12.22.2010

Cerita Babak Ke Dua

Suamiku di-PHK dan sikapnya berubah total. Aku khawatir terjadi sesuatu pada dirinya. Perlukah aku membawanya ke psikiater?

Mas Ton
Tampaknya, liburan ke Bali kali ini tidak sepenuhnya bisa kunikmati. Lagi-lagi aku terganggu karena sikap Mas Ton. Dia terlihat makin murung. Dalam lima menit fokus perhatianku, dua kali dia menghela napas panjang, dan dalam. Ada kegelisahan yang samar-samar dapat kutangkap dari bahasa tubuhnya.

“Kalau kamu nggak merasa nyaman di sini, kita pulang saja, Mas,” aku mulai kesal. Kutarik tangannya dari kursi taman hotel.

“Lho, kok, kamu yang sewot?”

“Iya, dong! Kamu diajak ke mana-mana nggak mau! Kasihan anak-anak. Kita pulang saja. Ngapain jauh-jauh kemari kalau nggak dinikmati. Mubazir…”

“Oke!” tantangnya. “Nanti malam kita pulang ke Yogya!” Dia lalu beranjak menuju kamar hotel.

Ketika aku menyusulnya setengah jam kemudian, aku terkejut. Koper-koper berisi pakaian dan perlengkapan lainnya, sudah tersusun rapi di atas tempat tidur. Pandu, Ayu, dan Alif, ketiga anak-anak kami, pun kelihatan bingung.

“Kok, bengong semua? Malam ini kita akan pulang ke Yogya,” tegasnya. Ketiga anak-anak itu protes, tapi Mas Ton tetap pada pendiriannya. Aku betul-betul tidak bisa mengatasi kejenuhannya.

“Bu…,” mereka merengek minta bantuanku. Aku mengangkat kedua bahuku. Terserah!

Sepertinya, anjuran beberapa psikolog dari beberapa buku psikologi umum yang kubaca untuk mengajak Mas Ton berlibur agar kesumpekannya dapat teratasi, tidak manjur. Isu mergerisasi beberapa bank nasional dan akan terjadi PHK besar-besaran di bank-bank itu, termasuk bank tempatnya bekerja, terlalu memenuhi otaknya. Mungkin, sebentar lagi tumpah! Belum-belum, dia sudah berpikir tentang berbagai kemungkinan terburuk yang akan terjadi!

Kebalikan dari Mas Ton, aku justru sangat yakin hal itu tidak akan menimpanya. Mas Ton pekerja keras. Selama dua puluh tahun dia meniti karier dengan berbagai penghargaan. Bagaimana mungkin perusahaan mau melepaskan pegawai seteladan dia?

Aku telah mencoba meyakinkannya berulang-ulang dalam kurun waktu dua bulan ini, bahwa Mas Ton akan bertahan. Tapi, keyakinanku ternyata buta. Suamiku termasuk di antara 120 orang pegawai yang ‘dirumahkan’! Ya, ya, jangankan Mas Ton, aku sendiri hampir pingsan mendengarnya!

“Itu keputusan yang benar-benar tidak adil!” Dia berkali-kali mengucapkan hal itu di setiap kesempatan. Sepulang kerja, saat makan, dan bahkan, menjelang tidur. “Pokoknya aku akan bicara pada direksi! Keputusan yang kuterima pasti salah, ada orang yang sengaja memanfaatkan momen ini!”

“Sabar, Mas. Tawakal.”

“Aku akan berjuang mati-matian demi ketidakadilan ini. Kalau perlu, aku akan melaporkannya ke KOMNAS HAM.”

Rasanya, keputusan itu memang tidak adil. Tapi, aku tetap tidak setuju pada keinginannya untuk memperjuangkan haknya secara berlebihan. Di balik semua kejadian yang sedang menimpa keluarga kami ini, pasti ada hikmahnya. Bagaimanapun, aku percaya pada kebesaran Tuhan.

“Besok aku ke Jakarta. Aku akan melaporkan ini ke KOMNAS HAM,” katanya, beberapa hari kemudian.

“Jangan sekarang, Mas. Tunggu keadaannya tenang dulu….”

Tapi, Mas Ton jadi berangkat juga. Sehari sebelumnya, dia memimpin aksi demo seluruh pegawai yang di-PHK. Pihak berwajib menangkapnya, tapi melepaskannya beberapa jam kemudian.

Apa pun kejadiannya, aku siap berada di belakangnya. Tapi, aku tidak pernah mendorongnya untuk melakukan aksi-aksi konyolnya. Bahkan, aku meminta Mas Ton dengan ikhlas menerima. Bersikap pasrah, mungkin itu lebih baik daripada mengumbar emosi yang berlebihan. Aku cuma takut terjadi sesuatu pada dirinya. Bukankah persoalannya akan menjadi lebih rumit?

Terus terang sajalah, dengan adanya peristiwa ini, aku merasa ada babak baru lagi dalam kehidupanku. Sepuluh tahun yang lalu, aku memulai babak pertama kehidupan yang sebenarnya dengan menikahi Mas Ton, duda beranak dua yang menjelang remaja, di tahun kedua perkuliahanku tanpa pernah direstui oleh ayah dan ibuku. Keluargaku dan keluarga Mas Ton — kusebut ‘keluarga Palembang’ dan ‘keluarga Yogya’— bahkan tidak pernah bertemu dalam kurun waktu sepuluh tahun itu. Keluarga Yogya alias keluarga Mas Ton yang mulanya sangat mengerti permasalahan kami pun pada akhirnya telanjur tersinggung pada sikap yang ditunjukkan keluarga Palembang alias pihak dari keluargaku.

Babak kedua kali ini, ya, saat sekarang inilah. Ketika akhirnya Mas Ton di- PHK. Aku belum pernah terpikir untuk mengantisipasi keadaan ini. Semua jauh dari yang kuperkirakan. Usiaku baru tiga puluh dua tahun, rasanya belum terlalu matang untuk menerima semua kejadian ini.

“Kami akan demo lagi, Dik,” Mas Ton melapor lewat telepon. “KOMNAS HAM akan membantu kami untuk bicara ke DPR. Mungkin aku pulang dua hari lagi,” ucapnya, optimistis.

Aku menghela napas. Aku merasa perjuangannya sia-sia belaka. Negara ini sudah terlalu banyak masalah. KOMNAS HAM, maaf, tidak akan bisa memberikan bantuan sebesar yang diharapkan. Mereka memang sigap ‘bersuara’, tapi tidak akan memberikan hasil akhir. Mereka, sekali lagi, maaf, paling-paling hanya bisa mendata berapa orang yang telah diperlakukan secara tidak adil karena suatu kepentingan sepihak yang entah untuk siapa….

“Bapak masuk televisi lagi, Bu!” Alif, putraku, menunjuk televisi yang menyiarkan berita demo beratus-ratus pegawai bank yang di-PHK. Sudah dua stasiun televisi yang menayangkan berita itu. Wajah Mas Ton yang sedang berteriak-teriak penuh semangat disorot begitu rupa. Duh, semoga saja tidak seorang pun dari keluarga Palembang yang menonton berita itu!

Tiga bulan setelah ‘perjuangannya’, aku meminta dengan sangat agar Mas Ton mengalah. Toh, uang pesangon sudah diterima. Mau apa lagi?

“Pokoknya, aku menunggu keputusan KOMNAS HAM. Mereka sedang memperjuangkannya, Dik. Aku tidak mau menyerah! Komite tenaga kerja sedang membahasnya!” Mas Ton selalu berkilah seperti itu setiap kali aku mengajaknya berbicara tentang masa depan keluarga kami.

Uggh, alasannya membuatku gerah. Aku bosan! Bagaimanapun, aku tetap berusaha membuka pikiran dan hatinya. Ide itu melintas tiba-tiba pagi ini. “Mas, sebaiknya kita buka wartel saja. Tampaknya lumayan, lho! Kalau nanti aku ke kampus, Mas Ton dan anak-anak bisa bergantian menjaganya.”

“Kepala bagian jadi penjaga wartel?” nada bicaranya meninggi. Dia tampak kesal sekali. Ups! Kelihatannya aku salah bicara. Dia mengartikan ucapanku sebagai hinaan. Dan tiba-tiba, sebuah gelas terbanting tepat di depanku. Aku tidak boleh marah. Sabar… sabar dan tawakal. Duh, Gusti!

Mas Ton lalu pergi ke kamar. Beberapa belas menit kemudian kudengar teriakan Alif. “Ibu…!” anakku berlari ke dapur dengan tampang bingung. “Lihat Bapak, Bu! Katanya Bapak sudah nggak kerja lagi, tapi katanya, kok, mau ngantor?”

Alif lalu menarik tanganku dari dapur menuju ke kamar. Oh, Tuhan, Alif tidak berbohong. Mas Ton kelihatan rapi dengan pantalon, lengkap dengan dasi yang menghias leher kemeja lengan panjangnya.

“Aku ke kantor dulu, Dik. Ada rapat hari ini.”

Mataku terbuka lebar menatapnya. Benarkah ucapannya? Mungkin sudah ada jalan keluar yang diusahakan oleh KOMNAS HAM. Orang-orang KOMNAS HAM itu ternyata betul-betul pejuang sejati.

“Rapat apa, Mas?”

“Biasalah. Rapat tahunan….”

Deg! Jantungku nyaris berhenti. Astaghfirullah. Hampir pingsan aku mendengarnya. Dengan segera aku menghalangi langkah Mas Ton. Aku menatap wajahnya dengan saksama. Matanya, lalu dasinya. Air mataku tiba-tiba tergenang. Aku memeluknya erat-erat.

“Itu masa lalu, Mas. Ingat apa yang sudah diperjuangkan Mas Ton selama tiga bulan ini? Ingat apa yang Mas bicarakan dengan KOMNAS HAM di Jakarta? Ingat demo-demo yang Mas lakukan?”

Dia terdiam. Bibirnya terkatup rapat. Perlahan-lahan, suatu perasaan yang tidak enak merayapi hatiku. Aku cemas pada kesehatan mental suamiku! Pukulan yang menimpanya terlalu berat. Mas Ton tak pernah rela menerimanya!

Melihat keadaannya yang mengkhawatirkan, maka aku memutuskan untuk tidak pergi ke kampus pagi ini. Aku perlu bicara dengan Mas Ton dari hati ke hati. Tampaknya aku telah lengah membiarkannya bergelut sendiri dengan harapannya yang tak kunjung datang. Satu SMS masuk mengingatkan untuk rapat jurusan, tapi segera kubalas. Aku sedang skt, tlg izinkan pd kt jrsn.

Ya, mungkin inilah arti mimpi-mimpiku beberapa waktu berselang. Rumahku kebanjiran, rumahku disiram dan dibakar seseorang, lalu Mas Ton terbawa arus sungai, dan hampir tenggelam….

Ibu Mas Ton benar, memang seharusnya aku berpuasa mutih selama empat puluh hari. Diwajibkannya pula aku dan Mas Ton mandi kembang bersama untuk menolak bala. Tapi, aku tidak percaya pada tradisi itu.

Aku orang Sumatra. Bahasa alam dan bahasa mimpi tidak pernah ada keterkaitannya. Semua itu bunga tidur semata. Namun, saat ini, aku menjadi gamang pada keyakinanku. Karena, persis seperti di dalam mimpiku, Mas Ton benar-benar ‘tenggelam’. Sepanjang hari dia mengunci diri di ruang kerjanya di rumah, menulis-nulis sesuatu tanpa ingin diganggu.

 
Setumpuk buku petunjuk psikologi modern menjadi bacaanku sekarang ini dan sedapat mungkin berusaha kuterapkan dalam menghadapi sikap introvert Mas Ton yang membingungkan.

Ha, depresi memang kerap menyerang orang yang terlalu serius dan ambisius seperti Mas Ton. Makanya, jangan berbicara dengan nada tinggi, jangan bicara hal-hal yang berat-berat. Jangan mengungkit tentang pekerjaannya, jangan bersikap meremehkan, dan jangan…. Ughh, setumpuk buku itu cuma teori!

“Dik, kira-kira dasi yang bagus yang mana, ya?” Mas Ton memintaku memilihkan satu dari beberapa dasi yang diajukannya. Dia mulai lagi. Ayolah, tunjukkan sikap positif. Aku mengacu pada teori itu lagi.

“Yang bergaris biru.” Nah, dia tersenyum. Tampak senang dengan responsku yang positif.

“Kemejanya?”

“Yang biru muda,” aku menjawab malas. Dia kembali tersenyum senang. Aku mengerti arah pembicaraannya, pilihanku itulah yang nanti dikenakannya untuk ‘ngantor’ pagi ini.

“Antarkan aku ke kampus, dong, Mas,” aku mengalihkan pembicaraan. Dia melirikku dari balik kacamatanya. “Aku ke kampus tidak lama, kok. Bukan jadwal mengajar, cuma mau memberikan proposal beasiswa magister ini ke rektorat. Mau, ya?”

Mas Ton menggeleng. “Pagi ini tidak bisa. Aku sibuk, ada proposal kredit yang harus segera dianalisis. Kamu pergi sendiri saja, ya,” dia lalu meninggalkanku tanpa ekspresi. Huu! Aku membanting setumpuk buku petunjuk psikologi. Gombal! Mungkin ada benarnya kudengarkan pendapat dan saran dari keluarga Mas Ton, alias keluarga Yogya. Kelihatannya Mas Ton memang ada yang ‘menjaili’. Untuk kali pertama, aku mulai memercayai adanya kekuatan lain.

Coba cari di rumahmu, siapa tahu ada yang menggantungkan tulang ikan tanpa kepala di atas pintu-pintu rumah. Itu pertanda ada yang menginginkan Tono menjadi gila, Nduk. Aku teringat ucapan ibu Mas Ton. Mertuaku, wanita Jawa berwajah bulat telur yang manis itu, begitu prihatin terhadap keadaan anak lelakinya. Di tengah ucapannya, berkali-kali dengan halus terselip nada penyesalan karena kami tidak menjalankan ritual penolak bala yang dianjurkannya.

Tapi, tidak untuk kali ini. Aku langsung menuruti perintahnya. Seluruh pintu kuperiksa dengan teliti, tapi yang kucari tidak ada. Rumahku bersih dari hal-hal yang berbau aneh.

Mungkin ada yang menanamkan bungkusan jarum di depan rumahmu, coba cari! Maka di setiap sudut pekarangan kucari. Bahkan, aku rela mengorek-ngorek setiap gundukan tanah yang kucurigai. Tapi, tetap tidak ada tanda apa-apa.

Kemudian enam orang paranormal yang konon kudengar hebat, kudatangi. Semuanya memang mengatakan Mas Ton sedang ‘dijaili’. Ada aura hitam di wajahnya yang tidak dapat dilihat secara kasatmata. Aura hitam diisyaratkan sebagai warna pengganggu, penghalang pandang, dan pikiran. Itu yang harus segera dibuang!

Sembelih ayam hitam, lalu darahnya dicipratkan ke seluruh sudut rumah. Jangan lupa tanam serpihan gading gajah yang dibungkus dengan kain hitam. Dan, mandi kembang dari tujuh sumur, sisa airnya disembur-sembur….

Segala ritual kuikuti hingga akhirnya aku capek sendiri. Mas Ton tidak mengalami perubahan yang berarti….

“Kenapa tidak ajak Bapak ke psikiater aja, Bu,” usul Pandu. Anak itu dapat membaca keletihanku.

“Bapakmu nggak gila, Ndu!” sergahku, sedih. “Kalau kalian sayang pada Bapak, jangan pernah berpikir bapakmu gila!”

“Bukan begitu, Bu. Pandu nggak pernah berpikir Bapak gila. Tapi, kita harus membawa Bapak berobat. Sudah empat bulan, tapi Bapak nggak ada perubahan.”

Ucapan Pandu benar. Mas Ton tidak hanya perlu paranormal, dia juga perlu terapi medis, mungkin bimbingan dari seorang psikiater?

Aku mulai mencari waktu untuk membawa Mas Ton berobat. Waktu luangku tidak banyak semester ini, jadi harus disiasati dengan cermat. Untuk itu, aku terpaksa harus menunda konsultasi dua orang mahasiswaku. Mengajar di dua universitas yang berbeda memang sangat menyita waktuku.

Hari yang disepakati adalah Selasa malam. Sebelum magrib, aku sudah pulang. Kepada Mas Ton kukatakan, kami akan mengunjungi seorang temanku. Aku memintanya berpakaian rapi. Sengaja kubiarkan dia memilih pakaian sendiri, sekadar menguji kemampuan verbalnya. Astaga! Sebuah celana pendek berpadu dengan kemeja tangan panjang yang dipilihnya!

“Toh, bukan pertemuan formal,” ucapnya cemberut, saat kuganti pakaian yang sudah dipilihnya.

Dokter Wahyu, psikiater yang kupilih hanya karena pertimbangan tempat yang berada di pinggiran Yogya, kuperkirakan umurnya di atas lima puluhan. Berarti, dia cukup berpengalaman menangani kasus serupa ini. Aku merasa agak sedikit tenang, menyadari Mas Ton berada di tangan orang yang tepat.

“Mbak, anaknya?” tanyanya sambil menyalamiku Dia bukan orang pertama yang mengatakan itu. Wajah kekanakan dengan celana jeans yang membalut tubuh langsingku, kerap mengecoh orang yang melihatku berpasangan dengan Mas Ton.

“Saya istrinya, Dok!” tegasku. Lalu aku menguraikan permasalahan yang ada sedetail mungkin.

Pandangannya beralih pada Mas Ton. Laki-laki berwajah bulat bermata sipit di balik kacamatanya itu kemudian memberikan sebuah buku ensiklopedi hewan untuk dibacanya.

Dahiku mengernyit. Apa hubungannya?

Mas Ton membaca satu halaman buku ensiklopedi itu. Suaranya tenang, intonasinya jelas, pengucapannya tegas.

“Apa hubungannya ini dengan sastra Inggris?” tanyanya, bingung. Dia masih mengira, dokter itu adalah temanku. “Dia dosen Sastra Inggris juga, ‘kan?”

Aku mengangguk. “Dia juga orang yang bisa membaca suasana hati orang. Mas Ton bicara saja padanya tentang masalah yang dihadapi sekarang ini, tidak usah ragu,” aku membujuknya secara halus.

“Aku tidak punya masalah apa-apa.” Jawabannya di luar dugaanku. “Aku cuma bingung mengenai masalah di kantorku. Akhir-akhir ini, kok, suasananya sepi sekali.”

Dokter Wahyu tersenyum. Diperhatikannnya laki-laki berumur lima belas tahun lebih tua dariku itu dengan saksama. Lalu dia bicara banyak hal yang ringan-ringan. Tapi, berbagai ucapan dokter itu, tidak dapat direspons dengan baik oleh Mas Ton. Arah pembicaraan mereka satu ke barat satu ke timur, tidak nyambung.

“Tidak apa-apa…,” ucapnya, di ujung pertemuan kami yang hampir setengah jam itu. “Cuma depresi mental saja, tidak mengarah ke kelainan jiwa. Hanya, terapinya memang agak lama. Saya harap Mbak, eh, Ibu…,” dia berseloroh, “sabar menghadapinya. Dan, teruslah berkonsultasi kemari.” Dia menjabat tanganku dengan hangat. Lalu, dengan agak malu-malu, diserahkannya selembar kertas bertuliskan jumlah yang harus kubayar sebagai biaya obat-obatan dan konsultasi malam itu. Kalau dihitung-hitung, biaya perawatan medis, jauh lebih mahal daripada pengobatan alternatif. Mungkin tiga kali lipat! Tapi, mau bagaimana lagi?

Keluarga Palembang
Suara burung hantu itu terdengar lagi malam ini. Berarti, sudah dua malam berturut-turut aku mendengarnya ber-hu-hu-hu di dekat kamar atas yang berdempetan dengan pohon cemara.

Menurut Bude Lis, bibinya Mas Ton, itu pertanda tidak baik. Suatu musibah yang tidak terduga akan datang pada keluarga yang dikunjunginya. Aku gelisah mendengar ramalan itu, sebab aku mulai memercayainya….

Musibah? Musibah apa lagi yang terjadi dalam keluarga ini? Apakah sekarang giliranku, atau… anak-anak? Duh, tolong jangan bersikap tidak adil padaku, Tuhan. Beratus-ratus juta orang di dunia ini, pilih saja salah satu di antaranya. Tapi, kumohon pada-Mu, jangan keluargaku lagi….

Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Satu SMS kuterima atas nama Kak Zom. Cepat pulang. Ayah sakit.

SMS itu membuatku panik. Bagaimana mungkin? Sergahku, cuma di hati. Baru saja aku menelepon ke Palembang dan kedengarannya semua baik-baik saja. Jangan-jangan, mereka sengaja menyimpan berita itu agar aku tidak pulang….

Cepat-cepat kubalas telepon Kak Zom untuk memastikan keadaan Ayah yang sebenarnya. Kalau hanya sakit biasa, untuk apa aku pulang. Biaya perjalanan yang harus kutanggung untuk pulang ke Palembang terlalu besar untukku sekarang ini.

“Ayah sekarang di ICU, Da. Jantungnya kumat lagi. Semua sudah kumpul, tinggal kamu. Kau balek (pulang), ‘kan?”

“Aku…, ” jawabanku mengambang. “Ya, ya, aku segera pulang.”

Maka kupanggil anak-anak ke ruang tengah. Mas Ton juga ada di sana. Dia sibuk menulis-nulis sesuatu di atas meja tanpa peduli pada apa yang kusampaikan.

Kepada mereka, kuberitakan rencana kepergianku ke Palembang yang mendadak. Aku memutuskan hanya mengajak anakku, Alif. Aku minta tolong pada Pandu untuk datang ke sekolah Alif, minta izin cuti belajar selama satu minggu. Selain itu, aku meminta juga pada Pandu untuk menyampaikan surat izinku pada ketua jurusanku di kampus.

Suamiku di-PHK dan sikapnya berubah total. Aku khawatir terjadi sesuatu pada dirinya. Perlukah aku membawanya ke psikiater?

Selama sepuluh tahun pernikahanku dengan Mas Ton, ini kali kedua aku pulang. Kepulanganku yang pertama, enam tahun lalu, dengan Mas Ton dan kedua anaknya, disambut dingin oleh semua keluarga. Bahkan, setelah itu, kehadiran Alif kecil di tengah mereka, tidak mampu mencairkan suasana. Hanya Kak Zom yang bersikap bijaksana padaku. Ada banyak kata penghiburannya. Tapi, aku tetap masih merasa sakit hati. Berbulan-bulan, kusesali kepulanganku….

Sampai di rumah, suasana sepi menyambut, hanya ada seorang gadis muda yang tidak kukenal sama sekali. Mungkin pembantu baru ibuku.

“Mana Ibu?” aku bertanya padanya. Dia tampak bingung melihatku. Sorot matanya penuh selidik.

“Saya anak bungsu Pak Rusli yang di Yogya. Kamu pasti tidak kenal saya, karena kamu pembantu baru di sini, ‘kan?” Aku main tembak saja. Ternyata perkiraanku betul.

Dia baru percaya. Sikapnya tidak lagi penuh selidik padaku. Dia bahkan bersikap sangat sopan. “Maaf, Bu,“ ucapnya, pelan.

“Ah, tak apa-apa. Di mana ibu saya, kok, sepi?”

“Semua pergi ke Rumah Sakit Pertamina, Bu. Bapak dirawat di situ.”

Masih dengan taksi yang tadi, kuteruskan perjalananku ke rumah sakit. Dua travel bag besar yang kubawa kuletakkan begitu saja di ruang tamu.

“Eh, itu Frida!” Dari lorong rumah sakit, kudengar orang-orang menyebut namaku. Pandangan mereka tertuju padaku dan Alif. Langkahku dua kali kupercepat.

“Bu!” pandangan mataku tertuju padanya. Aku menangis dan memeluknya, lalu mencium tangannya. Ibu membalas pelukanku seadanya. Dia bahkan tidak mengusap-usap punggungku seperti waktu dulu.

“Ini Alif,” kusodorkan Alif agar dipeluknya pula. Tanpa kusuruh, Alif mencium tangan nyai (nenek) -nya. Ibu pun menciumi cucunya ‘ala kadarnya’.

“Kau dewe-an, Da? Mano (mana) suamimu?” Pertanyaan yang ‘menakutkan’ itu terdengar ketika aku menyalami Yuk Hilda, kakak perempuanku yang nomor dua. Ada nada menyelidik dari pertanyaan itu.

“Mas Ton akan menyusul setelah pekerjaannya selesai, Yuk,“ dustaku, sambil melirik Ibu. Untungnya, beliau tidak melihat reaksiku. “Bagaimana Ayah, sudah bisa dijenguk?”

“Belum. Masa kritisnya belum lagi lewat,” Kak Zom yang menjawab pertanyaanku. “Kau lihat dari kaco (kaca) ini bae (saja),” dia mengajakku ke gedung samping, mengintip dari balik kaca. Ditunjuknya salah satu pasien itu padaku.

Ya, Tuhan, segawat itukah keadaan Ayah? Aku merinding melihat dua selang infus terpasang di pergelangan tangannya. Hidungnya pun penuh selang oksigen. Belum lagi satu layar monitor yang aktif memantau jantungnya!

Aku kembali ke tempat semula. Semua orang ternyata baru saja memulai membaca Surat Yassin untuk Ayah. Aku tidak ikut, sebab tidak dalam keadaan ‘bersih’.

Aku sedikit menjauh dari mereka. Alif yang tampak kelelahan, menyandar di bahuku. Kalau Kau ingin mengambil ayahku, Tuhan, bawalah ia. Tapi, sebelum itu, dia harus memaafkan aku dulu.

Ayah terlalu banyak kecewa padaku. Aku kuliah di jurusan yang tidak pernah disetujuinya. Lalu, aku menikah dengan pria yang tidak pernah dikenalnya di tahun kedua kuliahku. Duda dengan dua anak yang menjelang remaja. Pantas saja ia geram padaku! Belum lagi kepulanganku ke Palembang yang bisa dihitung dengan jari! Ha, aku betul-betul si bungsu yang tidak dapat menyenangkan hatinya!

Hanya dua puluh tahun saja aku menjadi putrinya yang manis, setelah itu aku betul-betul menjadi ‘monster’ yang selalu mengiris-iris perasaannya.

“Ayah sudah sadar!” kudengar suara ribut-ribut. Semua mengintip dari balik kaca. Ya, ya, benar. Ayah sudah sadar! Matanya terbuka.

“Ada yang bernama Frida di sini?” Seorang suster mendekati kami. Aku maju.

“Saya, Suster. Ada apa?” aku menyahut dengan dada bergemuruh.

Suster itu menyuruhku masuk. Setelah ia bertanya apakah aku putrinya, dan aku mengiyakannya, ia menjelaskan bahwa sejak sadar tadi, Ayah selalu menyebut namaku! Pandangan Ibu dan keenam saudaraku yang lain tampak mengiringi langkahku. Uh, aku merasa diperlakukan seperti anak tiri saja di keluarga ini!

Dengan langkah hati-hati, aku mendekati Ayah. Maklumlah, ada banyak pasang mata yang mengintip pertemuan kami dari balik kaca. Setelah menciumi tangannya, aku duduk tersedu di sampingnya. “Maafkan aku, Ayah,” ada banyak kata yang seharusnya terucap, tapi hanya itu yang mampu keluar dari mulutku.

Aku tahu Ayah menyadari kehadiranku. Dia mengangguk lemah, lalu matanya terpejam lagi. Ada garis lurus panjang yang keluar di layar monitor perekam jantung. Dan, lima menit kemudian, semuanya pun berakhir….

Aku baru sadar, Ayah memang menungguku selama ini!

Upacara pemakaman secara militer telah usai. Sepanjang prosesi pemakaman, di tengah rasa sedihku, aku masih sempat melihat ekspresi wajah Alif yang takjub mendengar beberapa kali suara tembakan dilepas ke udara.

“Yai (kakek) itu pejuang, ya, Bu?” akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulutnya.

Aku mengangguk. Malas untuk menjelaskan lebih lanjut bahwa kakeknya bukan pejuang kemerdekaan seperti yang dia bayangkan, tapi ‘hanya’ seorang Purnawirawan ABRI yang banyak memperoleh bintang jasa selama bertugas.

“Kita naik mobil Wak Hilda saja, ya?” aku menggiring Alif ke mobil merah, karena kulihat ibuku sudah naik ke mobil Kak Zom yang tadi kutumpangi bersama Alif.

“Alif dengan Nyai saja, Bu. Di mobil itu ada AC-nya….”

“Di sini juga ada, ayolah naik.” Aku buru-buru masuk ke mobil itu sebelum mereka menungguku lebih lama.

“Suamimu sudah diberi tahu, Da?” Ayuk (kakak) Hilda yang kukira tidak akan menanyakan keberadaan Mas Ton, ternyata bertanya juga. Pertanyaan sederhana itu bagiku banyak sekali artinya. Dan, apa pun nanti jawabanku, tidak akan membuatku lega.

“Mas Ton ke luar kota. Ada urusan dinas di Ambon sekarang ini. Kalau urusannya selesai, dia pasti kemari.” Duh, Gusti. Susah sekali kebohongan itu terangkai.

Alif menatapku, dia pasti bingung dengan jawabanku. Aku juga menyesal telah terpaksa berbohong di hadapannya. Ibunya, kok, jadi begini? Bukankah aku terbiasa menjunjung tinggi kejujuran, terlebih di depan anak-anakku? Tiba-tiba saja telepon genggamku berbunyi. Dari rumahku di Yogya. Pasti ada sesuatu yang tidak beres….

“Ini Ayu, Bu,” kudengar suara di seberang sana agak serak dan tersendat-sendat.

“Iya, ada apa, Yu?”

“Itu, Bu, anu… Bapak….”

“Kenapa?” potongku tak sabar.

“Sudah sejak kemarin belum pulang, Bu! Mas Pandu sudah mencari ke mana-mana, tapi Bapak belum juga ketemu.”

“Minta bantuan pakde-mu atau siapalah…,” aku menjawab agak bingung.

“Sudah, Bu. Semua orang di sini juga lagi usaha. Ibu kapan pulang?”

“Besok. Ibu dan Alif pulang besok,” tegasku. Kudengar Ayu mengucap salam dan menutup telepon.

Aku merasa tanganku bergetar dan jantungku berdebar kencang. Perasaanku makin tidak enak saja.

“Apolagi (ada apa lagi), Da?” Empat kepala yang ada di mobil itu menatapku heran. Mungkin mereka menangkap kegelisahanku. Kulihat Alif juga tampak gelisah. Ah, aku terpaksa merangkai kebohongan lagi.

“Pandu. Sejak kemarin dak balek-balek (tidak pulang). Ayu khawatir.”

“Anak tirimu yang pendiam itu?”

Aku mengangguk.

“Sudah sering dia begitu?”

“Justru baru sekali ini. Dia sebenarnya anak yang sangat baik. Pasti ada suatu hal yang membuatnya begitu,” pembelaan dariku membentuk senyuman sinis di bibir mereka. Mungkin kedengarannya berlebihan?

Setiba di rumah ibuku, aku segera berkemas. Seorang keponakan kusuruh membeli tiket bus untuk kepulanganku dan Alif besok, kalau bisa keberangkatan yang paling pagi.

“Kita jadi pulang, Bu?”Alif bertanya memastikan.

“Jadi. Besok kita pulang. Ayo, kemasi barang-barangmu.”

“Sebenarnya apa yang dikatakan Mbak Ayu di telepon, Bu? Masalah Bapak lagi, ya?”

Aku tidak menjawab. Tanganku sibuk melipat baju dan merapikannya ke dalam tas. Kudengar suara Alif lagi. Dia membujuk untuk menunda kepulangan kami ke rumah.

“Bapak ki, selalu ngerepotin. Mbok, ya, kita jangan pulang dulu, toh, Bu!” Alif merajuk. ”Kak Rere baru aja janjiin aku makan di restoran! Jangan ya, Bu. Aku tak telepon Mbak Ayu, bilang kita nggak jadi pulang besok….”

Tak sabar, aku pun membentaknya. Anak itu terlalu sering protes akhir-akhir ini. Alif akhirnya diam juga. Bagaimanapun, kutegaskan kepadanya, tak baik lama-lama minta izin dari sekolah.

Kok, sudah kemas-kemas?“ dua orang kakakku, Hilda dan Wilsa, masuk ke kamar. Manuver apa lagi, nih, yang mereka lakukan untuk menyerangku? Mereka sekarang tahu betul caranya membalas kecemburuan mereka karena perhatian Ayah yang terlalu besar padaku.

“Besok aku harus pulang, Yuk (kak). “

Kata-kata itu sepertinya begitu mengejutkan bagi mereka berdua, sehingga mereka minta aku untuk mengulanginya lagi.

“Iya, aku harus pulang besok pagi.”

“Tapi, kamu baru dateng kemaren, Da. Apo ndak biso (apa tidak bisa) ditunda sampai tiga hari takziahan Ayah?“ sergah Hilda.

“Masa cuma karena anak tirimu, kamu mau mengorbankan semua ini, Da. Biarlah bapaknya yang mengurus. Jangan biarkan keluarga kita menilaimu lebih buruk lagi. Lagi pula, apa kata Ibu, Da?”

Aku mendengus kesal. Tanpa sadar, kubanting tas besar berisi pakaianku. Apa kata Ibu?

Mereka sudah mengganti subjeknya. Dulu mereka selalu bilang, “Apa kata Ayah, Da?”

Ya, apa lagi yang dikatakan Ibu tentang aku sekarang ini? Mereka selalu mengintimidasiku seperti itu bila sudah tidak tahu lagi cara membujukku. Di keluarga ini, mereka selalu lupa bahwa aku bukan si bungsu yang mudah dibujuk seperti dulu lagi.

Mungkin, mereka mau mengerti kalau kuceritakan semua ini. Tapi, bercerita tentang keadaan Mas Ton sekarang, aku bisa malu sendiri. Lagi pula, aku tidak sampai hati menceritakan kerapuhan mentalnya, apalagi menceritakan bahwa sekarang Mas Ton menjadi salah seorang pasien dari seorang dokter jiwa! Mereka pasti menyesali nasib malangku!

Malamnya, selesai takziah, kukatakan rencana kepulanganku pada Ibu. Ibu menatapku nanar. “Kalau rumah ini ndak (tidak) lagi membuatmu merasa nyaman, Da. Dak apo-apo (tidak apa-apa). Baleklah (pulanglah). Tapi, kalo ado apo-apo (kalau ada apa-apa) dengan Ibu kagek, kau dak perlu peduli lagi,” suaranya terdengar datar, namun menusuk tajam, tepat ke jantungku.

“Maaf, Bu….”

Ibu tidak menyahuti permintaan maafku. Dia beranjak dari kursi dan masuk ke kamar. Duh, susah sekali menjembatani hati ibuku sekaligus keluarga ini setelah perkawinanku dengan duda dua anak, Mas Ton. Hati mereka sudah telanjur kupatahkan, dan itu rupanya merupakan suatu kesalahan besar yang tak terampuni.

Tapi, tekadku untuk pulang sudah bulat. Kalau ada apa-apa dengan Mas Ton, aku akan jauh lebih menyesal. Sementara ibuku, tanpa kehadiranku pun, masih ada enam orang anak-anaknya yang setia menjaga. Dan, mereka jauh lebih berarti daripada seorang Frida!

Maka, untuk kedua kalinya, kutinggalkan Palembang dengan perasaan terluka.

Pandu dan Ayu
Mas Ton belum ditemukan juga. Padahal, Ayu, Pandu, dan dibantu saudara-saudara Mas Ton yang lain sudah lelah menelusuri seluruh jalan di Yogya. Pandu bahkan sudah tiga hari tidak kuliah. Dikorbankannya seluruh waktunya demi pencarian ayahnya itu.

“Ibu tidak puas jika tidak ikut mencari, Ndu. Kamu mau ke mana sore ini, Ibu ikut!” Sejak pulang ke rumah, aku terus memaksanya untuk ikut mencari. Tapi, lagi-lagi ia menolakku dengan halus.

“Ibu kan baru pulang? Nggak usah ikut, deh. Ibu tenangkan diri saja menunggu kabar di rumah. Oke? Pandu pamitan dulu, Bu.” Lalu dia melesat pergi.

Apa yang dilakukan Pandu sebenarnya bukan tanggung jawab semata, terlebih karena perasaan bersalahnya. Mas Ton pergi saat dia tidak ada di rumah. Menurut Ayu, Pandu bahkan tidak pulang semalaman. Ada seorang kawannya yang menjemput untuk urusan kepanitiaan di kampusnya. Sebagai ketua panitia, sudah seharusnya dia bertanggung jawab untuk kelancaran acara mereka.

“Jadi sekarang, dia pergi dengan teman-temannya?”

”Nggak. Nggak mungkin, Bu.”

“Kenapa?”

Ayu menghela napas panjang sebelum menjawab pertanyaanku. “Mas Pandu, Bu. Dia malu….”

Kini aku mengerti kenapa teman-temannya tidak pernah datang lagi ke rumah. Dia malu! Ya, pasti Ayu juga merasa begitu. Seorang anak lelaki teman kampus Ayu yang dulu sering berkunjung kemari, bahkan kini sudah jarang datang!

Bagaimana dengan aku? Ah, secara tidak langsung, cara-cara mereka sama dengan diriku. Kalau dulu, aku membebaskan mahasiswaku untuk konsultasi di rumah, tapi sejak beberapa bulan lalu, tidak ada seorang pun yang kuperkenankan datang. Please, call me first…, setelah itu aku berusaha menghindar.

Pandu pulang saat jam kayu besar di ruang tamu kami berdentang sepuluh kali. Wajahnya murung, tanda dia tidak menemukan petunjuk apa pun tentang keberadaan Mas Ton.

“Apa nggak sebaiknya kita minta tolong Om Ifan? Kalau kamu memaksakan diri mencari bapakmu terus, Ibu takut kamu jatuh sakit, Ndu.”

“Om Ifan ke Jakarta, Bu!” sahut Ayu.

“Jadi, kita harus bagaimana? Sudah empat hari bapakmu pergi tanpa kabar. Ibu khawatir terjadi sesuatu pada dirinya.” Mendengar kecemasan yang kuutarakan terus terang, ruang makan, tempat pertemuan kami, menjadi senyap.

“Apa nggak sebaiknya kita salat tahajud saja, Bu. Minta petunjuk dari-Nya, siapa tahu Bapak bisa ditemukan?” usul Pandu dengan suara lesu. Wajah jiplakan Mas Ton dengan kening lebar, tapi tetap terkesan tampan itu, tampak jauh lebih murung dari sebelumnya.

Duh, Gusti, kenapa tidak terpikirkan olehku?

Kami lalu tahajud bersama, tapi tidak berjamaah. Aku terpisah dari Ayu dan Pandu. Kukira, akulah yang paling panjang berdoa, tapi ternyata kedua anak itu masih saja tepekur di atas kain sajadahnya. Doa mereka jauh lebih panjang dariku rupanya! Ayu dan Pandu tampak luar biasa khusyuk.

Aku memperhatikan keduanya dari jauh. Anak-anak itu berumur sepuluh tahun dan delapan tahun ketika aku menikah dengan Mas Ton. Kalau dihitung-hitung, beda umurku hanya terpaut sepuluh dan dua belas tahun lebih tua dari mereka!

Aku dan Mas Ton bangga, tidak pernah ada pertentangan yang serius di antara kami. Mereka melebur dalam kehidupanku. Tanpa susah payah, kucanangkan diriku sebagai pengganti ibu mereka. Hanya satu yang mengganjal, Pandu dan Ayu tidak pernah menyapaku di kampus. Atau, ya, jika terpaksa sekali, mereka akan bersikap formal padaku, tak berbeda seperti mahasiswa lainnya. Sehingga, bisa dimaklumi, hanya beberapa teman dekat di kampus mereka yang tahu bahwa sebenarnya aku adalah… ibu mereka.

Dua tahun aku memahami sikap mereka tanpa ingin bertanya, bahkan pada Mas Ton sekalipun, sehingga pada akhirnya aku menarik kesimpulan sendiri. Mungkin aku terlalu muda untuk ‘diperkenalkan’ sebagai ibu mereka. Aku memang lebih mirip mahasiswa senior daripada dosen dan pengganti dari ibu mereka yang telah tiada.

“Bu,” Ayu mendekatiku, masih dengan mukena yang melekat. “Tidur, deh….”

“Bapakmu lagi apa, ya, Yu?” Aku malah membayangkan hal yang tidak-tidak.

“Sudahlah, Bu, nanti Mas Pandu makin terbebani. Lihat saja, tuh!”

Ayu benar. Kulihat Pandu masih berdoa khusyuk di atas sejadahnya.

Keesokan harinya —entah doa Pandu, Ayu, atau aku yang dikabulkan— Pandu menemukan Mas Ton di dekat Pasar Sentul!

Dari kampus, aku segera menuju ke tempat yang disebutkan Pandu, Pasar Sentul. Di sana aku melihat Pandu sedang membujuk Mas Ton untuk pulang. Mereka di tengah kerumunan orang banyak. Tergesa, aku menyeruak ke depan. Kecemasanku akan keadaan Mas Ton adalah penyebab utamanya.

“Bapak nggak mau pulang, Bu!” Pandu melapor. Dia menatapku putus asa.

Aku mendekati mereka. Dan, perasaanku sungguh terkoyak-koyak melihat keadaan Mas Ton. Tubuhnya kulihat jauh lebih kurus. Tak cuma itu, dia juga kusut-masai, kumal, dan… bau!

“Mari kita pulang, Mas,” aku berkata lirih sambil memegang tangannya. Tanpa diduga dia malah menepiskan tanganku.

“Nggak mau, ah!” sahutnya, cemberut. “Aku kan sedang menghabiskan sisa cutiku di sini!”

Masya Allah! Mas Ton makin parah! “Ini pasar, Mas. Bukan tempat liburan,” aku berusaha menyadarkannya.

“Kalau kamu mau pulang, ya, pulang sajalah. Aku mau pulang kalau cutiku sudah habis. Ojo mekso (tak usah memaksa), toh, Dik.”

Duh, Gusti. Aku menutup mataku dan berkali-kali menghela napas, mencoba menahan rasa malu dan kesal. Kerumunan orang-orang makin banyak saja. Dan, kulihat dia mirip benar dengan makhluk planet lain di tengah-tengah manusia bumi!

“Wah, mau hujan, Mas! Apa nggak sebaiknya Mas dan Ibu pulang saja,” usul orang-orang yang berkerumun itu. “Kalau bapaknya nggak mau pulang, yo, wis ben (biarkan saja).”

Tanpa kuduga, Pandu marah mendengar usul itu. Mereka memang terlalu ikut campur. Dengan tegas dia meminta orang-orang tersebut bubar. Dia bahkan menantang seorang pria muda yang masih saja menonton kami. Untungnya pria itu mengalah, walau terlihat masih tampak penasaran.

Pandu memang agak cepat emosi akhir-akhir ini. Alif saja sering jadi sasaran kemarahannya. Tapi, benar juga, langit mulai tampak makin kelam. Hujan turun satu per satu ke tanah. Pandu menyuruhku masuk ke mobil, sementara dia terus membujuk Mas Ton untuk pulang.

“Mulih (pulang), yo, Pak!” ajak Pandu lagi, memelas. “Isin (malu), Pak. Yo, Pak!” Entah apa yang dikatakannya lagi. Tidak lama kemudian Mas Ton beranjak dari tempat duduknya dan masuk ke dalam mobil.

Aku dan Pandu menghela napas lega. Ada air mata di pelupuk matanya. Belum pernah kulihat anak itu menangis!
Kupikir, mungkin doa Pandu yang didengar-Nya!

Suamiku di-PHK dan sikapnya berubah total. Aku khawatir terjadi sesuatu pada dirinya. Perlukah aku membawanya ke psikiater?

Alif
Perkuliahan baru berjalan lima belas menit ketika telepon genggamku berbunyi. Dari rumah. Pasti terjadi apa-apa di sana. Buru-buru aku ke luar ruangan.

“Ada apa, Yu?” tampaknya, urusan melapor jadi bagian Ayu.

“Alif, Bu…,” ucapannya yang sepotong itu membuatku panik. Ada apa lagi dengan anak itu. Tiga minggu yang lalu dia berkelahi. Dan, baru beberapa hari ini lebam di wajahnya sembuh. Kini apa lagi ulahnya?

“Kenapa dia? Berantem lagi?”

“Ya, Bu. Tapi, kali ini benar-benar bonyok, Bu! Ibu pulang dulu, deh, lihat keadaannya!” suara Ayu terdengar begitu khawatir.

“Bonyok gimana, Yu?” Tapi, aku tak bisa mendengar jawaban Ayu, baterai HP-ku drop. Hubungan terputus.

Aduh, bagaimana ini? Perkuliahan baru selesai dua jam lagi. Belum perjalanan ke rumah. Aku lalu kembali ke kelas. Dengan berat hati kukatakan kepada para mahasiswaku bahwa perkuliahan kali ini harus ditunda dulu. Aku buru-buru menuju tempat parkir. Kupacu mobilku dengan kecepatan lumayan tinggi, membelah Jalan Magelang. Seharusnya, sebelum itu aku minta izin kepada Ketua Jurusan, tapi aku tidak banyak waktu untuk melakukannya. Semoga ketidakdisiplinanku yang sekali ini saja, tidak memengaruhi kredibilitasku sebagai calon penerima beasiswa magister kelak!

Sampai di rumah, suasana sepi. Beberapa kali kupanggil Ayu, Pandu, dan Alif secara bergantian, tapi tidak seorang pun yang muncul. Hanya Mas Ton yang kulihat, tapi seperti biasanya dia tidak menghiraukan panggilanku. Dia sibuk menulis-nulis sesuatu di meja kerjanya.

“Cari anak-anak, Bu Tono?” tetangga sebelah rumah menyapaku dari teras samping. Aku mengiyakan. Dia lalu memberitahukan, bahwa anak-anak pergi ke Dokter Wisnu, yang di ujung kompleks, mengantar Alif yang bibirnya jontor dan hidungnya terus-menerus mimisan. Ugh.

Baru saja akan kususul, anak-anak sudah pulang. Mereka menggandeng Alif yang babak belur. Baju seragamnya dipenuhi bercak darah. Sepatunya kotor penuh lumpur tebal yang berbau tidak sedap.

Tanpa banyak kata, kuseret dia masuk dan menginterogasinya. Pandu beberapa kali mengingatkan aku untuk sabar, tapi suaraku makin menggelegar saja. “Kamu berantem sama siapa lagi, hah?” aku mengguncang-guncang tubuhnya, jengkel. Wajahnya yang terluka meringis, tapi aku tidak peduli. Itu akal bulusnya saja untuk meredakan kemarahanku.

“Saya nggak salah, Bu….”

“Ibu tidak tanya siapa yang salah, tapi dengan siapa kamu berkelahi? Sama siapa, hah?”

“Arya…,” jawabnya, hampir tak terdengar. Wajah bulatnya tertunduk.

“Arya yang bapaknya polisi itu?” sergahku.

Dengan pelan dia mengangguk.

Ya, ampun! Bapaknya Arya itu kan terkenal galak sekali! Siapa saja dihadapinya, apalagi jika berkaitan dengan anaknya. Rasanya, hampir semua orang menghindari berurusan dengannya. Cari penyakit saja! Tapi kini, apa yang dilakukan Alif? Aku tidak tahu, apa yang harus kukatakan pada bapaknya Arya! Paling-paling, mengaku salah untuk menutup segala urusan! Ah, betul-betul cari masalah anak ini!

“Alif, ini yang terakhir kamu buat masalah!” aku mengancamnya. “Kali lain, Ibu nggak mau ikut campur!” Dengan emosi kutinggalkan dia. “Dan, kalian,” pandanganku beralih pada Pandu dan Ayu, “jangan pernah hubungi Ibu lagi di kampus untuk urusan ini. Pekerjaan Ibu jadi terbengkalai. Mengerti?” Semua akhirnya terkena getahnya.

Namun, ancaman tinggal ancaman. Baru empat hari, Alif sudah berkelahi lagi. Tidak tanggung-tanggung, kali ini dengan anak kepala sekolahnya! Aku dipanggil saat itu juga. Dan, akibatnya, mahasiswa-mahasiswaku kembali jadi korban. Saat perkuliahan, mereka terpaksa harus kutinggalkan.

Alif mendapat peringatan keras. Dia bahkan diancam diberhentikan dari sekolahnya. Satu lembar surat pernyataan bermaterai disodorkan padaku untuk kutandatangani saat itu juga.

“Kamu dengar, Alif?” sergahku, jengkel. Nama baikku tercoreng. Kemarahanku yang spontan sekadar pelampiasan dari rasa malu yang sudah teramat dalam. Aku betul-betul seperti wanita karier lainnya yang mengabaikan pendidikan moral anaknya. Dengan halus, mereka seperti sedang menuduhku tidak dapat mendidik anak.

“Biarin aja, saya nggak salah, Bu! Dia yang mulai! Enak aja dia bilang…. Dia bilang… Bapak…,” napasnya tersengal-sengal karena emosi, “Bapak… gila! Bapak saya nggak gila!” emosinya meledak tanpa kusangka-sangka.

Aku terdiam mendengar pernyataan Alif. Wajahku terasa panas membara. Kepalaku serasa mau pecah!

“Tapi, kata Arya, Bimo, dan Bayu…,” nama-nama yang disebutnya itu pernah berkelahi dengan Alif, “Bapak Alif memang gila, kok. Suka ketawa-ketawa sendiri, suka….”

“Diam!” aku membentaknya, jengkel. Kalau tidak ingat kepala sekolahnya berada di depanku, entah sudah kuapakan dia!

“Saya rasa, Bu,“ kepercayaan diriku kembali pulih, “siapa pun dia, tentu marah besar kalau bapaknya dituding gila seperti itu!“

Nah, kini aku berada di pihak Alif. Aku mengerti alasannya, kenapa dia terus-terusan berkelahi. Kenapa anak kelas empat berbadan kecil itu berani melawan kakak-kakak kelasnya yang bertubuh jauh lebih besar dan tinggi ketimbang dirinya. Ya, tak lain demi menjaga harga dirinya. “Apalagi, tuduhan itu sama sekali tidak benar!” aku menyambung.

“Ya, nggak benar, Bu!” Alif menambahkan dengan berani.

“Kalau memang anak saya mau dikeluarkan dari sekolah ini karena dia membela harga dirinya, ya, silakan saja.”

“Sabar, Bu. Sabar….”

“Seharusnya bukan Alif seorang yang diberi peringatan, tapi juga teman-temannya. Tidak bisa hanya sepihak. Lagi pula, anak saya bukan tukang berkelahi. Ibu tahu kan, anak saya justru memiliki prestasi bagus di sekolah ini?” aku balik menyerang mereka. Dua orang guru yang kuhadapi itu terdiam.

“Kalau Alif berkelahi karena masalah yang sama, tolonglah jangan salahkan dia. Bapaknya dalam keadaan baik-baik saja. Kalau saja tidak sedang ke luar kota untuk urusan dinas, dia pasti sudah datang kemari.”

Astaghfirullah. Kebohonganku makin menjadi. Untuk kesekian kalinya, terpaksa kuabaikan tatapan Alif yang tajam. Namun, karena pernyataanku itu, surat permohonan maaf yang hampir kutandatangani segera ditarik kembali. Justru, kedua orang guru, yang salah seorang di antaranya adalah kepala sekolah Alif, itu yang meminta maaf kepadaku.

Aku lega, tapi tidak sepenuhnya. Kenakalan Alif akhir-akhir ini tidak saja berkaitan dengan harga dirinya, tapi lebih cenderung kepada pelampiasan rasa marahnya. Ya, dia marah padaku, dia marah karena Mas Ton. Sebenarnya, Pandu dan Ayu memendam perasaan yang sama, tetapi faktor kedewasaan merekalah yang meredam semuanya.

“Sampai kapan Alif terus bermasalah dengan emosinya ini, Dokter?” Aku menyelingi konsultasi malam itu dengan pembicaraanku tentang Alif. Aku sangat khawatir akan perkembangan jiwanya. Emosinya sering meledak-ledak akhir-akhir ini. Kalau perlu, anak itu akan kubawa untuk berkonsultasi pula!

“Anak seperti dia cukup diarahkan, Bu. Jangan dimarahi. Jiwa pemberontaknya lebih kuat daripada kedua kakaknya. Kalau Ibu tidak berusaha untuk memahaminya, dia bisa jauh lebih nakal dari sekarang ini.”

“Apakah dia... depresi, Dokter?” aku bertanya, cemas.

“Ah, saya rasa tidak!” Dokter Wahyu tertawa kecil. Malah, menurut dia, akulah yang sudah terkena paranoid trauma syndrom. Tidak semua persoalan akan berdampak depresi akut pada orang lain. Alif hanya sedang memulai proses kenakalannya. Agak aneh memang, mengingat sebelumnya, dia merupakan tipe anak yang tidak pernah bermasalah.

Duh. Jangan-jangan, aku harus mulai terapi mental pula untuk mengantisipasi keadaan yang tampaknya makin kusut saja!

Australia
Today is very great day. Thank’s, God! Aku betul-betul seperti melayang, tidak sedang menginjak tanah. Obsesiku selama ini akhirnya tercapai juga! Beberapa dosen yang sepertinya sudah mendapat bocoran tentang beasiswa magister yang kudapat, menyalamiku di kantor selepas aku menghadap Pak Dekan.

“Wah, Australia, nih!” Wajahku memerah digoda seperti itu. “Selamat, ya? Kapan berangkat?”

“Mungkin semester depan. SK-nya saja belum keluar! Baru pemberitahuan lisan, kok.”

“You are so lucky, Frida!” pujian itu entah bernada apa. Aku tak punya waktu menganalisisnya. Tapi, bagaimanapun, aku senang mendengarnya.

Di rumah, anak-anak kukabari berita gembira itu. Begitu pula Mas Ton. Namun, dia, seperti biasa, tidak merespons apa yang kuceritakan.

  “Ibu sudah tahu studi di mana?” Pandu bertanya dengan antusias.

“Perth,” jawabku gembira, sembari membayangkan Negara Kanguru yang sudah lama kuidamkan itu.

“Australia itu seperti apa, sih?” celetuk Alif, mengernyitkan alis. Seperti kakek-kakek saja lagaknya!

“Yang jelas, penduduknya berkulit putih dan rambutnya pirang. Lalu, ada binatang kanguru dan koala yang lucu. Iya, kan, Bu?” sahut Ayu. “Kamu mau ikut Ibu, Lif, seperti ke Palembang kemarin? Asyik, ya, jalan-jalan terus. Nggak usah sekolah!”

Dengan polos Alif mengangguk.

“Alaa, nanti pulangnya kamu sombong. Ke Palembang aja ceritanya setahun!” Godaan Ayu membuat Alif cemberut.

“Bapak bagaimana, Bu?” pertanyaan Pandu membuatku tersadar. Ini masalah paling sulit yang harus kujelaskan kepada mereka. Bagaimanapun, aku bukan wanita karier yang melupakan keluarga! Aku tahu, dari nada bertanya Pandu, ia khawatir aku tidak memperhitungkan ayahnya dalam rencana-rencanaku selanjutnya.

Aku memandang Mas Ton. Ia masih serius menulis-nulis sesuatu. Gayanya persis seperti sedang mengerjakan proposal ketika ia masih aktif bekerja dulu! “Ibu akan bicara pada Pakde dan Paklik kalian. Mudah-mudahan ada jalan keluarnya,” aku menghela napas panjang dengan hati gundah.

Benar saja, kebahagiaanku cuma bertahan beberapa minggu. Setelah itu, redup kembali. Kebimbanganku, membuatku meminta kebijakan dekan agar menunda keberangkatanku sampai tahun depan. Pertimbanganku hanya satu: apa lagi kalau bukan Mas Ton dan, tentu saja, anak-anak.

“Program ini tidak bisa ditunda, Bu Frida. Itu kebijakan rektorat, bukan saya,” suara berat Pak Zul terdengar, menjawab permohonanku.

“Berarti, ada yang akan menggantikan saya?” Aku menatapnya ragu.

Dia mengangguk. Wajahnya yang keras, khas orang Sumatra, mengingatkanku pada ayahku.

“Kalau karena suamimu tidak mengizinkan, apa tidak sebaiknya dibicarakan lagi, Bu Frida? Ini kesempatan sangat baik untuk jenjang kariermu. Tidak semua orang, lho, bisa mendapat kesempatan emas seperti ini….”

Aku terdiam di ruang dekan itu. Alasan yang kuberikan padanya memang tidak terlalu kuat, sehingga tidak cukup memaksanya untuk menaruh kasihan padaku. Ah, kalau saja kukatakan alasan yang sebenarnya, mungkin dekan itu dapat mengerti kesulitanku. Tapi rasanya, sulit sekali. Lidahku kelu mengungkapkannya, untuk tujuan apa pun juga. Ya, itu kan sama saja membuka aib keluargaku!

“SK akan keluar dua bulan sebelum keberangkatan. Masih ada waktu untuk berpikir. Tapi, saya sangat berharap Ibu bisa berangkat. Biar tidak ada berita buruk bagi kakakmu!”

Kalimatnya yang terakhir menyisakan pertanyaan di benakku. Apa memang benar bukan karena Kak Zom, kakakku, yang berada di balik kesuksesanku mendapatkan beasiswa ini? Ah, mengapa aku mulai mencurigai kolusi antara dua guru besar yang bersahabat karib itu?

Jika benar begitu, berita ini sudah pasti menyeberang pula ke Palembang, dan mampir di telinga orang-orang yang tidak pernah kuharapkan untuk mengetahuinya. Bukannya aku tak ingin berbagi kabar gembira, tapi untuk saat sekarang, rasanya belum klop waktunya bagi mereka untuk menerima berita itu. Mereka tentu mencecarku dengan berbagai pertanyaan, bila aku tidak jadi berangkat ke Australia, atas permintaan sendiri pula. Itu yang tidak aku mau!

Maka, aku ke luar dari ruang dekan dengan aura hitam yang melekat pekat di wajahku. Ah, hidup memang dilematis!

Rumah Sakit
Mas Ton terus bertingkah. Kadang-kadang, dia tidak bicara seharian. Kadang-kadang, sepanjang hari dia bisa bicara apa saja seputar pekerjaannya. Kalau sudah begitu, pasti selalu diakhiri dengan amukannya yang mengerikan.

Kondisi kejiwaannya makin buruk. Tidak ada seorang pun yang sanggup mengatasinya. Bahkan, dalam satu minggu ini, beberapa tetangga melapor, bahwa mereka sering dilempari oleh Mas Ton dengan benda apa saja yang kebetulan dipegangnya, apabila mereka lewat di depan rumah.

Setiap kali laporan itu terdengar, aku terpaksa mengemis maaf dan pengertian pada mereka. Sejauh ini, sih, mereka memang bisa mengerti. Tapi, sampai kapan? Bahkan kudengar, mulai populer sebutan yang ampuh untuk menakut-nakuti anak-anak di sekitar rumah kami. “Awas, lho! Ada Pakde Tono! Awas, jangan dekat-dekat rumah Alif!”

“Ya, depresi total yang diderita Pak Sartono agaknya sudah menggejala kepada Skizofrenia.” Keterangan dari Dokter Wahyu, psikiater yang merawat Mas Ton selama ini, seperti sebuah vonis. Namun, ia coba menenangkanku. Katanya, itu hanya penyakit klinis kejiwaan biasa. Mas Ton bisa sembuh dengan pengobatan medis dan terapi mental yang intensif. Dan, itu hanya bisa dilakukan jika Mas Ton dirawat di rumah sakit jiwa.

Ah, apa benar demikian? Selama ini aku pontang-panting mengusahakan berbagai pengobatan bagi Mas Ton. Bahkan, pengobatan alternatif pun kulakukan. Aku mulai yakin, ada seseorang yang menyetir emosinya dan membawanya hingga terperosok ke dalam ‘jurang’ seperti ini! Namun, toh, semuanya tidak menjamin kesehatan mentalnya. Benarkah aku harus membawanya ke rumah sakit jiwa? Memikirkannya saja aku sudah mual!

“Ibu!” Alif tiba-tiba menerobos masuk ke dalam kamarku. “Bapak ngamuk lagi! Semua kertas kerjanya berantakan, dihamburin ke mana-mana! Mbok, ya, Ibu lihat dulu….”

“Tolong panggil Mas Pandu saja, Sayang. Minta masmu itu menenangkan Bapak. Ibu capek sekali,” aku menanggapinya tanpa semangat. Kejadian ini sudah terlalu sering. Sejak delapan bulan lalu! Ah, apa boleh buat! Maafkan aku, Mas Ton. Mungkin benar saran dari dokter jiwa yang merawatmu. Kami harus membawamu ke rumah sakit jiwa!

Ugh. Aku benci mendengar istilah ‘rumah sakit jiwa’, sepertinya terlalu menghakimi pasiennya. Seharusnya istilah itu diganti dengan ‘pusat rehabilitasi mental’ atau apalah. Lebih baik aku memakai istilahku sendiri saja!

Anak-anak akhirnya kuajak bicara, begitu pula keluarga Mas Ton, tentang jalan keluar yang cuma satu-satunya ini. Kukatakan pula biaya yang harus ditanggung setiap bulannya. Lumayan mahal, karena Mas Ton mendapat perawatan khusus dan juga ruangan khusus seperti yang kuinginkan. Tapi, kuyakinkan pada mereka, itu semua belum seberapa jika harus dibandingkan dengan kesembuhan Mas Ton!

“Apa ini ada kaitannya dengan kepergian Dik Frida ke Australia?” Mas Krisna, kakak Mas Ton, tampak agak keberatan. Dia lebih percaya, adiknya bisa sembuh dengan pengobatan alternatif. Usaha itu masih saja terus dicobanya.

“Bisa jadi, Mas. Kalaupun Mas Ton belum dapat disembuhkan sebelum keberangkatan saya, paling tidak, itu tempat terbaik baginya saat saya pergi nanti. Saya merasa lebih tenang. Begitu juga anak-anak. Ini jalan satu-satunya bagi kita semua, Mas,” aku berusaha meyakinkan. Mereka akhirnya setuju. Itulah yang kusuka dari keluarga Yogya ini, tidak keras kepala dan sok mengatur seperti keluargaku di Palembang!

Aku mengajak Mas Ton ke rumah sakit jiwa satu minggu kemudian, bersama Ayu dan Pandu. Alif tidak kuajak, walau dia memaksa ikut. Aku takut, kondisi kejiwaannya yang belum stabil, akan terpengaruh keadaan di sana.

Rumah sakit itu luas sekali, walau tampak tua. Juga sangat bersih, dan dari luar, kelihatan begitu tenang. Tapi, ketika masuk ke dalam dan berjalan di sepanjang lorong-lorong pusat rehabilitasi mental itu, beberapa kali aku terkaget-kaget karena tingkah laku pasien-pasiennya.

“Mas…,” seorang perempuan muda berdaster, mendekati Pandu, “mau cari saya, ya? Wah, sorry, jangan dikira karena saya ditinggal suami, saya mau sama si Mas!” Dia menjulurkan lidahnya, meledek Pandu. Dengan susah payah aku dan Ayu menahan tawa.

Dokter Wahyu, psikiater Mas Ton yang menemani kami berorientasi, dengan halus menyuruhnya pergi.

“Kenapa dia, Dok?” mataku mengiringinya pergi menjauh. Mulutnya masih komat-kamit.

“Ditinggal suaminya menikah lagi.”

Oh, pantas! Tentu sakit sekali rasanya dikhianati oleh orang yang kita cintai!

“Kalau yang itu?” kataku, menunjuk seorang wanita separuh baya, yang sejak aku datang ke rumah sakit ini, sudah menyita perhatianku. Rambutnya disanggul acak-acakan dan terus saja menari dengan gerakan yang begitu gemulai.

“Dia bekas penari istana. Baru dua bulan berada di sini, dan keadaannya sudah jauh lebih baik. Awalnya dia suka…telanjang!” jelas Dokter Wahyu. Tentu dia tidak bermaksud menggodaku, namun penjelasannya membuat wajahku memerah. Aku mendengar Pandu dan Ayu mengikik di belakang. Huss!

Dokter Wahyu lalu mengajak kami berbelok ke kanan, memasuki kamar yang sudah dipersiapkan untuk Mas Ton. Kamar itu luas dan bersih, rasanya cukup nyaman untuk ditempati suamiku.

“Sekarang kita berada di mana?” Mas Ton tiba-tiba bertanya. Kulihat kebingungan di wajahnya. Sorot matanya mendadak liar melihat pintu kamarnya setengah tertutup terali. Lingkungan ini jelas asing baginya!

“Ini pusat rehabilitasi mental, Mas. Di sini Mas Ton akan tinggal beberapa waktu. Anggap saja rumah Mas sendiri, ” aku memilih kata-kata dengan hati-hati.

“Jaraknya dari kantor, jauh tidak? Kalau lebih jauh, aku nggak mau, ah….”

Aku menghela napas panjang, bertukar pandang dengan anak-anak. Memang makin jauh saja, Mas. Bahkan, tidak tertempuh lagi!

“Aku mau pulang aja, Dik. Mulih, yo….” Dia menarik tanganku, keluar dari kamar itu. Aku meminta pertolongan Dokter Wahyu lewat tatapan mataku. Dia cepat menangkap sinyal itu.

“Kantor Pak Tono justru pindah kemari. Jadi, Bapak bisa ngantor jam berapa saja,” bujuknya, lembut.

Mas Ton terdiam. Dia mengangguk-angguk, menerima ‘kepindahannya’ dengan senang. Mendadak, tempat itu disukainya.

“Ibu dan anak-anak bisa meninggalkannya sekarang. Biarkan Bapak beristirahat dulu,” Dokter Wahyu mengajak kami keluar. Mas Ton mengikuti dari belakang. Dia tidak mengizinkan aku dan anak-anak pergi.

“Kami pulang sebentar ya, Mas. Besok kemari lagi menjenguk Mas.“ Tapi, tanganku dipegangnya erat-erat. Pergelanganku sakit. Aku hampir menangis karena rengkuhan itu.

“Sebentar lagi dia akan mengamuk,” aku mewanti-wanti Dokter Wahyu. Aku sudah paham betul gejalanya.

Seorang suster disuruhnya mengambil obat penenang, untuk berjaga-jaga. Sebelum suster itu kembali, Mas Ton sudah benar-benar mengamuk.

“Kalau kamu pulang, aku ikut pulang! Aku nggak mau di sini bersama orang-orang aneh ini!” Dia melemparkan pena yang semula berada di sakunya ke arah Dokter Wahyu. Aku meminta Pandu dan Ayu segera menjauh.

Dua orang suster datang dan menenangkan Mas Ton. Dokter Wahyu menyuntikkan sesuatu di lengannya, mungkin obat penenang. Beberapa menit kemudian, Mas Ton tertidur pulas.

“Bapak sudah tenang. Ibu dan anak-anak bisa pulang sekarang….”

Justru sekarang aku yang tidak tega meninggalkannya. Langkahku jadi berat. Aku takut, kalau nanti terbangun, Mas Ton mencariku. Dan, tentu dia akan mengamuk kembali melihatku tidak ada!

“Ayo, pulang, Bu. Sudah sore,” Ayu mengingatkanku. Aku mengangguk, menatapnya sedih. Perlahan aku mendekati suamiku dan mencium pipinya sebelum dengan berat hati meninggalkan tempat itu.

Suamiku di-PHK dan sikapnya berubah total. Aku khawatir terjadi sesuatu pada dirinya. Perlukah aku membawanya ke psikiater?

Mobil keluaran tahun 2000 yang biasa kupakai ke kampus akan kujual. Iklannya sudah kupasang sejak dua minggu lalu di beberapa harian Yogya. Sebenarnya, beberapa orang sudah menawarnya, tapi belum ada yang cocok. Jadi, mobil itu belum dapat kulepas.

Pernah ada seorang pria yang menawar mobil itu jauh di bawah harga yang kutawarkan. Alasannya, meskipun dari luar kelihatan mulus, mesin mobil itu sudah tak begitu baik lagi: mudah panas, dan sebagainya.

Aku betul-betul tersinggung karenanya. Pertama, aku tersinggung mendengar tawarannya yang begitu rendah, selisih empat puluh juta dari tawaranku. Mentang-mentang aku wanita, dia pikir aku tidak tahu harga pasaran kendaraan.

Yang kedua, dia sudah berani-beraninya membodohiku dengan mengatakan bahwa mesin mobil itu sudah tidak baik lagi. Padahal, aku tahu betul, setelah Mas Ton tidak merawatnya lagi, masih ada Pandu yang begitu menyayangi dan merawatnya dengan baik.

“Seharusnya, Ibu pasang iklan lengkap dengan harganya. Jadi, orang yang mau beli, bisa berpikir-pikir dulu sebelum datang. Kalau mereka menawar, ya, paling tidak, nggak terlalu jauh dari penawaran kita,” usul Pandu, yang kupikir ada benarnya juga. “Tapi, ya, sudahlah, Bu. Kita tunggu saja. Mosok, sih, mobil bagus begini, nggak ada yang mau?”

Benar saja. Seorang rekanku, rupanya telah membantu menawarkannya pada seorang dosen fakultas teknik tanpa sepengetahuanku. Dia mendatangiku di kantin kampus.

“Mobil Bu Frida mau dijual?” tanyanya.

“Ya,” aku menjawab tanpa basa-basi. “Itu mobilnya!” Dia mengikuti arah telunjukku. Makan siang kali ini kuselesaikan dengan tergesa. Tak sabar, aku segera mengajak calon pembeli itu menuju ke tempat parkir.

Dengan antusias dia memeriksa mobil itu. Aku menawarinya untuk mencobanya berkeliling kampus. Dia tidak menolak. Hampir sepuluh menit dia berkeliling kampus sebelum mengembalikannya padaku.

“Saya akan kabari Ibu dua hari lagi,” ucapnya, setelah beberapa saat kami mengadakan negosiasi harga. Jabatan tangannya yang erat tampaknya seperti sebuah kalimat, “Oke. Deal.”

Dua hari kemudian, calon pembeli yang bernarna Pak Danu itu datang menemuiku, dan menyatakan persetujuannya. Transaksi dilakukan seminggu lagi, menunggu dia kembali dari sebuah seminar di luar kota.

“Kalau nanti mobil kita laku, kita jalan-jalan ke Bali, dong!” Alif mulai merayuku. “Eh, nggak usah ke Bali. Jauhan dikit, ke Lombok, kayak keluarga Pakde Krisna!”

“Uang itu tidak akan dipakai untuk macam-macam, tapi untuk biaya bapakmu dan untuk kebutuhan kalian kalau nanti Ibu jadi berangkat.”

“Bapak lagi… Bapak lagi!” Alif mengomel. “Ibu ki lebih sayang Bapak….”

“Apa sebaiknya kita beli mobil yang lebih murah, biar Ibu nggak repot ke kampus?” Pandu mengusulkan.

Aku menggeleng. “Ah, tak usah. Ibu bisa pinjam motor kalian, ’kan? Untuk sementara, Ibu juga tak keberatan naik kendaraan umum.”

Ketiga anak-anak itu saling pandang. Aku mengerti kekecewaan mereka, tapi terpaksa kuabaikan.

“Mosok kita nggak beli apa-apa?” Alif merengek lagi. “Uang Ibu kan banyak. Kok, Ibu jadi pelit begini, sih?”

Ekspresi kekecewaan mereka begitu kuat. Pandu dan Ayu yang kukira bisa dengan mudah diberi pengertian, ternyata sama susahnya dengan Alif. Mereka kira hasil penjualan mobil itu tidak akan habis hanya untuk biaya rumah sakit ayahnya. Dasar anak-anak! Mereka tidak berpikir panjang, berapa lama mereka kutinggalkan. Dan, berapa lama mereka bisa bertahan hidup, jika tidak mencoba berhemat sedini mungkin.

“Oke, kalau sikap kalian seperti itu, penjualan mobil itu Ibu batalkan. Biar tidak ada tuntutan macam-macam. Dan, Bapak, kita keluarkan saja dari rumah sakit. Lebih baik, Ibu juga batal sekolah lagi ke Australia,“ aku mengancam.

“Iya?”

“Jangan, Bu,” suara Pandu terdengar pelan.

“Ayu?”

Tak usah, Bu.” Seperti biasa, dia mengekor keputusan Pandu.

“Alif?”

Dia menggeleng tanpa suara. Bibirnya mengecil. Pembicaraan malam itu akhirnya ditutup dengan persetujuan sepihak. Aku tahu, mereka kecewa pada keputusanku. Alif mengataiku sebagai ‘otoriter’, tapi tidak ada seorang pun dari mereka yang berani menentangku. Mungkin mereka sadar, perdebatan yang panjang tidak mengubah pendirianku sama sekali. Bagaimanapun, toh, ini demi kepentingan bersama!

Akhirnya transaksi itu benar-benar terjadi. Anak-anak dan dua orang keluarga Mas Ton menjadi saksi. Dengan berat hati, aku menyerahkan surat-surat bukti kepemilikan mobil.

“Mobil ini buat istri saya. Kado ulang tahun perkawinan kami,” Pak Danu menjelaskan, tertawa. Kami bersalaman. Perasaan nyeri menyerang batinku melihat mobil itu melaju perlahan keluar dari garasi. Sewaktu ia menghilang di tikungan jalan, pelupuk mataku terasa panas.

Ditunjuknya aku sebagai tuan rumah arisan ibu-ibu kompleks perumahan kami kali ini, membuatku terkejut. Agak kebingungan, aku mencoba menolaknya. Tapi, mereka sudah sepakat, menunjuk rumahku untuk arisan berikutnya. Lucu! Seharusnya penunjukan itu berdasarkan hasil kocokan, seperti aturan main selama ini, bukan lewat main tunjuk seperti ini. Tapi, protesku tidak mereka dengar.

“Ayolah, Jeng Frida! Nggak setahun sekali ini….”

“Sudah lama kami kepingin mencicipi makanan Palembang Ibu Dosen….”

Rayuan mereka macam-macam. Padahal, aku tahu persis, mereka semua punya satu ‘misi’: masuk ke rumahku dan menyelidiki keadaan di dalamnya untuk memastikan apakah benar Mas Ton dipasung, seperti isu yang tengah santer beredar di sekitar perumahan ini!

Aku tidak tahu persis siapa yang menyebarkan isu itu. Ketidakberadaan Mas Ton selama dua bulan ini, agaknya telah menimbulkan dugaan macam-macam. Tetapi, sebagian besar, mereka memang menuduhku telah memasung Mas Ton!

Keterlaluan! Benar-benar keterlaluan! Tapi, aku malas untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya pada siapa pun. Biarlah mereka menemukan jawaban masing-masing.

“Oke, ya, Jeng Frida?” Ibu RT meminta kepastianku. Gerombolan ibu-ibu di kompleksku ini benar-benar tidak putus asa!

“Baiklah.” Jawabanku akhirnya disambut dengan tepukan. Mereka tampaknya puas melihat aku terpojok seperti itu.

Aku mempersiapkan acara arisan sebaik mungkin. “Buka semua kamar, Yu. Biar mereka tahu, tidak ada yang namanya kamar pasungan di sini!” perintahku pada Ayu. Semua pintu kamar dibuka, bahkan pintu gudang yang biasanya terkunci, juga terbuka.

“Nanti mereka kira, Bapak kita pasung di atas, Bu.”

“Kalau perlu, akan kuajak pula mereka ke atas. Biar mereka puas!” nada suaraku meninggi. Aku agak emosi bila mengingat ‘misi utama ‘ mereka datang ke rumah kami. Pakai alasan arisan segala!

Peserta arisan datang satu per satu. Kuperhatikan, ada saja di antara mereka yang mencuri pandang, mengelilingi situasi rumah kami lewat ekor mata mereka. Beberapa orang, bahkan Ibu RT sendiri, secara terang-terangan menjelajahi seluruh lantai bawah.

“Kalau gerah di bawah, boleh naik, kok, ke lantai atas!” aku sengaja memancing reaksi mereka. Pucuk dicinta, ulam tiba. Ibu RT tentu saja segera menyambut baik usulku. Berbondong-bondong mereka naik. Aku mengangkat bahu, bertukar pandang dengan Ayu. Dia kulihat sama geramnya denganku. Tingkah mereka terkesan seperti polisi yang sedang menyelidiki sesuatu saja!

“Rumah Jeng Frida besar juga, ya?” Ibu RT turun dari lantai atas dengan perasaan kecewa. ‘Kamar pasungan’ yang dicarinya tidak ditemukan. “Ada berapa kamar semuanya, sih, Jeng, di rumah ini?”

“Oh, cuma ada empat, kok. Ibu-Ibu sudah melihat semuanya, ‘kan?” sindirku.

Dia mengangguk. “Tapi, kok, saya nggak lihat Pak Tono, ya? Ke mana, sih?”

Nah, akhirnya! Beruntung aku sudah mempersiapkan jawabannya jauh-jauh hari. “Oh, suami saya baru saja keluar bersama Pandu dan Alif.”

“Tapi, saya memang lama banget lho, nggak melihat Mas Tono, ke mana aja? Dinas ke luar kota?” pertanyaan itu jelas basa-basi yang sangat berlebihan. Aku ingin muntah melihat sikap ibu-ibu itu. Jelas-jelas mereka tidak buta, kok, melihat keadaan suamiku. Bagaimana mungkin mereka masih menanyakan pekerjaannya?

“Ada. Nggak ke mana-mana. Kalau mau bertemu, sebentar lagi juga Mas Ton dan anak-anak pulang….”

Arisan telah selesai, tapi Ibu RT dan beberapa tetangga lainnya belum juga pulang. Mereka masih asyik bercerita tanpa menghiraukan isyarat keberatanku terhadap keberadaan mereka di rumah ini. Mungkinkah mereka benar-benar ingin menunggu Mas Ton pulang?

Isu itu makin merebak saja. Walau sudah membuktikan bahwa kamar pasungan itu tidak ada, mereka tetap percaya aku memang melakukannya. Hanya, mereka tidak tahu di mana tempatnya.

Tetapi, syukurnya, sejak arisan itu, kepercayaan mereka terpecah. Hanya sebagian saja yang percaya, sebagian lagi sudah tidak. Bukan itu saja, sebagian dari mereka bahkan sudah dapat berpikir secara rasional.

“Jeng Frida itu dosen, tak mungkin melakukan cara seprimitif itu.” Ayu pernah mendengar ucapan seperti itu secara tidak sengaja.

“Kelihatannya, yang paling getol memojokkan kita justru tetangga sebelah, Bu. Kata orang-orang, dia juga yang pertama kali menyebarkan isu itu….”

“Hus! Tahu dari mana?”

“Teman Alif yang bilang begitu. Tante Laksmi itu sering ngerumpiin kita dengan orang dari blok depan!”

Jika demikian, berarti dugaanku selama ini benar. Hanya, aku tidak mau mengungkapkannya. Mbak Laksmi, tetangga sebelah, memang ‘biang rumpi’. Dia selalu ingin tahu tentang kehidupanku dan Mas Ton. Sepertinya, aku ini seorang selebriti yang kehidupan pribadinya begitu menarik untuk diketahui dan ceritanya bisa dijual ke infotainment.

“Ibu harus bicara dengan Tante Laksmi, Bu.” Sudah berkali-kali Ayu memintaku untuk tidak berdiam diri atas kebohongan itu. “Kalau tidak, dia akan terus bicara macam-macam.”

“Ibu tak mau ribut,” jawabku, santai. Ayu kecewa pada sikapku. Dia langsung meninggalkan ruang tengah itu.

Aku bukan tidak ingin mengadakan pembelaan. Tapi, kalau Mbak Laksmi kutemui dan memintanya untuk berhenti bicara tentang keadaan kami, itu hanya akan memperpanjang permasalahan.

Dari kali pertama isu itu sampai ke telingaku, aku sudah tidak punya keinginan untuk menggubrisnya, atau berusaha untuk mengklarifikasi berita itu. Ya, buat apa? Aku yakin, tanpa banyak bicara pun, isu itu teredam dengan sendirinya!

Tiga bulan kemudian.
Istirahat makan siang yang tidak terlalu panjang kali ini, kugunakan untuk menelepon Pandu atau Ayu. Hari Minggu kemarin, ketika kuhubungi, ternyata mereka tidak menjenguk Mas Ton. Lagi-lagi, tugas kuliah yang harus diselesaikan secepatnya, yang menjadi alasan mereka. Maka kuminta hari ini, siapa pun yang tidak sibuk kuliah, harus menjenguk bapaknya dan mengabarkannya padaku hari ini juga.

“Ibu kapan pulang?” Pandu lagi-lagi mempertanyakan hal itu.

“Satu minggu lagi.”

“Nggak sekalian mengurus paspor dan visa?”

Aku terdiam sejenak. Sudah banyak orang yang berpesan seperti itu padaku. Mumpung di Jakarta, sekalian saja mengurus surat-surat keberangkatanku. Jadi nanti tidak repot lagi.

Padahal, hingga detik ini, kepastian keberangkatanku masih mengambang. Bukan ada yang menghambat — semua birokrasi rektorat berjalan lancar, tapi keraguanku sajalah yang menjadi penyebabnya. Aku tidak tega meninggalkan Mas Ton dalam jangka waktu lama. Dia membutuhkan aku. Hanya akulah orang yang dia paling kenal baik dalam ‘dunia mayanya’.

Pandu meneleponku lima jam kemudian, persis setelah kelompok diskusiku selesai mengadakan presentasi. “Bagaimana, ’Ndu. Sudah menjenguk Bapak?”

“Ya, Bapak baik-baik saja. Agak kurusan, sih, tapi kelihatannya banyak kemajuan. Bapak sepertinya mengenaliku, dia bahkan menyebut namaku dengan jelas.”

Oh, rupanya interaksi yang terbangun saat mereka berdua berbicara tersambung dengan baik! Biasanya, Mas Ton tidak lagi mengenal anak-anaknya. Mungkinkah karena sudah cukup lama ketiga anak itu segan bicara dengannya?

“Bapakmu bilang apa?”

“Cuma beberapa patah kata saja, Bu. Bapak lebih asyik membaca koran.”

“Kau ketemu dengan Dokter Wahyu?”

“Nggak. Aku cuma lima belas menit di sana, Bu. Jadwal kuliahku cuma kosong satu jam.” Aku mengerti kesibukan Pandu. “Mungkin minggu depan, aku ke sana lagi. Aku akan menelepon Ibu lagi,” dia berjanji. Hatiku merasa sedikit tenteram mendengarnya.

Apa pun laporan Pandu yang kudengar saat ini, sudah merupakan kabar baik. Kesehatan mental Mas Ton mengalami kemajuan waktu demi waktu. Hanya sayang, kemajuan itu tidak kurasakan secara langsung.

Aku sebenarnya sudah tidak sabar lagi di Jakarta. Kalau saja kursus yang kutempuh sekarang ini tidak ada manfaatnya untuk meningkatkan kredit poin-ku sebagai pegawai negeri, aku sudah menolaknya.

“Ini perintah Pak Dekan. Ibu Frida harus mau,” ucap ketua jurusan waktu itu mengenai alasan penunjukannya.

Ada maksud terselubung yang kutangkap dari perintah itu. Diam-diam, Pak Zul, yang setahun ini menjabat sebagai dekan, tampaknya memang sengaja mengorbitkan aku - thank’s God karena telah menunjuk sahabat karib Kak Zom sebagai dekanku- sehingga banyak pertemuan dinas penting yang melibatkan aku, seperti saat ini.

Memang tampaknya berlebihan dan sedikit curang, tapi aku menikmatinya. Hanya satu yang kutakutkan, beberapa kemudahan yang begitu sering kudapatkan ini, memancing rasa cemburu para seniorku. But, I don’t care!

Pandu menepati janji yang dikatakannya seminggu lalu. Dia meneleponku di hari Senin berikutnya. “Bapak tadi menanyakan Ibu!” Laporannya membuat hatiku berbunga. Itu suatu kemajuan yang kedengarannya luar biasa!

“Aku menceritakan bahwa Ibu sedang ikut kursus di Jakarta dan sebentar lagi akan sekolah di Australia. Nah, mau tahu apa kata Bapak, Bu?”

“Apa, ’Ndu? Bapak bilang apa?” aku tidak sabar mendengar ceritanya.

“Ibu hebat! Bapak teramat senang dan bangga mendengarnya! Katanya, itu merupakan mimpi Ibu sejak dulu! Benar begitu, Bu?”

Aku hampir menangis karena terharu dan bahagia. Ah, sudah sejauh itukah perkembangan kesehatan mentalnya? Menurut Dokter Wahyu, bila Mas Ton sudah mulai dapat berinteraksi dengan orang lain selain diriku, berarti itu awal menuju pemulihan mentalnya. Berarti tinggal beberapa langkah lagi untuk mencapai tahap akhir.

Satu-satunya hal yang agak kusesali adalah, aku melewatkan saat-saat itu. Dia justru mengalami banyak kemajuan saat tiga minggu kutinggalkan. Mungkin kebahagiaan itu lebih bisa kurasakan bila perubahan besar pada dirinya mampu kulihat secara langsung. Ah, aku memang terlampau berlebihan!

“Ibu masih mendengarkan aku?” suara Pandu tiba-tiba mengusik lamunanku.

“Ya, teruslah bercerita, ‘Ndu. Ibu mendengarkan ….”

“Saya sudah bisa ngobrol dengan Bapak, Bu. Katanya, Bapak ingin pulang dan berkumpul lagi dengan kita!”

Ah, Mas Ton tampaknya mulai menyadari keberadaannya selama tiga bulan terakhir ini. Aura kebahagiaanku berpendar-pendar.

“ Oh, ya! Kapan Ibu pulang, Alif nanyain terus….”

“Besok. Dengan penerbangan paling pagi.”

Pandu pun menutup teleponnya.

Selesai menyerahkan laporan kursus pada ketua jurusan, aku buru-buru menuju Jalan Solo, menemui Mas Ton. Aku berharap pula bisa bertemu dengan Dokter Wahyu untuk mendengar analisis medisnya terhadap perkembangan mental Mas Ton. Satu paket hadiah khusus dari Jakarta, sudah kupersiapkan pula untuk dokter itu. Bagaimanapun, aku merasa berutang budi padanya. Dia sudah banyak membesarkan hatiku.

Waktu yang kutempuh untuk sampai ke sana tidak kurang dari sepuluh menit. Jalan Solo lebih sepi dari biasanya, memudahkanku untuk meluncur dengan kecepatan lumayan tinggi. Yogya memang begini, setiap pertengahan Agustus, saat liburan semester genap, kota tua ini terlihat sepi. Banyak mahasiswa perantauan yang pulang, sehingga kepadatan penduduknya berkurang hampir… setengahnya!

“Bu Frida?” kehadiranku siang itu rupanya mengejutkan Dokter Wahyu. “Katanya Anda ke Jakarta?”

Aku tersenyum. Pasti dia tahu dari anak-anak.

“Ya, saya dinas kursus selama hampir satu bulan,” aku menjelaskan. “Bagaimana keadaan suami saya, Dokter? Ada perkembangan?”

“Banyak sekali kemajuan yang sudah dicapainya,” sorot matanya berbinar. Dia tampaknya menyimpan banyak berita baik untukku. “Pak Tono sangat menyukai terapi musik rupanya. Sehingga, setiap kali diadakan terapi musik, perasaannya jauh lebih relaks, dan ia banyak bercerita tentang dirinya….”

“Dia pintar bermain piano dan suka musik klasik, Dok,” potongku cepat.

“Oh, begitu?“ Dokter Wahyu tampaknya menemukan kunci jawabannya. “Kelihatannya kami sudah menemukan terapi yang paling cocok untuknya. Melihat perkembangannya sekarang, saya yakin, dalam kurun waktu kurang dari dua bulan, kesehatannya sudah akan pulih kembali.”

Angin sejuk meniup-niup seluruh tubuhku. Dan, untuk kali pertama, dalam waktu delapan bulan terakhir ini, aku merasakan kelegaan yang dalam. Hamparan rerumputan hijau yang mahaluas terbentang di depan mataku. Sangat menyejukkan.

Maka, dengan perasaan tidak sabar, aku menemui Mas Ton. Dia berada di taman samping, sedang membaca koran. Sepintas melihatnya, dia tak banyak berubah. Buktinya, dia tidak begitu antusias melihat kehadiranku. Dia lebih tertarik pada bacaannya.

Apakah Dokter Wahyu hanya membesar-besarkan perubahan kecil yang dialami Mas Ton? Apakah psikiater itu hanya memberikan harapan berlebihan padaku? Lalu, bagaimana dengan cerita Pandu waktu itu, apakah sekadar kebohongan saja? Angin sejuk itu cuma sekadar angin surga….

Kusodorkan satu per satu makanan yang kubawa dari rumah, tapi yang disentuhnya hanya sepotong donat dan jus mangga kesukaannya.

“Perekonomian kita sekarang benar-benar memprihatinkan, ya, Dik,” itulah ucapan pertamanya setelah lima menit pertemuan kami. Sambutan seperti ini sama sekali tidak kuharapkan. Tidakkah dia sadar, hampir satu bulan kami tidak bertemu?

“Apa kabar, Mas?” dengan ‘sindiran halus’ aku mencoba mengingatkannya, bahwa kami sudah lama tidak bertemu. Nah, rupanya barulah dia menyadari bahwa aku sudah lama hilang dari pandangannya selama ini!

“Baik, Dik. Baik. Bagaimana kabarmu? Pandu cerita, kamu kursus di Jakarta,” dia menyingkirkan koran yang dibacanya.

Ya, Tuhan. Apa yang dituturkan Pandu dan Dokter Wahyu kepadaku bukanlah sekadar omong kosong belaka. It’s amazing!

Ya, saya baru pulang tiga jam yang lalu, dan langsung ke sini. Saya Mas Ton….” Wajahnya memerah mendengar ucapanku yang spontan. Dia kelihatan salah tingkah ketika membetulkan letak kacamatanya.

Duh, Mas! Kita bukan anak kemarin sore lagi yang baru bertemu! Kau dan aku sudah sepuluh tahun hidup bersama….

Pandu bilang, kamu akan ke Australia, benar?”

Dia lupa, aku juga pernah bercerita langsung kepadanya tentang hal itu.

“Ya, Mas. Kalau kamu mengizinkan….”

Dia menatapku. Kami bertatapan lama sekali.

“Prestasi kerjamu hebat, Dik. Loncatannya begitu tinggi!“ pujiannya bernada sendu. Di tengah keharuan, aku tersenyum.

“Mas Ton lebih hebat lagi, jika akhirnya bisa mengatasi situasi ini,” aku balik memujinya. Tampaknya tema pertemuan kami hari ini adalah saling memberikan pujian dan semangat! Aku tersenyum dengan perasaan lega.

“Lama kita tidak bicara seperti ini, ya, Dik?” rupanya Mas Ton merasakan hal yang sama. Ya, ya. Seolah sudah ribuan tahun lamanya…. Dan, apakah ia juga sadar, bahwa kami sudah lama tidak bersentuhan satu sama lain?

Seperti mengerti keinginanku, Mas Ton menyentuh tanganku. Sentuhan yang lembut dan hangat itu begitu berarti bagiku! Saat itu juga kupastikan, bahwa aku harus mengurus surat-surat keberangkatanku secepat mungkin!

No comments: