12.22.2010

Aphrodite

Prolog
Malam memang selalu gelap. Namun, malam ini lebih gelap dari malam-malam lainnya. Bulan hanya serupa garis lengkungan tipis yang redup. Hampir mati cahaya. Angin diam menunggu. Langit menahan napas. Tapi, ini adalah waktu yang tepat. Alam telah menunjukkan tanda-tandanya. Kunyalakan lilin putih. Perlambang pasangan idealku. Nyalanya terang. Angin kecil membuat nyalanya bergoyang-goyang bicara. Kuacungkan benda itu sampai panasnya terasa menerangi wajahku. Aku merasa mantap.

“Dewi Aphrodite, aku menginginkan pria yang bisa membuatku melupakan kekuranganku. Yang peka menjaga perasaanku. Yang bisa kuajak berbicara apa saja. Yang tidak pernah membagi hatinya untuk orang lain.”

Kuletakkan lilin berbatang putih tadi pada wadah kerucut perak yang lekuk ukirannya telah berwarna hitam. Kunyalakan sebatang lilin berwarna merah. Warna perlambangku. Warna yang selalu mampu merambati setiap ujung sarafku dengan api secara hampir serentak. Ketika kugenggam batangnya, panas tetesan lilin melelehi jari-jariku, mempertajam tekad. Aku akan terus melanjutkannya. Kugenggam batangnya menjauhi dadaku.

“Dewi Aphrodite, berikanlah untukku cinta sejati. Cinta yang tidak pernah berpaling. Cinta yang selalu penuh kegairahan. Cinta yang selalu ingin memberi dan cinta yang selalu banyak diberi. Cinta yang membuatku menyesal bahwa hidup harus selalu ditutup dengan kematian. Cinta yang….”

Aku kehabisan napas. Apa lagi, ya? Aku terdiam. Sebenarnya, apa yang kuinginkan? Arti cinta sejati pun aku tak tahu.

“Pokoknya, Dewi Aphrodite, aku menginginkan cinta. Pasangkanlah dan satukanlah aku dengan pasangan sejatiku.”

Kuletakkan lilin merah pada tempat perak lainnya. Kedua lilin berbeda warna itu kini berada pada dua sisi berlawanan di sebuah meja kayu cokelat tua. Kugoreskan kapur pada permukaannya yang kasar. Jejak yang dihasilkan terputus-putus oleh parutan arah serat kayu yang melintang. Namun, tetap bisa membentuk gambar hati kecil yang jelas dan simetris pada bagian tengah.

Kupejamkan mata, setengah memaksa anganku untuk mengembara. Mencoba, merasai, dan meraba adalah hal yang mungkin dapat dikatakan sebagai cinta yang bahagia. Cukup sulit membayangkannya. Namun, setidaknya jiwaku berhasil dibawa melayang sejenak untuk kembali jatuh mengayun perlahan dalam balutan rasa damai. Itu cukup. Kutiup nyala lilin. Besok aku akan bermeditasi lagi, merapal mantra, dan menutup ritual dengan mendekatkan kedua lilin itu satu inci setiap harinya. Sehingga, pada malam purnama, kedua benda itu akan bersentuhan di tengah hati. Demikian juga aku dan pasanganku.

Hari yang kutunggu akan tiba. Hanya 15 hari lagi.

Hari pertama
Aku penasaran luar biasa. Bagaimana tanda-tanda itu akan terbaca? Apakah ia akan begitu saja menyeberangi perlintasan diagonal garis hidup kami? Apakah aku dapat mengenalinya dalam waktu seperseratus detik? Mungkinkah semuanya terjadi jauh lebih cepat dari yang kuduga? Apakah kami akan saling menyatakan cinta dan menikah pada hari itu?

Masih pukul 7 pagi. Aku terlalu cepat sampai di kantor. Antrean di depan pintu lift tidak ramai seperti biasanya. Hanya ada seorang pria dalam setelan kemeja hijau lumut yang membuat bahu besarnya makin kontras dengan dinding kuning pucat lift. Tengkuknya berwarna cokelat gelap, namun bersih oleh cukuran rambut yang rata dan rapi.

Langkahku yang kian dekat memperjelas sosoknya. Sebelum sepuluh langkah terakhir terjembatani, jantungku berhenti berdegup. Keterkejutan membuatku mengambil langkah berlawanan, berbalik cepat seperti kucing tergebah air panas. Tapi, itu tidak terasa cukup. Sesuatu mencambukku untuk bergegas menghilang. Bersembunyi. Secepat mungkin membuat jarak, menghilangkan ruang yang menghidupkan lagi masa laluku dengannya. Bowo.

Di balik dinding menuju basement, yang menutupi keberadaanku dari pandangannya, aku memejamkan mata, sambil menyadarkan tubuh pada dinding yang dingin. Aphrodite, kenapa aku harus melihatnya lagi? Setelah bertahun-tahun tidak bertemu, kenapa harus berjumpa setelah aku merapalkan mantramu. Apa maksudmu?
Aku ingat obrolanku dengan Ibu, ketika umurku masih 27 tahun.

“Re, kamu boleh bilang cinta ketika berpacaran. Tapi, kalau mencari jodoh, pilihlah pria yang paling mencintaimu. Jangan pilih yang paling kamu cintai. Dalam suatu pernikahan, seorang wanita akan makin banyak berkorban, sementara cinta pria akan makin luntur. Memilih pria yang mencintaimu akan lebih memudahkan hidup. Sementara memilih pria yang paling kau cintai, akan terus menuntut pengorbanan.”

Aku terdiam. Bukan termakan oleh nasihatnya. Terkadang, ketika orang bercerita, akan terefleksikan sesuatu yang sebenarnya adalah cerita tentang dirinya sendiri. Ibu, ada hal yang tidak pernah kau ceritakan. Pantas saja hubungan Ibu dengan Ayah begitu datar. Ibu, sebenarnya siapa yang dulu kau cintai? Tidakkah sekarang kau masih tetap merindukannya?

“Ibu, karena itukah Ibu memilih Ayah? Apakah Ibu yakin tidak bisa lebih bahagia dari sekarang, jika memilih pria yang Ibu cintai?”

Raut wajah Ibu berubah. Antara sedih dan marah. Ia kehilangan kata. Ia berbalik meninggalkanku. Sejak itu, tidak pernah ada perdebatan lagi.

Aku menggigit bibir. Dulu, aku begitu yakin dengan pendapatku. Kini, setelah umurku merambat naik, tanpa pernah bisa menemukan pria yang kucari, aku mulai sangsi, apakah sebenarnya aku dulu telah melakukan kesalahan. Tak kusangka, aku akan melihatnya lagi di sini. Di gedung yang sama. Bowo. Ia masih berkulit gelap, namun kelihatan lebih bersih dan tampan.

Bagaimanakah kabarnya? Sudahkan ia menikah? Bahagiakah ia? Menyesalkah aku? Kemungkinan itu begitu menakutkan, karena aku dihadapkan pada kenyataan yang memaksaku mengakui, aku dulu telah salah menolaknya.

Aku baru berani mendekati lift lagi, ketika menunggu cukup lama. Dalam keheningan ia membawaku naik ke atas. Kantor masih sepi. Sesampainya di mejaku, kuempaskan semua beban dengan lemparan tas kerjaku di kursi.

“Hai, Rere, tumben datang pagi!”

Astaga, Deden! Kehadirannya lebih menyebalkan daripada bakteri atau virus. Mereka bisa dengan mudah dibasmi dengan antibiotik. Tapi, semua omongan sok tahumu sering membuatku gusar berhari-hari, walau wujud fisikmu telah enyah entah ke mana.

“Ini buku yang kemarin aku pinjam. Aku kembalikan! Buang-buang waktu saja membaca buku setebal itu. Kenapa, sih, semua pengarang sok tertele-tele seperti itu. Paling inti bukunya cuma 1 halaman. Re, kamu rangkumkan saja untukku, biar aku gampang berdiskusi dengan kamu.”

Aku diam saja. Pertama, bukan aku yang menawari buku. Kedua, tolong carikan alasan, kenapa aku harus merangkumkan untuknya. Ketiga, siapa pula yang mau berdiskusi dengannya?

Aku meletakkan buku yang ia pinjam dengan kasar di atas meja. Aphrodite, bukan jenis ini kan pria yang akan kau dekatkan padaku?

“Re, bukannya mau mengajari. Wanita kan punya jam biologis. Pria tidak akan mau pada wanita yang sudah lewat tanggal kadaluwarsanya untuk melahirkan. Kamu kan sudah 35. Itu sudah hampir lewat. Kamu harus lebih baik menghadapi pria, agar cepat dapat jodoh.”

Aku mendelik galak. Dia tidak perlu sekejam itu mengingatkanku. Pemikiran itu sudah lebih dari sekadar gajah di pelupuk mata. Binatang seberat itu bahkan sudah menginjak kepalaku setiap akan tidur dan begitu bangun dari mimpi. Aku harus setengah mati membangun rasa percaya diri dengan mengingatkan bahwa aku tidak terlalu jelek, tidak ada yang salah dengan caraku berperilaku, bahwa jodoh belum ada, karena memang belum saatnya.

Andai saja aku juga punya mantra lain untuk menyihirnya menjadi hewan serupa kutu. Pasti menyenangkan sekali memites tubuhnya di antara jepitan dua kuku jari dan melihatnya gepeng.

Huh! Aku sebal karena dapat dengan mudah dibuat sebal oleh kejadian yang menyebalkan itu. Siapa bilang wanita-wanita di zaman Siti Nurbaya bernasib malang? Setidaknya, mereka tidak perlu ke luar dunianya untuk mencari-cari pria, yang pada akhirnya hanya menguras emosi. Wanita-wanita pada masa itu hanya belajar masak dan berdandan, lalu cukup berkipas-kipas di depan jendela. Biar orang tua yang mencarikan jodoh buat mereka.
Ketika berbelok masuk pantry, aku menabrak Pak Ray.

“Eh, maaf, Pak,” kataku, tergagap.

Ia membetulkan letak kacamatanya dan berkata tanpa perlu menatapku, seolah wanita di hadapannya itu tidak kasatmata. ”Tidak apa-apa, Re. Pekerjaan kemarin sudah selesai? Nanti dibawa ke ruangan saya, ya!”

Sebuah suara yang selalu dalam rentang oktaf yang sama pada berbagai suasana emosi. Tapi, kali ini aku merasa nada itu menyiratkan sesuatu yang jauh, dingin, dan berjarak.

“Ya, Pak!”

Sekarang semua isi kepalaku pekat oleh kabut bayangannya. Ia memang satu dari sedikit pria yang mampu bernegosiasi dengan waktu. Makin tua, jejak-jejak masa justru makin mempermatang garis-garis di wajahnya, seperti sketsa yang akhirnya jadi, membentuk sebuah gambar yang akhirnya sempurna.

Detak tumit sepatu yang tajam menumbuki lantai membuatku menoleh. Ibu Fonda. Ia tampak begitu cantik. Tak ada yang meleset dari tataan yang cermat, mulai ujung kepala hingga ujung kaki. Rambutnya licin terikat rata di tengkuk. Busananya begitu rapi dan kaku, sehingga dapat membuat sepotong sabun tergores dengan menorehkannya pada lipatan gaunnya. Tercium aroma parfum bunga yang manis ketika ia mendekat.

Aku menunduk dengan canggung, ”Pagi, Bu.”

“Pagi,” jawabnya, tawar, tanpa perlu menoleh.

Baginya, tak ada perbedaan antara makhluk bernyawa yang bernama pegawai dengan segala macam inventaris kantor yang mati dan tak bergerak. Ia melesat ke ruangan Pak Ray dengan keanggunan seorang ratu. Wanita itu yakin, bersuamikan pria terlalu tampan berarti harus sering datang ke kantor pada jam kerja yang tidak wajar, atau menelepon berkali-kali, hanya untuk memastikan bahwa pria itu tetap miliknya.

Aku mendesah. Heningnya udara dari detak sepatu Ibu Fonda hanya memberi kesempatan bayangan Pak Ray untuk menyelubungi setiap inci sel-sel memoriku. Aku kembali terpaku mengingat sorot matanya yang menembus sekat-sekat hati yang sudah tipis dan transparan. Terbayang bagaimana sentuhan tangannya yang putih dan halus ketika menggeserkan jepitan kacamata di pangkal hidungnya yang tirus dan tinggi. Bagaimana tonjolan-tonjolan bahu dan dada bidangnya menggelenyarkan goda yang tak mampu disembunyikan oleh kemeja putih bersihnya.

Setelah sekian lama, kenangan itu masih sanggup menjentikkan bulir-bulirnya yang sekasar kulit padi pada luka terbuka di permukaan hati. Suatu malam, kami berdua berdiri saling menjauh di dalam kotak elevator, ketika tiba-tiba tatap yang dibalas tatap, memaksa kaki melangkah untuk memangkas jarak yang ada, ketika naluri mengajari kami untuk meletakkan tangannya di pinggangku, melekatkan telapak tanganku yang mati rasa oleh dingin di lehernya yang lembut, ketika persentuhan dua bibir mampu membuihkan campuran antara kenikmatan dan keindahan.

Setelahnya, semalaman aku tak dapat tidur dengan pikiran bersulur-sulur mencari makna. Aku tahu itu salah. Tapi, mungkinkah sesuatu yang salah mampu memberikan pesona begitu indah? Bayangan Ibu Fonda yang akan mencakar-cakarkan kukunya di wajahku, tidak sanggup membuat rasa membuncah ini surut. Aku terlena, terhanyut dan mabuk.

Namun, harga diri memang mudah dilukai. Ketika bertemu pada pagi harinya, ia begitu tawar mengabaikanku, seolah kejadian semalam tidak pernah ada. Aku terpojok dalam antiklimaks, yang membuat batinku menjerit-jerit. Apakah semalam tidak terasa luar biasa juga buatnya? Apakah itu cuma dorongan nafsu semata, sementara aku merasakannya sebagai cinta murni yang mendesak mencari jalan? Aku merasa dimanfaatkan dan dicampakkan.

Meski begitu, sungguh sulit melupakannya. Jangankan itu, membencinya pun aku tak sanggup. Karena, di antara ribuan detik aku membencinya, di antara jutaan detik aku terombang-ambing antara mencintai atau membencinya, terkadang aku terkejap-kejap oleh guyuran cinta yang membanjur sejuk, sewaktu mataku menangkap caranya memandang. Untuk kesekian kalinya, aku akan merasa seperti bukan apa-apa dan begitu bodoh, karena mengira ada apa-apa.

Seperti ketika aku berjalan melewati ruangannya, kilatan seperempat detik pun cukup dapat menangkap, pandangan matanya melukiskan suatu rasa, yang kutakut untuk mengiranya sebagai cinta, namun juga tak sanggup kutanggung jika itu bukan cinta. Semua penolakan membuatku belajar untuk tidak pernah membiarkan sedikit pun bibit perasaan itu tumbuh kembali.

Aku mendesah. Tadi pagi Bowo. Sekarang Pak Ray. Apakah aku telah salah mengucapkan mantra?

Aphrodite, jangan pernah pria itu lagi. Karena, aku bisa dengan mudah terpuruk, tersungkur, dan bertekuk lutut. Jatuh cinta tanpa syarat padanya.

Hari kedua
Tepat pukul 6 sore. Dengan hati berdebar-debar aku menunggu lift. Kuucapkan doa dengan khusyuk. ”Jangan sampai bertemu Bowo.”

Sungguh menyebalkan, mulai kemarin aku selalu ketakutan jika hendak memasuki kotak ini. Kumaki-maki setan beton yang telah menyeretnya pindah ke kantor ini. Sayang sekali, kantorku berjarak 18 lantai dari lobi. Jika tidak, aku lebih baik berkeringat naik-turun tangga daripada harus mati sakit jantung setiap kali pintu ini terbuka.

Sebuah bunyi pertanda berdenting.

”Jangan Bowo. Jangan Bowo.”

Bagai menanti tirai yang membuka pertunjukan horor, aku menatap pintu yang perlahan terbuka. Fuih! Doaku terkabul. Pria asing tak kukenal.

Dengan napas lega, aku melangkah masuk. Lift berjalan perlahan. Sebuah bau rumput bercampur rempah menarikku untuk menyadari keberadaannya. Unik sekali. Ia memakai dasi dengan motif para personel Beatles. Pria jenis seperti apakah yang berani tampil sebeda itu? Penggemar fanatik? Penikmat hidup yang tidak takut komentar sosial? Atau, hadiah ulang tahun dari kekasih galak, yang terpaksa harus dipakai?

Aku menyeringai, tepat ketika ia memandangku. Rasa malu terpergok membungkam senyumku, tapi ia ikut menyeringai lucu, seolah memaklumi apa pikiranku. Senyumnya menguar sesegar harum tubuhnya. Kami akhirnya berdiri bersisian, tanpa saling memandang, namun tersenyum-senyum sendiri.

Tiba-tiba detak jantungku berdegup menembus dinding. Aphrodite, apakah ini perbuatanmu? Apa kejadian selanjutnya yang akan terjadi? Apakah lift akan macet? Sungguh mendebarkan untuk berjam-jam terjebak. Jam-jam pertama yang akan membawa kami pada obrolan yang makin menghapus jarak. Jam-jam yang terus merangkak untuk menyadarkan dua jiwa untuk menjadi satu. Jam-jam yang memberi waktu untuk menegaskan kesatuan itu.

Lift sedikit bergoyang. Ayo, jadilah rusak! Mati! Macet! Atau, apa saja. Yang penting terjadi peristiwa yang akan kami kenang seumur hidup. Mungkin, nantinya kami akan berulang kali menceritakan setiap detail kejadian ini pada semua teman kami. Begitu berulang-ulang, sampai tidak peduli lagi, jika ada yang pernah mendengar ulangan cerita itu sampai 3 atau 4 kali. Mungkin, cerita ini juga akan terus menurun sampai anak cucu. Mungkin….

Tapi, lift baik-baik saja dan terus meluncur turun meninggalkan anganku mati di atas sana. Di lobi, pria itu melangkah keluar. Sama sekali lupa bahwa telah memanah mabuk seorang wanita oleh senyumnya. Kupandang punggungnya ketika ia melangkah pergi dari dunia harapku. Aku mencari napas pada udara yang tiba-tiba menjadi padat dan berat. Kucoba menghibur diri sendiri. Bagaimana jika bukan dia orangnya?

Dengan sebal aku sampai di rumah. Sudah lewat pukul 9 malam. Bisa dibilang, 2 hari ini tidak ada apa pun yang terjadi. Mungkin, Aphrodite masih sibuk mengurus cinta-cinta yang lain. Mungkin, malam ini aku harus lebih khusyuk merapalkan mantra. Mungkin, aku masih harus menunggu giliranku 13 hari lagi. Tapi, aku tetap tidak merasa terhibur, tetap kesal karena mantra yang belum manjur. Ya, ampun! Ternyata, kekesalanku harus menukik sampai ke puncaknya, ketika menemui ujung belakang mobil Tondi meng-halangiku untuk memasukkan kendaraan ke dalam garasi.

Oke, Tondi. Aku tahu orang tuamu punya mobil lebih dari yang diperlukan, sehingga kendaraanmu terlalu sesak untuk diparkir di dalam halaman. Tapi, itu kan urusan kalian sendiri. Bukan berarti boleh melanggar wilayah teritoriku!

Seharusnya, aku turun dan mengetuk pintu rumahnya. Seharusnya, aku berbicara didahului dengan kata ‘maaf’, memintanya menggeser mobil. Seharusnya, aku juga mengucapkan terima kasih untuk dipenuhinya permintaan itu. Seharusnya! Namun, aku sudah puluhan kali melakukan hal itu dan setiap kali Tondi datang menengok orang tuanya, selalu saja terulang kejadian yang sama. Maka, untuk tetangga yang memiliki anak macam Tondi, lupakan dulu semua sopan santun yang sudah ditanamkan orang tua.

Kutekan tombol klakson keras-keras. Tak ada respons. Kutekan lebih keras lagi. Belum juga ada reaksi. Kutekan lagi, berulang-ulang dengan durasi panjang, mirip suara lokomotif kereta api. Masih tak ada tanggapan juga! Aku malah mendapatkan tatapan penuh teguran dari tetangga depan rumah, yang mengintip lewat sibakan tirai jendelanya. Ketika kuputuskan untuk menggedor pintu rumahnya, tiba-tiba saja ia muncul sambil nye­ngir menyebalkan.

“Aduh, Rere, ingin ketemu aku, ya. Ha…ha…he….”

Aku melotot. “Jangan ketawa kamu. Ini sudah kejadian kesekian kali. Nggak bisa, ya, diajak ngomong baik-baik? Kalau tidak punya halaman luas, jangan sok punya mobil banyak. Nggak malu makan tanah tetangga?”

“Oh, kamu cuma mau menyuruh mundurin mobil. Mau ngomong begitu saja berbelit-belit,” seringainya dengan nada merayu, seolah aku tadi sedang malu-malu berusaha mengatakan cinta padanya.

Aku tak sanggup mengucapkan apa pun, ketika Tondi memajukan kendaraannya. Kemarahan sudah menghilangkan kemampuanku untuk mencari kata-kata. Mungkin, sebaiknya tadi aku menabrak mobilnya saja, lalu pura-pura tidak sengaja menyerempetnya, agar bisa berkelit dari tanggung jawab untuk mengganti. Biar mobilku ikut tergores. Rasanya itu sepadan dengan bayaran kepuasan melihat Tondi mengelus-elus bagian belakang mobilnya yang penyok dengan wajah memelas.

“Begitu, dong, senyum!” Ia sudah ada di samping mobilku.

Aku malu sekali tertangkap senyum-senyum sendiri. Sebelum sempat mengambil napas, Tondi sudah berbalik melenggang meninggalkanku dengan tangan yang masih tegang mencengkeram bulatnya setir yang terasa lembap oleh keringatku sendiri.

Tanpa kuduga, ia berbalik.

Aku terkejut. “Ada apa lagi, sih?”

“Kalau marah-marah, kamu tambah cantik, lho! Jangan sering-sering marah, nanti aku makin naksir!”

Hah…?

Setelah kehilangan kata, sekarang aku kehilangan kemampuan untuk berpikir. Dasar! Sok ganteng! Sok paling cakep! Sok banyak yang naksir. Tapi, kenapa aku merasa senang juga, ya? Re, ingat, dia itu Tondi. Buaya berkepala empat dengan hati bercabang yang tak terhitung. Tak sulit untuk bilang cinta, karena hal termudah baginya adalah membagi-bagi hati dan perasaannya. Begitu lihainya, sehingga ia tetap dapat dengan cekatan membaginya, meskipun harus diiris setipis rambut dibelah tujuh.

Tondi terus berjalan memasuki rumahnya dengan santai. Sewaktu kecil kami sempat jadi teman sepermainan. Terkadang bertengkar. Terkadang rukun. Tapi, itu dulu sekali. Mulai SMP, lingkup pergaulan kami jadi berbeda. Ia kehilangan minat untuk bermain denganku, aku juga terlalu minder untuk menggabungkan diri dengannya.

Kepopuleran membuatnya begitu mudah bergonta-ganti pasangan. Bukan sekadar bergonta-ganti, ia juga suka punya banyak pasangan dalam satu waktu. Ia tinggi dan tegap. Tidak terlalu tampan sebenarnya. Namun, ia dikaruniai daya tarik yang turun langsung dari langit. Sekali melihatnya, kaum hawa biasanya tak kuasa untuk melirik, mengerling, dan mencuri-curi pandang lagi, mencari-cari apa sebenarnya yang menarik. Bahkan, dalam keramaian sesesak apa pun, ketika kepadatan seharusnya mengaburkan fokus pada satu sosok, pesonanya tetap mampu membuatnya sebagai figur paling bersinar untuk menjadi pusat semua pandangan.

Yang paling jelek, Tondi menyadari kelebihan itu dan memanfaatkannya untuk mendapatkan siapa pun, tanpa perlu banyak berusaha. Kabarnya, sampai sekarang pun ia masih begitu. Kuduga, dari kariernya yang terus meroket, permainannya dalam menggaet banyak wanita pasti lebih fantastis lagi.

Aku mengeluh. Kalau bukan berstatus lajang, pria-pria yang tersedia hanyalah pria semacam Deden dan Tondi. Tidak heran jika aku sulit mendapat jodoh. Dunia ini isinya cuma pria-pria menyebalkan!

Ketika membuka pintu, Ibu sudah berdiri di depannya. Di tangannya tergenggam sebuah kartu kecil. Sebelum aku sempat bertanya, ia sudah menyemprotku terlebih dahulu.

“Rere, kamu nggak malu sudah besar masih berantem begitu? Yang sabar, dong, Nak. Anak sebaik Tondi, kok, digalakin begitu. Dia itu anak berbakti, begitu rajin menengok orang tuanya. Ibunya bilang, dia sekarang sudah jadi apa, tuh, vice president? Lalu, dia baru saja pindah lagi ke apartemen elite. Masih muda sudah sehebat itu, ya?”

Tampaknya Ibu lupa bahwa Tondi sebenarnya seumur de­nganku. Masih muda, katanya? Seingatku, semua nasihat Ibu untukku selalu didahului dengan kata ‘kamu sudah berumur’ sebagai penghalusan dari kata ‘sudah tua’.

“Aduh, Ibu, itu kan biasa saja. Ibu pegang kartu apa, sih?” tanyaku, mencoba mengalihkan.

“Wah, sampai lupa. Re, ada anak teman Ibu yang sedang mencari jodoh juga. Ibu sempat dikenalkan. Orangnya oke. Ibu perlihatkan foto kamu dan sepertinya dia berminat. Jadi, Ibu beri nomor ponselmu padanya. Tidak apa-apa kan, Re? Yang ini benar-benar oke, kok! Ini kartu namanya.”

Biasanya, aku langsung menolak siapa pun yang ditawarkan Ibu dan marah jika ia telah melakukan inisiatif sejauh itu. Pria yang sampai memerlukan bantuan ibunya untuk mencari jodoh, biasanya aneh. Sempat sekitar 3 atau 4 kali aku mengikuti perjodohan yang diatur oleh para ibu itu. Semua langsung tidak lolos seleksi pada 10 menit pertama. Mereka terdiri dari dua jenis: yang hanya bisa berbicara seputar diri sendiri dan pria yang tidak tahu mau bicara apa. Membosankan!

Tapi, kali ini adalah pengecualian dari yang kemarin-kemarin. Sekarang aku mau mempertimbangkannya. Selain kartu namanya juga mengesankan, kupikir mungkin ini adalah jalan yang ditunjukkan Aphrodite.
Malamnya, ponselku berdering. “Halo, apakah ini Rere?”

Suaranya berat, sopan, dan tenang. Permulaan bagus.

“Ya, benar. Ini siapa, ya?” tanyaku, berpura-pura.

“Ini Andre. Tadi ibu saya mengenalkanku pada ibumu dan ia memberi nomor ponselmu. Kamu tahu kan ibu-ibu itu. Saya rasa, kamu juga sering sebal dengan segala perjodohan ini. Tapi, tidak tahu kenapa, ketika melihat fotomu, kupikir tidak ada salahnya mencoba. Ini pun kalau kamu setuju!”

Pandai berkata-kata dan jujur. Mengesankan.

Aku tertawa kecil. “Oh, begitu. Tapi, ini tidak adil. Aku sama sekali belum melihat fotomu.”

“Kupikir, kalau sekadar foto, aku bisa mengirimimu foto-foto model ganteng yang bisa dengan mudah kucari di internet. Bagaimana kalau kamu melihat aslinya saja? Besok pukul 7.00 malam di Kemang?”
Wah, langkah jitu.

“Oke. Kamu bisa mengenaliku, ’kan?”

“Sepertinya, bisa. Aku akan pakai kemeja putih bergaris dan celana gelap. Kutunggu, ya!”

Ugh, itu bukan tanda-tanda yang mencolok. Hampir semua pria mengenakan pakaian semacam itu. Tiba-tiba aku disergap rasa panik. Bagaimana jika ia sengaja memilih baju itu agar bisa cepat menyelinap tanpa ketahuan, jika tidak tertarik melihat penampilanku sebenarnya?

Hari paling panik sedunia.
Aku kehilangan kemampuan untuk berdandan! Entah apa yang salah, mengapa bedak dan foundation yang kupakai hari ini justru makin memperlihatkan kerut-kerut di sudut mataku. Ketika kutebalkan, jejak kerut itu justru terlihat makin dalam, sehingga aku harus pasrah dengan polesan tipis yang tidak menutupi kekurangan. Biasanya, aku selalu penuh percaya diri. Kini, diperlukan pertimbangan panjang untuk memutuskan apakah aku akan memakai polesan pipi atau tidak. Apakah itu akan mempersegar penampilan atau justru membuatku terlihat seperti bayi baru lahir yang tembem?

Memilih warna lipstik pun jadi ikut sulit. Kalau tidak terlalu tua, pilihan yang tersisa tampak terlalu muda, sehingga hampir tidak memberikan kesan lebih. Belum lagi saat aku teringat mataku belum terpermak.

Tiba-tiba mataku jadi setajam mikroskop untuk menangkap kekurangan dari semua koleksi bajuku. Tidak ada yang cukup bagus dan pantas. Semua menempel kaku dan makin menonjolkan kekuranganku. Jika kupilih setelan resmi hijau botol, aku makin terlihat tua dan suram. Jika kuambil setelan merah jambu ketat dengan rok mini dan dalaman seksi berwarna putih, aku seperti ’mengundangnya’. Akhirnya, kupakai jas dan bawahan hitam dengan kemeja putih. Formal, tapi tidak terlalu mengambil jarak. Kalau dia ingin lari, aku pun bisa ikut lari masih dengan harga diri.

Ketika kedua urusan itu selesai, masih ada urusan rambut yang belum tertata. Jika kugulung dengan pemanas sehingga menghasilkan rambut bergelombang, tentunya akan terjatuh di pundakku dengan manis. Tapi, seingatku, hasil seperti itu tidak akan bertahan sampai sore. Begitu petang tiba, ikal buatan dan ikal tidak beratur­an dari rambut asli hanya akan berperang arah, seperti baru selesai berjalan menembus angin ribut. Kalau rambut itu terjepit rapi di tengkuk, aku akan lebih mirip guru yang galak dan serius. Kepalaku mulai terasa mau pecah....

Aku sampai di kantor tanpa ada niat sedikit pun untuk bekerja. Namun, ketika melewati ruang Pak Ray, aku merasa lega luar biasa. Urusan dengan Andre akhirnya membuat seluruh indra mau merespon sesuai kehendakku. Kali ini, tidak ada rasa berdebar-debar, keringat dingin yang membuat mati rasa, kegugupan yang tidak perlu, atau harapan yang hanya membuat putus asa. Semua tenang, lurus dan netral. Aku tersenyum. Selamat tinggal, Pak Ray!

“Re!”

Aduh, apa lagi ini? Tidak bolehkah aku menikmati kegembiraan ini sebentar saja? Saat mendengar suaranya, jantungku kembali tak terkendali.

“Ya, Pak.” Aku memandang matanya, mencoba bersikap biasa, namun kembali terjerembab dalam gulungan jeratnya. Bagaimana mungkin ia punya mata yang begitu kelam dan membuat nyaman? Seolah perjalanan hidup telah mengajarinya rasa pengertian yang mendalam pada semua orang.

“Hari ini kamu jadi presentasi, ya. Pukul 9. Tolong panggil semua orang yang terlibat, ya.”

“Ya, Pak.”

Tapi, aku mengerutkan kening. Presentasi apa? Ya, Tuhan, presentasi proyek yang ditinggalkan Bu Ina. Dua bulan lalu, ketika Pak Joko, atasanku keluar, ia juga keluar pada waktu hampir bersamaan. Otomatis tidak ada yang melanjutkannya, sehingga beberapa minggu yang lalu aku ditunjuk untuk meneruskannya. Astaga, bagaimana aku bisa lupa? Aku memang sudah menyiapkannya sejak lama karena seharusnya sudah dipresentasikan minggu lalu. Pembatalan minggu kemarin membuatku terlalu tenang dan melupakannya. Jika sekarang harus presentasi, masih ingatkah aku tentang beberapa hal yang telah kurencanakan? Sekarang sudah pukul 8.55, tak ada waktu lagi untuk mempersiapkan diri. Ah, masa bodohlah!

Aku masih berkutat menebak kabel mana dicobloskan ke mana, ketika hampir semua orang sudah berkumpul di ruang meeting. Malangnya, aku adalah sejenis orang yang sering dimusuhi oleh semua barang hasil teknologi canggih. Semua kabel telah terpasang seperti seharusnya, namun layar proyektor tak juga memantulkan apa yang telah divisualisasikan komputer. Aku berkeringat. Deden turun membantu dan dengan mudahnya semua sarana presentasi itu menuruti kehendaknya. Tapi, aku malah makin sebal. Tidak rela rasanya bila harus berhutang budi padanya.

“Selamat pagi Bapak dan Ibu. Terima kasih untuk waktunya.”

Rasa gugup telah membuatku hampir terengah mengucapkan sebuah basa-basi yang telah diformat baku.

“Berikut ini saya akan mempresentasikan usulan perubahan sistem Compensation & Benefit kita. Karena ini masih berupa draft, masukan dari Bapak dan Ibu sekalian akan sangat berguna bagi kami.”

Sebuah kalimat penghalusan untuk membujuk hadirin agar memaklumi segala kekurangan. Kujabarkan beberapa ulasan tentang latar belakang yang menjadi dasar usulan-usulanku. Kupikir, apa yang telah kusiapkan sudah sangat bagus. Namun, ketika sekilas kuraba respon mereka, kutangkap sesuatu yang membuatku makin kehilangan rasa percaya diri.

Jika pembukaan tadi berhasil membuat semua mata memandang ke arahku, kini semua orang jelas-jelas terlihat telah kehilangan minat. Jika tidak berbisik-bisik dengan orang di sampingnya, mereka sibuk dengan ponsel. Hanya Pak Ray yang masih menatap layar presentasi. Itu pun dengan kening berkerut. Aku benci melihatnya hanya diam. Tapi, siapakah diriku baginya, sehingga ia harus menolongku? Keringat dingin makin membuyarkan kemampuanku untuk menguasai keadaan. Apakah pembukaanku terlalu panjang, sehingga kehilangan fokus? Haruskah kupotong?

“Re, mungkin usulanmu bagus. Tapi, saya tidak menangkap apa yang sebaiknya kita lakukan,” potong Deden dengan mata menyipit.

Aku ingin tidak memedulikannya. Sebelum aku menjawab, ia sudah melanjutkan. “Bapak dan Ibu, saya usulkan agar sistem kompensasi kita yang baru lebih memfokuskan untuk membedakan secara tajam antara karyawan yang berprestasi dengan yang tidak. Saya memikirkan beberapa usulan, misalnya jika karyawan yang mendapat nilai A atau B, mendapat pengurangan bunga pinjaman lebih rendah. Atau, untuk tabungan dana pensiun mereka memiliki bunga investasi yang bergerak naik-turun tergantung prestasi kerja. Dengan begitu, semua karyawan termotivasi untuk mengejar prestasi.

Aku ternganga. Itu kan memang hal-hal yang akan kuusulkan.

“Bapak dan Ibu, sebenarnya saya…,” dengan panik aku berusaha merebut perhatian lagi. Tapi, suaraku tenggelam, karena Deden menukas lagi.

“Saya akan memperlihatkan sesuatu, walaupun pembedaan tersebut akan memberikan jumlah kompensasi yang jauh berbeda, antara karyawan yang berprestasi dengan yang tidak. Namun, sebenarnya, jumlah yang diberikan perusahaan tetap sama.”

Habis sudah! Semua orang sibuk memusatkan perhatian pada Deden yang dengan cepat menuliskan perhitungan di papan tulis dan memberikan beberapa argumentasi. Hadirin mengangguk-angguk.

“Bapak dan Ibu, sebenarnya ide itu juga ada di dalam slide saya,” kukeluarkan jurus terakhir dengan putus asa, tapi tetap tidak ada yang peduli.

Aku marah luar biasa. Memang, perhitungan itu tidak ada di slide-ku. Tapi, keseluruhan pemikiran itu adalah hasil kerja kerasku. Seenaknya saja ia merebut perhatian semua orang dan mendapatkan apresiasi untuk sesuatu yang seharusnya jadi milikku.

Mereka semua berdiskusi dengan asyik, sementara aku hanya diam dan berperan sama pasifnya dengan alat proyektor. Presentasi akhirnya selesai. Deden menjadi bintangnya. Sementara aku, panglima yang kalah perang, membereskan peralatan presentasi dan keluar paling akhir dari ruangan.

Aku berjalan ke meja kerjaku. Deden menabrakku sampai terjatuh. Kemarin, gara-gara Deden, aku menabrak Pak Ray. Sekarang, di luar segala sebab akibat yang terkait dengan hukum karma, belum cukupkah hari ini untuk dibuat sial olehnya?

“Deden! Hati-hati, dong, kalau lewat!” semburku.

“Kamu yang hati-hati, Re, kamu saja jalannya tidak lihat-lihat.”

Deden selalu punya jawaban menyebalkan. Ia menyodorkan tangan untuk membantuku. Aku tidak menanggapi ulurannya. Jangan beri tanganmu, beri saja seluruh tubuhmu untuk kudorong keluar dari lantai 24 ini! Jangan salahkan aku jika di kantor ini terjadi pembunuhan terencana. Ia tiba-tiba berdiri meninggalkanku. Kalau aku memang tidak menerima pertolongannya, bukan berarti kamu lepas kewajiban untuk bersopan-sopan dan meminta maaf, dong!

Fristie tiba-tiba sudah menyeringai di dekatku. Kuraih uluran tangannya. “Sudah dengar gosip terakhir, Re?” tanya Fristie, sambil melirik Deden, yang tergesa-gesa berjalan ke ruangan Pak Ray dengan setumpuk berkas.
Aku menggeleng, sambil merapikan rokku.

“Mereka yang di atas sedang mencari-cari pengganti Ibu Ina. Deden mengincar posisi itu. Karena itu, dia benar-benar unjuk gigi di depan Pak Ray.”

Aku terkesiap. Dalam hitungan kurang dari satu detik tiba-tiba aku mendapat jawaban dari semua yang terjadi hari ini. Kutinggalkan Fristie. Dengan jantung berdebar, kubuka komputerku. Kuingat, hari terakhir kubuka bahan presentasiku adalah Selasa minggu lalu, ketika memindahkannya ke dalam flash disk. Namun, kulihat tanggal terakhir file itu dibuka adalah hari Kamis minggu lalu, saat aku training keluar kantor.

Dadaku menggelegak melebihi letupan-letupan magma. Aku marah sampai tubuhku terasa dingin. Deden! Kenapa aku tidak bisa menebak dari tadi. Biarpun aku memberitahu password komputer pada hampir semua orang, bukan berarti ia boleh membuka-bukanya dan mencuri ideku. Pantas saja! Tidak mungkin ia memiliki pemikiran yang sama, kecuali ia telah membaca bahan presentasiku. Selang waktu sampai hari ini telah memberinya waktu untuk memikirkan kekurangan-kekurangan presentasiku dan memolesnya, seolah-olah itu adalah ide briliannya.

Aku menggertakkan gigi. Oke, sekarang kamu memang telah merebut kesempatanku. Oke, ambillah jabatan Ibu Ina. Tapi, jangan salahkan jika suatu hari nanti aku juga akan menikammu dari belakang! Tidak hari ini, Deden. Tapi, suatu hari. Lihat saja, kamu akan menyesal telah berurusan denganku.

Dengan gusar aku berdiri. Tanpa sengaja tasku tersenggol jatuh, peralatan make up-ku menggelinding keluar. Melihat begitu banyaknya ‘peralatan perang’ yang kubawa, aku teringat lagi dengan sesuatu yang lebih membuatku panik. Janji dengan Andre. Jika saja hari ini karierku telah dibuat hancur, jangan sampai nanti sore pun sama sialnya.

Akhirnya, tepat pukul 5 sore aku menyelinap keluar kantor. Ma­sa bodoh jika Pak Ray mencariku. Ada hal lain yang menyangkut urusan hidup dan mati. Kali ini tidak ada seorang pun yang boleh menyabot kesempatanku, termasuk diriku sendiri. Jika aku memang kehilangan kemampuan berdandan, masih ada Tante Lien di salon langgananku yang bisa merapikan semuanya.

Tepat pukul 6.30, dengan merasa lebih cantik aku bergerak ke kafe yang sudah kami tentukan. Tapi, makin mendekati tempat itu, rasa panik mulai membuatku mual. Bagaimana jika dia tidak suka padaku? Dia berada entah di sudut sebelah mana. Ketika secara penampilan aku tidak memenuhi seleranya, ia langsung mengendap pergi, dan tinggallah aku di sini menunggu dan menunggu. Bagaimana pula jika ia jauh dari harapanku? Bayanganku tentangnya sudah telanjur ditempatkan terlalu tinggi, hingga empasannya juga akan jatuh sangat dalam. Lewat telepon kemarin ia begitu sempurna, aku benar-benar tak siap jika kenyataannya jauh dari itu.

Tapi... Aphrodite, engkau adalah Dewi yang paling cantik. Engkau sengaja merangkai berbagai peristiwa. Begitu melihatnya, aku langsung tidak percaya dengan siapa aku membuat janji. Suatu kebetulan yang hampir tidak mungkin terjadi. Pria dengan dasi Beatles! Bagaimana mungkin aku bertemu lagi dengan pria yang kutemui di lift kemarin lalu. Ia dan Andre adalah orang yang sama. Lihatlah di sana. Mengenakan dasi berbeda, walaupun tetap bermotif para personel Beatles. Ia makin tampan dengan wajah bersih dan mata bersinar. Ia menyunggingkan senyum tulusnya yang mendebarkan.

Aku dengan rela memasangkan dada untuk terpanah kembali pada kedua kalinya. Karena, Aphrodite, dia juga suka padaku!

“Halo,” sapanya ramah, dengan mata danau gelapnya yang gemerlap, “Kupikir, sesaat tadi kita pernah bertemu di kehidupan sebelumnya, karena wajahmu tidak asing. Ternyata, kita pernah bertemu di lift, ya?”

Aku tertawa. ”Kebetulan yang aneh, ’kan?”

“Tapi, fotomu berbeda dari aslinya. Lebih cantik aslinya.”

Aku tersipu. ”Syukurlah, yang diperlihatkan ibuku padamu bukan fotoku yang terpampang di SIM.”

Ia tertawa. Aku hampir tidak dapat melihat garis pembatas antara gigi yang satu dengan lainnya. Begitu putih rata, seperti barisan pualam persegi yang dijejer rapi. Sambil begitu, tangannya melambai memanggil pelayan, sementara matanya tidak lepas menatapku. Tidak ada sanjungan lebih tinggi.

Selama beberapa waktu kemudian kami lalu mengobrol banyak. Sungguh ajaib, bagaimana mungkin kami punya banyak persamaan, sehingga tidak ada jeda keheningan. Kami banyak tertawa. Ia mudah diajak tertawa dan pandai menimpali cerita dengan gaya yang lucu. Sempurna. Sungguh sempurna, sampai akhirnya aku iseng menanyakan sesuatu.

“Dasimu unik sekali, ya. Apakah semua bertema Beatles?”

Seperti baru menyadarinya, ia menyentuh benda yang tergantung diantara kerah baju itu. “Ceritanya panjang. Sekitar 6 tahun lalu, saat aku resign dari perusahaan lama, mereka memberiku kenang-kenangan koleksi lengkap CD Beatles. Entah mengambil kesimpulan dari mana, yang jelas mereka salah menduga bahwa aku penggemar kelompok musik itu. Kekasihku pada saat itu juga menduga hal yang sama. Lalu aku diberi hadiah berbagai merchandise Beatles setiap kali ia menemukannya selama 4 tahun kami berpacaran. Kebetulan, yang terbanyak adalah dasi-dasi ini. Aku tidak pernah tega untuk memberitahukan hal yang sebenarnya.”

Memang, kita harus curiga jika sebuah cerita selalu diawali oleh kejadian yang terlalu sempurna. Lalu, untuk apa dia mencari-cari kekasih lain, calon istri malah! Padahal, jelas sekali bahwa ia masih mencintai wanita itu. Buktinya, meskipun sudah tidak berpacaran lagi, ia tetap mengenang wanita itu dengan memakai barang-barang pemberiannya, meski tidak menyukainya.

Kupikir, perahuku sudah hampir berlabuh. Ternyata, sedang terseret angin untuk kandas di karang tajam. Menyebalkan! Lalu apa yang ia cari sekarang? Wanita 30-an yang sudah hopeless sehingga mau melakukan apa saja?

”Re, sebentar, ya, saya mau ke toilet dulu.”

Aku tidak menjawab. Mataku tajam memerhatikan ponsel yang ia tinggalkan di meja. Pasti inbox-nya masih berisi pesan-pesan penuh harapan dengan kekasihnya. Taruhan!

Iseng-iseng kubuka inbox-nya. Pada deret paling atas terdapat nama sender yang menggelitik: Black Widow. Pasti ada kandungan emosi negatif, jika ia sampai menamakan pengirim itu dengan konotasi yang tidak menyenangkan. Tidak mungkin aku tidak tergoda untuk membukanya.

Aku tahu jalan kita sudah berbeda. Tapi, aku tetap takut jika kamu akhirnya menemukan penggantiku.

Hatiku langsung panas. Dugaanku benar. Aku tidak pernah sempat membaca kelanjutannya. Sebuah insting tanda bahaya membuatku mengangkat kepala. Andre sudah kembali ke meja kami dan berdiri menatapku dengan pandangan marah bercampur sinis dan merendahkan. Dengan gerakan perlahan diambilnya ponsel itu dari genggamanku. Aku terlalu kuyup untuk sekadar dikatakan tertangkap basah. Tak ada alasan apa pun yang bisa menetralisasi situasi ini. Andre langsung berbalik meninggalkanku, tanpa merasa perlu untuk permisi. Perahuku sudah benar-benar hancur menabrak karang sekarang.

Hari keempat
Semalam, sepulang dari malam tidak menyenangkan itu, aku kembali menggeser sepasang lilin itu satu inci lebih dekat. Aku memohon lebih khusyuk. Setelahnya, tiba-tiba aku memiliki kekuatan untuk mengirim SMS luar biasa panjang untuk menjelaskan alasanku berbuat hal memalukan itu. Aku minta pengertiannya untuk memahami keinginanku untuk memulai hubungan yang lebih serius atau tidak sama sekali. Na0mun, aku tidak berharap Andre membalasnya. Tapi, setidaknya aku bisa sedikit menyelamatkan mukaku.

Aphrodite tidak berdiam diri. Pagi ini aku terbangun karena bunyi SMS.

Ya, sudah. Aku mengerti. Aku juga salah. Kuakui, aku memang masih mencintainya. Namun, semalam kamu telah menciptakan malam menakjubkan. Aku sudah lama tidak merasa begitu. Bolehkah aku memintamu membukakan hari baru untukku?

Aku tersenyum. Kami berjanji bertemu kembali sore nanti.

Aku berguling mendekap bantal yang dingin, tapi berbau ha-ngat. Bukan sekadar lega, dadaku mengepakkan puluhan sayap kupu-kupu berwarna-warni lepas ke langit-langit kamar. Cinta adalah keindahan terbesar di bumi. Aku ingin terus berbaring dan membiarkan setiap pori di tubuhku meresapkan seluruh rasa ini secara perlahan dalam waktu lama.

Hari ini adalah hari kerja paling panjang. Terkadang waktu tidak bisa diukur dari penjumlahan matematis berdasarkan jam, menit, dan detik. Hari ini, menunggu jarum jam menggeser tongkat pendeknya ke angka lima adalah lebih lama dari menunggu tabloid yang akan terbit minggu berikutnya. Sepanjang hari di kantor, aku begitu gelisah dan ingin menuduh seluruh mur penggerak jarum jam di dunia ini telah berkhianat memperlambat waktu.
Telepon di mejaku berdering.

“Sore, bisa bicara dengan Rere?”

“Re, bisa ke ruanganku sebentar.”

Suara itu. Setelah semua yang terjadi, masih sanggupkah ia memberikan suatu getaran? Aku bergegas masuk ke ruangannya. Ia sedang tertunduk menandatangani berkas-berkas yang bertumpuk di mejanya yang lebar. Dalam posisi seperti itu, aku dapat melihat rambut depannya yang bergelombang jatuh dalam tataan yang menarik di atas dahinya. Jari-jari kuning gadingnya bergerak seperti pelukis menggoreskan keindahan di atas kanvas, meskipun yang ia lakukan hanya menuliskan paraf pada setiap lembaran kertas.

“Masuk, Re!” perintahnya, tanpa mengangkat wajah.

Sambil terus bekerja ia menginstruksikan beberapa perintah dan hanya sesekali mengangkat dagu dari benaman pekerjaannya, ketika aku bertanya mengenai beberapa detail mengenai hal yang harus kukerjakan.

Aku sedang menuliskan beberapa hal yang dianggap perlu, ketika kusadar telah terjadi keheningan yang terlalu lama dan sesuatu yang berdesir, ketika tahu ia sedang menatapku.

“Ada lagi, Pak Ray?” tanyaku, mencoba seformal mungkin.

“Sudah, hanya itu. Terima kasih, ya, Re,“ katanya, dengan nada sejuk, sambil menggeser letak kacamatanya.
Aku menendang tumit kiriku sendiri. Keterlaluan, bagaimana mungkin gerakan sederhana seperti itu bisa membuatku terpesona? Dengan gugup aku bersiap hendak beranjak pergi, ketika ia memanggil namaku.

Terlihat ragu-ragu, lalu ia membuka laci mejanya.

“Kemarin, waktu ke Singapura, saya membeli ini,” katanya, sambil menyodorkan sebuah kotak dari beludru.
Saat kubuka, di dalamnya terlihat ada sebuah bros bergambar burung dalam posisi mengepakkan sayap dengan menjepit pita panjang berjuntai-juntai di paruhnya. Bentuknya halus dan ukirannya rapi. Matanya terbuat dari berlian terang yang tampak sepadan dengan sepuhan emas yang berkilau lembut di seluruh permukaannya. Bentuknya sederhana, namun berkelas.

Benda itu terasa dingin di telapak tanganku. Aku tak tahu mau berkata atau merasa apa.

“Sejak pertama kali melihatnya, saya langsung teringat kamu. Burung itu langsing indah berkilau. Bermain-main dengan pita, membumbung membawa kebahagiaan. Lihat matanya yang hi­dup itu. Maaf, saya baru memberikannya sekarang. Selama ini saya selalu ragu, apakah pantas saya memberikannya padamu. Tapi, makin saya lihat, saya merasa, pasti bagus sekali kalau sudah disemat di dadamu. Mata kalian sama berkilaunya.”

Tahan, jangan berpikiran macam-macam, ia hanya mencoba bersikap baik. Aku berusaha agar senyumku terlihat sewajarnya. “Terima kasih, Pak. Bros ini bagus sekali.”

“Mengenai burung yang membawa kebahagiaan itu, sebenarnya itu sama dengan artimu bagiku. Meski sesaat, kamu pernah membawa kebahagiaan itu untuk saya. Sayalah yang harus berterima kasih.”

Aku diam terpaku. Kata-kata itu menyapu habis semua rasa kecewa dan benci seperti kemarau yang tidak pernah ada. Aphrodite, aku mencintainya. Aku masih mencintainya. Apakah kau sedang mengaturkannya untukku?

“Oh, ya, Re. Laporannya jangan terlalu lama,” lanjutnya dengan nada biasa, sambil meraih gagang telepon, seolah tadi ia tak pernah berkata apa-apa tentang perasaannya. Lalu, perhatiannya terarah sepenuhnya pada lawan bicara di seberang sana. Sebuah pengabaian, tanda pengusiran yang halus.

Ternyata, sikap antiklimaks itu muncul lagi. Setelah membuatku mengira harapan itu ada, ternyata semua hanya kertas kosong semata. Sebenarnya dia tadi bermaksud apa? Mungkinkah aku berlebih-lebihan menangkap makna?

Perlahan aku meninggalkan ruangannya tanpa berkata-kata. Seluruh sore itu rusaklah sudah. Betapa mudahnya pria itu memasang-surutkan perasaanku. Semua emosi sudah dikurasnya habis. Tepat pukul 6 sore aku turun ke kafe dekat lobi. Namun, aku sudah kehilangan kesenangan untuk bertemu Andre.

Sesampai di sana, hampir semua meja telah terisi. Andre belum datang dan aku memilih tempat duduk di pojok. Pelayan bergegas datang mengantarkan selembar kertas menu, lalu pergi. Haruskah aku memesan sesuatu, ketika semua jenis minuman akan terasa hambar di permukaan lidah?

Suasana yang redup membuatku melamunkan hari-hari kemarin. Aku tidak pernah bermaksud jatuh cinta pada pria beristri, namun hatiku memilih perjalanan sulitnya sendiri.

“Ibu, mau pesan apa?” pelayan bernama Wina itu datang lagi. Sudah pukul 7 lewat. Ke mana Andre, ya?

“Sebentar, Mbak. Teman saya belum datang juga.”

Wina tersenyum. “Tidak apa-apa, Ibu. Jika perlu sesuatu panggil saya saja. Senang sekali bisa melayani Ibu.”

Rasa senang karena mendapatkan kehormatan lewat pelayanan sepersonal itu hilang sudah. Aku melamun lagi. Sudah pukul 7.20. Kafe makin penuh oleh pengunjung lain. Mereka tertawa-tawa dan mengobrol dengan serunya, sementara aku kering kerontang dalam kesendirian. Karena merasa tidak enak melihat pengunjung lain berdesakkan, aku pindah ke meja lain yang hanya terdiri dari 2 kursi, meskipun tempatnya kurang nyaman untuk melamun. Andre kamu ke mana? Sampai berapa lama lagi aku harus menunggu?

“Ibu mau pesan apa?”

Wina datang lagi dan aku akan gila kalau ia kembali menanyakan hal yang sama. “Wina, ini tip untuk kamu. Terima kasih, ya.”

Aku berjalan memunggungi Wina yang makin melongo dengan nampan di tangannya. Andre pasti tidak datang. Kuputuskan pulang.

Disia-siakan dua pria dalam satu hari. Yang pertama mencintai orang yang tak ingin dicintai dan yang kedua dibiarkan sendiri menunggu. Adakah wanita lain yang sudah putus asa dalam mencari pasangan sepertiku mengalami hal yang lebih sial? Sebenarnya, aku tidak mampu kecewa atas ketidakdatangan Andre. Ketidakpedulian Pak Ray telah menimbulkan rasa hampa yang menyedot kemampuanku untuk bisa merasakan rasa-rasa yang lain. Mungkin hati kecilku tidak berharap bertemu Andre dalam suasana hati seperti ini.

Sampai di rumah, baru kutahu Andre membatalkan janji lewat SMS. Rupanya, aku terlalu banyak melamun. Kata-kata Andre manis dan berbunga-bunga, namun aku sedang tak ingin peduli. Aku hanya ingin mandi air panas dan berkubang di selimutku yang hangat.

Hari kelima
Dua belas missed call dari Andre. Lima SMS permintaan maaf dengan alasan diulang-ulang. Mungkin reaksiku berlebihan. Atau, mungkin Andre memang keterlaluan. Tidak tahulah!

Ketika kulewati ruangan Ibu Ina, kulihat Deden sedang membereskan sesuatu di dalamnya. Kuhentikan langkah untuk memerhatikan dengan lebih cermat. Di ruangan terdapat beberapa kardus dan pajangan, yang kutahu milik Deden sepenuhnya. Melihat barang-barang itu, aku tersadar, Deden akhirnya berhasil menggantikan Ibu Ina. Rasa marah itu kembali terpicu seperti peluru panas yang ingin lepas dari selongsongannya.

Menengok ke arahku, Deden berucap, “Aku sedang bersema­ngat sekali, nih. Bagaimana kalau kupanggil Mas Sony, ya. Oh, aku kan sudah bisa memanggilnya Soni saja, ya. Dia harus mulai belajar panggil aku Pak Deden.”
Deden meraih teleponnya. Tak lama Mas Sonny muncul, sama sekali tidak berusaha menutupi sikapnya yang ogah-ogahan. Usianya 45 tahun dan masa kerjanya lebih dari 15 tahun. Kenyang sudah ia melihat semua orang baru melangkahi dirinya untuk naik ke posisi lebih tinggi.

Mas Sonny sebenarnya karyawan yang hasil kerjanya cukup bagus. Namun, ia bisa berbalik jadi sangat tidak kooperatif, tanpa takut pada jenis atasan mana pun juga dan tanpa peduli apa pun hukuman perusahaan yang diancamkan padanya. Orang-orang di kantor sudah paham benar sifat keras kepalanya, dan memilih menghindari konflik yang tidak perlu dengannya. Jauh lebih menguntungkan untuk mengalah dan menjadi temannya, karena ia akan menjadi sangat suportif dan bersedia membantu.

Aku tersenyum, menanti kejadian yang menyenangkan. Gaya Deden yang sok tahu pasti hanya akan memancing kebandelan Mas Sonny.

“Son, tolong bantu bereskan ruanganku. Masukkan dokumen ke lemari, gantung pigura di dinding, dan ambilkan barang-barangku yang masih tertinggal di meja lamaku!”

Wajah Mas Sonny langsung kelihatan sebal. Wajar saja. Kalau aku jadi dia mungkin semua barang akan kulempar saja ke luar jendela. Tiba-tiba ide pembalasan dendam melintas di kepalaku.

“Mas Sonny pasti bersedia.” Aku mengedip ke arah Mas Sonny.

Mas Sonny kelihatan tidak mengerti. Aku mengangguk-angguk­an kepala, mengisyaratkan padanya untuk menurut.
“Aku pergi dulu, ya,” kata Deden, sambil melangkah.

“Re, aku nggak disuruh bereskan barangnya!”

“Tenang, Mas. Nanti kupinjam OB dari lantai bawah.”

Mas Sonny diam, mencoba meraba isi kepalaku, lalu mengendikkan bahu, menyerahkan masalah ini padaku.
Dua jam kemudian, OB telah membereskan semuanya. Aku pura-pura membawakan kotak-kotak disket, yang sengaja kuminta untuk disisakan, agar tidak dibawa ke ruangan Deden. Kalau ada yang iseng bertanya, akan kubilang bahwa pekerjaan OB tadi belum selesai, dan perlu kubantu.

Kuletakkan disket-disket tersebut di laci meja Deden. Masih disket yang sama. Hanya, sekarang semuanya tertempeli satu file berisi virus. Sebelum sampai di ruangan ini, disket-disket tersebut telah mampir di laptop-ku, yang seluruh datanya sudah rusak termakan virus. Cepat atau lambat, Deden akan menggunakan salah satu dari disket itu, dan dalam waktu dua atau tiga hari ia tidak akan dapat membuka file-filenya lagi. Ia hanya akan melihat tampilan hitungan statistik yang aneh, sementara virus ganas itu memakan seluruh hasil kerjanya yang tertanam di situ.

Aku tersenyum. Rasakan kamu, Deden. Ini balasan untuk keli­cikanmu! Namun, hatiku tetap terasa kosong, tak ada rasa puas. Sungguh aneh! Bukankah sudah sepatutnya aku membalas? Tapi, kenapa ini berbalik membuatku merasa jadi orang terjahat ? Aku menghela napas. Hidupku ternyata hanya sekumpulan kegagalan. Tidak hanya dalam pencarian pasangan, tapi juga dalam karier. Tiga puluh lima tahun, tanpa suami, tanpa kemajuan jabatan, ditambah perilaku yang makin minus!

Ketika aku kembali ke meja dan tidak sengaja membuka laci teratasnya, kulihat ada tas kertas kecil menutupi hampir sepertiga permukaannya. Dengan terheran-heran kudapati kotak panjang seukuran telapak tangan berisi sebotol parfum, tanpa keterangan pengirim. Namun, informasi itu memang tidak perlu. Rasanya, aku bisa menebak pengirimnya. Pak Ray. Apakah ini tanda penyesalan ataukah lebih seperti yang selama ini kuharapkan?

Kuhirup wangi lembut parfum yang membawaku pada padang rerumputan yang baru ditebas dan aroma rempah yang baru di-tumbuk. Kupejamkan mata, perasaanku ternyata tidak pernah terbunuh. Perhatian kecil darinya sanggup mengubur bagian memori yang merekam kenangan pahit tentangnya. Yang tinggal adalah rasa cinta yang meluap-luap, mendobrak pecah semua garis dan batas, membanjiri setiap tujuan gerak dan langkah. Yang aku ingin tahu, bagaimana Aphrodite akan membawanya jadi milikku.

Aku berjalan ke ruangannya. Hanya sekadar melintas. Berharap menangkap sedikit sosoknya. Biarlah itu hanya setetes air. Namun, ia tetap air. Biarpun kehausanku membutuhkannya dalam volume satu galon penuh. Tidak! Aku tidak akan sekadar melintas. Aku akan mengungkapkan perasaanku.

Namun, dari jauh kulihat sekilas bayangan seseorang telah mendahuluiku masuk. Ketika mendekati pintu masuk, apa yang kulihat membuat mataku ingin terbutakan oleh gelap. Kurasakan pisau dingin yang mengiris tengkukku dalam bentuk lingkaran. Aku terbeku oleh rasa sakit yang lebih dalam.

Aku berbalik. Mataku kabur oleh rasa marah dan kecewa yang membersitkan air mata. Terulang lagi. Selalu begitu. Kenapa? Aku kembali ke tempat dudukku, terdiam memandangi layar komputer.

Siang harinya, sebuah buket karangan bunga diantarkan OB ke tempat dudukku. Apa lagi ini? Aku sudah hampir membuangnya ke keranjang sampah, ketika sekilas kulihat ada kartu kecil tersangkut pada bagian ikatannya. Andre.

Aku tersenyum. Kuambil ponselku dan meneleponnya. Kami tertawa, bercanda. Ah, aku selama ini lupa, Andre sangat menye-nangkan. Kami akan berkencan di sebuah pub yang baru buka. Pukul 9 malam kami akan bertemu di lobi.

Tepat pukul 9 malam, aku menunggu di lobi. Ponselku berdering. Telepon yang tidak kuharapkan. Pasti Andre membatalkan janji. Dengan menarik napas panjang, kujawab deringannya. Dia akan menyusul, dengan alasan masih ada pekerjaan. Akhirnya, aku pergi sendiri.

Sebuah kesalahan besar hanya karena mengabdi pada kesabaran. Wanita boleh saja pergi sendirian, sekalipun jaraknya melebihi tempuhan terjauh yang sanggup diarungi Marcopolo. Tapi, jangan pernah pergi ke pub tanpa teman! Aku baru menyadari kekeliruan itu, ketika sudah beberapa langkah masuk ke dalam ruangan remang-remang yang hingar bingar oleh musik.

Semua datang bergerombol atau masuk dengan pasangan, me­ngumpul pada tempat-tempat duduk tertentu. Sekarang aku mau duduk di mana? Aku belum senekat dan sepercaya diri itu untuk bergabung dengan salah satu dari mereka yang tak kukenal. Tapi, aku juga tidak mungkin terus berdiri canggung seperti orang-orangan sawah di tengah ladang.

Bodohnya lagi, aku mengira bisa menunggu Andre, sesantai menunggu sendirian di kafe. Saat sedang kebingungan, sang pangeran penyelamat datang. Sayangnya, dia adalah pangeran penyelamat, sekaligus naga penjaga menara, yang lebih suka menggoda putri yang seharusnya dijaganya. Tondi.

“Re, sendiri?” Seringai menyebalkan itu. “Gabung dengan aku saja,” katanya, sambil menggamit lenganku.

Dihadapkan pada situasi tanpa pilihan sedikit pun, aku terpaksa mengikutinya. Namun, bergabung dengan kelompok Tondi, sama gerah-nya dengan berdiri sendirian. Di mejanya ada dua pria dan tiga wanita berpakaian seksi. Wanita-wanita itu tampak bersaing merebut perhatian Tondi.

“Teman-teman, kenalkan, ini Rere.”

Semua teman Tondi hanya memandangku sebelah mata. Tak ada yang mengenalkan dirinya. Gerombolan yang menyebalkan.

Tiba-tiba SMS masuk. Andre membatalkan kencan, tapi menawarkan diri untuk menjemputku. Aku tak tahu mau marah bagaimana lagi. Andre, jika kamu mau minta maaf, satu truk bunga mawar pun tidak akan cukup!

Cukup sudah! Kupanggil pelayan yang sudah hampir pergi dan memesan minuman. Tak lama, minuman beralkohol berwarna biru cerah itu datang. Kureguk seteguk. Ini untukmu, Andre! Untuk semua pembatalan janjimu. Semoga sampai mati kamu tidak akan menikah dengan mantan kekasihmu.

Cairan itu terasa manis, namun membakar di tenggorokan. Kuhirup lagi. Untukmu, Pak Ray. Persetan dengan semua perhatianmu itu! Rasa panas itu sudah tidak terasa, yang ada hanya ringan yang melegakan. Kuminum lagi. Untuk kalian, teman-teman Tondi yang menyebalkan. Semoga suatu hari nanti kalian akan tahu bahwa kalian bukan apa-apa. Dengan tak sabar kuteguk sampai habis. Untukmu, Tondi, karena… karena selalu menyebalkan!

Ringan melayang. Begitu nikmat, ketika perasaan yang tidak menyenangkan itu raib, seperti uap yang terbawa naik. Hanya tinggal rasa puas, walau tanpa sebab. Sesuatu di dalam diriku mendobrak keluar. Aku merasa diriku berdiri dan berjalan ke arah Tondi. Kuraih tangannya tanpa memedulikan wajahnya yang tercengang. Ayolah, Tondi. Beranikah kamu berhadapan dengan sisi liarku?

Aku melangkah mantap ke lantai dansa dan mulai meliukkan tubuh. Baru kutahu bahwa aku bisa juga bergoyang dengan cara yang demikian. Tondi tersenyum lebar. Aku merasa super-sensual dan super-seksi.
Tondi diam, lalu mendekat, memegangi bahuku.

“Re, sudah! Kamu mabuk.”

Mendadak aku merasa pusing. Perut terasa meletup-letup panas, seperti magma yang hendak mendorong keluar dari gunung berapi. Aku terhuyung, ketika Tondi menangkapku dan menutupi tubuhku dengan sesuatu. Kepalaku makin berputar-putar. Aku merasa sangat lemah. Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi. Seperti ada jeda waktu yang hilang untuk terekam di ingatan. Tiba-tiba aku sudah duduk di kursi depan mobil Tondi.

Rasanya, makin sulit untuk tetap terjaga. Sebuah lorong gelap yang nyaman terus menarikku untuk memejamkan mata. Sebelum terle­lap yang kuingat adalah wajah Tondi, yang matanya tersenyum geli.

Hari keenam
Ketika bangun, yang kuingat pertama kali adalah tadi malam aku lupa melakukan upacara untuk Aphrodite! Bagaimana ini? Apakah manteranya tidak akan manjur lagi? Haruskah aku mengulang dari hari pertama lagi? Namun, ketika mencoba bangun, jutaan jarum kecil memantek kepalaku untuk tetap tertanam di bantal. Perlahan-lahan kesadaranku datang. Sebuah lukisan matahari terbenam yang menyilaukan tampak jelas sebagai pemandangan pertama yang kulihat. Lalu, di samping tempat tidur terdapat meja kecil dengan telepon berbentuk Pluto, yang terengah-engah menatapku. Di lantainya terdapat sepotong karpet kecil cokelat muda yang empuk. Aku ada di mana?

“Selamat pagi....”

Tondi berdiri di kaki tempat tidur dengan segelas kopi mengepul-ngepul dengan wangi tajam. Selalu begitu dengan seringai lebarnya. Sepertinya ia telah membawaku ke apartemennya. Ketika mencoba duduk, aku terkejut ketika selimut bergambar bendera Amerika tersingkap. Aku memakai baju tidur bergaris-garis, yang sudah jelas bukan merupakan baju terakhir yang kupakai.

“Tondi!!!”

“Sorry, semalam bajumu basah. Jadi kuganti.”

Astaga! Kejadian semalam. Samar-sama kuingat menari di depan banyak orang. Separuh mabuk pula. Aku malu.

“Tak usah malu, Re. Nih, minum kopinya. Biar tidak terlalu pusing.”

Kuhirup sedikit. Rasanya pahit. Terlalu pahit malah.

“Sengaja kubuat pahit. Kalo manis, namanya bukan obat, khasiatnya tidak ada,” kata Tondi. Walaupun cairan itu memang sedikit membantu meredakan pening, tapi aku merasa keterangannya itu mengada-ada.

Sambil minum, aku memerhatikan kamar Tondi. Kamar tidur, ruang tunggu dan dapur semua dapat dilihat dari tempat tidur. Hanya ada sekat-sekat dari bahan kain dan kayu yang ringan untuk memisahkan ruang-ruangnya. Namun, cara ini membuat ruangan ini menjadi luas dan melegakan.

“Apartemenmu enak ya, Ton.”

“Oh, tadi malem aku pinjem ponselmu untuk SMS ibumu. Biar beliau tidak khawatir.”

Biarpun Tondi punya reputasi seperti kelinci pejantan, entah kenapa aku merasa aman dan percaya padanya, walaupun telah meng­habiskan malam hanya berdua dengannya, walaupun ia telah melihatku separuh telanjang. Aku yakin, tadi malam ia benar-benar mengurusiku, tanpa pendekatan seksual sedikitpun. Rasanya, aku seperti menemukan kembali Tondi yang kukenal puluhan tahun lalu. Namun, yang manakah Tondi yang sebenarnya?

“Kubuatkan sarapan, ya!” kata Tondi dari arah dapur.

Perlahan-lahan kunaikkan tubuhku agar duduk di bangku tinggi pada sebuah meja kurus panjang yang ada di depan rak piring kecil, sementara Tondi membungkuk pada lemari es kecil, yang ada di sudut ruang dapur. Dipilihnya beberapa bahan, sementara tangannya telah menggenggam dua butir telur.

Dengan cekatan ia merajang tomat segar dengan begitu halusnya. Lalu, diambilnya bawang bombay, lalu diiris menjadi kotak-kotak putih kecil, yang membuat aroma tajamnya berbaur dengan udara. Dibukanya bungkusan berisi jamur dan dipotong-potong memanjang, sehingga tidak kehilangan bentuknya yang menggiurkan selera.

Aroma mentega yang telah dipanaskan tercium makin harum, ketika Tondi memasukkan bawang bombay dan mengaduknya. Menyusul tomat dan jamur menari-nari di penggorengan, memberikan warna-warna masakan yang menggugah. Terakhir, dipecahkannya telur pada pinggiran penggorengan dan memasukkan untuk diacak-acak. Dengan gerakan cepat dicipratinya isi pinggan itu dengan garam, merica, dan sedikit gula pasir.

Aroma dari berbagai bahan makanan tercampur sempurna, membangkitkan rasa lapar. Tondi membagi hasil masakannya pada dua piring, mengambil nasi dari pemanas dan menyodorkan salah satunya padaku.

Sambil makan, kami mengobrol tentang masa lalu. Aneh, sepertinya, Tondi kembali menjadi sahabat karibku yang dulu. Lucu sekali, kami pernah saling menjauh hanya karena memandang rendah diri secara tidak perlu pada satu sama lain. Kini kedekatan itu mulai terbangun lagi. Mata kami saling menatap hangat. Kurasakan telapak tangan Tondi melingkupi punggung tanganku. Ibu jarinya membelai-belai perlahan. Aku terdiam kaku. Ia hanya mengusap lembut dan samar, namun permukaan kulitku langsung terbakar panas dan seluruh saraf tubuhku turut merespon.

Bel di intercom berbunyi, membelah hening diam kami. Ia menarik tangannya. Gila! Apakah tadi aku mengharapkan lebih?

Tondi berjalan ke arah intercom dan berbicara pada seseorang di bawah sana. Suara penuh nada marah. Tondi juga menjawab dengan tidak kalah gusar. Mungkin, itu salah satu kekasih Tondi yang tadi malam. Entah apa yang dipertengkarkan, namun ini adalah tanda bagiku untuk segera pulang. Tondi menutup pembicaraan dengan tidak ramah. Disambarnya ponsel dan dompetnya. “Re, kamu di sini saja. Aku mau pergi.”

“Aku saja yang pergi.”

“Maaf, ya, Re, sebenarnya aku berniat mengantarmu pulang. Aku juga mau pulang ke rumah hari ini”

Tondi sudah hendak pergi, ketika tiba-tiba berbalik. “Lucu, ya, Re, aku senang kamu ada di sini.”

Aku tidak bisa menjawab. Namun perasaanku, telah kembali ke jarum penunjuk netral. Walaupun bukan kejadian biasa, ini bukan salah satu hasil dari mantera Aphrodite. Dia adalah Tondi dan aku adalah Rere. Sekuat apa pun sihirnya, tidak akan mampu menghadirkan peristiwa teraneh dan terlucu, yaitu kami saling jatuh cinta. Kami terlalu lama menjadi teman bermain, terlalu saling mengenal, terlalu seperti kakak-adik. Lagi pula, mana bisa wanita yang sudah ingin menikah sepertiku, bisa berharap pada pria seperti Tondi?

Hari ketujuh
Hari Minggu pagi. Terkadang kesenangan menjadi lajang itu berubah menjadi hal membosankan. Hal yang membosankan itu bergeser menjadi hal menyakitkan. Seperti hari ini, seluruh temanku yang lajang, yang populasinya sudah makin langka, tidak ada satu pun yang available.

Bergegas kuganti baju. Kupilih bahan jeans dengan model baju monyet yang kedodoran, dalaman kaos putih longgar, dan topi biru tua. Penampilanku tidak keruan, tapi rasanya nyaman memakai apa pun yang kumau, tanpa peduli apa kata orang. Biar saja!

Aku keluar kamar dan menengok ruang tengah yang terletak di bawah. Sepi. Kututup pintu kamar rapat-rapat. Sekali lagi kuperiksa halaman depan yang berada di bawah kamarku. Tidak ada Siti, Ibu, atau Ayah. Aman. Aku berjalan ke cermin dan menarik napas panjang. Sekarang aku siap berjalan-jalan. Penuh percaya diri, meskipun tak punya teman atau pacar.

Pukul sembilan lewat. Suasana masih sepi. Sengaja kuparkir mobil agak terpencil dari dari areal pertokoan, yang sebagian besar merupakan tempat makan. Dengan berjalan santai, kususuri trotoar batunya dan melihat setiap foto menu yang dipamerkan pada setiap pintu masuknya. Matahari menyisip hangat lewat sela-sela dedaunan pada pepohonan yang tumbuh berjejer di sepanjang halaman muka toko-toko.

Di suasana senyaman ini, sebagian orang memilih untuk sarapan di meja-meja yang disediakan di bagian depan setiap tempat makan. Beberapa pasangan tampak menikmati makanan sambil membaca koran, saling mendiamkan satu sama lain, namun tetap bisa menikmati kebersamaan mereka. Aku? Tak ada yang lebih hebat. Pasanganku adalah pagi yang indah ini. Siap menemani. Mudah mengerti. Tidak marah dengan ketidakacuhanku.

Setelah berjalan beberapa lama, kupilih untuk minum kopi di tempat langgananku. Menyenangkan sekali merasakan dingin a­ngin pagi yang meresap sejuk, terang mentari yang tak henti mengirim senyum, membaca novel yang belum sempat terbaca, sambil merasakan setiap ujung syarafku menggeliat bangkit, ketika cairan hitam itu direguk.

Bau kopi harum di pintu masuk membuat ujung lidahku merasa telah mencicipinya, bahkan sebelum cairan itu terminum. Pilihan yang tepat. Kubuka pintunya. Salah. Tidak tepat. Sangat tidak tepat. Sungguh pilihan keliru! Mungkin elevator di kantor patuh dengan sumpah serapahku. Tapi, tidak dengan seluruh penjuru kota yang lainnya.

Aku hanya membeku, seperti katak yang terpesona melihat roda mobil yang akan melindasnya. Sekarang sudah tidak mungkin lari lagi. Bowo. Ia ada di dalam dengan tangan yang masih menahan cangkir di udara. Menatapku, sama terkejutnya. Beberapa detik kami hanya saling menatap. Memilah respon, meraba reaksi. Lalu, ia tersenyum. Aku lega luar biasa dari hukuman rasa bersalah. Ia sama sekali tidak membenciku.

Ia menyeberangi garis tengah ruang dan meraih tanganku, lalu mengguncang-guncangkannya. Wah, ini, sih, Bowo yang berbeda. Kuingat dia dulu selalu kaku dan malu-malu.

“Bowo, sudah lama sekali kita tak bertemu.”

Kulihat wajahnya, ia memang kelihatan lebih cokelat. Entah kenapa, rasanya ia terlihat lebih pantas berkulit lebih legam daripada dulu. Ia kelihatan macho! Kalau aku mau rela mengakui, ia sekarang memang memesona. Dan, aku, astaga! Baru teringat pada baju rombengan yang kupakai. Kenapa tadi tidak siap perang dengan memakai kaos ketat merah, rok putih, dan sepatu hak tinggi bertali? Seharusnya aku tahu, pergi ke mana pun selalu bersiko bertemu teman lama. Bertemu mereka, berarti jangan pernah sampai memberi kesan bahwa hidupmu sekarang lebih tidak beruntung darinya!

Tapi, kecemasanku terhapus.

“Re, kamu kelihatan hebat.” Dipandanginya aku dari ujung kepala sampai ujung kaki.

”Bagaimana kabarmu, Wo?”

“Aku sudah setahun menikah.”

Jantungku berdebar. Apakah keterangan itu membuatku menyesal?

Pesananku datang, kureguk sedikit. Perasaanku lebih tenang.

”Istrimu mana?”

Bowo terdiam, wajahnya mengeras. Apa yang salah? Rupanya, sesuatu yang dilihatnya telah merebut semua perhatian. Aku terkejut ketika ia tiba-tiba ia berdiri. Dari belakangku terdengar langkah tergesa-gesa mendekat. Belum sempat menyadari yang terjadi, kulihat kopiku disambar seseorang dan menyiramkan isinya ke arahku. Aku terpekik, lalu cepat berdiri. Namun, cairan panas itu masih sempat menyiram bagian bawah tubuhku.

”Ooo, ternyata, kamu di sini, ya? Kencan dengan wanita lain? Kamu!” katanya, menunjuk aku, tak tahu malu bermain dengan suami orang!”

Hei, aku tidak ada urusan dengan suamimu. Kopiku bagaimana? Baru dihirup satu teguk. Kusambar tas dengan kasar dan berjalan pergi dengan langkah lebar dan cepat. Sadar nggak, sih, bahwa yang merebut Bowo itu kamu! Dia dulu kekasihku. Harusnya, pagi ini aku masih mengobrol dan bercanda dengannya. Harusnya, aku tidak menghabiskan sisa hari ini dengan kesepian. Harusnya, aku tak pernah menolak Bowo.

Bowo berlari mengejarku, menjajari langkahku. Ia menahan tanganku. Kutepis dengan kasar dan mencari-cari kunci yang memang selalu sulit ditemukan pada saat-saat yang genting. Ketika kutemukan, kubuka mobil dengan tergesa. Bowo menahanku agar tidak bisa masuk ke dalam mobil.

Dengan ganas kutatap matanya. Ia memandangku dengan tegar, namun sedih. Sorot itu meleburkan seluruh keberadaanku. Kemarahanku hilang dalam larutan pesonanya. Aroma tubuhnya yang jantan menggilas hancur semua batas dan memelintir kewarasan akal sehat. Ia begitu tampan.

Kudorong ia ke dalam mobil. Kurampas bibirnya dengan bibirku. Biar istrinya mati melihat kami! Biar dia tahu rasa! Tiba-tiba aku terpekik, karena ia membalas dengan begitu bergairah. Kami terus berciuman, meskipun napas makin sulit dicari.

Tiba-tiba aku tersadar sesuatu. Kudorong tubuh Bowo. ”Keluar! Keluar sekarang! Keluar!”

Kunyalakan mobil dan kujalankan dengan kasar. Tuhan, apa yang telah kulakukan? Tubuhku masih menggeletar oleh gelora. Bibirku masih kebas oleh bekas bekapan bibirnya. Rasa besi dari kulit bibir yang mengelupas meracuni udara di mulutku. Aku menangis.

Hari kedelapan
Senin pagi. Aku tak ingin ke kantor. Tak ingin bangun. Tak ingin i­ngat apa yang terjadi kemarin. Tak ingin aku pernah ada. Bodoh benar! Mabuk di Jumat malam. Mencium suami orang di hari Minggu.

Ingatan bahwa upacara semalam untuk Aphridote lebih banyak berisi makian, membuatku merasa makin kehilangan pegangan. Sudah satu minggu. Tapi, tidak ada yang terjadi. Aku mulai cemas, apakah engkau benar-benar ada, Aphrodite? Semalam kugeser kembali kedua lilin itu. Sudah hampir bertemu di tengah gambar hati.

Mungkinkah hanya dalam sisa separuh waktu ini, aku berhasil menemukan seseorang yang sudah kutunggu hampir separuh hidupku? Apakah kamu memang hanya murni hasil fantasi dan imajinasi orang yang lelah menghadapi realitas. Ataukah, kamu di atas sana sedang tertawa-tawa, Aphrodite? Karena, kalau kamu memang bekerja seperti seharusnya, tidak akan banyak kemalangan cinta bertebaran di muka bumi ini. Lihat saja selama ini. Begitu banyak kisah yang terjadi, namun hanya merupakan tambahan ironi dalam lembar-lembar buku kehidupanku.

“Aphrodite, kamu sama sekali tidak membantuku. Jika kau memang Dewi Cinta, dalam dua hari ini kamu harus mempertemukanku dengan pasangan hidupku. Kamu benar-benar dewi yang tidak becus dalam bekerja. Jangan sampai aku menganggapmu cuma wanita payah yang tidak punya kekuatan. Berhentilah bermain-main. Jangan coba-coba menjodohkanku dengan orang yang lebih parah dari yang kemarin-kemarin. Jangan sampai berani melakukan itu. Bantulah aku. Segera!”

Kuingat bagaimana lilin kutiup dengan sangat cepat. Sama sekali bukan upacara pemujaan.

Pagi ini matahari memancarkan sinarnya dengan kekuatan panas. Aku sudah kusut sebelum sampai di kantor. Lorong depan lift sudah sepi dari para karyawan yang biasanya mengantre. Aku sudah terlambat. Sekali lagi kusiapkan alasan yang sudah kuno selalu ampuh: macet.

Lift kosong. Di lantai lima lift terbuka. Masuklah manusia yang paling pandai menambah malapetaka. Deden. Saat melihatku, ia menyeringai lebar. Aku mengernyit masam. Benar-benar pagi pembuka hari yang menyebalkan. Dia lalu mulai bertanya-tanya hal menyebalkan soal keterlambatanku. Semua kujawab dengan acuh, hingga kemudian....

“Re, lift-nya jalannya agak aneh, ya?

Kudiamkan saja. Bosen menanggapinya!

“Re, jadi melambat.

Tapi, aku merasakan hal yang sama. Tarikan tali lift seperti tersendat, membuat kotak kecil ini bergoyang. Rasa panik mulai merambat naik. Dan…

bruk! Lift berhenti total.

Aphrodite! Aku ingin berteriak sekerasnya. Bercandamu sama sekali tidak lucu! Kalau aku harus terjebak di dalam lift, kenapa harus dengan Deden? Aku merinding. Apakah kamu mencoba menjodohkanku dengan dia? Aphrodite, kumohon, maafkan caci makiku tadi malam. Jangan lakukan ini!

Bergegas aku memencet tombol dengan goresan bergambar lonceng. Sebuah suara petugas terdengar.

“Bu, lift macet, ya? Tunggu sebentar, ya.

“Ya, Pak. Jangan lama-lama, ya. Panas sekali di sini.

Aku mendesah. Berapa lama lagi? Tidak mengertikah mereka bah­wa waktu satu detik di luar sana setara dengan hitungan satu jam di dalam lift? Aku ingin berjalan mondar-mandir untuk membunuh rasa gelisah, tapi takut membuat talinya putus oleh detakan kecil dari hak sepatuku. Deden diam saja. Mungkin, rasa takut telah mencekik pita suaranya. Syukurlah, ia bisa bersikap sesuai kehendakku.

Sepuluh menit yang panjang berlalu sudah. Aku berulang kali mendesah, mengeluh, mengumpat. Berulang kali kutekan tombol hanya untuk mendapat jawaban yang sama: Petugasnya sedang dipanggil. Aku bukan takut lift ini akan terempas, melainkan takut Aphrodite sedang menjalankan hukuman untukku dalam bentuk jatuh cinta dengan Deden!

Wahai, Aphrodite, aku bersumpah, jika bisa keluar dari lift dengan selamat, dalam arti aku tetap memandang Deden dengan kaca mata yang sama, aku akan menimbuni altarmu dengan rangkaian bunga mawar.
Tiga puluh menit berlalu. Udara makin sesak. Aku melirik Deden. Ia masih diam. Wajahnya pucat. Rupanya, rasa cemas telah membekukan semua saraf motoriknya. Ia lebih takut daripadaku. “Den, kalau bisa keluar dari sini, aku tidak akan marah-marah lagi padamu. Maaf, ya, kalau selama ini aku selalu judes.

Ia tersenyum, lalu menunduk. “Re, maafkan aku, ya. Aku sengaja menjatuhkan presentasi kamu. Kamu yang sebenarnya punya kesempatan lebih besar untuk naik jabatan. Tapi, aku tidak rela kalau kamu jadi manajer, sementara aku staf biasa, menjadi orang yang tidak akan pernah kamu pandang. Itu semua karena… karena… aku suka kamu!

Aku membelalak.

“Semua hadiah kecil yang kamu dapat itu dari aku.

Hening.

Yang satu hilang rasa karena lega yang melimpah-limpah. Yang satu tak tahu rasa, karena bingung meraba-raba.
Brak! Tiba-tiba lift mulai berjalan lagi.

Sampai di kantor, suasana panik sangat terasa. Pantas saja tidak ada yang memerhatikan kemalangan yang tadi menimpa kami. Tak ada yang duduk tenang di kursinya masing-masing. Saat Deden memasuki ruangan, semua arus emosi berbelok tersembur padanya. Den, disketmu ada virusnya!

Friesti berteriak, Gila, file-ku hilang. Kemarin kamu kan menyebarkan proposal dengan disket. Berarti, virus itu dari disketmu. Den, ayo, betulkan!

Aku tercekat. File bervirus? Astaga!

Panggil orang IT saja.

Semua orang berseru sebal padanya. Tapi, sebenarnya akulah yang duduk di kursi pesakitan. Semua ini salahku. Harusnya akulah yang dimaki-maki, bukan Deden. Ada sedikit dorongan untuk mengakuinya di depan umum. Tapi, sanggupkah aku menghadapinya? Biarlah kata hatiku memecut-mecut harga diri dengan kata pengecut. Tapi, aku tak mampu menerima kenyataan menjadi tidak disukai banyak orang. Maafkan aku, Den. Masalah nama baikmu akan kubereskan dengan cara lain nanti.

Re, bisa ke sini sebentar?

Pak Ray melongokkan kepalanya dari balik pintu. Ketika kumasuki ruangannya, ia telah menyiapkan selembar kertas.

Saya memerhatikan hasil kerjamu selama ini. Saya ingin kamu menggantikan posisi Pak Joko. Saya percaya kamu bisa. Selamat, ya.

Pak Ray mengulurkan tangan. Tuhan, aku sudah menghancurkan nama baik Deden untuk sesuatu yang percuma, untuk iri hati yang sebenarnya tidak perlu. Mungkin Aphrodite benar. Mungkin aku harus menebus kesalahanku dengan menikahi Deden.

Hari kesembilan
Agoraphobia adalah istilah untuk orang yang memiliki kecemasan berlebihan terhadap tempat terbuka. Claustrophobia adalah kebalik­annya. Lalu, bagaimana dengan aku yang selalu ketakutan, ketika melihat lift atau mendengar ponsel berdering. Mungkin ini bisa digolongkan sebagai penyakit liftphobia? Atau, bowophobia?
Ketakutanku pada Bowo rasanya tidak berlebihan. Aku bukan malu pada apa yang telah kami lakukan. Bukan takut pada berbagai kemungkinan reaksi yang akan ia keluarkan jika kami bertemu. Aku takut menemukan kenyataan bahwa ada sesuatu yang telah aku simpan begitu dalam untuknya.

Aku sedang sendirian berjalan keluar dari mal, ketika seseorang mendekatiku. Dia. Lagi-lagi dia. Dengan cepat kulangkahkah kaki, membuka pintu, dan melesak duduk di sampingnya.

Tondi, kita pulang, yuk.

Ia mengangguk, lalu membelokkan mobil keluar dari area mal.

Kita makan dulu, yuk.

Boleh, deh. Di mana?

Malam-malam begini enaknya makan sate.

Aku hanya menurut ketika mobil Tondi membawa kami ke daerah yang tidak kukenal dengan baik. Jalannya sempit dan lengang, namun padat oleh perumahan. Kami berhenti pada suatu areal kosong di samping rel kereta api. Di dekatnya ada sebuah gerobak sate dengan penerangan dan tempat duduk seadanya. Memang pengunjungnya cukup banyak, tapi masa, sih, Tondi biasa makan di sini? Seorang Tondi yang biasa memakai baju branded, clubbing, dan bermobil mewah, makan di emperan? Ini baru kejutan!

Kamu nggak keberatan makan di emperan, ’kan?

Tondi, ternyata aku tidak pernah mengenalmu.

Kami duduk di sebuah bangku panjang tanpa sandaran. Bekas tetesan kecap dan minuman terasa lengket di permukaan meja, yang hanya ditutup alas plastik sekadarnya. Beberapa tumpukan piring yang terganjal tusuk-tusuk sate, masih teronggok di depanku. Pembantu tukang sate segera datang menyingkirkannya, namun bau apek menguar tajam dari sisa kain lap yang baru saja disekakannya pada permukaan meja. Tapi, semua itu tertutup rapi oleh aroma bakaran daging yang gurih dan manis. Suara bakaran yang mendesis dan bergemeretak telah bercerita sendiri mengenai kelezatan makanan yang sedang dimasaknya.

Tondi memesan makanan dan dua gelas teh tubruk. Aku protes akan menggantinya dengan teh botol, namun Tondi mendesis bah­wa pasangan makanan yang serasi di sini hanyalah teh tubruk. Tak boleh yang lain!

Benar yang dikatakan Tondi. Sate-nya lembut. Rasa nikmatnya tak habis terdecap, meski telah meluncur masuk ke tenggorokan. Potongan cabai, bawang merah mentah dan tomat berpadu serasi dengan manisnya kecap hitam, yang makin mengentalkan rasa gurih hasil bakaran. Lontongnya pekat oleh aroma daun pisang yang merasuk ke dalam dan hampir terasa renyah karena begitu padat. Ketika perut terasa penuh oleh lemak yang menggumpal, seteguk teh tubruk mampu menetralkan dan membekaskan kesan akhir yang sempurna tentang sebuah kelezatan.

Aku baru tahu bahwa segelas teh yang terdiri dari batang-batang kecil dalam bentuk tidak teratur, ternyata bisa menghasilkan rasa yang begitu sedap. Iseng-iseng kuraih gelasnya yang sudah kosong.

Dalam perjalanan pulang, kami saling bercakap-cakap dengan lepas. Betapa tahun-tahun yang telah lewat seperti tidak pernah memisahkan kami.

”Thanks, ya, Tondi. Malam ini menyenangkan sekali.”

Ia mengangkat dagunya, menempelkan jari telunjuknya di pipi, mengisyaratkanku untuk menciumnya. Aku mencibir. Namun, rasa senang di hatiku mendorongku untuk menciumnya. Aku kaget sendiri. Lebih terkejut lagi mendapati reaksi Tondi yang tercengang.

Aku melangkah masuk ke teras rumah. Sesuatu membuatku menoleh lagi. Tondi masih di posisi yang sama, menatapku. Sebuah pandangan berpanah yang menembus sesuatu yang berdenyut di dada. Ada sesuatu yang berdesir. Namun, masa, sih, ia memandang dengan pancaran mata berbeda? Itu kan Tondi?!

Hari kesepuluh
Sebelum membuka mata kutahu sesuatu yang tidak menyenangkan telah terjadi. Tenggorokanku seperti ditancapi puluhan biji kedondong yang serat menyangkut. Kepalaku lekat di bantal karena begitu berat diangkat. Seluruh sendiku sulit digerakkan, seperti sudah kehilangan pelumas. Yang mengerikan, wajahku bengkak. Astaga! Kupaksa tubuhku keluar kamar. Mana bisa ketemu jodoh kalau terkurung di sini? Tapi, aku ambruk di depan pintu.

Hari kesebelas, kedua belas, ketiga belas
Tak ada jalan keluar dari kamar ini untuk membuka peluang tercapainya target 15 hari menemukan pasangan hidup. Jangankan keluar kamar, melakukan ritual malam untuk Aphrodite pun tak mungkin. Kecuali, Ibu mengizinkanku merangkak inci demi inci untuk sampai ke altar.

Namun, selama 3 hari ini mimpiku penuh dengan mimpi-mimpi yang membuatku makin ingin berlari menjelang kemungkinan hidup di luar kotak 4 kali 4 meter ini. Terkadang aku bermimpi terjebak di kamar sampai hari ke-30, sementara ketika kuminta pada Ibu untuk membawaku keluar, yang keluar hanya gemeletak bunyi tanpa kata dan tak bisa dimengerti.

Terkadang aku bermimpi tentang Fristie dalam bentuk laba-laba bertangan 12, yang mengawini semua pria yang tersisa. Aku hanya berteriak sampai serak, memohon untuk menyisakan seorang pria untukku. Tapi, dengan kejamnya ia menepisku, dengan tangan berbulunya yang ke-11, sementara tangan ke-12-nya memeluk pria terakhir yang tersisa.

Pernah juga aku bermimpi, Aphrodite ternyata seorang hakim pria dengan rambut palsu pirang yang mengetuk palu dan berkata, ”Kamu tidak melakukan pemujaan kemarin, ulang dari hari pertama!” Dan, ratusan mimpi lain, yang membuatku tidak henti mengutuki, kenapa virus flu tidak seperti virus komputer yang memakan habis memori.

Hari keempat belas
Aku sudah sehat dan siap pergi berburu pria lagi. Namun, hari penantian hampir berakhir. Mengapa tetap tidak terjadi apa-apa? Haruskah aku tetap melakukan upacara terakhir ini? Bulan di atas bulat penuh dalam sinar kuning yang terlalu terang, mengajakku tertawa. Namun, inderaku sedang terlalu tumpul untuk menanggapi gurauan sehalus apa pun.

Kugeser kedua lilin. Mereka bertemu tepat di tengah hati. Dua warna berlainan yang kelihatan cantik dan serasi dengan nyala yang berkedip-kedip, mencoba bertahan dari sentilan-sentilan angin kecil. Aphrodite, setelah kugantungkan seluruh harap hanya padamu, menga­pa engkau berkhianat? Kutiup mati nyala lilin-lilin itu dengan kesal.

“Aphrodite. Kamu memang tidak ada. Pasangan sejatiku juga tidak ada. Selamat tinggal dan kurasa aku tak merasa perlu mengucapkan terima kasih!”

Dengan langkah panjang aku masuk ke dalam dan menutup pintu belakang. Namun, lewat lubang kotak berkaca yang menempel di pintu, sempat kulihat tempat yang semula pernah menjadi altar yang kupuja-puja selama 15 hari terakhir. Sekarang ia kelihat­an suram. Bayang-bayang dari sinar bulan memberi warna yang memperkelam. Mungkin, bukan cuma masalah lilin mati yang melunturkan keindahannya. Namun, lebih karena ketika harapanku akhirnya mati, tempat itu turut kehilangan suasana kegaibannya.

Aku berjalan ke arah kamar. Bayangan kelabu itu masih berkabut tebal di ingatanku, ketika terdengar dering telepon membelah nyaring.

“Re, ini Tondi.” Tumben.

“Tadi aku mau merokok di taman atas, ketika melihat kamu menyalakan lilin. Aku tidak bermaksud mengintip. Tapi, kamu sedang melakukan ritual untuk Aphrodite, ya?”

Aku merasakan semburan rasa malu yang membakar wajahku. Bagaimana ia bisa tahu? Andai saja tubuh bisa mengecil jika diinginkan. Sekecil mungkin untuk menjadi tidak terlihat. Kenapa harus Tondi yang memergoki?

“Lalu, kamu mau apa? Ini pekaranganku sendiri,” jawabku berusaha marah untuk melindungi harga diri yang sudah tidak terselamatkan.

“Jangan marah-marah. Kamu tidak perlu malu.”

Aku terkesiap, bagaimana mungkin suaranya bisa selembut itu. Masa, sih, dia bisa mengerti dan memahami apa yang kulakukan.

“Ke rumahku, yuk. Aku mau memperlihatkan sesuatu padamu.”

Biasanya aku selalu menolak atau waspada, menduga maksud terselubung di balik itu. Namun rasa ingin tahu mengalahkan rasa-rasa yang lain. Aku ke luar rumah dan berbelok masuk ke halaman rumah Tondi. Ia telah menunggu dengan pintu depan terbuka. Tanpa berkata-kata, aku mengikutinya naik ke taman atas. Sesampai di sana, sinar bulan tampak dominan, walau tidak sempurna menerangi semua benda. Semua bentuk dan warna tetumbuhan yang ada, larut dalam warna yang sama, hitam atau kelabu. Tapi, aku tahu, ini masih taman yang indah. Sudah puluhan tahun aku tidak ke sini, padahal dulu ini adalah salah satu tempat bermain favorit kami.

Tondi terus berjalan ke ujung taman untuk menyalakan lampu. Ketika menjadi hidup oleh terang, Tondi menunjuk pada suatu sudut yang terlindung dari hujan oleh perpanjangan atap rumah. Pada bagian itu terdapat meja kayu yang sudah tua. Di atasnya terdapat dua lilin, yang sudah separuh batangnya, tanda pernah dinyalakan. Dua lilin berbeda warna yang berdiri berdampingan di atas gambar hati yang dibuat dengan kapur….

Aku terkejut. Lalu, tertawa terbahak-bahak. Senang sekali, ternyata bukan aku yang paling bodoh di dunia ini. Mungkin wajar saja jika aku yang melakukannya, karena aku hanyalah wanita di usia kritis, yang hampir mendekati masa tidak laku lagi di bursa pencarian jodoh. Tapi, Tondi, ternyata ia juga panik karena belum menemukan pasangan hidup.

Tondi pun tertawa. Tertawa ternyata membuat kami berdua terduduk lemas menempel pada tembok pembatas. Bulan tampak menguasai langit dengan sinarnya. Bintang-bintang kecil tampak tak kalah bersanding dengan kedip kilaunya. Cakrawala hampir terlihat biru seolah malam tidak ingin jadi kelam. Suasana redup tapi hangat. Sungguh malam yang tidak biasa.

Aku memandangnya. Ia memiliki semua modal yang membuatnya mudah mendapatkan siapa saja. Tapi, tetap tidak menjamin kemudahan untuk menemukan yang ia cari. Mungkin benar jika cinta dikatakan sebagai anugerah. Ia datang kepada siapa saja ketika harus datang, tanpa perlu berkorelasi dengan penampilan, kekayaan atau status.

“Jangan dilihat bahwa ini adalah sihir yang tiba-tiba mewujudkan semua impianmu. Ketika melakukan upacara ini, yang terpenting adalah kata-kata. Kata-kata bisa memiliki kekuatan, karena ketika diucapkan secara berulang kali, mereka mampu mensugesti diri kita pada suatu pemikiran, yang pada akhirnya mendorong perilaku kita untuk mengarah pada suatu tujuan.

”Sadar tidak, selama ritual ini berlangsung, banyak sekali peristiwa yang terjadi karena pikiran dan perilaku kita memang jadi lebih fokus terarah pada pencarian pasangan. Bukan sihirnya yang berhasil. Tapi, kemampuan sugestilah yang bekerja untuk memberi dorongan pada kita, agar benar-benar mau berusaha. Jadi, jika belum berhasil, kita jangan berhenti. Mungkin, kita perlu lebih sering berbicara hal-hal yang membuat kita semangat, agar spirit itu selalu terisi penuh energinya. Bagaimana kalau kita sekarang melakukan ritual berdua, tapi lebih untuk saling menyemangati?”

Mungkin kata-kata Tondi benar. Sayangnya, aku sudah kehilangan minat dengan segala macam mantera ini. Tapi… menye­nangkan juga punya teman untuk mencobanya lagi. Tondi berdiri, menyalakan kedua lilin dan menyerahkan salah satunya padaku. Dengan satu tangannya yang bebas, Tondi meraih jemariku dan memejamkan mata. Dalam jarak sedekat ini aku bisa melihat betapa tampannya dia. Sinar bulan memberi bayang-bayang misterius, yang menegaskan lekuk-lekuk rahang dan dahi indah yang ia punya.

Suasana menjadi hening. Jalan langit terbuka bebas untuk melepaskan mantera. Kami mengucapkan keinginan dengan perlahan-lahan, seolah seluruh jiwa lepas satu-satu lewat setiap kata. Mungkin, ini hanya imajinasi atau memang benar-benar terjadi. Jutaan kerlip kecil terbang membelah angkasa, lalu menyebar di ketinggian. Kami hanya memandang takjub pada langit yang menjadi benderang.

Tondi menatap, sinar-sinar kecil tampak memantul di matanya. Tiba-tiba saja diriku diraja oleh suatu keinginan, yang ia tahu pasti, lewat caraku memandang tepat ke bola matanya. Kami saling memejamkan mata dan mencari bibir satu sama lain. Rasanya, sungguh fantastis. Seperti seluruh anggota tubuh yang lain melebur dan hilang menjadi partikel udara. Hanya tinggal bibir yang bergerak, memberi dan diberi dalam kenikmatan yang tak pernah habis tersalurkan.

Tapi... apa-apaan? Dia kan Tondi! Kuhentikan gerakanku. Ia masih terpejam mencari. Tuhan, pria ini sungguh indah. Bersamaan dengan ia membuka matanya, aku sudah berbalik dan bergegas ke rumah. Gila! Bodoh benar! Aku hanya akan jadi wanita kesekian Tondi. Lupakan! Lupakan! Anggap yang tadi tak pernah ada. Aku hanya akan jadi koleksinya. Tidak! Terima kasih!

Hari kelima belas
Aku berangkat ke kantor. Berusaha bersikap seperti biasa. Terlalu takut berharap. Andaikata hari terakhir ini tidak terjadi apa-apa, apa lagi yang bisa kupercaya, jika berharap pun tidak lagi berani?

Biasa. Biasa. Biasa. Mobil yang sama. Rute yang sama. Jalan yang sama. Kemacetan yang sama. Akankah besok hariku lebih membosankan? Sebentar. Rupanya, ada yang tidak biasa. Freonku habis. Bagus benar! Kubuka jendela mobil, berharap udara pagi masih cukup sejuk untuk mengganti fungsi AC. Tak peduli jika ada pencoleng yang meminta paksa dompetku.

Ketika makin jenuh oleh jalan tersendat-sendat, dari sudut mata kulihat mobil di sampingku juga membuka jendela. Kenapa? AC mati juga? Aku terpaksa menoleh, ketika klaksonnya berbunyi dan terbengong-bengong, mendapati seseorang yang cute di sana, sedang melempar senyumnya, sebelum melaju mendahului. Ada apa, ya? Apakah tadi aku sempat menyuarakan kekesalanku, sehingga terlihat seperti gadis sinting?

Tapi, sesuatu yang aneh kembali terjadi ketika sedang menunggu lift. Semua orang menatapku. Bahkan, beberapa pria mencuri-curi pandang lewat bayangan pada cermin yang tertempel di dindingnya. Kenapa? Ada apa, sih? Ketika sampai di lantai yang kutuju, dengan tak sabar aku masuk ke dalam toilet dan memeriksa diriku pada kaca lebar yang tertempel di atas wastafel. Make up-ku biasa saja, malah cenderung pucat. Rambutku tidak sedang mengembang aneh. Pakaianku juga netral, atasan cokelat muda dan bawahan cokelat tua. Tidak ada yang aneh. Lalu, apa yang mereka lihat?

”Rere, kamu kelihatan beda hari ini,” pekik Fristie.

Aku tiba-tiba baru menyadari pantulan di cermin itu. Mungkin karena vitamin-vitamin yang kuminum selama sakit. Atau, kemung­kinan, mantera Aphoridite tiba-tiba manjur. Dengan berdebar aku mulai mengamati bayanganku. Masih orang yang sama, gaya yang sama, penampilan yang sama. Tapi, ada sesuatu yang mirip kilau samar yang berpendar di seluruh tubuhku. Seperti kilau berlian yang tertimpa sinar. Atau, pantulan cahaya pada kristal. Kilaunya hanya pendar samar yang terputus-putus. Tapi, tetap saja kilau yang menarik, seperti laron terpesona cahaya lampu.

Ponselku bergetar. SMS masuk. Dari Bowo. Ia tuliskan puisi panjang lebar, bahwa ia menyimpan semua kenangan tentangku dalam kotak waktu berlabel ‘Tak Pernah Ada’. Ia tegaskan, tak ada jalan untuk kami berdua.

Aku mendesah. Dulu pun tidak pernah ada jalan untuk kita. Apalagi, sekarang. Masih dengan bingung aku keluar dari toilet, berjalan melewati lobi. Jantungku berhenti berdetak. Bowo ada di situ. Juga Andre. Mereka berdiri bersamaan. Menyapa hampir serempak, lalu saling menoleh mendapati bahwa mereka menunggu orang yang sama. Tapi, Bowo melangkah lebih cepat.

”Re, bisa bicara sebentar?”

”Eh, sebentar, aku menunggu lebih dahulu,” tukas Andre.

”Kamu punya urusan apa?”

Bowo menjadi ungu wajahnya. Sementara Andre yang biasanya penuh sopan-santun berkacak pinggang menantang Bowo. Hawa permusuhan menaik. Tapi, semua terlalu berlebihan. Ini seharusnya tidak terjadi. Sepertinya mantera Aphrodite terlalu manjur.

Bowo menarik paksa tanganku, Andre dengan cepat menepiskan lengan Bowo, hingga pegangannya terlepas. Bowo mendorong Andre dengan kasar. Andre balas mendorong hingga Bowo hampir terjengkang. Bowo cepat berbalik, mendorong kembali dengan ke dua tangan yang membuat Andre terjatuh, Namun, ia cepat berdiri dan melayangkan pukulan. Bowo mengaduh. Tapi, cukup! Kudorong Andre menjauh, sebelum menerima balasan Bowo.

”Kalian sudah gila, ya? Aku tidak akan pergi dengan siapa pun!”

Aphrodite, kamu keterlaluan! Bowo sudah punya istri, Andre pria yang tak pernah lepas dari bayang-bayang kekasih lamanya. Bukan seperti ini yang kuharapkan dari manteramu. Aku hanya ingin satu. Satu cinta sejati.

Di ruanganku sudah ada Deden. Ketika melihat caranya memandang, aku mengeluh dalam hati. Pak Ray tiba-tiba memanggil, mengajakku ke kantor cabang. Tapi, kami hanya berdua, karena sopir Pak Ray sakit. Ya, Tuhan, seperti yang tadi belum cukup saja!

Mobil melaju. Sepanjang 10 menit perjalanan, hanya kesunyian yang mengisi. Rupanya, hari ini memang dimaksudkan tidak pernah menjadi hari yang biasa. Pak Ray membuka suara. ”Re, maafkan aku. Selama ini aku menjauh darimu. Tapi, sekarang aku sadar, yang kuinginkan hanyalah kamu. Maukah kamu jadi milikku?”

Matahari mungkin telah menabrak bumi yang cahayanya membutakan mataku, membuat tubuhku bergetar panas. Aku hampir pusing karena tidak percaya, ketika yang kuangankan jutaan kali akhirnya terjadi. Inderaku tak punya kesiapan untuk merespon.

”Maaf, Pak. Saya tidak bisa. Maafkan saya.”

Aku mencintai seseorang. Tentu saja bukan Deden. Bukan Andre. Bukan pula Bowo. Apalagi, Pak Ray. Seseorang yang telah jauh lama berada di hatiku. Sesuatu telah berbisik, bahwa ia juga merasakan hal yang sama denganku. Ia memang selalu punya wanita lain. Namun, ada keyakinan tak berdasar yang mantap berbicara, bahwa mulai malam tadi, hanya akulah yang menempati tempat terbesar di hatinya. Aku tak tahu bagaimana bisa tahu. Tadi malam adalah pertemuan dua lekukan puzzle yang telah lama saling mencari. Kukira aku akhirnya telah lengkap dan menemukan.

Aku pulang ke rumah. Tak ada lagi nyali untuk menghadapi semua kegilaan di dunia luar sana. Memang, tak pernah ada jalan mudah untuk mencari cinta.

Rumah sepi. Kamarku gelap oleh tirai tebal yang berjurai. Kubuka satu tirainya. Kulihat sosoknya mengawasi di depan jendela kamarnya, mengirim senyum. Kedua telapak tangannya menapak pada kaca jendela, sama denganku. Ia jauh di atas, tersekat oleh jarak. Tapi, kurasakan permukaan jari-jari kami bersentuhan, membaurkan batas dan mengalirkan hangat.

No comments: