12.22.2010

Ayah

Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di siang bolong. Membuatku ketakutan, menebak-nebak berbagai kemungkinan. Kalau dia bukan ayahku, lantas siapa ayahku yang sebenarnya?

JAKARTA, NOVEMBER 1987
Matahari baru saja menampakkan diri. Langit pagi semburat ke­merahan. Angin lembab bulan November berebut memasuki ka­mar, melalui jendela yang terbuka. Aku mematut diri di depan cer­min. Menatap seragam biru putihku yang sedikit kedodoran.

“Wah, wah, wah! Si pipi merah hari ini sudah jadi anak SMP!”

Tanpa sempat kudengar langkahnya, Ayah berdiri di belakangku, sambil tersenyum menggoda. Selalu begitu. Ia lupa mengetuk pin­tu sebelum masuk kamar. Aku cemberut.

“Ya, ya, ya! Ayah angkat tangan! Silakan tembak! Ayah mengaku salah tidak mengetuk pintu sebelum masuk!”
Aku terkikik geli melihat Ayah mengangkat kedua tangannya, se­perti penjahat tertangkap polisi. Pagi-pagi begini Ayah sudah rapi. Sepertinya, ia hendak bepergian jauh.

“Semalam kau sudah tidur sewaktu Ayah datang. Rencananya, pagi ini Ayah akan berangkat ke Hong Kong untuk urusan bisnis.”

“Ayah pergi berapa lama?” tanyaku, penasaran.

Ayah merangkul bahuku. “Hanya sebulan. Kau baik-baik di rumah, ya. Jangan nakal, ya. Oh, ya, Ayah belum mengucapkan selamat padamu.”

Aku mengerutkan dahi.

“Selamat, ya! Kau berhasil masuk SMP favorit dengan nilai ujian paling tinggi. Kau memang anak Ayah yang hebat!”

“Terima kasih, Ayah!”

Aku tersenyum bahagia, sambil membalas pelukannya. Ayah se­lalu penuh perhatian dan kelembutan padaku.

“Oke, Sayang! Ayah berangkat dulu, ya!”

Ayah mengacak rambutku, lalu melangkah keluar kamar. Aku me­ngikuti di belakangnya. Tante Erna sudah menunggu di samping mobil yang diparkir di halaman. Bagas duduk di be­lakang kemudi. Sebelum masuk ke dalam mobil, Ayah mencium keningku. Tak la­ma kemudian, mobil menderu meninggalkan halaman. Aku me­lambaikan tangan, sambil tersenyum kepada Ayah.

“Ia bukan ayahmu yang sebenarnya, Laras. Tak pantas kau ber­man­ja-manja dengannya seperti itu. Lihatlah di cermin! Raut wa­jahmu saja sama sekali tak mirip dengannya.”

Aku memandang Tante Erna. Sudah lima kali ia mengatakan hal itu padaku, meskipun selalu dengan suara berbisik. Namun, ke­tika kata-kata itu sampai telingaku, rasanya seperti petir yang menyambar di siang bolong. Membuatku ketakutan, menebak-nebak berbagai kemungkinan yang sebenarnya telah terjadi. Ka­lau dia bukan ayahku, lantas siapa ayahku yang sebenarnya?

“Ibumu hamil oleh pria yang tak bertanggung jawab. Pria yang sekarang kau anggap ayahmu itu terpaksa menikahinya hanya ka­rena kasihan. Lalu, lahirlah kamu, Laras.”

Tidak seperti sebelumnya, kali ini Tante Erna memberikan ja­waban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengendap di kepalaku. Begitu jelas dan tegas. Membuatku ternganga tak percaya. Seperti itukah proses kelahiranku ke dunia? Betapa menyakitkan….

Jantungku berdebar kencang. Mukaku terasa panas. Aku ber­ge­gas meninggalkan halaman. Namun, Tante Erna mencekal lenganku.

“Aku mengatakan hal ini karena Mas Pram tak tega mengatakan padamu bahwa ia bukan ayahmu. Ingat, ini rahasia kita berdua!”

Aku mengangguk lemah. Setelah Tante Erna melepaskan ce­kalannya, aku berlari memasuki kamar. Kukemasi peralatan se­kolahku tergesa. Selintas kulihat bayanganku di cermin. Raut wa­jahku memang berbeda dari Ayah. Alis, mata, hidung, sama sekali tak ada yang mirip. Kulitku kuning langsat, sementara kulit Ayah hitam legam.

Terkadang, aku ingin mengatakan bahwa diriku mirip Ibu, tapi tidak juga. Wajahku memang sedikit mirip Ibu, namun kulit Ibu sawo matang. Jadi, dari mana kudapatkan kulit kuning langsat ini?

Ah, hari ini seharusnya aku bahagia karena pertama kali ma­suk Sekolah Menengah Pertama. Ayah membelikan se­mua per­lengkapan sekolah baru. Tapi, Tante Erna merusak keba­hagiaanku dengan kata-katanya yang pedas.

Tiga tahun yang lalu ibuku meninggal karena kanker payudara. Setelah dua tahun hidup sendiri, Ayah memutuskan menikahi Tan­te Erna. Kabarnya, Tante Erna ini adalah teman Ibu semasa se­kolah di kota. Tante Erna seorang janda yang hidup bersama se­orang anak laki-laki, yakni Bagas, yang umurnya tiga tahun lebih tua dariku. Meskipun aku kurang menyukai sikap Tante Erna yang menekan, aku terhibur oleh perhatian Ayah. Ia tak pernah be­rubah. Aku merasa tak pernah kehilangan Ayah, meski dengan kehadiran seorang ibu tiri.

“Kau tahu siapa dirimu yang sebenarnya kan, Laras? Jadi, jangan berharap mendapatkan banyak fasilitas. Mulai hari ini, Pak Narto tak bisa lagi mengantarmu ke sekolah atau ke rumah teman-te­manmu. Mulai sekarang, kau harus naik angkutan umum!”

Aku terbangun dari lamunan tentang Ibu karena mendengar su­ara Tante Erna. Tante Erna berdiri di depan pintu kamar de­ngan muka masam. Aku benar-benar tak suka melihatnya. Sete­lah menyandang tas sekolah, aku bergegas. Tanpa sarapan, aku ber­pamitan pada Tante Erna. Selera makanku sudah menguap en­tah ke mana.

Sebulan kemudian Ayah datang dari Hong Kong. Ia terlihat ce­mas melihatku naik angkutan umum ke sekolah. Beberapa kali ia menanyakan padaku mengapa aku tak mau diantar sopir. “Aku ingin belajar mandiri, Ayah.” Begitu aku selalu menjawab.

Waktu terus beringsut maju, menggantikan jam demi jam men­jadi hari, minggu, dan bulan. Tanpa kusadari sepenuhnya, aku semakin menjauh dari Ayah. Aku tidak mengizinkan Ayah memasuki kamarku seperti dulu. Aku menghindar setiap kali Ayah berusaha merangkul bahuku, mencium keningku, atau se­­kadar mengacak rambutku. Aku menutup telinga setiap kali Ayah memanggilku dengan sebutan kesayangan ‘si pipi merah’. Aku merasa tak pantas bermanja-manja padanya. Ia hanya se­orang pria yang jatuh kasihan melihat aku lahir tanpa pria yang seharusnya menjadi ayahku. Aku malu!

Tak pernah kujawab pertanyaan Ayah tentang perubahan si­kapku yang drastis. Aku lebih suka mengurung diri di dalam ka­mar. Mengabaikan rayuan Ayah dan ajakan Bagas untuk jalan-jalan keliling Jakarta. Setiap kali merindukan perhatian Ayah, aku menenggelamkan diri pada buku-buku sekolah. Belajar te­lah menjadi hiburan paling menyenangkan bagiku, di samping ber­khayal cepat-cepat meninggalkan rumah ini dan pergi jauh. Ya, aku ingin sekali pergi jauh….


JAKARTA, NOVEMBER 2005
Aku berdiri mematung di depan jendela apartemen. Meman­dangi langit senja yang menghitam. Dari lantai delapan apartemen tempatku berada kini, lalu lintas kendaraan dan orang-orang di jalanan Jakarta seperti semut-semut berlarian. Aku baru saja me­rapikan tirai jendela ketika bel berbunyi.

Ting-tong…!

Dari lubang kecil di pintu, kuintip tamu yang datang. Oh, rupanya dia yang datang! Seraut wajah tampan berahang kukuh menyembul dari balik pintu. Senyum simpatiknya mengembang. Tubuh atletis di depanku itu menggigil kedinginan. Seluruh pa­kaiannya basah kuyup.

“Di luar hujan deras! Mobilku masuk bengkel. Terpaksa aku naik angkutan umum. Semua sopir taksi mogok karena kenaikan BBM. Beginilah jadinya, basah kuyup!” jelasnya tanpa kutanya, se­telah kami duduk di ruang tamu mungil apartemenku.

Aku tertawa kecil. Mata elangnya menyambarku. Aku meng­alihkan pandangan pada rak penyekat ruangan yang berisi cen­dera mata dan buku-buku sastra kesukaanku
.
“Bagaimana, Laras? Kau menyukai apartemen ini?”

Aku mengerutkan kening. “Hmm, bagaimana, ya?” Pura-pura berpikir, sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan apartemen.

Sebelum pulang ke Indonesia usai program beasiswaku di Bos­ton, aku meminta Rayan mencarikan sebuah apartemen untuk tempat tinggal. Terletak di pinggiran kota, apartemen ini lebih da­ri cukup bagiku. Sebuah kamar tidur, dapur, dan satu ruangan yang kuatur sedemikian rupa menjadi ruang tamu dan ruang ker­ja dengan sebuah rak besar sebagai sekatnya. Dari kantorku, se­buah televisi swasta tempatku bekerja sebagai creative director, aku hanya perlu masuk tol dalam kota, lalu menuju kawasan ba­rat Jakarta. Dengan demikian, aku bisa lebih menghemat waktu karena menghindari kemacetan yang semakin menggila di ja­lanan Jakarta. Tapi, seperti biasanya, Rayan selalu khawatir aku tidak menyukai pilihannya.

“Laras, kau suka atau tidak?” Rayan mengulangi pertanyaannya, dengan wajah cemas yang diam-diam kunikmati.

“Hei, jawab, dong! Kalau kau tak suka, kita bisa mencari tempat lain dan kau bisa memilihnya sendiri. Apartemen yang sudah kau beli ini akan kuganti uangnya untuk membeli apartemen barumu.”

Aku tertawa. Rayan mengerutkan dahi, bingung. Dalam ke­adaan serius dan cemas begini, Rayan terlihat semakin tampan di mataku.

“Kenapa, sih, kau selalu saja takut aku tidak menyukai pi­lihanmu?”

“Karena aku tidak ingin mengecewakanmu,” jawabnya, sambil melingkarkan lengannya di leherku dan mendekatkan wajahnya.

Aku menarik diri, menghampiri coffee maker yang berbunyi dari arah dapur. Kutuangkan kopi ke dalam dua cangkir. Secangkir kopi di senja yang dingin seperti ini terasa sangat nikmat.

“Aku boleh menginap di sini malam ini?” Rayan menghirup kopinya, sambil mengedipkan sebelah matanya padaku.

“Meskipun sekarang aku tinggal di apartemen, semua aturan te­tap berlaku. Jam tamu untuk pria hanya sampai pukul 9 dan tak boleh masuk kamar, apalagi menginap! No way!”

“Ck, ck, ck! Jangan-jangan, setelah kita menikah pun aturan itu tetap berlaku?” Rayan terkekeh. “Kukira, Boston telah meng­ubahmu. Tapi, ternyata, kau masih yang dulu. Ah, aku semakin mencintaimu. Tapi, kapan kau mau menikah denganku, Laras?”

Aku menghela napas berat. Menikah? Bukan sekali dua kali, Ra­yan mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Bahkan, Rayan sudah meminangku usai wisuda sarjana enam tahun yang lalu. Mu­lanya, kami bertemu di sebuah komunitas backpacker ketika masih sama-sama mahasiswa. Sesama penggila traveling, kami sering me­­lakukan perjalanan bersama. Ia mempunyai kesabaran seluas sa­mudra, sikap sekokoh karang, dan kesetiaan seperti ombak yang tak jemu mengunjungi pantai. Aku mencintainya.

Tak ada keraguan lagi untuk menerima Rayan sebagai pendam­ping hidup. Begitu pula sebaliknya dengan Rayan. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal langkahku untuk menikah. Rayan pun mengetahui ganjalan itu. Seorang anak gadis seharusnya di­ni­kahkan oleh ayah kandungnya. Aku ingin menemukan ayah kan­dungku sebelum menikah dengan Rayan.

“Sorry. Sepertinya, aku membuatmu sedikit bersedih. Tapi, ja­ngan khawatir! Aku akan tetap menunggumu, meski sampai memutih ram­butku!” Rayan meringis, sambil melirikku dengan sudut matanya
.
“Sejak menjemput di bandara, kau menggombaliku terus, Rayan!”

“Aku sangat merindukanmu, Laras. Kau terlalu lama pergi ke Boston. Membuatku kesepian, merana, dan hampir mati.”

Aku pura-pura menutup telinga. Tapi, Rayan malah meng­go­daku. Mengeluarkan rayuan gombalnya, sambil tersenyum-se­nyum. Membuat tanganku tak tahan lagi untuk tidak men­daratkan cubitan di lengannya. Senja yang dingin berubah hangat oleh kehadiran Rayan.

Aku menghela napas berat. Menikah? Bukan sekali dua kali, Ra­yan mengutarakan niatnya untuk menikahiku. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal langkahku untuk menikah.

Rapat produksi baru saja usai. Aku kembali ke ruang kerjaku. Menyalakan laptop dan mulai memeriksa e-mail. Kusempatkan membalas e-mail dari rekan-rekan kerja yang mampir di inbox. Men­jelang tahun baru nanti aku akan sangat sibuk. Aku harus membuat variety show malam tahun baru. Rancangan produksi itu harus segera kuselesaikan. Mungkin, sebaiknya aku tak mem­buang waktu. Aku baru saja akan membuka beberapa file pe­ker­jaan ketika telepon berdering.

“Bu Laras, ada telepon dari teman untuk Ibu di line satu. Mau diterima atau Ibu sedang sibuk?”

Aku mengerutkan kening. Tidak banyak teman yang tahu no­mor kantorku sejak aku meninggalkan Indonesia dua tahun lalu.

“Dia menyebutkan namanya?”

“Iya, Bu. Namanya Bagas.”

Aku tersentak. Bagas. Dari mana dia tahu aku sudah kembali ke Indonesia? Bahkan, sebelum kepergianku ke Boston pun, kami tak pernah berkomunikasi. Aku benar-benar menjauh dari keluarga. Terakhir bertemu dia, saat wisuda sarjanaku enam tahun yang lalu.

“Bu, mau diterima teleponnya?”

Pertanyaan itu menyentak lamunanku yang sekejap. “Saya akan terima teleponnya. Terima kasih.”

Aku masih sempat berpikir, mengapa tidak menolak saja te­le­pon dari Bagas. Tapi, sudah terlambat untuk menolaknya, karena suara berat itu sudah hinggap di telingaku.

“Hai, Laras. Kita bisa ketemu di kantin kantormu siang ini?” kata Bagas, tanpa kalimat pembukaan sekadar untuk berbasa-basi.

Aku memutar otak. Mencari-cari alasan untuk menghindari per­temuan dengan Bagas. Sebelum aku memberikan alasan, Ba­gas sudah mendahului bicara, dan aku tak bisa mengelaknya.

“Kutunggu, ya! Setengah jam lagi.”

“Tapi, aku….”

“Sibuk? Aku tahu seorang creative director pasti sangat sibuk. Tapi sesibuk apa pun, kau pasti makan siang ‘kan? Aku tidak meminta waktumu yang lain. Hanya bertemu sebentar, sambil makan siang!”

Aku memeriksa jam. Pukul 11.40. Mungkin tak ada salahnya aku menemui Bagas. Bagaimana pun kami pernah tinggal dalam satu keluarga.

“Baiklah, tunggu aku di kantin.”

Bagas menutup telepon. Aku mengurungkan niat membuka beberapa file pekerjaan. Setelah mematikan laptop dan merapikan diri, aku bergegas ke kantin. Kutolak ajakan teman-teman kantor untuk makan di luar area kantor.

Kantin masih sepi. Jam makan siang memang masih kurang se­puluh menit lagi. Aku mengedarkan pandangan. Mencari ke­beradaan Bagas. Tak ada sosok yang kukenali enam tahun lalu. Hanya ada seorang pria jangkung, berambut semi gondrong, du­duk di pojok, sambil menikmati segelas orange juice. Apakah Ba­gas belum datang? Atau, dia sedang mempermainkanku? Ah, yang kuingat, Bagas bukan tipe pria yang suka menyalahi janji, meski senang bergurau dan menggodaku.

“Laras! Aku di sini!”

Pria berambut semi gondrong itu melambaikan tangannya pa­daku. Siapa dia? Ragu-ragu aku mendekat. Setelah langkahku men­capai mejanya, pria itu meringis. Memamerkan sederet mu­tiara putih. Dengan senyum lebar yang cukup manis itu, aku se­gera mengenali bahwa ia adalah Bagas.

“Kau lupa padaku?” Bagas tertawa.

Aku tersenyum, sambil menelitinya. Ia banyak berubah. Ram­­butnya yang dulu dipotong sangat pendek sekarang di­biarkan gondrong. Kalau dulu penampilannya selalu rapi, kini ia mengenakan celana jins, kaos oblong, dan jaket. Di kursi sam­pingnya teronggok ransel hitam. Kuakui, dia tampak lebih keren ketimbang enam tahun lalu.

“Kau banyak berubah, Laras,” kata Bagas, seperti mengerti jalan pikiranku.

“Begitulah. Kau juga banyak berubah, penampilanmu sekarang ini sudah seperti seniman saja.”

Bagas tertawa, sambil menyodorkan daftar menu padaku. “Se­karang aku memang seniman, Laras. Itulah duniaku yang se­sungguhnya. Hidup ini penuh pilihan. Aku memilih menjadi se­niman, meskipun Mama sangat tak setuju.”

Mataku menekuri daftar menu, sambil menulis pesanan makan siang.

“Selesai kuliah, aku sempat bekerja di kantor Ayah. Sebenarnya, aku tak ingin mengecewakan Ayah dan Mama. Tapi, aku tak tahan bekerja di belakang meja. Akhirnya, aku memilih keluar dan menjadi penulis freelance. Selain menulis puisi, cerpen, novel, dan artikel, aku juga menulis skenario untuk televisi tempatmu bekerja ini. Terkadang, aku juga pentas teater bersama kawan-kawan ke berbagai kota.”

“Oh, ya?”

Bagas mengangguk, lalu menyebutkan sejumlah sinetron yang skenarionya dia tulis dan menempati rating tertinggi. Ada binar ke­banggaan di matanya. Aku tersenyum mengingat Bagas sewaktu SMA. Ia banyak berbohong pada Tante Erna agar bisa ikut latihan teater di sekolah. Tak jarang cerpennya muncul di majalah-majalah remaja dan menggunakan namaku sebagai tokoh antagonisnya. Tante Erna tidak menyukai kegiatan Bagas. Ia tidak menginginkan anaknya jadi seniman. Apa kabar Tante Erna sekarang? Juga Ayah? Ada perih yang menggores dadaku.

“Kau tak ingin pulang barang sebentar, Ras?”

Aku pura-pura tak mendengar kata-kata Bagas. Dengan se­te­ngah hati, kusendok nasi soto yang baru saja dihidangkan pelayan. Sebenarnya, selera makanku sudah hilang sejak Bagas menelepon tadi. Tapi, aku tak mau mengorbankan lambungku untuk per­te­muan ini.

“Tak pantas kau bersikap seperti ini, Ras. Kau masih punya keluarga. Coba ingat! Berapa lama kau meninggalkan kami? Sejak lulus SMA, kau tinggal di kos dan tak pernah pulang. Begitu pula setelah bekerja. Ketika berangkat ke Boston, kau juga tak pamit. Setelah kembali ke Indonesia, kau pun diam saja. Kau anggap apa kami ini?”

Tiba-tiba mukaku memanas. “Jadi, kau menemuiku hanya untuk bicara ini? Lagi pula, dari mana kau tahu semua per­kem­banganku?”

“Aku selalu tahu perkembanganmu, Ras.”

“Untuk apa kau memata-mataiku?”

Aku mendorong semangkuk nasi soto ke tengah meja. Selera ma­kanku benar-benar hilang.

“Untuk Ayah. Beliau sangat merindukanmu.”

Mendadak darahku naik ke ubun-ubun. Aku tak suka melihat wajah Bagas. Dia datang hanya untuk menyalahkan, menuntut, dan menekanku. Dia tak berbeda dari Tante Erna, mamanya. Aku bangkit, mengeluarkan selembar uang, dan menaruhnya di atas me­ja. Bagas tercengang-cengang melihatku keluar kantin tanpa pa­mit padanya. Dia sungguh tidak mengerti apa yang telah terjadi se­­sungguhnya.

Dan, dia tidak akan pernah mengerti bahwa aku menahan air mata agar tak jatuh. Tanganku gemetar ketika memencet tombol lift. Biarlah Bagas menyimpan ketidakmengertiannya itu selama-lamanya dan rahasia tentang Ayah tetap menjadi rahasiaku bersama Tante Erna.

Di hari ulang tahunku, Bagas membawa kabar bahwa Ayah sakit. Ternyata, itu kabar bohong. Lalu, mengapa aku masih mengharapkan Ayah ingat ulang tahunku?


Aku memandangi mawar merah di vas. Kubelai kelopaknya yang segar. Harumnya menebar ke seluruh ruangan kamar. Rayan mengirimkannya lewat seorang pengantar bunga. Sabtu, 24 Desember. Hari ini aku ulang tahun. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Rayan tak pernah alpa mengirimiku mawar merah segar pagi-pagi buta. Aku menyukai keromantisannya itu.

Tiba-tiba bel berbunyi. Aku berjalan ke pintu. Dan, terkejut melihat siapa yang datang. Bagas! Untuk apa dia datang ke sini? Rupanya, dia juga sudah tahu tempat tinggalku. Aku geram melihat wajahnya.

“Boleh aku masuk?”

Tak kujawab pertanyaan basa-basinya. Kubiarkan pintu terbuka dan dia mengekor langkahku masuk ke ruang tamu.

“Untuk apa kau ke sini?” tanyaku, sinis.

Kami duduk berhadapan di kursi ruang tamu. Bagas menurunkan ranselnya, lalu menatapku.

“Untuk minta maaf padamu.”

Aku mendengus. Membuang pandang dari matanya.

“Maafkan kalau kata-kataku di kantin dulu kasar padamu. Aku hanya….”

“Kau ke sini untuk membela diri?”

Bagas menggeleng, lalu mengeluarkan sesuatu dari ransel hitamnya.

“Selain meminta maaf, aku juga ingin mengucapkan selamat ulang tahun padamu,” katanya, sambil menyodorkan sebuah bungkusan yang terbungkus rapi. “Semoga kau menyukainya.”

Aku terdiam. Kubiarkan tangan Bagas tetap terulur.

“Laras, kau bisa membuangnya kalau tak suka. Tapi, terimalah dulu. Setidaknya usahaku membohongi satpam di depan dan tersesat sejak subuh untuk mencari apartemenmu ini tidak sia-sia.”

Dalam hati aku tertawa geli. Sejak dulu Bagas memang suka nekat dan sering berbuat konyol. Aku menerima bungkusan itu. Menimang-nimangnya sebentar, lalu membukanya perlahan. Sebuah novel tebal menyembul dari balik kardus kado. Aku terbela­lak sesaat, namun berusaha menyembunyikan kegembiraan di depan Bagas. Sudah lama aku mencari-cari novel sastra ini. Tapi, hasilnya nihil. Semua toko buku tidak memilikinya. Di internet pun tak ada. Dan, sekarang Bagas menghadiahkannya untukku. Ini kejutan luar biasa.

“Kau suka novel itu, ’kan?”

Aku mengangkat bahu. “Belum tahu.”

“Aku bisa melihat dari binar matamu. Kepekaan seorang seniman tak bisa dibohongi, Ras.” Bagas tersenyum. Seketika aku meletakkan novel itu di atas meja dan memandang Bagas.

“Maumu apa, sih, sebenarnya?”

“Aku mau minum. Boleh minta minum? Aku benar-benar haus setelah nyasar ke sana kemari. Angkutan ke sini susah, ya?”

“Kenapa tak membawa mobilmu?”

Bagas tertawa. “Mobil yang mana? Aku belum punya uang untuk membeli mobil. Mobil di rumah itu milik Ayah dan Mama. Jadi, aku tak akan membawanya untuk urusanku. Risiko pilihan terkadang memang berat. Tapi, aku menikmatinya. Nantilah, kalau sudah bisa menabung, aku akan membeli mobil mewah. Ha… ha… ha… harus kaya raya dulu, ya, untuk bisa beli mobil?”

Aku tidak ikut tertawa, tapi malah tercenung.

“Boleh minta minum, ’kan? Please….”

Mau tak mau aku menahan tawa mendengar kata-katanya yang meminta belas kasihan. Aku bangkit ke dapur untuk membuat minuman. Ketika sedang sibuk di dapur, telepon di ruang tamu berdering. Kulihat Bagas mengangkatnya, kemudian memberi tahu ada telepon untukku.

“Siapa yang tadi mengangkat telepon?” suara Rayan dari sebe­rang terdengar curiga.

Aku terdiam. Ketika kuceritakan pertemuanku dengan Bagas di kantin beberapa waktu lalu, Rayan kelihatan tak suka. Rayan memang cemburu pada Bagas sejak pertemuan mereka di wisuda sarjanaku enam tahun lalu. Menurut Rayan, perhatian Bagas terlalu berlebihan padaku. Aku selalu menampik pendapat Rayan bah­wa Bagas menyukaiku. Lagi pula, Bagas kan kakak tiriku. Tapi, Rayan tak pernah berhenti cemburu. Apa sebaiknya aku berbohong pada Rayan? Ah, kebohongan hanya akan menciptakan lebih banyak masalah.

“Laras! Laras?” suara Rayan membuyarkan pikiranku.

Aku mengangguk-angguk, tak menyadari bahwa Rayan tak bisa melihat anggukan kepalaku. Bagas menertawakan anggukanku yang konyol. Aku mengacungkan tinju padanya dan memberinya isyarat agar diam.

“Ya, Yan. Ada Bagas di sini. Baru saja datang.”

“Untuk apa dia di apartemenmu? Kenapa ponselmu dimatikan?”

“Emm, Bagas hanya berkunjung. Sudahlah, kau harus percaya padaku. Dia kakak tiriku, ‘kan? Ponselku baterainya habis.”

Rayan tak menjawab. Desah napasnya yang berat hinggap di telingaku.

“Oh, ya, bunga kirimanmu sudah sampai. Aku selalu menyu­kai harumnya mawar merah kirimanmu dan juga keromantisanmu.”

Kugaruk kepalaku yang tak gatal sambil meringis. Aku memang tak biasa mengucapkan kata-kata gombal seperti ini. Selama ini aku lebih suka menunjukkan penghargaanku pada Rayan lewat perhatian. Tapi, kata-kata gombal yang kuucapkan untuk pertama kalinya dalam hidupku ini ternyata manjur juga. Suara Rayan di seberang melunak.

“Selamat ulang tahun, Laras. Sayang sekali, aku tidak bisa kembali ke Jakarta sore ini. Mungkin baru besok, itu pun dengan penerbangan sore. Semoga kau tak kecewa merayakan ulang tahun sendirian.”

“Tidak masalah. Selesaikan dulu tugas-tugasmu itu. Yang penting, kau bawa oleh-oleh untukku.”

“Pasti!” Rayan tertawa.

Aku lega. “Oke, sampai besok, ya! Sekali lagi selamat ulang tahun!”

Setelah mengucapkan salam, Rayan memutuskan hubungan telepon. Aku kembali menghampiri Bagas, yang sudah mengambil sendiri minuman dari dapur dan membawanya ke ruang tamu.

“Sorry, aku haus sekali. Kamu meneleponnya lama sekali. Siapa, sih, yang nelpon? Rayan, ya?” Bagas meneguk lagi minumannya dengan semangat. Aku menahan tawa.

“Ya. Rayan sedang dinas ke Singapura.”

Bagas mengangguk-angguk.

“Ras, selain datang untuk minta maaf, kalau kau tak keberatan, aku ingin mengajakmu pulang. Ayah sakit.”

Aku terbelalak. “Kenapa kau tidak mengatakannya sejak tadi?”

“Aku tidak ingin membuatmu kaget dan merusak suasana hari ulang tahunmu, Ras.”

Ayah sakit? Ada kecemasan menakutkan yang tiba-tiba menyer­bu dadaku. Kuteliti wajah Bagas. Aku tak menemukan dusta dalam sorot matanya.

“Ia sangat merindukanmu, Ras. Apa kau tak bisa merasakannya? Badannya makin hari makin lemah. Kau akan menyesal kalau tidak segera pulang dan menemuinya.”

“Baiklah. Aku akan pulang bersamamu. Tapi, hanya sebentar untuk menjenguk Ayah, setelah itu aku kembali ke apartemen.”

Mendadak aku gugup sekali. Tergesa ke dalam kamar untuk berganti pakaian. Aku ingin segera menemui Ayah. Siapa pun Ayah, ia pernah mengasihiku dan membesarkanku. Aku tidak ingin terlambat dan menyesal!

Di hari ulang tahunku, Bagas membawa kabar bahwa Ayah sakit. Ternyata, itu kabar bohong. Lalu, mengapa aku masih mengharapkan Ayah ingat ulang tahunku?

Waktu yang berlalu tak mengubah rumah besar ini. Halaman rumah masih dipenuhi warna-warni bunga mawar berseling dengan melati. Harumnya menebar hingga beranda. Dulu, tukang kebun kami sangat sabar merawat bunga kesayanganku itu. Di ujung halaman ada kolam ikan hias. Kalau itu kegemaran almarhumah Ibu. Beliau sangat telaten merawat ikan-ikan itu. Bahkan, pernah menangis ketika salah satu ikan hias kesayangannya mati. Aku mendesah. Kembali ke rumah ini seperti menje­nguk masa lampau yang manis, namun perlahan-lahan berubah menjadi pahit dan menyakitkan.

“Kenapa termangu saja di situ, Ras? Masuklah!”

Aku terenyak dari lamunan. Seperti orang asing, kuikuti langkah Bagas masuk ke dalam rumah. Melewati beranda yang sejuk aku berhenti sejenak. Di beranda ini, dulu Ayah membacakan beratus-ratus kisah dongeng untukku. Kami juga sering bermain ular tangga dan monopoli berdua, sambil menunggu Ibu selesai memasak. Bahkan, ulang tahunku selalu dirayakan di sini. Apakah Ayah masih mengingat hari ulang tahunku? Buru-buru kutindas perasaan melankolis itu. Memangnya siapa aku ini sehingga Ayah harus mengingat hari ulang tahunku? Lagi pula, sekarang Ayah sedang sakit.

“Laras!”

Untuk kedua kalinya aku terenyak dari lamunan. Seorang pria tua yang mengenakan piama dan sandal kamar, menghampiriku. Tangan menenteng surat kabar. Ia tampak kokoh dan bahagia, seperti enam tahun lalu, saat aku wisuda sarjana. Bagaimana mung­kin Bagas mengatakan Ayah sakit?

Sejenak kutatap mata di balik kacamata baca itu lekat-lekat. Ada kerinduan yang berbinar di sana. Ia tersenyum, sambil membuka tangannya lebar-lebar. Aku masuk ke dalam rangkuman kedua tangan tua itu dan merasakan kenyamanan yang telah sangat lama kurindukan. Untuk beberapa saat aku terlena. Seperti kembali ke masa kecil, saat Ayah mendekapku karena takut pada gelap.

“Rasanya, sudah berabad-abad Ayah tidak memelukmu seperti ini,” katanya, sambil mengusap air matanya yang jatuh. “Bagaimana keadaanmu, Pipi Merah?”

“Seharusnya, aku yang menanyakan keadaan Ayah. Bukankah Ayah sedang sakit?”

Ia tersenyum.

“Ayah baik-baik saja,” katanya, sambil mengajakku duduk.

Bagas menghilang ke dalam, seperti sengaja memberi kesempata­n kepada aku dan Ayah untuk bicara.

“Ayah senang kau datang ke rumah.”

Mendadak dadaku sesak oleh perasaan bersalah karena selama ini menjauhi Ayah. Tapi, bukankah memang posisiku yang meng­haruskan begitu? Aku mencoba menghilangkan perasaan bersalah itu dengan bersikap biasa-biasa saja.

“Aku ingin melihat keadaan Ayah. Bagas bilang Ayah sakit. Benar begitu, Ayah? Sakit apa?”

“Bagas pasti membohongimu. Ayah baik-baik saja! Lihatlah! Bagaimana ia bisa mengatakan Ayah sakit? Ayah kan masih gagah.” Ayah mengangkat lengannya, menirukan gaya seorang binaragawan, sambil terkekeh-kekeh. “Yang jelas, Ayah sangat merin­dukanmu. Juga mamamu.”

“Ia ada di rumah?”

Ayah berteriak memanggil Tante Erna dan aku terlambat mencegah. Suara langkah dari dalam rumah terdengar mendekati beranda. Aku membuang pandang ke arah bunga mawar di halaman. Dari sudut mataku kulihat wanita paruh baya itu mengenakan kimono merah. Terlihat lebih gemuk dan tua.

“Hai, Laras! Apa kabar?” Ia membentangkan tangan, seperti hendak menyuruh aku masuk dalam pelukannya. Namun, aku mengulurkan tangan untuk menyalaminya.

“Tumben datang ke sini. Kami kira kau tak akan pernah mau datang,” tembaknya, membuatku jengah.

Aku seperti memasuki tempat yang salah. Tempat yang tak seharusnya kumasuki. Tempat yang bukan hakku.

“Bagas bilang Ayah sakit.” Mataku mencari-cari Bagas yang menghilang. “Karena itu, aku datang untuk menjenguk Ayah.”

“Ayah sakit hati karena kau tak mau datang ke rumah, setelah kabur begitu saja. Seperti kacang lupa pada kulitnya.”

Tante Erna tertawa nyaring. Sepertinya, kata-kata yang melukai hatiku itu baginya hanya sebuah gurauan.

Aku meremas tisu untuk menahan kemarahan yang mulai mengalir di setiap pembuluh darahku. Seenaknya saja wanita itu bilang seperti itu di depan Ayah. Padahal, di belakang Ayah, dia memintaku untuk tidak datang lagi ke rumah ini dan meninggalkan semuanya. Itu karena aku bukan anak kandung Ayah. Rupanya, Bagas sengaja membawaku ke sini untuk dijadikan mangsa empuk mamanya, wanita bermuka dua itu.

“Bagaimana pekerjaanmu, Laras?” Ayah mengalihkan pembicaraan.

“Baik-baik saja, Ayah. Usaha Ayah bagaimana?”

“Usaha ayahmu makin maju. Bagas juga menanam saham di sana, meskipun ia mengundurkan diri sebagai karyawan,” sahut Tante Erna.

Aku tak menghiraukannya.

“Kau tak tertarik bergabung dengan perusahaan Ayah, Laras?” Ayah bertanya dengan antusias.

“Aku sudah cocok bekerja di kantorku sekarang. Sesuai dengan ilmuku.”

Kulirik bibir Tante Erna yang menyungging senyum.

“Masih tinggal di rumah kos?” tanya Ayah lagi.

Aku menggeleng. Sepertinya, Bagas tidak bercerita banyak tentangku, meski ia tahu segalanya. Bahkan, Ayah tidak tahu kepergianku ke Boston.

“Tinggal di rumah petak?” sahut Tante Erna. Wanita itu seperti sengaja ingin menekanku di depan Ayah. Lagi-lagi, aku menggeleng.

“Aku membeli sebuah apartemen di pinggiran kota, Ayah.”

Seperti mendapat angin segar, Tante Erna langsung menyambar kata-kataku. “Wow! Apartemen? Tentu pria bebas keluar-masuk, bukan? Biasanya, wanita lajang yang tinggal di apartemen itu….”

“Banyak wanita Indonesia yang masih menjaga adat ketimur­annya, meski tinggal di apartemen. Tidak seluruhnya sama, Tante!” potongku, penuh tekanan pada kata ‘Tante’.

Aku terkejut sendiri mendengar kata-kataku. Begitu pula Tante Erna. Dengan terang-terangan aku menyebut ‘Tante’ kepada Tante Erna di depan Ayah. Sejak Ayah menikah, aku tidak pernah membuat sebutan untuk wanita itu. Bagiku, teramat mahal untuk menyebutnya Mama, seperti yang diinginkannya. Ia tidak akan pernah bisa menggantikan almarhumah Ibu.

“Aku percaya padamu, Laras,” timpal Ayah.

Sebenarnya, aku tak memerlukan pembelaan Ayah. Aku hanya perlu memaki-maki Bagas karena telah membohongiku. Tapi, ke mana dia? Setelah beberapa menit menunggu Bagas, aku memutuskan untuk berpamitan. Tak ada gunanya aku berlama-lama di sini. Toh, Ayah baik-baik saja.

“Ayah, aku harus pergi. Ada pekerjaan yang harus kuselesaikan.”

“Kau sarapan di sini saja, Laras. Ayah rindu makan bersamamu. Akhir pekan begini tentu mamamu masak enak. Bukan begitu, Ma?” pinta Ayah, dengan tatapan penuh harap.

Aku tersenyum pada Ayah. “Lain waktu kita pasti bisa makan bersama. Ayah tak usah khawatir.”

“Laras sudah terbiasa dengan masakan instan di supermarket apartemen. Dia pasti tidak suka lagi masakan rumah,” kata Tante Erna.

“Aku pulang dulu, Ayah. Semoga Ayah baik-baik saja.”

Aku mencium tangan Ayah dan buru-buru melangkah meninggalkan beranda. Kuabaikan Tante Erna dan kata-katanya.

Sebelum masuk ke mobil, aku mengedarkan pandang mencari Bagas. Tapi, ia benar-benar tidak menampakkan diri. Kalau saja ia menampakkan diri, aku ingin memakinya. Aku tidak suka dibohongi dan dipermainkan seperti ini.
Dan, satu hal lagi, Ayah sudah lupa bahwa hari ini aku berulang tahun. Ah, kenapa aku masih berharap Ayah mengingatnya? Bukankah telah bertahun-tahun sejak aku menjauh, Ayah memang tak mengingatnya? Aku membuang jauh-jauh pikiran tentang Ayah. Perlahan kunyalakan mesin mobil. Kutinggalkan rumah kenangan itu dengan perasaan terluka.

Jika sampai hari ini aku tak dapat menghapus kenangan indah bersama Ayah, apakah itu berarti aku masih mencintainya?

Malam mengelam di jendela apartemen. Aku masih memandang jemu laptop di hadapanku. Kunyalakan CD. Tiupan saxophone Kenny G. mengalun lembut lewat lagu Silhouette. Secangkir cappuccino tak mampu merangsang kerja otakku. Kulirik jam din­ding digital. Sudah pukul 12 malam!

Rancangan produksi untuk malam tahun baru belum juga selesai. Masih banyak kekurangan di sana-sini, setelah melewati beberapa tahap rapat pembahasan. Dan, aku harus cepat-cepat menyelesaikan masalah ini. Lembur setiap malam, meski tanpa hasil yang cukup berarti. Entahlah. Akhir-akhir ini pikiranku susah diajak berkonsentrasi pada pekerjaan. Pikiranku lebih suka melantur ke mana-mana.

Aku meninggalkan laptop yang masih menyala dan mengempaskan tubuh di sofa. Pertemuan dengan Bagas tadi siang di lobi gedung kantor membuat perasaanku tidak enak. Ini pertemuan pertamaku, setelah ia membohongiku beberapa waktu lalu. Sebe­narnya, aku berusaha menghindari pertemuan dengannya. Ta­pi, dia mengejarku sampai ke depan pintu lift dan memaksaku agar mau mendengarkannya.

“Pulanglah, Ras. Ayah sakit keras. Beliau dirawat di rumah sakit!”

Aku tak menggubris kata-katanya yang setengah berteriak. Kebohongan yang ia lakukan tiga hari lalu tak boleh terulang. Hatiku sangat terluka oleh kata-kata mamanya. Bagas hanya ingin memasukkanku ke dalam mulut serigala.

“Kau masih punya hati kan, Ras?” Ia benar-benar berteriak di teli­ngaku. Orang-orang di depan lift berpandangan. Membuatku jengah.

“Bagas, kau jangan asal bicara! Kau yang tak punya hati!”

“Apa maksudmu?”

“Kau membohongiku waktu itu. Kau bilang Ayah sakit. Padahal, ia baik-baik saja. Harusnya kau tahu, kebohonganmu itu membuat hatiku sangat terluka! Sekarang kau bilang aku tidak punya hati?”

“Aku tahu, kau tidak menyukai Mama. Tapi, seharusnya kau le­bih dewasa menghadapinya. Demi menjaga perasaan ayahmu juga.”

Dewasa? Jadi, selama ini aku tak pernah dewasa di mata Bagas? Aku menggeleng-gelengkan kepala. Memandang Bagas dengan kekesalan yang memuncak. Bagas tidak akan pernah mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Ini bukan se­kadar perasaan suka atau tak suka. Bukan bagaimana seharusnya bersikap dewasa menghadapi kehadiran seorang ibu tiri, apalagi menjaga perasaan Ayah. Ini menyangkut keberadaanku. Menyangkut masa laluku.

“Terserah kau, Ras, mau pulang atau tidak! Yang jelas, aku sudah mengabarkan padamu bahwa Ayah sakit keras!”

Teriakan Bagas tertelan pintu lift yang tertutup. Orang-orang menatapku dengan raut muka ingin tahu. Aku tak lagi memercayai kata-kata Bagas. Sekali lancung ke ujian, seumur hidup tak akan dipercaya. Itulah yang telah terjadi.

Tetapi, mengapa malam ini aku jadi merisaukannya? Jangan-ja­ngan Ayah memang sakit? Ah, dia bukan ayahku. Kebaikannya selama ini hanya bersandiwara. Menghiburku agar tidak bertanya di mana ayahku yang sesungguhnya. Sementara itu, Bagas dan Tante Erna hanya ingin melukai hatiku. Untuk apa aku begitu sibuk memikirkan mereka? Seharusnya tak kubiarkan mereka menjajah otakku. Aku meraih beberapa butir obat tidur di kotak obat dan meminumnya. Kubaringkan kembali tubuhku di sofa.

Beberapa saat kemudian, obat tidurku mulai bekerja. Aku memejamkan mata, tenggelam dalam buaian mimpi. Samar-samar kulihat wajah teduh Ibu menghampiriku. Tersenyum lembut, sambil mengulurkan tangannya. Aku ingin bertanya tentang keberadaan diriku. Tentang pria tak bertanggung jawab yang telah mengukir jiwa ragaku. Tapi, bibirku hanya bergerak-gerak, tanpa mengeluarkan suara. Hingga wajah teduh Ibu lenyap, berganti kegelapan….

Aku berdiri limbung di pintu pemakaman. Mengantarkan jenazah seseorang yang telah bertahun-tahun cintanya kutinggalkan. Tiga orang pria turun ke liang lahat, bersiap memasukkan jenazah. Setelah doa-doa diucapkan, perlahan liang lahat itu ditimbun tanah. Aku menggigil. Sebelum tubuhku jatuh terkulai, Ra­yan merangkul pundakku erat-erat.

Beberapa menit kemudian, liang lahat itu sudah tertimbun rapat. Nisan bertuliskan sebuah nama berada di ujungnya. Bunga-bunga ditaburkan. Orang-orang mengucapkan dukacita, lalu pergi. Senja menjelang petang ketika aku bersimpuh di depan pusara. Mengelus-elus batu nisan. Tergugu. Tak percaya. Ayah telah pergi.

“Sebenarnya, sudah lama Ayah sakit.”

Aku melirik lewat sudut mataku. Dengan pakaian hitam berle­ngan panjang, Bagas duduk di sampingku. Tangannya meremas-re­mas tanah merah pekuburan yang masih basah. Rayan masih me­rangkul pundakku. Tak kutemukan Tante Erna di sekitar kami. Mung­kin, ia telah pulang.

“Ayah menderita lemah jantung. Tapi, Ayah tidak mau orang lain tahu bahwa beliau sakit. Bahkan, Mama saja tak tahu. Ayah hanya bicara padaku setelah melakukan check up. Itu pun minta dirahasiakan. Bahkan, setelah aku mengatakan padamu tentang sakitnya beberapa waktu lalu, Ayah memarahiku.” Muka Bagas memerah. Suaranya basah. Ia tampak sangat sedih karena kehilangan Ayah.

Ada kecemburuan yang melintasi hatiku. Ayah begitu dekat de­ngan Bagas, hingga memercayakan rahasia itu kepada anak tirinya. Sedangkan padaku? Ah, aku mengibaskan pikiranku jauh-jauh.

“Setiap kami bicara berdua, Ayah selalu menceritakanmu. Sejak kau jarang pulang, beliau sangat merindukanmu, Ras.” Bagas meng­hapus tetesan air matanya. Pria itu menangis. “Beliau memang bukan ayah kandungku. Tapi, aku mencintainya. Ayah telah menghargai pilihanku menjadi seniman. Ayah sangat bijaksana memandang potensi setiap orang yang berbeda-beda. Itulah yang membuatku bertahan tidak pergi dari rumah, meskipun aku kurang sependapat dengan Mama.”

Aku memandang Bagas. Terdiam. Tak tahu harus berkata apa. Ada perasaan bersalah yang diam-diam bersemayam.

“Ras, kau juga mencintai Ayah, bukan?”

Mencintai Ayah? Jika sampai hari ini aku tak dapat menghapus kenangan indah bersamanya, apakah itu berarti aku masih mencintainya? Aku tak tahu. Selama ini aku hanya ingin mencari ja­waban tentang keberadaanku di dunia, meski jalan yang kutempuh mungkin salah. Aku membiarkan Tante Erna mengusirku dari rumah secara perlahan. Aku tak pernah berani bertanya pada Ayah, yang sebenarnya telah terjadi di masa lalu. Betapa kerdilnya aku.

“Cinta Ayah padamu tak pernah luntur, Ras. Meskipun, ada aku dan Mama di antara kalian.”

Dadaku sesak. Air mataku meleleh lagi. Aku bangkit dari bersimpuh, sambil menepuk bahu Bagas perlahan. “Maafkan aku jika telah menuduhmu berbohong…,”  kataku, lirih.

“Sebentar lagi malam dan kelihatannya akan hujan,” bisik Ra­yan.

Aku mendongak. Menatap gumpalan mendung yang menghitam.

“Kau tidak pulang bersama kami?” ajak Rayan kepada Bagas.

Bagas menggeleng. “Terima kasih. Aku masih ingin di sini.”

Sekali lagi, kutepuk pundak Bagas lembut, sebelum meninggalkannya. Malam datang menjemput petang. Rayan menyalakan mesin mobil dan mengemudikannya perlahan. Di antara gerimis yang mulai jatuh, kulihat Bagas masih tepekur di depan pusara Ayah.

Jika sampai hari ini aku tak dapat menghapus kenangan indah bersama Ayah, apakah itu berarti aku masih mencintainya?

“Aku sudah mengatakan padamu, bahwa kamu bukan….”

“Anak kandung Ayah,” tukasku cepat. Aku kurang suka gaya bicara Tante Erna yang berbelit-belit.
Usai jam kantor sore ini, Tante Erna mengundangku ke rumah. Entah apa yang ingin dibicarakannya denganku, hingga ia merasa perlu membawaku ke ruang kerja Ayah dan menguncinya dari dalam. Rumah sepi. Hanya ada beberapa pembantu tampak mondar-mandir, mengerjakan tugas-tugas harian mereka. Bagas tak kelihatan sejak aku datang tadi.

“Baiklah, kalau begitu, kita mulai saja pembicaraan ini,” lanjut Tante Erna. Ia mengelurkan sebuah map dan menyodorkannya padaku. Aku tidak tertarik untuk membukanya.

“Begini, Laras. Kita harus mendata harta-harta peninggalan Ayah. Bagaimanapun, hal ini perlu dilakukan.”

Aku memandang jemu wanita bertubuh gemuk di depanku. Baru empat hari Ayah meninggal. Tak kulihat lintasan sedih setitik pun di bola matanya. Meski aku sudah menduga ia akan melakukan hal ini secepatnya, aku tetap merasa muak. Sepertinya, ia sangat khawatir aku akan menuntut bagian dari harta warisan Ayah.

“Sejak dulu aku sudah menjelaskan di mana posisimu,” kata Tante Erna penuh tekanan. Ia membuka map dan mengeluarkan isinya. “Kau tidak ada hubungan apa pun dengan Ayah.”

“Berarti, seharusnya, tak ada lagi yang harus dibicarakan,” tegasku.

Tante Erna mengangguk-angguk. Entah apa yang sedang dipi­kirkannya. Kusadari, Ayah memiliki banyak investasi. Semua usaha yang sekarang maju pesat itu dirintis susah-payah bersama almarhumah Ibu. Bisnis guest house di beberapa kota, lima minimarket, kafe di kawasan Kemang, penerbitan buku, dan terakhir yang sempat kudengar, Ayah mendirikan perusahaan IT Consulting. Semua tentu tidak bernilai sedikit.

“Tapi, harus diperjelas, Laras. Karena itu, kau harus menandata­ngani surat perjanjian ini.”

Aku mengerutkan kening, lalu memeriksa surat yang disodorkannya padaku. Kubaca sekilas selembar surat perjanjian bermete­rai itu. Isinya tentang pernyataanku agar bersedia tidak mengusik semua harta warisan Ayah, karena aku bukan anak kandung­nya. Aku meletakkan kembali surat itu dan memandang Tante Erna tak suka.
“Tolong, kau tanda tangani!” Tante Erna memerintah.

“Tidak perlu,” tukasku, sambil bangkit dari duduk. “Aku sudah tanda tangan di hati dan pikiranku mengenai hal ini. Sejak Tan­te memerintahku tidak pulang lagi ke rumah ini dan menjauhi Ayah.”

Muka Tante Erna memerah. Matanya memandangku garang. Aku menentangnya. Apa dia pikir aku Laras kecil yang bisa diben­tak-bentak seenaknya seperti dulu? Sepertinya, kebencian yang kusimpan berpuluh tahun itu akan segera meledak sore ini.

“Buka pintunya, Tante. Aku mau pulang.”

“Tidak bisa. Kau harus tanda tangan dulu, Laras!”

Aku tertawa mendengar dia memaksa. “Jangan ganggu hidupku lagi, Tante. Ambillah harta Ayah semaumu. Aku tidak memerlukannya.”

Tiba-tiba pintu diketuk dari luar. Tante Erna tertegun. Ia terlihat bingung. Antara menahan kepergianku atau membukakan pintu. Namun, ia melangkah untuk membuka pintu. Kesempatan ini kugunakan untuk meninggalkan ruang kerja Ayah. Di pintu aku menabrak Bagas. Tak kupedulikan wajahnya yang penuh tanda ta­nya. Aku bergegas menuju mobilku di halaman. Ingin lekas-lekas kutinggalkan rumah ini, agar luka hatiku tak makin menganga lebar dan kian memerih.

Usai jam kantor aku tidak langsung pulang. Luntang-lantung mengikuti keinginan hati. Mampir ke toko buku, keluar-masuk mal, memilih-milih DVD terbaru, dan akhirnya nongkrong di kafe. Duduk di kursi pojok berteman segelas cappuccino, kunyalakan laptop. Melalui internet kupesan tiket pesawat ke Surabaya untuk penerbangan besok pagi, sebelum pukul 12.

Tayangan program tahun baru yang menyita pikiran telah berakhir. Pak Arman, bos divisi produksi mengabulkan izin cutiku. Awalnya, aku berencana berlibur ke suatu tempat. Waktu seminggu kurasa lebih dari cukup untuk menenangkan pikiranku yang masih berkabung. Aku mempunyai beberapa pilihan tempat menarik. Bali, Lombok atau Bunaken. Tapi, percakapan dengan Rayan kemarin sore membuatku memilih tempat lain untuk kukunjungi.

“Menikahlah denganku, Laras. Agar aku bisa melindungimu setiap saat. Aku tidak bisa melihatmu bersedih terus seperti ini.”

Setiap kali Rayan mengulangi ajakannya, setiap kali pula perasaan bersalah menyerangku. Terlalu lama aku membuat Rayan menunggu.

“Semalam Mama kembali memintaku untuk segera menikah. Lucunya, beliau mengajukan calon lain, kalau kau memang tidak bersedia menikah denganku,” kata Rayan, diiringi tawa kecil. Mes­ki sedikit kaget oleh kata-katanya itu, aku berusaha bersikap biasa-biasa saja.

“Maklumlah, Laras. Aku anak tunggal dan Mama sudah mulai tua. Ia ingin segera menimang cucu, sebelum benar-benar tua.”

“Kau sendiri bagaimana?”

“Aku?” Rayan kembali tertawa.

Aku menghela napas. Dulu, aku berharap akan memiliki kebera­nian untuk menanyakan hal yang sebenarnya pada Ayah sepulang dari Boston. Tapi, ternyata aku memang berjiwa kerdil. Bahkan, sampai Ayah pergi, aku belum mencoba bertanya. Hanya tenggelam dalam kegamanganku sendiri. Dan sekarang? Aku merasa jalan untuk menyingkap masa laluku telah tertutup. Rapat. Dan, aku tak tahu bagaimana membukanya lagi.

“Maafkan aku, Rayan, karena telah membuatmu menunggu begitu lama. Kalau kau memutuskan untuk pergi dariku, aku akan terima. Karena, aku tidak bisa mengawali kehidupan yang baru, sebelum jelas keberadaanku.”

Rayan menatapku lekat-lekat. Mataku mulai basah. Diam-diam, aku sangat takut kehilangannya.

“Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, Laras. Aku mencintaimu. Sampai kapan pun.”

Ada perasaan tenteram, setelah Rayan mengucapkan kata-kata itu. Dan, aku berjanji dalam hati untuk segera mencari jalan keluar. Maka, aku membatalkan berlibur ke tempat wisata dan memutuskan pergi ke kampung halaman Ibu. Sebelum hijrah bersama Ayah ke Jakarta, Ibu tinggal di kampung. Tentu aku akan mendapat ba­nyak informasi tentang masa lalu Ibu.

Ah, hidup ini seperti pertunjukan film. Manusia hanya seba­gai pelaku cerita atas kuasa sang sutradara. Aku berharap, cerita hidupku akan berakhir bahagia. Yah, semoga begitu. Aku kembali meneguk cappuccino dan meneruskan browsing internet. Mencari-cari berita menarik.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Rayan masuk. Aku mencintaimu, Laras. Aku akan menunggu. Lewat jendela kafe, kulihat langit Jakarta senja hari kemerahan. Tersenyum, menghangatkan perasaanku.

TRENGGALEK, JAWA TIMUR, JANUARI 2006
Aku sengaja melakukan perjalanan secara backpacker. Dari Bandara Juanda Surabaya, aku masih memerlukan waktu lima jam untuk sampai Trenggalek. Kota kecil di ujung selatan Jawa Timur. Kampung kelahiran Ibu, sebuah kota kecamatan, satu jam dari Kabupaten Trenggalek. Aku mencarter sebuah mobil dari terminal, untuk mempercepat perjalanan. Lagi pula, aku tidak terlalu ingat letak kampung halaman ibuku.

Mobil yang kutumpangi meluncur di jalanan beraspal kasar. Meliuk di punggung pegunungan, di antara jurang dan tebing yang curam. Aku memandang ke luar jendela. Deretan gunung hijau mengepung. Monyet-monyet berkeliaran di tepi hutan-hutan yang masih perawan. Burung-burung terbang rendah, berkicau riang. Sesekali kabut tipis melayang. Membuat perjalanan ini seperti berada di antara awan-awan.

Aku teringat Nepal. Liburan musim semi setahun lalu, aku me­ngun­jungi Kathmandu, menikmati gugusan Pegunungan Himalaya di kota Darjeeling, yang berbatasan dengan Tibet. Pemandangan di sini tak kalah indahnya.

“Kampung apa yang dituju, Mbak?” tanya sopir yang tadi memperkenalkan dirinya bernama Zaenal.

“Kecamatannya Munjungan, Pak. Tepatnya, kita ke Desa Karangturi.”

“Mbak asli sini atau berlibur saja?”

“Berlibur, Pak. Ibu saya asli daerah sini, tapi sudah sejak lahir saya tinggal di Jakarta.”

Pak Zaenal mengangguk-angguk. Matanya kembali menatap lurus jalanan yang meliuk di depannya. Air mataku mengambang, teringat kunjungan terakhirku ke kampung ini, untuk mengantar jenazah Ibu.

Tiba di tempat, hari menjelang sore. Aku terperangah. Rumah Nenek yang berada di tepi jalan utama kampung sudah menjadi puing-puing, di antara rumah-rumah lain yang berjajar rapi de­ngan bangunan batu bata.

Aku mengangguk, lalu mencari-cari halaman tempat bermain. Dulu, ketika liburan sekolah tiba, Ayah sering mengantarku berlibur di sini. Aku senang bermain di halaman yang bermandikan cahaya bulan, bersama sepupu-sepupu yang sebaya denganku. Siang harinya kami mandi di sungai dan berburu telur bebek di sawah. Aku geli teringat Ibu marah-marah karena melihat kulitku gosong terpanggang matahari sekembalinya ke Jakarta.
“Nanti Mbak menginap di mana?”

Aku tersentak dari lamunanku. Benar juga, entah di mana aku bisa menginap. Ketika sedang memutar otak, seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk berlari-lari kecil menghampiri kami. Wajahnya cerah. Senyumnya mengembang. Ia mengenakan daster merah usang. Rambutnya yang sebagian telah beruban digelung.

“Kau Laras, bukan?” tanyanya, sambil memandangku lekat-lekat. Antara ragu dan gembira.

Aku mengangguk dan tersenyum, meski belum mengerti betul, siapa wanita di depanku itu.

“Aku bibimu, Laras. Bi Darti,” katanya, sambil membuka tangannya lebar-lebar dan aku masuk dalam pelukannya yang hangat. Sesaat aku terlena, mengingat hangat pelukan Ibu di masa kecilku dulu.

“Kau sudah besar dan cantik. Aduh, Laras, Bibi tidak menyangka kau akan datang. Pantas, tadi pagi burung prenjak ramai sekali berkicau di pucuk pohon mangga halaman rumah Bibi.” Bi Darti melepaskan pelukannya. “Tentu kau sudah jadi pekerja kantoran? Sudah menikah? Bagaimana kabar ayahmu?”

Aku hanya mendengarkan pertanyaan Bi Darti yang tanpa jeda.

“Rumah Nenek tidak ada yang mengurus. Maklumlah, semua sudah punya rumah sendiri. Akhirnya, rumah ini dirobohkan daripada ditempati makhluk halus. Ayo, ke rumahku saja. Kau juga sudah capek di perjalanan, bukan?”

Aku menoleh pada Pak Zaenal, yang sejak tadi mendengar pembicaraan kami. “Pak Zaenal bisa menjemput saya di sini se­ming­gu lagi, ’kan?”

“Bisa, Mbak. Sabtu depan pukul sembilan pagi?”

Aku mengangguk, menyerahkan amplop berisi uang, dan me­ngucapkan terima kasih.

“Kalau begitu saya pamit dulu. Selamat berlibur, Mbak. Mari, Bi.”

Setelah Pak Zaenal pergi, kami meninggalkan puing-puing rumah Nenek. Rumah Bi Darti tidak jauh, hanya tiga rumah dari rumah Nenek. Sepi menyergap ketika kakiku memasuki lantai ubin rumah Bi Darti. Ke mana Paman Bonari dan kedua anak Bi Darti? Mereka teman bermainku dulu setiap liburan sekolah tiba.

“Bibi tinggal sendirian, Laras,” jelas Bi Darti, seakan mengerti pertanyaan di kepalaku. “Pamanmu meninggal tiga tahun yang lalu karena sakit ginjal. Munah dan Udin di Surabaya. Mereka bekerja di pabrik dan pulang setahun dua kali. Kau mau minum dan makan apa? Akan Bibi siapkan.” Bi Darti mengalihkan pembicaraan. Seperti ingin melupakan kesepiannya.

“Bibi tidak usah repot-repot. Kita ngobrol saja dulu, melepas kangen. Masalah makan gampanglah nanti.”

“Kamu belum menjawab aku. Bagaimana kabar ayahmu?”

Ada yang merambat perih di dadaku ketika Bi Darti menanyakan kabar Ayah. Terbayang masa laluku yang indah setiap saat Ayah mengantarkan berlibur di kampung ini.

“Ayah meninggal bulan lalu, Bi. Sakit jantung,” jawabku, lirih.

Bi Darti terkejut. Matanya membola. Wajahnya berubah tersaput mendung. “Ayahmu sangat baik. Bibi banyak berutang budi padanya. Maafkan Bibi kalau tidak datang melayat, Laras.”

“Tidak apa-apa, Bi. Semoga Ayah beristirahat dengan tenang sekarang. Kami justru minta maaf tidak mengabari Bibi.”

Bi Darti mengangguk-angguk, menghapus air matanya yang tiba-tiba jatuh berderai mengingat Ayah.

“Karena itulah saya ke sini, Bi. Bibi kenal Ibu sejak muda, ’kan? Ada sesuatu yang ingin kuketahui tentang masa lalu Ibu.”

Bi Darti mengerutkan kening. “Bibi mengenal ibumu setelah Bibi menikah dengan pamanmu. Itu pun setelah ibumu dibawa ayahmu ke Jakarta dan hanya bertemu setiap Lebaran. Kau ingat, bukan? Paman Bonarilah yang saudara kandung ibumu. Bibi kan hanya iparnya.”

“Oh!” Bibirku membulat. Harapanku yang tadi besar ketika Bi Darti datang menghampiriku di puing-puing rumah Nenek, menipis tiba-tiba.

“Memangnya ada apa, Laras?”

“Apa Bibi pernah mendengar cerita tentang Ibu di masa lalu?”

Bi Darti mengingat-ingat, lalu menggeleng. “Tidak pernah kudengar. Lagi pula, Bibi bukan asli warga kampung ini. Bibi tinggal di sini setelah menikah dengan pamanmu.”

“Kira-kira, masih adakah teman Ibu di masa mudanya dulu?”

Bi Darti kembali mengingat-ingat. “Oh, ada! Dia teman sekolah ibumu. Namanya Sri, rumahnya di ujung kampung. Kalau kau memang memerlukannya, nanti Bibi antar ke sana. Ada apa sebenarnya, Laras?”

Aku menggeleng, tidak menjawab pertanyaan Bi Darti. Senja beranjak petang ketika Bi Darti menyuruhku beristirahat. Wajah teduh Ibu datang menghampiri pembaringan ketika tubuh letihku terlelap dalam mimpi.

“Anaknya Nunik sudah sebesar ini?” kata Bibi Sri, sambil mengguncang lenganku. “Ah, aku jadi teringat ibumu.”

Aku tersenyum geli melihat tingkahnya. Ia memperlakukanku seperti sedang bertemu sahabatnya. Digandengnya lenganku masuk ke rumahnya yang luas. Berlantai keramik dan berperabot mentereng, rumah Bibi Sri terlihat berbeda dari rumah-rumah yang lain. Menurut cerita Bi Darti, suami Bibi Sri adalah pengusaha yang berhasil di kampung.

Setelah saling menanyakan kabar dan berbasa-basi, aku segera mengatakan tujuanku sebenarnya. “Begini, Bi Sri. Kedatangan saya ke sini ingin bertanya sesuatu. Bibi sahabat ibuku semasa muda dulu, ’kan?”

Bibi Sri mengangguk. Bi Darti mendengarkan dengan saksama. Sepertinya, ia ingin tahu apa yang sebenarnya ingin kutanyakan pada Bibi Sri.

“Saya sedang diberati kebimbangan tentang keberadaan diri saya.” Aku menghela napas. Rasanya berat untuk membuka diri di depan kedua wanita itu. Tapi, aku harus berani melakukannya. Bukankah aku jauh-jauh ke sini untuk mencari jawaban? Kulirik kedua wanita di depanku, yang masih menunggu kelanjutan kata-kataku.

“Seseorang mengatakan, saya bukan anak kandung Ayah. Apakah benar Ibu hamil dengan pria tak bertanggung jawab, sebelum Ayah menikahinya?”

Kedua pasang bola mata wanita di depanku itu membola. Mungkin, mereka tidak menyangka aku akan menyodorkan per­tanyaan seberat itu.

“Siapa yang mengatakan itu? Itu fitnah! Ibumu tidak mungkin melakukan itu sebelum menikah,” sergah Bi Darti, berang.

“Tidak perlu saya katakan siapa orang yang mengatakannya, Bi. Yang jelas, saya ke sini untuk mencari jawaban. Kalau memang berita itu benar, saya ingin mencari ayah kandung saya. Apakah Ibu mempunyai kekasih semasa sekolah dulu, Bi Sri?”

Bibi Sri terdiam. Keningnya berkerut, mengingat tumpukan masa silam yang telah terkubur oleh waktu yang terus berputar.

“Apa kau ingat sesuatu?” Bi Darti mulai tak sabar.

“Ibumu memang memiliki kekasih semasa sekolah dulu. Dan, dia memang bukan ayahmu yang sekarang.”

“Nah, siapa dia, Bi?”

“Namanya Lukman. Perjaka paling ganteng di sekolah kami. Orangnya kalem, alim, dan memakai kacamata. Kami semua suka padanya karena dia satu-satunya pria yang berkacamata. Ada-ada saja, ya, zaman dulu? Tapi, dia malah jatuh cinta pada ibumu. Padahal, aku dulu juga menyukai Lukman,” kata Bibi Sri melantur, sambil terkekeh-kekeh.

“Tapi, mereka dekat sebelum ibumu sekolah di kota. Aku tidak tahu lagi kisah cinta ibumu selanjutnya. Aku bertemu ibumu lagi setelah menikah dengan ayahmu dan sudah hamil tujuh bulan.”

Aku kurang puas dengan jawaban Bibi Sri.

“Ibu pernah mengeluhkan masalahnya pada Bibi setelah tinggal di kota?”

Bibi Sri menggeleng. Aku dan Bi Darti berpandangan.

“Sudahlah, Laras, tak ada gunanya kau memikirkan kabar seperti itu. Lagi pula, ibumu sudah tiada, tak baik mengungkit masa lalu orang yang sudah meninggal,” kata Bibi Sri.

“Benar, Laras. Untuk apa percaya pada kabar yang tidak jelas?” Bi Darti menyahut.

Aku mengangguk, membenarkan perkataan kedua wanita di depanku. Tapi, tetap saja ada yang mengganjal di hatiku. Membe­bani kakiku untuk melangkah. Akta kelahiranku memang mengatakan bahwa aku anak Ayah, tapi bukankah semua dapat direkayasa dengan gampang?

“Baiklah, Bi Sri. Terima kasih atas informasinya.”

Kedua wanita itu kembali saling memandang. Ketika aku bangkit dan berjalan keluar rumah, Bibi Sri menepuk-nepuk pundakku, seolah memintaku untuk bersabar.

Ini hari terakhirku di kampung halaman Ibu. Aku tepekur di depan makamnya. Meremas-remas gundukan tanah, mengalirkan kepedihan yang kini kurasakan. Selama seminggu aku bertanya ke sana ke mari tentang masa lalu Ibu. Namun, tak seorang pun memiliki jawaban yang pasti. Kebanyakan teman Ibu mengatakan, tidak tahu apa yang terjadi pada Ibu setelah sekolah di kota.

“Ibu, maafkan aku,” kataku, lirih, di antara air mata yang menggenang. “Seharusnya, aku tak melakukan hal ini, mengorek masa lalu Ibu. Tapi, aku tidak bisa terus-menerus hidup dalam kegamangan.”

Matahari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan. Burung-burung terbang rendah. Seakan ingin menemaniku berlama-lama di makam Ibu. Aku mendongak, menatap langit pagi yang kebiruan. Kuambil keranjang berisi bunga dan kutaburkan di atas makam. Makam ini bersih dan terawat. Bi Darti berkunjung ke sini setiap Jumat untuk membersihkannya. Aku merasa beruntung memiliki Bibi sebaik Bi Darti. Sayang, cutiku sudah habis dan aku harus segera kembali ke Jakarta.

Aku melihat jam di pergelangan tangan. Pukul 8.30. Setengah jam lagi Pak Zaenal akan menjemputku di rumah Bi Darti. Mungkin sebaiknya aku segera meninggalkan pemakaman. Jarak pemakaman dan rumah Bi Darti membutuhkan waktu seperempat jam. Setelah membaca beberapa doa untuk Ibu, aku meninggalkan makam.

JAKARTA, AKHIR JANUARI 2006
Kegelapan menyambutku di pintu apartemen. Tanpa menghidupkan lampu, aku meraih kunci mobil di laci meja rias dan kembali keluar apartemen. Aku menuruni lift dengan perasaan tak menentu. Siapa aku ini sebenarnya? Kegamangan menyergapku demikian hebat sejak aku merasa gagal menyingkap masa lalu Ibu. Aku merasa tak berarti. Mungkin, sudah saatnya kuputuskan saja hubunganku dengan Rayan. Tidak ada gunanya dia menungguku kalau aku tidak bisa memberinya jawaban. Ada yang menikam ulu hatiku dan menyisakan rasa pedih ketika pikiran itu melintas. Kalau memang ini untuk kebaikan Rayan, aku harus merelakannya.

Keluar apartemen, mobilku melesat menuju barat Jakarta. Pikiranku benar-benar rusuh. Aku masih memiliki cuti sampai be­sok, sebelum kembali ke kantor. Dan, salah satu cottage di Pantai Anyer menjadi pilihanku untuk menenangkan diri. Menepikan semua gundah.

Malam merambat cepat. Pukul 9 aku memasuki sebuah cottage. Setelah menaruh beberapa barang yang kubawa ke dalam kamar, aku menikmati semilir angin pantai. Kurentangkan tangan, sambil berdiri menghadap pantai. Ingin rasanya menjerit sekuat tenaga untuk melepaskan beban. Namun, urung kulakukan karena beberapa pengunjung cottage juga tengah berjalan-jalan di pantai.

Laut di depanku menghitam, sehitam hidupku yang gamang. Sebuah pertunjukan film memang tak selalu berakhir bahagia. Dan, mungkin begitu pula yang terjadi dalam hidupku. Kebersamaanku dengan Rayan akan berakhir karena aku tak bisa memberinya jawaban. Kuputar cincin belah rotan yang melingkar di jari manisku. Hatiku memerih.

“Boleh mengganggumu?”

Sebuah suara muncul dari arah belakang, membuatku terkejut. Di bawah terpaan sinar lampu yang remang menerangi pantai, aku bisa melihat siapa pria yang sedang berdiri di sampingku.

“Bagas!?”

Pria itu tersenyum. Matanya menatapku lekat-lekat.

“Kenapa kau berada di sini?” tanyaku, heran.

“Aku mencarimu. Ada yang ingin kubicarakan denganmu.”

Aku membuang pandang. Menebak-nebak apa yang akan dibicarakan Bagas padaku. Mungkin, soal surat perjanjian yang musti kutandatangani tempo hari. Atau, setidaknya dia akan mencoba membujukku dengan halus agar aku mau memenuhi keinginan mamanya.

“Bisa kita bicara di tempat terang? Aku membawa surat un­tukmu.”

Tebakanku tak salah. Itulah yang akan dilakukan Bagas padaku. Membujuk!

“Jangan membujukku untuk menandatangai surat perjanjian itu, Bagas. Ambillah semua harta Ayah semaumu. Aku tidak akan mengusiknya karena aku memang tidak berhak.”

“Justru karena itu kau harus membaca surat ini. Ayo!” Bagas menyeretku. Aku meronta, namun cengkeraman Bagas lebih kuat.

“Aku akan berteriak kalau kau tak melepaskan tanganku!”

“Nah! Baiklah, aku lepaskan kau di sini!” katanya, sambil melepaskan tanganku tepat di bawah lampu pantai. Dia mengeluarkan selembar kertas dan menyodorkannya padaku. Aku membuang muka. Tak mau membacanya.

“Jangan gampang menuduh, aku tidak seburuk yang kau sangka!”

Aku tertawa sinis. Ketika memandang wajah Bagas, kulihat bayangan Tante Erna di sana. Dengan setengah hati kuterima surat itu dan mulai kubaca di bawah lampu pantai. Sebuah surat pernyataan yang diketik rapi dan ditandatangani di atas materai oleh Tante Erna. Mendadak aku tersentak. Aku menatap Bagas dengan pandangan tak percaya. Benarkah?

“Aku sudah tahu semua yang dilakukan Mama padamu sejak SMA dulu. Tapi, aku menyimpannya. Bagaimana pun, dia mamaku, Ras.” Bagas menunduk, seperti sedang menyesali perbuatan mamanya. “Kupikir, mendekatkanmu kembali pada Ayah akan memberi kesempatan padamu untuk bertanya yang sebenarnya. Dan, semua akan jelas. Tapi, kenyataannya? Rencanaku gagal karena kau malah membenciku.”

Ia memandangku, menunggu reaksiku. Beberapa detik aku tak bereaksi, ia melanjutkan. “Puncak kegeramanku saat Mama memaksamu untuk menandatangani surat perjanjian harta wa­risan Ayah tempo hari. Aku tidak bisa membiarkan Mama terus-menerus berbuat tak adil padamu. Aku memaksanya menandatangani surat ini dan mengancam meninggalkan rumah kalau Mama tak mau tanda tangan.”

Aku menghela napas. Menatap selembar surat di tanganku. Surat yang berisi pernyataan bahwa Tante Erna telah melakukan kebohongan padaku. Ia melakukan hal itu untuk menekanku, karena cemburu kepada Ayah yang sangat menyayangiku dan takut semua harta warisannya jatuh ke tanganku.

“Maafkan mamaku, Ras. Aku tahu, kau sangat membencinya. Aku berharap, yang kulakukan ini bisa membuka pintu maafmu. Kalau perlu, aku akan membawa Mama keluar dari rumahmu. Lagi pula, kami tak punya hak apa-apa di sana. Dan, percayalah, kau anak kandung Ayah. Berkali-kali aku berbicara pada Ayah tentang hal ini. Tidak ada yang harus kau ragukan lagi. Ibumu adalah wanita yang selalu menjaga kehormatan dirinya. Tidak mungkin beliau melakukan hal seperti itu.”

Aku tak tahu harus berkata apa. Kejutan ini begitu dahsyat.

“Selain itu, ada satu hal lagi yang ingin kukatakan padamu.” Bagas melirikku dengan sudut matanya, lalu membuang pandang ke lautan lepas yang semakin menghitam. Aku menunggu.

“Kamu adalah cinta pertamaku. Aku masih mencintaimu hingga saat ini.” Bagas menghentikan kata-katanya.
Aku ternganga.

Setelah mengembuskan napas panjang, Bagas meneruskan kata-katanya. “Tapi, aku cukup bahagia jika melihatmu bahagia bersama Rayan. Kata orang, cinta tak harus memiliki, bukan?” Bagas tertawa datar. “Aku membawakan Rayan untukmu. Dan, sebagai kakakmu aku minta cepatlah menikah dengannya. Aku takut dia keburu beruban dan berubah menjadi kakek bungkuk.”

“Enak saja kau bilang!” tiba-tiba Rayan muncul di antara kami. Setiap adegan malam ini seperti sudah diatur dengan baik. Aku segera menyadari bahwa mereka telah bersekongkol. Rayan menatapku lekat-lekat.
“Bagaimana, Ras? Kau menyukai script cerita malam ini, ’kan?” tanya Bagas, sambil tersenyum. “Baiklah, kalian kupersilakan untuk merundingkan tanggal pernikahan. Oke?”

Rayan masih menatapku. Matanya tersenyum penuh bintang. Perasaanku menghangat. Sebelum Bagas berbalik dan melangkah menjauhi kami, aku melihat ketulusan di binar matanya.

No comments: