12.22.2010

Cinta Kala Senja

Lana tercenung memandangi cincin berlian yang terpasang indah di jari manisnya. Perlahan dilepaskannya cincin itu. Namun, hanya dalam beberapa detik dikenakannya kembali. Baru empat bulan yang lalu dia mengenal Surya. Hanya dalam waktu sesingkat itu pula dia menerima lamaran Surya untuk menikah dengannya.

Seandainya saja dulu dia menolak lamaran itu.

Tapi, saat itu Lana memang tidak menahan keinginannya untuk segera menikah. Usianya sudah tiga puluh tujuh. Sampai usia setua itu, Tuhan belum juga memberikannya jodoh. Ketika cinta datang, Lana tidak kuasa menolak.
Namun, kini dia menyesal. Seandainya saja dulu dia tidak bertemu dengan Surya. Seandainya dulu dia tidak ketinggalan pesawat.

“Ibu, di mana sekarang, Bu ?” suara Fero terdengar panik.

Hanya kurang dari satu jam lagi pesawat akan berangkat. Namun, tidak dilihatnya Lana di sana. Bahkan, Lana tidak memberikan kabar sedikit pun. Berkali-kali dia mengecek jadwal penerbangannya. Tapi, tidak ada yang salah dengan itu. Tanggal, jam, nomor pesawat, bahkan ruang tunggu, semuanya itu sudah sesuai dengan jadwalnya.

Lana, yang baru saja terbangun karena bunyi telepon dari asistennya itu, langsung melonjak kaget sampai kepalanya terasa sakit, saat menyadari bahwa seharusnya dia sudah berada di bandara sekarang. Otaknya langsung berputar cepat. Dia berdehem.

“Fer, baru saja saya ada urusan mendadak sekali. Sorry, saya nggak sempat mengabari kamu. Kamu berangkat dulu, saya menyusul di penerbangan selanjutnya, oke?” Lana berusaha keras agar Fero tidak menangkap suaranya yang baru bangun tidur.

“Hmm, oke…,” Fero menyahut dengan bingung.

Tidak seperti bosnya yang biasa. Apa yang terjadi pada Lana? Seingatnya, Lana selalu merencanakan segala sesuatunya dengan sangat matang. Setahunya, bosnya itu paling tidak bisa menoleransi perubahan rencana di detik terakhir. Lagi pula, ada urusan mendadak apa di pagi buta seperti ini?

“Saya akan segera memberi kabar pada Amy tentang perubahan jadwal kita dan saya akan minta bantuan dia untuk mengaturkan segala sesuatunya untuk kamu,” kata Lana, dengan suara semantap biasanya. “Kamu cek sekali lagi sampel yang akan kita bawa meeting. Pastikan semuanya tidak ada yang tertinggal. Oke, Fer?”

“Oke…,” suara Fero terdengar mengambang.

Tiba-tiba saja dia merasa mulas. Perjalanan ini akan menjadi mimpi buruk baginya. Ini perjalanan dinasnya yang pertama ke London, dan dia harus mengawali semuanya sendirian? Tidak ada satu orang pun yang dikenalnya di sana, bahkan Amy yang bertugas menjemputnya di bandara. Dia hanya pernah berbicara beberapa kali dengan Amy di telepon dan melakukan kontak lewat e-mail, tapi mereka belum pernah bertemu. Fero juga sama sekali tidak tahu, seperti apa wajah orang yang akan menjemputnya itu. Tapi, tanpa diberi tahu pun Fero sudah tahu, untuk hal ini bosnya tidak akan mengizinkannya untuk berkata ‘tidak bisa’.

Saat itu Fero sama sekali tidak tahu, bahwa di sebuah kamar apartemen sejauh lima puluh kilometer dari Bandara Soekarno Hatta, Lana yang masih mengenakan baju tidurnya bergerak panik, sambil memaki-maki dirinya sendiri karena terlambat bangun. Dia buru-buru menelepon Amy, wanita muda cerdas berkebangsaan Jepang yang akan menjadi rekan kerjanya selama di London nanti. Dengan cepat ia memberi kabar bahwa dia akan datang terlambat. Kemudian, dia juga segera menelepon petugas bandara, sambil dalam hati berdoa agar hari ini masih ada penerbangan lain ke London.

Lana merasa kepalanya berdenyut. Sampai pukul empat pagi dia tidak bisa memejamkan matanya. Sudah beberapa minggu ini dia menderita insomnia, tanpa tahu penyebabnya. Dia jatuh tertidur beberapa saat setelah memutuskan untuk tidak tidur sama sekali, mengurangi risiko bahwa dia akan terlambat bangun, karena pesawatnya akan berangkat pada pukul tujuh pagi. Namun, tidak seperti biasanya, begitu nyenyaknya dia tertidur, sampai-sampai tidak didengarnya suara alarm jam wekernya.

Lana tertinggal pesawat untuk pertama kali dalam hidupnya.

Ia menghela napas lega, saat petugas bandara mengatakan bahwa hari itu masih ada satu lagi penerbangan ke London. Beruntung, masih ada kursi kosong, meskipun dia harus mengalami keterlambatan 10 jam dari jadwalnya semula. Dia pun harus merogoh koceknya sendiri untuk itu, karena satu-satunya kursi yang tersisa hanyalah kursi di kelas satu.

Hari sudah hampir senja, ketika Lana melangkahkan kakinya di bandara. Seperti langkahnya yang biasa, dia berjalan dengan cepat, sambil menarik koper kecilnya. Koper yang berisi kerja kerasnya selama satu bulan ini untuk pertemuannya dengan kliennya di London.

Sementara menunggu, Lana mengeluarkan notebook dari dalam tas kecilnya. Dipelajarinya sekali lagi bahan yang akan dipresentasikannya pada meeting nanti. Dipastikannya sekali lagi, tidak ada satu barang pun yang tertinggal.
Seharusnya tidak akan ada masalah, ujarnya dalam hati. Tidak boleh ada kesalahan. Sedikit pun tidak boleh. Dia sudah mempersiapkan dirinya dari jauh-jauh hari untuk meeting ini dan dia tidak boleh gagal.

Kondisi pabrik garmen yang dipegangnya sudah di ujung tanduk. Perusahaannya benar-benar akan terjatuh, jika dia tidak berhasil mendapatkan order pada meeting kali ini.

Lana mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruang tunggu. Ternyata, bukan hanya dia yang melakukan perjalanan ini sendirian. Dilihat dari pakaian yang dikenakan, mungkin kebanyakan dari mereka melakukan perjalanan ini untuk bisnis, termasuk pria yang tertidur yang duduk di sampingnya. Di pangkuannya tergenggam erat sebuah tas kerja dan sebuah jas.

Pria itu masih tertidur, ketika panggilan masuk ke pesawat sudah berulang kali terdengar.

Dalam kondisi biasa Lana akan membiarkan saja pria itu tertidur. Pria itu, toh, bukan urusannya. Dan lagi, sudah pasti nanti akan ada petugas bandara yang membangunkannya.

Namun, simpatinya muncul, mengingat kejadian yang dialaminya tadi pagi. Lana pun menghampiri pria itu.

Pria itu langsung tersentak bangun, saat Lana menepuk lengannya.

“Pesawatnya sudah datang, Pak.” Lana tidak dapat menyembunyikan senyumnya melihat wajah bingung pria itu.

“Ah, ya, ya. Saya ketiduran. Terima kasih, terima kasih.” Pria itu tertawa kecil, sambil buru-buru berdiri dan membereskan barang-barangnya. “Silakan,” dengan sopan pria itu mempersilakan Lana jalan duluan.

Lana mengempaskan tubuhnya di kursi kelas satu yang besar dan nyaman. Merupakan suatu kebetulan belaka bahwa pria yang tadi dibangunkan olehnya ternyata duduk di kursi sebelah kirinya. Pria itu menyunggingkan senyum, seraya menganggukkan kepalanya.

“Perjalanan bisnis ?” katanya, ramah.

“Ya,” sahut Lana singkat, sambil mengangguk.

“Sendirian?” tanya pria itu. Lana tersenyum. “Seharusnya saya berdua bersama asisten saya untuk penerbangan pagi tadi. Tapi, saya ada urusan penting, jadi terpaksa saya naik penerbangan selanjutnya.”

Pria yang menarik, pikir Lana. Tapi, dia sama sekali tidak berminat untuk melanjutkan percakapan.

Lana membuka tas tangannya dan mengeluarkan sebuah novel tebal, berharap pria itu menangkap isyaratnya bahwa ia tidak mau diganggu. Lagi pula, dilihat dari penampilannya, kelihatannya pria itu sudah berkeluarga, meskipun sekilas Lana tidak melihat ada cincin di jari manisnya.

“Saya Surya,” pria itu mengulurkan tangannya.

Lana menahan keinginannya untuk mendelik kepada pria yang bernama Surya itu. Memang apa pedulinya kalau dia adalah Surya? Tapi, demi menjaga kesopanan, Lana membalas uluran tangannya.

“Lana,” sahutnya, singkat.

Perkenalan yang menyebalkan, pikir Lana. Dilihat dari segi umur, mereka sama-sama bukan lagi anak muda yang dengan mudahnya berkenalan, lalu saling bertukar nomor telepon. Lana menebak, usia Surya pasti tidak lebih muda dari dirinya.

“Profesi Anda, kalau boleh saya tahu?” tanya Surya.

Lana menatap pria itu tanpa tersenyum.

“Marketing,” jawabnya, datar. “Saya mengepalai divisi marketing.”

Surya mengangkat alisnya. “Cukup menarik,” sahutnya, singkat.

“Nah, saya tidak akan mengganggu waktu baca Anda. Terima kasih sekali lagi sudah membangunkan saya waktu di bandara tadi,” kata Surya masih tersenyum, mengakhiri pembicaraannya.

Lana membalas senyumnya dengan sopan.

Pria yang aneh, pikirnya sambil meneruskan membaca. Lana menduga pria itu akan kembali mengajaknya bicara lagi. Menit demi menit berlalu, Lana justru merasa aneh, karena sama sekali tidak ada tanda-tanda Surya akan kembali mengajaknya bicara. Tersinggungkah dia? Diam-diam Lana memberanikan diri untuk melirik ke samping kirinya secara perlahan sekali. Lana tidak mau Surya tahu bahwa dia sedang melirik ke arahnya.

Ternyata Surya sedang melamun. Entah apa yang sedang dipikirkannya, tapi Lana bisa melihat dengan jelas bahwa matanya yang kosong menatap lurus ke depan.

Wanita memang aneh. Itulah yang dirasakan oleh Lana saat itu.

Lana merasa sebal ketika Surya tidak henti-hentinya bertanya padanya. Entah apa yang membuatnya sebal, padahal pria itu hanya berusaha mengajaknya mengobrol, dan Lana justru merasa sedikit menyesal dan kehilangan, sewaktu Surya berhenti mengajaknya berbicara.

Seharusnya dia bisa bersikap sedikit saja lebih ramah.

Setibanya di bandara, seperti biasa Lana berjalan bergegas di antara orang-orang yang berjalan sama cepatnya dengan dirinya.

“Lana,” panggil Surya, yang kini berjalan di sampingnya.

“Ya?” Lana menoleh pada pria itu, menyunggingkan senyuman basa-basi tanpa memperlambat langkahnya.

“Senang berkenalan dengan Anda. Saya harap kita bisa bertemu lagi,” kata Surya, tersenyum.

Hati Lana berdesir. Seperti ada sesuatu yang menggelitik perutnya. Apa yang terjadi dengannya? Terakhir kalinya dia merasakan perasaan yang sama adalah ketika dia duduk di bangku kuliah. Sudah puluhan tahun berlalu sejak Lana menutup dirinya untuk sesuatu yang bernama cinta.

Lana balas tersenyum dengan sopan, sambil menganggukkan kepalanya sedikit. Namun, dia tidak mengatakan apa-apa sampai pria itu melambaikan tangannya dan menjauh.

Lana mengencangkan syal yang dikenakan di lehernya. Hidungnya dingin sampai terasa sakit. Dia tidak pernah suka dengan udara dingin. Apalagi, di bulan November seperti ini. Lana mendorong trolley-nya sambil mencari-cari Amy di antara kerumunan orang di gerbang kedatangan. Senyumnya langsung mengembang, saat dilihatnya Amy bersama Fero sudah menunggunya di sana.

Dengan senyum lebar Lana melambaikan tangannya dan cepat-cepat menghampiri mereka berdua.

“Hai, Amy. Apa kabar ?” sapa Lana.

Mereka berdua langsung berjabatan tangan dengan hangat.

“Baik, terima kasih. Senang bertemu dengan Anda. Perjalanan Anda menyenangkan, tentunya,” sahut Amy ramah.

Lana sudah tidak lagi menangkap logat Asia dalam suara Amy. Logat Inggris-nya sudah jauh lebih ‘Inggris’ dibandingkan ketika setahun yang lalu terakhir mereka bertemu.

“Maaf sekali saya terlambat. Ada urusan penting sekali yang tidak bisa saya tinggalkan,” kata Lana menyesal.
“Saya bisa mengerti,” Amy tersenyum, mempersilakan Lana untuk jalan lebih dulu.

Barulah Lana berpaling kepada Fero.

“Sejauh ini semuanya lancar?” tanyanya pelan dalam bahasa Indonesia, dengan nada suara tegas seperti biasanya.

“Kecuali undangan makan nanti malam, sejauh ini belum ada pembicaraan apa-apa tentang pekerjaan, Bu. Semuanya dimulai besok sesuai dengan rencana kita, ” Fero menjelaskan.

Lana mengangguk-angguk. Untung saja keterlambatannya tidak berakibat buruk pada pertemuan kali ini.

“Tidak ada masalah dengan sampel yang kita bawa?” tanya Lana lagi.

“Bisa saya pastikan semuanya tidak ada masalah,” sahut Fero.

“Oke,” Lana mengangguk sekali lagi. “Berapa perusahaan dari Indonesia yang akan datang nanti?”

“Mungkin sekitar sembilan perusahaan. Yang pasti, enam di antaranya datang dari Bandung dan Jakarta.”
Lana mengangkat alisnya. “Lebih banyak dibandingkan setengah tahun yang lalu.”

Lana mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Baru sepuluh menit lagi meeting akan dimulai, tapi semua tamu sudah hadir. Lana sudah mengenal beberapa orang di antara tamu tersebut pada pertemuan-pertemuan sebelumnya. Dulu mereka akan bersaing mati-matian untuk mendapatkan order dari pihak Inggris sebagai pihak pembeli. Lana terkejut saat melihat pria berkemeja putih yang duduk cukup jauh dari tempatnya duduk. Pria yang dikenalnya di pesawat kemarin sore. Surya.

Pada detik yang sama, pria itu juga kebetulan tengah memandang ke arah Lana. Dia tampak terkejut, namun kemudian senyumnya melebar dan dia melambaikan tangannya. Dengan kaku Lana membalas lambaian tangannya.

Sungguh di luar dugaannya dia akan bertemu lagi dengan pria itu. Terlebih, pria itu ternyata adalah salah satu saingan besarnya.

“Saya tidak lama, Pak. Tunggu saya di mobil saja,” kata Lana kepada sopirnya, sembari keluar dari mobil.

“Ya, Bu,” sahut sopirnya, menurut.

Lana berjalan melewati halaman rumah yang asri ditumbuhi berbagai macam pepohonan. Halaman yang telah dirawat oleh tangan apik ibunya sejak belasan tahun yang lalu.

Lana menekan bel. Seharusnya pada pukul segini ibunya belum tidur.

Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat dan membuka pintu.

“Saya sudah pulang, Bu,” sapa Lana segera saat ibunya membukakan pintu.

“Sudah pulang, tho, Lana? Kapan sampai ke Jakarta?” sambut wanita itu antusias, langsung memeluk Lana.

Lana balas memeluk ibunya dengan hangat.

“Kemarin malam, Bu. Saya baru sempat ke sini sekarang,” Lana tersenyum. “Ini, saya bawakan oleh-oleh buat Ibu.” Lana menyodorkan sebuah kantong besar yang dibawanya, yang disambut oleh ibunya dengan gembira.

“Banyak sekali, Lan. Lain kali sebaiknya tidak usahlah bawa oleh-oleh sebanyak ini. Ibu ini sudah tua, sudah tidak perlu banyak barang,” sahut ibunya, saat melihat isi kantong dari Lana. “Kamu ini, pergi-pergi ke luar negeri terus. Ibu sebenarnya suka khawatir,” kata ibunya, yang dengan sayang membelai rambut putrinya.

Lana tersenyum, membimbing ibunya duduk di sofa.

“Urusan penting di kantor, Bu.”

“Tapi, Ibu kadang-kadang khawatir. Apalagi, kalau Ibu sering dengar pesawat ini jatuh, pesawat itu jatuh. Ya, ampun, Ibu suka takut ada apa-apa dengan kamu, Lan.”

Lana tertawa kecil, “Tenang saja, Bu. Tuhan masih melindungi saya sampai sekarang.”

Ibunya kemudian menatap Lana dengan serius.

“Kamu cepatlah menikah, Lan. Ibu sudah tua, ingin sekali melihat kamu menikah, lalu punya anak. Jangan pergi-pergi terus, tho, Nak. Biar suami kamu yang banyak pergi, cari uang buat kamu dan anak-anak,” katanya, perlahan.

Lana mengalihkan pandangannya ke vas bunga yang berisi bunga plastik berwarna-warni di atas meja. Dia paling tidak suka, jika ibunya sudah membahas topik ini. Tapi, demi menjaga perasaan ibunya, Lana hanya dapat tersenyum, meskipun hatinya sedikit merasa dongkol.

“Pernikahan bukan segalanya, Bu. Ibu lihat saja, banyak pasangan menikah kemudian cerai. Banyak ibu muda yang terpaksa harus hidup susah karena ditinggal suaminya,” katanya, tenang. “Lagi pula, Tuhan belum memberi saya jodoh, Bu.”

Lana tidak sanggup menatap mata ibunya. Dia tahu, saat ini mata tua ibunya sedang menatapnya dengan pandangan berharap.

Sekilas pikiran Lana tanpa sadar melayang pada Surya, pria yang dikenalnya di London.

Pria itu pernah mengajaknya makan malam satu kali pada saat mereka masih di London. Sejauh yang Lana ketahui tentang Surya, salah satu yang paling penting adalah bahwa pria itu belum pernah menikah.
Lana buru-buru menepis bayangan pria itu dari dalam pikirannya. Tiba-tiba saja Lana merasa malu pada dirinya sendiri. Hanya satu kali makan malam saja, dan Lana sudah berani membayangkan pria itu sebagai calon suaminya? Rasanya aneh.

Lana membenahi tas kerja di atas pangkuannya.

“Sudah malam, Bu, saya harus pulang. Besok pagi-pagi sekali saya harus ke kantor. Lagi pula, Ibu sendiri harus banyak istirahat. Jangan tidur malam-malam, Bu.” Lana menggenggam tangan ibunya.

“Menginap saja di sini, Lan. Ibu masih kangen,” pinta ibunya.

Lana tersenyum.

“Saya tidak bawa baju untuk ke kantor besok, Bu. Lagi pula, jarak ke kantor saya dari sini terlalu jauh. Masa saya harus berangkat subuh?” Lana menepuk punggung tangan ibunya lembut.

Ibunya mengangguk-angguk. “Sering-sering ke sini, Lan. Kamu makin jarang datang ke sini.”

Lana mengangguk.

“Kalau pekerjaan saya nggak terlalu banyak, saya pasti ke sini, Bu.”

“Ya, sudah, hati-hati di jalan, Nak.” Ibunya mengecup kedua pipi anaknya itu.

Lana melambaikan tangan, kemudian membuka pintu belakang mobilnya. Sopirnya masih menunggu di sana. Sekali lagi Lana melambaikan tangannya, baru kemudian masuk ke dalam mobil.

“Langsung pulang, Pak,” kata Lana.

“Ya, Bu,” sahut sopirnya.

Perlahan mobil menjauh. Lana memandangi bangunan tua yang sudah ditinggali ibunya selama lebih dari dua puluh tahun itu. Kecuali warna cat yang sudah dirombak sana-sini dan halaman yang sudah beberapa kali dimodifikasi, bentuk dan susunan bangunan itu masih sama seperti puluhan tahun yang lalu, saat dia masih remaja.

Berbeda dari ibunya yang terus setia menetap di sana, Lana lebih memilih untuk menjauh, meninggalkan semua kenangan pahit masa remajanya di sana.

Usianya hampir tujuh belas tahun saat itu, saat beberapa polisi datang ke rumahnya, dengan hanya menunjukkan surat perintah menggeledah seluruh rumahnya seenaknya. Ruang tamu, kamar tidur, kamar mandi, bahkan dapur, semuanya digeledah. Lana histeris saat polisi mengacak-acak lemari pakaiannya dan lemari bukunya. Tak ada seorang pun yang peduli atau kasihan terhadapnya.

Di rumah hanya ada dia dan ibunya. Mereka memandangi polisi-polisi yang sedang bertugas itu dengan terpukul. Tapi, yang membuat mereka lebih terpukul lagi adalah laporan bahwa ayah Lana diduga telah menggelapkan uang perusahaan tempatnya bekerja dalam jumlah besar. Mereka hanya dapat menangis, saat polisi-polisi itu meninggalkan rumah tanpa mendapatkan barang bukti apa-apa.

Ayahnya pergi entah ke mana, meninggalkan mereka tanpa sedikit pun kabar berita dengan status sebagai seorang buronan polisi. Masih beruntung Lana dan ibunya bebas dari segala tuduhan dan tuntutan dari pihak perusahaan. Namun, kepergian pria itu membuat mereka harus berjuang ekstra keras untuk bisa bertahan hidup.

Ibunya yang tidak terbiasa bekerja, terpaksa bekerja sebagai seorang babysitter, karena hanya itulah kesempatan yang dia miliki untuk dapat tetap menyekolahkan Lana. Satu per satu sanak keluarga mereka mulai menjauh, meninggalkan mereka, karena tidak tahan menerima gunjingan mengenai aib yang dilakukan ayahnya. Ibunya benar-benar harus berjuang sendirian.

Ibunya tetap berusaha terlihat tegar. Namun, tak jarang Lana mendengarnya menangis. Yang bisa dilakukannya hanyalah menghampiri ibunya itu diam-diam dan memeluknya erat.

Dua tahun berlalu tanpa kabar dari ayahnya. Saat itu Lana sudah menginjak bangku kuliah. Ibunya bersikeras bahwa Lana harus sekolah tinggi, meskipun dia harus bekerja banting tulang dengan pinjaman dari sana-sini untuk dapat menghidupi biaya mereka berdua.

Dari polisi, Lana mendengar kabar bahwa ayahnya sudah kabur ke Filipina. Ada juga kabar bahwa ayahnya masih berada di Indonesia, namun entah di mana. Lana tidak peduli lagi dengan nasib ayahnya.

Menginjak tahun pertama kuliahnya, Lana mulai menjalin cinta dengan seorang pemuda, anak seorang pemilik toko kelontong kecil. Rudy, yang berusia empat tahun di atas Lana, sama sekali tidak mempermasalahkan status sosial Lana. Namun, seperti yang telah diduga oleh Lana sebelumnya, orang tua Rudy tidak mau menerima Lana sebagai calon menantunya, meskipun mereka sendiri merupakan keluarga dari status ekonomi yang biasa-biasa saja.

Lana selalu mempersiapkan diri untuk menerima kenyataan apa pun. Dia bahkan bisa mengerti penolakan yang didapatnya dari pihak keluarga Rudy. Orang tua mana yang mau memiliki seorang menantu yang status keluarganya tidak jelas seperti dirinya?

Namun, kadangkala tetap saja dia merasa sakit hati. Bagaimanapun, bukan dia yang bersalah. Bukan maunya dilahirkan dari keluarga yang bermasalah. Dia terpaksa harus menanggung kesalahan yang telah dilakukan oleh ayahnya.

“Aku tidak mau menyerah begitu saja. Yang berpacaran sama kamu kan aku, bukan orang tuaku,” cetus Rudy.
Lana hanya tersenyum seraya menggeleng perlahan, sementara angin menerbangkan rambutnya yang panjang terurai.

“Aku tidak mau berpacaran tanpa restu. Bagaimana mau menikah, kalau berpacaran saja tidak diizinkan?” katanya, lembut.

“Kita kawin lari kalau perlu,” kata Rudy. Matanya bersorot antusias.

Lana tertawa kecil.

“Kita mau kasih makan apa anak-anak kita? Aku masih kuliah, ka­mu sendiri masih bekerja di bawah orang tua kamu. Tidak mungkin, Rud.” Lana menyentuh pipi Rudy perlahan. “Aku tidak mau hidupku terus-menerus dikejar rasa bersalah. Aku juga tidak mau hubungan kamu dengan orang tua kamu rusak cuma gara-gara aku.”

“Kenapa, sih, sedikit pun kamu tidak mau membelaku? Toh, itu buat kepentingan kita berdua. Apa kamu benar-benar tidak ada keinginan untuk memperjuangkannya lagi?” tanya Rudy, lirih.

Lana menggeleng mantap.

“Cinta kadang-kadang butuh pengorbanan, Rud. Aku juga tidak mau harga diriku yang sudah dirusak oleh ayahku, tambah hancur cuma gara-gara keegoisanku.”

Rudi tidak membantah lagi. Sore itu, di keremangan senja yang mulai meredup, Lana melangkah pergi dengan mantap, meninggalkan Rudy yang masih terpaku, tanpa mampu melakukan apa-apa.

Ibunya hanya bisa ikut menangis pedih, saat Lana pulang ke rumah dengan berurai air mata. Tidak ada yang dapat diperbuatnya selain memeluk Lana erat-erat, berharap dia bisa menyalurkan kekuatan untuk putrinya itu.

Pengalaman bersama Rudy adalah perjalanan terakhir Lana terhadap cinta. Pintu hatinya sama sekali tertutup untuk pria mana pun dan dari kalangan mana pun. Hidupnya hanya untuk belajar dan belajar, sampai akhirnya Lana lulus sebagai mahasiswa terbaik di kampusnya.

Dengan mudah dia mendapatkan pekerjaan di sebuah industri garmen. Perlahan kondisi ekonomi keluarganya membaik.

Namun, kepahitan hidup yang harus dijalaninya ikut membuat karakter Lana berubah. Dia bukan hanya berlaku keras pada orang lain, namun juga pada dirinya sendiri. Target yang dipasangnya selalu tinggi dan dia juga tidak urung menghukum dirinya sendiri, jika dia melakukan kesalahan.

Tujuan hidupnya hanya satu, membahagiakan ibunya.

Wajahnya yang biasanya memancarkan sinar ramah kepada semua orang, tergantikan dengan otot wajah yang selalu tegang dan cemberut. Tumpukan lemak di tubuhnya yang secara perlahan kian bertambah, membuatnya tampak tidak menarik dan terlihat lebih tua daripada usia yang sebenarnya.

Dalam waktu dua tahun saja Lana berhasil menyandang gelar seba­gai manajer terbaik, sekaligus yang paling keras di perusahaan itu.

Dari rumah kecil sewaan, yang dikontraknya dengan alasan supaya dekat dengan kantor, Lana pindah ke sebuah apartemen mewah. Sudah beberapa kali dia membujuk ibunya agar ikut pindah bersamanya. Namun, ibunya selalu saja menolak. Dia tidak mau meninggalkan rumah yang menjadi satu-satunya peninggalan da­ri suaminya.

Namun, Lana tahu, satu-satunya alasan mengapa ibunya enggan untuk meninggalkan rumahnya yang sekarang. Lana tahu bahwa ibunya itu masih mengharapkan suatu hari suaminya akan pulang kembali padanya.

Pada tahun ketujuhnya di perusahaan tersebut, Lana diangkat menjadi direktur untuk divisi marketing, menggantikan direktur sebelumnya yang naik jabatan sebagai wakil direktur utama. Dalam waktu tujuh tahun saja Lana berhasil meraih gelar wanita terhebat sepanjang sejarah perusahaan, sekaligus gelar wanita paling menyebalkan, paling tidak sabaran dan paling pemarah, yang pernah dimiliki oleh perusahaan tersebut.

Lana bukannya tidak tahu gunjingan-gunjingan yang dilontarkan oleh para karyawan. Dia bahkan pernah secara tidak sengaja mendengar seorang stafnya, sambil tertawa kecil berkata kepada temannya, ”Maklum saja, deh, dia marah-marah kayak gitu. Perawan tua, sih, nggak ada pelampiasan.”

Lana selalu berusaha untuk menutup mata dan telinganya untuk hal-hal seperti itu. Namun, terkadang tak urung hati kecilnya berkata lain.

Bertahun-tahun lamanya sudah dia hidup tanpa cinta. Tidak ada yang dicintainya selain ibunya dan pekerjaannya. Jabatan seba­gai direktur, uang, mobil mewah, apartemen mewah, semua impiannya sudah berhasil diraihnya, kecuali satu hal, cinta dari pasangan hidupnya.

Jauh dalam lubuk hatinya, Lana bisa merasakan perasaan kesepiannya. Terutama, ketika dilihatnya satu per satu stafnya menikah dan melahirkan anak dalam usia yang jauh lebih muda.

Lana tahu, kesempatannya sudah lama lewat. Usianya merambat naik, seiring perubahan fisik yang membuatnya makin tidak menarik. Lana pernah mendengar pepatah bahwa wanita hanya memiliki satu pilihan dalam hidupnya: karier atau keluarga.

Dia hanya memiliki satu pilihan. Dan Lana sudah menentukan pilihan hidupnya.

Lana memotong wortel di tangannya tipis-tipis.

“Sudah bertahun-tahun saya tidak pernah bantu Ibu masak.”

Ibunya tersenyum. “Zaman Ibu seumur kamu, Ibu sudah jago masak,” katanya. “Wanita zaman sekarang, mengupas kentang saja lama sekali.”

Lana tertawa kecil.

“Wanita zaman sekarang tuntutannya juga kan lebih tinggi, Bu. Zaman dulu wanita tidak usah kerja. Cukup mengurus dapur dan anak-anak. Tapi, zaman sekarang, kalau wanita tidak kerja, mau makan apa? Lagi pula, sayang juga kan capek-capek sekolah tinggi, mahal, tapi tidak dipakai.”

“Ibu tidak berniat meminta kamu berhenti kerja. Yang penting, kamu jangan terlalu sering makan di luar, Lan. Tidak baik untuk kesehatan,” kata ibunya. Dengan cekatan dimasukkannya bahan-bahan masakan ke dalam panci yang berisi air mendidih.

Lana tertawa dalam hati. Tanpa ibunya beri tahu pun, Lana sudah mengetahuinya sejak puluhan tahun yang lalu. Namun, Lana hanya mengiyakan saja nasihat dari ibunya itu.

Tanpa sadar mata Lana menangkap kilau yang terpancar dari jari manis kirinya. Hampir saja dia lupa tujuan utamanya ke sini.

Lana berhenti memotong-motong wortel. Dibalikkannya badannya, kemudian dia bersandar pada meja dapur.

“Bu,” dipanggilnya ibunya yang berdiri membelakanginya dengan jantung berdebar.

“Hmm?” gumam ibunya tanpa menoleh. Tangannya masih sibuk dengan sayur dan daging yang sedang diolahnya.

“Saya akan segera menikah, Bu,” kata Lana dengan nada sete­nang mungkin, menyembunyikan debar keras jantungnya.

Tangan ibunya langsung berhenti. Dia membalikkan badannya dengan cepat, menatap putrinya dengan terkejut. Lana mengangkat tangannya, memperlihatkan cincin di jari manis kirinya.

“Surya melamar saya kemarin,” katanya, tanpa mampu menahan senyum bahagianya.

Tanpa berkata apa-apa ibunya hanya menghampirinya, kemudian memeluknya erat.

“Akhirnya Tuhan menjawab doa Ibu. Tidak ada yang Ibu ingin­kan selain melihat kamu menikah,” katanya, terharu.
Perlahan dilepaskannya pelukannya, kemudian ditatapnya Lana dengan mata berkaca-kaca. Di bibirnya tersungging senyum lebar.

“Selamat, Sayang!” katanya, sambil membelai pipi putrinya dengan punggung tangannya.

Senyum Lana makin melebar.

Lana mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Diteleponnya Surya. Sudah sepuluh menit dia menunggu, namun Surya tak kunjung datang.

“Kamu di mana, Sur? Saya sudah sampai di apartemen kamu,” tanya Lana.

“Ya, ampun, sudah pukul delapan, ya? Saya baru keluar meeting. Oke, sekarang saya berangkat pulang. Kamu tunggu dulu saja di sana, ya.”

Lana melirik arlojinya. “Oke,” katanya.

Lana menutup ponselnya. Dinyalakannya televisi. Tidak ada satu pun channel yang menarik perhatiannya.
Dibukanya laci di rak bawah televisi, siapa tahu ada DVD yang bisa ditontonnya.

Tapi, tidak ada satu pun CD dalam laci tersebut. Yang ada hanyalah tumpukan kertas yang entah apa isinya. Namun, pandangan mata Lana tertarik pada satu tumpukan foto, yang berbaur dalam tumpukan kertas tersebut. Perlahan dikeluarkannya lembaran-lembaran foto tersebut.

Jantung Lana serasa hendak meloncat keluar, saat melihat gambar yang ada di tangannya saat itu. Hanya beberapa lembar foto, namun berhasil menguak semua rahasia yang selama ini ditutup rapat-rapat oleh calon suaminya itu.

Inilah jawaban mengapa sampai saat ini Surya tidak pernah bersedia menceritakan masa lalunya kepada Lana. Ini juga jawaban mengapa sampai saat ini belum pernah sekali pun Surya mengatakan cinta pada Lana. Mungkin Lana juga salah mengartikan sikap sopan Surya yang selama ini ditafsirkannya sebagai sikap seorang gentleman.
Belum pernah sekali pun Surya menciumnya. Bahkan, sampai mereka bertunangan.

Inilah yang menjadi jawaban dari semua kecurigaan yang sudah muncul sejak perkenalan pertama mereka, mengapa sampai saat ini Surya belum pernah menikah.

Foto pertama, foto saat Surya sedang tertawa lebar bersama dengan seorang pria yang terlihat lebih muda darinya. Mereka saling merangkul pundak.

Foto kedua, foto Surya masih bersama pria yang sama di sebuah daerah bersalju. Keduanya memakai baju ski lengkap dengan kacamata dan juga tongkat ski.

Foto ketiga, tidak ada Surya di sana. Hanya ada si pria misterius, yang sedang tersenyum, seperti sedang mengobrol dengan seseorang. Tampaknya, foto itu diambil tanpa sepengetahuan pria itu sendiri.

Siapa pria ini? Kelihatannya mereka begitu dekat. Namun, Lana belum pernah sekali pun bertemu dengan pria tersebut. Surya tidak pernah memperkenalkan mereka.

Foto lembar terakhir membuat Lana spontan merasa mual. Kelihatannya foto itu diambil oleh salah satu dari mereka sendiri, bukan oleh orang lain.

Foto Surya sedang berciuman dengan si pria misterius.

Lana melempar foto-foto tersebut dengan jijik. Kemudian dengan seluruh tubuh bergetar hebat Lana berlari ke luar.

Lana merasa seakan dunianya runtuh. Demi Tuhan, dia sedikit pun tidak menyangka hal seperti ini, kejadian yang dia pikir hanya akan terjadi di novel saja, akan terjadi pada dirinya. Hanya dalam hitungan detik seluruh hidup dan masa depannya seakan hancur. Hancur di tangan pria yang saat ini duduk di sampingnya.

Lana masih berharap Surya akan menyangkal bukti-bukti yang ditemukannya dan mengatakan itu adalah sebuah lelucon. Namun, pengakuan Surya membuatnya tidak mampu berharap apa-apa lagi.

Lana menatap Surya, seolah Surya adalah hantu. Namun, tiba-tiba Lana tertawa. Tertawa keras sampai matanya berair.

“Kamu hampir saja membuat saya pingsan dengan tipuan murahan kamu, Sur,” kata Lana, masih terbahak.

Surya hanya menatap Lana dengan bersalah.

“Lan…,” panggilnya, lirih.

Lana tidak berhenti tertawa. “Tanggal berapa sekarang? Apakah 1 April? Atau, kamu mau mengejutkan saya dengan April Mop versi kamu sendiri?” tanyanya, di sela tawanya.

Surya tidak menjawab. Dia hanya memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya.

Dari tatapan mata Surya, sebenarnya Lana tahu bahwa sejak tadi Surya bersungguh-sungguh dengan perkataannya. Semua kecurigaannya selama ini ternyata benar-benar beralasan, namun Lana sedikit pun tidak menyangka kenyataannya bisa seburuk ini. Ternyata, bukan karena ada wanita lain seperti yang selama ini diduganya, tapi karena ada pria lain di dalam hidup mereka.

Perlahan tawanya mereda, digantikan oleh suara tangis keras yang tidak bisa lagi ditahannya.

Surya tidak tahan lagi dengan pemandangan di depannya. Direngkuhnya bahu Lana perlahan. Namun, seperti tersengat listrik, Lana langsung mendorong Surya dengan kasar dan menamparnya keras.

“Jangan berani-berani sentuh saya!” teriaknya, sambil menjauh dari Surya.

Surya menundukkan kepala dengan putus asa. Kini, Lana bahkan jijik kepadanya.

“Lana… saya bisa menjelaskan.”

“Apa lagi yang mau kamu jelaskan? Bahwa selama ini kamu berusaha untuk hidup normal? Bahwa selama ini kamu selalu berusaha untuk mencintai saya, tapi tidak pernah berhasil?” teriak Lana, histeris. Dia kemudian menggelengkan kepalanya. “Saya tidak mungkin menikah dengan kamu. Saya tidak mau menikah dengan kamu!”

“Lana, jangan perlakukan saya begini. Saya mohon,” pinta Surya.

“Bagaimana kamu bisa menjelaskan tentang dirimu? Pria sejati yang tidak mampu mencintai wanita?” sindir Lana, tajam.

Surya tidak menjawab. Dia hanya menyandarkan kepalanya di sandaran sofa serta menghela napas. Dia sudah menduga reaksi Lana akan seperti itu. Tapi, tetap saja hatinya merasa sakit. Di matanya, Lana adalah seorang wanita hebat yang pantas untuk dikagumi oleh siapa pun. Dia sangat menyukai Lana, sejak awal dia mengenalnya. Dan, dia bisa melihat bahwa ada sesuatu yang istimewa dari dalam diri Lana. Tapi, bagaimanapun dia berusaha, dia tidak pernah mampu untuk mencintai Lana sebagai seorang wanita.

Semua yang dikatakan oleh terapisnya seolah hanya omong kosong belaka. Tidak ada satu pun yang berhasil mengubahnya menjadi pria normal. Kunjungan demi kunjungan dengan hitungan tarif per detik dilaluinya tanpa hasil. Tidak ada yang dilakukan oleh para terapisnya selain menguak pintu masa kecilnya yang suram dan menyakitkan.

Surya membuka matanya. Tidak didengarnya lagi isakan tangis Lana. Diam-diam diliriknya wanita itu. Ternyata wanita itu hanya duduk tegak, sibuk menyusut mata dan hidungnya.

“Lana…,” Surya memberanikan diri membuka percakapan.

“Keluar,” kata Lana datar dan tenang. Surya terenyak mendengar betapa dinginnya suara Lana. Ketenangan yang menakutkan.

“Lana, please….”

“Saya bilang, keluar dari rumah saya!” bentak Lana.

“Beri saya kesempatan menjelaskan padamu,” Surya memohon.

Lana menggelengkan kepalanya keras-keras.

“Saya tidak butuh penjelasan kamu! Saya cuma ingin kamu keluar dari rumah saya dan jangan pernah menginjakkan kaki kamu lagi di sini,” kata Lana dengan geram, menyilangkan kedua tangannya di dada dengan sikap angkuh.

“Saya cuma ingin kamu mendengarkan penjelasan saya, Lana,” sahut Surya, perlahan.

Lana menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Keluar, sebelum saya panggil satpam buat mengusir kamu.”

Surya menundukkan kepala dengan sedih. Dia mengembuskan napasnya dan kemudian dengan lesu beranjak ke pintu keluar.

Lana sama sekali tidak bergerak, bahkan ketika pintu sudah tertutup dari luar, tanda Surya sudah pergi. Otaknya serasa lumpuh.

Hanya dalam hitungan detik dunianya berputar balik. Dan, hanya dalam hitungan detik masa depan cerah yang dibayangkannya hancur seketika. Impian untuk membangun sebuah keluarga bahagia dengan suami dan anak-anak yang dicintainya, pupus sudah.

Lana memeluk lututnya, menyandarkan dagunya pada lututnya, kemudian meremas rambutnya kuat-kuat dan mulai menangis.

Kenapa Tuhan begitu kejam, mengirimkan Surya untuk menjadi calon suaminya. Padahal, Lana sungguh-sungguh mencintai Surya.

Ini akan menjadi berita sensasional yang teramat memalukan baginya. Berita besar bahwa dia akan menikah sudah menyebar ke seantero perusahaan. Kartu undangan sudah siap disebar.

Tidak terbayangkan apa kata orang mengenai dirinya. Perawan tua pemarah yang akhirnya menikah juga, tapi terpaksa batal karena calon suaminya bukan pria sejati. Nama baiknya akan hancur. Semua kerabat dekatnya akan kasihan padanya. Lana tidak dapat membayangkan bagaimana reaksi ibunya bila dia mendengar berita ini. Dia telah menghancurkan satu-satunya impian ibunya. Impian bahwa Lana, satu-satunya putri dan anak yang dimilikinya akan segera menikah.

Tapi, yang paling menghancurkan hatinya adalah perasaannya sendiri. Dia telanjur jatuh cinta pada pria itu. Kenyataan bahwa Surya tidak mungkin bisa mencintainya sebagaimana seorang pria mencintai seorang wanita, sungguh-sungguh menghancurkan dunianya.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Lana merasa ingin mati.

Mungkin, jika dia mati, segalanya akan lebih mudah. Dia tidak usah menanggung segala aib, sekaligus membereskan masalah pribadinya dengan Surya.

Tapi, tidak, mati hanya akan membuat semua orang lebih mengasihani dirinya. Mati karena patah hati memang terdengar menyedihkan. Dan, Lana teringat ibunya. Lana sungguh tidak tega meninggalkan ibunya yang hanya tinggal sendirian. Lagi pula, bagaimana pertanggungjawabannya terhadap Tuhan, jika dia mati dengan cara membunuh dirinya sendiri?

Lana tidak bergerak dari tempatnya semula sampai hari gelap. Dia bahkan tidak peduli, meskipun seluruh ruangan apartemennya gelap gulita karena tidak ada satu pun lampu yang dinyalakan.

Sesekali air matanya mengalir. Dan, sesekali dia terisak.

Puluhan kali ponselnya berbunyi. Begitu juga telepon apartemennya. Tapi, Lana sama sekali tidak menyentuhnya. Ego membuatnya mengurungkan niat untuk mematikan ponselnya. Dia tahu persis nama siapa yang tertera pada ponselnya. Dia ingin tahu sebanyak apa Surya berusaha meneleponnya. Jadi, dibiarkannya saja ponselnya terus-menerus berbunyi.

Seperti adegan film yang terus-menerus diputar, Lana terus-menerus melihat adegan dirinya berulang-ulang ketika Surya membuat pengakuan mengenai kisah hidupnya.

Sampai fajar tiba Lana sama sekali tidak dapat memicingkan matanya. Dia hanya meringkuk di balik selimut, sambil terus terjaga. Diusahakannya untuk tidur, namun sama sekali tidak berhasil, termasuk tiga butir pil tidur yang biasa diminumnya untuk mengatasi insomnianya.

Lana melirik ke jam dinding besar di kamar tidurnya. Sudah pukul tujuh pagi. Biasanya, pada jam segini ia sudah sibuk menyiapkan dirinya untuk pergi ke kantor. Namun, tidak untuk kali ini. Dia sama sekali kehilangan minatnya untuk bekerja. Dan, dia tidak peduli dengan masalah-masalah yang akan terjadi di kantor.

Diraihnya ponselnya dari samping ranjang dan diketiknya SMS singkat kepada Fero.

Fer, saya nggak masuk hari ini. Badan saya kurang sehat.

Diletakkannya ponselnya itu di samping kepalanya dan dia mulai meringkuk lagi di dalam selimutnya. Meskipun matahari sudah hampir tinggi, Lana tetap merasa kedinginan sampai seluruh badannya bergetar.
Tak berapa lama ponselnya berbunyi lagi, membuat Lana sedikit terlonjak. Dengan jantung berdebar dibacanya nama yang tertera di layar ponselnya.

Surya.
Jauh di dalam lubuk hatinya, sebenarnya Lana ingin sekali mengangkat ponselnya, mendengar suara pria yang paling dicintainya, sekaligus yang paling dibencinya. Betapa dia berharap Surya akan mengatakan bahwa ini semua hanyalah lelucon konyol yang diciptakannya untuk mengejutkan dirinya.

Namun, Lana menahan keinginannya kuat-kuat untuk menekan tombol ’yes’ pada ponselnya. Dia hanya memandangi layar ponselnya dengan sedih, sampai ponsel itu berhenti bersuara. Dia sungguh tidak siap untuk kembali mendengar fakta yang begitu pahit dan menyakitkan. Dia juga tidak sanggup mendengar semua permohonan maaf dan penyesalan dari Surya.

Bukan itu yang dia inginkan.

Semalaman otaknya terus bekerja, namun tidak ditemukannya jalan keluar. Pria itu telah menghancurkan hatinya dengan telak. Dalam kondisi apa pun, belum pernah dia merasa seputus asa seperti ini.

Mungkin lebih enak baginya jika dia menangis. Namun, Lana tak menangis. Hatinya terlalu keras untuk menangisi seorang pria.

Dia hanya diam terpaku dalam tempat tidurnya.

Tidak boleh ada satu orang pun yang tahu tentang masalah ini, pikirnya. Tak seorang pun boleh tahu aib yang dialaminya. Dia lebih baik mati ketimbang harus menanggung malu karena masalah ini.

Lana tersentak bangun dari tidurnya karena deringan ponselnya.

Ia memaki dalam hati. Entah sudah berapa jam dia tertidur.

Untuk sesaat dia merasa baru saja mengalami mimpi buruk. Mimpi buruk yang terus-menerus berulang. Namun, dalam hitungan detik hatinya kembali mencelos, mengingat apa yang baru dialaminya semalam ternyata bukan mimpi.

Dibukanya ponsel itu. Fero yang menelepon.

Tidak digubrisnya telepon dari asistennya itu, meskipun Lana tahu ada sesuatu yang sangat penting, hingga Fero terpaksa harus meneleponnya.

Tak lama ponselnya berdering lagi.

Dilihatnya nama yang tertera di ponselnya. Seperti yang sudah diduganya, seolah nama itu adalah nama yang sudah ditunggu-tunggunya, jantung Lana berdebar lagi saat melihat ternyata Surya yang menelepon. Tidak tahan dengan suara ponselnya yang terus berdering, Lana menekan tombol ‘no’.

Tak sampai sepuluh detik, ponsel itu berdering lagi.

Ditekannya lagi tombol ‘no’.

Tanpa menyerah benda itu berdering lagi.

Lana memandangi ponselnya dengan bimbang. Setengah hatinya ingin menutup telepon itu. Namun, setengah hatinya seolah berteriak, betapa inginnya dia berbicara dengan Surya.

Akhirnya, dengan tangan bergetar, diterimanya juga telepon itu.

Lana hanya meletakkan ponselnya di telinganya tanpa berkata apa-apa. Jantungnya berdetak kencang.

Sesaat tidak terdengar suara.

“Lan?” suara Surya terdengar bingung. Lana tidak menjawab.

“Lana? Halo?” Surya bertanya lagi dengan bingung.

Lana menarik napas, kemudian mengembuskannya lagi.

“Ya,” jawabnya, dingin.

Surya tidak langsung menjawab. Lana tahu pria itu sedang kebingungan mencari kata-kata yang tepat untuknya.

“Kamu baik-baik saja, Lana?” tanya Surya, canggung.

“Memang kamu pikir saya kenapa? Tenang saja, Sur, saya tidak akan bunuh diri hanya karena masalah ini,” sindir Lana.

“Lana, please…,” pinta Surya, lirih.

Lana terdiam.

“Kamu tidak pernah menjawab telepon saya. Saya takut ada apa-apa dengan kamu,” kata Surya, perlahan. “Saya mengkhawatirkan kamu, Lana.”

Hati Lana mencelos lagi. Ternyata pria itu masih mengkhawatirkan dirinya.

Untuk beberapa saat Surya tidak berkata apa-apa.

Lana bisa mendengar desah napas Surya yang berat di balik ponselnya. Mungkin pria itu sudah kehabisan kata-kata. Namun, Lana sendiri tidak sanggup berkata apa-apa. Apa pun yang dia katakan hanya akan menyakiti hati Surya dan juga dirinya sendiri.

“Maafkan saya, Lana,” Surya berkata lirih. Nada suaranya terde­ngar memohon.

Lana menggigit bibirnya kuat-kuat.

Semudah itukah cara Surya menyelesaikan masalah yang dibuatnya sendiri? Apakah dia pikir hanya dengan satu kata sakti itu saja dunianya yang telah hancur akan pulih kembali?

“Saya benar-benar tidak pernah bermaksud untuk menyakiti kamu, Lana,” kata Surya lagi.

Lana tidak tahan lagi.

“Kamu bukan hanya menyakiti hati saya, Sur! Kamu hampir saja membunuh saya!” teriak Lana, dengan penuh kemarahan. “Apa kamu pikir saya bisa begitu mudahnya memaafkan kamu yang telah menghancurkan seluruh dunia saya? Apa kamu pikir saya masih punya muka untuk menghadapi kerabat-kerabat saya? Kamu bukan cuma menghancurkan hidup saya, Sur. Seluruh masa depan saya ikut hancur di tangan kamu. Kamu benar-benar kejam, Sur.”

Surya menghela napas panjang.

“Seandainya ada yang dapat saya lakukan untuk menebus kesalah­an saya,” nada suara Surya mulai terdengar putus asa.

“Nggak bisa, Sur. Kamu nggak akan bisa mengembalikan air yang sudah kamu tumpahkan ke lantai,” sahut Lana.
Ditutupnya ponselnya kemudian dengan tangan bergetar dimatikannya ponselnya. Dia tidak ingin mendengar suara Surya lagi. Terlalu menyakitkan baginya.

Dadanya terasa sesak sampai sakit rasanya.

Saat itu barulah Lana mampu mengeluarkan emosinya. Dia mulai menangis.

Lana menangis keras, berharap semua kesesakannya bisa hilang. Berharap semua kepahitan ini bisa berakhir.

“Menikahlah dengan saya.”

Lana hampir tersedak oleh makanan yang sedang dimakannya saat itu. Dia melemparkan tatapan yang seolah mengatakan bahwa Surya sudah tidak waras lagi.

“Apa kamu bilang barusan?” Lana menatap Surya tak percaya, sambil mengelap mulutnya dengan tisu dari samping piringnya.

“Menikahlah dengan saya,” kata Surya, mengulang kalimatnya.

Sikapnya tenang, seolah dia hanya sekadar mengajak Lana nonton di bioskop.

Lana tidak menjawab. Dia hanya menatap Surya sedemikian rupa, seolah mencari jawaban di sana. Kemudian Lana menggeleng.

“Nggak bisa. Ini terlalu gila untuk saya,” Lana meneguk minum­annya dengan gugup. “Kita baru kenal beberapa bulan, dan tidak ada angin tidak ada hujan kamu langsung melamar saya di siang hari bolong begini.”

Surya tersenyum, masih setenang sebelumnya.

“Saya yakin kamu pasti kaget. Tapi, saya tidak main-main.”

Surya mengeluarkan sebuah kotak dari saku celananya. Dibukanya kotak itu dan disodorkannya kepada Lana.
Lana menatap cincin berlian di depan matanya tak percaya.

“Lana, menikahlah denganku,” tanya Surya.

Lana masih terpana. Dia bergantian menatap Surya dan cincin yang terpampang indah di depannya itu.

“Apakah saya bisa menafsirkan diam kamu sebagai jawaban iya?”

Tiba-tiba saja Lana meneteskan air matanya dan mengangguk perlahan.

Mimpi buruk itu menyerangnya lagi. Entah sudah berapa kali Lana memimpikan hal yang sama. Hal yang sungguh-sungguh ingin dihapusnya dari ingatannya.

Dua hari lamanya Lana tergolek di tempat tidur, tanpa makan dan tanpa mandi. Tidak ada yang dimakannya selain beberapa gelas susu dan air putih.

Baterai handphone-nya sudah lama habis dan kini tidak ada seorang pun yang bisa menghubunginya. Pernah Lana mendengar bel pintu kamarnya berkali-kali berbunyi, namun dia tidak peduli. Sudah pasti Surya yang datang mengunjunginya. Atau, lebih tepatnya hanya sekadar memastikan bahwa Lana tidak apa-apa.

Namun, pagi hari ini, saat Lana membuka matanya, dia tiba-tiba tersadar bahwa kini dirinya hanyalah seorang pecundang yang tidak berguna. Seharusnya masih banyak hal lain yang harus dibenahinya, selain hanya meratapi nasibnya yang sial.

Seolah dalam dirinya mengalir darah yang baru, perlahan Lana berdiri. Kepalanya terasa pusing dan berat saat dia melangkah.

Yang pertama dilihatnya adalah bayangan dirinya di cermin. Dan, Lana hampir tidak mengenali wajahnya sendiri.

“Oh, my God!” bisiknya pada diri sendiri, saat dilihatnya betapa kusam dan berantakannya penampilannya saat itu.

Lana memejamkan mata, saat melihat bayangan hitam yang sangat jelas di bawah matanya yang terlihat sangat cekung, sehingga terlihat seperti vampir. Kelopak matanya tampak sembap dan lelah. Hanya dalam dua hari wajahnya seperti bertambah tua sepuluh tahun.

Lana menghela napas panjang dan mengembuskannya kuat-kuat.

Hari ini akan menjadi hari yang baru baginya.

Tak akan dibiarkannya satu orang pria menjadikannya pecundang.

Dinyalakannya air panas di bathtub. Saat ini hal yang paling dibutuhkannya adalah berendam di dalam air panas dengan beberapa tetes minyak aromaterapi yang mampu membuatnya relaks.

Setelah mandi, hal kedua yang dilakukannya adalah membuka semua seprai dan selimut tempat tidurnya. Dia tidak habis pikir, bagaimana mungkin beberapa hari ini dia bisa bertahan tidur dalam seprai dan selimut dengan aroma yang begitu tidak menyenangkan.

Kemudian Lana mengeluarkan sekotak sereal dan susu rendah kalori dari dalam lemari esnya. Dia belum bernafsu untuk makan. Namun, setidaknya sereal bisa memberinya sedikit energi.

Setelah makan, diambilnya ponselnya, kemudian dihubunginya satu nomor yang sudah sangat dikenalnya.

“Halo? Lana?” terdengar jawaban bersemangat.

“Surya, saya rasa kita harus bertemu. Pukul 12 siang, di tempat biasa,” Lana mengatakan dengan tegas. Dan, Lana sudah menutup telepon sebelum Surya sempat menjawab.

Surya sudah ada di sana, ketika Lana datang.

Pria itu tersenyum canggung, saat Lana duduk di depannya.

“Ada beberapa point yang harus kita bicarakan,” kata Lana, begitu dia duduk. Sikap angkuhnya sudah kembali.

Surya mengangkat cangkir tehnya, menyeruputnya perlahan.

“Oke,” jawabnya, sambil meletakkan cangkir tehnya.

Lana berpikir sejenak.

“Point pertama yang mau saya tanyakan, apa yang kamu inginkan dalam hubungan kita selanjutnya?” tanya Lana.
Surya tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir.

“Mungkin terlalu egois kalau saya mengatakan apa yang saya inginkan,” katanya. “Saya sudah menyakiti kamu sedemikian rupa.”

Lana menundukkan kepala.

“Mungkin lebih tepat kalau saya yang bertanya, apa yang kamu inginkan untuk selanjutnya,” kata Surya, tenang.
Lana menatapnya tajam.

“Kamu yakin kamu akan bisa mengabulkan apa yang menjadi keinginan saya?” tanyanya, sinis.

Surya mengangkat bahu. “Saya akan usahakan sebisa mungkin.”

Lana mencondongkan badannya.

“Saya tak mau menikah dengan gay,” bisiknya. “Tapi, saya juga tidak mau nama saya hancur, karena pernikahan saya dibatalkan.”

Surya tampak bingung, namun dia tidak menjawab.

Lana memperlihatkan cincin tunangan di jari manisnya.

“Semua orang sudah melihat cincin ini. Termasuk ibu saya. Dan, saya tidak mau semua orang melihat dan bertanya-tanya, mengapa cincin ini tiba-tiba dilepaskan.”

Surya menganggukkan kepalanya.

Lana mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi.

“Satu hal yang selalu mengganjal di dalam hati saya, kenapa kamu meminta saya jadi istri kamu, sedangkan kamu sendiri tahu sampai kapan pun kamu tidak akan mencintai saya? Dan, kamu tahu yang kamu lakukan ini akan sangat menyakiti saya.”

Surya tersenyum kecut. Dia tidak lagi menatap Lana.

“Apa karena kamu takut nama kamu sebagai pemimpin perusahaan perlahan akan rusak, karena kamu belum menikah sampai setua ini?” tanya Lana, tajam. “Atau, kamu berpikir, status menikah atau bahkan status sebagai duda akan lebih terhormat dibandingkan dengan status sebagai bujang lapuk?”

Surya diam saja. Dia tidak membantah, namun tidak juga mengiyakan. Ditatapnya Lana dengan sedih.

“Sampai saat ini saya sendiri tidak tahu apa alasan yang mendorong saya untuk melakukan semua ini. Mungkin memang seperti itu fakta yang ada. Saya tidak akan menyangkal semua kata-kata kamu,” Surya menghela napas panjang dan mengembuskannya keras.

Lana menatap Surya dengan putus asa.

Surya menggaruk kepalanya. “Mungkin kamu benar. Saya terlalu takut untuk menghadapi kenyataan bahwa kerabat-kerabat saya mulai curiga bahwa saya adalah seorang gay.”

“Siapa saja orang yang tahu selain saya?” tanya Lana.

Surya menggeleng. “Tidak ada seorang pun yang tahu selain kamu dan Ardi. Saya terlalu pengecut untuk membuka aib saya.”

“Ardi? Maksud kamu pacar kamu? Di mana dia sekarang? Apa dia tidak cemburu mendengar berita bahwa saat ini kamu merencanakan untuk menikah dengan saya?”

Surya menggeleng lagi.

“Dia sudah meninggal setahun yang lalu. Kecelakaan pesawat.”

Lana terenyak. Perlahan raut wajahnya mulai melunak.

“Saya tidak tahu harus berkata apa,” kata Lana datar.

Surya menggeleng.

“Ardi adalah bagian dari masa lalu saya. Terlalu sakit untuk diingat kembali.”

Lana menyandarkan tubuhnya. Disilangkannya lengannya di dada. Sikapnya masih seangkuh tadi. Namun, raut wajahnya sudah tidak sekeras tadi.

“Seumur hidup baru sekali ini saya dipermalukan seperti ini,” katanya, dengan getir.

“Saya tidak berniat untuk mempermalukan kamu, Lana.” Surya mulai terdengar putus asa.

Lana mencondongkan badannya ke meja.

“Ada satu hal yang ingin saya tanyakan pada kamu,” katanya, dengan mata berkilat. “Bagaimana rencana kamu selanjutnya, jika dalam skenario yang kamu rancang, rahasia kamu tidak terbongkar oleh saya dan kamu berhasil menikahi saya?”

Surya meremas rambutnya. Kemudian dia menggeleng.

“Berusaha menjalani hidup normal, mungkin,” katanya, ragu.

“Normal? Lalu, kamu dengan sadis akan membiarkan saya mengetahui rahasia mengerikan itu pada malam pengantin kita?” Lana menyipitkan matanya.

Surya menatap Lana. Lagi-lagi dia menggeleng.

“Entahlah. Banyak hal yang belum saya perhitungkan sampai ke sana. Mungkin, saya hanya berharap akan ada sebuah keajaiban kecil. Sebuah harapan kecil bahwa saya akan sembuh. Mungkin tidak ada seorang pun yang bisa mengerti apa yang ada di pikiran saya, karena saya pun terkadang tidak mengerti dengan diri saya sendiri. Apa sebenarnya dosa saya, sehingga Tuhan menghukum saya seperti ini?”

“Oke,” sahut Lana, gemas.

“Puluhan tahun saya mencari jawaban tentang apa yang sebenarnya terjadi pada saya. Betapa inginnya saya menjalani hidup normal seperti orang lain. Betapa pahitnya saya harus menyembunyikan aib selama puluhan tahun. Mungkin tak ada seorang pun yang bisa mengerti. Meskipun saya tidak berharap akan ada seseorang yang bisa mengerti, saya sangat mengharapkan bahwa suatu hari kamu akan mengerti,” sebuah kalimat panjang yang terdengar sendu.

Lana menunduk. Dalam hatinya betapa ingin dia mengerti.

“Oke. Satu pertanyaan saya yang belum kamu jawab tadi.” Lana mendongakkan kepalanya, menatap Surya tajam. “Boleh saya tahu kenapa kamu memilih saya sebagai korban kamu?”

“Entahlah. Mungkin karena karakter kamu berbeda dari wanita lain,” jawab Surya, perlahan.

Lana menatap Surya dengan marah sekaligus bingung.

“Berbeda dari wanita lain? Apa maksud kamu saya berbeda dari wanita lain? Karena saya belum menikah pada usia setua ini, sehingga kamu dengan mudahnya bisa mendapatkan saya untuk menikah dengan kamu?” tanya Lana, kembali berapi-api.

Surya menekan-nekan pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut. “Apa pun jawaban saya, tak akan membuatmu puas,” katanya, lirih.

Kali ini Lana tidak menanggapi. Memang benar apa yang dikatakan Surya barusan. Dia tidak akan pernah puas dan tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang bisa membuatnya mengerti.

Surya kembali menatap Lana.

“Oke,” katanya tenang. “Apa pun yang kamu inginkan sekarang, saya janji saya akan berusaha menyanggupinya. Boleh saya bertanya apa yang kamu inginkan untuk langkah kita selanjutnya?”

Lana tidak langsung menjawab. Saatnya untuk melakukan kesepakatan, seperti negosiasi dagang yang selalu dilakukannya saat meeting dengan buyer-buyer di luar negeri.

Lana menghela napas panjang. Sebenarnya, ada satu jawaban yang sudah dipikirkannya masak-masak. Namun, dia sama sekali tidak yakin dengan keputusan yang akan diambilnya.

Lana berdehem.

“Kamu keberatan kalau kita tetap menikah?” tanyanya, ragu. “Saya tidak tahu apa yang akan terjadi dengan kita selanjutnya. Mungkin, tidak akan bertahan lama. Namun, untuk saat ini setidaknya saya masih mempunyai muka di depan semua kerabat saya. Ibu saya juga tidak perlu terkena serangan jantung atau stroke, karena mendengar berita pernikahan saya dibatalkan, karena calon menantunya ternyata sama sekali bukan seperti yang diharapkannya.”

Surya menatap Lana lama. “Kamu tidak keberatan menikah dengan seorang pria seperti saya?” tanyanya, bingung.

Lana mengangkat bahunya. “Saya sudah tidak peduli lagi.”

Lana memainkan jari-jarinya di pangkuannya. Ada satu keinginan yang terus-menerus mengusik pikirannya. Namun, dia tidak tahu apakah permintaannya akan dianggap gila atau tidak.

“Saya menginginkan anak,” kata Lana perlahan.

Surya terenyak. “Anak?!”

“Satu orang anak mungkin akan bisa membuat saya melupakan semua luka dan sakit hati saya terhadap kamu.” Lana merasakan matanya mulai panas. “Bisakah kamu memberikan saya seorang anak? Inseminasi buatan?” tanyanya.

Kali ini bukan lagi pertanyaan tajam seperti yang dilakukannya tadi. Suaranya kali ini lebih terdengar sebagai suatu permohonan.

Kali ini tatapan Surya seolah mengatakan bahwa Lana sudah gila.

“Inseminasi buatan?” tanyanya, hati-hati.

“Cuma itu yang bisa membuat saya hamil,” sahut Lana.

Surya terdiam.

Dihelanya napas panjang, kemudian diembuskannya keras.

“Jika saya menyanggupi, kamu akan memaafkan saya?” tanya Surya.

Lana mengangguk mantap.

Perlahan Surya menganggukkan kepalanya. “Kalau dengan cara itu bisa menebus semua kesalahan saya.”

Lana menyandarkan punggungnya dengan nyaman di kursi penonton. Sore itu suasana lapangan olahraga sepi. Tidak banyak orang tua yang menonton pertandingan sepak bola yang dimainkan oleh anak-anak berusia lima tahun itu.

Senyum lebar selalu tersungging di bibir Lana, saat memandangi seorang bocah laki-laki yang dengan begitu bersemangat mengejar dan menendang bola. Sekali-sekali Lana bertepuk tangan penuh semangat, saat bocah itu mendapat kesempatan untuk menggiring bolanya.

Chris bukan satu-satunya anak yang berwajah Asia di sekolah itu, di antara sekian banyak bocah berambut pirang dan cokelat dengan wajah yang berbintik-bintik.

Daun-daun mulai berjatuhan, tanda musim gugur sebentar lagi akan tiba.

Saat peluit tanda permainan usai dibunyikan, Lana mengulurkan tangannya, menyambut putranya semata wayang yang menghambur ke pelukannya. Disodorkannya botol minum yang disambut antusias oleh Chris.

Perceraiannya empat setengah tahun yang lalu, saat Chris masih ada di dalam kandungan, tidak terlalu banyak memengaruhi kehidupannya. Bagaimanapun, Surya telah memberinya sebuah hadiah terindah yang tidak ternilai harganya.

Kini, di sebuah kota kecil di kawasan New Jersey, dia menjalani kehidupannya yang tenang sebagai seorang ibu. Pendapatannya sebagai seorang guru di sebuah Junior High School tidak sebesar pendapatannya sewaktu di Indonesia. Namun, di sana dia mendapatkan ketenangan batin yang luar biasa bersama Chris.

Tidak ada orang yang mencemooh statusnya sebagai seorang janda. Di sana tidak ada seorang pun yang ingin tahu akan masa lalunya.

Angin dingin mulai berembus. Lana mengancingkan jaket Chris dengan hati-hati. Diraihnya tas ransel Chris dan dituntunnya tangan mungil itu menuju tempat parkiran mobil.

No comments: