12.22.2010

Berapa Babi Maskawin, Ko.

Kalau saja Tari tahu akan seperti itu, ia tak hendak ke sana. Tetapi, Tari, seperti sebagian besar orang, tak tahu apa pun tentang masa depan. Meski yang disebut ’masa depan’ menyangkut dimensi waktu yang hanya sedetik kemudian. Karenanya, ’si buta’ ini ke sana. Dan, dunia yang lain pun terbuka lebar baginya.

Tari berhenti di persimpangan jalan. Di atas bukit. Sesuai petunjuk, ia harus belok ke kanan, terus turun… susuri saja jalan ini sampai ke kota. Kemudian tanyalah kepada siapa saja di kota letak Pasar Ampera. Semua orang kenal pasar itu. Itu pesan Nonce sebelum berangkat ke kantor tadi pagi.

Tari mengabaikan pesan itu. Bukan karena ia membandel, melainkan pemandangan di bawah sana langsung memenjarakan hatinya. Bayangkan, sepotong tanjung itu terhampar panjang dengan warna hijau lembut di luarnya. Persis seperti lidah naga yang tengah terjulur keluar. Di sisi dalam tanjung, tampak pemandangan yang sama sekali tidak asyik di mata Tari: deretan rumah penduduk berimpitan, kumuh, miskin, kotor. Persis seperti permukiman kumuh di wilayah Batam. Tetapi, di sisi luarnya? Wow...!

Sore itu sisa sinar mentari menyisir sedikit wilayah perbukitan. Sinarnya yang berwarna jingga keperakan menimpa pantai terluar dari tanjung itu, membentuk warna jingga, biru, putih nan lembut, persis seperti adonan lembut kue bolu. Sementara pelukan lautan teduh nan luas di bagian luarnya membuat wilayah itu menjadi seperti sepotong nirwana. Dari atas bukit, Tari merasa seperti sesosok malaikat. Atau, seperti dewi kayangan yang tengah meninjau alam raya.

Berketetapan hati, Tari membelokkan sepeda motornya ke kiri, menyusuri jalan menurun, jalan yang belum pernah ditapakinya, menuju ke wilayah yang belum pernah dikenalnya pula. Pertimbangannya hanya satu, seperti dikatakan Nonce, setelah pesawatnya mendarat lusa lalu, “Jayapura itu kota kecil, Tar. Katong (kami) hanya punya jalan ini saja. Jalan satu-satunya. Jadi, jangan pernah takut kesasar di sini.”

“Ke pantai itu dulu. Kayaknya asyik,” gumam Tari, ketika sepeda motornya meluncur pelan menyusuri wilayah antah berantah itu. “Pasar Ampera bisa menunggu.”

Pantai itu sepi. Teramat sepi. Hanya ada pohon-pohon kelapa, deretan pandan hutan, juluran ranting putri malu di dahan ketapang, hamparan pasir putih, dan laut biru. Selain dirinya dan beberapa kepiting yang semburat berlarian ketika ia datang, tak ada siapa-siapa lagi di sana.

Tari memarkir sepeda motornya di tempat yang aman, melepas sandalnya, dan berjalan perlahan menuju pantai. Pasir hangat dan lembut terjejak, ketika ia melangkah. Rasanya enak. Nyaman. Bau laut terhirup hidungnya. Ia menarik napas kuat-kuat, sekuat paru-parunya bisa menyerap. Segar. Belum pernah ia merasai bau udara yang sedemikian segar dan murni seperti ini. Juga saat ia di Batam tempo hari.

Sesaat kemudian ia menemukan tempat yang ditujunya. Di bawah rerimbunan daun kelapa Tari berhenti. Inilah dia. Tempat ideal itu. Digalinya pasir hangat itu membentuk gundukan di satu sisi. Setelah jadi, dicobanya duduk di atasnya. Lembut juga. Memang tidak selembut matras meditasinya. Tetapi, gundukan pasir pantai itu mengandung kelembutan dari jenis yang lain.

Sementara ia melipat kakinya dan meletakkan kedua tangan di pangkuan, dipandangnya samudra tak terbatas di kejauhan. Inilah penggal terkecil Samudra Pasifik yang menembus terus sampai ke Kepulauan Fiji dan wilayah Hawai jauh di balik cakrawala. Pelan tetapi pasti, keteduhan dan kedamaian merasuki jiwanya. Dengan sama pelannya, ditutupnya matanya. Tetapi, tunggu dulu, objeknya apa? Selama ini ia menggunakan objek meditasi tergantung situasi dan kebutuhan. Bisa napas, bisa mantra cinta kasih, bisa kembang-kempisnya sekat diafragma.

Lantas, yang mana? Dibukanya lagi matanya. Embusan angin mengelus pipinya, dingin, lembut. Pelan tetapi pasti, mentari sore bergerak menjauh. Seluruh objek itu, pantai, laut, bebauan, menerobos masuk melalui panca indranya. Sekali lagi kelembutan sore membuat hatinya teduh. “… cinta kasih saja. Itu yang paling cocok.”

Ditutupnya lagi pelupuk matanya. Sesaat kemudian disapunya seluruh tubuhnya, melemaskan ketegangan di kepala, bahu, perut, punggung, pangkal paha, dan menggeser sedikit tumitnya.

Dalam kedamaian sore, Tari ‘menyanyi’ pelan-pelan, dalam hati, “Semoga aku berbahagia, damai, bebas dari penderitaan. Semoga guru-guruku berbahagia, damai, bebas dari penderitaan. Semoga Ibu dan Bapak berbahagia, damai, bebas dari penderitaan. Semoga adik-adikku berbahagia, damai, bebas dari penderitaan.”

Angin berdesir. Tari terlelap dalam samadhi, konsentrasi. “Semoga Si Mbok berbahagia, damai, bebas dari penderitaan. Semoga Si Meong berbahagia, damai, bebas dari penderitaan, semoga….”

“Hei, Nona….”

Gelegar suara itu membangunkannya. Buyar sudah samadhi-nya. Dalam keterkejutan, Tari menoleh ke arah sumber suara. Beberapa meter dari tempatnya bersila, ia melihat sosok pria tua paling aneh yang pernah ia temui dalam hidupnya. Rambutnya hitam keriting dengan semburat putih di sana-sini. Tubuhnya kecil. Tetapi, yang paling membuat aneh adalah kulitnya. Kulitnya putih. Seputih kapas. Dengan kelopak mata hitam legam dan sorot mata garang. Teramat garang.

Bulu kuduk Tari berdiri. Secara intuitif, Tari tahu bahaya tengah mengintainya. Perlahan ia beringsut. Menjauh. Niatnya begitu. Meski ternyata, ia sama sekali tak bergeser dari tempatnya semula.

“Mana uang….”

“Uang?” Tari tergagap. Bingung. Cemas. Takut. Tak mengerti.

“Jangan pura-pura taratau. Uang… dua ratus ribu.”

Tubuhnya dingin seketika. Bukan soal dua ratus ribu itu. Ia punya banyak uang di saku celananya. Gajinya sebagai manajer marketing di ibu kota amat sangat besar untuk dimakan sendiri. Tetapi, kehadiran pria tua itu benar-benar meluluhlantakkan pertahanannya. Terutama, saat dilihatnya pria tua itu menggenggam parang panjang di tangan kanannya. Sepertinya, kematian tengah membayangi hidupnya.

“Ayo… capat... uang…,” ancam pria tua itu lagi. Telapak tangan kirinya menengadah terbuka, terjulur ke arah Tari, sementara parang panjang itu sepertinya terayun ke sana kemari.

Tari lumpuh. Dengan tubuh gemetaran ia berdiri goyah. Otaknya beku. Tangannya yang tak kalah gemetar terjulur masuk ke saku celana. Ia berusaha mengoordinasikan gerakan tangannya agar sesuai dengan perintah otaknya. Tidak mudah. Dirogohnya dompetnya. Diambilnya dua lembar uang seratus ribuan dari sana. Masih dengan tangan gemetar diulurkannya lembaran-lembaran uang itu ke arah pria tua.

Tepat pada saat itu dari kejauhan terlihat sesosok pemuda berlari-lari kecil dan melambai-lambai ke arah mereka. Pemuda itu rupanya telah ada di sana, di pantai itu sejak tadi. Ia tahu saat Tari datang, memarkir sepeda motornya, dan duduk diam menghadap ke kejauhan seperti patung kayu. Ia tahu saat bapa ade-nya (pamannya) menghampiri Tari. Dan, ia tahu apa sebenarnya yang tengah terjadi. Tetapi, ia sedikit terlambat. Karena… sesaat tadi… ia begitu asyik melihat lambaian rambut sebahu Tari yang terbawa angin ke mana-mana, begitu indah dan memesonanya.

“Bapa Ade… Bapa Ade... jangan, sudah….” Dari kejauhan pemuda itu melambai, berteriak-teriak, mencegah pemerasan itu, sebisanya.

Bapa ade-nya menoleh. Gusar, “Apa jangan-jangan… anak kecil taratau urusan.”

“Dong (dia) cuma tamu, to.”

“Tamu? Di tong (kita), pu pantai, tong pu tanah? Tara bisa. Harus bayar. Zaman ini tarada yang gratis. Bayar…,” gelegar suara pria tua itu lagi.

Tari serasa mau pingsan.

“Sudah… Bapa Ade… sudah, ayo tong, pulang.”

Pemuda itu berusaha menarik tangan bapa ade-nya. Membujuk. Sebaliknya, dengan tangan kirinya yang bebas, ia mendorong balik si keponakan. “Sana… ko pulang sendiri….

Terjadi tarik-menarik. Sementara Tari yang masih belum sadar dari keterkejutannya mengangsurkan uang itu kepada si pria tua. Angin bertiup kencang. Dua lembar uang seratus ribuan itu terlepas dari tangan Tari dan terbang terbawa angin. Dalam hitungan detik, si bapa ade mengentakkan tangan kirinya, terbebas sesaat, dan segera berlari mengejar uang-uang itu. Si pemuda ikut mengejar bersicepat dengan si bapa ade.

Berhasil juga disambarnya satu lembar uang seratus ribuan. Kemudian ia berbalik arah. Dengan gerakan yang sama cepatnya diangsurkannya lembaran uang itu kepada Tari, “Nona… ini… capat ko pergi dari sini.”
Tari berdiri mematung. Takjub. Beku. Sementara si bapa ade masih berkejar-kejaran dengan angin. Mengejar lembaran uang yang satunya.

“Nona…,” suara keras pemuda itu menyadarkannya, “Capat pergi…!”

Tari tersadar. Buru-buru ia berlari ke sepeda motornya.

“Nona… ko pu uang.”

Tari kembali ke si pemuda, mengambil uang itu, kembali lagi ke sepeda motornya, menarik sepeda motornya dari benaman pasir, menyalakan mesinnya, dan segera berlalu ke arah datangnya. Semuanya itu ia kerjakan tanpa hati. Layaknya robot.

Ia kembali di akhir senja. Nonce sudah pulang dari kantor. Mereka berpapasan di ruang tamu. Tanpa berkata sepatah pun, Tari berjalan gontai ke sofa panjang dan membaringkan diri di sana. Sementara Nonce, sebagai gadis Papua yang lama tinggal di Yogyakarta, cukup banyak belajar budaya Jawa melalui Tari. Setidaknya, ia belajar menahan diri untuk tak bertanya macam-macam sampai Tari sendiri siap bercerita.

Juga saat ini. Pun ia tak hendak bertanya mengapa Tari tak membawa belanjaan, seperti tomat, cabai, atau seikat kangkung, seperti yang telah dijanjikannya tadi pagi. Walau rasa ingin tahu memenuhi dadanya, ia memilih diam.
Karenanya, meski heran melihat wajah pucat sahabatnya, Nonce hanya bertanya singkat, “Sakit, Tar? Wajah ko pucat sekali.”

“Pusing.”

“Mau sa ambilkan obat sakit kepala?”

Tari mengangguk.

Nonce masuk ke kamarnya, mengambil obat sakit kepala dari atas meja rias dan kembali ke ruang tamu. Diangsurkannya obat sakit kepala itu ke tangan Tari. Tari menggenggamnya, meski tak hendak meminumnya. Sementara Nonce beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air dingin.

Tari belum stabil. Napasnya memburu. Kejadian barusan menghantamnya benar. Ketika Nonce mengundangnya tempo hari, untuk berlibur ke Jayapura --ke kotanya di Pulau Papua sana-- betapa bahagianya Tari. Ia belum pernah menginjakkan kaki di Papua. Ia pernah ke Medan, Padang, Mentawai, juga ke Balikpapan, dan bergerak sedikit ke Samarinda.

Ia pun pernah ke Makassar dan dari sana menjejakkan kaki di Bulukumba. Dan, jangan lupa, Batam. Ia cukup mengenal Batam. Karena ada kantor cabang perusahaannya di Batam, ia sering bolak-balik Jakarta-Batam sedikitnya dua kali sebulan. Tetapi Papua? Ia hanya tahu Papua itu wilayah tertimur Indonesia dengan para prianya yang masih pakai celana dari selongsong labu kering (soalnya, foto-foto di brosur dan kartu posnya kelihatan begitu).

“Datanglah liburan nanti, Tar. Waktu sa pu paetua (suami saya), tugas ke Ambon. Katong reuni, to. Su lama juga tong tra ketemu. Berapa tahun? Tujuh tahun? Lama juga, e,” bujuk Nonce, via telepon genggam.

“Ntar dulu. Mikir dulu.”

“Pakai pikir-pikir segala,“ bujuk mantan teman sekampus dan teman sekosnya itu lagi, “Di sini ko bisa menikmati udara bersih, ikan laut yang sehat yang trada merkurinya, juga… pantainya maut-maut. Ke sini, sudah.”

Tari terbujuk. Terutama, ketika Nonce menggambarkan pantai-pantai di kotanya yang katanya berpasir putih, tenang, nyaman, dan enak untuk dipakai berenang itu. Maka, jauh-jauh hari ia sudah memberi tahu bapak dan ibu di kampung halamannya di Bantul, terutama Mbak Lok, bahwa ia tak akan hadir waktu Bagas, anak bungsu Mbak Lok, sunatan. Mbak Lok protes. Tetapi, Tari bilang mau semadi ke tempat yang jauh. Topo. Mbak Lok tambah protes lagi. Katanya waktu itu, “Kayak di Bantul nggak ada tempat semadi. Di sini banyak guo. Kalau mau cari pesugihan (kekayaan), jodoh, di sini tempatnya.”

Tari tersenyum kecut waktu itu. Mengapakah image orang selalu demikian? Semadi berkorelasi positif dengan cari pesugihan? Tak mengacuhkan protes orang rumah, Tari berangkat juga, bersamaan dengan keberangkatan suami Nonce ke Ambon. Tentu, paginya, sebelum pesawatnya take off, Mbok Lok menelepon, mengingatkannya untuk ekstra hati-hati. “Dengar-dengar, di Papua sana masih banyak yang makan orang.”

Tari tidak menghiraukan pesan itu. Memangnya orang-orang Papua itu hidup di zaman batu? Gila benar Mbak Lok itu. Tetapi, kenyataan yang baru menghadangnya sore tadi mengingatkannya akan pesan Mbak Lok. Sepertinya Mbak Lok itu termasuk jenis orang yang ’weruh sakdurunge winarah’, sudah tahu sebelum sesuatu itu terjadi.
Tring aling tring aling.

Nada sambung di ponsel Tari berdering nyaring. Tari mengeluh. Merogoh ke dalam saku dan mengeluarkan ponselnya. Dari Heru, bos sekaligus kekasihnya, di Jakarta. Refleks Tari menggeletakkan ponsel itu ke lantai di bawahnya. Ia sedang tak ingin diganggu. Tetapi, ia kenal benar siapa Heru. Heru tak akan menyerah sebelum Tari mengangkatnya. Terlebih, Heru sangat tahu kekasihnya tak pernah jauh dari ponselnya. Terutama, di sore hari seperti saat ini.

“Halo…,” suara Tari malas dan serak. Ia masih pusing. Kepalanya berdenyut-denyut.

Heru langsung memberondong, “Seharusnya kamu mengingatkan Wanto bahwa tadi pagi dia harus menemui Pak Wardiman. Harus. Kamu tahu benar kan pentingnya referensi dari bekas dirjen sialan itu?”

Denyut di kepala Tari menjadi-jadi. “Sudah, Her. Sudah kuingatkan dia berkali-kali… uh….”

“Mana buktinya? Hari ini dia malah pergi ke Bogor.”

“Memeriksa pesanan sandal kita?”

“Ya. Tetapi, ini kan tidak urgent. Bodoh benar anak itu...,” Heru masih berbicara banyak, menyumpah ini-itu. Tari mengeluh dalam hati. Mengapa Tuhan telah memilih pria yang kasar dan sulit bersyukur ini terlahir sebagai anak pria Gondokusumo, tuan tanah dari Bandung itu? Sementara Tuhan telah memilih seorang guru desa sebagai ibu Wanto yang jujur, cerdas, dan teliti itu? Sehingga, dengan mudah Heru bisa menjadi direktur, sementara Wanto yang sarjana ekonomi itu harus puas hanya duduk sebagai penyelia.

Tari selalu punya kuping untuk Heru. Tetapi, ada saat-saat tertentu kupingnya tidak siap mendengarkan apa pun. Seperti saat ini. Heru masih menyumpah-nyumpah di ujung sana. Tari menjauhkan ponselnya. Ia ingin mengambil jarak dari sumber suara, tetapi terlalu takut untuk kehilangan informasi, meski itu dalam bentuk sumpah serapah.

“…mengerti?”

“Akan kuhubungi Wanto sesegera mungkin,” serak suara Tari menyahut.

Klik. Sambungan diputus dari ujung sana.

Tari mendesah. Ia bahkan tak sempat mengucapkan ’selamat sore’ atau ’halo, apa kabar’.

Tari segera mematikan ponsel. Ia tak hendak menerima telepon apa pun malam ini. Sambil berbaring telentang matanya menerawang menatap langit-langit kelabu rumah Nonce. Saat itu kilasan pikiran muncul dalam benaknya. Ia tahu benar cara kerja Wanto. Bekerja bersama selama dua tahun membuat Tari percaya benar pada Wanto. Kalau ia tak pergi ke Pak Wardiman pagi ini, pasti ada alasannya. Bisa jadi Pak Wardiman menggeser janji bertemu. Atau, bisa jadi Wanto telah menugaskan orang lain.

Besok pagi saja kutelepon Wanto.

Nonce masuk dengan segelas air dingin di tangannya. Tari mengambil gelas itu, meminum pilnya dan meneguk habis isi gelas. Nonce mengamati semuanya dalam diam. Meski prihatin melihat wajah pucat Tari, ia tak hendak mengganggunya dengan berbagai pertanyaan.

“Sudah. Sekarang tidur sajalah. Ayo, tidur di kamar.”

Tari tak menyahut. Nonce tak hendak memaksa. Angin dingin masuk dari pintu yang terbuka. Semilir angin dan pengaruh obat membuai Tari. Pelan tetapi pasti, kantuk menderanya. Di awal malam Tari tertidur. Tanpa mimpi. Sementara Nonce, demi kesetiakawanan yang aneh, menggelar tikar di lantai di bawah sofa Tari, meninggalkan Eta, putrinya, tidur sendirian di kamar utama. Lama kemudian Nonce baru bisa tidur. Dalam tidurnya ia bermimpi aneh. Ada seekor naga tengah mengejar-ngejar Tari. Nonce ingin menyelamatkannya. Tetapi, naga itu justru membawa lari Tari ke kerajaan naga di palung terdalam lautan teduh.

Sinar mentari pagi menerobos masuk melewati jendela kaca. Sinar mentari itu menusuk-nusuk matanya. Membuat gelisah Tari. Tak lama ia bangun dengan pikiran bingung. Rupanya, obat sakit kepala yang diminumnya masih membawa pengaruh sampai saat ini. Tari terbengong-bengong sedetik dua detik, sampai akhirnya ia bisa mendengar celoteh riang Eta dan bau harum masakan yang tengah dibuat Nonce dari dapur.

Ia mendengar langkah-langkah kecil Eta di ruang tamu. Langkah-langkah kaki itu berhenti di dekat tempatnya berbaring. Tak lama setelahnya, langkah-langkah itu menjauh menuju dapur. Kemudian terdengar suaranya yang semerdu kicau burung, “Mama… Tante Jawa sudah bangun.”

Tari tidak mendengar jawaban jelas Nonce. Hanya setelah itu suara nyaring Eta terdengar kembali, “Ah… masih tidur. Tapi, sudah bangun. Dong pu mata terbuka, baru.”

Tari tersenyum. Ia tak ingin mengecewakan gadis cilik itu. Dengan menahan rasa sakit di kepalanya Tari mencoba duduk.

Nonce masuk. “Ah... su bangun. Su, sehat? Sa baru bikin papeda deng ikan kuah asam. Masih panas. Makan, e?”

Tari mengangguk. Meski, ia tak mengerti yang dimaksud Nonce dengan papeda. Perutnya lapar benar. Terlebih, baru ia ingat, semalam ia tak makan apa-apa. Di meja makan terhampar hidangan yang begitu asing baginya. Papeda itu. Ternyata itu makanan pokok dari sagu. Bentuknya persis seperti lem yang biasa ada di kantor pos yang dipakai untuk mengelem prangko. Dan, di sebelahnya ada semangkuk penuh ikan kuah. Baunya harum. Ketika Tari mencicipi kuah ikannya, rasanya seperti gulai kepala ikan orang Aceh. Hanya, yang ini lebih asam dan lebih segar.

Makan pagi itu dipenuhi gelak tawa Eta yang begitu bersemangat menghabiskan sepiring penuh papedanya. Juga gelak tawa keduanya yang melihat kesulitan Tari menelan papeda. Tari belum pernah makan lem. Dan, ternyata sulit juga menelan lem. Karena lem tidak bisa dikunyah, tetapi harus disedot masuk langsung ke kerongkongan. Akibatnya, sebentar-sebentar papeda itu meluncur jatuh dari sendoknya dan dari bibirnya.

“Hi… hi… hik... Tante Jawa tra bisa makan….”

“Eh, Eta, sopan sedikit. Hi… hi....”

“Ah, Mama juga tertawa, baru. Hi...hi....”

“Sudahlah, tidak apa-apa.”

“Ini tra bisa dibiarkan. Harus sa urus,” tegas Nonce, dengan wajah geram.

“Aku sudah ikhlas, kok, Non. Nrimo.”

“Dasar Jawa. Ikhlas… ikhlas… nrimo… apa itu? Ini bukan soal uang seratus ribu, ko. Tetapi, tong harus cari tahu duduk soalnya. Sa ada teman orang Kayu Batu di kantor. Nanti sa tanya dorang. Sebenarnya ini menyangkut soal lama. Sudahlah, nanti sa cari tahu dong pu hal-hal.”

“Sudahlah, enggak usah diperpanjang.”

“Ah, ko diam. Ko tra tau Papua, mo.”

Nonce beranjak ke meja telepon dan sibuk menelepon ke sana sini. Sebenarnya, ketika menelepon, Nonce seratus persen menggunakan bahasa Indonesia. Tetapi, dialek lokal yang begitu kental yang digunakan, juga tempo bicara Nonce yang ekstra cepat, membuat Tari tak mampu menangkap seluruh maksud perkataan Nonce.

Nonce kembali. Keringat menetes dari dahinya. Tari prihatin. Ingin benar ia menyudahi saja persoalan yang tidak perlu ini. Tetapi, kilatan sinar di mata Nonce mengurungkan niatnya.

“Besok ko ke sa pu kantor. Kantor gubernur. Tanyakan saja di mana ruangan Ibu Dra. Non-ce. Semua orang kenal. Sa tunggu jam satu siang. Tong ketemu deng Fritz. F-r-i-t-z. Dong pemuda Kayu Batu. Ingat, jam satu. Mengerti?”

Meski tak paham benar dengan penjelasan sahabatnya, Tari mengangguk-angguk. Ia hanya menangkap beberapa potong info: kantor gubernur, Ibu Dra. Nonce, jam satu siang, besok.

Karenanya, di sinilah ia kini --tepat jam satu siang-- di depan pintu tertutup yang di sebelahnya tertempel tulisan besar-besar: Kabid Bapeda. Dra. Nonce Wairata – ada. Tari mengetuk pelan. Dari dalam terdengar sahutan, “Masuk, Tar.” Itu suara Nonce.

Ruangan kerja Nonce nyaman dan luas. Ada AC yang terus menyala yang membuat ruangan ini terus-menerus sejuk. Ada komputer lengkap dengan layar LCD 17 inci terbaru di atas meja kerjanya yang ekstra besar itu. Nonce duduk di kursi yang bisa diputar 360 derajat. Ia tidak sendirian. Ada seorang pria di depannya. Pria itu duduk membelakangi pintu.

Nonce berdiri. “Tar, kenalkan sa pu teman….”

Pria itu berbalik. Tari berdiri diam di depan pintu yang terbuka. Terpaku. Pemuda itu pun tak kalah kagetnya. Katanya tergagap, “Nona….”

“…Fritz. Eh, ko su kenal deng sa pu teman Jawa, kah?” Nonce terheran-heran melihat wajah Fritz yang langsung pucat. Ia seperti baru bersua dengan hantu.

Fritz kehilangan kata-kata. Tari langsung mendapatkan kendali dirinya. “Dialah yang aku ceritakan kemarin. Yang menyelamatkanku.”

Fritz tersipu malu.

Setelah ketegangan dan kekakuan sedikit mencair, kembali Nonce mengemukakan maksudnya. Kata-katanya formal dan tegas, “Sebenarnya apa yang telah terjadi?”

Keduanya berdiri di atas bukit. Tepat di persimpangan tempat Tari berbelok ke kiri lusa lalu. Di bawah terhampar tanjung yang menjulur membelah Lautan Teduh yang bentuknya seperti juluran lidah naga itu. Fritz menunjuk hamparan luas tanah sukunya.

“Tanah suku kitorang, Kayu Batu, dari sana itu. Dari pasir dua. Terus sampai ke seluruh tanjung… sampai ke dok sembilan.”

“Tanah suku kalian luas sekali.”

Fritz mengangguk membenarkan.

“Kitorang terdiri dari empat keluarga besar. Sa dari keluarga besar Puy. Kampung tong yang di sana itu,” Fritz menunjuk beberapa deret rumah di atas permukaan air di ujung terluar dari bagian dalam tanjung.

Tari terpesona. Bila diamati lebih cermat deretan rumah panggung keluarga Puy memang terpisah dari rumah-rumah kumuh milik para pendatang yang dilihat Tari tempo hari. Tari menghitung cepat. Dalam hati. Hanya ada sebelas rumah. Betapa sedikitnya jumlah anggota keluarga Puy itu.

Malamnya segalanya menjadi jelas. Malam itu Nonce mengundang Fritz makan malam. Fritz ternyata teman Nonce dan teman suaminya ketika di SMP dan SMA. Singkat kata, Fritz adalah bagian dari keluarga ini.

Di meja makan terhidang --lagi-lagi-- ikan laut. Ikan cakalang yang besarnya selengan manusia. Ikan itu dibakar saja. Nonce tidak masak papeda. Ada semangkuk penuh nasi di atas meja dan semangkuk kecil sambal iris. Untunglah. Bagaimanapun, Tari tak ingin ditertawakan dua kali saat makan.

Fritz yang menjelaskan. Nonce menambahi. Sebagai orang pemerintahan asli Papua, Nonce tahu banyak persoalan suku Kayu Batu.

Dulu, sewaktu perang pasifik, seluruh wilayah suku Kayu Batu dipakai sebagai salah satu basis pertahanan tentaranya Jenderal Douglas Mc Arthur. Karenanya, pantai itu, pantai yang didatangi Tari tempo hari, disebut dengan nama Base G, sebagai basis pertahanan urutan ke-G.

“Lantas yang bes ei sampai ef, di mana?” tanya Tari lugu.

Keduanya saling memandang. Bingung. Kemudian jawab Nonce yang terkesan asbun itu, “Mungkin di Darwin… atau… mungkin di Hawaii... ah... tratau.”

Fritz tersenyum simpul. Nonce memelototkan matanya. Fritz berhenti tersenyum. Eta terkikik melihat Fritz yang menjadi salah tingkah. Gadis kecil itu memang suka cekikikan.

Fritz melanjutkan penjelasannya. Ketika tentara Indonesia masuk yang kemudian dilanjutkan dengan masuknya orang-orang sipil, artinya itu tanda untuk membentuk pemerintahan, pantai itu diambil alih oleh pemerintah. Itu sudah lama terjadi. Artinya, kita harus kembali ke tahun 1969. Pemerintah menjadikan tempat itu sebagai objek wisata utama Jayapura.

“Bisa dimaklumi. Pantainya memang indah dan bersih.”

“Nah, apa sa bilang. Parangtritis itu cuma namanya saja yang terkenal. Tetapi, pantainya kotor. Banyak sampahnya,” timpal Nonce. Sekali ini Nonce tidak asbun. Karena, ketika kuliah di Yogya, ia memang sering ke Parangtritis dan membuktikan dengan mata kepalanya sendiri betapa kotornya tempat itu.

Tari tersenyum kecut sekaligus memaklumi. Memangnya ada pantai-pantai di Jawa yang bebas sampah? Rasanya mustahil.

“Lantas salahnya di mana? Bukankah bagus pemerintah menjadikan tempat itu sebagai objek wisata pantai?”

“Memang bagus kalau pemerintah minta izin. Apa yang orang Jawa bilang? Istilahnya apa? Kulo wun-kulo wun?” Fritz ingin mengutip istilah Jawa yang biasa didengarnya dari mulut para pejabat di televisi. Berbeda dari Nonce yang pernah lama tinggal di Jawa, Fritz hampir tak mengenal Jawa.

“Kulo wun-kulo wun, apa? Maksud ko kulonuwun, permisi?” timpal Nonce.

“Ah, itu sudah.”

Ternyata pemerintah tidak pernah meminta izin, baik secara lisan maupun tertulis. Ini dalam artian sebenarnya. Sehingga, pemerintah tak merasa punya kewajiban sedikit pun untuk memberikan atau membagi pemasukan kepada para pemilik tanah.

“Sama sekali?”

“Ada… tetapi, bila melihat jumlahnya, bisa dianggap tak ada. Karena sangat kec….”

Tring aling tring aling.

Terdengar dering merdu dari ponsel Tari. Refleks Tari melirik layar ponsel. Tertera nama Heru di sana. Tari mendesah. Ia tak ingin mengganggu suasana. Cepat ditaruhnya sendok-garpunya, beranjak dari kursi dan berjalan menjauh.

“Ya?”

“Rasanya kamu harus mempersingkat liburanmu.”

Tari diam. Ia tahu bahwa ia harus menyediakan kuping lagi. Untuk kesekian ratus kalinya.

“Kornelis sudah kamu tegur? Laki-laki, kok, lelet begitu. Lagian si... siapa itu gadis yang di Batam? Ya… ya gadis itu. Bayangkan laporan buatannya. Kenapa bisa ada selisih barang dari yang seharusnya kita terima dan laporannya? Sudah, sana cepat ke Batam. Bereskan urusan di sana. Kutunggu dalam tiga hari.”

“Tidak bisa, Her. Aku lagi libur. Bukankah tahun lalu aku sudah mengalah tak mengambil cuti? Jadi tahun ini giliranku,” jawab Tari, pelan dan lembut.

Heru tak bisa menelan ludahnya sendiri. Ia sudah menjanjikan liburan itu. Karenanya ia segera berbelok ke topik lain, “Wanto.…”

“Wanto tak bisa menemui Pak Wardiman waktu itu. Pak Wardiman sendiri yang membatalkan janji. Jadi Wanto harus membuat janji baru dengan sekretarisnya. Karenanya, dia langsung ke Bogor pada hari yang sama.”

“Ya, sudah.” Klik. Telepon diputus dari sana. Seperti biasa.

Tari mendesah. Apa yang harus dilakukannya kini? Secara kimiawi kondisi batinnya telah berubah. Resah. Keresahan yang selalu dibawa dan didesakkan Heru dalam hidupnya. Pelan-pelan Tari berjalan menuju teras belakang. Kerlap-kerlip lampu menebar di seluruh bukit. Lampu-lampu para nelayan menambah keindahan gelap laut. Membuat kota ini seperti Hong Kong di waktu malam. Dan, di ruang makan sayup-sayup terdengar gelak tawa tiga manusia yang tengah berbahagia sambil menikmati santap malam yang begitu bersahaja. Tari merasa iri terhadap ketiganya.

Waktu itu siang, hari Minggu. Untuk pertama kali Tari menginjakkan kaki ke tanah keluarga Puy, tanah tumpah darah Fritz. Dari jalan utama mereka harus melewati deretan los-los kosong bagi pedagang di pasar inpres.

Dari belakang pasar ada jalan setapak penuh bebatuan yang akan membawa mereka ke sana. Tari berjalan pelan dan ekstra hati-hati. Jalan itu benar-benar licin dan berbatu. Sementara di sana-sini sisa-sisa batang pohon melintang dengan bebas di tengah-tengah jalan setapak. Di tengah jalan Tari menghentikan langkahnya.

“Perahunya di sana,” kata Fritz.

Tari berdiri kaku.

Fritz menengok ke depan, mencari tahu, melewati bahu Tari. Tak jauh dari tempat mereka berdiri ada seorang pria tua tengah asyik mandi di bawah pancuran. Pria tua itu tidak memperhatikan mereka. Ia sibuk menggosok-gosok punggungnya di bawah pancuran air yang mengalir lancar dari dalam perut bumi. Meski dari tempatnya berdiri wajah bapak tua tak terlalu jelas terlihat, Tari kenal benar siapa pria itu. Kulitnya yang putih bersih langsung menandainya. Dialah pria tua yang pernah memerasnya tempo hari.

Fritz paham situasi. Segera ia maju ke depan. “Biar sa yang di depan. Ayo.”

Tari ragu-ragu.

“Ayolah, tidak akan terjadi apa-apa. Percayalah.”

Mereka berjalan lagi. Pelan-pelan. Tari menempel ketat di belakang Fritz. Tak lama keduanya berjalan melewati pancuran. Tari menundukkan kepala, berusaha tidak melihat ke arah pria tua, sambil berharap semoga ia telah melupakan Tari.

Tetapi, Tari salah duga. Pria tua itu berbalik melihat mereka dan segera mengenali Tari. “Eh… nona itu.”

Tari menyembunyikan wajahnya di balik punggung Fritz.

“Nona itu. Sa ingat. Mana sa pu uang. Seratus ribu.”

Fritz berhenti melangkah. Sampai di titik ini Fritz merasa bapa ade-nya sudah keterlaluan. Karena, sekarang Tari datang atas undangannya. Tari adalah tamunya. Dipandangnya bapa ade-nya dengan sorot mata tegas dan lugas.

“Bapa ade. Cukup.”

“Ah, sa pu uang, to,” pria tua itu masih berkeras dengan ’hak’-nya.

“Kalo sa bilang cukup itu artinya cukup. Mengerti ka tidak?”

Pria tua itu mengenal benar watak keponakannya. Ia tahu Fritz itu jujur, pandai, sekaligus keras hati. Akhirnya ia mengalah. Meski kekalahannya itu ditunjukkannya dengan cara yang lucu. Sambil kembali ke bawah pancuran, dimonyongkannya bibirnya ke arah keduanya. “Mentang-mentang pegawai negeri, sombooong, sampe.”

Tak lama keduanya tiba di tempat biasanya Fritz menambatkan perahu. Fritz memegangi bibir perahu, sementara mempersilakan Tari naik ke dalamnya. Tari ragu-ragu. Hatinya gamang. Terutama, saat Fritz menghela perahu itu ke laut dan mendayungnya pelan-pelan menuju ke deretan rumah panggung keluarganya. Betapa kecil perahunya. Apakah mereka akan selamat sampai ke sana?

Rumah panggung itu di depan mereka. Sangat dekat. Hanya lima puluh meter jauhnya dari bibir pantai. Tetapi, tak terlihat satu pun jembatan yang menghubungkan rumah panggung-rumah panggung itu dengan daratan. Sehingga, setiap orang harus menggunakan perahu dari mana saja untuk sampai ke rumah dan sebaliknya.
Beberapa wanita melongokkan kepala melalui jendela-jendela yang terbuka. Memperhatikan pemandangan aneh di dekat mereka.

“Fritz?”

“Itu, sudah.”

“Dong dengan perem, perempuan, pendatang.”

“Yooo.”

“Deng perem, dengan perempuan, rambut lurus.”

“Yooo.”

Suara-suara para wanita itu bersahut-sahutan dari satu rumah ke rumah lain. Ramai. Berisik. Meriah. Seorang nenek tua dengan bibir dan gigi merah terang melongokkan kepalanya lebih jauh. Setelah mengamati dengan teliti isi perahu, komentarnya, dengan suara bak guntur kerasnya, “Eh… Fritz… siapa itu, nona? Cantik sampe.”

Tari tersipu malu, sementara Fritz pura-pura tidak mendengar. Sesaat kemudian keduanya telah sampai di rumah Fritz, rumah tempat wanita tua bermulut merah itu tinggal. Fritz memosisikan perahunya sedemikian rupa, sehingga dengan mudah Tari bisa keluar dan menjejak tangga rumah dengan aman. Wanita tua bermulut merah itu sudah menyambut mereka di dekat tangga.

“Ko pu pacar, ka?”

Komentar yang sangat lugu dan begitu terus terang. Tari tak yakin, adakah para sesepuh di kampungnya yang akan berkomentar seterbuka itu. Sementara Fritz sendiri tidak menyahut. Ia justru sibuk mengikatkan tali perahu ke tiang rumah. Sesampainya di atas, di teras depan, diperkenalkannya Tari kepada wanita itu. “Ini sa pu nene (nenek). Nene, ini Tari, Nonce pu teman. Dong baru datang dari Jakarta.”

“Oh, Jakarta, ka? Ibu kota? Banyak mobil di sana, e?”

Ada beberapa perahu kecil merapat. Perahu-perahu kecil yang berisi para wanita (yang tadi mengintip dari jendela). Mereka mendayungi perahunya menyusuri laut yang hanya lima meter sampai sepuluh meter jaraknya dari rumah-rumah mereka ke rumah sang nenek. Tari heran melihat itu. Gumamnya, dalam hati tentu, “Mengapakah tak dibuat jembatan dari satu rumah ke rumah lain? Lebih praktis. Terlebih, mereka tak perlu capek mendayung seperti itu.”

“Ayo, masuk,” undang Fritz. Tari menoleh. Fritz menyilakan dengan anggukan. Untuk sementara keheranannya menguap.

Rumah itu langsung ramai. Semuanya berkumpul. Para wanita saudara bersaudara. Mereka saling berbincang, menanyakan ini-itu kepada Tari. Tari merasa ini semacam ajang menilai calon menantu, meski sebenarnya ia tak merasa sebagai apa-apanya Fritz. Tetapi, setidaknya, itulah yang biasanya terjadi di Jawa ketika seorang pria muda membawa kekasihnya ke rumah.

Tari perlu mengoreksi cara berpikirnya secepatnya. Karena, dalam waktu singkat para wanita itu sudah beralih topik. Seorang wanita mengeluarkan sebuah tas kresek kecil, mengambil sesuatu dari dalamnya, yang ternyata berisi buah-buah pinang dan sirih serta sekotak kecil kapur. Sementara ia asyik mengupas sebuah pinang dengan giginya, yang lain ramai-ramai ikut serta.

Tak lama percakapan itu mengalir ke mana-mana. Membicarakan angin yang sangat kencang yang sering datang akhir-akhir ini, sampai ke mahalnya ongkos taksi --sebetulnya mikrolet-- yang membuat mereka harus berpikir dua kali kalau hendak bepergian.

Sementara itu, mulut-mulut mereka mengunyah terus, terus, dan terus. Persis seperti makan permen karet. Hanya, bedanya, yang ini permen karetnya sebesar bola pingpong. Sebentar-sebentar mereka bangkit dari duduknya, pergi ke jendela, menjulurkan kepalanya ke sana dan… meludahkan cairan merah pinang dari mulut.

Tari tertegun. Itulah sebabnya, semua wanita itu bermulut merah. Karena nginang, makan pinang, rupanya. Cepat-cepat ia melirik Fritz. Ternyata pria yang duduk di sebelahnya tak punya kebiasaan itu. Mulutnya bersih. Giginya putih mengilap.

Di tengah kemeriahan itu, Tari mengambil kesempatan untuk menggali keterangan yang belum selesai. Bisik Tari kepada Fritz, “Soal yang tempo hari, pantai bes ji, bagaimana kelanjutannya?”

Fritz menarik napas panjang. Berusaha melepaskan sedikit beban yang mengimpit dadanya. “Era reformasi membawa pengaruh sampai kemari.”

“Setelah sang diktator besar tumbang.”

“Suharto?” Fritz tertegun melihat ekspresi muak Tari saat mengucapkan kata-kata ’sang diktator besar’.

“He-em.”

Sepuluh tahun yang lalu --setelah arah politik negeri ini bergeser-- empat keluarga besar sepakat mengambil kembali pantai itu. Maksudnya jelas, mereka ingin memiliki pantai yang secara sah menjadi hak adat itu dan berusaha mengaryakannya seperti semula. Seperti yang dilakukan pemerintah sebelumnya. Ternyata, proses pengelolaannya tidak sesederhana yang mereka bayangkan.

Ada empat keluarga besar dengan empat kepentingan. Betapa rumitnya bila masing-masing keluarga memiliki kepentingan sendiri-sendiri dan menyarankan pola pengelolaan yang khas dari masing-masing keluarga. Karenanya, mereka terus berunding dan berunding. Selama hampir satu dekade. Betapa lama. Karena, waktu justru tidak menguraikan masalah apa pun, malah makin mengusutkannya. Sehingga, sampai saat ini, mereka belum menemukan titik temu atau mencapai kata sepakat.

Tari berbisik lagi, “Minta saran saja ke pemerintah. Mereka kan sudah pengalaman mengelola? Maksudku, anggap pemerintah sebagai mediator, tim penengah, begitu.”

Fritz terpana. Ditatapnya Tari dengan sorot mata aneh. Meski begitu, dikomentarinya juga pernyataan Tari yang terlihat begitu tak tahu persoalan, “Dong tra percaya lagi deng pemerintah. Dari dulu pemerintah tra memberi apa-apa ke torang, kami. Kenapa torang harus bersandar ke pemerintah sekarang? Tra masuk akal itu.”

Tari menarik napas panjang, menyadari belitan persoalan. Saat itu ingatannya kembali ke peristiwa tak mengenakkan yang menimpanya tempo hari. Ditatapnya Fritz. Pria muda itu tengah tepekur memandangi lantai kayu rumahnya sendiri. Tari tak punya pilihan lain. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?

“Maaf kalau harus menanyakan ini, bukan maksudku mengungkit-ungkit persoalan,” Tari berhenti sesaat. “Kalau soal bapa ade-mu itu, yang di pantai itu, bagaimana?”

Fritz menengadahkan wajah. Tertampak olehnya sang nene terkasih yang tengah menjulurkan kepala keluar jendela dan meludah jauh-jauh ke luar, ke laut. Inilah akhirnya dampak persoalan yang tidak tuntas itu. Setiap orang --di keluarga mereka-- akhirnya merasa ’tidak apa-apa’ bertindak sendiri-sendiri. Benar-benar dalam artian yang sebenarnya. Artinya, siapa saja merasa berhak memajaki atau meminta dana kepada siapa saja, baik ke para pedagang, juga ke pelancong lokal maupun internasional, yang kebetulan mampir. Jumlahnya? Suka-suka yang minta.

Dulu pernah ia mengusulkan agar mereka membentuk satu tim kecil untuk mengelola pantai itu. Kerja tim ini termasuk mengurus pencetakan karcis masuk, menentukan pembagian keuntungan yang adil, melaporkannya ke para kepala keluarga yang akan bertindak sebagai tim pengawas, sampai ke menentukan sanksi adat bila ada pelanggaran. Tetapi, saat usul itu ia ajukan, masing-masing bersuara keras, “Siapa yang pegang karcis? Orang torang ka orang dorang (dari keluarga kita atau mereka)?”

Tidak pernah ada kata sepakat untuk itu. Semua ingin memegang karcis. Karena, di sanalah kunci pemasukan. Ini benar-benar tidak masuk akal. Bagaimana mungkin semua orang ingin memegang karcis. Lantas, siapa yang akan jadi tim pengawas?

Persoalan makin rumit ketika Fritz mengajukan jalan keluar untuk membuat pembukuan yang rapi. Karena, dari sana akan ada kontrol. Akan ketahuan berapa karcis yang terjual dan berapa uang yang masuk. Teorinya sesederhana itu.

Tetapi, semua kepala keluarga yang hadir justru memandanginya dengan tatapan aneh. Seolah Fritz adalah makhluk asing. Alien. Usulnya benar-benar aneh. Memang sungguh celaka pendidikan tinggi itu. Buktinya, anak muda itu. Ia sungguh sudah menjadi lain. Menjadi seperti para pendatang itu. Menjadi golongan orang-orang berambut lurus. Para amber itu.

“Siapa yang bikin buku? Buat apa? Buku apa? Buku tulis atau buku gambar?” teriak seorang ketua adat.

“Pembukuan, Bapa,” jawab Fritz, pendek. “Pembukuan. Bukan buku tulis atau buku gambar. Itu semacam laporan keuangan.”

“Lapor ke mana? Ke pemerintah? Tra bisa.”

“Betul… tra bisa. Seratus persen tra bisa,” sahut yang lain.

Fritz menyerah. Ia putus asa. Mentah lagilah semuanya.

Lantas, dari mana ia harus bercerita kepada wanita ini? Dari mana ia akan memulai? Bukannya mencari jawab, diliriknya wanita matang di sebelahnya, teman Nonce ini. Fritz tergelitik untuk berhitung. Teman Nonce? Berapa umur Nonce? Nonce seumur dengannya. Dan Nonce sebaya dengan Tari. Jadi, setidaknya umur wanita ini tiga puluh atau tiga puluh satu tahun. Wuih… wanita secantik dan seindah ini. Kata Nonce, ia belum kawin. Kenapa belum kawin? Tak adakah pria di Jakarta sana yang meliriknya?

Diamatinya lagi wanita di sebelahnya. Minggu lalu, saat melihatnya duduk di pantai memandangi kejauhan, ia sudah tertambat. Tertambat dengan rambut lurus sebahunya yang melambai-lambai tertiup angin. Ini sungguh memesonanya. Berbeda benar dari rambut para wanita sesukunya –dan sebagian besar suku-suku lain yang ada di Papua. Rambut mereka tak akan pernah bisa melambai tertiup angin. Karena, rambut-rambut itu terlalu ikal. Terlalu berombak. Sementara Fritz, entah kenapa, begitu bergairah melihat rambut wanita yang bisa melambai tertiup angin.

“Ko cantik. Rambut ko cantik,“ gumam Fritz. “Siapa pacar ko?”

Tari tak mampu menangkap gumaman itu. Ia hanya menangkap komat-kamit mulut Fritz. Bisiknya lagi, “Apa? Ngomong apa? Enggak kedengaran. Coba ulangi?”

“Kenapa bisik-bisik?” gelegar suara sang nene. “Tra usah bisik-bisik di sini. Bicara yang keras. Seperti orang pacaran saja.”

Meledaklah tawa para wanita itu.

Kali ketiga Tari kemari, ia tidak sendirian. Nonce dan Eta ikut serta. Kali ini Nene yang mengundang. Nene sudah berpesan kepada Fritz agar mengundang ’teman-teman atas’ malam Minggu nanti. Teman-teman atas itu istilah Nene untuk menyebut Nonce sekeluarga. Karena, Nonce tinggal di bukit, sementara suku ini tinggal di bawah, di pantai. Nene bilang, malam Minggu nanti ia akan menyelenggarakan pesta makan. Pesta makan papeda maksudnya. Mendengar itu, Tari mendesah resah. Lagi-lagi papeda. Terutama makan papeda di tengah orang banyak? Ups… betapa menderitanya.

Melihat kerenyit di muka Tari ketika mendengar undangan itu, Nonce buru-buru mengancamnya, “Ko harus datang. Harus. Ini pesta spesial.”

Sementara Eta yang lincah dan genit itulah yang akhirnya membuka sedikit rahasia, “Nene suka ko, Tante Jawa. Nene bikin pesta untuk Tante Jawa, to.”

Nonce jadi jengkel pada putrinya yang besar mulut itu. Dipelototinya Eta, “Anak kecil sok tahu.”

Melihat pelototan mamanya, gadis kecil itu ketakutan.

“Sudah, ah. Enggak usah marah-marah gitu. Aku datang, deh.”
Saat mereka datang di awal malam, rumah itu sudah ramai. Hampir semua wanita berkumpul di sini di dalam rumah. Sebagian dari wanita itu sibuk bekerja di sudut rumah, memotongi ikan dan memasukkannya ke dalam panci besar yang airnya bergolak-golak. Sebagian yang lain mengaduk-aduk sagu di dalam baskom besar. Seorang wanita sibuk menuangkan air panas ke dalam baskom, sementara wanita yang lain lagi sibuk memutar-mutar isi baskom. Tak lama… jadilah papeda.

Setelah papeda dan ikan dalam panci matang, Nene berteriak, “Eh… semua masuk dulu. Makan papeda dulu.”

Yang dimaksud ’semua’ adalah para pria yang tadi duduk-duduk di teras. Berbondong-bondong mereka masuk ke dalam rumah Nene dan mengambil jatahnya. Setelah kaum pria selesai mengambil jatah papeda, barulah giliran para wanita.

Nene memanggilnya, “Kemari.”

Tari celingukan. Iakah yang dipanggil? Sekali lagi Nene memandang kepadanya dan menganggukkan kepalanya. Ternyata memang benar, ia yang dipanggil. Tari mendekat ke Nene, ke dekat panci besar di atas tungku.

Dengan dua tongkat panjang --yang bentuknya sedikit lebih besar dari sumpit tukang masak di restoran Cina-- Nene menggulung papeda dalam baskom. Dengan bantuan dua belah tangan, Nene terus memutar tongkatnya sedemikian rupa sampai terbentuk gumpalan papeda yang cukup besar melekat di antara sumpit. Saat itulah baru diletakkannya gumpalan papeda itu ke dalam piring Tari. Masih belum cukup, Nene menuangkan kuah ikan lengkap dengan potongan ikan besar ke dalam piringnya. Katanya, “Dihabiskan, e.”

Tari tak menyahut. Melihat gumpalan papeda yang menggunung di piringnya, Tari mendesah. Bagaimana caranya menghabiskan papeda ini? Porsinya begitu besar, sampai-sampai hampir melewati bibir piring. Terlebih, cara makannya pun sangat rumit. Ingin ia melarikan diri. Terbang menuju rumah Nonce di bukit, memasak nasi, dan membuat sambal terasi untuk dirinya sendiri. Tetapi, segera saja diurungkannya niatnya. Karena, dilihatnya Nene yang tersenyum bangga kepadanya.

Setelahnya, semua sibuk mengisap papeda. Eta pun tak kalah pandainya menggulung dan mengisap. Sambil makan, diperhatikannya Tante Jawa yang tak mampu menelan satu isapan papeda pun. Dari tadi diperhatikannya sang tante yang hanya sibuk memutar-mutar papeda di piringnya. “Tante tra suka, ka?”

“Huuuus,“ bisik Tari, “jangan keras-keras ngomong-nya. Nanti semua dengar.” Dengan sikap malu-malu Eta menutup mulutnya dengan satu telapak tangannya.

Di tengah hiruk pikuk itu terdengar gelegar suara Nene ditingkah dengan sahutan gelegar suara yang lain. Belakangan baru Tari tahu, hampir semua orang di sini berbicara dengan suara keras, “Tari, ka? Enak, ka?”

Nene melihat papeda di piring Tari. Semua orang di ruangan itu menengok ke arahnya. Tari tersipu, meski setelahnya ia mengangguk-angguk membenarkan. Maklum, hanya itu yang bisa ia kerjakan.

“Begini Tari…,” Nene berhenti menarik napas panjang.

Semua berhenti mengisap. Semua mata kini tertuju kepada Nene. Tari menghentikan gerakan tangannya. Ruangan perlahan menjadi sunyi. Melihat kesenyapan itu, dadanya berdetak lebih kencang. “Tong su baku bicara dengan semua tong pu keluarga di sini. Bicara-bicara sampe lama. Jadi sa pikir ada baiknya sa tanya,” Nene tak sanggup melanjutkan perkataannya. Bagaimanapun, untuk urusan yang satu ini, ia tak punya kewenangan. Semuanya harus diserahkannya kepada kaum pria. Kalau saja suaminya masih hidup, kalau saja ayah Fritz masih hidup, merekalah yang akan mengurusi hal-hal demikian.

Bapa ade --yang kulitnya seputih susu itu-- melongokkan wajahnya ke dalam. Inilah saatnya untuk mengambil alih. Ini memang tugasnya. Ia segera masuk ke dalam dan duduk di dekat pintu. Katanya, “Tong su baku bicara. Su baku runding. Begini, kira-kira berapa babi maskawin, ko? Ini kira-kira saja.”

Suasana sunyi. Tari sibuk memandangi lantai. Maklum, ia terlalu kaget mendengar semuanya. Melihat itu, Nonce mencolek pinggangnya. Tari mendongak. Kaget. Untuk kesekian kali. Kaget, karena semua mata kini berpusat kepadanya. Menunggu. Menunggu jawabannya.

Sunyi itu lama sekali. Untuk kedua kalinya Tari merasa tersiksa selama liburan di sini. Pertama ketika di pantai dan sekarang. Lamaran itu… lamarankah itu? Semuanya begitu tiba-tiba.

Tring aling tring aling.

Ponsel Tari berdering. Seperti dugaannya, panggilan dari orang yang sama. Heru. Tari menarik napas lega. Selama tiga tahun hubungan mereka, baru sekali ini ia merasa nyaman menerima telepon Heru. Pelan-pelan Tari berdiri, meninggalkan piring papeda-nya di lantai, sambil meminta maaf ke sana-sini. Terakhir ia menekan tombol bergambar telepon warna hijau. “Ya?”

Terdengar sahutan dari seberang sana, “Besok malam ada rapat pemegang saham. Kamu sudah tahu, ’kan? Papih dan Mamih hadir. Juga Om Beno. Barangkali aku akan mengajak Melisa atau Desi. Seharusnya kamu….”

Bunyi berisik sambungan telepon yang buruk. Kemrosak. Sehingga Tari hanya mendengar sepotong dua potong suku kata. Meski begitu, Tari tak hendak bersusah payah mengingatkan Heru. Pelan-pelan ia keluar ruangan, berusaha mencari sepenggal tempat yang lowong. Kalau bisa.

Di dalam para wanita dan sebagian pria duduk di lantai kayu memenuhi hampir seluruh ruang. Di teras tak kalah padatnya. Hampir seluruh teras sempit itu dipenuhi pria --tua, muda, besar, kecil-- yang dengan sangat antusias mengisap papeda. Tari menyapu sekilas. Dan, ia menemukan bahwa satu-satunya tempat tersisa hanya tangga rumah di bagian depan teras.

Pelan-pelan ia menuruni beberapa anak tangga. Waktu pertama kali kemari, ia melihat anak tangga itu panjang dan berpijak pada dasar laut yang berlumpur.

Di dalam –sepeninggal Tari-- terlihat ketegangan yang nyata. Ini berawal dari protes Fritz yang merasa tak dilibatkan dalam urusan ini. Padahal, ialah nanti yang akan duduk sebagai mempelai pria. Kalau jadi. “Nene… o… Nene. Nene tra bisa begini. Tari pu adat lain, e. Dong tra hitung perempuan dengan babi.”

“Ko…,” Nene sudah akan membantah, tetapi ia melunak sedikit, “jadi deng apa? Manik-manik? Piring? Apa?”

Dengan cepat Fritz menghentikannya, “Sa belum selesai bicara. Yang lebih penting, sa belum bicara dengan Tari. Sa belum berunding dengan dong. Ini tra bisa begini. Sa berunding dulu, to.”

“Ah… ko anak muda tahu apa. Ini urusan torang, kita, semua.”

“Nene tra lihat Tari pu muka, kah? Pucaaaat. Kasihan Tari.”

Bapa ade yang menengahi, “Nene su benar, mo. Ini urusan torang semua. Torang harus jelas dong pu maskawin. Jadi torang bisa siap-siap dari sekarang.”

“Yo…,” sahut banyak orang, membenarkan.

“Jangan sampe seperti dulu. Itu ko pu gadis gunung. Torang tra bisa bayar dong pu maskawin. Torang jadi malu. Akibatnya? Ko tra kawin-kawin sampe….”

“Yo,” angguk yang lain lagi, beramai-ramai.

“Kamorang tahu Marten, to. Yo, orang Kayu Pulo. Teman sekolah Fritz. Dong pu anak su gadis besar sekarang.”

“Magdalena juga. Dong pu anak su es-me-pe, lagi.”

“Itu, sudah.”

Tari masuk. Semuanya diam. Terutama ketika dengan tegas Fritz menunjukkan wajah gusar kepada semua orang. Meski begitu, Tari sempat mendengar bagian yang terakhir. Soal gadis gunung itu, dan uang mahar yang tak mungkin terbayar.

Eta sudah lama terlelap, sementara Tari belum mampu memicingkan mata sedetik pun. Ia masih tergolek-golek gelisah di tempat tidurnya. Lamaran di rumah Fritz tadi, kalau memang mau disebut begitu, meresahkannya.
Dengan enggan ia bangun dari tempat tidur, membuka pintu kamar, dan berjalan ke luar. Ruang tamu begitu gelap. Tari tak hendak menyalakan lampu. Bila sedang gelisah, ia merasa nyaman tinggal dalam gelap. Dengan langkah gontai ia membuka pintu depan dan duduk di salah satu kursi di teras.

Di bawah sana terhampar pemandangan yang menakjubkan. Hampir seluruh bukit berkerlap-kerlip, yang berasal dari nyala lampu rumah-rumah penduduk. Pendar nyala lampu itu sedemikian memesona. Seolah seluruh bukit dipenuhi oleh tebaran kunang-kunang. Sementara di atasnya -di gelap langit- tertebar pendar yang lain. Pendar ribuan bintang membuat hidup begitu sempurna dalam geraknya yang damai dan lambat. Itulah sejatinya gerak alam. Damai, tenang, tidak terburu-buru.

Terdengar pintu dibuka dan ditutup. Kemudian sebuah suara yang dikenalnya benar. Suara Nonce, “Belum tidur?”

“Nggak bisa tidur.”

Sunyi lagi. Nonce ikut-ikutan duduk di kursi di sebelah kursi Tari. Dengan santai diangkatnya kedua kakinya ke atas kursi dan dipeluknya lulutnya. “Ehm… dingin juga di sini.”

“Lihat, deh, Non, pemandangan ini. Bukit berlampu, bintang, bulan, langit yang luas. Indah sekali. Hampir mustahil mendapatkan pemandangan seperti ini di Jakarta.

Nonce mengangguk. Diam-diam dipandanginya seluruh jagat raya yang hampir setiap hari hadir dalam hidupnya. Kota di bawah sana, bukit yang melingkupinya, ditambah langit luas di atasnya, semua tak terasa asing baginya. Tetapi, mengapakah malam ini semuanya terasa baru? Kebaruan itu, bisa jadi, muncul dari komentar Tari yang saat ini sedang terkagum-kagum memandangi semuanya.

Diam-diam Nonce pergi menuju dapur untuk membuat dua gelas kopi panas. Ketika kopi panas itu siap dan ia kembali lagi ke teras, dilihatnya sahabatnya masih dalam posisi semula, masih ter­mangu memandangi alam luas di sekitarnya.

Nonce ikut duduk. Terpaku. Larut dalam suasana. Keindahan itu menyatu dengan dirinya. Ia merasa damai, penuh syukur, bahwa saat ini ia telah diberi karunia yang luar biasa bisa melihat alam raya yang sangat menakjubkan.

Lama setelah saling bisu, Nonce memulai. Ia, toh, harus menjelaskan semuanya. Soal Fritz itu. Ia sayang Fritz. Ia pun sayang Tari. Ia tak ingin (karena kejadian di awal malam tadi) hubungan akrab yang telah terjadi di antara keduanya retak, hanya karena salah paham.

“Sa ingin bercerita. Dengarkan sajalah.”

Tari mengangguk. Dalam diam.

Dulu, cerita Nonce, Fritz pernah punya pacar. Ketika itu Fritz masih sangat muda. Ia baru selesai kuliah. Pacarnya adalah seorang gadis manis dari pedalaman. Yang disebut pedalaman, jelas Nonce lagi, adalah wilayah Papua yang terletak di dalam. Di lingkar dalam Papua yang dikitari gunung dan lebatnya rimba raya. Sementara dirinya bukan termasuk orang pedalaman. Ia orang pesisir. Karena, kampung halamannya di Pulau Serui terletak persis di dekat pantai indah di wilayah barat pulau itu.

“Torang, kami, gadis-gadis Serui, biasanya dibayar dengan piring.”

“Piring?”

“Ya, maskawinnya piring.”

“Piring,” Tari terpesona. Teringat ia saat Mbak Lok dilamar dulu sekali. Waktu itu Mas Yudha, pacar Mbak Lok, dan keluarganya datang melamar dengan membawa berbagai macam antaran. Di antara barang-barang lamaran yang bermacam-macam itu ada jenang. Jenang itu sejenis dodol dari beras ketan yang sangat disukai Tari. Rasanya manis, legit, dan lengket di langit-langit mulut kalau dimakan. Tetapi, di situlah enaknya menikmati jenang. Tetapi, piring? Kalau sandal, kain kebaya lengkap dengan kondenya, serta berbagai macam jajanan, ada. Tetapi, piring?

“Piring apa? Piring seng atau piring beling?”

Nonce tertawa. “Ini sejenis keramik yang dulu dibawa oleh orang Cina kemari, saat mereka ingin mencari kulit buaya dan burung cendrawasih. Dulu… kira-kira di akhir abad sembilan belas sampai awal abad dua puluh. Piringnya besar. Diameternya kira-kira tiga kali lebih besar dibanding kitorang pu piring makan. Ini ceritanya panjang. Lain waktu sajalah sa cerita. Tetapi, pacar Fritz bukan dari pantai. Dong dari gunung. Dong tidak dihargai dengan piring, melainkan dengan babi.”

Tari terpesona. Semua penjelasan Nonce adalah hal baru baginya. Karena, ia tahu, penjelasan itu bukan sekadar penjelasan biasa, melainkan lebih dari itu. Muaranya akan kembali ke dirinya. Akan kembali ke ’lamaran’ di awal malam ini. Pelan digesernya kursinya, sehingga kini ia duduk berhadapan dengan Nonce, dengan bukit indah dan lampu-lampu di belakangnya.

“Fritz sangat mencintai pacarnya. Umurnya dua puluh lima waktu itu.”

“Lalu? Mereka putus?”

“Tidak.”

“Pacarnya mengkhianatinya? Berselingkuh?”

“Tidak juga. Fritz pu pacar sangat cinta Fritz, mo.”

“Lalu? Apa yang terjadi?”

Nonce perlu mengisi amunisi sebelum melanjutkan ceritanya. Pelan diambilnya gelasnya. Diteguknya kopinya. Seteguk, dua teguk, sampai gelas itu tinggal separuh isirnya. Tari menunggu dengan sabar.

“Bagaimanapun dong gadis pedalaman.”

Tari setia mendengarkan. Dipandangnya sahabatnya dengan rasa ingin tahu yang sangat.

Gadis itu, cerita Nonce lagi, setuju menjadi istri Fritz. Maka, proses menuju ke arah sana pun dimulai. Pihak keluarga besar Fritz, maksudnya para kepala keluarga di kampungnya, melamar. Tak lama jawaban dari sana datang. Mereka setuju-setuju saja bermenantukan pemuda pantai. Asal, beberapa syarat adat harus dipenuhi. Salah satunya --dan ini yang paling utama-- membayar maskawin berupa babi.

“Ko tahu berapa babi yang dong minta?” tanya Nonce. Ini adalah pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban. Karena, tak lama kemudian Nonce sendiri yang menjawabnya, “Dua puluh ekor babi.”

“Banyaklah itu?”

“Ko tahu berapa harga satu babi di pedalaman? Di kampung gadis itu?” Nonce mengulang pola penjelasan seperti tadi, “Lima juta.”

Tari menghitung cepat. “Berarti Fritz harus membayar maskawin seratus juta rupiah?”

Nonce mengangguk. “Begitulah.”

“Lantas… lantas?” Tari tak sabar menunggu kelanjutan ceritanya.

Nonce bilang, bukan mama dan papa Fritz yang akan menanggung seluruh biaya pesta lengkap dengan maskawin gadis itu, melainkan seluruh keluarga besar di kampungnya. Tetapi, seratus juta bukanlah hal yang murah dan mudah untuk diwujudkan. Mereka minta waktu. Keluarga besar si gadis memberi waktu.

Keluarga besar gadis itu lama menunggu. Menunggu maskawin yang tak juga datang. Sampai akhirnya para tetua adat di kampung gadis itu tak sabar lagi. Mereka memutuskan menerima lamaran putra kepala suku tetangga yang dengan begitu saja menyodorkan dua puluh ekor babi, di antaranya seekor induk babi yang tengah mengandung. Hal itu membuat ibu gadis itu bersorak kegirangan.

“Fritz langsung patah hati.”

Tari tercekat. Tenggorokannya kering. Cepat diraihnya gelas kopinya. Diteguknya kopinya yang telah menjadi dingin. Jam di ruang tamu berdetak satu kali. Embun turun. Udara dingin bertiup lembut. Tari menggigil kedinginan.
“Ayo, masuk. Ayo, tidur. Sudah pagi ini,” ajak Nonce.

Tari menurut. Ia masuk ke kamarnya dan membaringkan diri. Meski kali ini ia tahu, akan sulit baginya memejamkan mata.

Tari dibangunkan oleh panas sinar mentari yang menerobos masuk melalui jendela kamarnya. Udara panas menyengat. Setengah sadar diusap-usapnya matanya, diliriknya jam di dinding kamar. Agak lama baru ia bisa mengoordinasikan matanya.

“Hampir pukul dua belas siang,” gumamnya. “Pantesan aku lapar benar.”

Segera ia bangun dari tempat tidur, membuka pintu kamar dan berjalan pelan menuju dapur. Tercium aroma terasi bakar dari sana. Hmm… harumnya. Saat ia melongokkan kepala, dilihatnya Nonce tengah sibuk mengulek sesuatu. Sementara Eta yang pertama kali melihatnya, meloncat-loncat kegirangan.

“Mama… Mama, Tante Jawa sudah bangun.”

Nonce menoleh dan tersenyum riang, “Enak tidurnya?”

Tari mengangguk. Katanya serak, “Lagi masak apa?”

“Kasihan juga ko makan ikan terus, papeda terus. Kali ini sa bikin masakan Jawa. Sa bikin tempe goreng, sayur bening bayam dengan sambal terasi. Ini lihat… sambal terasinya sedang sa ulek,” jawab Nonce dengan bahasa campur aduk.

“Memangnya kamu tahu cara bikin sayur bening?”

“Jangan menghina begitu. Ko pu ibu yang kasih ajar ke sa.”

“Kapan?”

“Waktu sa berlibur ke ko pu rumah di Bantul, mo.”

“O, ya? Aku lupa,” jawab Tari, sambil menggeser sebuah kursi ke dekat Nonce. Ada suatu masa Nonce sering ke rumah orang tuanya di Bantul, terutama saat libur panjang. Kapan itu? Sudah lama benar.

“Makan sudah. Semuanya sudah masak. Sambal terasinya juga sebentar lagi siap.”

“Ehm… baru bangun, belum mandi, sungkan, ah.”

“Apa sungkan. Dengan teman sendiri ini,” kata Nonce, tak menghiraukan penolakan Tari. Ia lalu memerintah Eta, “Eta, tolong ambilkan piring untuk Tante Jawa. Jangan lupa sendoknya.”

Tari menyendok nasi hangat, mengambil sepotong tempe dan sesendok besar sayur bening bayam, lalu duduk manis di meja makan. Tak lama sambal terasinya siap. Dicicipinya sedikit sambal terasi itu. Enak. Persis seperti sambal terasi buatan ibunya. Tari memandang Nonce dengan tatapan bangga sambil mengacungkan jempolnya. Nonce membalas dengan nyengir.

Nonce memberi tahu. “Tadi Fritz menelepon. Dong ingin mengajakmu jalan-jalan sore nanti.”

“He-em.”

“Jawaban apa itu? Ko mau, tidak?”

Jawab Tari dengan mulut penuh, “Ya. Aku mau. Ke mana?”

Nonce menggelengkan kepalanya. “Fritz tra bilang mau ke mana tadi.”

Maka, di sini lagilah Tari. Di Pantai yang ingin dihindarinya selamanya, pantai Base-G. Hari ini Sabtu. Seperti saat pertama kali ia kemari, pantai ini sama sepinya seperti waktu itu. Keduanya berjalan menyusuri pantai. Menikmati hangatnya pasir laut.

Mentari sore bersinar lembut di latar belakang. Sinar lembutnya menimpa lautan biru membentuk garis jingga kekuningan sampai ke batas cakrawala. Keduanya tidak bicara. Hanya berjalan pelan-pelan. Menikmati pantai dan desiran ombak. Ada lagikah yang lebih indah dibanding kebisuan yang menenangkan?

“Masih ingat tempat itu? Itu tempat ko memandangi laut tempo hari.”

Di bawah rerimbunan daun kelapa hamparan pasir itu terlihat sejuk. Tempo hari tempat itulah yang dipilihnya untuk bermeditasi. Tari ingat benar tempat itu. Ia mengangguk membenarkan.

“Ko mau memandangi laut lagi seperti tempo hari?”

Tari ingin menjawab tidak, tetapi Fritz keburu melangkah ke bawah pohon kelapa. Persis seperti yang dilakukan Tari dulu, Fritz mencoba menirunya. Ia menggali pasir dan menumpuknya menjadi gundukan di satu sisi.

Tari mengamati pria itu. Mengamatinya saat menggali. Pria itu sebaya dirinya. Tampan, gagah, dan kekar. Kulitnya yang hitam legam dan rambut keritingnya yang terpotong rapi membentuk keindahan yang khas, yang tak dilihatnya ada di antara teman-temannya di Jawa. Tetapi, lebih dari semuanya, perhatian kecil yang selalu ditunjukkannya, seperti saat ini, membuat segalanya terasa manis sekaligus mengharukan.

“Cukup begini tingginya, Tar? Mau dicoba dulu?”

Tari tercekat. Buru-buru ia mendekat dan mencoba duduk di atas gundukan pasir. Rasa hangat menyentuh bokongnya. Seperti yang dulu dirasakannya pasir hangat ini membawa kelembutannya sendiri. “Kurasa ini sangat enak. Empuk.”


Fritz tersenyum puas. Keringat menetes dari keningnya. Diamati Tari yang mulai bersiap melipat kaki. “Sa pergi dulu. Jalan-jalan. Silakan menikmati laut.”

Ingin Tari berkata, aku tak hendak menikmati laut, duduklah di sini saja bersamaku, tetapi Tari mengurungkan niatnya. Karena, dilihatnya Fritz sudah mulai berjalan menjauh.

Ketika Fritz telah jauh, Tari mulai memejamkan mata. Ia sudah memantapkan hati. Kali ini aku akan mengamati diri, melihat kembung-kempisnya perut. Seperti dulu juga, disapunya seluruh tubuhnya, mengendurkan seluruh ketegangan mulai dari kepala, leher belakang, bahu, sampai ke bokong dan paha. Dalam proses relaksasi itu tubuhnya menjadi harmonis disusul pikirannya yang berubah tajam dan jernih. Setelah itu ia turun ke perut, mengembang dan mengempis dengan beraneka ragam irama yang berubah setiap saat.

Tari mengamati dengan ketat dan mencatat secara teliti, “Kembung... kembung... jeda… kempis... kempis... kembung....

Tring aling tring aling.

Dering merdu dari ponsel Tari. “Siapa lagi yang menelepon sore-sore begini. Mana pikiran sedang jernih-jernihnya….”

Tari merogoh kantong celana dan meraih ponselnya.

Dari Heru.

Gerutunya, “Mengganggu saja.”

Meski begitu, ditekannya juga tombol bergambar telepon dan menjawab dengan suara dilembut-lembutkan, “Ya… halo?”

Terdengar suara serak dari seberang sana, “Mamih, Papih, dan Om Beno telah sepakat untuk membuka satu kantor cabang di Medan. Untuk sementara aku akan melihat-lihat calon lokasi kantor. Ada teman Om Beno yang menawari tempatnya di sana. Tetapi, kurasa aku perlu kamu untuk pergi bersamaku. Biasanya kamu itu punya ketajaman rasa melihat sesuatu. Maksudku, apakah tempat itu bagus, feng shui-nya oke untuk usaha?”

Tari tak menyahut. Angin dingin mengelus pipinya. Awan putih di kejauhan, sinar mentari sore yang menimpa bahunya, semuanya menciptakan sensasi tersendiri. Membantunya membentuk kedamaian di dalam diri. Tangannya mencengkeram erat ponsel, pikirannya menjelang ’diam’. Sehingga hanya suara Heru saja yang mewakili dunia luar yang hiruk pikuk.

Semua unsur-unsur itu –keheningan di dalam dan hiruk pikuk suara Heru di luar-- begitu kontras dan aneh. Sehingga, tanpa sadar Tari telah menjauhkan tangannya yang menggenggam ponsel dari telinganya. Dan, pikiran-pikiran yang mengendap selama tiga tahun ini muncul dengan deras menjadi pertanyaan tajam (pertanyaan yang selalu mengusiknya dan yang anehnya kerap ia abaikan). Kini, ketika berjarak dengan Jakarta dan Heru, pertanyaan ini mengalir keluar dengan bebas.

“Heru… siapa Heru?” tanya Tari, kepada dirinya sendiri. “Pacarku… ups… begitulah kesepakatan yang terjadi di antara kami.”

“Apakah aku mencintainya? Apakah dia mencintaiku…?”

Tari mendesah resah.

Heru memang memesonanya. Heru itu tampan. Itu yang tertampak oleh matanya dan di mata banyak wanita lain. Karena itu, hatinya sempat berdesir ketika pertama kali melihat pria itu di perusahaan keluarga (dulu ketika pertama ia diterima bekerja di tempat itu). Pada perkembangannya, ketika akhirnya Heru memilihnya, betapa bahagia hatinya. Ia begitu bangga. Terlebih mengingat Heru itu anak laki-laki satu-satunya Tuan Gondokusumo yang kaya raya itu. Semua alurnya persis kisah Cinderella, bukan?

Sejak itu ia telah menjadi partner paling setia Heru. Karena, mereka selalu ke mana-mana bersama-sama mengurusi semua kebutuhan kantor, ke Batam, ke Singapura, ke Bandung, ke pertemuan para pemegang saham. Dan juga –dan ini yang paling penting-- menghabiskan akhir minggu mereka di kantor untuk mengurusi pekerjaan-pekerjaan yang belum selesai. Selain itu?

Mengapakah kini saat di Papua, justru setelah bertemu Fritz, ia melihat hubungannya dengan Heru bukanlah hubungan dua kekasih yang saling mencintai, tetapi lebih sekadar hubungan dua pekerja yang saling terikat demi kebutuhan yang sama, yakni pekerjaan itu sendiri.

Dan, pengalaman hari ini menyadarkannya benar. “Fritz membuatkanku gundukan pasir.”

“Heru?”

Lama Tari berpikir dan mencari sesuatu yang mungkin pernah dilakukan Heru khusus untuknya. Meski telah memeras otaknya, ia tak menemukan sesuatu –jejak Heru-- yang mengingatkannya akan statusnya sebagai kekasih.

Suara di ponsel Tari mengeras. Heru menjerit-jerit dari seberang sana. Herannya, Tari sama sekali tidak takut. Karena, ia telah menemukan jawaban dari keterikatannya kepada pria ini. Ketakutannya yang begitu tradisional: usia. Bahwa ia akan memasuki usia rawan di tahun-tahun mendatang. Dan, bahwa karena ketakutannya itulah, ia sangat ’memegang’ Heru. Berharap pria itu mau menyelamatkannya pada saat yang tepat. Padahal, harapan itu dari saat ke saat makin jauh dari genggaman.

Ketika secara jernih ia melihat ketidaktakutan dalam dirinya, dengan berani ia mengambil keputusan tepat. Keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Bahwa detik ini juga ia adalah wanita bebas. Wanita cantik yang sama berharganya seperti wanita lain. Wanita yang layak untuk dicintai. Dan… oh... tentu… ia dengan tegar masih akan kembali ke kantor lamanya di Jakarta sebagai karyawan. Seperti karyawan-karyawan lainnya. Apanya yang aneh dengan itu?

Maka, pelan-pelan ditempelkannya lagi ponselnya di kupingnya. Katanya dengan suara tegas, “Heru, kali ini kamu perlu mendengarkan aku. Aku sedang berlibur. Dan, aku berhak untuk menikmati liburanku. Seratus persen….”
Tak ada sahutan dari seberang sana. Sepertinya makhluk itu, Heru, seperti baru disambar petir atau tengah berhadapan dengan makhluk asing. Makhluk yang sama sekali tak pernah diduganya akan berbicara seperti itu kepadanya.

“Sudah, ya…. Ada yang harus kulakukan,” kata makhluk yang baru merasa terlahir kembali itu. Klik. Tari mematikan ponselnya. Untuk pertama kali dalam tiga tahun ini ia berani mematikan sambungan telepon terlebih dahulu, saat berbicara dengan Heru.

Sambil memasukkan ponselnya ke saku, dilihatnya satu sosok di kejauhan. Sosok itu begitu kecil –seperti liliput-- yang berjalan pelan memunggunginya. Ia kenal benar sosok itu. Segera Tari bangkit berdiri dan bergegas menyusul liliput itu.

“Fritz… Fritz…!” Tari berteriak.

Fritz tidak mendengar. Angin laut telah membawa suara Tari ke arah berlawanan.

Tari tidak putus asa. Ia berlari mengejarnya, “Fritz… tunggu aku... Fritz...!”

No comments: