang tuaku, sesuatu yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya, aku tak menemukan apa-apa. Kucoba mengingat-ingat nama teman-teman ibuku yang pernah kukenal. Tapi, rasanya, ia tak pernah menyebut nama Ana de Sousa. Aku berharap bisa menyelesaikan itu sendiri, tanpa harus melibatkan orang lain. Tetapi, kenyataannya tak bisa. Surat itu membuatku harus berhubungan dengan banyak orang.

Aku memperlihatkan surat dan puisi itu kepada Om Hendri, satu-satunya adik ayahku yang bekerja sebagai dosen fakultas sastra di sebuah universitas di Jakarta. Kebetulan hubungan kami dekat. Ia memberiku penjelasan setelah beberapa hari.

Katanya, surat itu tidak memberikan petunjuk yang jelas, sehingga sulit untuk diteliti. Puisi itu bercerita tentang seseorang yang sudah memiliki kekasih, kemudian jatuh cinta lagi. Ia menjelaskan simbol-simbol kata yang aku tak mengerti. Ketika aku menanyakan kesamaan nama dalam surat itu, ia tak bisa membuat kesimpulan hanya berdasarkan nama.

“Jangan berpikir macam-macam,” katanya, sambil menepuk bahuku, saat mengantarku hingga depan ruangannya.

Aku pun mendapatkan jawaban yang sama, ketika bertanya kepada kakek dan nenek dari ayahku. Mereka mengatakan tidak mengenal Ana de Sousa, dan kesamaan nama dalam surat itu dengan namaku hanya sebuah kebetulan.

Aku mendesak mereka dan mengatakan bahwa bisa jadi aku adalah anak hasil hubungan gelap Ayah dengan wanita lain. Kakek marah, ia berkata bahwa sebagai satu-satunya anak dalam keluarga, aku tidak menghormati dan memercayai kedua orang tuaku.

“Meskipun kami tak menghadiri pernikahan orang tuamu di Dili dan tak melihatmu lahir, bukan berarti kami bisa memercayai pikiran burukmu itu,” katanya, dengan nada keras. Aku memang lahir di Dili. Saat itu, Ayah yang bekerja sebagai peneliti sedang bertugas di sana, sedangkan Ibu adalah perawat di rumah sakit Dili.

Awalnya aku akan menanyakan perihal surat Ana de Sousa itu melalui telepon. Tetapi, membicarakan persoalan ini rasanya tak cukup hanya melalui telepon. Aku lalu memutuskan datang ke Kota Lisbon, Portugal, tempat keluarga ibuku tinggal.

Tentu saja Nenek terkejut melihat kedatanganku yang tiba-tiba dan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Inilah untuk pertama kalinya aku datang seorang diri ke Lisbon. Biasanya, aku selalu datang bersama kedua orang tuaku. Sejak mereka meninggal setahun lalu, aku belum pernah mengunjunginya. Jarak dan pertemuan yang jarang, hanya setahun sekali, itu pun jika kami memiliki waktu libur yang sama, membuatku tak terlalu akrab dengan keluarga ibuku.

Awalnya keluarga ibuku tinggal di Dili, lalu mereka pindah ke Portugal. Kakek memang berasal dari Portugal dan meninggal beberapa tahun lalu. Di rumah ini Nenek tinggal bersama adik ibuku yang paling kecil, yaitu Tante Leslie dan suaminya, serta dua anak perempuannya yang sudah remaja. Sedangkan adik perempuan ibuku yang lainnya tinggal bersama suaminya yang juga orang Portugal, tak jauh dari Kota Lisbon. Satu adik lelakinya tinggal di Australia.

Aku menanti saat yang tepat untuk menyampaikan maksud kedatanganku. Agar tak terkesan bahwa aku mengunjungi mereka demi sebuah kepentingan, demi surat Ana de Sousa.

Setelah makan malam, kuceritakan penemuan surat itu, sesantai mungkin, dan menganggapnya bukan hal yang penting. Kuperlihatkan surat itu kepada mereka, yang dibaca secara bergantian.

”Nenek kenal dengan Ana de Sousa?” tanyaku.

Nenek terdiam beberapa saat, seolah teringat sesuatu, lalu menggelengkan kepala. Tante Leslie yang menjawab.

”Kalau tidak salah, Ana adalah teman ibumu saat bekerja di rumah sakit di Dili,” ucap Tante Leslie, setelah menyebut berulang–ulang nama Ana de Sousa.

Ketika kutanya tentang kesamaan nama anak dalam surat itu dengan namaku, Tante Leslie yakin tak ada hubungannya denganku. Aku meragukan jawabannya. Lalu kutanya apakah ia tahu saat ibuku mengandung dan melahirkanku.

”Kami sudah berada di Portugal, ketika kau lahir. Sedangkan ibumu masih berada di Dili karena menunggu masa tugas ayahmu habis,” jawabnya setelah beberapa saat.

”Apakah Ibu pernah bercerita tentang sesuatu?”

”Kami mengenal baik Ana de Sousa. Ia sahabat ibumu, dan sering berkunjung ke rumah, tetapi ibumu tidak pernah bercerita apa pun tentang Ana de Sousa,” jawab Tante Leslie, menegaskan.

Aku bertanya, apa lagi yang ia ketahui tentang Ana de Sousa. Pertanyaan yang berulang-ulang yang kuajukan hanyalah sebuah trik untuk membuat Tante Leslie mau bercerita. Ketika kutanya alamat Ana de Sousa di Dili, Tante Leslie menjawab tidak tahu.

Tiba-tiba Nenek bangkit dari tempat duduknya, lalu berkata, ”Kau sebaiknya pindah ke sini, daripada di Jakarta seorang diri seperti itu, dan memikirkan yang tidak-tidak.”

Aku tak menyadari bahwa Nenek memperhatikanku sedari tadi. Ia tidak senang dengan caraku bertanya. Kemudian ia memarahiku dan mengatakan bahwa aku tak memercayai dan menghormati kedua orang tuaku. Aku diam, bahkan tak berani memandang wajahnya. Setelah itu, Nenek masuk ke kamarnya. Aku menyesal telah membuat acara makan malam itu menjadi tidak menyenangkan.

Nenek kecewa ketika aku berpamitan pulang. Ia berpesan agar aku sering-sering mengunjunginya. Satu lagi pesannya atau lebih tepatnya ia memintaku berjanji untuk tidak pergi ke Dili, dan melupakan tentang surat itu.
Sebuah janji yang akhirnya tidak bisa kutepati.

Aku membongkar seluruh uang tabunganku dan memanfaatkan masa libur mengajar sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi untuk pergi ke Dili, Timor Leste, meski perasaan takut menderaku.

Aku selalu punya kekhawatiran berlebih, untuk sesuatu yang belum terjadi. Semua itu lahir dari kebiasaan burukku yang selalu membayangkan sesuatu yang belum terjadi.

Aku belum pernah pergi ke Dili, meski lahir di sana. Mungkin karena keluarga besar ibuku seluruhnya berada di Portugal. Berita keamanan di Dili sempat membuatku mengurungkan niat itu. Apalagi, setelah aku tak berhasil menghubungi beberapa teman kuliahku dulu yang berasal dari Timor Leste. Kuharap mereka bisa membantuku. Tetapi, sebagian besar sudah pulang ke Timor Leste.

Beberapa teman pernah meledekku ketika menolak ikut berdemonstrasi, dengan mengatakan bahwa aku tak memiliki rasa nasionalisme, padahal aku lahir di Dili. Seorang teman bahkan mengatakan gen ayahku yang berasal dari Jakarta lebih dominan ketimbang ibuku yang berasal dari Timor Leste, sehingga aku tak punya perasaan memiliki terhadap Timor Leste. Entahlah, aku tak tahu.

Hari menjelang malam ketika sampai di Kota Dili. Hanya tinggal aku di angkutan umum ini. Sedangkan penumpang lain sudah turun. Aku memberi biaya tambahan kepada sopir angkutan umum untuk mengantarku ke hotel. Ternyata, hampir seluruh hotel penuh. Akhirnya, setelah beberapa kali keluar-masuk hotel, aku bisa mendapatkan kamar.

Pelayan hotel, bernama Julio, mengantarku ke kamar yang berada di lorong paling ujung. Sebuah kamar yang tidak terlalu luas, hampir seluruh dindingnya bercat putih, hanya kusen jendelanya yang berwarna cokelat tua. Kamar itu berisi sebuah tempat tidur berseprai putih, lemari kecil dari kayu tempat menyimpan pakaian, kipas angin menggantikan AC yang mati, sebagaimana dikatakan Julio saat mengantarku tadi, dan sepasang meja kursi sederhana, yang di depannya diletakkan cermin berbentuk persegi empat menempel di dinding. Kamar mandinya terdiri dari bak mandi dengan WC jongkok, tetapi cukup bersih dan terawat.

Sebetulnya, kamar itu terlalu mahal untuk tarif 70 dolar AS per malam, yang bila dikurskan dalam rupiah mencapai Rp700.000-an. Di Jakarta, tarif ini setara kamar standar hotel berbintang empat. Tapi, apa boleh buat? Biaya hidup di sini memang tinggi. Apalagi, hotel hanya menerima pembayaran dengan mata uang dolar AS.

Sebelum pergi, aku sudah menyiapkan sejumlah dolar dan rupiah. Saat memberi tiket beberapa hari lalu, petugas yang sepertinya telah pengalaman pergi ke sana memberitahuku agar menyiapkan uang dolar, selain rupiah. Dolar untuk transaksi di hotel dan restoran, sedangkan rupiah untuk transaksi kecil.

Perutku mulai terasa keroncongan menahan lapar sejak siang tadi. Setelah mandi, berganti pakaian, aku pergi ke restoran yang tak jauh dari hotel ini. Suasana restoran yang ternyata juga merupakan tempat karaoke itu terlihat remang–remang, dengan lampu yang seolah dibiarkan seperti itu. Aku mencari tempat duduk di pojok, kemudian memesan makanan. Restoran itu menyediakan masakan Indonesia, Cina, Portugis, dan Timor Leste.

Pelayan menawari makanan khas Timor Leste. Sepertinya ia tahu, bahwa aku bukan orang sini. Ia menyebut beberapa menu yang asing di telingaku, sambil menjelaskan jenis makanan tersebut.

Tiba–tiba aku teringat ibuku yang selalu mengkritik caraku memilih makanan saat sedang berkunjung ke suatu daerah. Katanya, jika kita sedang berada di daerah lain, cobalah makanan khas mereka.

Tetapi, seperti biasa, aku mencari makanan yang paling aman dan sudah familiar, yaitu nasi goreng dan jus jeruk. Meskipun, pelayan restoran itu merayuku, dengan gayanya yang memikat dan menggugah selera makan, layaknya seorang ahli kuliner.

Tak jauh dari mejaku, beberapa orang asing duduk sambil ditemani para wanita setempat yang berpakaian seksi. Mereka sepertinya berpasang–pasangan. Sesekali pria-pria asing itu merangkul dan mencium pasangannya, yang disambut senyum manja. Derai tawa mereka membuat suasana restoran menjadi ramai, ditambah pula dengan musik karaoke mengalun keras.

Saat sedang menikmati makanan, tiba–tiba seorang pria setengah baya berpenampilan terlalu rapi dengan sikap yang diramah-ramahkan menghampiriku. Ia memperkenalkan diri bernama Edi, mengaku sebagai pemilik restoran. Dari logat bicaranya, ia seperti berasal dari Jawa.

Ia bertanya tentang restorannya, bagaimana rasa makanannya, bagaimana pelayanannya, apakah ada yang kurang dari restoran ini. Dalam hati aku memuji caranya melayani konsumen.

Lalu kujawab masakannya enak, bumbunya pas. Pelayanannya pun cepat, karena memang demikian adanya, meski aku sedikit terganggu dengan suasananya. Ia tersenyum, puas dengan jawabanku, dan mengatakan sengaja membawa koki–koki terbaik dari Indonesia.

Setelah itu, ia duduk di kursi depan mejaku. Seolah hendak membicarakan sesuatu yang serius.

”Beberapa restoran dan bar saat ini sedang membutuhkan waiter, apalagi sebentar lagi akan dibuka panti pijat. Bayarannya pun dolar,” katanya, dengan penuh semangat.

Lalu ia bercerita tentang pundi–pundi dolar yang diraup selama membuka usaha di sini. Setengah memaksa ia meminta nomor teleponku dan tempatku tinggal. Dengan halus aku menolak dan mengatakan bahwa aku akan mempertimbangkan tawarannya.

Para wanita yang tengah bersama orang asing itu melirikku, mereka saling berbisik. Aku menyelesaikan makanku dengan tergesa–gesa, kemudian bergegas meninggalkan restoran itu dan kembali ke hotel.
Aku merasa sangat lelah, setelah melakukan perjalanan seharian tadi. Tetapi ternyata, rasa lelah tak membuat mataku mengantuk. Akhirnya aku duduk di sisi jendela, yang sengaja kubuka. Suara ketukan sepatu berhak tinggi dan suara-suara tawa melewati lorong kamar. Wajah–wajah wanita dengan mata menyudut, berkulit terang dan berambut berjalan berpasang–pasangan. Suara-suara itu menghilang seiring dengan bunyi pintu kamar yang dibanting.

Beberapa jam kemudian, pintu kamar di seberang kamarku terbuka. Sepasang pria dan wanita keluar dari kamar itu. Mereka berciuman, lalu berpelukan. Ketika merasa seseorang tengah mengamati, keduanya melepaskan pelukan sambil tertawa. Lalu masing–masing berjalan dengan arah  berbeda, tanpa menengok lagi. Si wanita berjalan melewati lorong kamar, sedangkan si pria kembali ke kamar.

Konon, jika dua orang berpisah, berjalan dengan arah masing–masing, tanpa menengok lagi, berarti keduanya sudah melupakan apa yang pernah terjadi. Si pria mungkin akan mencari wanita lain, demikian pula halnya dengan si wanita.

Aku duduk hingga menjelang pagi, sebuah kebiasaan yang hadir belakangan ini. Aku bisa merasakan perjalanan malam yang merambat pelan dan bagaimana langit kemudian perlahan–lahan berubah. Tak banyak yang kulakukan, selain duduk seperti ini, memandang langit atau memperhatikan hal–hal kecil di sekelilingku.

Satu–satunya petunjuk yang kumiliki adalah bahwa Ana de Sousa pernah bekerja di rumah sakit Dili. Ia pasti seorang perawat seperti ibuku. Aku tidak tahu apakah dengan petunjuk seminim itu aku bisa menemukannya. Tetapi, aku yakin, ketika kita mulai melangkah, maka pintu–pintu kesempatan akan terbuka menyambut kita.

Kini, aku sudah berada di sini, maka kesempatan menemukan ibuku tak sejauh seperti ketika aku masih berada di Jakarta. Layaknya seribu langkah yang harus ditempuh, aku telah memulainya dengan satu langkah.

Aku menyetop taksi yang melintas di depan hotel. Taksi di sini adalah sebuah mobil Cevrolet tua berwarna hitam. Aku seperti tengah berada di luar negeri saat melihat banyaknya orang asing. baik tentara maupun sipil, dan kendaraan–kendaraan mewah yang berlalu-lalang di jalanan kota. Sementara pengemis yang sebagian besar anak–anak, berkeliaran menengadahkan tangannya kepada orang asing yang melintas. Sambil meneriakkan, ”Hello, Mister... rupiah, Miss....” Beberapa ada yang menjajakan koran.

Tak lama kemudian, aku sampai di rumah sakit Dili dan langsung masuk, menuju sebuah meja penerima tamu. Seorang wanita muda, bernama Venesa, menyapaku ramah dan menanyakan apa yang bisa ia bantu. Aku lega melihat sikapnya yang ramah.

Aku memperkenalkan diri dan mengatakan padanya bahwa aku sedang mencari seorang perawat bernama Ana de Sousa, yang berusia sekitar 50-an tahun. Merujuk tahun kelahiran ibuku, yaitu tahun 1957, usia Ana pasti tidak jauh berbeda dari usia ibuku. Ia mengulang-ulang nama itu, sambil membuka sebuah map. Meneliti satu per satu nama yang tertera di dalam map itu.

”Maaf, saya tidak menemukan nama Ana de Sousa. Sekalipun ada nama Ana, nama belakangnya bukan Ana de Sousa, dan umurnya pun dua puluh lima tahun,” katanya, setelah selesai meneliti.

Aku berpikir beberapa saat, mungkin Ana memang pernah bekerja di sini, tetapi kini sudah tidak lagi. Aku teringat tahun ibuku bekerja, yang kubaca di biodatanya, yaitu tahun 1976, dan pindah ke Jakarta pada tahun 1978. Perkiraanku, Ana de Sousa pasti bekerja pada tahun yang sama dengan ibuku.

”Katanya ia pernah bekerja di sini sekitar tahun 1976,” kataku, mengira–ngira.

Ia terkejut mendengar penjelasanku, kemudian berpikir beberapa saat. ”Di sini ada seorang perawat yang sudah lama bekerja, mungkin ia mengenal orang yang kau cari,” katanya.

Aku langsung setuju saat ia menawarkan diri untuk mengantarnya ke ruangan perawat itu.

Venesa memperkenalkanku pada seorang wanita, hampir seusia dengan ibuku, bernama Beatrice. Sebelumnya ia mengingatkan bahwa Suster Beatrice senang bercerita, terkadang sampai lupa waktu. Setelah itu Venesa berpamitan karena harus bekerja. Aku mengucapkan terima kasih atas bantuannya.

Aku menyampaikan maksud kedatanganku sama seperti kepada Venesa tadi dan menjelaskan tahun perkiraan Ana bekerja. Ia mencopot kacamatanya dan mencoba mengingat sesuatu. Kemudian mengulang–ulang nama itu.

”Tahun 1976,” ucapnya, meyakinkanku.

Aku menjawab dengan anggukan kepala.

”Berarti setahun setelah tentara Indonesia datang,” katanya.

Ia bercerita, suatu malam di bulan Desember tahun 1975, ia melihat sebuah benda mirip helikopter beterbangan di udara, suaranya sangat bising. Bersamaan dengan itu, benda–benda berjatuhan dari helikopter dan melayang di udara. Esoknya, banyak tentara di Kota Dili.

”Mirip dengan keadaan sekarang. Kalau dulu tentaranya berkulit cokelat, kini berkulit putih,” katanya, sambil tersenyum.

Apa yang dikatakan Venesa tentang Suster Beatrice benar. Aku kesulitan mencari celah untuk memotong pembicaraannya. Dengan menanyakan tahun berapa ia bekerja di rumah sakit ini, lalu mencoba menyangkut-pautkan dengan Ana. Aku lega saat ia mulai mengalihkan ceritanya.

”Memang pernah ada perawat bernama Ana, tetapi dua orang dan aku tidak ingat nama belakangnya. Sekarang keduanya sudah tidak bekerja di sini lagi,” katanya.

Kemudian aku bertanya apakah ia memiliki alamat keduanya. Mungkin, di antara kedua nama itu adalah nama Ana yang aku cari. Ia menelepon seseorang, kemudian berbicara dalam bahasa Tetun, bahasa setempat.

”Kembalilah besok,” katanya, sambil menutup telepon

Setelah mengucapkan terima kasih dan berjanji akan kembali esok, aku meninggalkan rumah sakit itu dan kembali ke hotel.

Pagi–pagi sekali, aku sudah berada di rumah sakit Dili. Suster Beatrice bahkan belum tiba di ruangannya.

”Sudah lama menunggu?” tanya Suster Beatrice.

Suaranya mengagetkanku. Aku segera berdiri. Ia memberiku isyarat agar masuk ke ruangannya. Aku mengikutinya. Kami duduk berhadapan di depan meja kerjanya. Ia mengeluarkan selembar kertas dari tasnya, lalu menyerahkannya padaku. Di kertas itu tertera dua alamat yang ditulis dengan nama Ana satu dan dan Ana dua menggunakan angka Romawi. Setelah mengucapkan terima kasih padanya, aku bergegas meninggalkan rumah sakit Dili.

Aku meminta kepada sopir yang mengantarku tadi untuk mencari alamat Ana yang pertama.

Di beberapa sudut jalan yang aku lewati, beberapa bangunan rusak dan hancur karena terbakar, dibiarkan begitu saja. Suasananya terlihat cukup menyeramkan. Tak lama kemudian, di sebuah rumah, taksi yang kutumpangi berhenti, lalu memberitahukan bahwa ini adalah rumah Ana yang pertama.

Seorang wanita setengah baya keluar, saat aku mengetuk pintu rumahnya. Ia menatapku curiga dan tak mempersilakanku masuk. Aku mencoba tetap bersikap ramah, dan mengatakan padanya, bahwa aku mencari Ana de Sousa.

”Betul, nama saya Ana. Ana da Costa,” katanya, dengan nada agak ketus.

Aku bertanya lagi, apakah ia pernah bekerja di rumah sakit Dili dan mengenal Ana de Sousa.

”Saya memang pernah bekerja di rumah sakit Dili, tetapi tidak kenal dengan orang yang kau cari,” katanya, masih dengan nada ketus.

Ia menutup pintu rumahnya, kemudian menguncinya dari dalam. Aku meninggalkan rumah itu, dan berharap pada Ana yang kedua. Tak lama kemudian, kami tiba di sebuah rumah, yang cukup jauh dari jalan raya. Sopir taksi memberitahukan bahwa ini rumah Ana yang kedua.

Rumah itu sepi, tak ada penghuni. Aku mengintip ke jendela kaca yang ujungnya tidak tertutup tirai. Aku melihat ruang tamu lengkap dengan meja dan kursi tamu. Untuk sementara aku merasa lega, berarti rumah ini ada penghuninya.

Aku mencoba membuka pintunya, ternyata dikunci. Akhirnya aku hanya bisa mengintip keadaan rumah itu. Beberapa orang yang tinggal di sekitar rumah itu, datang menghampiri.

Ketika aku bertanya tentang Ana de Sousa, mereka menjelaskan bahwa keluarga Ana de Sousa memang pernah tinggal di sini, tetapi sudah lama sekali mereka pindah, dan tak diketahui ke mana pindahnya. Kemudian rumah ini dijual. Oleh pemilik baru, sempat disewakan kepada orang asing, sekarang sudah tidak lagi. Mereka tak mengenal pemilik baru, karena jarang datang.

Esoknya aku kembali ke rumah itu, berharap pemilik rumah baru datang. Aku menemukan pemandangan yang sama seperti kemarin. Rumah itu tetap sepi tanpa penghuni. Beberapa orang yang melihatku dan menyapaku kemarin, kini mulai bersikap curiga. Merasa tak nyaman, akhirnya aku meninggalkan rumah itu.

Seperti orang yang tersesat, aku menyusuri Kota Dili yang panas dan berdebu, tanpa tujuan. Sesekali aku bertanya pada orang yang kujumpai. Beberapa ada yang kembali bertanya Ana yang mana? Tinggal di mana? Siapa nama ayahnya? Ada pula yang langsung menjawab ’tidak tahu’.

Seorang anak kecil berbaju kumal menengadahkan tangannya padaku. Aku memberinya selembar uang seribu rupiah.

”Dolar Indonesia!” teriaknya

Mungkin maksudnya uang rupiah, aku tersenyum geli. Sesaat setelah ia pergi, serombongan anak datang menghampiriku, sambil menengadahkan tangannya padaku, membuatku kerepotan. Seorang anak laki–laki usia remaja datang dan mengusir anak–anak itu. Aku mengucapkan terima kasih padanya. Lalu meneruskan langkahku.

”Kakak mencari Ana de Sousakah?” tanyanya.

Aku menghentikan langkahku. Ia menghampiriku.

”Saya punya informasi penting tentang orang yang Kakak cari,” katanya.

Ia membawaku ke sebuah restoran, memesan beberapa jenis makanan, lalu makan dengan lahap, seolah tak makan beberapa hari. Ia bertanya mengapa aku tidak makan, aku menjawab sudah kenyang. Dengan sabar aku menunggunya menyelesaikan makan. Setelah selesai makan, tanpa rasa sungkan ia memintaku membayar makanannya. Dan, seperti kerbau dicocok hidungnya, aku menuruti permintaannya.

”Informasi apa yang kau punya?” tanyaku, mulai tak sabar.

“Tentu tidak bisa gratis begitu saja,” lanjutnya lagi.

Aku memberinya beberapa lembar uang dolar, yang langsung ia hitung dengan wajah setengah mengejek, kemudian menengadahkan tangannya. Aku memberinya beberapa lembar lagi. Ia mengambil dengan cepat, tanpa menghitung. Setelah itu, meminta nomor ponselku. Aku mencatatnya pada secuil kertas dan memberikan padanya. Ketika aku balik meminta nomor ponselnya, ia mengatakan tak punya ponsel.

”Tunggulah beberapa hari,” katanya.

”Bagaimana aku bisa menghubungimu,” kataku setengah berteriak, kesal karena ia mempermainkanku.

”Sabarlah, Kakak, aku pasti menghubungimu,” katanya, sambil berlari meninggalkanku sendiri.

Aku menarik napas dalam–dalam, lalu mengembuskannya perlahan, berulang kali, menahan rasa kesal. Dalam hati aku menyesal mengapa begitu mudah mempercayai anak itu, bahkan namanya pun aku tak tahu.

Seharian aku menunggu kabar, tapi hingga keesokan harinya, ia tak juga memberi kabar. Aku sampai pada kesimpulan, bahwa ia menipuku. Baru pada malam harinya, ia mengirim pesan yang berisi sebuah alamat entah melalui ponsel siapa. Sebab, ketika kuhubungi, ponsel itu mati. Kusalin alamat itu pada secarik kertas.

Setelah berkeliling menggunakan taksi selama hampir tiga jam lebih, aku tak menemukan rumah yang tertera dalam alamat itu. Meski menemukan nama jalannya, nomor rumahnya tidak dikenal. Beberapa orang yang kutanyai mengatakan tak ada nomor rumah yang aku maksudkan.

Aku mencoba berpikir positif, mungkin ia salah menuliskan nomor rumah. Akhirnya, aku mengetuk hampir semua pintu rumah yang kulalui sepanjang jalan. Tetapi, semua mengatakan tidak mengenal Ana de Sousa, bahkan beberapa di antaranya tidak mau membukakan pintu, seolah ketakukan.

Sopir taksi mengingatkanku bahwa hari sudah mulai gelap, tetapi aku memaksanya untuk terus menelusuri jalan di daerah itu. Untuk itu, aku berjanji akan membayarnya lebih. Ternyata, makin lama makin jarang ada rumah. Jarak antara satu rumah dengan rumah lain berjauhan. Beberapa di antaranya bahkan sudah tinggal puing-puing, sekalipun ada, sudah ditinggalkan penghuninya.

Di persimpangan jalan, tiba–tiba dua orang pria menghentikan taksiku. Salah seorang mengancam sopir taksi itu dengan sepucuk pistol dan menyeretnya keluar. Sopir taksi mengeluarkan dompetnya, yang langsung direbut. Sambil menodongkan senjata, ia menyuruh sopir taksi itu pergi. Aku bertambah lemas, ketika sopir taksi itu benar-benar ngacir.

Sedangkan yang seorang lagi membuka paksa pintu taksi, memaksaku keluar. Setelah berhasil, ia mendorongku dengan keras hingga aku terjatuh, lalu mengambil paksa tas selempangku. Aku mencoba menahannya, tetapi ia makin beringas. Sekelebat pisau melayang mengenai bahu dan lenganku. Aku mendekap tasku. Darah mulai mengucur di bajuku, bersama rasa perih di bahu dan lenganku.

Aku berteriak minta tolong. Meski hanya sebuah usaha sia–sia. Jalanan itu begitu sepi, tak ada orang yang melintas. Satu orang berhasil mengambil tasku. Tubuhku terasa lemas, tas itu berisi sejumlah uang, ponsel, kartu ATM, paspor, KTP, dan yang paling berharga adalah surat Ana de Sousa.

Tiba–tiba terdengar suara tembakan dari kejauhan. Dua orang itu lari dan melempar tas yang tadi diambilnya. Setelah itu, aku tak ingat lagi.

Ketika tersadar, aku menemukan diriku terbaring di sebuah dipan yang mirip bangku panjang. Perlahan aku mencoba menatap sekelilingku. Seperti sebuah gubuk, dengan atap rumbia diterangi lampu dari minyak tanah yang terbuat dari kaleng susu bekas. Di luar sepertinya gelap gulita, dan sunyi, hanya suara–suara binatang malam yang terdengar.

Aku merasakan sakit yang amat sangat pada bahu dan lenganku yang tenyata sudah dibungkus dengan kain seadanya. Dengan susah payah, aku mencoba bangun. Saat mendapati baju yang kukenakan tadi telah berganti dengan kaus berwarna hitam, aku terkejut. Baju yang kukenakan rupanya dijadikan bantal kepalaku. Seseorang telah mengobati dan mengganti bajuku. Aku mulai berpikir yang tidak–tidak.

Aku mencoba mengingat apa yang telah terjadi denganku dan teringat akan tasku yang tak ada di dekatku. Dengan tertatih–tatih, aku berjalan menuju pintu. Seseorang menyambutku di pintu, saat aku hampir terjatuh.

”Kau mau ke mana? Hari sudah malam,” katanya, sambil memapahku kembali ke tempatku semula.

”Aku mencari tasku,” kataku, sambil menahan sakit.

“Mencari ini?” tanyanya, sambil melemparkan tas ke pangkuanku.

Tergesa–gesa aku memeriksa tas dan merasa lega setelah tak ada barang yang hilang atau berkurang, termasuk surat dan puisi Ana. Susana yang remang–remang membuatku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Seandainya orang jahat, tentu ia tidak akan menolongku. Ia bisa saja mengambil tasku, dan meninggalkanku di jalan.

”Kau yang mengganti bajuku?”  tanyaku, dengan perasaan takut.

”Aku tak sejahat yang kau pikirkan. Kau dalam keadaan pingsan ketika kubawa dan bahumu terluka,” katanya, seolah tahu apa yang sedang kupikirkan.

Setelah itu ia berjalan menuju pintu.

”Hai,” panggilku. Ia menghentikan langkahnya.

”Aku bahkan tidak tahu namamu.”

”Mario,” jawabnya singkat.

”Terima kasih kau telah menolongku,” kataku, sambil tersenyum.

Ia tak menjawab, lalu berjalan menuju pintu dan menutupnya dari luar.

Aku terbangun ketika hari sudah pagi. Kondisiku sedikit lebih baik dari semalam dan sakitku mulai berkurang. Aku melangkah keluar. Mario sedang berdiri bersama beberapa orang. Mereka sedang memperbincangkan sesuatu.

Aku bisa melihat wajah Mario dengan jelas. Wajah yang muram dan dingin, kedua pipinya dipenuhi cambang. Kulitnya gelap dengan rambut ikal. Ia mengenakan celana loreng dengan kaus berwarna hitam dan sepatu boot warna hitam. Penampilannya mirip tentara.

Aku menatap sekeliling yang rimbun oleh pepohonan tinggi. Sinar matahari masuk di antara sela–sela rimbun pepohonan.

”Bagaimana kondisimu?”

”Sedikit lebih baik, terima kasih kau telah mengobati lukaku.”

”Dalam beberapa hari saja lukamu sudah akan kering.”

Orang–orang yang tadi bersamanya meninggalkan kami berdua. Aku melihat mereka menenteng senjata laras panjang.

”Tempat apa ini?” tanyaku, sambil menatap sekeliling, sepertinya aku berada sangat jauh.

”Sedikit di luar kota.”

”Aku mengira kau seorang wartawan, tetapi aku tak menemukan kartu pers di tasmu. Apa sebetulnya yang kau lakukan di tempat seperti ini?”

”Aku sedang mencari seseorang.”

“Seorang wanita muda, datang jauh–jauh dari Jakarta, seorang diri dan menantang bahaya demi mencari seseorang di tempat ini,” katanya.

“Seorang remaja memberiku alamat, yang akhirnya membawaku ke sini,” kataku.

“Ia meminta uang?”

Aku menjawab dengan anggukan kepala.

”Kau sadar telah dia tipu? Tetapi, kau harus memakluminya. Terkadang keadaan memaksa seseorang melakukan hal yang bisa dilakukan hanya untuk menyelamatkan hidup mereka. Pemuda–pemuda tanpa pekerjaan dan masa depan,” desahnya. Wajahnya terlihat risau. Matanya menatap jauh ke arah rerimbunan pohon.

”Dia pasti seseorang yang sangat spesial untukmu. Jika tidak, mana mungkin kau mencarinya sampai sejauh ini,” katanya, sinis.

”Aku bahkan tidak tahu siapa dia sesungguhnya,” kataku.

Ia makin terheran dengan jawabanku. Lalu aku bercerita tentang Ana de Sousa, secara detail dan perjalananku mencarinya. Tetapi, aku tidak memperlihatkan surat Ana kepadanya.

”Kau terlalu nekat, Nona, mencari seseorang dengan informasi tak lengkap ke daerah seperti ini pula. Aku belum pernah melihat orang senekat ini. Perlu kau ketahui, Nona. Di sini kehilangan orang yang kita kasihi adalah hal biasa, bahkan ada anak yang dilahirkan tanpa diketahui siapa ayahnya. Anak kehilangan orang tuanya. Orang tua kehilangan anak–anak yang mereka besarkan. Di sini itu semua hanyalah cerita sehari–hari. Cerita yang tak dibesar–besarkan. Kau hanya buang–buang waktu. Beruntunglah, karena kami menemukanmu. Jika tidak, mungkin namamu pun tak akan tercatat di koran,” katanya, menegaskan.

Aku terdiam mendengar ucapannya.

”Temanku akan mengantarmu pulang, tetapi kau tak boleh bercerita pada siapa pun bahwa kau telah bertemu denganku dan kau tidak boleh memberitahukan tentang tempat ini,” katanya memperingatkanku, setengah mengancam.

Dengan takut aku mengangguk dan tak berani berkata lagi.

Jalanan yang kulalui sangat terjal dan menurun, terkadang curam, melewati perbukitan. Aku harus berjalan perlahan mengikutinya. Sesekali Mario harus memegangi tanganku. Aku tidak tahu bagaimana ia membawaku kemarin. Setelah hampir satu jam, aku tiba di sebuah jalan yang menghubungkan dengan jalan beraspal. Aku ingat persimpangan jalan itu.

”Aku menemukanmu di sana,” katanya, menunjuk persimpangan jalan.

Beberapa orang menghampiri Mario. Mereka menjauh dariku, lalu berbicara cukup lama. Setelah itu, Mario menghampiriku.

”Terima kasih sudah menolongku,” kataku, sebelum berpisah.

”Pulanglah. Aku tak mau melihatmu ada di sini lagi,” katanya, dengan suara tegas mirip perintah.

Aku bergegas naik ke motor, temannya sudah siap di motor untuk mengantarku. Aku tak berani menengok lagi. Ia mengantarku sampai hotel.

Aku membuka buku catatan perjalanan, yang kutulis pada sebuah buku yang mirip buku harian, lengkap dengan waktu, tempat, serta orang–orang yang kujumpai. Aku mencatatkan peristiwa itu, tetapi tidak menuliskan nama Mario, melainkan menulis namanya dengan menyebut seorang pria. Siapa sesungguhnya pria itu? Beragam dugaan memenuhi benakku.

Esoknya, aku memeriksakan lengan dan bahuku, walaupun luka itu sudah mulai mengering. Dokter yang memeriksa mengatakan bahwa lukaku tidak berbahaya. Ia membersihkan luka itu dan mengganti kain yang membungkus dengan perban. Ternyata, tusukan itu menyisakan segaris coretan cukup panjang di lenganku. Dokter menanyakan penyebab luka itu, aku menjawab bahwa aku terjatuh. Dokter itu menatapku heran, seolah tak percaya.

”Bagaimana bisa terjatuh dengan luka separah ini,” katanya.

”Aku berada di dekat pagar besi saat terjatuh,” kataku, sambil berpura–pura memperagakan bagaimana ujung besi bisa mengenai bahu dan lenganku.

Saat ia berhenti bertanya, aku merasa lega. Setelah peristiwa itu, aku memang mengalami trauma dan merasa takut bila berjalan seorang diri dan merasa seseorang membuntuti. Bahkan, saat sedang berada di kamar hotel, saat mendengar langkah orang yang berjalan, jantungku berdegup cepat.

Surat Ana de Sousa telah menyedot seluruh perhatian hidupku. Bahkan, aku sampai lupa mengurus beasiswa S-2 yang kudapat dengan susah payah.

Aku baru ingat, ketika staf dari departemen tempatku mendapatkan beasiswa menghubungiku. Dia mengatakan, pihaknya terpaksa mencoretku dari daftar penerima beasiswa, jika sampai batas waktu yang ditentukan aku tak kunjung datang dan menyerahkan berkas persyaratan.

Hampir satu minggu berada di Kota Dili. Tetapi, aku belum menemukan petunjuk apa pun tentang Ana de Sousa, selain peristiwa–peristiwa yang menegangkan dan tak terpikirkan akan kualami.

Aku tidak menyangka bahwa pencarian Ana de Sousa akan menjadi sepanjang ini. Awalnya aku menduga akan berada di sini tak lebih dari tiga hari. Sepertinya aku akan lebih lama lagi berada di sini, karena aku benar-benar bertekad untuk melanjutkan pencarianku dan mengabaikan beasiswa itu. Keinginan terkadang membuat kita mengabaikan akal sehat.

Kini, aku mencoba dengan cara lain.

Aku mendatangi kantor polisi dan membuat laporan kehilangan pada polisi setempat. Sebelum polisi yang melayaniku bertanya tentang hal yang lain terkait Ana, aku menjelaskan padanya bahwa aku tidak memiliki informasi lain selain Ana pernah bekerja di Rumah Sakit Dili dan sudah mencarinya ke sana, tetapi tak menemukan. Meski ragu karena informasi yang kusampaikan tidak lengkap, ia berjanji akan membantuku.

Tak jauh dari kantor polisi, kulihat sebuah pertemuan yang diada­kan oleh sebuah organisasi wanita, dalam rangka mendengarkan kesaksian para wanita korban kekerasan perang.

Aku masuk ke ruang pertemuan dan berlaku layaknya seorang wartawan. Di sela–sela acara, aku berbincang dengan para peserta, sambil menyelipkan perbincangan bahwa aku sedang mencari seorang wanita bernama Ana de Sousa, kemudian memberikan nomor ponselku.

Seorang peserta memberikan kesaksian tentang kekerasan dan pelecehan yang ia alami. Suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca. Ia menguatkan dirinya untuk terus bercerita. Ibarat sebuah buku kesaksiannya seperti membuka lembaran–lembaran buku itu. Tiba–tiba ia jatuh pingsan.

Aku membantu menggotongnya dengan beberapa orang keluar ruangan. Sepertinya ia sangat tertekan. Beberapa saat kemudian ia siuman. Ia berbisik pada seorang wanita seusiaku yang tadi ikut menggotongnya. Wanita itu menghampiriku, menanyakan siapa namaku dan berapa umurku.

”Ia teringat anaknya. Kau mirip dengan anaknya yang hilang,” katanya.

”Berapa umur anaknya?” tanyaku.

Aku berharap menemukan kesamaan, sebuah harapan yang sering kali muncul, saat aku bertanya tentang Ana de Sousa.

”Ketika itu anaknya berusia lima belas tahun, mungkin sekarang sekitar empat puluh tahun,” jawabnya, sambil memandangku.

Wanita yang tadi pingsan meminta izin untuk memelukku. Aku mendekat dan membiarkannya memelukku. Aku membayangkan, bila bertemu dengan Ana nanti, apakah ia akan memelukku seperti ini? Setelah itu, aku meninggalkan ruangan dan tak kembali ke ruang pertemuan.

Esoknya, aku mendatangi kantor harian lokal untuk memasang iklan berita kehilangan dan mencantumkan nomor ponselku.

Saat keluar dari kantor harian lokal itu, jalanan terlihat sangat ramai oleh penduduk lokal yang berkumpul di hampir setiap sudut jalan. Aku tidak tahu bagaimana awalnya, ketika dalam beberapa menit ratusan orang berjalan dengan langkah cepat dan tergesa–gesa, seolah tengah dikejar sesuatu.

Aku terjebak di antara kerumunan massa yang tanpa komando berlarian ke tengah jalan, sambil melempari polisi yang hendak menghalau mereka. Sebagian menjarah toko–toko di sisi jalan.

Api dan asap berkejaran di antara toko dan kendaraan milik pemerintah dan turut dibakar. Seiring dengan itu, suara letusan bersahutan. Orang berlarian, menyelamatkan diri. Beberapa orang terkapar di jalan. Badanku bergetar menahan takut dan lututku terasa lemas, hingga tak sanggup berjalan. Aku bersembunyi cukup lama di belakang sebuah toko yang dijarah massa.

Sayup–sayup aku mendengar suara seseorang meringis menahan sakit. Aku menghampiri arah suara itu dan menemukan seorang pria tergeletak dengan darah mengucur di pahanya. Saat melihatku, ia mengarahkan senjata laras panjangnya. Setengah ketakutan aku mengangkat kedua tanganku. Aku melirik menatap wajahnya dan mengingatkanku pada seseorang.

”Mario,” kataku, setelah yakin itu adalah dirinya.

Ia menurunkan senjatanya, aku menghampirinya dan tanpa diperintah membantunya bangun. Lalu memapahnya menjauh dari tempat itu. Ia menunjuk jalanan yang harus dilewati. Suasana makin ramai dan letusan makin sering terdengar. Mario menolak, ketika aku akan mengantarnya ke rumah sakit. Akhirnya, aku membawanya ke hotel tempatku menginap, dengan menyetop angkutan umum yang kebetulan lewat.

”Carilah jalan, agar tidak terlihat banyak orang,” pesannya ketika sampai di depan hotel.

Aku memapahnya melewati jalan samping. Sesampainya di kamar, aku membaringkannya di tempat tidur. Ia meringis menahan sakit, tetapi tetap menggenggam senjata laras panjangnya.

Ia memberi instruksi dengan terbata–bata agar aku mencari minuman beralkohol. Aku menuruti perintahnya. Bergegas pergi ke restoran tempatku makan dulu, aku berharap tidak bertemu dengan Edi, si pemilik restoran.
Pelayan restoran menyebut beberapa jenis minuman beralkohol yang aku tidak mengerti semuanya. Aku menjawab apa saja. Ia terlihat heran dengan jawabanku, kemudian memberi sebotol minuman yang aku tidak tahu jenisnya.

Saat aku kembali ke kamar, Mario sedang membakar ujung pisau belati dengan korek api gas miliknya. Setelah menenggak minuman yang tadi kubawa, ia menggigit ujung bantal. Matanya terpejam, saat ujung belati menyentuh pahanya, perlahan–lahan makin dalam, seperti mencongkel kerikil dari tanah liat. Benda itu jatuh. Ia meminta aku memungut benda itu, kemudian memberikan padanya. Ia memandang benda itu, melepas gigitan bantal di mulutnya, kemudian tersenyum.

Setelah itu, ia kembali mengigit bantal. Matanya terpejam dalam dan urat–urat di lehernya tampak menonjol, saat minuman alkohol membasahi luka bekas congkelan peluru. Sumpalan di mulutnya tak mampu menahan teriakannya. Aku mendengar erangannya, melukiskan rasa sakit yang mendera.

Ia tersenyum sambil mengusap keringat yang menetes di wajahnya, dengan tangannya.

”Aku melakukannya pertama kali ketika tangan kiriku tertembak dalam peristiwa Santa Cruz, dan kini aku sudah terbiasa,” katanya, sambil memperlihatkan bekas luka di tangan kirinya.

Ia memintaku untuk membungkus pahanya dengan kaus yang tadi dipakainya. Setelah itu, aku memberinya kaus yang pernah kupakai ketika itu. Mario tersenyum, kemudian memakainya.

Melihat sikapnya yang sudah tenang, aku memberanikan diri bertanya tentang dirinya. Mengapa ia bisa tertembak, dan apa sesungguhnya yang ia lakukan selama ini.

”Apakah ini penting untukmu, Nona? Siapa diriku bukan sesuatu yang penting untukmu,” ia menjawab sendiri pertanyaannya.

Sepertinya ia tak senang aku mengorek–ngorek kehidupan pribadinya. Aku tak berani bertanya lagi.  

”Kukira setelah kejadian itu kau sudah terbang ke Jakarta. Tetapi, dugaanku salah. Kau benar–benar wanita nekat dan keras kepala. Aku tidak suka melihatmu berlama–lama di sini. Aku menyesal mengapa tak  membiarkanmu tergeletak ketika itu.”

”Kau menyesal rupanya telah menolongku, aku tidak pernah memintamu untuk menolongku,”  kataku, penuh emosi.

”Aku akan membantumu. Tetapi, kau harus berjanji, setelah menemukan orang yang kau cari, kau akan segera ke Jakarta.”

”Aku tak perlu bantuanmu, aku bisa mencarinya sendiri. Kau jangan mengaturku,” ucapku, ketus.

Ia terdiam mengatur napas.

”Aku terkejut saat melihatmu,” katanya, dengan suara lirih.

Sikapnya terlihat melunak.

”Kau mengingatkanku pada seseorang yang luput kujaga. Ia sama sepertimu, nekat dan keras kepala. Hari itu, tak biasanya, ia memaksaku mengantarnya pulang, tapi aku tak bisa. Keesokan harinya, mayatnya ditemukan di pinggir jalan. Aku sangat menyesal. Perjuangan sering kali membuat kita mengabaikan orang–orang yang kita kasihi,” katanya, dengan nada sendu. Wajahnya terlihat muram.

”Maafkan aku,” kataku, menyesali kata–kataku.

”Tak apa, aku harus menganggap itu sebagai peristiwa hari–hari, bagian dari sejarah yang tak tercatatkan,” katanya, seolah sedang menghibur dirinya sendiri.

”Siapa orang yang kau cari?” tanyanya, mengalihkan pembicaraan.

”Ana de Sousa.”

Ia mengulang–ulang nama itu.

“Aku akan mengabarimu sesegera mungkin, jika sudah mendapatkan informasi. Tetapi, berjanjilah, kau akan segera pulang setelah menemukannya. Situasi di sini tidak akan membaik dalam waktu sebentar, masa depanmu masih panjang. Kau harus percaya padaku,” katanya, menegaskan.

Aku menjawab dengan anggukan kepala.

Setelah meminum sesuatu yang diambil dari saku celananya, ia tertidur. Wajahnya terlihat lelah. Sesekali ia mengigau, menyebut nama seorang wanita dan badannya demam. Aku tak tidur semalaman mengompres keningnya.

Mario masih tertidur saat aku pergi ke restoran hotel, mengambilkan sarapan untuknya. Televisi lokal memberitakan peristiwa kemarin. Suasana Kota Dili pagi ini mencekam, pemerintah memberlakukan jam malam dan menuding kelompok pemberontak anti-pemerintah yang menjadi dalang di balik kerusuhan. Korban tewas diperkirakan mencapai lebih dari lima orang dan puluhan lainnya luka–luka. Aku membungkus beberapa roti bakar dengan tisu, lalu membawanya ke kamar.

Mario sudah tidak ada di kamar. Di meja, aku melihat sebutir peluru tergeletak, peluru yang menembus pahanya kemarin. Sepertinya, ia sengaja meninggalkan peluru itu untukku.

Dua hari setelah kerusuhan, suasana Kota Dili masih mencekam. Pasukan keamanan berjaga di setiap sudut jalan. Tak ada yang kulakukan selain duduk di lobi hotel menyaksikan berita dan kembali ke kamar, sementara Mario seperti hilang ditelan bumi. Siaran televisi memberitakan tentang upaya pemerintah untuk menangkap pemberontak dan dalang kerusuhan. Aku teringat Mario dan tiba–tiba mulai mengkhawatirkannya.

Seseorang mengirimiku SMS, ”Aku sudah menemukan alamat Ana de Sousa. Datanglah ke tempat aku pernah menemukanmu.”

Mario pasti yang mengirim pesan itu.

Aku mencoba menghubungi nomor pengirim pesan, tetapi mati.

Aku menduga akan kesulitan mendapatkan kendaraan. Karena, hampir sebagian kendaraan tidak beroperasi selama dua hari ini. Tetapi, ternyata tidak, saat sebuah taksi datang menghampiriku.

Jalanan masih terlihat sepi dan mencekam. Sebagian besar pertokoan dan sekolah–sekolah tutup, beberapa bangunan yang dibakar menyisakan puing-puing.

Di persimpangan, aku berhenti dan meminta sopir taksi menunggu. Aku lalu berjalan sambil mengingat–ingat sebuah jalan yang ditutupi dengan rimbun pepohonan.

Dua orang pria muda muncul di antara rimbun pepohonan dengan senjata diselempangkan di dadanya. Ia menatapku penuh curiga. Matanya tampak awas menatap sekeliling. Setengah takut aku mengatakan padanya bahwa Mario memintaku datang ke tempat ini. Salah seorang di antara mereka mengenaliku, ternyata orang yang mengantarku pulang ke hotel.

Ia membawaku masuk ke rerimbunan pohon dan memintaku menunggu. Setelah cukup lama, Mario muncul, wajahnya tegang.  Ia memandangku dengan tatapan aneh.

”Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya.

”Bukankah kau yang mengirimiku pesan agar aku menjumpaimu di sini? Katanya kau sudah menemukan alamat Ana,” kataku, dengan nada takut.

”Ini jebakan!” teriak Mario.

Seiring dengan itu terdengar suara tembakan dari kejauhan.

Mario terjatuh tak jauh dari kakiku. Sebutir timah panas menembus punggungnya. Tubuhnya tak bergerak lagi, bersama dua orang yang tadi bersamanya.

Aku bersembunyi saat beberapa orang menggotong mayat–mayat itu. Mereka sepertinya melihatku, tapi tak memedulikanku. Di antara orang–orang itu, aku melihat sopir taksi yang tadi mengantarku.

Koran, radio, dan televisi memberitakan tentang tewasnya seorang pemberontak bernama Mario Jose bersama kedua temannya, dalam kontak senjata, lengkap dengan foto Mario ketika masih hidup. Tetapi, tak ada namaku di situ.

Hatiku diliputi pertanyaan, siapa sesungguhnya yang telah mengirim pesan itu dan mengapa aku langsung bisa memercayainya. Mungkinkah seseorang memanfaatkan pencarianku terhadap Ana untuk menjebak Mario? Mungkin seseorang yang melihatku saat menolong Mario. Aku takut orang–orang Mario mencariku dan menyalahkanku sebagai penyebab kematiannya.

Maafkan aku Mario, sungguh di luar yang kuperkirakan, desahku. Rasa bersalah sebagai penyebab kematiannya menyelimuti hatiku.

Kelelahan yang mendera dan rasa putus asa membuatku mengambil keputusan untuk menghentikan pencarian terhadap Ana de Sousa. Aku juga memutuskan segera kembali ke Jakarta.

Saat hendak keluar kamar, aku menemukan sepucuk surat di bawah pintu kamarku. Aku memungutnya. Di bagian depan surat itu tertera namaku yang ditulis menggunakan mesin komputer. Aku memeriksa bagian belakang amplop surat, ternyata tanpa pengirim. Perlahan–lahan aku membuka surat itu dan menemukan sebuah alamat ditulis dengan mesin komputer pada sehelai kertas ukuran kuarto. Berikut sebuah pesan yang isinya mengatakan bahwa Ana de Sousa tinggal di alamat ini. Aku bertanya–tanya, siapa sesungguhnya yang mengirimkan surat itu. Rasanya tidak mungkin Mario. Mungkinkah orang suruhan Mario? Mungkinkah polisi atau seseorang yang membaca iklanku? Bisa jadi itu adalah alamat palsu untuk mengecohku.

Rasa penasaran menggodaku untuk mendatangi alamat itu dan membuatku memutuskan mencari Ana de Sousa sekali lagi.

Setelah melewati perjalanan hampir sebelas jam dengan bus yang penuh sesak oleh penumpang dan barang bawaan mereka yang sebagian besar berupa bahan pokok makanan, aku tiba di Distrik Covalina. Daerah ini terletak di Kota Suai, perbatasan Motamasin. Hari menjelang sore, perjalanan tadi memang terlambat, karena bus baru datang hampir pukul tujuh pagi.

Aku langsung mencari alamat itu. Setelah menyusuri jalanan dengan berjalan kaki dan bertanya kepada beberapa orang, akhirnya aku sampai di sebuah rumah sederhana, dengan halaman luas. Kemudian, setelah mencocokkan rumah itu dengan alamat yang kumiliki, aku mengetuk pintu beberapa kali. Seorang wanita yang hampir seusiaku membuka pintu.

Aku bertanya apakah ini rumah Ana de Sousa. Ia menjawab bahwa ini bukan rumah Ana de Sousa, melainkan rumah neneknya yang bernama Sofia da Silva. Aku memperlihatkan kertas alamat itu padanya. Ia melihatnya dan membenarkan bahwa rumah ini adalah rumah yang dimaksud dalam alamat itu.

Aku berpikir, mungkinkah Ana telah berganti nama menjadi Sofia dan wanita ini tidak mengetahuinya. Setengah memaksa, aku meminta bertemu dengan neneknya. Ia terlihat kesal, karena aku tak memercayai ucapannya.

Seorang wanita tua menghampiri dan bertanya apa yang terjadi.

”Ini nenekku, namanya Sofia da Silva, bukan Ana de Sousa,” katanya, menjelaskan.

Wanita itu menjelaskan maksud kedatanganku padanya. Nenek itu menatapku beberapa saat sebelum akhirnya mempersilakanku masuk ke rumahnya. Aku duduk di kursi tamu, berhadapan dengannya. Cucu perempuannya duduk menemani di sebelahnya.

”Cucuku pasti tak akan mengenal orang yang kau cari. Dia baru datang dari Kupang beberapa hari lalu,” katanya, menjelaskan.

Kemudian aku memperkenalkan diri. Saat menyebut namaku, ia memintaku mengulang namaku.

”Kau mencari Ana de Sousa?” tanyanya padaku, dengan suara lirih.

Aku menganggukan kepala. Kemudian menjelaskan bahwa aku menemukan sepucuk surat dan sebuah puisi, di buku milik ayahku. Aku memperlihatkan kedua benda itu padanya.

Nenek terlihat kesulitan membaca surat itu, mungkin karena tintanya sudah memudar. Ia meminta cucu perempuannya untuk membacakan surat itu. Setelah selesai, kepalanya mengangguk–angguk seolah memahami sesuatu.

”Di manakah ia sekarang, Nek?” tanyaku, tak sabar.

Aku ikut–ikutan memanggilnya dengan sebutan nenek.

”Sebelum kau tahu di mana ibumu sekarang, ada baiknya kau tahu tentang ibumu terlebih dahulu,” katanya, memberi saran.

Ketika ia menyebut nama Ana de Sousa dengan sebutan ibumu, hatiku bergetar. Rasanya aku tak perlu menanyakan alasan ia menyebutnya demikian, hanya sekadar menegaskan bahwa ia benar–benar ibuku.
”Aku bekerja pada keluarga ibumu, sejak ia berusia lima tahun. Keluarga itu sangat baik. Aku tidak tahu apa kesalahan mereka dan apa sesungguhnya yang terjadi, ketika serombongan orang membawa ayah dan ibunya serta seorang adik laki–lakinya,” ceritanya.

”Bukankah rumah itu dijual?” tanyaku.

Aku teringat rumah yang pernah kukunjungi beberapa waktu lalu.

”Kau sempat pergi ke sana rupanya. Rumah itu tidak dijual, tetapi diambil begitu saja.”

”Ibumu saat itu sedang bersamaku, kami sempat menyelamatkan diri, ke rumah salah seorang saudaraku. Ketika itu ibumu sedang mengandungmu, tak lama kemudian kau lahir. Suatu ketika, saat aku kembali dari pasar, ia sudah tak ada di kamarnya.  

Di bawah bantal aku menemukan surat bersama puisi itu. Awalnya hanya dua lembar kertas yang dilipat seadanya. Aku memasukkannya ke dalam amplop sebelum diberikan kepada Maria, bersamamu yang saat itu belum genap berusia satu bulan.

Sepertinya ia sudah tahu apa yang akan terjadi dengan hidupnya. Aku berusaha mencarinya, tetapi ibumu seperti hilang ditelan bumi. Aku senang saat Maria dan suaminya membawamu pindah ke Jakarta. Situasi dan kondisi di sini ketika itu tidak baik bagi perkembanganmu.”

”Bagaimana dengan ayahku?” tanyaku, kembali tak sabar.

”Ketika itu ibumu memiliki kekasih bernama Alfonso. Mereka telah berpacaran cukup lama dan bertemu secara sembunyi–sembunyi. Alfonso lebih sering berada di hutan, hanya saat–saat tertentu saja ia turun ke kota. Dalam perjalanannya, Ana bertemu dengan seorang tentara yang terluka dan dirawat di rumah sakit Dili. Seingatku ia bernama Priyono, dari Jawa. Sepertinya ibumu jatuh cinta pada orang Jawa itu. Di waktu–waktu tertentu, ia terlihat bersama tentara itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan Alfonso. Aku sempat mengkhawatirkannya. Situasi ketika itu membuat kita serba salah. Seseorang mengatakan bahwa Ana hanyalah umpan untuk menangkap Alfonso. Tetapi, Ana telanjur memercayai perasaannya, cinta membuatnya buta. Hanya ibumu yang tahu siapa sesungguhnya ayahmu. Tapi, mungkin saja Maria tahu, tetapi kau harus maklum jika ia tak memberitahukannya padamu. Seperti aku memaklumi ibumu saat ia tak mau memberitahukannya padaku. Alfonso meninggal dalam sebuah pertempuran, sedangkan tentara itu, aku tidak tahu kabarnya sekarang.”

Aku teringat puisi yang ditulis ibuku dan kini aku bisa mengungkap makna puisi itu, sebagaimana pernah diterjemahkan Om Hendrik ketika itu. Puisi yang ditujukan pada kedua orang pria itu.

”Di manakah ibuku sekarang?” tanyaku, makin tak sabar

”Dua tahun lalu saat aku sedang berada di Dili bersama anakku, aku melihat seorang wanita yang sedang berjalan dengan wajah menunduk, seolah ketakutan, dengan penampilan tak keruan. Dari cara berjalannya, aku bisa mengenali bahwa itu ibumu. Aku menghampirinya dan ia benar–benar ibumu. Ia tak mengenaliku. Sungguh merupakan kuasa Tuhan melihatnya masih hidup. Kemudian aku membawanya ke sini. Ia dalam keadaan sakit parah dan selalu terlihat ketakutan. Dokter yang memeriksanya mengatakan ibumu mengalami penyiksaan dan kekerasan yang hebat selama beberapa tahun, kemungkinan mentalnya terganggu. Setelah beberapa bulan berada di sini, kondisinya membaik dan ia mulai mengenaliku. Aku sempat bertanya tentang ayahmu, tetapi ia sepertinya menyimpan rapat–rapat rahasia itu. Ketika kukatakan bahwa kau dibawa oleh Maria dan suaminya ke Jakarta, ia terlihat sangat bahagia. Tak lama setelah itu, ia meninggal.”

Mata Nenek terlihat berkaca–kaca. Setelah itu, suasana menjadi sunyi. Aku tak dapat berkata–kata, kerongkonganku terasa tercekat. Kemudian Nenek masuk ke dalam rumahnya dan kembali dengan membawa sebuah tas kecil. Ia memasukkan jemarinya ke tas itu dan mengeluarkan sebuah benda. Satu foto berukuran kartu pos, yang langsung diserahkan padaku.

”Sebelum meninggal ia minta difoto, katanya kalau–kalau kau mencarinya. Ia seolah yakin, suatu hari kau akan mencarinya,” katanya.

Wajah ibuku, aku meraba foto itu. Mata yang bulat dengan sinar ketakutan. Rambutnya ikal. Bibirnya terkatup rapat. Tak ada se­nyum di wajahnya. Kedua tulang di sisi lehernya tampak menonjol, menandakan tubuhnya yang kurus.

”Matanya mirip dengan matamu,” katanya berkomentar.

Ia dan cucu perempuannya mengantarku ke makam ibuku yang tak jauh dari rumahnya. Aku berdoa untuk ibuku. Aku merasa seolah–olah ia ada di depanku. Tubuhnya terlihat kurus dan lemah, tetapi ia mencoba tersenyum. Sebelum pulang, Nenek memelukku hangat. Aku mengucapkan terima kasih padanya. Untuk semua yang sudah ia lakukan pada ibuku.

Sepanjang perjalanan pulang wajah ibuku membayang di pelupuk mata, bergantian dengan wajah Alfonso dan Priyono, wajah yang kukarang–karang sendiri. Salah satu di antara mereka bisa jadi adalah ayahku.

Aku merasa hidup menjadi begitu aneh. Rasanya sulit untuk diterjemahkan dalam bahasa apa pun. Mungkin, hanya hidup itu sendirilah yang mampu memahami bagaimana seharusnya hidup itu dilakoni. Aku mencoba untuk membuat pengertian sendiri.

Menurutku, hidup itu ibarat sebuah alur atau plot dalam cerita. Sebuah rangkaian cerita yang dibentuk oleh rangkaian peristiwa. Terkadang penuh kebetulan, tak terduga, bahkan penuh misteri. Dan, setiap orang memiliki plot hidupnya masing–masing. Hanya, bedanya, kita tidak pernah tahu, bagaimana cerita itu akan berakhir. Seperti halnya kematian, sesuatu yang pasti terjadi. Hanya, kapan waktunya, kita tak pernah tahu, dan bagaimana caranya pun kita tidak tahu.

Seperti perjalananku mencari Ana de Sousa, aku tidak tahu jika akhirnya hanya akan menemukan sebuah kisah. Mungkin seperti itu pula hidup yang digariskan bagi ibuku. Ia pun tak pernah tahu, jika hidupnya akan berakhir tragis.

Aku memenuhi janjiku pada Mario. Sebelum pulang ke Jakarta, aku menyempatkan diri mampir ke pemakaman umum Santa Cruz yang lokasinya bersebelahan dengan Taman Makam Pahlawan Seroja. Aku berdoa untuk dua orang laki–laki yang dicintai ibuku, yang mungkin saja dimakamkan di kedua tempat itu.

Aku tak akan memperpanjang kisah dengan melakukan pencarian siapa sesungguhnya ayahku. Biarlah itu semua menjadi bagian kisah dan sejarah yang tak pernah tercatatkan. Bukankah memahami sejarah lebih penting daripada sekadar mencatatkannya.

No comments: